JURNAL ONLINE PANDANGAN HARIAN MEDIA INDONESIA TERHADAP KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA (Analisis Wacana pada Editorial Media Indonesia Periode Desember 2010)
Disusun Oleh: Latif Syaifudin D0206065
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2014
PANDANGAN HARIAN MEDIA INDONESIA TERHADAP KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA (Analisis Wacana Pada Editorial Media Indonesia Periode Desember 2010) Latif Syaifudin Pawito Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmo Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract This study intends to find out the views of Media Indonesia on the issue Privileges of Yogyakarta in an editorial. Editorial chosen because here is the official view of a media regarding to an event. This issue begins with the President's statement at 26 November 2010 on Cabinet meeting. President’s In his speech stated that there should be no constitutional monarchy system that collided with and democratic values, the statement is then becoming a matter of controversy, especially for the people of Yogyakarta. This issue is interesting because in that time, Sultan was in the position of the Board of Trustees of Society Organizations (CSOs) of National Democratic (Nasdem). While Nasdem itself was founded By Surya Paloh who is also the owner of Media Indonesia and Metro TV. This is the reason for the selection of Media Indonesia editorial as an object of research. This study is using a qualitative research methodology with discourse analysis model of Teun A Van Dijk. This model divides the text into three structures, which contains the first macro thematic structure of the editorial. The second is the superstructure related to text frame. The third is microstructure, which observes the discourse of background elements, detail, purpose and presupposition. This study analyzed the editorial of Media Indonesia in December 2010. It can be concluded from Media Indonesia considers that the proposed changes in filling the positions of Governor and Deputy Governor of DIY original determination of election not later be changed in accordance with the origin of Privileges Yogyakarta and wishes of the people themselves. And align themselves as a community by giving exposure regarding the reactions of the refusal of Yogyakarta public in Yogyakarta Privileges issue. Keywords: Yogyakarta’s Privilege, Editorial, Discourse Analysis.
1
Pendahuluan Berbicara media massa tentu kita tidak bisa lepas dengan yang namaya pers. Pers yang dimaksud di sini mengandung dua arti, sempit dan luas. 1 Dalam arti sempit, pers hanya menunjuk kepada media cetak berkala: surat kabar, tabloid, dan majalah. Sedangkan dalam arti luas, pers bukan hanya menunjuk pada media cetak berkala melainkan juga mencakup media elektronik auditif dan media elektronik audiovisual berkala yaitu radio, televisi, film, dan media on line internet. Pers dalam arti luas ini disebut media massa. Dalam hal isi penerbitan pers, pada dasarnya berisi tiga komponen 2 . Komponen pertama adalah berita. Komponen kedua adalah pandangan atau opini (opinion). Komponen ketiga adalah Iklan. Melihat ketiga komponen tersebut, penulis tertarik pada salah satu komponen yaitu mengenai pandangan atau pendapat yang biasa disebut opini. Opini di sini dapat dibagi menjadi dua macam. Pertama, pendapat umum (public opinion) biasanya disajikan dalam tiga bentuk, yaitu komentar, artikel, dan surat pembaca 3 . Kedua, pendapat redaksi (desk opinion) penulisan opini redaksi ini bisa digunakan untuk menjelaskan informasi yang disajikan, mengkritik kebijakan penguasa, memberikan gambaran suasana yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Opini penerbit biasanya ditulis dalam beberapa bentuk, seperti Tajuk Rencana atau Editorial, Pojok, Catatan Kecil, dan karikatur 4 . Salah satu yang menarik menurut penulis dari bentuk opini penerbit adalah Tajuk Rencana atau Editorial. Karena menurut Junaedhie, Tajuk Rencana atau Editorial adalah induk karangan dalam surat kabar atau majalah, yang hakikatnya adalah merupakan opini yang mencerminkan pandangan penerbit pers bersangkutan. Sedangkan menurut FX Koeswoyo menganggap tajuk rencana di media massa manapun, termasuk jenis tulisan yang tidak populer dan hanya
1
AS Haris Sumadria, Jurnalistik Indonesia: Panduan praktis jurnalis professional, Bandung, Simbiosa Rekatama Media, 2006, hal 31. 2 Totok Djuroto, Manajemen Penerbitan Pers, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2002, hal 45 3 Ibid, hal 67 4 Ibid, hal 77
2
