ANALISIS WACANA BAHASA JURNALISTIK RUBRIK EDITORIAL MEDIA INDONESIA EDISI DESEMBER 2000 Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh: NURRINA DESIANI NIM. 105051102024
JURUSAN KONSENTRASI JURNALISTIK FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H./2011 M.
ANALISIS WACANA BAHASA JURNALISTIK RUBRIK EDITORIAL MEDIA INDONESIA EDISI DESEMBER 2000 Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh: NURRINA DESIANI NIM. 105051102024
Pembimbing:
Drs. Jumroni, M.Si NIP: 19630515 199203 1006
JURUSAN KONSENTRASI JURNALISTIK FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2011 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul ANALISIS WACANA BAHASA JURNALISTIK RUBRIK EDITORIAL MEDIA INDONESIA EDISI DESEMBER 2000 telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 23 September 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Islam (S.Kom.I) pada jurusan Konsentrasi Jurnalistik. Ciputat, 01 Desember 2011
Sidang Munaqasyah Ketua Sidang
Sekretaris
Drs. H. Mahmud Jalal, MA
Ade Rina Farida, M.Si
NIP: 19520422 198103 1 002
NIP: 197700513 200701 2 018
Penguji 1
Penguji 2
Dr. H. Arief Subhan, MA NIP: 19660110 199303 1 004
Rubiyanah, MA NIP: 19730822 199803 2 001
Pembimbing
Drs. Jumroni, M.Si NIP : 19630515 199203 1006
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar starta satu (S1) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini, saya telah cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini merupakan hasil plagiat atau hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 2011
Nurrina Desiani
ABSTRAK
Nurrina Desiani 105051102024 Analisis Wacana Bahasa Jurnalistik Rubrik Editorial Media Indonesia Edisi Desember 2000 Media (pers) acap kali disebut sebagai the fourth estate (kekuatan keempat) dalam kehidupan sosial-ekonomi dan politik. Sebagai suatu alat untuk menyampaiakan berita, penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal, ia mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik, karena media juga dapat berkembang menjadi kelompok penekan atas suatu ide atau gagasan, dan bahkan suatu kepentingan atau citra yang ia representasikan untuk diletakkan dalam konteks kehidupan yang lebih empiris. Paska runtuhnya orde baru, pesuratkabaran Indonesia seolah lepas dari keterkungkungan kebebasan dalam mempublikasikan berita. Realitas yang terjadi saat ini adalah media massa seolah mengibarkan bendera setinggi-tingginya yang berslogan bebas dan bertanggung jawab ke ranah publik. Sejauhmana pemberitaan Editorial Media Indonesia, dilihat dari segi waktu yaitu paska orde baru? Dan bagaimana Media Indonesia mengonstruksi atau membahasakan konteks di lapangan ke dalam teks? Sehubungan dengan hal tersebut, sebenarnya media berada pada posisi yang mendua, dalam pengertian bahwa ia dapat memberikan pengaruh-pengaruh “positif” maupun “negatif”. Di dalam masyarakat modern pun, media memainkan peran penting untuk perkembangan politik masyarakatnya. Pers kerap disebut-sebut sebagai salah satu pilar demokrasi. Kebebasan berekspresi dalam menyampaikan informasi yang mengusung slogan kebenaran dan kenyataan, untuk disampaikan ke ranah publik. Ironisnya, realitas yang terjadi di lapangan melihat media massa tak sepenuhnya objektif dan tak adil dalam memberitakan atau mengkritik suatu peristiwa. Tugas media massa bukanlah mengungkap kebenaran, karena kebenaran mutlak itu tidak akan pernah kita ketahui, tetapi menanggalkan semaksimal mungkin bias-bias yang mereka anut selama ini. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berlandaskan pada paradigma kritis. Kritis di sini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kekuasaan disalahgunakan, serta melihat bagaimana pemakaian bahasa pada sebuah teks dijadikan sebagai praktik sosial. Penelitian ini menggandeng analisis wacana model Norman Fairclough yang mengaitkan analisis level teks dan level discourse practice saja. Level teks fokus mengumpulkan data tertulis berupa Editorial Media Indonesia edisi Desember 2000. Level discourse practice (produksi teks dan konsumsi teks) dilakukan dengan mewawancarai mantan penulis editorial yang juga dewan redaksi Media Group dan seorang informan mantan tim penulis editorial.
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT, atas berkah dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Tanpa sadar pula, begitu banyak pihak baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam proses penyelesaian penelitian ini. Maka pada kesempatan ini pula penulis hendak menghaturkan rimbunan rasa terima kasih atas bantuan dan dukungan serta bimbingan kepada sejumlah nama di bawah ini yang telah memberikan sumbangan pikiran, tenaga, waktu, materi dan dukungan semangat serta doa: 1. Terima kasih kepada orang tua penulis, Rachmat Karel Mangente (alm) dan Nani Ramdhani, atas cinta dan doanya yang tak letih mereka panjatkan di sepanjang jalan kehidupan penulis. Spesial untuk alm. Papih, di mana pun berada walau tak bisa berjumpa raga, tapi keyakinanku amat kuat bahwa papih selalu ada untuk menemani jejak langkahku. 2. Terima kasih kepada keluarga besar, Mas Syamsu, Teh Henny, Teh Hetty, A Heddy, A Opik, Teh Kiki dan barisan keponakanku Aryanti, Andini, Arini, Adrian, Nisya, Hawa, Daffa dan Rizky, untuk perhatian dan tegurannya, tawa dan bawelannya sehingga membuat penulis lebih semangat untuk menuntaskan skripsi ini, penulis merasa terhibur.
ii
3. Terima kasih kepada Dr. H Arief Subhan MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah membimbing penulis melalui aset fakultas berupa perpustakaan. 4. Terima kasih kepada Drs. Jumroni, M.Si selaku dosen pembimbing, tak bosan membimbing penulis melewati hambatan baik dari segi penulisan hingga jalannya sebuah penelitian dengan berbekal ilmu pengetahuan. Makasih pak, selalu memberi kepercayaan penuh kepada penulis untuk menuntaskan dengan baik. 5. Terima kasih kepada Dra. Rubiyanah yang selalu menanyai tanpa bosan ”kamu kapan lulusnya, Nur?” Secara tidak langsung, pertanyaan ibu memberi semangat lain kepada saya. Terima kasih juga kepada Ibu Ade, kerja keras ibu untuk mengagendakan jadwal sidang sangatlah luar biasa. 6. Terima kasih kepada seluruh dosen dan staff di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang tidak bisa dirunutkan nama-namanya, berkat semaian kasih sayangnya yang tercurah dalam doa, semangat belajar dan kedewasaan dalam kerangka ilmu pengetahuan, telah mengajarkan penulis menjadi seorang akademisi yang kaya ilmu, baik ilmu yang tertuang dalam teori maupun praktiknya. 7. Terima kasih kepada Mas Djadjat Sudradjat selaku Pemred Lampung Post sekaligus menjadi salah satu Dewan Redaksi Media Indonesia yang sempat meluangkan waktunya untuk berdiskusi. Berbagai pertanyaan yang disodorkan, beliau bersedia menggulirkan jawaban
iii
yang memuaskan serta memberikan informasi kepada peneliti seputar Editorial Media Indonesia tahun 2000. Sehingga penelitian ini menjadi layak dan sempurna. 8. Terima kasih kepada Bang Tonny Schumacer selaku staff sekretaris redaksi Media Indonesia yang banyak membantu penulis dalam menyusuri data-data editorial di ruang keredaksian dan di perpustakaan Media Indonesia. Selalu saja mencuri waktu piketnya dan begadang hingga tak terasa sudah begitu larut. Makasih bang Toni. 9. Terima kasih kepada sahabat dan sahabati di Pergerakan BIRU khususnya penghuni Blue Dormitory 3, Yanti, Cindy, Ana, Uus, Irma. 10. Terima kasih kepada kubu ’senior = akting’ M. Iqbal Islami, Agung Kumojoyo, Budi Purnomo, Zaid Muhammad dan Carman Latief Anshori, selalu memberi dukungan doa dan celotehan yang kadang membuat suasana tegang tapi bermakna. 11. Terima kasih tak terhingga kepada sahabat seperjuangan, sebaik dan setangguh Joya (Dahliana Syahri), Jenong (Juliani) & Zha. Kita pernah medayuh kebersamaan dalam manis dan pahitnya hidup, saat menebal dan menipisnya isi dompet, saat salah satu di antara kita bersedih dan selalu ada akhir yang menyenangkan. Tak pernah habis kata, tawa, suka dan duka tuk membuat cerita hebat tiap harinya. Apapun yang akan dinamakan pada persahabatan kita, ke depan akan selalu ada cerita untuk kalian di hatiku. Ingat selalu mimpi kita, kelak mesti terealisasikan walau hanya satu saja di antara beribu mimpi.
iv
12. Terima kasih untuk kawan-kawan seperjuangan, senasib dan sekelas, Hilma, Liga dan Wilda. Berawal dari semester awal dan berakhir dengan pilihan kita masing-masing, termasuk pilihanku untuk lulus belakangan. Semoga perkawanan kita abadi. 13. Terima kasih kepada Bapak Rulli Nasrullah untuk pinjaman buku yang ditulis oleh Jane Stokes, sangat membantu untuk mempermudah pengerjaan skripsi dan menambah referensi. 14. Terima kasih kepada kawan-kawan Pers Mahasiswa , yakni Teras Dekan, Transparan, Institut, Jarak Pena dan Local Wisdom. 15. Terima kasih kepada koran lokal Tangsel Pos yang telah memberikan kesempatan
waktu
dan
pengertiannya
kepada
penulis
untuk
menuntaskan perjalanan tugas akhir ini yang sempat tertunda. 16. Terima kasih kepada pemilik ’Kosan Dewi Sartika’, Bapak H. Abdullah Sukarta dan isteri, selalu rajin menanyakan kapan penulis lulus dan mendoakan agar penulis menjadi orang sukses. 17. Terima kasih kepada pihak-pihak yang pernah membantu penulis untuk pengeditan tata letak skripsi, Denadon Caniago, Kak Yazid dan Kak Suudi. 18. Terakhir, terima kasih kepada sosok lelaki yang tak ingin saya sebutkan namanya, untuk sodoran pikiran-pikiran kritis serta kesetiaannya menemani penulis hingga akhir penelitian ini. Walaupun selama kita bersama, tak pernah lepas dari konflik hebat yang selalu membuat kita sama-sama sakit dan kecewa, seperti katamu ”itulah
v
siklus hidup, ada suka dan duka, ada tawa dan tangis, ada sukses dan gagal”. Di setiap sudut ruang dan waktunya, kau tak henti menyemai dengan penuh kesabaran agar kelak penulis mampu menjadi pribadi yang cerdas, kuat dan bermoral dalam menggeluti dunia pers yang penuh dengan benturan-benturan idealisme dan perpolitisan. Sengaja kutulis terkahir di nomor 18, sejatinya nomor 18 merupakan identitas kelahiranmu.
Akhir kata, penulis berharap agar penelitian ini selain bermanfaat juga dapat mengundang lahirnya gairah penelitian-penelitian lain yang mengkaji berbagai fenomena baru dalam praktik media massa, khususnya media cetak di Indonesia. Sebab penelitian ini seperti sebuah karya yang baru menawarkan sebutir pengetahuan tentang secuil saja dari rimbunan “kebenaran”.
Ciputat, 23 September 2011
Nurrina Desiani
vi
DAFTAR ISI ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
i ii vii
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Batasan dan Perumusan Masalah C. Tujuan dan Manfaat Penelitian D. Tinjauan Kepustakaan E. Metodologi Penelitian F. Pedoman Penulisan G. Sistematika Penulisan LANDASAN TEORI A. Wacana 1. Pengertian Wacana 2. Wacana Norman Fairclough B. Ruang Lingkup Bahasa Jurnalistik 1. Pengertian Bahasa Jurnalitik 2. Fungsi Bahasa Jurnalistik C. Kebijakam 1. Pengertian Kebijakan 2. Proses Perumusan Kebijakan D. Rubrik E. Editorial 1. Pengertian Editorial 2. Fungsi Editorial 3. Sifat Editorial 4. Tipe Editorial 5. Kode Etik Editorial GAMBARAN UMUM A. Profil Media Indonesia 1. Sejarah Media Indonesia 2. Visi dan misi Media Indonesia B. Profil Editorial Media Indonesia TEMUAN DAN ANALISIS DATA A. Analisis Teks 1. Editorial “Ironi Para Pemimpin” 2. Editorial “Yang Lucu dari Akbar dan Gus Dur” 3. Editorial “Gus Dur Pergi Lagi” 4. Editorial “Arti Sebuah Kunjungan” 5. Editorial “Senayan makin Panas B. Analisis Discourse Practice 1. Produksi Teks
vii
1 9 12 13 15 22 22
24 27 29 30 33 34 37 37 39 42 43 48
50 52 54
56 58 60 62 64 67
2. Konsumsi Teks BAB V
73
PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran
80 82
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
83
viii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Media (pers) acapkali disebut sebagai the fourth estate (kekuatan keempat)
dalam kehidupan sosial-ekonomi dan politik. Sebagai alat untuk menyampaikan berita, penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal, ia mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik, karena media juga dapat berkembang menjadi kelompok penekan atas suatu ide atau gagasan, dan bahkan suatu kepentingan atau citra yang ia representasikan untuk diletakkan dalam konteks kehidupan yang lebih empiris.1 Pengertian senada juga diungkap Gamble dalam buku Abdul Muis tentang media massa, “Media massa adalah bagian komunikasi antar manusia (human communication) dalam arti media merupakan saluran atau sarana untuk memperluas dan memperjauh jangkauan proses penyampaian pesan antar manusia.”2 Media massa identik dengan pers, mengenai hal ini Onong Uchjana Effendy berpendapat, “Dalam perkembangnnya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan sempit. Pers dalam pengertian luas meliputi segala penerbitan, bahkan termasuk media massa elektronik, radio siaran dan 1
Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung: PT Reamaja Rosdakarya, 2006), h. 30-31. 2 Abdul Muis, Kontroversi Sekitar Kebebasan Pers: Bunga Rampai Masalah Komunikasi, Jurnalistik (Jakarta: PT. Mario Grafika, 1996), h. 12.
1
2
televisi siaran. Sedangkan pers dalam pengertian sempit hanya terbatas dalam media cetak, yakni surat kabar, majalah dan buletin kantor berita.”3 Menurut Eriyanto, proses media mendapatkan dan merangkum dalam berita karena berkaitan dengan politik pemberitaan media, di antaranya adalah strategi media dalam meliput peristiwa, memilih dan menampilkan fakta serta dengan cara apa fakta itu disajikan, secara langsung atau tidak langsung, berpengaruh dalam mengonstruksi peristiwa.4 Sehubungan dengan hal tersebut, sebenarnya media berada pada posisi yang mendua, dalam pengertian bahwa ia dapat memberikan pengaruh-pengaruh “positif” maupun “negatif” kepada publik, sehingga publik juga dituntut untuk tidak langsung mengonsumsi informasi yang disajikan secara mentah-mentah, perlu dicerna dahulu keakuratan informasi atau berita yang disampaikan media massa. Di dalam masyarakat modern pun, media memainkan peran penting untuk perkembangan politik masyarakatnya. Pers kerap disebut-sebut sebagai salah satu pilar demokrasi. Kebebasan berekspresi dan menyampaikan informasi yang mengusung slogan kebenaran dan kenyataan, untuk disampaikan ke ranah publik. Ironisnya, realitas yang terjadi di lapangan melihat media massa tak sepenuhnya objektif, tidak adil, dan tidak netral dalam memberitakan atau mengritik suatu peristiwa, seperti yang sering diklaim selama ini. Tugas media
3
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h. 146. 4 Ibid., h. 40.
3
massa bukanlah menyingkap kebenaran, karena kebenaran mutlak itu tidak akan pernah kita ketahui, tetapi menanggalkan semaksimal mungkin bias-bias yang mereka anut selama ini. Memang persoalannya adalah bahwa media tidak bisa bersifat netral. Misalnya atribut-atribut tertentu dari media dapat mengondisikan pesan-pesan yang dikomunikasikan. Sebagaimana dikatakan oleh Marshall McLuhan; “The medium is the message,” medium itu sendiri merupakan pesan. “apaapa yang dikatakan” ditentukan secara mendalam oleh medianya. Terlebih lagi jika disadari bahwa di balik pesan-pesan yang disalurkan lewat media niscaya tersembunyi berbagai mitos. Dan, mitos sebagai sistem signifikasi, mengandung muatan ideologis yang berpihak kepada kepentingan mereka yang berkuasa.”5 Memori kita tentunya masih merekam peristiwa era Orde Baru pasca Peristiwa Malari 1974, ketika rezim Soeharto sangat kuat, pers dalam hal ini media cetak mendapat tekanan atau represi sedemikian rupa, sehingga media cetak kala itu hanya murni sebagai corong penguasa. 6 Otoritarianisme di era Orde Baru, media massa seolah-olah dibungkam untuk memberikan informasi dan memberitakan suatu peristiwa yang tidak ada kaitannya dengan pemerintahan saat itu. Pers Indonesia selama 32 tahun (1965-19987) terpasung. Media massa pada era Orde Baru lebih banyak memberitakan hal-hal yang mendukung pemerintah, dan sistem pers saat itu menganut sistem pers otoriter.7 Keadaan berubah ketika
5
Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung: PT Reamaja Rosdakarya, 2006), h. 37. 6 M Antonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi (Yogyakarta: Gitanyali, 2004), h. 178. 7 Hikmat Kusumaningrat dan Purnama, Jurnalistik Teori dan Praktik (Bandung: Rosdakarya, 2005), h. 36.
4
rezim Soeharto jatuh paska Mei 1998, sistem politik yang sebelumnya sangat represif menjadi demikian longgar, berita media cetak pun menjadi leluasa. Pers tentu saja memanfaatkan kebebasan pers yang selama pemerintah Orde Baru tidak pernah didapatkan. Ibarat kuda lepas dari kandangnya, mereka lari dengan sangat cepatnya. Namun, kebebasan pers yang selama ini didapatkan dianggap sudah pada tempatnya. Coba bandingkan dengan kebebasan pers paska Orde Baru yang sangat liar. Pada waktu itu, pers berada pada titik kulminasi kebebasan tertinggi yang bebas membertitakan apa saja, meskipun tanpa fakta sekalipun. Saat ini, sejalan dengan tingkat kedewasaan pengelola media massa, pers mengartikan kebebasan masih dalam tempat yang wajar. Ia tetap hati-hati dalam meliput pelbagai persoalan di masyarakat, meskipun tentu dengan kekurangan yang melekat di sana sini.8 Reformasi yang mengakhiri pemerintahan Orde Baru adalah tonggak penting bagi perjuangan kebebasan itu. Ketika Reformasi tahun 1998 digulirkan di Indonesia, pers nasional bangkit dari keterpurukannya dan kran kebebasan pers dibuka lagi yang ditandai dengan berlakunya UU No. 40 Tahun 1999. Berbagai kendala yang membuat pers nasional “terpasung”, dilepaskan. Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang berlaku di era Orde Baru tidak diperlukan lagi, siapapun dan kapanpun dapat menerbitkan penerbitan pers tanpa persyaratan yang rumit. Euforia reformasi pun hampir masuk, baik birokrasi pemerintahan maupun
8
Nurudin, Jurnalisme Masa Kini (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 294-295.
5
masyarakat mengedepankan nuansa demokratisasi. Namun, dengan maksud menjunjung asas demokrasi, sering terjadi ide-ide yang pemunculannya acap kali melahirkan dampak yang merusak norma-norma dan etika. Bahkan cenderung mengabaikan kaidah profesionalisme, termasuk bidang profesi kewartawanan dan pers pada umumnya. Kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berdasarkan
prinsip-prinsip
demokrasi,
keadilan
dan
supermasi
hukum.
Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi manusia yaitu right to know atau hak untuk tahu, berpendapat dan mendapat informasi. Yang dimaksud dengan kemerdekaan pers yang dijamin sebagai hak asasi manusia adalah pers yang bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin. Untuk itu lahirnya kebebasan pers di era Reformasi ini tentunya menjadi parameter dari segi waktu, di mana pers, khususnya media cetak menjadi lebih berani dalam mengamati dan mengritik birokrasi pemerintahan. Tampak dari pengemasan sebuah bahasa dalam menginterpretasikan pesan yang disampaikan dalam kaitannya dengan konteks secara keseluruhan. Menurut ungkapan Lorens Bagus (1990), sebagaimana dikutip Alex Sobur; ”Bahasa mempunyai kekuatan yang begitu dahsyat dan lebih tajam dari sebuah pisau. Dalam filsafat bahasa dikatakan bahwa orang mencipta realitas dan menatanya lewat bahasa. Bahasa mengangkat ke permukaan hal yang tersembunyi sehingga menjadi kenyataan. Tetapi bahasa yang
6
sama dapat dipakai menghancurkan realitas orang lain, bahasa menjadi tiran.”9 Sudah jamak dan tak asing lagi sebuah surat kabar nasional menyediakan kolom khusus pada halaman tertentu yang menyajikan rubrikasi pendapat atau opini, di antaranya tajuk rencana, surat pembaca, tulisan atau artikel dari tokoh penulis atau ilmuwan. Pada kolom tersebut, segala pendapat, kritik, pikiran orangperorangan baik mengatasnamakan pribadi maupun institusi, digulirkan secara bebas dalam praktik penggunaan bahasanya, bahkan ada yang menggunakan bahasa sindiran (satire).
Editorial sebenarnya bukanlah kolom yang paling dicari pembaca. Ketika berhadapan dengan media cetak, misalnya saja surat kabar, orang cenderung akan terfokus pada informasi utama. Jarang sekali, kalau boleh dikatakan demikian, ditemukan orang yang langsung mencari dan membaca kolom editorial.
Fakta tersebut yang mungkin menyebabkan kebanyakan media cetak tidak menaruh editorial pada halaman muka, tapi bukan berarti tidak ada sama sekali. Dalam format surat kabar skala nasional, Media Indonesia tercatat sebagai salah satu dari segelintir surat kabar yang memilih meletakkan kolom editorialnya pada halaman depan.
Kolom editorial memang tidak selalu hadir dengan nama editorial. Masing-masing media cenderung memberi nama yang berbeda sebagai ciri khas medianya. Ada yang menyebutnya sebagai "Dari Kami" milik majalah Intisari,
9
Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung: PT Reamaja Rosdakarya, 2006), h. 16.
7
"Dari Meja Redaksi" kepunyaan buletin Pilar. Sementara Kompas menyebutnya "Tajuk Rencana", sedangkan Seputar Indonesia "Tajuk". Adapun Media Indonesia dan Berita GKMI termasuk yang masih memakai nama "Editorial" pada kolom tersebut.
Di Media Indonesia meyediakan kolom tajuk rencana yang disebut dengan Editorial dan diletakkan di halaman muka tepatnya pojok kanan atas. Rubrik Editorial Media Indonesia ini merupakan evolusi dari rubrik Selamat Pagi Indonesia di Harian Prioritas yang harus dibredel karena telah berani berterusterang menyatakan pendapat, berjuang mengemukakan pendapat dan berpikir dengan sangat bebas. Tidak gampang memang menemukan gaya tajuk rencana yang dikemas sedemikian rupa agar tetap masuk ke ruang publik. Di tengah kultur sopan santun, kritik dibungkus dalam kata-kata santun. Tajuk rencana merupakan pendapat institusi mengenai isu yang dibuat berdasarkan
rapat
redaksi,
yang
perlu
digarisbawahi
adalah
tidak
mengatasnamakan pribadi wartawan. Tajuk rencana pada dasarnya adalah roh bagi sebuah surat kabar. Pada tajuk rencana itulah pandangan, pikiran, dan kritisme redaksi pengelola terhadap beragam peristiwa dikonstruksi untuk menghasilkan sebuah titik pandang dan kemudian ditampilkan ke tengah-tengah publik, karena itu tidak disertai nama penulisnya. Tajuk rencana menurut Jacob Oetama adalah “Suara lembaga koran tersebut, maka sebenarnya tajuk rencana mestilah tidak bersifat “personal” melainkan “institusional”. Diusahakan agar tajuk rencana itu mengungkapkan
8
fakta, baru kemudian komentar atas fakta tersebut. Ada dimensi etis, ada dimensi kemanusiaan. Tidak sekadar semua asal dibicarakan, tetapi antara dibicarakan dan juga dilaksanakan.”10 Tajuk Rencana adalah opini berisi pendapat dan sikap resmi suatu media sebagai institusi penerbitan terhadap persoalan aktual, fenomenal, dan atau kontroversial yang berkembang dalam masyarakat. 11 Seperti yang diungkapkan William L. Rivers, Byrce Mc Intryre dan Alison Work; “Editorial adalah pikiran sebuah institusi yang diuji di depan sidang pendapat umum. Editorial juga adalah penyajian fakta dan opini yang menafsirkan berita-berita yang penting dan mempengaruhi pendapat umum.”12 Karakter atau identitas sebuah surat kabar terletak pada tajuk rencana. Tajuk rencana pers papan atas atau pers berkualitas misalnya, memiliki ciri antara lain senantiasa hati-hati, normatif, cenderung konservatif, dan menghindari pendekatan kritik yang bersifat telanjang atau tembak langsung dalam ulasanulasannya.13 Terus terang, Tegas, dan Lugas adalah karakter paling menonjol dari Editorial Media Indonesia. Editorial Media Indonesia memesona sebagai naskah, dan juga memesona sebagai pemikiran. Di situlah letak kekuatan Editorial Media
10
Jacob Oetama, Perspektif Pers Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), h. 137-138. AS Haris Sumadiria, Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis Profesional (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005), h. 2. 12 William L Rivers, Bryce Mc Intyre, dan Alison Work, Penyunting Dedy Djamaluddin Malik, Editorial, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), h. 5. 13 Jacob Otama, Perspektif Pers Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), h. 81. 11
9
Indonesia. Begitu berani penulisan dan gaya bahasa yang digunakan oleh Media Indonesia, khususnya pada rubrik editorial, sehingga tidak jarang menuai kontroversi dari berbagai kalangan. Berangkat dari latar belakang masalah di atas, peneliti tertarik untuk menyajikan sebuah skripsi yang berjudul “Analisis Wacana Bahasa Rubrik Editorial Media Indonesia Edisi Desember 2000.”
B.
Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah Agar pembahasan lebih terarah dan fokus, maka peneliti memberi batasan penelitian terhadap bahasa jurnalistik Editorial Media Indonesia edisi Desember 2000. Peneliti meneliti Editorial Media Indonesia pada setiap minggunya di bulan Desember 2000, terdapat lima editorial yang dijadikan sebagai data utama penelitian. Alasan peneliti memilih kelima sampel tersebut adalah dilihat dari segi isi, sejauhmana bahasa yang dikemas dengan sangat lugas, berani dan menarik oleh editorial dalam menuliskan sosok Abdurrahman Wahid. Minggu pertama diambil pada edisi Minggu, 3 Desember 2000. Minggu kedua diambil pada edisi Rabu, 6 Desember 2000. Minggu ketiga diambil pada edisi Jumat, 15 Desember 2000. Minggu keempat
10
diambil pada edisi Rabu, 20 Desember 2000. Terakhir, minggu kelima diambil pada edisi Sabtu, 30 Desember 2000. Sejauh mana penggunaan dan penempatan kaidah bahasa jurnalistik pada sebuah produk jurnalistik non berita, pada penelitian ini adalah Editorial Media Indonesia. Titik perhatian besar penelitian ini lebih menelusuri bagian judul editorial dan isi editorial dari aspek kebahasaan, yaitu bahasa jurnalistik. Selain itu agar penelitian ini mendapatkan hasil yang optimal dan akurat, peneliti menggunakan analisis wacana model Norman Fairclough. Fairclough mengaitkan analisis level teks (tingkat analisis mikro) dengan analisis level discourse practice (tingkat analisis messo) yang menjelaskan kaitan tentang produksi teks dan konsumsi teks. Peneliti tidak memasuki wilayah sociocultural practice (tingkat analisis makro) yang ada pada wilayah analisis Norman Fairclough secara utuh atau oleh Fairclough disebut ”dimensi wacana”. Pada tingkat mikro (teks), peneliti akan meneliti pemakaian bahasa pada kelima Editorial Media Indonesia edisi Desember 2000. Penelitian pada level teks dilihat secara keseluruhan, yaitu judul dan isi ( pendahuluan, pembahasan, dan penutup) editorial Media Indonesia. Di tingkat messo, peneliti akan meneliti pada dua level yaitu produksi teks dan konsumsi teks. Level produksi teks, peneliti melakukan wawancara dengan salah satu Tim Penulis Editorial
11
Media Indonesia yang juga sebagai Dewan Redaksi Media Group, Djadjat Sudradjat. Wawancara dilakukan sebagai salah satu bentuk penelusuran data dan fakta. Sedangkan pada level konsumsi teks, peneliti melakukan wawancara dengan seorang informan yang dipilih berdasarkan teknik sampling purposive. Lebih spesifik lagi, informan bernama Edy A Effendi dipilih sesuai dengan ketepatan relasi antara judul penelitian dengan kredibilitas serta kapabilitas informan itu sendiri.
2. Rumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka timbul rumusan masalah yang akan dibahas antara lain: a. Bagaimana proses pemilihan tema
Editorial Media Indonesia?
Bagaimana pula alur produksi teks pada Editorial Media Indonesia? Apakah penulisan Editorial Media Indonesia berpijak pada kaidah bahasa jurnalistik dan etika bahasa? Adakah ideologi secara institusi maupun pribadi yang melatari penulisan editorial?
12
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Tujuan Akademis: penelitian ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar strata 1 (S-1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. b. Tujuan Praktis: untuk mengetahui penulisan editorial dan mengetahui bagaimana penerapan bahasa jurnalistik di Media Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan institusi media massa dalam menyeleksi suatu isu yang berkaitan dengan penulisan non berita (opini redaksi). Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara teks dan konteks dalam penulisan Editorial Media Indonesia dan menelusuri adakah pesan yang tersembunyi (latent). 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Akademis: Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah referensi bagi ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan pada bidang jurnalistik. b. Manfaat
Praktis:
untuk
mengetahui,
mempelajari
serta
menganalisa bagaimana sebuah produk jurnalistik non berita diperoleh, diolah dan disampaikan kepada khalayak pembaca media massa cetak, di penelitian ini adalah Media Indonesia.
13
Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi dan evaluasi bagi institusi media khususnya Media Indonesia, terkait dengan isu-isu sensitif yang berhubungan dengan personalitas tokoh politik
D.
Tinjauan Kepustakaan Peneliti melakukan observasi ke beberapa perpustakaan, di antaranya
adalah Perpustakaan Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan IISIP Jakarta. Di perpustakaan tersebut peneliti mendapatkan penulisan skripsi yang meneliti bahasa jurnalistik, Abdurrahman Wahid, dan Media Indonesia. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh beberapa peneliti yang meneliti penggunaan bahasa jurnalistik, salah satunya adalah penelitian yang dilakukan Irvan, Mahasiswa IISIP Jurusan Jurnalistik. Skripsinya berjudul Konstruksi Realitas Pemberitaan Presiden Abdurrahman Wahid Dalam Wacana Surat Kabar Republika Edisi 7 Mei 2000-3 Februari 2001 (Analisis Wacana Kasus BULOG). Penelitian lainnya dilakukan oleh Santi Irawati, Mahasiswi IISIP Jurusan Jurnalistik. Skripsinya berjudul Penggunaan Kaidah Bahasa Jurnalistik Indonesia Dilihat Dari Kata Mubazir, Kata Asing, dan Kerancuan Pada Headline Surat Kabar Harian Media Indonesia Edisi Januari-Februari 2009. Perbedaan penelitian yang peneliti lakukan dengan peneliti sebelumnya adalah pada peneliti pertama penelitiannya pada media cetak yang berbeda yaitu
14
Republika. Walaupun meneliti subjek yang sama (Abdurrahman Wahid), tetapi objek yang diteliti berbeda yaitu memfokuskan pada satu kasus (BULOG) tahun 2000-2001. Sedangkan penelitian yang peneliti lakukan memilih Media Indonesia dan instrumen penelitiannya adalah editorial edisi Desember 2000. Perbedaan dengan peneliti kedua terdapat pada fokus objek penelitian. Pada peneliti kedua objek penelitiannya adalah headline, sedangkan objek penelitian yang peneliti pilih adalah editorial. Peneliti kedua tidak menggunakan spesifikasi analisis, berbeda dengan peneliti yang menggandeng analisis wacana Norman Fairclough. Peneliti yang ketiga adalah sama-sama berstatus sebagai mahasiswa di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, FIDKOM, Komunikasi dan Penyiaran Islam, Ruslan. Skripsinya berjudul Analisis Wacana Islam Liberal dalam Majalah Syir’ah Edisi Oktober 2005. Perbedaan yang pertama antara peneliti dengan peneliti ketiga ini adalah fokus penelitian yg dilakukannya pada Islam Liberal, sedangkan peneliti lebih kepada Editorial Media Indonesia. Perbedaan kedua, walaupun sama-sama menggunakan analisis wacana Norman Fairclough, tetapi pada peneliti ketiga tidak adanya penelitian di tingkat bahasa jurnalistik. Adapun tinjauan yang dilakukan pada peneliti keempat yaitu salah satu mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, FIDKOM, Konsentrasi jurnalistik, Aris Takomala. Skripsinya berjudul Analisis Bahasa Jurnalistik Berita Utama Surat Kabar Republika Edisi Desember 2008.
15
Perbedaan yang terlihat antara peneliti dengan peneliti keempat adalah subjek penelitiannya adalah surat kabar Republika edisi Desember 2008. Objek penelitiannya adalah berita utama surat kabar Republika edisi Desember 2008. Penelitiannya juga lebih memfokuskan pada ciri bahasa jurnalitik yang komunikatif, spesifik, hemat kata, jelas makna, dan tidak mubazir serta tidak klise. Perbedaan terakhir masih pada salah satu mahasiswi dari universitas, fakultas dan jurusan yang sama dengan peneliti ketiga, yaitu Asih Amerti. Judul skripsinya adalah Analisis Wacana Editorial Koran Tempo tentang Serangan Israel ke Gaza (edisi 28 Desember 2008-18 Januari 2009). Pada penelitiannya, subjek yang digunakan adalah serangan Israel ke Gaza. Objek penelitiannya adalah Editorial Koran Tempo yang memuat tentang serangan Israel ke Gaza edisi 27 Desember 2008-18 Januari 2009. Peneliti terakhir menggunakan pisau analisis wacana model Teun van Dijk dan teori konstruksi realitas Peter L Berger.
E.
Metodologi Penelitian 1
Paradigma Penelitian Dalam tradisi keilmuan, seorang peneliti harus memilih salah satu
paradigma
(paradigm)
yang
hendak
digunakan
dalam
penelitiannya. Menurut pemikiran Guba dan Lincoln sebagaimana dikutip Dedy Nur Hidayat;
16
”Paradigma ilmu pengetahuan (komunikasi) terbagi menjadi tiga, (1) paradigma klasik (classical paradigm) yang terdiri dari positivist dan postpositivist, (2) paradigma kritis (critical paradigm) dan (3) paradigma konstruktivisme (constructivism paradigm).14 Karena penelitian ini menggunakan pisau Analisis Wacana, maka penelitian ini termasuk dalam kategori paradigma kritis. Paradigma kritis terhadap wacana sebagai tipe analisis yang terutama mempelajari bagaimana kekuasaan disalahgunakan, atau bagaimana dominasi serta ketidakadilan dijalankan dan direproduksi melalui teks dalam sebuah konteks sosial politik. Salah satu kriteria yang berlaku bagi sebuah studi kritis adalah sifat holistik dan kontekstual. Kualitas suatu analisis wacana kritis akan selalu dinilai dari segi kemampuan untuk menempatkan teks dalam konteksnya yang utuh, holistik, melalui pertautan antara analisis pada jenjang teks dengan analisis terhadap konteks pada jenjang-jenjang yang lebih tinggi. Mengambil pemikiran Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis melihat wacana pada pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan, sebagai bentuk dari praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis di
14
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat (Jakarta: Kencana, 2007), h. 237.
17
antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya.15 Fairclough
menyempurnakan
pengertian
wacana
secara
komprehensif dari pandangan kritis. Menurutnya, wacana harus dipandang secara simultan.16 Fairclough juga mengemukakan pokokpokok pikiran kritis yaitu setiap institusi sosial berisi “cara-cara berbicara” dan “cara-cara melihat” yang dalam terminologi Fairclough disebut “bentuk ideologis-diskursif” (BID). Biasanya hanya ada satu BID yang dominan, sementara itu BID yang lain berada pada posisi tersubordinasi dan terhegemoni. Setiap institusi sosial memiliki norma-norma wacana yang dilekatkan dalam norma-norma ideologis dan disimbolkan oleh norma-norma ideologisnya. Subjek institusi dikonstruksikan menurut norma-norma sebuah BID dimana posisi subjek yang mendukung ideologi itu mungkin saja tidak sadar.17 Sedangkan paradigma kritis menurut Eriyanto, tidak dipahami semata sebagai studi bahasa. Pada akhirnya, analisis wacana memang menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis, tetapi bahasa yang dianalisis di sini agak berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian linguistik
tradisional.
menggambarkan
semata
Bahasa dari
dianalisis
aspek
bukan
kebahasaan,
dengan
tetapi
juga
menghubungkan dengan konteks. Konteks di sini berarti bahasa itu 15
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 7. Yoce Aliah Darma, Analisis Wacana Kritis (Bandung: Yrama Widya, 2009), h. 69. 17 Ibid., h. 71. 16
18
dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan.18 2. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial di masyarakat. Objek analisis dalam pendekatan kualitatif adalah makna dari gejala-gejala sosial dan budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai kategorisasi tertentu.19 Pendekatan kualitatif tidak menggunakan prosedur statistik dalam pendekatannya, melainkan dengan berbagai macam sarana. Sarana tersebut antara lain dengan wawancara, pengamatan, atau dapat juga melalui dokumen, naskah, buku, dan lain-lain.20 Seperti yang diungkapkan Crasswell; “Beberapa asumsi dalam pendekatan kualitatif yaitu pertama, peneliti kualitatif lebih memerhatikan proses daripada hasil. Kedua, peneliti kualitatif lebih memerhatikan interpretasi. Ketiga, peneliti kualitatif merupakan alat utama dalam mengumpulkan data dan analisis data serta peneliti kualitatif harus terjun langsung ke lapangan, melakukan observasi partisipasi di lapangan. Keempat, peneliti kualitatif menggambarkan bahwa peneliti terlibat dalam proses
18
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 7. Ibid., h. 302. 20 Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Penerjemah Muhammad Shodia dan Imam Muttaqin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 4. 19
19
penelitian, interpretasi data, dan pencapaian pemahaman melalui kata atau gambar.21 Dalam analisisnya, analisis wacana lebih bersifat kualitatif, karena analisis wacana lebih menekankan pemaknaan teks daripada unit penjumlahan kategori seperti pada analisi isi kuantitatif. Unsur penting dalam analisis wacana adalah kepaduan (coherence) dan kesatuan (unity) serta penafsiran peneliti.22 3. Subjek dan Objek Penelitian Subjek yang diteliti adalah Media Indonesia. Sedangkan objek penelitiannya adalah Editorial Media Indonesia Edisi Desember 2000, spesifikasi terhadap bahasa jurnalistik editorial beserta gaya penulisan editorial terhadap personalitas Abdurrahman Wahid. 4. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti yaitu data primer dan sekunder. Data primer merupakan sasaran utama dalam analisis, sedangkan data sekunder diperlukan guna mempertajam analisis data primer sekaligus dapat dijadikan bahan pendukung ataupun pembanding. a. Data primer (Primary-Sources), yaitu data tekstual yang diperoleh berupa berkas Editorial Media Indonesia Edisi Desember 2000.
