RUANG KOSONG DALAM PERSPEKTIF WACANA KRITIS
Disampaikan dalam Seminar Bulanan Jurusan Sastra Sunda Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran pada 11 Juni 2010
Oleh: Asep Yusup Hudayat
FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2010
RUANG KOSONG DALAM PERSPEKTIF WACANA KRITIS*
Oleh: Asep Yusup Hudayat
Pengantar Pembicaraan ruang kosong dalam perspektif wacana kritis ini dimaksudkan sebagai sebuah celah penawaran pembacaan atas sejumlah teks yang dalam beberapa kondisi pernah terkungkung oleh tradisi positivisme empiris. Tradisi positivisme empiris menghendaki bahwa makna teks harus tunggal, utuh, dan selesai pada satu pemaknaan. Pada kenyataannya, teks yang sama mampu “dibaca” secara berbeda oleh pembaca yang berbeda-beda;
bahkan oleh
satu pembaca dalam kondisi yang berbeda-beda telah
dihasilkan pembacaan yang berbeda pula. Sambutan-sambutan yang terjadi berpangkal dari aktivitas mereka dalam memproduksi kembali teks, salah satunya aktivitas mereka dalam mengisi ruang-ruang kosong dalam teks. Di sinilah interaksi antara teks dan pembaca menjadi lahan perbincangan analisis wacana kritis. Wacana kritis yang dimaksud dalam kepentingan ini adalah cara bertutur yang memberikan makna yang berasal dari pengalaman-pengalaman yang dipetik berdasarkan perspektif tertentu (praktik kewacanaan menyangkut pemroduksian dan pengonsumsian teks). Wacana ini berkontribusi pada pengonstruksian identitas, hubungan sosial, sitem pengetahuan, dan makna. Dalam wilayah teks naratif, Teks tidak berada dalam kondisi memberi tahu pembacanya secara menyeluruh. Teks sendiri memuat celah dan kekosongan yang harus dirundingkan dalam tindakan pembacaan. --------------------------------------* disampaikan pada Padjadjaran,
acara Seminar Jurusan Sunda Fakultas Sastra Universitas tanggal 11 Juni 2010
1
Celah dan kekosongan dalam teks naratif secara tipikal membukakan hubungan antara perspektif-perspektif tekstual, melalui: narator, tokoh-tokoh, alur cerita, dan pembaca fiktif di dalam teks. Pembaca mengkoordinasi perspektif-perspektif yang dipolakan tersebut. Namun, pembaca harus bereaksi tidak hanya kepada instruksi yang diberi oleh kekosongan di dalam teks, tetapi juga kepada produk dari aktivitas pengagasan mereka sendiri, kapan pun penanggunalangan atas celah dan kekosongan diperlukan. Ketidaklengkapan penyingkapan atau ketaklangsungan apapun merupakan potensi-potensi celah dan kekosongan teks. Menyangkut wujud kosong atau celah teks tersebut, ruang-ruang pembacaan akan semakin terbuka ketika wilayah-wilayah masa lampau menjadi bagian yang bersinergi dengan aktivitas pembacaan dari pembaca kontemporer yang berada pada wilayah sekarang. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui tanggapan-tanggapan pembaca atas sejumlah karya sastra Sunda, misalnya terhadap novel Baruang ka nu Ngarora (1914) dan Gogoda ka nu Ngarora (1951). Prolematis pembacaan tidak saja bersumber pada dua karya yang berbeda yang ditempatkan dalam satu ikatan yang lekat karena Gogoda ka nu Ngarora ditempatkan oleh pengarangnya sebagai lanjutan dari Baruang ka nu Ngarora, tetapi juga banyak kemungkinan ketaklangsungan pengungkapan kedua karya tersebut yang berhubungan dengan spirit kelas sosial atau negasinya menjadi hal yang menarik untuk dihubungkan ke pembicaraan ruang-ruang kosong yang terkandung dalam kedua novel tersebut. Pembicaraan ini tentu akan menjadi memadai saat teori respon estetik yang dikemukakan wolfgang Iser digunakan dalam telaah ruang kosong ini.
Jangkauan Teoretis Iser (2006: 9) menyebutkan tiga konsep utama menyangkut tujuan teori-teori modern, yaitu: (1) struktur, (2) fungsi, dan (3) komunikasi. Teori-teori modern ini menekankan pada hubungan-hubungan antarkarya seni, disposisi pembaca, dan (3) kenyataan tentang konteks. Aksi komunikasi, keberhasilannya menurut Iser (1987: 107), terletak pada sejauh mana teks menetapkan dirinya sebagai suatu korelat dalam kesadaran pembaca. Hal ini artinya bahwa teks memberi tuntunan mengenai apa yang mesti diproduksi,
dan karenanya teks itu sendiri tidak bisa menjadi produk. Keberhasilan
transfer teks ke pembaca bergantung kepada keberhasilan teks mengaktivasi kapasitas persepsi dan pengolahan pembaca individual. Dinamika tersebut ditunjukkan Iser (1987: 108) dengan menyebutkan kesenangan pembaca. Menurutnya, kesenangan pembaca 2
dimulai bila pembaca itu sendiri menjadi produktif, yakni bila teks memungkinkannya untuk mengerahkan semua kapasitas yang dimilikinya. Sudah barang tentu, ada limitlimit pada kesediaan pembaca untuk berpartisipasi. Limit-limit ini akan terlampaui jika teks membuat segala sesuatu terlalu jelas atau di lain pihak, teks terlalu kabur. Kebosanan dan pemaksaan perhatian merepresentasikan kutub toleransi, dan dalam kasus pembaca masing-masing mungkin akan membuat pilihan. Berlandaskan teori pembaca dalam bagian model fenomenologikal Ingarden, Wolfgang Iser (dalam Makaryk, 1993: 562-563) menuangkan kembali indeterminasi dalam wujud kosong, atau celah ( leerstellen), di dalam teks tersebut. Kekosongan menduduki suatu posisi pusat di dalam fungsi komunikatif karya sastra, penjelasan, dan pembatasan peran pembaca. Di dalam interaksinya dengan teks, secara implisit, pembaca digerakkan untuk memindahkan atau melengkapi berbagai hal yang kosong pada beberapa tingkatan, dari hubungan yang paling sederhana di dalam alur cerita hingga hubungan yang semakin kompleks, antara tema yang menonjol terhadap horizon yang tersembunyi. Tanggapan-tanggapan atas karya memang diprastruktur oleh tiga komponen dasar (Iser, 1987: 36), yaitu (1) perspektif-perspektif berbeda yang terepresentasi di dalam teks, (2) sudut pandang yang perspektif-perspektifnya dipersatukan oleh pembaca, dan (3) tempat pertemuan perspektif-perspektif tersebut. Menurut Austin (Iser, 1987: 55-56), dua bentuk dasar ucapan bahasa adalah konstatif dan performatif. Bentuk pertama membuat pernyataan-pernyataan tentang fakta, dan harus diukur dengan kriteria-kriteria kebenaran dan ketidakbenaran. Bentuk kedua, menciptakan satu aksi yang dapat diukur dengan standard-standard keberhasilan atau kegagalan. Menurut Iser