memiliki sedikit pembaca. Akan tetapi, tulisan ini tetap harus ada dan dibuat. Karena di dalamnya tercermin keterlibatan pengelola media massa akan problematika yang berkembang di masyarakat 5 . Dan juga menurut Rivers dan kawan-kawan mendefinisikan editorial sebagai pikiran sebuah institusi opini publik, yang menyajikan fakta dan opini yang menafsirkan berita-berita yang penting dan mempengaruhi pendapat umum 6 . Tajuk pada dasarnya adalah roh bagi subuah harian atau “atomisme” dari sebuah content surat kabar menurut perspektif redaksi untuk sebuah hari, sebuah tanggal. Pada tajuk itulah pandangan, pikiran, impresi dan kritisisme redaksi pengelola harian terhadap beragam peristiwa dikonstruksi untuk menghasilkan sebuah titik pandang dan kemudian ditampilkan ke tengah-tengah publik. 7 Dalam hal Tajuk Rencana tersebut salah satu yang menarik adalah Tajuk yang ada di Harian Media Indonesia, yang diberi nama Editorial. Menarik karena Editorial Media Indonesia selain muncul pada halaman muka, juga tampil dengan kelugasan naratif dan semantiknya, editorial ini termasuk yang banyak memperoleh perhatian dari publik pembaca Indonesia. Salah satu isu yang menarik yang diangkat pada akhir tahun 2010 adalah Isu Keistimewaan Yogyakarta. Isu ini bermula dari penyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau yang biasa disebut SBY dalam pembukaan Rapat Kabinet terbatas pada tanggal 26 November 2010 SBY mengatakan, “Nilai-nilai tradisi tidak boleh diabaikan oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi maupun nilai-nilai demokrasi”. 8 Pernyataan terakhir inilah yang kemudian menjadi kontroversi terutama bagi masyarakat Yogyakarta. Pernyataan SBY tersebut terkait dengan draft Rancangan Undang-undang Keitimewaan Yogyakarta (RUUK). Dalam RUUK tersebut diusulkan untuk 5
Redi Panuju, Nalar Jurnalistik: Dasarnya Dasar Jurnalisti, Malang, Bayumedia Publising, 2005, Hal 79 6 Septiawan Santana K, Jurnalisme Kontemporer, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2005, hal 64. 7 Tim Redaksi LP3ES, Politik Editorial Media Indonesia, Jakarta, Pustaka LP3ES Indonesia, 2003, hal 1. 8 Asal Mula Keistimewaan Yogyakarta, News.Viva.Co.id, Rabu, 1 Januari 2010,
3
pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY yang semula penetapan akan diganti dengan pemilihan. Padahal sistem penetapan dalam pengisian jabatan tersebut merupakan salah satu faktor Keistimewaan Yogyakarta selama ini. Hal diatas adalah isu krusial yang menjadi pokok pembicaraan mengenai Keistimewaan Yogyakarta. Dan isu ini semakin menjadi menarik adalah ketika diangkat dalam Editorial Media Indonesia. Karena sebagaimana kita ketahui pada tahun 2010 tersebut posisi Sultan adalah Dewan Pembina Organisasi Masyarakat (Ormas) Nasional Demokrat (Nasdem). Sedangkan Nasdem sendiri didirikan Oleh Surya Paloh yang juga Pemilik Media Indonesia dan MetroTV. Sebagai sebuah opini media, Editorial tersebut menjadi menarik untuk diteliti apakah ada keterlibatan media dalam melakukan penggiringan opini masyarakat. Dan seperti apa pandangan Media Indonesia terhadap isu keistimewaan Yogyakarta tersebut.
Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas penelitian ini dimaksudkan untuk menggali dan mengetahui pandangan Harian Media Indonesia terhadap Keistimewaan Yogyakarta dalam Editorial Media Indonesia pada bulan Desember 2010?
Tujuan Menggali dan mengetahui pandangan Harian Media Indonesia terhadap Keistimewaan Yogyakarta dalam Editorial Media Indonesia pada bulan Desember 2010.
Kajian Teori 1.
Komunikasi Menurut Lasswell mengajukan pendapatnya mengenai komunikasi sebagai
jawaban dari konsep pertanyaan: Who Says What in Which Channel To Whom With Wath Effect? 9
9
Effendy, Onong Uchjana, Ilmu Komunikasi Teori dan praktek, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2003, hal 11.
4
Berdasarkan pendapat Laswell, ada lima unsur yang harus dipenuhi agar tercipta komunikasi, yaitu: a. Sumber (source), sering disebut juga pengirim (sender), penyandi (encoder), komunikator (communicator), pembicara (speaker) atau originator. Sumber adalah
pihak
yang
berinisiatif
atau
mempunyai
kebutuhan
untuk
berkomunikasi. b. Pesan (message), yaitu apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima. c. Media atau saluran (media, channel), yaitu alat atau wahana yang digunakan sumber untuk menyampaikan pesannya kepada penerima. d. Penerima (communicant, receiver, recipient, audience), yaitu penerima pesan dari sumber. e. Efek (effect, impact, influence), yaitu apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan. Jadi, menurut paradigma Lasswell tersebut komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. 10
2.
Editorial River dkk mendefinisikan editorial sebagi pikiran sebuah institusi opini
publik yang menyajikan fakta dan opini yang menafsirkan berita-berita yang penting dan mempengaruhi pendapat umum. Editorial adalah penyajian fakta dan opini yang menafsirkan berta-berita yang penting dan mempengaruhi pendapat umum. 11 Sedangkan menurut Rizal Mallarangeng (dalam Panuju, 2005) membagi Tajuk Rencana atau Editorial dalam tiga model, yaitu: Pertama model Jalan Tengah, tajuk seperti ini terkesan ingin menghindari konfrontasi langsung dengan pihak yang diulas atau dikritiknya. Kedua, Model Angin Surga oleh penulisnya, tajuk model ini ditulis lebih imbauan serta harapan. Ketiga, Model Anjing Penjaga 10 11
Ibid, hal 11. Wiliam L Rivers dkk. Editorial. Bandung, PT Remaja Rosda Karya, 1994, Hal 8
5
di dalamnya dapat terbaca dengan jelas apa yang hendak diperjuangkan dan dikatakan oleh penulisnya. Dengan lugas, berani, tajam, kritik-kritik yang ada di dalamnya, bahkan ditujukan kepada pemegang kekuasan tertinggi republik kita. Tajuk seperti itulah yang benar-benar menjalankan kodrat media pers sebagai lembaga kontrol dan pemberi informasi yang mendidik dan mencerdaskan pembaca.