21
Ibid., h. 303. Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung: Rosdakarya, 2001), h. 68. 22
20
b. Data sekunder (Secondary-Sources), yaitu dengan mencari referensi berupa buku-buku, makalah, jurnal dan tulisan lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Pada penelitian ini yang menjadi data sekunder adalah buku terbitan LP3ES dengan judul Politik Editorial Media Indonesia, Analisis Tajuk Rencana1998-2000. c. Observasi, untuk mendapatkan data primer pada penelitian, peneliti melakukan observasi sebagai bukti suatu pengujian. Observasi ini dilakukan guna menjadi salah satu teknik pengumpulan data yang menjadi bahan pijakan, yaitu mengumpulkan dan menyeleksi penulisan Editorial Media Indonesia edisi Desember 2000. d.
Studi Pustaka, peneliti juga melakukan pencarian ke beberapa sumbersumber referensi yang terkait dengan studi kasus penelitian ini, baik berupa buku, penelitian ilmiah maupun data dari internet.
e. Wawancara, teknik ini dilakukan untuk menambah data dan menyinergikan data, dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan kepada dewan redaksi atau wartawan yang mengelola Editorial Media Indonesia. Wawancara dilakukan kepada narasumber terpercaya yakni Djadjat Sudradjat sebagai salah satu Tim Penulis Editorial Media Indonesia, kini sebagai Dewan Redaksi Media Group. 5. Teknik Analisis Data Pada penelitian ini, data yang sudah diperoleh dengan menggunakan teknik pengumpulan data di atas diteliti dengan menggunakan
pisau
Analisis Wacana. Sehingga akan terlihat bagaimana Editorial Media
21
Indonesia mengemas sebuah produk jurnalistik non-berita (opini redaksi). Analisis wacana tidak hanya mengetahui bagaimana pesan disampaikan melalui kata, frasa, kalimat, metafora macam apa suatu berita disampaikan. Analisis wacana lebih melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, Analisis Wacana juga lebih melihat pada makna yang tersembunyi dari suatu teks. Pendekatan yang akan digunakan dalam Analisis Wacana ini menggunakan model Norman Fairclough. Titik perhatian besar dari Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Model Analisis Wacana ini dibagi ke dalam tiga struktur besar, yakni: teks, discourse practice dan sociocultural practice.23 Discourse practice merupakan struktur yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Teks diproduksi dengan cara spesifik dengan rutinitas dan pola kerja yang terstruktur.24 Dalam penelitian ini analisis discourse practice dilakukan dengan: pertama, produksi teks dilakukan melalui wawancara mendalam dengan Dewan Redaksi Media Group yaitu Djadjat Sudradjat. Kedua, konsumsi teks dilihat dari bagaimana publik merespon penulisan opini institusi dalam Editorial Media Indonesia Edisi Desember 2000. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap seorang informan
23
Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung: Rosdakarya, 2001), h. 161. 24 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 287.
22
mantan Penulis Editorial dari unsur wartawan Media Indonesia, kini sebagai Pemimpin Redaksi Tabloid Kabar Lain dan Portal Berita On line http://kabarlain.com, Edy A Effendi.25
F.
Pedoman Penulisan Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku ”Pedoman Penulisan Karya
Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi)” yang ditulis oleh Hamid Nasuhi, Ismatu Ropi, Oman Fathurahman, M. Syairozi Dimyati, Netty Hartati dan Syopiansyah Jaya Putra. diterbitkan oleh CeQDA ( Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. buku ini merupakan cetakan pertama pada Januari 2007.
G.
Sistematika Penulisan BAB I diawali dengan latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. BAB II berisi tentang tinjauan kepustakaan mengenai analisis wacana model Norman Fairclough, ruang lingkup bahasa jurnalistik, pengertian rubrik, ruang lingkup editorial atau tajuk rencana.
25
Ibid., h. 320-322.
23
BAB III membahas sejarah Media Indonesia, visi dan misi, struktur keredaksian, profil pembaca dan profil Editorial. BAB IV membahas tentang temuan Analisis Wacana Editorial Media Indonesia Edisi Desember 2000, dan lebih dominan memberitakan mengenai personalitas Abdurrahman Wahid. Temuan data dianalisis dengan menggunakan Analisis Wacana model Norman Fairclough dan akan dibuat hasil penelitian yang mengkritisi penulisan Editorial Media Indonesia. BAB V PENUTUP membahas kesimpulan dan saran.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Analisis Wacana 1. Pengertian Analisis Wacana Análisis wacana merupakan bentuk análisis relatif baru yang berkembang terutama sejak tahun 1970-an, seiring dengan studi mengenai struktur, fungsi, dan proses dari suatu teks.1 Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Meskipun ada gradasi yang besar dari berbagai definisi, titik singgungnya adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa atau pemakaian bahasa. Dalam analisis wacana yang menjadi sorotan utama adalah representasi, bagaimana seseorang atau segala sesuatu itu tidak tampil sendiri, tetapi ditampilkan melalui mediasi bahasa. Baik tertulis, suara, maupun gambar. Bahasa di sini tidak dimaknai sebagai sesuatu yang netral yang bisa mentransmisikan dan menghadirkan realitas seperti keadaan aslinya. Bahasa di sini bukan dimaknai sebagai sesuatu yang netral, tetapi sudah tercelup oleh ideologi yang membawa muatan kekuasaan tertentu. Bahasa adalah suatu praktik sosial, melalui mana seseorang atau kelompok
1
Dennis McQuail, Mass Communication Theory: An Introduction (London: Sage Publication, third edition, 1995), h. 276-277
24
25
ditampilkan dan didefinisikan. Lewat bahasa, seseorang ditampilkan secara baik dan buruk untuk ditampilkan kepada masyarakat.2 Analisis wacana berbeda dengan apa yang dilakukan oleh análisis isi kuantitatif. 3 Dasar dari analisis wacana adalah interpretasi, karena analisis wacana merupakan bagian dari metode interpretatif yang mengandalkan interpretasi dan penafsiran peneliti. Oleh karena itu, dalam proses kerjanya, analisis wacana tidak memerlukan lembar koding yang mengambil beberapa ítem atau turunan dari konsep tertentu. Meskipun ada panduan apa yang bisa dilihat dan diamati dari suatu teks, pada prinsipnya semua tergantung pada interpretasi peneliti. Isi dipandang bukan sesuatu yang mempunyai arti yang tepat, di mana peneliti dan khalayak mempunyai penafsiran yang sama atas suatu teks. Justru yang terjadi sebaliknya, setiap teks pada dasarnya bisa dimaknai secara berbeda, dapat ditafsirkan secara beraneka ragam. Perbedaan ini terutama didasarkan pada yang satu merupakan bagian dari tradisi penelitian empiris, sedangkan yang satu interpretatif. Kedua, analisis wacana justru berpretensi memfokuskan pada pesan yang tersembunyi (laten). Banyak sekali teks komunikasi disampaikan secara implisit. Makna suatu pesan dengan demikian tidak dapat hanya ditafsirkan sebagai apa yang tampak nyata dalam teks, tetapi harus dianalis
2 3
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 343 Ibid., h. 337.
26
dari makna yang tersembunyi. Pretensi analisis wacana adalah pada muatan, nuansa, dan makna yang laten dalam teks media. 4 Ketiga, analisis wacana bukan hanya bergerak dalam level makro (isi dari suatu teks) tetapi juga pada level mikro yang menyusun suatu teks, seperti kata, kalimat, ekspresi, dan retoris. Dalam analisis wacana, bukan hanya kata atau aspek isinya yangg dapat dikodekan tetapi struktur wacana yang kompleks pun dapat dianalisis pada berbagai tingkatan deskripsi. Bahkan makna kalimat dan relasi koheren antarkalimat pun dapat dipelajari. Dalam pendekatan ini, pengandaian yang digunakan untuk memeriksa makna yang tersembunyi yang dimiliki wacana juga dapat dipelajari dan dibedah. Kita juga dapat melihat bagaimana suatu peristiwa dapat digambarkan dengan sedikit atau banyak detil dalam teks. Intinya, semua elemen yang membentuk teks baik yang terlihat secara eksplisit maupun tersamar dapat dibedakan dengan analisis wacana. Keempat, analisis wacana tidak berpretensi melakukan generalisasi dengan beberapa asumsi.5 Foucault mengatakan wacana sebagai bidang dari semua pernyataan (statement), kadang sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang-kadang sebagai praktik regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan (Mills, 1997: 8). Sementara Eriyanto (2005: 5) mendefinisikan
4
Peter Carsen, “Textual Analysis of Fictional Media Content”, dalam Klaus Bruhn Jensen dan Michael Jankoviscki, A Handbook of Qualitative Methodologies for Mass Communication Research (London and New York: Routledge, 1993), h. 123. 5 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 339-340.
27
análisis wacana sebagai suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. Wacana merupakan praktik sosial (mengonstruksi realitas) yang menyebabkan sebuah hubungan dialektis antara peristiwa yang diwacanakan dengan konteks sosial,budaya, ideologi tertentu. Di sini bahasa dipandang sebagai faktor penting untuk merepresentasikan maksud si pembuat wacana.6 Dalam analisisnya, analisis wacana lebih bersifat kualitatif, karena analisis wacana lebih menekankan pemaknaan teks daripada unit penjumlahan kategori seperti pada analisi isi kuantitatif. Unsur penting dalam analisis wacana adalah kepaduan (coherence) dan kesatuan (unity) serta penafsiran peneliti.7
2. Kerangka Analisis Wacana Model Norman Fairclough Pendekatan yang akan digunakan dalam analisis wacana ini menggunakan model Norman Fairclough, dengan melihat berbagai perbandingan antar model pada analisis wacana. Titik perhatian besar dari Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Model analisis wacana ini dibagi ke dalam tiga struktur besar, yakni: teks, discourse practice dan sociocultural practice. Dalam model Fairclough, teks yang dianalisis secara linguistik dengan melihat kosakata semantik
6
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cetekan ketiga, 2008), h. 260. 7 Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung: Rosdakarya, 2001), h. 68.
28
dan tata kalimat. Termasuk di dalamnya koherensi dan kohesivitas, bagaimana antarkata atau antarkalimat tersebut digabung sehingga membentuk sebuah pengertian.8 Intinya adalah teks bukan hanya menunjukkan bagaimana suatu objek digambarkan tetapi juga bagaimana hubungan antarobjek didefinisikan. Di sini dilakukan analisis linguistik pada struktur teks untuk menjelaskan teks tersebut, yang meliputi kosa kata, kalimat, proposisi, makna kalimat dan lainnya, untuk mempermudah analisis bisa digunakan metode analisis pembingkaian.9 Discourse practice merupakan struktur yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Teks diproduksi dengan cara spesifik dengan rutinitas dan pola kerja yang terstruktur.10 Praktik wacana merupakan dimensi yang berkaitan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Sebuah teks pada dasarnya dihasilkan lewat proses produksi, seperti pola kerja, bagan kerja, dan rutinitas dalam menghasilkan teks. Demikian pula dengan konsumsi teks dapat berbeda dalam konteks yang berbeda. Konsumsi dapat dihasilkan secara personal atau kolektif.11 Pada struktur sociocultural practice didasarkan pada asumsi bahwa konteks sosial yang ada di luar media mempengaruhi bagaimana wacana yang muncul dalam media. Sociocultural practice ini memang tidak berhubungan langsung dengan produksi teks, tetapi ia menentukan
8
Alex Sobur, Analisi Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung: Rosdakarya, 2001), h. 161. 9 Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, h. 263. 10 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 287. 11 Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, h. 263.
29
bagaimana teks diproduksi dan dipahami. Fairclough membuat tiga level analisis pada sociocultural practice: level situasional, institusional dan sosial.
12
Praktik sosial budaya melihat bangunan wacana yang
berkembang dalam masyarakat, di mana dimensi ini melihat konteks di luar teks, antara lain sosial, budaya, atau situasi saat wacana itu dibuat.13
B. Ruang Lingkup Bahasa Jurnalistik Penggunaan bahasa jurnalistik dalam surat kabar, tabloid, buletin, majalah, radio, televisi, atau media on line, tidak bisa bersifat tiba-tiba atau hadir begitu saja. Bahasa jurnalistik suatu media dipilih melalui proses perencanaan dan bahkan hasil kajian yang sangat panjang. Setiap media biasanya memiliki buku pedoman atau panduan masing-masing dalam penetapan bahasa jurnalistik. Buku pedoman tersebut harus berpijak pada empat faktor: filosofi media, visi media, misi media dan kebijakan redaksional.14
1. Pengertian Bahasa Jurnalistik a. Bahasa yang tunduk kepada kaidah dan unsur-unsur pokok yang terdapat dan melekat dalam definisi jurnalistik. Susunan kalimat
12
Ibid., h. 320-322. Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, h. 263. 14 AS Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 21. 13
30
jurnalistik yang baik akan menggunakan kata-kata yang pas untuk menggambarkan suasana serta isi pesannya.15 b. Bahasa yang digunakan oleh wartawan dinamakan bahasa pers atau bahasa jurnalistik. Bahasa pers ialah salah satu ragam bahasa yang memiliki sifat-sifat khas yaitu: singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas dan menarik16
Dengan berpijak pada uraian di atas, pengertian bahasa jurnalistik dapat didefinisikan sebagai bahasa yang digunakan oleh wartawan, redaktur, atau pengelola media massa dalam menyusun dan menyajikan, memuat, menyiarkan dan menayangkan berita serta laporan peristiwa atau pernyataan yang benar, aktual, penting dan menarik dengan tujuan agar mudah dipahami isinya dan cepat ditangkap maknanya.
2. Fungsi Bahasa Jurnalistik Karena sifat khalayak anonim dan heterogen, maka bahasa jurnalistik yang dipilih tentu harus memenuhi asas anonim heterogenitas. Dasar dan motif pertumbuhan bahasa itu dalam garis besarnya adalah: a. Alat untuk menyatakan ekspresi, bahasa menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam dada kita.
15
AM. Dewabrata, Kalimat Jurnalistik, Panduan Mencermati Penulisan Berita (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), h. 23. 16 Rosihan Anwar, Bahasa Jurnalistik dan Komposisi (Jakarta: Pradnya Paramitta, 1991), h. 1.
31
b. Alat komunikasi, dengan komunikasi kita dapat menyampaikan semua yang kita rasakan, pikirkan, dan kita ketahui kepada orang lain. c. Alat
mengadakan
memungkinkan mempelajari
integrasi
manusia
dan
dan
untuk
mengambil
adaptasi
sosial,
memanfaatkan bagian
dalam
bahasa
pengalaman, pengalaman-
pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan orang lain. d. Alat mengadakan kontrol sosial, semua kegiatan sosial akan berjalan dengan baik karena dapat diatur dengan mempergunakan bahasa.17 e. Fungsi pemersatu, menghubungkan semua penutur berbagai dialek bahasa, dan mempersatukan mereka menjadi satu masyarakat bahasa, serta meningkatkan proses identifikasi penutur dengan masyarakat itu. f. Fungsi pemberi kekhasan, bahasa baku memperkuat perasaan kepribadian nasional masyarakat bahasa yang bersangkutan. Yang jelas bahasa Indonesia berbeda dari bahasa Melayu. g. Fungsi pembawa kewibawaan, pemilikan bahasa baku membawa serta wibawa atau prestise. Fungsi pembawa wibawa bersangkutan dengan usaha orang mencapai kesederajatan dengan peradaban lain yang dikagumi lewat perolehan bahasa baku sendiri.
17
AS Haris Sumadiria, Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis Profesional (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005), h. 8-9.
32
h. Fungsi sebagai kerangka acuan, bagi pemakaian bahasa dengan adanya norma dan kaidah (yang dikodifikasikan) yang jelas. Norma dan kaidah itu menjadi tolok ukur bagi benar tidaknya pemakaian bahasa seorang atau golongan.18 i. Fungsi instrumental, menggunakan bahasa untuk memperoleh sesuatu. j. Fungsi regulatori, menggunakan bahasa untuk mengontrol perilaku orang lain. k. Fungsi interaksional, menggunakan bahasa untuk menciptakan interaksi dengan orang lain. l. Fungsi personal, menggunakan bahasa untuk mengungkapkan perasaan dan makna. m. Fungsi heuristik, menggunakan bahasa untuk belajar dan menemukan makna. n. Fungsi imajinatif, menggunakan bahasa untuk menciptakan dunia imajinasi. o. Fungsi
representasional,
menggunakan
bahasa
untuk
menyampaikan informasi.19
Sebagai pegangan pokok, bahasa jurnalistik hanyalah salah satu ragam bahasa, bahasa jurnalistik merujuk dan tunduk kepada kaidah bahasa baku,
18
Hasan Alwi, Soedjono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa, Anton M Moeliono, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), h. 14-16. 19 Furqanul Azies dan A Chaedar Alwasiah, Pengajaran Bahasa Komunikatif , Teori dan Praktek (Bandung: PT Rosdakarya, 2000), h. 17-18.
33
dan bahasa jurnalistik tidak dimaksudkan sebagai suatu bentuk bahasa baru yang sifatnya berbeda apalagi menggantikan bahasa-bahasa yang lain, termasuk dan terutama bahasa nasional, bahasa Indonesia. Jika dikatakan dan disimpulkan fungsi bahasa seluas samudera, maka seluas itu juga fungsi yang diemban bahasa jurnalistik.
C. Kebijakan 1. Pengertian Kebijakan secara umum diartikan sebagai kearifan mengelola. Dalam ilmu-ilmu sosial, kebijakan diartikan sebagai dasar-dasar haluan untuk menentukan langkah-langkah atau tindakan-tindakan dalam mencapai suatu tujuan.20 Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kebijakan adalah rangkaian proses dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan dan cara dalam bertindak; pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen usaha untuk mencapai sasaran. Ada tiga kategori latar pembuatan kebijakan, yaitu:21 a. Isu-isu kebijakan pokok dihubungkan dengan masalah sosial, masa kini, masa lalu, kecenderungan masalah itu di masa yang akan datang.
20
Gunawan Wirardi, Ensiklopedia Nasional Indonesia (Jakarta: PT. Cipta Adi Pusaka, 1990), h. 260. 21 Lukman Ali, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 640.
34
b. Proses bagaimana pembuatan kebijakan dilakukan terutama yang berkenaan
dengan
identifikasi
isu-isu
kebijakan.
Proses
pembuatan kebijakan melibatkan beberapa elemen itu.22 c. Proses saluran komunikasi dalam proses penyampaian informasi mengenai isu-isu kebijakan, baik vertikal, horizontal, maupun diagonal. d. Gerbang-gerbang kritis dan titik pusat keputusan dimana isu-isu berproses. e. Mekanisme kebijakan secara tipikal dalam hubungannya dengan isu kebijakan. f. Sifat-sifat isu kebijakan. g. Kecenderungan-kecenderungan
kontinuasi
dan
dekontinuasi
produk kebijakan yang menjadi isu utama.
2. Proses Perumusan Kebijakan Dalam proses perumusan kebijakan ada beberapa tahap yang dilakukan yaitu: a. Identifikasi dan formulasi kebijakan b. Penentuan alternatif kebijakan untuk pemecahan masalah c. Pengkajian atas analisis kelayakan masing-masing alternatif kebijakan
22
Dannim Sudarman, Pengantar Studi Penelitian Kebijakan (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 72.