(1987: 59), sesungguhnya tidak akan pernah ada interaksi
diadik apa pun jika speech-act tidak melahirkan indeterminasi-indeterminasi yang perlu diresolusi. Indeterminasi inilah yang memberikan nilai estetik dinamis kepada teks (1987: 70). Kondisi teks yang tidak penuh (terdapat tempat kosong) inilah yang membuat teks mampu muncul dalam pembacaan yang beraneka ragam (Chamamah, 2001: 148). Terdapat dua struktur indeterminasi di dalam teks, yaitu kekosongan dan negasi. Dua struktur tersebut merupakan kondisi esensial untuk komunikasi antara teks dan pembaca yang sampai tingkat tertentu terjadi pengaturan untuk keduanya (Iser, 1987: 182). Meskipun konsep indeterminasi Iser mendapat kritikan dari Gerhad Kaiser (Segers, 2000: 41), tetapi Iser memberi sanggahan terhadap keberatan-keberatan yang 3
dikemukakan Kaiser. Bagi Kaiser, konsep indeterminasi Iser menggiring kebebasan pembaca untuk merealisasikan, atau melengkapi bagian-bagian indeterminasi menurut proyeksinya sendiri yang bersifat subjektif. Atas pandangan tersebut, Iser menjelaskan bahwa bagian-bagian indeterminasi merupakan kondisi-kondisi bagi proses komunikasi sebuah teks, dan hal itu bukan kualitas konstitutif efek estetis. Sebagai kondisi bagi proses komunikasi, indeterminasi pada prinsipnya memerankan dua fungsi: (1) menandai hubungan skema tekstual karena ikatan itu sendiri tidak diberikan dan (2) dalam suatu teks literer dunia diciptakan untuk pembaca dari perspektif yang berubah-ubah. Pada fungsi pertama, tugas pembaca adalah menyusun ikatan-ikatan yang hilang, tidak sekehendak hati, berdasarkan “pengalaman dan pengharapan hidup” miliknya, tetapi berdasarkan kesesuaiannya dengan struktur tekstual. Adapun fungsi kedua mendorong pembaca untuk menghubungkan dua perspektif konstitutif agar cocok dengan struktur tekstual. Konsep-konsep dasar respon estetik yang dikemukakan Iser tersebut merupakan landasan terpenting untuk memahami ruang-ruang kosong pada kedua novel yang dijadikan bahan telaah pada makalah ini. Aktivitas interpretasi dalam pembacaan ruangruang kosong ditujukan untuk menjembatani keterbatasan interpretasi sebelumnya menyangkut kedua karya tersebut. Dengan demikian, pendekatan wacana kritis pun menjadi bagian yang menopang kepentingan tersebut. Pendekatan wacana kritis yang cukup relevan dengan penerapan respon estetik adalah wacana kritis yang dikemukakan Fairclough. Pendekatan Fairclough intinya menyatakan bahwa wacana merupakan bentuk penting praktik sosial yang mereproduksi dan mengubah pengetahuan, identitas dan hubungan sosial yang mencakup hubungan kekuasaan dan sekaligus dibentuk oleh struktur dan praktik sosial yang lain (Jorgens & Philip, 2007: 122-123). Dengan demikian, tiga dimensi tataran komunikatif yang dikemukakan Fairclough menyangkut: tataran teks, praktik kewacanaan, dan praktik sosial memiliki kesepadanan dengan dimensi repertoar, strategi, dan realisasi pembacaan yang dikemukakan Iser. Baik Fairclough maupun Iser keduanya menempatkan teks sebagai lahan pertama dan
utama
pembacaan.
Dimensi
praktik
kewacanaan
Fairclough
(menyangkut
pemroduksian dan pengonsumsian teks) relevan dengan realisasi pembacaan dalam konsep Iser. Kegiatan pembacaan untuk menghasilkan sejumlah interpretasi tersebut bermuara pada kepentingan mengungkap proses pembacaan untuk menghasilkan 4
sejumlah jawaban atas pertanyaan: dalam kondisi apa sehingga dapat memiliki makna bagi pembacanya?
3. Ruang-ruang Kosong dalam Perspektif Wacana Kritis Teks GN tidak berada dalam kondisi memberi tahu pembacanya secara menyeluruh. GN sendiri memuat celah dan kekosongan yang harus dirundingkan dalam tindakan pembacaan. Celah dan kekosongan GN membukakan hubungan antara perspektif-perspektif tekstual, melalui: narator, tokoh-tokoh, alur cerita, dan pembaca fiktif di dalam teks. Pembaca GN mengkoordinasi perspektif-perspektif yang dipolakan tersebut. Namun, pembaca harus bereaksi tidak hanya kepada instruksi yang diberi oleh kekosongan di dalam teks, tetapi juga kepada produk dari aktivitas pengagasan mereka sendiri, kapan pun penanggunalangan atas celah dan kekosongan diperlukan. Ketidaklengkapan penyingkapan, baik dalam BN maupun GN, merupakan potensi yang terhubung kepada permasalahan celah dan kekosongan teks. Pembaca yang membaca kedua karya tersebut, secara berurutan dimulai dari BN ke GN, tentulah akan menjadikan BN sebagai bagian reportoar yang terkandung dalam GN. Menyangkut wujud kosong atau celah teks tersebut, sebagai pembaca BN, Salmun mengatasi berbagai hal yang kosong dalam BN melalui GN. Jika Salmun melihat kekosongan nyata dalam BN berpusat pada akhir cerita BN dan ia menganggap BN perlu diselesaikan dengan membela kebenaran, maka Salmun, dalam GN, cukup banyak memberi ruang-ruang interpretasi baru, sehubungan dengan tersedianya celah-celah dan kekosongan-kekosongan dalam GN.
