ANALISIS WACANA KRITIS TENTANG PERBUDAKAN MODERN DALAM PROGRAM BEDAH EDITORIAL MEDIA INDONESIA DI METRO TV Skripsi Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh: M. Fikri Halim NIM: 109051100054
KONSENTRASI JURNALISTIK JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/ 2013 M
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS Assalamualaikum, Wr. Wb Saya yang bertanda tangan di bawah ini adalah penulis skripsi dengan judul “Analisis Wacana Kritis Tentang Perbudakan Modern dalam Program Bedah Editorial Media Indonesia di Metro TV” dengan ini menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil saya atau merupakan hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Demikian lembar pernyataan ini dibuat, diharapkan dapat dipergunakan dengan semestinya. Terima kasih Wassalamu’alaikum Wr. Wb Jakarta, 24 November 2013 Penulis,
M. Fikri Halim
ABSTRAK ANALISIS WACANA KRITIS TENTANG PERBUDAKAN MODERN PADA PROGRAM BEDAH EDITORIAL MEDIA INDONESIA DI METRO TV “Perbudakan modern” telah menyita perhatian publik akhir-akhir ini. Sehingga kita dikenalkan dengan istilah “perbudakan modern”. Kata perbudakan modern menggambarkan kondisi pekerja upahan yang diperlakukan secara tidak manusiawi oleh majikannya. Kasus ini kemudian diangkat sebagai topik dan menjadi headline diberbagai media. Salah satunya adalah Media Indonesia. Bahkan kasus ini dijadikan sebagai bahan editorial bervisual yang ditayangkan di Metro TV pada program “Bedah Editorial Media Indonesia”. Studi ini dibingkai pertanyaan berikut: “Bagaimana teks yang dikonstruksi oleh Editorial Media Indonesia?” “Bagaimana Kognisi sosial yang dikonstruksi oleh Editorial Media Indonesia?” “Bagaimana konteks sosial yang dikonstruksi oleh Editorial Media Indonesia?” Dengan menggunakan kerangka teori Teun A. van Dijk pada bagian teori hegemoni, dimana teori ini menjelaskan bahwa hegemoni tidak hanya bisa dilakukan oleh negara dengan Ruling Class namun bisa dilakukan oleh seluruh kelas sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teks yang dikonstruksi oleh “Media Indonesia” dan diangkat oleh Metro TV sebagai bahan diskursus editorial ini menjadi sebuah realitas yang penting diketahui dan dipahami oleh masyarakat. Para penonton televisi dan pembaca surat kabar diajak untuk mengetahui kasus yang diberi judul perbudakan modern ini. Kasus yang terjadi di pabrik alumunium yang berada di desa Lebakwangi Kabupaten Tangerang ini seketika menjadi isu penting dalam urusan moral dan kemanusiaan, bahkan kasus ini memunculkan kritik-kritik kepada pemerintah. Dalam konteks sosial, perbudakan modern ini disadari ada sebagai peristiwa yang penting bagi media maupun konsumen media. Hal ini menjadi diskursus yang menarik bagi mereka, karena media menganggap hal ini adalah hal luar biasa yang jarang terungkap dan penting bagi konsumen media untuk memahaminya dikarenakan isu ini menyangkut urusan moral dan kemanusiaan. Dalam konteks ini terlihat bahwa media mempunyai kekuatan untuk mengendalikan pikiran manusia dengan mengarahkannya pada kasus yang mereka anggap penting. Beginilah media yang mempunyai kekuatan, pengaruh dan efek komunikasi masa yang luar biasa.
Kata kunci : Perbudakan, Wacana, Editorial, Media, Konstruksi
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur senantiasa diucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat kesempatan, kesehatan dan kecerdasan kepada peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini, serta hanya karena izin-Nya pulalah peneliti dimudahkan dalam berbagai persoalan hingga sampai pada hari ini, peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam kepada junjugan kita, Rasulullah saw yang telah membawa manusia dari alam kegelapan (jahiliyah) kepada alam yang terang benderang dengan ilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan saat sekarang ini. “Peneliti persembahkan segalanya kepada kedua orangtua tercinta, ibunda Nasma Nasir dan almarhum ayahanda Drs. Rusydi Saad, yang dengan ketegaran hatinya dalam menjalani hidup ini menjadi inspirasi, motivasi dan semangat hidup bagi peneliti, merawat peneliti dari kecil hingga sekarang dengan kasih sayang dan cinta yang tulus tanpa pamrih serta air susunya yang telah menjadi darah daging dalam tubuh ini, yang keringat dan doanya yang telah menyatu dalam jiwa peneliti. Juga terima kasih yang sebesar-besarnya untuk ketiga saudara kandung peniliti, Muhammad Hekmal, Muhammad Rijalul Fikri dan Muhammad Fairuz yang selalu memberi motivasi serta dukungan moral maupun materil kepada peneliti.”
ii
Selanjutnya peneliti juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang memberikan kontribusi pemikiran, materi, data-data dan pelajaran berharga selama penulisan skripsi ini, rasa terima kasih juga peneliti ucapkan kepada: 1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim sebagai Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan. 2. Dr. H. Arief Subhan, M.A, sebagai Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. 3. Rubiyanah, M.A selaku Ketua Konsentrasi Jurnalistik dan Ade Rina Farida, M.Si. selaku Sekretaris Konsentrasi Jurnalistik yang selalu membantu dalam penyelesaian skripsi ini. 4. Tantan Hermansyah, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan fikiran serta memberikan masukan, arahan, dan semangat untuk segera menyelesaikan skripsi ini. 5. Seluruh guru, bapak dan ibu dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan wawasan, ilmu pengetahuan yang bermanfaat, dan pengalaman yang berkesan selama peneliti kuliah di fakultas ini.
iii
6. Usman Kansong, M.Si. sebagai Direktur Pemberitaan Media Indonesia yang telah meluangkan waktunya untuk diwawancara. 7. Sahabat-sahabat di Asrama Putra (ASPA) UIN 2009, Sandi, Akmal, Ngenges, Bewok, Tyo, Septian, Ucup, Andra, Hendra, Hilal, Leo, Azhar, Rozi, Deni, Arif, Ade, Aziz, Wirno, Lukas, Ruslan, luthfi, Solihin, Rivan, Almam, Ihsan, pak kumis, Fadli, Farid dan semuanya tanpa mengurangi rasa hormat, kisahkisah dan pengalaman di sana memberikan banyak pelajaran yang tak ternilai harganya. 8. Rekan-rekan Band dan eks Band Crop Circle yang telah Berevolusi menjadi Experians (Bewok, Ngenges, Tyo, Fajrin, Akmal, Andra, Degam) 9. Sahabat seperjuangan yaitu teman-teman kosan dan geng nongkrong (Ngenges, Hendra, Andra, Leo, Bewok, Sandi, Akmal, Ucup, Tyo, Fajrin, Ale, dll), begitu banyak pengalaman berkesan dan banyak pelajaran yang bermanfaat yang peneliti dapat dari kalian. 10. Seluruh keluarga besar Komunitas Musik Mahasiswa Ruang Inspirasi Atas Kegelisahan (KMM RIAK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak bisa disebutkan satu-persatu tanpa mengurangi rasa hormat. 11. Sahabat-sahabat Progeni (Proses Genetika) 10 KMM RIAK (Sadam, Ivan, Iqy, Lepay, Slank, Fadly, Nuy, Minda, Gustia, Rahma) dan Progeni 10 eks
iv
(Meizar, Bewok, Puguh, Nuno, Kiki, Ahyar, Ardi, Enong, Indra, Koto, Ucup, Agung, dll). 12. Seluruh keluarga besar KAHFI BBC MOTIVATOR SCHOOL, senior, guru dan wali kelas (Kak Ibnu, Kak Habib, Kak Titin, Kak Iyang, Kak Munir, Kak Ozi, Kak AB), juga seluruh sahabat angkatan 12 yang luar biasa, dan khususnya Om Bagus (Tubagus Wahyudi) yang dengan ikhlas memberikan banyak ilmunya, mengajarkan bagaimana pola pikir yang benar, mengajarkan peduli, dan sangat banyak ilmu yang bermanfaat serta motivasi yang saya dapatkan di kampus ini, terima kasih guru. 13. Sahabat-sahabat KKN PENA 2012 (Ucup, Ali, Dwi, Satya, Dini, Liza, Dede, Ipul, Oki, Sigit, Aje, Dado, Bogeg, Damai, Riska, Turi, Elsa, Ila, Ziah) dan pastinya warga kp. Gunung Seureuh Bogor. Dalam waktu singkat yang kurang lebih sebulan, begitu banyak pelajaran yang saya dapat dari kalian. Terima kasih atas semuanya dan terima kasih juga atas pengalaman yang kalian berikan. 14. Teman-teman seperjuangan Jurnalistik 2009, Bima, Aziz, Ucup, Tompel, Doel, Jauhari, Devit, Degam, Rizqi, Mekar, Nunu, Sigit, Adjri, Andin, Ima, Icha, Dewi Febriyanti, Dewi Rifqina, Akmal, Opang, Anis, Devi, Ziah, Linda, Lulu, Putri Buana, Pipit, Puti, Bobi, Ali, Jaffry, Hilman, Damai, Iqy, Samsul, Jefry, Faruq, Hikam, Zaki, Arga, Eko, Reza, Roni, Uyang, Syifa, Iit, Makini,
v
Rere, Winda, Ina, Khalil, Hilda, Turi, Uthi, Loka, Umar, Bowo, Yunus, Ketut, Togar dan lainnya yang tidak disebutkan tanpa mengurangi rasa hormat. 15. Seluruh kerabat keluarga yang memberikan dukungan, juga kepada kakak ipar, Kak Ira dan Kak Sri, serta kedua keponakan yang lucu dan asik, Muhammad Hazzim Alfitra dan Muhammad Zahid Al-Rasyid Arafah. Kalian memberikan motivasi untuk segera menyelesaikan skripsi ini. 16. Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya hanya kepada Allah peneliti serahkan semua, semoga semua bantuan, partisipasi, kontribusi, motivasi, dan kerjasama yang baik yang sudah diberikan, mendapat balasan kebaikan dan pahala yang setimpal dari Allah SWT. Dan mudah-mudahan karya tulis yang sederhana ini bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan, khususnya di bidang komunikasi, Amin ya rabbal ‘alamin.
Jakarta, 26 Desember 2013 Peneliti,
M. Fikri Halim
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK.............................................................................................. i KATA PENGANTAR ............................................................................ ii DAFTAR ISI ........................................................................................ vii DAFTAR TABEL .................................................................................. x BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1 A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah..................................................... 3 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 3 D. Tinjauan Pustaka .......................................................................... 4 E. Metodologi Penelitian .................................................................. 5 F. Sistematika Penulisan ................................................................... 8 BAB II TINJAUAN TEORI ............................................................................. 10 A. Konseptualisasi Televisi ............................................................. 10 B. Konsep Editorial dan Teori Hegemoni ........................................ 11 a. Konsep Editorial ............................................................. 11 b. Teori Hegemoni .............................................................. 13 C. Buruh, Tenaga Kerja dan Budak ................................................. 15 a. Pendefinisian Buruh dan Tenaga Kerja ........................... 15
vii
b. Perbudakan dalam Pandangan Islam ............................... 17 D. Analisis Wacana Kritis Teun A. Van Dijk .................................. 18 a. Tujuan Analisis Wacana Kritis ........................................ 19 b. Konseptual dan Kerangka Teori Analisis Wacana Kritis . 20 c. Kerangka Analisis Wacana Van Dijk pada Teks Media ... 23 i. Dimensi Teks ...................................................... 23 ii. Dimensi Kognisi Sosial ....................................... 24 iii. Dimensi Konteks Sosial ...................................... 25 BAB III GAMBARAN UMUM ......................................................................... 26 A. Profil Metro TV (PT. MEDIA TELEVISI INDONESIA) ........... 26 B. Alur Produksi Wacana dalam Editorial Media Indonesia ............ 33 C. Wacana Perbudakan Modern dalam Teks Editorial MI ............... 36 BAB IV HASIL TEMUAN DAN ANALISIS DATA ........................................ 39 A. Analisis Wacana Kritis pada Teks dan Video Editorial ............... 39 a. Tematik .......................................................................... 39 b. Skematik ......................................................................... 41 c. Semantik ......................................................................... 46 i. Latar.................................................................... 46 ii. Detail .................................................................. 46 iii. Maksud ............................................................... 47 iv. Presuposisi (Praduga atau pengandaian) .............. 47 d. Sintaksis ......................................................................... 48
viii
e. Stilistik ........................................................................... 49 f. Retoris ............................................................................ 49 i. Grafis .................................................................. 50 ii. Metafora.............................................................. 51 iii. Ekspresi .............................................................. 51 B. Analisis Wacana Kritis dari Segi Kognisi Sosial ......................... 52 a. Percakapan pada Segmen Pertama .................................. 53 b. Percakapan pada Segmen Kedua ..................................... 56 c. Percakapan pada Segmen Ketiga ..................................... 59 d. Percakapan pada Segmen Keempat ................................. 64 C. Analisis Wacana Kritis dari Segi Konteks Sosial ........................ 67 BAB V PENUTUP ............................................................................................ 69 A. Kesimpulan ................................................................................ 69 B. Saran-saran................................................................................. 71 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 73 LAMPIRAN
ix
DAFTAR TABEL 1. Tabel 1 Skema Penelitian dan Metode Van Dijk ......................... 21 2. Tabel 2 Jembatan Analisis Kritis Makro dan Mikro .................... 22 3. Tabel 3 Analisis Wacana pada Teks Media ................................. 23 4. Tabel 4 Analisis Kognisi Sosial Penulis ...................................... 25
x
BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Televisi merupakan media yang paling diminati oleh khalayak, sebab televisi bisa berada di ruang paling pribadi sekalipun. Sehingga khalayak dapat menerima pesan yang disampaikan secara simultan dalam waktu bersamaan meski di tempat yang berbeda. Televisi dapat dimanfaatkan mulai dari hal yang positif hingga negatif sebagaimana dampak yang ditimbulkan.1 Selain itu, televisi juga berfungsi sebagai sarana penyampai informasi, sarana pendidikan, sarana hiburan, saran pengawasan dan kontrol sosial.2 “Televisi adalah sebuah pengalaman yang diterima begitu saja. Kendati demikian, televisi juga merupakan sesuatu yang membentuk cara berfikir manusia tentang dunia. Kehadirannya yang tak terelakkan dan sifat alamiahnya yang populis, di masa lalu menjadi alasan bagi penolakan televisi, karena sifatnya yang sekejap dan “tidak berharga”. Tetapi sekarang media dan budaya pop telah masuk dalam agenda akademik. Suara miring yang dikumandangkan para penganut budaya tinggi terhadap ‘harga’ materi televisi menjadi terdengar lucu. Argumen mengenai kebaikan-kebaikan relatif dari Catherine Cookson dan Charles Dickens, sebagaimana diuraikan dengan cara yang mengesankan di televisi, menjadi menarik. Namun, pelbagai asumsi tentang superioritas kultural Dickens atas Cookson, atau keunggulan buku atas drama televisi, adalah sesuatu yang tidak bercita rasa. Televisi pada hakikatnya adalah sebuah fenomena kultural, sekaligus medium di mana sepenggal aktivitas budaya menjamah kita di dalam rumah. Bagaimanapun juga, ‘televisi’ sebagai sebuah objek studi tidak hanya terkait dengan program.”3
1 2
14-24
Hery Effendy, Industri Pertelevisian Indonesia, (Jakarta: Erlangga. 2008), h. 65. Elvinaro Ardianto, Komunikasi Massa, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007), h.
