ISSN 0853 - 5884
JURNAL PENELITIAN PERIKANAN INDONESIA Volume 19 Nomor 1 Maret 2013 Nomor Akreditasi: 455/AU2/P2MI/LIPI/08/2012 (Periode: Agustus 2012 - Agustus 2015) Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia adalah wadah informasi perikanan, baik laut maupun perairan umum daratan. Jurnal ini menyajikan hasil penelitian sumber daya, penangkapan, oseanografi, lingkungan, rehabilitasi lingkungan, dan pengkayaan stok ikan. Terbit pertama kali tahun 1994. Tahun 2006, frekuensi penerbitan Jurnal ini tiga kali dalam setahun pada bulan April, Agustus, dan Desember. Tahun 2008, frekuensi penerbitan menjadi empat kali yaitu pada bulan MARET, JUNI, SEPTEMBER, dan DESEMBER. Ketua Redaksi: Prof. Dr. Wudianto, M.Sc Anggota: Prof. Dr. Ir. Ngurah Nyoman Wiadnyana, DEA Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Indra Jaya Prof. Dr. Ir. M.F. Rahardjo, DEA Dr. Ir. Abdul Ghofar, M.Sc. Mitra Bestari untuk Nomor ini: Prof. Dr. Ir. Endi Setiadi Kartamihardja, M.Sc. Redaksi Pelaksana: Dra. Endang Sriyati Arief Gunawan, S.Kom. Desain Grafis : Kharisma Citra, S.Sn
Alamat Redaksi/Penerbit: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta Utara 14430 Telp. (021) 64711940; Fax. (021) 6402640 Email:
[email protected] Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia diterbitkan oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan-Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan PerikananKementerian Kelautan dan Perikanan.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Pedoman Bagi Penulis UMUM 1. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia memuat hasil-hasil penelitian bidang biologi perikanan, teknologi pemanfaatan sumberdaya ikan, pengkajian potensi dan pemacuan sumberdaya ikan. 2. Naskah yang dikirim asli dan jelas tujuan, bahan yang digunakan, maupun metode yang diterapkan dan belum pernah dipublikasikan atau dikirimkan untuk dipublikasikan di mana saja. 3. Naskah ditulis/diketik dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar, tidak diperkenankan menggunakan singkatan yang tidak umum 4. Naskah diketik dengan program MS-Word dalam 2 spasi , margin 4 cm (kiri)-3 cm (atas)-3 cm (bawah) dan 3 cm (kanan), kertas A4, font 12-times news roman, jumlah naskah maksimal 15 halaman dan dikirim rangkap 3 beserta soft copynya. Penulis dapat mengirimkan naskah ke Redaksi Pelaksana Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, Pusat Riset Perikanan Tangkap, Jl. Pasir Putih No.1 Ancol, Jakarta Utara 14430, Telp.: (021) 64711940, Fax.: (021) 6402640, E-mail:
[email protected]. 5. Dewan Redaksi berhak menolak naskah yang dianggap tidak layak untuk diterbitkan. PENYIAPAN NASKAH 1.
Judul
2.
Abstrak
3.
Kata Kunci
4.
Pendahuluan
5.
Bahan dan Metode
6.
Hasil dan Bahasan
7. 8. 9.
Kesimpulan Persantunan Daftar Pustaka
Contoh
10. Tabel 11. Gambar
: Naskah hendaknya tidak lebih dari 15 kata dan mencerminkan isi naskah, diikuti dengan nama penulis. Jabatan atau instansi penulis ditulis sebagai catatan kaki di bawah halaman pertama. : Dibuat dengan Bahasa Indonesia dan Inggris paling banyak 250 kata, isinya ringkas dan jelas serta mewakili isi naskah. : Ditulis dengan Bahasa Indonesia dan Inggris, terdiri atas 4 sampai 6 kata ditulis dibawah abstrak dan dipilih dengan mengacu pada agrovocs. : Secara ringkas menguraikan masalah-masalah, tujuan, dan pentingnya penelitian. Jangan menggunakan sub bab. : Secara jelas dan ringkas menguraikan penelitian dengan rincian secukupnya sehingga memungkinkan peneliti lain untuk mengulangi penelitian yang terkait. : Hasil dan bahasan dipisah, diuraikan secara jelas serta dibahas sesuai dengan topik atau permasalahan yang terkait dengan judul. : Disajikan secara ringkas dengan mempertimbangkan judul naskah, maksud, tujuan, serta hasil penelitian. : Memuat judul kegiatan dan dana penelitian yang menjadi sumber penulisan naskah. : Disusun berdasarkan pada abjad tanpa nomor urut dengan urutan sebagai berikut. Nama pengarang (dengan cara penulisan yang baku), tahun penerbitan, judul artikel, judul buku atau nama dan nomor jurnal, penerbit dan kota, serta jumlah atau nomor halaman.
: Sunarno, M. T. D., A. Wibowo, & Subagja. 2007. Identifikasi tiga kelompok ikan belida (Chitala lopis) di Sungai Tulang Bawang, Kampar, dan Kapuas dengan pendekatan biometrik. J.Lit.Perikan.Ind. 13 (3). 1-14. Sadhotomo, B. 2006. Review of environmental features of the Java Sea. Ind.Fish Res J. 12 (2). 129-157. Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scintific Publishing Company. New York. 318 p. Defeo, O., T. R. Mc Clanahan, & J. C. Castilla. 2007. A brief history of fisheries management with emphasis on societal participatory roles. In McClanahan T. & J. C. Castilla (eds). Fisheries Management: Progress toward Sustainability. Blackwell Publishing. Singapore. p. 3-24. Utomo, A. D., M. T. D. Sunarno, & S. Adjie. 2005. Teknik peningkatan produksi perikanan perairan umum di rawa banjiran melalui penyediaan suaka perikanan. In Wiadnyana, N. N., E. S. Kartamihardja, D. I. Hartoto, A. Sarnita, & M. T. D. Sunarno (eds). Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia Ke-1. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. p. 185-192. Publikasi yang tak diterbitkan tidak dapat digunakan, kecuali tesis, seperti contoh sebagai berikut: Anderson, M.E, Satria F. 2007. A New Subfamily, Genus, and Species of Pearlfish (Teleostei: Ophidiiformes: Carapidae) from Deep Water off Indonesia. Species Diversity 12: 73-82.
: Disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, dengan judul di bagian atas tabel dan keterangan. : Skema, diagram alir, dan potret diberi nomor urut dengan angka Arab. Judul dan keterangan gambar diletakkan di bawah gambar dan disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. 12. Foto : Dipilih warna kontras atau foto hitam putih, judul foto ditulis dalam dua Bahasa Indonesia dan Inggris, dan nomor urut di sebaliknya. Dicetak dalam kertas foto atau dalam bentuk digital. 13. Cetak Lepas (Reprint) : Penulis akan menerima cetak lepas secara cuma-cuma. Bagi tulisan yang disusun oleh lebih dari seorang penulis, pembagiannya diserahkan pada yang bersangkutan.
KATA PENGANTAR Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia (JPPI) di tahun 2013 memasuki Volume ke-19. Pencetakan jurnal ini dibiayai oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan anggaran tahun 2013. Semua naskah yang terbit telah melalui proses evaluasi oleh Dewan Redaksi dan editing oleh Redaksi Pelaksana. Penerbitan pertama di Volume 19 tahun 2013 menampilkan tujuh artikel hasil penelitian perikanan di perairan laut Indonesia. Ketujuh artikel tersebut mengulas tentang: Karakteristik Teknis Alat Tangkap Pukat Cincin di Perairan Teluk Apar, Kabupaten Paser-Kalimantan Timur; Komposisi Tangkapan dan Laju Pancing Longline serta Daerah Penangkapannya di Perairan Laut Banda; Aktivitas Penangkapan Individu Kapal Purse Seine di Laut Maluku: Sistem Pemantauan Kapal (VMS) dan Observer; Efisiensi Teknis Perikanan Rawai Tuna di Benoa (Studi Kasus: PT. Perikanan Nusantara); Perkembangan Perikanan Cumi-cumi di Sentra Pendaratan Ikan Utara Pulau; Efisiensi Penangkapan Pukat Cincin di Beberapa Daerah Penangkapan Watampone; dan Taktik Penangkapan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) di Samudera Hindia Berdasarkan Data Hook Timer dan Minilogger. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan kontribusi bagi para pengambil kebijakan dan pengelola sumber daya perikanan di Indonesia. Redaksi mengucapkan terima kasih atas partisipasi aktif para peneliti dari lingkup dan luar Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan.
Redaksi
i
ISSN 0853 - 5884 JURNAL PENELITIAN PERIKANAN INDONESIA Volume 19 Nomor 1 Maret 2013 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………………………...
i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………………….
ii
Karakteristik Teknis Alat Tangkap Pukat Cincin di Perairan Teluk Apar, Kabupaten Paser- Kalimantan Timur Oleh : Mahiswara, Tri Wahyu Budiarti , dan Baihaqi…………………………………………………………
1-7
Komposisi Tangkapan dan Laju Pancing Longline Serta Daerah Penangkapannya di Perairan Laut Banda Oleh : Umi Chodrijah dan Budi Nugraha………………………………………………………………………
9-16
Aktivitas Penangkapan Individu Kapal Purse Seine di Laut Maluku: Sistem Pemantauan Kapal (VMS) dan Observer Oleh : Mohamad Natsir dan Suherman Banon Atmaja………………………………………………………
17-24
Efisiensi Teknis Perikanan Rawai Tuna di Benoa (Studi Kasus: PT. Perikanan Nusantara) Oleh : Budi Nugraha dan Hufiadi………………………………………………………………………………
25-30
Perkembangan Perikanan Cumi–Cumi di Sentra Pendaratan Ikan Utara Pulau Jawa Oleh : Suherman Banon Atmaja………………………………………………………………………………
31-38
Efisiensi Penangkapan Pukat Cincin di Beberapa Daerah Penangkapan Watampone Oleh : Hufiadi dan Erfind Nurdin.....................................................................................................
39-45
Taktik Penangkapan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) di Samudera Hindia Berdasarkan Data Hook Timer dan Minilogger Oleh : Andi Bahtiar, Abram Barata, dan Dian Novianto……………………………………………………
47-53
iii
Karakteristik Teknis Alat Tangkap ……… Teluk Apar, Kabupaten Paser-Kalimantan Timur (Mahiswara., et al.)
KARAKTERISTIK TEKNIS ALAT TANGKAP PUKAT CINCIN DI PERAIRAN TELUK APAR, KABUPATEN PASER - KALIMANTAN TIMUR TECHNICAL CHARACTERISTICS OF THE PURSE SEINE FISHING GEAR IN APAR BAY, DISTRIC PASER, EAST KALIMANTAN Mahiswara, Tri Wahyu Budiarti dan Baihaqi Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru Jakarta Teregistrasi I tanggal: 22 Oktober 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 4 Maret 2013; Disetujui terbit tanggal: 5 Maret 2013 e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Pukat cincin merupakan salah satu alat tangkap yang dioperasikan nelayan di Perairan Teluk Apar, Kalimantan Timur. Pukat cincin Teluk Apar tergolong pukat cincin jaring lingkar dan menggunakan material sederhana dalam konstruksinya. Penelitian pukat cincin bertujuan untuk mengetahui karakteristik secara teknis. Metode deskriptif-observatif digunakan untuk menghimpun data. Analisis data digunakan untuk menentukan nilai rasio antara daya tenggelam dan daya apung. Hasil analisis menunjukkan bahwa, nilai rasio antara daya tenggelam dan daya apung pukat cincin Teluk Apar adalah 1,68. Penggunaan material polyvynil chloride (PVC) dan batu kali, mengurangi efektivitas pukat cincin. Penggunaan material yang tepat (kuningan untuk cincin, timah hitam untuk pemberat), penambahan waktu rendam rumpon dan meningkatkan kemampuan jangkauan daerah penangkapan dapat mengoptimalkan kinerja pukat cincin Teluk Apar. KATA KUNCI: Karakteristik, alat tangkap, pukat cincin, teluk apar ABSTRACT Purse seine is one of the fishing gear that operated in Teluk Apar water, East Kalimantan. Teluk apar purse seine is categorized a ring net and constructed by using simple materials. The aims of study is to determine the technical characteristics of teluk apar purse seine. Descriptive and observation methods are used to gather data. Analysis of the data used to determine the value of the ratio between the sinking force and buoyancy. The result showed that the ratio between the sinking force and buoyancy of teluk apar purse seine is 1,68. The use of polyvynil chloride (PVC) and the stone, reducing the effectiveness of purse seine. The use of appropriate materials (bronze for ring and plumbum for sinker), the addition of FADs soak time and improve the fishing ground coverage can optimize the performance of Teluk Apar purse seine. KEYWORDS: Characteristic, fishing gear, purse seine, apar bay
PENDAHULUAN Perairan Teluk Apar merupakan salah satu daerah penangkapan utama kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Paser. Kabupaten Paser adalah salah satu wilayah di Provinsi Kalimantan Timur yang terletak di bagian paling selatan,yang secara geografis berada pada posisi antara 000 58’ 10,54’’ - 020 24’ 29,19’’ LS dan 1150 36’ 14,59’’ - 1160 57’ 35,03’’BT. Sebagian besar produksi perikanan tangkap Kabupaten Paser berasal dari wilayah perairan laut Teluk Apar. Produksi perikanan dari perairan Teluk Apar dihasilkan dari berbagai jenis alat tangkap seperti; jaring insang, jaring trammel, pukat cincin, pancing tonda, rawai, bagan, sero, jermal dan berbagai tipe bubu. Kelompok alat tangkap jaring insang serta jaring trammel merupakan penyumbang utama produksi perikanan laut Kabupaten Paser, diikuti oleh pukat
cincin dan alat tangkap lainnya. Data yang dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Paser menunjukkan bahwa, produksi perikanan laut pada tahun 2009 sebesar 12.523 ton. Jumlah unit penangkapan pukat cincin yang memberikan konstribusi produksi perikanan kedua terbesar (1.165 ton) pada tahun 2009, dengan jumlah unit penangkapan tercatat sebanyak 32 unit (Anonim, 2010). Alat tangkap pukat cincin mulai berkembang di wilayah Teluk Apar pada tahun 1990-an. Jumlah unit penangkapan pukat cincin mengalami perkembangan mulai tahun 1996, dan mencapai puncaknya pada tahun 2001 sebanyak 84 unit pukat cincin. Jumlah pukat cincin terus mengalami penurunan hingga mencapai setengahnya setelah hampir satu dekade. Meskipun dari sisi jumlah unit pada tahun 2009 relatif kecil, 0.5% dari total unit alat tangkap yang ada di
___________________ Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Laut Jl. Muara Baru Ujung, Komp. Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman, Jakarta Utara
1
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 2013 : 1-7
Kabupaten Paser, namun pukat cincin di perairan Teluk Apar cukup produktif. Pukat cincin di Teluk Apar memiliki rancang bangun berbeda dengan yang umum dioperasikan di wilayah perairan Indonesia. Dalam rancangannya tidak menggunakan pemotongan jaring (tappering) khususnya untuk membentuk bagian bawah jaring. Hal lain yang membedakan pukat cincin yang dioperasikan nelayan Teluk Apar adalah penggunaan material dalam konstruksinya. Rancang bangun dan konstruksi alat tangkap akan menentukan kinerja produktif, disamping faktor eksternal lain seperti cara pengoperasian, ketrampilan nelayan dan kondisi daerah penangkapan.
Unit penangkapan pukat cincin terdiri atas kapal motor, alat tangkap pukat cincin dan anak buah) serta dilengkapi dengan alat bantu pengumpul ikan (rumpon). Panjang tali ris atas atas pukat cincin antara 700-900 m. Material utama jaring adalah nylon (polyamida/PA). Sebagai penguat badan jaring bagian pinggir (srampat) digunakan jaring dari bahan polyethelene (PE). Pelampung berbentuk bola dari bahan plastik dan synthetic rubber dipasangkan di bagian ris atas. Pemberat jaring menggunakan batu (kali), sedangkan cincin tempat tali kerut (purse line) digunakan pipa paralon (polyvinylchloride) (Gambar 2).
Penelitian pukat cincin di Teluk Apar bertujuan untuk mengetahui karakteristik yang menentukan kinerja alat tangkap dan produktivitanya. Tulisan ini berisi hasil analisis karakteristik teknis alat tangkap pukat cincin yang dioperasikan oleh nelayan di perairan Teluk Apar, Kalimantan Timur. Informasi terkait hasil tangkapan disajikan untuk memberikan gambaran mengenai tingkat produktivitas pukat cincin. BAHAN DAN METODE BAHAN Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret dan Agustus 2011. Bahan penelitian adalah unit penangkapan pukat cincin, khususnya alat tangkap pukat cincin yang dioperasikan nelayan dan berbasis di Muara Pasir dan Tanjung Aru, Tanah Grogot Kabupaten Paser (Gambar 1). 0° Latitude
5°
Latitude
-1°
0°
-5° 110°
115°
120°
Longitude
-2°
-3°
-4° 116°
118°
120°
Longitude
Gambar 1. Wilayah perairan Teluk Apar, Kalimantan Timur Figure 1. Teluk Apar Waters, Esat Kalimantan
2
Gambar 2. Bagian kontruksi alat tangkap pukat cincin Teluk Apar Figure 2. Construction Parts of Apar Bay purse seine BAHAN DAN METODE Pengumpulan Data Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode deskriptif, suatu pendekatan yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat keadaan tertentu. Data dan informasi terkait perikanan pukat cincin diperoleh dengan cara melakukan wawancara secara langsung, melakukan pengukuran dan penghitungan objek alat tangkap serta melakukan wawancara dengan nelayan pelaku usaha. Pengumpulan data perkembangan perikanan pukat cincin dihimpun dari institusi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Paser serta kelompok nelayan yang terdapat di Muara Pasir dan Tanjung Aru. Analisis Data Karakteristik pukat cincin didasarkan pada analisis parameter teknis alat tangkap. Perhitungan parameter alat tangkap didasarkan pada formula yang dikembangkan oleh Prado & Dremire (1991). Prinsip
Karakteristik Teknis Alat Tangkap ……… Teluk Apar, Kabupaten Paser-Kalimantan Timur (Mahiswara., et al.)
perhitungannya adalah menentukan rasio antara daya apung dengan daya tenggelam seluruh komponen yang membentuk pukat cincin. Beberapa parameter yang dihitung adalah: Bobot Jaring (Bersimpul), W = H * L * Rtek/1000 x K .……………………(1) dimana: W = bobot jaring yang dihitung (Kg) H = jumlah baris simpul pada tinggi jaring L = panjang jaring (stretched mesh) (m) Rtex = ukuran benang jaring K = faktor koreksi simpul (sesuai dengan berat simpul) Daya Apung dan Daya Tenggelam, P = A * (1 – DW/DM)………………………….(2) dimana: P = bobot dalam air (Kg) A = bobot di udara (Kg) DW = densitas air (g/cc); air laut = 1,026 DM = densitas material (g/cc) Kinerja produktivitas pukat cincin didasarkan pada rasio antara data hasil tangkapan per unit upaya. Data dan informasi yang digunakan adalah data statistik perikanan ditunjang dengan informasi yang berhasil dihimpun di lapang.
HASIL DAN BAHASAN HASIL Pukat cincin Teluk Apar memiliki ukuran panjang (tali ris atas) antara 700-900 m, dengan tinggi jaring (bagian tertinggi) 45 m. Material utama jaring yang digunakan adalah nylon (PA=polyamida) multifilament. Beberapa bagian menggunakan jaring berbahan PE (polyethelene), berfungsi sebagai penguat bagian pinggir jaring. Tali temali menggunakan bahan PE. Pelampung yang digunakan pada pukat cincin teluk apar menggunakan bola berbahan plastik dan pelampung yang terbuat dari bahan synthetic rubber. Pemberat menggunakan bahan timah dan sebagian besar menggunakan batu kali. Cincin (ring) tempat alur tali kerut (purse line) menggunakan bahan PVC (polyvinyl chloride) berupa pipa pralon yang dipotong membentuk cincin. Secara terinci, spesifikasi alat tangkap pukat cincin Teluk Apar disajikan pada Gambar 3. Pengamatan dan pengukuran terhadap sampel unit penangkapan pukat cincin Teluk Apar yang dilakukan terhadap (KM Sapaat Marwah) diperoleh nilai-nilai spesifikasi material yang yang menentukan nilai rasio antara data apung (bouyancy) dan daya tenggelam (sinking force) seperti disajikan pada Tabel 1.
Gambar 3. Deskripsi pukat cincin Teluk Apar Figure 3. Design of Apar Bay purse seine
3
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 2013 : 1-7
Tabel 1. Daya apung dan daya tenggelam pukat cincin Teluk Apar Table 1. Bouyancy and sinking force of teluk apar purse seine
Kapal yang digunakan untuk mengoperasikan pukat cincin memiliki dimensi panjang (P), lebar (L) dan dalam (D) yang berkisar antara; 10.5–14.0 (m) x 3.20 -5,5 (m) x 1.50-2.25 (m). Tenaga penggerak utama menggunakan mesin Mitsubishi PS 120 (4 sylinder), mesin gardan menggunakan Dongfeng 24 PK serta genset berkekuatan 1,5 kW. Pada umumnya pukat cincin Teluk Apar menggunakan mesin motor dalam. Pukat cincin Teluk Apar yang wilayah operasinya relatif masih di sekitar perairan pantai, memberikan konstribusi produksi yang signifikan terhadap perikanan di Kabupaten Paser. Pada tahun 2009 dengan produksi perikanan laut sebesar 12.532 ton, sebanyak 10% (1.164 ton) merupakan produksi yang didaratkan armada pukat cincin. Dalam kurun waktu antara 2003 hingga 2009 produksi pukat cincin
cenderung mengalami perkembangan, meskipun jumlah unit penangkapan relatif tetap, seperti tersaji pada Gambar 4. Hasil pemantauan terhadap kinerja produksi unit penangkapan pukat cincin antara bulan April – September 2011, yang dilakukan terhadap pukat cincin yang berbasis di Tanjung Aru melalui kegiatan enumerasi, diperoleh gambaran produktivitas seperti tercantum dalam Tabel 2. Jenis ikan yang tertangkap dengan alat tangkap pukat cincin utamanya adalah kelompok ikan pelagis kecil seperti layang (Decapterus spp), selar (Selaroides spp), tetengek, tembang (Sardinella spp.) dan siro (Amblygaster sp.p). Produktivitas unit penangkapan pukat cincin Teluk Apar pada musim timur (periode April – September) berkisar antara 500 – 600 kg/unit.
1200 1000 800 600
Pukat cincin (unit)
400
Produksi (ton)
200 0 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Gambar 4. Upaya (unit) dan produksi pukat cincin Teluk Apar 2003 – 2009 Figure 4. Catches and effort of Apar Bay purse seine 2003 – 2009
4
Karakteristik Teknis Alat Tangkap ……… Teluk Apar, Kabupaten Paser-Kalimantan Timur (Mahiswara., et al.)
