KONSTRUKSI EDITORIAL MEDIA INDONESIA DI METRO TV PERIODE APRIL 2008 (ANALISIS FRAMING TERHADAP TEMA-TEMA KORUPSI DI LEGISLATIF)
SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Guna Memperoleh Gelar Strata Satu (S1) Ilmu Komunikasi
Disusun oleh: Nama Nim Jurusan
: MS Agus Hoiriyanto : 4410412020 : Broadcasting
FAKULTAS KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA 2009
i
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA
LEMBAR PERSETUJUAN SIDANG SKRIPSI
Nama
: MS AGUS HOIRIYANTO
NIM
: 4410412020
Fakultas
: Komunikasi
Jurusan
: Broadcasting
Judul
: KONSTRUKSI EDITORIAL MEDIA INDONESIA DI METRO TV PERIODE APRIL 2008 (ANALISIS FRAMING TERHADAP TEMA-TEMA KORUPSI DI LEGISLATIF)
Jakarta, 28 Januari 2009 Disetujui oleh, Pembimbing
(Feni Fasta, SE, M. Si)
ii
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA
LEMBAR LULUS SIDANG SKRIPSI
Nama
: MS AGUS HOIRIYANTO
NIM
: 4410412020
Fakultas
: Komunikasi
Jurusan
: Broadcasting
Judul
: KONSTRUKSI EDITORIAL MEDIA INDONESIA DI METRO TV PERIODE APRIL 2008 (ANALISIS FRAMING TERHADAP TEMA-TEMA KORUPSI DI LEGISLATIF)
Jakarta, 15 Februari 2009
1. Ketua Sidang Nama
: Drs. Riswandi, M. Si
(…………………………….)
2. Penguji Ahli Nama
: Ponco Budi Sulistyo, M. Comn
(…………………………….)
3. Pembimbing Nama
: Feni Fasta, SE, M. Si
(…………………………….)
iii
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA
LEMBAR PENGESAHAN PERBAIKAN SKRIPSI
Nama
: MS AGUS HOIRIYANTO
NIM
: 4410412020
Fakultas
: Komunikasi
Jurusan
: Broadcasting
Judul
: KONSTRUKSI EDITORIAL MEDIA INDONESIA DI METRO TV PERIODE APRIL 2008 (ANALISIS FRAMING TERHADAP TEMA-TEMA KORUPSI DI LEGISLATIF)
Jakarta, 28 Februari 2009
Disetujui dan Diterima Oleh, Pembimbing
(Feni Fasta, SE, M. Si)
Mengetahui,
Dekan FIKOM
(Dra. Diah Wardhani, M. Si)
Ketua Program Studi
(Ponco Budi Sulistyo, M. Comn)
iv
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA PROGRAM STUDI BROADCASTING MS AGUS HOIRIYANTO (4410412020) “KONSTRUKSI EDITORIAL MEDIA INDONESIA DI METRO TV PERIODE APRIL 2008” (ANALISIS FRAMING TERHADAP TEMATEMA KORUPSI DI LEGISLATIF) x hal + 89 hal + 8 tabel + 5 lampiran + riwayat hidup Bibliografi: 21 buku (Tahun 1990-2007) ABSTRAKSI Tema korupsi banyak diangkat oleh media massa di Indonesia, baik cetak maupun elektronik, salah satunya adalah Metro TV. Bersama Media Indonesia, Metro TV membingkai tema korupsi ke dalam editorialnya. Yang menarik adalah bagaimana tema korupsi ternyata menyita perhatian pemirsa, ini terlihat dari respon yang masuk, paling besar dibanding tema-tema lainnya, terlebih lagi bila kasus korupsi menyangkut badan legislatif yang merupakan representasi dari seluruh rakyat Indonesia. Bahkan yang tidak kalah menariknya, pada bulan April 2008, hampir semua media massa di Indonesia mengangkat isu korupsi di legislatif. Berita atau informasi yang disampaikan bukanlah realitas murni melainkan informasi yang kita lihat dan dengar merupakan hasil dari konstruksi pekerja media, bukan kaidah baku. Semua proses konstruksi (mulai dari memilih fakta, sumber, pemakaian kata, gambar, sampai penyuntingan) memberi andil bagaimana realitas tersebut hadir di hadapan khalayak. Selanjutnya, dominasi dan hegemoni pun turut mewarnai produksi berita. Dominasi dan hegemoni adalah dua konsep penaklukan kesadaran masyarakat supaya tidak melawan kepentingan pemilik modal. Dominasi merupakan penaklukan secara keras dengan menggunakan kekuatan koersi (memaksa) seperti pengadilan, kepolisian, dan militer. Sedangkan hegemoni adalah penaklukan halus yang menghasilkan kepatuhan kelas (yang sebenarnya ditindas) lewat kekuatan ideologis seperti pendidikan dan media massa. Tipe penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif, pendekatan ini menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Peneliti menggunakan metode analisis framing untuk mengetahui bagaimana realitas dibingkai oleh media. Adapun perangkat analisis framing yang digunakan adalah model William A. Gamson dan Andre Modigliani. Temuan yang didapat pada teks Editorial menggunakan perangkat analisis framing model William A. Gamson dan Andre Modigliani, sangat menarik. Pemberitaan di Editorial ternyata tidak bebas dari pengaruh pemilik modal. Partai Golkar tidak pernah disebut di dalam pemberitaan Editorial. Indikasinya, Surya Paloh adalah Ketua Dewan Penasehat Partai Golkar sekaligus pemilik modal di Metro TV. Artinya, dominasi dan hegemoni telah terjadi. Idealnya ruang pemberitaan harus independen dan jauh dari intervensi pemilik modal.
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, Assalmualaikum Wr. Wb.
Sujud syukur serta segala puja dan puji penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberi rahmat, hidayah, serta kasih sayang-Nya yang tak terkira kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini walaupun dalam bentuk yang sederhana, baik dalam sistematika penulisan maupun dalam cara penguraiannya. Penulis menyadari sepenuhnya akan kekurangan dan ketidak sempurnaan dalam skripsi ini. Salam penuh ikhlas dan rindu kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang disetiap nafas, tindakan, dan langkahnya mengalir cahaya kemuliaan. Sembah sujud kepada Ibu (Nia) dan Ayah (Nangcik Idris)
tercinta yang selama ini
mengalirkan kasih sayang yang tidak terhingga. Penulis menyadari tanpa bantuan dari berbagai pihak, niscaya penelitian ini tidak akan dapat terselesaikan pada waktunya. Untuk itu, peneliti menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang mendalam kepada: 1. Ibu Feni Fasta, SE, M. Si (The Tulip) selaku pembimbing sejak matakuliah riset media hingga skripsi. Ibu begitu fashionable dan dinamis dalam setiap bimbingan, memotivasi dengan cara yang tidak biasa dan hingga pada akhirnya membuat segalanya menjadi tertata. Saya selalu menikmati setiap detiknya saat bersama Ibu. Terima kasih Ibu. 2. Bpk Riswandi, M. Si, selaku ketua sidang, dan Bpk Ponco Budi Sulistyo, M. Comn, selaku penguji ahli. 3. Kak Aby dan Mba Iti yang selalu memotivasi dan membantu tanpa pamrih. 4. Jimmy, Fatin dan Aan. Kalian selalu memberi inspirasi. 5. Seluruh Dosenku terkasih di Universitas Mercu Buana, Jakarta, yang telah memberikan ilmu yang begitu bermanfaat. Entah dengan apa saya harus membalas kebaikan dan ketulusan hati Ibu dan Bapak semua. 6. Seluruh crew redaksi AUTOCAR: Pak Wawan, Octo, Hasan, Cepy, Pury, Petrus, Lulu, Ryan, Wisnu, Bang Gegen, Indra, Reza, Budityas, Wahyu, Bono,
vi
Kusnadi, Yusuf, Adji, Hilda, Lia, Diana, Ade, Nugi, Akbar, Lulut. Kalian ada, dan memberi makna. Tetaplah bersedia menjadi anugerah yang tak habis dibaca. 7. Emak dan Emang, Ayu Nana, Made, Irvan, Neni, atas segala perhatiannya. 8. Mama (Alm) dan Ayah Edi di Bandung, Indra, Aa, Firman (Alm), Iin. Budi baik kalian tak bisa terlupakan. 9. Mas Hery, Mba Parti, Widya, Bayu, untuk nasehatnya yang begitu tulus. 10. Bpk Ali Alatas (Alm) dan Bpk Marzuki Usman, untuk segala nasehat dan masukannya. 11. Bpk B. Harianto A. Widjaya serta Bpk Warsito Wahono yang bersedia menjadi mentorku. 12. Mba Heny selaku PR Manager Metro TV, Mba Nita, dan Mas Wahyu atas segala bantuannya. 13. Mba Ica Wahyu Lazuwardi di KPK yang telah memberi bahan referensinya. 14. Desi Ekanita yang selalu memberi support dan menyayangiku di setiap langkahku. 15. Fitri Handayani, atas segala kebaikan hatinya, aku tidak akan pernah lupa itu semua. 16. Birul, Adang, Ipay, Lukman, Didi, Eko, Ali, Habib atas dukungannya. 17. Anca, Julius, Aulia, Dini, Rahman, Boman, Fika, Reka, dan seluruh teman di Fikom UMB yang tidak dapat disebut satu-persatu, serta teman broadcasting angkatan VI khususnya: Heru, Kuwat, Gulfi, Andi, Samsul, Fita, Cory, Vera, Slamet, Hari, Dindin, Gunadi. Kalian luar biasa.