35
d. Pelaksanaan kebijakan dengan menentukan standar kinerja minimal e. Evaluasi keberhasilan dengan ukuran-ukuran kuantitatif seperti: keefisienan, keuntungan dan lain-lain.23 Sudirman Tebba menjelaskan kebijakan redaksional juga merupakan sikap redaksi suatu media massa, terutama media cetak, terhadap masalah aktual yang sedang berkembang, yang biasanya dituangkan dalam bentuk tajuk rencana. Kebijakan redaksional itu penting untuk menyikapi suatu peristiwa karena dalam dunia pemberitaan yang penting bukan saja peristiwa, tetapi juga sikap terhadap peristiwa itu sendiri. Kalau suatu media massa tidak memiliki kebijakan redaksi, maka dapat dipastikan beritanya tidak akan konsisten, karena ia tidak mempunyai pendirian seperti keranjang sampah. Selain itu akan terlihat pada berita yang berubah-ubah, bahkan saling bertentangan dari hari ke hari. Misalnya hari ini ia menyiarkan pendapat yang mendukung kenaikan harga BBM, tetapi besoknya menyiarkan pendapat yang menolak kenaikan harga BBM, dan besoknya lagi menyiarkan pendapat yang tidak tegas tentang setuju atau menolak kenaikan harga BBM, dan seterusnya. Media massa yang beritanya tidak konsisten itu tidak akan mendapat kredibilitas yang tinggi di mata khalayak. Padahal besar tidaknya pengaruh suatu media tidak semata-mata pada jumlah oplahnya atau banyaknya
23
Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru (Jakarta: Kalam Indonesia, 2005), h. 73.
36
pendengar atau penonton, tetapi juga kredibilitasnya. Selain itu peristiwanya menarik dan penting yang terjadi sehari-hari sangat banyak. Sehingga tidak mungkin semuanya disiarkan. Karena itu, harus disaring dan untuk menyaringnya harus ada dasar pertimbangan yang ditetapkan bersama oleh pengelola media massa yang menyiarkan berita. Karena itu, disiarkan tidaknya suatu peristiwa atau pertanyaan, tetapi juga karena sesuai tidaknya dengan kebijakan redaksi suatu lembaga media massa yang menyiarkan peristiwa itu. Dasar pertimbangan suatu lembaga media massa untuk menyiarkan atau tidaknya menyiarkan peristiwa pertama-tama ditentukan oleh sifatnya media massa yang bersangkutan. Media massa itu ada yang bersifat umum dan ada yang khusus. Media massa yang bersifat khusus misalnya, media massa ekonomi, hanya menyiarkan berita ekonomi dan hal-hal yang berkaitan dengan masalah ekonomi, media massa politik hanya menyiarkan berita politik begitupun seterusnya. Kemudian kalau media massa itu bersifat umum, maka ia pada prinsipnya dapat menyiarkan setiap peristiwa yang menarik dan panjang. Tetapi karena peristiwa yang menarik itu banyak, maka belum bisa menyiarkan semuanya sehingga harus ditentukan dasar pertimbangannya untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan suatu peristiwa. Biasanya ada beberapa dasar pertimbangan untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan peristiwa, dasar pertimbangan yang bersifat ideologis,
37
politis dan bisnis. Pertimbangan ideologis suatu media massa biasanya ditentukan oleh latar belakang agama maupun nilai-nilai yang dihayati.24
D. Rubrik Pengertian Rubrik terbagi ke dalam beberapa definisi, yaitu: a. Kepala karangan (ruangan tetap) dalam surat kabar, majalah, dan sebagainya.25 b. Ruangan untuk karangan dalam surat kabar atau majalah.26
E. Editorial 1. Pengertian Editorial Mengutip pengertian editorial yang ditulis AS Haris Sumadiria dalam bukunya” Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis Profesional, editorial adalah opini berisi pendapat dan sikap resmi suatu media sebagai institusi penerbitan terhadap persoalan aktual, fenomenal, dan atau kontroversial yang berkembang dalam masyarakat.27 William L. Rivers, Byrce Mc Intryre dan Alison Work mengatakan “editorial adalah pikiran sebuah institusi yang diuji di depan sidang pendapat
24
Ibid.,h. 150-152. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1186. 26 Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern (Jakarta: Pustaka Amani), h. 365. 27 AS Haris Sumadiria, Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis Profesional ( Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005), h. 2. 25
38
umum. Editorial juga adalah penyajian fakta dan opini yang menafsirkan berita-berita yang penting dan mempengaruhi pendapat umum.28 Menurut Lyle Spencer, “tajuk rencana merupakan pernyataan mengenai fakta dan opini secara singkat, logis, menarik ditinjau dari segi penulisan dan bertujuan untuk memengaruhi pendapat atau memberikan interpretasi terhadap suatu berita yang menonjol sebegitu rupa sehingga kebanyakan pembaca surat kabar akan menyimak pentingnya arti berita yang ditajukkan tadi.”29 Pendapat lain yang dkemukakan oleh Jacob Oetama, tajuk rencana diartikan sebagai suara lembaga koran tersebut, maka sebenarnya tajuk rencana mestilah tidak bersifat “personal” melainkan “institusional”. Diusahakan agar tajuk rencana itu mengungkapkan fakta, baru kemudian komentar atas fakta tersebut. Ada dimensi etis, ada dimensi kemanusiaan. Tidak sekadar semua asal dibicarakan, tetapi antar dibicarakan dan juga dilaksanakan.”30 Karena merupakan suara lembaga maka tajuk rencana tidak ditulis dengan menyantumkan nama penulisnya, seperti halnya menulis berita atau features. Idealnya tajuk rencana adalah pekerjaan, dan hasil dari pemikiran kolektif dari segenap awak media. Jadi proses sebelum penulisan tajuk rencana, terlebih dahulu diadakan rapat redaksi yang dihadiri oleh pemimpin redaksi, redaktur pelaksana serta segenap jajaran redaktur yang berkompeten,
28
William L Rivers, Bryce Mc Intyre, dan Alison Work, Penyunting Dedy Djamaluddin Malik, Editorial (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), h. 5. 29 Djuroto, Manajemen Penerbitan Pers (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), h. 78. 30 Jacob Oetama, Perspektif Pers Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), h. 137-138.
39
untuk menentukan sikap bersama terhadap suatu permasalahan krusial yang sedang berkembang di masyarakat atau dalam kebijakan pemerintahan. Maka setelah tercapai pokok- pokok pikiran, dituangkanlah dalam sikap yang kemudian dirangkum oleh awak redaksi yang telah ditunjuk dalam rapat. Dalam Koran harian bisanya tajuk rencana ditulis secara bergantian, namun semangat isinya tetap mecerminkan suara bersama setiap jajaran redakturnya. Dalam proses ini reporter amat jarang dilibatkan, karena dinilai dari segi pengalaman serta tanggung jawabnya yang terbatas.
2. Fungsi Editorial Untuk
memperjelas
terhadap
suatu
peristiwa
dengan
cara
menggunakan latar belakangnya. Tajuk rencana ini merupakan tempat pembaca dapat mengharapkan opini dari redaksi, juga dimana pembaca merasa sadar bahwa mereka sedang membaca apa yang menjadi pendapat daripada surat kabar terhadap suatu peristiwa.31 Adapun fungsi lain dari editorial adalah sebagai berikut: a. Memberikan fungsi Seringkali begitu banyak fakta yang diperoleh seorang wartawan atau redaktur, namun fakta tersebut tidak bisa dimasukkan ke dalam berita karena keterbatasan halaman, karena bertentangan dengan objektivitas berita, karena itu dimasukkan ke dalam tajuk rencana.
31
Teguh Meinanda, Pengantar Komunikasi dan Jurnalistik (Bandung: Armico, 1981), h. 47.
40
b. Menerangkan Apabila suatu informasi begitu sulit untuk diterangkan tanpa memasukkan interpretasi dan opini, maka untuk menerangkan sebuah gejala atau kecenderungan bisa dipakai tajuk rencana. c. Menafsirkan sebuah kejadian Mungkin melalui tajuk rencana sebuah kecenderungan bisa diramalkan bagaimana terjadi di masa mendatang. Ulasan editor yang tajam tentang hal ini akan membantu pembaca. Umpanya paket deregulasi. Bisa diterangkan kemungkinan-kemungkinannya dalam tajuk rencana, pembaca dapat memahaminya. d. Membujuk masyarakat Seringkali dalam tajuk rencana, editor berkeinginan agar pembacanya bersikap setuju atau pro terhadap suatu hal, atau bersikap sealiran dengan surat kabar tersebut. e.
Mendebat atau menentang suatu hal Misalnya
surat
kabar
tersebut
berkeberatan
tentang
kecenderungan saat ini. Bila dia menentang hal tersebut lewat berita, tidak bisa, karena akan mengorbankan aspek objektivitasnya. Sebab itu, tajuk rencana menjadi sarana yang tepat untuk melawan arus pendapat umum tersebut.
41
Menurut William Pinkerton dari Harvard University, Amerika Serikat, mencakup empat hal: a. Menjelaskan berita Tajuk rencana menjelaskan kejadian-kejadian penting kepada para pembaca. Tajuk rencana berfungsi sebagai guru, menerangkan bagaimana suatu kejadian tertentu berlangsung. Faktor-faktor apa yang diperhitungkan untuk menghasilkan
perubahan dalam kebijakan
pemerintah, dengan cara bagaimana kebijakan baru akan memengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi suatu masyarakat. b. Menjelaskan latar belakang Untuk memperlihatkan kelanjutan suatu peristiwa penting tajuk rencana dapat menggambarkan kejadian tersebut dengan latar belakang sejarah, yaitu menghubungkannya dengan suatu yang telah terjadi sebelumnya. Dengan menganalisis sejarah sekarang, tajuk rencana dapat memperlihatkan keterkaitannya dengan masalah-masalah umum sekarang. Tajuk rencana dapat menunjukkan hubungan antara berbagai peristiwa yang terpisah yang meliputi politik, ekonomi atau sosial. c. Meramalkan masa depan Suatu tajuk rencana kadang-kadang menyajikan analisis yang melewati batas berbagai peristiwa sekarang dengan tujuan meramalkan sesuatu yang akan terjadi pada masa mendatang.
42
d. Menyampaikan pertimbangan moral Menurut tradisi lama, para penulis tajuk rencana bertugas mempertahankan
kata
hati
masyarakat.
Mereka
diharapkan
mempertahankan isu-isu moral dan mempertahankan posisi mereka. Jadi, para penulis tajuk rencana akan berurusan dengan pertimbangan moral yang biasa disebut dengan ”pertimbangan nilai.”32 Idealnya, fungsi tajuk adalah membentuk dan mengarahkan opini publik; menerjemahkan berita mutakhir kepada pembaca dan menjelaskan maknanya.33
3. Sifat Editorial a. Krusial dan ditulis secara berkala, tergantung dari jenis terbitan medianya bisa harian (daily), atau mingguan (weekly), atau dua mingguan (biweekly) dan bulanan (monthly). b. Isinya menyikapi situasi yang berkembang di masyarakat luas baik itu aspek sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, hukum, pemerintahan, atau olah raga bahkan entertainment, tergantung jenis liputan medianya. c. Memiliki karakter atu konsistensi yang teratur, kepada para pembacanya terkait sikap dari media massa yang menulis tajuk rencana.
32
AS Haris Sumadiria, Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis Profesional , h. 82-85. 33 Ibid., h. 155.
43
d. Terkait erat dengan policy media atau kebijakan media yang bersangkutan. Karena setiap media mempunyai perbedaan iklim tumbuh dan berkembang dalam kepentingan yang beragam, yang menaungi media tersebut.34
4. Tipe-tipe Editorial Editorial ini dapat ditulis dengan alasan yang telah terjadi, mengajak orang untuk berbuat sesuatu, atau mendukung perubahan dan mengajak pembaca mengikuti suatu sudut pandang. Beberapa tipe editorial ini, khususnya yang mengkritik atau mengidentifikasi problem, juga memuat satu atau beberapa usulan solusi. Pengetahuan tentang semua jenis editorial ini penting bagi penulis editorial. Kekuatan pers, seperti yang diekspresikan lewat editorial, dapat dipakai untuk mendukung atau mengkritik. a. Editorial Advokasi Editorial yang menginterprestasikan, menjelaskan, membujuk dan mendukung perubahan biasanya dihubungkan dengan suatu berita penting yang ada di dalam koran tersebut. Editorial ini akan memberitahu pembacanya mengapa kejadian-kejadian itu penting. Ia juga bisa menjelaskan signifikansi ide atau kondisi tertentu. Dalam beberapa kasus, editorial mendefinisikan term dan isu, mengidentifikasi sosok dan faktor dan menerangkan latar belakang, historis, kultural,
34
www.kabarindonesia.com diakses pada 18 Februari 2011.
44
geografis, dan kondisi lainnya. Usaha penulis untuk membujuk pembaca menerima interpretasi tertentu atau kesimpulan tertentu bisa jadi dilakukan dengan halus dan terselubung. Editorial
yang
menginterpretasikan,
menjelaskan
atau
membujuk juga dapat mengkaji motif orang yang terkait dengan isu atau kejadian yang didiskusikan berdasarkan konsekuensi dari berbagai tindakan. Melalui interpretasi berita atau penjelasan gagasan atau kondisi, staf koran membujuk pembaca agar setuju dengan pandangan staf tersebut. Editorial dapat mempromosikan atau mendukung perubahan. Fakta disajikan dengan jelas, dan alasannnya disamapaikan secara logis kepada pembaca agar editorial berhasil mencapai tujuannya. Editorial mungkin juga menawarkan solusi dan rekomendasi aksi. Akan tetapi, tidak semua nada editorial mesti positif atau berupa kritik komprehensif. Editorial yang menginterpretasikan, menjelaskan, dan mengajak dinamakan editorial advokasi. b. Editorial Pemecahan Masalah Editorial solusi problem adalah tipe lain yang lazim dijumpai di koran-koran. Terkadang dinamakan ”editorial kritik”, tipe editorial ini dipakai saat staf editorial ingin menarik perhatian pada suatu problem atau ingin mengkritik tindakan seseorang. Karena koran perlu bertindak secara bertanggung jawab, maka fakta harus disajikan untuk mendukung kritik atau untuk menjelaskan sebab-sebab masalah, dan
45
solusi harus ditawarkan. Proses tiga langkah ini mirip dengan metode ilmiah: pernyataan problem, penyajian bukti dan kesimpulan dengan usulan solusi. Kritik harus dikemukakan dengan hati-hati. Dalam editorial, adalah fair untuk mengkritik tindakan seseorang jika tindakan mereka berdampak pada orang lain; adalah tidak fair mengkritik karakteristik fisik seseorang atau tindakan seseorang yang murni pribadi. c. Editorial Penghargaan Editorial penghargaan adalah salah satu pilihan bagi penulis editorial. Tetapi koran juga punya pilihan lain; koran dapat memuji orang atau kelompok itu secara langsung lewat editorial. Ini akan membuat orang atau kelompok itu menjadi tenar. Biasanya, editorial penghargaan akan memuji seseorang atau satu organisasi yang melakukan sesuatu yang luar biasa. Dalam editorial penghargaan, alasan pujian harus dijelaskan dan dampak dari prestasi itu juga harus dimuat. Editorial ini tidak lazim kecuali orang yang berprestasi itu benar-benar memengaruhi banyak orang. d. Komentar Editorial Singkat Keringkasan punya manfaat tersendiri, dan editorial satu atau dua paragraf bisa jadi efektif. Bentuk ini paling berguna jika hanya satu poin atau sedikit bukti latar belakang informasi yang perlu diberikan. Terkadang editorial semacam ini punya judul kolom, seperti ”The Second Editorial.”
46
e. Editorial Pendek Tipe editorial lain, adalah editorial ringkas. Ia berbeda dalam hal panjang dan penataannya. Seperti ditunjukkan namanya, editorial ini ringkas, dari satu kata sampai beberapa kalimat saja. Biasanya editorial pendek dikelompokkan bersama sebagai heading kolom dan mencakup pujian atau kritik. f. Editorial Kartun Mungkin bentuk yang paling ringkas adalah editorial kartun. Dalam beberapa kata atau satu-dua kalimat, kartunis dapat melakukan hal-hal yang dilakukan penulis editorial-mengomentari, mengkritik, menginterpretasikan, membujuk dan menghibur. Kartun dan bentuk seni lainnya merupakan komentar favorit bagi banyak pembaca.35
Berdasarkan isinya, editorial bisa dibedakan atas empat jenis.
a. Editorial yang menjelaskan atau menginterpretasikan sesuatu.
Model ini sering digunakan untuk menjelaskan cara media tersebut menutupi subjek/topik yang sensitif atau kontroversional. Terkadang model ini juga dipakai untuk menjelaskan situasi-situasi baru yang berlangsung di seputar media tersebut. Misalnya, editorial pada surat kabar sekolah akan menjelaskan peraturan-peraturan baru.
35
Tom E. Rolnicki dkk, Alih Bahasa oleh Tri Wibowo, Pengantar Dasar Jurnalsme: Scholastic Journaism (Jakarta: Prenda Media Group, 2008), h. 135-144.
47
b. Editorial yang mengkritik.
Editorial ini menghadirkan kritik terhadap tindakan, keputusan, maupun situasi yang sifatnya membangun sembari menyediakan solusi bagi
masalah
yang
diidentifikasikan.
Tujuan
praktisnya
ialah
mendorong pembaca untuk melihat masalah, bukan solusinya.
c. Editorial yang persuasif.
Berbeda dengan tipe sebelumnya, editorial model ini bertujuan untuk menyoroti solusi, bukan masalah. Umumnya, pembaca (atau institusi tertentu, biasanya pemerintah) akan didorong untuk mengambil tindakan spesifik yang nyata terhadap suatu masalah. Pernyataan politik sering kali menjadi contoh editorial persuasif yang baik.
d. Editorial yang memuji.
Ini tipe editorial yang paling jarang ditemui ketimbang dua model sebelumnya. Jenis editorial ini biasanya akan memuji orangorang atau organisasi-organisasi tertentu karena telah menghasilkan sesuatu yang sangat baik.36
36
www.pelitaku.sabda.org diakses pada 18 Februari 2011.
48
5. Kode Etik Tajuk atau Editorial Para penulis tajuk, baik perorangan maupun kolektif, mewujudkan tanggung jawabnya selaku pembentuk opini publik ditunjukkan oleh bunyi kode etik yang disusun dan disetujui Konperensi Nasional para Penulis Tajuk di Amerika Serikat; Mukadimahnya menyatakan bahwa penulis tajuk seperti halnya ilmuwan, di manapun ia berada, harus menganut kebenaran, apabila setia pada karya dan masyarakatnya. Butir-butir pokok dari kode etik itu adalah: a. Penulis tajuk harus selalu menyajikan fakta dengan jujur dan lengkap. b. Dia harus mengambil konklusi secara objektif dari fakta tertentu dengan didasarkan pada bobot buktinya serta konsep yang telah dipertimbangkan masak-masak. c. Dia tidak akan pernah dimotivasi oleh kepentingan pribadi d. Dia harus menyadari bahwa dirinya tidak sempurna, dan harus mengutarakannya kepada mereka yang berbeda pendapat dengan melalui cara yang pantas dalam bentuk karangan bagi publiknya. e. Dia harus meninjau kembali konklusinya untuk menyatakan keyakinannya secara benar dan tidak akan menulis apa pun yang melawan kata hatinya. Apabila halaman tajuknya menghendaki banyak pendapat, maka bisa diisi dengan himpunan tajuk-tajuk atau karangan perorangan. Karenanya opini yang benar-benar hasil pemikiran pribadinya akan selalu dihormati.
49
f. Dia
hendaknya
mendorong
para
koleganya
agar
memupuk
kesetiaannya pada integritas profesional yang bermutu tinggi. 37
37
Kustadi Suhandang, Pengantar Jurnalistik Seputar Organisasi, Produk, dan Kode Etik (Bandung: Nuansa, 2004), h. 152-153.
