EDITORIAL MEDIA INDONESIA DAN TAJUK RENCANA KOMPAS DALAM ANALISIS WACANA KRITIS Oleh: Dr. Endro Sutrisno
ABSTRAK This paper reports a critical analysis of two discourses: editorial Editorial Media Indonesia (written and spoken) and Tajuk Rencana Kompas (written), edition dated May 6, 2010. Using methods of critical discourse analysis (CDA), both are dissected to identify: 1) Where both of them take sides. 2) What is the form taken by those partialities. The results show that the Editorial Media Indonesia has a more dominant side with the people, while the Tajuk Rencana Kompas is relatively more neutral, even in some cases showing its concern to the Government. Inclination was raised on several prominent aspects, such as: the use of vocabulary, grammatic and textual structure. Key words: discourse, CDA.
A. PENDAHULUAN Kasus Bank Century sudah diberitakan secara luas pada awal tahun 2010, namun sampai kini—menurut kalangan tertentu—belum terungkap secara tuntas. Ditengarai, ada pengaruh kekuatan di luar teks (sosial, budaya, politik, ekonomi, psikologi) yang melatari kondisi tersebut. Setelah sekian lama kasusnya belum terungkap secara tuntas, muncul dorongan untuk kembali mencermati fenomena pemberitaannya—sebagai suatu bentuk proses sosial— dari kaca mata linguistik, yang dalam hal ini: analisis wacana. “Tegasnya,
penetapan
Susno
Duadji
sebagai
tersangka
berikut
penangkapan dan penahanannya lebih memperlihatkan logika kekuasaan daripada logika yuridis”. Demikian tertulis di surat kabar (Eddy O.S. Hiariej, dalam Kompas, 17 Mei 2010, hal. 7). Tulisan itu memerlihatkan: 1) Penangkapan dan penahanan Susno Duadji adalah sebuah peristiwa. Karena sudah menjadi perbincangan luas (berbentuk text, talk, act, artifact), peristiwa
1
itu dapat disebut wacana (Schiffrin, 1994: 20-43; Yoce Aliah Darma, 2009:4). 2) Wacana tersebut lebih memerlihatkan logika kekuasaan daripada logika yuridis. Kedua hal tersebut di atas menegaskan, bahwa sebuah wacana bukan hanya teks dengan makna linguistik atau makna tekstualnya, melainkan teks yang mengandung ideologi, logika, hegemoni kekuasaan, sesuai dengan konteks dan sejarah kelahirannya. Sebuah wacana merupakan bentuk ekspresi ideologi yang berasal dari berbagai peristiwa sosial (Eriyanto, 2001: 7-14). Maka dari itu, pengkritisannya memerlukan wawasan multidisiplin. “Three concepts figure indispensably in all CDA: the concept of power, the concept of history, and the concept of ideology. … every discourse is historically produced and interpreted”, demikian ditegaskan Wodak & Meyer (2001: 3). Dalam
sebuah
teks
(wacana)
terbaca
keberpihakan,
hegemoni,
marjinalisasi, dominasi dan objeknya (Wodak & Meyer, 2001: 3). Dengan demikian disadari, bahwa sebuah wacana tidak muncul tiba-tiba, juga tidak berada dalam ruang kosong, bahkan hampa. Ada banyak hal melatari dan melingkunginya, seperti ideologi, sejarah, kepentingan politik, atau kepentingan ekonomi. Wacana adalah bagian parktik sosial sekaligus wahana untuk mewujudkan praktik sosial (Wodak & Meyer, 2001: 9). Jadi, wacana merupakan wujud penyampaian pesan yang dilatari konteks tertentu, sejarah tertentu dan tujuan tertentu. Dengan demikian, pemaknaannya perlu memertimbangkan berbagai aspek eksternalnya. Media massa, sebagai teks, juga tidak bebas dari berbagai faktor itu. Maksudnya, media massa pada masa dan konteks tertentu bisa menyuarakan kepentingan tertentu misalnya politik, ekonomi, hukum. Menurut Gramsci (dalam Eriyanto, 2001: 103), media massa bisa menjadi alat hegemoni. Berita tidak mewakili peristiwa semata, tetapi memuat juga nilai-nilai lembaga media yang membuatnya (Fowler, 1991: 4; Tuchman, dalam Yoce Aliah Darma, 2009: 10). Sejarah membuktikannya; pencitraan dan kesadaran kolektif (common sense) dibentuk melalui pemberitaan. Terdapat penggunaan istilah atau kosa kata (penyebutan, pelabelan), gramatika dan struktur
2
tekstual, yang disengaja untuk membangun citra, membangun makna. Inilah salah satu kekuatan bahasa: mampu membangun logika. Dengan demikian, media massa tidak lepas dari pengaruh ideologi dan kekuasaan yang menaunginya. Betapa pun terbuka dan independen sebuah media, ia memerlihatkan keberpihakannya. Karakter itu ada pada setiap media massa, termasuk harian Media Indonesia dan harian Kompas. Ke manakah keduanya berpihak? Bagaimana wujud keberpihakan itu? Kedua pertanyaan itu akan coba dijawab dalam makalah ini dengan membedah editorialnya menurut teori analisis wacana kritis (AWK). Analisis semacam ini bermanfaat untuk membongkar berbagai maksud tertentu di balik teks, dan analisis semacam ini “menjadi perhatian dan minat utama AWK” (Eriyanto, 2001: 19). Data diambil dari Editorial Media Indonesia, edisi tulisan maupun lisan (on line), dan Tajuk Rencana Kompas. Keduanya beredisi tanggal 6 Mei 2010, yang menyorot kasus Sri Mulyani, mantan Menteri Keuangan Republik Indonesia. Dalam mengupas kasus tersebut dan melaporkan hasilnya, kedua media massa menunjukkan kekhasan. Bagaimana bentuk kekhasan tersebut, akan dilaporkan dalam makalah ini.
