ISSN 0853 - 5884
JURNAL PENELITIAN PERIKANAN INDONESIA Volume 18 Nomor 3 September 2012 Nomor Akreditasi: 455/AU2/P2MI/LIPI/08/2012 (Periode: Agustus 2012 - Agustus 2015) Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia adalah wadah informasi perikanan, baik laut maupun perairan umum daratan. Jurnal ini menyajikan hasil penelitian sumber daya, penangkapan, oseanografi, lingkungan, rehabilitasi lingkungan, dan pengkayaan stok ikan. Terbit pertama kali tahun 1994. Tahun 2006, frekuensi penerbitan Jurnal ini tiga kali dalam setahun pada bulan April, Agustus, dan Desember. Tahun 2008, frekuensi penerbitan menjadi empat kali yaitu pada bulan MARET, JUNI, SEPTEMBER, dan DESEMBER. Ketua Redaksi: Prof. Dr. Ir. Endi Setiadi Kartamihardja, M.Sc. Anggota: Prof. Dr. Ir. Ngurah Nyoman Wiadnyana, DEA Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Indra Jaya Prof. Dr. Ir. M.F. Rahardjo, DEA Dr. Ir. Abdul Ghofar, M.Sc. Mitra Bestari untuk Nomor ini: Prof. Dr. Ali Suman Dr. Purwito Martosubroto Dr. Sudarto, M.Sc. Drs. Bambang Sumiono, M.Si. Redaksi Pelaksana: Eko Prianto, S.Pi., M.Si. Arief Gunawan, S.Kom. Desain Grafis : Kharisma Citra, S.Sn Alamat Redaksi/Penerbit: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta Utara 14430 Telp. (021) 64711940; Fax. (021) 6402640 Email:
[email protected] Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia diterbitkan oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan-Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan PerikananKementerian Kelautan dan Perikanan.
ISSN 0853 - 5884 JURNAL PENELITIAN PERIKANAN INDONESIA Volume 18 Nomor 3 September 2012 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………………………...
i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………………….
iii
Model Produksi dan Laju Tangkap Kapal Bouke Ami yang Berbasis di PPN Kejawanan, Cirebon Jawa Barat Oleh : Setiya Triharyuni, Wijopriono, Andika Prima Prasetyo, dan Reny Puspasari……………………………
135-143
Struktur Komunitas Ikan Pasca Penebaran Ikan Patin (Pangasianodon hypophthalmus) di Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis – Jawa Barat Oleh : Andri Warsa dan Kunto Purnomo……………………………………………………………………………
145-156
Distribusi Spasial dan Temporal Juvenil Udang dalam Kaitannya dengan Lingkungan Perairan di Teluk Jakarta Oleh : Adriani Sri Nastiti, Bambang Sumiono, dan Achmad Fitriyanto……………………………………………
157-166
Perikanan Pancing Ulur di Samudera Hindia: Hasil Tangkapan Ikan Berparuh yang Didaratkan di Sendangbiru, Malang, Jawa Timur Oleh : Agustinus Anung Widodo, Budi Iskandar Prisantoso, dan Suprapto…………………………………….....
167-173
Produktivitas Kapal Pukat Cincin pada Perikanan Lemuru yang Beroperasi pada Kondisi Iklim yang Berubah di Selat Bali Oleh : Purwanto………………………………………………………………………………………………………
175-186
Model Pendugaan Produktivitas Perikanan Pukat Cincin di Laut Jawa Oleh : Andhika Prima Prasetyo, Hanggar Prasetio Kadarisman Setiya Tri Haryuni, Puput Fitri Rachmawati, Suwarso, dan Andria Ansri Utama……………………………………………………………………………
187-195
Kompetisi dan Interaksi Perikanan: Studi Kasus pada Perikanan Layang (Decapterus Spp.) di Laut Jawa Oleh : Suherman Banon Atmaja dan Bambang Sadhotomo…………………………………………………………
197-204
iii
KATA PENGANTAR
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume 18 Nomor 3 September 2012 adalah terbitan ketiga di tahun 2012. Pencetakan jurnal ini dibiayai oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan menggunakan anggaran tahun 2012. Seluruh naskah yang terbit ini telah melalui proses revisi oleh dewan redaksi dan proses editing oleh redaktur pelaksana. Pada penerbitan nomor tiga ini, Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia menampilkan tujuh artikel hasil penelitian perikanan di perairan umum daratan dan perairan laut. Ketujuh artikel tersebut mengulas tentang: Model Produksi dan Laju Tangkap Kapal Bouke Ami yang Berbasis di PPN Kejawanan Cirebon, Struktur Komunitas Ikan Pasca Penebaran Ikan Patin (Pangasianodon hypophthalmus) di Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis – Jawa Barat, Distribusi Spasial dan Temporal Juvenil Udang dalam kaitannya dengan Lingkungan Perairan di Teluk Jakarta, Perikanan Pancing Ulur di Samudera Hindia: Hasil Tangkapan Ikan Berparuh yang Didaratkan di Sendangbiru, Malang, Jawa Timur, Produktivitas Kapal Pukat Cincin pada Perikanan Lemuru yang Beroperasi pada Kondisi Iklim yang Berubah di Selat Bali, Model Pendugaan Produktivitas Perikanan Pukat Cincin di Laut Jawa, Kompetisi dan Interaksi Perikanan: Studi Kasus pada Perikanan Layang (Decapterus Spp.) di Laut Jawa. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan kontribusi bagi para pengambil kebijakan dan pengelola sumber daya perikanan di Indonesia. Redaksi mengucapkan terima kasih atas partisipasi aktif para peneliti dari lingkup dan luar Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan.
Redaksi
i
Model Produksi dan Laju Tangkap ......... Berbasis di PPN Kejawanan Cirebon (Triharyuni S, et al.)
MODEL PRODUKSI DAN LAJU TANGKAP KAPAL BOUKE AMI YANG BERBASIS DI PPN KEJAWANAN, CIREBON JAWA BARAT PRODUCTION MODEL AND CATCH RATE OF STICK HELD DIP NETS IN KEJAWANAN FISHING PORT CIREBON-WEST JAVA Setiya Triharyuni, Wijopriono, Andika Prima Prasetyo dan Reny Puspasari Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Teregistrasi I tanggal: 25 Januari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 28 Agustus 2012; Disetujui terbit tanggal: 29 Agustus 2012 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Jaring bouke ami merupakan alat tangkap yang diklasifikasikan sebagai jaring angkat (lift Net) dengan target tangkapan cumi-cumi. Cirebon merupakan salah satu tempat pendaratan ikan yang didominasi kapal bouke ami. Penelitian model produksi dan laju tangkap kapal bouke ami yang berbasis di PPN Kejawanan Cirebon dilakukan pada bulan Juni dan Agustus 2011. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hasil tangkapan, model dan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil tangkapan serta laju tangkap kapal bouke ami. Analisis model produksi yang digunakan adalah model Cobb Douglas. Data yang dikumpulkan meliputi data spesifikasi kapal, produksi per jenis ikan, jumlah kapal dan total tangkapan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil tangkapan utama dari jaring bouke ami adalah cumi-cumi, dengan komposisi hasil tangkapan rata-rata sebesar 60,51% dari total hasil tangkapan. Analisis model produksi menunjukkan bahwa variable ukuran kapal (GT) berpengaruh secara signifikan (P<0,1) terhadap hasil tangkapan dengan persamaan (Fhitung = 2,111> F tabel=2,073) dan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,53. Rata-rata laju tangkap jaring bouke ami tahun 20062010 adalah sebesar 6,72 ton/trip dengan laju tangkap cumi-cumi sebesar 3.907,5 kg/trip atau sebesar 58,5% dari total laju tangkap. Kata Kunci: Bouke ami, hasil tangkapan, model produksi, laju tangkap, cumi-cumi, PPN Kejawanan Cirebon ABSTRACT: Stick held dip net, classified as lift net is one of fishing gears used to catch squid as target species. Cirebon is one of fishing port for stick held dip net. The number of stick held dip net landed at Kejawanan Fishing Port is dominant. A study aimed to reveal information about catch, production factors that affecting the catch and catch rate of stick held dip net has been conducted in June and August 2011. Vessel specification, production by species and the number of vessel data were collected. Production model of the stick held dip net was analysed using Cobb Douglas model. The results showed that catch composition was dominated by squids with an average catch of squid reached up to 60,51% of the total catch. The model production showed that the variable size of the vessel (GT) was significantly affected the catch (P <0,1) following the equation (F value=2,111> F table =2,073, R2=0,53. An average catch rate of stick held dip net in the period 2006-2010 was 6,72 ton/trip with an average catch rate of squid was 3.907,5 kg/trip or 58,5% from the total catch rate. Key Words: Stick held dip net, catch, production model, catch rate, squid, Fishing Port of Kejawanan Cirebon
PENDAHULUAN Cumi-cumi (Loligo sp.) di perairan Indonesia umumnya ditangkap dengan pancing cumi (squid jigging), jala jatuh berkapal (cast net) dan bagan apung (bouke ami), dimana persentase hasil tangkapan cumi-cumi dari masing-masing alat tangkap ini adalah 100%, 85% dan 80% (KEP. MEN. KP. Nomor KEP.60/MEN/2010 tentang produktivitas kapal
penangkap ikan). Sudjoko (1987) menyebutkan bahwa cumi-cumi (cephalopoda) dapat ditangkap dengan bagan, payang, pukat cincin, trawl, pancing, sero dan kelong. Cirebon merupakan salah satu tempat pendaratan hasil tangkapan cumi-cumi di wilayah di pantai utara Jawa, dimana alat tangkap yang digunakan untuk menangkap cumi-cumi ini adalah bouke ami (jaring
___________________ Korespondensi penulis: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Jl. Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta Utara
135
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 135-143
cumi). Berdasarkan data statistik perikanan PPN Kejawanan tahun 2010, kapal bouke ami mendominasi armada penangkapan dibandingkan armada lainnya (57%).
variabel. Secara matematis model fungsi Cobb Douglas tersebut adalah:
Bouke ami merupakan alat tangkap yang diklasifikasikan sebagai jaring angkat (lift Net). Nama bouke ami ini berasal dari bahasa Jepang dan alat tangkap ini terkenal dengan nama “stick held dip net”. Pada mulanya alat tangkap ini hanya digunakan untuk menangkap ikan kembung, kemudian digunakan untuk menangkap ikan Saury dengan alat bantu cahaya (Hakim, 1989). Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.60/MEN/ 2010 tentang produktivitas kapal penangkap ikan, disebutkan bahwa cumi-cumi dari kapal bouke ami merupakan hasil tangkapan utam a, dim ana persentase hasil tangkapannya sebesar 80% dari total tangkapannya.
Persamaan tersebut disederhanakan dengan cara dengan melogaritmakan persamaan itu menjadi :
Penelitian sebelumnya oleh Wahyono, (2004) mengkaji aspek perikanan jaring cumi di PPP Bajo Mulyo, Chandra, (2007) meneliti tentang hubungan produksi dengan faktor-faktor produksi unit penangkapan jaring cumi di Eretan Wetan Kabupaten Indramayu. Penelitian tentang karakteristik perikanan jaring cumi di Utara Jawa juga telah dilakukan oleh Hufiadi & Mahiswara, (2007). Namun penelitian mengenai model produksi dan laju tangkap bouke ami belum banyak dilakukan. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil tangkapan dan faktor produksi yang mempengaruhinya serta laju tangkap kapal bouke ami yang berbasis di PPN Kejawanan-Cirebon. Hasil tangkapan yang dibahas adalah hasil tangkapan yang didaratkan dan yang tercatat di pelabuhan. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi yang dapat digunakan untuk pengembangan perikanan bouke ami. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan pada bulan Juni dan Agustus 2011 di perairan Cirebon. Data yang dikumpulkan meliputi data spesifikasi kapal, produksi perkapal dan perjenis hasil tangkapan kapal bouke ami dan jumlah kapal bongkar. Data hasil tangkapan yang tercatat adalah hasil tangkapan yang didaratkan di PPN Kejawanan. Untuk mengetahui faktor produksi yang mempengaruhi hasil tangkapan dilakukan analisis produksi Cobb-Douglas seperti yang telah dilakukan oleh Chalilludin et al. (2002) & Frediansari, (2007) untuk kapal purse seine. Model Cobb Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih
136
b1 b2 b2 Y a X 1 X 2 X 3 ........
Log
Y Log .........
a b 1 LogX bnXn
bn u X n e
1
b2 X
……………….(1)
2
b3 X
u
dimana : Y = Jumlah produksi (kg) jaring (m) X 1 = Ukuran kapal (GT) (orang) b = parameter estimasi X 2 = bingkai jaring (m2)
3
….(2)
X 3 = kedalaman a = intersep X 4 = Awak kapal X 5 = Daya lampu (watt) u = standart error
Variabel bebas tersebut dianggap mempengaruhi hasil tangkapan kapal karena: 1) ukuran kapal (GT), semakin besar GT kapal akan berpengaruh terhadap daya muat hasil tangkapan, alat tangkap, dan ABK serta memperluas daya jelajah kapal, 2) bingkai jaring akan mempengaruhi luasan area penghadangan ikan ke arah horizontal, 3) kedalaman jaring akan berpengaruh area penangkapan secara vertikal, 4) jumlah awak kapal berpengaruh terhadap kecepatan kerja pada saat setting dan hauling, serta penyelesaian rangkaian operasi penangkapan, 5) daya lampu, kapal bouke ami biasanya beroperasi saat gelap bulan, pada saat operasi penangkapan ini menggunakan lampu sebagai alat bantunya. Pemilihan variabel produksi di atas didasarkan pada referensi penelitian–penelitian yang telah dilakukan meskipun di tempat yang berbeda. Misalnya saja variabel ukuran bingkai (m 2), daya lampu (watt), jumlah tenaga kerja dan kedalaman (m) adalah hasil penelitian dari Baskoro et al. (2007) pada bagan di Selat Sunda. Sedangkan untuk variable ukuran kapal (GT) didasarkan pada penelitian Prisantoso & Sadiyah, (2006), dengan lokasi pantai utara Jawa untuk kapal purse seine. Analisis untuk memperoleh dugaan laju tangkap bouke ami (ton/trip) menggunakan persamaan: ....................................................... (3) di mana: Lt = Laju tangkap (ton/trip) Ht = Hasil tangkapan (ton) Ut = upaya penangkapan dalam trip
Model Produksi dan Laju Tangkap ......... Berbasis di PPN Kejawanan Cirebon (Triharyuni S, et al.)
HASIL DAN BAHASAN
jaring 5-34 meter; mesh size 1 inch; berbahan polyamide (Gambar 2).
HASIL Kapal dan Alat Tangkap Bouke ami termasuk klasifikasi alat tangkap jaring angkat (lift net) dalam pengoperasiannya jaring hanya dipasang disatu sisi kapal saja, yaitu disisi kanan kapal. Bouke ami yang terdapat di PPN Kejawanan dioperasikan dengan kapal kayu yang berukuran 19118 GT dengan kekuatan mesin 45 - 380 PK. Panjang kapal yang digunakan (L) 11,65 – 25,48 m, lebar (B) 2,85 – 7,39 m dan tinggi (D) 0,8 – 2,1 meter. Jumlah ABK dalam pengoperasian berkisar 10–12 orang. Gambaran kapal bouke ami yang ada di PPN Kejawanan ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kapal yang digunakan pengoperasian bouke ami Figure 1. Boat of bouke ami
untuk
Pengoperasian bouke ami menggunakan bantuan lampu untuk menarik gerombolan cumi-cumi. Lampu yang digunakan memiliki daya 750-1.500 watt dan berjumlah 24-90 buah. Selain itu gardan juga digunakan sebagai alat bantu dalam penarikan jaring. Jumlah trip bouke ami berkisar 28 – 103 hari /trip, dalam satu hari dilakukan 5-8 kali setting. Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan setting ialah 1 jam, sedangkan untuk proses hauling dibutuhkan waktu 30 menit; dengan waktu tunggu 30 menit. Operasi penangkapan dilakukan pada malam hari ,mulai dari jam 6 sore hingga jam 5 pagi. Jaring yang digunakan memiliki panjang 10-30 m; lebar 6-36 m; kedalaman
Alat bantu lampu yang digunakan, berdasarkan fungsinya cahaya lampu dibagi menjadi 4, yaitu (http:/ /www.scribd.com/doc/76190447): a) search light, yaitu cahaya yang digunakan untuk mencari gerombolan ikan, dengan demikian jarak jangkauan dari lampu ini sangat jauh, b) attracting fish shoal, yaitu cahaya yang digunakan untuk menarik ikan ke dekat kapal, c) leading to fishable area, yaitu cahaya yang digunakan untuk menggiring ikan ketempat operasi penangkapan (di atas jaring) dan d) concentracting fish to middle area, yaitu cahaya yang digunakan untuk mengkonsentrasikan ikan di atas jaring.
Gambar 2. Desain alat tangkap bouke ami (Sumber: PPN Kejawanan) Figure 2. Design of stick held dip net (Source: Kejawanan Fishing Port) Daerah Penangkapan Daerah penangkapan ikan hendaknya mempunyai berbagai kemudahan, yaitu kemudahan pengoperasian alat tangkap, nelayan bekerja dan lainnya (Gunarso, 1985). Berdasarkan hasil wawancara dan data SIPI kapal diperoleh daerah penangkapan armada penangkapan yang berbasis di PPN Kejawanan ialah: Laut Jawa; Laut Natuna; Selat Karimata; Selat Makassar; Laut Cina Selatan; Laut Flores serta Laut Timor (Gambar 3).
137
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 135-143
Gambar 3. Daerah penangkapan bouke ami yang berbasis di PPN Kejawanan. Figure 3. Fishing ground of stick held dip net based on PPN Kejawanan Hasil Tangkapan
(Lutjanus sp) dan budun/belanak (Valamugil seheli). Berdasarkan rata-rata hasil tangkapan bulanan tahun 2006-2010, cumi-cumi merupakan hasil tangkapan yang paling dominan, rata-rata hasil tangkapan sebesar 60,51%. Hasil tangkapan cumi-cumi paling banyak pada bulan Agustus (74,87%) dan paling rendah pada bulan Maret (38,63%) (Gambar 4).
Bouke ami merupakan jenis alat tangkap yang umumnya digunakan untuk menangkap ikan pelagis yang bersifat phototaxis positif seperti ikan saury, horse mackerel dan sand launce (Monintja dan Martasuganda, 1989). Kapal bouke ami yang berbasis di PPN Kejawanan pada saat beroperasi, tidak hanya mengoperasikan bouke ami tetapi juga menggunakan pancing tangan (hand line). Hasil wawancara dengan nelayan disebutkan bahwa hasil tangkapan jaring bouke ami adalah cumi-cumi (Loligo sp), tembang (Sardinella spp), layur (Trichiurus lepturus), kembung (Rastrelliger sp), selar (Caranx sp), tongkol (Thunnus tonggol), dan jenis ikan lainnya. Sedangkan untuk hasil tangkapan pancing tangan berupa manyung (Arius sp), tenggiri (Scomberomorus sp), kakap
Pengoperasian kapal bouke ami dilakukan pada saat malam hari, pada saat sedang tidak beroperasi biasanya anak buah kapal bouke ami ini memancing ikan dengan pancing tangan. Hasil tangkapan dari alat tangkap pancing ini didominasi oleh ikan tenggiri yang mencapai lebih dari 80% dari total tangkapan pancing, kemudian disusul dengan ikan manyung (19,31%), ikan kakap (9,36%) dan terendah ikan budun/belanak (6,69%)(Gambar 5).
100%
Persentase (%)
90% 80%
Lainnya
70%
Tongkol
60%
Selar
50%
kembung
40%
Layur
30%
Tembang
20%
Cumi
10% 0% Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
Gambar 4. Rata-rata hasil tangkapan bulanan kapal bouke ami tahun 2006-2010 Figure 4. Average monthly catch of stick held dip net in periode 2006-2010
138
Model Produksi dan Laju Tangkap ......... Berbasis di PPN Kejawanan Cirebon (Triharyuni S, et al.) 100% 90%
Persentase (%)
80% 70% 60%
Manyung Tenggiri
50%
Budun
40%
Kakap
30% 20% 10% 0% Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
Gambar 5. Rata-rata hasil tangkapan pancing tahun 2006-2010 Figure 5. Average monthly catch of hand line in periode 2006-2010 Model Produksi Hasil analisis statistika dari variable-variabel produksi di atas adalah sebagai berikut (Tabel 1). Hasil analisis hubungan input dan output terlihat bahwa hanya variabel ukuran kapal (GT) yang berpengaruh secara signifikan terhadap hasil tangkapan (nilai signifikannya lebih kecil dari nilai taraf nyatanya (Tabel 1). Persamaan model produksi yang dihasilkan adalah dan
persamaan model Cobb Douglas menjadi . Hasil Uji F didapatkan bahwa hasil F hitung adalah sebesar 2,111, sedangkan F table pada á 0,1 sebesar 2,073. Hal ini berarti bahwa F hitung memiliki nilai lebih besar dari F tabel, sehingga model yang disusun dengan menggunakan fungsi Cobb Douglas ini layak digunakan untuk menduga adanya hubungan antara variabel bebas (X) dan variabel terikat (Y) dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 53%.
Tabel 1. Hasil analisis hubungan input – output kapal bouke ami Table 1.Results of relation analysis between input-output of stick held dip net No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Variabel Ukuran kapal, GT (X1) Bingkai jaring (X2) Dalam jaring (X3) Awak kapal (X4) Daya lampu (X5) intersep F hitung F tabel R2
Koef.regresi 0,381 0,152 0,309 0,127 0,139 4,401 2,111 2,073 0,53
Laju Tangkap Rata-rata laju tangkap kapal bouke ami yang mendaratkan hasil tangkapannya di PPN Kejawanan selama periode 2006-2010 sebesar 6.716,92 kg/trip atau 6,72 ton/trip. Laju tangkap terbesar terjadi pada bulan November, dimana laju tangkapnya mencapai
Sig. P value Kesimpulan 0,072 0,1 signif ikan 0,383 0,1 Tidak signifikan 0,114 0,1 Tidak signifikan 0,932 0,1 Tidak signifikan 0,211 0,1 Tidak signifikan F hitung > F tabel : Variabel bebas secara simultan berpengaruh terhadap variabel terikat
11.699,33 kg/trip, sedangkan laju tangkap terendah terjadi pada bulan Februari dan Maret yang laju tangkapnya kurang dari 2.500 kg/trip (Gambar 6). Berdasarkan hasil tangkapan menurut jenisnya, laju tangkap yang paling besar adalah laju tangkap cumi-cumi, dimana rata-rata laju tangkapnya sebesar
139
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 135-143
3.907,5 kg/trip atau sebesar 58,5% dari total laju tangkap. Untuk kelompok jenis ikan, laju tangkap cukup rendah, yaitu kurang dari 300 kg/trip (Gambar 7). 14000
La ju tangka p (kg )/unit)
12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 Jan
Feb Mar Apr Mei
Jun
Jul
Ags
Sep Okt Nov Des
Gambar 6. Rata-rata laju tangkap bulanan (kg/unit) bouke ami di PPN Kejawanan tahun 20062010 Figure 6. Average of stick held dip net catch rate (kgs/unit) in Kejawanan Fishing Port 20062010 Tembang
Layur
Kembung
Selar
Tongkol
Cumi
8000 7000
300
6000
250
5000
200
4000 150
3000
100
La ju ta ngka p cumi (kg /trip)
La ju ta ngka p (kg /trip)
350
2000
50
1000
0
0 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
Bulan
Gambar 7. Rata-rata laju tangkap (kg/trip) bouke ami di PPN Kejawanan tahun 2006-2010 Figure 7. Average of stick held dip net catch rate (kgs/unit) in Kejawanan Fishing Port 20062010 Berdasarkan data GT kapal, kapal bouke ami yang berbasis di PPN Kejawanan berkisar antara 19-118 GT. Selama penelitian, rata-rata laju tangkap kapal bouke ami yang mendaratkan hasil tangkapan di PPN kejawanan sebesar 319,86 kg/GT atau 0,31986 ton/ GT. BAHASAN Kapal bouke ami yang berbasis di PPN Kejawanan memiliki ukuran panjang maksimal 25,48 m, lebar 7,39 m dan tinggi 2,1 m dengan alat bantu lampu paling banyak sekitar 90 buah lampu dengan daya 1.500 watt dan menggunakan kapal motor dengan ukuran 19-118 GT. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
140
Nomor PER.02/MEN/2011 tentang jalur penangkapan ikan dan penempatan alat penangkap ikan dan bantu penangkapan ikan di WPP RI menunjukkan bahwa kapal bouke ami dapat beroperasi di semua WPP RI. Kapal bouke ami yang berbasis di PPN Kejawanan Cirebon beroperasi di Laut Jawa; Laut Natuna; Selat Karimata; Selat Makassar; Laut Cina Selatan; Laut Flores serta Laut Timor. Dari semua lokasi ini dapat dibedakan menjadi 4 WPP, yaitu WPP Laut Jawa, WPP Selat Karimata, Laut Natuna dan Laut Cina Selatan, WPP Selat Makasar dan Laut Flores dan WPP Laut Timor. Berdasarkan data kapal aktif, sebagian besar kapal bouke ami ini melakukan penangkapan di WPP Laut Jawa, yaitu sekitar 70% dari kapal aktif, kemudian 16% di S. Karimata, Laut Natuna dan Laut Cina Selatan, 10 % di S. Makasar dan Laut Flores dan hanya 4% yang melakukan penangkapan di Laut Timor. Banyaknya kapal bouke ami melakuk an penangkapan di Laut Jawa ini diduga terkait dengan ukuran kapal yang sebagian besar hanya berukuran 29 GT sehingga terbatas daya jelajahnya. Hufiadi & Mahiswara, (2007) menjelaskan bahwa nelayan jaring cumi Juwana beroperasi di perairan utara Jawa pada posisi sekitar 03–04°LS dan 110–114°. Saat musim puncak cumi, kapal beroperasi di sekitar utara Pulau Bawean (03–04°LS dan 110–111°BT), sedangkan pada saat tidak musim cumi, kapal beroperasi pada posisi 03–04°LS dan 111–114°BT dengan target tangkapan tenggiri (menggunakan pancing). Selanjutnya Wahyono, (2004) menyatakan bahwa daerah penangkapan nelayan jaring cumi di utara Jawa menyebar dari perbatasan pulau Sumatera hingga utara Pulau Madura, dengan kedalaman perairan sekitar 10-35 m. Bouke ami merupakan jenis alat tangkap yang umumnya digunakan untuk menangkap ikan pelagis. Hasil tangkapan bulanan kapal bouke ami yang berbasis di PPN Kejawanan selama tahun 2006-2010 menunjukkan bahwa cumi merupakan tangkapan utama (60,51%), dimana hasil tangkapan terbesar diperoleh pada bulanAgustus dan terendah pada bulan Maret (Gambar 4). Hal ini berbeda dengan hasil tangkapan jaring cumi di Juwana, dimana cumi-cumi banyak ditangkap pada bulan Nopember dan terendah pada bulan Juni (Hufiadi & Mahiswara, 2007). Perbedaan ini diduga karena lokasi penangkapan yang berbeda. Disamping menggunakan alat tangkap bouke ami, paraABK juga menggunakan pancing tangan. Pancing ini digunakan pada saat tidak mengoperasikan bouke ami dan biasanya memancing ini dilakukan pada saat siang hari. Adapun hasil tangkapan pancing ini
Model Produksi dan Laju Tangkap ......... Berbasis di PPN Kejawanan Cirebon (Triharyuni S, et al.)
didominasi oleh ikan tenggiri, kemudian disusul dengan ikan manyung, ikan kakap dan ikan budun/ belanak (Gambar 5). Hufiadi & Mahiswara, (2007) menyatakan juga bahwa jaring cumi yang berbasis di Juwana juga menggunakan pancing tangan dalam pengoperasiannya, dimana pancing ini dipergunakan di saat sedang tidak musim cumi dan ditujukan untuk menangkap ikan tenggiri. Hasil penelitian bulan April 2003 menunjukkan bahwa hasil tangkapan jaring cumi di Juwana sebagian besar adalah cumicumi dimana komposisi tangkapannya hampir separuh dari hasil tangkapannya dan untuk jenis ikan demersal berupa ikan tengiri dan manyung (Wahyono, 2004). Fak tor-faktor produksi yang dianggap mempengaruhi hasil tangkapan bouke ami berupa ukuran kapal (GT), bingkai jaring, kedalaman jaring, awak kapal dan daya lampu. Untuk mengetahui penggunaan faktor–faktor yang mempengaruhi produksi bouke ami dapat dilihat dari elastisitasnya masing-masing variabel terhadap produksi yang diperoleh dengan uraian sebagai berikut: a. Variabel ukuran kapal (X1), mempunyai koefisien regresi sebesar 0,381 dan berpengaruh nyata, setiap penambahan 1% dari penambahan ukuran kapal dalam satuan GT akan meningkatkan produksi kapal bouke ami sebesar 0,381% (apabila variabel lain tetap). Hubungan yang positif ini menunjukkan bahwa produktivitas berbanding lurus dengan semakin tingginya ukuran kapal. Semakin besar ukuran kapal juga akan semakin besar kekuatan mesin (PK) sehingga akan menentukan kecepatan kapal saat mengejar gerombolan ikan. Kapal dengan kecepatan yang relatif tinggi dapat menghalangi atau menyaingi kecepatan renang ikan. Oleh karena itu, kapal yang bergerak relatif lebih cepat dari kecepatan renang ikan akan meningkatkan peluang tertangkapnya gerombolan ikan (Fridman & Carrother, 1986 dalam Ghaffar, 2006). b. Variabel ukuran alat tangkap (X2 dan X3), mempunyai koefisien regresi sebesar 0,152 dan 0,309 dan tidak berpengaruh nyata. Hal tersebut diduga karena ukuran alat tangkap bouke ami memiliki ukuran yang relatif sama sehingga tidak berbeda nyata. c. Variabel jumlah ABK (X4), mempunyai koefisien regresi 0,127 dan tidak berpengaruh nyata. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas kapal bouke ami tidak ditentukan oleh jumlah ABK kapal. Jum lah ABK hanya berpengaruh untuk mempercepat proses penurunan alat tangkap sedangkan untuk mengangkat jaring menggunakan gardan.
d. Variabel daya lampu (X5), mempunyai koefisien regresi 0,139 dan tidak berpengaruh nyata. Hal ini berarti bahwa hasil tangkapan kapal bouke ami yang berbasis di PPN Kejawanan tidak dipengaruhi oleh daya lampu yang digunakan. Daya lampu yang digunakan oleh kapal bouke ami ini berkisar antara 750-1.500 watt dengan jumlah antara 2490 buah lampu namun pada saat pengoperasian tidak semua lampu dipergunakan dan diduga lampu yang digunakan cenderung sama untuk tiaptiap kapal sehingga penggunaan lampu ini tidak berpengaruh nyata untuk kapal bouke ami di PPN Kejawanan. Nilai koefisien determinasi (R2) yang didapat dari hasil analisis adalah 0,53. Nilai ini berarti bahwa perubahan dari hasil tangkapan bouke ami yang disebabkan variabel independen (X) adalah sebesar 53%, sedangkan sisanya yaitu sebesar 47% disebabkan karena variabel – variabel yang tidak termasuk dalam penelitian. Mengingat penelitian ini dilakukan di lapangan, maka musim, cuaca, suhu, salinitas, yang kesemuanya dapat berubah setiap saat, tidak bisa dikontrol dan berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Rata-rata laju tangkap kapal bouke ami yang mendaratkan hasil tangkapannya di PPN Kejawanan selama periode 2006-2010 sebesar 6.716,92 kg/trip dengan laju tangkap terbesar pada bulan November dan laju tangkap terendah pada bulan Februari dan Maret. Hasil serupa juga dikatakan oleh Hufiadi dan Mahiswara (2007) bahwa catch per unit of effort selama bulan April sampai dengan Desember 2005 mengalami fluktusi. Catch per unit of effort tertinggi terjadi pada bulan Nopember (2.289 kg per trip). Nilai catch per unit of effort tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh fluktuasi biomassa atau perkembangan upaya yang sangat cepat, sementara itu laju pertumbuhan stok relatif tetap. Berdasarkan jenis hasil tangkapan, nilai laju tangkap yang paling besar adalah laju tangkap cumicumi yang mencapai lebih dari 50% dari total laju tangkapan. Hal ini sesuai dengan komposisi hasil tangkapan yang didominasi oleh cumi-cumi, dimana rata-rata hasil tangkapan cumi-cumi ini sebesar 60,51%. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Hufiadi & Mahiswara, (2007) yang menyatakan bahwa tangkapan jaring cumi Juwana pada bulan Oktober 2004 didomininasi oleh ikan siro (Ambygaster sirm) sekitar 83,58% dan cumi hanya 4,55%. Hal ini diduga karena perbedaan daerah penangkapan dan upaya penangkapannya.
