JEJAK HALLIDAY DALAM LINGUISTIK KRITIS DAN ANALISIS WACANA KRITIS
Anang Santoso Jurusan Sastra Indonesia Fak. Sastra Universitas Negeri Malang
Abstract: Halliday has been inspirational. Among his seminal linguistic concepts are the notions of language as social semiotics and language as action. The former refers to the idea that linguistic forms encode the world which socially constructed. As such, linguistic studies include the issues of 1) text, 2) context, 3) register, 4) code, 5) lingual system, and 6) social structure. The latter suggests the idea that linguistic theorization should be attempted in view of the world of praxis; linguistics should be socially accountable. These two concepts central to Hallidayan linguistics in turn have been influential to development of critical linguistic theories and critical discourse analysis. Keywords: functional-systemic linguistics, critical linguistics, critical discourse analysis.
Sebuah forum keilmuan berlabel Seminar dan Workshop Linguistik Fungsional Sistemik digelar di Jakarta pada 9 10 November 2006. Dilihat dari labelnya, forum keilmuan tersebut diselenggarakan un-tuk mengapresiasi karya-karya sang begawan linguistik fungsional-sistemik yang amat mashur, yakni M.A.K Halliday. Pelbagai kertas kerja dipresentasikan untuk mendalami pikiran-pikiran Halliday yang sudah dipaparkannya dalam pelbagai buku dan artikel. Menurut pandangan penulis, apa yang sudah banyak dihasilkan oleh Halliday seharusnya memperoleh tempat yang layak dalam dunia linguistik Indonesia, termasuk di dalamnya adalah aplikasinya sebagai tata bahasa pendidikan. Jumlah karya Halli-day yang mencapai 100 publikasi ketika didaftar pada tahun 1989 oleh Hasan & Martin
menunjukkan begitu serius dan concern-nya Halliday terhadap pelbagai persoalan kebahasaan. Pikiran-pikiran Hal-liday banyak dikutip dalam karya-karya linguistik, sosiolinguistik, psikolinguistik, etnolinguistik, analisis wacana, pengajaran bahasa, dan peme-rolehan bahasa kedua. Halliday merupakan nama besar dalam bidang linguistik, khususnya kutub linguistik yang memandang bahasa sebagai fenomena sosial. Banyak karya linguistik yang merasa tidak lengkap dan merasa tidak afdhol jika tidak mengutip pandanganpandangan Halliday. Pada kemudian hari, banyak karya linguis yang begitu terinspirasi dari karya-karyanya, baik yang menyetujuinya maupun yang menyerangnya. Karyakarya dalam linguistik kritis dan analisis 1
2 BAHASA DAN SENI, Tahun 36, Nomor 1, Februari 2008
wacana kritis, misalnya, begitu terinspirasi oleh panda-ngan Halliday itu. Tulisan ini memfokuskan pada dua pandangan Halliday yang terkenal, yakni bahasa sebagai semiotika sosial dan linguistik sebagai tindakan . Kedua pandangan itu pada tahap selanjutnya telah memberikan pengaruh yang amat kuat dalam linguistik kritis karya-karya Fowler (1985; 1986; 1995) dan terhadap analisis wacana kritis, khususnya pada karya-karya Fairclough (1989; 1995) dan van Dijk (1985). BAHASA SEBAGAI SEMIOTIKA SOSIAL Akar pandangan Halliday yang pertama adalah bahasa sebagai semiotika sosial. Hal ini berarti bahwa bentuk-bentuk bahasa mengodekan (encode) representasi dunia yang dikonstruksikan secara sosial. Halliday memberi tekanan pada keberadaan konteks sosial bahasa, yakni fungsi sosial yang menentukan bentuk bahasa dan bagaimana perkembangannya (Halliday, 1977, 1978; Halliday & Hasan, 1985). Bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang lain seperti tradisi, sistem mata pencarian, dan sistem sopan santun secara bersamasama membentuk budaya manusia. Halliday mencoba menghubungkan bahasa terutama dengan satu segi yang penting bagi pengalaman manusia, yakni segi struktur sosial. Dalam berbagai tulisannya, Halliday selalu menegaskan bahwa bahasa adalah produk proses sosial. Seorang anak yang belajar bahasa dalam waktu yang sama belajar sesuatu yang lain melalui bahasa, yakni membangun gambaran realitas di sekitar dan di dalamnya. Tidak ada fenomena bahasa yang vakum sosial, tetapi ia selalu berhubungan erat dengan aspek-aspek sosial. Dalam proses sosial itu, menurut Halliday, konstruk realitas tidak dapat dipisahkan dari konstruk sistem semantis tempat realitas itu dikodekan. Selanjutnya, Halliday (1978:1) merumuskan bahwa language is a shared
meaning potential, at once both a part of experience and an intersubjective interpretation of experience . Dalam komunikasi, berdasar-kan pengalaman yang dimilikinya yang bersifat intersubjektif itu, masingmasing partisipan akan menafsirkan teks yang ada. Dengan demikian, makna akan selalu bersifat ganda. Formulasi bahasa sebagai semiotik sosial berarti menafsirkan bahasa dalam konteks sosiokultural tempat kebudayaan itu ditafsirkan dalam terminologis semiotis sebagai sebuah sistem informasi . Dalam level yang amat konkret, bahasa itu tidak berisi kalimat-kalimat, tetapi bahasa itu berisi teks atau wacana , yakni pertukaran makna (exchange of meaning) dalam konteks interpersonal. Mengkaji bahasa hakikatnya mengkaji teks atau wacana. Konteks tuturan itu sebuah konstruk semiotis yang memiliki sebuah bentuk yang memungkinkan partisipan memprediksikan fitur-fitur register yang berlaku untuk memahami orang lain. Melalui tindakan pemaknaan (act of meaning) sehari-hari, masyarakat memerankan struktur sosial, menegaskan status dan peran yang dimilikinya, serta menetapkan dan mentransmisikan sistem nilai dan pengetahuan yang dibagi. Kajian bahasa sebagai semiotik sosial dalam pandangan Halliday (1977:13 41; 1978:108 126) mencakup sub-subkajian: (1) teks, (2) trilogi konteks situasi (medan wacana, pelibat wacana, dan modus wacana), (3) register, (4) kode, (5) sistem lingual, yang mencakup komponen ideasional, interpersonal, dan tekstual, serta (6) struktur sosial. Teks Dalam pandangan Halliday, teks dimaknai secara dinamis. Teks adalah bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi (Halliday & Hasan, 1992:13). Teks adalah contoh interaksi lingual tempat masyarakat secara aktual
Santoso, Jejak Halliday Dalam Linguistik Kritis 3
