-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
TUTURAN EMOTIF DALAM WACANA KELAS: KAJIAN WACANA KRITIS Rusdhianti Wuryaningrum Prodi S3 Universitas Negeri Malang; Dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Univ. Jember
[email protected] Penulis Pendamping: Prof. Dr. Anang Santoso (Universitas Negeri Malang)
Abstract Emotive speech is often used to wrap interests or certain ideology. Emerging emotive speech relating to self-producing (agent) language as someone who has the power. In the classroom, the teacher has more power than his students. Therefore, teachers are able to produce speech as class condition. One form of control is the use of teacher—created emotive speech of emotive language that functions as organon— lay language that serves as a persuasive power. The emotive speech can be studied from the dimension text, discourse practice, and sociocultural practices. Dimensional structure of the text associated with text or discourse linguistically through vocabulary, semantics, and syntax. Discourse practices related to the building blocks of discourse, the discourse in determining the position of the speaker, as well as other contextual aspects. Socio-cultural practices related to macro structures such as the values of society or ideology underlying them. Keywords: emotive speech, classroom discourse, discourse analysis dimension
Abstrak Tuturan emotif sering digunakan untuk membungkus kepentingan atau ideologi tertentu. Kemunculan tuturan emotif berkaitan dengan diri pemroduksi (agen) bahasa sebagai seseorang yang memiliki kekuasaan. Di dalam kelas, guru memiliki kekuasaan yang lebih besar daripada muridnya. Oleh karena itu, guru memproduksi tuturan yang dapat mengondisikan kelas seperti yang diinginkan. Salah satu bentuk penguasaan guru adalah tuturan emotif yang dibentuk dari fungsi emotif bahasa yang meletakkan bahasa sebagai organon. Tuturan emotif tersebut dapat dikaji dari dimensi teks, praktik wacana, dan praktik sosiokultural. Dimensi teks berkenaan dengan struktur teks atau wacana secara linguistik melalui kosakata, semantik, maupun tata kalimat. Praktik wacana berkenaan dengan unsur pembangun wacana, posisi penutur dalam menentukan wacana, serta aspek kontekstual lainnya. Praktik sosiokultural berkaitan dengan struktur makro seperti nilai-nilai masyarakat atau ideologi yang mendasarinya. Kata Kunci: tuturan emotif, wacana kelas, dimensi analisis wacana
Latar Belakang Dalam kajian internal bahasa, telaah fungsional menempatkan setiap konstruksi atau bagian untuk memiliki fungsi. Demikian pula dalam kajian eksternal, bahasa merupakan alat atau sarana yang digunakan untuk merealisasikan fungsi-fungsinya dalam berkomunikasi. Dengan demikian, bahasa yang disebut sebagai “alat” berkomunikasi tidak bisa dimaknai hanya sebagai material penyampai pesan yang berpusat pada isi pesan berikut akustik yang membawanya, tetapi juga berkaitan dengan diri pembicara dan pendengar. Makalah ini akan membahas fungsi bahasa berkaitan dengan fungsi ekspresif (emotif) seperti dinyatakan Buhler yang menggunakan istilah organon untuk menyebut fungsi bahasa sebagai sarana. Konsep tersebut yang kemudian dikembangkan oleh Jackobson dalam merumuskan fungsi bahasa. Jackobson (dalam Sampson, 1980:110) memandang suatu tindak linguistik dari enam sudut, yaitu (1) dalam hubungan dengan pembicara, (2) pendengar, (3) konteks, (4) kontak, (5) kode, dan (6) pesan. Sehingga ia menemukan enam fungsi, yaitu ekspresif, konotatif, denotatif, fatik, metalinguistik, dan puitis. Mengenai aktivitas bahasa menurut Samsuri (1900: 28), Karl Buhler membedakan fungsi bahasa menjadi tiga yaitu ekspresi, himbauan, dan representasi acuan. Uraian tersebut 129
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
disajikannya dalam konsep organonmodell der Sprache, diambil dari istilah Yunani, organon yang diambil dari uraian Plato mengenai bahasa. Organon berarti alat, sarana atau instrumen.