141
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 135-143
Nilai CPUE kapal bouke ami berdasarkan peraturan KEPMEN KP NO. 60 tahun 2010 sebesar 0,85 ton/GT. Sedangkan berdasarkan laporan kegiatan kapal (LKP-A) yang mempunyai ijin pusat tahun 2008, nilai CPUE bouke ami sebesar 2,6 ton/ GT (Direktorat PUP, 2009). Hasil perhitungan CPUE berdasarkan ukuran kapal (GT) dihasilkan nilai ratarata laju tangkap kapal bouke ami yang mendaratkan hasil tangkapan di PPN kejawanan sebesar 319,86 kg/GT atau 0,31986 ton/GT. Nilai ini dibawah nilai produktivitas berdasarkan peraturan KEPMEN KP NO. 60 tahun 2010, ini dikarenakan kapal bouke ami di PPN Kejawanan dengan semakin besar GT kapal maka daya jelajahnya semakin jauh dan semakin lamanya operasi penangkapannya, namun tidak diimbangi dengan besarnya hasil tangkapan sehingga laju tangkap dengan GT besar semakin kecil. Selama penelitian ini rata-rata laju tangkap dengan ukuran 1929 GT adalah 0,4 ton/GT, ukuran 30-58 GT (0,34 ton/ GT) dan yang ukuran 85-118 GT hanya 0,21 ton/GT. KESIMPULAN 1. Hasil tangkapan utama dari jaring bouke ami adalah cumi-cumi, dengan rata-rata komposisi hasil tangkapan sebesar 60,51% dari total hasil tangkapan. Produksi cumi-cumi paling tinggi pada bulan Agustus dan paling rendah pada bulan Maret. 2. Model produksi Cobb Douglass menunjukkan bahwa ukuran kapal (GT) yang mempengaruhi hasil tangkapan dengan persamaan 3. Rata-rata laju tangkap jaring bouke ami tahun 2006-2010 sebesar 6.716,92 kg/trip atau 6,72 ton/ trip. Kelompok cumi-cumi memiliki laju tangkap yang paling besar, yaitu sebesar 3.907,5 kg/trip atau sebesar 58,5%. Laju tangkap terbesar pada bulan Oktober dan terendah pada bulan Februari dan Maret.
Baskoro, M.S., Arief Effendy & Sugeng hari Wisudo. 2007. Analisis optimasi faktor-faktor produksi bagan motor di Selat Sunda-Provinsi Banten. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanudin. 17 (3): 2007: 240-245. Chandra, Y. 2007. Hubungan Produksi dengan Faktorfaktor Produksi Unit Penangkapan Jaring Cumi di Eretan Wetan, Kabupaten Indramayu. Skripsi (tidak dipublikasikan). Bogor: Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 74 p. Chalilludin, Daniel R. Monintja & Fedi A. Sondita. 2002. Analisis Pengembangan Perikanan Purse Seine, Cakalang (Katsuwanus plamis) di Perairan utara Nagroe Aceh Darussalam. Forum Pasca Sarjana. 25 (3): 255-263. Direktorat PUP. 2009. Indikator CPUE Kapal Izin Pusat Menurut Laporan Kegiatan Kapal Penangkap (LKP-A). www.perizinan.kkp.go.id/ xxx/files/CPUE.pdf. diunduh tanggal 2 Februari 2012 Pukul 15.29 WIB Frediansari, R.R. 2007. Model Produksi Purse Seine Di Muncar, Banyuwangi Jawa Timur. Skripsi. Universitas Brawijaya-Malang. 78 p. Ghaffar, M.A. 2006. Optimasi Pengembangan Usaha Perikanan Mini Purse seine di Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi selatan. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Gunarso. 1985. Tingkah laku ikan dalam hubungannya dengan metoda dan teknik penangkapan. Institut Pertanian Bogor. Fakultas Perikanan. Bogor. 149 p.
PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan riset perikanan kaitannya dengan perubahan iklim T.A. 2011, di Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan–Jakarta. Terima kasih kami ucapkan kepada PPN Kejawanan yang telah membantu dalam pengumpulan data.
Hufiadi & Mahiswara. 2007. Karakteristik Perikanan Jaring Cumi di Utara Jawa. J. Lit. Perikan. Ind. 13 (2): 12. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan, No. Kep. 06/Men/2010 tentang alat penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2012. Alat tangkap ikan trawl dan lift net. http://www.scribd.com/doc/76190447. di unduh tanggal 8 Februari 2012 pukul 11.00.
142
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.02/MEN/2011 tentang jalur penangkapan ikan dan penempatan alat penangkap ikan dan bantu penangkapan ikan di WPP RI.
Model Produksi dan Laju Tangkap ......... Berbasis di PPN Kejawanan Cirebon (Triharyuni S, et al.)
Prisantoso, B.I & Lilis S. 2006. Produktivitas Alat Tangkap Purse Seine Untuk Ikan Pelagis Kecil Di Pantai Utara Jawa. Jurnal Lit. Perik. Ind. 12 (1): 33-45. Monintja, D. & S. Martasuganda. 1989. Teknologi Penangkapan Ikan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Diklat Kuliah (Tidak dipublikasikan).129 p.
Sudjoko, B. 1987. Komposisi Cumi-cumi (Cephalopoda) yang Tertangkap Bagan di Perairan Probolinggo, Jawa Timur. JPPL.41. p. 81-89. Wahyono, P.B. 2004. Analisis Penangkapan Jaring Cumi pada Kapal Motor Sumber Bahari di PPP Bajomulyo. Skripsi (tidak dipublikasikan). Bogor: Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, 86 p.
143
Struktur Komunitas Ikan Pasca…...… Kabupaten Ciamis-Jawa Barat (Warsa, A. & K. Purnomo)
STRUKTUR KOMUNITAS IKAN PASCA PENEBARAN IKAN PATIN (PANGASIANODON HYPOPHTHALMUS) DI SITU PANJALU, KABUPATEN CIAMIS – JAWA BARAT STRUCTURE OF FISH COMMUNITY AFTER THE INTRODUCTION OF STRIPED CATFISH (PANGASIANODON HYPOPHTHALMUS) IN LAKE PANJALU, CIAMIS REGENCY-WEST JAVA Andri Warsa dan Kunto Purnomo Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan, Jatiluhur Teregistrasi I tanggal: 11 Oktober 2011 ; Diterima setelah perbaikan tanggal: 3 September 2012; Disetujui terbit tanggal: 4 September 2012 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Situ Panjalu merupakan perairan yang subur dengan luas 45 ha dan kedalaman 2–4 m terletak di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Perairan ini mempunyai keanekaragaman jenis ikan yang tinggi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur komunitas ikan pasca penebaran ikan patin (Pangasianodon hypophthalmus)) di Situ Panjalu. Penelitian dilakukan dengan pemasangan jaring insang percobaan di stasiun Cukang Padung, Wisata, Kampung Dukuh dan Banjar Waru pada Bulan Agustus dan Oktober 2009 dan Juni, Agustus dan Oktober 2010. Hasil tangkapan ikan juga diperoleh dari hasil tangkapan nelayan yang dicatat oleh enumerator. Hasil tangkapan jaring insang percobaan diperoleh 14 jenis dan yang dominan adalah oscar (Amphilophus citrinellus) (26%) dan nila (Oreochromis niloticus) (44%). Kedua jenis ikan tersebut masuk kedalam kategori sering tertangkap (60 – 80%) dan mempunyai nilai indeks relatif penting (66,81 dan 19,81%). Secara umum ikan di Situ Panjalu paling banyak tertangkap pada jaring insang dengan ukuran mata jaring 1,5 – 1,75 inci. Produksi ikan menurun dari 27,7 ton pada 2007 menjadi 14,9 ton pada tahun 2011. Hasil tangkapan persatuan upaya sebesar 2,4 kg/hari/nelayan dengan jenis ikan yang dominan tertangkap adalah oscar dan nila. Kurva rasio kelimpahan dan biomassa ikan dengan nilai W statistik sebesar -0,09 menunjukkan bahwa struktur komunitas ikan di Situ Panjalu berada dalam keadaan terganggu (disturbed condition). Nilai indeks keanekaragaman berkisar antara 0,701 – 2,309 yang menandakan adanya dominasi oleh oscar dan nila. KATA KUNCI: Ikan, struktur komunitas, introduksi, Situ Panjalu ABSTRACT Lake Panjalu is a eutrophic water body with a surface water area about 45 ha and 2 – 4 m depth, located at Ciamis Regency -West Java. The lake have high fish diversity. The aim of the research was to investigate community structure of fish after introduction of striped catfish (Pangasianodon hypophthalmus) in the lake. The experimental gillnet sampling was done at Cukang Padung, Wisata, Kampung Dukuh and Banjar Waru in August and October 2009 and June, August and October 2010. Fish yield data was also collected dailly by enumerator from the fishers catches. The result showed that there are 14 fish species caught by the experimental gillnet with oscar (Amphilophus citrinellus) and nile tilapia (Oreochromis niloticus) dominated the catches for about 26 and 44% of the total catches, respectively. The two species are categorized into frequently caught (60 – 80%) with an importance relative index of 66,81 and 19,81%, respectively. Generally, the fish species were frequently caught by gillnet with mesh size 1,5 - 1,75 inches. Fish yield of the lake were decreased from 27,7 tonnes in 2007 to 14,9 tonnes in 2011 with an average catch per unit of effort is 2,4 kg/day/fisher. Based on comparison of abundance – biomass curve with W statistic value – 0.09, fish community structure of the lake was classified in disturbed condition. The value of diversity index were between 0.701 – 2.309 which is indicated by dominances of oscar and nile tilapia. KEY WORDS: Fish, community structure, introduction, Lake Panjalu
___________________ Korespondensi penulis: Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Jl. Cilalawi No. 1 Jatiluhur - Purwakarta
145
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 145-156
PENDAHULUAN
(Pangasius hypophthalmus) di Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis-Jawa Barat.
Situ Panjalu merupakan badan air yang subur dengan luas 45 ha dengan kedalaman 2–4 m, terletak di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Sumber air yang masuk ke situ berasal dari beberapa mata air yang ada di sekitarnya dan juga air hujan. Situ ini hanya dimanfaatkan untuk perikanan tangkap dengan jumlah nelayan yang beroperasi berkisar 13–22 orang per hari. Kegiatan nelayan hanya merupakan kegiatan sampingan mayarakat di sekitar Situ Panjalu karena hasil tangkapan ikan yang rendah. Secara umum alat tangkap yang beroperasi di badan air ini adalah tangkul (lift net), jala (cash net ) dan yang dominan adalah jaring insang (gillnet) (Purnomo et al., 2009). Ikan patin di Situ Panjalu merupakan jenis ikan introduksi dimana ikan tersebut diintroduksi pada tahun 2009. Penebaran ikan patin ini adalah untuk mengisi relung pakan alami berupa fitoplankton yang belum termanfaatkan secara optimal oleh ikan yang telah ada (Purnomo et al., 2009). Struktur komunitas ikan yang ada pada suatu ekosistem dapat mem berikan gambaran m engenai kondisi lingkungannya (Costa & Schulz, 2010), dimana keanekaragaman dari populasi alami ikan dipengaruhi oleh variabel lingkungan dan introduksi suatu jenis ikan (Chowdhury et al., 2010). Introduksi suatu spesies merupakan salah satu ancaman terhadap keanekaragaman ikan pada suatu badan air (Gido et al., 2004; Akter & Zuberi, 2009; Masciadri et al., 2010). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur komunitas ikan pasca penebaran ikan patin
BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis–Jawa Barat. Sampel ikan diperoleh dengan cara memasang jaring insang percobaan di empat stasiun pada Agustus dan Oktober 2009 dan Juni, Agustus dan Oktober 2010. Pada periode penelitian 2009 digunakan jaring insang percobaan dengan ukuran mata jaring 1; 1,5; 2; 2,25 dan 2,5 inci sedangkan pada periode penelitian 2010 digunakan ukuran mata jaring 1; 1,25; 1,5; 1,75; 2; 2,25; 2,5; 2,75; dan 3 inci dengan panjang jaring masing – masing adalah 36 m. Lokasi pemasangan jaring insang percobaan adalah Cukang Padung, Wisata yang merupakan lokasi di sekitar Pulau Nusa Larangan, kampung dukuh dan Banjar Waru (Gambar 1). Pemilihan lokasi tersebut merupakan hasil wawancara dengan nelayan setempat yang menyatakan bahwa lokasi tersebut adalah lokasi yang banyak terdapat ikan. Ikan hasil tangkapan jaring insang percobaan diukur panjangnya menggunakan papan ukur dengan ketelitian 1,0 mm dan ditimbang beratnya menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 1,0 mg. Sampel yang diperoleh kemudian diawetkan dengan formalin 10% dan diidentifikasi berdasarkan buku Kottelat et al., 1993 di Laboratorium Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan, Jatiluhur dan juga dicocokan dengan data dari Fishbase.
Gambar 1. Lokasi Penelitian. Figure 1. Research locations.
146
Struktur Komunitas Ikan Pasca…...… Kabupaten Ciamis-Jawa Barat (Warsa, A. & K. Purnomo)
Hasil tangkapan ikan dihitung berdasarkan atas data hasil tangkapan nelayan yang dicatat oleh empat orang enumerator. Pencatatan dilakukan setiap hari selama periode Juli 2009 – Oktober 2010. Data yang dicatat adalah hasil tangkapan tiap jenis ikan dari setiap alat tangkap yang digunakan di tiga lokasi pendaratan ikan yaitu Cukang Padung, Kampung Dukuh dan Banjar Waru. Analisis Data Hasil tangkapan ikan dianalisis secara terpisah berdasarkan waktu pengamatan untuk setiap spesies ikan yang dicatat. Indeks kelimpahan ikan dianalisis berdasarkan hasil tangkapan persatuan usaha (CPUE) (Falke & Gido, 2006) baik dalam jumlah (NCPUE) maupun berat total ikan (WCPUE) (Bobori & Salvarina, 2010). Untuk membedakan hasil tangkapan ikan setiap periode pemasangan jaring insang percobaan, dilakukan dengan menggunakan one-way analisis of variance (ANOVA) dengan bantuan perangkat MS Exel serta analisis cluster (Cheng, 2004) menggunakan software minitab 15. Indeks keanekaragaman dihitung dengan indeks ShannonWiener (H’) (Shannon-Weaver, 1949 dalam Neofitou et al., 2010; Lakra et al., 2010) dengan rumus: H’ =
(ni/N log2(ni/N)).................................. (1)
dimana:
komunitas ikan (Clark & Warwick, 2001) dan nila W statistik dihitung dengan persamaan Clarke (1990): ...................................... (3) dimana: Bi Ai S
= = =
biomassa species ke-i (%) kelimpahan species ke-i (%) jumlah species
Nilai relatif penting jenis ikan yang tertangkap dihitung dengan persamaan Kolding dalam De Silva, 2001. % IRI = 100* [(%Wi + % Ni)%Fi]/[S((%Wi + %Ni)% Fj)] ..........................................(4) dimana: IRI = nilai indeks relatif penting spesies ikan ke i W = persentase berat dari spesies ke i dalam total tangkapan N = persentase jumlah dari spesies ke i dalam total tangkapan F = frekwensi keberadaan spesies ke i dalam total tangkapan HASIL DAN BAHASAN HASIL
H’= indeks keanekaragaman Shannon-Wiener i = jumlah individu setiap spesies N= jumlah total semua spesies Species contancy (C) dihitung untuk mengetahui intensitas tertangkapnya suatu jenis ikan dengan mengukur frekwensi tertangkapnya spesies ikan tersebut pada setiap pemasangan jaring insang percobaan (Flores et al., 2009) dengan rumus: C = (x/n) x 100 %.......................................(2)
Hasil tangkapan selama penelitian dengan menggunakan jaring insang percobaan diperoleh 14 jenis ikan yaitu beunteur (Puntius binotatus), oscar (Amphilophus citrinellus), Keril (Aequidens rivulatus), goldsom (Aequidens goldsom), patin (Pangasianodon hypophthalmus), betok (Anabas testudineus), nila (Oreochromis niloticus), lele (Clarias batrachus), kongo (Parachromis managuensis), sapu–sapu (Liposarcus pardalis), gabus (Channa striata), corencang (Cyclocheilichthys apogon), mas (Cyprinus carpio) dan sepat (Trichogaster pectoralis) (Gambar 2B).
dimana: x n
= =
frekuensi tertangkapnya ikan frekuensi pemasangan alat tangkap
Nilai yang diperoleh kemudian dikelompokkan berdasarkan klasifikasi Lasso (2000) yaitu C1 (jarang) <25%, C2 (sedang) C>25% dan < 50% dan C3 (sering) e 50%. Metode abundance – biomass comparison (ABC) digunakan untuk menganalisa kondisi struktur
Ikan nila merupakan jenis ikan introduksi yang dilakukan pada 2006 dengan tujuan untuk meningkatkan hasil tangkapan nelayan. Peningkatan produksi tersebut terjadi dari 27,7 ton pada tahun 2006 menjadi 36,6 ton pada 2007 (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Ciamis, 2010). Hasil penelitian pada tahun 2011 menunjukkan penurunan produksi ikan menjadi 14,9 ton ketika ikan oscar dan nila menjadi dominan. Hal yang sama juga terjadi di Danau Mooat dimana introduksi ikan mujair dan nila pada awalnya mampu meningkatkan hasil tangkapan,
147
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 145-156
namun setelah mujair dan nila menjadi dominan, hasil tangkapan menjadi menurun (Husnah et al., 2008). Pada beberapa ekosistem, ketika spesies eksotik dominan baik dari segi jumlah dan biomassa akan memberikan dampak pada penurunan biodiversitas ikan (Wengeler et al., 2010). Berdasarkan atas nilai hasil tangkapan persatuan usaha (Tabel 1) menunjukkan bahwa ikan nila dan
4,0% 7,2%
oscar merupakan jenis ikan yang melimpah baik dari segi jumlah maupun berat total ikan. Hal tersebut terjadi pada semua periode pengamatan yang menunjukkan adanya dominansi kedua jenis ikan tersebut. Pada periode pengamatan 2009 ikan yang banyak tertangkap adalah ikan nila sedangkan pada periode penelitian 2010 ikan yang dominan tertangkap adalah ikan oscar.
Nila
1,6%
1,6% 0,03% 0,2%
Udang
11,3%
4,7%
Nila
0,14% 0,1% 0,21%
Oscar
18,1%
Mas
Beunteur Keril Golsom Betok
Oskar
27,4%
Patin
9,4%
Kongo
1,6%
Tawes
Lele
2,0%
12,4% 4,3%
43,0%
Lele
Gabus Corencang
0,6% 49,6%
Patin
Mas Sepat Sapu - sapu
A B
Gambar 2. Komposisi hasil tangkapan ikan berdasarkan tangkapan nelayan (A) dan jaring insang percobaan (B) Figure 2. Fish catch composition based on fisher catches (A) and experimental gillnets catches (B)
148
Tabel 1. Hasil tangkapan per satuan upaya (kg/hari) gillnet percobaan dalam jumlah individu dan berat total untuk setiap jenis ikan Tabel 1.Catch per unit effort of experimental gillnet (kg/day) in number of individual and total weight for fish species
Struktur Komunitas Ikan Pasca…...… Kabupaten Ciamis-Jawa Barat (Warsa, A. & K. Purnomo)
149
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 145-156
Ikan oscar dan nila merupakan jenis ikan yang dominan tertangkap di Situ Panjalu baik dari tangkapan jaring insang percobaan dan data dari enumerator (Gambar 2) dengan persentase masing – masing adalah 26 -50 % dan 18 - 44%. Hasil penelitian Suryandari & Purnomo, (2010) juga menunjukkan hal yang sama dimana ikan oscar dan nila juga merupakan hasil tangkapan yang dominan. Ikan oscar di Waduk Ir H Djuanda merupakan jenis ikan omnivora cenderung karnivora yang banyak memanfaatkan Cyanophyceae, Bacillariophycaea, Rotifera, Cladocera dan potongan ikan dan mempunyai luas relung yang besar sehingga mampu memanfaatkan makanan alami yang ada (Nurnaningsih et al., 2004), sedangkan Tjahjo et al. (2009) menyatakan bahwa ikan oscar di Waduk Jatiluhur bersifat karnivora. Ikan oscar di Situ Panjalu juga bersifat omnivora dengan luas relung besar yang mampu memanfaatkan fitoplankton, ikan dan detritus (Suryandari & Purnomo, 2010). Perbedaan kebiasaan makan ikan oscar tersebut kemungkinan disebabkan oleh perbedaan kelimpahan makanan yang tersedia. Kemampuan ikan oscar untuk memanfaatkan jenis pakan yang tersedia merupakan salah satu faktor yang menyebabkan ikan tersebut menjadi dominan pada suatu badan air. Hal tersebut memperlihatkan bahwa kompetisi ikan nila dengan jenis ikan lainnya yang ada di Situ Panjalu dalam memanfaatkan pakan alami sangat kecil sehingga ikan ini dapat berkembang dengan baik. Ikan nila juga merupakan jenis ikan yang dapat tumbuh dengan cepat di berbagai habitat air tawar (Putri & Tjahjo, 2010). Di Waduk Ir. Djuanda ikan nila merupakan jenis ikan omnivora yang memanfaatkan fitoplankon, tumbuhan, potongan ikan dan seresah (Nurnaningsih et al., 2004). Ikan nila yang terdapat diperairan Danau Abu-Zabal, mesir merupakan jenis ikan omnivora dengan pakan alaminya antara lain rotifers,cladoceranes, ostracods, copepods, mollusca dan macrophyta (Shalloof & Khalifa, 2009). Perkembangan kedua jenis ikan yang dominan tersebut didukung oleh ketersediaan makanan alami di Situ Panjalu (Suryandari & Purnomo, 2010). Perairan ini adalah perairan yang subur (eutrofik) dengan kelimpahan individu fitoplankton berkisar 1x103–4,4x105 sel/L sehingga cukup menyediakan makanan alami bagi ikan nila tersebut. Ikan nila di Danau Victoria merupakan ikan introduksi menjadi ikan yang dominan tertangkap dan menekan keberadaan ikan asli danau tersebut (Njiru et al., 2005). Ikan ini mampu hidup pada kualitas air yang kurang baik, mempunyai kemampuan beradaptasi dengan pakan alami yang tersedia dan mampu
150
tumbuh dengan cepat, mempunyai kemampuan adaptasi terhadap berbagai kondisi lingkungan dan mampu bertahan pada konsentrasi oksigen rendah dan mempunyai fekunditas yang tinggi (Offem et al., 2007; Njiru et al., 2004; Quiros & Mari, 1999; Shipton et al., 2008). Genus Tilapia yaitu Oreochromis nilotica, O. aurea dan Tilapia zili merupakan jenis ikan yang juga dominan di Laguna Kycegic, Turkey (Akin et al., 2005). Introduksi spesies asing juga menjadi dominan di beberapa badan air di Republik Czech (Lusk et al., 2010). 2,5 2 1,5 H'
BAHASAN
1 0,5 0 Agustus 2009
Oktober 2009
Juni 2010
Agustus 2010
Oktober 2010
Gambar 3. Nilai indeks keanekaragaman ikan di Situ Panjalu. Figure 3. Fish diversity index at Situ Panjalu. Keanekaragaman komunitas ikan pada suatu badan air merupakan aspek dasar ekologi dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk pengelolaan dan pengaturan dalam ekploitasi sumber daya ikan dan juga merupakan pendekatan awal untuk mengetahui tingkat kesehatan suatu ekosistem (Estrada et al., 2008). Nilai indeks keanekaragaman ikan di Situ Panjalu berkisar antara 0,701 – 2,309 (Gambar 3), namun jika hasil tangkapan tanpa dibedakan periode pengamatannya, nilai indeks keanekaragaman adalah 1,635. Nilai keanekaragaman ikan di Situ Panjalu lebih tinggi jika dibandingkan di Danau Toba yang memiliki nilai keanekaragaman 1,12 – 1,37 (Siagian, 2009) dan lebih rendah jika dibandingkan dengan Waduk Chenderoh, Malaysia yaitu 3,21- 3,32 (Wai & Ali, 2009). Berdasarkan atas nilai keanekaragamannya, struktur komunitas ikan di Situ Panjalu berada dalam kondisi yang tidak seimbang yang mana terdapat dominansi yang nyata oleh ikan nila dan oscar. Introduksi ikan patin di Situ Panjalu tidak akan mendesak keberadaan ikan lainnya yang telah ada pada badan air tersebut. Hal yang sama juga terjadi dimana introduksi ikan patin di Waduk Malahayu tidak mendesak keberadaan ikan lainya (Purnomo & Warsa, 2011). Berdasarkan hasil tangkapan jaring insang percobaan, ikan patin (11%) menempati urutan
Struktur Komunitas Ikan Pasca…...… Kabupaten Ciamis-Jawa Barat (Warsa, A. & K. Purnomo)
Panjalu ikan nila, sepat dan mujair merupakan jenis ikan yang dominan dalam memanfaatkan fitoplankton sebagai pakan alaminya yaitu sebesar 90, 85 dan 56%. Ikan lainnya yang juga memanfaatkan fitoplankton adalah golsom (Aequidens goldsom) dan selebra (Amphilopus sp) dengan persentase yang sangat kecil yaitu 10% dan 15% (Suryandari & Purnomo, 2010).
35
200
30
180 160
25
Jumlah ikan (ekor) Number of fish (ind)
140 120
20
100
1,001,25 1,50
Tahun 2009
2,00
2,25
Betok
Nila
Patin
Patin
Betok
Gabus
Lele
1,75
Oscar
Lele
40 20 0
Keril
Beunteur Keril Patin Oskar Goldsom Patin Nilem Oskar Betok Patin Oskar Nila Keril
0
Sepat
5
80 60
Oscar
10
Oscar
15
Oscar
Jumlah individu (ekor) Number (ind)
ke tiga setelah ikan nila (18%), oscar (50%). Hal ini terjadi karena ikan patin selain memanfaatkan fitoplankton (Purnomo et al., 2003) juga mampu memanfaatkan moluska sebagai pakan alaminya (Purnomo & Warsa, 2011). Hal ini juga didukung oleh biomassa fitoplankton yang cukup tinggi di Situ Panjalu yaitu 757,1-2,941 mg/m3 dengan rata-rata 2018 mg/m3 (Warsa & Purnomo, 2011). Di Situ
2,5 2,753
Tahun 2010
Gambar 3. Komposisi hasil tangkapan ikan berdasarkan ukuran mata jaring di Situ Panjalu Figure 3. Fish catch composition based on gillnet mesh size at Situ Panjalu
Hasil tangkapan dengan jaring insang percobaan dapat dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu Kelompok I (periode pengamatan Agustus dan Oktober 2009), Kelompok II (peride pengamatan Juni, Agustus dan Oktober 2010) (Gambar 4). Pengelompokan tersebut didasarkan pada jumlah total individu dan jumlah tiap spesies yang dominan tertangkap. Pada kelompok I ikan yang dominan tertangkap adalah nila dan keril dengan jumlah individu total yang tertangkap masing – masing adalah 160 dan 57 ekor. Pada kelompok II jumlah individu yang tertangkap masing – masing adalah 317 dan 414 individu dengan ikan dominan tertangkap adalah nila dan oscar. Analisa dengan
ANOVA juga menunjukkan hal yang sama, dimana hasil tangkapan setiap periode pengamatan berbeda nyata denga nilai p<0,05. Pengelompokkan ini didasarakan pada jumlah spesies ikan yang tertangkap pada setiap periode penelitian. Pada Kelompok I jumlah spesies ikan yang tertangkap berjumlah tujuh sepesies ikan yaitu nila, beunteur, keril, golsom, betok dan patin. Pada kelompok II jumlah spesies ikan yang tertangkap berjumlah 12 spesies dimana ikan beunteur dan keril tidak tertangkap. Dendrogram Single Linkage; Correlation Coefficient Distance 74.46
Similarity
Secara umum ikan di Situ Panjalu dominan tertangkap pada jaring insang dengan ukuran mata jaring 1,5 – 1,75 inci baik dalam segi jumlah individu maupun jumlah spesies ikan (Gambar 3). Ikan oscar dan nila merupakan jenis ikan yang tertangkap pada semua ukuran mata jaring insang percobaan yang digunakan namun kedua jenis ikan tersebut dominan tertangkap pada ukuran mata jaring 1,0 – 1,75. Frekwensi tertangkapnya ikan nila dan oscar masuk kedalam kategori sering tertangkap dengan nilai 60 – 80%. Untuk ikan keril dan gabus masuk kedalam kategori umum tertangkap dengan nilai 40% sedangkan ikan beunteur, kongo, corencang, mas dan sepat termasuk kedalam kategori yang jarang tertangkap dengan nilai 20%.
82.97
91.49
100.00
Agust-09
Okt-09
Jun-10
Agst 2010
Okt-10
Gambar 4. Dendogram pengelompokan hasil tangkapan berdasarkan waktu sampling Figure 4. Clustering of catch composition based on sampling periode.
151
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 145-156
Hasil analisa kurva rasio kelimpahan-biomassa, secara umum komunitas ikan di Situ Panjalu menunjukkan bahwa komunitas berada dalam keadaan terganggu (distrubed condition) (Gambar 5). Hal ini disebabkan oleh adanya dominansi spesies ikan tertentu yaitu oscar dan nila. Pada penelitian 2009 persentase kumulatif biomassa berada di atas kurva kumulatif jumlah individu yang disebabkan oleh ukuran mata jaring insang percobaan yang digunakan berukuran besar sehingga ikan yang tertangkap berjumlah sedikit namun dengan bobot total yang 100
cukup tinggi. Pada penelitian periode penelitian 2010, terjadi hal sebaliknya dimana kurva persentase kumulatif jumlah individu berada diatas kurva persentase kumulatif biomassa ikan. Hal ini menunjukkan bahwa ikan yang dominan tertangkap yang berukuran kecil (Patrick & Dereu, 1990). Introduksi suatu jenis ikan misalnya nila akan menurunkan keanekaragaman jenis pada suatu badan air (Welcomme & Vidthayanom, 2003) sehingga berdampak pada ketidakseimbangan atau perubahan struktur komunitas ikan (Agostinho et al., 2010). 100 90
60
% Kumulatif
% Kumulatif
80
W = 0,168
40
Biomassa Jumlah
20
80 70
30 1
2
3 4 5 Urutan spesies
6
7
1
Agustus 2009
2 Urutan spesies
90
90
80
80
70
% Kumulatif
100
0,168
60
Biomassa Jumlah
50 40
70
W = 0,168
60
Biomassa Jumlah
50 40
30
30 1
2
3 4 Urutan spesies
5
6
1
Juni 2010
2
3
4 5 6 Urutan spesies
7
8
Agustus 2010 100
90
90
80
80
70
% Kumulatif
100
W = -0,104
60
Biomassa Jumlah
50
70
40 30
Oktober 2010
3
4 5 6 Urutan spesies
7
8
Biomassa Jumlah
50
30 2
W = -0,228
60
40 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Urutan spesies 2009-2010
Gambar 5. Kurva perbandingan kelimpahan-biomassa Figure 5. Abundance-biomass comparison curve.
152
3
Oktober 2009
100
% Kumulatif
Biomassa Jumlah
50 40
0
% Kumulatif
W = 0,350
60
Struktur Komunitas Ikan Pasca…...… Kabupaten Ciamis-Jawa Barat (Warsa, A. & K. Purnomo)
Nila W statistik yang dihitung tanpa membedakan periode sampling adalah – 0,09 menunjukkan bahwa terjadi gangguan terhadap struktur komunitas ikan di Situ Panjalu. Hal ini akan berakibat sebagian besar ikan akan beradaptasi dengan strategi r dimana ikan akan tumbuh cepat namun berukuran kecil (Rocha & Freire, 2009). Menurut periode sampling, nilai W statistik menunjukkan penurunan, yang berarti
struktur komunitas ikan di Situ Panjalu semakin terganggu. Namun ikan nila yang merupakan jenis ikan introduksi dapat berkembang dengan baik yang mana nila W statistiknya selama penelitian berkisar 0,004 – 0,325. Nilai W positif yang menunjukkan bahwa persentase biomassa ikan yang tertangkap lebih besar dari persentase jumlah individu (Clarke, 1990).