Ruang-ruang yang dimaksud dapat dijajaki dari
ketaktersediaan teks GN yang menempatkan sejumlah masalah menyangkut kelas sosial, pandangan-pandangan tokoh dan naratornya, serta hal-hal yang ditunjukkan dengan jelas oleh pengarang, atau bahkan hal-hal yang sengaja disembunyikan. Berikut ini uraian menyangkut celah-celah dan kekosongan-kekosongan teks, yang mengaktivasi pembaca, yang menempatkan GN sebagai karya yang tak akan pernah kehilangan sifat inovatifnya, bagi pembaca-pembaca yang berlainan. Empat subbab berikut ini mendeskripsikan upaya pembaca memahami teks, menemukan celah, dan mengatasinya.
5
Sunda-Palembang Tidak satu pun kata “Sunda” secara eksplisit dimunculkan dalam BN. Namun, sejumlah indikasi menunjukkan bahwa Ujang Kusen beserta keluarganya dapat ditempatkan ke dalam identitas kesundaan. Indikasi-indikasi yang menunjukan kemungkinan tersebut
dapat dicermati melalui bahasa yang digunakan, pakaian,
lingkungan, adat lamaran dan pernikahan, dan sejumlah adat perilaku lain yang menyertainya. Hal ini menjadi problematik bagi pembaca BN yang kemudian melanjutkan pembacaannya kepada GN. Di dalam GN, Haji Samsudin, ayah Ujang Kusen, dinyatakan Salmun sebagai orang Palembang.
Pernyataan tersebut sekaligus
mengaktivasi pembaca GN untuk kembali mengingat peristiwa dalam BN. Dorongan tersebut membuahkan efek nyata bagi pembaca. Efek ini dihasilkan oleh upaya pembaca yang menemukan ekuivalensi di dalamnya. Upaya tersebut tentu dalam kepentingan mengatasi celah teks yang dimaksud. Celah dalam mempertemukan kesepakatan, antara teks dan pemahaman pembaca ini, dapat terwaliki oleh kemungkinan ditafsirkannya keluarga Ujang Kusen sebagai orang Palembang karena satu peristiwa di dalam BN menunjukkan hal yang dianggap relevan dengan hal itu. Kutipan berikut menunjukkan indikasi yang dimaksud. Pandeurieun panganten gendjring Palembang ditema ku aleutan anu ngiring, nja eta ondangan tea sakur anu ngarora.... (BN, 1950: 21) Di belakang pengantin, ada genjring Palembang diikuti oleh iring-iringan yang mengikutinya, yaitu para undangan yang masih muda. Namun, hal itu tidak cukup menunjukkan bahwa Ujang Kusen berasal dari Palembang. Pakaian pengantin Sunda yang dikenakan Ujanag Kusen dan mempelai wanitanya cukup memberi peluang Ujang Kusen untuk ditempatkan sebagai orang Sunda meskipun tradisi mengikuti pakaian pengantin wanita, masih menunjukkan kemungkinan lainnya jika Ujang Kusen tidak satu suku dengan mempelai wanitanya. Di dalam GN, catatan kaki Salmun menggiring pembaca ke upaya mencari satu bentuk kesepakatan. Peristiwa yang menunjukkan bahwa Haji Samsudin dan keluarganya, 6
termasuk Ujang Kusen, adalah orang Palembang. Penyebutan Tuan oleh Asta kepada Haji Samsudin, Salmun memberi catata kaki sebagai berikut. Orang Sunda dulu menyebut lelaki yang dihormat yang bukan asli orang Sunda dengan sebutan “Tuan”. Adapun Haji Samsudin sekeluarga termasuk menantunya adalah orang Palembang. Yang mudanya biasa dipanggil Asep atau Ujang (GN, 1966: 34) Tentu saja, celah tersebut akan berimplikasi kepada bagaimana pembaca melakukan sejumlah reaksi. Di satu sisi, pembaca harus mempertalikan GN kepada BN karena sejumlah narasi dan catatan kaki menghendaki itu. Di sisi lain, pembaca sendiri diaktifkan untuk menjangkau perspektifnya berdasarkan daya bacanya atas kondisi tersebut. Bagi pembaca kontemporer, upaya re-evaluasi norma-norma yang terkandung dalam repertoar GN, antara sosok Sunda dan Palembang, akan membuat pembaca melepaskan norma-norma ini dari konteks kultural dan sosialnya. Kemudian pembaca akan merekognisi limitasi-limitasi efektivitas norma-norma tersebut di dalam teks. Dua suku bangsa tersebut tidak secara eksplisit dipertalikan Salmun sehingga di dalamnya tidak secara potensial menunjukkan evaluasi Salmun atas norma-norma yang mengikat kedua Suku tersebut. Dengan demikian, pembaca GN dapat merekonstruksi konteks sosial dan kultural, berdasarkan arahan dominan teksnya, yaitu sebatas menyangkut kehidupan tokoh-tokoh berlatar kelas sosial yang berbeda dan segala konflik yang terjadi di dalamnya.
Kampung Pasar – Bandung Begitu banyak elemen narasi yang dieksplisitkan ke dalam banyak peritiwa di dalam GN. Nama tempat, yang terhubung ke dalam realitas faktual sangat sedikit dimunculkan di dalam BN. Hal itu pun masih menempatkan nama-nama tersebut ke dalam kemungkinan yang tidak seutuhnya berpotensi memiliki rujukan faktualnya. Di dalam BN, nama-nama tempat yang disebutkan secara eksplisit adalah Kampung Pasar dan Kampung Sekeawi. Kampung Pasar mewakili wilayah kota. Adapun Sekeawi mewakili wilayah desa. Berikut ini deskripsi tempat-tempat yang dimaksud. Malem Senen tanggal 14 bulan Hapit 1291 di bumina Hadji Abdul Raup, di kampung Pasar, haneuteun pisan, teu tjara sasari, kawas aja perkara nu aneh... (BN, 1950: 5) 7
Malam Senin tanggal 14 bulan hapit 1291, di rumah Tuan Haji Abdul Raup, di Kampung Pasar, tampak begitu hangat suasananya. Tidak seperti biasanya. Sepertinya ada hal yang khusus. Berbeda dengan BN, di dalam GN nama-nama tempat ditunjukkan secara jelas dengan deskripsi pemetaan lokasinya. Narator begitu rinci menunjukkan bahwa keluarga Nyi Rapiah, Aom Usman,
dan keluarga Ujang Kusen berada di kota Bandung.