3
Graeme Burton, Talking Television An Introduction to the study of Television (London: Hodder Arnold, 2000)
1
2
Peneliti tertarik untuk mengkaji salah satu program televisi yang disiarkan oleh Metro TV yaitu program Bedah Editorial Media Indonesia. Tema yang diangkat oleh Editorial Media Indonesia ini sangat beragam mulai dari politik hingga masalah sosial, salah satunya yang akan diteliti pada skripsi ini adalah editorial yang berjudul “Perbudakan Modern”. Tema ini sarat mengandung unsur sosial, kemashlahatan manusia dan komunikasi masa. Pada episode tersebut dipaparkan bagaimana terulang kembali praktek perbudakan di Indonesia. Pesan umum yang ingin disampaikan adalah tindakan perbudakan yang ada pada zaman jahiliyah terulang kembali pada saat ini. Masyarakat Indonesia diingatkan kembali bahwa setiap individu yang sejatinya punya kemerdekaan justru malah dirampas oleh pengelola tenaga kerja yang tidak beretika dan tidak memperhatikan kesejahteraan manusia. Proses perbudakan ini telah menjadi isu yang hangat dalam masalah ketenagakerjaan serta semakin maraknya praktek outsourcing yang merangkul tenaga kerja dari kalangan yang berpendidikan menengah kebawah. Penting rasanya bagi peneliti untuk mengangkat isu ini karena sejatinya manusia mempunyai derajat yang sama dan tak ada satupun manusia yang layak untuk diperbudak. Sehubungan dengan pemberitaan dan editorial itu juga banyak pemahaman yang terjadi di masyarakat. Publik secara mayoritas sepakat dan mendukung opini media tersebut yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya. Dari hal ini terlihat bahwa pengaruh media ternyata sangat besar dalam menentukan opini masyarakat dan berhasil menjalankan fungsinya sebagai alat kontrol sosial. Berdasarkan latar belakang inilah, penting rasanya bagi penulis untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Wacana Kritis Tentang
3
Perbudakan Modern dalam Program Bedah Editorial Media Indonesia di Metro TV”. B. Batasan dan Rumusan Masalah Untuk memperjelas dan mempertajam analisa serta kajian selanjutnya, peneliti memberikan pembatasan masalah yang berfokus pada pandangan Metro TV dalam Program Bedah Editorial Media Indonesia tentang Perbudakan Modern. Dari pembatasan masalah di atas maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut: 1. Bagaimana teks yang dikonstruksi Metro TV dalam Program Bedah Editorial Media Indonesia pada pemberitaan tentang perbudakan modern? 2. Bagaimana kognisi sosial yang dikonstruksi Metro TV dalam Program Bedah Editorial Media Indonesia pada pemberitaan tentang perbudakan modern? 3. Bagaimana konteks Sosial yang dikonstruksi Metro TV dalam Program Bedah Editorial Media Indonesia pada pemberitaan tentang perbudakan modern? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian 1) Untuk mengetahui bagaimana konstruksi teks dalam Program Bedah Editorial Media Indonesia tentang perbudakan modern di Metro TV. 2) Untuk Mengetahui bagaimana kognisi sosial dalam Program Bedah Editorial Media Indonesia tentang perbudakan modern di Metro TV.
4
3) Untuk mengetahui bagaimana konteks sosial dalam Program Bedah Editorial Media Indonesia tentang perbudakan modern di Metro TV. 2. Manfaat Penelitian 1) Manfaat Akademis Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi karya ilmiah terutama di bidang komunikasi massa dan tentunya diharapkan dapat memberikan kontribusi positif pada kajian selanjutnya serta menambah refernsi keilmuan yang fokus pada analisis wacana. 2) Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan menjadi masukan positif yang juga dapat menambah wawasan bagi teoritis dalam kajian ilmu komunikasi, bagi praktisi di bidang broadcasting maupun bagi pengelola stasiun televisi khususnya. D. Tinjauan Pustaka Sebelum menentukan judul skripsi ini penulis melakukan tinjauan pustaka di Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama tinjauan tersebut penulis menemukan beberapa judul skripsi yang berkaitan dengan skripsi ini. Maksud tinjuaun pustaka ini antara lain untuk menghindari kesamaan atau tindakan plagiat. Beberapa di antaranya adalah “Analisis Wacana Pemberitaan Film “Fitna” Karya Geert Wilders di Harian Umum Republika (edisi 29 Maret4April 2008)” yang disusun oleh Mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik, Sofwan Tamami. Kesamaan yang ditemukan adalah teknik analisis yang digunakan
5
sedangkan perbedaannya terletak pada objek penelitian, yaitu peneliti memakai objek dari media elektronik dan produk jurnalistik yang diteliti oleh peneliti adalah editorial. Selanjutnya karya Dita Amelia, mahasiswi konsentrasi jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul “Analisis Wacana Pemberitaan Final Piala Suzuki AFF 2010 di Media Indonesia”. Yang membedakan dengan penelitian ini adalah isu yang dibahas, peneliti membahas isu tentang perbudakan modern. Kemudian yang membedakan lagi adalah media yang akan diteliti, peneliti membahas media elektronik. Jadi perbedaannya terletak pada subjek dan objek penelitian yaitu penelitian terdahulu meneliti pemberitaan final piala Suzuki, sedangkan penelitian ini meneliti program bedah editorial Media Indonesia mengenai perbudakan modern. E. Metodologi penelitian 1. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ialah metode analisis wacana dengan pendekatan kualitatif. Analisis wacana merupakan salah satu bentuk alternatif untuk menganalisis pesan dalam media selain analisis isi kuantitatif. 4 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan model analisis wacana van Dijk, teori analisis wacana van Dijk merupakan model analisis wacana yang paling banyak digunakan. Ini dikarenakan model tersebut dapat mengelaborasikan elemen-elemen wacana dalam suatu teks secara praktis.
4
Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004) h. 68
6
2. Subjek dan Objek Penelitian Subjek pada penelitian ini adalah analisis wacana kritis Teun A. Van Dijk, adapun objek pada penelitian ini adalah Program Siaran Bedah Editorial Media Indonesia tentang Perbudakan Modern tayang 9 Mei 2013. 3. Tahapan Prosedur Penelitian a. Teknik Pengumpukan data Teknik merupakan cara yang digunakan peneliti untuk mendapatkan data. Data adalah bahan keterangan tentang sesuatu objek penelitian yang diperoleh di lokasi penelitian. Adapun untuk pelaksanaan penelitian ini, tahapan yang akan dilakukan adalah, sebagai berikut : 1. Observasi Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan panca indra mata sebagai alat bantu utamanya selain panca indra lainnya seperti telinga, mata, hidung, lidah dan kulit. Yang dimaksud metode observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian, data-data penelitian ini dapat diamati oleh peneliti. Dalam arti bahwa data tersebut dihimpun melalui pengamatan peneliti melalui penggunaan panca indra. 5 Tindakan lebih lanjut dilakukan dengan mengadakan kunjungan ke Metro TV untuk mencatat apa yang peneliti perlukan, terutama untuk mendapatkan
5
h. 134.
Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006)
7
informasi seputar pemberitaan tentang “Perbudakan Modern” yang pernah tayang di Metro TV tanggal 9 mei 2013. Metode observasi yang dilakukan dalam penelitian ini ialah dengan cara mengamati teks, kognisi sosial dan konteks sosial dalam Editorial Media Indonesia kemudian dari pengamatan tersebut dianalisis dengan kerangka wacana Teun A. Van Dijk dan dikaitkan dengan teori hegemoni Antonio Gramsci. 2. Wawancara (Interview) Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interview) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.6 3. Dokumentasi Dengan mengumpulkan data-data mengenai hal-hal yang akan penulis bahas, yang berhubungan dengan objek yang akan diteliti yaitu teks editorial, video editorial dan Copy Tayang Program Bedah Editorial Media Indonesia di Metro TV. Pengumpulan data ini dilakukan melalui: lembaga atau institusi, bukubuku, lapangan, internet dan media lainnya. 4. Teknik Penulisan Skripsi Pada teknik penulisan penelitian ini, penulis mengacu pada buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6
103
Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosdakarya, 2001) h.
8
b. Teknik Analisis Data 1. Proses Penafsiran Data Penelitian analisis wacana merupakan penelitian kualitatif yang lebih menekankan pada pemaknaan teks daripada penjumlahan unit katagori. Pada tahap ini, peneliti akan memperhatikan teks editorial, video editorial dan percakapan yang terdapat dalam Program Bedah Editorial Media Indonesia di Metro TV kemudian akan ditafsirkan oleh peneliti yang disesuaikan dengan kerangka analisis wacana kritis yang dikemukakan oleh Teun A. Van Dijk dan dikaitkan dengan teori hegemoni Antonio Gramsci. 2. Penyimpulan Hasil Penelitian Kesimpulan hasil penelitian diambil berdasarkan pada interpretasi peneliti atas obyek yang diteliti dan kaitannya dengan data yang diperoleh dalam kegiatan penelitian. F. Sistematika Penulisan Agar pembahasan dalam penulisan skripsi ini sistematis, maka penelitian ini dibagi menjadi lima bab, yang tiap bab terdiri dari berbagai sub-bab, diantaranya: BAB I, Mengurai tentang latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian yang terdiri dari metode penelitian, subjek dan objek penelitian, tahapan prosedur penelitian, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data, dan teknik analisis data, kemudikan tinjauan pustaka, dan terakhir sistematika penulisan.
9
BAB II, Membahas tentang konseptualisasi televisi dan sejarah media, Kategorisasi Buruh, Konsep Editorial dan Teori Hegemoni Gramsci, Pengertian Buruh, Tenaga Kerja dan Budak, konseptualisasi analisis wacana kritis Teun A. van Dijk. BAB III, Mengambarkan profil Metro TV, Alur Pembuatan Editorial di Media Indonesia sampai penayangan program bedah editorial MI di Metro TV, dan Wacana Perbudakan Modern dalam bentuk teks editorial”. BAB IV, Membahas bagaimana teks dikonstruksikan, bagaimana Kognisi sosial pada wacana itu dan bagaimana Konteks Sosial pada Wacana perbudakan Modern yang tayang di program Editorial media Indonesia di metro TV. BAB V, menyimpulkan hasil penelitian dan saran-saran yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dalm peneltian. Penelitian ini juga dilengkapi dengan daftar pustaka serta lampiran-lampiran sebagai penguat data.
BAB II Tinjauan Teori A. Konseptualisasi Televisi Televisi merupakan media yang diminati oleh khalayak, Sehingga khalayak dapat menerima pesan yang disampaikan secara simultan dalam waktu bersamaan meski di tempat yang berbeda. Televisi dapat dimanfaatkan mulai dari hal yang positif hingga negatif sebagaimana dampak yang ditimbulkan.1 Selain itu, televisi juga berfungsi sebagai sarana penyampai informasi, sarana pendidikan, sarana hiburan, sarana pengawasan dan kontrol sosial. 2 Televisi adalah sebuah pengalaman yang diterima begitu saja. Kendati demikian, televisi juga merupakan sesuatu yang membentuk cara berfikir manusia tentang dunia. Televisi pada hakikatnya adalah sebuah fenomena kultural, sekaligus medium di mana sepenggal aktivitas budaya menjamah kita di dalam rumah. Bagaimanapun juga, ‘televisi’ sebagai sebuah objek studi tidak hanya terkait dengan program.3 Televisi merupakan media massa yang menyampaikan pesan jarak jauh berupa gabungan gambar dan suara, baik melalui kawat maupun secara elektromagnetik tanpa kawat. Proses penyajiannya melalui kamera dan mikrofon yang ditransformasikan kedalam getaran elektromagnetik. Setelah diperkuat, 1 2
Hery Effendy, Industri Pertelevisian Indonesia, (Jakarta: Erlangga. 2008), hal 65. Elvinaro Ardianto, Komunikasi Massa, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007),
hal 14-24
3
Graeme Burton, Talking Television An Introduction to the study of Television (London: Hodder Arnold, 2000)
10
11
kemudian dimodulasikan menjadi gelombang radio dengan frekuensi tinggi yang disebut Very High Frequency (VHF) dan Ultra High Frequency (UHF) dan dipancarkan ke udara melalui stasiun pemancar atau transmisi. Menurut peneliti, posisi televisi di Indonesia menduduki peringkat media nomor satu terpopuler dibanding koran, majalah, radio, dan media baru lainnya, karena penontonnya mengakses secara pasif dan masif dari berbagai kalangan, terlebih dari golongan menengah kebawah. Pada umumnya, mereka menonton televisi setiap hari guna mendapatkan informasi aktual dan membuat wacana sendiri dari hasil pengamatan tontonan mereka dan kemudian mereka membuat diskusi kecil atau wacana kecil dengan keluarga atau teman dan tetangga. “Mcluhan (1962,1964) dan Quentin Fiore, 1967,1966) menyatakan bahwa media dari sebuah era menentukan esensi dari sebuah masyarakat. Mereka mengemukakan empat era atau zaman, dalam sejarah media, yang masing-masing berkaitan dengan cara komunikasi dominan dari zaman tersebut. Lebih jauh lagi, Mcluhan menyatakan bahwa media bertindak sebagai perpanjangan dari indra manusia dalam tiap era.”4
B. Konsep Editorial dan Teori Hegemoni a. Konsep Editorial Editorial sering disebut tajuk rencana, adapun menurut peneliti, editorial atau tajuk rencana ini adalah opini berisi pendapat dan sikap resmi suatu media sebagai institusi penerbitan terhadap persoalan aktual, fenomenal, atau kontroversial yang berkembang di masyarakat. Opini yang ditulis pihak redaksi
4
Richard West dan Lynn H. Turner, Introducing Communication Theory Analysis and Aplication,( NY: McGraw-Hill, 2007)
12
diasumsikan mewakili redaksi sekaligus mencerminkan pendapat dan sikap resmi media yang bersangkutan. Pengertian Editorial dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah artikel di surat kabar atau majalah yang mengungkapkan pendirian editor atau pimpinan surat kabar atau majalah tersebut mengenai beberapa pokok masalah (tajuk rencana).5 Tajuk rencana mempunyai sifat : 1. Krusial dan ditulis secara berkala, tergantung dari jenis terbitan medianya. Misalnya media masa harian (daily), mingguan (weekly), dwi mingguan (biweekly) atau bulanan (monthly). 2. Isinya menyikapi situasi yang berkembang di masyarakat luas baik itu aspek sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, hukum, pemerintahan, atau olah raga bahkan entertainment, tergantung jenis liputan medianya. 3. Memiliki karakter atau konsistensi yang teratur kepada para pembacanya terkait sikap dari media masa yang menulis tajuk rencana. Karena merupakan suara lembaga, maka tajuk rencana tidak ditulis dengan mencantumkan nama penulisnya, seperti halnya menulis berita atau features. Sebelum membuat tajuk rencana terlebih dahulu diadakan rapat redaksi yang dihadiri oleh pemimpin redaksi, redaktur pelaksana serta segenap jajaran redaktur yang berkompeten untuk menentukan sikap bersama terhadap suatu permasalahan krusial yang sedang berkembang di masyarakat atau dalam kebijakan
5
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Cet.Ke-1, 1988)
13
pemerintahan. Setelah tercapai pokok-pokok pikiran, dituangkanlah dalam sikap yang kemudian dirangkum oleh awak redaksi yang telah ditunjuk dalam rapat. Dalam koran harian biasanya tajuk rencana ditulis secara bergantian, namun semangat isinya tetap mencerminkan suara bersama setiap jajaran redakturnya. Dalam proses ini reporter amat jarang dilibatkan, karena dinilai dari segi pengalaman serta tanggungg jawabnya yang tebatas. b. Teori Hegemoni “Sering dikaitkan dengan kontribusi Antonio Gramsci dengan teori ideologi, dan terutama dengan konsep hegemoni. Setelah kelompok dan anggota sosial menerima ideologi dominan sebagai refleksi dari tujuan, keinginan atau kepentingan mereka, ideologi mereka akan menjadi keyakinan yang diterima begitu saja atau“Common Sense”. Dominasi ideologi dan Hegemoni akan menjadi “sempurna” ketika kelompokkelompok yang didominasi tidak dapat membedakan antara minat mereka dan kepentingan orang-orang atau sikap dari kelompok dominan. Dalam hal ini, mereka mungkin tidak dapat melihat ideologi yang saling bertentangan (bahkan ketika dalam kepentingan terbaik mereka sendiri) sebagai alternatif yang layak atau dapat diterima. Sehingga akan kembali ke dimensi sosial dan kepatuhan-kepatuhan ideologis.”6 Bagi Gramsci berjalannya hegemoni tidak hanya bisa dilakukan oleh negara yang selama ini dikenal dengan “Ruling Class (Kelas Penguasa)” namun bisa dilakukan oleh seluruh kelas sosial. Hegemoni sendiri pengertiannya adalah dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang didominasi diterima sebagai suatu yang wajar yang bersifat moral, intelektual serta budaya. 7 Dalam hal ini penguasaan tidak dengan
6
Teun A. Van Dijk, Ideology A Multidisciplinary Introduction (Sage Pulications, London, 1998) h. 102 7 Dominic Strinati , An Introduction to Theories of Popular Culture, (Routledge, London, 1995)
14
kekerasan melainkan dengan bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai baik sadar maupun secara tidak sadar. Dominasi yang paling sering dilakukan adalah oleh alat-alat kekuasaan seperti sekolah, kaum pemodal, media dan lembaga-lembaga negara. Ideologi yang disusupkan lewat alat-alat tadi bagi Gramsci merupakan kesadaran yang bertujuan agar ide-ide yang diinginkan negara (dalam hal ini sistem kapitalisme) menjadi norma yang disepakati masyarakat. Dominasi merupakan awal hegemoni, jika sudah melalui tahapan dominasi maka tahap berikutnya adalah tinggal diarahkan dan tunduk pada kepemimpinan oleh kelas yang mendominasi. Siapa yang mencoba melawan hegemoni dianggap orang yang tidak taat terhadap moral serta dianggap tindak kebodohan di masyarakat bahkan adakalanya diredam dengan kekerasan. Hal inilah menurut Gramsci yang harus dipahami oleh kaum buruh untuk mengerti mengapa di Eropa tidak terjadi pemberontakan buruh seperti diramalkan Karl Marx dalam Manifesto Komunisnya. Gramsci dalam bahasan teorinya memberi solusi untuk melawan hegemoni (Counter Hegemony) dengan menitikberatkan pada sektor pendidikan. Kaum Intelektual menurut Gramsci memegang peranan penting di masyarakat. Berbeda dengan pemahaman kaum intelektual yang selama ini kita kenal, dalam catatan hariannya Gramsci menulis bahwa setiap orang sebenarnya adalah seorang
15
intelektual namun tidak semua orang menjalankan fungsi intelektualnya di masyarakat.8 “Wacana sangat kompleks, menampilkan berbagai tingkatan struktur, masing-masing dengan kategori dan elemennya sendiri, yang dapat dikombinasikan dalam banyak cara. Sebagaimana telah kita lihat, ideologi dapat dinyatakan secara eksplisit dan kemudian mudah untuk di deteksi, tapi hal ini juga mungkin terjadi secara sangat tidak langsung, secara implisit, tersembunyi atau dalam struktur wacana yang kurang jelas, seperti intonasi, keragu-raguan atau kata ganti. Kita perlu mencari kekayaan dari wacana yang menunjukkan dengan jelas variasi ideologis yang mendasari model konteks (context model), model kejadian (event models) dan sikap sosial (sosial attitudes).”9 C. Buruh, Tenaga Kerja dan Budak a. Pendefinisian buruh dan tenaga kerja Pengertian buruh dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang yang bekerja untuk orang lain dan mendapat upah. Menurut ketentuan UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan beserta peraturan pelaksanaannya, dari peraturan pemerintah, peraturan menteri, hingga keputusan-keputusan menteri yang
terkait,
dapat
ditarik
kesimpulan
adanya
beberapa
pengertian
ketenagakerjaan, tenaga kerja, pekerja dan pemberi kerja sebagai berikut.10 1. Ketenagakerjaan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan setelah selesainya masa hubungan kerja.