Tabel 2. Nilai indeks relatif penting ikan di Situ Panjalu Table 2.Value of relative importance index at Situ Panjalu Fish species Nila Oscar Beunteur Keril Golsom
W
N
F
%W
%N
%F
7022,6
162
11
16986,6 199
950 24
691
IRI
% IRI
20,01
12,00
19,30
0,20
19,81
10 2
48,40 0,57
70,37 1,78
17,54 3,51
0,67 0,00
66,81 0,26
55
3
1,97
4,07
5,26
0,01
1,02
1,46
1,78
8,77
0,01
0,91
512,2
24
5
Betok
3223,2
76
6
9,18
5,63
10,53
0,05
5,00
Patin
4188
34
6
11,93
2,52
10,53
0,05
4,88
Kongo Lele
113,2 578,51
6 6
3 5
0,32 1,65
0,44 0,44
5,26 8,77
0,00 0,01
0,13 0,59
Gabus
1464,1
6
2
4,17
0,44
3,51
0,01
0,52
12
1
1
0,03
0,07
1,75
0,00
0,01
Mas
44,62
1
1
0,13
0,07
1,75
0,00
0,01
Sepat
64,85
5
2
0,18
0,37
3,51
0,00
0,06
Corencang
Ikan oscar dan nila merupakan jenis ikan yang penting di Situ Panjalu dengan nilai indeks relatif penting masing – masing adalah 66,81 dan 19,81% (Tabel 2). Hal ini menandakan bahwa kedua jenis ikan tersebut dominan dari segi jumlah individu, total berat dan frekuensi tertangkapnya. Ikan oscar yang merupakan jenis ikan dominan terdapat di Danau Tanganyika dan Apoyo dan juga di beberapa badan air tawar di Australia (Corfield , 2008; Stolting, 2004) dan juga di Waduk Ir. H. Djuanda, Purwakarta (Purnamaningtyas & Tjahjo, 2010). Di Waduk Ir H Djuanda, ikan oscar dan nila merupakan jenis ikan yang dominan tertangkap dengan alat tangkap jaring insang ukuran mata jaring 1 – 4,5 inci dengan persentase masing – masing berkisar 13,49 – 62,10% dan 8,16 – 62,9%. Adanya intoduksi ikan eksotik pada suatu ekosistem air tawar akan berdampak pada struktur komunitas ikan yang ada pada badan air tersebut yaitu penurunan keanekaragaman jenis ikan asli (Bader, 1999; Gadinho & Ferreira, 2000; Anderson, 2004).
Keberadaan spesies asing pada suatu eksosistem air tawar akan berdampak pada dominasi spesies asing tersebut pada struktur komunitas ikan, seperti yang terjadi di Danau Banyoles, Spanyol (Berthou & Amich, 2002). Introduksi ikan predator atau karnivora (piscivorous fish) akan menyebabkan penurunan biomassa dan keanekaragaman ikan – ikan kecil sehingga mempengaruhi struktur komunitas ikan (Bertolo & Mgnan, 2006; Jackson et al., 2001; Schulze et al., 2006). KESIMPULAN Hasil tangkapan dengan menggunakan jaring insang percobaan diperoleh 14 jenis dengan ikan dominan adalah oscar (Amphilophus citrinellus) (26%) dan nila (Oreochromis niloticus) (44%). Kedua jenis ikan tersebut masuk ke dalam kategori sering tertangkap (60 – 80%) dan mempunyai nilai indeks relatif penting (66,81 dan 19,81%). Introduksi ikan patin tidak mendesak keberadaan jenis-jenis ikan yang sudah ada di Situ Panjalu.
153
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 145-156
DAFTAR PUSTAKA Agostinho, A. A., F. M. Pelicice., L. C Gomes & H. F Julio Jr. 2010. Resrvoir fish stocking: when one plus may be less than two. Natureza & Conservacao. Brazilian Journal of nature conservation. 8 (2). 103-111. Akin, S . E. Buhan, K. O. Wineiller & H. Yilmaz. 2005. Fish assemblages structure of Koycegiz Lagoon-Estuary, Turkey: Spatial adn temporal distribution patterns in relation to environmental variation. Estuary, coastal and shelf science. p. 671 – 684. Akter, A & M. I Zuberi. 2009. Invasive alien species in Northern Bangladesh: Indetification, inventory and impacts. International Journal of Biodiversity and Conservation .1 (15): 129–134. Anderson, J. R. & W. R. Gilchrest. 2004. Evaluation of fish community structure in Trapa natans beds in the middle Hudson River Estuary. Section IV: 25 In W. C Nieder & J. R. Waldman (eds), Final reports of the Tibor T. Polgar Fellowship program 2003. Hudson River Foundation. 25 p. Arthur, R. I K. Lorenzen., P. Homekingkeo., K. Sidavong., B. Sengvilaikham & C. J Garaway. 2010. Assessing impact of introduced aquaculture species on native fish communities: Nile tilapia and major carp in SE Asian freshwater. Aquaculture 299. p.81 – 88. Bader, J. M. 1999. Experimental evaluation of communiy structure in aquatic ecosytems. 207222p, dalam Tested studies for laaboratory teaching. Volume 20 (S. J. Karcher: Editor). Proceedings of the 20th workshop/conference of association for biology laboratory education (ABLE). 399 p. Bertolo, A & P. Magnan. 2006. Spatial and environmental correlates of fish community structure in Canadian Shield lakes. Can. J. Fish. Aquat. Sci 63. p. 2780 – 2792. Berthou, E. G & R. M. Amich. 2002. Fish ecology and conservation in Lake Banyoles (Spain): the neglected problem of exotic species. in Cowx, I. G Edt: Management and ecology of lake and reservoir fisheries. Blackwell science. p. 223 – 241. Bobori, D. C & I. Salvarina. 2010. Seasonal variation of fish abundance and biomass in gillnet catches
154
of an East Mediteranean lake: Lake Doirani. Journal of Environmental Biology 31 (6). 995 – 1.000. Chen, C.C. 2004. Statistical approaches on discriminating spatial variation of species diversity. Bot. Bull. acad. Sin. p. 339-346. Chowdhury M. S. N., M. S. Hossain., N. G. Das & P. Barua. 2010. Environmental variables and fisheries diversity of the Naaf River Estuary, Bangladesh. J Coast Conserv. p. 1- 18. Clarke, K. R. 1990. Comparison of dominance curve. J. Exp. Mr Biol. Ecol 138. p. 143 – 157. Clarke, K. R. & R. M. Warwick. 2001: Change in marine communities: An approach to statistical analysis and interpretation, 2nd Edn. PRIMERE: Plymouth. Natural Environment Research Council, UK. 144 p. Corfield J., B. Diggles, C. Jubb, R. M. McDowall, A. Moore, A. Richards & D. K. Rowe, 2008. Review of the impacts of introduced ornamental fish species that have established wild populations in Australia.Commonwealth of Australia. 284 p. Clarke, K. R. 1990. Comparison of dominance curve. J. Exp. Mr Biol. Ecol 138. p.143–157. Costa, P. F & U.H Schulz. 2010. The fish community as an indicator of biotic integrity of the sreams in the Sinos River basin, Brazil. Braz. J. Biol 70 (4) (Suppl). p. 1195 – 1.205. De Silva, S S. 2001. Reservoir and culture-based fisheries: biology and management. Proceedings of an International Workshop held in Bangkok, Thailand from 15–18 February 2000. ACIAR Proceedings No. 98. 384 p. Dinas Kelautan dan Perikanan Ciamis, 2010. Form Perairan umum pendaratan Kabupaten Ciamis. Estrada. J. C. G., R. Vasconcelos & M. J. Costa. 2008. Estimating fish community diversity from environmental features in the Tagus estuary (Portugal): Multiple Linier Regression and Artificial Neural Network approaches. J. Appl. Ichthyol 24. p. 150 – 162. Falke, J. A& K. B Gido. 2006. spatial effect of reservoirs on fish assemblages in great plains streams in Kansas USA. River Res. applic 22. p. 55 – 68.
Struktur Komunitas Ikan Pasca…...… Kabupaten Ciamis-Jawa Barat (Warsa, A. & K. Purnomo)
Flores S., P. R. Araya & L. M. Hirt. 2009. Fish diversity and community structure in a tributary stream of the Parana River. Acta Limnol. Bras 21 (1). p. 57 – 66. Godinho, F. N & M. T Ferreira. 2000. Composition of endemic fish assemblages in realtion to exotic species and river regulation in temperate stream. Biological invansions 2. p. 231–244.
options?. Lakes & Reservoirs: Research and Management 10: p. 147–155. Njiru, M.,Okeyo-Owuor, J. B, Muchiri, M., & Cowx I.G., 2004. Shift in feeding ecology of Nile tilapia in Lake Victoria, Kenya. African Journal of Ecology 42, p. 163-170.
Gido, K. T., J. F Schaefer & J. Pigg. 2004. Pattern o fish invasion in the Great Plains of North America. Biological Conservation 118. p.121–131.
Nurnaningsih, M.F. Rahardjo & S. Sukimin. 2005. Pemanfaatan makanan oleh ikan-ikan dominan di perairan waduk Ir. H. Djuanda [Utilization of Food by Dominant Fishes at Ir. H. Djuanda Reservoir]. Jurnal lktiologi Indonesia 4 (2). p. 61 – 65.
Husnah., D. W. H Tjahjo., A. Nastiti., D. Oktaviani., S.H Nasution & Sulistiono. 2008. Status keanekaragaman hayati sumberdaya perikanan perairan umum di Sulawesi. Balai Riset Perairan Umum. 140 p.
Offem, B. O., Y. Akegbejo-Samsons & I. T. Omoniyi. 2007. Biological assessment of Oreochromis niloticus (Pisces: Cichlidae; Linne, 1958) in a tropical floodplain river. African Journal of Biotechnology 6 (16): 1.966-1.971.
Jackson, D. A., P. R Peres – Neto & J. D. Olden. 2001. What controls who is where in freshwater fish communities – the roles biotic, abiotic, and spatial factors. Can. J. Fish. Aquat. Sci 58. p.157– 170.
Patrick, M. M & J. Dereu. 1990. Use of the abundance/ biomass comparison method for detecting environmental stress: some consiredations based on intertidal macrozoobenthos and bird communities. Journal of applied ecology 27. p. 2010–223.
Kottelat, M., Whitten, A. J, Kartikasari, S. N & Wirjoatmodjo, S. 1993. Freshwater fishes of western Indonesia and Sulawesi (Ikan air tawar Indonesia bagian barat dan Sulawesi). Periplus. Hongkong. 293 p. Lakra. W. S., U. K. Sarkar., R.S Kumar., A. Pandey., V. K. Dubey & O. P Gusain 2010. Fish diversity, habitat ecology and their conservation and management issues of a tropical River in Ganga basin, India. Environmentalist. p.1-14. Lusk, S., V Luskova & L. Hanel. 2010. Alien fish species in the Czech Republic and their impact on the native fish fauna. Folia Zool 59 (1). p. 57-72. Masciadri, S., E. Brugnoli & P. Muniz. 2010. InBUy database of invasive and alien species (IAS) in Uruguay: a useful to confront this threat to biodiversity. Biota Neotrop 10(4). p. 205–213. Neofitou, N., D. Vafidis & S. Klaoudatos. 2010. Spatial and temporal effect of fish farming on benthic community structure in a semi-enclosed gulf of the Eastern Mediteranean. Aquacult Environ Interact 1. p. 95-105. Njiru. M, E. Waithaka, M. Muchiri, M. van Knaap & I. G. Cowx. 2005. Exotic introductions to the ûshery of Lake Victoria: What are the management
Purnomo, K., E. S. Kartamihardja & S. Koeshendrajana. 2003. Pertumbuhan, mortalitas dan kebiasaan makan ikan patin siam (Pangasius hypophthalmus) di Waduk Wonogiri. Jurnal Penelitain Perikanan Indonesia. 9 (3): 13-20. Purnomo K., E.S Kartamihardja. A Nurfiarini & Z. Nasution. 2009. Penelitian perikanan berbasis budidaya (Culture based fisheries, CBF) di perairan waduk/danau di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pusat Riset Perikanan Tangkap (tidak dipublikasi). 47 p. Purnomo, K & Warsa, A. 2011. Struktur komunitas dan relung makanan ikan pasca introduksi ikan patin siam (Pangasius hypophthalmus) di Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes. J. Lit. Perikan. Ind 17(1). 73-82. Purnamaningtyas S.E & D.W.H Tjahjo. 2010. Beberapa aspek biologi ikan oscar (Amphilophus citrinellus) di Waduk Ir H Djuanda, Jatiluhur, Jawa Barat. Bawal 3 (1): 9-15. Putri, M. R.A & D.W.H Tjahjo. 2010. Analisa hubungan panjang bobot dan pendugaan parameter pertumbuhan ikan nila (oreochromis niloticus) di Waduk Ir. H. Djuanda. Bawal. 3 (2). 85–92.
155
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 145-156
Quiros, R & Mari, A. 1999. Factor contributing to outcome of stocking programmes in Cuban reservoirs. Fiheries managenet and ecology 5. p. 241–254. Schulze, T., U. Baade., H. Dorner., R. Eckmann. S. S. H – Borer., F. Holker & T. Mehner. 2006. Response of the residential piscivorous fish community to introduction of a new predator type in a mesotrophic lake. p. 2.202–2.212. Shallof K. A. Sh & N. Khalifa. 2009. Stomach contents and feeding habits of Oreochromis niloticus (l.) from Abu-Zabal Lakes, Egypt. World apllied science journal 6 (1): 1 –5. Shipton, T. D. Tweddle & M. Watts. 2008. Introduction of the Nile Tilapia (Oreochromis niloticus) into the Eastern Cape. The Eastern Cape Development Corpration. 29 p. Siagian, C. 2009. Keanekaragaman dan kelimpahan ikan serta keterkaitanya dengan kualitas perairan di Danau Toba, Balige Sumatera Utara. Tesis. USU Repositori. 82 p. Stolting, K. N. 2004. The Midas Cichlid species flock: Incipient sympatric speciation. Thesis. Frachbereich biologie der universiat konstanz. 86 p. Suryandari, A & K. Purnomo. 2010. Luas relung dan kompetisi pakan komunitas ikan di Situ Panjalu. Bawal 3 (3): 159–164.
156
Tjahjo, D. W. H., Purnamaningtyas, S. E & A. Suryandari. 2009. Evaluasi peran jenis ikan dalam pemamfaatan sumberdaya pakan dan ruang di Waduk Ir H Djuanda, Jawa Barat. J. Lit. Perikan. Ind 15 (4): 267–276. Wai, K. K & A.B Ali. 2009. Chenderoh Reservoir, Malaysia: Fish community and artisanal fishery of a small mesotrophic tropical reservoir. School of biological science. Universiti sains Malaysia. p.1-21. Warsa, A & K. Purnomo. 2011. Peran fitoplankton bagi ikan patin (Pangasius hypophhalmus) introduksi di Situ Panjalu, Kabuaten Ciamis-Jawa Barat. Prosiding Forum Nasional Pemacuan Sumberdaya Ikan III. editor Kartamihardja, E. S; M. F Rahardjo & K. Purnomo.p.1-9. Warwick, R. M. 1986. A new method for detecting pollution effects of marine macrobenthic communities. Mar. Biol 92. 557–562. Welcomme, R. & C. Vidthayanom. 2003. The impacts of introductions and stocking of exotic species in the Mekong Basin and policies for their control. MRC Technical Paper No. 9, Mekong River Commission, Phnom Penh. 38 p. Wengeler, W. R., D. A Kelt & M. L Johnson. 2010. Ecological consequences of invansive lake trout on river otters in Yellowstone National Park. Biological conservation 143. p. 1.144–1.153.
Distribusi Spasial dan Temporal ……………….Perairan di Teluk Jakarta (Nastiti, A.S et al.)
DISTRIBUSI SPASIAL DAN TEMPORAL JUVENIL UDANG DALAM KAITANNYA DENGAN LINGKUNGAN PERAIRAN DI TELUK JAKARTA SPATIAL AND TEMPORAL DISTRIBUTION OF SHRIMP JUVENILE IN RELATION TO ENVIRONMENT CONDITION AT JAKARTA BAY Adriani Sri Nastiti1, Bambang Sumiono2 dan Achmad Fitriyanto1 1 Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Teregistrasi I tanggal: 14 September 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 4 September 2012; Disetujui terbit tanggal: 5 September 2012 E-mail;
[email protected] 2
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji distribusi spasial dan temporal juvenil udang dalam kaitannya dengan kondisi lingkungan perairan di Teluk Jakarta. Penelitian dilaksanakan di wilayah timur Teluk Jakarta dengan metode survei, pada bulan April, Juni, Agustus dan Oktober 2010 di 7 lokasi, yaitu: Muara Gembong, Tanjung Gembong, Muara Karawang, Tanjung Karawang, Muara Grobak, Muara Beuting dan Muara Bungin. Hasil penelitian menunjukkan secara temporal kelimpahan juvenil udang mencapai puncak pada bulan Agustus 2010, di Muara Beuting. Secara spasial kelimpahan juvenil udang semakin meningkat ke lokasi luar teluk, yaitu Muara Gerobak, Muara Beuting, Muara Bungin. Juvenil yang ditemukan sebanyak 12 genus dan tertinggi dari genus Acetes dengan komposisi 59-99%. Kondisi lingkungan yang meliputi kedalaman air, kecerahan, salinitas, suhu air, pH dan oksigen terlarut mendukung pertumbuhan juvenil udang. KATA KUNCI : Distribusi, spasial, temporal, juvenil udang, lingkungan, Teluk Jakarta. ABSTRACT This study aims to assess the spatial and temporal distribution of juvenile shrimp in relation to environment condition at the Bay of Jakarta. A survey method was conducted in the eastern Bay of Jakarta at 7 locations i.e., Muara Gembong, Tanjung Gembong, Muara Karawang, Tanjung Karawang, Muara Grobak, Muara Beuting and Muara Bungin in April, June, August and October 2010. The results showed that abundance of the juvenile reached it’s peak in August 2010, at Muara Beuting. The abundance of shrimp juvenile increased towards out the bay, located at Muara Gerobak, Muara Beuting, and Muara Bungin. The juvenile found were 12 genus which was dominated by genus of Acetes with composition of 59-99%. Environmental conditions including water depth, transparency, salinity, water temperature, pH and dissolved oxygen are feasible for the growth of shrimp juvenile KEY WORDS : Distribution, spatial, temporal, shrimp juvenile, environment, Jakarta Bay.
PENDAHULUAN Teluk Jakarta terletak pada posisi 060 00’ 35,6" – 05 56’ 49" LS sampai 1060 40’ 28,5" – 1060 58’ 58" BT membentang dari Tanjung Pasir (di wilayah barat) sampai Tanjung Karawang (di wilayah timur) dengan panjang pantai ± 89 km. 0
Salah satu komoditas yang bernilai ekonomis di perairan Teluk Jakarta adalah udang. Secara biologi udang mempunyai siklus hidup yang meliputi pemijahan, bertelur, telur menjadi larva, juvenil, udang muda dan dewasa. Bila salah satu dari tahapan siklus hidup udang terpotong misalnya karena penangkapan, maka sumber daya udang tersebut tidak dapat melangsungkan daur hidupnya. Hal ini dapat menyebabkan ancaman kepunahan sumberdaya ___________________ Korespondensi penulis: Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Jl. Cilalawi No. 1 Jatiluhur - Purwakarta
udang tersebut. Di Teluk Jakarta para nelayan menggunakan jaring arad yang tidak selektif yang telah mengakibatkan tertangkapnya berbagai ukuran termasuk juvenil. Bila kondisi seperti ini dibiarkan tanpa ada pengawasan maka akan berdampak pada penurunan stok sumber daya udang. Jones, (1992) menyatakan bahwa alat tangkap sejenis trawl seperti jaring arad secara langsung akan merusak substrat dasar perairan sebagai habitat benthos serta mortalitas biota perairan. Hasil wawancara dengan nelayan, diketahui sekitar 500 nelayan mengoperasikan jaring arad dengan wilayah penangkapan menyebar di seluruh perairan Teluk Jakarta (terutama di estuari). Diketahui bahwa daerah estuari merupakan habitat asuhan bagi juvenil udang. Berdasarkan permasalahan tersebut maka data dan informasi tentang distribusi spasial dan temporal
157
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 157-166
juvenil udang di Teluk Jakarta sangat diperlukan dalam menjaga kelestarian sumber daya udang. Ekosistem hutan mangrove sebagai lahan potensial berperan dalam menunjang kehidupan biota laut termasuk juvenil udang sebagai penyedia pakan alami dan sebagai tempat berlindung (Chapman, 1977; Lampe et al., 2003 & Costas et al., 2005). Mangrove tumbuh rapat di sepanjang pantai kawasan timur Teluk Jakarta (Muara Gembong sampai Muara Bungin). Menurut Parawansa, (2007) jenis mangrove di Muara Gembong yang ditemukan adalah jenis apiapi (Avicenia alba), api-api putih (Avicenia marina), bakau minyak (Rhizopora apiculata), bakau merah (Rhizopora mucronata), bakau (Rhizopora stylosa), pidada (Soneratia caseolaris), dan jeruju putih (Acanthus ebracteatus). Menurut Nagelkerken et al. (2000) menyatakan bahwa ketersedian mangrove merupakan faktor penting sebagai kawasan asuhan bagi biota air terutama juvenil udang dan ikan. Luasan hutan mangrove dengan produksi udang penaeid di Kinabalu Sabah terjadi korelasi positif (SCS, 1981 dalam Naamin, 1984). Naamin, (1984) menyatakan terdapat korelasi positif baik linear maupun logaritmik antara luas hutan mangrove dengan hasil tangkapan udang per satuan luas di perairan Laut Arafura. Suhu air menentukan laju metabolisme pada semua kehidupan termasuk ikan dan menentukan pola perk embangbiakannya serta mempengaruhi parameter perairan lainnya seperti jumlah gas terlarut, viskositas air laut, densitas, juga menentukan distribusi kehidupan di laut (Widodo & Suadi, 2006). Kecerahan air laut dipengaruhi oleh substansi material organik dan anorganik didalamnya, dan organisme renik seperti plankton. Air yang terkontaminasi oleh berbagai jenis material akan berubah warna sehingga menjadi keruh. Salinitas di perairan pantai dipengaruhi oleh aliran sungai, biasanya kadar salinitas akan menurun. Sebaliknya di daerah yang penguapannya kuat, salinitas akan meningkat. Selain itu pola sirkulasi air berperan dalam penyebaran salinitas. Secara vertikal nilai salinitas air laut akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman dan pengadukan
158
di dalam lapisan permukaan yang memungkinkan salinitas menjadi homogen. Hasil penelitian Motoh, (1981) menunjukkan bahwa juvenil Peneaus monodon mampu beradaptasi dengan fluktuasi suhu antara 24,3oC hingga 32,4oC dan salinitas antara 15,0o/oo hingga 32,3o/oo di Teluk Batan Pilipina. Hasil penelitian Desmukh, (2002) & Oh & Jeong, (2003) menyatakan bahwa Acetes chinense dan Acetes indicus menyukai lingkungan perairan yang bersalinitas (perairan pantai). pH merupakan parameter yang juga memengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Senyawa amonium yang dapat terionisasi banyak ditemukan pada perairan yang memiliki pH rendah. Kondisi pH sangat memengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah. Kandungan oksigen telarut dalam perairan turut menentukan kualitas perairan, karena oksigen sangat dibutuhkan untuk pernapasan (respirasi) mahluk hidup dan proses oksidasi dalam perairan. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian tentang distribusi spatial dan temporal juvenil udang serta lingkungan di Teluk Jakarta. Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan bagi pengambil kebijakan untuk menjaga kelestarian juvenil udang baik secara spasial maupun temporal. BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di wilayah timur Teluk Jakarta dengan metode survei. Pengambilan data secara spasial di 7 lokasi: Muara Gembong (KU1), Tanjung Gembong (KU2), Muara Karawang (KU3), Tanjung Karawang (KU4), Muara Grobak (KU5), Muara Beuting (KU6) dan Muara Bungin (KU7) (Gambar 1). Secara temporal dilaksanakan pada bulan April, Juni, Agustus dan Oktober 2010. Posisi geografis lokasi pengambilan contoh dapat dilihat pada Tabel 1. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang mendukung penelitian di Teluk Jakarta dapat dilihat pada Tabel 2.
Distribusi Spasial dan Temporal ……………….Perairan di Teluk Jakarta (Nastiti, A.S et al.)
106O 58’40” BT
Gambar 1. Lokasi Penelitian di Teluk Jakarta Figure 1. Research Location in Jakarta Bay. Keterangan (Description): KU1-KU7 : Lokasi pengambilan contoh.
Tabel 1.Posisi geografis lokasi pengambilan contoh di Teluk Jakarta Table 1. The geographical position of sampling locations in Jakarta Bay.
No
1 2 3 4 5 6 7
Lokasi / Location
Muara Gembong Tanjung Gembong Muara Karawang Tanjung Karawang Muara Grobak Muara Beuting Muara Bungin
Kode / Code
KU1 KU2 KU3 KU4 KU5 KU 6 KU 7
Posisi Geografis / Geographic Position Lintang Selatan / Bujur Timur / South Latitude East Longitude o o 06 01' 772" 106 59' 237" o o 06 00' 386" 106 59' 074" o o 05 56' 655" 106 68’ 230" o o 05 57' 536" 107 00' 469" o o 05 64’ 941” 107 01’ 762” o o 05 55’ 559” 107 05’ 424” o o 05 44’ 939” 107 02’ 502”
159
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 157-166
Tabel 2. Alat dan bahan yang dipergunakan dalam penelitian di Teluk Jakarta. Table 2.Tools and materials used in research at Jakarta Bay.
No A 1. 2. 3. 4. 5 6. B 1.
Satuan / Unit Fisika Kimia Air (APHA,1989): Kedalaman air m Kecerahan m o Suhu air C pH unit Oksigen Terlarut Mg/L o Salinitas /oo Sumberdaya juvenil udang: 2 - Kelimpahan Ind/m ; o - Komposisi /o
Alat/bahan dan metode yang digunakan / Tools/materials and method used
Parameter
Teknik Pengambilan Data A. Fisika Kimia Air : Data kedalaman air diperoleh dengan menggunakan alat pengukur kedalaman dengan cara dipegang di sisi perahu di atas air kemudian dibaca angka yang tertera di depth metre. Data kecerahan air diperoleh dengan memasukkan alat cakram secchi kedalam air dengan posisi membelakangi matahari, sampai cakram secchi tidak terlihat kemudian diangkat diukur panjang talinya. Data suhu air diperoleh bersamaan dengan mengambil sampel air dengan botol Nensen. Botol tersebut dilengkapi dengan alat pengukur suhu air. Sampel air yang diambil pada kolom air permukaan secara otomatis menunjukkan angka yang tertera pada pengukur suhu air nya. Data pH diperoleh dengan cara titrasi sampel air pada kolom air permukaan dengan indikator universal pH 4-7. Data oksigen terlarut, diukur dengan alat water quality checker pada kolom air permukaan. Data salinitas diperoleh dengan cara sama dengan pengukuran suhu air, sampel air diambil dengan pipet diteteskan pada alat refraktometer kemudian dibaca angka yang tertera pada alat tersebut.
Pengukur kedalaman, in situ Cakram Secchi, insitu Termometer balik, in situ Titrasi dengan indikator universal pH 4-7, in situ Water Quality Checker, insitu Refraktometer, insitu Mikroskop, Laboratorium Mini Bottom Trawl, in situ
1,5 knot. Sampel yang diperoleh dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diawetkan dengan ditambah formalin 5%. Metode Analisis Kelimpahan juvenil udang Juvenil (remaja) adalah salah satu tahap dari daur hidup udang setelah tahap larva dan sebelum tahap udang muda, pada tahap ini ditandai dengan tubuh transparan dengan pita coklat gelap di bagian ventral, ukuran tubuh mulai stabil, yang menyukai daerah perairan hutan bakau yang payau sebagai daerah asuhan ( Kurata, 1973 dalam Motoh, 1981). Kelimpahan juvenil udang dihitung dengan Swept Area Method (Sparre & Venema, 1992), yaitu :
an t x v x hxE x 1.852 x 0,001 Keterangan: an = luas area yang disapu (m2) t = lama penarikan jaring (jam) v = rata-rata kecepatan kapal saat menarik jaring (knot) h = panjang tali ris atas (1 m) E = konstanta highrope (1) 1852 = konversi mil ke meter Kelimpahan juvenil udang (ind/dm2) =
B. Juvenil udang : Keterangan: Sampel juvenil ikan dan udang diperoleh dengan menggunakan mini beam trawl yang dipasang di belakang perahu kemudian ditarik dengan tali sepanjang 10 m selama 10 menit dengan kecepatan
160
C/H cf
= hasil tangkapan juvenile ikan per satuan waktu (individu) = Faktor daya tangkap (0,5)
Distribusi Spasial dan Temporal ……………….Perairan di Teluk Jakarta (Nastiti, A.S et al.)
Secara deskriptif data kelimpahan juvenil ikan dan udang yang diperoleh digambarkan dalam kondisi spatial maupun horizontal dengan tabulasi dan grafik. HASIL DAN BAHASAN HASIL Distribusi spasial dan temporal total kelimpahan juvenil udang di Teluk Jakarta (Tabel 3). Beberapa spesies juvenil udang yang ditemukan di Teluk Jakarta adalah udang putih/udang kroso (Peneaus merquensis),udang kipas ( Harpiosqulla annandalei), udang jerbung (Peneaus monodon) dan udang rebon (Acetes sp). Dari Tabel 3 diketahui bahwa kelimpahan juvenil udang bulan April berkisar antara 0,043-4,645 ind/m2. Kelimpahan tertinggi ditemukan di stasiun KU5 (Muara Gerobak) dan kelimpahan terendah ditemukan pada stasiun KU3 (Muara Karawang). Pada bulan Juni kelimpahan juvenil udang berkisar antara 0,388-28,423ind/m 2. Kelimpahan tertinggi ditemukan di stasiun KU7 (Muara Bungin) dan kelimpahan terendah ditemukan di stasiun KU2 (Tanjung Gembong). Pada bulan Agustus kelimpahan juvenil udang berkisar antara 0,56-1.281,783 ind/m2. Kelimpahan tertinggi ditemukan di stasiun KU6 (Muara Beuting) dan kelimpahan terendah ditemukan di stasiun KU2 (Tanjung Gembong). Pada bulan Oktober
kelimpahan juvenil berkisar antara 0,516-37,720 ind/ m2. Kelimpahan tertinggi ditemukan di stasiun KU6 (Mura Beuting) dan kelimpahan terendah ditemukan di stasiun KU1 (Muara Gembong). Distribusi kelimpahan total juvenil udang secara spasial di Teluk Jakarta cenderung meningkat ke arah luar teluk atau ke arah laut, kelimpahan tertinggi secara spasial berada di stasiun Muara Beuting ( 1.345,553 ind/m2) dan secara temporal terjadi pada bulan Agustus (2.889,650 ind/m2) (Tabel 3). Pada Tabel 4. secara deskriptif diuraikan karakteristik lingkungan perairan berdasarkan kegiatan pemanfaatan yang dilakukan di stasiun penelitian di Teluk Jakarta. Nilai kisaran dan rata-rata kelimpahan spasial juvenil udang dan lingkungan perairan dapat dilihat pada Tabel 5.. Kelimpahan rata-rata juvenil udang cenderung mengalami peningkatan mulai dari stasiun KU4, KU5, KU6 dan KU7. Kondisi tersebut diduga didukung oleh beberapa parameter lingkungan seperti kedalaman perairan, salinitas, suhu air, oksigen terlarut dan pH. Rata-rata kedalaman perairan 1,73,6 m, kecerahan 0,2-0,8 m, suhu air 29,4-31,5 oC, salinitas 21,0-30,0 o/oo, pH 7,76- 8,11, oksigen terlarut 4,7- 6,2 mg/l.
Tabel 3. Distribusi Spasial dan Temporal Total Kelimpahan Juvenil Udang di Teluk Jakarta. Table 3. Spatial and Temporal Distribution of Total Abundance of Shrimp Juvenile in the Jakarta Bay. 2
Stasiun Penelitian Research station Muara Gembong Tanjung Gembong Muara Karawang Tanjung Karawang Muara Gerobak Muara Beuting Muara Bungin Jumlah (ind/m2)
Kode Code KU1 KU2 KU3 KU4 KU5 KU6 KU7
Kelimpahan juvenil udang (ind/m ) 2 Abundance of shrimp juvenile (ind/m ) April Juni Agustus Oktober 1,419 2,332 4,774 0,516 0,387 0,388 1,806 0,559 0,043 2,894 1,978 1,032 0,602 2,678 176,774 20,430 4,645 11,533 475,951 21,978 26,047 1.281,785 37,720 28,423 946,580 17,301 7,097 74,298 2.889,650 99,538
Total 2 (ind/m ) 9,042 3,141 5,948 200,485 514,108 1.345,553 992,305 3.070,582
161
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 157-166
Tabel 4. Karakteristik lingkungan perairan di stasiun penelitian di Teluk Jakarta. Table 4.Characteristics of aquatic environment at each research station in Jakarta Bay
1.
Lokasi / Locations Muara Gembong
Kode / Code KU1
2.
Tanjung Gembong
KU2
3.
Muara Karawang
KU3
4.
Tanjung Karawang
KU4
5.
Muara Gerobak
KU5
6.
Muara Beuting
KU6
7.