BAB III GAMBARAN UMUM HARIAN MEDIA INDONESIA
A. Profil Media Indonesia 1. Sejarah Media Indonesia Media Indonesia pertama kali diterbitkan pada 19 Januari 1970. Sebagai surat kabar umum pada masa itu, Media Indonesia baru bisa terbit 4 halaman dengan tiras yang amat terbatas. Berkantor di Jl. MT. Haryono, Jakarta, di situlah sejarah panjang Media Indonesia berawal. Lembaga yang menerbitkan Media Indonesia adalah Yayasan Warta Indonesia. Tahun 1976, surat kabar ini kemudian berkembang menjadi 8 halaman. Sementara itu perkembangan regulasi di bidang pers dan penerbitan terjadi. Salah satunya adalah perubahan SIT (Surat Izin Terbit) menjadi SIUPP (Surat Izin Penerbitan Pers). Karena perubahan ini penerbitan dihadapkan pada realitas bahwa pers tidak semata menanggung beban idealnya tapi juga harus tumbuh sebagai badan usaha. Dengan kesadaran untuk terus maju, pada tahun 1988, Teuku Yousli Syah selaku pendiri Media Indonesia bergandeng dengan Surya Paloh, mantan pimpinan Surat Kabar Prioritas. Dengan kerjasama ini, dua kekuatan bersatu: kekuatan pengalaman bergandeng dengan kekuatan modal dan semangat. Maka pada tersebut lahirlah Media Indonesia dengan manajemen baru di bawah PT. Citra Media Nusa Purnama. Surya Paloh sebagai Direktur Utama, sedangkan Teuku Yousli Syah sebagai Pemimpin Umum, dan Pemimpin Perusahaan dipegang oleh Lestary 50
51
Luhur. Sementara itu, markas usaha dan redaksi dipindahkan ke Jl. Gondangdia Lama Np. 46, Jakarta. Awal tahun 1995, bertepatan dengan usianya ke-25, Media Indonesia menempati kantor barunya di Komplek Delta Kedoya, Jl. Pilar Mas Raya Kav. AD, Kedoya Selatan, Jakarta Barat. Di gedung baru ini semua kegiatan di bawah satu atap, redaksi, usaha, percetakan, pusat dokumentasi perpustakaan, iklan, sirkulasi dan distribusi serta fasilitas penunjang karyawan. Sejarah panjang serta motto ”Pembawa Suara Rakyat” yang dimiliki oleh Media Indonesia bukan menjadi motto kosong dan sia-sia, tetapi menjadi spirit pegangan sampai kapan pun. Sejak Media Indonesia ditangani oleh tim manajemen baru di bawah payung PT. Citra Media Nusa Purnama, banyak pertanyaan tentang apa yang menjadi visi harian ini di dalam industri pers nasional. Terjun pertama kali dalam industri pers tahun 1986 dengan menerbitkan Harian Prioritas. Namun Prioritas memang kurang bernasib baik, karena belum lama menjadi koran alternatif bangsa, SIUPP-nya dibatalkan Departemen Penerangan. Antara Prioritas dengan Media
Indonesia
memang
ada
benang
merah,
yaitu
dalam
karakter
kebangsaannya. Surya Paloh sebagai penerbit Harian Umum Media Indonesia, tetap gigih berjuang mempertahankan kebebasan pers. Wujud kegigihan ini ditunjukkan dengan mengajukan kasus penutupan Harian Prioritas ke Pengadilan, bahkan menuntut Menteri Penerangan untuk mencabut Peraturan Menteri No. 01/84 yang dirasakan membelenggu kebebasan pers di tanah air.
52
Tahun 1997, Djafar H. Assegaff yang baru menyelesaikan tugasnya sebagai Duta Besar di Vietnam dan sebagai wartawan yang pernah memimpin beberapa harian dan majalah, serta menjabat sebagai Wakil Pemimpin Umum LKBN Antara, oleh Surya Paloh dipercayai untuk memimpin Harian Media Indonesia sebagai Pemimpin Redaksi. Saat ini Djafar H. Assegaff dipercaya sebagai Corporate Advisor. Para pimpinan Media Indonesia saat ini adalah: Direktur Utama dijabat oleh Rahni Lowhur Schad, Direktur Pemberitaan dijabat oleh Saur Hutabarat dan di bidang usaha dipimpin oleh Alexander Stefanus selaku Direktur Pengembangan Bisnis.
2. Visi dan Misi Media Indonesia VISI: “menjadi surat kabar independen yang inovatif, lugas, terpercaya, dan paling berpengaruh.” URAIAN VISI: 1. Independen, yaitu menjaga sikap non partisipan, dimana karyawan tidak menjadi pengurus partai politik, menolak segala bentuk pemberian yang dapat mempengaruhi objektivitas, dan mempunyai keberanian bersikap beda. 2. Inovatif, yaitu terus menerus menyempurnakan dan mengembangkan kemampuan teknologi dan sumber daya manusia, serta secara terus-
53
menerus
mengembangkan
rubrik,
halaman
dan
penyempurnaan
perwajahan. 3. Lugas, yaitu menggunakan bahasa yang terus terang dan langsung. 4. Terpercaya, yaitu selalu melakukan check dan re-check, meliputi berita dari dua pihak dan seimbang, serta selalu melakukan investigasi dan pendalaman. 5. Paling berpengaruh, yaitu dibaca oleh para pengambil keputusan, memiliki kualitas editorial yang dapat mempengaruhi pengambil keputusan,
mampu
membangun
kemampuan
antisipatif,
mampu
membangun network narasumber, dan memiliki pemasaran/distribusi yang andal.
MISI: 1. Menyajikan informasi terpercaya secara nasional dan regional serta berpengaruh bagi pengambil keputusan. 2. Mempertajam isi yang relevan untuk pengembangan pasar. 3. Membangun sumber daya manusia dan manajemen yang professional dan unggul, mampu mengembangkan perusahaan penerbitan yang sehat dan menguntungkan.
54
B. Profil Editorial Media Indonesia Dalam
jagad
jurnalisme
Indonesia,
Editorial
Media
Indonesia
sesungguhnya merupakan sebuah fenomena. Tampil dengan kelugasan naratif dan semantiknya, editorial ini termasuk yang banyak memperoleh perhatian dari publik pembaca Indonesia. Apalagi setelah setiap hari dibacakan di Metro-TV, daya jangkau editorial tersebut semakin ekspansif. Review Editorial Media Indonesia dalam rentang waktu terbit dari tahun 1998-2001 diseleksi guna menemukan satuan-satuan tema yang memiliki dimensi kekuatan sejarah.1 Spirit Editorial Media Indonesia dapat dikatakan sebagai penerus rubrik “Selamat Pagi Indonesia” (SPI) dalam harian ekonomi Prioritas, sebuah harian di Jakarta yang terbit perdana pada 2 Mei 1986 dan diberangus pemerintah Orde Baru pada 29 Juni 1987.2 Trio yang memimpin harian Prioritas, Surya Paloh sebagai Pemimpin Umum, Panda Nababan sebagai Wakil Pemimpin Umum, dan Nasruddin Hars sebagai Pemimpin Redaksi, memutuskan untuk membuka rubrik SPI dengan menampilkannya di halaman depan. Ditulis dengan bahasa yang lugas dan penuh humor, SPI dirancang sebagai rubrik yang menampung keluh kesah publik berdasarkan fakta-fakta keras tentang tercabiknya rasionalitas sosial.3
1
Ashadi Siregar, Politik Editorial Media Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2002), h. 1-2.
2
Usamah Hisyam dkk, Editorial Kehidupan, Surya Paloh (Jakarta: Yayasan Dharmapena Nusantara, 2001), h. 374, 384-385.
3
Tjipta Lesmana, Tragedi Prioritas (Jakarta: Penerbit Erwin-Rika Pers, 1988), h. 30.
55
Editorial Media Indonesia merupakan evolusi dari rubrik Selamat Pagi Indonesia di harian Prioritas yang harus dibredel karena telah berani berterus terang, adalah perjuangan kebebasan berpendapat dan berpikir. Terus terang, tegas, dan lugas adalah karakter paling menonjol dari editorial Media Indonesia. Editorial, dengan demikian, boleh disebut sebagai ideologi pembebasan. Manusia Indonesia harus bebas dari rasa takut dan bebas untuk berterus terang. Karena dua syarat ini mutlak bagi tumbuhnya akal sehat dan kecerdasan.4 Dalam formatnya kini, Editorial Media Indonesia tampil sebagai kelanjutan dari obsesi Surya Paloh yang jejaknya ada di SPI itu. Termasuk dalam hal kelugasan bahasa dan logika pada Editorial yang merupakan manifestasi dari obsesi Surya Paloh.
4
Ashadi Siregar, Politik Editorial Media Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2002), h. xii.
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA
Pokok analisis pada Editorial Media Indonesia edisi Desember tahun 2000 didominasi oleh pemberitaan yang fokus membahas Abdurrahman Wahid (Gus Dur), baik yang terkandung pada judul editorial maupun isi Editorial Media Indonesia yang terkumpulkan sebanyak lima editorial utama. Rubrik yang akan dianalisis adalah rubrik Editorial edisi Desember tahun 2000, antara lain edisi 3 Desember yang berjudul “Ironi para Pemimpin”, edisi 6 Desember yang berjudul “Yang Lucu dari Akbar dan Gus Dur”, edisi 15 Desember yang berjudul “Gus Dur Pergi Lagi”, edisi 20 Desember yang berjudul “Arti Sebuah Kunjungan”, dan edisi 30 Desember yang berjudul “ Senayan makin Panas”.
A. Analisis Teks Editorial 1 Judul Tanggal
: Ironi para Pemimpin : 3 Desember 2000
Analisis Di tingkat judul terlihat bagaimana Editorial Media Indonesia memilih ketiga kata tersebut dengan sangat singkat, lugas, dan menarik untuk ditampilkan menjadi sebuah judul. Secara kebahasaan, judul editorial ini sangat memikat untuk dibaca serta tidak bertele-tele. Selanjutnya
di
tingkat
isi,
Editorial
Media
Indonesia
memperlihatkan wacana mengenai tiga tokoh, Abdurrahman Wahid,
56
57
Amien Rais, dan Akbar Tandjung yang menjabat sebagai pimpinan negara di tingkat eksekutif dan legislatif (presiden, Ketua MPR, dan Ketua DPR). Isi editorialnya menyoroti konflik dan ketegangan yang terjadi pada tiga lembaga tinggi negara dan Editorial Media Indonesia menilai bahwa tidak adanya penyelesaian masalah (mengurus rakyat) di antara ketiganya. Konflik dan ketegangan yang terjadi justru membuat bosan rakyat dan kehabisan energi untuk menyaksikannya. Selanjutnya pada tingkat kebahasaan, Editorial Media Indonesia menggunakan gaya bahasa pertentangan
ironi, satire, dan sarkasme.
Seperti di paragraf pertama “Ketegangan dan konflik. Itulah dua kata yang kian mengukuhkan „prestasi‟ para elite politik negeri ini….” Kemudian di paragraf ketiga “…Tapi, ada pula yang mengatakan, itulah jurus orang kepepet, orang kalah. Ngawur!....” Temuan selanjutnya ada di paragraf terakhir “…Inilah Indonesia! Sebuah Negara dengan elite politik yang tak tahu diri….” Selain itu, Editorial Media Indonesia menggunakan gaya bahasa perumpamaan yang cukup menyolok ketika sudah menjadi sebuah tulisan. Seperti di paragraf ketujuh “…Konflik dan ketegangan di negeri ini juga bak judul sebuah drama yang wajib dimainkan teater (politik) Indonesia. Dengan para pemain (para politikus itu) seolah tak pernah kehabisan energi untuk bertarung di atas panggung. Sementara para penonton-ya, rakyat itu-justru kian terkapar karena kehabisan energi…..” Berdasarkan temuan-temuan fakta penulisan dan gaya bahasa di editorial pertama, kesimpulan yang diperoleh adalah secara etika
58
kebahasaan, editorial ini kurang etis dan sangat menyudutkan pada tingkat personal.
Editorial 2 Judul Tanggal
: Yang Lucu dari Akbar dan Gus Dur : 6 Desember 2000
Analisis Di tingkat judul editorial ini memang jelas terbaca menarik, walaupun sedikit membuat penasaran pembacanya. Ketika sebuah kata yang biasa digunakan untuk suatu hal yang biasa dan ringan, kemudian disandingkan dengan nama tokoh yang luar biasa, hasilnya menjadi kolaborasi kata yang mengandung arti seperti guyonan. Padahal sandingannya adalah nama tokoh politik, tentu bukanlah guyonan lagi, melainkan keseriusan. Tetapi pada judul editorial ini, telah menjadikannya menjadi kepaduan antar kata yang menarik. Pada tingkat isi, Editorial Media Indonesia mengangkat wacana mengenai hubungan antara Abdurrahman Wahid dan Akbar Tandjung. Kedua tokoh yang memimpin lembaga formal, eksekutif dan legislatif, seringkali merajut hubungan non formal, walaupun di media massa cenderung saling kritik. Tetapi itulah hubungan antara keduanya yang digambarkan oleh Editorial Media Indonesia melalui penulisan dan gaya bahasanya. Di paragraf pertama, Editorial Media Indonesia langsung menyajikan pembukaan yang menggunakan gaya bahasa perumpamaan seperti “Bagaikan dua anak kucing yang tengah bercanda. Sekali waktu
59
berkejaran, lompat-lompat, bergumul, dan kembali berpacu menemui sang induk. Sesekali tampak rukun, cakar-cakaran, lalu kembali bersatu. Tidak ada yang terluka. Mereka tampak sangat lucu….” Editorial Media Indonesia ini mencoba menggambarkan bagaimana hubungan yang dijalin oleh Abdurrahman Wahid dan Akbar Tandjung, mengumpamakan dengan hewan (kucing). Secara kebahasaan, etika kebahasaan jelas sudah sangat bersebrangan, tidak adanya penghormatan kepada manusia yang notabene adalah pimpinan lembaga tertinggi negara. Selanjutnya paragraf kedua memperlihatkan ironi hubungan Abdurrahman Wahid dan Akbar Tandjung, kemudian dipertegas di paragraf ketiga. Pemilihan bahasa di paragraf ketiga sangat tidak etis “…Simak saja beberapa episode pergumulan „dua anak kucing‟ itu dalam sepekan terakhir….” Di
paragraf
keempat,
terdapat
penggunaan
gaya
bahasa
perbandingan, personifikasi, “…Kritikan Akbar itu membuat merah telinga Gus Dur dan Menko Perekonomian Rizal Ramli….” Kemudian di paragraf terakhir, Editorial Media Indonesia mencoba memberikan perumpamaan.
solusi
bujukan
Editorial
dengan
menyimpulkan
menggunakan bahwa
gaya
bahasa
hubungan
antara
Abdurrahman Wahid dan Akbar Tandjung memang unik dan lucu, sehingga mengumpamakan seperti grup lawak Srimulat atau Ketoprak Humor.
60
Kesimpulan yang diperoleh dari editorial kedua adalah, terjadinya pengulangan kesalahan pada tingkat bahasa. Editorial ini seolah kehilangan kesantunannya sebagai sebuah opini redaksi.
Editorial 3 Judul Tanggal
: Gus Dur Pergi Lagi : 15 Desember 2000
Analisis Pemilihan kata-kata pada judul editorial ini sangat mudah dipahami dan dimengerti sesuai arti yang sebenarnya. Berbeda dengan judul kedua editorial sebelumnya, membutuhkan kecermatan dan pemahaman yang lebih untuk mengerti daripada judul editorialnya. Wacana yang diapungkan di editorial kali ini yaitu menyoal seringnya kunjungan yang dilakukan Abdurrahman Wahid ke luar negeri. Terlalu seringnya melakukan kegiatan berpergian ke luar negeri, Gus Dur melanggar aturan yang dikeluarkan sendiri oleh pemerintah. Larangan bepergian tersebut dikeluarkan olah Megawati Soekarnoputri (wakil presiden) bagi seluruh pejabat selama bulan puasa. Konsekuensi dari larangan tersebut, Megawati pun membatalkan kunjungannya ke Meksiko. Fakta, larangan tersebut justru dilanggar oleh kepala negara dan beberapa pejabat negara lainnya, namun yang menjadi sorotan di editorial ini adalah pelanggaran yang dilakukan Gus Dur. Lawatan yang dilakuakan Gus Dur ke Bangkok dalam rangka penerimaan anugerah doctor honoris causa di bidang teknologi komunikasi.
61
Selanjutnya pada tingkat isi, di paragraf pertama editorial ini memperjelas judul itu sendiri, bahwa Gus Dur kembali bepergian ke luar negeri yang kali ini adalah Bangkok. Di paragraf keenam, Editorial Media Indonesia menggunakan gaya bahasa pertentangan ironi “…Gus Dur memperoleh apresiasi kuat di luar negeri. Prestasi itu bertolak belakang dengan dengan apresiasi di dalam negeri. Di luar negeri semakin dipuja, di dalam negeri semakin dijauhi….” Paragraf ketujuh menggunakan gaya bahasa perumpamaan, bagaiman editorial menggambarkan posisi Gus Dur yang menjabat sebagai kepala negara, kemudian diumpakan dengan profesi yang berbeda “…Gus Dur itu seperti petugas pemadam kebakaran yang tidak segera memadamlan api tetapi menyiram air di pinggir hutan agar tidak merambat ….” Awal kalimat di paragraf ketujuh sangat hiperbola “…Gus Dur rupanya senang berkelana. Untuk seorang pengembara sejati diam di tempat adalah siksaan yang tidak tertahankan….” Kemudian kalimat selanjutnya dikemas dengan sinisme yang kentara sekaligus kesimpulan yang terlalu menuduh “…bepergian ke luar negeri yang terlalu sering jangan-jangan sebuah kompensasi yang menyesatkan….” Kesimpulan pada editorial ini hampir sama dengan kedua editorial sebelumnya, kesalahan pada penempatan bahasa atau tepatnya adalah menggunakan perumpamaan yang tidak sesuai.
62
Editorial 4 Judul Tanggal
: Arti Sebuah Kunjungan : 20 Desember 2000
Analisis Judul pada editorial ini sangat sederhana dan mudah dimengerti. Judul ini juga menjelaskan mengenai tujuan dari kunjungan yang dilakukan oleh Abdurrahman Wahid ke Aceh. Selanjutnya, wacana yang digaungkan di sini mengenai kunjungan Abdurrahman Wahid ke Aceh. Kunjungan Gus Dur kali ini memang berisiko besar, baik dari segi keselamatan jiwanya maupun keamanan jabatannya sebagai Presiden. Ancaman yang terjadi selama perjalanan di udara hingga ancaman pembunuhan dan penembakana pesawat. Namun, ancaman tersebut tidak menyurutkan niat kunjungan Gus Dur ke Serambi Mekah. Editorial Media Indonesia juga menilai arti kunjungan Gus Dur ke Serambi Mekah sangatlah sia-sia, tidak adanya sambutan pejabat setempat seperti yang diharapkan. Sehingga kunjungan Gus Dur tersebut tidak berarti karena tidak memberikan solusi bagi permasalahan di Aceh. Editorial Media Indonesia juga menyindir Gus Dur dengan memberikan penghargaan atas keberaniannya untuk berkunjung ke Aceh. Beberapa temuan kata atau kalimat yang memperjelas judul dan wacananya diawali pada paragraf kedua yang menggunakan gaya bahasan personifikasi “…Bahkan alam pun mengingatkan Gus Dur bahwa Aceh memang sulit. Pesawat yang ditumpangi Presiden harus bergulat dengat hujan lebat dan badai sebelum menyentuh Tanah Rencong….”