Tabel 2. Produktivitas pukat cincin Teluk Apar bulan April–September 2011 Table 2. Productivity of Apar Bay rse seine April–September 2011
nd: tidak ada data BAHASAN Secara umum terdapat dua tipe pukat cincin yang telah dikembangkan di Indonesia, yaitu, pukat cincin tipe Amerika dan tipe Jepang. Letak perbedaan kedua tipe tersebut adalah pada posisi terbentuknya kantong. Pukat cincin tipe Amerika posisi terbentuknya kantong di bagian pinggir, sedangkan tipe Jepang di bagian tengah (Ayodhyoa, 1981; Brandt, 1984). Posisi terbentuknya kantong berada di bagian pinggir, menjadikan pukat cincin teluk apar dikategorikan sebagai pukat cincin tipe Amerika. Kebiasaan nelayan mengoperasikan jaring insang diduga menjadi pertimbangan utama pemilihan pukat cincin kantong pinggir. Pukat cincin dioperasikan dengan melingkarkan pada gerombolan ikan, baik yang sudah terkumpul dengan bantuan alat bantu penangkapan (rumpon, cahaya lampu), maupun yang dalam posisi bergerak dengan cara diburu (hunting system). Efektivitas pengoperasian pukat cincin ditentukan oleh kecepatan melingkar jaring, kecepatan tenggelam jaring untuk segera membentuk dinding guna menahan gerak kelompok ikan keluar secara horisontal, serta kecepatan untuk menarik tali kolor (purse line) untuk menahan larinya ikan ke arah vertikal (bagian bawah jaring) (Sainsbury, 1971). Rancang bangun pukat cincin teluk apar tergolong kelompok ‘pukat cincin jaring lingkar’ (BBPPI, 2010), dengan posisi pembentukan kantong di bagian pinggir jaring. Kelompok pukat cincin ini salah satunya dicirikan dengan bentuk bagian bawah yang tidak mengalami potongan (tapering), lembar jaring bagian bawah langsung dikerut untuk memperoleh nilai panjang tali ris bawah (Gambar 3). Penggunaan bahan jaring model ini lebih boros dibandingkan dengan model lain untuk ukuran panjang jaring sama. Seperti alat tangkap ikan pada umumnya, keberhasilan pukat cincin dalam menangkap ikan
ditentukan oleh banyak faktor, baik yang bersifat internal (rancang bangun dan konstruksi) maupun eksternal (ketersediaan sumberdaya, kondisi cuaca, arus, ketrampilan dalam pengoperasian. Pukat cincin merupakan alat tangkap yang ditujukan untuk menangkap kelompok sumberdaya ikan pelagis. Rancang bangun dan konstruksi merupakan salah faktor internal yang menentukan keberhasilan pukat cincin. Penggunaan material nylon merupakan pilihan yang tepat untuk pukat cincin, oleh karena material nylon memliki kekuatan dan lebih baik serta mudah melepaskan air dibanding bahan dari kuralon, teteron maupun polyester (Klust, 1987). Kelemahan material nylon adalah nilai massa jenisnya yang rendah sehingga kecepatan tenggelamnya relatif rendah. Kondisi ini perlu diimbangi dengan pemilihan material yang tepat untuk bagian lain seperti, pemberat, cincin (ring) tali temali dan pelampung. Penggunaan material PVC untuk cincin (ring) suatu hal yang tidak lazim, meskipun merupakan pilihan yang mungkin sejauh parameter dasar alat tangkap pukat cincin (rasio daya apung dengan daya tenggelam) dapat dipenuhi. Kelemahan material PVC adalah massa jenisnya yang kecil, sehingga akan berpengaruh terhadap kecepatan tenggelamnya. Keunggulan material PVC adalah mudah diperoleh dan harganya relative murah dibandingkan dengan material logam. Material PVC juga memiliki kelebihan tidak bersifat korosive. Umumnya material cincin yang digunakan adalah kuningan, oleh karena disamping memiliki massa jenis yang besar, juga tidak bersifat korosif. Material pemberat yang digunakan pada pukat cincin Teluk Apar adalah batu (kali). Batu memiliki massa jenis yang relatif besar, kekurangan batu adalah sulit mendapatkan ukuran yang sama (bentuk dan berat). Pemasangan pemberat yang tidak merata di sepanjang tali ris bawah akan mempengaruhi tampilan jaring dan kinerja produksinya.
5
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 2013 : 1-7
Berdasarkan aspek teknis alat tangkap, efektivitas pukat cincin ditentukan oleh nilai rasio antara daya tenggelam dan daya apung. Nilai daya tenggelam dan daya apung sangat ditentukan oleh material yang digunakan dalam pembuatan pukat cincin (Nomura & Yamazaki, 1975). Pada pukat cincin mini yang berbasis di Pemalang, Jawa Tengah dengan daerah pengoperasian di perairan utara Jawa, diperoleh nilai rasio antara daya tenggelam dan daya apung sebesar 2.0 (Nurdin & Hufiadi, 2006). Hasil analisis terhadap seluruh komponen material yang digunakan pada pukat cincin teluk apar, diperoleh nilai rasio antara daya tenggelam dan daya apung sebesar 1,68. Nilai rasio yang diperoleh masih di dalam ambang kisaran nilai yang disyaratkan yaitu antara 1,5 – 2,5 (Prado & Dremier, 1991). Pemilihan material yang digunakan dalam mengkonstruski pukat cincin Teluk Apar memiliki keunggulan dan kelemahan yang secara keseluruhan berpengaruh terhadap performa jaring. Untuk jaring dengan dimensi yang sama, penggunaan jaring nylon tanpa simpul akan mengurangi total bobot jaring. Jenis dan dimensi pelampung yang digunakan menjadikan tampilan pukat cincin Teluk Apar baik, oleh karena tersebar secara merata dengan jarak antar pelampung yang cukup. Pilihan material PVC untuk untuk cincin kurang tepat, oleh karena massa jenisnya kecil, sehingga mengakibatkan kecepatan tenggelam jaring rendah. Sementara penggunaan batu kali sebagai pemberat, dengan bentuk dan ukuran yang tidak sama berpengaruh terhadap tampilan bagian bawah jaring. Meski secara perhitungan nilai rasio antara daya tenggelam dan daya apung pukat cincin teluk apar dalam batas kisaran yang disyaratkan, namun kecepatan tenggelam pada saat dioperasikan rendah. Diperlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai jaring terentang sempurna secara vertikal. Kondisi ini dapat mengurangi efektivitas pukat cincin oleh karena terciptanya kesempatan ikan lolos lebih besar. Menilik pada dimensi kapal, tenaga penggerak yang digunakan dan jumlah ABK dalam satu unit penangkapan, pukat cincin teluk apar tergolong pukat cincin ukuran mini. Ukuran jaring yang relatif panjang tidak merupakan kendala dalam pengoperasiannya, khususnya saat penarikan jaring, oleh karena tinggi jaring yang relatif pendek. Potier & Sadhotomo (1995) menuliskan bahwa pukat cincin ukuran mini dioperasikan dengan menggunakan kapal kayu berukuran panjang antara 15-20 m, tenaga penggerak menggunakan mesin berkekuatan 35-100 HP. Kapal dilengkapi dengan palka berkapasitas 20-25 ton ikan segar. Operasi penangkapan dilakukan tidak jauh dari
6
pantai pada perairan dengan kedalaman sampai dengan 30 m. Pada umumnya pukat cincin mini melakukan trip harian (one day trip). Pukat cincin Teluk Apar yang memiliki karakteristik teknis baik, dikaitkan dengan kinerja unit penangkapan dengan indikator hasil tangkapan, belum menggambarkan perolehan hasil yang optimal. Kuat diduga faktor teknis alat tangkap berkonstribusi nyata terhadap rendahnya kinerja produksi pada pukat cincin Teluk Apar. Mengamati kondisi perikanan pukat cincin di Teluk Apar, faktor lain yang diduga berpengaruh adalah ketrampilan ABK dan daerah penangkapan (ketersediaan sumberdaya ikan). Upaya untuk meningkatkan produktivitas pukat cincin perlu diketahui faktor yang berpengaruh terhadap total hasil tangkapan. Hasil penelitian pukat cincin yang berbasis di utara Jawa, menunjukkan bahwa kekuatan mesin kapal, kekuatan lampu dan volume pukat cincin (dimensi alat tangkap) merupakan factor yang secara signifikan berpengaruh terhadap daya tangkap (Purwanto & Nugroho, 2012). Hasil penelitian ini masih relevan dengan hasil kajian produktivitas pukat cincin yang dilakukan sebelumnya, dimana faktor teknis alat tangkap memberikan pengaruh yang signifikan (Iskandar et al., 2007). Perbaikan dalam system perakitan (rigging) untuk mendapatkan tampilan yang lebih baik alat tangkap pukat cincin di dalam air, serta penggunaan material yang tepat diharapkan dapat meningkatkan kinerja produksinya. Analisis terhadap data produksi dan upaya (jumlah unit penangkapan) menunjukkan bahwa perikanan pukat cincin Teluk Apar, tidak mengalami perkembangan yang signifikan selama periode 20032009. Lonjakan produksi tertinggi hasil tangkapan terjadi pada tahun 2009 (Gambar 4). Pencatatan data produksi dan upaya pukat cincin melalui kegiatan enumerasi yang dilakukan antara bulan April – Oktober 2011 menegaskan bahwa produktivitas pukat cincin teluk apar belum optimal. Analisis terhadap data enumerator memberikan nilai CPUE antara 572–613 kg/kapal/hari. Trip harian yang dilakukan nelayan pukat cincin Teluk Apar menjadikan jumlah rumpon yang terbatas mengalami intensitas pengoperasian yang tinggi. Keberadaan ikan di sekitar rumpon belum mencapai jumlah optimal pada saat dilakukan operasi penangkapan. Keterbatasan wahana kapal, menjadikan kemampuan untuk memperluas jangkauan daerah penangkapan menjadi hal yang tidak mungkin dilakukan. Ekploitasi berlebih pada daerah penangkapan yang terbatas mengakibatkan menurunnya kestersediaan ikan dan berkurangnya hasil tangkapan.
Karakteristik Teknis Alat Tangkap ……… Teluk Apar, Kabupaten Paser-Kalimantan Timur (Mahiswara., et al.)
KESIMPULAN Pukat cincin Teluk Apar tergolong pukat cincin jaring lingkar dengan rancang bangun sederhana, tanpa menggunakan pemotongan jaring. Nilai rasio antara daya tenggelam dan daya apung pukat cincin adalah 1,68. Material sederhana yang digunakan (PVC untuk cincin dan batu kali untuk pemberat) mengurangi kecepatan tenggelam pukat cincin Teluk Apar, sehingga mempengaruhi efektivitasnya. Desain yang sederhana mempermudah dalam perakitan, sementara material yang digunakan sangat jamak ditemukan sehingga memudahkan dalam pemeliharaan. Dengan rancang bangun dan kosntruksi yang ada pukat cincin Teluk Apar produktivitasnya relatif rendah, berkisar antara 500–600 kg/unit/hari. Pukat cincin Teluk Apar dapat dioptimalkan kinerjanya melalui perbaikan system perakitan, penggunaan material yang tepat dalam konstruksinya (bahan kuningan untuk cincin, timah untuk pemberat), menambah durasi penanaman rumpon serta memperluas jangkauan daerah penangkapan. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan konstribusi dari hasil kegiatan penelitian Kapasitas Penangkapan Perikanan Jaring Dogol di Perairan Selat Makasar dan Perikanan Pukat Cincin di Selat Makasar dan Teluk Bone, Tahun Anggaran 2010 di Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta.
Anonim, 2010. Statististik Perikanan Kabupaten Paser 2003 – 2009. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Paser. 76 p. Iskandar, B., Lilis, S., & Kusno, S., 2006. Produktivitas Alat Tangkap Pukat cincin (Purse seine) Untuk Ikan Pelagis di Pantai Utara Jawa. Jur. Pen. Perik. Indonesia. Pusat Penelitian Perikanan Tangkap, Jakarta. 12 (1): 33-45. Klust, Gerhard, 1987. Bahan jaring Untuk Penangkapan Ikan (Terjemahan dari Buku Asli Netting Material for Fishing Gear, Edisi 2). Balai Pengembangan Penangkapan Ikan, Semarang. 187 p. Nurdin, E. & Hufiadi, 2006. Karakteristik Pukat Cincin Mini di Pemalang, Jawa Tengah. Bawal, Widya Riset Perikanan Tangkap Vol.1 No.3, 2006. Pus. Ris. Perik. Tangkap, Jakarta. p 89-94. Prado, J. & P.Y. Dremiere, 1991. Fisherman Work Book. FAO Rome, Italia. 174 p. Potier, M. & B. Sadhotomo, 1995. Seine Fisheries in Indonesia in BIODYNEX, Editor Subhat Nurhakim and M. Potier. AARD Ministry of Agriculture, ORSTOM, European Community, Jakarta. p 49-86. Purwanto & D. Nugroho, 2011. Daya Tangkap Kapal Pukat Cincin dan Upaya Penangkapan Pada Perikanan Pelagis Kecil di Laut Jawa. Jur. Pen. Perik. Indonesia. Pusat Penelitian Perikanan Tangkap, Jakarta. 17 (1): 23-30.
DAFTAR PUSTAKA Ayodhyoa, A.U., 1981. Metode Penangkapan Ikan. Yayasan Dewi Sri, Bogor. 94 p.
Sainsbury, John C., 1971. Commercial Fishing Methods. Fishing News Ltd., London. 119 p. Von Brandt, Andres,1984. Fish Catching Methods of The World 3rd Ediation. Fishing News Book Ltd. Farnham-Surrey-England. 418 p.
7
Distribusi Ukuran Tuna Hasil …………… di Perairan Laut Banda (Chodrijah, U & B. Nugraha.)
DISTRIBUSI UKURAN TUNA HASIL TANGKAPAN PANCING LONGLINE DAN DAERAH PENANGKAPANNYA DI PERAIRAN LAUT BANDA SIZE DISTRIBUTION OF TUNA CAUGHT BY LONGLINE AND ITS FISHING GROUND IN THE BANDA SEA WATERS Umi Chodrijah1) dan Budi Nugraha2) 1)
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru – Jakarta 2) Peneliti pada Loka Penelitian Perikanan Tuna Benoa – Bali Teregistrasi I tanggal: 2 Nopember 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 1 Maret 2013; Disetujui terbit tanggal: 6 Maret 2013 e-mail :
[email protected]
ABSTRAK Pemanfaatan sumber daya ikan tuna di perairan Laut Banda sudah berlangsung lama. Penelitian tentang komposisi jenis hasil tangkapan dan distribusi ukuran tuna hasil tangkapan longline di perairan Laut Banda yang didaratkan di Pelabuhan Benoa dilakukan pada bulan Februari, Juni, Oktober dan November 2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil tangkapan longline yang dominan dari perairan Laut Banda adalah madidihang dan tuna mata besar. Ukuran madidihang yang tertangkap berada pada kisaran 95–165 cmFL dengan modus pada ukuran 105 cmFL dan tuna mata besar pada kisaran 75–185 cmFL dengan modus 115 dan 125 cmFL. Daerah penangkapan kapal longline di perairan Laut Banda berada pada koordinat 5–60 LS dan 124-1280 BT. KATA KUNCI: Distribusi ukuran, daerah penangkapan, longline, tuna, Laut Banda ABSTRACT: Utilization of tuna resources in the Banda Sea waters had been conducting on since long time ago. Research on species composition and size distribution caught by tuna longline in the Banda Sea waters that landed in the port of Benoa was conducted in February, June, October and November 2011. The results showed that the caught of dominant fish from longline in the Banda Sea waters were yellowfin and bigeye tuna. Size of yellowfin caught was 95–165 cmFL with a mode size of 105 cmFL and bigeye tuna was 75–185 cmFL with mode 115 and 125 cmFL. The fishing ground of longline vessels in the Banda Sea waters were 5–60 S and 124–1280 E. KEYWORDS: Size distribution, fishing ground, longline, tuna, Banda Sea
PENDAHULUAN Sumberdaya tuna tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia mulai dari perairan Indonesia bagian barat (Samudera Hindia) sampai dengan kawasan timur Indonesia (Laut Banda dan Utara Irian Jaya). Eksploitasi sumberdaya tuna dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap, antara lain pukat cincin (purse seine), huhate (pole and line), rawai tuna (tuna longline) dan pancing ulur (hand line) (Diniah et al., 2001). Laut Banda merupakan kawasaan perairan Indonesia Timur yang termasuk ke dalam perairan Samudera Pasifik Barat dan berbatasan dengan Samudera Hindia. Secara topografi, kawasan perairan Indonesia Timur memiliki kedalaman lebih dari 2.000 m bahkan di beberapa tempat mencapai 5.000 – 6.000 m. Berdasarkan atas laporan PT. Perikanan Samodra Besar Benoa, Laut Banda merupakan salah satu
daerah penangkapan yang cukup potensial. Hampir sepanjang tahun perusahaan tersebut melakukan penangkapan tuna di perairan Laut Banda (Uktolseja et al., 1991). Pemanfaatan sumberdaya tuna di perairan Laut Banda sudah berlangsung sejak lama. Sekitar tahun 1975 armada milik PT. Perikanan Samodra Besar (sekarang PT. Perikanan Nusantara) sudah mengoperasikan armada kapal rawai tunanya di perairan tersebut, bahkan sebelum tahun 1975 melalui perjanjian Banda Sea Agreement sekitar 100 armada rawai Jepang sudah beroperasi di perairan Laut Banda. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis dan ukuran ikan tuna hasil tangkapan longline serta gambaran daerah penangkapan di perairan Laut Banda. Data dan informasi tersebut merupakan bahan dasar untuk menganalisis status sumberdaya tuna di perairan Laut Banda.
___________________ Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Laut Jl. Muara Baru Ujung, Komp. Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman, Jakarta Utara
9
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 2013 : 9-16
BAHAN DAN METODE
HASIL DAN BAHASAN
Penelitian dilakukan di Pelabuhan Benoa pada bulan Februari, Juni, Oktober dan November 2011. Jenis data yang dikumpulkan adalah data operasional penangkapan yaitu daerah penangkapan, komposisi hasil tangkapan serta data biologi yaitu frekuensi ukuran panjang cagak (fork length).
HASIL
Data daerah penangkapan dan komposisi hasil tangkapan diperoleh dari hasil observasi dengan mengikuti kapal longline KM. Bintang Samudera 01 milik PT. Gilontas pada bulan Oktober sampai November 2011. Pengambilan data biologi berupa frekuensi ukuran panjang cagak dan berat terhadap dua jenis ikan tuna yang dominan tertangkap yaitu madidihang (Thunnus albacares) dan tuna mata besar (Thunnus obesus). Pencatatan tuna hasil tangkapan longline dibantu oleh satu orang petugas enumerator di Pelabuhan Benoa, Bali. Data ukuran panjang (FL) digunakan untuk mengetahui sebaran panjang tuna yang tertangkap dari perairan Laut Banda dan dianalisis dengan menggunakan program Microsoft Office Excel. Untuk mengetahui kelimpahan ikan tuna diukur dengan laju pancingnya (hook rate) dengan rumus : LP = x 100% dimana: LP = laju pemancingan (hook rate) E = jumlah ikan tuna yang tertangkap P = jumlah pancing yang digunakan
Deskripsi Longline Spesifikasi longline terdiri dari tali utama (main line), tali cabang (branch line), pancing (hooks), tali pelampung (float line), pelampung (float) dan radio bouy. Tali utama dan tali cabang terbuat dari bahan monofilament dengan diameter 3,8 mm dan 1,8 mm. Panjang tali utama bervariasi, tergantung jumlah dan jarak antar pancing serta pelampung yang digunakan setiap kali tawur (setting). Tali utama panjangnya diperkirakan sekitar 46.305 – 51.450 m, sedangkan panjang tali cabang 21 m. Tali pelampung terbuat dari PA monofilament dengan panjang 22,5 m dan berdiameter 5 mm. Pelampung terbuat dari bahan plastik berbentuk bulat. Terdapat 2 jenis pelampung yang digunakan yaitu yang memiliki diameter 18 cm dan 30 cm. Mata pancing yang digunakan adalah type J hook dan terbuat dari besi stainless. Jumlah pancing antar pelampung tetap yaitu 7 buah. Jumlah pancing dan jumlah pelampung yang digunakan setiap setting bervariasi. Jumlah pancing yang digunakan mulai dari 882 hingga 980 buah pancing, sedangkan jumlah pelampung 126 hingga 140 buah. Radio buoy yang digunakan berjumlah 5 buah merk ocean star buatan Taiwan. Umpan yang digunakan adalah ikan bandeng hidup (Chanos chanos Forskal), lemuru (Sardinella lemuru), cumi- cumi (Loligo sp.) dan ikan layang (Decapterus sp.). Konstruksi longline pada KM. Bintang Samudera 01 yang berbasis di Pelabuhan Benoa dapat dilihat pada Gambar 1.
22,5 m Tali pelampung
Main line 52.5 m
Branch line 21 m
Gambar 1. Konstruksi longline KM. Bintang Samudera 01 yang berbasis di Pelabuhan Benoa Figure 1. Longline construction of KM. Bintang Samudera 01 based on Benoa Port
10
Distribusi Ukuran Tuna Hasil…………… di Perairan Laut Banda (Chodrijah, U & B. Nugraha.)
Distribusi Ukuran
kedua jenis tuna tersebut merupakan target utama ekspor tuna dari Benoa. Menurut Nugraha dan Chodrijah (2010), komposisi hasil tangkapan kapal longline yang diperoleh dari perairan Laut Banda dan didaratkan di Benoa didominasi oleh madidihang 49,69% dan tuna mata besar 11,74%. Distribusi panjang cagak ikan madidihang dan tuna mata besar disajikan pada Gambar 2 dan Gambar 3.
Pengukuran frekuensi panjang ikan dilakukan terhadap dua jenis tuna hasil tangkapan dari perairan Laut Banda dan yang dominan didaratkan di Pelabuhan Benoa, yaitu madidihang (Thunnus albacares) dan tuna mata besar (Thunnus obesus). Dominasi kedua jenis tuna tersebut dikarenakan 50 YFT n = 34 Feb. 2011
40 30
Frekuensi (%)
20 10
YFT n = 52 Mar. 2011
40 30 20 10
165
155
145
135
125
115
95
Mid length FL (Cm)
Mid length FL (Cm)
50
50 YFT n = 37 Mei 2011
40 30
Frekuensi (%)
20 10
YFT n = 47 Juni 2011
40 30 20 10
Mid length FL (Cm)
165
155
145
135
125
115
105
95
75
165
155
145
135
125
115
105
95
85
0
75
0
85
Frekuensi (%)
105
75
165
155
145
135
125
115
95
105
85
0
75
0
85
Frekuensi (%)
50
Mid length FL (Cm)
Frekuensi (%)
50 YFT n = 33 Sep. 2011
40 30 20 10
165
155
145
135
125
115
95
105
85
75
0
Mid length FL (Cm)
Gambar 2. Distribusi bulanan panjang cagak madidihang hasil tangkapan longline yang didaratkan di Benoa pada bulan Februari – September 2011 Figure 2. Monthly distribution of fork length for yellowfin tuna caught by longline at Benoa in February – September 2011 50 BET n = 57 Mar. 2011
40 30 20 10
Frekuensi (%)
30 20 10
Mid length FL (Cm)
185
175
165
155
145
135
125
115
Mid length FL (Cm) 50 BET n = 44 Juni 2011
40 30 20 10
BET n = 23 Juli 2011
40 30 20 10
Mid length FL (Cm)
185
175
165
155
145
135
125
115
105
95
85
75
185
175
165
155
145
135
125
115
105
95
85
0
75
0
Frekuensi (%)
50
Frekuensi (%)
105
95
75
185
175
165
155
145
135
125
115
105
95
85
0
75
0
BET n = 21 Mei 2011
40
85
Frekuensi (%)
50
Mid length FL (Cm)
11
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 2013 : 9-16 50 BET n = 80 Ags. 2011
40 30
Frekuensi (%)
20 10
30 20 10
Mid length FL (Cm)
185
175
165
155
145
135
125
115
95
105
75
185
175
165
155
145
135
125
115
95
105
85
0 75
0
BET n = 52 Sep.. 2011
40
85
Frekuensi (%)
50
Mid length FL (Cm)
Frekuensi (%)
60 BET n = 40 Okt.. 2011
45 30 15
185
175
165
155
145
135
125
115
95
105
85
75
0
Mid length FL (Cm)
Gambar 3. Distribusi bulanan panjang cagak tuna mata besar hasil tangkapan longline yang didaratkan di Benoa pada bulan Maret – Oktober 2011 Figure 3. Monthly distrbution of fork length for bigeye tuna caught by longline at Benoa in March – October 2011 Komposisi Hasil Tangkapan
KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN 1.6 0.8
Hasil tangkapan utama (target species) kapal longline terdiri dari madidihang (yellowfin tuna; Thunnus albacares), tuna mata besar (bigeye tuna; Thunnus obesus), sedangkan hasil tangkapan sampingan (bycatch) diantaranya adalah lemadang (Coryphaena hippurus), ikan pedang (Xiphias gladius), bawal bulat (Taracticthys steindachneri), ikan naga (lancetfish; Alepisaurus sp.), pari lumpur (Dasyatis sp.), ikan gindara (oilfish; Ruvettus pretiosus), cakalang (Katsuwonus pelamis), setuhuk biru (Makaira mazara) dan setuhuk hitam (Macaira indica). Komposisi hasil tangkapan utama KM. Bintang Samudera 01 didominasi oleh madidihang (17,4%) dan tuna mata besar (7,4%), sedangkan hasil tangkapan sampingan didominasi oleh ikan pari lumpur (41,4%) dan ikan naga (19,8%) (Gambar 4). Laju Pancing (Hook Rate) Tuna Longline Laju pancing atau hook rate dalam perikanan rawai tuna adalah jumlah ikan yang tertangkap dalam 100 mata pancing. Daerah penangkapan berada pada koordinat 5 – 60 LS dan 124 – 1280 BT. Nilai hook rate tertinggi untuk jenis tuna mata besar adalah 0,31 dengan rata-rata 0,09, sedangkan untuk madidihang 0,41 dengan rata-rata 0,22 (Tabel 1).
12
0.4 2.1 3.3
Big eye tuna 4.1
Yellow fin tuna
7.4
1.6
17.4
Ikan pari Ikan naga
19.8
Ikan meka Cakalang Gindara Ikan todak Marlin hitam 41.3
Marlin biru Bawal
Gambar 4. Komposisi hasil tangkapan KM. Bintang Samudera 01 pada bulan Oktober – November 2011 di perairan Laut Banda Figure 4. Catch composition of KM. Bintang Samudera 01 at October – November 2011 from Banda Sea waters Tabel 1. Laju pancing hasil tangkapan utama KM. Bintang Samudera 01 Table 1. Hook rate of the target species from KM. Bintang Samudera 01 Jenis ikan
Madidihang Tuna mata besar
Min
Max
Hook rate Rataan±SE
0,10 0,10
0,41 0,31
0,22±0,115 0,09±0,096
Distribusi Ukuran Tuna Hasil …………… di Perairan Laut Banda (Chodrijah, U & B. Nugraha.)