8
Antonio Gramsci, Selections from The Prison Notebooks, (Lawrence and Wishart, London, 1971) 9 Teun A. Van Dijk, Ideology A Multidisciplinary Introduction (Sage Pulications, London, 1998) h. 42 10 Whimbo Pitoyo, Panduan Praktis Hukum Ketenagakerjaan, (Jakarta: Visimedia, 2010). Hlm. 3-4
16
2. Tenaga kerja adalah objek, yaitu setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan untuk menghasilkan barang atau jasa, untuk kebutuhan sendiri dan orang lain. 3. Pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja untuk orang lain dengan menerima upah berupa uang atau imbalan dalam bentuk lain. 4. Pemberi kerja adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Perbedaan Tenaga Kerja dan Pekerja. 11 1. Tenaga kerja adalah setiap orang yang melakukan pekerjaan, termasuk di
dalamnya
bekerja
pada
sektor
informal,
misalnya
wiraswasta/pedagang yang bekerja untuk dirinya sendiri maupun orang lain. 2. Pekerja adalah mengarah pada bekerja untuk orang lain yang mendapat upah atau imbalan lain. Menurut sumber di atas dapat disimpulkan perbedaan definisi antara buruh (pekerja) dan tenaga kerja yang dapat kita lihat pada konteks kepada siapa sesorang bekerja. Buruh mendapat arti yang lebih khusus yaitu setiap orang yang bekerja untuk orang lain yang mendapatkan upah atau imbalan sedangkan tenaga kerja mempunyai definisi yang lebih umum yaitu setiap orang yang melakukan pekerjaan, baik di sektor formal maupun informal, seperti contoh wiraswasta yang bekerja sendiri atau bekerja dengan orang lain. 11
Ibid
17
b. Perbudakan dalam pandangan Islam Dalam antropologi, perbudakan adalah sistem segolongan manusia yang dirampas kebebasan hidupnya untuk bekerja guna kepentingan golongan manusia lain. Dari definisi di atas sudah terlihat jelas pendefinisian budak, alangkah baiknya kita dapat membuat simpulan sendiri dari definisi perbudakan di atas. Perbudakan adalah sebuah sistem yang ada pada hubungan pekerja dan pengusaha dimana segolongan manusia dirampas kebebasan hidupnya untuk bekerja guna kepentingan golongan manusia lain. Dalam pandangan Islam konsep budak di zaman dahulu sedikit berbeda dengan konsep budak di zaman sekarang (modern). Di zaman dahulu budak adalah korban rampasan perang yang dijadikan budak, dan dianjurkan kepada umat Islam untuk memerdekakan budak tersebut. Pemahaman budak pada zaman sekarang adalah orang yang tidak punya harta dan diperlakukan secara semenamena dan tidak manusiawi dalam suatu sistem, salah satunya adalah sistem dalam dunia pekerjaan. Perbudakan juga disebutkan di dalam ayat suci Al-Quran sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah al- Balad/90: 12-14 berikut:
“ 12. tahukah kamu Apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? 13. (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, 14. atau memberi Makan pada hari terjadi kelaparan,”12
12
Al-Quranul karim
18
Ayat di atas menerangkan bahwa jalan yang mendaki lagi sukar itu adalah melepaskan budak dari perbudakan. Dalam Islam, melepaskan seorang budak dari praktek perbudakan adalah sebuah tindakan yang mulia dan mendapat ganjaran pahala dari Allah SWT. D. Analisis Wacana Kritis Teun A. Van Dijk “Analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) adalah jenis penelitian analisis wacana yang secara khusus mempelajari cara penyalahgunaan kekuasaan sosial, dominasi, dan pemberlakuan ketidaksamarataan atau ketimpangan, yang direproduksi dan ditentang oleh teks dan percakapan (text and talk) dalam konteks sosial dan politik. Dengan penelitian yang dapat dikatakan bersifat pembangkang ini, analisis wacana kritis menempati posisi eksplisit, dan oleh karena itu perlu untuk memahaminya, mengungkapkannya, dan pada akhirnya menolak kesenjangan sosial.”13 Pada analisis wacana kritis (CDA) kita dapat menemukan perspektif kritis dalam berbagai macam bidang diantaranya seperti pragmatik, analisis percakapan, analisis naratif, retorika, gaya bahasa, sosiolinguistik, etnografi atau analisis media. Penelitian kritis pada wacana perlu memenuhi sejumlah persyaratan dalam rangka mewujudkan efisiensi tujuannya: 1. Analisis wacana kritis harus lebih baik daripada penelitian lainnya. 2. Berfokus pada masalah sosial dan isu-isu politik. 3. Analisis kritis yang memadai secara empiris pada masalah sosial adalah multidisiplin.
13
Teun A. Van Dijk, Critical Discourse Analysis (Amsterdam University Press, Amsterdam, 2005) h. 352
19
4. Analisis wacana kritis lebih mencoba untuk menjelaskan kekayaan interaksi sosial dan khususnya struktur sosial. 5. Berfokus pada cara-cara struktur wacana dilakukan, diterima, disahkan, direproduksi, atau menantang hubungan kekuasaan dan dominasi dalam masyarakat. “Fairclough dan Wodak (1997: 271-80) merangkum prinsip utama CDA (Critical Discourse Analysis) sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
CDA menangani masalah-masalah sosial Hubungan kekuasaan yang diskursif Wacana yang membentuk masyarakat dan budaya Wacana yang melakukan wacana ideologis Wacana adalah sejarah Hubungan yang dimediasi antara teks dan masyarakat Analisis wacana adalah interpretatif Wacana adalah bentuk aksi sosial.”14
a. Tujuan Analisis Wacana Kritis “Analisis wacana kritis merupakan pendekatan kritis yang secara khusus berada dalam studi “text and talk (teks dan percakapan)”, muncul dari linguistik kritis, semiotik kritis, dan secara umum berasal dari kesadaran sosial politik serta merupakan cara oposisi dari penelitian bahasa, wacana dan komunikasi. Bekerja atau mengolah dalam CDA digolongkan pada kriteria berikut:15
14 15
h.17
Berorientasi pada masalah atau isu, bukan berorientasi paradigma Sebuah pendekatan kritis, posisi atau sudut dari pembelajaran teks dan percakapan (text and talk). Olahan analisis wacana kritis secara khusus adalah multidisiplin, dan berfokus pada hubungan antara wacana dan masyarakat (termasuk kognisi sosial, politik dan budaya). Menurut sejarah dan sistemnya, analisis wacana kritis adalah bagian dari sebuah spektrum luas dari studi kritik pada umat manusia dan ilmu pengetahuan sosial, misalnya, pada sosiologi, psikologi, penelitian komunikasi masa, hukum, kesusastraan dan ilmu politik. Ibid Teun A. Van Dijk, Aims of Critical Discourse Analysis (Japan Discourse, 1995) Vol.1
20
Analisis wacana kritis memperhatikan semua level atau tingkatan dan dimensi atau ukuran dari wacana semuanya dikolektifkan dalam tatabahasa (fonologi, sintaksis, ilmu semantik), gaya, retorika, skematis, organisasi, tindakan berbicara (speech acts), strategi-strategi pragmatis, dan semua interaksi yang berada dalam masyarakat Studi Analisis Wacana Kritis tidak hanya membatasi pada pendekatan “verbal” dalam wacana, tapi juga memperhatikan ukuran atau dimensi semiotik lain (gambar-gambar, film, suara, musik, gestur, dll) pada peristiwa komunikasi. Analisis wacana kritis secara khusus fokus pada (kelompok) hubungan dari kekuasaan, dominasi, dan ketidaksamarataan atau ketimpangan sosial dan cara ini merupakan reproduksi yang menentang anggota kelompok sosial melalui teks dan percakapan (Text and Talk). Karya pada analisis wacana kritis kebanyakan berhubungan dengan sesuatu yang diwacanakan dan menjadikan atau melegitimasi strukturstruktur dan strategi dari dominasi atau kekuasaan dan perlawanan pada hubungan sosial dari kelas, jenis kelamin, suku-suku, ras, orientasi seksual, bahasa, agama, umur, kebangsaan atau wilayah dunia. Karya pada Analisis wacana kritis adalah tentang pokok-pokok yang mendasari ideologi tentang peran dalam reproduksi atas perlawanan yang menentang kekuasaan atau ketimpangan.”
Secara teori dan deskriptif kita butuh untuk menyelidiki struktur-struktur dan strategi dari teks dan percakapan, dan kemudian mengikutinya supaya menemukan pola dari dominasi kaum elit atau manipulasi “dalam” teks. Atau sebaliknya, memusatkan pada masalah besar sosial dan politik serta isu-isu seperti sexism dan racism, kita butuh untuk merincikan bagaimana bentuk dari ketimpangan diekspresikan, diperankan, disyahkan, dan direproduksi oleh teks dan percakapan. b. Konseptual dan Kerangka Teori Analisis Wacana Kritis Teun A. Van Dijk berfokus pada konsep dasarnya yang menyusun kerangka teori yang secara kritis menghubungkan wacana, kognisi dan masyarakat, atau dalam kajian umum yang dipahami adalah hubungan antara teks, kognisi sosial dan konteks sosial.
21
Skema penelitian dan metode yang biasa dilakukan dalam kerangka van Dijk adalah sebagai berikut:16 Tabel 1 Skema Penelitian dan Metode Van Dijk Struktur Teks Menganalisis bagaimana strategi wacana yang digunakan untuk menggambarkan seseorang atau peristiwa tertentu. Bagaimana strategi tekstual yang dipakai untuk memarjinalkan suatu kelompok, gagasan atau peristiwa tertentu Kognisi Sosial Menganalisis bagaimana kognisi penulis dalam memahami seseorang atau peristiwa tertentu yang akan ditulis Konteks Sosial Menganalisis bagaimana wacana yang berkembang dalam masyarakat, proses produksi dan reproduksi seseorang atau peristiwa digambarkan
Metode
Critical Linguistic
Depth Interview (Wawancara mendalam)
Studi pustaka, penelusuan sejarah dan wawancara
“Penggunaan bahasa, wacana dan interaksi verbal serta komunikasi adalah kepunyaan mikrolevel dari tatanan sosial. sedangkan kekuasaan, dominasi, dan kesenjangan antara kelompok-kelompok sosial adalah istilah dari analisis makrolevel. CDA punya jembatan secara teori yang dikenal “gap” antara pendekatan makro dan mikro, yang tentu saja perbedaan itu merupakan konstruksi sosiologis didalamnya sendiri (Alexander et al 1987;. Knorr-Cetina dan Cicourel 1981). Dalam interaksi sehari-hari dan pengalamnnya, makro dan mikro (serta perantaranya “mesolevel”) membentuk satu kesatuan utuh. Kita ambil contoh misalnya, pidato rasis di parlemen adalah wacana yang pada mikrolevel yakni interaksi sosial dalam situasi, tetapi pada saat yang sama dapat dibuat
16
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 224
22
menjadi bagian konstituen dari undang-undang atau sebuah reproduksi rasisme pada tingkat makrolevel.”17 Ada empat cara untuk menganalisis dan menjembatani tingkatan ini untuk sampai pada kesatuan analisis kritis:18 Tabel 2
MIKRO
MAKRO
Anggota: pengguna bahasa terlibat
Kelompok: kelompok dapat bertindak
dalam wacana sebagai anggota dari
“dengan” anggota mereka sendiri
kelompok sosial, organisasi atau lembaga Tindakan : tindakan sosial dari aktor Proses : bagian yang penting dari aksi individu
kelompok atau proses sosial, seperti pembuatan undang-undang, pembuatan berita, atau sebuah reproduksi dari rasisme
Konteks : lokal dan konteks secara Struktur Sosial : situasi interaksi umum berhubungan erat dan keduanya diskursif atau wacana adalah bagian adalah batasan pada wacana
dari struktur sosial. kita ambil contoh: sebuah konferensi pers adalah sebuah praktek khusus dari organisasi dan
17
Teun A. Van Dijk, Critical Discourse Analysis (Amsterdam University Press, Amsterdam, 2005) h. 354 18 Ibid
23
institusi media. Pribadi : pengguna bahasa sebagai Kognisi sosial : mereka berbagi dengan aktor sosial mempunyai kepribadian anggota kelompok atau kebudayaan dimana mereka mempunyai : Memori secara pribadi, ilmu pengetahuan dan opini
keseluruhan,
dimana
terjadi
saling bertukarnya “representasi sosial” yang mengatur aksi bersama atau kolektif dari sebuah kelompok
c. Kerangka Analisis Wacana Van Dijk i.
Dimensi Teks
Dalam pandangan Van Dijk, segala teks bisa dianalisis dengan menggunakan elemen ini. Meski terdiri atas berbagai elemen, semua elemen itu merupakan suatu kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya.19 Struktur Analisis Wacana yang dikemukakan van Dijk ini dapat digambarkan sebagai berikut:20 Tabel 3. Struktur Wacana
Hal yang diamati
Elemen
Struktur Makro
TEMATIK
Topik
(apa yang dikatakan?) Superstruktur 19
SKEMATIK
Skema
Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika dan Analisis Framing, (cet ke-5; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), h. 74 20 Ibid
24
(Bagaimana pendapat disusun dan dirangkai) Struktu Mikro
Latar, Detail, maksud,
SEMANTIK (Makna yang ingin ditekankan dalam teks berita
Struktur Mikro
Bentuk kalimat,
SINTAKSIS (Bagaimana pendapat disampaikan?)
Struktur Mikro
praduga, nominalisasi
koherensi, kata ganti
Leksikon
STILISTIK (Pilihan kata apa yang dipakai)
Struktur Mikro
Grafis, Metafora,
RETORIS
Ekspresi
(Bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan?)
ii.
Dimensi Kognisi Sosial
Dalam kerangka analisis Van Dijk, pentingnya kognisi sosial yaitu kesadaran mental wartawan yang membentuk teks tersebut. Karena, setiap teks pada dasarnya dihasilkan lewat kesadaran, pengetahuan, prasangka, atau pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa. Peristiwa
dipahami
berdasarkan
skema
atau
model.
Skema
dikonseptualisasikan sebagai struktur mental di mana tercakup cara pandang terhadap manusia, peranan sosial dan peristiwa. Ada beberapa skema/model yang
25
dapat digunakan dalam analisis kognisi sosial penulis, digambarkan sebagai berikut:21 Tabel 4. Skema Person (Person Schemas) Skema ini menggambarkan bagaimana seseorang menggambarkan dan memandang orang lain Skema Diri (Self Schemas) Skema ini berhubungan dengan bagaimana diri sendiri dipandang, dipahami, dan digambarkan oleh seseorang Skema Peran (Role Schemas) Skema ini berhubungan dengan bagaimana seseorang memandang dan menggambarkan peranan dan posisi seseorang dalam masyarakat Skema Peristiwa (Event Schemas) Skema ini berhubungan dengan bagaimana peristiwa ditafsirkan dan dimaknai dengan skema tertentu
iii.