Muara Bungin
KU7
No
Karakteristik / Characteristic Permukiman Vegetasi mangrove rapat Penambangan pasir, inlet dari Pembangkit Listri k Tenaga Uap. Warna air hijau keruh Dasar perairan lumpur Kedalaman 1,5 m Aktifitas Penangkapan Vegetasi mangrove rapat Warna air hijau keruh Kedala man 2,6 m Dasar perairan lumpur Permukiman Vegetasi mangrove rapat Aktivitas penangkapan Dasar perairan lumpur Kedalaman 2,2 m Permukiman Vegetasi mangrove rapat Dasar Perairan : lumpur Kedalaman 2,5 m Aktifitas Penangkapan Vegetasi mangrove r apat Dasar perairan lumpur Kedalaman 2,4 m Aktifitas penangkapan Vegetasi mangrove rapat Dasar perairan lumpur Kedalaman 3,4 m Aktifitas penangkapan Vegetasi mangrove rapat Dasar perairan lumpur Kedalaman 2,8 m
BAHASAN Distribusi Spasial dan Temporal Juvenil Udang Distribusi spasial dan temporal juvenil udang di Teluk Jakarta diduga berhubungan dengan semakin baiknya kondisi lokasi seperti ada sungai yang masuk (sebagai aerasi), perairan lebih dalam, dan kondisi oceanografi yang mendukung kehidupan biota. Hal ini sesuai dengan pendapat Kirkegaard et al. (1970) dalam Naamin, (1984) menyatakan pada saat pascalarva, udang putih umumnya hidup di muara sungai dengan hutan mangrove disekitarnya, salinitas perairan rendah. Hal ini disebabkan hutan mangrove memiliki perakaran menjulur ke dalam perairan, sehingga sangat baik untuk tempat berlindung udang tersebut dari predator. Kelimpahan juvenil udang tertinggi di bulan Agustus diduga berhubungan dengan salinitas dan kedalam serta berakibat turunnya nilai kecerahan. Kecerahan pada bulan Agustus yang cenderung rendah diduga karena padatnya juvenil udang. Berdasarkan Gambar 2, diketahui bahwa komposisi juvenil hasil tangkapan dengan mini bottom
162
trawl selama penelitian ditemukan sebanyak 12 genera dan komposisi terbesar dari genus Acetes yaitu berkisar antara 59-99%. Hal ini hampir sama dengan hasil penelitian Nastiti et al. (2009) yang menyatakan bahwa komposisi dan kelimpahan juvenil udang yang ditemukan di wilayah Timur Teluk Jakarta adalah rebon (Acetes sp) mencapai 1.289.764 individu; jerbung (Penaeus merguensis) mencapai 2.707.560 individu; windu (Penaeus monodon) mencapai 28.243 individu (Nastiti et al., 2009). Kondisi tersebut sesuai dengan pendapat Desmukh (2002) dan Oh and Jeong (2003) serta Enamel et al. (2006) menyatakan bahwa jenis Acetes menyuk ai lingkungan perairan yang bersalinitas (perairan pantai). Menurut Amin et al. (2009) populasi Acetes indicus di perairan barat Malaysia menunjukkan siklus perkembangbiakan secara terus menerus sepanjang tahun dengan puncaknya pada Juni, Agustus, Oktober, Februari dan April. Pernyataan tersebut telah memperkuat argumentasi tentang tingginya kelimpahan Acetes sp yang termasuk famili Sergestidae dan ordo Decapoda, di lokasi penelitian
Tabel 5. Kelimpahan spasial juvenil udang dan kondisi lingkungan perairan. Table 5. The abundance of shrimp juvenile and aquatic environment condition.
Distribusi Spasial dan Temporal ……………….Perairan di Teluk Jakarta (Nastiti, A.S et al.)
163
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 157-166
Gambar 2. Komposisi juvenil di Teluk Jakarta, Tahun 2010. Figure 2. The composition of juvenile at the Bay of Jakarta, in 2010. Karakteristik Lingkungan Perairan Berdasarkan Tabel 4. diketahui bahwa dasar perairan di lokasi penelitian di Teluk Jakarta adalah lumpur dan pasir dan sekitar perairan dengan vegetasi mangrove cukup rapat. Menurut Unar (1965) dan Penn (1975) serta Adriano (2004) bahwa juvenil udang menyenangi perairan yang agak keruh dengan dasar perairan terdiri dari lumpur atau campuran pasir dengan lumpur, perairan tersebut merupakan perairan yang subur bagi tumbuhan pantai seperti bakau (mangrove). Beberapa pemanfaatan perairan yang mengganggu keselamatan juvenil udang di kawasan timur Teluk Jakarta adalah : 1. Penambangan pasir (Muara Gembong) yang merusak habitat dasar perairan yang merupakan habitat juvenil dan detritus sebagai pakan alami. Pengangkatan dasar perairan berakibat pada peningkatan nilai kekeruhan atau rendahnya nilai kecerahan. 2. Muara Gembong merupakan inlet Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap, yang berdampak pada peningkatan suhu air yang masuk ke perairan Muara Gembong. Biota laut termasuk juvenil udang tidak tahan terhadap perubahan suhu yang mendadak. Menurut Anonimus (2011) di daerah Muara Gembong yaitu Muara Karang terdapat dua pembangkit listrik berkekuatan 500 MW dan 1110 MW. Air panas limbah dibuang melewati Pantai Mutiara dekat daerah Muara Gembong. Suhu air pada bulan Desember 2010 menunjukkan angka
164
kurang dari 30,00oC, kecuali di Muara Karang (dekat dengan Muara Gembong) suhu tercatat 30,22oC pada saat air laut pasang dan 30,98oC pada saat air laut surut. Pada bulan Desember musim barat mulai berlangsung, suhu umumnya lebih rendah suhu pada musim-musim lainnya. Suhu yang relatif lebih tinggi di Muara karang dimungkinkan masuknya limbah air panas yang berasal dari aktifitas kedua Pembangkit Listrik di Muara Karang (BPLHD, 2010). 3. Penggunaan jaring arad di Muara Gembong sampai Muara Bungin oleh sebagian nelayan merupakan kegiatan yang cukup membahayakan keselamatan biota laut khususnya juvenil udang dan ikan. Kegitan penangkapan dengan jaring arad mengakibatkan semua ukuran ikan dan udang tertangkap. 4. Transportasi, beberapa stasiun yang dilalui jalur transportasi adalah: Muara Gembong, Tanjung Gem bong, Muara Karawang dan Tanjung Karawang. Kegiatan transportasi berpengaruh terhadap penurunan kualitas air yaitu dengan limpasnya bahan bakar minyak ke perairan. 5. Pemukiman, menghasilkan buangan sampah anorganik (plastik, minyak, deterjen, limbah yang berbahaya dan sulit terurai) yang berakibat pada rendahnya kualitas perairan sehingga berpengaruh kelangsungan hidup dan keselamatan juvenil udang. Menurut BPLHD Jawa Barat (2004) diketahui bahwa pesisir selatan (Sindang, Cidaun, Cipatujah, Ciamis) juga telah mengalami kerusakan akibat dari kegiatan manusia seperti penambangan
Distribusi Spasial dan Temporal ……………….Perairan di Teluk Jakarta (Nastiti, A.S et al.)
pasir, lim bah pemukiman, perkotaan dan transportasi. Menurut Adriano, (2004) dan Arshad et al. (2011) distribusi spatial juvenil udang penaeid dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti: salinitas, suhu air, oksigen terlarut, pH dan kedalaman. Beberapa stasiun penelitian yang cukup kedalamannya diantaranya adalah : Tanjung Gembong, Tanjung Karawang, Muara Gerobak, Muara Beuting dan Muara Bungin. Parameter kedalaman perairan, kecerahan, suhu air, salinitas, pH dan oksigen terlarut, akan diuraikan secara deskriptif di masing-masing stasiun penelitian. Kondisi lingkungan perairan tersebut mendukung distribusi juvenil udang baik secara spasial dan temporal. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Anwar, (2008) yang menyatakan bahwa analisis regresi antara kelimpahan larva dan faktor oseanografi di Teluk Pelabuhan Ratu memiliki keterkaitan, artinya berperan dalam distribusi larva secara spasial dan temporal Hasil pengukuran beberapa parameter oceanografi pada Tabel 5, hampir sama bila dibandingkan dengan hasil penelitian terdahulu (Nastiti et al., 2009) sebagai berikut. Kecerahan di Teluk Jakarta pada bulan Desember di muara pada saat waktu air pasang berkisar antara 0,20-1,5 m dengan rata-rata 0,75 m, pada saat air surut berkisar antara 0,10 -1,5 m atau dengan rata-rata 0,70 m (Hartati, 2006). . Suhu air di Teluk Jakarta pada bulan April, Juni, Agustus dan Oktober 2009 berkisar antara 29,5 - 32°C dengan rata-rata 30,2°C. Di muara Teluk Jakarta salinitas saat air pasang berkisar antara 16,0- 32,0 ‰ dan saat air surut berkisar antara 10,0-31,0o/oo (Hartati, 2006). pH di Teluk Jakarta berkisat antara 6,2-7,1 dan konsentrasi oksigen terlarut berkisar antara 3,97-5,64 mg/l (Nastiti et al., 2009). Menurut Fast dan Lester, (1992) bahwa 90% juvenil udang akan bertahan hidup pada suhu air 24oC dan selanjutnya akan berkembang ke tahap dewasa membutuhkan suhu air kurang lebih 28oC. Menurut Tsai, (1989) kisaran pH air untuk pertumbuhan udang berkisar antara 6,5-8,5. Menurut Fast dan Lester, (1992) bahwa pada tahap juvenil, salinitas yang baik bagi pertumbuhan udang adalah antara 25 – 30 o/oo namun dapat juga bertahan sampai 34 o/oo pada salinitas lebih tinggi dari 40 o/oo udang tidak akan tumbuh lagi. Menurut Tsai, (1989) konsentrasi oksigen terlarut minimum 4 mg/l menunjang pertumbuhan optimal udang . Bila hasil parameter oceanografi (Tabel 4) dibandingkan dengan pustaka tersebut maka diketahui bahwa kondisi lingkungan perairan mendukung pertumbuhan juvenil udang.
KESIMPULAN 1. Distribusi kelimpahan total juvenil udang secara spasial dan temporal di Teluk Jakarta cenderung meningkat ke arah luar teluk atau ke arah laut, didukung oleh kondisi muara sungai dengan salinitas payau. 2. Kelimpahan tertinggi juvenil udang secara spasial berada di stasiun Muara Beuting dan secara temporal terjadi pada bulan Agustus. Komposisi juvenil ditemukan sebanyak 12 jenis dan Acetes sp memiliki komposisi terbesar dibandingkan jenis lainnya yaitu berkisar antara 59-99%. PERSANTUNAN Tulisan berjudul “Distribusi Spasial dan Temporal Juvenil Udang serta Kondisi Lingkungan di Teluk Jakarta merupakan bagian dari penelitian Distribusi Spatial dan Temporal Juvenil Udang dan Karaktersitik Habitat Secara Horizontal Dalam Rangka Konservasi di Teluk Jakarta. Penelitin ini didanai oleh APBN pada tahun anggaran 2009-2010. DAFTAR PUSTAKA Adriano Macia. 2004. Juvenile Penaeid Shrimp Density, Spatial Distribution and Density Size Composition in four adjacent habitats within a mangrove-Fringed Bay on Inhaca Island. Mozambique. Western Indian Ocean Jurnal of Marine Science 01/2004; 3: 163-178. Amin, S.M.N., A.Arshad., J.S Bujang., S.S.Siraj & S Goddara. 2009. Reproductive Biology of Seregestid Shrimp Acetes indicus (Decapoda:Sergestidae) in Coastal Waters of Malacca, Peninsular Malaysia. Zoological Studies 48 (6) : 753-760. Anonimus. 2011. Kajian Penilaian Lingkungan Secara Cepat W ilayah Teluk Jakarta. DHI Water & Environment (s) Pte.Ltd : 71 p. Anonimus. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 200 Tahun 2004. Baku mutu air laut untuk biota laut. Anwar, N. 2008. Karakteristik Fisika Kimia Perairan dan Kaitannya dengan Distribusi serta Kelimpahan Larva Ikan diTeluk Palabuhan Ratu. Tesis. IPB . 98 p. APHA, 1989. Standard method the examination of water and wastewater. 15 th edition. Washington, DC., Am. Public Health Ass., Am. Water Works Ass.
165
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 157-166
Arshad, A., R. Ara., S.M.N , Amin., M Effendi ., C.C Zaidi & A, G, Mazlan. 2011. Influence of environmental parameters on shrimp post larvae in the sungai Pulai Seagrass beds of Johor Straits, Peninsular Malysia. Scientific Research and Essays. 6 (26) : 5.501-5.506. BPLHD Provinsi DKI Jakart. 2010. Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta. Laporan : 60 p. BPLHD Provinsi Jawa Barat. 2004. Permasalahan Lingkungan dan Pesisir Laut Jawa Barat. Laporan: p. 240-261. Chapman, V.J. 1976. Mangrove Vegetation. J. Cramer, Germany, 447 p. Costas S; I. Alejo; A.Vila-Concejo & M.A. Nombela. 2005. Persistence of storm-induced morphology on a modal low-energy beach: A case study rom NW-Iberian. Peninsula Marine Geology, 224: 43-56. Desmukh VD.2002. Biology of Acetes indicus Milne Edwards in Bombay Waters. Ind.J.Fish, 49: 379-388. Enamel Hoq, M., M Abdul Wahab & M Nazrul Islam. 2006. Hydrographic Status of Sundarbans mangrove, Bangladesh with special reference to post-larvae and juvenile fish and shrimp abundance. Wetland Ecology and Management. 14 : 79-93. Fast, A. W. & Lester, L. J. 1992. Pond Monitoring and Management Marine Shrime Culture Principle and Practise. Netherlands: Elsevier Science Publisher Amsterdam. Hartati, S.T. et al. 2006. Identifikasi Kondisi Sumber Daya Lingkungan Dan Kesesuaian Lahan Perikanan Di Perairan Teluk Jakarta, Laporan Teknis. Balai Riset Perikanan Laut. Pusat Riset PerikananTangkap. BRKP- DKP. 167 p. Jones, J.B. 1992. Environmental impact of trawling on the seabad: a review. New Zealand Journal of Marine and Freshwater Research. 26: 59-67. Lampe R; K.F Nordstorm & N.L. Jackson. 2003. Cross-shore distribution of longshore sediment transport rates on a barred non-tidal beach. Estuaries. 26 (6):1426-1436. Motoh, H. 1981. Studies on the fisheries biology of the giant tiger prawn Penaeus monodon in the Philippines,. Technical Report 7. Aquaculture Department, SEAFDEC, Tigbauan , Iloilo Philippines: 128 p.
166
Naamin.N. 1984. Dinamika Populasi Udang Jerbung (Penaeus merguiensis de Man) di Perairan Arafura dan Alternatif Pengelolaannya. Disertasi (Tidak Dipublikasikan). Bogor. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 281 p. Nagelkerken I, van der Velde G, Gorrisena MW, Meijera GJ, van’t Hofc T, & den Hartog C. 2000. Importance of mangroves, seagrass beds and the shallow coral reef as a nursery for important coral reef fishes, using visual census technique. Estuarine, Coastal and Shelf Science, 51: 31 – 44. Nastiti, A.S; S.T Hartati; I.N.Wiadnyana; Badrudin, B.I.Purnawati, A.Suryandari; A.Nurfiarini; H.Saepulloh & A.Fitriyanto. 2009. Kesesuaian Perairan untuk Upaya Konservasi Sumber Daya Ikan di Teluk Jakarta, Laporan Tahunan. Loka Riset Pemacuan Stok Ikan. Pusat Riset Perikanan Tangkap. BRKP-DKP. 120 p. Oh C.W, I.J Jeong. 2003. Reproducti on and population dynamics of Acetes chinensis (Decapoda: Sergestidae) on the western coast of Korea, Yellow Sea. J. Crustacean Biol. 23: 827-835. Parawansa, I. 2007. Pengembangan Kebijakan Pembangunan Daerah dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Teluk Jakarta secara Berkelanjutan. IPB Bogor (Disertasi):139 p. Penn,J.W. 1975. Tagging experiments with the western king prawn (Peneaus latisulcatus Kishinouye). First Australian National Prawn Seminar. Maroochydore. Queenland, 22-27 November 1973: 84-103. Sparre, P. & S.C Venema, 1992. Introduction to Tropical Fish StockAssesment. Part 1. Manual FAO Fisheries. Technical. Paper No.306. 1, Rev 2. Rome. 385 p. Tsai, C. K. 1989. Pengelolaan Mutu Air. Lokakarya Pengelolaan Budidaya Udang. Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan Bekerja Sama dengan American Soybeans Association, Yayasan Pendidikan Wijayakusuma dan Institut Politeknik Indonesia. 10 p. Unar, M. 1965. Beberapa aspek tentang daerah penangkapan (fishing ground) udang di perairan Indonesia. Simposium Udang, Jakarta: 22-27 Februari 1965. Widodo J. & Suadi. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 250 p.
Perikanan Pancing Ulur………… Sendangbiru, Malang, Jawa Timur (Widodo, A. A, et al.)
PERIKANAN PANCING ULUR DI SAMUDERA HINDIA: HASIL TANGKAPAN IKAN BERPARUH YANG DIDARATKAN DI SENDANGBIRU, MALANG, JAWA TIMUR HAND LINE FISHERY IN INDIAN OCEAN WITH SPECIAL REFERENCE TO THE CATCH OF BILLFISH LANDED AT SENDANGBIRU, MALANG, EAST JAVA Agustinus Anung Widodo1), Budi Iskandar Prisantoso1) dan Suprapto2) 1)
Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan 2) Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut Teregistrasi I tanggal: 10 Februari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 10 September 2012; Disetujui terbit tanggal: 11 September 2012 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Kelompok Kerja Komisi Tuna Samudera Hindia untuk Ikan Berparuh ke IX merekomendasikan pentingnya informasi hasil tangkapan dari perikanan tradisional dalam rangka melakukan pengkajian stok di Samudera Hindia. Salah satu perikanan tradisional yang menghasilkan tangkapan ikan berparuh adalah pancing ulur. Sejak 1997 telah berkembang teknologi pancing ulur dengan target tangkapan utama ikan tuna. Armada pancing ulur yang beroperasi di Samudera Hindia dan berbasis di Sendangbiru menggunakan alat bantu penangkapan rumpon. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui teknologi alat tangkap, jumlah hasil tangkapan, musim penangkapan, komposisi jenis, dan distribusi ukuran ikan berparuh yang tertangkap pancing ulur dilakukan di Sendangbiru, Malang, Jawa Timur pada Februari-November 2009. Data primer yang meliputi jenis dan ukuran ikan dikumpulkan dari kegiatan pengambilan contoh, sedangkan data sekunder dikumpulkan dari laporan di pelelangan ikan. Data sekunder meliputi informasi teknologi pancing ulur, trip penangkapan, jenis dan jumlah ikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase hasil tangkapan ikan berparuh sebanyak 5,97% dari total hasil tangkapan. Ikan berparuh tertangkap sepanjang tahun dengan puncaknya pada Mei. Komposisi jenis ikan berparuh meliputi 61,41% setuhuk hitam, 20,50% ikan pedang, 14,36% ikan layaran, 2,29% setuhuk loreng dan 1,43% setuhuk biru. Ukuran ikan berparuh menurut panjang cagak paruh bagian bawah berkisar antara 83 - 151 cm, 112 - 121 cm, 71 - 201, dan 101 - 161 cm masing-masing untuk setuhuk loreng, ikan tumbuk, ikan pedang dan ikan layaran. KATA KUNCI: Pancing ulur, komposisi tangkapan, ikan berparuh, Samudera Hindia, Sendangbiru. ABSTRACT: The 9th Working Group on Billfish in 2011 recommended that the information on billfish exploitation of traditional fisheries around Indian Ocean especially an assessmet of the fish stock is very important. Hand line is one of the fishing gears used in traditional fisheries of billfish. This fishing technique targeting on tuna has been developed since 1997. The hand line fleets based at Sendangbiru, Malang that operated in the Indian Ocean were using FADs. This research was conducted in this area to reveal the hand line fishing gear technology, fishing season, number of catch, catch composition and fish size distribution of billfish. The primary data composting of fish species and the size as well as fishing contruction was collected by sampling at the fish landing. Whilst the secondary data consisting of number of trip, species and number of fish was collected from fish auction records. Results show that the percentage of the billfish was 5.97% from total catch. Generally, billfish was caught all the year, with the peak season was in May. The billfih composition consisted of 61.41% black marlin, 20.50% swordfish, 14.36% sailfish, 2.29% striped marlin, and 1.43% blue marlin. The size of billfish measured by lower jaw fork length ranges between 83 - 151 cm, 112 - 121 cm, 71 - 201 and 101 - 161 for striped marlin, shortbill spearfish, swordfish and sailfish, respectively. KEYWORDS : Hand lines, catch composition, billfish, Indian Ocean, Sendangbiru.
PENDAHULUAN Salah satu alat tangkap yang saat ini berkembang pesat pada perikanan pelagis besar di Sendangbiru, Malang-Jawa Timur adalah pancing ulur (hand line)
dengan target utama tuna. Pancing ulur ini dioperasikan di Samudera Hindia di sekitar rumpon (fish agregating devices, FADs) yang berfungsi sebagai alat bantu penangkapan. Alat tangkap pancing ulur pertama kali diperkenalkan oleh nelayan
___________________ Korespondensi penulis: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Jl. Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta Utara
167
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 167-174
Sinjai, Sulawesi Selatan kepada nelayan lokal di Sendangbiru pada 1997. Sejak saat itu banyak nelayan lokal Sendangbiru menggunakan pancing ulur dengan target utama tuna. Kapal yang digunakan untuk mengoperasikan pancing ulur yang berbasis di Sendangbiru diistilahkan sebagai “skoci”. Pada 2009 jumlah armada skoci yang mengoperasikan pancing ulur yang berbasis di Sendangbiru sebanyak 212 unit. Selain menangkap tuna, pancing ulur di Sendangbiru juga menangkap ikan jenis lainnya seperti setuhuk, layaran dan meka yang biasa dikelompokkan sebagai jenis ikan berparuh (billfish) sebagai hasil tangkapan sampingan (HTS) atau bycatch. Sejauh ini informasi hasil penelitian mengenai billfish yang tertangkap pancing ulur di Samudera Hindia Indonesia belum ada. Oleh karena itu, dilakukanpenelitian mengenai hasil tangkapan sampingan perikanan tuna pada perikanan tradisional di Samudera Hindia pada 2009. Hal ini tampaknya sejalan dengan hasil rekomendasi 9th Working Group on billfish (9th WPB) di Seychelles pada 4-8 Juli 2011 yang mencatat bahwa produksi ikan berparuh (billfish) pada perikanan tradisional (termasuk pada perikanan pancing ulur) harus mendapat perhatian yang serius. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan konstruksi alat tangkap pancing ulur, jumlah hasil tangkapan, musim penangkapan, komposisi jenis, dan distribusi ukuran ikan hasil tangkapan. Tulisan ini membahas hasil penelitian tersebut. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di Sendangbiru-Malang-Jawa Timur pada Januari-Desember 2009. Data yang digunakan dalam menyusun tulisan ini meliputi data primer dan sekunder. Data primer terdiri dari konstruksi alat tangkap pancing ulur, konstruksi alat bantu penangkapan (rumpon) serta jenis dan ukuran ikan yang tertangkap pancing ulur. Konstruksi alat tangkap dan alat bantu penangkapan diperoleh melalui pengamatan dan pengukuran langsung pancing ulur dan rumpon milik nelayan Sendangbiru. Jenis dan ukuran ikan diperoleh melalui kegiatan pengambilan contoh (sampling) yang dilakukan pada Februari, Mei, Agustus dan Nopember 2009. Pengambilan contoh dilakukan selama satu minggu pada tiap-tiap bulan. Jumlah contoh kapal (skoci) adalah 30% dari total yang mendarat, jumlah ikan berparuh yang diidetifikasi dan diukur adalah seluruh hasil tangkapan kapal contoh. Identifikasi jenis ikan mengacu pada Collete & Nauen, (1983), dan Compagno, (1999). Ukuran ikan adalah mengacu pada Sainsbury et al. (1985). Pengukuran panjang ikan adalah panjang cagak paruh bagian bawah atau lower jaw fork length (LJFL) seperti disajikan pada Gambar
168
1. Hal ini dikarenakan hasil tangkapan ikan berparuh (billfish) pada alat tangkap pancing ulur umumnya disimpan dalam bentuk ikan yang sudah tidak utuh, yaitu dengan membuang paruh bagian atasnya, hal ini terkait dengan keterbatasan palkah ikan yang tersedia.
Gambar 1. Metode pengukuran panjang cagak paruh bagian bawah atau lower jaw fork length (LJFL). pada ikan berparuh (Kailola & Leyland, 1985). Figure 1. Measurement method of the Lower Jaw Fork Length (LJFL) for billfish (Kailola & Leyland, 1985). Data sekunder terdiri dari jumlah, jenis dan ukuran kapal penangkap serta jumlah tangkapan pancing ulur. Data jumlah, jenis dan ukuran kapal penangkap berasal dari buku Laporan Tahunan Pelabuhan Perikanan Sendangbiru tahun 2009. Data jumlah tangkapan pancing ulur diperoleh dari buku catatan harian kegiatan lelang hasil tangkapan yang tersedia di Kantor KUD “Mina Jaya” Sendangbiru. Jenis data terdiri dari jumlah kapal yang mendarat, jumlah dan jenis ikan yang didaratkan dan dilelang, jumlah dan berat ikan (kg). Data dikompilasi, dianalis secara deskriptf dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik dan narasi. HASIL DAN BAHASAN HASIL Alat Tangkap Pancing Ulur Konstruksi utama pancing ulur yang digunakan nelayan yang berbasis di Sendangbiru terdiri dari tali utama (main line) dari bahan nilon monofilamen yang biasa disebut sebagai senar no.2000 atau Ø 1,5 mm, mata pancing dari bahan baja anti karat (stainless steel) no. 1-4, gulungan tali (berbagai ukuran) dan kelengkapannya (pelampung, umpan dll). Ukuran mata pancing yang digunakan bervariasi, sesuai dengan ukuran ikan yang menjadi target penangkapan dan jenis umpan yang digunakan. Ukuran mata pancing no.1– 4 dengan jenis umpan mati biasanya untuk menangkap ikan berukuran besar, seperti jenis
Perikanan Pancing Ulur………… Sendangbiru, Malang, Jawa Timur (Widodo, A. A, et al.)
tuna dan marlin. Sebaliknya untuk ikan relatif kecil < 3 kg seperti cakalang, tongkol, digunakan mata pancing no 5 – 8 dengan menggunakan umpan hidup. Selain spesies tersebut, penggunaan mata pancing kecil sering juga menangkap tuna madidihang dan mata besar yang berukuran kecil (tuna muda). Armada Pancing Ulur Terdapat 5 jenis armada penangkapan ikan yang berbasis di Sendangbiru yaitu payang, jaring insang, pancing dasar, pukat cincin dan pancing ulur (Tabel 1). Armada pancing ulur mendominasi armada lainnya, yaitu mencapai 212 unit atau 74,9 % dari total unit armada yang ada. Armada pancing ulur untuk
menangkap tuna yang berbasis di Sendangbiru biasa dikenal dengan istilah kapal “sekoci”. Dimensi utama skoci adalah sebagai berikut panjang (Loa) 13 -15 m; lebar (B) 2,5 - 3,0 m dan dalam (d) 1,5 – 2,0 m. Mesin penggerak umumya terdiri dari 2 uint dengan total kekuatan 100-300 horse power (hp). Material utama kapal adalah kayu (wooden boat) yang dilengkapi 2-3 buah palkah ikan (fish hold) berbentuk kotak (box) dari bahan serat kaca (fiber glass) dengan insulasi dari bahan polyuraethan tebal 5-10 cm. Kapasitas masing-masing box bervariasi, berkisar 1-2 ton atau total antara 3-6 ton. Jumlah ABK tiap kapal berkisar 4-6 orang, satu trip penangkapan berkisar 5-15 hari dengan frekuensi trip 2-3 kali satu bulan.
Tabel 1. Struktur armada penangkap ikan yang beroperasi di Samudera Hindia yang berbasis di SendangbiruMalang 2009. Table 1. Structure of fishing fleet operated in Indian Ocean, based at Sendangbiru in 2009. JENIS ARMADA
JUMLAH
%
Payang
30
10,6
Jaring Insang
11
3,9
Pancing Dasar
27
9,5
Pukat Cincin
3
1,1
Pancing Ulur
212
74,9
Rumpon Alat bantu penangkapan pancing ulur tuna adalah rumpon (Fish Agregating Devices-FADs). Jenis rumpon adalah rumpon laut dalam atau sering disebut sebagai payaos. Komponen utama rumpon laut dalam terdiri dari pelampung, tali utama, atraktor, dan jangkar. Pelampung atau ponton berbentuk seperti peluru dari bahan baja ukuran panjang 250-350 cm Ø
75-80 cm. Tali utama dari bahan kuralon Ø 1 inci panjang 3.500-5.000 m. Atraktor terbuat dari beberapa jenis bahan, antara lain ban bekas atau daun kelapa. Harga satu unit rumpon mencapai Rp. 50.000.000,sehingga satu unit rumpon biasanya merupakan milik dari 1-3 kelompok nelayan dimana satu kelompok terdiri dari 3-5 anggota. Rumpon dipasang pada perairan berkedalaman 2.000-3.000 m pada posisi 111° - 114° BT dan 09° - 11°LS (Tabel 2 dan Gambar 2 ).
Tabel 2 Posisi geografis letak rumpon sebagai daerah tangkapan tuna milik beberapa nelayan Sendangbiru. Table 2.Geographic position of FADs as a fishing ground of some owner at Sendangbiru. Nama Pemilik Nur Solihin
Bintang Tunggal
Umama Firma Hendra
No Rumpon
Posisi Bujur
Posisi Lintang
1 2 3 4 5 1 2 3 4 1 1 1
113°08,615’ 113°17,814’ 113°36,512’ 113°17,417’ 113°25,715’ 111°40,027’ 111°45,478’ 111°55,317’ 111°44,939’ 112°10,534’ 112°31,000’ 112°10,456’
09°53,419’ 10°12,540’ 10°34,131’ 10°07,340’ 10°13,439’ 10°11,424’ 09°44,974’ 09°36,762’ 09°38,897’ 09°00,941’ 11°22,000’ 10°02,331’
169
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 167-174
Cara pancing batu adalah satu unit pancing ulur dioperasikan oleh satu orang nelayan dengan selalu dipegang dan dikendalikan. . Batu yang digunakan untuk mempercepat tenggelamnya umpan dikaitkan pada tali utama pancing ulur dekat mata pancing sedemikian rupa hingga saat tali pancing ditarik dengan cara disentak maka batu akan lepas. Pada cara ini umumnya tali pancing diulur pada kedalaman air 100-400 meter. Cara ketiga adalah pancing ulur dengan bantuan layang-layang untuk mengontrol umpan pancing agar tetap berada di permukaan perairan. Dari keterangan nakoda KM. Amir Jaya diperoleh informasi bahwa cara ketiga tersebut jarang dilakukan, hanya sekitar 2 kali sebulan. Hasil Tangkapan Pancing Ulur Gambar2. Posisi geografis letak rumpon sebagai daerah tangkapan tuna milik beberapa nelayan Sendangbiru. Figure 2. Geographic position of FADs as a fishing ground of the fishers from Sendangbiru. Strategi Penangkapan Pancing Ulur Pancing ulur di Sendangbiru mempunyai target utama ikan tuna terutama madidihang dan tuna mata besar. Satu trip penangkapan berkisar 5-11 hari (ratarata 7 hari). Kegiatan penangkapan dilakukan pada siang hari, dimulai pukul 05.00 (pagi) dan berakhir saat matahari tenggelam yaitu sekitar pukul 18.00 (sore). Jenis umpan yang digunakan adalah umpan ikan hidup dan ikan mati (berupa potongan daging ikan tuna ataupun potongan ikan pelagis besar lainnya). Umpan hidup diperoleh dengan cara memancing dengan pancing ulur bermata pancing ukuran kecil (no 7-8). Penangkapan umpan hidup ini biasa disebut ‘coping’, yang dimulai pada dini hari antara pukul 04.00-05.00. Jenis ikan umpan hidup yang digunakan pada pancing ulur ini antara lain ikan tongkol kecil dan ikan madidihang kecil (ukuran 200300 gram) serta ikan-ikan pelagis kecil terutama ikan layang (Decapterus sp). Terdapat 3 (tiga) cara memancing dengan pancing ulur di Sendangbiru yaitu pancing tomba ,pancing batu dan pancing layang-layang. Pancing tomba adalah dengan cara melepas 5-10 unit pancing ulur yang ujung atasnya dipasang pelampung berupa jerigen volume 20 liter. Tali pancing diulur sedalam 30-50 meter. Antara unit pancing ulur satu dengan lainnya adalah independen dan dibiarkan hanyut di sekitar rumpon. Pancing yang dimakan ikan akan ditandai dengan timbul dan tenggelamnya pelampung, pada saat itu pancing akan didekati untuk ditarik (hauled).