Meski masih dirasakan banyak kekurangannya, peneliti tetap berharap skripsi ini dapat memberi manfaat bagi dunia ilmu pengetahuan. Semoga…
Jakarta, 28 Februari 2009
MS Agus Hoiriyanto
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN SIDANG SKRIPSI LEMBAR LULUS SIDANG SKRIPSI LEMBAR PENGESAHAN PERBAIKAN SKRIPSI ABSTRAKSI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN
i ii iii iv v vii ix xi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1.2. Rumusan Masalah 1.3. Tujuan Penelitian 1.4. Signifikansi Penelitian 1.4.1. Signifikansi Akademis 1.4.2. Signifikansi Praktis
1 1 6 6 6 6 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunikasi Massa 2.1.1. Pengertian Komunikasi Massa 2.1.2. Proses Komunikasi Massa 2.1.3. Karakteristik Komunikasi Massa 2.1.4. Tujuan dan Fungsi Komunikasi Massa 2.1.5. Media Komunikasi Massa 2.1.6. Efek Komunikasi Massa 2.2. Media Massa 2.2.1. Televisi Sebagai Media Massa 2.2.2. Media Massa dan Anti Korupsi 2.3. Program Televisi 2.4. Editorial 2.5. Tema Korupsi di Media Massa 2.6. Konstruksi Realitas Media 2.7. Dominasi dan Hegemoni 2.8. Konsep Framing William A. Gamson dan Andre Modigliani
8 8 8 9 11 13 14 16 17 17 18 20 22 25 27 30 31
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tipe Penelitian 3.2. Metode Penelitian 3.3. Teknik Pengumpulan Data 3.3.1. Data Primer 3.3.2. Data Sekunder 3.4. Unit Analisis 3.5. Definisi Konsep 3.6. Fokus Penelitian 3.7. Teknik Analisis Data
33 33 33 34 34 34 34 35 37 37
viii
BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Perusahaan 4.1.1. Editorial Media Indonesia 4.1.2. Dari Media Cetak ke Televisi 4.2. Hasil Penelitian 4.2.1. Konstruksi dengan judul: Madat Korupsi di DPR 4.2.2. Konstruksi dengan judul: Slank dan Reaksi DPR 4.2.3. Konstruksi dengan judul: Pengembalian Uang Yang layak Dipujikan 4.2.4. Konstruksi dengan judul: Sikap Defensif Ketua DPR 4.2.5. Konstruksi dengan judul: Pelajaran Hukum Untuk DPR 4.3. Analisis dan Pembahasan
39 39 36 43 45 45 51
BAB V PENUTUP 5.1. Simpulan 5.2. Saran
88 88 89
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
56 61 66 71
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Karakteristik Media
15
Tabel 3.1. Definisi Konsep
35
Tabel 3.2. Framing Gamson dan Modigliani
38
Tabel 4.1. Framing Artikel “Madat Korupsi di DPR”
49
Tabel 4.2. Framing Artikel “Slank dan Reaksi DPR”
54
Tabel 4.3. Framing Artikel “Pengembalian Uang Yang Layak Dipujikan” 59 Tabel 4.4. Framing Artikel “Sikap Defensif Ketua DPR”
64
Tabel 4.5. Framing Artikel “Pelajaran Hukum Untuk DPR”
69
x
DAFTAR LAMPIRAN
Madat Korupsi di DPR Slank dan Reaksi DPR Pengembalian Uang Yang layak Dipujikan Sikap Defensif Ketua DPR Pelajaran Hukum Untuk DPR
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Istilah jurnalistik berasal dari perkataan journal, yang merupakan terjemahan dari bahasa latin diurna yang berarti harian atau setiap hari. Jurnalistik adalah “Suatu pengelolaan laporan harian yang menarik minat khalayak mulai dari peliputan sampai penyebarannya kepada masyarakat.”1 Dalam hal ini bahasa berita dapat berupa peristiwa faktual ataupun pendapat seseorang. Pada awalnya, kegiatan jurnalistik hanya berkisar pada hal-hal yang sifatnya informatif saja, ini terbukti pada Acta Diurna sebagai produk jurnalistik pertama pada zaman Romawi di bawah kekaisaran Julius Caesar. Dalam perkembangan selanjutnya, surat kabar sebagai sarana jurnalistik dan dapat mencapai khalayak secara massal, digunakan kaum idealis untuk melakukan kontrol sosial dengan tujuan menyebarkan pesan untuk mempengaruhi masyarakat (journal d’opinion). Dalam perkembangannya, kegiatan jurnalistik menjadi sangat penting karena peranannya dalam memberikan informasi kepada khalayak melalui publikasi secara dicetak. Kemudian mulailah muncul berbagai macam kegiatan pers, baik dengan media massa cetak maupun media massa elektronik. Kendati media cetak dan media elektronik merupakan kegiatan pers, namun keduanya memiliki perbedaan yang khas, yakni pesan-pesan yang disiarkan oleh media elektronik diterima oleh khalayak hanya sekilas. Sedangkan pesan yang disiarkan
1
Onong U. Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), hal.151
1
2
oleh media cetak dapat dipelajari dan disimpan untuk dibaca pada tiap kesempatan. Sistem pers yang berlaku di dunia ini, dikategorikan menjadi empat, yakni pers otoritarian, pers liberal, pers tanggung jawab sosial, dan pers komunis Soviet. Namun dalam perkembangan selanjutnya muncul new authoritarianism di negaranegara komunis, sedangkan di negara-negara non komunis muncul new libertarianism. Bahkan di Negara-negara yang menganut sistem demokrasi, pers dianggap sebagai kekuasaan ke empat (the fourth estate), setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hal ini disebabkan oleh daya persuasi dari pers yang kuat dan pengaruhnya yang besar kepada masyarakat. Media adalah tempat di mana khalayak memperoleh informasi mengenai realitas yang terjadi di sekitar mereka. Karena itu, bagaimana media membingkai realitas tertentu, berpengaruh pada bagaimana individu menafsirkan peristiwa tersebut. Dengan kata lain, frame yang disajikan oleh media ketika memaknai realitas mempengaruhi bagaimana khalayak menafsirkan peristiwa. Televisi sebagai salah satu sumber media massa elektronik menampilkan keistimewaan yang dapat kita lihat dari karakteristiknya yaitu memberikan kemudahan maksimal kepada khalayaknya. Namun khalayak sering sekali keliru dalam menilai realitas yang disodorkan oleh media. Program-program televisi mengalami perkembangan dari hari ke hari, mulai dari segi bentuk, jenis, isi, format, dan intensitas siaran. Salah satunya adalah siaran berita televisi yang mengalami perkembangan, baik segi frekuensi, format, maupun variasi isi berita. Masing-masing stasiun televisi berusaha menyuguhkan sesuatu yang khas melalui pengelolaan siaran berita. Sesuatu yang khas tersebut dibuat selain untuk mengingatkan pemirsa terhadap programnya,
3