Dimensi Konteks Sosial
Dimensi ketiga dari analisis Van Dijk adalah konteks sosial, yaitu bagaimana wacana komunikasi diproduksi dalam masyarakat. Titik pentingnya adalah untuk memajukan bagaimana makna dihayati bersama, kekuasaan sosial diproduksi lewat praktik diskursus dan legitimasi. Wacana dalam hal ini diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Menurut pandangan Cook, analisis wacana juga memeriksa konteks dari komunikasi: siapa yang mengkomunikasikan, dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe komunikasi dan bagaiamana hubungan masing-masing pihak.22
21 22
h.1
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 262 Guy Cook, The Discourse of Advertising, (London and New York: Routledge, 1994),
BAB III Gambaran Umun A. Profil Metro TV (PT. MEDIA TELEVISI INDONESIA)1 Ijin Siaran
: No. 800/MP/PM/1999
Dikeluarkan pada
: Tanggal 25 Oktober 1999
Dikeluarkan Oleh
: Menteri Penerangan Indonesia SUSUNAN DIREKSI
Adrianto Machribie
Andre Burhanudin
Suryopratomo
President Director
Deputy President Director
News Director
and Finance & Administration Director Lestary Luhur
John Balonso
Putra Nababan
Sales & Marketing
Technical Director
Editor-in-Chief
Director
1
Company Profile Metro TV, hal.1
26
27
1. Sejarah Singkat Metro TV adalah televisi berita 24 jam pertama di Indonesia yang mulai mengudara pada tanggal 25 November 2000. Metro TV merupakan salah satu anak perusahaan dari MEDIA GROUP yang dimiliki oleh Surya Paloh. Surya Paloh merintis usahanya di bidang pers sejak mendirikan surat kabar harian PRIORITAS. Pada tahun 1989, ia mengambil alih Media Indonesia, yang kini tercatat sebagai surat kabar dengan oplah terbesar setelah Kompas di Indonesia. Oleh karena kemajuan teknologi, Surya Paloh memutuskan untuk membangun sebuah televise berita mengikuti perkembangan teknologi dari media cetak ke media elektronik. Metro TV bertujuan untuk menyebarkan berita dan informasi ke seluruh pelosok di Indonesia. Selain bermuatan berita, Metro TV juga menayangkan beragam program informasi mengenai kemajuan teknologi, kesehatan, pengetahuan umum, seni dan budaya, dan lainnya guna mencerdaskan bangsa. Metro TV terdiri dari 70 % berita (news), yang ditayangkan dalam 3 bahasam yaitu Indonesia, Inggris, dan Mandarin, ditambah dengan 30 % program non berita (non news) yang edukatif. Metro TV mulai mengudara pada tanggal 25 November 2000 dengan 12 jam tayang. Dan sejak April 2001 Metro TV sudah mulai mengudara selam 24 Jam. Metro TV dapat ditangkap secara teresterial di 280 kota yang tersebar di Indonesia, yang dipancarkan dari 52 transmisi.
28
Selain secara terrestrial, siaran Metro TV dapat ditangkap melalui televisi kabel di seluruh Indonesia, melaui satelit Palapa 2 ke seluruh neegara-negara ASEAN, termasuk di Hongkong, Cina Selatan, Taiwan, Macao, Papua New Guinea, dan sebagian Australia serta Jepang. Metro TV melakukan kerjasama dengan beberapa televisi asing yaitu kerjasama dalam pertukaran berita, kerjasama pengembangan tenaga kerja dan banyak lagi. Stasiun televisi tersebut adalah CCTV, Chanel 7 Australia, dan Voice of America (VOA). Selain bekerjasama dengan stasiun televisi Internasional, Metro TV juga memiliki Internasional kontributor yang tersebar di Jepang, China, USA, dan Inggris. Dengan kerjasama Internasional ini Metro TV berusaha untuk memberikan sumber berita mengenai keadaan dalam negeri yang dapat dipercaya dan komprehensif kepada dunia luar dan juga hal ini mendukung Metro TV untuk menjadi media yang secara cepat, tepa dan cerdas dalam mendapatkan beritanya. Metro TV juga memiliki 19 buah mobile satellite untuk dapat menayangkan secara live kejadian-kejadian yang berlangsung setempat. Peralatan tersebut berupa : 12 buah mobil SNG ( Satelite News Gathering ) 7 buah mobil ENG ( Electronic News Gathering )
29
2. VISI dan MISI VISI :
Untuk menjadi stasiun televisi yang berbeda dengan menjadi nomor satu dalam program beritanya, menyajikan program hiburan dan gaya hidup yang berkualitas. Memberikan konsep unik dalam beriklan untuk mencapai loyalitas dari pemirsa maupun pemasang iklan.
MISI :
Untuk membangkitkan dan mempromosikan kemajuan Bangsa dan Negara melalui suasana yang demokratis, agar unggul dalam kompetisi global, dengan menjunjung tinggi moral dan etika.
Untuk memberikan nilai tambah di industri pertelevisian dengan memberikan pandangan baru, mengembangkan penyajian informasi yang berbeda dan memberikan hiburan yang berualitas
Dapat mencapai kemajuan yang signifikan dengan membangun dan menambah
asset
perusahaan,
untuk
meningkatkan
kualitas
dan
kesejahteraan para karyawannya dan menghasilkan keuntungan yang signifikan bagi pemegang saham. 3. LOGO & ARTI METRO TV Logo Metro TV dirancang tampil dalam citraan tipografis sekaligus citraan gambar. Oleh karena itu komposisi visualnya merupakan gabungan antara tekstual
30
(diwakili huruf-huruf : M-E-T-R-T-V) dengan visual (diwakili simbol bidang elips emas kepala burung elang). Elips emas dengan kepala burung elang pada tempat diposisi huruf “O”, dengan pertimbangan kesamaan huruf “O” dengan elips emas, dan menjadi pemisah bentuk – bentuk teks M-E-T-R dengan T-V. Hal itu mengingat, dirancang agar pelihat akan menangkap dan membaca sekaligus melafalkan METR – TV sebagai METRO TV. Logo Metro TV dalam kehadirannya secara visual tidak saja dimaksudkan sebagai simbol informasi atau komunikasi METRO TV secara institusi, tetapi berfungsi sebagai sarana pembangunan image yang cepat dan tepat dari masyarakat terhadap institusi METRO TV. 4. TARGET AUDIENCE Target audience Metro TV adalah :
Stasiun TV lain
Metro TV
Me-too product :
Berita/ Informasi :
90% Entertainment
70% news
10% News
30% non news
Sign on – sign off
24 hours
15-25% in house production
75-85% in house production
31
Target audience : all segment
Target audience = segmented M/F, AB, 20+
Keterangan : M/F
: Male / female ; Pria / Wanita
20+
: Umur di atas 20 tahun
Segment
: Segmentasi dari pemirsa yang bisa dipilah-pilah berdasarkan berbagai kategori seperti jenis kelamin, umur, domisili, expenditure.
Expenditure
: Besarnya pengeluaran rata-rata per bulan oleh tiap individu untuk memenuhi kebutuannya dan tidak termasuk tabungan.
5. BIRO – BIRO METRO TV Untuk mempermudah koordinasi berbagai informasi anatara kantor pusat dengan daerah, saat ini Metro TV ada 6 kantor cabang biro yang terletak di kota-kota besar, antara lain di daerah :
Biro Yogyakarta
Biro Medan
Biro Makasar
Biro Surabaya
Biro Bandung
32
Biro Pekanbaru
6. KATEGORI / PEMBAGIAN PROGRAM METRO TV a. Metro hard News: 1) Metro hari ini 2) Metro This Week 3)Top Nine News 4) Metro Siang 5) Metro Pagi 6) Metro Malam 7) Indonesia Now 8) Metro Xin Wen 9) Headline News 10) After Hours 11) Wideshot b. News : Special News : 1) Breaking News c. News : Talkshow : 1) Today’s Dialogue ; 2) Suara anda 3) Bedah Editorial Media Indonesia 4) Public Corner 5) 8-11 d. News : Feature : 1) Metro Highlihts 2) Genta Demokrasi 3) Metro Realitas e. Information : Documentary 1) Inside 2) News Makers 3) Young On Top 4) Journalist On Duty f. Information : Talkshow : 1) Mario Teguh Golden Ways 2) Kick Andy 3) Mata Najwa 4) Just Alvin g. Information : Infomercial : 1) Agung Sedayu Group 2) Wonderfull Living 3) Ancol Mansion 4) Residence 8 @ senopati h. Information : Infotainment : 1) Strabuzz i. Information : Skill/Hobbies : 1) Tren Tekno 2) Otoblitz j. Information : Travel/Lifestyle/Leisure : 1) Menu & Venue 2) Travelista 3) Jalan – jalan Asyik 4) Ceria Bersama Keluarga k. Entertainment : Music : 1) Music + 2) Deluxe Symphony
33
l. Entertainment : Talkshow : 1) Neo Democrazy 2) Galau Nite 3) Oprah Winfrey Show 4) Rachael Ray m. Entertainment : Reality Show : 1) Destroyed in Seconds n. Filler : News : 1) B-News o. Filler : Others : 1) Advertorial 2) Lensa Bisnis 3) Uang Anda B. Alur Produksi Wacana dalam Editorial Media Indonesia Editorial juga sering disebut tajuk rencana, editorial atau tajuk rencana ini adalah opini atau pendapat dan sikap resmi suatu media sebagai institusi penerbitan terhadap persoalan aktual, fenomenal, atau kontroversial yang berkembang di masyarakat. Opini yang ditulis pihak redaksi diasumsikan mewakili redaksi sekaligus mencerminkan pendapat dan sikap resmi media yang bersangkutan. Penulisan editorial pada berbagai media di Indonesia berbeda-beda konsep dan caranya, editorial terbentuk oleh sistem yang ada pada masing-masing lembaga tersebut. Untuk penulisan editorial di Media Indonesia dipegang oleh delapan orang penulis yang latar belakang pendidikannya sebagai berikut, enam orang strata satu (S1), dan dua orang strata dua (S2). Menurut Narasumber, batas minimal tingkat pendidikan sebagai penulis editorial adalah strata satu (S1). Penulis tidak selalu harus orang yang punya jabatan tinggi dalam struktur lembaga tersebut, selama dia punya intelektual yang bagus, maka layak untuk ikut andil sebagai penulis editorial dan tentunya setelah melalui seleksi. Editorial pada dasarnya dibuat karena dua hal, yang
34
pertama karena ada peristiwanya dan yang kedua adalah karena peristiwa atau kasus tersebut dianggap luar biasa. 2 Berikut bagan alur pembuatan wacana dalam Editorial Media Indonesia: Peristiwa / isu
Masuk ke Media
Penulisan Editorial oleh penulis yang sudah disepakati
Penentuan Tema dan Pengambilan Keputusan Bersama
Diedit oleh redaktur bahasa
Diputuskan layak cetak oleh Direktur Pemberitaan
Didiskusikan dalam Ruang Publik (Sesi Telpon Interaktif)
Dibedah dalam Program Bedah Editorial Media Indonesia di Metro TV
Dianggap Luar Biasa
Rapat Editorial di Ruang Direktur Pemberitaan (setiap hari kerja jam 2 siang)
Ditebitkan di media cetak (Harian Media Indonesia)
Didubbing di Metro TV (produksi video)
Skema diatas menjelaskan bagaimana wacana diproduksi dan dipublikasikan kepada masyarakat. Pada box yang bergaris putus-putus, menerangkan bahwa editorial pebudakan modern dalam versi cetak tidak diterbitkan pada hari itu dikarenakan Media Grup tidak menerbitkan media cetak pada hari libur atau tanggal merah.
2
Hasil wawancara dengan Direktur Pemberitaan Media Indonesia, Usman Kansong, Jakarta, 3 Oktober 2013
35
Ada beberapa komponen media yang akan diteliti lebih dalam pada penelitian ini. Untuk media cetak tidak diteliti, dikarenakan editorial ini tidak diterbitkan dalam versi cetak terkait produksinya pada hari libur, maka penelitian ini akan meneliti lebih dalam kepada media elektronik. Objek penelitian yang akan diteliti pada media elektronik adalah: 1. Editorial “Perbudakan Modern” dalam bentuk teks yang dipublikasikan dilaman website www.metrotvnews.com. 2. Editorial “Perbudakan Modern” yang divisualkan dalam bentuk video. Editorial dalam bentuk video ini tayang di Metro TV pada tanggal 9 Mei 2013. 3. Objek wacana berupa diskusi antara komunikator dan komunikan dalam program Bedah Editorial MI, dalam hal ini objeknya adalah percakapan antara pembawa acara (Gilang Ayunda) dan narasumber (Elman Saragih sebagai Dewan Redaksi Media Grup). Peneliti memperoleh data copy tayang dari institusi Metro TV. 4. Wacana yang berkembang di Ruang Publik (Public Sphere) yaitu sesi telpon interaktif yang dipimpin oleh host program Bedah Editorial MI. Keempat elemen ini adalah objek yang akan diteliti lebih lanjut pada Bab selanjutnya. Penelitian ini menggunakan kerangka analisis wacana kritis Teun A. Van Dijk dan dikaitkan dengan teori hegemoni Antonio Gramsci.
36
C. Wacana Perbudakan Modern dalam Teks Editorial Media Indonesia Perbudakan Modern3 APA yang ada dibenak kita ketika mendengar kata perbudakan? Hampir semua orang akan membayangkan sebuah peristiwa kerja paksa yang banyak dilakukan ratusan tahun yang lalu. Tapi, yang terjadi di Tangerang, Banten, ialah peristiwa hari-hari ini, bukan kejadian masa lampau. Bukan hanya itu, peristiwa tersebut terjadi di beranda rumah kita sendiri, bukan di tempat nun jauh di sana. Pada Jumat (3/5) lalu, aparat kepolisian berhasil membongkar praktik perbudakan di sebuah industri pengolahan limbah menjadi perangkat aluminium yang berlokasi di Kampung Bayur Opak RT 03 RW 06, Desa Lebak Wangi, Kecamatan Sepatan Timur, Tangerang, Banten. Sebanyak 34 buruh dibebaskan. Para buruh itu ditemukan dalam kondisi tidak terurus dan tertekan. Mereka dipaksa bekerja sekitar 16 jam dalam sehari dan tidak diperbolehkan menjalin kontak dengan dunia luar. Para buruh juga tidak menerima fasilitas hidup yang layak, tidak diizinkan beribadah salat, bahkan dilarang istirahat. Sebagian besar dari mereka juga mengaku tidak menerima gaji. Sampai saat ini polisi telah menetapkan lima tersangka. Para tersangka dikenai Pasal 333 KUHP tentang perampasan kemerdekaan dan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Polisi juga sudah memeriksa tiga anggota aparat negara, yakni seorang tentara dan dua polisi yang sering berhubungan dengan sang pemilik pabrik 3
Metrotvnews.com/ Editorial Media Indonesia Perbudakan Modern
37
panci itu. Polisi tengah menelusuri apakah ketiga aparat tersebut menjadi beking dalam kasus perbudakan modern itu. Bukan hanya itu, polisi juga tengah mendalami kemungkinan adanya aksi perdagangan manusia (human traficking). Hal itu diperkuat oleh fakta soal keberadaan perekrut tenaga kerja non institusional yang berkeliling kampong menjaring calon-calon buruh. Jelas bahwa peristiwa di SepatanTimur, Tangerang, itu kian menampar wajah Republik ini. Ia seolah menjadi penegas bahwa urusan manusia dan kemanusiaan kerap terabaikan. Jangankan komitmen melindungi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, peristiwa di rumah sendiri saja terabaikan. Rakyat di negeri ini seperti hidup dalam situasi darurat. Mereka seolah tidak punya induk lagi untuk menjamin kelangsungan hidup, baik bagi diri maupun anak cucu mereka. Hak konstitusional para buruh yang diperbudak itu untuk memperoleh hidup layak dan memperoleh jaminan perlindungan dari negara pun bertepuk sebelah tangan. Beruntung praktik perbudakan modern tersebut terbongkar. Tapi, langkah pengusutan tidak boleh berhenti hanya kepada majikan. Aparat yang diduga membekengi perbudakan modern itu juga harus dihukum setimpal. Mereka yang lalai sehingga menyebabkan peritiwa itu terjadi pun harus diberi sanksi tegas. Jelas peristiwa ini tidak boleh dipandang remeh. Kita tidak punya banyak waktu untuk terus membiarkan langkah-langkah pengingkaran terhadap harkat manusia dan kemanusiaan terus berlangsung. Ketika
38
negara lain sudah berbicara kompetisi sumber daya manusia, kita malah mundur kepraktik masa silam praperadaban dengan peristiwa konyol perbudakan.