170
Target utama pancing ulur yang berbasis di Sendangbiru adalah ikan tuna, sementara ikan berparuh merupakan salah satu hasil tangkapan sampingan (bycatch). Dari total 51 contoh kapal pancing ulur yang mendarat pada Februari, Mei, Agustus dan Nopember 2009 (Lampiran-Tabel 2) menunjukkan bahwa rata-rata hasil tangkapan ikan berparuh adalah 3.485 kg dari total tangkapan sebanyak 46.846 kg (5,97%). Jenis ikan berparuh meliputi setuhuk loreng, tumbuk, setuhuk putih, ikan pedang dan ikan layaran dengan komposisi jenis secara berturut-turut 40,8%, 22,4%, 17,1%, 11,8% dan 7,9% (Tabel 3). Jumlah hasil tangkapan ikan berparuh oleh pancing ulur berfluktuasi setiap bulannya. Berdasarkan pada catatan pendaratan ikan di TPI di Sendangbiru, puncak produksi ikan berparuh terjadi pada Mei (Gambar 3).
Gambar 3. Fluktuasi bulanan hasil tangkapan ikan berparuh oleh pancing ulur yang mendarat di Sendangbiru pada 2009. Figure 3. Monthly fluctuation of billfish caught by handlines landed at Sendangbiru in 2009.
Perikanan Pancing Ulur………… Sendangbiru, Malang, Jawa Timur (Widodo, A. A, et al.)
Dari data Statistik Perikanan Indonesia tahun 2011 yang dianalisis Widodo et al. (2011), tampak bahwa total ikan berparuh yang tertangkap di Samudera Hindia oleh berbagai alat tangkap (rawai tuna, jaring insang tuna, pancing ulur dan pancing tonda) pada 2009 mencapai 12.213 ton. Komposisi jenis ikan berparuh tersebut adalah 61,41 setuhuk hitam , 20,50 ikan pedang, 14,36% ikan layaran, 2,29% setuhuk
loreng dan 1,43% setuhuk biru. Perbedaan komposisi jenis hasil tangkapan antara ikan berparuh pada pancing ulur dengan hasil tangkapan ikan berparuh yang tercatat pada Statistik Perikanan Indonesia diduga dikarenakan ikan berparuh yang tercatat pada Statistik Perikanan Indonesia sebagian besar besaral dari hasil tangkapan rawai tuna.
Tabel 3. Komposisi jenis ikan berparuh yang tertangkap pancing ulur yang berbasis di Sendangbiru pada 2009. Table 3. Billfish composition caught by handlines fleet based at Sendangbiru in 2009.
Komposisi Jenis (Species Composition)
Jenis Ikan (Species)
KG Setuhuk loreng /striped marlin ( Tetrapturus audax)
%
Individu
%
1340,4
38,5
31
40,8
Tumbuk /shortbill spearfish (Tetrapturus angustirostris)
804,2
23,1
17
22,4
Setuhuk putih/white marlin (Tetrapturus albidus)
536,2
15,4
13
17,1
Ikan pedang /swordfish (Xiphias gladius)
536,2
14,9
9
11,8
Ikan layaran /sailfish (Istiophorus sp.)
268,1
8,1
6
7,9
3485,0
100,0
76,0
100,0
Jumlah (number)
Ukuran Ikan Berparuh yang Tertangkap Pancing Ulur Kisaran ukuran panjang ikan berparuh yang tertangkap pancing ulur bervariasi menurut jenisnya. Ikan setuhuk loreng (striped marlin) tertangkap pada kisaran panjang 83-151cm, ikan tumbuk (shortbill spearfish) pada kisaran panjang 112-121 cm, pada kisaran panjang, ikan pedang (swordfish) 71-201cm, ikan layaran (sailfish) pada kisaran panjang 101161cm. Tidak ada ukuran ikan contoh jenis setuhuk putih (white marlin). BAHASAN Konstruksi pancing ulur yang digunakan nelayan Sendangbiru adalah sama dengan yang digunakan nelayan di Pulau Bacan. Rahm at, (2007) menyampaikan bahwa konstruksi pancing ulur untuk ikan pelagis besar (termasuk tuna) yang digunakan nelayan Bacan terdiri dari gulungan tali, tali pancing, pemberat dan mata pancing nomor 5-6 dengan menggunakan umpan hidup.. Teknologi pancing ulur yang digunakan nelayan Sendangbiru juga setipe dengan teknologi pancing ulur untuk menangkap ikan yang digunakan nelayan di Hawaii (Yuen, 1974). Cara penomoran mata pancing sering membingungkan, namun secara sederhana dapat digolongkan menjadi dua sistem. Sistem pertama adalah menganut urutan nomor membesar dan sistem kedua menganut urutan
nomor mengecil. Penjelasan sistem pertama, pancing nomor 1 berukuran lebih kecil dari pancing nomor 2, pancing nomor 2 lebih kecil dari pancing nomor 3 dan seterusnya. Pada sistem kedua adalah sebaliknya yaitu mata pancing berukuran besar mempunyai nomor kecil. Penomoran mata pancing ulur di Sendangbiru dan di Indonesia pada umumnya menganut sistem penomoran mengecil. Rumpon dapat terbentuk dari berbagai kontruksi dan digunakan sebagai alat bantu penangkapan ikan. Gooding & Magnuson, (1967), Hunter & Mitchell (1968) serta Hunter, (1968) menyampaikan bahwa ikan berkumpul di sekitar rumpon untuk menghindari diri dari ancaman. Ikan pelagis berkumpul di sekitar rumpon karena alasan ketersediaan makanan dan meningkatkan tingkat hidup dari telur, larva dan juwana (Gooding & Magnuson, 1967). Dagorn et al. (1995) dan Fréon & Dagorn, (2000) menyampaikan bahwa alasan ikan pelagis berkumpul di sekitar rumpon adalah sebagai lokasi pertemuan. Kesukaan ikan pelagis berkumpul di sekitar benda-benda terapung di suatu perairan mendorong nelayan membangun rumpon untuk meningkatkan jumlah hasil tangkapan ikannya. Pada awalnya nelayan Filipina membuat rumpon di perairan laut dalam yang biasa disebut payao. Konstruksi dari generasi awal payao adalah berupa rakit bambu dengan atraktor daun kelapa (De Jesus, 1982; Barut, 1999).
171
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 167-174
Konstruksi umum rumpon laut dalam generasi sekarang yang banyak dibangun adalah sebagaimana yang digunakan nelayan di Sendangbiru saat ini. Setelah berkembang di Filipinai, hampir seluruh nelayan di negara-negara Pasifik menggunakan rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan (Preston 1990; Itano 1995). Sejak tahun 1980an Indonesia mulai mengembangkan rumpon laut dalam bagi perikanan pukat cincin, huhate, pancing ulur dan pancing tonda dengan target tangkapan tuna dengan hasil tangkapan ikan-ikan pelagis besar lainnya termasuk ikan berparuh (billfish). Tertangkapnya ikan berparuh (billfish) sebagai hasil tangkapan sampingan (bycatch) pada perikanan pancing ulur tuna di sekitar rumpon tidak dapat dihindari, ini karena antara tuna dan ikan berparuh hidup pada kedalaman perairan yang relatif sama dengan ikan target (tuna). Hasil penelitian Brill at al. (1999) menunjukkan bahwa 80% waktu hidup ikan madidihang (Thunnus albacares) berada pada permukaan hingga kedalaman 100 m dan tuna matabesar (T.obesus) dari permukaan hingga kedalaman 500 m (Brill et al., 2005). Matsumoto et al. (2000) menyampaikan bahwa ikan berparuh paruh jenis tumbuk (shortbill spearfish) tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia pada kedalaman 55-110 m, setuhuk biru (blue marlin) pada kedalaman kurang dari 100 m, setuhuk hitam (black marlin) pada kedalaman 111 m dan ikan pedang (swordfish) pada kisaran 43-212 m. Hasil penelitian Morgan, (2011) menunjukkan bahwa jumlah individu ikan berparuh yang tertangkap di sekitar rumpon adalah sekitar 0,06% dan tuna 98,34% dari total individu ikan tangkapanIkan berparuh yang tertangkap pancing ulur yang didaratkan di Pusat Pendaratan Ikan Sendangbiru terjadi sepanjang tahun namun berfluktuasi setiap bulannya. Puncak pendaratan terjadi pada Mei, yang biasa disebut sebagai puncak musim penangkapan. Sejauh ini belum ada bukti ilmiah yang sahih yang menunjukkan pola ruaya ikan berparuh di perairan Samudera Hindia, sehingga nelayan juga tidak mampu memprediksi atau menentukan kapan harus melakukan penangkapan dan kapan tidak melakukan penangkapan. Tingginya produksi ikan berparuh pada Mei adalah terkait dengan banyaknya upaya penangkapan yang dilakukan pada bulan tersebut. Periode Mei termasuk musim peralihan I atau muson pancaroba awal tahun (Wyrtki, 1961) dimana angin bertiup tidak kencang sehingga nelayan mempunyai k esempatan melakukan operasi penangkapan secara optimal. Ikan yang tertangkap di sekitar rumpon mempunyai ukuran relatif lebih kecil dibanding yang tertangkap di area bebas. Widodo et al. (2011) menyampaikan bahwa ukuran LJFL ikan berparuh yang tertangkap rawai tuna yang berbasis di Benoa adalah sebagai
172
berikut, ikan pedang tertangkap pada kisaran ukuran panjang 67-197 cm, setuhuk hitam dan setuhuk biru tertangkap pada ukuran panjang 108-206 cm, setuhuk loreng tertangkap pada kisaran ukuran panjang 95158cm, ikan layaran tertangkap pada kisaran panjang 114-175cm dan ikan tumbuk pada kisaran panjang 124-127cm. Secara umum menunjukkan bahwa ukuran ikan berparuh yang tertangkap oleh pancing ulur relatif lebih kecil dibanding yang tertangkap rawai tuna. Pancing ulur pada penelitian ini dioperasikan penangkapan di sekitar rumpon, sedangkan rawai tuna operasi penangkapannya di luar area rumpon. KESIMPULAN Perikanan pancing ulur dengan target tuna yang berbasis di Sendangbiru menangkap ikan berparuh sebagai hasil tangkapan sampingan (bycatch) sebanyak 5,97% dari total hasil tangkapan. Ikan berparuh tertangkap sepanjang tahun dengan puncak pada Mei. Dari lima jenis ikan berparuh panjang yang tertangkap, setuhuk loreng mendominasi hasil tangkapan (40,8 %) dan ikan tumbuk (22,4%) dengan ukuran panjang masing-masing antara 83-151cm dan 112-121 cm. Tiga jenis lainnya hanya tertangkap < 18 % dari total tangkapan ikan berparuh panjang. PERSANTUNAN Paper ini merupakan bagian dari laporan ilmiah kegiatan penelitian yang dibiayai APBN tahun anggaran 2009 berjudul Penelitian Sumberdaya Ikan Berparuh. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Pendaratan Ikan (PPI) Sendangbiru yang telah membantu menyiapakan data pendaratan ikan yang tertangkap pancing ulur yang didaratkan di PPI Sendangbiru tahun 2005-2009. DAFTAR PUSTAKA Barut, N. 1999. The payao fisheries in the Philippines and some observation on the behavior of tunas around payao. International Workshop on the Ecology and Fisheries for Tunas Associated with Floating Objects, February 11 – 13, 1992. InterAmerican Tropical Tuna Commission. La Jolla, California, USA. Background document M. 9 p. Brill, R. W, K..A. Bigelow, M.K. Musyl, K.A. Fritsches & E.J. Warrant, 2005. Bigeye Tuna (Thunnus Obesus) Behavior And Physiology And Their Relevance To Stock Assessments And Fishery Biology. SCRS/2004/062. Col. Vol. Sci. Pap. ICCAT, 57(2): 142-161.
Perikanan Pancing Ulur………… Sendangbiru, Malang, Jawa Timur (Widodo, A. A, et al.)
Brill, R.W., B.A.Block, C.H.Boggs, K.A.Bigelow, E.V.Freund & D.J.Marcinek, 1999. Horizontal movements and depth distribution of large adult yellowfin tuna (Thunnusalbacares) near the Hawaiian Islands, recorded using ultrasonic telemetry: implications for the physiological ecology of pelagic fishes. Marine Biology (1999)133:395-408. Copyright: SpringerVerlag,1999. Compagno. L.J.V.,1999. The Living Marine Resource of the Western Central Pacific Vol. 3 FAO. Rome. p.1398-1529. Collette, B.B. & C.E. Nauen 1983 FAO Species Catalogue. Vol. 2. Scombrids of the world. An annotated and illustrated catalogue of tunas, mackerels, bonitos and related species known to date. FAO Fish. Synop. 125(2). 137 p. Dagorn, L., Stretta, J.M. & M. Petit.. 1995. Tropical tuna associated with foating objects: A simulation study of the meeting point hypothesis. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 56: 984-993. De Jesus, A.S. 1982. Tuna fishing gears of the Philippines. IPTP/82/WP/2. 47 p. Fréon, P. & L.Dagorn, 2000. Review of fsh associative behavior: Toward a generalization of the meeting point hypothesis. Reviews in Fish Biology and Fisheries, 10: 183–207. Gooding, R.M. & J.J. Magnuson, 1967. Ecological signifcance of a drifting object to pelagic fshes. Pacifc Science 21:486-497. Matsumoto, T., Y. Uozumi, K. Uosaki & M. Okazaki, 2000. Preliminary review of billfish hooking depth measured by small bathythermograph systems attached to longline gear. Working Paper on the 13th Meeting of the standing committee on tuna and billfish, Noumea-NewCaledonia. Morgan, A.C., 2011. Fish Aggregating Devices (FADs) and Tuna. Impacts and Managgement Options: Ocean Science Division, The PEW Environment Group. Washington, D.C.
Hunter, J.R., 1968., Fishes beneath flotsam. Sea Frontiers 14: 280-288. Hunter, J.R. & C. T. Mitchell. 1968. Field experiments on the attraction of fsh to foating objects. Journal du Conseil Permanent International pour l’Exploration de la Mer. 31: 427-434 Itano, D., 1995. Small boat pelagic fisheries: A review of FAD utilization in the Pacific Islands region. In Achieving Goals for Sustainable Living in the Aquatic Continent: Toward a Pacific Island-based tuna industry. D.G. Malcom, Jr., J. Skog, and D. Zachary [eds]. Maui Pacific Center. p. 155-182. Preston, G.L., 1990. Fish aggregation devices in the Pacific Islands Region. Information Paper 4, Twenty-second Regional Technical Meeting on Fisheries (6 - 10 August 1990). South Pacific Commission, Noumea, New Caledonia. (paper originally prepared for the IPFC Symposium on fish aggregation devices and artificial reefs, Colombo, Sri Lanka, May 1990). Sainsbury, K.J., P.J. Kailola & G.G.Leyland, 1985. Continental Shelf Fishes of Nothern and NorthWestern Australia. CSIRO Division of Fisheries Research-Canbera-Autralia. 375 p. Rahmat, E., 2008. Penggunaan pancing ulur (hand line) untuk menangkap ikan pelagis besar di perairan Bacan-Halmahera Selatan. Buletin Teknisi Litkayasa Sunberdaya dan Penangkapan. Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan. 6 (1) : 29-33. Widodo, A.A, B.Nugraha, F.Satria & A. Barata, 2011. Species composition and size distribution of billfish caught by Indonesian tuna long-line vessels operating in the Indian Ocean. Ninth Working Party on Billfish, Seychelles, 4–8 July 2011. IOTC-2011-WPB09-27. 8p. Wyrtki, K. 1961. Physical Oceanography of Southeast Asean Waters. Naga Report \’,I. 2. The University of California, La Jolla, California. Yuen, Heeny S. H., 1979. A Night Handline Fishery for Tunas in Hawaii. Marine Fisheries Review.
173
Produktivitas Kapal Pukat Cincin...........yang Berubah di Selat Bali (Purwanto)
PRODUKTIVITAS KAPAL PUKAT CINCIN PADA PERIKANAN LEMURU YANG BEROPERASI PADA KONDISI IKLIM YANG BERUBAH DI SELAT BALI THE PRODUCTIVITY OF PURSE SEINERS IN LEMURU FISHERY OPERATING UNDER A CLIMATE VARIABILITY IN THE BALI STRAIT Purwanto Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Teregistrasi I tanggal: 22 Mei 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 6 September 2012; Disetujui terbit tanggal: 7 September 2012 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Salah satu permasalahan yang dihadapi nelayan di Selat Bali terkait dengan dampak variabilitas iklim adalah penurunan drastis hasil tangkapan pukat cincin pada saat La Niña yang menyebabkan kerugian ekonomi. Untuk memprediksi dampak tersebut, telah dilakukan analisis mengenai hubungan antara variabilitas iklim dengan produktivitas kapal pukat cincin di Selat Bali. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa produktivitas kapal dipengaruhi oleh variabilitas iklim dan upaya penangkapan. Pengaruh variabilitas iklim terhadap produktivitas kapal ditunjukkan secara sangat nyata oleh southern oscillation index (SOI). Produktivitas kapal dengan variabilitas musim tahun sebelumnya maupun Dipole Mode Index tidak menunjukkan hubungan yang nyata. Hubungan yang sangat nyata terjadi antara produktivitas kapal dengan rata-rata SOI enam-bulan pertama pada tahun yang sama. Oleh karena itu, nilai rata-rata SOI enam-bulan pertama dapat digunakan untuk memprediksi produktivitas tahunan kapal. KATA KUNCI: Produktivitas kapal, perikanan lemuru, variabilitas iklim, Selat Bali. ABSTRACT One problem faced by fishers in Bali strait relating to the impact of climate variability was the drastic decline in purse siners’ catch during La Niña episode that caused economic losses. To predict the impacts, this study analysed the relationship between the climate variability and the productivity of purse seine vessels operated in the Bali strait. The result of statistical analysis shows that the vessel productivity was affected by climatic variability and fishing effort. The impact of climate variability on the vessel productivity was high-significantly indicated by the Southern Oscillation Index (SOI). Meanwhile, the relationship between the vessel productivity and climatic variability of the previous year nor the Dipole Mode Index was not significant. Furthermore, there was a highly significant relationship between the vessel productivity and the average SOI in the first six-month of the same year. Therefore, the average SOI in the first six-month of the year could be used to predict the annual vessel productivity. KEYWORDS: Vessel productivity, lemuru fishery, climatic variability, Bali strait.
PENDAHULUAN Ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker, 1853) merupakan sumberdaya ikan pelagis kecil utama di perairan Selat Bali (Dwiponggo, 1987; Merta et al., 2000). Penyebaran sumberdaya ikan tersebut terutama terkonsentrasi di perairan Selat Bali dan sekitarnya. Penyebaran di luar Selat Bali yang sudah diketahui adalah ke arah barat hingga Prigi dan ke arah timur hingga Selat Alas (Merta & Nurhakim, 2004). Sumberdaya ikan tersebut sudah lama dimanfaatkan oleh nelayan dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap tradisional (Soemarto, 1959). Namun, perkembangan pesat perikanan lemuru terjadi setelah diperkenalkan pukat cincin pada awal 1970-an dan adanya permintaan akan ikan lemuru
yang relatif tinggi untuk mencukupi kebutuhan bahan baku pengolahan (Dwiponggo, 1987; Merta et al., 2000). Pada saat ini pukat cincin telah menjadi alat tangkap utama untuk memanfaatkan sumberdaya ikan tersebut. Alat tangk ap tersebut umum nya dioperasikan oleh nelayan di Selat Bali menggunakan perahu bermotor tempel dengan lama operasi penangkapan setiap trip satu malam. Kontribusi armada perikanan pukat cincin terhadap produksi perikanan laut adalah sekitar 93% dari berat hasil tangkapan keseluruhan dari Selat Bali (Merta et al., 2000). Hasil tangkapan armada perikanan pukat cincin didominasi oleh lemuru dengan proporsi antara 80% dan 98% dari berat hasil tangkapan keseluruhan (Budihardjo et al., 1990; Wudianto, 2001a), kecuali
___________________ Korespondensi penulis: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Jl. Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta Utara
175
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 175-186
pada periode La Niña, proporsi ikan lemuru hasil tangkapan menurun sangat rendah. Jenis ikan lainnya yang tertangkap oleh pukat cincin adalah layang (Decapterus spp), kembung (Rastrelliger spp), tongkol (Auxis spp, Euthynus spp), dan slengseng (Scomber spp). Hasil tangkapan, terutama lemuru, sebagian besar digunakan sebagai bahan baku industri pengolahan yang berada pada kawasan pantai Selat Bali, khususnya di Muncar dan Pengambengan. Pada awal perkembangan perikanan di Selat Bali, peningkatan arm ada penangkapan telah meningkatkan hasil tangkapan. Volume ikan hasil tangkapan yang melimpah telah mendorong perusahaan pengolahan untuk meningkatkan kapasitas pengolahannya. Selanjutnya, peningkatan permintaan akan ikan untuk kebutuhan bahan baku industri pengolahan telah mendorong nelayan untuk meningkatkan kapasitas penangkapan ikan agar dapat meningkatkan produksinya. Peningkatan kapasitas penangkapan dilakukan dengan menambah jumlah kapal dan meningkatkan daya tangkap melalui penggunaan kapal berukuran lebih besar dan jaring yang lebih luas (Wudianto, 2001a) serta penggunaan alat bantu penangkapan, khususnya lampu dengan intensitas cahaya yang semak in tinggi. Konsekuensinya, kemampuan penangkapan dari armada perikanan, yang diukur dengan upaya penangkapan (OECD, 2007; McCluskey & Lewison, 2008), cenderung terus berkembang (Merta et al., 2000; Purwanto, 2008 & 2011). Dampak dari hal tersebut adalah kecenderungan penurunan kelimpahan sumberdaya ikan dan produktivitas kapal penangkapnya (Merta et al., 2000; Purwanto, 2008 & 2011). Secara alami, produktivitas kapal perikanan lemuru di Selat Bali cenderung berfluktuasi dengan pola yang tidak selalu konsisten dengan pola fluktuasi upaya penangkapan. Merta & Nurhakim (2004) menjelaskan adanya pola fluktuasi musiman pada produktivitas kapal. Musim penangkapan ikan lemuru, yaitu saat hasil tangkapan melimpah, umumnya berlangsung September – Desember. Pada bulan-bulan lainnya ikan tersebut kadang tertangkap namun dalam jumlah sedikit sehingga bukan-musim penangkapan ikan lemuru (Merta & Nurhakim, 2004). Sementara itu, Purwanto (2008, 2011) menunjukkan fluktuasi produktivitas kapal perikanan lemuru yang disebabkan oleh fenomena perubahan iklim. Menggunakan southern oscillation index (SOI) sebagai indikator dari perubahan iklim (BOMA, 2005), Purwanto (2008, 2011) menunjukkan hubungan antara peningkatan SOI dengan peningkatan produktivitas kapal di Selat Bali pada kurun waktu tahun yang sama, namun tidak mengkaji dampak lanjutan terhadap produktivitas kapal
176
pada kurun waktu tahun berikutnya dan tidak mengevaluasi indikator lainnya yang memungkinkan digunakan untuk mengukur fenomena perubahan iklim, yaitu Dipole Mode Index (DMI) (JAMSTEC, 2011). Salah satu permasalahan yang dihadapi nelayan terkait dengan dampak variabilitas iklim adalah penurunan drastis hasil tangkapan pada saat periode La Niña yang menyebabkan usaha penangkapan merugi, sebagaimana berlangsung sejak pertengahan 2010 hingga menjelang akhir 2011. Nelayan dapat terbantu dalam menghindari kerugian ekonomi akibat variabilitas iklim bila dapat dilakukan prediksi sebelum terjadi penurunan drastis hasil tangkapan. Kerugian ekonomi tersebut memungkinkan dihindari bila periode La Niña dapat diprediksi dengan tepat sebelumnya. Namun, prediksi terhadap variabilitas iklim ekstrim sejauh ini masih sulit dilakukan. Terkait dengan hal tersebut model prediktif produktivitas kapal perikanan sangat diperlukan untuk melakukan prakiraan dampak negatif variabilitas iklim terhadap produktivitas kapal. Tulisan ini menyajikan alternatif model dan hasil analisis mengenai hubungan antara variabilitas iklim, menggunakan indikator SOI dan DMI, dengan produktivitas kapal perikanan lemuru di Selat Bali pada kurun waktu tahun yang sama dan kurun waktu tahun berik utnya. Model yang paling sesuai, yang menghubungkan antara variabilitas iklim dan intensitas penangkapan dengan produktivitas kapal, diharapkan dapat digunakan untuk menjelaskan fluktuasi produksi kaitannya dengan variabilitas iklim. Pada tulisan ini juga dilakukan analisis untuk menyusun model prediktif produktivitas kapal yang diharapkan dapat digunakan untuk memperkirakan produktivitas kapal setahun berdasarkan variabilitas iklim pada kurun waktu tertentu pada tahun yang sama atau tahun sebelumnya. BAHAN DAN METODE Terdapat dugaan, yang akan diuji dengan analisis statistika dalam tulisan ini, bahwa variasi produktivitas kapal penangkap ikan (U) berhubungan dengan variasi intensitas penangkapan, yang diukur dengan upaya penangkapan (E), dan variabilitas iklim pada kurun waktu (tahun) yang sama dan kurun waktu (tahun) sebelumnya. Dalam analisis, produktivitas kapal penangkap ikan diukur dengan hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (Cadima, 2003; McCluskey & Lewison, 2008). Nilai SOI dan DMI digunakan dalam analisis sebagai indikator dari variabilitas iklim. Model yang digunakan dalam analisis statistik merupakan modifikasi terhadap model dari Schaefer (1954, 1957) dan Fox (1970, 1975) dengan memasukkan indikator
Produktivitas Kapal Pukat Cincin...........yang Berubah di Selat Bali (Purwanto)
Selanjutnya dilakukan analisis untuk mengevaluasi alternatif model prediktif produktivitas kapal dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: Ut = b0 + b1 Et + b2 St-i.k..................................(3) ln Ut = b0 + b1 Et + b2 St-i.k..............................(4) Ut = b0 + b1 Et + b2 St-i.j..................................(5) ln Ut = b0 + b1 Et + b2 St-i.j..............................(6) Keterangan: St-i.k = SOI tahun t-i triwulan k; i = 0 dan 1; k = 1, ...., 4. St-i.j = SOI tahun t-i semester j; i = 0 dan 1; j = 1 dan 2. b0, b1, b2 = koefisien. t = 1990, 1991, ...., 2004. Variabel St-i.k yang dianalisis adalah St.1, St.2, St.3, St.4 dan S t-1.4. Sementara itu, variabel St-i.j yang dianalisis adalah St.1, St.2 dan St-1.2. Analisis untuk memilih persamaan produktivitas kapal yang paling sesuai, diantara persamaan yang dikaji, dan variabel yang berpengaruh nyata serta mengestimasi nilai koefisiensinya dilakukan dengan ordinary least square. Data yang digunakan dalam analisis terdiri dari berat ikan hasil tangkapan dan upaya penangkapan kapal perikanan lemuru yang beroperasi di Selat Bali pada kurun waktu tahun 1990 – 2004, hasil tangkapan per unit kapal per trip pada
HASIL DAN BAHASAN HASIL Hubungan Antara Produktivitas Kapal dengan Variabilitas Iklim dan Intensitas Penangkapan Pada periode Juli 2009 – Oktober 2011, volume ikan lemuru hasil tangkapan per trip dari Selat Bali cenderung berfluktuasi (Gambar 1). Kondisi iklim pada periode tersebut, dengan menggunakan SOI sebagai indikator, juga cenderung berfluktuasi. Pada tahun 2010, SOI cenderung meningkat hingga mencapai sekitar 20, yang mengindikasikan kondisi La Niña, sementara itu volume hasil tangkapan cenderung menurun drastis hingga tingkat minimum. Episode La Niña berlangsung hingga menjelang akhir 2011, dan hasil tangkapan pada tingkat minimum juga berlanjut hingga menjelang akhir tahun 2011. 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep
Keterangan: Ut = C t /E t = produktivitas kapal, atau hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (catch per unit effort – CPUE), tahun t; Ct = hasil tangkapan armada perikanan lemuru tahun t; Et = upaya penangkapan tahun t; St = SOI tahun t; St-1 = SOI tahun t-1; Dt = DMI tahun t; Dt-1 = DMI tahun t-1; a0, a1, ..., a5 = koefisien; t = 1990, 1991, ...., 2004.
2009
2010
2011
30 20 10 0 -10 -20
Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep
ln Ut = a0 + a1 Et + a2 St + a3 St-1 + a4 Dt + a5 Dt-1.....................................................(2)
SOI
Ut = a0 + a1 Et + a2 St + a3 St-1 + a4 Dt + a5 Dt-1 ............................................................................................................(1)
Juli 2009 – Oktober 2011, rata-rata SOI dan DMI tahun 1989 - 2004 serta SOI bulanan pada Juli 2009 – Oktober 2011. Data berat ikan hasil tangkapan dan upaya penangkapan tersebut bersumber dari Purwanto (2008). Data SOI bersumber dari Bureau of Meteorology Australia (2011), sedangkan DMI bersumber dari Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology (2011).
Hasil tangkapan (kg/kapal/trip)
variabilitas iklim dan disajikan sebagai persamaan (1) dan (2) berikut ini:
Gambar 1. Fluktuasi hasil tangkapan lemuru per trip kapal penangkap dari Selat Bali, dan southern oscillation index (SOI), Juli 2009 – Oktober 2011. Figure 1. Fluctuation of lemuru catch per trip landed by fishing vessel from Bali Strait, and southern oscillation index (SOI), July 2009 – October 2011.
177
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 175-186
Hasil analisis statistik mengenai hubungan antara produktivitas kapal (CPUE) dengan upaya penangkapan ikan dan fenomena perubahan iklim pada perikanan lemuru di Selat Bali disajikan dalam bentuk persamaan (1.1 - 1.4) dan (2.1 - 2.4) pada Tabel 1. Sementara itu, hasil analisis statistik hubungan antara CPUE dengan upaya penangkapan ikan tanpa mempertimbangkan fenomena perubahan iklim disajikan dalam bentuk persamaan (1.5) dan (2.5). Diantara sepuluh persamaan tersebut, terdapat dua persamaan yang dapat menjelaskan hubungan antara CPUE dengan upaya penangkapan dan variabilitas iklim, yaitu persamaan (1.4) dan (2.4). Berdasarkan nilai koefisien determinasi (R2) dari persamaan tersebut, persamaan (2.4) adalah yang lebih sesuai untuk menjelaskan variasi CPUE. Nilai R2 dari persamaan (2.4) menunjukkan bahwa 88.4% dari variasi CPUE dapat dijelaskan dengan variasi dari E dan SOI. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa CPUE sangat nyata dipengaruhi oleh upaya penangkapan. Sementara itu, pengaruh variabilitas iklim terhadap CPUE ditunjukkan secara sangat nyata oleh SOI. Secara statistik, variasi CPUE tidak berhubungan nyata dengan variasi DMI. Hasil analisis statistik juga menunjukkan bahwa CPUE tidak dipengaruhi secara nyata oleh variabilitas musim tahun sebelumnya. Sementara itu, pengaruh upaya penangkapan ikan terhadap CPUE secara statistik tidak nyata bila tidak mempertimbangkan fenomena perubahan iklim (persamaan (1.5) dan (2.5)).
178
Berdasarkan persamaan (2.4), CPUE meningkat bila E menurun dan/atau SOI menurun. Sebaliknya CPUE menurun bila E meningkat dan/atau SOI meningkat. Pada saat SOI tetap, CPUE menurun bila E meningkat. Pada saat SOI = 0, peningkatan E dari 100 kapal menjadi 139 kapal menyebabkan penurunan CPUE dari 510 ton menjadi 384 ton/kapal/tahun (Gambar 2A). W alaupun E tetap, CPUE akan menurun bila SOI meningkat. Pada saat E setara dengan 100 kapal, peningkatan SOI dari 0 menjadi 10 diikuti dengan penurunan CPUE dari 510 ton menjadi 282 ton/k apal/tahun (Gambar 2A). Sebaliknya, penurunan SOI dari 0 menjadi -10 diikuti dengan peningkatan CPUE dari 510 ton menjadi 921 ton/kapal/tahun bila E tetap 100 kapal. CPUE menurun lebih rendah bila saat peningkatan E berbarengan dengan peningkatan SOI. Bila peningkatan E dari 100 kapal menjadi 139 kapal berbarengan dengan peningkatan SOI dari 0 menjadi 10, maka CPUE menurun dari 510 ton menjadi 213 ton/kapal/tahun. Pada saat terjadi El Niño dengan rata-rata SOI = 10, produktivitas kapalnya mencapai 694 ton/kapal/ tahun bila jumlah kapal yang beroperasi adalah 139 unit. Kondisi sebaliknya pada saat terjadi La Niña, dengan rata-rata SOI = 10 produktivitas kapalnya mencapai 213 ton/kapal/tahun bila jumlah kapal yang beroperasi tetap 139 unit (Gambar 2B). Sementara itu, pada saat SOI = 0, produktivitas kapalnya mencapai 384 ton/kapal/tahun bila jumlah kapal 139 unit.
Table 1.
Tabel 1.