Penunjukkan ini banyak ditemukan melalui deskripsi menyangkut Pasar Baru, alun-alun kabupaten, jalan Pungkur, jalan Kepatihan, Gedung Concordia, Braga, toko Cavadino, jalur kereta api sepanjang Bandung-Batawi, Banceuy, Hotel Preanger, Hotel Homan, Jalan Tamblong, Kebonkalapa, Balubur, dan sebagainya. Menyangkut kelengkapan tempat tersebut di dalam GN, pembaca yang sudah berada dalam perspektif pengetahuan mengenai Bandung, secara faktual, akan tidak saja menghubungkan kepentingan Salmun memilih kota tersebut sebagai latar tempat penceritaannya, melainkan juga akan menemukan potensi-potensi di dalamnya yang menyangkut wawasan tokoh yang dibesarkan di lingkungan kota tersebut, pergerakan sosialnya, gaya hidup, atau bahkan dunia pelacurannya. Salah satu kutipan berikut ini menunjukkan bagaimana hubungan lingkungan kota terhadap potensi wawasan Nyi Rapiah sebagai penduduknya. Bubuhan Nji Rapiah teh urang dajeuh, loba deudeuleuan-dedengean djeung sanadjan enja ge awewe ropoh pager, ipis bendungan, da ari hatena mah tjaang, pikirna njaring boga bakat tjalakan. Ditambah, sanggeus sering pulang anting ka Nji Dampi, tjampur djeung “kakasihna” nonoman baleunghar, palinter djeung rea nu boga bakat demokratis – make ukuran taun 1875!- kusial bae rasa pangaribawana hudang awas atra kana susunan masarakat. Bet rea kateuadilan! Naha bet masarakat kudu njieun golongan djelema diumpak-umpak, dikelaskelas? Naha bet make aja golongan menak, aja golongan somah? Naha bet ari nu disarebut menak kudu dienak-enak, diagung-agung, dipundjung-pundjung. (GN, 1966: 69) Karena Nyi Rapiah itu orang kota, ia menjadi banyak tahu dan meskipun ia perempuan pagar lapuk, tipis bendungannya, tetapi hati terang, pikiran terjaga, dan punya bakat pintar. Ditambah lagi, setelah sering pulang pergi ke Nyi Dampi, bergaul dengan “kekasihnya” para pemuda kaya raya, pandai dan banyak yang memiliki bakat demokratis- untuk ukuran tahun 1875!- muncullah rasa peduli dan jeli kepada tatanan masyarakat. Ternyata banyak ketidakadilan! Kenapa masyarakat harus menggolong-golongkan manusia, dibuat kelas-kelas? Kenapa ada golongan menak, ada golongan cacah? Apakah yang disebut golongan menak memang harus dienak-enak, diagungkan, dihormati. (GN, 1966:9)
8
Menyangkut nama tempat secara eksplisit tersebut, upaya mengatasi celah-celah teks, yang muncul karenanya, adalah lebih bersinggungan dengan masalah bagaimana pembaca merekonstruksi imajinasinya sehubungan dengan sejumlah deskripsi yang membatasi reaksi pembacanya. Persinggungan tersebut berpusat pada narasi GN yang menghubungkan masa penceritaan (1870-1880-an) dengan masa diciptakannya karya (1950-an). Salmun selalu menempatkan fakta cerita yang menyangkut tempat-tempat yang dimunculkannya ke dalam perspektif kekiniannya. Dengan demikian, sebenarnya pembaca pun, akhirnya, menerima efek dengan kondisi penceritaan tersebut karena ia pun mengomposisikan fakta-fakta tersebut berdasarkan perspektif yang dimilikinya, baik berada dalam maupun di luar wilayah-wilayah penceritaan GN. Pembaca yang mengetahui tempat-tempat yang dimaksud secara faktual akan memiliki reaksi, dalam hal mengimajinasikan peristiwa-peritiwa di dalamnya,
yang berbeda dengan pembaca
lainnya, yang di satu kondisi kehilangan momen untuk mencari rujukan di peristiwaperistiwa yang dianggap khusus dan sukar dicari rujukannya. Misalnya untuk jenis pembaca yang kehilangan moment rujukan, tempat pelacuran yang dideskripsikan di dalam GN dengan segala karakteristiknya, celah-celah teks di dalamnya hanya bisa diatasi dengan mengoptimalkan imajinasi pembaca. Pelacuran Peristiwa-peristiwa yang terhubung ke dalam praktik pelacuran, di dalam GN, sebenarnya merupakan area pusat yang sengaja dipilih Salmun. Dalam hal ini, secara leluasa, Salmun menghubungkan semua area yang ditempati masing-masing kelompok kelas sosial: menak-santana-cacah. Area pelacuran merupakan area yang dapat dijangkau oleh semua golongan kelas sosial. Dengan demikian, bagi Salmun, area ini cukup efektif untuk menempatkan tokoh-tokoh dari semua golongan tersebut ke dalam sejumlah penilaiannya menyertai sejumlah perilaku yang ada di dunia pelacuran tersebut. Meskipun judul GN merujuk kepada pengertian eksplisit bahwa yang menjadi godaan bagi muda-mudi adalah mim pitu, tetapi pusatnya adalah kesenjangan kelas sosial antara menak dan cacah. wilayah pelacuran dipilih Salmun sebagai mediasi sekaligus area pelarian dan kebangkitan sebagian tokoh-tokohnya. Melalui area ini pula, Salmun mengefektifkan pengungkapan sejumlah norma ideal yang terhubung ke setiap kelas sosialnya. Pergerakan Nyi Dampi, dari kalangan cacah, telah berhasil memasuki semua sekat kelas. Baginya, tempat pelacuran mampu mewadahi semua kepentingan kelas. 9
Tidak saja kaum pribumi yang memanfaatkan tempat tersebut, tetapi juga para indoBelanda. Dalam hal ini, Salmun menempatkan Nyi Rapiah sebagai tokoh yang mampu menerima dan memasuki kehidupan mereka sekaligus ia mampu menerima sejumlah pengalaman baru, termasuk tentang spirit menuntut keadilan. Bagi pembaca, sejumlah deskripsi rinci, menyangkut segala kehidupan yang dikisahkan narator tentang pelacuran tersebut, menyisakan banyak celah. Norma-norma yang sulit ditemukan rujukan faktualnya menyangkut strategi persembunyian lokasi pelacuran menyebabkan dijalankannya imajinasi pembaca untuk menjangkau itu. Dua kondisi lokasi pelacuran yang berbeda, ditandai dengan lentera merah dan yang tidak ditandai, menggiring pembaca kepada dua perspektif yang berbeda, yaitu menyangkut penyembunyian dan penunjukkan. Penunjukkan lokasi pelacuran dengan lentera merah, setidaknya, membuat pembaca mampu menghubungkan kepentingan di dalamnya, tidak saja bagi aparat keamanan yang ingin membebaskan