B. HAKIKAT AWK Analisis wacana kritis (AWK) lahir sebagai bagian dari linguistik fungsional, atau yang disebut juga linguistik kritis (Critical Linguistics). Linguistik kritis mengkaji, “… bagaimana tata bahasa/grammar tertentu membawa implikasi dan ideologi tertentu” (Eriyanto, 2001: 133). Linguistik kritis sendiri lahir sebagai reaksi terhadap linguistik murni, karena disadari bahwa banyak pertanyaan tentang bahasa dan penggunaannya yang tidak terjawab. Dalam pandangan Van Dijk (2001: 352), AWK adalah bagian dari linguistik instrumental, karena bertujuan mengkaji sistem sosial. Karena bahasa adalah bagian dari sistem sosial, maka melalui wacana bisa dikaji berbagai fenomena sosial dalam masyarakat, misalnya penyalahgunaan
3
wewenang, ketidakberesan hukum dan politik. Melalui AWK dapat diungkap, bagaimana kekuasaan bekerja di balik bahasa. Menurut Van Dijk (2001: 354; Yoce Aliah Darma, 2009: 51), AWK diterapkan untuk menganalisis wacanawacana politik, ras, gender, kelas sosial, hegemoni. Boleh jadi, hal itu dimotivasi munculnya persoalan-persoalan itu dalam kehidupan. Tampak di sini, linguistik berupaya memainkan peran yang lebih besar dalam menjawab persoalan kehidupan. Teun van Dijk (2001: 18) menyatakan, “Critical discourse analysis (CDA) is a type of discourse analytical research that primarily studies the way social power abuse, dominance, and inequality are enacted, reproduced, and resisted by text and talk in the social and political context." Pernyataan itu mengisyaratkan
keterlibatan
berbagai
disiplin
di
luar
linguistik.
Memang, setelah sosiolinguistik dan pragmatik berkembang, mengemukalah beberapa pertanyaan penting tentang hubungan bahasa dengan kekuasaan, juga hubungan bahasa dengan politik, misalnya: seberapa besar peranan bahasa dalam mengembangkan kekuasaan? Seberapa besar kemampuan bahasa dalam membentuk penalaran publik? Pertanyaan seperti itulah, antara lain, yang memotivasi lahirnya AWK. Kenyataan menunjukkan, bahwa bahasa bisa menjadi alat kekuasaan dan bisa menjadi alat politik. Bahasa mengandung ideologi, yang mampu membentuk pengetahuan dan kesadaran bersama (common sense). Bahkan, ideologi merupakan konsep sentral dalam AWK (Yoce Aliah Darma, 2009: 57). Sebuah berita, misalnya, bukan hanya mewakili fakta atau peristiwa, melainkan juga menginformasikan (secara implisit) nilai-nilai yang dijunjung lembaga media yang menulis atau melaporkannya. Sebagai contoh, ketika mengupas mundurnya Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan RI, Media Indonesia memberi judul editorialnya “Sri Mulyani Mengapa Pergi?”. Judul yang lugas dan ekspresif itu memerlihatkan kekuatan tertentu di baliknya, yaitu: penyesalan publik. Di sini, publik mendominasi. Sementara itu, Kompas memberi judul tajuk rencananya “Pengunduran Sri Mulyani”. Judul
4
yang dibuat Kompas menyembunyikan subjek (yang harus bertanggung jawab, yaitu Pemerintah), yang berarti keberpihakan kepada Pemerintah. Sejarah juga menunjukkan, betapa besar pengaruh penggunaan bahasa (pidato)—Bung Karno, Bung Tomo, Hitler—dalam membentuk kesadaran kolektif dan pengetahuan pendengarnya. Sudah pula diketahui, bahwa penggunaan bahasa menyimpan daya persuasi, seperti pada slogan, propaganda dan kampanye politik. Daya itu berasal dari dua sisi: internal dan eksternal. Pada sisi internal, sumber daya itu ialah pilihan katanya, penggunaan bentuk frase dan kalimatnya. Pada sisi eksternal, sumber daya itu berupa konteks sosial, sejarah, dan ideologi. Sebuah teks, di samping merupakan teks itu sendiri, juga sebuah representasi (Titscher, Mayer, Wodoak & Vetter, 2000: 32). Asumsi dasar yang mengalasi teori AWK ialah: wacana bukanlah perwujudan makna atau realitas, ia hanya perwujudan pesan. Pesan tersebut bisa dimaknai dengan banyak kemungkinan, tanpa batas. Makna wacana tidak tunggal, selalu terbuka kemungkinan bagi munculnya makna yang kontradiktif, karena realitas tidak berbentuk tatanan, tetapi, “…berada dalam suatu konflik, ketegangan dan kontradiksi yang berjalan terus-menerus diakibatkan oleh dunia yang berubah secara konstan” (Eriyanto, 2001: 56). Makna mengarah bukan kepada “apa” atau “bagaimana”, melainkan kepada “mengapa”. Diasumsikan, bahwa dalam wacana terkandung ideologi dan wacana dibuat untuk memengaruhi pembacanya, membentuk pengetahuan yang harus diterimanya (taken for granted) lalu menjadi kesadaran kolektif (common sense). Di dalam wacana selalu terdapat dua pihak, yaitu subjek dan objek. Subjek mendominasi objek. Jadi, dalam wacana selalu terdapat pihak yang dominan (mendominasi) dan pihak yang didominasi. Diyakini bahwa bahasa digunakan untuk mencapai tujuan tertentu, misalnya tujuan bisnis, politik dan kekuasaan. Wacana bahkan dipahami sebagai “… arena pertarungan sosial, yang semuanya diartikulasikan lewat bahasa” (Eriyanto, 2001: 30). Wodak & Meyer (2001: 11) menegaskan, “Power is about relations of difference, and particularly about the effects of
5
differences in social structures”. Dengan penegasan itu, wacana mampu menjadi alat pembentuk pola pikir. Sebagai contoh: kasus pendangkalan bahasa, terjadi karena dorongan wacana (Endro Sutrisno, 2010). Wacanalah yang membuat nilai-nilai berubah: benar menjadi salah, terang menjadi gelap, dan sebaliknya. Tugas AWK adalah mengungkap kekuatan itu. Karakter inilah yang membedakan AWK dengan analisis wacana positivisme (AW) yang dikenal lebih awal. Dalam AW, analisis berpusat pada teks, sedangkan dalam AWK, analisis berpusat pada subjek, untuk mengungkap unsur-unsur yang tersembunyi di balik teks, motivasi di balik penggunaan teks (Wodak & Meyer, 2001: 2-3). Terdapat lima karakteristik AWK, yaitu (Eriyanto, 201: 7-14; Yoce Aliah Darma, 2009: 61-65), yaitu: 1) Tindakan. Maksudnya, wacana dipahami sebagai suatu wujud tindakan; berwacana berarti bertindak; 2) Konteks. Maksudnya, wacana tidak berada, dibuat dan dikembangkan dalam ruang hampa, tetapi dalam lingkungan peristiwa, situasi, kondisi, latar; 3) Sejarah. Maksudnya, wacana bukanlah sesuatu yang lahir secara tiba-tiba, melainkan sesuatu yang menjadi bagian sejarah, menjadi bagian dari rangkaian panjang peristiwa; 4) Kekuasaan. Maksudnya, wacana bukanlah sesuatu yang alamiah, wajar dan netral, melainkan disusun dengan tujuan menunjukkan dominasi kekuasaan; 5) Ideologi. Maksudnya, wacana bukanlah substansi kosong, hanya rangkaian kata tanpa isi, melainkan sesuatu yang sarat isi, sarat makna untuk menanamkan kebenaran dari pihak yang dominan untuk mendominasi dan menanamkan pengaruh. Dengan karateristik semacam itu, AWK memiliki peranan besar dalam mengungkap aksi-aksi terselubung yang dilakukan dengan bahasa, misalnya praktik kekuasaan, politik, ekonomi dan hukum. Sekaligus, AWK berperanan dalam mengkritisi berbagai macam praktik yang tersembunyi di balik bahasa. Melalui AWK dapat dipetakan persoalan-persoalan sosial, lalu dapat disarankan solusinya. C. METODE