menggunakan bahasa; apa saja yang dikatakan atau ditulis; dalam konteks yang operasional (operational context) yang dibedakan dari konteks kutipan (a citational context), seperti kata-kata yang didaftar dalam kamus (Halliday, 1978:109). Teks berkaitan dengan apa yang secara aktual dilakukan , dimaknai , dan dikatakan oleh masyarakat dalam situasi yang nyata. Dalam rumusan yang lain, Halliday berpendapat bahwa teks adalah suatu pilihan semantis (semantic choice) dalam konteks sosial, suatu cara pengungkapan makna lewat bahasa lisan atau tulis (Sutjaja, 1990:74). Semua bahasa yang hidup yang mengambil bagian tertentu dalam konteks situasi dapat dinamakan teks. Terkait dengan teks, Halliday memberikan beberapa penjelasan berikut. Pertama, teks adalah unit semantis. Menurut Halliday (1978:135), kualitas tekstur tidak didefinisikan dari ukuran. Teks adalah sebuah konsep semantis. Meskipun terdapat pengertian sebagai sesuatu di atas kalimat (super-sentence), sesuatu yang lebih besar daripada kalimat, dalam pandangan Halliday hal itu secara esensial, salah tunjuk pada kualitas teks. Kita tidak dapat merumuskan bahwa teks itu lebih besar atau lebih panjang daripada kalimat atau klausa. Ditegaskan oleh Halliday (1978:135) dalam kenyataannya kalimat-kalimat itu lebih merupakan realisasi teks daripada merupakan sebuah teks tersebut. Sebuah teks tidak tersusun dari kalimat-kalimat atau klausa, tetapi direalisasikan dalam kali-matkalimat. Kedua, teks dapat memproyeksikan makna kepada level yang lebih tinggi. Menurut Halliday (1978:138), sebuah teks selain dapat direalisasikan dalam level-level sistem lingual yang lebih rendah seperti sistem leksikogramatis dan fonologis juga merupakan realisasi dari level yang lebih tinggi dari interpretasi, kesastraan, sosiologis, psikoanalitis, dan sebagainya yang di-
miliki oleh teks itu. Level-level yang lebih rendah itu memiliki kekuatan untuk memproyeksikan makna pada level yang lebih tinggi, yang oleh Halliday diberi istilah latar depan (foregrounded). Ketiga, teks adalah proses sosiosemantis. Halliday (1978:139) berpendapat bahwa dalam arti yang sangat umum sebuah teks merupakan sebuah peristiwa sosiologis, sebuah perjumpaan semiotis melalui maknamakna yang berupa sistem sosial yang sedang saling dipertukarkan. Anggota masyarakat yakni individu-individu adalah seorang pemakna (meaner). Melalui tindaktanduk pemaknaan antara individu bersama individu lainnya, realitas sosial diciptakan, dijaga dalam urutan yang baik, dan secara terus-menerus disusun dan dimodifikasi. Fitur esensial sebuah teks adalah adanya interaksi. Dalam pertukaran makna itu terjadi perjuangan semantis (semantic contest) antara individu-individu yang terlibat. Karena sifatnya yang perjuangan itu, makna akan selalu bersifat ganda, tidak ada makna yang bersifat tunggal begitu saja. Dengan demikian, pilihan bahasa pada hakikatnya adalah perjuangan atau pertarungan untuk memilih kode-kode bahasa tertentu. Keempat, situasi adalah faktor penentu teks. Menurut Halliday (1978:141), makna diciptakan oleh sistem sosial dan dipertukarkan oleh anggota-anggota masyarakat dalam bentuk teks. Makna tidak diciptakan dalam keadaan terisolasi dari lingkungannya. Secara tegas dirumuskan oleh Halliday bahwa makna adalah sistem sosial . Perubahan dalam sistem sosial akan direfleksikan dalam teks. Situasi akan menentukan bentuk dan makna teks. Konteks Situasi Situasi adalah lingkungan tempat teks beroperasi. Konteks situasi adalah keseluruhan lingkungan, baik lingkungan tutur (verbal) maupun lingkungan tempat teks itu diproduksi (diucapkan atau ditulis). Untuk
4 BAHASA DAN SENI, Tahun 36, Nomor 1, Februari 2008
memahami teks dengan sebaik-baiknya, diperlukan pemahaman terhadap konteks situasi dan konteks budayanya. Dalam pandangan Halliday (1978:110), konteks situasi terdiri atas tiga unsur, yakni (i) medan wacana, (ii) pelibat wacana, dan (iii) modus wacana. Medan wacana (field of discourse) merujuk kepada aktivitas sosial yang sedang terjadi serta latar institusi tempat satuansatuan bahasa itu muncul. Untuk menganalisis medan, kita dapat mengajukan pertanyaan what is going on, yang mencakup tiga hal, yakni ranah pengalaman, tujuan jangka pendek, dan tujuan jangka panjang. Ranah pengalaman merujuk kepada ketransitifan yang mempertanyakan apa yang terjadi dengan seluruh proses , partisipan , dan keadaan . Tujuan jangka pendek merujuk pada tujuan yang harus segera dicapai. Tujuan itu bersifat amat konkret. Tujuan jangka panjang merujuk pada tempat teks dalam skema suatu persoalan yang lebih besar. Tujuan tersebut bersifat lebih abstrak. Pelibat wacana (tenor of discourse) merujuk pada hakikat relasi antarpartisipan, termasuk pemahaman peran dan statusnya dalam konteks sosial dan lingual. Untuk menganalisis pelibat, kita dapat mengajukan pertanyaan who is taking part, yang mencakup tiga hal, yakni peran agen atau masyarakat, status sosial, dan jarak sosial. Peran terkait dengan fungsi yang dijalankan individu atau masyarakat. Status terkait dengan tempat individu dalam masyarakat sehubungan dengan orang-orang lain, sejajar atau tidak. Jarak sosial terkait dengan tingkat pengenalan partisipan terhadap partisipan lainnya, akrab atau memiliki jarak. Peran, status, dan jarak sosial dapat bersifat sementara dan dapat pula permanen. Modus wacana (mode of discourse) merujuk pada bagian bahasa yang sedang dimainkan dalam situasi, termasuk saluran yang dipilih, apakah lisan atau tulisan. Un-