3.
Media Massa Komunikasi massa mempunyai arti sebagai komunikasi yang ditujukan
kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak atau media elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima dengan serentak di berbagai tempat. Effendy memberikan definisi komunikasi massa sebagai penyebaran pesan dengan menggunakan media yang ditujukan kepada massa yang abstrak, yakni sejumlah orang yang tak tampak oleh si penyampai pesan. Pembaca surat kabar, pendengar radio, penonton televisi dan film, tidak tampak oleh si komunikator. Dengan demikian maka jelas bahwa komunikasi massa atau komunikasi melalui media massa bersifat satu arah. 12
4.
Sejarah Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengkubuwono (HB) IX dan Paku Alam VIII, dua pemegang
otoritas di Yogyakarta itu membuat membuat dua amanat sebagai dsar bergabungnya Kesultanan Yogyakarta dan Pakualaman kepada Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI). Secara garis besar kedua amanat tersebut dapat disimpulkan bahwa, pertama, baik Kesultanan Yogyakarta maupun daerah Paku Alaman, masing-masing merupakan Daerah Istimewa dari NKRI, jadi belum merupakan satu kesatuan Daerah istimewa Yogyakarta. Kedua, dengan adanya pernyataan (amanat) tersebut memperjelas posisi kedua kerajaan tersebut adalah memihak kepada Republik Indonesia yang baru lahir. Ketiga, baik Sultan maupun Paku Alam masing-masing sebagai pemegang kekuasaan dalam Kesultanan dan
12
Effendy, Op Cit, Hal 50.
6
Kadipaten berhubungan langsung dengan dan hanya bertanggungjawab kepada Presiden Republik Indonesia. 13 Kedua Amanat tersebut dikeluarkan oleh masing-masing pada tanggal 5 September 1945. Sehari berikutnya baik Sultan HB IX maupun Paku Alam VIII menerima piagam kedudukan dari Presiden Republik Indonesia tertanggal 19 Agustus 1945. Dan pada tanggal 30 Oktober 1945 dikeluarkanlah Amanat yang kedua oleh Sultan HB IX dan Paku Alam VIII bersama-sama dan ditandatangani bersama-sama oleh keduanya. Untuk menyatukan tekad kedua penguasa Kesultanan dan Kadipaten di Yogyakarta. 14 Secara garis besar Amanat yang kedua ini dapat disimpulkan bahwa, proses penyelenggaraan pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta dilakukan oleh Sultan HB IX, Paku Alam VIII, dan Badan Pekerja Komite Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta. 15 Untuk lebih menegaskan apa yang sedang berlangsung, diumumkanlah Maklumat Nomor 18 tahun 1946 tentang Dewan-dewan Perwakilan Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta (Kesultanan dan Kadipaten) pada tanggal 18 Meai 1946. Maklumat ini merupakan realisasi keputusan Rapat pleno Komite Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta tanggal 24 April 1946 dan merupakan pengaturan masa transisi menuju keadaan yang akan diatur oleh Undang-undang Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat berdasar pasal 18 UUD 1945. 16 Sedangkan secara lebih jelas pengaturan tentang Keistimewaan Yogyakarta baru tertuang dalam UU No. 3 Tahun 1950. 17 Undang-Undang tersebut kemudian diubah dengan UU No. 19 tahun 1950 dan terakhir diubah dengan UndangUndang No. 9 Tahun 1955. Mekanisme pengisian jabatan kepala daerah sendiri diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, yaitu UU No. 22 Tahun
13
Ni’matul Huda, Daerah Istimewa Yogyakarta: Dalam Perdebatan Konstitusi dan Perundang-undangan di Indonesia, Bandung:Nusa Media, 2013, hal 142-143. 14 Ibid, hal 143. 15 Ibid, hal 145-146. 16 Ibid, hal 146-147. 17 Ibid, hal 163.
7
1948; UU No. 1 Tahun 1957; UU No. 18 Tahun 1965; UU No. 5 Tahun 1974; UU No. 22 Tahun 1999; dan terakhir dengan UU No. 32 Tahun 2004. 18 Sedangkan isi keistimewaanya sesuai dengan penjelasan Pasal 122 UU No 22 Tahun 1999 adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari
keturunan
Sultan
Yogyakarta
dan
Wakil
Gubernur
dengan
mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan Undang-undang ini. 19
5.