6
Dalam AWK, kegiatan pengumpulan data dan analisisnya menyatu sedemikian rupa secara luwes, sehingga dibutuhkan metode yang bersifat eklektis (Wodak & Meyer, 2001: 25-30). Oleh sebab itu, tidak bisa dikatakan secara jelas, bagaimana metode AWK yang sebenarnya dan yang bisa digunakan secara umum dan praktis. Van Dijk (2001: 353-354) juga mengakui, bahwa tidak ada kesatuan kerangka teoretis atau metodologi tertentu dalam AWK. Metode dalam AWK sepenuhnya ditentukan oleh keberadaan wacananya sendiri, seperti yang sudah dilakukan para pakar (Yoce Aliah Darma, 2009: 19-25). Namun, hal itu tidak berarti bahwa tidak terdapat pegangan yang bisa dipertanggungjawabkan untuk melakukan AWK. Dalam makalah ini, analisis dilakukan dengan menggunakan karakter AWK sebagai titik tolak pertimbangan. Jadi, AWK di sini dilakukan dengan mengidentifikasi tiga hal, yaitu: tindakan, kekuasaan dan ideologi yang bekerja di balik wacana. Selanjutnya dianalisis faktor-faktor: konteks dan sejarah. Metode ini sesuai dengan model Teun van Dijk, yaitu model “kognisi sosial”, yang paling banyak dipakai dan dikembangkan para ahli (Yoce Aliah Darma, 2009: 86), yang meliputi pendekatan mikro dan makro (van Dijk, 2001: 354). Kegiatan dimulai dengan mengidentifikasi unsur-unsur teks yang mengindikasikan tindakan, kekuasaan dan ideologi, berupa: kosa kata, gramatika, juga struktur teks (analisis mikro). Kemudian, unsur-unsur tersebut dianalisis (dimaknai, ditafsirkan), untuk mengungkap dua hal, yaitu: ke manakah wacana berpihak dan bagaimana bentuk keberpihakan itu (analisis makro).
D. SAJIAN DATA Kedua teks memerlihatkan bagian-bagian yang dapat dijadikan titik tolak analisis. Bagian-bagian itu diidentifikasi, diberi catatan (komentar) dan direfleksikan; sepenuhnya dilaporkan berikut ini. Untuk keperluan tersebut, teks diurai menjadi penggalan-penggalan yang bernomor urut (berupa abjad berhuruf kecil) berdasarkan jumlah catatan atau komentarnya. Teks seutuhnya ada dalam lampiran.
7
1. Tajuk Rencana Kompas TAJUK RENCANA Kamis, 6 Mei 2010 | 04:35 WIB a. Pengunduran Sri Mulyani Reaksi atas pengunduran diri Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati
Comment [w1]: Judul ini berupa nominalisasi, mengaburkan subjek..exclusion. Fairclough, Theo van Leeuwen
dari kabinet bermacam-macam, tetapi kebanyakan sangat terkejut. b. Tidak sedikit yang spontan bergumam dan berdesah, dunia mengakui dan mengambil manfaat dari kemampuan Sri Mulyani, tetapi mengapa
Comment [w2]: Istiah ini menunjukkan, bahwa ada inclusion.ada actor yang masuk.
kurang atau tidak dihargai di dalam negeri sendiri. c. Suara desahan bertambah, lebih-lebih setelah beredar luas berita Sri Mulyani ditawar Bank Dunia menduduki posisi strategis sebagai
Comment [w3]: Inclusion.
direktur pelaksana. Tawaran itu menunjukkan pengakuan dunia atas kemampuan dan reputasi Sri Mulyani dalam bidang keuangan. d. Jika Sri Mulyani menerima tawaran itu, tampaknya bukan karena pertama-tama tergoda dengan jabatan strategis dan bergengsi di Bank Dunia, melainkan lebih karena kegaduhan politik dalam negeri yang Comment [w4]: Kalimat ini menguatkan hegemoni yang ada, masyarakat dilarang memertanyakan.
tampaknya banyak menghambatnya dalam berkinerja secara optimal. e. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri di hadapan media massa
Comment [w5]: Penguatan hegemoni.
menyatakan menerima pengunduran diri Sri Mulyani.
f. Penggantinya belum diumumkan. Tidak dikemukakan secara rinci oleh Presiden ataupun oleh Sri Mulyani sendiri tentang alasan pengunduran Comment [w6]: Pernyataan ini menunjukkan adanya hegemoni atas hak publik, sambil mengaburkan peranan Presiden dan Sri Mulyani, exclusion.
dirinya.
8
g. Namun, tak terhindarkan muncul berbagai spekulasi dan interpretasi yang mengaitkan langkah Sri Mulyani dengan kegaduhan politik sekitar kasus Bank Century. Kegaduhan kasus aliran dana talangan Rp 6,7 triliun kepada Bank Century telah menguras tenaga dan waktu pemerintah, terutama mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono, Comment [w7]: Ini justifikasi pengunduran Sri Mulyani. Hak public makin termarjinalisasi.
yang kini Wakil Presiden, dan Menkeu Sri Mulyani.
h. Terlepas dari proses hukum yang sedang berlangsung di Komisi Pemberantasan Korupsi atas kasus Bank Century, pengunduran diri Sri Mulyani dipandang oleh para pengamat sebagai ekspresi integritas tinggi seorang tokoh di tengah budaya yang cenderung memuja kekuasaan. Amat jarang dalam sejarah Indonesia seorang pejabat tinggi melepaskan kedudukannya untuk menjaga kredibilitas dan Comment [w8]: Untuk ke sekian kali, ini memarjinalisasi hak public.
integritas dirinya. Suka atau tidak, Sri Mulyani merupakan salah satu anggota kabinet yang sosoknya mencolok karena kinerja, reputasi, dan kemampuannya yang tinggi. Ia menjadi satu dari sedikit perempuan Indonesia yang kiprahnya diakui luas pada tingkat kawasan ataupun dunia. Sebagai pribadi yang ikut melambungkan citra Indonesia di panggung dunia, pengunduran diri Sri Mulyani dari kabinet merupakan sebuah kerugian.Sudah menjadi kegelisahan juga, bagaimana kelanjutan reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan. Sri Mulyani bersikap tegas dalam upaya membereskan bidang perpajakan dan pabean. i. Sekalipun banyak yang gelisah atas pengunduran dirinya, tidak sedikit pula yang berharap setelah terbang setinggi-tingginya sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia, Sri Mulyani pada saatnya nanti akan kembali hinggap ke kubangan untuk mendedikasikan kemampuannya bagi kemajuan Indonesia.