juga dibuat sebagai daya tarik pemirsa pada acara yang disuguhkan, baik berupa nama acara, slogan, pengemasan berita, penampilan presenter, dan juga pengemasan terhadap isi berita. Menurut Eriyanto “berita yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik, bukan kaidah baku jurnalistik. Semua proses kontruksi (mulai dari memilih fakta, sumber, pemakaian kata, gambar, sampai penyuntingan) memberi andil bagaimana realitas tersebut hadir dihadapan khalayak.”2 Tidak mengherankan bila kita tiap hari secara terus menerus menyaksikan bagaimana peristiwa yang sama bisa diperlakukan secara berbeda oleh media. Ada peristiwa yang diberitakan, dan ada yang tidak diberitakan. Ada yang menganggap penting, dan ada yang tidak menganggap sebagai berita. Semua kenyataan ini menyadarkan kita betapa subjektifnya media. Bagaimanapun juga, berita yang kita lihat tiap hari telah melalui proses konstruksi. Dengan mengetahui konstruksi media, diharapkan, kita akan mengetahui bagaimana bingkai yang dibuat oleh media tersebut. Sebuah teks berupa berita tidak bisa kita samakan seperti sebuah kopi dari realitas, ia haruslah dipandang sebagai konstruksi atas realitas. Karenanya, sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda. Editorial Media Indonesia merupakan acara yang ditayangkan di Metro TV setiap hari pada pukul 06.30 WIB - 07.00 WIB. Acara ini mengulas editorial dari surat kabar Media Indonesia kemudian ditanggapi oleh pemirsa lewat sms maupun telepon. Acara ini dibawakan oleh penyiar Metro TV dan dibantu dengan salah satu dewan redaksi Media Indonesia. Isi editorial yang ditayangkan 2
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, LKIS, Yogyakarta, 2002, hal. 26
4
mayoritas merupakan kritik, baik kepada pemerintah, kebijakan negara lain, maupun seputar kehidupan sehari-hari yang dirasakan penting. Melalui pengamatan sepintas, acara ini cukup mendapat respon, terlihat dari penelepon yang masuk pada saat acara tersebut ditayangkan. Sayangnya, telepon yang masuk kerapkali dibatasi waktunya, juga sms yang masuk tidak dapat ditayangkan secara keseluruhan, tetapi bisa dilihat di situs milik Media Indonesia. Melihat banyaknya respon yang masuk, tidak lain karena tema yang ditayangkan editorial Media Indonesia cukup menggugah, misalnya kritik terhadap anggota DPR yang terlibat kasus korupsi, seperti yang terjadi di Indonesia sekarang ini. Tema korupsi banyak diangkat oleh media massa di Indonesia, baik cetak maupun elektronik, salah satunya adalah Metro TV. Bersama Media Indonesia, Metro TV membingkai tema korupsi ke dalam editorialnya. Yang menarik adalah bagaimana tema korupsi ternyata menyita perhatian pemirsa, ini terlihat dari respon yang masuk, paling besar dibanding tema-tema lainnya, terlebih lagi bila kasus korupsi menyangkut badan legislatif yang merupakan representasi dari seluruh rakyat Indonesia. Bahkan yang tidak kalah menariknya, pada bulan April 2008, hampir semua media massa di Indonesia mengangkat isu korupsi di legislatif. Tertangkapnya Anggota DPR-RI, Al Amin Nur Nasution di Hotel Ritz Carlton pada 9 April 2008 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi disinyalir merupakan salah satu pemicu munculnya tema-tema korupsi di legislatif di dalam pemberitaan media massa di Indonesia, tak terkecuali editorial Media Indonesia di Metro TV yang menurunkan lima judul editorialnya secara berantai yang
5
berhubungan langsung dengan tema korupsi di legislatif dalam rentang waktu dua minggu. Korupsi menyebabkan tantangan serius terhadap pembangunan suatu negara, baik dalam sektor politik dan ekonomi. Dalam dunia politik, merusak tatanan demokrasi dan tata kelola negara yang baik melalui pelanggaran atau bahkan destabilisasi proses atau prosedur formal. Korupsi juga dapat merusak pembangunan ekonomi dengan menghasilkan suatu penyimpangan dan inefisiensi sumber daya publik. Selanjutnya korupsi dapat menyebabkan distorsi ekonomi terutama pada sektor publik dengan menyelewengkan investasi publik menjadi proyek modal ketika suap terjadi. Secara lebih umum, korupsi dapat menghilangkan kepercayaan publik terhadap institusi negara yang telah memainkan kekuasaan secara ilegal. Dalam percaturan politik, kondisi tersebut diperkuat oleh dominasi legislatif yang menyebabkan hilangnya respek terhadap nilai-nilai tata kelola yang baik (good governance), seperti akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi. Korupsi juga mengurangi kinerja dan nilai-nilai pemerintahan, dalam hal kualitas pelayanan dan infrastruktur oleh pemerintah. Praktisnya, bingkai digunakan untuk melihat bagaimana topik tertentu ditonjolkan atau ditekankan oleh media dalam hal ini program “Editorial”, penonjolan atau penekanan aspek tertentu dari realitas akan membuat solusi tersebut lebih bermakna, lebih mudah diingat, dan lebih berbekas dalam pikiran khalayak. Program ini sebaiknya juga melihat kemungkinan yang akan terjadi jika salah dalam menyampaikan informasi atau solusi mengenai tema yang diangkat. Inilah yang dikatakan bagaimana media massa membingkai suatu peristiwa
6
dengan menonjolkan satu hal dan menghilangkan beberapa, guna membentuk opini publik. Berangkat dari sini peneliti melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana suatu program berita “Editorial Media Indonesia di Metro TV” membingkai realitas. Hal mana yang paling di tonjolkan dan mana yang sengaja dihilangkan.
1.2 Rumusan Masalah Pembingkaian umumnya melalui proses konstruksi. Di sini realitas dimaknai dan dikonstruksi dengan makna tertentu. Bagaimana media memahami realitas serta memaknainya dan dengan cara apa realitas itu ditandakan. Oleh karena itu, maka masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah: “ Bagaimana bingkai pada program Editorial Media Indonesia di Metro TV dalam tema-tema korupsi di legislatif periode April 2008.”
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bingkai pada program Editorial Media Indonesia di Metro TV dalam tema-tema korupsi di legislatif periode April 2008.
1.4 Signifikansi Penelitian 1.4.1 Signifikansi Akademis Diharapkan penelitian ini dapat menjadi sumbangan atau kontribusi terhadap kajian broadcasting khususnya mengenai pembingkaian editorial di televisi.
7
1.4.2 Signifikansi Praktis Memberikan masukan sebagai bahan evaluasi kepada stasiun televisi Metro TV dan Media Indonesia khususnya produser sebagai gatekeeper dalam menyajikan program editorial di masa-masa selanjutnya.