Wacana Pengertian wacana dapat diartikan sebagai rangkaian ujar atau rangkaian
tindak tutur yang mengungkapkan
suatu hal (subjek) yang disajikan secara
teratur, sistematis, dalam suatu kesatuan yang koheren, dibentuk oleh unsur segmental maupun non segemetal bahasa. 20 Menurut Mills (dalam Sobur) membedakan pengertian wacana dalam tiga macam yaitu, pertama wacana dilihat dari level konseptual teoritis. Dalam pengertian ini wacana diartikan sebagai domain umum dari semua pernyataan, yaitu semua ujaran atau teks yang mempunyai makna dan mempunyai efek dalam dunia nyata. Kedua dilihat dari level konteks penggunaan, wacana berarti sekumpulan pernyataan yang dapat dikelompokkan kedalam kategori konseptual tertentu. Dengan kata lain wacana dalam pengertian ini menekankan pada upaya untuk mengidentifikasi struktur tertentu dalam wacana, yaitu kelompok ujaran yang diatur dengan suatu cara teretentu. Ketiga dilihat dari metode penjelasnnya, wacana merupakan suatu praktik yang diatur dengan menjelaskan sejumlah pernyataan. 21 Untuk model Analisis Wacana, salah satunya adalah model Van Dijk. Untuk level teks, Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur/tingkatan yang masing-masing bagian saling mendukung. Dalam level ini Van dijk 18
Ibid, hal 163. Ibid, hal 164. 20 Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu pengantar Analisis Wacana, Analisis Semiotika, dan Analisis Framing, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012, hal 11. 21 Ibid, hal 11. 19
8
membaginya menjadi tiga tingkatan yaitu: struktur makro, ini merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat dipahami dengan melihat dari topik atau tema; superstruktur, struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka teks; dan struktur mikro, ini dapat diamati dari bagian kecil dari teks yaitu kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar. 22
Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah kualitatif. Menurut Pawito, tujuan penelitian komunikasi kualitatif, untuk mengemukakan gambaran dan/atau pemahaman (understanding) mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi 23 . Maksud dari memberikan gambaran disini mengenai gejalagejala atau realitas-realitas adalah agar dapat memberikan pemahaman (understanding, verstehen) mengenai gejala atau realitas. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis wacana. Analisis wacana adalah suatu cara atau metode untuk mengkaji wacana (discourse) yang terkandung di dalam pesanpesan komunikasi baik secara tekstual maupun kontekstual 24 . 2. Subyek Penelitian Subyek penelitian ini adalah Editorial terkait dengan Keistimewaan Yogyakarta yang dimuat oleh Harian Media Indonesia dalam rentang waktu bulan Desember 2010. Penulis kemudian mendapatkan lima (5) judul dari Editorial Media Indonesia yang akan diteliti, yaitu Tabel 1 Editorial Harian Media Indonesia Mengenai Keistimewaan Yogyakarta EDISI
JUDUDL EDITORIAL
01 Desember 2010
Amnesia Sejarah
03 Desember 2010
Meremehkan Momentum
22
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar analisis teks media, Yogayakarta, PT. LKiS Printing Cemerlang, 2009, hal 225-226. 23 Pawito, Penelitian Komunikais Kualitatif, Yogyakarta, Lkis, 2008, hal 35. 24 Ibid, hal 170.
9
13 Desember 2010
Menjawab Luka dengan Referendum
14 Desember 2010
Yogyakarta Melawan
16 Desember 2010
Suara Rakyat Vs Suara Pemerintah
Sumber: Latif Syaifudin, Skripsi, PANDANGAN HARIAN MEDIA INDONESIA TERHADAP KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA (Analisis Wacana pada Editorial Media Indonesia Periode Desember 2010), 2014 3. Teknik Pengumpulan data Pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis: (a) data yang diperoleh dari interview, (b) data yang diperoleh dari observasi, dan (c) data yang diperoleh berupa dokumen, teks atau karya seni yang kemudian dinarasikan. 25 Adapun data-data yang diperoleh akan dikategorikan sebagai data primer, yaitu data Editorial terkait Keistimewaan Yogyakarta yang dimuat dalam Harian Media Indonesia pada periode Desember 2010. 4. Teknik Analisis data Teknik analisa data yang digunakan disini adalah aplikasi dari model analisa wacana yang dikembangkan oleh Teun A. van Dijk. Di sini penulis hanya akan menggunakan tiga elemen analisis dari beberapa elemen analisis yang ada. Tiga elemen tersebut yakni : tematik, skematik, dan semantik. Tematik menunjuk pada suatu gambaran umum dari suatu teks. Bisa juga disebut sebagai gagasan inti, ringkasan atau yang utama dari suatu teks. Topik menunjukkan konsep dominan, sentral, dan paling penting dari isi suatu berita. Topik menggambarkan gagasan apa yang dikedepankan atau gagasan inti dari wartawan ketika melihat atau memandang suatu peristiwa. Skematik menggambarkan bentuk umum dari suatu teks. Arti penting dari skematik adalah sebagai strategi untuk mendukung topik tertentu yang ingin disampaikan dengan menyusun bagian-bagian dengan urutan tertentu. Skematik memberikan tekanan bagian mana yang didahulukan, dan bagian mana yang kemudian disembunyikan.