9
Comment [w9]: Alinea ini seolah mengiklaskan perginya Sri. Tapi bisa dimaknai sebagai penympul, penegas, bahwa Sri memang harus pergi dan hal itu jangan dipersoalkan lagi. Ini bukti adanya penanaman ideologi, sehingga akan disadari secara common sense, bahwa kepergian Sri merupakan sesuatu yang taken for granted (harus diterima).
(http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/06/04351792/tajuk.renc ana) 2. Editorial Media Indonesia Comment [w10]: Judul ini tendensius, bernuansa penyesalan. Opini: menyayangkan kepergian Sri Mulyani. Di sini ada inclusion, penempakan keinginan public untuk memertanyakan.
a. Sri Mulyani Mengapa Pergi? Kamis, 06 Mei 2010 00:00
SRI Mulyani Indrawati--akrab disapa Mbak Ani--menjadi magnet diskusi publik lagi. Setelah tiada henti menjadi perdebatan karena perannya dalam bailout Bank Century yang dituduh sarat skandal, kini Mbak Ani yang juga sarat pujian dunia itu ramai dibicarakan lagi. Bank Dunia menunjuk Sri Mulyani menjadi managing director. Dengan jabatan tersebut Sri Mulyani akan menjadi orang nomor dua di bank berpengaruh yang berkedudukan di Washington, Amerika Serikat, itu. b. Di manakah letak bobot persoalan Sri Mulyani? Dia sedikit dari wanita di dunia yang menjadi menteri keuangan dan menikmati berbagai penghargaan bergengsi. Tetapi di dalam negeri, karena kasus Century, Sri Mulyani tersiksa karena proses politik dan hukum yang sedang dijalaninya. Artinya, Sri Mulyani sekarang ini adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia yang masih terikat oleh hukum Indonesia. Tidak saja sebagai warga negara, tetapi juga sebagai pejabat negara. c. Terlebih lagi Sri Mulyani sedang terikat oleh sebuah penyelidikan hukum yang belum selesai. Permasalahan yang muncul kemudian adalah pada pertanyaan apakah setelah menjadi pejabat Bank Dunia yang berkantor di Washington semua urusan yang berkaitan dengan Sri Mulyani dalam hubungan dengan kasus Century tidak terganggu?
d.
Dimensi lain adalah pada hak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun Sri Mulyani untuk menolak atau menerima. Ternyata, Sri Mulyani lebih memilih menjadi managing director Bank Dunia ketimbang mempertahankan posisinya sebagai menteri keuangan. Dan, ternyata juga, Presiden Yudhoyono menyetujui dengan senang hati dan bangga.
e. Ketika Presiden dan Sri Mulyani tidak bisa menolak tawaran Bank
10
Kebanyakan, judul editorial dibuat ekspresif oleh Media Indonesia. Contoh-contoh lain bisa dilihat.
Comment [w11]: Penggunaan kalimat tanya di sini menunjukkan kedekatan media terhadap pembaca. Ini akses bagi perdebatan public, keberpihakan terhadap hak public.
Comment [w12]: Perdebatan mulai berjalan. Ini wujud hegemoni hak public.
Comment [w13]: Istilah ini menunjukkan bahwa Sri Mulyani aktif, tidak pasif, ditampilkan sebagai subjek, inclusion.
Dunia, muncul pertanyaan apakah sesuatu yang datang dari Bank Dunia mutlak sifatnya? Juga apakah Bank Dunia bebas memilih siapa saja dari belahan dunia mana saja untuk menduduki jabatan di bank itu tanpa terikat pada tata aturan negara bersangkutan?
f. Ketika Sri Mulyani menerima tawaran jabatan dari Bank Dunia dan karena itu mengundurkan diri sebagai menteri, terjadilah reshuffle. Inilah sebuah dimensi politik bagi SBY yang tidak kalah ringan. Jabatan menteri keuangan adalah posisi yang amat strategis karena itu tidak bisa diisi oleh sembarang orang atau sembarang kepentingan.
g.
Comment [w14]: Ini ruang diskusi public, elemen eksplanasi dan argumentasi dalam teks.
Comment [w15]: Alinea ini juga menunjukkan betapa kuat dominasi public.
Terlepas dari kerumitan dan komplikasi yang muncul karena kepergian Sri Mulyani, kita perlu mengapresiasi kehebatan anak bangsa yang bernama Sri Mulyani itu. Dia memiliki kapasitas dan kompetensi untuk memperoleh kepercayaan dunia.
Comment [w16]: Istilah ini menunjukkan keakraban. Media merasa akrab dengan pembaca; bentuk keberpihakan.
h. Tetapi sayangnya di dalam negeri dia tersiksa oleh sebuah proses hukum yang tak kunjung selesai.
Comment [w17]: Opini ini menyatakan adanya perasaan dekat dengan Sri Mulyani, keberpihakan kepada public.
i.
Comment [w18]: Penggunaan istilah ini menunjukkan, bahwa MI juga merasa dekat dengan Sri Mulyani. Hal ini relevan dengan judul, yang menyayangkan kepergian Sri Mulyani.
Para pengagum Sri Mulyani mengatakan Mbak Ani akan berperan lebih besar bagi Indonesia ketika duduk sebagai pejabat penting di Bank Dunia.
j. Tetapi, kalau negeri ini menganggap Sri Mulyani penting dan vital, mengapa kita membiarkan dia pergi. Mengapa SBY tidak mempertahankan dia sebagai menteri keuangan?
Comment [w19]: Sajian paradoks ini menunjukkan ekspresivitas, keakraban dengan pembaca. Comment [w20]: Istilah ini mengesankan bahwa di sini Sri Mulyani yang aktif. Jadi, menurut MI, Sri Mulyani tidak terdesak, tetapi aktif menjdi dirinya sendiri, dengan sadar memilih.
k.
Kalau Sri Mulyani boleh menjawab jujur, apakah pertimbangan utamanya sehingga lebih memilih menjadi managing director Bank Dunia ketimbang mengabdi bagi bangsa dan negara melalui Kementerian Keuangan?