Daerah Penangkapan (Fishing Ground) Menurut Gunarso (1998), beberapa daerah penangkapan ikan tuna di Indonesia antara lain adalah Laut Banda, Laut Maluku dan perairan Selatan Jawa terus menuju Timur. Begitu pula di perairan Selatan dan Barat Sumatera serta perairan lainnya. Di Samudera Hindia dan Samudera Atlantik tuna menyebar di antara 400LU dan 400LS (Collette & Nauen, 1983). Daerah penangkapan KM. Bintang Samudera 01 berada di perairan Laut Banda pada koordinat 5 – 60 LS dan 124 – 1280 BT (Gambar 5). Daerah penangkapan ini dapat dikatakan merupakan daerah penangkapan potensial. Sejak adanya perjanjian Laut Banda (Banda Sea agreement), daerah ini merupakan daerah penangkapan yang diberikan kepada nelayan-nelayan Jepang untuk mengeksploitasi tuna di perairan Laut Banda.
Berdasarkan perjanjian tersebut, areal Laut Banda yang diberikan kepada nelayan-nelayan Jepang adalah berada pada koordinat 2 – 80 LS dan 124 – 1320 BT (Jusuf, 1983). Eksploitasi sumberdaya tuna di perairan Laut Banda dilakukan sepanjang tahun. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh PT. Perikanan Samodra Besar dimana perusahaan tersebut melakukan penangkapan tuna di Laut Banda sepanjang tahun (Uktolseja et al., 1991). Hasil penelitian Sukresno & Suniada (2007) menyebutkan bahwa koefisien korelasi antara hasil tangkapan dan perubahan musim menunjukkan nilai yang kecil yang berarti bahwa potensi perikanan di Laut Banda tidak berpengaruh terhadap perubahan musim sehingga dapat dikatakan bahwa potensi perikanan selalu tersedia dan dapat ditangkap sepanjang tahun.
Gambar 5. Daerah penangkapan kapal longline di perairan Laut Banda Figure 5. Fishing ground of longline vessel in the Banda Sea Waters BAHASAN Distribusi ukuran panjang madidihang diperoleh dari bulan Februari – September 2011. Pada bulan Februari dan Maret 2011 terlihat bahwa distribusi ukuran panjang madidihang yang tertangkap berkisar 95 – 165 cmFL dengan modus pada ukuran 105 cmFL, sedangkan pada bulan Mei, Juni dan September 2011 terdistribusi pada ukuran 135 cmFL. Anugrahawati (2005) menyebutkan bahwa panjang madidihang yang tertangkap di perairan Laut Banda pada bulan September – Desember 2002 terbanyak terdapat pada selang 116,5 – 126,5 cm dan yang terpanjang mencapai 154 cm.
Madidihang yang tertangkap memiliki ukuran yang hampir sama dengan hasil tangkapan longline yang didaratkan di Cilacap yaitu 91 – 170 cmFL dan Muara Baru 151 – 160 cmFL (Wudianto et al., 2003) dan sebagian besar diduga telah matang gonad. Hal ini sesuai dengan penelitian Itano (2004) dimana ukuran pertama kali matang gonad (size at first maturity) untuk madidihang di perairan Samudera Pasifik bagian tengah dan barat (termasuk perairan selatan Maluku) memiliki panjang 104,6 cm. Distribusi ukuran panjang tuna mata besar yang diperoleh dari bulan Maret – Oktober 2011 berkisar antara 75 – 185 cmFL dengan modus 115 dan 125
13
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 2013 : 9-16
cmFL (Gambar 3). Panjang tuna mata besar yang tertangkap di perairan Laut Banda dapat mencapai 183 cm (Anugrahawati, 2005). Ukuran tuna mata besar yang tertangkap di perairan Laut Banda cukup besar dibandingkan dengan hasil tangkapan dari perairan Samudera Hindia. Hasil penelitian Faizah & Aisyah (2011) diperoleh bahwa ukuran tuna mata besar hasil tangkapan hand line di Sendang Biru hanya berkisar 40 – 140 cm. Begitu pula dengan hasil penelitian Balai Penelitian Perikanan Laut (2011) yang melaporkan bahwa tuna mata besar hasil tangkapan longline dari perairan Samudera Hindia yang didaratkan di Cilacap memiliki ukuran antara 90 – 165 cm. Menurut Lehodey et al., 1999, ukuran tuna mata besar dianggap dewasa apabila mencapai ukuran 91 – 100 cm dan setara dengan umur 2 tahun. Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat ukuran tuna mata besar yang tertangkap didominasi oleh ukuran ikan yang sudah dewasa. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nootmorn (2004) yang menyebutkan bahwa ukuran pertama kali matang gonad tuna mata besar di Samudera Hindia tercapai pada ukuran panjang 88,08 cm. Farley et al. (2003) juga menyatakan bahwa ukuran pertama kali matang gonad untuk tuna mata besar di Samudera Hindia adalah 102,4 cm, sedangkan menurut Yuen (1955) ukuran pertama kali matang gonad tuna mata besar di Pasifik 91 – 100 cm dengan berat 14 – 20 kg. Begitu pula hasil penelitian Sun et al. (2006) diperoleh bahwa ukuran pertama kali matang gonad tuna mata besar di barat Pasifik adalah 99,7 cm. Menurut Nugraha & Wagiyo (2002), komposisi hasil tangkapan sampingan (HTS) tuna longline di perairan Laut Banda pada bulan Oktober – Desember 2002 didominasi oleh ikan pari lumpur (stingray) sekitar 38,52% dan diikuti oleh ikan naga (lancetfish) sekitar 33,52%. Hasil tangkapan sampingan longline di perairan Samudera Hindia juga didominasi oleh ikan naga dan pari lumpur (Setyadji & Nugraha, 2012). Kedua spesies hasil tangkapan sampingan tersebut hampir ditemukan disemua perikanan longline. Menurut Romanov et al. (2008) yang diacu dalam Setyadji & Nugraha (2012), menyebutkan bahwa kedua spesies ini mempunyai peranan penting pada rantai makanan pelagis yakni sebagai predator pada organisme mikronekton dan juga sebagai mangsa dari jenis ikan berparuh dan tuna (Potier et al., 2007 diacu dalam Setyadji & Nugraha, 2012). Hasil penelitian Nugraha & Chodriyah (2010) menyatakan bahwa nilai hook rate di perairan Laut Banda berkisar 1,19 – 1,48 dengan nilai rata-rata 1,34 pada koordinat 5 – 6o LS dan 129 – 130o BT. Apabila
14
dibandingkan dengan hasil penelitian Balai Riset Perikanan Laut (2002) yang menyatakan bahwa nilai rata-rata hook rate tuna di perairan Laut Banda yaitu 0,18 untuk tuna mata besar dan 0,02 untuk madidihang maka nilai hook rate di perairan Laut Banda pada tahun 2011 ini lebih besar daripada nilai hook rate tahun 2002. Perbedaan ini diduga karena daerah penangkapan longline pada tahun 2002 berbeda dengan 2010, dimana pada tahun 2002 daerah penangkapan longline berada pada koordinat 6 – 7o LS dan 122 – 126o BT (Gafa et al., 2004). Amin & Nugroho (1990) yang diacu dalam Suharsono (2003), menyebutkan bahwa hasil tangkapan tuna di Perairan Laut Banda mencapai puncaknya pada awal musim barat yaitu antara bulan Oktober sampai bulan November. Hal ini bertepatan dengan saat dilakukannya operasi penangkapan ikan. Jadi dapat dikatakan bahwa hook rate tuna tersebut tergolong tinggi untuk kategori perairan Laut Banda, karena mungkin saja didapatkan hook rate tuna yang jauh lebih kecil dari 0,31 dan 0,41 apabila operasi penangkapan ikan dilakukan pada bulan yang berbeda. Selanjutnya menurut Collete & Nauen (1983), tuna banyak dieksploitasi pada musim semi dan panas di Samudera Pasifik Barat Laut dan Timur. Jadi berdasarkan acuan tersebut, penangkapan tuna efektif dilakukan pada musim panas, dimana suhu perairan akan naik dan bertepatan dengan musim pemijahan tuna. Dengan diketahuinya nilai hook rate dan musim penangkapan setiap daerah penangkapan, maka kapal longline yang akan melakukan operasi penangkapan dapat langsung menuju ke daerahdaerah yang memiliki nilai hook rate cukup tinggi, sehingga dapat menekan biaya operasional kapal. KESIMPULAN Hasil tangkapan utama longline dari perairan Laut Banda didominasi oleh madidihang dan tuna mata besar, sedangkan hasil tangkapan sampingan didominasi oleh ikan pari lumpur dan ikan naga. Madidihang yang tertangkap memiliki ukuran 95–165 cmFL dengan modus pada ukuran 105 dan 135 cmFL, sedangkan tuna mata besar memiliki ukuran 75–185 cmFL dengan modus pada ukuran 115 dan 125 cmFL. Perairan Laut Banda merupakan salah satu daerah penangkapan tuna yang potensial. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan penelitian Indeks Kelimpahan Sumber Daya Ikan Pelagis Besar Dan Oseanografis di WPP Laut Banda T.A. 2011, di Balai Penelitian Perikanan Laut Muara Baru, Jakarta.
Distribusi Ukuran Tuna Hasil …………… di Perairan Laut Banda (Chodrijah, U & B. Nugraha.)
DAFTAR PUSTAKA Anugrahawati, N. 2005. Kedalaman mata pancing tuna longline : Pengaruhnya terhadap komposisi hasil tangkapan tuna di Laut Banda. Skripsi. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 87 p. Balai Riset Perikanan Laut. 2002. Penelitian produktivitas lapisan perairan terhadap penangkapan ikan yellowfin tuna (Thunnus albacares) dan bigeye tuna (Thunnus obesus) dengan tuna longline di Laut Banda dan sekitarnya. Laporan Akhir Tahun 2002. Balai Riset Perikanan Laut. Jakarta. 40 p. Balai Penelitian Perikanan Laut. 2011. Riset perikanan tangkap di perairan Samudera Hindia. Laporan Akhir Tahun 2011. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. 258 p. Collete, B.B. & Nauen C.E. 1983. FAO species catalogue. Vol. 2. Scombrids of the world. an annotated and illustrated catalogue of tunas, mackerels, bonitos and related species known to date. FAO Fish. Synop. 125 (2). Food and Agricultural Organization. Rome. 137 p. Diniah, M., Ali Yahya, S. Pujiyati, Parwinia, S. Effendy, M. Hatta, M. Sabri, Rusyadi, & A. Farhan. 2001. Pemanfatan sumberdaya tuna cakalang secara terpadu. Makalah Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 9 p. Faizah, R. & Aisyah. 2011. Komposisi jenis dan distribusi ukuran ikan pelagis besar hasil tangkapan pancing ulur di Sendang Biru, Jawa Timur. Bawal Widya Riset Perikanan Tangkap. 3 (6): 77-385. Farley J., Clear N., Leroy B., Davis T., & Mcpherson G. 2003. Age and growth of bigeye tuna (Thunnus obesus) from the Eastern and Western AFZ. Report No. 2000/100. CSIRO Marine Research. Australia. 93 p. Gafa, B., Karsono W. & B. Nugraha. 2004. Hubungan antara suhu dan kedalaman mata pancing terhadap hasil tangkapan ikan bigeye tuna (Thunnus obesus) dan yellowfin tuna (Thunnus albacares) dengan tuna longline di perairan Laut Banda dan sekitarnya. Prosiding Hasil-Hasil Riset. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. p. 63 – 80.
Gunarso W. 1998. Tingkah laku ikan dan perikanan pancing. Diktat Kuliah. Laboratorium Tingkah Laku Ikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 119 p. Itano, D.G. 2004. The Reproductive Biology of Yellowfin Tuna (Thunnus albacares) in Hawaiian Waters and the Western Tropical Pasific Ocean: Project Summary. SOEST 00-01 JIMAR Contribution 00-328. 69 p. Jusuf, G.D.H. 1983. Suatu studi perjanjian IndonesiaJepang tentang penangkapan ikan tuna di Laut Banda (Banda Sea Agreement). Karya Ilmiah. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 115 p. Lehodey, P., J. Hampton & B. Leroy. 1999. Preliminary results on age and growth of bigeye tuna (Thunnus obesus) from the Western and Cental Pacific Ocean as indicated by daily growth increments and tagging data. Working Paper BET-2. Standing Committee on tuna and Billfish. Tahiti 16-23 June 1999.18 p. Nootmorn, P. 2004. Reproductive biology of bigeye tuna in the Eastern Indian Ocean, IOTC. Proceedings 2004. 7: 1-5. Nugraha, B. & K. Wagiyo. 2002. Hasil tangkapan sampingan (by-catch) tuna longline di perairan Laut Banda. Bawal. 1 (2). 71-75. Nugraha, B. & Chodriyah, U. 2010. Komposisi hasil tangkapan dan daerah penangkapan kapal tuna longline di perairan Laut Banda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 16 (4). 305-309. Setyadji, B. & B. Nugraha. 2012. Hasil tangkapan sampingan (HTS) kapal rawai tuna di Samudera Hindia yang berbasis di Benoa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 18 (1). 43-51. Suharsono. 2003. Kondisi terumbu karang di Kepulauan Banda dan suksesi karang di bekas muntahan lahar Pulau Gunung Api. Jurnal Pesisir dan Lautan. ISSN 1410 – 7821. 5 (1). 5 (1) : 1 - 4. Sukresno, B. & K.I. Suniada. 2007. Observasi pengaruh ENSO terhadap produktifitas primer dan potensi perikanan dengan menggunakan data satelit di Laut Banda. Publikasi Balai Penelitian dan Observasi Laut. http://www.bpol.litbang. kkp.go.id/publikasi/detail/30.
15
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 2013 : 9-16
Sun C.L., Chu S.L., & Yeh S.Z. 2006. The reproductive biology of female tuna (Thunnus obesus) in Western Pasific. Scientific Committee Second Regular Session. Manila, Philippines. 22 p. Uktolseja, J.C.B., B. Gafa & S. Bahar. 1991. Potensi dan penyebaran sumberdaya ikan tuna dan cakalang. Di dalam: Martosubroto P, N Naamin, BBA Malik, editor. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan. Pusat Penelitian
16
dan Pengembangan Perikanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Jakarta. p. 29-43. Wudianto, K. Wagiyo & B. Wibowo. 2003. Sebaran daerah penangkapan ikan tuna di Samudera Hindia. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Edisi Sumberdaya dan Penangkapan. 9 (7):19-27. Yuen, H.S.H. 1955. Maturity and fecundity of bigeye tuna in the Pacific. U.S. Fish Wild. Serv. Spec. Sci. Rept. Fish. 150: 30 p.
Aktivitas Penangkapan Individu Kapal …. Pemantauan Kapal (VMS) dan Observer (Natsir, M & Suherman, B.A.)
AKTIVITAS PENANGKAPAN INDIVIDU KAPAL PURSE SEINE DI LAUT MALUKU: SISTEM PEMANTAUAN KAPAL (VMS) DAN OBSERVER FISHING ACTIVITY OF INDIVIDUAL PURSE SEINERS IN MOLUCCA SEA: VESSEL MONITORING SYSTEM (VMS) AND OBSERVERS Mohamad Natsir1) dan Suherman Banon Atmaja2) 1)
Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumerdaya Ikan Jakarta 2) Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru Jakarta Teregistrasi I tanggal: 21 Maret 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 21 Maret 2013; Disetujui terbit tanggal: 22 Maret 2013 e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Teknologi sistem pemantauan kapal (VMS) merekam waktu, lokasi, arah haluan, dan kecepatan kapal untuk memonitor kapal. Serial waktu data VMS digunakan untuk meningkatkan pendugaan aktivitas penangkapan dan merupakan salah satu perkembangan yang paling penting pada penelitian perikanan pada dekade terakhir ini. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keuntungan dari data VMS, untuk menguraikan definisi dan estimasi upaya penangkapan. Berdasarkan atas data VMS dan individu kapal contoh menunjukkan luas konsentrasi daerah penangkapan meningkat hampir 15 kali lipat, dari 92 mil2 pada tahun 2006 menjadi 1.421 mil2 pada tahun 2010. Secara tidak langsung perikanan purse seine dengan rumpon laut-dalam telah menerapkan kebijakan berdasarkan atas alokasi hak eksklusif penangkapan ikan. Dari estimasi tawur data VMS yang telah divalidasi dengan aktivitas tawur kapal contoh diperoleh tingkat kesalahan deteksi kurang dari 10%, sehingga memungkinkan penggunaan data VMS untuk menyimpulkan informasi tentang aktivitas kapal dan upaya penangkapan. Secara keseluruhan hasil tangkapan per tawur (CPUE) selama 6 tahun menunjukkan tidak terjadi penurunan, artinya eksploitasi tidak mempengaruhi secara nyata terhadap kelimpahan stok ikan. KATA KUNCI: Aktivitas, individu, kapal purse seine, Laut Maluku, data VMS, observer ABSTRACT VMS technology records the time, location, heading, and speed for monitored vessels. Time series of VMS data are used to improve estimates of fishing activity and one of the most important developments in fisheries research in the last decade. The objective of this study is to know the benefit from VMS data to provide good description the definition and estimation of fishing effort. Based on data VMS and samples vessel showed that extensive concentration of fishing ground increased nearly 15-time from 92 mil2 in 2006 to 1.421 mil2 in 2010. Indirectly, the purse seine fishery with drifting deepsea fish agregating device had implemented a policy based on the allocation of exclusive fishing rights. The estimates of the data hauling VMS that had been validated with hauling activity of sample vessel obtained misdetection less than 10%, thus allowing the use of the VMS data to infer information about vessel activity and fishing effort. The overall of catch per haul (CPUE) for 6 years showed no decline, which means that the exploitation does not significant influence in abundance of fish stocks. KEYWORDS: Fishing activity, individual, purse seiner, Molucca Sea, VMS data, observer.
PENDAHULUAN Armada purse seine Filipina mulai berkembang di dalam negeri pada akhir tahun 1970 setelah survei eksplorasi oleh dua kapal Kanada di perairan Filipina pada awal tahun 1970. Sebagian besar armada Filipina menangkap hampir secara eksklusif pada rumpon laut dalam (drifting deepsea fish agregating device atau payaos). Keberhasilan rumponisasi di Hawaii dan Filipina telah memicu pengembangan program FAD ___________________ Korespondensi penulis: Pusat Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Jl. Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta Utara
(fish agregating device) di seluruh Pasifik Selatan (Gillett, 2007). Sejak akhir tahun 1990, pemerintah Indonesia memberikan izin bagi purse seine Filipina dengan sistem charter untuk menangkap ikan cakalang dan tuna di ZEEI di Utara Sulawesi dan Utara Irian Jaya. Umumnya kapal purse seine ini merupakan kerjasama antara pengusaha swasta nasional dengan pengusaha dari Filipina (General Santos). Satu unit purse seine terdiri dari sebuah kapal penangkapan (100 – 150 GT)
17
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 2013 : 17-24
dan cara operasi dibantu dengan alat bantu rumpon laut-dalam (payaos), 1-2 kapal lampu (light boat 20– 30 GT). Dengan beroperasinya alat tangkap tersebut dan pemasangan 150 payaos di perairan ZEEI Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik berdampak negatif terhadap hasil tangkapan yang cenderung menurun pada perikanan huhate dan perikanan tradisional lainnya (Gafa et al., 1993).
yang akan dianalisis pada skala spasial jauh lebih akurat dan membuka berbagai aplikasi yang potensial (Gerritsen & Lordan, 2011.).
Pada pertengahan tahun 2003, delapan kapal purse seine yang berasal dari Pontianak dan Pekalongan berpindah pangkalannya ke Bitung (Sulawesi Utara) untuk mengeksploitasi ikan cakalang dan tuna. Nelayan purse seine yang berasal dari Paparan Sunda (nelayan Pekalongan) hanya memiliki pengalaman di perairan dangkal, maka untuk dapat mengeksploitasi sumber daya cakalang dan tuna di Laut Maluku dan Laut Sulawesi (perairan laut-dalam), mereka berinteraksi dan belajar kepada nelayan Filipina. Dengan memodifikasi kedalaman jaring dan ditompang oleh penggunaan rumpon laut-dalam (payaos) (Nugroho & Atmaja, 2008). Pada tahun 2006 tercatat sebanyak 35 kapal registrasi Jakarta, Pekalongan dan Semarang merelokasi usaha penangkapan di Bitung. Relokasi usaha perikanan tersebut merupakan alternatif untuk menghindari kehilangan mata pencaharian dan keluar dari usaha perikanan, sebagai bagian dari suatu sistem dinamika perikanan di bawah ketiadaan atau tidak efektifnya pengelolaan.
BAHAN DAN METODE
Kemajuan teknologi terbaru, sistem pemantauan kapal (VMS) secara otomatis merekam data posisi dari kapal penangkapan, lintasan individu kapal dan tidak secara langsung menunjukkan apakah kapal menangkap atau tidak. Data VMS menyediakan banyak data dalam jumlah besar dari gerakan kapal perikanan, belum digunakan secara maksimal dan analisis data tersebut masih dalam tahap awal perkembangan. Data serial waktu dari VMS dapat digunakan untuk memperhitungkan dimensi spasial dan temporal perikanan komersial, sehingga membuka cakrawala baru untuk analisis masa depan. Hal ini merupakan salah satu perkembangan yang paling penting dalam penelitian perikanan pada dekade terakhir. Sebagian besar potensi penggunaan VMS data tergantung pada kemampuan kita dalam menafsirkan catatan-catatan secara akurat, membedakan perilaku selama perjalanan kapal, seperti waktu perjalanan, mencari dan menangkap (Walker et al., 2010). Analisis terintegrasi VMS dan data logbook akan memungkinkan data perikanan
18
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis keuntungan data VMS dalam penyempurnaan definisi dan estimasi upaya penangkapan, perilaku aktivitas penangkapan dan indeks kelimpahan stok ikan.
Data yang digunakan dalam tulisan ini berdasarkan 2 sumber utama, yaitu 1) data aktivitas penangkapan dan hasil tangkapan harian melibatkan kapten KM Mahakam I sebagai observer selama 23 April -10 Agustus 2006, Juni 2010 – Mei 2011. Adapun data yang dicatat meliputi jumlah hasil tangkapan, spesies dominan dan posisi tawur, 2) Data VMS selama periode April 2008 – Mei 2011, berupa posisi, kecepatan dan arah haluan kapal. Data tersebut digunakan untuk estimasi posisi tawur. Kapal purse seine contoh yang berbasis di Bitung memiliki ukuran kapal 68 GT, mesin 280 PK, jaring berukuran panjang 700 meter, dalam 90 meter dan mata jaring bagian kantong adalah 1inci. Alat bantu penangkapan adalah rumpon laut-dalam (payaos) sekitar 10–12 payaos untuk setiap kapal, under water lamp 8 buah dengan daya 2.000 watt/lampu yang dibawa oleh kapal bantu lampu (GT<20) dan lampu sorot (spotlight) berkisar 20.000 – 30.000 watt. (Nugroho & Atmaja, 2008). Lokasi penelitian berdasarkan plot antara aktivitas tawur kapal contoh dan data VMS yang menggambarkan konsentrasi pemasangan rumpon pada posisi antara 0 – 1 LU dan 125,5 – 126,5 BT atau di sekitar Laut Maluku (Gambar 1). Estimasi tawur ini ditentukan berdasarkan kecepatan kapal 0 pada malam hari sampai jam 4-5 pagi, dengan mengabaikan keputusan nakhoda tidak melakukan aktivitas tawur karena kondisi cuaca yang buruk dan pada saat posisi kapal sedang berlindung. Data selanjutnya diolah dengan analisis secara kualitatif yang disajikan dalam bentuk analisis deskriptif. Analisis deskriptif berupa grafik berdasarkan atas estimasi posisi tawur dari data VMS dan aktivitas kapal contoh. Plot tumpang tindih (overlaping) dilakukan untuk mengetahui penyimpangan posisi estimasi tawur dengan tawur yang sebenarnya. Indeks kelimpahan stok ikan dihitung berdasarkan hasil tangkapan per tawur.
Aktivitas Penangkapan Individu Kapal …. Pemantauan Kapal (VMS) dan Observer (Natsir, M & Suherman, B.A.)