25
Ibid, hal 96.
10
Sedangkan semantik dalam skema van Dijk dikategorikan sebagai makna lokal, yakni makna yang muncul dari hubungan antarkalimat, hubungan antarproposisi yang membangun makna tertentu dalam suatu bangunan teks. Dengan kata lain, semantik tidak hanya mendefinisikan bagian mana yang penting dari struktur wacana, tetapi juga menggiring ke arah sisi tertentu dari suatu peristiwa. Sintaksis secara etimologis berarti menempatkan bersama-sama katakata menjadi kelompok kata atau kalimat.
Sajian dan Analisis data 1. Tematik Editorial Dalam Editorial Media Indonesia terkait dengan isu Keistimewaan Yogyakarta setidaknya ada 2 tema pokok dari 5 Editorial yang diteliti dengan mengambil periode bulan Desember 2010. a. Menanggapi Pernyataan Presiden Sebagaimana disebutkan diatas bahwa awal mula berkembangnya isu keisrtimewaan Yogyakata adalah dari pernyatan Presiden SBY. SBY meyatakan bahwa tidak boleh ada sistem monarki yang bertarakan dengan konstitusi maupun nilai-nilai demokrasi. Pernyataan tersebut adalah tanggapan terhadap Draft RUU Keistimewaan Yogyakarta. Tentunya ada banyak tanggapan atas pernyataan SBY tersebut. Tak terkecuali Media Indonesia juga melakukan tanggapan melalui salah satu Editorialnya yang berjudul Amnesia Sejarah dan Meremehkan Momentum. Pendapat ini jelas mempertontonkan tidak memahami sejarah. Yogyakarta mendapat keistimewaan untuk mengatur rumah tangga mereka bukan datang tiba-tiba dari langit. (Amnesia Sejarah, Paragraf 5) Presiden Yudhoyono memilih mengungkapkan soal keistimewaan Yogyakarta yang disandingkan dengan kata ‘monarki’ itu pada 26 November lalu, di depan sidang kabiner, ditengah masyrakat Yogyakarta yang belum sembuh dari luka akibat bencana Merapi.(Meremehkan Momentum, Paragraf 3) Karena disampiakan dalam sidang kabinet yang membahas banyak hal, penjelasan soal keistimewaan Yogyakarta pun hanya memperoleh ruang yang amat terabatas. Padahal, beberapa kata tidak cukup bisa menjelaskan soal keistimewaan Yogyakarta yang amat luas dan kompleks (Meremehkan Momentum,Paragraf 4) 11
b. Kontroversi RUU Keitimewaan Yogyakarta Hal kontroversial yang paling disorot oleh Media Indonesia adalah mengenai pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur. Didalam RUU tersebut diusulkan bahwa pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur dilakukan dengan pemilihan yang semula adalah penetapan. Dan harus disesuikan dengan undang-undang pemerintahan daerah yaitu maksimal hanya boleh menjabat 2 kali. Hal ini terlihat dalam editorial yang berjudul Menjawab luka dengan Referendum, Yogyakarta Melawan, dan Suara Rakyat Vs Suara Pemerintah Mereka terusik, kecewa, terluka, bahkan marah. Warga Yogyakarta pun menantang pusat menggelar referendum untuk melihat apa yang diinginkan rakyat Lebih dari seribu warga telah mendirikan posko relawan referendum yang berada di sebelah timur Alun-Alun Utara Yogya. Spanduk dan bendera relawan referendum pun terpampang di berbagai sudut kota. Bahkan, Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto pun mengibarkan bendera setengah tiang di halaman rumahnya, kemarin. Aksi itu dilakukannya seorang diri sebagai ungkapan duka atas kontroversi RUU Keistimewaan Yogyakarta. (Menjawab Luka dengan Referendum Paragraf 4-6) Hampir seluruh komponen kota itu tumpah ruah ke Gedung DPRD untuk menegaskan sikap mereka bahwa keistimewaan Yogyakarta harus dipertahankan apa adanya. Yogyakarta dipimpin sultan yang juga menjabat gubernur dan ditetapkan, bukan dipilih. Itulah keistimewaan Yogyakarta yang dibela rakyat mati-matian. Perlawanan rakyat Yogyakarta ternyata searah dengan kesepakatan fraksifraksi DPRD DIY. Semua fraksi, kecuali Fraksi Partai Demokrat, menyatakan setuju Gubernur DIY ditetapkan, bukan dipilih. (Yogyakarta MelawanParagraf 2-3) Karena itu, mengingkari keputusan DPRD DIY sama dengan mencampakkan suara rakyat Yogyakarta. Ataukah pemerintah sedang menggalang opini agar masyarakat tidak memercayai dewan? Lagi pula, setiap pembahasan RUU haruslah melalui sosialisasi. Bukankah sebaikbaiknya perkara ialah kebijakan publik diambil setelah melalui perdebatan publik? Bukan suka-suka yang sedang berkuasa. (Suara Rakyat Vs Suara Pemerintah Paragraf 6) 2. Skematik Editorial a.