Persamaan, hasil analisis, yang menggambarkan hubungan antara CPUE dengan upaya penangkapan dan fenomena perubahan iklim pada perikanan lemuru di Selat Bali. Equations, resulting from analyses, representing the relationship between CPUE and fishing effort and climate change phenomenon in the lemuru fishery in the Bali Strait.
Produktivitas Kapal Pukat Cincin...........yang Berubah di Selat Bali (Purwanto)
179
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 175-186
SOI=-10 SOI=0 SOI=10 Observed
1200 800 400
1000 Produktivitas kapal (ton/kapal/tahun)
Produktivitas kapal (ton/kapal/tahun)
1600
180 kapal 139 kapal 120 kapal
800 600 400 200 0
0 0
80 160 240 320 400 Upaya penangkapan (jumlah kapal)
-20
-10
0
10
20
SOI
Gambar 2. (A) Hubungan antara produktivitas kapal dengan upaya penangkapan pada perikanan lemuru Selat Bali pada saat SOI adalah -10, 0 dan 10, serta (B) Produktivitas kapal perikanan lemuru in Selat Bali pada berbagai kondisi iklim, sebagaimana diindikasikan oleh nilai SOI, bila jumlah kapal adalah 120, 139 dan 180 unit. Figure 2. (A) The relationship between vessel productivity and fishing effort in the Bali strait lemuru fishery when SOI were -10, 0 and 10, and (B) productivity of lemuru fishing vessel in the Bali strait at various climatic conditions, as indicated by SOI, when the number of vessels were 120, 139 and 180 units. Model Prediktif Produktivitas Kapal Hasil analisis statistik untuk merumuskan model prediktif produktivitas kapal dengan peubah bebas (independent variable) variabilitas iklim dan upaya penangkapan ikan pada perikanan lemuru di Selat Bali disajikan pada Tabel 2 dan 3. Pada Tabel 2 disajikan persamaan hasil analisis model prediktif untuk memperkirakan produktivitas kapal berdasarkan rata-rata SOI triwulanan. Sementara itu, Tabel 3 menyajikan hasil analisis model prediktif untuk memperkirakan produktivitas kapal berdasarkan ratarata SOI semesteran. Hasil analisis sebagaimana disajikan dalam bentuk persamaan (3.1), (3.3) – (3.5) dan persamaan (4.1), (4.3) – (4.5) pada Tabel 2 menunjukkan bahwa produktivitas kapal secara statistik berhubungan nyata dengan rata-rata SOI triwulanan, namun tidak berhubungan nyata dengan upaya penangkapan. Hal tersebut tidak konsisten dengan hasil analisis statistik yang disajikan dalam bentuk persamaan (1.4) dan (2.4) pada Tabel 1 yang menunjukkan bahwa produktivitas kapal perikanan lemuru di Selat Bali sangat nyata dipengaruhi oleh variabilitas iklim dan
180
upaya penangkapan. Oleh karena itu, nilai rata-rata SOI triwulanan tidak dapat digunakan untuk memprediksi produktivitas kapal perikanan lemuru di Selat Bali. Hasil analisis statistik sebagaimana disajikan dalam bentuk persamaan (5.1) dan (6.1) pada Tabel 2 m enunjukkan bahwa produktivitas kapal berhubungan sangat nyata dengan rata-rata SOI semester-1 dan upaya penangkapan pada tahun yang sama. Hal tersebut konsisten dengan hasil analisis statistik yang disajikan dalam bentuk persamaan (1.4) dan (2.4) pada Tabel 1. Selain itu Nilai R 2 dari persamaan (5.1) dan (6.1) sedikit lebih rendah dibandingkan Nilai R2 dari persamaan (1.4) dan (2.4). Oleh karena itu, nilai rata-rata SOI semester-1 dapat digunakan untuk memprediksi produktivitas kapal perikanan lemuru di Selat Bali. Nilai koefisien determinasi persamaan (6.1) lebih tinggi dibandingkan persamaan (5.1), sehingga persamaan (6.1) lebih sesuai untuk digunakan sebagai model prediksi produktivitas kapal perikanan lemuru di Selat Bali. Nilai R2 dari persamaan (6.1) menunjukkan bahwa 80.9% dari variasi CPUE dapat dijelaskan dengan variasi dari SOI semester-1 dan E.
Produktivitas Kapal Pukat Cincin...........yang Berubah di Selat Bali (Purwanto)
Tabel 2. Persamaan, hasil analisis, model prediktif untuk memperkirakan produktivitas kapal perikanan lemuru di Selat Bali berdasarkan rata-rata SOI triwulanan. Table 2. Equations, resulting from analyses, of predictive model to forecast productivity of lemuru fishing vessel operated in the Bali Strait based on the average of three-monthly SOI. Model dasar
Schaefer (1954, 1957)
Fox (1970, 1975)
No 3.1
Ut
=
3.2
Ut
=
3.3
Ut
=
3.4
Ut
=
3.5
Ut
=
4.1
ln Ut
=
4.2
ln Ut
=
4.3
ln Ut
=
4.4
ln Ut
=
4.5
ln Ut
=
Persamaan hasil analisis 558.0080 – 1.3620 Et – 4.9246 St.1 ns (2.8849)* (1.7166) (2.5394)* 455.3037 – 0.9595 Et – 2.3348 St.2 ns ns ns (2.0072) (1.0251) (0.8463) 452.0148 – 0.9580 Et – 5.7420 St.3 ns (2.3845)* (1.2369) (2.4526)* 555.1934 – 1.3587 Et – 6.9021 St.4 ns (3.5878)*** (2.1442) (4.0077)*** 588.9077 – 1.4765 Et – 5.7423 St-1.4 ns (3.0339)*** (1.8559) (2.6258)* 6.7394 – 0.005739 Et – 0.025811 St.1 ns (7.0934)*** (1.4725) (2.709622)* 6.1734 – 0.003431 Et – 0.009158 St.2 ns (5.3491)*** (0.7204) (0.652378)ns 6.1809 – 0.003596 Et – 0.029135 St.3 ns (6.5120)*** (0.9273) (2.485365)* 6.6991 – 0.005605 Et – 0.034716 St.4 ns (8.6078)*** (1.7588) (4.008050)*** 6.8589 – 0.006155 Et – 0.028519 St-1.4 ns (6.9758)*** (1.5275) (2.574593)*
2
R 0.3869 0.1106 0.3722 0.5970 0.4014 0.3975 0.0621 0.3589 0.5848 0.3744
Keterangan: i. Angka dalam kurung adalah nilai t-statistik dari pengaruh variabel independen terhadap CPUE; ii. *** menunjukkan bahwa nilai t-statistik signifikan pada P<0.01; iii. * menunjukkan bahwa nilai t-statistik signifikan pada P<0.05; iv. ns menunjukkan bahwa pengaruh variabel yang bersangkutan secara statistik tidak signifikan.
Tabel 3. Persamaan, hasil analisis, model prediktif untuk memperkirakan produktivitas kapal pada perikanan lemuru di Selat Bali berdasarkan rata-rata SOI enam-bulanan. Table 3. Equations, resulting from analyses, of predictive model to forecast productivity of lemuru fishing vessel operated in the Bali Strait based on the average of six-month SOI. Model dasar
Schaefer (1954, 1957)
No 5.1
Ut
=
5.2
Ut
=
5.3
Ut
=
6.1
ln Ut
=
6.2
ln U t
=
6.3
ln U t
=
Fox (1970, 1975)
Persamaan hasil analisis 613.1642 – 1.7021 Et – (5.3014)*** (3.5571)*** 506.2807 – 1.1778 Et – ns (3.0369)*** (1.7253) 523.7651 – 1.2211 Et – ns (2.6162)* (1.4880) 7.0118 – 0.007438 Et (13.1267)*** (3.3657)*** 6.4543 – 0.004702 Et ns (7.7250)*** (1.3742) 6.5448 – 0.004931 Et ns (6.5227)*** (1.1988)
2
9.5971 St.1 (6.2803)*** 6.9803 St.2 (3.4114)*** 5.4089 St-1.2 (2.1967)* – 0.04941 St.1 (7.0006)*** – 0.03523 St.2 (3.4359)*** – 0.02744 St-1.2 (2.2233)*
R 0.7801 0.5215 0.3278 0.8090 0.5105 0.3122
Keterangan terhadap angka dalam kurung, serta simbol *, *** dan ns sama dengan yang tercantum pada Tabel 2.
181
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 175-186
Terdapat fluktuasi SOI yang sedikit berbeda antara rata-rata SOI tahunan dengan rata-rata SOI semester1, khususnya pada tahun 1992, 1998 dan 2003. Namun demikian, penyim pangan menyolok produktivitas kapal hasil estimasi dari data (angka aktual) produktivitas kapal hanya untuk tahun 1998. Secara umum fluktuasi produktivitas kapal dapat diprediksi dengan menggunakan model prediktif (persamaan (6.1)). Jumlah kapal relatif tetap pada periode 1990-1997. Penurunan tajam pada
182
SOI 6-bulan CPUE aktual
BAHASAN Produktivitas kapal (ton/kapal/tahun)
400 350 300 250 200 150 100 50
SOI tahunan
(A)
(A)
1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 Tahun 10,00
SOI
Hasil estimasi produktivitas kapal menggunakan persamaan (2.4) menunjukkan bahwa fluktuasi produktivitas kapal perikanan lemuru pada periode 1990 – 1997 berhubungan dengan fluktuasi SOI karena jumlah kapal relatif tetap, yaitu sekitar 263 unit (Gambar 3). Penurunan tajam pada produktivitas kapal penangkap ikan dari 323 ton menjadi 111 ton/ kapal/tahun pada periode 1994 – 1996 berhubungan dengan peningkatan tajam pada SOI dari -11.93 menjadi 5.69. Sebaliknya, peningkatan tajam pada produktivitas kapal penangkap ikan dari 111 ton menjadi 309 ton/kapal/tahun pada periode tahun 1996 – 1997 berhubungan dengan penurunan tajam pada SOI dari 5.69 menjadi -11.67. Sementara itu, fluktuasi produktivitas kapal perikanan lemuru pada periode tahun 1997 – 2004 berhubungan dengan fluktuasi SOI dan penurunan jumlah kapal.
produktivitas kapal penangkap ikan pada 1994-1996 yang berhubungan dengan peningkatan tajam pada SOI dapat diprediksi dengan model prediktif tersebut. Sebaliknya, peningkatan tajam pada produktivitas kapal penangkap ikan pada periode 1996 – 1997 yang berhubungan dengan penurunan tajam pada SOI juga dapat diprediksi dengan model prediktif tersebut. Jumlah kapal kemudian menurun pada 1997-2004. Fluktuasi produktivitas kapal perikanan lemuru pada periode 2000 – 2004 yang berhubungan dengan fluktuasi SOI dan penurunan jumlah kapal dapat diprediksi dengan model prediktif tersebut.
(B)
0,00 -10,00 SOI 6-bulan SOI tahunan 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004
-20,00
Upaya penangkapan (Jumlah kapal)
Hasil estimasi produktivitas kapal perikanan lemuru di Selat Bali tahun 1990-2004 berdasarkan upaya penangkapan dan rata-rata SOI semester-1, menggunakan model prediktif (persamaan (6.1)), dan rata-rata SOI tahunan, menggunakan persamaan (2.4), disajikan pada Gambar 3. Hasil analisis statistik pada Tabel 1 dan 3 serta angka produktivitas aktual dan hasil estimasinya pada Gambar 3 menunjukkan bahwa secara statistik estimasi menggunakan angka SOI tahunan menghasilkan angka estimasi yang lebih baik dibandingkan estimasi menggunakan angka SOI 6-bulan pada semester-1. Namun demikian, secara umum estimasi menggunakan angka SOI 6-bulan pada semester-1 menghasilkan hasil estimasi yang relatif tetap konsisten dengan data. Hasil analisis berdasarkan rata-rata SOI tahunan maupun rata-rata SOI semester-1 menunjukkan bahwa produktivitas kapal menurun dengan meningkatnya SOI sehingga pada periode La Niña produktivitas kapal perikanan rendah. Fluktuasi produktivitas kapal perikanan lemuru hasil estimasi dengan menggunakan SOI semester-1 mirip dengan hasil estimasi dengan menggunakan SOI tahunan (Gambar 3).
280 260 240 220 200 180
(C)
1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004
Gambar 3. (A) Produktivitas kapal hasil pengamatan dan hasil estimasi menggunakan rata-rata southern oscillation index (SOI) semester1 (SOI 6-bulan) tahun yang sama dan SOI tahunan serta upaya penangkapan, (B) fluktuasi SOI serta (C) fluktuasi upaya penangkapan pada perikanan lemuru di Selat Bali, 1990 – 2004. Figure 3. (A) Productivity of vessels observed and that estimated on the basis of the first sixmonth SOI at the same year and the annual SOI, and fishing effort, (B) the fluctuation of SOI, and (C) the fluctuation of fishing
Produktivitas Kapal Pukat Cincin...........yang Berubah di Selat Bali (Purwanto)
Model dari Fox (1970, 1975) yang dimodifikasi dan disajikan pada tulisan ini (persamaan-2.4) menunjukkan bahwa produktivitas kapal penangkap ikan lemuru di Selat Bali meningkat saat periode El Niño dan menurun saat periode La Niña. Hasil analisis tersebut konsisten dengan hasil pengamatan Merta & Nurhakim (2004) dan hasil analisis Purwanto (2008, 2011) menggunakan model dari Schaefer (1954, 1957) yang dimodifikasi. Produktivitas kapal penangkap ikan lemuru di perairan Selat Bali setidaknya dipengaruhi oleh dua hal, yaitu kelimpahan stok atau biomasa ikan dan posisi kedalaman stok ikan di perairan tersebut. Kelimpahan stok ikan dipengaruhi oleh laju pertumbuhan stok ikan tersebut. Purwanto (2008, 2011) menunjuk kan bahwa perubahan ik lim mempengaruhi laju pertumbuhan alami stok ikan lemuru di Selat Bali. Laju pertumbuhan tertinggi dari stok ikan terjadi saat El Niño, sedangkan terendah terjadi saat La Niña. Konsekuensinya, hasil tangkapan yang diperoleh kapal perikanan saat El Niño lebih tinggi dibandingkan saat La Niña. Sem entara itu, posisi kedalaman stok ikan dipengaruhi oleh kedalaman termoklin. Hal terakhir ini juga dipengaruhi oleh perubahan iklim. Laju pertumbuhan stok ikan lemuru di Selat Bali dipengaruhi oleh ketersediaan makanan alaminya, yaitu zooplankton dan fitoplankton (Soerjodinoto, 1962; Ritterbush, 1975; Burhanuddin & Praseno, 1982; Wudianto, 2001a; Pradini, et al., 2001). Kelimpahan fitoplankton, yang juga merupakan makanan alami zooplankton, meningkat oleh peningkatan kesuburan perairan karena terjadinya upwelling di selatan Jawa - Sumatera pada musim tenggara (Susanto, et al., 2001b). Wudianto (2001a) mengamati terjadinya peningkatan kelimpahan phytoplankton, sebagaimana diindikasikan oleh peningkatan konsentrasi klorofil-a (Susanto & Marra, 2005), sebagai dampak pengkayaan unsur hara pada lapisan permukaan perairan Selat Bali saat upwelling. Peningkatan ketersediaan makanan alami ikan lemuru sebagai dampak dari upwelling tersebut menyebabkan peningkatan pertumbuhan individu dan laju pertumbuhan stok ikan lemuru di perairan tersebut, yang pada giliran berik utnya m enyebabkan peningkatan kelimpahan stok ikan lemuru di Selat Bali. Variabilitas upwelling selain karena pengaruh angin musim juga dipengaruhi oleh El Niño Southern Oscillation (ENSO) (Susanto, et al., 2001b). Proses terjadinya upwelling di selatan JawaSumatera dimulai dengan berhembusnya angin tenggara dari Australia yang umumnya berlangsung mulai Mei atau awal Juni hingga Oktober (Susanto, et al., 2001b). Angin tenggara tersebut menimbulkan upwelling di perairan pantai tersebut, yang dimulai di
selatan Jawa Timur (mencakup pula Selat Bali), suhu permukaan laut menjadi lebih dingin dibanding suhu rata-rata dan termoklin menjadi lebih dangkal (Susanto, et al., 2001a,b). Upwelling kemudian bergeser ke arah barat dan mencapai puncaknya pada Juli-Agustus dengan pusatnya di 1050 BT. Pusat upwelling terus bergeser ke arah barat laut mencapai 1000 BT dan 20 LS di barat Sumatera pada Oktober yang merupakan akhir musim tenggara, dan selanjutnya secara bertahap beralih ke musim barat, ketika angin dari arah barat-laut mulai berhembus dan upwelling melemah (Susanto, et al., 2001a). Pada musim barat, kondisi perairan adalah sebaliknya, upwelling berakhir dan termoklin menjadi lebih dalam (Susanto, et al., 2001a). Pada periode El Niño, upwelling yang terjadi di selatan Jawa - Sumatera berlangsung dengan waktu lebih lama dan pada kawasan yang lebih luas (Susanto, et al., 2001a,b). Hal tersebut menyebabkan perairan subur dan kelimpahan plankton lebih tinggi, sehingga konsentrasi klorofil-a yang lebih tinggi (Susanto & Marra, 2005). Oleh karena itu, laju pertumbuhan alami stok dan biomassa ikan lemuru di Selat Bali pada periode El Niño meningkat lebih tinggi dibanding kondisi normal (Purwanto, 2008; 2011). Sementara itu, termoklin naik 20-60m lebih dangkal pada saat El Niño (Susanto, et al., 2001a,b), sehingga stok ikan lemuru di Selat Bali berada pada kedalaman perairan yang lebih dangkal (Wudianto, 2001a; Anonymous, 2011) dan bisa dijangkau oleh jaring nelayan yang beroperasi pada perairan tersebut. Konsekuensi dari laju pertumbuhan alami stok ikan dan biomassa ikan yang meningkat lebih tinggi serta posisi/kedalaman stok ikan yang lebih bisa dijangkau oleh jaring nelayan pada saat El Niño adalah hasil tangkapan yang lebih tinggi dibanding kondisi normal (Purwanto, 2008 & 2011). Kondisi sebaliknya terjadi pada saat La Niña, upwelling melemah dibanding kondisi normal (Susanto, et al., 2001a,b), sehingga kesuburan perairan berkurang dan kelimpahan plankton jauh lebih rendah. Hal tersebut m enyebabkan rendahnya laju pertumbuhan alami stok dan biomassa ikan (Purwanto, 2008; 2011). Selain itu, termoklin menjadi lebih dalam (20–30m) dibanding kondisi normal (Susanto, et al., 2001a,b), sehingga stok ikan lemuru di Selat Bali berada pada lapisan perairan yang lebih dalam (Wudianto, 2001a; Anonymous, 2011) dan lebih sulit dijangkau oleh jaring nelayan yang beroperasi pada perairan tersebut. Laju pertumbuhan alami stok ikan dan biomassa ikan yang lebih rendah serta posisi/ kedalaman stok ikan yang lebih sulit dijangkau oleh jaring nelayan menyebabkan hasil tangkapan yang lebih rendah dibanding kondisi normal (Purwanto, 2008; 2011).
183
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 175-186
Laju pertumbuhan stok ikan lemuru di Selat Bali juga dipengaruhi oleh pertambahan anakan (recruitment) ikan hasil pemijahan. Musim pemijahan stok ikan lemuru di Selat Bali adalah sekitar bulan Juni – Juli (Dwiponggo, 1972; Ritterbush, 1975; Burhanuddin et. al., 1984), yaitu pada waktu yang hampir bersamaan dengan terjadinya upwelling di Selatan Jawa Timur. Hal ini sesuai dengan penjelasan Miller & Kendall (2009) bahwa musim pemijahan ikan memiliki karekteristik ekologis tertentu dan bertepatan dengan ketersediaan pakan alami optimal untuk larvae. Puncak musim pemijahan diduga pada Juli (Merta, 1992), sehingga anakan ikan lemuru (istilah lokal: sempenit) banyak tertangkap pada AgustusSeptember (Wudianto, 2001b). Walaupun peningkatan ketersediaan makanan alami ikan lemuru sebagai dampak dari upwelling berhubungan positif dengan pertumbuhan individu dan laju pertumbuhan stok ikan, yang pada giliran berikutnya berpengaruh positif terhadap kelimpahan stoknya, terdapat jeda waktu antara peningkatan kelimpahan fitoplankton dengan kelimpahan stok ikan dan produksi perikanan lemuru di Selat Bali. Hal ini karena diperlukan waktu untuk proses pengubahan energi dari klorofil-a (fitoplankton) ke zooplankton dan seterusnya hingga ikan lemuru (Sartimboel et al., 2010). Sartimboel et al. (2010) memperkirakan waktu transfer energi dari fitoplankton hingga ikan lemuru adalah sek itar tiga bulan. Peningk atan laju pertumbuhan alami stok ikan dan biomassa ikan serta posisi/kedalaman stok ikan yang lebih bisa dijangkau oleh jaring nelayan pada musim tenggara menyebabkan hasil tangkapan lebih tinggi dibanding musim yang lainnya. Oleh karena itu, musim penangkapan ikan lemuru umumnya berlangsung pada September–Desember (Merta & Nurhakim, 2004). Berdasarkan rata-rata data bulanan produksi ikan lemuru di Selat Bali, sekitar 70% dari total produksi setahun dihasilkan pada musim penangkapan, yang berlangsung pada enam-bulan kedua (semester-2). Pengaruh kondisi ekologis, khususnya upwelling dan perubahan iklim, saat musim tenggara (semester-1) terhadap stok dan produksi ikan lemuru pada musim penangkapan yang berlangsung pada semester-2 dijelaskan pada bagian sebelumnya pada tulisan ini. Sementara itu, hubungan antara produktivitas kapal penangkap ikan lemuru setahun dengan kondisi ekologis tersebut pada enam-bulan pertama setiap tahun direpresentasikan secara signifikan dengan model surplus produksi dari Fox (1970, 1975) yang dimodifikasi, dengan menambahkan variabel bebas angka rata-rata SOI semester-1 (Januari-Juni) dari setiap tahun kalender, dan disajikan pada tulisan ini (persamaan-6.1). Model tersebut sekaligus dapat
184
dimanfaatkan sebagai model prediktif produktivitas kapal setahun (Januari-Desember). Model prediktif tersebut menunjukkan bahwa kondisi ekologis, sebagai dampak dari kondisi iklim pada semester-1 yang diindikasikan oleh SOI, berpengaruh terhadap produktivitas kapal penangkap ikan lemuru yang beroperasi di Selat Bali, dengan musim penangkapan ikan lemuru pada semester-2. Angka prediksi produktivitas kapal perikanan lemuru yang beroperasi di Selat Bali, yang dihitung menggunakan model prediktif tersebut, dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam memutuskan pelak sanaan kegiatan usaha penangkapan ikan lemuru pada semester-2, yang umumnya merupakan musim penangkapan. Hal tersebut dapat membantu nelayan dalam menghindari kemungkinan kerugian ekonomi sebagai dampak negatif variabilitas iklim berupa penurunan drastis hasil tangkapan. KESIMPULAN 1. Produktivitas kapal sangat nyata dipengaruhi oleh upaya penangkapan dan variabilitas iklim. Pengaruh variabilitas iklim terhadap produktivitas kapal ditunjukkan secara sangat nyata oleh SOI. Variasi dari E dan SOI memberikan penjelasan terhadap 88.4% dari variasi produktivitas kapal. Produktivitas kapal tidak dipengaruhi secara nyata oleh variabilitas musim tahun sebelumnya. Tidak terdapat hubungan nyata antara variasi produktivitas kapal dengan variasi DMI. 2. Produktivitas kapal meningkat bila E menurun dan/ atau SOI menurun, atau sebaliknya produktivitas kapal menurun bila E meningkat dan/atau SOI meningkat. Pada saat SOI tetap, produktivitas kapal menurun bila E meningkat. Walaupun E tetap, produktivitas kapal juga menurun bila SOI meningkat. Produktivitas kapal menurun lebih rendah bila saat peningkatan E berbarengan dengan peningkatan SOI. 3. Produktivitas kapal berhubungan sangat nyata dengan rata-rata SOI semester-1 dan upaya penangkapan pada tahun yang sama. Oleh karena itu, nilai rata-rata SOI semester-1 dapat digunakan untuk memprediksi produktivitas kapal perikanan lemuru di Selat Bali. DAFTAR PUSTAKA Anonymous.2011. AnnualtechnicalreportoftheIndonesiaNorway cooperation in the capacity development of marine fisheries research. FCRMC. (unpublished).
Budihardjo, S., E. M. Amin, & Rusmadji. 1990. Estimasi pertumbuhan dan tingkat kematian ikan lemuru (Sardinella longiceps) di Selat Bali. J. Pen. Perik. Laut. 56: 79-90. Bureau of Meteorology Australia (BOMA), 2005. El Niño, La Niña and Australia’s Climate. Commonwealth of Australia. 6 p. Bureau of MeteorologyAustralia, 2011. SOI (Southern Oscillation Index) Archives - 1876 to present. Bureau of Meteorology, Commonwealth of Australia. http://www.bom.gov.au/climate/current/ soihtm1.shtml Burhanuddin & D.P. Praseno. 1982. Lingkungan perairan Selat Bali. Prosiding Sem. Perikanan Lemuru, Banyuwangi 18-21 Januari 1982. Pros. No. 2/SPL/82: p. 27-32. Burhanuddin, M. Hutomo, S. Martosewoyo, & R. Moeljanto. 1984. Sumber daya ikan lemuru. LONLIPI, Jakarta. 70 p. Cadima, E.L. 2003. Fish stock assessment manual. FAO Fisheries Technical Paper 393. Rome, FAO. 161 p. Dwiponggo, A. 1972. Perikanan dan penelitian pendahuluan kecepatan pertumbuhan lemuru (S. longiceps) di Muncar, Selat Bali. LPPL 1/72–PL. 021/72: p. 117-144. Dwiponggo, A. 1987. Indonesian marine fisheries resources, p. 10 - 63. In C. Bailey, et al. (eds.) Indonesian marine capture fisheries. ICLARM Studies and Review 10. 196 p. International Center for Living Aquatic Resources Management, Manila, Philippines; Directorate General of Fisheries, and Marine Fisheries Research Institute, Ministry of Agriculture, Jakarta, Indonesia. Fox, W.W. 1970. An exponential surplus yield model for optimizing exploited fish populations. Trans. Amer. Fish. Soc., 1970 (1): 80-88. Fox, W.W. 1975. Fitting the generalized stock production model by least-squares and equilibrium approximation. Fishery Bulletin 73 (1): 23-37. Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology (JAMSTEC). 2011. Dipole Mode Index (DMI). http://www.jamstec.go.jp/frcgc/research/d1/ iod/HTML/Dipole Mode Index.html
McCluskey, S.M. & R.L. Lewison. 2008. Quantifying fishing effort: a synthesis of current methods and their applications. Fish and Fisheries 9: 188–200. Merta, I. G. S. 1992. Dinamika populasi ikan lemuru, Sardinella lemuru Bleeker 1853 (Pisces:Clupeidae) di perairan Selat Bali dan alternatif pengelolaannya. Desertasi. Fakultas Pascasarjana, IPB, Bogor. 201 p. Merta, I.G.S. & S. Nurhakim. 2004. m usim penangkapan ikan lemuru, Sardinella lemuru, Bleeker 1853 di perairan Selat Bali. J. Lit. Perikan. Ind., 10 (6): p. 75-83. Merta, I.G.S., K. Widana, Yunizal & R. Basuki. 2000. Status of the lemuru fishery in Bali strait: Its development and prospects. Papers presented at the workshop on the fishery and the management of Bali sardinella (Sardinella lemuru) in Bali strait, Denpasar, Bali, Indonesia, 6 – 8 April 1999. FAO, Rome. Miller, B.S. & A.W. Kendall. 2009. Early life history of marine fishes. University of California Press, Berkeley. 376 p. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). 2007. Glossary of statistical terms. OECD. 863p. Pradini, S., M.E. Rahardjo, & R. Kaswadji. 2001. Kebiasaan makanan ikan lemuru (Sardinella lemuru) di perairan Muncar, Banyuwangi. Jurnal Iktiologi Indonesia, 1(1): 41-45. Purwanto. 2008. Resource rent generated in the Bali strait sardine fishery in a fluctuating environment. Final Draft. Prepared for the World Bank PROFISH Program. Washington. D.C. 33 p. Purwanto. 2011. Bio-economic optimal levels of the Bali strait sardine fishery operating in a fluctuating environment. Ind. Fish. Res. J., 17 (1): 1-12. Ritterbush, S. W. 1975. The assessment of the population biology of the Bali strait lemuru fishery. LPPL 1/75–PL. 051/75. 37 p. Sartimbul, A., H. Nakata, E. Rohadi, B. Yusuf, & H.P. Kadarisman. 2010. Variations in chlorophyll-a concentration and the impact on Sardinella lemuru catches in Bali Strait, Indonesia. Progress in Oceanography 87: 168–174.
185
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 175-186
Schaefer, M.B. 1954. Some aspects of the dynamics of populations important to the management of commercial marine fisheries. Bulletin of the Inter American Tropical Tuna Commission 1: 25-56. Schaefer, M.B. 1957. Some considerations of population dynamics and economics in relation to the management of marine fisheries. Journal of the Fisheries Research Board of Canada, 14: 669– 81. Soemarto. 1959. Craft and gear utilised in the sardine fishery at Muncar, Indonesia, p. 1247-1264. In H. Rosa and G.I. Murphy (eds.), Proceeding of the World Scientific Meeting on the Biology of Sardines and related species. Rome, 14-21 Sept. 1959. Vol. III. FAO, Rome. Soerjodinoto, R. 1960. Synopsis of biological data on lemuru, Clupea (Harengula) longiceps (C.V.). FAO Fish. Biol. Synop., 15: 313-328. Susanto, R.D. & J. Marra. 2005. Effect of the 1997/ 1998 El Nino on chlorophyll a variability along the
186
southern coasts of Java and Sumatra. Oceanography 18(4): 124–127. Susanto, R.D., A.L. Gordon, & Q. Zheng. 2001a. Upwelling along the coasts of Java and Sumatra and its relation to ENSO. Geophysical Research Letters, 28:1559–1602. Susanto, R.D., A.L. Gordon, & Q. Zheng. 2001b. Upwelling within the Indonesian Seas and its relation to Monsoon and ENSO. The Fifth IOC/ WESTPAC International Scientific Symposium, Seoul, Republic of Korea, August 27–31, 2001. 9 p. Wudianto, 2001a. Analisis sebaran dan kelimpahan ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker, 1853) di perairan Selat Bali: kaitannya dengan optimasi penangk apan. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, I.P.B., Bogor. Wudianto, 2001b. Karakteristik gerombolan ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker, 1853) di perairan Selat Bali. Jurnal Penelitian Perikanan Laut, 7 (3): 70-77.
Model Pendugaan Produktivitas Perikanan Pukat Cincin di Laut Jawa (Prasetyo, A. P, et al.)
MODEL PENDUGAAN PRODUKTIVITAS PERIKANAN PUKAT CINCIN DI LAUT JAWA PREDICTION MODEL OF PURSE SEINE PRODUCTIVITY IN JAVA SEA Andhika Prima Prasetyo1, Hanggar Prasetio Kadarisman2 Setiya Tri Haryuni1, Puput Fitri Rachmawati1, Suwarso3, Andria Ansri Utama1 1
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan, Jakarta - KKP 2 Balai Penelitian dan Observasi Laut, Bali – KKP 3 Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru – KKP Teregistrasi I tanggal: 14 Februari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 30 Agustus 2012; Disetujui terbit tanggal: 31 Agustus 2012 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Produktivitas perikanan dipengaruhi banyak faktor, salah satu faktor adalah upaya dan lingkungan yang meliputi suhu permukaan laut (SPL), ketinggian permukaan laut (KPL), klorofil-a, angin, arus, SOI, DMI dan curah hujan. Faktor-faktor tersebut terlebih dahulu diuji multikolinearitas kemudian dianalisis komponen utama untuk mereduksi faktor. Selanjutnya faktor terpilih menjadi masukan bagi jaringan syaraf tiruan (JST) dengan bantuan Forecaster XL. Data yang digunakan merupakan data runtun waktu bulanan selama 16 tahun (1996 - 2011) untuk menyusun model pendugaan dan memvalidasi produktivitas pukat cincin pada tahun 2011. Hasil analisis menunjukkan 9 faktor yang diduga berpengaruh bersifat saling bebas, dan kemudian disederhanakan menjadi 4 faktor dengan PCA. Hasil training data dengan JST diperoleh koefisien pendugaan produktivitas terbaik, dengan nilai korelasi (r) dan Root Mean Square Error (RMSE) berturut-turut sebesar 78.03% dan 48.93%. KATA KUNCI: Pendugaan, produktivitas, jaringan syaraf tiruan, Pukat Cincin, Laut Jawa ABSTRACT: Fisheries productivity are effected by many factor, such as effort and environment factors; including SST, SSH, chlorophyll-a, wind, current, SOI, DMI and rainfall. That factors are tested by multicolinearity analysis and principle component analysis (PCA) first, to reduce factors. Furthermore, simplified factors will entered to Forcaster XL for artificial neural network (ANN) analysis. This analysis was used monthly time series for 16 years (1996-2011), as a prediction target is purse seine productivity in 2011 and will validated by actual values. Results show that 9 factors were independently (no multicolinearity), furthermore that factors was simplified to 4 factors using PCA. ANN training resulted the best fit coefficient to predict productivity which have correlation value (r) and Root Mean Square Error (RMSE) 78.03% and 48.93% respectively. KEYWORDS: Prediction, productivity, artificial neural network, Purse Seine, Java Sea
PENDAHULUAN Perikanan pelagis di Laut Jawa sejak lama dimanfaatkan, terutama oleh pukat cincin. Pukat cincin berkembang pesat sejak pelarangan trawl tahun 1976, terutama di daerah Pekalongan dan Juwana. Hampir 90% hasil tangkapan pukat cincin didaratkan disana (Potier & Sadhotomo, 2003). Produktivitas penangkapan umumnya dinilai dari hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort) Cadima, (2003) menjelaskan bahwa produktivitas sering dianggap sebagai indek relatif dari kelimpahan stok. Fluktuasi produktivitas dipengaruhi oleh banyak faktor. Prisantoso & Sadiyah, (2006) m enjelaskan produktivitas perikanan dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor produksi dan faktor sumberdaya ikan.