11
Ini menunjukkan dominasi Sri Mulyani atas proses hukum yang sedang menimpanya di dalam negeri. Setelah membaca editorial ini, terbentuk di benak pembaca bahwa Sri Mulyani adalah sosok yang kuat. Penulis wacana ingin menekankan hal itu. Ini ideologinya. Dikesankan, Sri Mulyani begitu hebat, sehingga makin menonjollah keheranan public, mengapa ia harus pergi. Di sini, hegemoni public kuat. .
(http://www.mediaindonesia.com/read/2010/05/06/140855/70/13/SriMulyani-Mengapa-Pergi)
Selanjutnya, data di atas dianalisis berikut ini. Di dalam analisis, penyebutan data 1-a, 1-b dan seterusnya mengacu kepada Tajuk Rencana Kompas, sedang penyebutan data 2-a, 2-b dan seterusnya mengacu kepada Editorial Media Indonesia. E. ANALISIS Sebagaimana ditegaskan Wodak & Meyer (2001: 3), AWK membedah teks untuk menemukan konsep kekuasaan, konsep ideologi, dan konsep sejarah. Berikut ini hasil pembedahan atas kedua teks. 1. Konsep Kekuasaan Di dalam Tajuk Rencana Kompas dan Editorial Media Indonesia mengemuka konsep kekuasaan; terbaca hegemoni subjek terhadap objek. Analisisnya berikut ini. a. Tajuk Rencana Kompas Oleh penulisnya (wartawan), Tajuk Rencana Kompas diberi judul “Pengunduran Sri Mulyani”, bukan “Sri Mulyani Mundur”, atau “Mundurlah Sri Mulyani”, atau yang lainnya. Judul yang berbentuk nominalisasi (pembendaan) itu, menunjukkan, bahwa penulis (wartawan) ingin langsung menyatakan peristiwa, atau “apa yang terjadi”, tanpa mengkaji lebih dalam, “bagaimana” dan “mengapa” hal itu terjadi. Istilah “pengunduran diri” dipakai secara konsisten hingga akhir tulisan. Boleh jadi, hal ini didorong kekurangmampuan—daya, waktu—wartawan melakukan kajian lebih lanjut. Dengan demikian, tanpa disadari, wartawan terhegemoni untuk menyembunyikan alasan tindakan itu, yang seharusnya lebih penting untuk dikabarkan kepada publik (Fairclough, 1989: 124). Menurut Theo van Leeuwen (dalam Eriyanto, 2001: 171-175) strategi ini disebut exclusion: mengeluarkan aktor agar lepas dari pengamatan. Aktor di sini adalah “penyebab” peristiwa. Ini sebuah tindakan kekuasaan. Di sini tampak, bahwa hak publik—untuk mendapat informasi penting—termarjinalisasi. Kekuasaan yang mengemuka di sini 12
adalah kekuasaan media massa, atas publik. Eriyanto (2001: 26) menulis, “Karena media dikuasai oleh kelompok yang dominan, realitas yang sebenarnya telah terdistorsi dan palsu”. Di sini, realitas yang palsu itu ialah “pengunduran Sri Mulyani”, sedangkan yang asli (yang seharusnya muncul) ialah “mengapa Sri Mulyani mundur”. Kekuasaan atau hegemoni itu terbaca lagi pada 1-f, dalam pernyataan, “Tidak dikemukakan secara rinci oleh Presiden ataupun oleh Sri Mulyani sendiri tentang alasan pengunduran dirinya”. Pernyataan—yang berbentuk kalimat pasif—ini menunjukkan, bahwa wartawan ingin menonjolkan objek, bukan subjek (Fairclough, 1989: 55); wartawan menempatkan Presiden dan Sri Mulyani pada wilayah yang samar, terlindung, tidak menonjol. Ini sebuah tindakan exclusion. Tindakan ini mewujudkan keberpihakan kepada Presiden dan Sri Mulyani; keduanya ditempatkan dalam posisi tersembunyi. Dalam banyak penelitian terbukti, bahwa strategi ini efektif dilakukan untuk memarjinalisasi kelompok tertentu, melalui teks yang berbentuk kalimat pasif (Eriyanto, 2001: 161). Selanjutnya, pada 1-d disebutkan sebagai berikut. Jika Sri Mulyani menerima tawaran itu, tampaknya bukan karena pertama-tama tergoda dengan jabatan strategis dan bergengsi di Bank Dunia, melainkan lebih karena kegaduhan politik dalam negeri, yang tampaknya banyak menghambatnya dalam berkinerja secara optimal. Pernyataan
tersebut
makin
menguatkan
hegemoni
yang ada.
Dinyatakan di situ, bahwa yang terutama mendorong Sri Mulyani mengundurkan diri adalah “kegaduhan politik dalam negeri”, yang “menghambat” kinerjanya. Istilah “gaduh” menyatakan situasi yang tidak menentu, darurat. Istilah “menghambat” menyatakan makna kerugian besar. Di balik penggunaan kedua istilah itu terbaca, bahwa publik diminta memaklumi pengunduran diri Sri Mulyani. Dengan pernyataan ini, kekritisan publik dikunci, dimarjinalisasi. Penguncian atau marjinalisasi kekritisan publik itu diperkuat oleh pernyataan pada 1-e, yang berbunyi, “Presiden Susilo Bambang
13
Yudhoyono sendiri di hadapan media massa menyatakan menerima pengunduran diri Sri Mulyani”. Pernyataan itu memunculkan pertanyaan: Jika Presiden telah “menerima”, mau apa lagi? Kekuatan yang tampak pada pernyataan ini ialah: publik tidak perlulah menanyakan lebih lanjut penyebab
Sri
Mulyani
mengundurkan
diri.
Publik
dilarang
mendiskusikannya. Pada 1-g dinyatakan, “Kegaduhan kasus aliran dana talangan Rp 6,7 triliun kepada Bank Century telah menguras tenaga dan waktu pemerintah, terutama mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono, yang kini Wakil Presiden, dan Menkeu Sri Mulyani”. Pernyataan itu (dengan menggunakan kosa kata: “kegaduhan”, “menguras waktu dan tenaga”) dengan jelas menunjukkan, bahwa Pemerintah telah sampai pada saat yang tepat untuk menetapkan solusi bagi kasus Bank Century, tidak bisa ditawar lagi. Alasan ini menjustifikasi kemunduran Sri Mulyani. Di sini, kekritisan publik makin dikunci; publik dilarang menampilkan argumen lain. b. Editorial Media Indonesia Editorial Media Indonesia diberi judul “Sri Mulyani Mengapa Pergi?” Dalam edisi lisan, terdapat jeda antara kata “Mulyani” dan “Mengapa” dan terdapat bunyi, “Hhh …” di belakang kata “Pergi”, sehingga diucapkan, “Sri Mulyani, Mengapa Pergi? Hhhh…” Judul itu—yang juga dituturkan sedemikian rupa—menunjukkan dengan jelas sebuah tendensi, bahwa ke”pergi”an Sri Mulyani disesalkan. Istilah “pergi” di situ menyatakan ketidaksetujuan penulis (wartawan). Dengan nada penuturan (pembacaan) sedemikian rupa, hal itu terbaca makin jelas. Kemunculan makna yang terlihat jelas ini sejalan dengan logika pandangan kritis, yang menyebutkan, “Dalam pandangan kritis, justru yang pertama kali muncul adalah nilai atau moral tertentu” (Eriyanto, 2001: 60). Sudah tentu judul itu tidak lahir tiba-tiba; ada opini yang melatarinya. Boleh jadi, judul itu dibuat karena wartawan berpandangan, bahwa Sri Mulyani harus menyelesaikan urusannya dalam kasus Bank Century.