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Komunikasi Massa 2.1.1 Pengertian Komunikasi Massa Komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa, jelasnya merupakan
singkatan
dari
komunikasi
media
massa
(mass
media
communication).3 Media massa yang menjadi cakupan pengertian komunikasi massa itu adalah surat kabar, majalah, radio, televisi, dan film. Pengertian komunikasi massa, merujuk kepada pendapat Tan dan Wright, dalam Liweri 1991, merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal terpencar, sangat heterogen, dan menimbulkan efek tertentu. Dari berbagai definisi komunikasi massa, hal ini memberikan gambaran yang jelas mengenai pengertian komunikasi massa. Bahkan, secara tidak langsung dari pengertian komunikasi massa dapat diketahui pula ciri-ciri komunikasi massa yang membedakannya dari bentuk komunikasi lainnya.
3
Onong U. Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003), hal.20
8
9
2.1.2 Proses Komunikasi Massa Proses komunikasi massa menurut Shannon-Weaver, digambarkan sebagai suatu proses yang linier dan searah, yaitu proses di mana pesan diibaratkan mengalir dari sumber dengan melalui beberapa komponen menuju kepada tujuan (komunikan).4 Terdapat lima fungsi yang beroperasi dalam proses komunikasi di samping satu faktor disfungsional yaitu noise atau gangguan. Model yang mereka ciptakan adalah sebagai berikut:5 Bagan 2.1 Model Shannon-Weaver
Sumber informasi
Pesan
Transmiter
Sinyal Sinyal
Penerima
Pesan
Tujuan
Sumber gangguan Sumber: Sasa Djuarsa Sendjaja, Teori Komunikasi, 1996
Pada dasarnya prinsip proses ini adalah seperti bekerjanya proses penyiaran radio dan televisi. Pada bagian pertama dari proses ini adalah sumber informasi yang menciptakan pesan atau rangkaian pesan untuk dikomunikasikan. Pada tahap berikutnya, pesan diubah kedalam bentuk sinyal oleh transmitter sehingga dapat diteruskan melalui saluran kepada penerima. Penerima lalu menyusun kembali sinyal menjadi pesan sehingga dapat mencapai tujuan. Sementara itu sinyal dalam perjalanannya memiliki potensi untuk terganggu oleh berbagai sumber pengganggu yang muncul. Misalnya ketika terdapat terlalu banyak sinyal dalam saluran yang sama dan pada saat yang bersamaan pula. Hal
4 5
Sasa Djuarsa Sendjaja, Teori Komunikasi, Universitas Terbuka Jakarta, 1996, hal 5.4 Ibid, hal. 5.5
10
ini akan mengakibatkan adanya perbedaan antara sinyal yang ditransmisikan dan sinyal yang diterima. Dengan demikian dapat diartikan pesan yang dibuat oleh sumber dan kemudian disusun kembali oleh penerima hingga mencapai tujuan tidak selalu memiliki makna yang sama. Ketidakmampuan komunikator untuk menyadari bahwa suatu pesan yang dikirimkan tidak selalu diterima dengan pengertian yang sama, merupakan penyebab bagi kegagalan komunikasi, terutama pada komuniasi massa. Dari model yang dikemukakan Shannon & Weaver ini, Melvin DeFleur (1966) dalam bukunya Theories of Mass Communication, mengembangkan dan mengaplikasikannya ke dalam teori komunikasi massa. Dalam kaitannya dengan makna dari pesan yang diciptakan dan diterima, dia mengemukakan bahwa dalam proses komunikasi ‘makna’ diubah menjadi pesan yang lalu diubah lagi oleh transmitter menjadi informasi, dan kemudian disampaikan melalui suatu saluran (misalnya media massa).6 Informasi diterima sebagai pesan, lalu diubah menjadi ‘makna’. Jika terdapat korespodensi (kesamaan atau hubungan) antara kedua ‘makna’ tersebut, maka hasilnya adalah komuniksi.7 Namun seperti yang dikemukakan sendiri oleh DeFleur, jarang sekali terjadi korespodensi yang sempurna. Artinya, dengan toleransi tertentu, komunikasi masih bisa terjadi meskipun terdapat juga ‘sejumlah’ perbedaan makna.
6 7
Ibid, hal. 5.6 Ibid
11
2.1.3 Karakteristik Komunikasi Massa Komunikasi
massa
berbeda
dengan
komunikasi
lainnya,
seperti
komunikasi antarpersona dan komunikasi kelompok. Perbedaan itu meliputi komponen-komponen yang terlibat di dalamnya, juga proses berlangsungnya komunikasi tersebut. Adapun karakteristik komunikasi massa adalah sebagai berikut:8 1. Komunikator Terlembagakan Media massa sebagai saluran komunikasi massa merupakan lembaga, yakni suatu institusi atau organisasi.9 Oleh karena komunikatornya melembaga. Komunikator pada komunikasi massa, misalnya wartawan surat kabar atau penyiar televisi bertindak atas nama lembaga, sejalan dengan kebijakan (policy) surat kabar dan stasiun televisi yang diwakilinya karena media yang dipergunakannya adalah suatu lembaga dalam menyebarluaskan pesan komunikasinya. Ia tidak memilki kebebasan individual. Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, maka komunikator pada komunikasi massa dinamakan juga komunikator kolektif. Karena sifatnya yang kolektif, maka komunikator yang terdiri atas sejumlah kerabat kerja itu mutlak harus mempunyai keterampilan dalam bidangnya masing-masing. 2. Pesan Bersifat Umum Pesan yang disebarkan melalui media massa bersifat umum (publik) karena ditujukan kepada umum dan mengenai kepentingan umum. Jadi tidak ditujukan kepada perseorangan atau kepada sekelompok orang tertentu.
8 9
Elvinaro Ardianto, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Simbiosa, Bandung 2004, hal. 7 Sutaryo, Sosiologi Komunikasi, Arti Bumi Intaran, Yogyakarta 2005, hal.82
12
3. Komunikannya Anonim dan Heterogen Dalam komunikasi massa, komunikator tidak mengenal komunikan (anonim), karena komunikasinya menggunakan media dan tidak tatap muka. Selain itu komunikan pada komunikasi massa adalah heterogen, terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda dalam berbagai hal seperti usia, jenis kelamin, pandangan hidup, dan lain-lain. 4. Media Massa Menimbulkan Keserempakan Media massa memiliki kemampuan untuk menimbulkan keserempakan pada pihak khalayak dalam menerima pesan-pesan yang disebarkan. 5. Komunikasi Mengutamkan Isi Ketimbang Hubungan Setiap komunikasi melibatkan unsur isi dan unsur hubungan. Namun pada komunikasi massa yang penting adalah unsur isi. 6. Komunikasi Massa Bersifat Satu Arah Pada komunikasi massa tidak terdapat arus balik kepada komunikator. Pada media televisi, radio, dan film arus balik tidak secara langsung tetapi tertunda dengan menggunakan telepon atau e-mail. Dengan kata lain perkataan wartawan, penyiar televisi atau radio sebagai komunikator tidak mengetahui tanggapan para khalayak terhadap pesan atau informasi yang disiarkan. 7. Stimuli Alat Indra ‘Terbatas’ Dalam komunikasi, alat indra bergantung pada jenis media massa. Pada surat kabar dan majalah, pembaca hanya melihat, pada radio siaran dan rekaman auditif, khalayak hanya mendengar, sedangkan pada media televisi dan film, kita menggunakan indra penglihatan dan pendengaran, sehingga alat indra tidak dapat digunakan secara maksimal.