BAB IV HASIL TEMUAN DAN ANALISIS DATA A. Analisis Wacana Pada Teks dan Video Editorial Perbudakan Modern Pada bagian ini peneliti akan memaparkan hasil temuan dan analisis data mengenai perbudakan modern dalam teks dan video editorial “Media Indonesia” yang ditayangkan dalam program Bedah Editorial Media Indonesia di Metro TV. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan dengan metode analisis wacana kritis Van Dijk yang menganalisis dengan tiga elemen yaitu teks, kognisi sosial dan konteks sosial. maka hasil penelitiannya dalam elemen teks diuraikan sebagai berikut: a. Tematik Editorial ini mengangkat tema yang berjudul “perbudakan modern”. Tema ini sarat mengandung unsur sosial, Media Indonesia mengangkat kata perbudakan karena menurut mereka, kasus yang terjadi di pabrik kuali ini sudah layak dikatakan sebagai perbudakan. Ini adalah salah satu bentuk hegemoni media dalam mengangkat sebuah agenda menjadi agenda yang langsung disepakati oleh masyarakat, padahal belum tentu kasus ini pantas dikatakan “Perbudakan” bagi sebagian khalayak. Ide editorial ini dapat dimaknai bahwa ada sistem segolongan manusia yang dirampas kebebasan hidupnya untuk bekerja guna kepentingan manusia lain yang
39
40
terjadi di zaman ini. Terlepas dari hegemoni media, perbudakan dalam kasus ini juga adalah bentuk dari dominasi dan hegemoni dalam sistem kapitalisme, di mana pemilik modal berhak mengatur pekerjanya dengan sesuka hati. Menurut narasumber, yaitu Direktur Pemberitaan Media Indonesia, mereka menggunakan frasa “perbudakan modern” ini karena menurut mereka peristiwa yang terjadi di wilayah Tangerang ini luar biasa. Menurutnya, dalam kasus tersebut terdapat perampasan hak asasi manusia, buruh-buruhnya itu disekat, bekerja di tempat tertutup, tidak bisa berinteraksi dengan dunia luar, kemudian bekerja dengan jam kerja yang panjang, tidak jelas, hampir tidak ada waktu istirahat, dengan makan yang terbatas. Jadi menurut mereka dasarnya adalah karena ada sebuah peristiwa yang luar biasa. Untuk penggunaan huruf pada editorial di Media Indonesia, Huruf yang biasa mereka gunakan pada judul editorial adalah huruf Arial dengan ukuran 24 pt. Ukuran huruf judul dibuat besar, ini tentu dimaksudkan agar pembaca mudah untuk mengingatnya. Untuk editorial “perbudakan modern” ini, sayangnya Media Indonesia tidak menerbitkan versi cetaknya karena bertepatan dengan hari libur, dan Media Grup secara langsung mempublikasikan editorial ini lewat laman website www.metrotvnews.com dan tayang live pada program Bedah Editorial Media Indonesia di Metro TV pada hari kamis, 9 Mei 2013. Karena tema merupakan “kesan pertama” dari pembaca, maka mereka tentu akan melihat judul atau headline sebelum membaca sebuah berita atau editorial,
41
pemilihan redaksi pada judul editorial perlu dipertimbangkan dengan matang sebelum dipublikasikan kepada khalayak. b. Skematik “Sering, pembaca surat kabar hanya membaca bagian yang merupakan poin utama atau ringkasan dari laporan berita ketika mereka menyaring sebuah surat kabar. Mereka menginterpretasikan topik utama dari sebuah laporan, setelah memilih mereka barangkali memutuskan untuk terus membaca atau untuk berhenti membaca sisa dari laporan berita. Eksperimen telah menunjukkan bahwa para pembaca setelah beberapa hari akan jauh lebih susah mengingat kembali dari topik-topik utama ini, sama ketika mereka telah membaca keseluruhan laporan berita (Kintsch & van Dijk, 1978). Semenjak Headline dan Lead memberikan giliran seperti sebuah peran yang krusial atau gawat dalam interpretasi dan pengingatan kembali, Headline dan Lead adalah wajib dan merupakan kategori yang krusial dari skema berita.”1 Pada lead editorial ini, terdapat berbagai elemen yang dapat dibahas dan dikupas secara lebih mendalam. Mari kita perhatikan alinea berikut ini: “APA yang ada dibenak kita ketika mendengar kata perbudakan? Hampir semua orang akan membayangkan sebuah peristiwa kerja paksa yang banyak dilakukan ratusan tahun yang lalu. Tapi, yang terjadi di Tangerang, Banten, ialah peristiwa hari-hari ini, bukan kejadian masa lampau. Bukan hanya itu, peristiwa tersebut terjadi di beranda rumah kita sendiri, bukan di tempat nun jauh di sana.”
Pada lead editorial ini, terlihat bahwa Media Indonesia langsung menggunakan kalimat tanya pada awal paragraf. Penggunaan kalimat tanya ini tentu punya makna tersendiri dalam teknik penulisan. Pembaca dan penonton diajak untuk berimajinasi dengan kata perbudakan dan tentu pembaca dan penonton mudah untuk mengingatnya dikarenakan terletak di awal kalimat. Setelah kalimat tanya, Media Indonesia memberikan sebuah opini yang menjawab pertanyaan tersebut.
1
159-160
Teun A. Van Dijk, News Schemata (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2005), h.
42
Untuk beberapa frasa yang ditebalkan di atas terdapat penekanan atau intonasi yang sengaja dibedakan pelafalannya oleh dubber dalam VTR (Video Tape Recording) editorial ini sehingga memperkuat makna kata-kata itu sendiri. Penggunaan intonasi seperti ini menggambarkan sebuah hal penting yang ingin ditekankan dalam suatu teks, kritik yang dapat kita tangkap dalam hal ini adalah penyadaran akan ketidaksadaran seorang tuan rumah. Menurut peneliti, “sang tuan rumah” yang dimaksud dalam editorial ini adalah para petinggi atau pemerintah yang mempunyai tanggung jawab pada masalah-masalah ketenagakerjaan. Selanjutnya pada paragraf kedua dalam editorial ini. “Pada Jumat (3/5) lalu, aparat kepolisian berhasil membongkar praktik perbudakan di sebuah industri pengolahan limbah menjadi perangkat aluminium yang berlokasi di Kampung Bayur Opak RT 03 RW 06, Desa Lebak Wangi, Kecamatan Sepatan Timur, Tangerang, Banten. Sebanyak 34 buruh dibebaskan. Para buruh itu ditemukan dalam kondisi tidak terurus dan tertekan. Mereka dipaksa bekerja sekitar 16 jam dalam sehari dan tidak diperbolehkan menjalin kontak dengan dunia luar. Para buruh juga tidak menerima fasilitas hidup yang layak, tidak diizinkan beribadah shalat, bahkan dilarang istirahat. Sebagian besar dari mereka juga mengaku tidak menerima gaji.”
Pada alinea kedua ini penulis editorial memaparkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan, data-data yang dipaparkan adalah data yang sama dengan laporan berita yang didapatkan oleh reporter. Pada alinea kedua ini belum ada unsur opini yang kuat, yang ada hanya penggambaran kasus dan penggambaran kondisi buruh-buruh yang tertekan. Dalam kasus ini, yang dapat kita tangkap adalah buruh-buruh di pabrik itu tidak dapat berbuat apa-apa, padahal mereka dalam kondisi yang tertekan. Ini juga merupakan konsep dari hegemoni, dimana sekelompok orang sadar bahwa mereka
43
dikuasai oleh kelompok lain tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa dengan kondisi yang mereka alami. Kondisi ini diperkuat dengan visualisasi di bawah ini:
Pada gambar di atas terlihat bahwa para buruh pabrik pasrah dengan apa yang mereka alami, demi mengharapkan gaji yang dijanjikan oleh pemilik modal. Masalah sosial seperti ini belum bisa membuktikan ramalan Karl Marx tentang revolusi sosial yang beranggapan bahwa suatu saat nanti kaum proletar atau buruh akan menentang kaum kapitalis yang semena-mena, sehingga pada akhirnya kaum buruh akan berkurang dengan sendirinya. Kemudian, pada paragraf selanjutnya yang terdapat pada badan (Body) Editorial, kita dapat melihat bahwa editorial ini mulai mengangkat topik human traficking yang didukung oleh berbagai fakta. Berikut teksnya: Sampai saat ini polisi telah menetapkan lima tersangka. Para tersangka dikenai Pasal 333 KUHP tentang perampasan kemerdekaan dan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Polisi juga sudah memeriksa tiga anggota
44
aparat negara, yakni seorang tentara dan dua polisi yang sering berhubungan dengan sang pemilik pabrik panci itu. Polisi tengah menelusuri apakah ketiga aparat tersebut menjadi beking dalam kasus perbudakan modern itu. Bukan hanya itu, polisi juga tengah mendalami kemungkinan adanya aksi perdagangan manusia (human traficking). Hal itu diperkuat oleh fakta soal keberadaan perekrut tenaga kerja non institusional yang berkeliling kampung menjaring calon-calon buruh.” Pada bagian ini terlihat bahwa si penulis memberikan pendugaan terhadap isu atau kemungkinan adanya perdagangan manusia (human traficking). Hal pendugaan seperti ini sedang melakukan fungsi dari sebuah media yaitu to persuade yang bermaksud mengajak pembaca dan penonton untuk lebih kritis terhadap isu ini, sehingga merangsang fikiran audiens untuk lebih ingin mengetahui kasus ini. Jelas bahwa peristiwa di SepatanTimur, Tangerang, itu kian menampar wajah Republik ini. Ia seolah menjadi penegas bahwa urusan manusia dan kemanusiaan kerap terabaikan. Jangankan komitmen melindungi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, peristiwa di rumah sendiri saja terabaikan. Rakyat di negeri ini seperti hidup dalam situasi darurat. Mereka seolah tidak punya induk lagi untuk menjamin kelangsungan hidup, baik bagi diri maupun anak cucu mereka. Dalam paragraf selanjutnya yang dipaparkan di atas, kelihatan sebuah argumen yang berbentuk opini pada frasa “menampar wajah”. Frasa “Menampar wajah” adalah bentuk metafora atau kiasan yang melambangkan bahwa kasus di Tangerang ini sangat membuat malu republik ini. Kata “republik” dalam hal ini adalah kiasan kepada kaum elit yang sedang memegang kekuasaan dalam pemerintahan. Kemudian pada kalimat “Jangankan komitmen melindungi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, peristiwa di rumah sendiri saja terabaikan”. Pada kalimat ini terlihat bahwa ada opini yang merupakan kritikan pribadi dari penulis.
45
Dalam hal ini, editorial juga berfungsi untuk melakukan kontrol sosial, karena dengan ini akan membuat pembaca dan penonton untuk mengikuti pandangan atau opini dari penulis. Kemudian pada bagian penutupnya, editorial ini memberikan sebuah argumen berbentuk opini yang juga melayangkan kritikan kepada pemerintah. Hal ini terlihat pada alinea ini: “Kita tidak punya banyak waktu untuk terus membiarkan langkah-langkah pengingkaran terhadap harkat manusia dan kemanusiaan terus berlangsung. Ketika negara lain sudah berbicara kompetisi sumber daya manusia, kita malah mundur kepraktik masa silam praperadaban dengan peristiwa konyol ‘perbudakan’.”
Alinea
dan
kalimat
terkahir
ini
menyatakan
perbandingan
atau
membandingkan Indonesia dengan negara lain, dalam hal ini Indonesia pada posisi yang buruk dalam bidang sumber daya manusia. Opini seperti ini akan membuat pembaca dan penonton untuk menyetujui opini Media Indonesia karena pada kalimat terakhir di atas, “backsound” video menjadi lebih heboh dan intonasi vokal yang diisi oleh dubber ini lebih variatif yang kemudian menjadi penutup tayangan editorial ini. Kekuatan penutup (closing power) dalam video ini cukup kuat dengan didukung oleh visualisasi di bawah ini.
46
c. Semantik Makna yang ingin ditekankan dalam teks ini adalah pemerintah yang tidak peka terhadap sistem tenaga kerja dan kurangnya perhatian pemerintah dalam mengawasi masalah ketengakerjaan dan masalah kemanusiaan. Pada teks ini banyak terlihat secara implisit bahkan ada yang dipaparkan secara eksplisit. Untuk lebih lanjutnya akan kita bahas dengan elemen semantik berikut. 1. Latar Latar berita ini adalah praktek perbudakan dalam bentuk pemaksaan atau pelanggaran hak asasi manusia yang terungkap dan bagaimana sikap pemerintah dalam menangani kasus ini, inti latar editorial ini adalah sebuah opini tentang ketidakpekaan pemerintah terhadap kasus yang berkaitan dengan kemanusian yaitu perbudakan. 2. Detil Semantik mempunyai strategi wacana selanjutnya yaitu detail. Detil suatu wacana berkaitan dengan kontrol informasi yang disampaikan komunikator. Komunikator akan menampilkan secara berlebihan informasi yang menguntungkan dirinya atau citra yang baik. Detil ini ada pada perincian kondisi pekerja yang dipaparkan bahwa jam istirahat pekerja sangat minim, waktu untuk beribadah tidak ada, makanannya tidak layak, serta tidak diperbolehkan bersosialisasi dengan dunia luar.
47
3. Maksud Strategi wacana selanjutnya adalah elemen maksud. Elemen maksud melihat apakah wacana disampaikan secara eksplisit atau tidak. Pada umumnya, informasi yang menguntungkan komunikator akan dikemukakan secara eksplisit dan jelas, sebaliknya, informasi yang merugikan komunikator akan disampaikan secara implisit atau tersamar. Pada editorial ini, pesan yang disampaikan secara eksplisit adalah pada pemaparan fakta seperti dalam paragraf kedua yang menyatakan fakta tentang pengungkapan kasus tersebut. Sedangkan untuk pesan yang bersifat implisit terlihat pada beberapa argumen opini yang merupakan kiasan atau metafora seperti pada kalimat “jangankan melindungi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, peristiwa di rumah sendiri saja terabaikan”. 4. Presuposisi (praduga atau pengandaian) Presuposisi atau praduga dalam editorial ini terlihat pada paragraf di bawah ini: “Polisi juga sudah memeriksa tiga anggota aparat negara, yakni seorang tentara dan dua polisi yang sering berhubungan dengan sang pemilik pabrik panci itu. Polisi tengah menelusuri apakah ketiga aparat tersebut menjadi beking dalam kasus perbudakan modern itu. Bukan hanya itu, polisi juga tengah mendalami kemungkinan adanya aksi perdagangan manusia (human traficking). Hal itu diperkuat oleh fakta soal keberadaan perekrut tenaga kerja non institusional yang berkeliling kampung menjaring calon-calon buruh”. Dari teks di atas dapat kita tangkap bahwa ada sebuah praduga yakni tentang adanya unsur keterlibatan aparat sebagai “beking” dan adanya kemungkinan aksi
48
perdagangan manusia (human traficking) dalam kasus tersebut yang sebetulnya masih dalam penanganan polisi. Pengandaian ini didukung oleh fakta tentang keberadaan perekrut tenaga kerja. d. Sintaksis Dari segi sintaksis yang pada konsepnya memahami penggunaan kata, letak kata ganti dan lainnya. Dapat kita amati bahwa ada pemarginalan posisi pemerintah yang terdapat dalam kalimat “Mereka seolah tidak punya induk lagi untuk menjamin kelangsungan hidup, baik bagi diri maupun anak cucu mereka.”. Dari pernyataan ini terlihat bahwa “induk” dalam kalimat itu adalah kaum elit atau pemerintah. Praktik pemarginalan mengimplikasikan adanya pembagian antara pihak kita di satu sisi dan pihak mereka di sisi lain, yang akibat lanjutannya ialah penggambaran buruk kepada pihak/kelompok lain. Ada empat strategi wacana yang digunakan dalam pemarginalan.2 Salah satunya yang terdapat dalam teks yaitu: pengahlusan makna (eufisme) yaitu pemakaian bahasa secara halus untuk menandai suatu realitas, dalam hal ini nampak kata “induk” dalam kalimat “Mereka seolah tidak punya induk lagi untuk menjamin kelangsungan hidup, baik bagi diri maupun anak cucu mereka.” induk dalam hal ini adalah kata ganti dari pemerintah dalam penghalusan makna.
2
Aris Badara, Analisis Wacana: Teori, Metode dan Penerapannya pada Wacana Media, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2012) h. 58
49
e. Stilistik Pusat perhatian stilistika adalah style, yaitu cara yang digunakan seorang pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana. Dengan demikian style dapat diterjemahkan sebagai gaya bahasa. Dalam hal ini kita dapat melihat dalam leksikal atau penggunaan kata “aparat” dalam kalimat “Polisi tengah menelusuri apakah ketiga aparat tersebut menjadi beking dalam kasus perbudakan modern itu”. Kata aparat itu sendiri dalam KBBI mempunyai pengertian sebagai “alat pemerintahan”. Pilihan kata dan gaya bahasa yang dipakai menunjukkan sikap dan ideologi tertentu. Peristiwa sama dapat digambarkan dengan pilihan kata yang berbeda-beda. Dalam hal ini media mempunyai kekuatan hegemoni dalam menentukan gaya bahasa yang tepat dipakai oleh khalayak. f. Retoris Strategi dalam level retoris di sini adalah gaya yang diungkapkan ketika seseorang berbicara atau menulis. Misalnya, dengan pemakaian kata yang berlebihan (hiperbolik), atau bertele-tele. Retoris mempunyai fungsi persuasif, dan berhubungan erat dengan bagaimana pesan itu ingin disampaikan kepada khalayak. Ada beberapa elemen dari retoris diantaranya: metafora, grafis dan ekspresi. Wacana terakhir yang menjadi strategi dalam level retoris ini adalah menampilkan apa yang disebut visual
50
image. Dalam elemen ini ditampilkan dengan penggambaran detail berbagai hal yang ingin ditonjolkan.3 Elemen retoris dalam bentuk grafis, metafora dan ekspresi akan dipaparkan dalam analisis di bawah ini: 1. Grafis Dalam analisis grafis ini penulis hanya menampilkan beberapa gambar yang cukup berkesan dalam VTR perbudakan modern berikut ini :
Dari kedua gambar di atas, kita akan bahas gambar yang pertama. Gambar yang pertama ini tidak cocok dengan konteks perbudakan modern, karena menurut peneliti gambar di atas bukanlah perbudakan melainkan adalah pemberontakan yang dilakukan oleh kaum proletar atau kaum buruh, karena jika kita lihat secara teliti, yang memegang pisau dan melakukan gerakan penusukan adalah orang yang tidak
3
Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika dan Analisis Framing, (cet ke-5; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009) h. 84
51
berbaju atau bisa kita sebut kaum proletar. Hal ini yang disebut hiperbola atau melebih-lebihkan dari segi grafis. 2. Metafora Metafora adalah kiasan dan ungkapan yang memperkuat pesan pokok. Dalam hal ini terlihat dalam kalimat “Hak konstitusional para buruh yang diperbudak itu untuk memperoleh hidup layak dan memperoleh jaminan perlindungan dari negara pun bertepuk sebelah tangan”. Kiasan dalam kalimat ini ada pada kata “bertepuk sebelah tangan”. Maksud dari bertepuk sebelah tangan adalah tidak ada kerjasama atau bantuan dari pemerintah dalam menjamin hak buruh dalam memperoleh hidup layak dan jaminan perlindungan dari negara. Kiasan ini juga merupakan sindiran kerasa kepada pemerintah. 3. Ekspresi Ekpresi adalah elemen wacana yang berfungsi untuk melihat penekanan atau penonjolan suatu hal yang dianggap penting oleh seseorang. Untuk elemen ekspresi akan lebih dalam kita bahas dalam analisis percakapan dibawah yang menganalisis wacana perbudakan modern dari segi kognisi sosial.