14
Dengan demikian,
tanpa disadari,
wartawan terhegemoni
untuk
memertanyakan kepergian Sri Mulyani. Kalimat, “Sri Mulyani Mengapa Pergi?” jelas menunjukkan kelugasan, langsung menanyakan “mengapa”. Dengan kalimat itu, wartawan hendak menghadirkan Sri Mulyani di depan publik, untuk memertanggungjawabkan kepergiannya. Di sini tampak, bahwa wartawan bahkan terobsesi mewakili publik. Menurut Theo van Leeuwen (dalam Eriyanto, 2001: 178-190) strategi ini disebut inclusion: memasukkan aktor, yaitu “penyebab” kepergian Sri Mulyani, agar mendapat perhatian. Ini sebuah tindakan kekuasaan, mewujudkan sebuah hegemoni. Hegemoni itu terbaca lagi pada 2-b, dalam pertanyaan, “Di manakah letak bobot persoalan Sri Mulyani?” Pertanyaan itu lalu dilanjutkan penjelasan tentang persoalan yang menyangkut dirinya, yang lalu diakhiri pertanyaan lagi, “apakah setelah menjadi pejabat Bank Dunia yang berkantor di Washington semua urusan yang berkaitan dengan Sri Mulyani dalam hubungan dengan kasus Century tidak terganggu?” (2-c). Rangkaian pertanyaan dan penjelasan itu menunjukkan, bahwa wartawan ingin mewakili publik memertanyakan kepergian Sri Mulyani (kalimat terakhir editorial memerkuat hal ini). Di sini, wartawan menempatkan Sri Mulyani dan Pemerintah pada wilayah yang terang, menonjol, sebagai pihak yang harus memberi penjelasan. Ini sebuah tindakan inclusion. Tindakan ini mewujudkan keberpihakan kepada publik. Hegemoni itu terbaca lebih jelas pada 2-d, e, f. Di sana dijelaskan persoalan yang terjadi secara rinci. Pada 2-d dinyatakan, bahwa walaupun memiliki hak untuk menolak tawaran Bank Dunia, Sri Mulyani tidak melakukannya (dinyatakan, “Sri Mulyani lebih memilih …”) dan bahkan Presiden bangga. Pada 2-j dinyatakan, “Tetapi, kalau negeri ini menganggap Sri Mulyani penting dan vital, mengapa kita membiarkan dia pergi. Mengapa SBY tidak mempertahankan dia sebagai menteri keuangan?” Pernyataan itu begitu lugas (dengan menggunakan dua kali istilah “mengapa”), yang menunjukkan, bahwa publik merasa heran,
15
merasakan adanya keanehan. Ke”berani”an wartawan mengungkapkan keheranan inilah, yang bisa dimaknai sebagai keberpihakan kepada publik. Di sini terbaca dominasi publik atas Presiden dan Sri Mulyani. Pada 2-f dinyatakan sebagai berikut. Ketika Presiden dan Sri Mulyani tidak bisa menolak tawaran Bank Dunia, muncul pertanyaan apakah sesuatu yang datang dari Bank Dunia mutlak sifatnya?Juga apakah Bank Dunia bebas memilih siapa saja dari belahan dunia mana saja untuk menduduki jabatan di bank itu tanpa terikat pada tata aturan negara bersangkutan? Pernyataan yang jelas berisi argumen/debat tersebut menonjolkan hegemoni publik atas Pemerintah. Keberpihakan wartawan kepada publik makin jelas di sini: publik seperti diajak berdiri bersama, berhadapan dengan Pemerintah. Makna itu makin mengemuka pada 2-g, yang berbunyi, “Terlepas dari kerumitan dan komplikasi yang muncul karena kepergian Sri Mulyani, kita perlu mengapresiasi …”. Di sana digunakan kata “kita”, yang bermakna: wartawan dan publik berdiri di satu pihak. Berbeda halnya jika kata “kita” diganti “di”. Menurut Fowler (1991: 80), struktur leksikal (kosa kata) merupakan faktor penting dalam menentukan struktur ide. Penggunaan kata “kita” di situ mencerminkan keberpihakan kepada publik.
2. Konsep Ideologi Konsep ideologi dalam kedua teks dibahas berikut ini. a. Tajuk Rencana Kompas Pembahasan
tentang
bekerjanya
sebuah
kekuasaan
yang
menghegemoni Kompas di atas memerlihatkan pula bekerjanya sebuah idelogi. Penonjolan (inclusion) realitas yang palsu, yaitu, “pengunduran Sri Mulyani”; sedangkan yang asli (yang seharusnya muncul) disembunyikan (exclusion), yaitu, “mengapa Sri Mulyani mundur”, menunjukkan bekerjanya sebuah ideologi. Tindakan ini bisa mendidik publik, menanamkan common sense (ideologi), bahwa peristiwa harus dilihat sebagaimana yang tampak, tidak perlu 16
diselami, tidak penting mengetahui “penyebab” terjadinya peristiwa. Implikasinya, publik terjebak pada (dikuasai agar memiliki) pemahaman harfiah, mengalami pendangkalan berpikir, penyempitan abstraksi, pembiasaan mengambil jalan pintas. Selain tindakan exclusion, untuk menunjukkan ideologi juga bisa dilakukan tindakan inclusion, yaitu memasukkan aktor agar mendapat perhatian. Tindakan itu tampak dan terbaca pada bagian-bagian lain dalam teks. Pada 1-b disebutkan, “dunia mengakui dan mengambil manfaat”.Pada 1-c ditulis, “Sri Mulyani ditawar”. Kedua pernyataan itu memerlihatkan tindakan wartawan untuk meyakinkan publik (menanamkan ideologi dan membentuk common sense), bahwa “dunia” (Bank Dunia)lah yang berinisiatif dalam kasus mundurnya Sri Mulyani. Menurut Eriyanto (2001: 42), ideologilah yang mendorong wartawan menulis seperti itu. Pada kedua pernyataan tampak, bahwa dunia dan Sri Mulyani ditampilkan sebagai aktor. Pada 1-h dinyatakan sebagai berikut. pengunduran diri Sri Mulyani dipandang oleh para pengamat sebagai ekspresi integritas tinggi seorang tokoh di tengah budaya yang cenderung memuja kekuasaan. Amat jarang dalam sejarah Indonesia seorang pejabat tinggi melepaskan kedudukannya untuk menjaga kredibilitas dan integritas dirinya. Pernyataan itu menekankan sebuah penalaran kepada publik (membangun common sense), bahwa apa yang terjadi atas Sri Mulyani layak dihargai, karena Indonesia sekarang sedang krisis sosok yang berintegritas. Jadi, perhatian publik dialihkan, dari kasus Sri Mulyani ke kasus krisis integritas. Dalam pernyataan itu digunakan istilah “para pengamat”. Kosa kata atau istilah itu mengesankan, bahwa banyak pengamat merekomendasikan. Karena pengamat adalah sosok yang dianggap ahli dan dihormati, maka pengunduran Sri Mulyani harus diterima dengan pikiran positif. Di sini bekerja ideologi, bahwa kekritisan publik perlu dikunci dan dimarjinalisasi.