masyarakatnya dari kehidupan tersebut, tetapi juga penegasan lokasi tersebut yang malah bisa diakses secara langsung oleh orang-orang yang berkepentingan dengan lokasi tersebut. Hal ini lebih didasarkan pada pembatasan teks yang menunjukkan bahwa tanda tersebut untuk menghindarkan orang baik-baik memasuki area tersebut. Menyangkut area pelacuran yang tersembunyi, pembaca dihadapkan kepada pemahaman substansi terhadap lokasi tersembunyi dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Berikut ini kutipan teks GN yang menunjukkan dua kondisi tersebut. Geusan ngadjaga supaja nu balageur teu kaganggu ku nu balangor, eta nu balangor teh dilarang matuh di kampung-kampung djalma balageur, malah dihadja diajakeun panonobanana make ditjirian ku lantera beureum digantungan di tepas; dilarang keras kalawan diantjam hukum berok lamun aja nu ngulajaban, ngalantrah neangan jalan. Tapi bubuhan djelema rea akalna, pulisi-susila teh teu weleh sering “kapalingan” sabab eta nu balangor ana “ngentjar” sok njamur. Sawareh aja nu njeta agan-agan, dangdan singsarwa kamenakan diiring ku ngelek tampekan nanaon. Mun teu kitu, djiga anu heueuh, niron nji hadji, make muwadarah sagala. Aja oge anu barangpakena basadjan bae, make nungtun budak, ambeh dipadjarkeun nganteur. Tapi mungguh ku nu ahli saba kobong mah, nadjan njeta-njeta agan, malihwarni djadi nji hadji, atawa njamur djadi babu oge teu weleh katara bae, magar teh katara dina tjingeusna, tembong dina logojohna; tjenah keupatna djiga mangga, lungguh tungkul tapi haju; ana ngabalieur djiga ngewa, lain balier geuleuh, tapi isarah hiap tuturkeun. (GN, 1966: 41-41)
10
Untuk menjaga agar yang baik-baik tidak terganggu oleh para pelacur, para pelacur dilarang bermukim di kampung-kampung tempat orang-orang baik. Malahan sengaja
tempat-tempat
kediamannya
diberi tanda
dengan lentera
merah
yang
digantungkan di terasnya. Dilarang keras serta diancam hukum penjara jika ada yang berkeliaran mencari jalan. Tapi karena manusia banyak akalnya, polisi susila selalu saja kecolongan sebab para pelacur ketika keluar suka menyamar. Sebagian ada yang menyamar seperi aganagan, berdandang serba seperti menak dengan mengapit tempat menginang segala rupa. Jika tidak demikian, meniru bak nyi haji, memakai kerudung segala. Ada pula yang berpakaian sederhana saja, menuntun anak, agar disangka sedang mengantar. Tetapi bagi santri piawai, meski menyamar jadi agan, berganti menjadi nyi haji atau menyamar jadi babu, tetap saja tampak. Katanya akan tampak dari gerak-geriknya matanya, tampak dari lenggangnya. Katanya lenggangnya seperti mempersilahkan, anggun menunduk tapi sebenarnya mengajak, ketika memalingkan muka seperti benci, bukan berpaling benci tapi isyarat agar segera diikuti. Salmun memilih menggunakan topeng religi untuk menyembunyikan lokasi pelacuran yang dimiliki Nyi Dampi. Sebuah paradok yang dilekatkan Salmun dalam upaya memberi atmosfir kuat bagi penyembunyian yang dimaksud. Dalam hal ini, pembaca harus menarik kesimpulan atas paradoks tersebut. Setidaknya yang dapat dipahami pembaca adalah bahwa paradoks tersebut menolong memberikan penekanan akan arti penting sebuah penyembunyian. Berikut ini adalah kutipan teks BN yang menunjukkan paradoks yang dimaksud. Di tepas, aya sawatara rekal, di djuru njotjok gulungan samak, di luhurna erak tempat kitab-kitab. Ditendjo ti luarna mah, tjek saha lain imah paranti diadjar ngadji, komo dumeh bilikna dipapaes ku lapad, gambar burak djeung gambar kabah. Da djeung enjana, ari ti peuting mah, lamun sore keneh, di tepas Nji Dampi teh reang ku barudak dialajar ngadji, diguruan ku Haji Gombel – kawasna mah lain hadji enjaan, da bedjana leuwih apal kana balak batan kana manasik; leuwih njaho kana ledot batan tawaf -. Mun ti beurang, meudjeuhna lalaki-lalaki djarongdjon di pagaweanana atawa pausahaanana, sok rea awewe ngarora djeung urang asing nu baleunghar, boh anom-anom ti kontrakan, boh babah-babah ti kalangan sudagar daratang ka imah Nji Dampi. Kalan-kalan sok aja oge bangsa urang, tapi rada tjarang, kawasna dompetna bangsa urang mah kurang padet. (GN, 1966: 58-59) Di beranda, ada beberapa tirai bambu (rekal), di sudutnya ada gulungan tikar, di atasnya rak tempat kitab-kitab. Jika dilihat dari luar, tak akan menyangka 11
bukan saja tempat mengaji, apalagi biliknya dihiasi lafadz, gambar buraq dan gambar ka’bah. Benar adanya kalau malam. Jika masih sore, di teras Nyi Dampi terdengar banyak anak-anak yang sedang belajar mengaji, gurunya adalah Haji Gobel. Sepertinya bukan haji sebenarnya. Kabarnya, ia lebih hafal kepada balak daripada tentang manasik. Lebih tahu mengenai ledot daripada tawaf. Jika siang, saat para lelaki biasanya tenang di tempat pekerjaan atau perusahaannya, biasa banyak pemudi dan orang asing yang kaya, baik anom-anom dari kontrakan maupun babah-babah dari kalangan saudagar berdatangan ke Rumah Nyi Dampi. Kadang-kadang ada juga bangsa kita, tetapi jarang; sepertinya dompet bangsa kita yang kurang tebal. Hal-hal yang ditunjukkan secara langsung di dalam BN, menyangkut sikap Nyi Rapiah terhadap kalangan menak, menjadi paradoks pula bagi penyembunyian keterlibatan orang-orang di dalam dunia pelacuran. Ini akan berimplikasi kepada struktur pemikiran pembaca secara lebih luas. Di satu sisi, pembaca memahami bahwa dunia pelacuran dalam GN memberi alasan, secara tidak langsung, bagi terjangkaunya kalangan menak ke dalam dunia seperti itu sehingga kalangan menak ditarik ke area “hina”. Di sisi lain, secara substansi kesenjangan kelas sosial yang menjadi jiwa cerita GN, harus pembaca cari di setiap permukaan yang menampilkan kehidupan pelacuran. Teks berikut ini menunjukkan latar pelacuran yang melibatkan Nyi Dampi dan banyak orang di