tuk menganalisis modus, pertanyaan yang dapat diajukan adalah what s role assigned to language, yang mencakup lima hal, yakni peran bahasa, tipe interaksi, medium, saluran, dan modus retoris. Peran bahasa terkait dengan kedudukan bahasa dalam aktivitas: bisa saja bahasa bersifat wajib (konstitutif) atau tidak wajib/penyokong/tambahan. Peran wajib terjadi apabila bahasa sebagai aktivitas keseluruhan. Peran tambahan terjadi apabila bahasa membantu aktivitas lainnya. Tipe interaksi merujuk pada jumlah pelaku: monologis atau dialogis. Medium terkait dengan sarana yang digunakan: lisan, tulisan, atau isyarat. Saluran berkaitan dengan bagaimana teks itu dapat diterima: fonis, grafis, atau visual. Modus retoris merujuk pada perasaan teks secara keseluruhan, yakni persuasif, kesastraan, akademis, edukatif, mantra, dan sebagainya. Register Istilah register kali pertama digunakan dalam pengertian keberagaman teks . Register merupakan konsep semantis yang dapat didefinisikan sebagai suatu susunan makna yang dihubungkan secara khusus dengan susunan situasi tertentu dari medan, pelibat, dan sarana (Halliday & Hasan, 1992:53). Terdapat dua hal pokok dalam pengertian register. Pertama, register disamakan dengan gaya (style), yakni veriasi dalam tuturan atau tulisan seseorang. Gaya umumnya bervariasi dari yang bersifat sangat akrab sampai yang amat formal menurut jenis situasi, orang, atau pribadi yang dituju, lokasi, topik yang didiskusikan, dan sebagainya. Kedua, register adalah variasi tuturan yang digunakan oleh kelompok tertentu yang biasanya memiliki pekerjaan yang sama atau kepentingan yang sama. Register dapat diketahui dari karakteristik leksikogramatis dan fonologis yang secara khusus menyertai atau menyatakan
Santoso, Jejak Halliday Dalam Linguistik Kritis 5
makna-makna tertentu. Ciri-ciri bentuk leksikon, gramatis, dan fonologis tertentu menjadi petunjuk suatu register tertentu. Register politik, misalnya, memiliki karakteristik yang membedakan dengan register akademik. Register kedokteran memiliki karakteristik yang membedakan dengan register hukum. Register tertentu memiliki karakteristik yang membedakan dengan register lainnya. Kode Kode merupakan prinsip organisasi semiotik yang mengatur pilihan makna oleh penutur dan penafsiran pendengar (Halliday, 1977:22). Istilah kode yang digunakan Halliday senada dengan kode yang digunakan dalam kajian-kajian Bernstein. Dalam sosiolinguistik, misalnya, kode digunakan untuk memberikan nama umum kepada semua penggunaan ragam, dialek, dan bahasa dalam komunikasi. Menurut Halliday (1978:111), kode diaktualisasikan dalam bahasa melalui register. Kode menentukan orientasi semantis penutur dalam konteks sosial tertentu. Kode bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi dapat digolongkan menjadi dua: (i) kode lengkap dan (ii) kode terbatas. Sistem Lingual Sistem lingual (linguistic system) terdiri atas tiga tingkatan: (i) semantik, (ii) leksikogramatis, dan (iii) fonologis dengan menempatkan sistem semantis menjadi perhatian utama dalam konteks sosiolingual (Halliday, 1978:111). Penekanan pada aspek semantis ini memberikan pengertian bahwa kajian semiotik sosial ini lebih berupa kajian fungsional daripada kognitif . Dalam pandangan fungsional, sistem semantis berkaitan dengan tiga fungsi bahasa, yakni (i) ideasional, (ii) interpersonal, dan (iii) tekstual. Komponen ideasional merujuk pada kekuatan makna penutur sebagai pengamat
(Halliday, 1978:112). Hal itu merupakan fungsi isi bahasa atau bahasa sebagai about something. Komponen itu menginformasikan bahwa melalui bahasa seorang penutur mengodekan pengalaman kulturalnya dan pengalaman individu sebagai anggota dari budaya tertentu. Dalam komponen ideasional tersebut, bahasa memiliki fungsi representasi. Bahasa digunakan untuk mengodekan (encoding) pengalaman manusia tentang dunia. Bahasa digunakan untuk membawa gambaran realitas yang ada di sekitar manusia. Komponen interpersonal merujuk pada kekuatan makna penutur sebagai penyelundup yang ikut campur (Halliday, 1978:112). Hal itu merupakan fungsi partisipasi bahasa atau bahasa sebagai doing something. Dalam komponen interpersonal, bahasa memiliki fungsi interpersonal. Bahasa digunakan untuk mengodekan interaksi dan menunjukkan bagaimana kita mendapatkan proposisi-proposisi tertentu. Dengan demikian, bahasa berfungsi mengodekan makna-makna tentang sikap, interaksi, dan relasi timbal balik. Komponen tekstual merujuk pada kekuatan pembentukan teks (text-forming) penutur yang membuat teks itu menjadi relevan (Halliday, 1978: 112). Komponen tekstual menyediakan tekstur yang membuat perbedaan antara bahasa yang diperlakukan bebas konteks dengan bahasa yang dioperasionalkan dalam lingkungan konteks situasi. Dalam komponen tekstual, bahasa mempunyai fungsi tekstual . Bahasa digunakan untuk mengorganisasikan makna-makna pengalaman dan interpersonal kita ke dalam bentuk yang linear dan koheren. Struktur Sosial Dalam pandangan Halliday (1978: 113 114), struktur sosial berhubungan dengan konteks sosial, pola-pola hubungan sosial, dan kelas atau hierarki sosial. Struktur sosial menetapkan dan memberikan arti kepada berbagai jenis konteks sosial tempat
6 BAHASA DAN SENI, Tahun 36, Nomor 1, Februari 2008
makna-makna itu dipertukarkan. Kelompok sosial sangat menentukan bentuk-bentuk karakteristik konteks situasi. Sebagai contoh, relasi antara status dan peran pelibat secara jelas akan menghasilkan struktur sosial tertentu, dapat berupa struktur sosial yang koordinatif-egalitarian atau subordinatif-berjenjang. Pola-pola lingual yang digunakan sebagai sarana retoris menunjukkan ciri sarana wacana yang diasosiasikan dengan strategi . Struktur sosial masuk melalui pengaruh hierarki sosial. Menurut Halliday (1978) struktur sosial hadir dalam bentuk-bentuk interaksi semiotis dan menjadi nyata melalui keganjilan dan kekacauan dalam sistem semantis. Dalam penggunaan bahasa, misalnya, tampak muncul adanya fenomena kekaburan dalam bahasa yang merupakan bagian dari ekspresi dinamis dan tegangan sistem sosial. Kekaburan itu dipilih dalam rangka mewujudkan ketaksaan, pertetangan atau kebencian, ketidaksempurnaan, ketidaksamaan, serta perubahan sistem sosial dan struktur sosial. LINGUISTIK SEBAGAI TINDAKAN Pokok pikiran penting kedua dari karyakarya Halliday adalah pandangannya tentang linguistik sebagai tindakan dan secara lebih spesifik linguistik sebagai sebuah bentuk tindak politis . Terkait dengan ini, apa dan siapa Halliday dapat dipahami dari pernyataan Hasan & Martin (1989:4) bahwa perhaps more clearly than any other aspect of his work it illustrates his concern with linguistics as a form of social action his thinking is for doing . Pandangan Halliday itu dipengaruhi oleh dua hal, yakni (1) keterlibatan aktifnya dalam penelitian linguistik dan (2) keterlibatan aktifnya dalam gerakan politik kiri ketika menjadi mahasiswa pada awal tahun 1950-an.