Gambar 1. Lokasi daerah penangkapan kapal contoh berdasarkan atas estimasi tawur Figure 1. Fishing ground location of sample vessel based on.estimation of haul position HASIL DAN BAHASAN HASIL Berdasarkan atas data VMS, estimasi posisi tawur pada tahun 2008–2011 menunjukkan pada tahun 2009 terjadi pergeseran daerah penangkapan pada lintang 2o – 3o LU dan bujur timur 128o – 129o dan tiga tahun terakhir juga terjadi pergeseran daerah penangkapan ke lintang selatan 1o–1,5o (Kepulauan Sula). Namun secara keseluruhan konsentrasi daerah pengkapan berada pada 0o – 1o LU dan 125,5 o – 126,5o BT (Gambar 2). Sementara berdasarkan posisi aktivitas tawur dari kapal contoh selama Mei–September 2006, Juni– Desember 2010, Januari–Mei 2011 menunjukkan adanya perluasan daerah penangkapan. Pada Mei– September 2006 aktivitas penangkapan terkonsentrasi pada 0o – 0,6o LU dan 126 – 126,5o BT bergeser menjadi lintang 0o – 1o LU pada tahun 2010
dan 2011 (Gambar 3). Data VMS dan posisi tawur menunjukkan tujuan daerah penangkapan relatif sama. Selama 6 tahun konsentrasi daerah penangkapan tidak mengalami perubahan. Hal ini menegaskan bahwa perikanan purse seine yang beroperasi di perairan laut dalam didukung dengan keberadaan rumpon laut dalam (payao), dan penyebaran rumpon terkonsentrasi pada cangkup luas sekitar 3.600 mil2 (0 – 1o LU dan 125,5 – 126,5o BT). Seperti halnya tingkah laku predator lainnya yang mencari makanan berupas sumber daya ikan yang memiliki pola kecenderungan spasial tertentu, perilaku spasial nelayan dapat memberikan informasi mengenai organisasi dan formasi ikan secara spasial di alam (Bertrand et al., 2005). Secara tidak langsung perikanan purse seine dengan payaonya telah menerapkan kebijakan berdasarkan atas alokasi hak eksklusif penangkapan ikan.
19
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 2013 : 17-24
Gambar 2. Estimasi posisi tawur selama tahun 2008 – 2010 (sumber: PSDKP) Figure 2. Estimation of haul position during the year 2008 – 2010 (source: PSDKP) 1,5 Mei -September 2006
1,2
Juni - Desember 2010 Januari-Mei 2011
1
Lintang
Lintang
0,8
Juni - Desember 2010
cukup rendah memungkinkan penggunaan data VMS untuk menyimpulkan informasi tentang aktivitas kapal dan upaya penangkapan. 1
0,6
Estimasi Tawur
0,5
Tawur
0,4 0,2
0
0 125
125,5
126
126,5
127
Bujur
125
125,5
126
126,5
127
Bujur
Gambar 3. Posisi tawur dari kapal contoh pada tahun 2006, 2010 dan 2011 Figure 3. The position of haul from samples vessel in years 2006, 2010 and 2011 Secara keseluruhan estimasi tawur data VMS yang telah divalidasi dengan aktivitas tawur kapal contoh diperoleh tingkat kesalahan deteksi (misdetection) sekitar 8,3%, sedangkan penyimpangan posisi estimasi tawur dengan aktivitas tawur sekitar 7,6%, (Gambar 4 dan Gambar 5). Dengan tingkat kesalahan deteksi tersebut yang
20
Gambar 4. Plot tumpang tindih estimasi tawur dari data VMS dengan aktivitas tawur kapal contoh pada periode Juni–Desember 2010 Figure 4. Ploting overlapping estimation of haul position from VMS data versus haul position of sample vessel in the period Juni–Desember 2010
Aktivitas Penangkapan Individu Kapal …. Pemantauan Kapal (VMS) dan Observer (Natsir, M & Suherman, B.A.)
Gambar 5. Plot tumpang tindih estimasi tawur dari data VMS versus aktivitas tawur kapal contoh pada periode Oktober 2010 – Mei 2011 Figure 5. Ploting overlapping estimation of haul position from VMS data versus haul position of sample vessel in period October 2010 – May 2011 Dari estimasi tawur dari data VMS versus aktivitas tawur kapal contoh pada Juni 2010 – Mei 2011 memperlihatkan estimasi tawur lebih rendah dari pada aktivitas tawur, secara keseluruhan selisihnya sekitar 8% (Gambar 6). Perbedaan tersebut disebabkan transmitters VMS sering dimatikan, dari keterangan nelayan karena sumber listrik (power supply) digunakan secara bergantian dengan radio
komunikasi. Atmaja et al. (2011) melaporkan bahwa estimasi tawur dari data VMS kapal contoh yang beroperasi di Samudera Hndia cenderung lebih besar dari aktivitas penangkapan yang sebenarnya, alasan perbedaan berkisar 24%–43%. Hal ini diakibatkan lebih banyak kegagalan tawur dan tidak ada aktivitas penangkapan karena kondisi cuaca yang buruk.
32
1,5
24
24
1
16
16
0,5
8
0
Lintang
Jumlah Tawur
32
8 0
Januari - Mei 2011
125 -0,5 0 Juni Juli Agus sep
126 Okt Nov Des Jan
127
Feb Mar April Mei
Mei Mei Juni Juni Juni Juli Juli Juli Agus Agus Agus Sep Sep 2006 2010 2011 2011 2006 2010 2011 2006 2011 Estimasi Tawur2006 2010 Tawur -1 2011 2006 Estimasi Tawur Bulan Tawur
-1,5
Gambar 6. Perbandingan estimasi tawur versus aktivitas tawur kapal contoh pada Juni 2010 - Mei 2011 Figure 6. Comparison of estimation of haul from VMS data versus haul position of sample vessel in June 2010 – May 2011
Gambar 7. Jumlah tawur kapal contoh pada bulan Bujur yang sama (Mei – September 2006, 2010 dan 2011) Figure 7. The Numbers haul of sample vessel in the same month (May 2010 to September 2006, 2010 and 2011)
BAHASAN
dan pancing ulur. Rumpon sebagai alat bantu penangkapan dapat menahan untuk sementara ruaya ikan tuna dan cakalang. Hasil tagging di Teluk Tomini menunjukkan bahwa rumpon dapat menahan ikan cakalang sekitar 340 hari (Gafa & Subani, 1993). Lebih lanjut mereka menerangkan bahwa pola ruaya ikan cakalang dan madidihang, sebagian tetap berada di perairan Indonesia dan sebagian lagi keluar perairan Indonesia setelah tiga bulan. Pulau Morotai adalah
Analisis Distribusi Spasial Kegiatan Penangkapan dan Penyebaran Rumpon Penggunaan rumpon laut-dalam (drifting deepsea fish agregating device) telah lama dikenal di Kawasan Timur Indonesia sebagai alat bantu dalam penangkapan ikan tuna dan cakalang dengan huhate
21
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 2013 : 17-24
Upaya Penangkapan Dengan sistem tangkahan dan kapal angkut untuk memperoleh informasi tentang upaya penangkapan dan hasil tangkapan akan menghadapi kesulitan. Apalagi perkembangan perikanan purse seine saat ini cederung telah mengalami perubahan operasionalnya untuk maksimal hasil tangkapan, mereka dapat tinggal di laut selama berbulan-bulan dan hasil tangkapan dibawa kapal angkut. Selain itu, kapal angkut membawa ikan yang berasal dari beberapa kapal penangkap langsung masuk perusahaan. Naim (2010) melaporkan bahwa kegiatan illegal fishing yang umum terjadi di perairan tersebut adalah penangkapan ikan tanpa izin, penangkapan ikan dengan mengunakan izin palsu, penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang, penangkapan ikan pada daerah yang tidak sesuai dengan daerah yang diizinkan dan penangkapan ikan yang hasil tangkapannya tidak dilaporkan. Pada kasus kapal purse seine skala industri mendefinisikan upaya penangkapan yang relevan adalah dilema, karena umumnya mereka dapat tinggal di laut berbulan-bulan, sebagai upaya mengoptimalkan waktu operasi penangkapan dan hasil tangkapan. Bez at al. (2010) menyatakan bahwa upaya penangkapan merupakan masalah sangat penting dalam perikanan purse seine, karena: 1) model pendugaan stok digunakan secara rutin menggunakan CPUE sebagai indeks kelimpahan - definisi dari upaya penangkapan efektif sangat diperlukan, 2) tidak ada kebenaran lapangan untuk membantu dan memvalidasi definisi setiap indeks kelimpahan dan tidak dapat dievaluasi dengan benar, dan 3) kapal purse seine menggunakan dua motode penangkapan yang berbeda (mencari gerombolan ikan vs gerombolan ikan di rumpon). Indeks Kelimpahan Stok Ikan Peningkatan hasil tangkapan per tawur (CPUE) terjadi pada Mei 2011 dibandingkan dengan Mei 2006 dan penurunan terjadi pada Agustus 2010
22
dibandingkan dengan kedua bulan yang sama pada tahun 2006 dan 2011. Secara keseluruhan, CPUE menunjukkan relatif sama dengan rata perbedaan CPUE sekitar 0,03 ton/tawur (Gambar 8). Hal ini dapat diartikan selama enam tahun tidak terjadi penurunan stok ikan atau eksploitasi tidak mempengaruhi secara nyata terhadap kelmpahan stok ikan. Namun demikian, luas konsentrasi daerah penangkapan meningkat hampir 15 kali lipat, dari 92 mil2 pada tahun 2006 menjadi 1421 mil2 pada tahun 2010. Pada tahap sekarang indeks kelimpahan masih belum membedakan antara spesies.
Gambar 8. Perbandingan CPUE kapal contoh pada bulan yang sama (Mei – September 2006, 2010 dan 2011) Figure 8. The comparison of CPUE of sample 8 vessel in the same month (May to September 2006, 2010 and 2011) 6
Hasil penelitian sebelumnya berdasarkan atas data 4periode Mei – September 2006 (Nugroho & Atmaja, 2008) menunjukkan adanya pergantian 2 spesies antara layang (Decapterus spp.) dengan kelompok (yellow-fin tuna, Thunus albacares) & 0 cakalang (Katsuwonus pelamis). Kedua ikan-ikan Mei Mei Juni Juni Juni Juli Juli Juli Agus Agus Agus Sep Sep 2011 2006 2010 2011“open 2006 2010 2011 2006 2010memasuki 2011 2006 2011 tersebut2006 adalah spesies population” Bulan rumpon secara bergantian dan random. Pada Gambar 9 lebih menegaskan bahwa rumpon yang ditawur lebih dari satu kali menunjukkan adanya pergantian spesies dan ikan yang memasuki rumpon. Sementara perubahan hasil tangkapan secara keseluruhan (dC/ dt) menurut waktu menjelaskan perubahan hasil tangkapan tidak memiliki pola yang jelas. Perubahan hasil tangkapan yang positif menunjukkan adanya penurunan (depletion) dari stok ikan, sedangkan perubahan hasil tangkapan yang negatif menunjukkan adanya stok ikan yang memasuki rumpon (Gambar 10). Dengan demikian, hal ini dapat diartikan peningkatan hari tidak selalu meningkatkan hasil tangkapan, tetapi lebih dipengaruhi ada ikan yang memasuki rumpon secara random dan diduga adanya hubungan mangsa-pemangsa (layang-tuna). Hasil tangkapan /tawur (ton)
daerah lintasan ikan cakalang dan madidihang yang melakukan keluar-masuk perairan Kawasan Timur Indonesia. Diduga perairan antara Kepulauan. SangirTalaud dan Utara Halmahera merupakan gateway dari ruaya cakalang, sehingga penempatan rumpon di ZEEI Utara Sulawesi berdampak negatif terhadap perikanan pole & line di daerah teritorial, gejala overfishing ditunjukkan dengan ukuran ikan cakalang dan madidihang semakin kecil (Monintja, 1996).
Aktivitas Penangkapan Individu Kapal …. Pemantauan Kapal (VMS) dan Observer (Natsir, M & Suherman, B.A.)
penurunan stok ikan atau eksploitasi tidak mempengaruhi secara nyata terhadap kelimpahan stok ikan. Namun cangkupan luas daerah penangkapan meningkat hampir 15 kali lipat, dari 92 mil2 pada tahu 2006 menjadi 1421 mil2 pada tahun 2010. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset dinamika perilaku pukat cincin di Laut Jawa dan sekitarnya, T.A 2010 di Balai Penelitian Perikanan Laut. Muara Baru. Jakarta.
Gambar 9. Perubahan hasil tangkapan berdasarkan atas rumpon yang sama dan waktu (Keterangan: T adalah kelompok tuna (yellow-fin tuna, Thunus albacares) & cakalang (Katsuwonus pelamis); L adalah layang (Decapterus spp.) Figure 9. Change of catches based on same FADs and time (remarks: T is tuna groups (yellow-fin tuna, Thunus albacares) & cakalang (Katsuwonus pelamis); L is scads (Decapterus spp.)
DAFTAR PUSTAKA Atmaja S.B., M. Natsir & A. Kuswoyo. 2011 Analisis Upaya Efektif dari data VMS (Vessel Monitoring System) dan Produktivitas Pukat Cincin Semi Industri di Samudera Hindia. J.Lit. Perikanan Ind. 17 (3): 177-184. Bertrand S., J..M. Burgosb, F. Gerlottoa & J. Atiquipa 2005. Lévy trajectories of Peruvian purse-seiners as an indicator of the spatial distribution of anchovy (Engraulis ringens) ICES J. Mar. Sci. 62(3): 477482. Bez, N., E Walker, D G.J.,.Rivoirard & P. Gaspar. 2010. 16 14 From VMS data to Tuna distribution maps and 12 indice of abundance. IOTC 2010 - WPTT 21.
Gambar 10. Perubahan hasil tangkapan berdasarkan atas waktu Figure 10. Change of catches based on times
Hasil tangkapan (ton)
T
T
10 8
L
Gafa B.& W. Subani, 1993. Studi pengaruh rumpon 6 perilaku ruaya ikan cakalang 4 terhadap 2 (Katsuwonus pelamis) dan madidihang (Thunnus 0 albacores) dengan metode tagging kawasan 12 13 63 77 39 44 10 59 15 70 18 61 27 58 17 30 51 9 20 6 16 1 45 8 68 74106 Indonesia Timur. JPPL. 73: 65- 78. Hari tawur T
Secara keseluruhan estimasi tawur data VMS yang telah divalidasi dengan aktivitas tawur kapal contoh diperoleh tingkat kesalahan deteksi (misdetection) dan penyimpangan posisi estimasi tawur dengan aktivitas tawur kurang dari 10%, sehingga memungkinkan penggunaan data VMS untuk menyimpulkan informasi tentang aktivitas kapal dan upaya penangkapan. Selain itu, penggunaan data VMS setidaknya memberi keuntungan untuk menetapkan waktu yang dihabiskan di laut dibandingkan dengan catatan observer dimana posisi kapal hanya dicatat satu titik per hari. Selama 6 tahun konsentrasi daerah penangkapan tidak mengalami perubahan, secara keseluruhan, nilai CPUE menunjukkan kecenderungan yang relatif sama, berarti selama enam tahun tidak terjadi
T
L
T
KESIMPULAN
T
T
T
T
L
T
T
L
L
L
T
T
T
T
T
T
L
L
T
T
Gafa B., G.S. Merta, H.R. Barus & E.D. Amin, 1993. Penurunan hasil tangkapan ikan tuna dan cakalang di perairan Sulawesi Utara dan faktor-faktor yang mempengaruhi. JPPL. 73: 11-19. Gillett R., 2007. A Short History of Industrial Fishing in the Pacific Islands. Bangkok: Asia-Pacific Fishery Commission, FAO Regional Office for Asia and the Pacific, RAP publication 2007/22. Available: ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/010/ai001e/ ai001e00. pdf. Access date: January 15, 2010. Gerritsen H. & C. Lordan, 2011. Integrating vessel monitoring systems (VMS) data with daily catch data from logbooks to explore the spatial distribution of catch and effort at high resolution. – ICES Journal of Marine Science, 68: 245–252.
23
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 2013 : 17-24
Monintja,D.R.O., 1996. Pemanfaatan sumber daya ikan di ZEEI. Orasi ilmiah, IPB. 30 p. Naim A. 2010. Pengawasan Sumberdaya Perikanan dalam Penanganan Illegal Fishing di Perairan Provinsi Maluku Utara. Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate). 3 (2):1 10.
24
Nugroho D. & S.B.Atmaja, 2008. Analisis Operasional Kapal Pukat Cincin di Laut Maluku: Relokasi Mandiri Kapal yang berasal dari Paparan Sunda. Makalah disampaikan pada: Seminar Nasional Kelautan IV, Dies Natalis Universitas Hang Tuah XXI. 24 April 2008. Walker E., D. Gaertner, P. Gaspar & N. Bez, 2010. Fshing activity of tuna purse seiners estimated from VMS data and Validated by observers data. Collect. Vol. Sci. Pap. ICCAT, 65 (6): 2376-2391.
Efisiensi Teknis Perikanan Rawai ….. PT. Perikanan Nusantara (Nugraha, B & Hufiadi.)
EFISIENSI TEKNIS PERIKANAN RAWAI TUNA DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) TECHNICAL EFFICIENCY OF TUNA LONGLINE FISHERIES IN BENOA (CASE STUDY OF PT. PERIKANAN NUSANTARA) Budi Nugraha1) dan Hufiadi2) 1)
Peneliti pada Loka Penelitian Perikanan Tuna, Benoa-Bali 2) Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 25 Juli 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 13 Maret 2013; Disetujui terbit tanggal: 15 Maret 2013 e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Samudera Hindia telah mendorong pada peningkatan kapasitas upaya penangkapan yang menyebabkan terjadinya intensitas penangkapan yang tinggi dan inefisiensi usaha penangkapan. Kajian pengelolaan perikanan berbasis kapasitas penangkapan merupakan alternatif pendekatan guna mengendalikan sumberdaya perikanan yang berkaitan dengan pembatasan kapasitas upaya penangkapan ikan. Penelitian efisiensi teknis tuna longline telah dilakukan pada tahun 2011 dengan tujuan untuk mengetahui kapasitas penangkapan pada perikanan tuna longline, khususnya kapal-kapal tuna longline PT. Perikanan Nusantara yang beroperasi di perairan Samudera Hindia. Hasil penelitian diperoleh bahwa nilai efisiensi penangkapan tuna longline berdasarkan perhitungan single output (tangkapan tuna) dan multi output (tuna dan tangkapan sampingan) masing-masing sekitar 0,54 dan 0,64. Nilai ini menunjukkan bahwa armada tuna longline PT. Perikanan Nusantara adalah tidak efisien. KATA KUNCI : Efisiensi teknis, kapasitas penangkapan, tuna longline, Benoa, PT. Perikanan Nusantara ABSTRACT: Fisheries resource utilization in the Indian Ocean waters has pushed up the capacity of fishing effort in high level as well as inefficiencies of fishing business. Study of fisheries management based on fishing capacity is an alternative approach to control fishery resource related to the limitation of fishing effort capacity. Technical efficiency of tuna longline research has been conducted in 2011 with the objective to estimate the tuna longline fishing capacity, especially tuna longline vessels of PT. Perikanan Nusantara operating in Indian Ocean waters. The results showed that the tuna longline fishing efficiency of PT. Perikanan Nusantara based on the calculation of single-output (catch of tuna) and multi-output (catch of tuna and by-catch) were 0.54 and 0.64, respectively. These means that the tuna longline vessel of PT. Perikanan Nusantara was not efficient. KEYWORDS : Technical efficiency, fishing capacity, tuna longline, Benoa, PT. Perikanan Nusantara
PENDAHULUAN Perikanan rawai tuna (tuna longline) pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia sekitar tahun 1954 yang dirintis oleh Pusat Djawatan Perikanan Laut, dan untuk pertama kalinya pada tahun 1962 penangkapan ikan dengan tuna longline diusahakan secara komersil oleh BPU Perikanan yang kemudian berubah nama menjadi PN. Hasil Laut yang selanjutnya berganti menjadi PN. Perikani. Perikanan tuna longline di Indonesia khususnya di Samudera Hindia mulai berkembang sejak didirikannya perusahaan negara PT (Persero) Perikanan Samodra Besar pada tahun 1972 yang berlokasi di Benoa, Bali (Simorangkir, 2000). ___________________ Korespondensi penulis: Loka Penelitian Perikanan Tuna Benoa Komp. Pelabuhan Perikanan Tuna Benoa, Bali
Pelabuhan Benoa merupakan pelabuhan utama di Provinsi Bali dan menjadi salah satu basis pangkalan pendaratan ikan tuna di Indonesia selain Muara Baru (Jakarta), Pelabuhanratu (Jawa Barat) dan Cilacap (Jawa Tengah). Sebagai salah satu pelabuhan utama perikanan tuna, Pelabuhan Benoa menjadi basis pangkalan kapal-kapal penangkap ikan tuna berskala industri yang beroperasi di perairan Samudera Hindia. Berdasarkan data Asosiasi Tuna Longline Indonesia (2012), kapal rawai tuna di Benoa yang tercatat menjadi anggota asosiasi tersebut berjumlah 693 kapal. Diduga jumlah kapal rawai tuna yang beroperasi di seluruh perairan Indonesia sekitar 1.400 unit, dimana sekitar 1.200 unit beroperasi di Samudera Hindia (Pusat Riset Perikanan Tangkap, 2002).
25
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 2013 : 25-30
Eksploitasi sumberdaya tuna di perairan Samudera Hindia dari tahun ke tahun cenderung meningkat sehingga terindikasi lebih tangkap (over fishing) atau mendekati titik jenuh. Selama kurun waktu lebih dari satu dasawarsa terakhir, rata-rata berat ikan tuna yang tertangkap, laju tangkap (hook rate) dan hasil tangkapan per satuan unit upaya (catch per unit effort, CPUE) cenderung menurun. Pada tahun 1995 tercatat bahwa rata-rata berat ikan tuna yang tertangkap 32 kg, laju tangkap 0,86 dan CPUE 280 kg/trip, menurun menjadi rata-rata berat ikan 29 kg, laju tangkap 0,45 dan CPUE 172 kg/trip pada tahun 2005 (PT. Perikanan Samodra Besar, 2006). Nilai hasil tangkapan per satuan upaya merupakan indeks kelimpahan stok ikan di suatu perairan. Nilai CPUE yang besar umumnya didapat dari usaha penangkapan yang dilakukan terhadap kelimpahan stok ikan yang tinggi pula, sebaliknya nilai CPUE yang kecil diperoleh dari kelimpahan stok yang rendah. Variabilitas CPUE menggambarkan indeks kelimpahan nisbi stok ikan di suatu perairan (Atmadja et al., 2011b). Perkembangan pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Samudera Hindia, telah mendorong peningkatan kapasitas upaya penangkapan. Saat ini, peningkatan permintaan ikan diduga telah menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan rawai tuna dari rawai tuna permukaan (surface tuna longline) ke rawai tuna laut dalam (deep tuna longline). Pengoperasian rawai tuna untuk menangkap tuna mata besar di Samudera Hindia hingga mencapai kedalaman 250-450 meter (Nugraha et al., 2010). Dengan semakin berkembangnya upaya penangkapan dengan menggunakan rawai tuna dan diduga telah terjadi peningkatan kapasitas berlebih. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui tingkat efisiensi penangkapan rawai tuna, khususnya kapal-kapal rawai tuna PT. Perikanan Nusantara yang beroperasi di perairan Samudera Hindia. Kajian pengelolaan perikanan berbasis kapasitas penangkapan, khususnya rawai tuna di Indonesia, belum banyak dilakukan dan kajian ini merupakan alternatif pendekatan guna mengendalikan sumberdaya ikan yang berkaitan dengan pembatasan kapasitas upaya penangkapan ikan.
hasil tangkapan ikan (kg) diperoleh dari hasil wawancara dengan pengusaha, nakhoda dan anak buah kapal serta karyawan PT. Perikanan Samodra Besar (PT. Perikanan Nusantara) sedangkan data sekunder berupa laporan pendaratan kapal-kapal rawai tuna milik PT. Perikanan Samodra Besar (PT. Perikanan Nusantara) selama tahun 1999-2010. Penghitungan pemanfaatan kapasitas penangkapan perikanan tuna longline dilakukan dengan pendekatan single output dan multi output. Pendekatan single output yaitu tingkat efisiensi dihitung berdasarkan hasil tangkapan tuna (target tangkapan). Sementara itu, pendekatan multi output, tingkat efisiensi dihitung berdasarkan hasil tangkapan tuna dan hasil tangkapan sampingan (HTS). Bahan kajian kapasitas penangkapan menggunakan sampel armada tuna longline sebanyak 107 trip dengan pendekatan single output dan 99 trip dengan pendekatan multi output. Analisis kapasitas penangkapan menggunakan Data Envelopment Analysis (DEA) dengan pendekatan model the Banker, Charnes and Cooper (BCC model) (Cooper et al., 2004). Model analisis DEA yang digunakan dalam analisis efisiensi bersifat variable return to scale (VRS). Data yang telah terkumpul kemudian ditabulasikan, diolah dan dianalisis dengan serangkaian metode masing-masing disajikan ≥ 0x,v j =dan 1,2,.....,J, nzj ∈ dalam bentuk tabel, gambar dan grafik. DEA adalah λjn ≥ 0, program nmatematik = 1,2,.....,N,untuk mengestimasi analisis efisiensi teknis kegiatan produksi secara simultan. Dalam analisis ini, pertama dilakukan penentuan vektor output sebagai u dan vektor inputs sebagai x. Ada m outputs, n inputs dan j unit penangkapan ikan atau pengamatan. Input dibagi menjadi fixed input (xf) dan variable input (xv). Kapasitas output dan nilai pemanfaatan sempurna dari input, selanjutnya dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Fare et al., 1989):
TE = Max q1 …………....................... (1) q,z,l dengan kendala J
θ1 u jm ≤ ∑ z j u jm , j=1
BAHAN DAN METODE Data diperoleh melalui kegiatan penelitian di Pelabuhan Benoa dari bulan Maret sampai November 2011. Data primer berupa faktor input unit penangkapan ikan yaitu tonase kapal (GT), ukuran kapal (L, B), umur kapal, jumlah pancing, hari operasi dan jumlah setting dan data faktor output yaitu jumlah
26
J
(output dibandingkan DMU)
n∈ xf
∑z
j
x jn ≤ x jn ,
∑z
j
x jn = λ jn x jn , n ∈ xv
j =1 J
j =1
Efisiensi Teknis Perikanan Rawai ….. PT. Perikanan Nusantara (Nugraha, B & Hufiadi.)