13
2.1.4 Tujuan dan Fungsi Komunikasi Massa Berdasarkan definisi komunikasi massa di atas, maka tujuan komunikasi massa adalah menyampaikan informasi kepada khalayak luas dalam waktu bersamaaan dan memiliki efek tertentu. Fungsi komunikasi massa bagi masyarakat menurut Dominick (2001) terdiri dari:10 1. Surveillance (Pengawasan) Fungsi pengawasan komunikasi massa dibagi dalam bentuk utama yaitu pengawasan peringatan, dan pengawasan instrumental. Pengawasan peringatan terjadi apabila media informasi mengenai ancaman. Sedangkan pengawasan instrumental berkaitan dengan penyebaran informasi yang berguna bagi kehidupan sehari-hari.11 2. Interpretation (Penafsiran) Fungsi penafsiran hampir mirip dengan fungsi pengawasan. Media massa tidak hanya memasok fakta dan data, tetapi juga memberikan penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting.12 Menurut Charles R. Wright, fungsi utama interpretasi dalam komunikasi massa adalah mencegah akibat-akibat yang tidak diinginkan dari pengkomunikasian berita.13
10
Elvinaro Ardianto, Op.cit., hal.16 Sutaryo, Op.cit., hal.96 12 Elvinaro Ardianto, Op.cit., hal.16 13 Sutaryo, Op.cit., hal.97 11
14
3. Linkage (Pertalian) Media massa dapat menyatukan anggota masyarakat yang beragam, sehingga membentuk linkage (pertalian) berdasarkan kepentingan dan minat yang sama tentang sesuatu.14 4. Transmission of values (Penyebaran nilai-nilai) Fungsi penyebaran nilai disebut juga socialization (sosialisasi). Sosialisasi mengacu kepada cara, di mana individu mengadopsi perilaku dan nilai kelompok. Media massa yang mewakili gambaran masyarakat itu ditonton, didengar, dan dibaca. Media massa memperlihatkan kepada kita bagaimana mereka bertindak dan apa yang diharapkan mereka.15 5. Entertainment (Hiburan) De Vito menyebutkan, bahwa media massa mendesain program-program mereka untuk menghibur khalayak.16
2.1.5 Media Komunikasi Massa Media yang dimaksud dalam proses komunikasi massa yaitu media massa yang memiliki ciri khas, mempunyai kemampuan untuk memikat perhatian khalayak secara serempak (simultaneous).17 Berdasarkan ciri khas tersebut maka media komunikasi massa dapat digolongkan menjadi media cetak, radio, televisi, dan film. Media massa inilah yang paling sering atau banyak menimbulkan dampak yang besar bagi masyarakat luas.
14 15 16 17
Elvinaro Ardianto, Op.cit., hal. 17 Ibid
Sutaryo, Op.cit., hal. 19 Elvinaro Ardianto, Op.cit., hal. 39
15
Pengaruh media massa yang satu dengan yang lain terhadap masyarakat berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh karakteristik masingmasing media tersebut. Karakteristik dari masing-masing media dapat dibedakan sebagai berikut.18
Tabel 2.1 Karakteristik Media Jenis Media Cetak
Radio
Televisi
Sifat
Dapat dibaca di mana dan kapan saja
Dapat dibaca berulang-ulang
Daya rangsang rendah
Pengolahan bisa mekanik, bisa elektris
Biaya relatif murah
Daya jangkau terbatas
Dapat didengar bila siaran
Dapat didengar kembali bila diputar kembali
Daya rangsang rendah
Elektris
Biaya relatif murah
Daya jangkau besar
Dapat didengar dan dilihat bila ada siaran
Dapat dilihat dan didengarkan kembali bila diputar kembali
18
Daya rangsang sangat tinggi
Morrisan, Media Penyiaran: Strategi Mengelola Radio dan Televisi, Ramdina Prakasa, Jakarta, 2005, hal. 9
16
Elektris
Biaya sangat mahal
Daya jangkau besar
(Sumber: Morrisan, Media Penyiaran: Strategi Mengelola Radio dan Televisi)
Televisi dan film yang bersifat audio visual (dapat didengar dan dilihat) inilah yang memiliki pengaruh yang sangat kuat dibandingkan media lain, karena menggunakan dua indra yaitu mata dan telinga.
2.1.6 Efek Komunikasi Massa De Fleur dengan teorinya “Cultural Norm” ini beranggapan bahwa media tidak hanya memiliki efek langsung terhadap individu tetapi juga mempengaruhi kultur, pengetahuan kolektif, dan norma serta nilai-nilai dari suatu masyarakat.19 Pada model psikodinamik, efek adalah sesuatu yang diinginkan oleh pengirim pesan berlangsung secara singkat (segera dan sementara), berkaitan dengan perubahan sikap, informasi dan prilaku pada individu dan tanpa melalui media, sedangkan proses efek yang sebaliknya berlangsung dalam waktu lama, umumnya tidak terencana, lebih bersifat langsung dan kolektif. Dengan demikian, mengacu pada hal-hal seperti sosialisasi, transmisi dan dukungan terhadap nilainilai sosial, kecenderungan media menyiratkan ideologi tertentu, pembentukan situasi pendapat umum, perbedaan distribusi, perubahan jangka panjang budaya, bahkan struktur masyarakat.20
19 20
Sasa Djuarsa Sendjaja, Op.cit., hal. 5.24 Ibid
17
2.2 Media Massa 2.2.1 Televisi Sebagai Media Massa Media televisi merupakan media yang dapat mendominasi komunikasi massa, karena sifatnya yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan khalayak.21 Televisi memiliki kelebihan dari media massa lain, yaitu bersifat audio visual (didengar dan dilihat), dapat menggambarkan kenyataan dan langsung dapat menyajikan peristiwa. Kekurangan dari televisi diantaranya adalah tidak menguasai waktu.22 Artinya, siaran tidak dapat dilihat kembali (tidak menguasai waktu). Dari kekurangan tersebut maka pesan diterima secara cepat dengan interpretasi masing-masing. Secara umum, dikenal tiga tipe media televisi yang dipilah berdasarkan karakteristiknya, yaitu:23 1. Televisi Publik (Public TV-Broadcasting) 2. Televisi Komersial (Commercial TV-Broadcasting) 3. Televisi Pendidikan (Educational TV-Broadcasting) Masing-masing tipe media ini memberikan penekanan yang spesifik atas fungsi tertentu. Secara umum, setiap media audio visual dituntut untuk mampu memberi hiburan, tetapi televisi publik memberi penekanan pada penyebaran informasi dan realitas sosial, televisi komersial pada fungsi hiburan, dan televisi pendidikan pada materi faktual-idealistis (pendidikan dan pengajaran) Isi siaran televisi dapat diwujudkan dalam berbagai program. Diotak-atik apapun namanya, diberi label rubrik apa pun, seluruh materi media massa pada dasarnya dapat digolongkan dalam dua macam, yaitu faktual dan fiksional. Kedua 21
Elvinaro Ardianto, Op.cit., hal. 40 Morisan, Jurnalistik Televisi Mutakhir, Ramdina Prakasa, Jakarta, 2004, hal. 6 23 Siregar Ashadi, Menyingkap Media Penyiaran, LP3Y, Yogyakarta, 2001, hal. 15 22
18
tipe materi ini diwujudkan dalam berbagai format, masing-masing memiliki sifat yang berbeda. Secara ringkas, dapat dijabarkan sebagai berikut:24 1. Materi faktual berasal dari dunia empiris, sosiologi, bersifat objektif, dan sebagai penyampaian informasi. 2. Materi fiksional berasal dari dunia humanities psikologis, bersifat subjek, dan berfungsi sebagai hiburan.