Pengaruh pertama, yakni keterlibatannya dalam gerakan pendidikan yakni pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua dan bahasa ibu telah melahirkan gramatika yang relevan untuk kepentingan pengajaran, yakni teori skala dan kategori . Publikasinya yang menjadi legenda sampai sekarang, yakni Introduction to Functional Grammar juga merupakan responnya terhadap tuntutan terhadap kehadiran gramatika yang cocok untuk menganalisis teks lisan dan tulisan dalam konteks pendidikan. Pengaruh kedua, yakni pelbagai keterlibatan Halliday dalam gerakan sosial-politis telah membawanya ke dalam perumusan teori bahasa yang dapat melayani kebutuhan praktis itu. Bagi Halliday, sebuah linguistik tentu saja harus dapat dipertanggungjawabkan secara sosial. Dengan demikian, sebuah bentuk bahasa akan melayani fungsi penggunaan bahasa, bentuk ilmu bahasa juga melayani fungsi penggunaannya. Dalam wawancara dengan Herman Parret, Halliday (1978) menerima pandangan bahwa linguistik itu menjadi linguistik instrumental , yakni kajian bahasa untuk memahami sesuatu yang lain. Tidak ada kontradiksi antara linguistik instrumental dengan linguistik autonom . Linguistik instrumental adalah kajian bahasa untuk memahami sesuatu yang lain, misalnya sistem sosial. Linguistik autonom adalah kajian bahasa untuk memahami sistem lingual itu sendiri. Sebuah linguistik instrumental memiliki relevansi karakteristik dengan tujuan yang akan dicapai. Dalam linguistik instrumental, juga dikaji hakikat bahasa sebagai fenomena keseluruhan. Tampaknya, pandangan tersebut untuk mempertegas model instrumental yang sudah dikemukakan sebelumnya dalam buku Explorations in the Functions of Language (1973).
Santoso, Jejak Halliday Dalam Linguistik Kritis 7
JEJAK HALLIDAY DALAM LINGUISTIK KRITIS Linguistik kritis (critical linguistics) merupakan kajian ilmu bahasa yang bertujuan mengungkap relasi-relasi antara kuasa tersembunyi (hidden power) dan prosesproses ideologis yang muncul dalam teksteks lisan atau tulisan (Crystal, 1991:90). Fowler sang pelopor secara terangterangan mengatakan bahwa pikiran-pikiran Halliday mendasari pengembangan linguistik ini. Untuk menganalisisnya, diperlukan analisis linguistik yang tidak semata-mata deskriptif. Linguistik kritis amat relevan digunakan untuk menganalisis fenomena komunikasi yang penuh dengan kesenjangan, yakni adanya ketidaksetaraan relasi antarpartisipan, seperti komunikasi dalam politik, relasi antara atasan-bawahan, komunikasi dalam wacana media massa, serta relasi antara laki-laki dan perempuan dalam politik gender. Menurut Fowler (1996:5), model linguistik itu sangat memerhatikan penggunaan analisis linguistik untuk membongkar misrepresentasi dan diskriminasi dalam pelbagai modus wacana publik. Be-berapa pandangan Halliday yang berpengaruh terhadap pengembangan linguistik kritis dipaparkan berikut. Pandangan tentang Sifat Instrumental dalam Linguistik Pandangan instrumental Halliday menjadi landasan pengembangan linguistik kritis. Linguistik kritis lahir dari tulisan-tulisan dalam Language and Control (Fowler et al., 1979) yang di dalamnya berisi sejumlah deskripsi linguistik instrumental. Istilah linguistik instrumental dimunculkan sebagai penjabaran pandangan Halliday tentang konsep instrumental dalam linguistik fungsional-sistemik. Menurut Fowler (1996), linguistik fungsional-sistemik mempunyai dua pengertian: (1) linguistik fungsion-
al berangkat dari premis bahwa bentuk bahasa merespon fungsi-fungsi penggunaan bahasa dan (2) linguistik fungsional berangkat dari pandangan bahwa bentuk linguistik akan merespon fungsi-fungsi linguistik itu. Linguistik seperti juga bahasa memiliki fungsi-fungsi berbeda dan tugas-tugas berbeda. Dengan demikian, dalam aplikasinya, seperti sudah dikemukakan sebelumnya, kajian bahasa haruslah berfungsi untuk memahami sesuatu yang lain. Linguistik kritis memberikan landasan yang kokoh untuk menganalisis penggunaan bahasa yang nyata antara lain dalam politik, media massa, komunikasi multikultural, perang, iklan, dan relasi gender. Fowler sudah merumuskan sebuah analisis wacana publik, yakni sebuah analisis yang dirancang untuk (i) memperoleh atau menemukan ideologi yang dikodekan secara implisit di belakang proposisi yang jelas (overt propositions), dan (ii) mengamati ideologi secara khusus dalam konteks pembentukan sosial (Fowler, 1996:3). Piranti-piranti untuk menganalisisnya adalah seleksi gabungan dari kategori deskriptif yang sesuai dengan tujuannya, khususnya struktur-struktur yang diidentifikasikan Halliday sebagai komponen ideasional dan interpersonal. Pandangan instrumental Halliday juga tampak pada pandangan Fowler tentang fungsi klasifikasi bahasa. Dunia tempat hidup manusia bersifat kompleks dan secara potensial membingungkan (Fowler, 1986: 13). Menghadapi dunianya yang kompleks, manusia melakukan proses kategorisasi sebagai bagian dari strategi umum untuk menyederhanakan dan mengatur dunianya itu. Manusia tidak menggunakan secara langsung dunia objektif, tetapi menghubungkannya melalui sistem klasifikasi dengan menyederhanakan fenomena objektif dan membuatnya menjadi sesuatu yang dapat dikelola. Yang menjadi persoalan adalah bahwa klasifikasi sering memunculkan hasil yang
8 BAHASA DAN SENI, Tahun 36, Nomor 1, Februari 2008
bersifat alamiah (natural). Untuk selanjutnya, anggota masyarakat memperlakukannya sebagai asumsi-asumsi sebuah kebenaran yang tanpa pembuktian serta mempercayainya sebagai akal sehat atau pengetahuan umum (common-sense). Semuanya dipandang sebagai sebuah kebenaran begitu saja. Kata-kata seperti pandangan dunia , teori , hipotesis , atau ideologi sering dianggap sebagai akal sehat. Padahal, menurut Fowler (1986:18), semua katakata seperti itu adalah distorsi . Kata-kata itu lebih merupakan sebuah interpretasi atau representasi daripada sebuah refleksi. Implikasi dari penggunaan kata dan istilah yang penuh dengan akal sehat itu membuat masyarakat menjadi begitu percaya bahwa teorinya tentang cara dunia bekerja adalah refleksi alamiah , bukan sebagai refleksi kulturalnya . Menurut Fowler (1986:19), bahasa adalah medium efisien dalam pengodean kategori-kategori sosial. Bahasa tidak hanya menyediakan kata-kata untuk konsepkonsep tertentu, bahasa juga mengkristalisasikan dan menstabilisasikan ide-ide itu. Fowler menunjukkan bahwa struktur bahasa yang dipilih menciptakan sebuah jaring makna yang mendorong ke arah sebuah perspektif tertentu. Jaring makna itu merupakan sebuah ideologi atau teori dari penuturnya yang tentu saja bukan berupa kategori alamiah. Jaring makna lebih merupakan kategori kultural. Pandangan tentang Pengaruh Hierarki Sosial terhadap Struktur Sosial Menurut Halliday (1978), struktur sosial hadir dalam bentuk-bentuk interaksi semiotis dan menjadi nyata melalui keganjilan dan kekacauan dalam sistem semantis. Dalam penggunaan bahasa politik, misalnya, tampak muncul adanya fenomena kekaburan dalam bahasa yang merupakan bagian dari ekspresi dinamis dan tegangan sistem sosial. Kekaburan itu dipilih dalam rangka mewujudkan ketaksaan, perten-