52
B. Analisis Wacana Kritis Tentang Perbudakan Modern Dari Segi Kognisi Sosial Melihat dari segi kognisi sosial, para awak penulis editorial di Media Indonesia ingin mengungkapkan bahwa tidak ada lagi kepedulian atau kurangnya kepekaan pemerintah dalam menangani kasus ketenagakerjaan yang ada di Indonesia. Media Indonesia ingin mendorong para pengambil keputusan untuk mengambil kebijakan, misalnya polisi, untuk mengusut tuntas kasus tersebut, kemudian kementrian tenaga kerja, karena ini terkait dengan perburuhan, dan kemudian diharapkan bisa mengambil kebijakan, kemudian negara ini secara umum sebagai sebuah negara yang menjamin hak konstitusi para buruh, bagaimana mungkin membiarkan ada warga negaranya yang diperlakukan seperti itu, ini kan terkait dengan masalah kemiskinan dan juga masalah pembangunan di pedesaan atau luar ibukota.4 Editorial yang disampaikan oleh Media Indonesia adalah mencoba untuk mewakili publik. Penonton Metro TV dan pembaca Media Indonesia juga diberi ruang untuk mengomentari. Kemudian mereka berharap ada perubahan dari pemerintah karena adanya pemberitaan mengenai kasus ini, baik perubahan itu dari segi kebijakan dan lain sebagainya. Untuk lebih lanjut dan mendalam mengenai kognisi sosial, penulis akan menganalisis percakapan dalam program bedah editorial Media Indonesia. Berikut 4
Hasil wawancara dengan Direktur Pemberitaan Media Indonesia
53
wacana perbudakan modern dalam percakapan pada program Bedah Editorial Media Indonesia. a. Percakapan pada segmen pertama Pembawa Acara : Gilang Ayunda, Pembedah: Elman Saragih (Dewan Redaksi Media Grup) Gilang Ayunda
: Ya kembali lagi pemirsa dalam Bedah Editorial Media Indonesia. pemirsa, Terima kasih anda masih bersama kami, dan langsung saja kita membedah topik kita pagi hari ini. (Opening) Ya, bang Elman, ini sudah zaman modern, di abad modern ini masih ada saja praktek perbudakan seperti yang kemaran terjadi di Tangerang Banten, lalu dan mirisnya lagi ini terjadi di bumi pertiwi Indonesia. Dan Mengapa urusan kemanusiaan di negeri ini kerapkali bisa terabaikan?
Elman Saragih
: Ya, sebetulnya mbak gilang ya, kasus perbudakan yang terjadi di sekitar jakarta ini, Tangerang kan sebenarnya sekitar jakarta juga kan?. ya jujur aja sebenarnya kita sudah kehabisan kata-kata sebetulnya, kita mau ngomong apa lagi, ya budak ya budak, begitu ya, di tengah pemimpin kita disanjung di luar negeri ini, mendapat penghargaan, anu anu anu, waa, diterima oleh raja inggris, diterima, ini bahkan mendapat penghargaan ini , hebat sekali ini pemimpin kita ini, tetapi dia lupa di depan mata sendiri, di depan hidungnya sendiri terjadi perbudakan, dan itu bukan cerita, fakta! (dengan nada penegasan). Perbudakan, ada sejumlah orang tidak berdaya yang diperkerjakan secara tidak manusiawi, ini, tidak bisa shalat, tidak bisa bersosialisasi dengan warga sekitar, diperas, jadi tinggal mati aja mereka sebenarnya. Yang heran buat kita adalah dimana kehadiran negara?, pemerintah daerah dimana?, dimana polisi?, yang paling lucu serikat pekerja dimana? Kok, Mereka kok abai gitu? kok membiarkan?, jadi buat saya mbak gilang ya, jadi saya tidak lagi melihat kasusnya, tapi begitu kejadian ada di tangerang ini, Saya khawatir juga hal yang sama, bukan tidak mungkin terjadi di pelosok2 tanah air kita. Apakah di sekitar bandung, apakah jogjakarta, di sekitar semarang, dan sebagainya.
54
Pada percakapan di atas terlihat bahwa Elman Saragih sebagai pembedah dalam Program Bedah Editorial Media Indonesia mengkritik keras pemerintah. Dalam kritikannya, pemerintah telah gagal dalam menangani masalah sosial dan kemanusiaan. kita juga dapat melihat penekanan serta ekspresi menyalahkan pada kalimat yang diberi tanda di atas. Hal ini menunjukkan bahwa pesan pokok yang ingin disampaikan oleh si pembedah ada pada kalimat tersebut. Elman Saragih menyampaikan opini pribadi yang sebenarnya mewakili Media Indonesia. Kekuatan hegemoni media secara langsung dipegang oleh Elman Saragih sebagai pembedah. Kita lanjutkan ke percakapan selanjutnya, berikut ini. Gilang Ayunda
: karena yang di depan mata ibukota saja bisa terjadi, begitu ya, apalagi yang di daerah-daerah terpe... (Interupsi oleh Elman)
Elman Saragih
: apalagi yang di daerah-daerah tidak terjangkau, berapa banyak lagi anak manusia, yang tidak berdaya, betul-betul di jajah kembali seperti jaman dahulu, jaman penjajahan aja tidak seperti ini, Nah, Saya heran lho, artinya, Pemerintah selalu mengatakan pertumbuhan penduduk, bagus!, pembangunan ekonomi negara, bagus!, Toto Tentram kartoraharjo, nah, di depan mata sendiri, budak! Saya tidak tau lagi bagaimana pemerintah, bagaimana menteri tenaga kerja melihat kasus ini, dan yang terjadi sekarang kan, begitu ada kejadian, wah, semua menghakimi, hukum!, semua sepertinya jadi pahlawan, selama ini kamu dimana? Kok diam? Kok gak tau? Begitu kejadian baru rame, semua dari delapan penjuru mata angin, yang tidak pernah ngomong juga ngomong, yang tidak ngerti persoalan juga sok ngerti.
Gilang Ayunda
: oke, baik, dan ini akhirnya membuat beberapa pihak juga mempertanyakan komitmen negara dalam melindungi tenaga kerjanya, jangankan melindungi TKI yang ada di luar negeri, Tenaga Kerja yang ada di rumah sendiri pun tidak terawasi, mengapa sebetulnya hal ini bisa luput dari pengawasan?, begitu pak.
55
Elman Saragih
: kalo saya sih, memang ya, mungkin juga, sudah lama juga kita tidak lagi memikirkan rakyat gitu ya, , contoh misalnya, kita kan, selama ini kan bangga kan, mengekspor TKI, saya heran juga, kok katanya negara maju, kok bangga juga mengekspor TKI murahan ke luar negeri, dan yang paling aneh lagi mbak gilang ya, setiap kali ada perlakuan tidak manusiawi terhadap TKI kita di luar negeri, waduh, marahnya semua, semuaa marah. Nah, Ketika perbudakan itu terjadi di tanah air, gimana dong? Gimana? Mana? Apa bedanya lagi, perlakuan terhadap TKI kita di luar negeri, dengan perlakuan rakyat kita di dalam negeri, dan di pusat kota indonesia lagi, jakarta, sekitar jakarta, jadi saya sih mbak gilang ya, iya, itu makanya saya katakan tadi, kita sebetulnya sudah kehabisan kata-kata, dan yang kita saksikan, itu tadi yang saya bilang, betapa kemudian pemimpin kita sangat bangga sekali, wah, kita dapat penghargaan, disanjung, ini silahkan ni. Apa kata pemimpin kepada budak-budak ini, mau ngomong apa? Gimana kita mau berbicara tentang memperjuangkan kemanusiaan di luar negeri, tentang kemanusiaan di dalam negeri aja tidak terselesaikan. Jadi menurut saya sih, itu sebenarnya, saya gak tahu, mereka masih punya indera penglihatan gak? atau masih punya telinga? masih punya hati? Atau jangan-jangan semua sudah habis, yang tinggal hanya, sosok yang tidak bisa melihat.
Gilang Ayunda
: ya, menutup segala-galanya (interupsi)
Elman Saragih
: ya, tidak punya rasa, begitu.
Gilang Ayunda
: baik, bang elman, nanti kita akan lanjutkan kembali, kita harus jeda terlebih dahulu, pemirsa jangan kemana-mana, bedah editorial media indonesia akan kembali setelah jeda berikut ini.
Pada segmen pertama percakapan ini terlihat bahwa Elman Saragih sebagai dewan redaksi media grup yang mewakili suara Media Indonesia sangat bersemangat dalam mengomentari isu perbudakan ini. Elman Saragih terlihat menyalahkan pemimpin-pemimpin yang tidak peka dan kurang sadar terhadap kasus ini. Konsep hegemoni juga terdapat dalam percakapan, hal ini terlihat pada pada penguasaan
56
percakapan oleh Elman Saragih sebagai pembedah dalam percakapan ini yang juga secara umum mewakili suara Media Grup. b. Percakapan pada segmen kedua Pembawa Acara : Gilang Ayunda; Pembedah: Elman Saragih (Dewan Redaksi Media Grup); Penelpon I: Pak Ones (Rote, NTT); Penelpon II: Pak Heri (Tuban, Jawa Timur); Penelpon III: Pak Viktor (Jakarta); Penelpon IV: Pak Yono (Kendal, Jawa Tengah) Gilang ayunda
: ya kembali lagi di bedah Editorial Media Indonesia pemirsa, terima kasih anda masih bersama kami, dan langsung saja kita buka sesi penelfon pada hari ini. sudah tersambung bersama kami pak ones dari rote, NTT. Selamat pagi pak ones.
Pak ones
: selamat pagi metro TV,
Gilang Ayunda
: ya, silahkan
Pak Ones
: jadi begini, negeri ini sudah merdeka, kita lagi perangi yang namanya perbudakan, jadi seolah-olah negeri ini masih terdapat inkarnasi-inkarnasi rodi dan juga romusha di negeri ini, yang seolah-olah terjadi perbudakan kembali di negeri sendiri yang sudah merdeka ini. Nah, sehingga pemerintah itu jangan hanya tinggal diam, tetapi memperhatikan para pekerja-pekerja yang seperti ini yang harus diperhatikan. Kemudian yang berikut, tentara kemudian polisi yang ada di belakang usaha ini, jangan seolah-olah seperti tentara-tentara jepang dan tentara-tentara belanda yang mau kembali menjajah negeri ini. Sehingga Kami minta supaya kalau bisa pemerintah menindak tegas oknum-oknum seperti ini.
Pada sesi telfon interaktif ini yang merupakan ruang untuk publik berkomentar, terlihat bahwa “hegemoni media” telah berhasil memberikan pandangan yang sama kepada khalayak, dalam hal ini terbukti pada penelpon. Penelpon pertama
57
setuju dengan isu yang diangkat Editorial Media Indonesia ini. Dalam pendapatnya, pemerintah seharusnya berada pada posisi yang sadar, tidak tinggal diam dan segera menindak orang-orang yang berada di belakang atau oknum yang menjadi penyebab pada kasus ini. Pada wacana ini tampak bahwa Media Grup berhasil mempengaruhi satu pemirsa yang menonton program acara ini. Gilang Ayunda
: baik, baik terima kasih pak ones untuk komentarnya pagi hari ini dan Kita langsung ke penelpon kedua, ada pak heri di tuban Jawa Timur. Ya, selamat pagi pak heri.
Pak Heri
: selamat pagi metro ,
Gilang Ayunda
: iya, silahkan pak heri
Pak Heri
: gimana bung elman? Selamat pagi bang elman.
Elman Saragih
: baik, pagi pak heri
Pak Heri
: ya, gimana negaramu ini, ini negaraku juga kan? Bukan negara buta ini, waduh, gimana pak presiden juga ini?, dengarkan lah?, hati nurani yang orang-orang kecil itu, sudah terhimpit hak-haknya, terhimpit kemerdekaannya, disitu ada oknum polisi, ada pembela yang ikut dengan pengusaha, berarti mereka makan tulangnya orang-orang buruh yang hina di negeri indonesiaku. Terima kasih bung elman.
Selanjutnya pada percakapan dengan penelpon kedua di atas, terlihat bahwa Media Indonesia berhasil mengangkat emosi penonton, hal ini terlihat pada komentar pak heri yang menyebutkan presiden, dan terlihat bahwa dia beranggapan presiden tidak sadar dengan keadaan para pekerja yang dijadikan budak. Dia juga berasumsi dan mengutuk pengusaha yang memberlakukan para buruh secara tidak wajar. Gilang Ayunda
: baik terima kasih pak heri dari tuban jawa timur, dan kini kita langsung ke penelpon selanjutnya ada pak viktor dari jakarta.
Pak Viktor
: Selamat pagi metro TV
58
Elman Saragih
: pagi, pagi pak viktor
Gilang ayunda
: Silahkan Pak
Pak Viktor
: Gini mbak, kejadian di tangerang ini sebenarnya perlu ada evaluasi dari pemerintah khususnya pemimpin ABRI dan Polri, untuk lebih memperhatikan aparatnya, bahkan bila perlu ada evaluasi, bagi mereka yang sudah tidak ”capable” lagi bertugas, ya di berhentikan aja, karena bukan hanya masalah tenaga kerja yang ada di Tangerang ini menjadi kasus, banyak hal, para aparat tidak bertindak sebagai penegak hukum, bahkan menakut-nakuti masyarakat, jadi tidak mendidik!, nah, bagi kasus tangerang ini sebenarnya semua oknum yang terlibat, terkait, baik itu dinas perindustrian atau yang memegang legalitas, bahkan tingkat RT pun RW, itu juga harus diselidiki kok bisa kecolongan ada aktifitas yang tidak legal dan bahkan merampas hak azasi manusia, demikian pak. Terima kasih.
Selanjutnya kita akan bahas komentar penelpon ketiga dalam ruang publik ini. Komentar pak viktor ini tampak tidak menyalahkan pemerintah tetapi lebih kepada menyalahkan oknum penegak hukum seperti polisi atau ABRI dan juga sistem organisasi sosial seperti RT dan RW, dia berharap agar sistem legalisasi industri di Indonesia harus lebih ketat. Penelpon ketiga ini tidak terpancing untuk menyalahkan pemerintah dan menyebut-nyebut presiden seperti penelpon sebelumnya. Penelpon seperti ini lebih kritis dalam berkomentar dan tidak menelan mentah-mentah apa yang disajikan oleh Editorial Media Indonesia. Gilang Ayunda
: Baik, terima kasih pak Viktor dari Jakarta untuk komentar anda pagi hari ini, dan sekarang kita langsung ke pak yono dari kendal, selamat pagi pak yono...... iya , pak yono..... baik rupanya terputus, mohon maaf pemirsa, nanti kita akan membahas kembali apa yang disampaikan oleh para penelfon kita pagi hari ini dan juga kita akan membedah topik pagi hari ini yang berjudul perbudakan modern tapi setelah jeda berikut ini, tetaplah di Editorial Media Indonesia.
59
c. Percakapan pada segmen ketiga Pembawa Acara : Gilang Ayunda; Pembedah: Elman Saragih (Dewan Redaksi Media Grup); Penelpon IV: Pak Baringin (Medan, Sumatera Utara); Penelpon V: Pak Alex (Padang, Sumatera Barat); Gilang Ayunda
: yak, kembali lagi di bedah editorial media Indonesia pemirsa, terima kasih anda masih bersama kami, langsung kita bahas topik kita pagi hari ini. Bang elman, ada yang namanya undang-undang ketenagakerjaan, yang seharusnya mengatur semuanya, tapi sebetulnya seberapa kuat sih undang-undang ketenagakerjaan ini bisa melindungi para pekerja yang ada di Indonesia?