dalamnya, dari berbagai kelas sosial. Upama pareng aja nu naja, rek naon Nji Anu atawa Neng Anu ka imahna. Nji Dampi aja bae djawabna. Magar teh nu menta dipangdjualkeun geulang, nu menta dipajukeun samping, nu menta asihan, nu diaku baraja bae djeung djaba ti eta. Ari anom-anom djeung babah-babah, magarkeun teh ngilikan berlian, urusan dagangan, neangan pibabueun jeung djaba ti eta. Kabeh nu nanja biasana pertjaja bae. Ari tatangga, puguh ku Nji Dampi dikanjahokeun kabutuhna, aja nu dibandjel urusan dapurna, aja nu diruruba ku lungsuran, aja nu dipangdjeudjeuhkeun kaperluanana djeun djaba ti eta, atuh kabeh ge balem. Djaba ti di unggal djalan parapatan ka imahna neundeun tjalo purah mere isarah mun aja nu rek ngagaradah teh, di kalangan pulisi oge Nji Dampi teh masang usung-esangna. Teu pertjumah djurutulis sakaut disamping weuteuh unggal bulan atawa ganti badju lena opat bulan sakali teh, mun lain panjogok ti Nji Dampi. Djaba ari agen-agen mah, sasat kabeh geus ngasaan bako tampang “Ibu Empi”. Tjindekna pikeun djaman harita mah, “pausahaan” Nji Dampi teh pohara rikip tur limitna. (GN, 1966: 58-59) Jika kebetulan ada yang bertanya, bermaksud apa Nyi Anu atau Neng Anu ke rumahnya, Nyi Dampi selalu ada saja jawabannya. Katanya ada yang meminta tolong untuk menjualkan gelang, yang minta dijualkan kain samping, ada yang meminta pekasih, ada yang diakuinya sebagai saudara saja dan lain-lain. Adapun anom-anom dan babah-babah, beralasan melihat-lihat berlian, urusan dagangan, mencari calon babu dan lainnya. Semua yang bertanya biasanya percaya saja. Sedangkan tetangga, karena Nyi Dampi tahu benar kebutuhan tetangganya, ada 12
yang dipenuhi urusan dapurnya, ada yang disogok dengan bekas pakaiannya, ada yang diuruskan keperluanya dan lainnya. Tentu semuanya pun tutup mulut. Selain itu, di tiap jalan perempatan menuju rumahnya, ia menyimpan calo untuk memberi isyarat jika akan ada yang memeriksa. Di kalangan polisi pun, Nyi Dampi memasang bala bantuannya. Tidak akan percuma jurutulis sakaut mengenakan kain samping baru tiap bulan atau ganti baju lena empat bulan sekali. Itu semua sogokan dari Nyi Dampi. Apalagi kalau agen-agen, semua sudah merasakan tembakau tampang “Ibu Empi”. Kesimpulannya untuk zaman itu, “usaha” Nyi Dampi begitu rapi, licin, dan halus. Kutipan di atas menjadikan rumah pelacuran milik Nyi Dampi yang tersembunyi dapat dihubungkan ke lapisan substansial sesungguhnya, yaitu upaya GN memasukkan semua kelas sosial ke dalam koridor pertemuan yang sama. Keterhubungan mereka di koridor tersebut akan menghasilkan bentuk-bentuk persinggungan antara afirmasi yang terhimpun dalam BN dan interogasi dan intimidasi GN terhadap BN. Dalam hal ini, pembaca akan memperhitungkan kontinuitas secara tematis di setiap peristiwa yang mengandung potensi persinggungan yang dimaksud sehingga celah-celah lain kembali muncul dan kembali terhubung ke dalam upaya pembaca mengatasi celah atau bahkan kekosongan baru, misalnya menyangkut hubungan Indo-Belanda dengan kaum pribumi.
Indo-Belanda dan Pribumi Ruang-ruang narasi yang direntangkan Salmun dari awal sampai akhir kisah masih menempatkan secara stereotip tokoh-tokoh di dalamnya. Hal ini terbukti dari tidak dimunculkannya tokoh-tokoh orang Belanda - bukan Indo-Belanda - dan menak luhung ‘tinggi’ ke dalam area tersebut. Hal ini bukan berarti bahwa alasan
Salmun yang
bermaksud melakukan pengungkapan dan evaluasi terhadap tokoh menak dan cacah dapat disepakati pembaca. Bagi pembaca, ketidakhadiran ini sebagai kekosongan teks. Pembaca akhirnya dapat kembali menemukan celah-celah teks menyangkut tokoh-tokoh yang dinyatakan narator sebagai Indo-Belanda. Hal ini
tidak saja terikat kepada
peristiwa-peristiwa di tempat pelacuran atau yang terhubung ke dalamnya, tetapi juga sampai ke kungkungan stereotipe menyangkut penguasa atau bahkan harkat sebuah bangsa. GN telah menunjukkan dengan cukup problematis kehadiran tokoh-tokoh IndoBelanda di dalam lingkungan kaum pribumi. Menyangkut hal ini, Salmun telah mengawali pandangannya, melalui narator, dengan menempatkan tokoh-tokoh Indo13
Belanda sebagai tokoh-tokoh yang ditonjolkan dalam hubungannya dengan kaum pribumi. Ia menempatkan sebagian tokoh Belanda, yang selanjutnya diperjelas pada bagian lain, sebagai orang Indo-Belanda. Tentunya, pada sepanjang momen pembacaan, pada akhirnya, hal tersebut mampu membuka celah-celah teks untuk diatasi pembacanya. Setidaknya, hal ini bisa tampak pada peristiwa-peristiwa yang memunculkan pandanganpandangan narator menyangkut kesenangan kaum pribumi memasuki kehidupan kaum Belanda. Kutipan berikut menunjukkan potensi celah teks BN yang dapat digunakan pembaca untuk mengatasi sejumlah celah menyangkut hubungan kaum pribumi dengan Belanda. Heuleut tilu poe ti harita di imah Hadji Samsudin aja hadjat rongkah, nu diondang djaba ti baraja-baraja, babakuna sobat-sobat Udjang Kusen; sumawonna anu kanjahoan loma, anu ngan ukur kabedjakeun wawuh munding oge, boh bangsa urang, boh Walanda, Tionghoa atawa Arab dihadja diondang. (GN, 1966: 32) Selang tiga hari semenjak itu, Haji Samsudin mengadakan syukuran besarbesaran. Selain saudara-saudaranya terutama sahabat-sahabat Ujang Kusen, yang diundang pun tak ketinggalan orang-orang yang hanya sebatas kenal biasa saja, baik bangsa kita maupun bangsa Belanda, Tionghoa, atau pun Arab. Kutipan tersebut memberi peluang kepada pembaca untuk menghimpun secara skematik hubungan-hubungan secara lebih lengkap menyangkut tokoh-tokoh di dalamnya. Hubungan yang dimaksud, tentunya, mampu mendorong imajinasi pembaca untuk sampai kepada penghimpunan satu peristiwa yang dapat melampaui pemberian teks itu sendiri. Hal ini dapat ditinjau melalui cara teks di atas menunjukkan satu hubungan yang sekaligus mengindikasikan adanya pembatasan hubungan. Orang-orang asing yang diundang Haji Samsudin dalam acara syukuran, tidak dinyatakan sebagai bagian yang dekat dengan kehidupan keluarga Haji Samsudin secara emosional. Teks tersebut hanya menunjukkan bahwa orang asing, termasuk orang Belanda yang diundang, adalah orangorang yang dikenal Ujang Kusen secara sepintas saja. Namun, potensi tersebut masih akan menggiring pembaca ke dalam penemuan celah-celah baru yang bersinggungan dengan kehadiran orang-orang Indo-Belanda di dalam lingkungan kaum pribumi. Salmun