tangan atau kebencian, ketidaksempurnaan, ketidaksamaan, serta perubahan sistem sosial dan struktur sosial. Dalam interaksi yang nyata sehari-hari, keganjilan dan kekacauan dalam sistem semantis itu menjadi nyata. Para linguis kritis percaya bahwa komunikasi yang tercipta akibat kekacauan itu adalah relasi komunikasi yang timpang, di mana para partisipan komunikasi tidak memiliki fungsi dan akses yang sama. Beberapa tokoh linguistik kritis, seperti Fowler (1985; 1986; 1996), Kress (1985), Sykes (1985), West & Zimmerman (1985), dan Birch (1996) memandang bahwa fenomena komunikasi dan interaksi yang nyata lebih banyak diwarnai oleh adanya fenomena-fenomena ketidakteraturan , kesenjangan , ketidakseimbangan , perekayasaan , dan ketidaknetralan dari isu-isu ketidakadilan dalam gender, politik, ras, media massa, kekuasaan, dan komunikasi lintas budaya. Wacana yang lahir lebih banyak berkutat dengan persoalan sosial-politik dan jauh meninggalkan wacana-wacana akademis yang ideal . Bahkan, wacana yang tampaknya seperti biasa-biasa saja misalnya kamus ternyata adalah wacana tidak adil (unjust discourse). Untuk memahaminya perlu paradigma kritis . Analisis linguistik belaka diyakini tidak dapat mengungkapkan signifikansi kritis. Menurut Fowler (1986:6), hanya analisis kritis yang merealisasikan teks sebagai modus wacana serta memperlakukan teks sebagai wacana yang akan dapat melakukannya. Linguistik kritis mengarahkan teori bahasa ke dalam fungsi yang sepenuhnya dan dinamik dalam konteks historis, sosial, dan retoris. Dalam hubungannya dengan makna struktur lingual, sesuatu yang amat fundamental dalam pandangan Fowler adalah terdapatnya fungsi hubungan antara konstruksi tekstual dengan kondisi-kondisi sosial, institusional, dan ideologis dalam proses-proses produksi serta resepsinya. Struktur-struktur
Santoso, Jejak Halliday Dalam Linguistik Kritis 9
linguistik digunakan untuk menyistematisasikan dan mentransformasikan realitas. Oleh karena itu, dimensi kesejarahan, struktur sosial, dan ideologi adalah sumber utama pengetahuan dan hipotesis dalam kerangka kerja kritisisme linguistik (Fowler, 1986:8). Pandangan tentang Teks adalah Proses Sosiosemantis Halliday (1978:139) berpendapat bahwa sebuah teks merupakan sebuah peristiwa sosiologis, sebuah perjumpaan semiotis melalui makna-makna yang berupa sistem sosial yang sedang saling dipertukarkan. Anggota masyarakat adalah seorang pemakna. Dalam pertukaran makna itu, terjadi perjuangan semantis (semantic contest) antara individu-individu yang terlibat. Karena sifatnya yang perjuangan itu, makna akan selalu bersifat ganda, tidak ada makna yang bersifat tunggal begitu saja. Dengan demikian, pilihan bahasa pada hakikatnya adalah perjuangan atau pertarungan untuk memilih kode-kode bahasa tertentu. Jejak pandangan Halliday tersebut dapat dilacak pada pandangan Menz dan Birch tentang pilihan bahasa. Menurut mereka, makna dan nilai dari pilihan bahasa bukan menjadi milik individu yang unik, tetapi diproduksi dalam perjuangan atau perebutan komunikatif (communicative struggle) dan interaksi aktual yang ditentukan secara ideologis dan dimotivasi secara politis (Birch, 1996:65). Merujuk pada pandangan ini, aktor yang memproduksi teks bukanlah individu yang merdeka , tetapi ia merupakan individu yang diatur oleh dimensidimensi sosiokultural dan institusional yang determinatif. Individu-individu sering berada di bawah kesadaran dalam melakukan pilihan bahasa itu. Senada dengan pandangan Menz, menurut Birch (1996:67), pilihan bahasa dibuat menurut seperangkat kendala (constraints) politis, sosial, kultural, dan ideologi. Ada kekuatan di luar individu yang ikut menen-
tukan bentuk bahasa tertentu yang akan digunakan. Hal itu sering terjadi secara bawah sadar. Implikasinya adalah bahwa masyarakat dapat dimanipulasi, dikehendaki dalam aturan yang baik (good order), dan dinilai peran dan status bawahan serta atasan (inferior-superior) melalui sistem strategi sosial yang melibatkan aspek-aspek: kuasa, aturan, subordinasi, solidaritas, kohesi, antagonisme, kesenangan, dan sebagainya yang semuanya merupakan bagian integral dari kontrol terhadap masyarakat. Konsep sosiosemantis di atas juga dapat dilacak pada pandangan Fowler (1986:27) tentang ketidaknetralan kode kebahasaan karena menjalankan fungsi representasi. Kode kebahasaan atau lingual tidak merefleksikan realitas secara netral. Kode lingual itu menafsirkan, mengorganisasikan, dan mengklasifikasikan subjek-subjek wacana. Wacana tertentu selalu membentuk teori tentang bagaimana dunia itu disusun. Hal itulah yang disebut pandangan dunia atau ideologi . Bahasa tidak hanya sebagai pengetahuan yang internal dan pasif. Sebaliknya, bahasa adalah aktivitas yang dibawa dalam berbicara, menyimak, menulis, dan membaca yang aktual dan intensif setiap hari. Dalam konteks itu, peringatan Fowler perlu dicamkan, yakni akal sehat itu bukan se-suatu yang alamiah, tetapi produk dari konvensi sosial . Oleh karena itu, akal sehat itu perlu dikritisi. Makna sosial dihasilkan dari konstruksi sosial realitas. Yang menjadi persoalan adalah ketika berhadapan dengan kata-kata yang mengandung makna sosial itu banyak anggota masyarakat menyikapinya sebagai kata yang mengandung makna alamiah sehingga kata-kata tersebut dianggap sebagai sesuatu yang berupa akal sehat . Dalam persoalan ini, Fowler (1986:148) menegaskan bahwa bahasa-bahasa itu beragam dalam mengodekan makna, bahkan dalam menganggap sebuah area dasar dan strukturstruktur pengalaman. Hal tersebut sesuai
10 BAHASA DAN SENI, Tahun 36, Nomor 1, Februari 2008
dengan rumusan Halliday bahwa bahasa melayani ekspresi, bahasa memiliki representasi, atau bahasa memiliki fungsi ideasional tempat penutur atau penulis mewujudkan pengalaman dari dunia nyata ke dalam bahasa. Pengalaman manusia, apa yang kita ketahui, dan apa yang kita butuhkan selain sudah dikodekan dalam sumber makna yang bersifat personal, juga produk dari posisi kita dalam relasi-relasi sosioekonomis. Fowler (1986) selalu mempertahankan tesisnya bahwa teks merupakan realisasi sebuah modus wacana, biasanya lebih dari satu modus. Sebuah teks bukan hanya karya individual. Teks yang dihasilkan oleh penghasil teks sebagai individu bukanlah hasil dari keseluruhan individu itu. Teks yang dihasilkan mungkin saja berasal dari wacana praada (baca: sebelumnya) yang itu semua berakar pada kondisi-kondisi sosial, ekonomi, politis, dan ideologis yang terletak jauh di balik kesadaran dan kontrol penghasil teksnya. Sebuah teks yang lahir mungkin saja hasil dari suatu perjuangan di antara banyak tangan penghasil wacana itu. Dengan demikian, kajian bahasa hakikatnya adalah kajian kewacanaan yang bersifat historis. Sistem bahasa merupakan bagian yang integral dari struktur dan proses sosial. Sebuah wacana tidak dapat terlepas dari dimensi kesejarahan. Sebuah tuturan politik oleh seorang pemimpin partai, misalnya, bukanlah teks yang vakum sosial. Sebaliknya, teks tuturan itu dibentuk oleh sebuah proses yang rumit dan panjang dalam pertarungan sosial. Banyak tangan yang ikut campur menentukan bentuk dan isi teksturnya. Kajian terhadap teks-teks bahasa bukan semata-mata untuk kajian teks itu sendiri yang amat terbatas. Akan tetapi, kajian teks adalah kajian kewacanaan yang bersifat sosiosemantis dengan mengikutsertakan dimensi kritis, yakni politis, ideologis, dan kultural tentang bagaimana masyarakat dan institusi membuat makna melalui teks.