2.2.2 Media Massa dan Anti Korupsi United Nations Educational Scientific And Cultural Organization (UNESCO), menyerukan media massa memainkan peran sebagai "pendorong pemberantasan korupsi". Seruan ini layak diperhatikan para praktisi maupun akademisi media massa, karena tampaknya lembaga PBB itu kini menemukan paradigma baru bagi media massa negara berkembang. UNESCO pula yang empat dekade lalu gencar mempromosikan paradigma "media pembangunan nasional" sehingga buku Mass Media and National Development karya Wilbur Schramm (1964) dapat disebarluaskan sebagai "kitab suci" bagi para perancang kebijakan media massa dan pengajar komunikasi massa di negara-negara berkembang. Dengan peran sebagai "pendorong pemberantasan korupsi", media massa menganut paradigma civil society demi perwujudan good governance bagi pemerintahan, badan, dan lembaga publik, maupun organisasi perusahaan. Korupsi tidak hanya merupakan tindak penyelewengan ekonomikeuangan, tetapi juga penyalahgunaan public trust. Akibatnya korupsi tidak hanya menggerogoti ekonomi keuangan negara, tetapi juga menciptakan krisis kepercayaan masyarakat nasional maupun internasional. Krisis kepercayaan 24
Ibid
19
nasional akhirnya tidak dapat dikurung dalam tembok ekonomi keuangan, karena dengan cepat merambah jauh ke public sphere, khususnya interaksi politik dan komunikasi. Bahkan di tengah masyarakat muncul semacam kecemasan dan keresahan massa, sikap skeptis, sinis, dan kecurigaan pada pemerintah, yang dinilai tidak cekatan menangani korupsi. Dalam hubungan internasional, dampak ini langsung terasa terutama dalam sulitnya memperoleh dana investasi dan sulitnya mempertahankan apalagi meningkatkan hubungan perdagangan dan ekonomi antarnegara. Citra dan reputasi bangsa jatuh, sehingga selalu menduduki peringkat "sangat tinggi" dalam korupsi. Dalam krisis sosial-ekonomi yang berkepanjangan, media massa sebagai alat komunikasi massa mempunyai peran strategis. Media massa perlu melakukan reinventing peran asasinya sebagai lembaga yang punya kredibilitas untuk membangun public trust. Media dapat menentukan agenda (agenda setting), agar peristiwa dan isu korupsi tidak pernah luput dari perhatian publik dan akhirnya dilupakan dan dimaafkan begitu saja. Selain itu, laporan yang beruntun dan teratur akan mendorong lembaga-lembaga pemerintah untuk cepat bertindak. Selanjutnya, mengikuti dan melaporkan perkembangan penanganan kasus korupsi oleh pihak-pihak berwajib, baik penegak hukum maupun politik. Dengan begitu akan diketahui, misalnya, bila pemberantasan korupsi hanya "sekadar retorika politik" alias sebatas kata-kata. Lagi pula pelaporan hasil penanganan kasus korupsi juga dapat memberi "legitimasi" dan percaya diri lembaga-lembaga bersangkutan. Akhirnya, laporan tentang pejabat dan tokoh politik yang tersangkut korupsi amat penting. Dengan begitu, kredibilitas si tokoh akan hilang dan akan "diwaspadai" dalam kiprah publiknya lebih lanjut.
20
2.3 Program Televisi Selaku penonton televisi, sering sekali kita mendengar kata program. Menurut kamus WJS Purwodarminto, program adalah acara atau tayangan. Penayangan dalam program televisi bergantung kepada profesionalisme dari team atau kru dari berbagai devisi yang terkait. Berbagai tayangan disajikan televisi, mulai dari program fiksi, non fiksi, hingga berita. Semua tersaji lengkap dan dikemas dalam bentuk yang menarik. Adapun format program televisi berdasarkan penggolongan di atas dapat dibagi menjadi beberapa format acara televisi, yaitu:25
Bagan 2.1 Format Acara Televisi FORMAT ACARA TELEVISI
Timeless & Imajinatif
DRAMA (FIKSI)
Timeless & Faktual
Dokudrama Opera Musikal Reality Show
NON DRAMA (NON FIKSI)
Faktual & Aktual
Infotainment Sportainment
BERITA/ NEWS
- Tragedi
- Musik
- Feature
- Aksi
- Magazine Show
- Sport
- Komedi
- Talk Show
- News
- Cinta
- Variety Show
- Legenda
- Pepackaging
- Horor
- Games Show - Kuis
(Sumber: Naratama, Menjadi Sutradara Televisi)
25
Naratama, Menjadi Sutradara Televisi, (PT. Grasindo, Jakarta, 2006), hal. 64-65
21
Berdasarkan bagan di atas maka, format acara televisi dapat dibagi menjadi 3 bagian diantaranya adalah: 1. FIKSI (Drama) adalah sebuah format acara televisi yang diproduksi dan diciptakan melalui proses imajinasi kreatif dari kisah-kisah drama atau fiksi yang direkayasa dan dikreasi ulang. Format yang digunakan merupakan interpretasi kisah kehidupan yang diwujudkan dalam suatu runtutan cerita dalam sejumlah adegan. Adegan menggabungkan realitas kehidupan nyata dengan fiksi atau imajinasi khayalan para kreatornya. Contoh: Drama percintaan (love story), Tragedi, Horor, Komedi, Legenda, Aksi (action), dan sebagainya. 2. NON FIKSI (Non Drama), adalah sebuah format acara televisi yang diproduksi dan dicipta melalui proses pengolahan imajinasi kreatif dari realitas kehidupan sehari-hari tanpa harus menginterpretasi ulang dan tanpa harus menjadi dunia khayalan. Non drama bukanlah sebuah runtutan cerita fiksi dari setiap pelakunya. Untuk itu, format-format program acara Non Drama merupakan sebuah runtutan pertunjukan kreatif yang mengutamakan unsur hiburan yang dipenuhi dengan aksi, gaya dan musik. Contoh: Talkshow, Konser musik, dan Veriety show. 3. BERITA dan OLAH RAGA adalah sebuah format acara televisi yang diproduksi berdasarkan informasi dan fakta atas kejadian dan peristiwa yang berlangsung pada kehidupan masyarakat sehari-hari. Format ini memerlukan nilai-nilai faktual dan aktual yang disajikan dengan ketepatan dan kecepatan waktu di mana dibutuhkan sifat liputan yang independen. Contoh: Berita Ekonomi, Liputan Siang, dan Liputan Olah Raga.
22
2.4 Editorial Editorial menurut William L. Rivers, Bryce McIntyre, dan Alison Work dalam bukunya Editorial, merupakan “Pikiran sebuah institusi yang diuji di depan sidang pendapat umum, atau penyajian fakta dan opini yang menafsirkan beritaberita yang penting dan mempengaruhi pendapat umum.”26 Sedangkan tajuk rencana, menurut Kurniawan Junaedhi dalam Ensiklopedi Pers Indonesia, adalah “karangan pokok dalam penerbitan pers, yang memaparkan visi maupun opini penerbitan pers yang bersangkutan dan lazimnya membawakan pendapat penerbitan pers itu.”27 Editorial Media Indonesia pada dasarnya merupakan tajuk sebuah surat kabar yang memaparkan pandangan, pikiran, impresi, dan kritisi redaksi terhadap beragam peristiwa yang dikonstruksi untuk menghasilkan sebuah titik pandang dan kemudian ditampilkan ke tengah-tengah publik. Dengan bersenerginya Media Indonesia dan Metro TV, memungkinkan daya jangkau editorial Media Indonesia yang jauh lebih massif (menjangkau khalayak yang jauh lebih luas) dibandingkan sebelumnya, yang hanya disiarkan di Harian Umum Media Indonesia. Tentunya hal ini tidak menjadikan editorial Media Indonesia harus bersusah payah beradaptasi dengan media elektronik, karena editorial Media Indonesia selain enak dibaca juga merupakan teks audio visual, sehingga tidak perlu dibuatkan naskah khusus untuk editorial Media Indonesia yang ditayangkan di Metro TV. Tampilnya editorial di Media Indonesia dan Metro TV, merupakan perpaduan dari dua medium untuk menawarkan kepada publik suatu sudut 26
William L. Rivers, Bryce McIntyre, Alison Work, Editorial, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 8 27 Kurniawan Junaedhi, Ensiklopedi Pers Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991), hal. 261
23
pandang dan pemaknaan akan peristiwa-peristiwa besar dan aktual. Dalam format televisi, kekuatan editorial media Indonesia bersifat persuasif, artinya apa yang disajikan dalam bentuk editorial, secara perlahan dapat mempengaruhi kognitif khalayak. Bernard Hennessy memberikan definisi Pendapat dalam bukunya yang berjudul Pendapat Umum sebagai, “Pandangan yang dilahirkan hal yang dipermasalahkan atau peka untuk dipermasalahkan.”28 Pendapat umum dibedakan dari pendapat pribadi berdasarkan jumlah orang yang terlibat dalam persoalan yang dipermasalahkan. Sedangkan pendapat umum secara spesifik dapat diartikan sebagai kompleks preferensi yang dinyatakan sejumlah orang tertentu mengenai isu yang menyangkut kepentingan umum. Selanjutnya, Bernard Hennessy mengemukakan bahwa terdapat lima faktor penting yang mempengaruhi pendapat umum, yaitu: 1. Adanya isu Harus terdapat konsensus yang sesungguhnya bahwa pendapat umum berkumpul disekitar suatu isu (issue). 2. Hakikat masyarakat Harus ada kelompok orang yang dapat dikenal yang berkepentingan dengan persoalan tersebut. 3. Kompleks preferensi pada masyarakat Totalitas pendapat para anggota masyarakat tentang suatu isu 4. Ekspresi pendapat Ekspresi berbagai pendapat yang menumpuk disekitar suatu isu.