Kapasitas output pada efisiensi teknis (technical efficiency capacity output, TECU) kemudian ditentukan dengan menggandakan θ 1 * dengan produksi sesungguhnya. Pemanfaatan kapasitas , berdasarkan pada output pengamatan, kemudian dihitung dengan persamaan berikut: .................................... (2)
SAMODRA-46 SAMODRA-35 SAMODRA-45 S- 33 SAMODRA-47 SAMODRA-36 MAS - 2 SAMODRA-35 SAMODRA-36 SAMODRA-42 SAMODRA-43 0,000
0,200
0,400
0,600
0,800
1,000
Efisiensi
Gambar 1. Efisiensi antar kapal rawai tuna PT. Perikanan Nusantara Figure 1. Efficiency among tuna longline vessels of PT. Perikanan Nusantara 100
Jumlah kapal (unit)
dengan keterangan zj adalah variable intensitas untuk jth pengamatan; θ1 nilai efisiensi teknis atau proporsi dengan mana output dapat ditingkatkan pada kondisi produksi pada tingkat kapasitas penuh; dan λ*jn adalah rata-rata pemanfaatan variabel input (variable input utilization rate, VIU), yaitu rasio penggunaan input secara optimum xjn terhadap pemanfaatan inputan dari pengamatan xjn. DMU (decision making unit) adalah armada rawai tuna dengan mempertimbangkan faktor input dan output produksi penangkapan.
80
77
60
Nilai efisiensi teknis diperoleh melalui 40 penghitungan dengan teknik DEA dengan bantuan 18 12 20 software DEAP versi 2.1. Analisis efisiensi teknis dilakukan dengan membandingkan nilai efisiensi antar 0 kapal yang dijadikan sebagai DMU (armada). Proses < 0,70 1,00 > 0,70 penghitungan yaitu dengan menentukan nilai Efisiensi konstanta dari output (µ), fixed input (x) dan variable input λ pada masing-masing DMU (armada) sehingga u 1 efisiensi kapal rawai tuna PT. Gambar = 2. Distribusi = diperoleh nilai efisiensi penangkapan berdasarkan TECU q * 1Perikanan u q * 1 Nusantara tingkat pemanfaatan kapasitas (CU) penangkapan dan Figure 2. Efficiency distribution of tuna longline tingkat pemanfaatan kapasitas variabel input (VIU). vessel of PT. Perikanan Nusantara HASIL DAN BAHASAN HASIL Penilaian efisiensi penangkapan dihitung berdasarkan data operasional kapal rawai tuna yang beroperasi di Samudera Hindia selama tahun 2010. Angka efisiensi tiap kapal rawai tuna PT. Perikanan Nusantara berdasarkan single output ditunjukkan pada Gambar 1 dan distribusi angka efisiensi ditunjukkan pada Gambar 2. Grafik distribusi menunjukkan bahwa dari 107 kapal, 18 kapal (17%) diantaranya memiliki nilai efisiensi kapasitas penangkapan (CU) = 1,00, yang berarti kapasitas penangkapan optimal (100%), dan armada lainnya (89 kapal) tidak efisien dengan nilai efisiensi kapasitas penangkapan (CU) ≠ 1,00. Rata-rata tingkat efisiensi rawai tuna 0,54 menunjukkan rata-rata input optimal yang digunakan adalah sekitar 54% dari rata-rata input aktual selama kapal beroperasi.
Distribusi tingkat penggunaan input variabel rawai tuna dengan perhitungan single output dapat dilihat pada Gambar 3. Kondisi faktual penangkapan tuna dengan rawai tuna oleh PT. Perikanan Nusantara sebagian armada telah melebihi kapasitas (exces capacity) dalam penggunaan input variabel (VIU). Ratarata pemanfaatan input variabel VIU sebesar 0,89. Secara umum dalam pemanfaatan input variabel armada rawai tuna sekitar 57% berada pada tingkat yang optimal yang ditandai oleh sebagian besar jumlah armada yang mencapai nilai VIU = 1,00 dan armada yang lainnya 43% berada pada tingkat pemanfaatan input variabel tidak optimal (VIU≠1). Pemanfaatan kapasitas penangkapan perikanan rawai tuna PT. Perikanan Nusantara dengan multi output dihitung berdasarkan tangkapan ikan tuna dan tangkapan sampingan. Angka efisiensi tiap kapal rawai tuna PT. Perikanan Nusantara berdasarkan tersebut ditunjukkan pada Gambar 4. Dari perhitungan
27
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 2013 : 25-30
64 66
Jumlah Kapal (unit)
70 60
Umur Mata pancing HOP Setting
61 54
50 38
40
41 31
30
22 20
55
60 50 40 30
24
10 0 < 0,70
1,00
20 10
20
20
26
> 0,70
Efisiensi
5 0
0 < 0,70
1,00 Efisiensi
>0,70
Gambar 3. Distribusi nilai pemanfaatan variabel input rawai tuna PT. Perikanan Nusantara Figure 3. Distribution of variable input utilization value for tuna longline of PT. Perikanan Nusantara SAMODRA-46 S- 33 MAS - 2 S- 33 SAMODRA-44 SAMODRA-47 SAMODRA-36 SAMODRA-42 SAMODRA-31 SAMODRA-35 SAMODRA-43 0,000
Gambar 5. Distribusi efisiensi kapal rawai tuna PT. Perikanan Nusantara Figure 5. Efficiency distribution of tuna longline vessel of PT. Perikanan Nusantara
80
Umur Pancing Setting HOP
71
Jumlah Kapal (unit)
70
0,200
0,400
0,600
0,800
1,000
Efisiensi
Gambar 4. Efisiensi antar kapal rawai tuna PT. Perikanan Nusantara Figure 4. Efficiency among tuna longline vessels of PT. Perikanan Nusantara Distribusi nilai pemanfaatan kapasitas (CU) dari 99 sampel kapal terdapat 24 kapal (24%) yang mempunyai nilai CU = 1,00 (tingkat pemanfaatan optimum) dan yang lainnya 75 kapal (78%) berada pada tingkat yang tidak optimum yang ditandai dengan perolehan nilai CU ≠ 1,00 (Gambar 5). Berdasarkan rasio dari penggunaan input optimal dengan input aktual diperoleh tingkat pemanfaatan variabel input rata-rata VIU > 0,91. Berdasarkan nilai VIU tersebut secara umum armada rawai tuna PT.
28
Perikanan Nusantara dalam pemanfaatan variabel input sebagian besar berada pada tingkat pemanfaatan yang efisien yang ditandai oleh sebagian besar pencapaian nilai VIU = 1,00 (Gambar 6).
Jumlah Kapal (unit)
secara multi output diperoleh rata-rata tingkat efisiensi rawai tuna sebesar 0,64. Pada Gambar 5 terlihat bahwa nilai efisiensi yang optimal ditunjukkan oleh beberapa armada dengan nilai efisiensi mencapai 1,00. Secara detail hasil penghitungan dugaan tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan atau tingkat efisiensi armada rawai tuna diperoleh nilai pemanfaatan kapasitas (CU) terendah adalah 0,63.
57
60 47
50
40
40 30
22
27 21
32
30 28 21
20
10 Gambar 6. Distribusi nilai pemanfaatan variabel input 0 0 (VIU) rawai tuna PT. Perikanan Nusantara < 0,70 1,00 Figure 6. Distribution of variable input >0,70 utilization (VIU) value Efisiensi for tuna longline of PT. Perikanan Nusantara
BAHASAN Nilai efisiensi kapasitas penangkapan rawai tuna berdasarkan perhitungan single output dan multi output masing-masing 0,54 dan 0,64. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kapal rawai tuna PT. Perikanan Nusantara masih berada pada tingkat yang jauh dari efisien. Hal ini tentu sangat tergantung dari kebijakan dalam pengelolaan perikanan rawai tuna sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai. Misalnya efisiensi antar kapal tuna longline PT. Perikanan Nusantara di bawah 0,5 dianggap operasi kapal tersebut tidak menguntungkan. Dalam konteks ini angka efisiensi dapat dijadikan acuan untuk menentukan kebijakan pembatasan jumlah kapal.
Efisiensi Teknis Perikanan Rawai ….. PT. Perikanan Nusantara (Nugraha, B & Hufiadi.)
Analisis efisiensi antar kapal rawai tuna PT. Perikanan Nusantara yang dihitung dengan pendekatan single output dan multi output masingmasing diperoleh nilai efisiensi rata-rata 0,54 dan 0,64. Hal ini menunjukkan rata-rata input optimal yang digunakan adalah masing-masing sekitar 54% dan 64% dari rata-rata input aktual selama kapal beroperasi atau armada rawai tuna tersebut hanya mampu mensupport sekitar 54% dan 64% dari sumberdayanya untuk mencapai kapasitas optimum. Dengan demikian untuk meningkatkan produksi perikanan rawai tuna agar dapat mencapai produksi yang potensial adalah dengan melakukan pengurangan kapasitas masingmasing sebesar 46% dan 36%. Hasil penelitian Atmadja et al., (2011a) pada kasus pukat cincin di Laut Jawa, menjelaskan bahwa dalam merespon kelebihan kapasitas penangkapan armada purse seine besar di Laut Jawa mengakibatkan adanya perubahanperubahan radikal berupa relokasi beberapa pukat cincin ke wilayah perairan Indonesia Timur, transaksi jual beli ikan di laut dan perubahan input fisik berupa sistem pendingin (plate freezer). Berdasarkan tingkat pemanfaatan variabel input menunjukkan telah terjadi surplus penggunaan input sehingga perlu mengurangi input tersebut (Fare et al., 1994). Upaya perbaikan agar tingkat kapasitas pemanfaatan menjadi optimal dapat dilakukan dengan penambahan pada output atau pengurangan pada input (Kirkley & Squaire, 1999). Pada kondisi armada rawai tuna yang tidak efisien memungkinkan dilakukan pendekatan pengendalian input yang berlebih dan perlu mempertimbangkan optimalisasi penggunaan variabel input. Pemanfaatan variabel input rawai tuna dapat diukur berdasarkan rasio dari penggunaan input optimal (target) dengan input aktual (observasi). Input optimal merupakan input yang digunakan pada kondisi efisien teknis. Jika rasio VIU kurang dari satu maka telah terjadi surplus penggunaan input variabel sehingga perlu mengurangi penggunaan input tersebut (Fare et al., 1994). Berdasarkan tingkat pemanfaatan variabel input rawai tuna yang beroperasi di perairan Samudera Hindia baik dengan pendekatan single output dan multi output, dalam hal ini, umur kapal, jumlah pancing, hari operasi (HOP) dan jumlah setting merupakan input variabel yang dapat dijadikan instrumen pengendalian kapasitas. Efisiensi rawai tuna PT. Perikanan Nusantara yang belum optimal berdasarkan single output dapat ditingkatkan dengan mengurangi input variabel hari operasi 24%, memperbaiki umur kapal 15%, mengurangi setting 22%, mengurangi bobot kapal (GT) 20%, mengurangi lebar kapal 12% dan mengurangi jumlah pancing 6%. Berdasarkan
pendekatan multi output efisiensi rawai tuna dapat ditingkatkan dengan cara mengurangi hari operasi sebesar 26%, mengurangi bobot kapal (GT) 21%, memperbaiki umur kapal 20%, mengurangi setting 18%, mengurangi lebar kapal 9% dan mengurangi jumlah pancing 3%. Mengurangi ukuran panjang atau lebar kapal secara langsung akan berimplikasi terhadap berkurangnya bobot kapal (GT). Ukuran kapal yang besar tidak serta merta mempunyai efisiensi yang tinggi. Secara teoritis menunjukkan bahwa besarnya ukuran kapal akan berimplikasi pada semakin jauhnya jangkauan daerah penangkapan dan kestabilan kapal relatif tinggi. Namun demikian, pengaturan atau pengurangan fixed input pada kenyataannya sangat kompleks dan sulit diterapkan. Oleh karena itu, untuk membangun atau membuat kapal rawai tuna saat ini atau dimasa yang akan datang harus memperhatikan hasil perhitungan pengaturan atau pengurangan fixed input yang telah dilakukan. Memperbaiki atau meningkatkan umur kapal (peremajaan kapal) juga merupakan salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi kapal rawai tuna. Secara teknis, kapal-kapal yang berusia muda atau baru secara ekonomi akan mempunyai tingkat efisien yang lebih tinggi dibanding kapal yang sudah tua. Kapal-kapal yang sudah tidak efisien atau memiliki efisiensi yang rendah dapat dipertimbangkan untuk tidak dioperasikan lagi, karena dianggap sudah tidak menguntungkan. Whitmars, (1998) dalam Muldoon, (2009) menyebutkan bahwa teknologi adalah penyebab utama terhadap perubahan excess fishing capacity yang berdampak pada perikanan skala tradisional maupun industri. KESIMPULAN Kapasitas unit penangkapan rawai tuna telah berlebih (excess capacity), bahkan pada beberapa trip penangkapan, armada rawai tuna PT. Perikanan Nusantara telah berada pada tingkat yang jauh dari efisien. Untuk mencapai kapasitas penangkapan yang optimal diperlukan perbaikan terutama dengan cara mengurangi penggunaan input variabel. Berdasarkan single output dilakukan dengan mengurangi hari operasi (HOP) 24%, memperbaiki umur kapal 15%, jumlah setting 22%, dan mengurangi jumlah pancing 6%, sedangkan berdasarkan multi output dilakukan dengan mengurangi hari operasi sebesar 26%, meningkatkan umur kapal 20%, jumlah setting 18%, dan pengurangan jumlah pancing 3%. SARAN Manajemen penangkapan dapat dilakukan melalui pengaturan atau pengurangan input yang berlebih. Produksi yang potensial dapat dicapai dengan
29
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 2013 : 25-30
melakukan pengurangan kapasitas masing-masing sebesar 46% dan 36%.
Fare, R.S., Grosskopf S. & Lovel C.A.K. 1994. Production Frontiers. Cambridge University Press. United Kingdom. 296 p.
PERSANTUNAN Kegiatan dari hasil Riset Perikanan Tangkap di Perairan Samudera Hindia sub kegiatan Riset Perikanan Tuna Skala Industri yang Berbasis di Perairan Samudera Hindia T.A. 2011 di Balai Penelitian Perikanan Laut. DAFTAR PUSTAKA Asosiasi Tuna Longline Indonesia. 2012. Daftar Kapal Anggota Asosiasi Tuna Longline Indonesia Berdasarkan Ukuran Kapal (GT) dan Jenis Kapal (Alat Tangkap). Benoa-Bali. 2 p. Atmadja, S.B., D. Nugroho & M. Natsir. 2011a. Respons Radikal Kelebihan Kapasitas Penangkapan Armada Pukat Cincin Semi Industri di Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 17 (2). 115-123. Atmadja, S.B., M. Natsir & A. Kuswoyo. 2011b. Analisis Upaya Efektif dari Data Vessel Monitoring System dan Produktivitas Pukat Cincin Semi Industri di Samudera Hindia. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 17 (3). 177-184. Fare, R.S., Grosskopf S. & Kokkelenberg E. 1989. Measuring Plant Capacity Utilization and Technical Change: A Nonparametric Approach. Int. Econ. Rev. 30. p. 655-666.
30
Kirkley, J.E. & Squires D.E. 1999. Measuring Capacity and Capacity Utilization in Fisheries. Managing Fishing Capacity. FAO Fisheries Technical Paper Rome. 386: 75-2000. Muldoon, G.J. 2009. Innovation and Capacity in Fisheries : Value-adding and the Emergence of the Live Reef Fish Trade as Part of the Great Barrier Reef Reef-Line Fishery. Phd thesis. James Cook University diacu dalam http://eprints.jcu.edu.au. diunduh pada tanggal 10 Desember 2012. Nugraha, B., R.I Wahju, M.F.A. Sondita & Zulkarnain. 2010. Estimasi Kedalaman Mata Pancing Tuna Longline di Samudera Hindia: Metode Yoshihara dan Minilog. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 16 (3). 195-203. PT. Perikanan Samodra Besar. 2006. Data Hasil Tangkapan 1995-2005. Benoa-Bali. 12 p. Pusat Riset Perikanan Tangkap. 2002. Analisis Pengelolaan Perikanan Tuna di Samudera Hindia dan Perikanan Perairan Umum di Sumatera Barat. Laporan Teknis Tahun Anggaran 2002. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Simorangkir, S. 2000. Perikanan Indonesia. Bali Post. Denpasar-Bali. 294 p.
Perkembangan Perikanan Cumi-cumi di Sentra Pendaratan Ikan Utara Pulau Jawa (Atmadja, S.B.)
PERKEMBANGAN PERIKANAN CUMI–CUMI DI SENTRA PENDARATAN IKAN UTARA PULAU JAWA THE DEVELOPMENT OF SQUID FISHERIES IN THE CENTER OF LANDING FISH OF NORTH JAVA ISLAND Suherman Banon Atmaja Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 30 Agustus 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 20 Maret 2013; Disetujui terbit tanggal: 21 Maret 2013 e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Studi pendahuluan tentang perikanan cumi-cumi yang berasal dari kapal purse seine telah dilakukan di sentra pendaratan ikan utara Pulau Jawa. Setelah deplesi stok ikan pelagis di Laut Jawa, pada perikanan purse seine semi industri peralihan spesies target dan diversifikasi usaha penangkapan merupakan strategi dan respon adaptif pengusaha (pemilik kapal) dan nelayan terhadap perubahan dalam kelimpahan sumber daya, kondisi lingkungan dan hambatan peraturan. Berdasarkan atas data kapal keluar–masuk di PPS Nizam Zachman Jakarta dan data sistem pemantauan kapal (VMS, vessel monitoring system) menunjukkan daerah penangkapan menyebar ke 5 wilayah pengelolaan perikanan, yaitu WPP 712 Laut Jawa, WPP 572 Samudera Hindia, WPP 711 Selat Karimata dan Laut Cina Selatan, WPP 714 Selat Makassar dan Laut Flores, WPP 718 Laut Aru dan Laut Arafuru. Rata–rata hari operasi di Laut Jawa dan Selat Karimata berkisar 40-110 hari, sedangkan rata–rata hari operasi di Laut Aru dan Laut Arafuru berkisar 126-253 hari. Perubahan kapal purse seine menjadi kapal cumi-cumi menunjukkan sinyal yang nyata mengenai terjadinya penurunan biomassa ikan-ikan tertentu dan kenaikan kelimpahan ikan lainnya. KATA KUNCI : Perkembangan, perikanan cumi-cumi, sentra pendaratan ikan, Utara P. Jawa ABSTRACT This paper presents a preliminary study of the squid fishery originally come from purse seiners in center of fish landing at Northern of Java Island. After depletion of pelagic fish stocks in the Java Sea, shift target species and fishing effort diversification of semi-industrial purse seine fishery is a strategy and an adaptive response of enterpreneur (owner’s) and fishermen to changes in the abundance of the resources, environmental conditions and regulatory barriers. Based on data entry–exit vessel in landing sites of Nizam Zachman Jakarta and VMS data showed that the fishing ground spreaded to five fisheries management areas, i.e., FMA 712 Java Sea, FMA 572 Indian Ocean, FMA 711 Karimata Strait and South China Sea, FMA 714 Macassar Strait and Flores Sea, FMA 718 Aru Sea and Arafuru Sea. The average day at sea in Java Sea and Karimata Strait ranges from 40 to 110 days, while the average day at sea in Aru Sea and Arafuru Sea ranges from 126 to 253 days. The change of purse seiners to be squid vessell indicated a significant signal in decreasing of certain fish biomass and increasing in the abundance of other fish. KEYWORDS : Development, Squid Fisheries, Center Landing Fish, Northern Java Island.
PENDAHULUAN Cumi-cumi secara taxonomi termasuk ke dalam Chepalopoda, adalah salah satu sumber daya non ikan yang cukup penting dalam perikanan Indonesia. Cumi-cumi tertangkap hampir di seluruh perairan Indonesia dan biasanya tertangkap bersama-sama species ikan pelagis lainnya. Cumi-cumi yang tertangkap biasanya terdiri dari cumi-cumi (squid), sotong (cuttle fish) dan gurita (octopus) (Badrudin & Mubarak 1998; Djamali et al., 1998). Cumi-cumi adalah sumber makanan utama bagi ikan carnivorus
besar, sebagai mangsa utama bagi sedikitnya 19 spesies ikan, 13 spesies burung laut dan 6 mamalia laut (Zeidberg et al., 2006). Selama ini, perikanan cumi-cumi hanya dikenal di Selat Alas, cumi-cumi ditangkap dengan jala-oras (sejenis payang dengan lampu sebagai alat bantu pengumpul), 90% tangkapan Cephalopoda berupa cumi-cumi yang terdiri dari 5 spesies (cumi-cumi jarum, the arrow squid–Uroteuthis bartschi, cumi-cumi hiara, the common squid–Loligo edulis, the Siboga squid–Loligo sibogae & the hooked squid–Abralia
___________________ Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Laut Jl. Muara Baru Ujung, Komp. Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman, Jakarta Utara
31
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 2013 : 31-38
spaercki) (Ghofar, 2005). Sementara wilayah lain hanya merupakan hasil sampingan dari alat tangkap ikan demersal (arad, cantrang dan pukat harimau), alat tangkap ikan pelagis (bagan, payang dan pukat cincin). Hasil survei trawl di Laut Jawa menunjukkan cumi-cumi sekitar 2,4% dari rata-rata laju tangkap sebesar 195,7 kg (Martosubroto, 1982). Hasil tangkapan jaring arad yang beroperasi di sekitar perairan Pekalongan menunjukkan cumi-cumi sekitar 5% dari rata-rata 45 kg/trip, sedangkan hasil tangkapan cantrang berupa cumi-cumi sekitar 2,3% dari rata-rata sebesar 1050 kg/trip. Hasil tangkapan cantrang di Banyutowo berupa cumi-cumi sekitar 2,8% dari rata-rata sebesar 388 kg/trip. Hasil tangkapan purse seine mini di Pekalongan selama periode 1997– 2004 menghasilkan cumi-cumi sekitar 2,4% dari ratarata hasil tangkapan sebesar 1.790 ton/trip. Banyak faktor yang mendorong nelayan masuk ke usaha perikanan, antara lain tersedianya modal, peralatan penangkapan ikan, pengetahuan tentang perikanan, lembaga yang mengatur, dan kondisi pasar. Perikanan cumi-cumi telah menarik minat di seluruh dunia pada dua dekade terakhir. Merosotnya hasil tangkapan pada banyak perikanan tradisional telah meningkatkan pemanfaatan potensi spesies non ikan, terutama invertebrata seperti Cephalopoda (Rodhouse, 2005). Adanya pergantian kuantitas kelimpahan stok ikan utama akibat eksploitasi yang intensif, kerusakan struktur habitat (macroalgae, sponges, soft-coral sebagai tempat perlindungan untuk ikan-ikan muda) oleh pukat harimau, menyebabkan munculnya cumi-cumi (Sainsbury et al., 1993). Di Indonesia, perkembangan perikanan cumi-cumi secara drastis tidak terlepas dari krisis perikanan yang terjadi pada beberapa perikanan, seperti perikanan purse seine, perikanan rawai dasar di Laut Jawa dan perikanan tuna. Dalam konteks perikanan purse seine semi industri di Laut Jawa untuk mengamankan investasi agar tidak lenyap nilainya, kejadian penting untuk menghindari keluar dari usaha perikanan adalah mengalihkan target spesies dan alat tangkap. Beberapa kapal purse seine telah melakukan diversifikasi usaha menjadi kapal cumi-cumi, sebagai strategi rotasi eksploitasi menjadi pilihan regulasi perikanan tangkap. Selama ini, kajian pada perikanan cumi-cumi masih sangat terbatas dan kurang menjadi perhatian. Kendati perikanan cumi-cumi tersebut telah memainkan peranan penting dalam substitusi alat tangkap dan berkembang serta beroperasi antar wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Tulisan ini merupakan studi pendahuluan tentang perikanan cumi-cumi yang berasal dari kapal purse
32
seine dengan pembahasan pada upaya penangkapan dan daerah penangkapan perikanan cumi-cumi dari data VMS. BAHAN DAN METODE Data yang dikumpulkan berasal dari kegiatan penangkapan melalui enumerasi, nakhoda kapal sebagai observer. Sebanyak 3 trip terdiri dari 1 trip dari Jakarta dan 2 trip dari Cirebon, sedangkan data yang dicatat berupa aktivitas tawur dan posisi tawur, serta hasil tangkapan. Data keluar–masuk kapal dari PPS Nizam Zachman Jakarta untuk memetakan secara umum dari penangkapan selama 4 Januari 2008– 12 Juli 2008. Sementara rekaman data sistem pemantauan kapal (VMS, vessel monitoring system) yang mendekati waktu sebenarnya berupa posisi, kecepatan dan arah haluan kapal. Data tersebut digunakan untuk menentukan jalur lintasan kapal, mengidentifikasi trip dan estimasi posisi tawur. Estimasi tawur berdasarkan atas catatan dari nakhoda kapal, kapal cumi-cumi melakukan aktivitas tawur sebanyak 5 kali dalam semalam, yaitu jam 21, 23, 0 atau 1, 2 atau 2:30 dan 3 atau 4:30 WIB. Data VMS dari dua kapal cumi-cumi yang beroperasi di Laut Jawa pada periode Desember 2009–Mei 2011 dan dua kapal lagi beroperasi di laut Aru dan Laut Arafuru pada periode Desember 2008–April 2010. Data selanjutnya diolah dengan analisis kualitatif yang disajikan dalam bentuk analisis deskriptif, berupa grafik berdasarkan atas data enumerasi dan data VMS untuk jalur lintasan kapal dan estimasi trip dan posisi tawur. HASIL DAN BAHASAN HASIL Perkembangan Perikanan cumi-cumi Sejak tahun 2002 perikanan cumi-cumi mulai berkembang di beberapa sentra pendaratan ikan, seperti Indramayu, Juwana, Jakarta, Pontianak dan Benoa. Perikanan ini menggunakan alat tangkap jaring cumi (bouke ami dan cast net), dengan alat bantu cahaya (fishing light attractor) sebagai pengumpul cumi-cumi. Umumnya kapal dilengkapi jenis lampu fluoracent dengan daya sampai dengan 20 Kw. Daya lampu yang digunakan berkisar mulai dari 19.000 watt sampai 50.000 watt. Sumber tenaga lampu menggunakan dinamo yang mampu mensuplai daya mulai dari 25.000 watt sampai dengan 80.000 watt.