Selain itu Syamsudin, (1992) menambahkan bahwa ketersedian ikan berhubungan dengan proses dinamika di suatu daerah. Informasi mengenai produktivitas sendiri menjadi penting sebagai indikator usaha perikanan. Kepmen KP No.60/MEN/2010 mengenai produktivitas kapal penangkapan ikan menyebutkan tujuan penentuan nilai produktivitas tersebut ialah (1) menjamin kesinambungan usaha penangkapan, sehingga kontinuitas produksi dapat berlangsung secara terus menerus, (2) menjaga kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya, (3) menangkap hanya target spesies, serta (4) meningkatkan produktivitas. Penelitian terdahulu, umum nya masih mengembangkan metode regresi (korelasi) untuk
___________________ Korespondensi penulis: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Jl. Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta Utara
187
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 187-195
menduga hubungan antara produktivitas dan faktor produksi maupun lingkungan (Prisantoso & Sadiyah, 2006; Prasetyo & Suwarso, 2010; Prasetyo et al., 2011; Prasetyo & Natsir, 2010; Purwanto, 2011; Ghofar et al., 1999). Sehubungan dengan hal tersebut, pendugaan produktivitas diperlukan sebagai bahan pertimbangan bagi penyusunan strategi penangkapan dan kebijakan pengelolaan. Salah satu metode yang dikembangkan untuk keperluan pendugaan ialah teknik Jaringan Syaraf Tiruan (JST). JST atau juga dikenal dengan Artificial Neural Network (ANN) ialah sistem pemrosesan informasi yang memiliki karakteristik-karakteristik menyerupai jaringan syaraf biologi. Karakteristik yang dimaksud adalah hubungan antar neuron (arsitektur), metode penentuan bobot pada saluran penghubung (training, learning algorithm) dan fungsi aktivasi yang digunakan (Marimin, 2005).
VIF
1 2 1 - r12
1
Tolerance
VIF
2 (1 r12 ) ..... (1)
Jika nilai Toleransi kurang dari 0,1 atau nilai VIF melebihi 10 maka hal tersebut menunjukkan bahwa multikolinearitas adalah masalah yang pasti terjadi antar variabel bebas. b. Principal component analysis (PCA) Prosedur PCA pada dasarnya bertujuan untuk menyederhanakan variabel yang diamati dengan cara menyusutkan (mereduksi) dimensinya. Hal ini dilakukan dengan cara menghilangkan korelasi diantara variabel bebas melalui transformasi variabel bebas asal ke variabel baru yang tidak berkorelasi sama sekali. c. Jaringan syaraf tiruan (JST)
Tujuan penelitian ini adalah untuk menyusun model pendugaan produktivitas pukat cincin dengan metode JST dan melakukan validasi terhadap hasil pendugaan berdasarkan masukkan berupa faktor produksi dan lingkungan. BAHAN DAN METODE Pengumpulan Data Data produktivitas kapal pukat cincin yang digunakan dalam penelitian ini merupakan rekap data dari Form A.1 yang diperoleh dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tasik Agung, Rembang – Jawa Tengah untuk tahun 1996-2011. Pendugaan dan validasi produktivitas dilakukan untuk tahun 2011. Data SPL (suhu permukaan laut), KPL (ketinggian permukaan laut), klorofil-a, angin dan arus diperoleh dari Physical Oceanography Program – NASA (http:// oceanmotion.org) pada grid 109.8-111.8° BT; 5.8-3.8° LS. Data curah hujan diperoleh dari German Federal Ministry of Transport, Building and Urban Development (http://www.dwd.de) pada grid 107.5-110° BT; 3-5° LS. Adapun ENSO yang diindikasikan oleh SOI (Southern Oscillation Indice) diperoleh dari NOAA http:// www.ncdc.noaa.gov/teleconnections/soi, serta IOD dengan indikator DMI (Dipole Mode Index) yang diperoleh dari http://www.jamstec.go.jp/frsgc/ research/d1/iod/
Yani, (2005) menjelaskan mekanisme kerja JST, yaitu: sistem menerima input atau masukan (baik dari data yang dimasukkan atau dari output sel syaraf pada jaringan syaraf). Setiap input datang melalui suatu koneksi atau hubungan yang mempunyai sebuah bobot (weight). Setiap sel syaraf mempunyai sebuah nilai ambang. Jumlah bobot dari input dan dikurangi dengan nilai ambang kemudian akan mendapatkan suatu aktivasi dari sel syaraf (post synaptic potential, PSP, dari sel syaraf). Signal aktivasi kemudian menjadi fungsi aktivasi / fungsi transfer untuk menghasilkan output dari sel syaraf (Gambar 1). Setelah diperoleh penyederhanaan faktor, selanjutnya faktor-faktor tersebut disusun sebagai masukkan bagi Forcaster XL untuk menduga produktivitas pada tahun 2011 (Januari-September). Muharsyah (2009) menjelaskan bahwa pendugaan dengan Forcaster XL mensyaratkan data masukkan tidak boleh memiliki varians yang besar (tingkat keragaman data besar), sehingga perlu dilakukan transformasi. Transform asi tersebut akan menghasilkan nilai data dengan kisaran 0-1. Persamaan transformasi data yang digunakan adalah sbb:
........ (2)
Metode a. Uji multikolinearitas Pengujian multikolinearitas digunakan nilai Toleransi atau VIF (Variance Inflation Faktor), dengan rumus sebagai berikut:
188
Keterangan: Z = data hasil transformasi Yi = series data faktor terpilih Ymax = series data maksimum n = banyaknya series data faktor
Model Pendugaan Produktivitas Perikanan Pukat Cincin di Laut Jawa (Prasetyo, A. P, et al.)
Gambar 1. Arsitektur jaringan syaraf tiruan (Siregar, 2009). Figure 1. Sturucture of artificial neural network (Siregar, 2009). Karena input faktor yang dimasukkan merupakan nilai transformasi, maka hasil dugaan Forcaster XL terlebih dahulu di-invers-kan untuk memperoleh nilai dugaan yang sebenarnya. Persamaan invers ialah:
................................ (4)
................................. (5)
PC1 = -0.002X1 + 0.346X2 + 0.045X3 - 0.31X4 0.048X5 + 0.026X6 + 0.042X7 - 0.367X8 + 0.278X9 ............................................ (6)
Keterangan: Yi* = data produktivitas bulanan sebenarnya Zi* = data produktivitas hasil pendugaan Ymax = data produktivitas maksimum n = banyaknya series data Hasil dugaan produktivitas perikanan pukat cincin oleh Forcaster XL selanjutnya divalidasi. Perhitungan validasi didasarkan pada Root Mean Square Error (RSME) dan nilai korelasi (r) antara produktivitas aktual dan hasil pendugaan, persamaan validasi disajikan:
(Y- Y*)2 RMSE n
HASIL Hasil uji awal mengenai kondisi multikolinearitas menunjukkan bahwa asumsi multikolinearitas tidak terjadi, dimana nilai VIF < 10 (Lampiran 1). Selanjutnya analisis PCA dilak ukan untuk memperoleh input yang lebih sederhana. Hasil analisi PCA diperoleh 4 komponen/input baru yang lebih sederhana dari 9 faktor yang diduga berpengaruh terhadap produktivitas, yang disimbolkan X1-9. Kesembilan faktor tersebut berturut-turut menyimbolkan upaya, SPL, KPL, klorofil-a, arus, angin, SOI, DMI dan curah hujan. Keempat faktor sebagai input baru (PC1-4) tersebut berturut-turut memiliki eigenvalue sebesar 2.356, 1.799, 1.254 dan 1.047; dengan nilai keragaman berturut-turut 26.174, 19.986, 13.934 dan 11.631. Faktor baru tersebut disusun berdasarkan koefisien hasil analisis PCA (Lampiran 2 Component Score Coefficient Matrix) dengan persamaan:
Yi* Zi * .Ymax ; i 1,....., n ............................ (3)
2 (Y- Y*) r 12 (Y- Y)
HASIL DAN BAHASAN
Dugaan dapat dilakukan berulang-ulang (iterasi) hingga ditemukan nilai korelasi terbesar dan RMSE terkecil. Interasi dilakukan dengan mengubah parameter Mean Square Error (MSE), Average Error (AE), Correct Classification Rate (CCR), Training Set Tolerance (Training ST), Test Set Tolerance (Test ST) dan Test Set Data Partition (TSDP) pada Option Forecaster XL.
PC2 = 0.073X1 - 0.023X2 + 0.356X3 + 0.109X4 + 0.411X5 – 0.454X6 + 0.111X7 + 0.062X8 + 0.142X9 .............................................. 7) PC3
= 0.068 X1 + 0.297X2 + 0.404X3 + 0.272X4 - 0.146X5 + 0.063X6 - 0.662X7 - 0.014X8 0.101X9 ............................................(8)
PC4
= 0.906X1 - 0.149X2 - 0.127X3 - 0.002X4 + 0.075X5 – 0.09X6 - 0.107X7 - 0.213X8 0.096X9 .............................................9)
189
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 187-195
Selanjutnya keempat faktor baru (PC) dan CPUE (target pendugaan) ditransformasi sebagai input bagi Forcaster XL (Persamaan 2), dimana nilai Ymax berturut-turut sebesar 185.6, 221.1, 125.4, 1,141.9 dan 19.6. Selanjutnya sistem JST akan melakukan training data (PC) untuk menyesuaikan nilai target (CPUE) dengan cara memboboti komponen hidden layer berulang-ulang (back propagation) hingga diperoleh koefisian terbaik (best fit) bagi model
tersebut. Hasil dari 5 kali training/iterasi data antara produktivitas aktual dan hasil dugaan diperoleh nilai korelasi dan Root Mean Square Error (RSME) yang terbaik berturut-turut ialah 78.03% dan 48.93% (Gambar 2a). Adapun dari keempat faktor tersebut PC 3 memberikan kontribusi tertinggi (45.7%) dalam menduga produktivitas puat cincin, sedang PC1, PC2 dan PC4 berturut-turut sebesar 10.1%, 18.7% dan 25.3% (Gambar 2b).
Summary # of rows: CCR: Average AE: Average MSE: Tolerance type: Tolerance: # of Good forecasts: # of Bad forecasts:
Training set 157 n/a 0.04 0.00 Relative 10% 54 (34%) 103 (66%)
Test set 32 n/a 0.08 0.02 Relative 30% 9 (28%) 23 (72%)
PC1 50% 25% PC4
10.1 PC2
0% 18.7
25.3
RSquared: 0.4893 Correlation: 0.7803
45.7 PC3
Gambar 2. Hasil training data dengan JST (a) dan kontribusi faktor (b). Figure 2. Training data using ANN (a) and factors contribution (b). Pendugaan poduktivitas tahun 2011 dilakukan dengan mengatur nilai parameter MSE, AE, CCR, TestST, TrainingST dan TSDP. Parameter terbaik dalam training data ialah MSE = 10000, AE = 10000, CCR = 75%, Training Set Tolerance = 15%. Test Set Tolerance = 15% dan Test Set Data Partition = 25%. Hasil perbandingan antara produktivitas aktual dan hasil dugan serta nilai deviasinya disajikan pada Gambar 3.
Hasil dugaan produktivitas terlebih dahulu diinvers-kan untuk mengembalikan nilai dugaan yang ditransformasi menggunakan persamaan 3. Kemudian dilakukan validasi nilai dugaan produktivitas dari 5 kali training. Pendugaan produktivitas dinilai dari nilai korelasi (r) dan RSME-nya (Tabel 1).
Tabel 1. Validasi nilai produktivitas aktual pukat cincin dan hasil dugaan tahun 2011 Table 1. Validation between actual and predicted productivity of purse seine in 2011
CPUE aktual 2.29 1.83 1.55 1.37 1.48 1.72 1.74 3.77 3.13 RSME Korelasi
190
CPUE*1 2.28 2.85 2.24 2.45 2.21 1.49 2.70 2.90 3.18 48.93% 78.03%
Dugaan Produktivitas (CPUE*) CPUE*2 CPUE*3 CPUE*4 3.95 4.39 -0.03 3.18 2.16 1.26 3.31 2.90 0.92 3.67 3.26 2.04 1.88 3.05 1.60 1.52 2.96 1.16 2.70 2.37 1.04 2.75 2.43 1.54 3.01 2.63 3.22 65.19% 66.97% 38.79% 82.68% 83.52% 75.48%
CPUE*5 3.64 2.84 3.17 2.09 3.18 2.33 2.58 4.15 2.80 60.48% 80.38%
Model Pendugaan Produktivitas Perikanan Pukat Cincin di Laut Jawa (Prasetyo, A. P, et al.)
Nilai produktivitas aktual dan dugaan yang ditransformasikan
1.22
Aktual
1.02
Training
(a)
0.82
0.62
0.42
0.22
Ja n Jun Nov Apr Sep Feb Jul Dec Ma y Oct Ma r Aug Ja n Jun Nov Apr Sep Feb Jul Dec Ma y Oct Ma r Aug Ja n Jun Nov Apr Sep Feb Jul Dec Ma y Oct Ma r Aug Ja n Jun
0.02
Deviasi nilai aktual dan dugaan
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010 2011
(b)
0.3 0.2 0.1 0 -0.1 -0.2 -0.3
Jan Aug Ma r Oct Ma y Dec Jul Feb Sep Apr Nov Jun Ja n Aug Ma r Oct Ma y Dec Jul Feb Sep Apr Nov Jun Ja n Aug Mar 1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010 2011
Gambar 3. Perbandingan nilai produktivitas aktual dan hasil training data (a) dan deviasinya (b). Figure 3. Comparison between actual and training data productivity (a) and its deviation (b). Berdasarkan penilaian nilai korelasi dan RSME, diketahui bahwa pendugaan produktivitas iterasi pertama (CPUE*1), merupakan dugaan yang terbaik, dimana nilai korelasi dan Root Mean Square Error (RSME) yang terbaik berturut-turut ialah 78.03% dan 48.93%. BAHASAN Secara keseluruhan hasil dugaan memiliki kecenderungan yang sama, dimana produktivitas rendah pada periode Maret-Mei, dan mulai meningkat
Produktivitas/CPUE (ton/trip)
6
pada bulan Juli (Gambar 4), kecuali hasil pendugaan CPUE*4. Hal ini sesuai dengan temuan Prasetyo & Suwarso, (2010) bahwa penangkapan pukat cicin di Laut Jawa mencapai puncaknya pada bulan NovemberJanuari, sedangkan pada bulan Maret-Mei nilai produksi mencapai titik terendah. Kondisi tersebut terkait dengan musim penangkapan di Laut Jawa (Chodriyah & Wiyono, 2011; Potier & Sadhotomo, 1995). Kodisi musim penangkapan dan kondisi kelimpahan ikan mendorong nelayan untuk beradaptasi dan menyusun startegi penangkapan (Wiyono, 2007).
CPUE aktual CPUE*2
5
CPUE*1 CPUE*3
4 3 2 1 Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Bulan
Gambar 4. Perbandingan nilai produktivitas aktual pukat cincin (dash) dan hasil dugaan (line) pada tahun 2011. Figure 4. Comparison between actual (dash) and predicted productivity (line) of purse seine in 2011.
191
1500
3.000 2.000 1.000
1000 500
-
0
Upaya (trip)
4.000
Jan Oct Jul Apr Jan Oct Jul Apr Jan Oct Jul Apr Jan Oct Jul Apr Jan Oct Jul Apr Jan
Produksi (ton)
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 187-195
199619971998199920002001200220032004200520062007200820092010 2011 Produksi (ton)
Upaya (trip)
Gambar 5. Produksi dan upaya bulanan pukat cincin di Laut Jawa (TPI Tasik Agung, 1996-2011). Fugure 5. Monthly fluctuation of production and effort of purse seine in Java Sea (TPI Tasik Agung, 19962011). Jika dibandingkan antara produksi dan upaya (Gambar 5) terlihat bahwa produksi dan upaya tertinggi terjadi pada periode tahun 1996-2002. Penelitian perikanan ikan layang di Laut Jawa oleh Duto, (2006) menyimpulkan bahwa ekspansi kapasitas kapal (ukuran kapal dan termasuk kekuatan mesin, serta perluasan daerah penangkapan) dan taktik penangkapan telah menyebabkan peningkatan laju mortalitas penangkapan dan penurunan stok ikan layang yang serius. KESIMPULAN Pendugaan produktivitas pukat cincin dengan metode JST sangat dim ungkinkan untuk dikembangkan. Hasil pendugaan produktivitas pukat cincin tahun 2011 menunjukkan korelasi (r) yang cukup tinggi sebesar 78.03% dan nilai kesalahan (RMSE) yang rendah (48.93%). Namun metode JST memiliki kelemahan, yakni pendugaan produktivitas perlu dilakukan berulang/iterasi antara data input dan target serta pengaturan nilai parameter MSE, AE, CCR, TestST, TrainingST dan TSDP. Saran untuk penelitian selanjutnya perlu dipertimbangkan untuk menggunakan data lingkungan dengan skala yang lebih kecil, misalnya 2° kali 2°. Selain itu sebaiknya digunakan Forcaster XL full version, sehingga faktor pendugaan dapat lebih banyak ( >10 faktor). PERSANTUNAN Penelitian ini merupakan sebagian dari hasil penelitian Riset Dampak pada Perikanan Pelagis Kaitannya dengan Perubahan Iklim Global TA. 2011 pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. TPI Tasik Agung atas kontribusi data produksi dan upaya pukat cincin.
192
Adapun data parameter lingkungan diperoleh dari Physical Oceanography Program – NASA, German Federal Ministry of Transport, Building and Urban Development, NOAA, JAMSTEC serta Alyuda research company. DAFTAR PUSTAKA Chodriyah, U. & E. S. Wiyono. 2011. Fishing Grounds Dynamics of Purse Seine Fisheries in Java Sea. Indonesia Fisheries Research Jounal. 17 (1): 8. Ghofar et al. 1999. Incorporating the Southern Oscillation Indices to the Management Model of The Bali Strait Sardinella Fishery. Fishcode Management - FAO. Workshop on the Fishery and Management of Bali Sardinella (Sardinella lemuru) in Bali Strait. p. 43-52. Marimin. 2005. Teori dan aplikasi sistem pakar dalam teknologi manajemen. Bogor: IPB Press: p. 123-129. Muharsyah, Robi. 2009. Prakiraan curah hujan tahun 2008 menggunakan teknik neural network dengan prediktor sea surface temperature (SST) di stasiun mopah merauke. Jurnal Meteorologi dan Geofisika 10 (1): 10 – 21. Potier, M. & Sadhotomo, B. 1994. Exploitation of the Large and Medium Seiners Fisheries:. In: Potier, M. & S. Nurhakim (eds.), BIODYNEX: Biology, Dynamics, Exploitation of the Small Pelagic Fishes in the Java Sea. AARD-ORSTOM. p. 49-66. Prasetyo, Andhika P. & Suwarso. 2010. Produktifitas Primer dan Kelimpahan Ikan Layang (Decapterus spp.) Hubungannya dengan Fenomena ENSO di Selat Makassar Bagian Selatan. Marine Fisheries 1( 2): 159-168.
Model Pendugaan Produktivitas Perikanan Pukat Cincin di Laut Jawa (Prasetyo, A. P, et al.)
—————— & Moh. Natsir. 2011. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Terbaik Tahun 2010: Pengaruh Variabilitas Iklim Ektrim terhadap Perikanan Lemuru di Selat Bali. Balitbang Kelautan dan Perikanan – KKP: p. 21-38. ——————, K. Kasim, S. T. Haryuni & S. Aisyah. 2011. Dampak Variabilitas Iklim terhadap Dinamika Perikanan Pukat Cincin di Utara Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut (JPPI) 17 (2): 105-114. Prisantoso, B. I. & L. Sadiyah. 2006. Produktivitas alat tangkap purse seine untuk ikan pelagis kecil di pantai utara jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 12 (1): 36-50. Purwanto. 2011. Bio-Economic Optimal Levels of The Bali Strait Sardine Fishery Operating in A Fluctuating Environment. Indonesian Fisheries Research Journal. 17 (1) :12 p Sadhotomo, B. & M. Potier. 1994. Exploratory scheme for the recruitment and migration of the main pelagic species of the Java Sea. In: Potier, M. & S. Nurhakim (eds.), BIODYNEX: Biology, Dynamics,
Exploitation of the Small Pelagic Fishes in the Java Sea. AARD-ORSTOM. p. 155-168. Siregar, Ivan Michael. 2009. Artificial Neural Network. Bahan Kuliah [tidak dipublikasikan]. Department of Information Technology, Institut Teknologi Harapan Bangsa. 27 p. Syamsudin, F. 1992. Studi arus geostrofik di perairan barat sumatera dan hubungannya dengan sebaran plankton selama musim barat laut dan timur. Skripsi [tidak dipublikasikan]. Jurusan Geofisika dan Meteorologi ITB. 125 p. Wiyono, E. S. 2007. Dinamika harian hasil tangkapan rajungan (Portunus pelagicus) kaitannya dengan fase bulan di perairan Bondet, Cirebon. Buletin Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan. XVI (1): 137-145. Yani, Eli. 2005. Pengantar Jaring Syaraf Tiruan. MateriKuliah.Com. [digital version] http:// trirezqiariantoro.files.wordpress.com/2007/05/ jaringan_ syaraf_tiruan.pdf.
193
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 187-195
Lampiran 1. Hasil uji kenormalan dan multikolinearitas
Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual Dependent Variable: CPUE 1.00
Expected Cum Prob
.75
.50
.25
0.00 0.00
.25
.50
.75
1.00
Observed Cum Prob Coefficientsa
Model 1
(Constant) TRIP SST SSH KLOA SOI DMI CURRENT WIND RAINFALL
Unstandardized Coefficients B Std. Error 15.767 9.339 -.002 .001 -.232 .324 -.064 .040 -.946 2.000 .001 .016 .124 .192 -1.347 2.015 .207 .212 .004 .001
Standardized Coefficients Beta -.295 -.077 -.142 -.042 .005 .053 -.050 .106 .229
t 1.688 -4.047 -.716 -1.599 -.473 .068 .650 -.668 .979 2.718
Sig. .093 .000 .475 .111 .637 .946 .517 .505 .329 .007
Collinearity Statistics Tolerance VIF .896 .413 .604 .597 .737 .705 .851 .404 .667
1.116 2.420 1.655 1.675 1.357 1.418 1.175 2.476 1.498
a. Dependent Variable: CPUE
Karena semua nilai VIF kurang dari 10 (VIF < 10), maka kondisi multikolonieritas tidak terjadi.
194
Model Pendugaan Produktivitas Perikanan Pukat Cincin di Laut Jawa (Prasetyo, A. P, et al.)
Lampiran 2. Hasil uji principle component analysis
Scree Plot 2.5
2.0
1.5
Eigenvalue
1.0
.5
0.0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Component Number Total Variance Explained
Component 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Total 2.356 1.799 1.254 1.047 .849 .597 .476 .408 .215
Initial Eigenvalues % of Variance Cumulative % 26.174 26.174 19.986 46.160 13.934 60.094 11.631 71.725 9.429 81.154 6.633 87.787 5.289 93.076 4.536 97.612 2.388 100.000
Extraction Sums of Squared Loadings Total % of Variance Cumulative % 2.356 26.174 26.174 1.799 19.986 46.160 1.254 13.934 60.094 1.047 11.631 71.725
Rotation Sums of Squared Loadings Total % of Variance Cumulative % 2.314 25.716 25.716 1.821 20.233 45.950 1.247 13.853 59.802 1.073 11.922 71.725
Extraction Method: Principal Component Analysis.
Component Score Coefficient Matrix
TRIP SST SSH KLOA SOI DMI CURRENT WIND RAINFALL
1 -.002 .346 .045 -.310 -.048 .026 .042 -.367 .278
Component 2 3 .073 .068 -.023 .297 .356 .404 .109 .272 .411 -.146 -.454 .063 .111 -.662 .062 -.014 .142 -.101
4 .906 -.149 -.127 -.002 .075 -.090 -.107 -.213 -.096
Extraction Method: Principal Component Analysis. Rotation Method: Varimax with Kaiser Normalization. Component Scores.
195
Kompetisi dan Interaksi Perikanan..............di Laut Jawa (Atmaja, S.B & B. Sadhotomo)
KOMPETISI DAN INTERAKSI PERIKANAN: STUDI KASUS PADA PERIKANAN LAYANG (Decapterus spp.) DI LAUT JAWA COMPETITION AND INTERACTION OF FISHERIES: CASE STUDY ON THE SCADS (Decapterus spp.) FISHERIES IN THE JAVA SEA Suherman Banon Atmaja dan Bambang Sadhotomo Balai Penelitian Perikanan Laut-Muara Baru Teregistrasi I tanggal: 19 September 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 28 Agustus 2012; Disetujui terbit tanggal: 3 September 2012 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Ko-eksistensi dua jenis perikanan komersial yang hidup berdampingan, perikanan pukat cincin semi industri (perikanan berskala besar) dan perikanan berskala kecil, bersaing dalam pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil. Stok ikan yang dapat dieksploitasi adalah kuantitas yang berubah, tergantung pada intensitas penangkapan. Interaksi biomassa dengan upaya penangkapan menunjukkan bahwa kenaikan mortalitas penangkapan (atau upaya penangkapan) akan diikuti dengan penurunan biomassa. Kompetisi diperlihatkan oleh interaksi teknologi, dimana peningkatan aktivitas perikanan pukat cincin semi industri akan meningkatkan mortalitas penangkapan dan hasil tangkapannya, sebaliknya hasil tangkapan pukat cincin mini dan skala kecil terus menurun. Hal ini dapat diartikan bahwa perikanan skala kecil (pukat cincin mini dan tradisional) harus lebih memperhatikan peningkatan aktivitas perikanan pukat cincin semi industri. KATA KUNCI : Kompetisi, interaksi, perikanan, purse seine, ikan layang, Laut Jawa ABSTRACT Co-existence of two types of commercial fisheries, semi-industrial and small-scale purse seiners, to compete in the utilization of small pelagic fish resources. Stock of fish exploited can change in quantity, depend on fishing intensity. Interaction between biomass and fishing effort showed that together with increasing fishing mortality (or fishing effort) will be followed by decreasing of the biomass. The competition was showed by technological interaction, where increasing activity of semi industrial purse seine will increase fishing mortality and increase it’s yields. On the contrary, yield of mini purse seine and small scale always declines. It’s mean that small scale fisheries (mini purse seine and tradisional) have to more notice the increasing activities of purse seine semi industry. This can be interpreted that small scale fishery (mini purse seine and traditional) have to be more pay attention on the increasing of semi industrial purse seine. KEY WORD : Competition, interaction, purse seine, fisheries, scads, Java Sea
PENDAHULUAN Industri perikanan tangkap merupakan industri dengan sumber daya yang memiliki akses terbuka sehingga dapat dimanfaatkan oleh siapa saja. Sifat industri perikanan yang terbuk a tersebut mengakibatkan tidak adanya hambatan bagi pelaku usaha untuk masuk dan keluar dari industri tersebut. Selain itu, tidak ada pula hambatan untuk mengeksploitasi sebanyak mungkin sumber daya perikanan yang tersedia. Ko-eksistensi dua jenis perikanan komersial hidup berdampingan, perikanan pukat cincin semi industri (perikanan berskala besar) dan perikanan berskala kecil bersaing dalam pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil. Sebab dan akibat dari satu perikanan terhadap perikanan yang lainnya disebut interaksi perikanan. ___________________ Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Laut Jl. Muara Baru Ujung Pelabuhan Nizam Zachman, Jakarta Utara
Kleiber, (1994) & Hampton, (1994) membagi menjadi 3 kategori utama yaitu: 1) persaingan ekonomi, dimana aktivitas pasar satu perikanan mempengaruhi kondisi pasar (misalnya harga) perikanan lainnya; 2) stok-dimediasi interaksi, dimana satu perikanan memiliki beberapa efek pada kelimpahan atau ketersediaan dari target populasi ikan perikanan lainnya; dan 3) persaingan alat tangkap, dimana penyebaran alat tangkap atau operasi lain dari satu perikanan mengganggu operasi perikanan lainnya. Dalam stok - dimediasi interaksi, bisa ada persaingan langsung antara perikanan, baik bersamaan atau berturut-turut, dan efek sekunder pada perekrutan atau hubungan trofik. Selain itu, stok-dimediasi interaksi mungkin tergantung pada pergerakan ikan. Bromhead et al. (2004) menyatakan bahwa pada tingkat yang paling dasar definisi interaksi adalah suatu interaksi antara dua armada penangkapan dapat terjadi ketika
197
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 197-204
target kedua armada menangkap stok ikan yang sama. Interaksi tersebut terjadi secara spasial (tempat yang sama, waktu yang berbeda tahun), temporal (waktu yang sama tahun) atau keduanya (menangkap pada lokasi yang sama pada waktu yang sama). Situasiiniseringmenyebabkan konflik antar sektor. Di Laut Jawa, paling sedikit terdapat dua jenis ikan layang (Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma). Kedua jenis ikan layang tersebut merupakan komponen utama di perairan ini, dominasi jenis ikan ini terjadi pada daerah penangkapan yang dipengaruhi oleh massa air bersifat oseanik. Potier & Sadhotomo (1995) menyimpulkan bahwa ikan layang jenis D. macrosoma lebih bersifat oseanik daripada ikan layang jenis D. russelli. Sebelum pukat cincin beroperasi di Laut Jawa, ikan layang jenis D. russelli merupakan proporsi terbesar dari kategori ikan layang (Decapterus spp.). Interaksi antara D. russelli dan D. macrosoma terjadi di perairan bagian timur Laut Jawa dan bagian barat Selat Makassar, dimana D. macrosoma mendominasi hasil tangkapan pada bulan Oktober -April, setelah itu digantikan oleh kenaikan hasil tangkapan D.russelli (Atmaja, 1999). Dari pengamatan genetik disimpulkan bahwa D. russelli menyebar luas di paparan Sunda (Perrin, 1998), sedangkan D. macrosoma terdiri dari dua populasi, yaitu populasi Laut Cina Selatan dan populasi L. Jawa yang menyebar dari bagian timur L. Jawa - Selat Makassar dan bagian utara Sulawesi (Arnaud, 1998). Zamroni et al. (2011) menyimpulkan stok populasi D. russelli di L. Jawa dan L. Flores berbeda dengan stok populasi di Selat Makassar. Sementara stok populasi D. macrosoma di L. Jawa, L. Flores dan di Selat Makassar merupakan satu unit stok. Dengan demikian, ikan layang (D. russelli dan D. macrosoma) sebagai komponen utama sumber daya ikan di Paparan Sunda, secara genetik termasuk “share stock” bagi berbagai alat tangkap ikan pelagis di beberapa propinsi. Ikan layang sebagai populasi kunci (key species) sumber daya
ikan pelagis kecil mewakili untuk menggambarkan interaksi teknologi. Sejauh ini, kajian tentang kompetisi antar pengguna sumber daya perikanan kurang menjadi perhatian. Dari suatu perspektif pengelolaan adalah penting untuk menyediakan informasi yang mendalam tentang kompetisi dan interaksi yang akan terjadi. Clara et al.(2001) menyatakan bahwa pada perikanan artisanal multi-gear dan multi-species, tingkat interaksi teknis (yaitu eksternalitas kompetitif dihasilkan dari eksploitasi bersama terhadap sumber daya milik bersama atau daerah penangkapan) di antara berbagai unit alat penangkapan yang tinggi. Penilaian interaksi teknis bagi pengelolaan perikanan merupakan bagian penting, karena setiap penerapan pengendalian pada satu unit penangkapan ikan berpeluang memberikan pengaruh positif atau negatif pada alat tangkap lainnya. Tulisan menguraikan gambaran kompetisi langsung yang terjadi antara pukat cincin semi industri dengan perikanan skala kecil (pukat cincin mini dan tradisional). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kompetisi dan interaksi, terutama pukat cincin semi industri (skala besar) dengan mini pukat cincin dan perikanan (skala kecil) pada perikanan pelagis kecil BAHAN DAN METODE Pengumpulan Data Data produksi ikan layang dikumpulkan dari hasil tangkapan pukat cincin komersial yang berpangkalan di Pekalongan dan Juwana selama kurun waktu 1996 – 2009, dan produksi total ikan layang seluruh Laut Jawa berdasarkan data statistik perikanan tangkap kurun waktu 1992 – 2009. Sementara itu, parameter model produksi surplus Schaefer digunakan dari hasil penelitian Nugroho, ( 2006).