Model Bahasa Karl Buhler dalam Samsuri (1988:29)
Tanda bahasa dilambangkan dengan segitiga yang terletak di tengah-tengah. Tiap-tiap segitiga melambangkan simpton, sinyal, dan simbol. Simpton adalah pengirim pesan. Untuk pengirim pesan, tanda bersifat ekspresi atau ausdruck. Sinyal adalah tanda pesan. Untuk penerima pesan tanda berfungsi appel (himbauan). Simbol berhubungan dengan hal yang ditandai mempunyai fungsi darstellung (acuan, referensi). Dalam pemakaian bahasa yang dominan adalah peran darstellung. Namun, dalam situasi tertentu ekspresi yang dominan demikian juga fungsi appel. Perkembangan pembahasan fungsi bahasa secara fungsional dikemukakan pula oleh Leech, Hymes, dan Halliday. Terdapat irisan fungsi yang sama. Salah satunya adalah fungsi ekspresif atau emotif yang oleh Halliday disebut sebagai fungsi personal. Dalam fungsi tersebut, bahasa digunakan untuk merepresentasikan perasaan yang dialami atau dirasakan. Fungsi tersebut berkenaan dengan diri penutur. Dengan demikian, pelibatan konteksnya adalah keadaan diri si penutur dalam rangka merepresentasikan dirinya dalam konteks yang lebih luas. Inilah yang membedakan fungsi ekspresif atau emotif dengan fungsi-fungsi yang lain. Jika dikaitkan dengan teori Buhler tersebut, ekspresi atau ausdruk dari simpton dapat mengacu pada desrtallung tertentu dan bisa dimaknai appel oleh mitra tutur. Namun kemunculan ekspresif sangat bersifat personal. Oleh karenanya, fungsi ekspresif atau emotif dapat mendominasi pertuturan. Dalam kajian penggunaan bahasa, yang tentu saja datanya adalah parole, tuturan yang bersifat emotif selalu muncul. Hal tersebut wajar karena lapisan dasar tuturan manusia adalah emotif (Cassirer, 1994:43). Sebagai lapisan dasar tuturan, fungsi emotif tuturan yang dalam makalah ini disebut dengan tuturan emotif, tidak bisa disebut sebagai hal biasa saja. Tuturan emotif nyatanya meskipun bersifat personal namun memiliki appel yang berperan besar untuk mitra tutur dan kondisi tuturan. Kajian Teori 1. Tuturan Emotif dalam Wacana Kelas Tuturan emotif merupakan pembawa ideologi penutur untuk melakukan tindak persuasif yang bertujuan menguntungkan pemroduksi bahasa. Baik dengan strategi langsung maupun tidak langsung, tuturan emotif dapat mere leksikan keinginan dan bahkan menyembunyikan apa yang dimaksud penuturnya. Bahkan Macagno (2013) menyatakan bahwa dalam membuat de inisi, makna emotif sering digunakan untuk mengarahkan pada subjektivitas pembicara atau pembuat de inisi. Dalam berargumentasi, seseorang kadang menyiratkan makna tertentu yang sifatnya emotif. Efek argumentatif dari kata emotif memiliki fungsi logis dan efek retoris dengan memunculkan emosi tertentu. Dalam wacana kelas (classroom discourse), kesadaran terciptanya relasi antara gurusiswa, dosen-mahasiswa merupakan sebuah keniscayaan (Santoso, 2012:230). Jika yang terjadi sebaliknya maka disinyalir terdapat penguasaan ideologi. Salah satu alat yang digunakan adalah tuturan emotif. Wacana kelas merupakan wacana interaksi antara guru-siswa dan guru130
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