28
Bernard Hennesy, Pendapat Umum, (Jakarta: Erlangga, 1990), hal. 103
24
5. Jumlah orang yang terlibat Besarnya masyarakat yang menaruh perhatian terhadap isu tersebut.29
Pendapat umum berawal dari pendapat individu. Pernyataan pandangan tentang persoalan oleh sejumlah orang kemudian menjadi pendapat umum, hanyalah mungkin bila banyak individu mempunyai preferensi (bagaimanapun bentuknya) sehingga mereka mampu dan bersedia mengumumkannya. Selama masa perkembangannya, pers memiliki peranan paling kuat dan paling berpengaruh dalam pembentukan pendapat umum, dapat dilihat dari, apa yang dianggap berita menurut kebijakan redaksi tersebut, cara menyajikan dan menonjolkan suatu berita (berita biasa atau luar biasa), dan watak tajuk rencananya. Seperti kita ketahui bahwa editorial atau tajuk rencana merupakan bagian dari opini redaksi (desk opinion), seperti diungkapkan oleh Dja’far H. Assegaf dalam bukunya jurnalistik Masa Kini, yang dikutip oleh Drs. Totok Djuroto, M.Si. dalam bukunya Manajemen Penerbitan Pers, “tajuk rencana merupakan pernyataan mengenai fakta dan opini secara singkat, logis, menarik ditinjau dari segi penulisan dan bertujuan mempengaruhi pendapat atau memberikan interpretasi terhadap suatu berita yang menonjol sebegitu rupa, sehingga bagi kebanyakan pembaca surat kabar akan menyimak pentingnya arti berita yang ditajukkan.”30 Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa sebuah Pendapat (editorial) dapat mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain. Dalam ruang lingkup yang lebih luas lagi dapat dikatakan bahwa, pendapat dapat dijadikan 29 30
Ibid, hal. 4 Drs Totok Djuroto, M.S.i., Manajemen Penerbitan Pers, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 78
25
sebagai sarana atau alat propaganda untuk memberikan interpretasi terhadap sebuah permasalahan yang tengah terjadi di masyarakat, misalnya saja, isu korupsi yang dilakukan oleh anggota legislatif.
2.5 Tema Korupsi di Media Massa Tema korupsi memang bukan barang baru di telinga kita. Di televisi hampir tiap hari kita dijejali dengan isu korupsi. Sementara di koran, baik lokal maupun nasional juga disuguhi dengan kasus-kasus yang memuakkan ini. Korupsi merupakan masalah komplek yang saling berkait. Ia tidak berdiri sendiri melainkan saling kait mengait antara bidang yang satu dengan yang lainnya. Misalnya, tumbuhnya korupsi disebabkan oleh keadaan ekonomi yang rendah. Ekonomi yang rendah diakibatkan oleh lemahnya pendidikan. Lemahnya pendidikan menyebabkan miskinnya kesadaran akan hukum, dan lain sebagainya. Diantara rantai itu, yang tidak bisa dinafikan adalah peran pers atau jurnalisme. Pers diakui oleh banyak orang adalah salah satu pilar dalam pemberantasan korupsi. Karena itulah dalam penyelesaian korupsi tidak hanya supremasi hukum yang harus ditegakan. Pers pun punya tugas dan andil yang cukup significant. Pemberitaan-pemberitaan di televisi, koran, dan media massa lainnya tentu sangat berperan penting dalam pemberantasan korupsi. Sebuah berita yang jujur disertai data-data akurat bisa menggiring opini publik. Kedua itu bisa memotivasi aparat untuk bertindak. Sebuah proses jurnalistik tersembunyi yang memiliki tugas khusus untuk mencari, mengumpulkan dan mengurai benang kusut korupsi. Kemudian
26
menyebarkan informasi kepada masyarakat luas sehingga bisa mendongkel akarakar korupsi dan menggiringnya ke dalam jeruji besi. Definisi tema adalah merujuk pada sesuatu hal yang dibahas, sedangkan korupsi berasal dari (bahasa Latin: corruptio atau corruptus = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis corruption, dalam bahasa Belanda korruptie, selanjutnya dalam bahsa Indonesia dengan sebutan korupsi.31 Menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut: 1. Perbuatan melawan hukum 2. Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. 3. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya: memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan), penggelapan dalam jabatan, pemerasan dalam jabatan, ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara) 4. Menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
31
Andi Hamzah, Korupsi: Dalam Pengelolaan Proyek Pembangunan, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985), hal. 2-3
27
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah/pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. Pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit "Virus Korupsi" yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA (yang katanya korup) serta melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama.
2.6 Konstruksi Realitas Media Menurut Berger, “realitas tidak dibentuk secara alamiah, tetapi sebaliknya dibentuk dan dikonstruksi.”32 Dengan pemahaman semacam ini, realitas berwajah ganda/plural. Setiap orang mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Seberapa hasil dari konstruksi sosial maka realitas tersebut merupakan realitas subjektif dan realitas objektif.33 Dalam realitas subjektif, realitas tersebut menyangkut makna, interpretasi dan hasil antara individu dengan objek. Setiap individu memiliki latar belakang,
32 33
Eriyanto, Op.cit., hal. 15 Ibid, hal. 16
28
pengetahuan, dan lingkungan yang berbeda, yang bisa jadi menghasilkan penafsiran yang berbeda pula ketika melihat dan berhadapan dengan objek.34 Berita atau informasi yang disampaikan bukanlah realitas murni melainkan informasi yang kita lihat dan dengar merupakan hasil dari konstruksi pekerja media, bukan kaidah baku. Semua proses konstruksi (mulai dari memilih fakta, sumber, pemakaian kata, gambar, sampai penyuntingan) memberi andil bagaimana realitas tersebut hadir di hadapan khalayak. Terdapat tiga tindakan yang dilakukan oleh pekerja media ketika melakukan konstruksi realitas yang berujung pada pembentukan makna, diantaranya:35 1. Simbol atau pemilihan kata Simbol dalam suatu tayangan baik itu melalui kata-kata atau visual merupakan
hasil
konstruksi
media
massa
dalam
melabeli
atau
menggambarkan tayangan tersebut. 2. Pembingkaian (framing) Sebuah realitas disederhanakan melalui pembingkaian. Sehingga hanya menonjolkan satu sisi saja yang dianggap penting atau sesuai dengan konsep tayangan tersebut. 3. Penyedian ruang atau waktu untuk sebuah peristiwa Media memberikan perhatian pada suatu isi untuk dibahas, pemberian solusi dalam sebuah tayangan atau program seperti berita.