Pandangan tentang Kesatuan Teks dengan Konteksnya Halliday mengemukakan bahwa teks itu selalu dilingkupi konteks situasi dan konteks budaya (Butt et al., 1999:11). Konteks situasi adalah keseluruhan lingkungan, baik lingkungan tutur (verbal) maupun lingkungan tempat teks itu diproduksi (diucapkan atau ditulis). Di atas konteks situasi terdapat konteks budaya yang melingkupi teks dan konteks situasi. Untuk memahami teks dengan sebaik-baiknya, diperlukan pemahaman terhadap konteks situasi dan konteks budaya. Jejak Halliday tersebut dapat ditemukan dalam pandangan Fowler (1986:70) bahwa satuan bahasa dalam penggunaan yang nyata lebih dari sekadar sebuah teks yang dibangun bersama-sama dengan konvensi dasarnya, tetapi lebih banyak berupa wacana dari yang sudah dilahirkannya itu. Fowler membedakan konsep teks dan wacana . Wacana dibangun dari teks dan konteks . Untuk melihat bahasa sebagai teks membawa kita kepada kajian keseluruhan unit-unit komunikasi yang dilihat sebagai struktur sintaksis dan semantik yang koheren yang dapat diucapkan atau ditulis. Dalam pandangan kritis, teks dipandang secara dinamis sebagai komunikasi interpersonal dalam konteks. Dengan demikian, teks dapat dipandang sebagai medium wacana. Untuk melihat bahasa sebagai wacana membawa kita kepada keseluruhan proses interaksi lingual yang rumit antara masyarakat yang menghasilkan dan masyarakat yang memahami teks. JEJAK HALLIDAY DALAM ANALISIS WACANA KRITIS Analisis wacana kritis (critical discourse analysis) adalah analisis bahasa dalam penggunaannya dengan menggunakan paradigma bahasa kritis. Analisis wacana kritis (AWK) sering dipandang sebagai oposisi analisis wacana deskriptif yang memandang wacana sebagai fenomena teks
Santoso, Jejak Halliday Dalam Linguistik Kritis 11
bahasa semata-mata. Dalam AWK, wacana tidak dipahami semata-mata sebagai kajian bahasa. AWK memang menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis. Hasilnya bukan untuk memperoleh gambaran dari aspek kebahasaan, melainkan menghubungkannya dengan konteks. Hal itu berarti bahwa bahasa itu dipergunakan untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan. AWK berkembang dalam tradisi linguistik madzab Eropa-Kontinental. Pusatpusat perkembangannya antara lain di Prancis, Inggris, Belanda, Jerman, Austria, dan Australia. Beberapa nama dapat disebut sebagai pengembang bidang kajian itu, antara lain Fairclough, van Dijk, Kress, dan Wodak. Dalam beberapa karyanya, Fairclough (1989; 1995), misalnya, menyebut bahwa teorinya adalah gabungan dari linguistik fungsional-sistemik Halliday, linguistik Fowler, dan teori sosial baru Foucault. Pengaruh pandangan Halliday terhadap AWK dipaparkan berikut. Pandangan tentang Proyeksi Teks kepada Level yang Lebih Tinggi Menurut Halliday (1978:138), sebuah teks selain dapat direalisasikan dalam levellevel sistem lingual yang lebih rendah seperti sistem leksikogramatis dan fonologis juga merupakan realisasi dari level yang lebih tinggi dari interpretasi, kesastraan, sosiologis, psikoanalitis, dan sebagainya yang dimiliki oleh teks itu. Pilihan terhadap struktur lingual tertentu, misalnya, dapat ditafsirkan kepada persoalanpersoalan yang lebih besar. Jejak pandangan Halliday itu dapat dilacak pada pandangan van Dijk tentang hakikat wacana sebagai gejala dari persoalan yang lebih besar. Menurut van Dijk (1985:7), fitur-fitur wacana hanyalah menjadi gejala (symptoms) dari persoalanpersoalan yang lebih besar, seperti ketidakadilan, perbedaan kelas, gender, rasisme, kekuasaan, dan dominasi yang melibatkan
lebih dari hanya sekadar teks dan tuturan. Persoalan-persoalan itu sering memunculkan wacana yang timpang atau wacana tidak adil, di mana antara penghasil teks dengan konsumen teksnya tidak memiliki relasi yang seimbang. Dengan demikian, menganalisis kata, frasa, kalimat, dan teks yang dihasilkan oleh seorang tokoh dapat mengungkap persoalan-persoalan yang lebih besar dan mendasar, misalnya perjuangan menaturalisasikan ideologi tertentu. Pandangan tentang Wacana Sebagai Tindakan Halliday berpandangan bahwa linguistik pada hakikatnya adalah bentuk tindakan dan secara lebih spesifik sebagai sebuah bentuk tindak politis (Hasan & Martin, 1989:4). Mengkaji bahasa hakikatnya adalah mengkaji tindak berbahasa. Pandangan Halliday itu dipengaruhi oleh dua hal, yakni (1) keterlibatan aktifnya dalam penelitian linguistik dan (2) keterlibatan aktifnya dalam gerakan politik kiri ketika menjadi mahasiswa pada awal tahun 1950-an. Pandangan Halliday tersebut dapat dilacak pada pikiran Fairclough tentang konsep wacana. Dalam pandangan Fairclough (1995), wacana dipahami sebagai sebuah tindakan. Wacana adalah bentuk interaksi. Wacana tidak ditempatkan dalam ruang yang tertutup dan internal. Tidak ada wacana yang vakum sosial. Hal itu mengandung dua implikasi. Pertama, wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah untuk memengaruhi, membujuk, menyanggah, memersuasif. Seseorang yang berbicara atau menulis selalu mempunyai tujuan, besar atau kecil. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau diekspresikan di luar kesadaran. Tidak ada wacana yang lahir tanpa disadari sepenuhnya oleh penutur atau pembicaranya.