menunjukkan
pembatasan hubungan
yang
dimaksud
dengan
menempatkan tokoh-tokoh pribumi semakin dekat dengan kaum Indo-Belanda; begitu juga sebaliknya. Hal tersebut dipertimbangkannya untuk membawa kaum pribumi kepada kemampuan mengatasi kendala hubungan yang berpangkal pada perbedaan kelas sosial. 14
Perubahan Nyi Rapiah menjadi percaya diri dengan sikap-sikapnya ditunjukkan narator sebagai akibat dari orang Indo-Belanda yang dekat dengannya. Celah yang ditunjukkan teks berikut ini berpangkal pada status Indo-Belanda dalam sejumlah persepsi menyangkut hubungan dan tempatnya di antara kelompok-kelompok sosial lainnya. ...Tjindekna mah Nji Rapiah teh dibobotohan weh. Meudjeuhna gede hate ge, da boga panjalindungan Walanda, paranakan-paranakan ge, mangkaning Walanda teh djaman harita mah, weu, lain lumajan diarambeuanana. (GN, 1966: 75). Nyi Rapiah itu memanglah disemangati oleh Luih. Wajar saja jika dia berbesar hati karena punya perlindungan orang Belanda meski hanya peranakan saja; apalagi zaman itu Belanda bukan lumayan lagi, begitu mendapat tempat. Melalui narator, pembaca diarahkan untuk mengisi celah teks menyangkut status peranakan. Teks tersebut menunjukkan kualitas hubungan secara berbeda. Narator mengatakan bahwa cukuplah bagi Nyi Rapiah untuk berbesar hati karena ada orang Belanda yang bisa diandalkan. Namun, narator kemudian menyebutkan bahwa kondisi yang dimiliki Nyi Rapiah dapat terwujud meski hanya melalui sosok peranakan saja. Narator masih menempatkan keberuntungan Nyi Rapiah karena mendapatkan sejumlah pengalaman hidupnya dari seorang peranakan Belanda. Pandangan tersebut juga dapat dilihat pada uraian narator mengenai citra orang Belanda dan interaksinya dengan kaum pribumi. Teks berikut menunjukkan hal yang dimaksud. Luih anak djago kopi, budak nora meudjeuhna belekesenteng, puguh bae sagala rosa mah, eta deuih djaman harita, boga angkeuh ieu aing Walanda, miseubeuhan napsuna teh teu anggeus ka Nji Rapiah bae. Bubuhan anak Walanda beunghar djaman harita, blas-blus ka bumi menak-menak teh pohara “lalogorna”. Djeung duka kumaha eta mah djaman harita, bangsa urang teh asal ka Walanda, tangtu ngarasa asa ka saluhureun. Dipisobat ku Walanda teh, masing ukur pangkat werekbas atawa kepala tukang wesel kareta api ge, harita mah, leuh, asa unggah harkat. (GN, 1966: 87) Luih anak jago kopi, anak muka perkasa, tentu saja kuat segalanya. Apalagi zaman itu punya andalan merasa diri orang Belanda. Memuaskan nafsunya tidak saja kepada Nyi Rapiah. Karena anak Belanda yang kaya zaman itu, keluar masuk rumah para menak begitu mudahnya. Entah bagaimana zaman itu, bangsa kita asalkan ke orang Belanda, tentu merasa diri lebih dari yang lain. Dijadikan sahabat oleh orang Belanda, meski oleh yang hanya berpangkat werkbas atau kepala tukang wesel kereta api saja, zaman itu, serasa naik harkat. (GN, bab 5)
15
Sebagai realitas yang bisa dirujuk pembaca ke dalam kepentingan mengisi celahcelah tersebut, pendapat Bezemer (dalam Gouda, 2007: 303) menjadi relevan untuk menempatkan kalangan peranakan dalam perspektif tertentu. Menurutnya, pada tahun akhir kekuasaan kolonial Belanda, masyarakat berdarah campuran multi warna di Hindia mendapatkan makna baru. Kepercayaan yang buta pada “kekulitputihan” masyarakat Eropa yang universal, meskipun sejumlah anggotanya berdarah campuran, kehilangan sebagian kekuatan imajinatifnya. Lebih jelas daripada masa lalu, kaum indo digambarkan sebagai menguasai ruang bayang-bayang di antara putih dan cokelat, di antara majikan dan bawahan. Mereka mengembara hilir mudik di antara kaum pribumi dan masyarakat Eropa, serta mereka merupakan bagian populasi yang tidak bahagia, tidak puas, dan berbahaya. Penilaian tersebut, jika digunakan sebagai informasi yang terhubung ke dalam repertoar, akan direkonstruksi pembaca ke dalam kepentingan menghimpun perspektif pembacaan secara lebih luas. Hal yang paling relevan dengan pengkonstruksian yang dimaksud, untuk menggunakan fakta realitas ke dalam pembacaan GN menyangkut orang Indo-Belanda, dapat dilihat melalui potensi menghimpun dan mengatasi celah peristiwa berikut ini. “Djurutulis!” tjek Hatebessy basa Malaju, “aja jalma anjar ti Bandung, pendjahat gerot, wani-wani maehan bangsa kuring, orang kulit..... kulit..... kulit.” (Maksudna mah rek njebut orang kulit-putih, ari ret Hatebessy kana kulitna pribadi bet geheng, atuh rada kaeraan, boro sok reueus djadi “Walanda” teh). (GN, 1966: 182) “Jurutulis!”, kata Hatebesy berbahasa Melayu, “ada orang baru dari Bandung, penjahat kelas kakap, berani membunuh bangsa saya, orang kulit.... kulit.... kulit,” (maksudnya akan menyebut orang kulit putih, begitu melihat Kulit Hatebessy sendiri hitam, ia tampak agak malu; mulanya suka bangga menjadi “Belanda” tersebut). Kondisi yang dihadapi Hatebessy tersebut akan mengaktivasi pembaca ke dalam pemahaman citra tubuh dan warna kulit. Hal tersebut akan pula merentangkan jangkauan pembacaan ke sejumlah peristiwa yang kembali menempatkan kaum Indo-Belanda dalam hubungan hierarkis: Belanda, Indo-Belanda, Pribumi. Demikian pula dengan santana, dalam area hierarkis terdekatnya: menak--santana--cacah.