17
Dalam AWK, pelabelan atau penggunaan istilah menyimpan makna penting untuk dikritisi (Eriyanto, 2001: 126). Sebagai contoh, ketika terjadi semburan lumpur raksasa pada area kerja PT Lapindo, yang mengakibatkan penderitaan masyarakat sekitar, lembaga penanggulangnya diberi nama Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), bukan Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo (BPLL).
Penamaan
(pelabelan)
ini
menunjukkan
dominasi
Pemerintah, karena segera terbentuk common sense, bahwa persoalan itu tanggung jawab Pemda (Pemerintah Daerah), bukan tanggung jawab PT Lapindo. Pemunculan actor dalam wacana (inclusion), berupa Pemda Sidoarjo, sekaligus penghilangan aktor (exclusion), yaitu PT Lapindo, pada akhirnya menjustifikasi pengucuran dana APBD untuk menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh semburan lumpur. Dalam AWK, “Kata dipandang bukan sebagai sesuatu yang netral, tetapi membawa implikasi ideologis tertentu” (Eriyanto, 2001: 149). Akhirnya, pada 1-i dinyatakan sebagai berikut. Sekalipun banyak yang gelisah atas pengunduran dirinya, tidak sedikit pula yang berharap setelah terbang setinggi-tingginya sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia, Sri Mulyani pada saatnya nanti akan kembali hinggap ke kubangan untuk mendedikasikan kemampuannya bagi kemajuan Indonesia. Kalimat yang panjang itu berisi kepasrahan, bahwa pengunduran Sri Mulyani harus diterima sebagai taken for granted, tak perlu diperdebatkan lagi, dan yang layak dipikirkan sekarang ialah berharap, semoga kelak Sri Mulyani berkenan kembali ke tanah air. Pernyataan itu merupakan pengunci akhir atas hak publik untuk mendiskusikan dan memikirkan lebih lanjut soal pengunduran Sri Mulyani. Selanjutnya, Tajuk Rencana Kompas memiliki struktur teks yang terdiri atas: judul (1-a), deskripsi (1-b sampai dengan 1-h), simpulan (1-i). Tampaklah, bahwa struktur itu sederhana, dominan bersifat deskriptif. Struktur yang demikian tidak memungkinkan penyampaian
18
argumen, opini, atau eksplanasi yang cukup rinci. Jadi, secara umum, teks ini hanya merupakan penggambaran, tidak membuka peluang bagi munculnya diskusi lanjut. Elemen-elemen yang oleh publik diharapkan muncul, yaitu ruang diskusi, tidak terdapat di sana. Dengan demikian, struktur teks ini memarjinalisasi hak publik. Dari paparan di atas tampaklah, bahwa Tajuk Rencana Kompas memerlihatkan hegemoni media massa (wartawan) atas publik, menyatakan tindakan media massa (wartawan) dalam memarjinalisasi logika kritis publik, telah menjadi alat kekuasaan wartawandalam memaksakan ideologinya. b. Editorial Media Indonesia Pada Editorial Media Indonesia tampak, bahwa wartawan melakukan tindakan inclusion, yaitu menghadirkan aktor agar mendapat perhatian. Pada hampir semua bagian teks terbaca, bahwa kepentingan publik (untuk mendapatkan jawaban yang rinci dan gamblang atas keanehan yang ada) dihadirkan sebagai aktor. Banyak pernyataan dalam teks yang memerlihatkan tindakan wartawan untuk meyakinkan publik (menanamkan ideologi dan membentuk common sense), bahwa ada sesuatu yang aneh dengan kepergian Sri Mulyani, yang harus dijelaskan oleh Sri Mulyani sendiri maupun oleh Presiden. Hal itu menunjukkan hegemoni publik (pembaca) atas Pemerintah. Di sini, publik didorong agar berpikir kritis. Ideologi ini terbaca dengan jelas pada teks, sebagaimana yang dikatakan Fairclough (1989: 2), “Ideologies are closely linked to language, because using language is the commonest from of social behavior, and the form of social behavior where we relay most on ‘common sense’ assumptions”. Dalam pembahasan tentang konsep kekuasaan di atas dinyatakan, bahwa Media Indonesia memberi ruang bagi publik untuk mengkritisi persoalan. Tindakan ini bisa memengaruhi publik, menanamkan common sense (ideologi), bahwa peristiwa tidak cukup dilihat sebagaimana yang tampak, tetapi perlu diselami, penting mengetahui
19
“penyebab” terjadinya peristiwa. Implikasinya, publik terdidik untuk berpikir kritis, tidak terjebak pada pemahaman harfiah, mengalami pendalaman berpikir, perluasan abstraksi, terhindar dari pembiasaan mengambil jalan pintas. Di sini tampak, bahwa hak publik—untuk mendapat informasi penting—terakui. Kekuasaan yang mengemuka di sini adalah kekuasaan publik, atas Pemerintah. Di sini terbaca sebuah ideologi. Selanjutnya, pada teks (2-i dan j) digunakan istilah “Mbak Ani” untuk Sri Mulyani, dan istilah “SBY” untuk Presiden. Hal ini memerlihatkan penggunaan strategi inclusion. Di sini yang dihadirkan adalah
kedekatan
publik
terhadap
sosok
Sri
Mulyani,
dan
“kegeraman” publik atas sosok Presiden. Dalam budaya Jawa—yang tampak dominan melingkungi teks—panggilan “Mbak” digunakan sebagai wujud keakraban, hormat dan sayang; sedangkan panggilan nama secara langsung (Jw: njangkar) mewujudkan makna sebaliknya. Secara tidak langsung terbaca maksud, bahwa Sri Mulyani (Mbak Ani) perlu diberi simpati, sedangkan Presiden tidak.Ini tindakan wartawan yang menunjukkan dominasi publik atas Presiden. Selanjutnya, Editorial Media Indonesia memiliki struktur teks yang terdiri atas: judul (2-a), deskripsi (dua alinea setelah judul), eksplanasi (2-b sampai 2-c), argumentasi (2-c sampai dengan 2-i), simpulan (2-j). Struktur tersebut memerlihatkan elemen-elemen yang diharapkan muncul oleh publik, yaitu peluang bagi banyak argumen atau perdebatan. Tampak, teks berisi argumen dan pertanyaan, bukan hanya pemaparan atau deskripsi yang harus diterima begitu saja. Teks juga ditutup oleh simpulan yang berupa pertanyaan. Struktur yang demikian membuka peluang bagi diskusi lanjut. Jadi, secara umum, teks ini tidak hanya merupakan penggambaran, tetapi berupa arena perdebatan, yang menghendaki kelanjutan. Sampai di sini dapat dinyatakan, bahwa teks ini mewujudkan tindakan untuk menanamkan common sense, bahwa kepergian Sri