63
Paragraf ketiga editorial ini lebih menggunakan gaya bahasa pertentangan, antifrasis “…Kedatangan Gus Dur hanya sukses dalam satu soal, yaitu keberanian….” Temuan berikutknya di paragraf keempat, paragraf ini didominasi oleh penggunaan bahasa sinisme “…Di luar itu, harus dikatakan kunjungan ini gagal. Gus Dur datang di Banda Aceh yang berubah menjadi kota mati. Gus Dur berpidato di ruang hampa. Gus Dur memang datang tetapi tidak menemui siapa-siapa, kecuali para pejabat yang sebenarnya tidak membutuhkan solusi….” di paragraf ini lebih menyindir Gus Dur dengan kedatangannya yang sia-sia. Dilanjutkan di paragraf keenam yang menggunakan gaya bahasa satire terhadap Gus Dur “…Aceh, adalah ironi yang berakar pada ketidakpedulian, keserakahan sentralisme, keteledoran, dan inkonsistensi. Gus Dur mempunyai porsi juga dalam ironi itu….” Paragraf ini menyindir Gus Dur ikut bagian terhadap unsur-unsur negatif. Kemudian dipertegas di paragraf
ketujuh
pengertiannya
oleh
“…Ketika Jakarta
referendum karena
kemudian
keteledoran,
dibelokkan
kekecewaan
itu
memuncak….” Paragraf terakhir, paragraf 10, Editorial Media Indonesia mencoba memberikan pemecahan masalah dengan pemilihan kata yang provokatif dan sinisme yang kental “…Gus Dur harus pintar-pintar mengelola pikiran dan sikap agar menjadi bagian dari solusi, bukan sebaliknya, biang persoalan.”
64
Editorial 5 Judul Tanggal
: Senayan makin Panas : 30 Desember 2000
Analisis Judul editorial ini menggunakan pilihan kata yang lugas dan jelas. Pemilihan kata Senayan dimaksudkan untuk DPR yang memang berlokasi di Senayan. Begitupun dengan kata berikutkany yang menyertai, kata „panas‟ di sini menggambarkan sebuah situasi yang sedang genting dan tegang. Secara keseluruhan, judul editorial ini sangat jelas dan dapat dimengerti. Pada Editorial Media Indonesia, wacana yang coba diapungkan adalah mengenai ketegangan yang kembali terjadi antara ketiga pemimpin lembaga tinggi negara, Abdurrahman Wahid, Amien Rais, dan Akbar Tandjung. Ketegangan kali ini disinyalir oleh kata-kata yang diucapkan Gus Dur dan dianggap meresahkan serta merupakan sebuah pelanggaran hukum oleh Amien Rais. Dalam editorial ini, jelas terbaca bagaimana posisi Gus Dur yang ditergur dari berbagai pihak, yaitu oleh Amien Rais dan Akbar Tandjung. Situasi ini jelas menggambarkan hubungan yang sudah tidak saling menghormati antara dua lembaga, kepresidenan dan DPR. Sehingga publik dibuat tidak tentram lagi dengan adanya konflik yang tidak pernah berujung. Editorial Media Indonesia “Senayan makin Panas” memang disajikan dengan gaya bahasa yang penuh dengan kritikan pedas dan sindiran yang pahit.
65
Paragraf pertama dikemas dengan bahasa satire “Tidak ada solusi yang hendak dicari politisi dan pemimpin. Mereka cuma melanggengkan pertentangan….” Editorial Media Indonesia menyinggung para politisi dan pemimpin yang anti terhadap pencarian solusi guna terciptanya perdamaian, melainkan sebaliknya, menikmati pertentangan. Selanjutnya di paragraf keempat, Editorial Media Indonesia menggunakan gaya bahasa perumpamaan, personifikasi, yaitu “…Kita sedang dijajah oleh kerakusan bicara.…” Kemudian di paragraf kelima adanya penggunaan gaya bahasa metafora”…Kita akan memasuki kurun yang sudah dipatok oleh para pemimpin sebagai masa panas. Senayan, markas DPR dan MPR, yang seharusnya menjadi pusat wacana solusi, sudah dinobatkan sebagai tempat panas bagi Presiden Abdurrahman Wahid….” Di paragraf keenam, Editorial Media Indonesia menggabungkan gaya bahasa satire, sinisme dan sarkasme “…Selain itu, perangai politik para pemimpin tidak beranjak jauh dari kekerdilan yang menggelikan. Tetapi mereka memamerkannya dengan kebanggaan yang maksimum. Pendek kata para pemimpin kita sangat optimal dengan kekerdilan….” Begitupun di paragraf ketujuh dan kedelapan, sama halnya dengan penggunaan gaya bahasa di paragraf keenam “…Kehidupan publik menjadi arena mainan konyol para pemimpin. Mereka tidak peduli pada kurs karena mereka adalah penikmat dari gejolak itu. Mereka tidak peduli pada korban yang berjatuhan karena mereka mengendalikan sentimen pro dan kontra….”
66
Di paragraf kedelapan, Editorial Media Indonesia memberikan penutup opini redaksi dengan menggunakan gaya bahasa sarkasme “…Kalau semua pemimpin hanya bias menjanjikan kegalauan dan keresahan, untuk apa kita memiliki pemimpin seperti itu? Tetapi ini adalah pertanyaan konyol, karena mereka telah kita pilih denga nkeyakinan optimal. Kita adalah buah dari sebuah proses pembodohan yang teramat panjang.” Di paragraf terkahir terlihat sekali bagaimana Editorial Media Indonesia memberikan sebuah argument yang sangat kasar dan tendensius terhadap kredibilitas dan kapabilitas para pemimpin lembaga tinggi negara, Presiden, MPR, dan DPR. Dari keseluruhan analisis teks kelima Editorial Media Indonesia, peneliti menemukan beberapa fakta tertulis yang dikemas dalam editorial. Temuan tersebut lebih kepada penelusuran penggunaan gaya bahasa pada sebuah produk jurnalistik non berita yaitu opini dari kacamata institusi media, Editorial Media Indonesia. Ternyata dari kelima editorial tersebut, gaya bahasa sebuah editorial sangatlah berbeda dengan gaya bahasa jurnalistik pada sebuah berita. Gaya bahasa jurnalistik pada editorial sangatlah luas dan bebas. Eufimisme dalam penulisan sebuah editorial sangat dihindari, karena kekuatan sebuah editorial ada pada pengemasan bahasa yang lugas, berani dan menarik. Bila dikaitkan dengan pendapat Stanley, pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI), terdapat beberapa kesalahan morfologis dan kesalahan sintaksis di tingkat judul dan isi editorial. Namun, kesalahan-kesalahan
67
tersebut seolah tidak mejadi masalah berarti dalam menyampaikan suatu opini institusi media. Setiap media memiliki buku pedoman atau panduan masing-masing dalam penetapan bahasa jurnalistik, sepanjang buku pedoman tersebut berpijak pada empat faktor: filosofi media, visi media, misi media, dan kebijakan redaksional. Fakta yang tidak dapat dipungkiri, bahwa Editorial Media Indonesia
memberlakukan
penggunaan
dua
gaya
bahasa
yaitu
perbandingan dan pertentangan. Gaya bahasa perbandingan diantaranya ada perumpamaan, metafora, dan personifikasi. Sedangkan gaya bahasa pertentangan yaitu ada hiperbola, ironi, satire, antifrasis, sinisme, dan sarkasme. Selain itu, berdasarkan hasil analisis bahasa jurnalistik pada kelima Editorial Media Indonesia edisi Desember 2000 yang diamati peneliti, dalam penulisannya Editorial Media Indonesia kurang memenuhi tata bahasa jurnalistik, yang seharusnya menggunakan bahasa Indonesia yang baku. Bahasa yang diterapkan Editorial Media Indonesia lebih mengutamakan bahasa yang menarik dan metafor. Penggunaan bahasa yang tidak terlalu baku dan metafor itulah yang terpenting bagi Editorial Media Indonesia dalam menyampaikan opininya kepada khalayak pembaca, walaupun dilihat dari etika kebahasaan sangatlah rendah.
B. Analisis Discourse Practice 1. Produksi Teks Proses pemilihan tema Editorial Media Indonesia
68
Tema Editorial Media Indonesia muncul berdasarkan hasil koordinasi tim penulis editorial, dengan menyepakati batasan-batasan penulisan yang harus dihindari. Seperti yang dituturkan mantan penulis editorial dan kini sebagai Dewan Redaksi Media Group, Djadjat Sudradjat “Proses pemilihan tema pada tahun 2000, saat awal-awal Media Indonesia hadir, belum ada rapat redaksi yang membahas tema. Laurens Tato menjadi penulis tunggal editorial saat itu. Tetapi setelah terbentuknya tim, mulailah ada forum. Ada Saur Hutabarat, Laurens Tato dan saya. Koordinasinya tidak tentu dan tidak formal, main feeling saja. Memang dalam konteks sebuah industri media massa besar, ini tidak sehat. Hanya saja sudah ada kesepakatan mengenai batasan-batasan umum yang sekiranya memiliki tingkat sensitivitas tinggi (SARA, menyerang pribadi, meruntuhkan kredibilitas negara, menyinggung merah putih) harus dihindari. Kemudian terjaring pelatihan editorial dan sekarang sudah makin terencana dan ada rapat redaksi. Ada jatah-jatah siapa yang menulis apa, pembagian tersebut disesuaikan dengan bidang kemampuannya. Gairah ke politiknya relatif tinggi, sesekali ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan.”1 Editorial Media Indonesia ditulis berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan “Editorial Media Indonesia tentu saja merekonstruksi faktafakta di lapangan. Kerja jurnalistik itu pasti ada fakta dulu. Jika ada teks dulu baru peristiwa, itu namanya agenda setting. Kerja jurnalistik adalah memaknai peristiwa, peristiwa harus mempunyai makna. Kerja jurnalistik juga harus merekonstruksi peristiwa. Cara menilai suatu rekonstruksi benar atau tidak adalah semakin dekat dengan fakta peristiwa aslinya, semakin benar dari perstiwa. Semakin dipelintir, semakin jauh dari kebenaran peristiwa. Artinya, publik boleh dan mempunyai hak menyeleksi dan meninggalkan yang rekonstruksinya jauh dari peristiwa. Setelah Metro lahir, editorial ditampilkan di Metro.
1
Wawancara Djadjat Sudradjat (Dewan Redaksi Media Group), 23 Februari 2010.
69
Sehingga bagaimana setiap kata harus diucapkan dengan enak dan harus dipertanggung jawabkan visualnya.”2 Editorial Media Indonesia sebagai bentuk kritisme sebuah institusi media massa nasional, mampu menyajikan penulisan dengan bahasa yang terus terang, berani, dan tegas; baik kritisme yang disajikan secara personal maupun institusional kepada publik “Kalau kita bicara proses dari awal, editorial itu hak privat publisher, sikap penerbit terhadap sesuatu. Media Indonesia menjadi menarik karena editorial yang sifatnya privat dibedah di ruang publik, publik dilibatkan. Agar memiliki public meaning, silakan saja publik berkomentar. Tetapi dalam konteks membangun demokrasi, interaksi seperti ini menjadi penting. Barang privat dipublikasikan di ruang publik, hasilnya jadi milik bersama. Pers semakin punya makna publik, semakin dibaca banyak orang. Semakin jauh dari makna publik, semakin ditinggalkan. Jika ada bahasa pribadi, mudah saja. Hukumannya hanya tinggal diberikan ke publik, biar publik yang menilai. Tetapi spiritnya harus institusi. Subjektivitas dalam editorial merupakan subjektivitas yang harus mempunyai makna publik, dipertanggung jawabkan secara publik dan relnya tetap kembali ke publik”.3 Editorial Media Indonesia memiliki karakter yang berani mengolah dan memainkan bahasa dalam dalam penulisannya. Editor bahasa hanya melakukan koreksian dalam pada penulisan tiap kata, kalimat, dan paragraf saja ”Tentunya dalam sebuah struktur keredaksian sudah memiliki job desk masing-masing sesuai dengan perannya. Memang tak jarang ada perdebatan menyoal gaya bahasa antara redaktur bahasa dengan tim editorial. Seperti yang tadi saya katakan bahwa semakin lama semakin ketemu keseragaman bahasanya. Editor bahasa dan tim editorial mampu sinergi. Jadi seolah-olah isi kepala kita sudah sepemikiran dan seragam,
2
Ibid., Djadjat Sudradjat.
3
Ibid., Djadjat Sudradjat.
70
justru hal tersebut menjadi sebuah karakter Editorial Media Indonesia, terus terang, tegas dan lugas. Mengenai perombakan pada konten, tentu ada aturannya dan mesti melalui kesepakatan rapat redaksi. Peran editor bahasa harus mampu meminimalisir kesalahan pada penulisan tiap kata, kalimat dan paragraf yang masih berbentuk dummy sebelum proses akhir naik cetak. Editor bahasa tentu memiliki bobot peran yang sangat penting dalam proses produksi penulisan editorial”. 4 Dibuktikan melalui penulisannya mengenai Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang saat itu menjabat sebagai Presiden RI. Pemilihan
bahasanya
sangatlah
berani,
menggunakan
bahasa
perumpamaan, satire, sinisme, dan sarkasme. Seolah mengubur etika bahasa ”Gus Dur bagi pers saat jelang jatuh, tidak menarik pemberitaannya. Dari segi pemerintahan, sudah jauh bersimpang jalan dengan kehendak publik. Gus Dur itu demokratis, tahan banting, dan hanya Gus Dur yang bisa dikiritik dan tidak pernah ada masalah. Tapi memang tidak semua kebijakan Gus Dur mesti kontra. Secara integrasi kebangsaan, sangat bagus. Wacana yang disodorkan Gus Dur saat itu mampu meminimalisir konflik”.5 Namun,
tanpa
bermaksud
mengabaikan
kaidah
bahasa
jurnalistik beserta etika bahasanya, Editorial Media Indonesia akhirnya menemukan formula kebahasaan yang menjadi standarisasi dalam penulisannya “Penulis editorial itu macam-macam, punya latar belakang kultural berbeda. Punya cita rasa bahasa yang berbeda. Cita rasa bahasa dibentuk oleh pemahaman. Menjadi menarik, bahasa itu arbitrer (sembarang). Kata yang sama jika diucapkan oleh orang beda budaya akan berbeda maknanya. Kasar tidak kasar, halus tidak halus, tidak ada standarnya. Gaya bahasa personal pasti
4
Ibid., Djadjat Sudradjat.
5
Ibid., Djadjat Sudradjat.
71
tidak bisa dihilangkan. Tetapi jika setiap orang harus membangun standar bahasa yang sama, iya. Walaupun ada pertentangan dengan bahasa, tapi semakin lama semakin ketemu keseragaman bahasanya. Akhirnya Media Indonesia menemukan formula bahasa yang bisa diterima masyarakat. Bahasa yang baik mesti bahasa yang terdidik, bahasa yang tidak vulgar, tidak menyerang secara pribadi, sedikit ada sentuhan sastra. Bahasa yang miskin metafor, tak ada analogi, tak ada kata imaji, akan membuat jenuh pembaca.”6 Sehingga otoritas tertinggi dalam struktur keredaksian ada pada pemimpin redaksi (pemred). Selain memiliki tanggung jawab yang besar, pemred memiliki hak untuk mengubah isi penulisan ”Apapun bentuknya, berita itu wajar mengalami perubahan di akhir. Jika ada peristiwa yang lebih aktual dan menarik, memungkinkan ada perubahan. Bukan menjadi monopoli editorial, jadi wajar saja jika ada perubahan. Jika perubahan itu dilakukan oleh pemred, itu bukan masalah. Pemred memiliki otoritas dan pemred pula yang bertanggung jawab jika ada masalah. Pemred punya hak”.7
Analisis Produksi Teks Sejarah hadirnya Editorial Media Indonesia dilatar belakangi oleh keterkungkungan pada masa Orde Baru. Proses menjadi Editorial Media Indonesia hingga menjadi sekarang ini mengalami fase-fase perjalanan dan merupakan metamorfosis dari rubrik Selamat Pagi di koran Prioritas. Semangat perjuangannya tetap sama, melawan bahasa yang melingkar-lingkar. Di sinilah Editorial Media Indonesia diperhitungkan oleh publik, dilihat dari aspek kebahasaannya yang lugas, berani, dan terus terang dalam mengkritisi realitas
6
Ibid., Djadjat Sudradjat.
7
Ibid., Djadjat Sudradjat.
72
yang terjadi di lapangan. Gairah penulisannya lebih kepada politik, sesekali kepada ekonomi, sosial, pendidikan, dan kebudayaan. Proses pemilihan tema editorial memang berdasarkan koordinasi tim penulis editorial, dengan menyepakati beberapa batasan umum yang sekiranya memiliki
sensitivitas
tinggi
(SARA,
pribadi,
kredibilitas
negara,
dan
menyinggung merah putih) harus dihindari. Sirkulasi penulisannya secara bergilir, sesuai bidangnya masing-masing dan tentu saja menyesuaikan tema yang sudah disepakati oleh tim. Fakta bahwa Editorial Media indonesia merupakan opini institusi media massa yang ditulis secara perorangan (tim penulis editorial), namun semangatnya harus institusi. Subjektivitas memang tidak bisa diredam dalam penulisan sebuah opini (Editorial Media Indonesia), namun tetap memiliki makna publik. Penulisan Editorial Media Indonesia berangkat dari realitas yang terjadi di lapangan, kemudian dikemas dengan bahasa yang menarik (salah satu karakteristik bahasa jurnalistik) dan dipadukan dengan gaya bahasa perumpamaan dan pertentangan (satire, sinisme, dan sarkasme), jenis gaya bahasa yang termasuk subjektif. Editorial Media Indonesia tergolong media cetak yang memiliki karakter penulisan yang berani, terus terang, dan lugas. Hasil wawancara dengan salah satu tim penulis editorial serta beberapa temuan data editorial edisi Desember 2000 mempertegas adanya keberanian dalam membahasakan kritisme Media Indonesia sebagai sebuah institusi. Adapun peran editor bahasa, hanya memiliki garis kewenangan untuk mengoreksi kesalahan penulisan pada tingkatan kata, kalimat, dan paragraf saja. Otoritas tertinggi untuk mengubah, mengurangi, menambahkan bahkan mengoreksi judul dan isi editorial adalah pemimpin redaksi.
73
Merujuk pada hasil wawancara dengan salah satu tim penulis Editorial Media Indonesia, intinya jika ada bahasa pribadi, hukumannya tinggal diserahkan kepada publik. Relnya tetap kembali ke publik, biarkan publik yang menilai. Editorial sebagai salah satu produk jurnalistik (opini) bukanlah sebuah kebenaran mutlak, tetapi semangatnya harus selalu mencari kebenaran. Bahwa Editorial Media Indonesia sebagai salah satu media massa skala nasional, mampu memberikan ruang berinteraksi untuk membangun dan mencari kebenaran. Selain itu media massa memiliki salah satu fungsi sebagaimana dijelaskan oleh Yoseph R. Dominick, dalam bukunya The Dynamics of Mass Communication. Menurutnya, salah satu fungsi media massa adalah interpretasi. Media massa tidak hanya menyajikan fakta dan data, tetapi juga informasi beserta interpretasi mengenai suatu peristiwa tertentu.8 Untuk itu, media massa bukanlah segala-galanya. Dia tidak memiliki kebenaran mutlak dalam menyajikan informasi yang dibungkus menjadi lebih menarik untuk diminati publik. Sehingga segala bentuk pemberitaan dan penulisannya, baik secara personal maupun institusional, wajib dipertanggung jawabkan kepada publik.
2. Konsumsi Teks Berikut hasil wawancara penulis dengan seorang informan yang memiliki latar belakang selain sebagai pembaca, juga mantan penulis Editorial Media Indonesia tahun 2006-2007.