Perkembangan Perikanan Cumi-cumi di Sentra Pendaratan Ikan Utara Pulau Jawa (Atmadja, S.B.)
Ukuran kapal kapal cumi-cumi sangat bervariasi, di Juwana sebagian besar peralihan dari kapal rawai dasar umumnya berukuran <30 GT, ukuran sama juga dijumpai di Muara Angke, umumnya menggunakan mesin penggerak dengan kekuatan mulai 120 PK (4–8 silinder). Sementara kapal cumicumi di Muara Baru berukuran 15-160 GT, karena
sebagian besar berasal dari kapal purse seine dan tuna. Pada tahun 2008 tercatat sedikitnya ada 21 kapal purse seine yang berasal dari Tegal, Pekalongan dan Juwana telah diubah menjadi kapal cumi-cumi (Atmaja, 2009). Dari tiga lokasi sentra perikanan, sebagian besar kapal cumi-cumi berada di Jakarta (Gambar 1).
300
Jumlah kapal
250 200 150
GT <30
100
GT >30
50 0 Jakarta
Juwana
Cirebon
L o k a si
Gambar 1. Jumlah kapal cumi-cumi menurut lokasi tahun 2010 Figure 1. The numbers of squid vessel by location in 2010 Distribusi Spasial Upaya Penangkapan Berdasarkan atas data kapal keluar– masuk di PPS Nizam Zachman Jakarta memperlihatkan perkembangan daerah penangkapan kapal cumi-cumi telah menyebar antar wilayah pengelolaan perikanan, yaitu WPP 712 Laut Jawa, WPP 572 Samudera Hindia, WPP 711 Selat Karimata dan Laut Cina
Selatan, WPP 714 Selat Makasar dan Laut Flores, WPP 718 Laut Aru dan Laut Arafuru (Gambar 2). Sementara berdasarkan atas hasil enumerasi memperlihatkan kapal cumi-cumi berasal dari Cirebon (GT<30), umumnya beroperasi di Laut Jawa dan sekitar Selat Karimata (Gambar 3), dengan rata–rata hari operasi berkisar 51-110 hari.
Gambar 2. Jumlah trip kapal cumi-cumi menurut daerah penangkapan di PPS Nizam Zachman Jakarta selama 4 Januari 2008–12 Juli 2008 (Atmaja, 2009) Figure 2. The numbers trip of squid vessel by fishing ground in landing place of Nizam Zachman Jakarta during 4 January 2008–12 July 2008 (Atmaja, 2009)
33
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 2013 : 31-38
track) setiap trip dan aktivitas tawur. Kajian ini difokuskan terutama terhadap kapal cumi-cumi yang berasal dari kapal purse seine, sebagai bagian dari strategi rotasi eksploitasi dan keputusan interaktif jangka pendek nelayan untuk melakukan alokasi penangkapan. Daerah penangkapan telah menyebar ke WPP 712 (Laut Jawa), WPP 711 (Selat Karimata dan Laut Cina Selatan), WPP 718 (Laut Aru dan Laut Arafuru), terutama di sekitar perairan Pulau Kobroor, P. Trangan dan Merauke (Gambar 4). Sementara WPP 714 Selat Makasar dan Laut Flores tidak dapat dipetakan karena keterbatasan rekaman data VMS yang dianalisis. Gambar 3. Daerah penangkapan kapal cumi-cumi contoh (2 trip) di PPN Kejawanan Cirebon (Keterangan: merah = trip 1, biru = trip 2) Figure 3. Fishing ground of sample vessel of squid (2 trip) in Landing site of Kejawanan Cirebon (Remarks: red = trip 1, blue = trip 2) Daerah Penangkapan Versi Data VMS Berdasarkan atas rekaman data sistem pemantauan kapal (VMS) megambarkan lebih rinci daerah penangkapan, jalur lintasan kapal (vessel
Dari dua kapal memperjelas lebih rinci aktivitas penangkapan, seperti jalur lintasan dan estimasi tawur. Kapal pertama, dari 8 trip memperlihatkan bahwa aktivitas penangkapan terkonsentrasi di Selat Karimata dan bagian barat Selatan Kalimatan Selatan (Gambar 5), variasi durasi per trip berkisar 42 hingga 57 hari (Tabel 1). Kapal kedua menunjukkan konsentrasi aktivitas penangkapan berada di Laut Jawa, terutama bagian barat Selatan Kalimatan (Gambar 6), variasi durasi per trip berkisar 40 hingga 58 hari (Tabel 2).
Gambar 4. Penyebaran aktivitas penangkapan kapal cumi-cumi berasal dari purse seine Figure 4. Distribution of fishing activities of the squid vessels derived from purse seiners Tabel 1. Waktu aktivitas penangkapan dan jumlah hari laut Table 1. Fishing activities and day at sea
Tabel 2. Table 2. Trip 1 2 3 4 5
34
Waktu aktivitas penangkapan dan jumlah hari laut Fishing activities and day at sea
Waktu 18 Mar -15 Mei 2009 27 Mei - 15 Jul 2009 17 Agus - 13 Okt 2009 9 Nop - 19 Des 2009 1 Jan - 26 Feb 2010
Durasi di Laut 58 49 57 40 57
Perkembangan Perikanan Cumi-cumi di Sentra Pendaratan Ikan Utara Pulau Jawa (Atmadja, S.B.)
Gambar 5. Plot jalur lintasan dan estimasi tawur KM Bintang Sukses Makmur 8 menurut trip berdasarkan atas data VMS periode Desember 2009 – Mei 2011, daerah penangkapan di Laut Jawa dan Selat Karimata Figure 5. Ploting track and haul estimation of vessel Bintang Sukses Makmur 8 by the trip based on VMS data period of December 2009 - April 2011, the fishing ground in the Java Sea and the Karimata Strait
Gambar 6. Plot jalur lintasan dan estimasi tawur K.M Fajar Mulia menurut trip berdasarkan atas data VMS periode Maret 2009 – Februari 2010 Figure 6. Ploting track and haul estimation of vessel Fajar Mulia by the trip based on VMS data period of March 2009 - February 2010
35
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 2013 : 31-38
Sementara, dua kapal cumi-cumi yang berasal dari Pekalongan beroperasi di Laut Aru dan Laut Arafuru dengan pelabuhan singgah di Tual dan Merauke (Gambar 7 dan Gambar 8). Mereka dapat beroperasi yang sangat lama karena telah terjadi perubahan sistem bagi hasil, umumnya nelayan di kontrak selama satu tahun. Selain itu, dukungan modal dan sistem jejaring yang kuat untuk mendukung operasional kapal. Dengan kata lain, investasi di sektor perikanan tangkap terus meningkat.
Pada Gambar 7a terdiri dari dua trip, yaitu trip pertama dengan lama di laut sekitar 126 hari (Februari 2009–Mei 2010 ) dan trip kedua dengan lama di laut sekitar 253 hari (Juli 2009 – April 2010), posisi kapal masih beroperasi di Laut (Gambar 7b), dan juga kapal yang berasal dari Pekalongan beroperasi pada perairan yang sama (Gambar 8). Kedua kapal tersebut melakukan aktivitas tawurnya terkonsentrasi di sekitar Pulau Kobroor, P. Trangan dan Merauke.
Gambar 7a. Plot jalur lintasan KM Bintang Sumber Jaya 9 berasal dari Pekalongan berdasarkan atas data VMS periode Februari 2009–April 2010 Figure 7a. Ploting track of vessel Bintang Sumber Jaya 9 caming from Pekalongan based on the VMS data period of February 2009 –April 2010
Gambar 7b. Plot jalur lintasan KM Bintang Sumber Jaya 9 menurut trip berdasarkan atas data VMS periode Februari 2009 – April 2010, daerah penangkapan di Laut Aru dan Laut Arafuru (keterangan: Mer = Merauke, Pkl = Pekalongan, Tual) Figure 7b. Ploting track of vessel Bintang Sumber Jaya 9 by trip based on the VMS data period February 2009 – April 2010, the fishing ground in the Aru Sea and Arafuru Sea (remaks: Mer = Merauke, Pkl = Pekalongan, Tual)
36
Perkembangan Perikanan Cumi-cumi di Sentra Pendaratan Ikan Utara Pulau Jawa (Atmadja, S.B.)
Gambar 8. Plot jalur lintasan KM Kasih Jaya menurut trip berdasarkan atas data VMS periode Januari 2009– Maret 2010, daerah penangkapan di Laut Aru dan Laut Arafuru (keterangan: Mer = Merauke, Pkl = Pekalongan, Tual) Figure 8. Ploting track of vessel Kasih Jaya by VMS trip based on the data period January 2009 - March 2010, the fishing ground in the Aru Sea and the Arafuru Sea (remaks: Mer = Merauke, Pkl = Pekalongan, Tual). BAHASAN Perkembangan perikanan cumi-cumi selama satu dekade diduga merupakan sinyal adanya pergantian populasi ikan dari karakteristik sumber daya multispesies atau pergeseran trophic level yang berkaitan dengan degradasi ekosistem. Martosubroto & Badrudin (1984) melaporkan bahwa di Laut Jawa tidak ada indikasi penurunan beberapa spesies ikan demersal digantikan oleh peningkatan spesies lainnya (ikan pelagis) sebagaimana yang terjadi di Teluk Thailand (perubahan komunitas ikan ditunjukan oleh penurunan spesies ikan demersal utama diikuti dengan peningkatan tren dari cumi-cumi). Aktivitas penangkapan telah berdampak pada penurunan stok secara gradual ikan yang berumur panjang dari ekosistem laut, tergantikan oleh ikan dengan siklus pendek dan invertebrate, dan merubah rantai makanan menjadi lebih sederhana dan penurunan kapasitas daya dukung seperti bentuk sebelumnya (Pauly et al., 2002). Namun demikian, perubahan kapal purse seine menjadi kapal cumi-cumi merupakan sinyal yang nyata adanya penurunan biomassa ikan-ikan tertentu dan kenaikan kelimpahan ikan lainnya, yaitu pergantian dari spesies “specialized” ke “opportunistic feeders”. Kapal penangkap ikan tidak mudah dialokasikan untuk penggunaan di luar perikanan. Pergeseran dari suatu spesies target sebagai strategi yang digunakan oleh nelayan saat mencoba untuk mengurangi ketidak pastian hasil tangkapan (Christensen & Raakjaer, 2006). Peralihan spesies target dan diversifikasi usaha penangkapan merupakan strategi dan respon adaptif pengusaha dan nelayan terhadap perubahan
dalam kelimpahan sumber daya, kondisi lingkungan dan pasar atau hambatan peraturan. Pertimbangan dilema sosial menjadi pilihan kebijakan regulasi perikanan tangkap melalui rotasi eksploitasi. Oleh karena itu, perkembangan perikanan cumi –cumi saat ini di luar skenario alokasi sumber daya ikan dan kondisi stok ikan, dari hasil kajian estimasi sumber daya ikan dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Dari situasi perikanan cumi–cumi dengan mengacu pada klasifikasi Yamamoto (1983), menunjukkan paling sedikit ada dua hirarki, yaitu: (i) perikanan pesisir atau coastal fishery, (ii) perikanan lepas pantai atau offshore fishery. Daerah penangkapan terjadi tumpang tindih dengan daerah penangkapan perikanan lainnya, seperti cantrang, purse seine mini dan alat tangkap tradisional lainnya. Pada kasus kapal cumi-cumi untuk mendefinisikan upaya penangkapan yang relevan adalah dilema, karena umumnya mereka dapat tinggal di laut berbulan-bulan dan dapat singgah lebih dari satu pelabuhan. Selain itu, potensi terjadinya unreported baik disreported maupun misreported sangat besar, karena hampir sebagian besar hasil tangkapan tidak dilelang langsung. Dari data statistik PPS Nizam Zachman Jakarta menunjukkan rata–rata rasio kapal bongkar dengan kapal yang masuk hanya sekitar 15% dan pada kasus trip K.M Fajar Mulia (27 Mei–15 Juli 2009) berangkat dari Jakarta dan masuk ke Pekalongan, hasil tangkapan tidak tercatat di PPN Pekalongan. Potensial unreported, disreported dan misreported pada perikanan ini sangat besar, karena sebagian besar hasil tangkapan tidak dilelang dan tidak dilaporkan.
37
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 2013 : 31-38
Menarik untuk menjadi perhatian adalah kecenderungan daerah penangkapan menuju Laut Jawa dan Arafuru. Hal ini mungkin memperkuat dugaan kemungkinan kedua perairan tersebut telah mengalami pergeseran trophic level yang berkaitan dengan kemerosotan ekosistem atau adanya pergantian populasi ikan dari karakteristik sumber daya multi-spesies. KESIMPULAN Perubahan kapal purse seine menjadi kapal cumicumi adalah merupakan sinyal adanya pergeseran populasi ikan dari karakteristik sumber daya yang multi-spesies. Pertimbangan dilema sosial menjadi pilihan kebijakan regulasi perikanan tangkap melalui peralihan spesies target dan diversifikasi usaha penangkapan. Daerah penangkapan yang menyebar ke 5 wilayah pengelolaan perikanan (WPP 712 Laut Jawa, WPP 572 Samudera Hindia, WPP 711 Selat Karimata dan Laut Cina Selatan, WPP 714 Selat Makasar dan Laut Flores, WPP 718 Laut Aru dan Laut Arafuru) menyulitkan dalam pendugaan kondisi stok ikan. Potensial unreported, disreported dan misreported pada perikanan ini sangat besar, karena sebagian besar hasil tangkapan tidak dilelang dan tidak dilaporkan. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan Riset Dinamika Perilaku Perikanan Pukat Cincin: Perubahan Pola Eksploitasi dan Substitusi Alat Tangkap, APBN TA 2010 di Balai Penelitian Perikanan Laut. Muara Baru. Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Arnold, G.P. 1979. Squid a review of their biology &fisheries. Laboratory Leaflet No. 48. Ministry of Agriculture Fisheries and Food. Directorate of Fisheries Research. Lowestoft. 37 p. Atmaja, S.B. 2009. Dinamika Perikanan Pukat Cincin sebagai Indikator Perilaku antar Wilayah Pengelolaan Perikanan. Seminar Hasil Pelaksanaan Penelitian bagi Peneliti dan Perekayasa Sesuai Prioritas Nasional Tahun 2009. Jakarta. 15 – 16 Desember 2009. Atmaja, S.B., M. Natsir & A. Kuswoyo, 2011. Analisis Upaya Efektif dari data VMS (Vessel Monitoring System) dan Produktivitas Pukat Cincin Semi Industri di Samudera Hindia. JPPI 17 (3): 177 – 184.
38
Badrudin, M. & H. Mubarak, 1998. Sumberdaya Cumicumi dalam Potensi dan Penyebaran SDI Laut di Perairan Indonesia. p 164-166. Christensen, A.S. & J. Raakjaer, 2006. Fishermen’s tactical and strategic decisions: a case study of Danish demersal fisheries. Fisheries Research 81: 258–267. Djamali, A., H. Mubarak, Mudjiona, Darsono, P. Aziz. & O.K. Sumadhiharga. 1998. Sumberdaya Moluska dan Teripang. dalam Potensi dan Penyebaran SDI Laut di Perairan Indonesia. p 156-162. Ghofar, A. 2005. ENSO Effects on The Alas Strait Squid Resource and Fishery. Ilmu Kelautan. Faculty of Fisheries and Marine Science, Diponegoro University, Semarang 10 (2) : 106 - 114 Martosubroto, P. 1982. Fishery dynamics of the demersal resources of the Java Sea. Phd. Dessertation, Dalhousie University, Canada. 238 p. Martosubroto, P. & M. Badrudin, 1984. Notes on the status of the demersal resources off the North Coast of Java. Report of the Fourth Session of the Standing Committee on Research and Development. IPFC. FAO Fisheries Report No. 318: 33 – 36. Rodhouse, P. G. 2005. World Squid Resources in Review of the state of world marine fishery resources. FAO Fisheries Technical Paper. No. 457. Rome, FAO. p 175 – 187. Pauly D., V. Christensen, S. Guénette, T.J. Pitcher, U. R. Sumaila, C.J. Walters,R. Watson & D. Zeller, 2002. Towards sustainability in world fisheries. Nature 418: 689-695. www.nature.com/nature Sainsbury, K. J., R. A. Campbell, & W. W. Whitelaw, 1993. Effects of trawling on the marine habitat on the North West Shelf of Australia and implications for sustainable fisheries management. In: Sustainable Fisheries through Sustainable Habitat. Ed. by D. A. Hancock, Bureau of Rural Sciences Proceedings, AGPS, Canberra. p 137-145. Yamamoto T. 1983. Fishery Regulations Adopted for Coastal and Offshore fisheries in Japan with particular reference to the Fishing Right System. Papers presented at the Expert Consultation on the Regulation of Fishing Effort (Fishing Mortality), Rome, 17-26 January 1983. Zeidberg L.D., W. M Hamner, N.P. Nezlin & A. Henry. 2006. The fishery for California market squid (Loligo opalescens) (Cephalopoda: Myopsida), from 1981 through 2003. Fish. Bull. 104: 46-59.
Efisiensi Penagkapan Pukat Cincin di Beberapa Daerah Penangkapan Watampone (Hufiadi & E. Nurdin)
EFISIENSI PENANGKAPAN PUKAT CINCIN DI BEBERAPA DAERAH PENANGKAPAN WATAMPONE FISHING EFFICIENCY OF PURSE SEINE IN SEVERAL FISHING GROUNDS AT WATAMPONE Hufiadi dan Erfind Nurdin Peneliti Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru Jakarta Teregistrasi I tanggal: 13 September 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 6 Maret 2013; Disetujui terbit tanggal: 7 Maret 2013 e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Kajian pengelolaan perikanan berbasis kapasitas penangkapan merupakan alternatif pendekatan guna mengendalikan faktor-faktor input yang tidak efisien yang digunakan dalam usaha penangkapan. Efisiensi input sangat berhubungan erat dengan konsep kapasitas penangkapan. Tujuan penelitian ini adalah mengukur tingkat efisiensi teknis dan pemanfaatan kapasitas alat tangkap pukat cincin di Watampone. Tingkat pemanfaatan kapasitas dari alat tangkap pukat cincin yang dikaji berdasarkan pada daerah penangkapan dan dianalisis melalui pendekatan matematika dengan data envelopment analysis (DEA). Hasil analisis menunjukkan bahwa kapasitas perikanan pukat cincin di Watampone sebagian besar telah memanfaatkan kapasitas penangkapan secara optimal. Peningkatan efisiensi pukat cincin dapat ditempuh dengan mengurangi input (effort) yang tidak efisien atau meningkatkan output tangkapan yang dominan yaitu hasil tangkapan layang dan cakalang. KATA KUNCI : Efisiensi teknis, kapasitas penangkapan, pukat cincin, Watampone ABSTRACT: Fisheries management based on fishing capacity is an alternative approach to control inefficient input factors used in fishing business. Input efficiency is closely related to the concept of fishing capacity. The objective of this study is to measure the level of technical efficiency and utilization capacity of purse seines in Watampone. Utilization capacity level of purse seines were examined based on fishing grounds and the fishing efficiency measurement was mathematical approach by using data envelopment analysis (DEA). Results showed that generally fishing capacity of purse seines in Watampone was optimum. Increasing the efficiency of purse seine can be done by reducing the input (effort) of inefficiency or increasing dominated catch output for scad mackarel (Decapterus sp) and skipjack (Katsuwonus pelamis) catches. KEYWORDS: Technical efficiency, fishing capacity, pukat cincin, Watampone
PENDAHULUAN Sumber utama dari kerusakan perikanan di beberapa negara adalah sulitnya mengontrol input (armada perikanan) bagi perikanan, sehingga manajemen perikanan kemudian didekati dengan pengaturan kapasitas penangkapan dari alat tangkap ikan itu sendiri atau istilah dalam FAO adalah management of fishing capacity. Pengertian fishing capacity adalah kemampuan unit kapal perikanan (dengan segala aspeknya) untuk menangkap ikan. Hal ini bergantung pada stok sumberdaya dan kemampuan alat tangkap ikan itu sendiri (Wiyono, 2005). Untuk mencapai tujuan perikanan tangkap yang berkelanjutan maka perlu dilakukan terobosan dalam kaitan efisiensi input yang digunakan. Efisiensi input
sangat berhubungan erat dengan konsep kapasitas penangkapan. Dalam pengendalian pukat cincin, melalui perizinan panangkapan ikan, pemerintah telah membatasi tonase dan jumlah kapal, ukuran mata jaring, maupun daerah penangkapan, namun tidak mengatur kekuatan mesin maksimum kaitannya dengan tonase kapal (Purwanto & Nugroho, 2011). Selain jaring insang, pukat cincin juga memberikan konstribusi produksi yang cukup besar terhadap produksi perikanan pelagis kecil. Daya tangkap kapal pukat cincin dipengaruhi secara signifikan oleh kekuatan mesin penggerak kapal, ukuran jaring, dan kekuatan lampu yang digunakan. Ketiga faktor tersebut cenderung meningkat, sehingga daya juga cenderung meningkat (Purwanto & Nugroho, 2011). Purwanto & Nugroho (2010) menyatakan hasil permodelan optimisasi dengan multi species dan multi
___________________ Korespondensi penulis: Balai Penelitian Perikanan Laut Jl. Muara Baru Ujung, Komp. Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman, Jakarta Utara
39
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 2013 : 39-45
fleet perikanan di Laut Arafura bahwa untuk menghindari resiko pemanfaatan berlebih terhadap stok udang dan ikan demersal perlu pengurangan jumlah dan pengendalian pengoperasian armada perikanan agar upaya penangkapan berada pada tingkat optimal. Dengan semakin berkembangnya upaya penangkapan menyebabkan terjadi persoalan pada pukat cincin berkaitan dengan kelebihan kapasitas penangkapan. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengelolaan yang seksama agar produktifitas optimum dapat terjaga secara berkelanjutan.
analisis dilanjutkan menggunakan program Microsoft Excel version 2007. Input dibagi menjadi fixed input (xf) dan variable input (xv). Kapasitas output dan nilai pemanfaatan dari input, dihitung dengan menggunakan persamaan berikut (Fare et al., 1989):
TE = Max q1 …………....................... (1) q,z,l dengan kendala J
θ1 u jm ≤ ∑ z j u jm , j=1 J
BAHAN DAN METODE Pengumpulan Data
Analisis Data Analisis menggunkan Data Envelopment Analysis (DEA) dengan pendekatan BCC (Cooper et al., 2004). Penghitungan pemanfaatan kapasitas penangkapan dilakukan dengan pendekatan multi output dan single output. Pendekatan multi output dihitung berdasarkan dua jenis ikan dominan (layang dan cakalang) dan single output yaitu berdasarkan total tangkapan. Model analisis DEA yang digunakan bersifat variable return to scale (VRS). Data dianalisis menggunakan program linear (linier programming) dengan bantuan software DEAP kemudian pengolahan
40
n∈ xf
∑z
j
x jn ≤ x jn ,
∑z
j
x jn = λ jn x jn , n ∈ xv
j =1 J
j =1
Peneltian dilakukan pada bulan Mei sampai Desember 2011 dengan basis pengambilan data di Pelabuhan Perikanan Lanroe, Kab. Watampone. Kegiatan penelitian dengan menggunakan metode survei, meliputi pengumpulan data catch dan effort serta aspek perikanan lainnya. Data yang dikumpulkan berupa data primer hasil interview dengan nelayan menggunakan quessioner, pencatatan enumerasi. Jenis data aspek armada penangkapan meliputi: ukuran kapal, dimensi alat tangkap, kekuatan mesin kapal. Jenis data terkait kegiatan operasi penangkapan meliputi: trip kapal, taktik penangkapan dan hasil tangkapannya. Informasi utama dari faktor inputan unit penangkapan ikan yang dicari diantaranya: tonnage kapal (GT), dimensi kapal, dimensi alat tangkap, kekuatan mesin (HP), jumlah ABK (orang), alat bantu, BBM (liter), jumlah trip per bulan, jumlah hari di laut. Sedangkan aspek output adalah produktivitas hasil tangkapan.