siswa-guru (Coulthard, 1977:103). Wacana tersebut perlu dihubungkan dengan kondisi dan lingkungan sosial. Dalam interaksi tersebut terdapat kelompok yang mendominasi dengan menggunakan tuturan emotif untuk menunjukkan kekuasaan dalam komunitas kelas. Kekuasaan tersebut dapat ditandai dengan siapa atau kelompok mana yang membuat orang lain mengikuti yang dikatakan dan siapa atau kelompok mana yang idenya atau pernyataannya lebih didengar. Di samping itu, perlu juga dilakukan analisis ideologi apa yang dimunculkan dalam kaitan dengan dimensi sosial yang terdapat dalam wacana tersebut. Struver (1985:254) mende inisikan ideologi sebagai a system of notions and belief that control the behaviour of interlocutors toward reality. Realitas yang dimaksud adalah konteks mitra tutur secara pribadi maupun kolektif. 2. Analisis Wacana Kritis Fungsi ekspresif atau emotif dapat dimaknai appel. Kondisi appel inilah yang kemudian akan disasarkan oleh seseorang yang menggunakan kuasanya (guru) dengan alat ekspresi emotif dalam wujud tuturan emotif yang konsepnya akan dikembangkan dalam penelitian ini. Masalah yang diangkat dalam makalah ini adalah dimensi wacana terkait dengan ideologi dalam wacana interaksi yang mengandung tuturan emotif. Santoso (2012:229) menjelaskan bahwa yang menjadi perhatian dalam analisis wacana kritis adalah “bagaimana praktik-praktik yang mempertahankan dan menimbulkan pola-pola dominasi dan subordinasi harus ditentang, khususnya praktik bahasa”. Salah satu yang meninjau ideologi dalam analisis wacana adalah Fairclough (1995:97). Dalam konsepnya terdapat tiga dimensi yaitu teks (text), praktik wacana (discourse practice), dan praktik sosiokultural (sociocultural practice). Analisis dimensi teks berkenaan dengan aspek linguistik dengan melihat pilihan kata, semantik, dan tata kalimat yang secara fungsional membangun konteks tersebut. Analisis praktik wacana berhubungan dengan produksi dan konsumsi teks sebagai unsur pembangun wacana, situasi yang melahirkan wacana tersebut, keterlibatan peserta komunikasi beserta kedudukannya yang mendukung kelahiran wacana. Analisis sosiokultural berkaitan dengan adanya konteks sosial budaya yang memengaruhi lahirnya wacana. Eriyanto (2001: 321) menyatakan bahwa praktik sosiokultural menggambarkan bagaimana kekuatan-kekuatan dalam masyarakat memaknai dan menyebarkan ideologi yang dominan kepada masyarakat. Dengan demikian, konteks sosial budaya menentukan bagaimana teks diproduksi atau dipahami. Pembahasan dimensi sosiokultural menyangkut aspek sosial dan budaya masyarakat secara keseluruhan. Dimensi tersebut akan menentukan siapa yang mendominasi dan yang didominasi, siapa yang paling mempengaruhi media. Hal tersebut juga terdapat dalam wacana kelas yang tercermin dalam hegemoni, ideologi, kekuasaan, pandangan rasis, dan pengesampingan kepentingan, termasuk juga paham patriarkat yang terdapat dalam kelas. Metode Penelitian Pendekatan penelitian ini kualitatif kritis. Desain penelitian yang digunakan adalah Analisis Wacana Kritis (AWK). Peneliti merupakan unsur sentral untuk mendeskripsikan data penelitian yang diperoleh. Dengan demikian, penelitian ini berjenis etnogra is, sesuai pendapat Creshwell (1988:35). Penelitian ini merupakan penelitian awal yang akan dilanjutkan dalam bidang yang lebih besar. Data-data yang disajikan merupakan data awal yang eksistensinya akan bertambah secara kuantitas dan kualitas dalam pengamatan selanjutnya. Data penelitian ini berupa tuturan emotif yang diproduksi guru untuk menjelaskan dan mende inisikan teori atau konsep yang arahnya melakukan persuasi kepada siswa sesuai ideologi yang diyakini guru. Kesejatian tuturan emotif ditandai dengan (1) penggunaan bentuk 131