Judul Judul merupakan elemen yang sangat penting dari sebuah tulisan, karena
merupakan identitas dari tulisan itu sendiri. Judul juga bisa berfungsi untuk meringkaskan isi tulisan. Syarat judul tajuk rencana secara umum sama dengan 12
judul artikel opini, yaitu harus provokatif, singkat, padat, relevan, fungsional, informal, representative, dan merujuk pada bahasa baku.Menurut penulis judul tajuk rencana Media Indonesia sudah sesuai yaitu singkat, padat, dan relevan. Selain itu judul yang ada juga bersifat provokatif, dimana dari judul itu ada keinginan untuk membangkitkan minat khalayat tentang isi tajuk rencana. Seperti dalam judul Yogyakarta Melawan dan Sura Rakyat Vs Suara pemerintah. b. Pendahuluan Lead
merupakan pengantar tulisan yang berfungsi untuk memberikan
gambaran isi berita atau tulisan. Sebagai sebuah intisari, lead mempunyai tiga fungsi, menjawab rumus 5W 1H, menekankan newsfeature of the story dengan menempatkan pada posisi awal, memberikan identifikasi cepat tentang orang, tempat dan kejadian yang dibutuhkan bagi pemahaman cepat berita itu. 26 Lead dalam editorial Media Indonesia cukup singkat, terdiri dari dua atau tiga kalimat. Fakta adalah seseuatu peristiwa atau keadaan yang benar-benar terjadi. Fakta didalam editorial diungkapkan untuk mengawali pokok yang akan dibahas. Media Indonesia dalam hal ini seringkali mengungkapkan fakta-fakta terlebih dahulu sebelum lebih lanjut mengulasnya. Fakta yang diungkapakan berfungsi untuk mengingatkan kembali akan suatu kejadian. c.
Isi Isi disini adalah inti dari editorial, dimana didalamnya berisi pandangan
redaksi terhadap suatu kejadian. Didalam isi ini Media Indonesia menngeluarkan berbagai pandangannya terkait Kesitimewaan Yogyakarta. Didalam editorial yang berjudul Amnesia Sejarah Media Indonesia berpendapat bahwa ada kekeliruan dari pemerintah dalam memahami sejarah keistimewaan Yogyakarta. Pemerintah disini dianggap keliru dalam menafsirkan sistem monarki di Yogyakarta. Pemerintah beranggapan bahwa monarki tersebut bertentangan dengan konstitusi dan demokrasi. Media Indonesia membantah anggapan tersbut dengan mengatakan pemerintah bahwa mereka tidak memahami sejarah.
26
Alex, Sobur, Op cit, hal 77.
13
Selain dianggap melupakan sejarah, Media Indonesia berpendapat tentang waktu dan cara penyampaian pernyataan Presiden yang dianggap tidak tepat. Hal ini dimuat dalam editorial yang berjudul Meremehkan Momentum. Didalam editorial ini menyoroti pernyataan Presiden yang disampaikan pasca bencana Merapai dan tempat penyampainnya di sidang kabinet yang dianggap terlalu terbatas Dalam tajuk rencana lain yang berjudul Menjawab Luka dengan Referendum. Media Indonesia berpendapat bahwa pemerintah dianggap tidak mau mengakui kesalahannya dalam memandang sistem monarki Yogyakarta. Sehingga mendapat reaksi dari masyrakat Yogyakarta yang menantang untuk mengadakan referendum. Dalam hal ini Media Indonesia berpihak pada kehendak masyarakat Yogyakarta. Ternyata reaksi masyarakat Yogyakarta tidak berhenti disitu saja. Dalam editorial yang berjudul Yogyakarta Melawan Media Indonesia berpendapat bahwa masyrakat Yogyakarta melakukan perlawanan total. Disebutkan bagaimana masyarakat Yogyakarta mendatangai Gedung DPRD untuk menyatakan sikap. Dan ternyata juga searah dengan kesepakatan fraksi-fraksi di DPRD DIY. Sekali lagi Media Indonesia juga berpihak kepada masyarakat Yogyakarta, yang menganggap mereka hanya ingin mempertahankan sistem pemerintahan yang sudah ada. Dan memang tidak bertentangan dengan konstitusi dan demokrasi. Dan dalam editorial terakhir yang berjudul Suara Rakyat Vs Suara Pemerintahan, Media Indonesia mengkritik sikap pemerintah yang tetap menginginkan pengisisan jabatan gubernur dan wakil gubernur dengan dipilih. Dan menegaskan bahwa pembahasan RUU tidak ada kaitannya dengan sikap DPRD DIY. Media Indonesia berpendapat bahwa pemerintah abai dan melecehkan pendapat rakyat.