Tabel 1. Parameter fungsi produksi surplus dari model logistik berdasarkan sumber data Pekalongan dan Juwana Table 1. Parameters of surplus production function from logistic model based on source of Pekalongan and Juwana Data Parameter r K (x1000 ton) q (x10-5) EMSY (x1000 hari) CMSY (x1000 ton) BMSY (x1000 ton) FMSY Sumber: Nugroho (2006)
198
D. macrosoma 0,62 174,3 0,42 73,2 26,8 87 0,31
D. russelli 0,7 165,8 0,51 68,6 29,7 82,9 0,35
Decapterus spp. 0,97 228 0,68 70,9 55,3 114 0,48
Kompetisi dan Interaksi Perikanan..............di Laut Jawa (Atmaja, S.B & B. Sadhotomo)
Analisis Data Dalam model produksi surplus “Schaefer” mengekspresikan hubungan linier antara upaya penangkapan dengan biomassa (B = K – (K*q/r)*E)., karena F=q*E maka persamaan tersebut dapat ditulis kembali menjadi B = K – (K/r)*F. Proporsi untuk setiap alat tangkap dapat dihitung dengan rumus: Yi =Fi*(1–(Fi+Fi+1+ Fn)/r)*K. Dimana Yi = hasil tangkapan alat tangkap ke i = 1, 2, ...n, r = laju pertumbuhan intrinsik stok ikan, q=koefisien kemampuan tangkap, E = upaya penangkapan, K = daya dukung lingkungan (enviromental carrying capacity), F = mortalitas penangkapan dan B=biomassa. Secara teoritis pengaruh perikanan pukat cincin semi industri (PS) terhadap perikanan pukat cincin mini (MPS) dan tradisional dapat disimulasikan dengan keragaan perikanan MPS dan tradisional sebagai fungsi aktivitas perikanan PS, yang dapat ditulis sebagai berikut: YMPS=Y(PS,MPS) dan interaksi absolut = Y(PS, MPS) – Y(0, MPS).
produksi ikan layang ditempati oleh Propinsi Jawa Tengah (56,9%), urutan selanjutnya Jawa Timur (26,5%), Kalimatan Selatan dan Timur (7%), Lampung (3,4%), Jawa Barat (3,0%) DKI Jakarta (1,7) dan Banten (0,4) (Gambar 1). Propinsi Jawa Tengah memberi kontribusi produksi terbesar, terutama berasal dari pukat cincin yang mendaratkan hasil tangkapan di sentra pendaratan ikan Pekalongan & Juwana (42,3%), sisanya (14,6%) dari perikanan pukat cincin mini dan alat tangkap tradisional lainnya. Tren perkembangan produksi ikan layang selama kurun waktu 1996 – 2009 memperlihatkan fluktuasi produksi ikan layang yang menurun dan pola tren produksi ikan layang di Laut Jawa dan Jawa hampir sama dengan pola tren produksi ikan layang di sentra pendaratan ikan Pekalongan dan Juwana (Gambar 2). 3,4% 0,4%
4,8% 2,2%
2,3% 3,0% Lampung Banten DKI Jakarta
26,5%
Jawa Barat
Pukat cincin semi industri (skala besar) adalah kapal kayu yang mempunyai panjang sekitar 25 - 30 meter, mesin inboard 250 - 320 PK, kapal berbobot lebih besar dari 60 GT, panjang jaring 400 - 700 meter, dan dalam jaring 40 - 70 meter. Kapal dilengkapi dengan alat bantu, seperti jumlah lampu sebanyak 30 - 40 buah (200 – 1000 watt), radio komunikasi, penentu posisi (GPS) dan pernerum gema ikan (fish finder). Kapal dapat mejangkau daerah penangkapan tidak hanya terbatas di wilayah teritorial dan perairan Nusantara tetapi sudah sampai ke Samudera. Penerbitkan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dikeluarkan oleh pusat, sedangkan kapal berbobot > 30 – 60 GT memiliki kemampuan jangkauan di atas 150 mil. Potier, (1998) menyatakan bahwa kapal purse seine besar dan sedang termasuk perikanan semi industri. Sementara definisi kapal pukat cincin mini (sakal kecil) adalah kapal kayu ukuran mulai dari 12 sampai 17 meter, kapal berbobot 5 – 10 GT didukung dengan satu atau dua mesin 25 - 40 HP, panjang jaring 200 - 250 meter dan dalam jaring 40 -60 meter. Daerah operasi umumnya tidak jauh dari pantai (1 - 10 jam berlayar atau jangkauan mencapai 30 – 80 mil) dari tempat pendaratan dan lama operasi sekitar 1 - 4 malam. HASIL DAN BAHASAN HASIL
Jawa Tengah Jawa Timur Kalimantan Timur
56,9%
Kalimatan Selatan
Gambar 1. Persentase produksi ikan layang menurut Propinsi selama runtun waktu tahun 1992 – 2009 Figure 1. The percentage of scads production by province during the period of 1992 – 2009 Penurunan produksi selama 5 tahun terakhir disebabkan penurunan jumlah kapal dan aktivitas penangkapan. Jumlah kapal aktif di Pekalongan .pada tahun 2009 hanya tersisa sekitar 30% dibandingkan pada tahun 1995. Rata-rata jumlah trip /kapal selama 24 tahun aktivitas penangkapan menurun tajam dari rata-rata trip sekitar 9,1 trip/kapal pada tahun 1986 menjadi sekitar 2,3 trip/kapal pada tahun 2010 (Gambar 3). Sebagian kapal melakukan rotasi eksploitasi setelah penurunan stok ikan pelagis kecil di Laut Jawa (menjadi perikanan cantrang dan perikanan cumi-cumi) dan relok asi usaha penangkapan. Dengan demikian, penurunan aktivitas tersebut tidak semata-mata dipengaruhi oleh faktor kenaikan biaya operasional, tetapi semakin menipisnya hasil tangkapan.
Perkembangan Produksi Ikan Layang Berdasarkan data statistik perikanan tangkap tahun 1992 – 2009 memperlihatkan sebagian besar
Dalam 25 tahun terakhir, penurunan stok ikan di kawasan Asia-Pasifik sekitar 6-33% (FAO, 2004). Lebih lanjut, diperkirakan bahwa stok ikan laut dunia
199
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 197-204
saat ini yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi tinggal hanya 24%. Sekitar 52% stok sudah termanfaatkan secara maksimal dan tidak mungkin dieksploitasi lebih lanjut, dan sisanya sudah overeksploitasi atau stoknya sudah menurun (FAO, 2005). Salah satu jalan yang mungkin bisa ditempuh untuk membantupemulihanstokikanlautakibatoverfishingadalah dengan cara menurunkan kapasitas penangkapan. 160.000 Layang (PKL+JWN) Layang (DGF)
Produksi (ton)
120.000
Layang (Jateng) 80.000
40.000
0 1996
1997 1998 1999 2000
2001 2002 2003 2004
2005 2006 2007 2008
2009
Tahun
Gambar 2. Tren perkembangan produksi ikan layang (Decapterus spp) hasil tangkap perikanan pukat cincin di Laut Jawa dan sekitarnya di Jawa Tengah, tempat pendaratan Pekalongan dan Juwana selama kurun waktu tahun 1996 – 2009. Figure 2. Trends in the development of fish scads (Decapterus spp) production of purse seiner in the Java Sea and its adjacent waters, in Central Java, Pekalongan and Juwana landing sites during the period of 1996 - 2009.
dieksploitasi, biomassa akan menurun secara bertahap. Berdasarkan parameter produksi surplus yang diterakan pada Tabel 1 menunjukkan biomassa ikan layang turun drastis mencapai kurang dari satu per empat dari biomassa awal yang diterakan pada Gam bar 4. (Nugroho, 2006). Situasi ini mengindikasikan bahwa ikan layang telah dieksploitasi sangat intensif dan perikanan telah mencapai kestabilan jangka panjang atau perikanan pelagis kecil telah mencapai titik jenuh (Atmaja, 2008). Ketika akses bebas pada sumber daya ikan benar-benar tak terbatas akan memicu dua macam eksternalitas, yaitu: eksternalitas kontemporer dan eksternalitas antar generasi. Eksternalitas kontemporer, yang ditanggung oleh generasi saat ini, yaitu pemanfaatan sumber daya berlebihan - terlalu banyak upaya penangkapan dan terlalu banyak nelayan. Akibatnya, nelayan saat ini menghasilkan tingkat substansial lebih rendah dari laba atas upayanya. Eksternalitas antar generasi, ditanggung oleh generasi mendatang, terjadi karena penangkapan ikan yang berlebihan mengurangi stok yang pada gilirannya menurunkan keuntungan masa depan dari penangkapan ikan (Tietenberg, 1992).
.
Gambar 3. Rata-rata trip per kapal dalam kurun waktu 1985-2010 Figure 3. Average trip per vessel in the period of 19852010 Tren Biomassa Layang Perubahan kelimpahan stok ikan dipengaruhi tiga parameter dari produksi surplus, yaitu pertumbuhan intrinsik (r), carring capacity (K)dan koefisien kemampuan tangkap (q), dimana ketiga parameter ini sangat menentukan besaran stok ikan dan hasil tangkapan. Ketika sumber daya ikan m ulai
200
Gambar 4. Dinamika biomassa ikan layang (Decapterus spp.) (Bdm = biomasa D. macrosoma, Bdr = biomasa D. russelli, Bscads = biomasa D. macrosoma and D. russelli). Figure 4. Dynamics of scads (Decapterus spp.) biomass. (Bdm = biomass of D. macrosoma, Bdr = biomass of D. russelli, Bscads = biomass of D. macrosoma and D. russelli). Sebagaimana banyak dipahami bahwa suatu sumber daya yang bersifat common, ketika terjadi penurunan stok maka tidak mudah untuk dibagibagikan di dalam pemanfaatannya. Persoalan ekstemalitas tetap akan muncul pada saat sumber daya ikan dimanfaatkan, karena ekstemalitas· merupakan suatu dilema yang menjadi ciri khas sendiri dan yang membedakannya dari sumber daya
Kompetisi dan Interaksi Perikanan..............di Laut Jawa (Atmaja, S.B & B. Sadhotomo)
lainnya. Ekstemalitas muncul ketika nelayan menangkap tidak akan memperhitungkan akibatnya bagi nelayan lain, atau pemanfaatan sumber daya yang dilakukan seorang individu akan berpengaruh terhadap individu yang lain. Simulasi Kompetisi Perikanan Pukat Cincin Interaksi antar perikanan adalah satu perikanan dapat mempengaruhi perikanan lainnya, yaitu melalui mekanisme kompetisi langsung terhadap stok ikan yang sama. Jenis interaksi ini dapat terjadi antara dua perikanan yang beroperasi tumpang tindih atau daerah penangkapan terpisah, dan yang menangkap kelompok umur sumberdaya ikan yang sama atau berbeda pada tingkat kehidupan dari target spesies. Informasi lain, rumponisasi perairan laut dalam pada perikanan pukat cincin telah berdampak negatif terhadap perikanan tuna long line, karena ikan tuna yang tertangkap di sekitar rumpon adalah tuna muda yang berukuran 3 sampai 10 kg per ekor, sedangkan ukuran tuna yang layak ditangkap adalah 20 sampai 60 kg per ekor. Dengan demikian apabila relokasi perikanan pukat cincin dan rumponisasi tersebut terus dikembangkan maka akan mengacam populasi tuna (ASTUIN, Tabloid Maritim No. 452). Morgan et al. (2007) menyimpulkan bahwa karakteristik perikanan tangkap di Asia Tenggara adalah pengembangan dan pengelolaan pantai yang kompleks. Konflik antar berbagai para pengguna sumber daya akuatik
diantaranya adalah merosotnya sumber daya ikan, kelebihan kapasitas, penangkapan ikan bersifat merusak (destructive fishing) dan IUU fishing. Fenomena ini memperlihatkan adanya kompetisi tidak adil antara perikanan skala besar dan nelayan skala kecil. Kelebihan kapasitas dan IUU fishing telah mengindikasikan kerangka pengelolaan yang tidak efektif. Selama ini, adanya pengaruh pukat cincin semi industri (PS) terhadap keragaan perikanan skala kecil (pukat cincin mini (MPS) dan tradisional), diduga berdasarkan atas model produksi surplus dan asumsi bahwa perikanan skala kecil tidak terjadi perubahan teknologi dan peningkatan upaya penangkapan. Pengukuran pengaruh perikanan PS terhadap perikanan MPS, diduga bahwa keragaan perikanan MPS sebagai fungsi aktivitas perikanan PS atau YMPS = YMPS (PS,MPS), dimana aktivitas penangkapan (peningkatan upaya penangkapan) digambarkan dengan mortalitas penangkapan (F=q*E). Interaksi teknologi yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 5. Pada Gambar tersebut menunjukkan kenaikan mortalitas penangkapan telah meningkatkan hasil tangkapan PS, sebaliknya hasil tangkapan MPS dan tradisional terus menurun. Oleh karena itu, untuk mengetahui interaksi atau kompetisi perikanan purse seine skala kecli (mini) dengan pukat cincin semi indutri dilakukan simulasi, hasil analisisnya diterakan pada Gambar 6.
Gambar 5. Simulasi interaksi antara pukat cincin semi industri, pukat cincin mini dan perikanan skala kecil (tradisional). pukat cincin semi industri adalah fungsi dari mortalitas penangkapan, pukat cincin mini dan Tradisional bersifat tetap dengan mortalitas penangkapan masing-masing sebesar 0,2 dan 0,15. Figure 5. Simulation of interaction between semi-industry purse seiner, mini purse seiner and small-scale fisheries (traditional). Semi-industry purse seiner is a function of fishing mortality, mini purse seiner and traditional fishing mortality are fixed at 0.2 and 0.15, respectively
201
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 197-204
Gambar 6. a) Simulasi interaksi antara perikanan pukat cincin semi industri (PS) dengan pukat cincin mini (MPS). (Aktivitas perikanan diukur oleh mortalitas penangkapan; garis hitam (anak panah) menunjukkan tingkat optimum dari perikanan skala kecil (MPS) sebagai fungsi PS) b) Indeks interaksi absolut antara perikanan MPS dengan perikanan PS. Figure 6. a) Simulation for the interaction between purse seiner semi industry (PS) and mini purse seiner (MPS). (The activity of fisheries is measured by fishing mortality, black lines (arrow) indicates the optimum level of small-scale fisheries (MPS) as a function of PS) b) index of absolute interaction between the MPS and PS. Gambar 6a memperlihatkan variasi indeks interaksi tergantung tingkat mortalitas penangkapan ikan layang dari perikanan PS sebagai parameter independen, berpengaruh pada hasil tangkapan maksimum yang dapat diperoleh oleh perikanan MPS atau suatu peluang interaksi dari pengaruh perikanan pukat cincin semi industri terhadap peluang yang tersedia bagi optimalisasi hasil tangkap perikanan pukat cincin mini. Hasil tangkapan optimum ditunjukan oleh garis hitam (anak panah). tercapai dari kombinasi mortalitas penangkapan kedua perikanan tersebut, dimana hasil tangkapan optimum terbesar akan tercapai pada saat mortalitas penangkapan pukat cincin semi industri masih rendah. Apabila mortalitas penangkapan pukat cincin semi industri meningkat, sebaliknya mortalitas penangkapan perikanan pukat cincin mini menurun dan menghasilkan hasil tangkapan optimum cenderung lebih kecil. Iindeks interaksi absolut menerangkan bahwa besaran interaksi akibat pengaruh bertambahnya mortalitas penangkapan dari perikanan pukat cincin semi industri (Gambar 6b). Peningkatan aktivitas perikanan pukat cincin semi industri meningkatkan interaksi absolut, yang ditunjukan oleh besaran tingkat interaksi absolut yang bergerak ke arah kanan. Dengan demikian, peningkatan indeks interaksi menunjukkan peningkatan aktivitas perikanan pukat cincin semi industri akan menyebabkan penurunan aktivitas perikanan pukat cincin mini. Hal ini menyatakan secara tidak langsung bahwa perikanan skala kecil (perikanan pukat cincin mini dan tradisional) harus lebih memperhatikan peningkatan aktivitas perikanan pukat cincin semi industri.
202
BAHASAN Peningkatan indeks mortalitas penangkapan pada perikanan skala besar berdampak terhadap produktivitas perikanan Sadhotomo (1991) menyimpulkan adanya suatu interaksi antara perikanan skala kecil dengan perikanan skala besar yang menangkap jenis ikan yang sama. Hal ini diperlihatkan juga oleh pendekatan dinamika biomassa sebagaimana dapat dilihat pada makalah sebelumnya (Nugroho, 2006). dimana secara teoritis, pengaruh eksploitasi pada ikan – ikan muda oleh perikanan skala kecil akan berpengaruh terhadap hasil tangkapan perikanan skala besar, hasil analisis menunjukkan derajat interaksi yang sangat lemah antara kedua perikanan tersebut (Sadhotomo, 1998). Akan tetapi intensitas penangkapan yang tinggi terhadap kelompok ikan muda selama bertahun-tahun akan mengakibatkan berkurangnya candangan induk ikan. Secara alami, kedua ikan layang (D. macrosoma dan D. russelli) tertangkap bersamaan. Dari pengamatan aspek reproduksi telah diketahui bahwa kedua jenis ikan layang ini mempunyai pola reproduksi yang berbeda. D. russelli yang tertangkap dalam kondisi matang gonada kerapkali ditemukan di sekitar Kep. Karimunjawa, P. Bawean dan P. Masalembo dan ikan dewasa yang salin kembali dari daerah pemijahan ke daerah penangkapan setelah kondisi kembali ke tingkat kematangan I. Sebaliknya D. macrosoma sebagian besar didominasi oleh ikan yang reproduktif tidak aktif dan ikan dalam kondisi matang gonada ditemukan secara kebetulan. Sangat sedikitnya
Kompetisi dan Interaksi Perikanan..............di Laut Jawa (Atmaja, S.B & B. Sadhotomo)
sampel yang matang gonada memberi indikasi bahwa tertangkapnya ikan matang gonad tidak dalam bentuk gerombolan (Atmaja et al., 1995; Atmaja, 1999; Atmaja & Sadhotomo, 2000). Hal ini menunjukkan kedua jenis ikan tersebut memiliki kebutuhan konservasi yang berbeda. Dengan demikian, secara teoritis, proses produksi yang interdepedent dari individu nelayan (hasil tangkapan nelayan akan sangat tergantung dari tangkapan nelayan lain), maka penyusutan stok ikan berlangsung secara serentak dan dirasakan juga oleh perikanan pelagis lainnya. Nelayan tradisional dari Kalimatan Selatan dan Kalimatan Timur merasakan banyaknya kapal pendatang beroperasi di perairannya telah menyebabkan hasil tangkapan mereka menurun drastis Kompetisi antara perikanan skala besar (pukat cincin semi industri) dengan perikanan skala kecil (pukat cincin mini dan tradisional) dalam perebutan stok ikan yang tersisa, tidak terhindari dalam persaingan daerah penangkapan dan juga dibarengi dengan konflik. Peristiwa konflik antara nelayan pukat cincin yang berasal dari Jawa Tengah dengan nelayan perikanan tradisional Kalimatan Selatan dan Timur pada awal tahun 2006, yaitu: pembakaran kapal Mutiara Sakti yang berasal dari Juwana di perairan Balikpapan dan kapal Dharma Samudra yang berasal dari Tegal di perairan selatan Kota Baru (Atmaja & Nugroho, 2006). Sementara kapal pukat cincin mini yang berasal dari pantai utara Jawa Timur (Gresik, Weru, Kranji, Tuban) dan Rembang untuk menghindari kompetisi, mereka bergerak ke bagian barat pantai utara Jawa hingga Selat Sunda. Sejak 1997, perikanan pukat cincin mini juga telah berkembang dengan cara meningkatan teknologi penangkapannya, terutama alat bantu penangkapan ikan mengikuti PS semi industri, yakni penggunaan lampu sorot, penentu posisi (GPS) dan fish finder. Selain itu, baik jumlah maupun bobot kapal perikanan pukat cincin mini cenderung meningkat. Di Rembang, kenaikan jumlah kapal ini mencapai lebih dari 100% selama 10 tahun (tahun 1995 jumlah kapal sekitar 300 kapal meningkat menjadi 600 – 700 kapal pada tahun 2006). Akhir-akhir ini kapal pukat cincin semi industri mulai memperluas daerah penangkapannya ke Laut Flores. Dari sudut pandang unit stok berdasarkan analisis genetika ikan layang diduga akan berdampak pada perikanan di Laut Jawa.
optimum dari perikanan pukat cincin mini dan prerikanan tradisional yang cenderung menurun. Oleh karena itu, suatu pengukuran interaksi dan kompetisi harus diletakan dalam pendugaan lebih luas, yakni ada kompetisi tidak adil antara perikanan skala besar dan nelayan skala kecil. Dengan demikian dalam mengalokasikan armada perikanan pukat cincin ke suatu daerah penangkapan perlu mempertimbangkan perlindungan terhadap hak-hak nelayan lokal. Koordinasi antara pusat dan daerah dilakukan secara intensif dalam pengembangan usaha perikanan tangkap. Proporsi hasil tangkapan terbesar (83%) ikan layang dilakukan oleh perikanan pukat cincin dari Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, maka perhatian untuk regulasi perikanan pukat cincin harus ditujukan kepada kedua propinsi tersebut. Salah satu jalan yang berpeluang untuk dapat ditempuh untuk membantu pemulihanan stok ikan laut akibat overfishing adalah dengan cara menurunkan kapasitas penangkapan. PERSANTUNAN Naskah ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil penelitian Dinamika Perikanan Pukat Cincin sebagai Indikator Perilaku antar Wilayah Pengelolaan Perikanan: Sejarah Pembelajaran dari Indonesia, Hibah Penelitian Kerjasama Diknas dan DKP T.A2009 di Balai Penelitian Perikanan Laut. Muara Baru. Jakarta DAFTAR PUSTAKA Arnaud, S. 1998. Le chinchard, Decapterus macrosoma, poisson pélagique de Mer de Java, un exemple d’espèce marine génétiquement structurée. Mem., DEA., USTL-ENSAM, Montpellier. 21 p. Atmaja, S.B. 1999. Variasi geografis hasil tangkapan ikanlayang (Decapterusspp.)di perairanbagianselatan Paparan Sunda. Jur. Pen. Per. Ind. 5 (3): 63 -71 ————————, 2008. Sumber daya ikan pelagis kecil dan Dinamika perikanan pukat cincin di Laut Jawa dan sekitarnya. BRPL. PRPT. BRKP. 100 p.
KESIMPULAN DAN SARAN
Atmaja, S.B. & D. Nugroho, 2006. Interaksi antara Biomassa dengan Upaya penangkapan: Studi kasus perikanan pukat cincin di Pekalongan dan Juana. JPPI. 12 (1 ): 57-68.
Berdasarkan kajian indikator interaksi menunjukkan pengaruh kuat dari aktivitas perikanan pukat cincin semi industri terhadap hasil tangkapan
Atmaja, S.B. & B. Sadhotomo, 2005. Study on the reproductionof “layangdeles”Shortfinscad(Decapterus macrosoma) in the Java Sea. IFRJ. 11: 9 – 18.
203
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.18 No. 3 September 2012 : 197-204
Atmaja, S.B., Wijopriyono & Ganesa. 2000. Biologi reproduksi ikan banyar (Rastrelliger kanagurta) dan layang (Decapterus russelli) di perairan bagian Selatan Paparan Sunda. Prosiding Seminar Kelautan. Bromhead, D., .J Pepperell & J. Findlay. 2004. Analyses of fishery interactions. Striped Marlin Biology and Fisheries. p. 145 – 170. Clara, U., Gascuel, D., Dunn, M.R., Le Gallic, B., & Dintheer, C. 2001. Estimation of technical interactions due to the competition for resource in a mixed-species fishery, and the typology of fleets and metiers in the English Channel. Journal: Aquatic Living Resources. 14 (5): 267-281p. Nugroho, D. 2006. Kondsi trend biomassa ikan layang (Decapterus spp.) di Laut Jawa dan sekitarnya JPPI. 12 (3): 167-173. FAO, 2004. Overfishing on the increase in Asia-Pacific seas. Decline in valuable fish species, better management required: FAO report. http:// www.fao.org/newsroom /en/news/2004, Rome/ Bangkok. FAO, 2005. Depleted fish stocks require recovery efforts. New report on world fisheries and aquaculture presented to FAO Committee on Fisheries today. http://www.fao.org/newsroom / en/news/2005. Hilborn, R. & C.J. Walters. 1992. Quantitative Fisheries Stock Assessment: Choice, Dynamics and Uncertainty. Chapman and Hall. New York, London. 570 p. Hampton, J. 1994. A review of tuna fishery-interaction issues in the western and central Pacific Ocean. In: Shomura, R.S., J. Majkowski and S. Langi (eds.). Interactions of Pacific tuna fisheries. Proceedings of the First FAO Expert Consultation on Interactions of Pacific Tuna Fisheries, 3-11 December 1991, Noumea, New Caledonia. Vol. 1: Summary report and papers on interaction. FAO Fish. Tech. Pap. (336/1): 138-157. Kleiber, P. 1994. Types of tuna fishery interaction in the Pacific Ocean and methods of assessing interaction. In: Shomura, R.S., J. Majkowski and
204
S. Langi (eds.). Interactions of Pacific tuna fisheries. Proceedings of the First FAO Expert Consultation on Interactions of Pacific Tuna Fisheries, 3-11 December 1991, Noumea, New Caledonia. Vol. 1: Summary report and papers on interaction. FAO Fish. Tech. Pap. (336/1): 61-73. Morgan, G., D. Staples and S.F. Smith. 2007. Fishing capacity management and IUU fishing in Asia. Asia-Pacific Fishery Commmision FAO of The United Nations Regional Office for Asia and the Pacific. Bangkok. RAP publication 2007/16. 28 p. Perrin, C. 1998. Phylogénie de l’ADN mitochondrial, structure géographique et reconstruction de l’histoire évolutive des populations du complexes d’espèce Decapterus cf. russellii dans le sud-est asiatique. Mem., DEA., Univ., Mediterranee AixMarseille II, 43 p. Potier, M., 1998. Pêcherie de layang et senneurs semi industriels Javanais: Perspective historique et approche système. Phd Thesis, Université de Montpellier II, 280 p. Sadhotomo, B. 1991. Dampak perkembangan upaya penangkapan pukat cincin terhadap produktivitas perikanan pelagis kecil di Laut Jawa. JPPL. 63: 73– 96. Sadhotomo, B. 1998. Bioécologie des principales espèces pélagiques exploitées en mer de Java. Phd Thesis, Université de Montpellier II. 364 p. Statistik Perikanan Indonesia (Fisheries Statistics of Indonesia) 1996-2001. Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2002 - 2009. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Perikanan dan Kelautan, Jakarta. Tientenberg, T. 1992. Environmental and Natural Resource Economics. Harper Collins Publishers inc. 678 p. Zamroni, A., Suwarso & E. Nugroho, 2011. Kajian struktur genetika populasi dan prospeknya untuk pengelolaan perikanan. Makalah dipresentasikan pada Seminar Pelepasan Prof. Dr. Subhat Nurhakim. Jakarta. 15 p.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Pedoman Bagi Penulis UMUM 1. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia memuat hasil-hasil penelitian bidang biologi perikanan, teknologi pemanfaatan sumberdaya ikan, pengkajian potensi dan pemacuan sumberdaya ikan. 2. Naskah yang dikirim asli dan jelas tujuan, bahan yang digunakan, maupun metode yang diterapkan dan belum pernah dipublikasikan atau dikirimkan untuk dipublikasikan di mana saja. 3. Naskah ditulis/diketik dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar, tidak diperkenankan menggunakan singkatan yang tidak umum 4. Naskah diketik dengan program MS-Word dalam 2 spasi , margin 4 cm (kiri)-3 cm (atas)-3 cm (bawah) dan 3 cm (kanan), kertas A4, font 12-times news roman, jumlah naskah maksimal 15 halaman dan dikirim rangkap 3 beserta soft copynya. Penulis dapat mengirimkan naskah ke Redaksi Pelaksana Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, Pusat Riset Perikanan Tangkap, Jl. Pasir Putih No.1 Ancol, Jakarta Utara 14430, Telp.: (021) 64711940, Fax.: (021) 6402640, E-mail:
[email protected]. 5. Dewan Redaksi berhak menolak naskah yang dianggap tidak layak untuk diterbitkan. PENYIAPAN NASKAH 1.
Judul
2.
Abstrak
3.
Kata Kunci
4.
Pendahuluan
5.
Bahan dan Metode
6. 7. 8. 9.
Hasil dan Bahasan Kesimpulan Persantunan Daftar Pustaka
Contoh
10. Tabel 11. Gambar
: Naskah hendaknya tidak lebih dari 15 kata dan mencerminkan isi naskah, diikuti dengan nama penulis. Jabatan atau instansi penulis ditulis sebagai catatan kaki di bawah halaman pertama. : Dibuat dengan Bahasa Indonesia dan Inggris paling banyak 250 kata, isinya ringkas dan jelas serta mewakili isi naskah. : Ditulis dengan Bahasa Indonesia dan Inggris, terdiri atas 4 sampai 6 kata ditulis dibawah abstrak dan dipilih dengan mengacu pada agrovocs. : Secara ringkas menguraikan masalah-masalah, tujuan, dan pentingnya penelitian. Jangan menggunakan sub bab. : Secara jelas dan ringkas menguraikan penelitian dengan rincian secukupnya sehingga memungkinkan peneliti lain untuk mengulangi penelitian yang terkait. : Diuraikan secara jelas serta dibahas sesuai dengan topik atau permasalahan yang terkait dengan judul. : Disajikan secara ringkas dengan mempertimbangkan judul naskah, maksud, tujuan, serta hasil penelitian. : Memuat judul kegiatan dan dana penelitian yang menjadi sumber penulisan naskah. : Disusun berdasarkan pada abjad tanpa nomor urut dengan urutan sebagai berikut. Nama pengarang (dengan cara penulisan yang baku), tahun penerbitan, judul artikel, judul buku atau nama dan nomor jurnal, penerbit dan kota, serta jumlah atau nomor halaman.
: Sunarno, M. T. D., A. Wibowo, & Subagja. 2007. Identifikasi tiga kelompok ikan belida (Chitala lopis) di Sungai Tulang Bawang, Kampar, dan Kapuas dengan pendekatan biometrik. J.Lit.Perikan.Ind. 13 (3). 1-14. Sadhotomo, B. 2006. Review of environmental features of the Java Sea. Ind.Fish Res J. 12 (2). 129-157. Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scintific Publishing Company. New York. 318 p. Defeo, O., T. R. Mc Clanahan, & J. C. Castilla. 2007. A brief history of fisheries management with emphasis on societal participatory roles. In McClanahan T. & J. C. Castilla (eds). Fisheries Management: Progress toward Sustainability. Blackwell Publishing. Singapore. p. 3-24. Utomo, A. D., M. T. D. Sunarno, & S. Adjie. 2005. Teknik peningkatan produksi perikanan perairan umum di rawa banjiran melalui penyediaan suaka perikanan. In Wiadnyana, N. N., E. S. Kartamihardja, D. I. Hartoto, A. Sarnita, & M. T. D. Sunarno (eds). Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia Ke-1. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. p. 185-192. Publikasi yang tak diterbitkan tidak dapat digunakan, kecuali tesis, seperti contoh sebagai berikut: Anderson, M.E, Satria F. 2007. A New Subfamily, Genus, and Species of Pearlfish (Teleostei: Ophidiiformes: Carapidae) from Deep Water off Indonesia. Species Diversity 12: 73-82.
: Disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, dengan judul di bagian atas tabel dan keterangan. : Skema, diagram alir, dan potret diberi nomor urut dengan angka Arab. Judul dan keterangan gambar diletakkan di bawah gambar dan disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. 12. Foto : Dipilih warna kontras atau foto hitam putih, judul foto ditulis dalam dua Bahasa Indonesia dan Inggris, dan nomor urut di sebaliknya. Dicetak dalam kertas foto atau dalam bentuk digital. 13. Cetak Lepas (Reprint) : Penulis akan menerima cetak lepas secara cuma-cuma. Bagi tulisan yang disusun oleh lebih dari seorang penulis, pembagiannya diserahkan pada yang bersangkutan.