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
representasi emosi secara langsung berupa kata emotif (verba, nomina, dan adjektiva) dan (2) tataran kalimat atau klausa yang secara kontekstual mencerminkan pandangan subjektif emotif bukan referensial berdasarkan objektivitas materi pembelajaran yang tepat. Sumber data penelitian ini adalah Guru di SDN Mojopanggung, Kecamatan Giri, Banyuwangi yang mengajar di kelas 1 , 2, dan 3. Data dikumpulkan dengan perekaman yang kemudian ditranskripsikan untuk selanjutnya dianalisis penggunaan tuturan emotifnya. Tindakan tersebut didukung pula oleh hasil observasi dan wawancara bebas. Pembahasan Hasil Penelitian 1. Dimensi Teks Tuturan Emotif dalam Wacana Kelas (Mikrostruktur) Dimensi mikrostruktur dari penelitian ini menunjukkan penggunaan praktik kebahasaan yang diidenti ikasi dengan pernyataan tidak referensial, penyempitan konsep, rangkaian diksi dan klausa untuk intensitas, pende inisian yang bersifat persuasif-parsial dan analogi subjektif. (1a) Pernyataan tanpa fakta sehingga tidak menghasilkan makna referensial Data 1: Tema: Menu Sehat Sehari-hari (sesi: Apersepsi) Guru: Minum susu itu penting untuk supaya tinggi. Senangkan kalamu punya badan tinggi? Apalagi kalau ganteng akan semakin ganteng kalau badannya, ting... Murid: gi... Dari pernyataan guru tersebut, terdapat pernyataan yang tidak mengacu pada konsep yang benar mengenai fungsi susu. Ideologi tinggi badan lebih diacu oleh pernyataan guru daripada aspek sainti ik tentang manfaat susu bagi pertumbuhan. Jembatan yang digunakan guru untuk pernyataan yang tidak referensial tersebut ialah emosi rasa kesukaan yang mengacu pada kebanggaan pada aspek isik. Pernyataan emotif didasari subjektivitas dapat diamati pada Data 1: Apalagi kalau ganteng akan semakin ganteng kalau badannya, ting.... Tuturan guru tersebut mengajak muridmurid untuk menyepakati yang dikatakan, bahwa yang baik dan ganteng (tampan) harus tinggi. Strategi mengajak murid melanjutkan kata-kata adalah upaya membuat murid setuju dan menerima. (1b) Aspek Semantis: Penyempitan Konsep Berkenaan data 1 tersebut secara semantik, terdapat penyempitan konsep fungsi susu atau pentingnya susu. Susu tidak hanya bagus untuk tinggi badan, tetapi juga untuk pembentukan energi, perkembangan otak, dan sebagainya. Penggunaan konjungsi untuk supaya menguatkan tujuan guru menjelaskan fungsi atau manfaat susu. Secara pragmatis, guru mengharapkan murid-muridnya menyukai dan tidak meremehkan susu. (1c) Rangkaian diksi dan klausa untuk intensitas Data 5: Tema: Cita-citaku (sesi Apersepsi) Guru: Pelajaran apa yang disukai? Murid : Berhitung, IPS, semua bu.. Guru: Matematika ya. Matematika membuat kita cermat, teliti. IPS membuat kita tahu banyak. Karena itu semua pelajaran penting. Ibu dulu paling suka pelajaran matematika. Dari data tersebut dapat diamati pernyataan yang memihak matematika dengan dua kata sifat yang secara koheren berkenaan dengan dukungan terhadap matematika yaitu cermat dan teliti. Ekspresi kesukaan digunakan guru untuk membangun ideologi bahwa matematika adalah pelajaran yang penting. Data 2: Tema : Menu Sehat Sehari-hari (Sesi Penutupan) Guru: Makan yang penting bergizi, jangan cuma banyak. Tidak suka kan kalau punya badan gendut karena banyak makan tapi tidak cerdas. Mau punya badan gendut dan tidak cerdas? 132