3. Semantik Editorial Semantik dalam pengertian umum adalah disiplin ilmu bahasa yang menelaah makna satuan lingual, baik secara leksikal maupun gramatikal. Semantik dalam skema Van Dijk dikategorikan sebagai makna lokal, yaitu makna 14
yang muncul dari sebuah hubungan antarkalimat, hubungan antarproposisi yang membangun makna tertentu dalam suatu bangunan teks. Semantik tidak hanya mendefinisikan bagian mana yang penting dari struktur wacana, tetapi juga menggiring kearah sisi tertentu dari suatau peristiwa. 27 a. Latar Latar merupakan bagian dari teks yang dapat mempengaruhi arti yang ingin disampikan. Latar yang dipilih menentukan kearah mana pandangan khalayak hendak dibawa. Latar umumnya ditampilkan diawal sebelum pendapat sebelum pendapat wartawan yang sebenarnya muncul. Dengan maksud mempengaruhi dan memberi kesan bahwa pendapat wartawan tersebut beralasan. 28 latar teks merupakan ekemen yang berguna karena dapat membongkar apa maksud yang ingin disampaikan oleh wartawan. Berikut peneliti sajikan latar dari Editorial Media Indonesia mengenai pandangannya terhadap Keistimewaan Yogyakarta. Dalam Editorial Media Indonesia yang berjudul Amnesia Sejarah, tanggal 1 Desember 2010, latar yang digunakan adalah sejarah dan pengakuan mengenai keistimewaan Yogyakarta. Pengakuan tersebut terrtuang dalam pasala 18B UUD, yang didalamnya berisi tentang pengakuan satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus. Dan mengenai sejarah keistimewaan Yogyakarta. Dalam Editorial yang berjudul Meremehkan Momentum, 3 Desember 2010, masih mengangkat tema yang sama yaitu tentang pernyataan Presiden tentang sistem monarki Yogyakarta yang bertabrakan dengan konstitusi dan demokrasi. Latar yang digunakan adalah waktu dan tempat penyampaian Pidato Presiden, dalam menyampikan pidato tersebut. Sedangkan latar yang digunakan dalam Editorial yang berjudul Menjawab Luka dengan Referendum, 13 Desember 2010 adalah reaksi masyarakat Yogyakarta tentang keinginan Pemerintah yang menghendaki Gubernur Yogyakarta dan Wakilnya untuk dipilih bukan ditetapkan. Reaksi yang
27 28
Alex, Sobur, Op cit, hal 78. Eriyanto, Op cit, hal 235.
15
ditampilkan pun beragam terutama menegenai referendum yang menjadi pokok bahasan utama disini. Untuk Editorial yang berjudul Yogyakarta Melawan, 14 Desember 2010, latar yang digunakan hampir sama dengan editorial diatas yaitu mengenai reaksi atau perlawanan masayarakat Yogyakarta. Dan reaksi masyarakat Yogyakarta pun sudah semakin jauh sampai-sampai DPRD DIY juga ikut bersuara. Dan yang terakhir adalah Editorial yang berjudul Suara Rakyat Vs Suara Pemerintah, 16 Desember 2010, latar yang digunakan adalah sikap pemerintah yang mengabaikan suara rakya Yogyakarta dan DPRD DIY. Hal ini disampaikan oleh dua menteri yaitu Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum dan HAM yang mentakana pemerintah tetap pada keputusan semula yaitu mengusulkan Gubernur Yogyakarta dan wakilnya dipilih, selain itu pengajuan RUU Keistimewaan tidak ada hubungnnya dengan DPRD DIY. b. Detil Dalam Editorial yang berjudul Amnesia Sejarah, Media Indonesia mengungkapkan detil tentang sejarah keistimewaan Yogyakarta. Redaksi menjelaskan bahwa sebelumnya Yogyakarat dipimpin HB IX dan Paku Alam VIII seumur hidup. Sedangkan pada Editorial yang berjudul Meremehkan Momentum, detil yang digunakan adalah kesalahan momentum penyampaian pernyatan Presiden, yang mengakibatkan reaksi masyarakat Yogyakarta. Dalam Editorial lain yang berjudul Menjawab Luka dengan Referendum, detil yang digunakan adalah reaksi masyarakat Yogayakarta menanggapi isu Keistimewaan yang diusulkan oleh pemerintah. Sedangkan dalam Editorial yang berjudul Yogyakarta Melawan, detil yang digunakan hampir sama yaitu reaksi masyarakat Yogyakarta dan juga reaksi DPRD DIY. Dan untuk Editorial yang terakhir yang berjudul Suara rakyat Vs Suara Pemerintah, detil yang digunakan adalah harapan redaksi agar tidak ada transaksi dalam pembahasan RUU Keistimewaan tersebut 16
c. Maksud Tabel 2 Maksud Editorial Harian Media Indonesia Mengenai Keistimewaan Yogyakarta No
Judul Editorial
Latar
1
Amnesia Sejarah
Eksplisit
2
Meremehkan Momentum
Eksplisit.
3
Menjawab Luka dengan Referendum
Eksplisit
4
Yogyakarta Melawan
Eksplisit
5
Suara Rakyat Vs Suara Pemerintah
Eksplisit
d. Praanggapan Dalam Editorial yang berjudul Amnesia Sejarah, pranggapan yang muncul adalah pembengkokan sejarah yang akan dilakukan oleh Zaman Susilo Bambang Yudhoyono tentang Keistimewaaan Yogyakarta yang akan tergeser oleh isu sistem monarki yang dijalankan Provinsi Yogyakarta. Sedangkan dalam Editorial yang berjudul Menjawab Luka dengan Referendum, praanggapan yang dimunculkan adalah Pemerintah pusat dianggap memberikan dalih demi tegaknya demokrasi, untuk menghabisi keistimewaan kepala daerah Yogyakarta.