12 BAHASA DAN SENI, Tahun 36, Nomor 1, Februari 2008
Pandangan tentang Peran Konteks dalam Produksi dan Interpretasi Wacana Dalam pandangan Halliday, teks selalu dilingkupi oleh dua konteks, yakni konteks situasi dan konteks budaya (Butt et al., 1999:11). Hal itu berarti bahwa teks akan selalu menyatu dengan konteksnya, baik dalam pembentukannya maupun dalam proses pemahamannya. Pandangan itu selanjutnya berpengaruh terhadap cara pandang terhadap wacana. Dalam paradigma kritis, wacana diproduksi, dimengerti, dan ditafsirkan dalam konteks tertentu. Wacana adalah teks dalam konteks. Titik perhatian analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi. Bahasa selalu berada dalam konteks. Tidak ada tindakan komunikasi tanpa partisipan, antarteks, situasi, dan sebagainya. Dalam AWK, kajian wacana tidak dipahami semata-mata sebagai kajian bahasa. AWK memang menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis. Hasilnya bukan hanya untuk memperoleh gambaran dari aspek kebahasaan, melainkan menghubungkannya dengan konteks. Hal itu berarti bahwa bahasa itu dipergunakan untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan. Pandangan Halliday tentang konteks dapat dilacak pada pokok pikiran bahwa wacana adalah produk historis. Dalam paradigma kritis, wacana ditempatkan dalam konteks kesejarahan tertentu. Wacana selalu berada pada ruang waktu tertentu dan akan selalu berhubungan dengan waktu lainnya. Analisis terhadap bahasa politik pasca-Orde Baru, misalnya, akan selalu mempertanyakan (i) bagaimana situasi politik yang sedang terjadi, (ii) mengapa wacana tertentu itu yang berkembang, dan sebaliknya mengapa wacana yang lain tidak berkembang, (iii) mengapa istilah reformasi dan reformis begitu berkembang serta memperoleh nilai
positif, dan mengapa istilah status quo menjadi jelek dan memperoleh apresiasi negatif, dan sebagainya (Santoso, 2000 dan 2003). Pandangan Halliday juga dapat dilacak pada pokok pikiran bahwa wacana hakikatnya adalah pertarungan kekuasaan. Dalam paradigma kritis, setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan, atau apa pun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral, tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Wacana sesepele apa pun adalah bentuk pertarungan kekuasaan itu. Dengan demikian, setiap analisis wacana selalu dikaitkan dengan dimensi-dimensi kuasa itu. Tugas analis adalah mengkritisi kekuasaan yang tersembunyi dalam teks-teks bahasa itu. Pandangan Halliday juga dapat dilacak pada pokok pikiran bahwa wacana hakikatnya adalah praktik ideologi. Dalam pandangan kritis, wacana dipandang sebagai praktik ideologi, atau pencerminan dari ideologi tertentu. Ideologi yang berada di balik penghasil teksnya akan selalu mewarnai bentuk wacana tertentu. Penghasil teks yang berideologi liberalisme atau sosialisme tentu akan menghasilkan wacana yang memiliki karakter sendiri-sendiri. Dua catatan penting berkenaan dengan ideologi dalam wacana. Pertama, ideologi secara inheren bersifat sosial, tidak personal atau individu. Ideologi selalu membutuhkan anggota kelompok, komunitas, atau masyarakat yang mematuhi dan memperjuangkan ideologi itu. Kedua, ideologi digunakan secara internal di antara anggota kelompok atau komunitas. Ideologi selalu menyediakan jawaban tentang identitas kelompok. Dengan demikian, analisis wacana tidak bisa lagi menempatkan bahasa dalam sistem tertutup, tetapi harus menempatkannya dalam konteks. Analisisnya akan selalu mengungkap bagaimana ideologi dari kelompok-kelompok yang ada berperan dalam membentuk wacana.
Santoso, Jejak Halliday Dalam Linguistik Kritis 13
Pandangan tentang Hubungan Dialektis antara Struktur Mikro dan Makro Halliday (1977; 1978) berpendapat bahwa bahasa sangat terkait dengan satu segi yang penting dalam pengalaman manusia, yakni segi struktur sosial. Secara tegas, Halliday merumuskan bahwa bahasa adalah produk proses sosial. Pandangan Halliday itu semakin diperjelas dan dieksplisitkan oleh Fairclough (1995), yakni pandangannya tentang hubungan timbal balik antara struktur mikro yakni teks dan struktur makro yakni aspek sosial dan budaya yang bersifat determinatif. Pendekatan kritis memiliki dasar teoretis dalam memandang hubungan timbal balik antara peristiwa mikro (tindak verbal) dan struktur-struktur makro yang mengondisikan dan menghasilkan peristiwa mikro itu. Pendekatan kritis menolak penghalang yang kaku antara kajian mikro (tempat kajian wacana merupakan bagian di dalamnya) dan kajian makro. Dengan dialektis antara makro dan mikro dalam kajiannya, analisis wacana kritis dapat mengungkap naturalisasi-naturalisasi yang terjadi serta membuat secara jelas determinasideterminasi sosial dan pengaruh wacana bagi partisipan. Asumsi-asumsi yang menjadi dasar dipakainya pendekatan kritis dalam analisis wacana adalah (1) interaksi verbal sebagai modus aksi sosial , dan seperti modus aksi sosial lainnya mempersyaratkan rentangan struktur yang direfleksikan dalam dasar pengetahuan yang meliputi struktur sosial, tipe-tipe situasi, kode-kode bahasa, normanorma penggunaan bahasa dan (2) strukturstruktur itu tidak hanya dipersyarati oleh aksi dan memerlukan kondisi untuk aksi, tetapi juga memproduksi aksi, atau aksi mereproduksi struktur yang dalam istilah Giddens disebut dengan dualitas struktur , yakni adanya saling pengaruh antara aktor dan struktur itu.