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Murid: tidak bu, tidak suka gendut (beberapa murid melihat ke arah temannya yang gendut). Guru: Sama kalian juga tidak suka kan punya badan kecil, pendek, dan kurus.. tidak bisa besar karena makannya tidak bergizi. Konteks emotif dibangun juga dengan penggabungan klausa positif dan negatif. Pada data Data 2. Makan yang penting bergizi, jangan cuma banyak, dapat diamati bahwa tuturan guru secara emotif ditandai dengan konstruksi yang penting....., jangan cuma.... untuk menekankan klausa-klausa yang ditandainya. Secara semantis guru mementingkan kualitas makanan bukan hanya kuantitas. Namun, penggunaan negasi jangan akan diserap sebagai komplemen saja oleh siswa. Sehingga yang terjadi siswa akan berpikir bergizi saja tidak perlu banyak (tidak memperhatikan kuantitas). Rangkaian diksi untuk intensitas keemotifan juga bisa diamati pada data 2 tersebut dengan penggunaan kata kecil, pendek, kurus, dan tidak bisa besar. Rangkaian diksi tersebut dilakukan guru untuk menguatkan pentingnya makanan bergizi untuk kepentingan isik. (1d) Pende inisian yang bersifat persuasif-parsial dan Analogi Subjektif Data 3: Tema: Menu Sehat Sehari-hari (Sesi penutupan) Guru: Yang tinggi nanti bisa jadi polisi, perawat, pilot, ibu bangga kalau anak Ibu sukses. Murid: Kalau pendek bu? Guru: Kalau pendek gak bisa diterima jadi polisi. Anak ibu yang pertama jadi polisi karena tinggi dan sehat. Makanya harus makan yang bergizi. Konteks keemotifan dibangun dengan analogi subjektif, yaitu menyimpulkan sesuatu sebagai penyebab karena contoh sebelumnya. Pernyataan guru pada data 3: Anak ibu yang pertama jadi polisi karena tinggi dan sehat, membuat siswa yakin bahwa tingi dan sehat adalah syarat menjadi polisi. Analogi yang subjektif digunakan guru untuk menggunakan daya pragmatik deklaratif dengan maksud menaikkan kebanggaan siswa terhadap keberhasilan guru tersebut dan menguatkan ideologi tentang tinggi badan. Dalam dimensi linguistik, keemotivan juga dibangun dengan analogi subjektif, berupa penggunaan negasi yang memositi kan hal yang dilawankan. 2. Praktik Wacana Tuturan Emotif dalam Wacana Kelas (Mesostruktur) Aspek mesostruktur yang tampak pada penelitian awal ini adalah konstruksi pembentuk wacana kelas yaitu (1) guru sebagai tenaga pengontrol, (2) metode mengajar yang menguatkan fungsi ekspresif guru dan appel dalam diri siswa, (3) guru sebagai penilai-standar terbaik yang mendominasi percakapan. Wacana kelas dengan penggunaan tuturan emotif yang diujarkan guru pada data di atas dibangun oleh sistem pemahaman masyarakat bahwa guru adalah tenaga yang profesional dan memiliki pengetahuan lebih baik. Guru banyak memberikan masukan yang sifatnya subjektif seperti yang dialaminya. Dengan demikian, guru adalah standar kebaikan termasuk pelajaran yang harus disukai, warna kulit, tinggi badan, dan lingkungan rumah. Lingkungan rumah yang digambarkan adalah lingkungan perumahan. Secara ideologis lingkungan yang sehat adalah lingkungan perumahan yang tidak becek karena sudah dipaving, tanaman juga ditanam di pot. Tidak becek meskipun tanaman di tanam di pot adalah wahana perumahan yang dihadirkan guru di kelas. Tidak becek atau banjir karena tanaman menyerap air hujan dan tidak ada sampah di selokan adalah wahana umum yang memihak lingkungan rumah penduduk pada umumnya. 3. Praktik Sosiokultur Tuturan Emotif dalam Wacana Kelas (Makrostruktur) Sosiokultur yang dibangun dalam wacana kelas tersebut adalah kultur guru sebagai orang bersikap formal, kata-katanya dianggap mengandung kebenaran. Masyarakat memandang 133