Elman Saragih
: ya, kalau undang-undang ini, setahu saya sudah mengatur semuanya, kalau undang-undangnya itu dilaksanakan, pasti tidak akan ada ini, perbudakan ini, mana boleh diperbudak, tapi ketika undang-undang itu tidak diawasi pelaksanaannya, maka undang-undang itu, ya tidak berarti apa-apa gitu kan, nah disini yang sebetulnya kita mau bertanya kepada menteri tenaga kerja, apa yang telah dibuat menaker terhadap perlindungan pada tenaga kerja di Indonesia, nah tadi kata pak ones, dari NTT tadi kan, tidak kurang dan tidak lebih seperti romusha, rodi. Hari gini masih ada pekerja rodi dan semacam perlakuan terhadap romusha, sebetulnya sih kalau saya menteri tenaga kerja, saya mundur aja saya, karena ini sebetulnya gagal gitu lho, ada perbudakan di depan mata menteri tenaga kerja, jadi kalau menteri tenaga kerja ini juga memandang soal ini, ini menjadi soal yang lain, “ah, itukan urusan pemda, itukan urusan apa” nah lho, urusan sampeyan apa dong?
Pada segmen ini, Elman Saragih sebagai pembedah yang masih menjalankan perannya sebagai pelaku hegemoni dimana posisinya sebagai dewan redaksi media grup lanjut menyalahkan menteri tenaga kerja, yang berasumsi pemerintah selalu melempar-lempar tanggung jawab dan tidak memandang soal ini. Kata yang digarisbawah adalah monolog yang dia perankan sebagai menteri tenaga kerja.
60
Gilang Ayunda
: akhirnya lempar, lempar....
Elman Saragih
: nah, inikan ketika ditanya polisi kan, saya inikan kalo tidak ada laporan mana tahu kan, padahal mestinya kan, seperti yang dikatakan oleh pak heri tadi, disitu ada kegiatan, kegiatan bisnis, pabrik lagi, masa tidak ada kecurigaan dari lingkungan, kok gak pernah keluar itu karyawannya?, ada 33 atau 34 orang, jumlah yang sangat besar, masak tidak curiga sih, berhari-hari tidak pernah bersosialisasi kan, dulu saya sih ada keanehan, mungkin RT/RWnya juga atau jangan-jangan kita ini sudah kehilangan rasa sosial, sudah masa bodoh, jadi gak ada lagi rasa iba, gak ada lagi perasaan senasib sepenanggungan sebagai rakyat indonesia, jadi jangan-jangan sudah hilang, jadi makanya kasus ini jujur aja sebetulnya membuat negara ini mestinya harus malu, di tengah-tengah negara ini mau menyelesaikan persoalan-persoalan yang berkaliber internasional ya toh?, di timur tengah, ingin menjadi penengah, di myanmar, dimana-mana, woaa, gagah
Gilang Ayunda
: dengan banyak penghargaan... (interupsi)
Elman Saragih
: dengan banyak penghargaan, lah, ada perbudakan, ada romusha, ada rodi di sekitar jakarta, dan saya lihat tenangtenang saja, dan senyum-senyum, ngopi-ngopi masih, masih merencanakan ini, ini rakyat kecil, memang dia tidak tahu hak politiknya, ini orang yang terpinggirkan.
Lebih lanjut lagi pada bagian ini Elman Saragih kembali menyindir kinerja pemerintah dan rencana-rencana negara yang pada saat ini menurutnya adalah sebuah kegagahan yang hanya tampak diluar saja. Pada kalimat yang ditandai terlihat penekanan intonasi suara, ekspresi, mimik dan gestur dari Elman Saragih yang begitu dominan dan menggebu-gebu. Elman saragih seperti emosi, dan semakin menjatuhkan kelompok yang berkuasa, seperti presiden dan petinggi lainnya. Gilang ayunda
: ya, baik, lalu sejauh mana sebenarnya bicara mengenai pengawasan tadi, sejauh mana pemerintah ini melakukan pengawasan tidak hanya di sektor formal saja tentunya, tetapi juga di sektor-sektor informal?
61
Elman saragih
: kalo menurut saya seperti yang kita katakan tadi, dimana ada aktifitas, disitu harus ada pengawasan, jangankan 34 orang, ada orang punya buruh 10 orang saja harus diawasi, Jadi aneh juga buat kita gitu, jadi makanya tadi kita katakan mbak gilang, ini jangan-jangan peristiwa yang sama di Tangerang ini ada juga di tempat lain mbak gilang, belum kita tahu, di pelosokpelosok, di dusun-dusun sana, jangan-jangan perlakuan lebih gawat dari sini, dan kita masa bodoh gitu kan. Itu sebabnya saya bilang, Janganlah kita lebih banyak menilai orang lain, mengomentari kejadian yang ada di luar negeri, tetapi tenaga kerja di dalam negeri ini lebih parah, perbudakan, ini budak ini, budak betul itu, terserah pemerintah, wah ini kan tidak ada, ini budak!.
Elman Saragih memang mengkritik langsung kinerja pemerintah, Pada kalimat yang ditandai di atas, terlihat makna eufisme atau sindiran secara tersirat kepada pemerintah yang terlalu sibuk mengurus urusan di luar negeri, padahal urusan dalam negeri saja belum terurus dengan baik dan benar. Kekuatan menanamkan ideologi kepada penonton mulai semakin kuat. Gilang Ayunda
: Dari sisi upah tidak layak, standar keselamatan tidak ada, semuanya benar-benar dilakukan secara tidak manusiawi begitu ya.
Elman Saragih
: Tidak ada lagi kemerdekaan, jadi kemerdekan dari 34 orang buruh ini telah dirampas oleh pengusaha itu, betul-betul ke 34 orang buruh ini hanya tinggal nyawa, dia tidak punya hak politik, hak perdatanya sudah habis, dan kita diam begitu, pemerintah pun diam, baru sekarang berkohar-kohar,tindak, saya juga heran, DPRDnya dimana ini? Ada DPRD di Tangerang sana, ada DPRD pusat, sekarang baru berkoharkohar, wah kita tidak terima ini, tindak!, anak-anak TK juga tahu, kalau sudah di ujung, merespon, anak-anak juga pandai merespon, ndak perlu kita orang sekolahan,
Gilang Ayunda
: Yang menjadi pertanyaan selama ini kemana? gitu ya.
Elman Saragih
: Dimana? Tidur? Ngopi-ngopi? Apa? Studi banding? Atau kemana aja ini semua ini? Ngomong besar semua ini.
62
Gilang ayunda
: baik, kita terima penelpon dulu bang elman. Sudah tersambung, ada pak baringin di medan, selamat pagi pak baringin.
Baringin
: selamat pagi,
Gilang Ayunda
: ya silahkan
Pak Baringin
: mungkin ada beberapa hal yang kita ingin kasih komentar, mungkin mengenai pengawasan dari pemerintah kita, itu memang betul, seperti yang saya lihat tadi pembahasannya, itu memang lemahnya kontrol dari pemerintah kita terhadap masalah yang terjadi di sekitar kita, nah, kalau pun masalah lemahnya kontrol yang terjadi ini, mungkin juga dari aparat yang juga terlibat di dalamnya, menurut saya ini juga harus betul-betul diselidiki secara tuntas, karena ini menarik, saya yakin ini ada orang-orang yang juga membekingi, dan ini juga harapan kita juga terbuka untuk diselidikin, kemudian mbak, dari pihak perusahaan, kita juga harus memikirkan mengenai mental dari para pekerja, psikis dan psikologinya , ini juga harus ada suatu terapi, dan juga harus ada tanggung jawabnya dari pihak yuki untuk memberikan suatu ganti rugi kepada kondisi psikologis dari anak-anak yang bekerja di perusahaan tersebut, Kemudian mbak, dan ini juga secepatnya juga di gelar di pengadilan, seluruh yang terlibat, dan terbuka dipabrik, agar kita tahu juga bagaimana proses hukumnya dan harapan kita juga ini harus ditindak seberat-beratnya pada pihak perusahaan mbak.
Pada kalimat yang ditandai terlihat pak baringin juga sependapat dengan Editorial Media Indonesia ini, terlihat bahwa penelpon keempat ini mulai kritis ikut memikirkan kasus ini, dia mulai membuat praduga atau anggapan bahwa ada oknum yang membekingi kasus ini. Dan meminta pemerintah segera menindak yang bersalah dan dihukum seberat-beratnya. Pada hal ini terlihat penelpon juga mulai ter”hegemoni” oleh opini Media Indonesia. Dalam hal ini penelpon tidak sadar bahwa dia sedang dikuasai oleh opini Media Indonesia.
63
Gilang Ayunda
: baik, terima kasih pak baringin untuk komentar anda pagi hari ini, selamat pagi. Dan kita langsung ke penelpon berikutnya ada pak alex di Padang. Selamat pagi pak alex,
Pak Alex
: Selamat pagi juga buk,
Gilang Ayunda
: ya silahkan dengan komentarnya pak
Alex
: Selamat pagi juga pak saragih
Elman Saragih
: pagi pak Alex
Alex
: Ini terlalu bener ini, orang-orang mana itu? Seharusnya DPRD setempat wajib lah bertanggung jawab hal itu, jadi kita harapkan itu dituntaskan secepat mungkin lah pak ya, tolong bener lah sama pemerintah, bagaimana itu? Udah zaman kayak gini masih juga ada perbudakan, itu zaman-zaman nabi itu, zaman nabi perbudakan itu, memang yaa semau dia aja, mau diperkosanyalah perempuan-perempuan kan, itu memang perbudakan itu, jadi kita mintak tolonglah pada pemerintah gimana sebaiknya mungkinlah tuntaskanlah masalah itu , seandainya belum selesai terlalu bener itu pemerintah, gimana itu? Penelpon terakhir yaitu pak Alex, meminta pemerintah untuk sesegera
mungkin menyelesaikan kasus ini, pak alex juga mengutuk tindakan ini dan meminta pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah ini. Lagi-lagi Media Indonesia berhasil melempar opini yang disetujui oleh penelpon ini. Gilang Ayunda
: Baik, terima kasih pak Alex untuk komentarnya pagi hari ini, selamat pagi, dan Bang Elman ada yang menyedihkan juga, tadi dari yang beberapa disampaikan oleh para penelpon, ini ada dugaan keterlibatan aparat yang mebekingi. Aparat yang seharusnya melindungi rakyat justru malah membekingi halhal yang seperti ini, ini bagaimana?
Elman Saragih
: ya, itu yang harus diusut kan? Tapi kan, proses beking membeking ini bukan hal yang baru, tetapi, pandangannya gak pernah tuntas, jadi disorot, trus ditangani, hilang begitu aja itu kasus itu, jadi ini juga nanti saya rasa, pasti nanti dia bilang, oh, ternyata tidak benar, ternyata itu mereka memang biasa
64
kesana mengontrol, tidak dalam rangka membekingi, kita sudah tau jawabannya itu, Gilang Ayunda
: Baik, nanti kita lanjutkan kembali Bang Elman, pemirsa jangan kemana-mana, kami akan segera kembali usai jeda pariwara berikut ini, tetaplah di bedah editorial media indonesia.
d. Percakapan pada segmen keempat Pembawa Acara : Gilang Ayunda, Pembedah: Elman Saragih (Dewan Redaksi Media Grup) Gilang ayunda
: iya, anda kembali lagi di bedah editorial media indonesia, pemirsa, langsung saja kita bedah topik pagi ini. bang elman, melanjutkan yang tadi, berbicara mengenai peran serikat pekerja, kemarin pada hari buruh internasional, ada beberapa tuntutan yang disampaikan oleh buruh, ada penghapusan outsourcing, penghapusan upah minimum dan lain sebagainya, lalu sejauh mana peran serikat pekerja terhadap tindakan–tindakan atau praktek perbudakan seperti ini?
Pada segmen keempat ini Gilang Ayunda sebagai pembawa acara mulai mengangkat sebuah wacana baru yang juga berkaitan dengan kasus perburuhan ini. Isu ini yaitu wacana penghapusan outsourcing dan penghapusan upah minimum yang menurutnnya merupakan tuntutan yang disampaikan oleh para buruh pada hari buruh internasional kemaren. Elman Saragih
: Ya, ini yang kita perhatikan juga ya, jadi kalau di awal tadi kan kita pertanyakan dimana keberadaan serikat pekerja? Kok tidak mampu menjangkau penderitaan teman-temannya di Tangerang ini, artinya kan gini, ya serikat pekerja itu jangan hanya menutup itu dini ya, tetapi kejadian seperti ini mereka juga harus ikut mengawasi kan gitu kan, kalau tidak ya memang benar pasti tidak ada serikat pekerja di pabrik ini kan, tapi kan di sekitar pabrik ini kan pasti ada basis-basis serikat pekerja, dan serikat pekerja kita ini kan banyak sekali kan, masa mereka tidak ada perhatian, nah setelah ada, baru, itu tadi
65
kita katakana memang kita prihatinlah, di tengah kegemilangan, kehiruk-pikukan pemerintah berpidato pertumbuhan enam koma sekian persen, nyatanya kan masih ada, jangan-jangan masih banyak perburuhan yang terpaksa, tidak ada pilihan, mau gaji berapapun, mau dijadikan budakpun, semua boleh, kenapa? tidak tersedia lapangan pekerjaan di tempat lain, ini kan sebetulnya kan, kalau ada pilihan mbak gilang, ke 34 orang ini pasti tidak mau bekerja disini, tapi gak ada pilihan, pertama, dia tidak punya latarbelakang pendidikan yang cukup, tidak mempunyai informasi yang cukup, yang dia dengar adalah ada lapangan pekerjaan yang digaji segini, dia tidak tahu banyak, sebetulnya pabrik ini bagaimana kondisinya, yang dia tahu dia bakal mendapat duit, nah ini kan situasi yang betul-betul menyedihkan, inilah yang terjadi di republik ini, makanya saya kadang-kadang heran, kok pemerintah selalu bangga dengan pertumbuhan lebih hebat daripada negara-negara lain tapi kok lapangan pekerjaan kita tidak bertambah gitu toh, kalau ada lapangan pekerjaan yang cukup tersedia, seperti yang kita katakan tadi, TKI itu tidak akan bertambah terus di republik ini, tidak akan bertambah, dan buruh yang seperti di pabrik ini tidak akan ada, karena ketika ada pilihan, pasti tidak ada yang masuk ke pabrik ini kan? Kalau masih ada pilihan, pasti pabrik ini gak laku. Pada segmen ini, Elman saragih sebagai dewan redaksi media grup dan juga sebagai pembedah mulai mengemukan solusi sesuai pemahaman kognisinya. Dia mengemukakan pendapat bahwa jika ada lapangan yang cukup tersedia, maka kasus perbudakan seperti ini tidak akan terjadi, karena buruh akan mencari pekerjaan yang lebih baik jika ada pilihan yang lebih baik. Gilang Ayunda
: artinya karena tidak ada pilihan lagi dan terpaksa supaya dapur tetap mengebul
Elman Saragih
: dapur tetap ngebul, perut harus diisi, orangtua kita kan bilang, setajam-tajamnya pisau, lebih tajam perut, jadi setajamtajamnya pisau, perut kita ini lebih tajam, artinya apa? Ketika tidak ada lagi pilihan lain, yasudah, jadi budak pun jadi, nah ini yang terjadi, maka itu kita mohon kepada pemerintah, janganlah terlalu sering lagi mengumbar-umbar pertumbuhan
66
kita terhebat di negara-negara di dunia ini, kita, enam koma sekian persen, dimana terjemahan enam koma sekian persen itu di dalam lapangan pekerjaan, tunjukkan dong? Kalau itu ada gilang, tidak ada buruh ini yang mau tidak mau dia bekerja di tempat, dia diperbudak, jadi romusha, jadi rodi. Gilang Ayunda
: Baik, jadi perlu digarisbawahi adalah minimnya lapangan pekerjaan yang masih terjadi di negara kita.
Elman Saragih
: mm, gak ada lagi
Gilang Ayunda
: Baik, terima kasih banyak, namun sayang sekali waktunya sudah habis, kita akan kembali lagi di episode berikutnya pemirsa, terima kasih anda sudah bersama kami, demikianlah bedah editorial media indonesia. Atas nama seluruh tim kerabat kerja yang bertugas, kami undur diri, saya gilang ayunda sampai jumpa.
Dari keempat segmen program bedah editorial media indonesia ini terlihat bahwa semua penelpon interaktif yang terlibat dalam argumentasi wacana perbudakan modern ini, mendukung dan setuju dengan editorial media indonesia yang sejatinya merupakan pendapat atau sikap Media Indonesia terhadap kasus ini. Fungsi media sebagai kekuatan kontrol sosial diperankan dengan baik oleh Media Indonesia, pengetahuan dan wawasan para awak media dan penulis media indonesia terpaparkan dengan baik dan berhasil mempengaruhi pemirsa yang menonton tayangan program bedah editorial media indonesia. Media Indonesia berhasil dalam melakukan hegemoni media hingga akhirnya semua penelpon sepakat dengan ide-ide yang dilemparkan oleh Media Indonesia.