8
Onong Uchjana Efendi, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 20
74
Poin-poin yang menjadi pokok pembahasan dengan informan adalah sebagai berikut: 1. Perkenalan informan dengan Media Indonesia 2. Perbedaan Media Indonesia dengan surat kabar lainnya 3. Perkenalan informan dengan Editorial Media Indonesia 4. Pandangan informan mengenai Editorial Media Indonesia 5. Pandangan informan mengenai gaya bahasa penulisan Editorial Media Indonesia terhadap Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Informan Edy A Effendi (EAE): Edy A Effendi (EAE) merupakan lelaki kelahiran Slawi, Jawa Tengah, 18 Februari 1966. Domisili saat ini di Jalan Sawah Dalam No. 68 RT/RW 04/04, Panunggangan Utara, Pinang, Kota Tangerang 15143. Selain memosisikan diri sebagai pembaca aktif Media Indonesia dan editorial, informan juga pernah bergabung sebagai wartawan di Media Indonesia selama tujuh tahun lebih. Perkenalan dengan Media Indonesia Informan EAE mengenal Media Indonesia sejak tahun 1997. “Saya tahu Media Indonesia sejak awal, persisnya saya lupa. Koran ini sebenarnya koran lama secara domain dan nama, kemudian dibeli Surya Paloh. Pada awalnya grup Surya Paloh mempunyai koran bernama Prioritas, kemudian dibredel Orba karena pemberitaan di halaman belakang dengan judul kalau tak
75
salah „Soeharto dan Firaun‟, penulisnya Elman Saragih (sekarang Pemred Metro Tv). Akibat dibredel, Elan digusur menjadi reporter senior dan dibuang ke Medan. Surya Paloh kemudian membeli domain Media Indonesia yang sudah lama tak aktif”.9 Perbedaan Media Indonesia dengan surat kabar lainnya “Dari sisi pemberitaan, Media Indonesia sangat lugas. Lugas dalam mengelola pemberitaan, tidak bertele-tele. Ini terlihat pada pola penulisan berita yang tidak bersambung ke halaman lain. Misalnya ada berita halaman pertama, tak ada sambungan di halaman lain. Tentu ini berbeda dengan harian Kompas. Tak bersambung ke halaman lain ini, memudahkan pembaca untuk menyelesaikan secara tuntas di halaman awal. Tapi risikonya tak ada kedalaman dari isi berita itu”.10 Perkenalan dengan Editorial Media Indonesia Bagi EAE, Editorial Media Indonesia sudah tidak asing lagi dan sudah cukup mengenalnya sejak lama. “Saya tahu Editorial Media Indonesia, karena saya pernah terlibat selama dua tahun di dalamnya. Kebetulan saya menjadi Tim Editorial pertama dari unsur wartawan. Generasi baru penerus editorial, khusus dari unsur wartawan. Diambil dari juara-juara workshop editorial di berbagai tempat selama tiga hari. Inilah hebatnya Media Indonesia, kawan-kawan digodok dalam menulis editorial atau apapun secara selektif”.11 EAE menambahkan soal pembagian tema penulisan editorial dan Tim Penulis yang biasa menulis editorial. “Sejak lama Tim Editorial ditulis unsur pimpinan, di antara unsur pimpinan itu ada Saur Hutabarat, Djadjat Sudradjat, dan Laurens Tato. Waktu itu ada Mas Imam Anshori Saleh, seorang Gus Durian PKB asli. Isu-isu ke-Islaman biasanya ditulis Mas Iman, baik momentum hari raya, Iedul Adha atau isu-isu politik
9
Wawancara Edy A. Effendi, 5 April 2011.
10
Ibid., Edy A. Effendi.
11
Ibid., Edy A. Effendi.
76
yang terkait dengan soal Islam. Sejatinya, seorang Saur Hutabarat dan Laurens Tato yang non muslim pun bisa menulis soal-soal keislaman. Seperti halnya Djadjat Sudradjat menulis soal kekristenan, karena patokan penulisan editorial sudah baku.”12 Pandangan tentang Editorial Media Indonesia EAE menilai Media Indonesia bersama editorialnya sangat tidak imbang dan tidak objektif dalam menuliskan sebuah berita ataupun editorial. “Soal Editorial Media Indonesia saya pikir sama dengan editorial-editorial lain. Tapi kalau mau jujur, setiap penulisan berita maupun editorial itu cerminan dari institusi yang mengelolanya, siapa yang di belakang layar pengelola. Secara otomatis berbagai kebijakan penulisan tak lepas dari cara berpikir mereka. Secara kebetulan kawan-kawan yang berdiri di tingkat elit Media Indonesia dalah non muslim. Sebut saja Andy F Noya, Laurens Tato, Saur Hutabarat, dan Elman Saragih. Dulu ketika saya masih menjadi wartawan Media Indonesia, kami menyebut empat sekawan”.13 EAE juga merasakan betul adanya ketidak berimbangan mulai dari peliputan, penulisan hingga penerbitan berita maupun editorial. Ia juga memberikan beberapa fakta yang terjadi di lapangan dan ruang redaksi. “Ketika fotografer mau memuat foto kebiadaban Israel di Palestina, Yohanes Widada, waktu itu asisten redaktur eksekutif, selalu menghalangi. Juga ketika demo PKS yang begitu rapi dan sangat massif, Elman Saragih selalu meminta tak memuat foto, hanya beritanya saja. Ini jelas-jelas tak fair. Saya waktu itu sebenarnya malu karena KOMPAS yang dikenal sebagai bagian dari kelompok Katolik, justru memuat foto demo PKS di halaman muka. Hal lain ketika kasus Sekolah Sang Timur,
12
Ibid., Edy A. Effendi.
13
Ibid., Edy A. Effendi.
77
Karang Tengah, Tangerang, Editorial Media Indonesia jelasjelas memihak sekolah itu dengan alasan tak jelas. Tentu ini dibarengi unsur subjektif”.14 Penilaian terhadap penulisan Editorial Media Indonesia yang memuat tentang Abdurrahman Wahid (Gus Dur) EAE juga mendefinisikan Editorial Media Indonesia “Dari sisi kebahasaan, Editorial Media Indonesia terkenal sangat lugas dan tegas. Dari kalangan manapun, orang bisa langsung membaca Editorial Media Indonesia. Inilah sisi kebahasaan, kemampuan menggunakan kata-kata secara efektif, padat, dan singkat. Biasanya penulisan editorial tak lebih dari 45 baris atau sekitar tujuh paragraf atau satu halaman setengah kuarto”.15 Ia juga memandang bahwa gaya bahasa Editorial Media Indonesia dalam penulisannya mengenai Abdurrahman Wahid, kental dengan sinisme, satire, dan dan subjektif yang keluar dari etika kebahasaan. “Spesifikasi pada penulisan Gus Dur, saya melihat, membaca, dan meraba, terkesan sangat sinis dan satire. Sikap sinis itu lagi-lagi dipengaruhi unsur subjektif dari Tim Editorial. Kami selalu rapat editorial sebelum editorial ditulis. Jadi, pendapat yang mengemuka di editorial bukan pendapat pribadi tapi pendapat institusi. Susahnya kemudian, meski pendapat institusi, Media Indonesia, tapi penulisan editorial tak lepas dari unsur subjektivitasnya. Unsur subjektivitas inilah yang kemudian seringkali menggangu piranti objektivitas ketika berhadapan dengan persoalan Gus Dur. Judul dan isi editorial seringkali diedit oleh tim yang lebih senior”.16
14
Ibid., Edy A. Effendi.
15
Ibid., Edy A. Effendi.
16
Ibid., Edy A. Effendi.
78
Analisis Konsumsi Teks Informan mengenal Editorial Media Indonesia sejak 14 tahun yang lalu, rentang waktu yang terbilang lama untuk mengenal sebuah koran harian, Media Indonesia. Ia sangat responsif ketika ditanyai seputar Editorial Media Indonesia beserta gaya penulisannya. Menurutnya, Media Indonesia sebagai sebuah institusi media massa nasional sangatlah lugas, tegas, dan berani. Lugas, tegas, dan berani dari segi penulisan isi berita maupun editorial sebagai sebuah opini redaksinya. Walaupun dia sempat menilai bahwa Editorial Media Indonesia hampir sama dengan editorial (tajuk rencana) koran lainnya. Namun, Setelah cukup lama bergabung di keredaksiaa Media Indonesia, sebagai wartawan dan pernah menjadi salah satu penulis editorial dari unsur wartawan, dia memiliki pandangan sendiri yang kontra terhadap penulisan Editorial Media Indonesia. Bahwa Media Indonesia sangatlah kental dengan subjektivitas dan ideologi para pemimpinnya dalam memutuskan sebuah kebijakan redaksi. Maka tidaklah heran menurutnya, jika beberapa editorial sering dikemas dan disajikan tidak cover both side. Ketidak berimbangan penulisan editorial tentu saja dilatari oleh orang yang berada di balik layarnya. EAE juga mempertegas bahwa Editorial Media Indonesia merupakan cerminan dari institusi yang mengelolanya, otomatis berbagai kebijakan penulisan tak lepas dari cara berpikir mereka. Terlepas suka ataupun tidak suka, menurut EAE, itu sudah menjadi kebijakan baku. Hal-hal seperti itulah yang selalu menjadi pertentangan dalam dirinya, posisinya mendua, satu sisi sebagai seorang wartawan dan sisi lainnya sebagai pembaca setia Media Indonesia. Penjabarannya mengenai beberapa fakta yang terjadi di lapangan maupun redaksi, Editorial Media Indonesia pernah menunjukkan keberpihakan terhadap Sekolah Sang Timur di
79
Tangerang. EAE menilai keberpihakan Editorial Media Indonesia tidaklah beralasan,
melainkan
adanya
unsur
subjektif.
Apalagi
EAE
mencoba
membandingkan Media Indonesia dengan koran nasional lainnya, KOMPAS, yang menurutnya KOMPAS merupakan koran yang berkiblat non Islam, mampu memuat foto demo PKS yang rapi dan massif di halaman muka, Media Indonesia tidak melakukan itu, EAE merasa malu dengan sikap yang diusung Media Indonesia yang tidak adil dan terkesan memilih. Fakta lainnya saat salah satu fotografernya mau memuat foto kekejian Israel terhadap Palestina, Redaktur Eksekutifnya yang berlatar non muslim, menghalanginya. Padahal konflik Israel dengan Palestina murni soal perebutan batas wilayah yang kebetulan saja memiliki keyakinan (agama) berbeda. Sehingga menurut penilaian EAE, Media Indonesia sangatlah tebang pilih dalam menyoroti berbagai fakta yang terjadi di lapangan, berita maupun opini redaksi yang dipilih berdasarkan kesukaan pimpinannya, walaupun melalui rapat redaksi, pada praktiknya tidaklah terlihat sebagai sebuah keputusan bersama atau redaksi. Pandangan lain yang digulirkan oleh EAE mengenai gaya penulisan Editorial Media Indonesia terhadap Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sinismenya sangat kental. Kesantunan dalam berbahasa tidak selalu diusung dalam penulisan Editorial Media Indonesia, spesifikasinya terhadap sosok Abdurrhamn Wahid. Menurutnya sikap tersebut sangatlah merugikan untuk pihak lain, dalam kasus ini adalah Abdurrahman Wahid. Janganlah Editorial Media Indonesia menjadi Media yang provokatif, melainkan media yang inovatif dalam segi penulisan, informatif dalam segi isi , dan edukatif dalam segi manfaat.
BAB V PENUTUP
Setelah melalui tahapan mulai dari bab I (pendahuluan), bab II (tinjauan pustaka), bab III (gambaran umum harian Media Indonesia), dan bab IV (temuan dan analisis data), maka akan dihasilkan rumusan masalah melalui kesimpulan dan saran, sebagai berikut : A. Kesimpulan Dari kelima data utama penelitian ini (Editorial Media Indonesia), kesimpulan yang diperoleh pada tingkat analisis teks adalah Editorial Media Indonesia sebagai sebuah institusi media massa nasional (koran), dalam segi penulisan judul dan isinya sangatlah berani, lugas dan terus terang. Ketiga modal penulisan tersebut sekaligus karakter dari Media Indonesia. Dilihat dari segi etika kebahasaan, Editorial Media Indonesia tidak ragu untuk menggunakan gaya bahasa pertentangan (ironi, satire, sarkasme) dan gaya bahasa perumpamaan terhadap objek pemberitaannya, baik secara institusional (lembaga tinggi pemerintah) maupun personal (Abdurrahman Wahid). Dari segi pengemasan sebuah opini redaksi, Editorial Media Indonesia memang sangat menarik untuk dibaca. Selain itu, berdasarkan hasil analisis bahasa jurnalistik pada kelima Editorial Media Indonesia edisi Desember 2000 yang diamati peneliti, dalam penulisannya Editorial Media Indonesia kurang memenuhi tata bahasa
80
81
jurnalistik, yang seharusnya menggunakan bahasa Indonesia yang baku. Bahasa yang diterapkan Editorial Media Indonesia lebih mengutamakan bahasa yang menarik dan metafor. Penggunaan bahasa yang tidak terlalu baku dan metafor itulah yang terpenting bagi Editorial Media Indonesia dalam menyampaikan opininya kepada khalayak pembaca, walaupun dilihat dari etika kebahasaan sangatlah rendah. Pada tataran produksi teks dan merunut dari hasil wawancara dengan salah satu dewan redaksi Media Group, Djadjat Sudradjat. Proses lahirnya Editorial Media Indonesia tentunya berawal dari fakta di lapangan, ada fakta ada berita. Fakta-fakta di lapangan itulah kemudian diangkat untuk dibuat opini redaksi (editorial), memang tidak semuanya, pemilihannya berdasarkan rapat redaksi. Sistem penulisannya pun berdasarkan kapabilitas dan kredibilitas tiap-tiap personal (penulis editorial). Proses pemilihan tema editorial memang berdasarkan koordinasi tim penulis editorial, dengan menyepakati beberapa batasan umum yang sekiranya memiliki sensitivitas tinggi (SARA, pribadi, kredibilitas negara, dan menyinggung merah putih) harus dihindari. Di tataran konsumsi teks, dapat disimpulkan melalui wawancara dengan Edy A Effendi, dan sudah cukup mengenal sejak lama Editorial Media Indonesia. Sebagai sebuah koran nasional, Media Indonesia belum bisa berdiri di atas kaki yang imbang. Imbang di sini sama dengan objektivitas sebuah penulisan opini redaksi. Terdapat fakta-fakta bagaimana Editorial Media Indonesia memang melakukan pemihakkan, sehingga tidak cover both side. Setiap penulisan berita maupun editorial itu cerminan dari institusi yang
82
mengelolanya, siapa yang di belakang layar pengelola. Secara otomatis berbagai kebijakan penulisan tak lepas dari cara berpikir mereka.
B. Saran Saran yang dapat penulis berikan kepada Media Indonesia, khusunya bagian redaksi. Editorial merupakan pandangan atau kritisme redaksi terhadap suatu berita yang memang layak dan penting untuk ditulis. Sebaiknya penulisan editorial lebih mengusung kritisme yang berpijak pada kebenaran dan berimbang. Tidak adanya intervensi dari pemilik maupun penjaga kolom editorial tersebut. Publik sebagai pembaca sangat ingin tahu pandangan dari redaksi. Sehingga diperlukan lagi formulasi gaya bahasa penulisannya yang etis dan tetap kritis.
83
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU Ali, Lukman. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1994. Ali, Muhammad. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern. Jakarta: Pustaka Amani. 1998 Alwi, Hasan, dkk. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesi. Jakarta: Balai Pustaka, 2000. Anwar, Rosihan. Bahasa Jurnalistik dan Komposisi. Jakarta: Pradnya Paramitta. 1991. Azies, Furqanul dan A Chaedar Alwasiah. Pengajaran Bahasa Komunikatif. Teori dan Praktek. Bandung: PT Rosdakarya, 2000. Birowo, M Antonius. Metode Penelitian Komunikasi. Yogyakarta: Gitanyali. 2004. Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana. 2007. Carsen, Peter. Textual Analysis of Fictional Media Content”. dalam Klaus Bruhn Jensen dan Michael Jankoviscki. A Handbook of Qualitative Methodologies for Mass Communication Research. London and New York: Routledge. 1993. Darma, Yoce Aliah. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya. 2009. Dewabrata, AM. Kalimat Jurnalistik, Panduan Mencermati Penulisan Berita. Yogyakarta: Gadjah Mada University.2004. Djuroto. Manajemen Penerbitan Pers. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2002. Effendy, Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2001. Eriyanto.
Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS. 2001.
Hisyam, Usama, dkk. Editorial Kehidupan, Surya Paloh. Jakarta: Yayasan Dharmapena Nusantara. 2001.
84
Kriyantono, Rachmat. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Cetekan ketiga. 2008. Kusumaningrat, Hikmat, dkk. Jurnalistik Teori dan Praktik. Bandung: Rosdakarya. 2005. Lesmana, Tjipta. Tragedi Prioritas. Jakarta: Penerbit Erwin-Rika Pers. 1988. McQuail, Dennis. Mass Communication Theory: An Introduction. London: Sage Publication. third edition. 1995. Meinanda, Teguh. Pengantar Komunikasi dan Jurnalistik. Bandung: Armico. 1981. Muis, Abdul. Kontroversi Sekitar Kebebasan Pers: Bunga Rampai Masalah Komunikasi, Jurnalistik. Jakarta: PT. Mario Grafika. 1996. Nasional, Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2008. Nurudin. Jurnalisme Masa Kini. Jakarta: Rajawali Pers. 2009. Oetama, Jacob. Perspektif Pers Indonesia. Jakarta: LP3ES. 1987. Rivers, William L, Bryce Mc Intyre, dan Alison Work. Penyunting Dedy Djamaluddin Malik. Editorial. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 1994. Rolnicki, Tom E, dkk. Alih Bahasa oleh Tri Wibowo. Pengantar Dasar Jurnalsme: Scholastic Journaism. Jakarta: Prenda Media Group. 2008. Siregar, Ashadi. Politik Editorial Media Indonesia. Jakarta: LP3ES. 2002. Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. Penerjemah Muhammad Shodia dan Imam Muttaqin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003. Sobur, Alex. Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT Reamaja Rosdakarya. 2006. Sudarman, Dannim. Pengantar Studi Penelitian Kebijakan. Jakarta: Bumi Aksara. 2000. Suhandang, Kustadi. Pengantar Jurnalistik Seputar Organisasi, Produk, dan Kode Etik. Bandung: Nuansa. 2004.
85
Sumadiria, AS Haris. Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2006. . Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis Profesional. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. 2005. Tebba, Sudirman. Jurnalistik Baru. Jakarta: Kalam Indonesia. 2005. Wirardi, Gunawan. Ensiklopedia Nasional Indonesia. Jakarta: PT. Cipta Adi Pusaka. 1990.
B. MEDIA ONLINE
Artikel diakses pada Jumat, 18 Februari 2011 pukul http://gusdur.net/Profil.
21.15 WIB dari
Artikel diakses pada Jumat, 18 Februari 2011 pukul http://kabarindonesia.com.
21.15 WIB dari
Artikel diakses pada Jumat, 18 Februari 2011 pukul http://pelitaku.sabda.org.