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
jabatan guru merupakan sosok yang pasti sukses hidupnya termasuk anak-anaknya. Guru adalah orang terpelajar sehingga harus tinggal di perumahan yang baik dan bersih—secara lingkungan isik, bukan sosial—dirinya dan keluarganya mampu menjadi teladan bagi siapa saja. Siswa adalah murid-murid dari keluarga kelas menengah (SD Mojopanggung) kebanyakan tinggal di perkampungan penduduk. Berdasarkan pengamatan sesuai data dapat dinyatakan bahwa sosiokultur siswa terkait dengan materi yang disajikan guru adalah anak dari orang tua dengan berbagai macam pekerjaan, guru, TNI, perawat, petani, dsb; kondisi isik sehat dengan warna kulit kebanyakan coklat atau sawo matang. Variasi kondisi sosiokultur siswa kurang diperhatikan guru sehingga contoh dan arahannya merupakan upaya guru untuk menaikkan posisinya dengan menyatakan tuturan emotif yang mengarahkan penilaian baik untuk standar hidup yang dialaminya. Penjelasan guru tidak berimbang dengan penekanan kultur tertentu, pelajaran tertentu, de inisi tertentu yang semuanya membenarkan keadaan, sikap, dan pola pikirnya. Guru membangun ideologinya dengan tuturan emotif. Tuturan emotif adalah jalan untuk meyakinkan dan menyentuh perhatian murid secara lebih mudah karena menyentuh lapisan dasar tuturan dan komunikasi persuasif. Simpulan Tuturan emotif dalam wacana kelas digunakan karena adanya pemaknaan appel dari siswa terhadap penjelasan guru. Hal tersebut ditandai dengan (1) penggunaan kata representasi emosi, yaitu verba, nomina, adjektiva yang merepresentasikan emosi keinginan, kesukaan atau ketidaksukaan, harapan atau keinginan dan sebagainya; (2) kalimat atau klausa yang secara kontekstual diproduksi berdasarkan keinginan memersuasi, representasi subjektif diri (guru), bukan dari fakta objektif teori atau konsep yang sesuai. Dasar globalnya adalah fungsi emotif tersebut berupa representasi diri yang dapat mengarah pada tindak persuasif, yakni meyakinkan pandangan atau ideologi yang diyakini oleh guru kepada muridnya.
Daftar Pustaka Coulthard, M. 1977. An Introduction on Discourse Analysis. Harlow: Longman Group Limited Creswell, John M. 1988. Qualitative Inquiry Research Desaign : Choosing Among Five Traditions. Thosand Oaks: Sage Publication Eriyanto. 2001. Analisis Wacana:Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS Ernst. Cassirer. 1990. Manusia dan kebudayaan: Sebuah Esei tentang Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Tama Faiclough, N. 1995. Critical Discourse Analyscalis: The Critical Study of Language. London: Longman Macagno, Fabrizio. 2013. “What We Hide in The Words: Value-Based Reasoning and Emotive Language” dalam OSSA Conference, University of Windsor Sampson, G. 1980. School of Linguistics. Stanford: Stanford University Press Samsuri. 1998. Berbagai Aliran Linguistik Abad XX. Jakarta: Depdikbud Santoso, Anang. 2002. Studi Bahasa Kritis: Menguak Bahasa Membongkar Kuasa. Bandung: Mandar Maju Struever, N.S. 1985. “Historical discourse”. Handbook of Discourse Analysis Teun Van Dijk (Ed.). London: Academis Press. Volume 1 134