16
Perasaan malu yang ditunjukkan Hatebessy bersinggungan dengan kondisi gamang yang menimpa kalangan santana atas menak. Skema berikut mengilustrasikan hubungan dua kondisi yang sama-sama berada dalam wilayah transisi. menak
Belanda
santana
Indo-Belanda
cacah
Pribumi
Lajur kiri dan kanan sama-sama memiliki area tengah, yaitu santana dan IndoBelanda. Penguasaan kaum Indo-Belanda terhadap pribumi atau kegelisahan kaum santana untuk merebut wilayah menak dan hubungan kedua golongan transisi tersebut menghasilkan banyak celah lainnya. Celah-celah tersebut bisa ditemukan sekaligus diatasi pembaca selama pembaca menyadari adanya benturan-benturan teks dengan sejumlah gagasannya menyangkut pangagung ‘penguasa tertinggi’, baik dalam tataran penguasa lokal atau penguasa Hindia Belanda. Pangangung, yang tidak terjangkau atau sengaja disembunyikan oleh teks untuk kepentingan tertentu, merupakan saluran lain yang harus dicari dan dihubungkan pembaca ke dalam tataran yang lebih luas. Jangkauan ke hal yang lebih luas dapat dilakukan pembaca dengan menghubungkan persinggungan perspektif feodal dengan demokrasi yang tentunya menyisakan banyak celah untuk diatasi pembacanya.
17
4. Penutup Aktivitas interpretasi dalam memahami ruang-ruang kosong pada sebuah karya tentu bersentuhan dengan perangkat pembacaan yang menyertainya. Dalam kondisi ini, teks tentu tidak dapat menyesuaikan dengan kondisi saat teks tersebut dibaca pembacanya tetapi pembacalah yang aktif menemukan ruang-ruang kosong selama proses pembacaannya. Dalam beberapa kondisi, ruang-ruang kosong yang terkandung dalam BN dan GN dibaca dan diisi oleh pembaca kontemporer setidaknya bersentuhan dengan ruang-ruang spasial dan temporal dalam jarak yang jauh berbeda. Horizon harapan pengarang, harapan teks, harapan pembaca, dan harapan semangat zamannya tentu menjadi begitu dialektis. Pada GN, pembaca pembaca dirangsang untuk mengambil sifat negatif terhadap apa yang dituangkan dalam BN menyangkut kelas sosial. Melalui GN, Salmun pun menawarkan “semangat demokratis” secara gencar. Kondisi demikian tentu melahirkan overdeterminasi yang sesungguhnya akan membuka jalan bagi terciptanya ruang-ruang kosong kembali. Sejumlah kekosongan menyangkut problematis identitas (suku, hubungan indopribumi, kota-desa, dll.) yang terkandung dalam GN sebagai karya sambutan terhadap BN tentu perlu diisi melalui peta mental pembaca yang memberdayakan pengetahuannya, baik menyangkut pengetahuan tentang BN, GN, dan hubungan GN terhadap BN. Kebebasan mengisi ruang-ruang kosong teks dalam upaya pemaknaan hanya lahir dari konstruksi yang dikembangkan dari pola yang ditawarkan teks. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa sejumlah ruang kosong dalam BN dan GN secara dialektis ditunjukkan oleh kedua karya tersebut menyangkut: (1) identitas Palembang dalam pelekatan tradisi Sunda, (2) representasi kota-desa yang menggiring kepada perekonstruksian imajinasi karena potensi teks yang berjarak secara ruang dan waktu bagi pembaca kontemporer, (3) dunia pelacuran dalam GN merupakan ruang yang menjembatani praktik interogasi dan intimidasi terhadap BN (cacah dan santana terhadap menak), dan (4) hubungan indopribumi sebagai aksentuasi gejolak demokratis dalam penguasaan pihak santana terhadap menak. Tentu saja ruang-ruang kosong dan konstruksi pembacaan dalam mengisi kekosoangan-kekosongan yang dimaksud tidak menjadi bagian yang tetap dan mutlak. Dengan demikian, setiap kegiatan pembacaan di momen-momen yang berbeda oleh pembaca yang sama atau berbeda tentu kan melahirkan peluang pembacaan yang berbeda 18
pula. Pada kondisi seperti itulah, ruang-ruang kosong berpeluang untuk ditemukan kembali.
Daftar Pustaka
Ardiwinata, D.K., 1950. Baruang ka nu Ngarora. Cetakan ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Bracher, Mark. 2005. Jacques lacan: Diskursus dan Perubahan Sosial. Terjemahan Gunawan Admiranto. Yogyakarta-Bandung: Jalasutra. Eagleton, Terry. 2006. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif. Terjemahan Harfiyah Widyawati dan Evi Setyarini. Yogyakarta-Bandung: Jalasutra. Fairclugh, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis. Lodon-New York: Longman. Herlina, Nina. 1998. Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda. Iser, Wolgang. 1987. The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Respone. 4th printing. Baltimore & London: The John Hopkins University Press. Jorgensen, Marianne & Philips, Louise J.. 2007. Analisis Wacana: Teori dan Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar -----------------. 2006. How to Do Theory. USA-UK-Australia: Black Well. Moriyama, Mikihiro. 2005. Semangat Baru, Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesusastraan Sunda Abad ke-19. Terjemahan Suryadi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Plekhanov, G. 2006. Seni dan Kehidupan Sosial. Terjemahan Samanjaya. Bandung: Ultimus. Salmun, 1966. Gogoda ka nu Ngarora. Bandung-Jakarta: Pusaka Sunda-balai Pustaka
19
20