Pandangan tentang Kajian Bahasa Hakikatnya adalah Kajian terhadap Trilogi Teks Konteks Situasi Konteks Budaya yang Saling Terkait Halliday mengemukakan bahwa teks itu selalu dilingkupi konteks situasi dan konteks budaya (Butt et al., 1999:11). Mengkaji bahasa secara fungsional pada hakikatnya mengkaji tiga aspek yang saling terkait, yakni teks, konteks situasi (context of situation), dan konteks budaya (context of culture). Dalam teks, selalu terkandung unsur tekstur dan struktur. Oleh Butt et al. (1999:12), kajian Halliday itu digambarkan berikut. 3
1
2
Gambar 1 Model Linguistik Fungsional-Sistemik Halliday
Keterangan: 1: teks 2: konteks situasi 3: konteks budaya
Pandangan Halliday tersebut semakin dieksplisitkan oleh Fairclough dalam memandang wacana dan analisis wacana. Wacana dalam pandangan Fairclough harus dilihat secara simultan sebagai tiga serangkai yang dialogis (i) teks-teks bahasa, baik lisan atau tulisan, (ii) praksis kewacanaan, yaitu produksi dan interpretasi teks, dan (iii) praksis sosiokultural, yakni perubahan-perubahan masyarakat, institusi, kebudayaan, dan sebagainya yang menentukan bentuk dan makna sebuah wacana. Ketiga unsur itu menurut Fairclough disebut dengan dimensi wacana . Menganalisis wacana secara kritis hakikatnya adalah menganalisis tiga dimensi wacana tersebut secara integral.
14 BAHASA DAN SENI, Tahun 36, Nomor 1, Februari 2008
Ketiga dimensi itu sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Dimensi wacana dan prosedur
analisis wacana kritis digambarkan oleh Fairclough (1995) sebagai berikut. Deskripsi
Proses produksi
(analisis teks) Interpretasi
Dimensi Wacana
Eksplanasi Dimensi Analisis Wacana
Gambar 2 Model Analisis Wacana Kritis Fairclough (Sumber: Fairclough, 1995:98)
Dari Gambar 1 dan 2 tersebut, dapat dipahami bahwa (1) kajian teks dalam pandangan Halliday dan Fairclough adalah tahap awal memahami penggunaan bahasa, (2) kajian konteks situasi dalam pandangan Halliday oleh Fairclough dijabarkan ke dalam proses produksi dan interpretasi teks, dan (3) kajian konteks budaya dalam pandangan Halliday dan Fairclough diterjemahkan ke dalam praksis sosiokultural wacana. PENUTUP Paparan di atas dapat memberikan pemahaman bahwa apa yang sudah dikemukakan Halliday pada tahun 1960 dan 1970an masih begitu kental mewarnai teori linguistik dan teori wacana pada tahun 1980 dan 1990-an, bahkan tahun-tahun sesudahnya. Pandangan Halliday tentang bahasa sebagai semiotik sosial dan bahasa sebagai tindak sosial politik dapat dilacak aplikasi dan implementasinya pada linguistik kritis Fowler dan analisis wacana kritis Fairclough. Dengan demikian, pengakuan akademik melalui seminar, lokakarya, simposium, dan sesrawungan ilmiah lainnya sudah pada tempatnya dipersembahkan kepada Halliday. Pada masa-masa yang akan datang, kegiatan sejenis dalam rangka pendalaman kajian bahasa sebagai fenomena sosial
diharapkan dapat memberikan tambahan dan penyempurnaan kajian bahasa yang lebih dahulu mapan dalam dunia linguistik Indonesia, yakni kajian bahasa sebagai fenomena psikologis . Tentu saja, pelbagai kertas kerja dan hasil-hasil seminar tidak akan memiliki arti apabila tidak dikomunikasikan kepada komunitas yang lebih luas, khususnya komunitas linguistik Indonesia. DAFTAR RUJUKAN Birch, D. 1996. Critical Linguistics as Cultural Process. Dalam James, J.E. (Ed.), The Language-Culture Connection (hlm. 64 85). Singapore: SEAMEO Regional Language Centre. Butt, D., Fahey, R., Spinks, S., & Yallop, C. 1995. Using Functional Grammar: An Explorer s Guide. Sydney: Macquary University. Crystal, David. 1991. A Dictionary of Linguistics and Phonetics. Oxford: Basil Blackwell Ltd. Fairclough, N. 1989. Language and Power. New York: Longman Group UK Limited. Fairclough, N. 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. Harlow-Essex: Longman Group Limited. Fowler, R. 1985. Power. Dalam van Dijk, T. (Ed.), Handbook of Discourse Analysis
Santoso, Jejak Halliday Dalam Linguistik Kritis 15
Volume 4: Discourse Analysis in Society (hlm. 61 82). London: Academic Press. Fowler, R. 1986. Linguistic Criticism. Oxford: Oxford University Press. Fowler, R. 1996. On Critical Linguistics. Dalam Caldas-Coulthard, C.R. & Coulthard, M. (Eds.), Texts and Practices: Reading in Critical Discourse Analysis (hlm. 3 14). London: Routledge. Halliday, M.A.K. 1977. Language as Social Semiotic: Towards as General Sociolinguistic Theory. Dalam Makkai, A., Makkai, V.B., & Heilmann, L. (Eds.), Linguistics at the Crossroads (hlm. 13 41). Padova: Tipografia-La Garangola. Halliday, M.A.K. 1978. Language as Social Semiotic: The Social Interpretation of Language and Meaning. London: Edward Arnold. Halliday, M.A.K. 1985/1994. An Introduction to Functional Grammar. London: Edward Arnold Publishers Ltd. Halliday, M.A.K. & Hasan, R. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-Aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. Terjemahan oleh Barori Tou. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hasan, R. & Martin, J.R. Introduction. Dalam Hasan, R. & Martin, J.R. (Eds.), 1989. Language Development: Learning Language, Learning Culture (Meaning and Choice in Language: Studies for Michael Halliday) (hlm. 1 17). NorwoodNew Jersey: Ablex Publishing Corporation. Kress, G. 1985. Ideological Structures in Discourse. Dalam van Dijk, T. (Ed.), Handbook of Discourse Analysis Volume 4: Discourse Analysis in Society (hlm. 27 42). London: Academic Press. Santoso, A. 2000. Paradigma Kritis dalam Kajian Kebahasaan. Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya, 28(2): hlm. 127 146.
Santoso, A. 2003. Bahasa Politik Pasca Orde Baru. Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra (WWS). Sutjaja, IG.M. 1990. Perkembangan Teori M.A.K. Halliday. Dalam Kaswanti Purwo, B. (Ed.), PELLBA 3: Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atma Jaya Ketiga (hlm. 59 89). Yogyakarta: PENERBIT KANISIUS. Sykes, M. 1985. Discrimination in Discourse. Dalam van Dijk, T. (Ed.), Handbook of Discourse Analysis Volume 4: Discourse Analysis in Society (hlm. 83 101). London: Academic Press. van Dijk, T. 1985b. Introduction: The Role of Discourse Analysis in Society. Dalam van Dijk, T. (Ed.), Handbook of Discourse Analysis Volume 4: Discourse Analysis in Society (hlm. 1 8). London: Academic Press. West, C. & Zimmerman, D.H. 1985. Gender, Language, and Discourse. Dalam van Dijk, T. (Ed.), Handbook of Discourse Analysis Volume 4: Discourse Analysis in Society (hlm. 103 124). London: Academic Press. Wodak, R. 1996. Disorders of Discourse. London & New York: Longman.