67
C. Analisis Wacana Kritis Tentang Perbudakan Modern Dari Segi Konteks Sosial Berbicara mengenai konteks tidak akan jauh dari teks, karena konteks adalah bagian dari suatu kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna yang dapat menghubungkan pesan antara komunikator dan komunikan. Definisi dari konteks sosial itu sendiri yaitu relasi sosial dan latar setting yang melengkapi hubungan antara pembaca (penutur) dengan pendengar. Penulisan editorial ini didasari oleh adanya peristiwa pemberlakuan manusia secara tidak manusiawi oleh para majikan dan pengusaha pabrik alumunium. Hal ini tentu akan menarik perhatian publik, karena isu yang diangkat adalah mengenai perbudakan, padahal perbudakan adalah sesuatu yang terjadi di zaman dahulu kala. Melihat latarbelakang seperti itu maka wajarlah editorial ini berfungsi sebagai kritikan terhadap pemerintah. Editorial perbudakan modern ini semacam katalisator, atau pelampiasan dari publik yang mungkin memiliki pandangan yang sama, mereka mungkin jengkel terhadap perbudakan, mereka jengkel terhadap kasus ini. Metro TV dan Media Indonesia mengangkat kasus tersbut supaya kejengkelan itu tersalurkan. 5 Dalam hal ini terlihat jelas bahwa konteks perbudakan yang diangkat oleh Metro TV dan Media Indonesia dilatarbelakangi oleh peristiwa yang luar biasa jarang
5
Hasil wawancara dengan Direktur Pemberitaan Media Indonesia, Usman Kansong, Jakarta, 3 Oktober 2013
68
terjadi, yaitu perbudakan. Hal ini diharap bisa mewakili kejengkelan-kejengkelan publik terhadap kasus perbudakan, dan juga berfungsi sebagai pengubah kebijakan para pengambil keputusan seperti polisi, kementrian tenaga kerja, dan secara umum yaitu negara. Secara umum konteks perbudakan ini telah berhasil dalam menghegemoni konsumen media yaitu para pemirsa dan pembaca. Kasus perbudakan ini telah menyita perhatian publik dan terlihat pada bagian ruang publik di atas yaitu sesi telfon interaktif, semua penelpon setuju dan mengecam pemerintah baik dari sisi kinerja dan lainnya. Semua ide-ide dan opini ini berhasil disampaikan dengan baik oleh Media Grup (Media Indonesia dan Metro TV).
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah peneliti menyelesaikan pembahasan dalam skripsi ini, maka kiranya dapat diambil kesimpulan : 1. Wacana perbudakan modern dalam program bedah editorial Media Indonesia di Metro TV ini jika ditinjau dari segi konstruksi teks dapat kita ketahui bahwa, Pertama, secara tematik, Media Indonesia mengangkat kata perbudakan karena menurut mereka, kasus yang terjadi di pabrik kuali ini sudah layak dikatakan sebagai perbudakan. Ini adalah salah satu bentuk hegemoni media dalam mengangkat sebuah agenda menjadi agenda yang langsung disepakati oleh masyarakat, padahal belum tentu kasus ini pantas dikatakan “Perbudakan” bagi sebagian khalayak. Selanjutnya bagaimana wacana dirangkai dan disusun secara skematik, terlihat bahwa Media Indonesia Menyusun dengan baik mulai dari awal hingga akhir yang berhasil membuat para penonton terpengaruh dan sepakat dengan ide-ide Media Indonesia. Kemudian, bagaimana makna ditekankan dalam sebuah teks editorial secara semantik, terjawab dengan beberapa elemen yang pertama, latar dalam editorial ini yaitu kondisi atau bentuk perampasan hak asasi manusia yang terungkap dan lalainya sikap pemerintah dalam menangani
69
70
kasus ini, detil pada wacana ini ada pada pemaparan kondisi pekerja seperti jam istirahat yang minim dan makanan yang tidak layak. Presuposisi pada wacana ini yaitu pada pendugaan adanya “human traficking”. Untuk sintaksis kita dapat melihat berbagai pemarjinalan posisi pemerintah dalam pemakain kata “induk” seperti yang telah diuraikan di BAB IV, untuk stilistik kita dapat mengamati pilihan kata seperti aparat yang menunjukkan ideologi media indonesia dalam pemakaian kata dalam kalimat. Untuk retorika kita dapat melihat dari segi grafis yang begitu hiperbolis atau melebih-lebihkan sehingga terkadang tidak sesuai dengan konteks yang sebenarnya, metafora yang dipakai cukup halus namun adalah suatu kritikan yang keras pada pemerintah. 2. Dari segi kognisi sosial, kita dapat melihat bagaimana pandangan dan ide-ide dalam editorial Media Indonesia ini, juga kita dapat mengamati pandangan pembedah (Elman Saragih) dalam percakapan program Bedah Editorial MI yang berhasil melemparkan ide-ide yang kemudian diterima dan didukung oleh pemirsa Metro TV serta kita dapat melihat bagaimana pemahaman lima penelpon interaktif dalam program bedah editorial MI tersebut, yang pada kenyataannya mereka mendukung opini Media Indonesia bahkan ada yang mengecam pemerintah. Fungsi media sebagai kontrol sosial diperankan dengan baik oleh Media Indonesia, Media Indonesia berhasil dalam melakukan hegemoni media hingga akhirnya semua penelpon sepakat dengan ide-ide yang dilemparkan oleh Media Indonesia. 3. Dari segi konteks sosial, terlihat jelas bahwa konteks perbudakan ini telah berhasil dalam menghegemoni konsumen media yaitu para pemirsa dan
71
pembaca. Kasus perbudakan ini telah menyita perhatian publik dan terlihat pada bagian ruang publik di atas yaitu sesi telfon interaktif, semua penelpon setuju dan mengecam pemerintah baik dari sisi kinerja dan lainnya. Semua ide-ide dan opini ini berhasil disampaikan dengan baik oleh Media Grup (Media Indonesia dan Metro TV). B. Saran-saran 1. Untuk pihak yang memerintah atau yang berkuasa di negara ini agar peka dalam menangani masalah-masalah sosial, khususnya kasus-kasus seperti perbudakan modern ini, agar kedepannya sigap dan tegas kepada siapapun yang bersalah, tidak memandang jabatan, harta, martabat dan lain sebagainya dalam memberikan hukuman dan sangsi, pemerintah hendaknya bisa mencegah kemungkinan terjadinya kasus yang sama pada masa yang akan datang, dalam hal ini adalah semua orang yang menjabat dan bertugas di pemerintahan. Kemudian untuk warga negara, agar mempunyai kepekaan dan kepedulian sosial yang tinggi, sehingga dapat megetahui kondisi lingkungan dengan baik, selalu mejalin silaturrahmi dengan warga sekitar, punya rasa kemanusian yang tinggi. 2. Untuk pengusaha yang memiliki modal (bisa disebut sebagai kaum kapitalis) hendaknya tidak semena-mena dengan orang yang bekerja di perusahaan anda. Berikanlah kelayakan kepada orang-orang yang membantu kita dalam berusaha. Tidak ada kata merampas hak asasi manusia dan selalu bertanggung jawab terhadap apa yang kita kerjakan. Serta uruslah surat izin usaha dengan baik dan benar.
72
3. Untuk aparat penegak hukum, agar tidak membantu orang-orang yang salah dalam melakukan aksinya, tidak menjadi beking yang rela dibayar demi lembaran rupiah dan mengorbankan hak asasi para manusia yang tidak bersalah. Aparat penegak hukum harus tegas dan tidak pandang bulu. 4. Untuk media grup (Media Indonesia dan Metro TV) yang sudah memerankan fungsi kontrol sosial dengan benar, agar terus dipertahankan, dan untuk penggambaran peristiwa, agar tidak memakai logika yang terlalu hiperbolis baik dalam penggambaran visual, teks dan percakapan.
DAFTAR PUSTAKA Al-Quranul Karim. Ardianto, Elvinaro. Komunikasi Massa. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007. Badara, Aris. Analisis Wacana: Teori, Metode dan Penerapannya pada Wacana Media. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2012. Burton, Graeme. Talking Television : An Introduction to the study of Television. London: Hodder Arnold, 2000. Bungin, Burhan. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT RajaGrafindo, 2006. Cook, Guy. The Discourse of Advertising. London and New York: Routledge, 1994. Departeman Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke3. Effendy, Hery. Industri Pertelevisian Indonesia. Jakarta: Erlangga, 2008. Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKis, Cet VII Februari 2009. Gramsci, Antonio. Selections from the Prison Notebooks. London: Lawrence and Wishart, 1971. Moloeng, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya,2001.
73
74
Richard West, Lynn H. Turner, Introducing Communication Theory: Analysis and Aplication. NY: McGraw-Hill, 2007. Strinati, Dominic An Introduction to Theories of Popular Culture. Routledge, London, 1995. Pitoyo, Whimbo, SE,SH,MBA , Panduan Praktis Hukum Ketenagakerjaan. Jakarta : Visimedia, 2010. Van Dijk, Teun A. Critical Discourse Analysis. Amsterdam University Press, Amsterdam 2005. Van Dijk, Teun A. Aims of Critical Discourse Analysis. Japan Discourse, Amsterdam, 1995. Van Dijk, Teun A. Ideology, A Multidisciplinary Introduction. Sage Publication, London, 1998 . Van Dijk, Teun A. News Schemata. Amsterdam: Amsterdam University Press, 2005. Sobur, Alex. Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika dan Analisis Framing. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet V 2009), Company Profile Metro TV, Wawancara dengan Direktur Pemberitaan Media Indonesia, Usman Kansong, M.si
75
http://www.metrotvnews.com
HASIL WAWANCARA DENGAN DIREKTUR PEMBERITAAN MEDIA INDONESIA Narasumber
: Usman Kansong S.Sos, M.si
Hari/Tanggal
: Kamis / 3 Oktober 2013
Jam
: 13.10 WIB
Tempat
: Ruang Direktur Pemberitaan Media Indonesia
1. Alasan apa yang melatarbelakangi pihak pembuat berita dalam pembuatan judul "Perbudakan Modern" pada program bedah Editorial Media Indonesia yang tayang 9 mei 2013? Jawab: Iya, waktu itu kan ada berita, ada peristiwa pengungkapan kasus, katakanlah perbudakan modern ya, di pabrik kuali itu orang, buruh-buruhnya itu disekat, katakanlah begitu ya, bekerja di tempat tertutup, tidak bisa berinteraksi dengan dunia luar, kemudian dengan jam kerja yang panjang, tidak jelas, hampir tidak ada waktu istirahat, dengan makan juga yang terbatas, nah, jadi dasarnya waktu itu nomor satu, ya ada sebuah peristiwa ya, editorial memang biasanya didasarkan pada peristiwa, tidak selalu, tetapi umumnya didasarkan pada peristiwa, ya bisa juga editorial sifatnya reflektif, gitu kan, tapi dalam kasus perbudakan modern ini editorial itu dibikin karena adanya sebuah peristiwa, satu itu, kedua kita menganggap peristiwa itu luar biasa, ya di zaman modern seperti sekarang masih ada sistem perburuhan yang seperti itu, seperti di zaman dulu ya, zaman romawi, zaman jahiliyah mungkin, kemudian juga di zaman penjajahan, padahal kita sudah memasuki era modern, jadi makanya kita sebut perbudakan modern, jadi intinya ada dua kenapa kita angkat, yang pertama ada peristiwanya yang kedua kita menganggap peristiwa itu luar biasa, kenapa kita sebut luar biasa? Karena memang
tidak semua peristiwa kita editorialkan. Menarik perhatian banyak orang, kemudian bisa menghasilkan perubahan. 2. Bagaimana pandangan anda terhadap pengangkatan isu perbudakan modern tersebut sebagai bahan editorial? Jawab: Editorial itu memang kebanyakan sebagai kritik sosial, seperti saya katakan tadi, editorial itu selalu didasarkan oleh peristiwa luar biasa dan tidak semua peristiwa kita editorialkan. Menurut saya kasus ini memang penting untuk dipahami publik. 3. Pesan apa yang ingin Metro TV sampaikan dalam penayangan program tersebut?\ Jawab: satu ya, kita ingin menggambarkan kepada publik bahwa masih ada peristiwa seperti ini, barangkali peristiwa ini juga terjadi di daerah lain, kedua kita tentu saja mendorong para pengambil keputusan untuk Nomor mengambil kebijakan disitu, misalnya polisi mengusut kasus itu dengan tuntas, kemudian barangkali juga kementrian tenaga kerja, karena ini terkait dengan perburuhan, bisa mengambil kebijakan, dan barangkali juga negara ini secara umum sebagai sebuah negara, ya masa iya membiarkan ada manusia diperlakukan seperti itu oleh manusia lain, ini kan terkait dengan urusan kemiskinan, urusan pembangunan di pedesaan atau di luar ibukota yang buruk. 4. Bagaimana pengaruh berita atau isu yang dijadikan editorial tersebut terhadap konsumen media dan penelpon interaktif? Jawab: Waktu itu kan kita kategorikan kepada ketiga kategori, ada yang mengkritik, ada yang netral dan ada yang mendukung. Tapi dalam konteks kasus kemaren itu hampir
semua penelpon mendukung, kan ada delapan penelpon, mereka semua mendukung sikap kita, bahkan yang netral pun tidak ada. Jadi kita mendorong kepolisian untuk serius, mendorong negara ini untuk serius menangani persoalan kemiskinan dan perburuhan itu. 5. Bagaimana Metro TV menjaga keobjektifan berita atau isu yang dibuat? Jawab: untuk editorial, kita memang bersifat subjektif, karena editorial adalah sikap kita sebagai sebuah media, dan sepenuhnya adalah opini kita. 6. Bagaimana kebijakan redaksi dan struktur pembuatan editorial pada media group? Jawab: jadi kita memutuskan sebuah peristiwa atau tema kita angkat menjadisebuah editorial itu ada proses, itu biasanya kita malalui rapat setiap hari jam 2 siang, selain hari libur ya, rapat editorial hari jumat itu membicarakan tema buat hari sabtu dan hari senin, minggu kita tidak ada editorial, kecuali ada perubahan, kita bisa diskusikan di hari minggu lewat telpon, sms, bbm dan lain sebagainya tanpa harus bertemu untuk berkumpul begitu ya, nah peserta rapat editorial itu adalah seluruh penulis editorial, rapatnya itu disini di ruang direktur pemberitaan, penulis editorial itu jumlahnya ada delapan, kita dirapat itu mendiskusikan apa temanya, terjadi perdebatan, hingga kita mencapai satu kesepakatan temanya besok apa. Setelah kita menemukan temanya biasanya kita putuskan siapa yang menulis, kita tulis di papan ini, tetapi di teks editorial kita tidak tulis nama penulisnya untuk alasan keamanan. Setelah kita menentukan penulis selanjutnya kita menentukan angle, arahnya mau kemana, sikap kita terhadap sebuah peristiwa atau tema seperti apa, bisa saja kita mendukung, bisa saja mengkritik, bisa saja netral.
7. Bagaimana respon dari pemirsa atau penelpon interaktif terhadap isu tersebut apakah positif atau negatif? Jawab: Dari semua penelpon, kan waktu itu ada delapan penelpon, semuanya mendukung dan sepakat dengan opini kita. 8. Bagaimana pandangan anda terhadap kinerja pemerintah dalam menangani isu ini? Jawab: ya, untuk kinerja pemerintah, nomor satu, itu soal kemiskinan, ada kegagalan pemerintah disitu dalam mengatasi kemiskinan, sehingga orang mau melakukan apapun demi mendapatkan sedikit uang, kedua lemahnya pengawasan, kenapa itu bisa terjadi berbulan-bulan bahkan mungkin sampai bertahun-tahun, karena tidak adanya pengawasan, siapa yang punya kewenangan mengawas itu? Kementerian tenaga kerja, dinas tenaga kerja tangerang, itukan kelemahan mereka. jadi kita kritik itu pemerintah. 9. Menurut anda, apakah wacana ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat? Jawab: ya, saya kira itu menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat, sekurangkurangnya begini lho, kalo dalam teori komunikasi itu kan ada semacam katalisator dia jadinya, katalisator itu artinya pelampiasan, bisa seperti itu. Jadi publik itu bisa jadi mempunyai pandangan yang sama, dia jengkel dengan perbudakan, dia jengkel dengan kasus di Tangerang itu, dengan Metro TV dan Media Indonesia mengangkat kasus itu, sebagian kejengkelan itu tersalurkan, karena apa yang kita sampaikan, biasanya kita coba mewakili publik, itu yang paling simpel. yang kedua, mereka bisa berinteraksi, bisa mengemukakan pendapatnya, ada ruang untuk mengemukakan pendapat, karena kita angkat lewat televisi kan, yang kalo cuma di koran barangkali kan terbatas ruang untuk mengomentarinya, yang ketiga, ya kita berharap ada perubahan kebijakan dari
pemerintah terkait dengan masalah itu. Dan kebijakan itu bermanfaat juga bagi masyarakat, misalkan para buruh yang terkena kasus itu dan masyarakat luas.
`DOKUMENTASI WAWANCARA