20
Mulyani tidak boleh diterima sebagai taken for granted, perlu dipertanyakan. Dari paparan di atas tampaklah, bahwa Editorial Media Indonesia memerlihatkan hegemoni publik atas Presiden, menyatakan tindakan media massa (wartawan) dalam memarjinalisasi Presiden, telah
menjadi
alat
kekuasaan
wartawandalam
memaksakan
ideologinya. 3. Konsep Sejarah Konsep sejarah dalam kedua teks dibahas berikut ini. a. Tajuk Rencana Kompas Pembahasan di atas memerlihatkan bekerjanya sebuah kekuasaan yang menghegemoni Kompas. Terkait dengan konteks sejarah, kondisi demikian kiranya dapat dipahami. Dalam era yang labil, penuh kekacauan
tata
norma
seperti
dewasa
kepembimbingan
yang
terarah
terhadap
kebingungan
massal
seperti
dewasa
ini,
ini,
perlu
publik.
dilakukan Di
tengah
diperlukan
upaya
pembentukan common sense yang terarah dan mantap. Di sini, media massa memiliki peranan besar dan tampaknya Kompas ingin mengambil bagian perannya. Paparan di atas menunjukkan, bahwa di dalam Tajuk Rencana Kompas terbaca tindakan, ideologi dan kekuasaan, yang bekerja dalam konteks dan sejarah masyarakat Indonesia. Berdasarkan analisis di atas dapat dinyatakan, bahwa Kompas berpihak kepada Pemerintah. Dengan keberpihakan ini terbaca pula, bahwa Kompas terhegemoni oleh Pemerintah, kekritisannya termarjinalisasi. Terbaca di sini kekuasaan Pemerintah atas wartawan. Tampak bahwa kekuasaan bukanlah sesuatu yang dimiliki, melainkan sesuatu yang diterapkan, sebagaimana yang ditesiskan Michel Foucault (dalam Eriyanto, 2001: 65). Hal itu masuk akal jika dikaitkan dengan panjangnya sejarah keberadaan harian ini di Indonesia. Pahit getir pengalaman media massa pada sepanjang sejarah Republik Indonesia tentu menjadi sumber pelajaran berharga, yang tentu telah mendewasakan Kompas.
21
b. Editorial Media Indonesia Dalam pembahasan di atas tampak, bahwa wartawan Media Indonesia menghegemoni Pemerintah. Terkait dengan konteks sejarah, tindakan wartawan yang demikian kiranya dapat dipahami. Pada era reformasi, terbukalah peluang yang luas bagi aspirasi publik. Publik menikmati keterbukaan berpendapat. Di sini, media massa memiliki peranan besar dan tampaknya Media Indonesia ingin mengambil bagian perannya. Paparan di atas menunjukkan, bahwa di dalam Editorial Media Indonesia terbaca tindakan, ideologi dan kekuasaan, yang bekerja dalam konteks dan sejarah masyarakat Indonesia. “Titik perhatian analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi”, demikian ditegaskan Yoce Aliah Darma (2009: 61). Berdasarkan analisis di atas dapat dinyatakan, bahwa Media Indonesia berpihak kepada publik, sebagaimana yang diamanatkan oleh gerakan Reformasi kepada rakyat Indonesia.
F. SIMPULAN Berdasarkan analisis di atas dapat disimpulkan, bahwa dalam Tajuk Rencana Kompas dan Editorial Media Indonesia bekerja konsep kekuasaan, konsep ideologi dan konsep sejarah. Walaupun implisit, ketiganya mengemuka cukup jelas. Editorial Media Indonesia lebih ekspresif, bebas, dominan berpihak kepada rakyat/publik. Sementara itu, Tajuk Rencana Kompas—relatif—lebih netral, bahkan dalam beberapa hal menunjukkan keberpihakan kepada Pemerintah dengan cara mengurangi ekspresivitas penyampaian. Kecondongan itu mengemuka pada beberapa aspek tekstual yang menonjol, yaitu: penggunaan kosa kata, struktur frase dan kalimat, struktur teks.
22
DAFTAR PUSTAKA Eddy O.S. Hiariej. 2010. Menakar Bukti Permulaan Penangkapan dan Penahanan Susno. Dalam Kompas, 17 Mei 2010, halaman 7. Endro Sutrisno, 2010. Ketunaan Pragmatik di Kalangan Masyarakat pada Era Pascareformasi. Makalah dipresentasikan pada seminar di Fakultas Bahasa dan Sains Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, 25 Februari 2010. Eriyanto. 2001. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Berita. Yogyakarta: LkiS. Fairclough, Norman. 1989. Language and Power. Longman. Fowler, Roger. 1991. Language in The News Discourse and Ideology in the Press. London: Routledge. Titscher, Stevan; Mayer, Michael; Wodak, Ruth & Vetter, Eva. 2000. Mothods of Text and Discourse Analysis. Translated by Bryan Jenner. London: SAGA Publications. Schiffrin, Deborah. 1994. Approaches to Discourse. Cambridge: Blackwell. van Dijk, T.A. 2001. Critical Discourse Analysis. Dalam Schiffrin, Deborah; Tanen, Deborah; Hamilton, Heidi E.The Handbook of Discourse Analysis. Blackwell Publishing. Wodak. Ruth & Meyer, Michael. 2001. Methods of Critical Discourse Analysis. London: Sage Publications. Yoce Aliah Darma. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya & FPBS UPI. http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/06/04351792/tajuk.rencana http://www.mediaindonesia.com/read/2010/05/06/140855/70/13/Sri-MulyaniMengapa-Pergi
23
24