Kesimpulan Untuk itu berdasar hasil analisis menggunakan metode analisi wacana Van Dijk dari bab sebelumnya, berikut peneliti sampaikan kesimpulannya: 1.
Dari semua hasil analisis teks terhadap tajuk rencana Media Indonesia penulis menyimpulkan bahwa Media Indonesia dalam memandang bahwa usulan perubahan cara pengisian jabatan Gubernur DIY dan Wakil Gubernur DIY yang semula penetapan kemudian akan diganti pemilihan tidak sesuai dengan asal mula Keistimewaan Yogyakarta dan keinginan rakyat Yogyakarta sendiri. Selain lebih banyak mengkritik Pemerintah pusat 17
terutama mengenai pernyatan Presiden. Dalam hal ini setidaknya pernyataan presiden tersebut ditanggapi dalam 2 (dua) tajuk rencana, yang menyoroti kealpaan Pemerintah pusat memahami sejarah keistimewaan Yogyakarat dan momentum pernyataan Presiden tersebut yang hanya disampikan dalam rapat kabinet dan pasca erupsi merapi. Sedangkan untuk 3 (tiga) tajuk rencana terakhir lebih memaparkan tentang kontroversi Rancangan Undang Undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta, dimana didalamnya diusulkan bahwa sistem pemilihan Gubernur Yogyakarta dan wakilnya dipilih, bukan ditetapkan sebagaimana sebelumnya. Dalam tajuk rencana tersebut dipaparkan bagaimana kontoversi RUUK tersebut menimbulkan perlawanan masyarakat Yogyakarta yang tetap menginginkan sistem penetapan, bahkan sampai muncul isu referendum sebagai reaksi masyarakat yogyakarta. 2.
Dalam pandangannya Media Indonesia lebih banyak memaparkan tentang peristiwa yang terjadi pasca pernyataan Presiden. Dan Media Indonesia Mengkritik cukup tajam Pernyataan tersebut. Selain juga memaparkan tentang reaksi masyrakat Yogyakarta dalam menaggapinya.
3.
Dalam pandangannya Media Indonesia menyejajarkan dirinya setara dengan posisi masyarakat. Hingga seolah-olah pendapat redaksi adalah pendapat masayarakat juga hal ini adalah usaha mempengaruhi opini masayarakat. Dan bahasa yang digunakanya pun sangat lugas.
4.
Menurut isinya tajuk rencana Media Indonesia dikategorikan sebagai tajuk rencana model anjing penjaga. Hal ini terlihat dari banyaknya kritik yang diberikan Media Indonesia terhadap pemerintah pusat menganai kasus tersebut.
Saran 1.
Penulis menyadari penelitian ini jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan. Dalam hal ini penulis hanya melakukan penelitian pada level teks. Sedangkan penelitian masih bisa dilakukan dalam bentuk selain teks untuk mendapatkan hasil yang lebih mendalam.
2.
Penelitian tajuk rencana media massa, terutama media cetak menggunakan analisi wacana masih terbentang luas. Untuk itu diharapkan penlian 18
selanjutnya bisa lebih mendalam lagi baik menggunkan metode yang sama atau dengan metode penelitian yang berbeda. Dan dengan semakin mendalam dan beragam penelitian, diharapkan dapat meningkatkan kualitas penelitian di bidang ilmu komunikasi.
Daftar Pustaka Djuroto, Totok. (2002). Manajemen Penerbitan Pers. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Elvinaro, Ardianto dan Lukiati Komala E. (2007). Komuikasi massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbios Rekatama Media. Effendy, Onong Uchjana. 2003. Ilmu Komunikasi Teori dan praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Eriyanto. (2009). Analisis Wacana: Pengantar analisis teks media. Yogayakarta: PT. LKiS Printing Cemerlang. Huda, Ni’matul. 2013. Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perdebatan Konstitusi dan Perundang-undangan di Indonesia. Bandung: Penerbit Nusa Media. Mulyana, Deddy. (2008). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Panuju, Redi. (2005). Nalar Jurnalistik: Dasarnya Dasar Jurnalistik. Malang: Bayumedia Publising. Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKIS. Poerwokoesoemo, Soedarisman. (1984). Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Rivers, William L, Bryce McIntyre dan Alison Work. (1994). Editorial. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Rosari, Aloysius Soni BL de (editorr). (2011). Monarki Yogyakarta Inskonstitusional?. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. Salim, Agus. (2006). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: PT Tiara Wacana. Santana, Septiawan K. (2005). Jurnalisme Kontemporer. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sobur, Alex. (2012). Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisi Wacana, Analisis Semiotika, Analisis Framing. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sumadiria, AS Haris. (2006). Jurnalistik Indonesia, Menulis Berita dan Feature, Panduan Praktis Jurnalis Profesional. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Tim Redaksi LP3ES. (2003). Politik Editorial Media Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. \
19