(output dibandingkan DMU)
Dimana zj adalah variable intensitas untuk jth pengamatan; nilai efisiensi teknis atau proporsi dengan output dapat ditingkatkan pada tingkat * kapasitas penuh; dan λ jn adalah rata-rata pemanfaatan variable input (variable input utilization rate, VIU), yaitu rasio penggunaan inputan secara optimum inputan dari ≥ 0x,v xjn terhadap j = 1,2pemanfaatan ,.....,J, θnzj 1∈ pengamatan xjn. Kapasitas output pada efisiensi λjn ≥ 0,(technical efficiency n = 1,2,.....,N, teknis capacity output, TECU) didefinisikan dengan menggandakan θ 1* dengan produksi sesungguhnya. Pemanfaatan kapasitas (CU ) , berdasarkan output pengamatan, dihitung dengan persamaan:
TECU =
u 1 = * * θ1 u θ1
.......................... (2)
Nilai efisiensi teknis diperoleh melalui penghitungan dengan teknik DEA dengan bantuan software DEAP. Analisis efisiensi teknis dilakukan dengan membandingkan nilai efisiensi antar kapal yang dijadikan sebagai DMU (decision making unit). Proses penghitungan yaitu dengan menentukan nilai konstanta dari output (µ), fixed input (x) dan variable input λ pada masing-masing DMU agar diperoleh nilai efisiensi penangkapan berdasarkan tingkat pemanfaatan kapasitas (CU) penangkapan dan tingkat pemanfaatan kapasitas variabel input (VIU).
Efisiensi Penagkapan Pukat Cincin di Beberapa Daerah Penangkapan Watampone (Hufiadi & E. Nurdin)
HASIL DAN BAHASAN
Distribusi nilai pemanfaatan kapasitas dari 145 sampel kapal terdapat 43 kapal (30%) pada tingkat pemanfaatan optimal dan 70% berada pada tingkat tidak optimal (Gambar 2).
HASIL Perkembangan Perikanan Pukat Cincin
KMN Surya Sebatik 02 KMN.Baru Muncul KMN Nurul Atika KMN Surya Sebatik 02 KMN Syukur KMN Harna Jaya KMN Andika Putra 01 KMN Nirwana 04 KMN Andika Putra 01 KMN Minasa Mekkah
Kapal pukat cincin (purse seine) di Watampone melakukan penangkapan sepanjang tahun. Konsentrasi penangkapan pukat cincin di Wantapone secara umum beroperasi di sekitar perairan Laut Flores, Teluk Bone dan perairan Sulawesi Tenggara. Konsentrasi purse seine tertinggi melakukan penangkapan di perairan Sulawesi tenggara (Sultra)) sekitar 43,3%, beroperasi di Teluk Bone sekitar 36,3% dan menyusul yang beroperasi di perairan Flores sekitar 20,3. Daerah penangkapan (fishing ground) berdasarkan posisi rumpon armada penangkapan pukat cincin nelayan Watampone berada di wilayah perairan Teluk bone, Laut Flores, Perairan Sulawesi Tenggara dan Laut Banda (Gambar 1).
0,000
0,500 Efficiency
1,000
Gambar 2. Efisiensi kapal pukat cincin Watampone Figure 2. Efficiency of purse seines in Watampone Tabel 1. Kapasitas berlebih, tingkat penggunaan input dan potensi perbaikan pukat cincin Watampone (multi output) Table 1. Excess capacity, the level of input usage rate and the potential improvement purse seines in Watampone (multi output)
1°
1°
Uraian 1. Kapasitas Berlebih Panjang kapal Lebar kapal Panjang jaring Lebar jaring Upaya HOP ABK BBM Es
Rata-rata 6,48 9,54 3,94 2,49 2,96 2,76 5,42 7,15
3°
Gambar 1. Daerah penangkapan pukat cincin di Watampone. Figure 1. Fishing ground of purse seines in Watampone
5°
2. Tingkat pemanfaatan(VIU) Upaya HOP ABK BBM Es 3. Potensi perbaikan Panjang kapal Lebar kapal Panjang jaring Lebar jaring Upaya HOP ABK BBM Es
= Rumpon Pukat Cincin
120.0°
Kapasitas Penangkapan Dengan Multi Output Berdasarkan penghitungan DEA dengan multi output terhadap 145 kapal yang beroperasi pada beberapa daerah penangkapan diperoleh angka efisiensi yang optimal dutunjukkan oleh beberapa armada dengan nilai efisiensi (CU) mencapai 1,00. Secara detail hasil penghitungan dugaan tingkat pemanfaatan atau tingkat efisiensi armada pukat cincin diperoleh rata-rata 0,82. Nilai pemanfaatan kapasitas (CU) terendah adalah sebesar 0,36.
0,97 0,97 0,95 0,93
122.0°
124.0°
126.0°
15,91 23,42 9,67 6,11 7,28 6,77 13,30 17,54
Tingkat VIU pukat cincin dapat diukur berdasarkan rasio dari penggunaan input optimal (target) dengan input aktual (observasi). Input optimal merupakan input yang digunakan pada kondisi efisien teknis.
41
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 2013 : 39-45
Tingkat pemanfaatan variabel input (VIU) diperoleh nilai rata-rata VIU > 0,9. Secara umum pukat cincin di Watampone dalam pemanfaatan variabel input berada pada tingkat pemanfaatan yang efisien ditandai oleh sebagian besar pencapaian nilai VIU =1,0. Dengan demikian efisiensi pukat cincin Watampone secara umum bisa ditingkatkan dengan cara mengurangi input variabel terutama effort (HOP) sebesar 7%, mengurangi BBM 13%, pengurangan Es dan sebesar 18% (Tabel 1).
yaitu nilai efisiensi 0,24. Sementara pukat cincin yang beroperasi di perairan Sulawesi Tenggara (Sultra) diperoleh nilai efisiensi rata-rata 0,81 dengan sebaran nilai CU yang dicapai berkisar 0,38-1,00. Nilai efisiensi terendah ditunjukkan oleh kapal KM.Hikmah Fajar yaitu 0,38. Secara detail, dari 56 armada pukat cincin yang beroperasi di Laut Flores, terdapat 14 (25%) armada mencapai efisiensi yang optimal yaitu dutunjukkan dengan nilai efisiensi mencapai 1,00, sementara armada lainya yaitu sebesar 75% tidak efisien. Dari 94 armada pukat cincin yang beroperasi di perairan Teluk Bone terdapat 37 (39%) armada mencapai efisiensi yang optimal ditunjukkan dengan nilai efisiensi mencapai 1,00 dan 61% tidak optimal. Sementara distribusi nilai efisiensi kapasitas penangkapan pukat cincin yang beroperasi di perairan Sulawesi Tenggara, diperoleh dari 139 kapal diperoleh sebanyak 38 kapal (27%) adalah optimal (CU=1) dan kapal lainnya (73%) tidak optimal (Gambar 3).
Kapasitas Penangkapan Dengan Single Output Hasil penghitungan tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan (CU) pukat cincin yang beroperasi di perairan Laut Flores dengan single output, rata-rata nilai efisiensi diperoleh 0,85 dan efisiensi terendah sebesar 0,27. Pukat cicin yang beroperasi di Teluk Bone diperoleh nilai efisiensi rata-rata 0,80 dengan sebaran nilai CU aberkisar 0,24 - 1,00, efisiensi terendah ditunjukkan oleh kapal KM. Rehan Jaya
Sultra 60,00
L.Flores
50,00
15
14
40,00
10,00 0,00 > 0,700
24
20,00
0,00 1,00
33
30,00
10,00
< 0,700
50,00
37
perahu (unit)
27
30,00 20,00
60,00
T.Bone
50,00
40,00
perahu (unit)
perahu (unit)
60,00
40,00
43
58
38
30,00 20,00 10,00 0,00
< 0,700 1,00 > 0,700
< 0,700 1,00 > 0,700
CU
CU
CU
Gambar 3. Distribusi efisiensi kapal pukat cincin beroperasi di Laut Flores, Teluk Bone dan Sulawesi Tenggara (Sultra) Figure 3. Efficiency distribution of purse seiner have operated in the Flores Sea, Gulf of Bone and Southeast Sulawesi Berdasarkan tingkat pemanfaatan variabel input (VIU) pukat cincin Watampone yang beroperasi di Laut flores, Teluk Bone dan di Sulawesi Tenggara dengan single output diperoleh nilai rata-rata VIU >0,9. Sebagian besar armada dalam pemanfaatan input variabel berada pada VIU 1,00. Secara umum dalam pemanfaatan variabel input (hari operasi/HOP, ABK, BBM dan Es) di daerah penangkapan tersebut berada pada tingkat pemanfaatan yang optimal yang ditandai oleh jumlah armada yang mencapai nilai VIU= 1,00 (Gambar 4). Berdasarkan hasil perhitungan DEA dengan single output, efisiensi pukat cincin yang beroperasi di Laut Flores secara umum bisa ditingkatkan dengan cara
42
mengurangi input variabel terutama (HOP) sebesar 20%, pengurangan konsumsi BBM sebesar 10%, pengurangan ES 8%, dan mengurangi jumlah ABK 2%. Pukat cincin yang beroperasi di Teluk Bone efisiensi bisa ditingkatkan dengan cara mengurangi input variabel terutama (HOP) sebesar 9%, pengurangan konsumsi BBM sebesar 10%, pengurangan Es 24% dan mengurangi jumlah ABK 9%, Dan efisiensi pukat cincin yan beroperasi di perairan Sulawesi Tenggara dalam pemanfaatan variabel input bisa ditingkatkan terutama mengurangi hari operasi (HOP) sebesar 11%, pengurangan BBM sebesar 8%, pengurangan Es 13% dan mengurangi jumlah ABK 9%. Proyeksi perbaikan inputan secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 5.
Efisiensi Penagkapan Pukat Cincin di Beberapa Daerah Penangkapan Watampone (Hufiadi & E. Nurdin)
60 50 40 30 20 10 0
ABK
T.Bone 80 60 40
HOP ABK BBM ES
20 0
< 0,70 1,00 > 0,70
Sultra
HO P ABK
120 100 80 60 40 20 0
Perahu (unit)
HOP
Perahu (unit)
Perahu (unit)
L.Flores
< 0,70 1,00 > 0,70
< 0,70 1,00 > 0,70
VIU
VIU
VIU
Gambar 4. Distribusi pemanfaatan variabel input (VIU) pukat cincin beroperasi di Laut Flores, Teluk Bone dan Sulawesi Tenggara (Sultra) Figure 4. Distribution of input variables utilization (VIU) of purse seiner have operated in the Flores Sea, Gulf of Bone and Southeast Sulawesi
L.Flores
ABK 2%
Es BBM 8% 10%
T.Bone P 13% L 24%
HOP 20%
L.Jrg P.jrg 15% 8%
Es 24% BB M 7% ABK 9% HOP 9%
P 11% L 9% P.jrg 11% L.jrg 21%
Sultra Es BBM 13% 8%
P 17%
ABK 9% HOP 11%P.jrg L.Jrg 5% 1%
L 36%
Gambar 5. Potensi perbaikan efisiensi pukat cincin beroperasi di Laut Flores, Teluk Bone dan Sulawesi Tenggara (Sultra) Figure 5. Potential improvement of purse siener’s efficiency have operated in Flores sea, Gulf of Bone and Southeast Sulawesi BAHASAN Perkembangan Pukat cincin Pengoperasian pukat cincin Watampone menggunakan alat bantu penangkapan yang disebut rumpon (rakit) sebagai alat pengumpul ikan. Rumpon disamping berfungsi sebagai pengumpul kawanan ikan, pada prinsipnya memudahkan kawanan ikan untuk ditangkap dan juga dapat menghemat waktu dan bahan bakar, karena daerah penangkapannya yang sudah pasti. Rumpon merupakan alat pemikat ikan yang digunakan untuk mengumpulkan ikan sehingga operasi penangkapan ikan dapat dilakukan dengan mudah (Subani & Barus, 1989). Daerah penangkapan pukat cincin nelayan Watampone di wilayah perairan Teluk bone, Laut Flores, Perairan Sulawesi Tenggara dan Laut Banda.
Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa perkembangan jumlah upaya penangkapan telah terjadi pada armada dan perikanan pukat cincin selain perkembangan jumlah upaya, dicirikan pula pada alat batu dan pada ukuran kapal penangkapan yang lebih besar. Hal ini merupakan respon nelayan dalam usaha meningkatkan efisiensi dan efektivitas usaha perikanan tersebut. Pada periode collapse-nya stok ikan, armada penangkapan cenderung meningkatkan koefisien catchability yang lebih efektif dan efisien dalam memodifikasi perilaku agregasi ikan (Atmaja et al., 2011). Perkembangan kapasitas penangkapan dalam rangka upaya meningkatkan efisiensi dan efektivitas penangkapan ikan meliputi ukuran kapal dan kekuatan mesin penggerak semakin besar, teknik serta taktik penangkapan yang terus berkembang (Hufiadi, 2008). Perkembangan perikanan pukat cincin (purse seine) berupa
43
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 2013 : 39-45
perubahan ukuran kapal, teknik penangkapan, daerah penangkapan dan jumlah armada penangkapan mempunyai peranan sangat penting yang memungkinkan menuju tingkat eksploitasi yang berlebihan dan membahayakan kesediaan ikan pelagis yang ada (Sadhotomo et al.,1986; Atmadja & Sadhotomo, 1985). Kapasitas Penangkapan Menurut Smith & Hanna (1990), bahwa komponen kapasitas penangkapan dapat dirumuskan dengan menentukan jumlah kapal, ukuran tiap kapal, efisiensi teknis operasional kapal, kemampuan waktu penangkapan tiap kapal pada tiap periode waktu (tahun atau musim). Uji model DEA untuk menghasilkan angka efisiensi sebagai indikator kapasitas penangkapan. Untuk menganalisis efisiensi DEA, dilakukan dengan membandingkan efisiensi antar kapal yang aktif beroperasi setiap bulan. Kapal yang dianggap efisien secara penuh (fully efficient) adalah kapal yang mempunyai skor efisiensi sebesar 1 atau 100 persen, Pada kondisi tersebut, seluruh input dimanfaatkan penuh atau tidak terdapat potensi peningkatan input yang digunakan. Selanjutnya kapal-kapal yang mempunyai nilai efisiensi di bawah 1 memerlukan perbaikan. Berdasarkan perhitungan DEA, rata-rata tingkat efisiensi pukat cincin Watampone dengan pendekatan multi output diperoleh nilai efisiensi sebesar 0,82. Dari nilai tersebut menunjukkan bahwa armada perikanan pukat cincin tersebut, hanya mampu men-support sekitar 82% dari sumberdayanya untuk mencapai kapasitas optimum. Sehingga untuk meningkatkan peroduksi mencapai produksi yang potensial, dengan mengurangi kapasitas sebesar 18%. Sedangkan berdasarkan pendekatan single output, rata-rata tingkat efisiensi pukat cincin yang beroperasi di perairan Laut Flores diperoleh nilai efisiensi 0,85, ratarata tingkat efisiensi pukat cincin yang beroperasi di perairan Teluk Bone 0,80 dan pencapaian nilai efisiensi pukat cincin yang beroperasi di perairan Sulawesi Tenggara 0,81. Dengan capaian nilai-nilai efisiensi pukat cincin Watampone tersebut, mengindikasikan bahwa sebagian besar unit armada pukat cincin watampone telah memanfaatkan kapasitas penangkapan secara optimal. Sementara beberapa unit armada yang nilai efisiensinya sangat rendah diasumsikan tidak efisien dan operasi kapal tersebut tidak menguntungkan. Dari perbedaan produksi aktual dengan produksi potensial perikanan pukat cincin Watampone bahwa jika kapasitas perikanan dikendalikan maka produksi perikanan dapat ditingkatkan mencapai produksi
44
potensial. Berdasarkan pendekatan single output, meningkatkan produksi perikanan pukat cincin agar dapat mencapai produksi yang potensial dari ketiga daerah penangkapan (perairan Flores, Teluk Bone dan perairan Sulawesi Utara) yaitu dengan mengurangi kapasitas masing-masing sebesar 15%, 20% dan 19%. Untuk kebutuhan pengendalian penangkapan ikan, pemerintah perlu mengatur kekuatan maksimum mesin kapal, ukuran jaring dan kekuatan lampu yang digunakan sebagai alat bantu penangkapan ikan (Purwanto & Nugroho, 2011). Perubahan input produksi, diduga telah menyebabkan perubahan pemanfaatan kapasitas penangkapan (fishing capacity utilization) perikanan pukat cincin Watampone, dan tingkat input yang ada saat ini sudah melebihi kapasitas yang seharusnya (optimal). Sehingga untuk mencapai nilai optimumnya, berdasarkan perhitungan multi species beberapa unit armada yang tidak mencapai efisiensi penuh (fully efficient) dapat ditingkatkan dengan cara mengurangi effort (HOP) sebesar 7%, mengurangi BBM 13%, pengurangan Es sebesar 18%, mengurangi ukuran panjang dan lebar kapal masingmasing 16% dan 23% serta mengurang ukuran panjang dan lebar jaring sebesar 10% dan lebar 6%. Secara khusus pukat cincin yang beroperasi di Laut Flores untuk meningkatkan nilai optimumnya, melalui mengurangi effort (HOP) sebesar 20%, pengurangan konsumsi BBM sebesar 10%, pengurangan konsumsi ES 8% dan mengurangi ABK 2%. Untuk perbaikan efisiensi kapal yang beroperasi di Teluk Bone, dapat dilakukan melalui pengurangan effort (HOP) sebesar 9%, pengurangan BBM sebesar 7%, pengurangan konsumsi Es 24%, mengurangi jumlah ABK 9%. Sementara efisiensi pukat cincin yang beroperasi di Perairan perairan Sulawesi Tenggara dapat ditingkatkan efisiensinya dengan cara mengurangi effort (HOP) sebesar 11%, pengurangan konsumsi BBM sebesar 8%, pengurangan Es 13%, mengurangi jumlah ABK 9%. Diterangkan oleh Atmaja et al, (2011) dalam kajian pukat cincin di Laut Jawa, bahwa dalam merespon kelebihan kapasitas penangkapan armada purse seine besar di Laut Jawa mengakibatkan adanya peubahan-perubahan radikal berupa relokasi beberapa pukat cincin ke wilayah perairan Indonesia Timur, transaksi jual beli ikan di laut dan perubahan input fisik berupa sistem pendingin (plate freezer). Peningkatan efisiensi pukat cincin dapat pula dilakukan dengan meningkatkan output, berdasarkan multi output peningkatan produksi pukat cincin Watampone secara keseluruhan untuk layang sebesar 25,4% dan cakalang 28,5%. Sementara berdasarkan daerah penangkapan dengan menggunakan pendekatan single output, perbaikan efisiensi armada
Efisiensi Penagkapan Pukat Cincin di Beberapa Daerah Penangkapan Watampone (Hufiadi & E. Nurdin)
pukat pukat cincin yang beroperasi di perairan Flores peningkatan output sebesar 19,9% perbaikan efisiensi pukat cicin yang beroperasi di Teluk Bone dapat meningkatkan output 27,6% dan yang beroperasi di perairan Sulawesi Utara sebesar 26,6%.
DAFTAR PUSTAKA
Kombinasi peningkatan jumlah kapal, perbaikan dalam teknologi penangkapan dan ekspansi upaya penangkapan menyebabkan terjadinya fenomena kapasitas lebih, baik dalam jangka pendek (excess capacity) maupun jangka panjang (over capacity). Le Floch & Boude (1998);Whitmars (1998) dalam Muldoon (2009) menyebutkan bahwa teknologi adalah penyebab utama terhadap perubahan excess fishing capacity yang berdampak pada perikanan skala tradisional maupun industri.
Atmaja, S.B., D.Nugroho & M.Natsir. 2011. Respons radikal kelebihan kapasitas penangkapan armada pukat cincin semi industri di Laut Jawa. J.Lit. Perikan. Ind. 17 (2): 115-123.
KESIMPULAN Tingkat efisiensi pukat cincin di Watampone dengan pendekatan multi output dan single output di daerah pengoperasian Laut Flores, Teluk Bone dan perairan Sulawesi Tenggara sebagian besar telah memanfaatkan kapasitas penangkapan secara optimal. Pemanfaatan input secara berlebih terjadi pada beberapa (sebagian kecil) armada pukat cincin. Optimalisasi kapasitas penangkapan dapat dilakukan dengan perbaikan terutama dengan cara mengurangi penggunaan input variabel yaitu BBM, ABK, es, dan hari operasi. SARAN Peningkatan efisiensi pukat cincin dapat dilakukan pula melalui peningkatan output yaitu berdasarkan multi output dengan meningkatkan output tangkapan layang sebesar 25,4% dan cakalang 28,5%. Berdasarkan pendekatan single output, peningkatan output pukat cincin yang beroperasi di perairan Flores sebesar 19,9%, Teluk Bone 27,6% dan di perairan Sulawesi Utara sebesar 26,6%.
Atmadja, S.B, & B. Sadhotomo. 1985. Aspek operasional pukat cincin di Laut Jawa. J.Lit. Perika. Laut. BPPL. Jakarta. (32): 65-72.
Farë, R., S.Grosskopf, & E.C.Kokkelenberg. 1989. Measuring plant capacity, utilization and technical change: a nonparametric approach. International Economic Review 30: 655-666. Hufiadi. 2008. Pengukuran efisiensi teknis perikanan purse seine di pekalongan [Thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 116 p. Muldoon, G.J. 2009, Innovation and capacity in fisheries : value-adding and the emergence of the live reef fish trade as part of the Great Barrier Reef reef-line fishery. Phd thesis, James Cook University, http://eprints.jcu.edu.au. Purwanto & D. Nugroho. 2010. Timgkat optimal pemanfaatan stok udang, ikan demersal dan pelagis kecil di Laut Arafura. J.Lit. Perikan. Ind. 16 (4): 311-321. Purwanto & D. Nugroho. 2011. Daya tangkap kapal pukat cincin dan upaya penangkapan pada perikanan pelagis kecil di Laut Jawa. J.Lit. Perikan. Ind. 17 (1): 23-30. Sadhotomo, B., S.Nurhakim, & S. B. Atmadja. 1986. Perkembangan komposisi hasil tangkapan dan laju tangkap pukat cincin di Laut Jawa. J.Lit. Perikan. Laut. BPPL. Jakarta. (35): 101-109.
PERSANTUNAN
Smith, C. L., & S. S. Hanna. 1990. Measuring Fleet Capacity and Capacity Utilization. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Science. 47 p.
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset analisis kapasitas penangkapan perikanan pukat hela, pukat cincin dan pancing tuna, T.A. 2011, di Balai Penelitian Perikanan Laut Muara Baru , Jakarta.
Subani, W., & H.R. Barus. 1989. Alat penangkapan ikan dan udang laut di Indonesia. . J.Lit. Perikan. Laut, No.50 (Special Edition). BPPL. Jakarta. 248 p. Wiyono, E.S. 2005. Perspektif baru dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Edisi Vol.3/XVII/ Maret 2005-Nasional. (http:\\io.ppijepang.org.article.php).
45
Taktik Penangkapan Tuna Mata Besar ........... Data Hook Timer dan Minilogger (Bahtiar, A. et al.)