21.15 WIB dari
C. LAIN-LAIN Company Profile Media Indonesia Wawancara pribadi dengan Djadjat Sudradjat, Dewan Redaksi Media Group. Dilaksanakan pada Selasa, 23 Februari 2010 jam 19.00 WIB di Kantor Media Indonesia, Kedoya Selatan - Jakarta Barat. Wawancara pribadi dengan Edy A Effendi, mantan wartawan Media Indonesia sekaligus informan. Dilaksanakan pada Selasa, 5 April 2011 jam 17.00 WIB di Summarecon Serpong, Kota Tangerang.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
HASIL WAWANCARA
Narasumber
: Djadjat Sudradjat
Hari/tanggal
: Selasa/ 23 Februari 2010
Waktu
: 19.00 WIB
Jabatan
: Dewan Redaksi Media Group
Tempat
: Kantor Media Indonesia, Kedoya Selatan - Jakarta Barat
1. Bagaimana proses pemilihan tema Editorial Media Indonesia? Apakah tema editorial merupakan representasi dari konteks yang terjadi di ranah publik? Bagaimana pula alur produksi teks pada Editorial Media Indonesia yang ditulis sangat terus terang, berani dan tegas? Proses pemilihan tema pada tahun 2000, saat awal-awal Media Indonesia hadir, belum ada rapat redaksi yang membahas tema. Laurens Tato menjadi penulis tunggal editorial saat itu. Tetapi setelah terbentuknya tim, mulailah ada forum. Ada Saur Hutabarat, Laurens Tato dan saya. Koordinasinya tidak tentu dan tidak formal, main feeling saja. Memang dalam konteks sebuah industri media massa besar, ini tidak sehat. Hanya saja sudah ada kesepakatan mengenai batasan-batasan umum yang sekiranya memiliki tingkat sensitivitas tinggi (SARA, menyerang pribadi, meruntuhkan kredibilitas negara, menyinggung merah putih) harus dihindari. Sekarang sudah makin terencana dan ada rapat redaksi. Ada jatah-jatah siapa yang menulis apa, pembagian tersebut disesuaikan
dengan bidang kemampuannya. Gairah ke politiknya relatif tinggi, sesekali ekonomi, kebudayaan, dan pendidikan. Editorial Media Indonesia tentu saja merekonstruksi fakta-fakta di lapangan. Kerja jurnalistik itu pasti ada fakta dulu. Jika ada teks dulu baru peristiwa, itu namanya agenda setting. Kerja jurnalistik adalah memaknai peristiwa, peristiwa harus mempunyai makna. Kerja jurnalistik juga harus merekonstruksi peristiwa. Cara menilai suatu rekonstruksi benar atau tidak adalah semakin dekat dengan fakta peristiwa aslinya, semakin benar dari perstiwa. Semakin dipelintir, semakin jauh dari kebenaran peristiwa. Artinya, publik boleh dan mempunyai hak menyeleksi dan meninggalkan yang rekonstruksinya jauh dari peristiwa. 2. Apakah dalam memproduksi sebuah teks dalam Editorial Media Indonesia dihasilkan secara personal? Bagaimana akurasi kecocokkan antara kebenaran konteks dengan kebenaran teks? Kalau kita bicara proses dari awal, editorial itu hak privat publisher, sikap penerbit terhadap sesuatu. Media Indonesia menjadi menarik karena editorial yang sifatnya privat dibedah di ruang publik, publik dilibatkan. Agar memiliki public meaning, silakan saja publik berkomentar. Tetapi dalam konteks membangun demokrasi, interaksi seperti ini menjadi penting. Barang privat dipublikasikan di ruang publik, hasilnya jadi milik bersama. Pers semakin punya
makna publik, semakin dibaca banyak orang. Semakin jauh dari makna publik, semakin ditinggalkan. Jika ada bahasa pribadi, mudah saja. Hukumannya hanya tinggal diberikan ke publik, biar publik yang menilai. Tetapi spiritnya harus institusi. Subjektivitas dalam editorial merupakan subjektivitas yang harus mempunyai makna publik, dipertanggung jawabkan secara publik dan relnya tetap kembali ke publik. Menurut saya, pers itu bukan sebuah kebenaran. Tapi semangatnya harus selalu mencari kebenaran. Pers itu bukan agamawan, tetapi harus seperti ilmuwan. Lagi-lagi peran publiklah yang sangat penting untuk menilai suatu kebenaran, pers bukan segala-galanya. Itulah pentingnya ruang publik, ada hak jawab dan hak bertanya. Ada ruang berinteraksi untuk membangun dan mencari kebenaran. Wartawan itu perlu didebat atau dipersoalkan, supaya wartawan dapat mempertanggung jawabkan hasil berita yang diliputnya di lapangan. Pers perlu berbagi tugas. Sebagai wartawan, di lapangan tak ada problem. Yang jadi problem ketika disampaikan ke ruang publik. Semakin banyak angel, semakin banyak yang bisa dinikmati publik. Jika pers tidak menarik, publik berhak meninggalkan. Pers itu sama seperti bank, jika tak percaya ya pindah saja. 3. Terkait dengan produksi teks, bagaimana peran editor bahasa dalam melihat teks editorial yang ditulis oleh Tim Editorial. Apakah berpandu
pada kaidah bahasa jurnalistik? Tolong jeleskan sejauh mana wewenang editor bahasa, apakah ia berhak melakukan perombakan dalam sisi teks? Tentunya dalam sebuah struktur keredaksian sudah memiliki job desk masing-masing sesuai dengan perannya. Memang tak jarang ada perdebatan menyoal gaya bahasa antara redaktur bahasa dengan tim editorial. Seperti yang tadi saya katakan bahwa semakin lama semakin ketemu keseragaman bahasanya. Editor bahasa dan tim editorial mampu sinergi. Jadi seolah-olah isi kepala kita sudah sepemikiran dan seragam, justru hal tersebut menjadi sebuah karakter Editorial Media Indonesia, terus terang, tegas dan lugas. Mengenai perombakan pada konten, tentu ada aturannya dan mesti melalui kesepakatan rapat redaksi. Peran editor bahasa harus mampu meminimalisir kesalahan pada penulisan tiap kata, kalimat dan paragraf yang masih berbentuk dummy sebelum proses akhir naik cetak. Editor bahasa tentu memiliki bobot peran yang sangat penting dalam proses produksi penulisan editorial. 4. Siapakah yang memiliki otoritas mengubah, mengurangi, menambahkan dan mengoreksi judul serta isi editorial? Apapun bentuknya, berita itu wajar mengalami perubahan di akhir. Jika ada peristiwa yang lebih aktual dan menarik, memungkinkan ada perubahan. Bukan menjadi monopoli editorial, jadi wajar saja jika ada perubahan. Jika perubahan itu dilakukan oleh Pemred, itu bukan masalah. Pemred memiliki
otoritas dan Pemred pula yang bertanggung jawab jika ada masalah. Pemred punya hak. 5. Mengapa penulisan Editorial Media Indonesia terhadap pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan personalitasnya sebagai tokoh politik, ditulis menggunakan gaya bahasa perumpamaan, satire, sinisme, dan sarkasme? Apakah penulisan Editorial Media Indonesia berpijak pada kaidah bahasa jurnalistik dan etika bahasa? Adakah ideologi secara institusi maupun pribadi yang melatari penulisan editorial? Gus Dur bagi pers saat jelang jatuh, tidak menarik pemberitaannya. Dari segi pemerintahan, sudah jauh bersimpang jalan dengan kehendak publik. Gus Dur itu demokratis, tahan banting, dan hanya Gus Dur yang bisa dikiritik dan tidak pernah ada masalah. Tapi memang tidak semua kebijakan Gus Dur mesti kontra. Secara integrasi kebangsaan, sangat bagus. Wacana yang disodorkan Gus Dur saat itu mampu meminimalisir konflik. Penulis editorial itu macam-macam, punya latar belakang kultural berbeda. Punya cita rasa bahasa yang berbeda. Cita rasa bahasa dibentuk oleh pemahaman. Menjadi menarik, bahasa itu arbitrer (sembarang). Kata yang sama jika diucapkan oleh orang beda budaya akan berbeda maknanya. Kasar tidak kasar, halus tidak halus, tidak ada standarnya. Gaya bahasa personal pasti tidak bisa dihilangkan. Tetapi jika setiap orang harus membangun standar bahasa yang sama, iya. Walaupun ada pertentangan dengan bahasa, tapi semakin lama
semakin
ketemu
keseragaman
bahasanya.
Akhirnya
Media
Indonesia
menemukan formula bahasa yang bisa diterima masyarakat. Bahasa yang baik mesti bahasa yang terdidik, bahasa yang tidak vulgar, tidak menyerang secara pribadi, sedikit ada sentuhan sastra. Bahasa yang miskin metafor, tak ada analogi, tak ada kata imaji, akan membuat jenuh pembaca. Ideologi bukan menjadi permasalahan besar, tinggal bagaimana dengan public meaningnya. Intinya antara formula kebahasaan dengan public meaning mesti seimbang antara konten dengan kemasan.
HASIL WAWANCARA
Narasumber
: Edy A Effendi
Hari/tanggal
: Selasa/ 5 April 2011
Waktu
: 17.00 WIB
Jabatan
: Mantan Wartawan Media Indonesia
Tempat
: Summarecon Serpong, Kota Tangerang
1. Perkenalan informan dengan Media Indonesia. Sejauh mana mengenal Media Indonesia? Saya tahu Media Indonesia sejak awal, persisnya saya lupa. Koran ini sebenarnya koran lama secara domain dan nama, kemudian dibeli Surya Paloh. Pada awalnya grup Surya Paloh mempunyai koran bernama Prioritas, kemudian dibredel Orba karena pemberitaan di halaman belakang dengan judul kalau tak salah ‘Soeharto dan Firaun’, penulisnya Elman Saragih (sekarang Pemred Metro Tv). Akibat dibredel, Elan digusur menjadi reporter senior dan dibuang ke Medan. Surya Paloh kemudian membeli domain Media Indonesia yang sudah lama tak aktif”. 2. Di mana perbedaan Media Indonesia dengan surat kabar lainnya? Dari sisi pemberitaan, Media Indonesia sangat lugas. Lugas dalam mengelola pemberitaan, tidak bertele-tele. Ini terlihat pada pola penulisan berita
yang tidak bersambung ke halaman lain. Misalnya ada berita halaman pertama, tak ada sambungan di halaman lain. Tentu ini berbeda dengan harian Kompas. Tak
bersambung
ke
halaman
lain
ini,
memudahkan
pembaca
untuk
menyelesaikan secara tuntas di halaman awal. Tapi risikonya tak ada kedalaman dari isi berita itu 3. Perkenalan informan dengan Editorial Media Indonesia. Sejauh mana mengenal Editorial Media Indonesia? Saya tahu Editorial Media Indonesia, karena saya pernah terlibat selama dua tahun di dalamnya. Kebetulan saya menjadi Tim Editorial pertama dari unsur wartawan. Generasi baru penerus editorial, khusus dari unsur wartawan. Diambil dari juara-juara workshop editorial di berbagai tempat selama tiga hari. Inilah hebatnya Media Indonesia, kawan-kawan digodok dalam menulis editorial atau apapun secara selektif. Sejak lama Tim Editorial ditulis unsur pimpinan, di antara unsur pimpinan itu ada Saur Hutabarat, Djadjat Sudradjat, dan Laurens Tato. Waktu itu ada Mas Imam Anshori Saleh, seorang Gus Durian PKB asli. Isu-isu ke-Islaman biasanya ditulis Mas Iman, baik momentum hari raya, Iedul Adha atau isu-isu politik yang terkait dengan soal Islam. Sejatinya, seorang Saur Hutabarat dan Laurens Tato yang non muslim pun bisa menulis soal-soal keislaman. Seperti halnya Djadjat Sudradjat menulis soal kekristenan, karena patokan penulisan editorial sudah baku.
4. Bagaimana pandangan anda terhadap Editorial Media Indonesia? Soal Editorial Media Indonesia saya pikir sama dengan editorial-editorial lain. Tapi kalau mau jujur, setiap penulisan berita maupun editorial itu cerminan dari institusi yang mengelolanya, siapa yang di belakang layar pengelola. Secara otomatis berbagai kebijakan penulisan tak lepas dari cara berpikir mereka. Secara kebetulan kawan-kawan yang berdiri di tingkat elit Media Indonesia dalah non muslim. Sebut saja Andy F Noya, Laurens Tato, Saur Hutabarat, dan Elman Saragih. Dulu ketika saya masih menjadi wartawan Media Indonesia, kami menyebut empat sekawan. Ketika fotografer mau memuat foto kebiadaban Israel di Palestina, Yohanes Widada, waktu itu asisten redaktur eksekutif, selalu menghalangi. Juga ketika demo PKS yang begitu rapi dan sangat massif, Elman Saragih selalu meminta tak memuat foto, hanya beritanya saja. Ini jelas-jelas tak fair. Saya waktu itu sebenarnya malu karena KOMPAS yang dikenal sebagai bagian dari kelompok Katolik, justru memuat foto demo PKS di halaman muka. Hal lain ketika kasus Sekolah Sang Timur, Karang Tengah, Tangerang, Editorial Media Indonesia jelas-jelas memihak sekolah itu dengan alasan tak jelas. Tentu ini dibarengi unsur subjektif.
5. Bagaimana Penilaian terhadap penulisan Editorial Media Indonesia yang memuat tentang Abdurrahman Wahid (Gus Dur)? Dari sisi kebahasaan, Editorial Media Indonesia terkenal sangat lugas dan tegas. Dari kalangan manapun, orang bisa langsung membaca Editorial Media Indonesia. Inilah sisi kebahasaan, kemampuan menggunakan kata-kata secara efektif, padat, dan singkat. Biasanya penulisan editorial tak lebih dari 45 baris atau sekitar tujuh paragraf atau satu halaman setengah kuarto. Spesifikasi pada penulisan Gus Dur, saya melihat, membaca, dan meraba, terkesan sangat sinis dan satire. Sikap sinis itu lagi-lagi dipengaruhi unsur subjektif dari Tim Editorial. Kami selalu rapat editorial sebelum editorial ditulis. Jadi, pendapat yang mengemuka di editorial bukan pendapat pribadi tapi pendapat institusi. Susahnya kemudian, meski pendapat institusi, Media Indonesia, tapi penulisan editorial tak lepas dari unsur subjektivitasnya. Unsur subjektivitas inilah yang kemudian seringkali menggangu piranti objektivitas ketika berhadapan dengan persoalan Gus Dur. Judul dan isi editorial seringkali diedit oleh tim yang lebih senior.
Profil Edy A Effendi Menekuni dunia tulismenulis sejak duduk di bangku SMA, Edy A Effendi terus mengasah dan kemudian menemukan dunianya dalam ranah kepenyairan dan jurnalistik. Sebagai Edy A Effendi (tengah) bersama Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA (kiri) dan H. Rosihan Anwar(kanan), saat menghadiri seminar di penyair, ia sudah beberapa Afrika Selatan. kali mengikuti even-even berskala nasional dan internasional. Membaca sajak dan menjadi pembicara di berbagai forum sastra. Jejak kepenyairan inilah yang kemudian menggiring langkahnya menjajaki bumi Amerika Serikat. Di negeri Paman Sam, ia memperoleh bea siswa tuk menulis novel dan mempelajari sastra modern Amerika di University of Southern California pada paruh 2007. Jejak-jejak seperti inilah menjadi momentum sosok Edy A Effendi masuk lebih dalam lagi dalam dunia sastra. Di luar jejak kepenyairan, ia juga menggeluti dunia jurnalistik sejak tahun 1987. Terakhir dia menduduki jabatan sebagai Redaktur Budaya harian nasional Media Indonesia. Bekal sebagai penulis menjadikan dirinya mudah menempatkan profesi jurnalistik. Kemudahan ini dapat terlihat ketika ada workshop pelatihan penulisan editorial bagi wartawan Media Indonesia selama tiga hari di Anyer, Banten, dirinya menjadi juara satu penulisan editorial gelombang II. Sebagai juara satu, otomatis ia menjadi penulis editorial yang setiap hari harus memantau berbagai gejolak kehidupan publik. Beberapa tulisan di media massa, khususnya soal sastra menghiasi pelataran koran Indonesia, khususnya koran Kompas. Selain menulis di media massa, ia juga menulis lima buku, 19 buku tokoh dan 29 sebagai editorial. Salah satu buku yang dia edit dan menjadi isu pembicaraan hangat di kalangan mahasiswa Islam adalah “Dekonstruksi Islam Madzhab Ciputat,” yang diterbitkan Penerbit Zaman, 1999. Selain itu, ia juga menjadi editor buku disertasi Prof. Dr. Greg Barton, yang dikenal sebagai penulis buku-buku Gus Dur itu. Saat ini, ia tengah mengelola Tabloid KABAR LAIN sebagai pemimpin redaksi.
Struktur Keredaksian Media Indonesia Pendiri : Drs. H. Teuku Yousli Syah, MSi (Alm). Direktur Utama :
Rahni Lowhur Schad
Direktur Pemberitaan :
Saur Hutabarat
Dewan Redaksi Media Grup :
Elman Saragih (Ketua) Anna Wijaya Rahni Lowhur Schad Djafar Husin Assegaff Saur Hutabarat Andy F. Noya Djadjat Sudrajat Toeti Adhitama Lestarai Moerdijat Bambang Eka Wijaya Sugeng Suparwoto
Redaktur Senior :
Saur Hutabarat Laurens Tato Elman Saragih
Kepala Divisi Pemberitaan :
Usman Kansong
Deputi Kadiv. Pemberitaan :
Kleden Suban
Kadiv. Artistik, Foto dan Produksi :
Sinartus Sosrodjojo
Kadiv Content Enrichment :
Gaudensius Suhandi
Ass. Kadiv Pemberitaan :
Abdul Khohar Yohanes S. Widada
Ade Alawi Ono Sarwono Haryo Prasetyo Rosmery Christina S. Sekretaris Redaksi :
Teguh Nirwahyudi
Ass. Kadiv. Foto :
Hariyanto
Ass. Kadiv. MICOM :
Tjahyo Utomo Victor J.P. Nababan
Redaktur :
Agus Wahyu Kristianto Cri Canon Riadewi Eko Suprihatno Eko Rahmawanto Fitriana Siregar Gantyo Koespradono Hapsoro Poetro Hendri Salomo Ida Farida Jaka Budisantosa Lintang Rowe Mathias S. Brahmana M. Anwar Surachman Sadyo Kristriarto Soelistijono
Profil Pembaca Media Indonesia
Keterangan Gambar: Profil pembaca Media Indonesia
diklasifikasikan berdasarkan beberapa
golongan, antara lain: 1. Jenis kelamin. Mayoritas pembaca setia Media Indonesa berasal dari golongan laki-laki (87%) dan selebihnya perempuan (13%). Melihat persentase tersebut dapat disimpulkan bahwa laki-laki lebih memiliki minat baca lebih tinggi daripada perempuan, khususnya terhadap Media Indonesia. 2. Pendidikan. Pembaca Media Indonesia berdasarkan level pendidikan memang cukup menarik untuk dibahas. Dapat dilihat persentase dari tiap jenjangnya, sampai dengan SLTA (10%), D1-D3 (15%), S1 (51%), S2 (19%), dan S3 (5%). Ini membuktikan bahwa budaya baca masyarakat Indonesia memang unik, unik dalam arti semakin tinggi tingkat pendidikan (intelektualitas) semakin rendah minat membaca. Kesadaran akan pentingnya membaca media cetak tergolong lemah. Dominasi minat baca di tingkat S1 cukup baik dari lainnya. 3. Usia. Pada usia remaja 17-24 tahun (12%), usia produktif 25-34 tahun (45%), usia matang 35-44 tahun (29%), usia 45-55 tahun (12%) dan usia di atas 55 tahun (2%). Usia produktif lebih konsumtif terhadap bacaan media cetak (Media Indonesia), kebutuhan akan informasinya lebih tinggi dibandingkan usia lainnya. 4. Pekerjaan. Pembaca Media Indonesia dilihat dari golongan pekerjaan sangat variatif , berdasarkan database pihak sekretaris redaksi hanya beberapa responden yang diambil sebagai pengelompokkan pembaca
dilihat dari pekerjaan. Pegawai swasta (52%), PNS (13%), Pegawai BUMN (14%), Pengusaha (4%), Mahasiswa (11%), TNI-Polri (1%), Eks. Patriot dan lainnya (pedagang, pengangguran) 3%. Pembaca Media Indonesia paling banyak adalah pegawai swasta. 5. Pengeluaran.
Dari sisi jatah pengeluaran, responden pembaca Media
Indonesia lebih banyak di tingkat pengeluaran lebih dari 3,5 Juta.