TAKTIK PENANGKAPAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus) DI SAMUDERA HINDIA BERDASARKAN DATA HOOK TIMER DAN MINILOGGER FISHING TACTICS FOR BIGEYE TUNA (Thunnus obesus) IN INDIAN OCEAN BASED ON HOOK TIMER AND MINILOGGER DATA Andi Bahtiar, Abram Barata dan Dian Novianto Peneliti pada Loka Penelitian Perikanan Tuna, Benoa-Bali Terregistrasi I tanggal: 6 Desember 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 18 Maret 2013; Disetujui terbit tanggal: 20 Maret 2013 e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penangkapan ikan tuna di Samudera Hindia semakin kompetitif, sehingga setiap Nahkoda atau Fishing Master kapal rawai tuna perlu memiliki taktik penangkapan ikan yang efektif dan efisien. Pengetahuan mengenai tingkah laku ikan tuna merupakan informasi penting untuk merumuskan taktik penangkapan ikan yang efektif dan efisien. Penelitian taktik penangkapan ikan tuna, khususnya tuna mata besar (Thunnus obesus) di Samudera Hindia berdasarkan data hook timer dan minilogger dilakukan mulai Juni 2007 sampai Januari 2010, dengan metode observasi langsung pada kapal rawai tuna yang berbasis di Pelabuhan Benoa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tuna mata besar aktif mencari makan mulai pukul 13:00-18:00, dan lebih banyak tertangkap pada kedalaman 194-470 m dengan suhu air antara 8,4-15,50C. Oleh karena itu taktik penanagkapan yang tepat untuk diterapkan adalah pengaturan waktu setting pada siang hari dan hauling pada malam hari dan memadukan antara konstruksi rawai tuna bersifat pertengahan (halfway longline) dan dalam (deep longline). KATA KUNCI: Tuna mata besar, taktik penangkapan, hook timer, minilogger ABSTRACT Tuna fishing in Indian Ocean more competitive, so Fishermans or Fishing Masters of tuna longliner must have an effective and efficient of fishing tactics. Knowledge on tuna behavior is an important information to formulate the fishing tactics. A study on bigeye tuna fishing tactics based on hook timer and minilogger data of tuna longliner was conducted in Indian Ocean from June 2007 to January 2010. Onboard observation of tuna longliner has been done at Benoa Port. The results showed that the feeding periodicity of bigeye tunas started from 1pm to 6pm, and mostly caught at water depth of 194 to 470 m with the water temperature between 8.4 to 15.2 degree celcius so the set times during the day and the haul times at night and the combination of halfway tuna longline and deep tuna longline construction are the best fishing tactics to be applied. KEYWORDS: Bigeye tuna, fishing tactics, hook timer, minilogger
PENDAHULUAN Tuna mata besar (Thunnus obesus Lowe, 1839) merupakan salah satu komoditi ekspor ikan tuna yang utama di Indonesia. Sumber daya tuna mata besar tersebar di seluruh perairan tropis dan sub tropis Samudera Pasifik, Samudera Hindia dan Samudera Atlantik. Seiring dengan meningkatnya permintaan pasar, maka semakin tinggi pula eksploitasi terhadap tuna mata besar, khususnya di Samudera Hindia. Penangkapan tuna mata besar skala industri dilakukan dengan menggunakan alat tangkap rawai tuna (tuna longline). Rawai tuna bersifat pasif namun efektif dalam menangkap tuna karena konstruksinya mampu menjangkau kedalaman renang tuna. ___________________ Korespondensi penulis: Loka Penelitian Perikanan Tuna Benoa Komp. Pelabuhan Perikanan Tuna Benoa, Bali
Penangkapan ikan tuna di Samudera Hindia semakin kompetitif, sehingga setiap Nahkoda atau Fishing Master kapal rawai tuna perlu memiliki metode yang efektif dan efisien. Metode penangkapan ikan tuna khususnya dalam mengatur pelaksanaan setting, hauling dan mengelola daerah penangkapan disebut taktik penangkapan ikan tuna (Soepriyono, 2009). Taktik penangkapan yang efektif dan efisien memerlukan pengetahuan mengenai tingkah laku ikan tuna. Beberapa informasi tentang tingkah laku ikan tuna seperti sebaran ikan tuna berdasarkan suhu dan kedalaman perairan, waktu kebiasaan tuna aktif mencari makanan dalam periode 24 jam di suatu perairan merupakan informasi yang berguna untuk mendukung keberhasilan penangkapan ikan tuna. Keberhasilan penangkapan ikan tuna akan
47
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 2013 : 47-53
mempengaruhi kegiatan industri perikanan tuna, terutama dalam hal meningkatkan pemasaran produk ikan baik untuk tujuan ekspor dan lokal. Hal ini seiring dengan program utama Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk meningkatkan aktivitas industrialisasi perikanan dari hulu hingga hilir. Hook timer adalah alat yang didesain untuk mengetahui kebiasaan waktu ikan makan, sedangkan minilogger merupakan alat yang dipakai untuk mengetahui suhu dan kedalaman perairan. Penelitian dengan menggunakan seperangkat alat hook timer masih jarang dilakukan, sedangkan penelitian menggunakan minilogger sudah pernah dilakukan namun masih terbatas data dan informasinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui feeding periodicity, menganalisis sebaran tuna mata besar berdasarkan suhu dan kedalaman penangkapan rawai tuna dan menentukan taktik penangkapan yang efektif dan efisien untuk rawai tuna (tuna longline). Data dan informasi yang diperoleh sangat berguna bagi pelaku
usaha penangkapan untuk meningkatkan produksi ikan tuna melalui penerapan taktik penangkapan yang efisien. BAHAN DAN METODE Bahan penelitian ini adalah tuna mata besar (Thunnus obesus). Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kapal rawai tuna, alat tangkap rawai tuna, GPS (Global Positioning System), 100 unit hook timer, 3 unit minilogger, meteran dan handy tally counter. Alat hook timer yang digunakan adalah tipe HT 600 merk Lindgren Pitman. Memiliki ketahanan sampai kedalaman 600 m, durasi waktu 24 jam, display lebar, aktif switch magnet, kerangka Clear Polycarbonate dan berat tiap unit mencapai 0,6 kg. Hook timer dipasang menjadi satu rangkaian dengan tali cabang (branch line) yang nantinya dikaitkan langsung pada tali utama (main line) dan ada juga yang dikaitkan pada tali penghubung antara main line dan branch line (Gambar 1).
hook-timer
Gambar 1. Posisi hook timer di tali cabang rawai tuna Figure 1. Hook timer position at branch line of tuna longline Alat minilogger yang digunakan adalah tipe SP2T1200 merk NKE Micrel. Tipe ini memiliki kemampuan merekam data antara kedalaman 0–1.200 m dengan akurasi ketelitian 3,6 m dan daya resolusi mencapai 36 cm. Sensor perekam suhu antara 5-350C terbuat dari plastik dan titanium dengan berat di dalam air mendekati 80 gr. Perlengkapan yang diperlukan untuk mengoperasikan minilogger ini meliputi: 1 radio data pencil dan 1 PC computer yang dilengkapi dengan RS port. Pada selang waktu tertentu minilogger akan merekam data suhu perairan dan kedalaman mata pancing. Minilogger di pasang pada ujung tali cabang (branch line), menggantikan mata pancing (hook). Gambar 2 menunjukkan posisi minilogger yang dipasang pada branch line rawai tuna secara berurutan mulai dari pancing terendah sampai yang terdalam.
48
Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi langsung pada kegiatan operasi penangkapan kapal-kapal rawai tuna yang berbasis di Pelabuhan Benoa selama 9 trip mulai Juni 2007 sampai Januari 2010 di Samudera Hindia. Gambar 3 menunjukkan lokasi pengumpulan data selama kegiatan observasi di kapal-kapal rawai tuna. Data yang diperoleh dari informasi hook timer dicatat ke dalam program Microsoft Excel untuk kemudian di analisis menggunakan diagram. Untuk mendapatkan data suhu perairan dan kedalaman mata pancing rawai tuna dari minilogger dilakukan dengan cara memindahkan data dari minilogger menggunakan radio data pencil ke komputer dengan program WinMemo. Data dari program WinMemo kemudian dipindahkan ke dalam program Microsoft Excel untuk di analisis dan kemudian disajikan dalam bentuk grafik.
Taktik Penangkapan Tuna Mata Besar ........... Data Hook Timer dan Minilogger (Bahtiar, A. et al.)
mini-logger
Gambar 2. Posisi minilogger pada tali cabang rawai tuna. Figure 2. Minilogger position at branch line of tuna longline.
Lokasi penelitian
Gambar 3. Lokasi pengumpulan data selama observasi Figure 3. Map showing of data collection during observation HASIL DAN BAHASAN HASIL
hook timer yang dipasang pada saat pengoperasian rawai tuna. Karakteristik alat hook timer dirancang dan dapat digunakan pada alat tangkap rawai tuna baik yang bertipe konvensional maupun otomatis.
Feeding Periodicity Hook timer merupakan alat yang digunakan untuk mengetahui waktu tertangkapnya seekor ikan pada pancing dan memberikan informasi waktu makan ikan atau feeding periodicity. Cara kerja hook timer adalah pada saat ikan tertangkap, ikan tersebut akan berusaha melepaskan diri dari pancing sehingga penutup magnet hook timer akan terlepas dan waktu pada alat tersebut mulai terekam. Kemudian saat alat ditarik oleh line hauler, waktu terus terekam sampai ke dek kapal sehingga dapat diketahui informasi waktu makan ikan. Gambar 4 menunjukkan 1 unit
Gambar 4. Satu unit hook timer. Figure 4. One unit of hook timer.
49
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 2013 : 47-53
Selama kegiatan observasi, telah dilakukan sebanyak 204 kali setting menggunakan hook timer. Tuna mata besar yang tertangkap pada hook timer berjumlah 84 ekor, terdiri atas 31 ekor betina dan 53 ekor jantan. Ukuran panjang cagak rata-rata yang tertangkap adalah 119,9 cm. Kegiatan mulai setting dilakukan pada pagi hingga siang hari. Waktu jeda sebelum mulai hauling berkisar 3-4 jam. Gambar 5
menunjukkan kecenderungan tuna mata besar hanya memiliki kebiasaan mencari makanan yaitu 1 kali periodik dalam 24 jam. Intensitas kebiasaan mencari makanan dilakukan antara pukul 07:00 sampai pukul 22:00. Frekuensi tertinggi aktif mencari makanan yaitu pada pukul 16:00-17:00. Kisaran waktu rata-rata tuna mata besar aktif mencari makanan adalah pada pukul 13:00-18:00.
14 Jumlah Ikan (ekor)
12 10 8 6 4 2 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Waktu Harian
Gambar 5. Waktu makan tuna mata besar. Figure 5. Feeding periodicity of Bigeye Tuna. Sebaran Tuna Mata Besar Data yang dikumpulkan dari alat minilogger berupa data suhu perairan dan kedalaman mata pancing terhadap semua hasil tangkapan tuna mata besar. Kedalaman mata pancing merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk mendapatkan hasil tangkapan maksimun, terutama pada perikanan rawai tuna. Selain kedalaman, suhu perairan juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penyebaran ikan tuna secara vertikal. Suhu pada setiap strata kedalaman juga mempengaruhi kelimpahan ikan tuna di suatu perairan. Informasi banyaknya tuna yang tertangkap berdasarkan posisi mata pancing sangat diperlukan untuk mengetahui sebaran tuna yang tertangkap berdasarkan suhu dan kedalaman mata pancing rawai tuna. Gambar 6 menunjukkan alat minilogger dan instrumen pemindahan data ke komputer. Observasi dilakukan pada semua tipe pengoperasian rawai tuna. Berdasarkan asal pembuatan kapal rawai tuna yang berbasis di pelabuhan Benoa, maka ada 3 jenis kapal yang sering disebut yaitu kapal Eks Taiwan dengan tipe shallow longline (rawai tuna dangkal), kapal Bagan dengan tipe halfway longline (rawai tuna pertengahan) dan kapal Samodra milik pemerintah dengan tipe deep longline (rawai tuna dalam). Gambar 7 menunjukkan
50
tuna mata besar yang tertangkap pada kisaran kedalaman 92 – 470 m dengan suhu antara 8,4–26,8 0 C. Berdasarkan suhu dan kedalaman penangkapan, tuna mata besar lebih banyak tertangkap pada kedalaman 194–470 m dengan suhu 8,4–15,50C. Hasil penelitian Nugraha & Triharyuni (2009), tuna mata besar banyak tertangkap pada kedalaman 300-399,9 m dengan suhu 10-13,9 0C di Samudera Hindia. Perbedaan ini dikarenakan kegiatan penelitian tersebut hanya dilakukan pada kapal rawai tuna dengan tipe deep longline.
Gambar 6. Minilogger dan instrumen pemindahan data ke computer. Figure 6. Minilogger and the instrument of transfer data to a computer.
Taktik Penangkapan Tuna Mata Besar ........... Data Hook Timer dan Minilogger (Bahtiar, A. et al.)
Selama observasi, sebagian besar kapal-kapal rawai tuna melakukan setting mulai pagi hari, tetapi ada juga yang melakukan setting mulai sore hari saat kondisi bulan terang. BAHASAN Hook timer dan Mini logger Dalam biologi perikanan, dikenal adanya feeding periodicity atau waktu kebiasaan ikan aktif mencari makanan dalam 24 jam (Effendie, 2002). Tuna mata besar tergolong ikan diurnal atau ikan yang aktif mencari makan pada siang hari hingga menjelang matahari tenggelam. Feeding periodicity ini juga bergantung pada distribusi dan konsentrasi makanan serta kondisi lingkungan perairan sekitarnya. Kondisi lingkungan perairan yang tercemar dapat menyebabkan feeding periodicity berubah-ubah, bahkan dapat meyebabkan terhentinya pengambilan makanan (Effendie, 2002). Ikan tuna bermigrasi secara bergerombol dengan tujuan mencari makan ke suatu daerah perairan, apabila di perairan tersebut tampak terdapat sumber makanan. Akan tetapi, bila distribusi dan konsentrasi makanannya habis, ikan tuna akan berpindah ke tempat lain untuk mencari mangsanya. Gunarso (1998), menyatakan bahwa tuna mata besar aktif makan sepanjang hari, pada siang hari
Faktor cahaya matahari pada waktu siang hari yang menembus lapisan perairan juga mempengaruhi kemampuan penglihatan ikan dalam mencari makanan. Ikan sebagaimana jenis ikan lainnya mempunyai kemampuan yang kuat untuk dapat Suhu ('c) melihat pada siang hari yang berkekuatan penerangan 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 beberapa ribu lux hingga pada keadaan yang hampir 0 gelap sekalipun (Barata, 2004). Dalam keadaan perairan yang keruh atau intensitas cahaya matahari yang masuk tidak banyak, kemampuan daya 100 penglihatan ikan pada suatu objek yang terdapat di dalam air akan berkurang. Akan tetapi, pada tuna mata besar mempunyai kemampuan pergerakan secara 200 vertikal untuk mencari makanan sekalipun dalam kondisi perairan keruh (Brill, 2005). Kondisi ini memperlihatkan bahwa tuna mata besar memiliki kemampuan dalam mencari makanan baik yang 300 berada di perairan lapisan atas maupun di lapisan yang lebih dalam dengan mengandalkan ketajaman penglihatan. Aktifitas ikan diurnal mempunyai gerakan 400 yang cepat, aktif dan bermigrasi dalam area yang luas. Ikan nokturnal lebih banyak menggunakan indera perasa dan penciuman dibandingkan indera 500 penglihatannya sehingga cenderung mempunyai sifat lambat, diam dan bermigrasi pada area yang tidak luas. Dengan demikian feeding periodicity tuna mata besar aktif sepanjang siang hingga sore hari karena lebih mengandalkan fungsi bola matanya yang mempunyai ukuran retina yang lebar.
Kedalaman (m)
Gambar 7. Sebaran tuna mata besar yang tertangkap berdasarkan suhu dan kedalaman perairan. Figure 7. The distribution of bigeye tuna caught based on waters temperature and depth
aktif mencari makanan di lapisan yang lebih dalam dan pada malam hari naik ke lapisan perairan yang lebih atas. Ikan tuna merupakan salah satu jenis ikan pelagis yang dalam kelompok ruayanya akan muncul di atas lapisan termoklin menjelang matahari terbit dan saat matahari akan tenggelam pada sore hari (Soepriyono, 2009). Pada saat malam hari gerombolan tuna akan menyebar di antara lapisan permukaan dan termoklin. Pada kedalaman lebih dari 300 m, semua jenis tuna kecuali tuna mata besar tidak tertangkap (Barata et al., 2011). Ikan tuna termasuk jenis ikan yang aktif mencari makanan dengan menggunakan mata atau mengandalkan ketajaman penglihatan di dalam perairan (Somiya et al., 2000). Hasil penelitian Musyl et al. (2003), menunjukkan bahwa indera penglihatan tuna mata besar memiliki pigmen warna yang terbatas dibandingkan dengan ikan madidihang, sehingga kebiasaan mencari makanan terkonsentrasi pada lingkungan perairan yang jernih atau terang. Hal inilah yang mengindikasikan puncak aktif tuna mata besar mencari makanan antara siang hingga sore hari, yaitu antara pukul 13:00 sampai 18:00.
Tuna merupakan salah satu jenis ikan pelagis yang dalam kelompok ruayanya akan muncul di atas lapisan
51
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 2013 : 47-53
termoklin menjelang matahari terbit dan saat matahari akan tenggelam pada sore hari (Soepriyono, 2009). Pada saat malam hari gerombolan tuna akan menyebar di antara lapisan permukaan dan termoklin. Pada kedalaman lebih 300 m, semua jenis tuna kecuali tuna mata besar tidak tertangkap. Hal ini menunjukkan tuna mata besar merupakan spesies tuna yang memiliki swimming layer terjauh dan mampu beradaptasi pada suhu rendah. Sebaran suhu secara vertikal di perairan Indonesia terbagi atas tiga lapisan, yaitu lapisan hangat di bagian teratas atau lapisan epilimnion dimana pada lapisan ini gradien suhu berubah secara perlahan, lapisan termoklin yaitu lapisan dimana gradien suhu berubah secara cepat sesuai dengan pertambahan kedalaman, lapisan dingin di bawah lapisan termoklin yang disebut juga lapisan hipolimnion dimana suhu air laut konstan sebesar 4ºC. Pada lapisan termoklin memiliki ciri gradien suhu yaitu perubahan suhu terhadap kedalaman sebesar 0.1ºC untuk setiap pertambahan kedalaman satu meter (Nontji,1993). Lapisan termoklin berdasarkan pengukuran minilogger berada pada kedalaman rata-rata 70–270 m. Lapisan termoklin akan semakin dalam di musim panas dan semakin dangkal di musim dingin. Tertangkapnya tuna mata besar sebagian besar berada di luar lapisan termoklin dan suhu tersebut akan turun secara pelanpelan sampai pada kedalman tertentu. Taktik Penangkapan Tuna Mata Besar Menurut Ayodhyoa (1981) dalam Sudirman & Mallawa (2004), suatu teknik penangkapan ikan haruslah dilandasi dengan pengetahuan yang mendalam tentang tingkah laku ikan, baik sebagai individu ikan maupun sebagai suatu kelompok dalam saat tertentu ataupun dalam suatu periode musim, dalam keadaan alamiah ataupun dalam keadaan diberikan perlakuan penangkapan. Berdasarkan informasi data hook timer dan minilogger, maka dapat ditentukan 2 hal terkait taktik penangkapan tuna mata besar di Samudera Hindia melalui metode rawai tuna (tuna longline), yaitu taktik penangkapan melalui pengejaran tuna secara vertikal, dan taktik penangkapan melalui pengaturan waktu setting dan hauling. Taktik penangkapan melalui pengejaran tuna secara vertikal didasarkan pada suhu dan kedalaman migrasi tuna mata besar. Hal ini menekankan bahwa setiap Nahkoda atau Fishing Master dalam melakukan operasi penangkapan berusaha merubah konstruksi rawai tuna, yang berarti merubah kedalaman mata
52
pancing dan menentukan jumlah pancing antar pelampung yang akan digunakan. Hasil pengukuran minilogger, diketahui dari segi kedalaman operasi (fishing depth). Rawai tuna yang dioperasikan oleh kapal-kapal rawai tuna berbasis di benoa dibagi tiga, yaitu yang bersifat dangkal (shallow longline), pertengahan (halfway longline) dan dalam (deep longline). Rawai tuna yang bersifat dangkal, kedalaman mata pancingnya berada pada kedalaman 90–185 m dengan kisaran suhu 21,8 -26,8 0C sedangkan yang bersifat pertengahan antara kedalaman 90 - 350 m dengan suhu 10,2 - 21,8 0C dan deep longline berada pada kedalaman 85 - 450 m dengan kisaran suhu 8,3 - 25,5 0C. Kedalaman letak mata pancing rawai tuna ditentukan oleh panjang tali pelampung, panjang tali cabang, panjang tali utama dan koefisien kelengkungan antar tali cabang. Untuk memburu tuna mata besar sesuai dengan habitatnya, maka perpaduan antara konstruksi rawai tuna bersifat pertengahan (halfway longline) dan dalam (deep longline) merupakan taktik penangkapan yang ideal. Taktik penangkapan tuna melalui pengaturan waktu setting dan hauling didasarkan pada kebiasaan tuna mata besar memburu mangsa atau mencari makanan. Selama ini Nahkoda atau Fishing Master menentukan waktu setting berdasarkan siklus kehidupan binatang laut, fase gelap dan terang bulan, siklus gerakan pasang surut air laut dan evaluasi catatan harian hauling. Soepriyono (2009), menyatakan bahwa tuna mata besar lebih gemar memburu mangsa pada malam hari. Hal ini berbeda berdasarkan informasi hook timer bahwa tuna mata besar mempunyai kebiasaan mencari makanan pada pukul 13:00-18:00, dengan Frekuensi tertinggi aktif mencari makanan yaitu pada pukul 16:00-17:00. Rata-rata kapal rawai tuna melakukan kegiatan setting antara 5-6 jam dan jeda istirahat sebelum melakukan hauling antara 3-5 jam. Dengan demikian dapat ditentukan taktik penangkapan tuna melalui pengaturan waktu setting adalah dimulai pada siang hari dan untuk berburu tuna mata besar disarankan untuk melakukan mulai hauling pada sore hari. KESIMPULAN Tuna mata besar aktif mencari makan sepanjang siang hingga sore hari (pukul 13:00-18:00) dan banyak tertangkap pada kedalaman 194–470 m dengan suhu 8,5-15,50C di Samudera Hindia. Taktik penangkapan tuna mata besar melalui pengejaran secara vertikal adalah perpaduan antara konstruksi rawai tuna bersifat pertengahan (halfway longline) dan dalam (deep longline) sedangkan waktu setting perlu dimulai pada siang hari dan melakukan hauling pada sore hari.
Taktik Penangkapan Tuna Mata Besar ........... Data Hook Timer dan Minilogger (Bahtiar, A. et al.)
PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset program observer tuna Samudera Hindia pada kapal-kapal tuna longline di Pelabuhan Benoa, T.A. 2005-2009, kerjasama antara Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan (P4KSI) dengan CSIRO Marine and Atmospheric Research, Australia. Penulis mengucapkan terima kasih kepada para observer di Loka Penelitian Perikanan Tuna Benoa, yang telah membantu dalam pengumpulan data dengan obervasi langsung di kapal rawai tuna.
Gunarso, W. 1998. Tingkah laku ikan dan perikanan pancing. Diktat Kuliah. Laboratorium Tingkah Laku Ikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 119 p. Musyl, M.K., R.W. Brill, C.H. Boggs, D.S. Curran, T.K. Kazama & M.P. Seki. 2003. Vertical movements of bigeye tuna (Thunnus obesus) associated with islands, bouys and seamounts near the main Hawaiian Islands from archival tagging data. Fisheries Oceanography. 12:152-169. Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. 367 p.
DAFTAR PUSTAKA Barata, A. 2004. Pengaruh jumlah lampu permukaan air terhadap hasil tangkap ikan pelagis pada alat tangkap mini purse seine di desa Tanjung Sari Pemalang Jawa Tengah. Laporan Skripsi. Fakultas Perikanan. Universitas Brawijaya. Malang. 54 p. Barata, A., D. Novianto & A. Bahtiar. 2011. Sebaran ikan tuna berdasarkan suhu dan kedalaman di Samudera Hindia. Jurnal Ilmu Kelautan Indonesia. Universitas Diponegoro. Semarang. 16 (3): 165-170. Brill, R.W., K.A. Bigelow, M.K. Musyl, K.A. Fritshes & E.J. Warrant. 2005. Bigeye tuna (Thunnus obesus) behaviour and physiology and their relevance to stock assessments and fishery biology. Col. Vol. Sci. Pap. ICCAT. 57 (2):142-161. Effendie, M.I. 2002. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 157 p.
Nugraha, B. & S. Triharyuni. 2009. Pengaruh Suhu dan Kedalaman Mata Pancing Rawai Tuna (Tuna Longline) Terhadap Hasil Tangkapan Tuna Di Samudera Hindia. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Balai Riset Perikanan Laut. Departemen Kelautan dan Perikanan. 15. (3) : 239-247. Somiya, H., S. Takei, S. & I. Mitani. 2000. Guanine and its retinal distribution in the tapetum of the bigeye tuna, Thunnus obesus. Ichthyol. Res. 47: 367-372. Soepriyono, Y. 2009. Teknik dan manajemen penangkapan tuna melalui metode longline. Penerbit Bilas Utama. Denpasar. 158 p. Sudirman H. & Mallawa A. 2004. Teknik Penangkapan Ikan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 168 p.
53