34 35
Ibid Alex Sobur, Analisis Teks Media (Analisis Teks media, Suatau Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing) Rosdakarya, Bandung, 2002, hal. 166
29
Dalam
merekonstruksi
suatu
realitas,
pekerja
media
cenderung
menyertakan pengalaman serta pengetahuannya yang sudah mengkristal menjadi skema interpretasi. Sehingga media membatasi atau menyeleksi, menafsirkan, memberi porsi yang berbeda terhadap tafsir atau perspektif yang muncul dalam suatu tayangan atau wacana.36 Jadi, isi media adalah hasil para pekerja media mengkonstruksi berbagai realitas yang dipilihnya. Dalam proses konstruksi realitas, bahasa (teks) adalah unsur utama. Ia merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah alat konseptualisasi dan alat narasi. Begitu pentingnya bahasa, maka tak ada berita, cerita, ataupun ilmu pengetahuan tanpa bahasa. Selanjutnya, penggunaan bahasa (symbol) tertentu menentukan format narasi dan makna tertentu. Dari pernyataan tersebut dapat dicermati, semua media massa pada dasarnya menggunakan bahasa, baik verbal (kata-kata tertulis atau lisan) maupun bahasa non-verbal (gambar, foto, gerak-gerik, grafik, dan lain-lain). Keberadaan bahasa (teks) tidak lagi sebagai alat semata untuk menggambarkan sebuah realitas melainkan menentukan gambaran (makna citra) mengenai suatu realitas yang akan muncul di benak khalayak. Penggunaan bahasa tertentu, berimplikasi pada bentuk konstruksi realitas dan makna yang dikandungnya. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas ikut menentukan struktur konstruksi realitas dan makna yang muncul darinya. Peran media sangat penting karena menampilkan sebuah cara dalam memandang realitas. Media memainkan peran dalam mempengaruhi budaya tertentu melalui penyebaran informasi. Dengan demikian, jelas bahwa media tidak bisa dianggap netral dalam menyajikan jasa informasi dan hiburan bagi khalayaknya. 36
Ibid
30
2.7 Dominasi dan Hegemoni1 Dominasi dan hegemoni adalah dua konsep penaklukan kesadaran masyarakat supaya tidak melawan kepentingan pemilik modal. Dominasi merupakan penaklukan secara keras dengan menggunakan kekuatan koersi (memaksa) seperti pengadilan, kepolisian, dan militer. Sedangkan hegemoni adalah penaklukan halus yang menghasilkan kepatuhan kelas (yang sebenarnya ditindas) lewat kekuatan ideologis seperti pendidikan dan media massa. Hegemoni merupakan terminologi penting yang digunakan Gramsci (1971) dalam bukunya yang terkenal Selection from the Prison Notebooks. Bagi Gramsci, hegemoni (dalam bahasa Italia egemonia atau hadirnya kekuasaan adalah cara yang kuat atau kehadiran dimana-mana (omnipresense) sesuatu secara penuh. Dan baginya, konsep hegemoni secara normal meliputi kepemimpinan sekaligus dominasi. Lebih jauh, teori Hegemoni Gramsci menekankan bahwa dalam lapangan sosial ada pertarungan untuk memperebutkan penerimaan publik. Karena pengalaman sosial kelompok subordinat (apakah oleh kelas, gender, ras, umur, dan sebagainya) berbeda dengan ideologi kelompok dominanan. Oleh karena itu, perlu usaha bagi kelompok dominan untuk menyebarkan ideologi dan kebenarannya tersebut agar diterima, tanpa perlawanan. Salah satu kunci dalam strategi hegemoni adalah nalar awam (common sense). Jika ide atau gagasan dari kelompok dominan/berkuasa diterima sebagai sesuatu common sense (jadi tidak didasarkan pada kelas sosial), kemudian ideologi itu diterima, maka hegemoni telah terjadi.
1
Feni Fasta, Kontestasi Antara Kepemilikan Silang Dengan Isi Pemberitaan Media Massa, Jakarta, Tesis, 2006
31
Hegemoni bekerja melalui konsensus ketimbang upaya penindasan satu kelompok terhadap kelompok lain. Salah satu kekuatan hegemoni adalah bagaimana ia menciptakan cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang dianggap benar, sementara wacana lain dianggap salah. Ada suatu nilai atau konsensus yang dianggap memang benar, ketika ada cara pandang atau wacana lain dianggap tidak benar. Media di sini secara tidak sengaja dapat menjadi alat bagaimana nilai-nilai atau wacana yang dipandang dominan itu disebarkan dan meresap dalam benak khalayak sehingga menjadi konsensus bersama (Eriyanto: 2003).
2.8 Konsep Framing William A. Gamson dan Andre Modigliani1 Gagasan Gamson mengenai frame media ditulis bersama Andre Modigliani. Sebuah frame, mempunyai struktur internal. Pada titik ini ada sebuah pusat organisasi atau ide, yang membuat peristiwa menjadi relevan dan menekankan
suatu
isu.
Sebuah
frame
umumnya
menunjukkan
dan
menggambarkan range posisi, bukan hanya satu posisi. Dalam formula yang dibuat Gamson dan Modigliani, frame dipandang sebagai cara bercerita (story line) atau gugusan ide-ide yang tersusun sedemikan rupa dan menghadirkan konstruksi makna dari peristiwa yang berkaitan dengan suatu wacana. Gamson melihat wacana media (khususnya berita) terdiri atas sejumlah kemasan (package) melalui mana konstruksi atas suatu peristiwa dibentuk. Kemasan itu merupakan skema atau struktur pemahaman
1
yang dipakai oleh seseorang ketika
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, LKIS, Yogyakarta, 2002, hal. 223-224
32
mengkonstruksi pesan-pesan yang dia sampaikan, dan menafsirkan pesan yang dia terima. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menseleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, dan hendak dibawa ke mana berita tersebut. Gamson dan Modigliani menyebut cara pandang itu sebagai kemasan (package). Menurut mereka, frame adalah cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Apakah yang dimaksud dengan kemasan (package)? Kemasan (package) adalah rangkaian ideide yang menunjukkan isu apa yang dibicarakan dan peristiwa mana yang relevan. Package adalah semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima.
33
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tipe Penelitian Tipe penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif adalah melukiskan secara sistematis fakta dan karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat.37 Penelitian deskriptif ini hanya memaparkan situasi suatu peristiwa.38 Pendekatan kualitatif adalah menjelaskan fenomena dengan sedalamdalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Pendekatan ini tidak mengutamakan besarnya populasi, atau samplingnya terbatas, tetapi kedalaman penjelasan suatu fenomena. Jadi yang ditekankan dalam penelitian ini adalah persoalan kedalaman (kualitas) data, bukan banyaknya (kuantitas) data.39
3.2. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode analisis framing. Analisis framing adalah analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media. Pembingkaian tersebut tentu saja melalui proses konstruksi. Di sini realitas sosial dimaknai dan dikonstruksi dengan makna tertentu.40 Formulasi yang dibuat Gamson dan Modigliani, framing dipandang sebagai cara bercerita (storyline) atau gagasan ide-ide yang tersusun sedemikian 37
Jalaludin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung 2004, hal. 22 38 Ibid, hal. 24 39 Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 50 40 Eriyanto, Op.cit, hal. 3
33
34
rupa dan menghadirkan konstruksi makna dari peristiwa yang berkaitan dengan suatu wacana.41 Jelasnya, cara pandang yang akhirnya menentukan fakta apa saja yang diambil. Bagian mana yang ditonjolkan, dihilangkan dan hendak dibawa kemana sebuah tayangan tersebut, oleh Gamson dan Modigliani disebut sebagai package (kemasan). Package adalah semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk menafsirkan makna pesan yang ia terima.42
3.3. Teknik Pengumpulan Data 3.3.1 Data Primer Dalam penelitian ini, data dikumpulkan secara langsung dari dokumentasi audio visual program “Editorial Media Indonesia” periode April 2008 mengenai tema korupsi di Legislatif.
3.3.2 Data Sekunder Data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan yaitu mengumpulkan data melalui literatur yang berhubungan dengan penelitian ini, seperti buku, kamus, website, dan lain-lain.
3.4. Unit Analisis Unit analisis dalam penelitian ini adalah teks. Teks tersebut adalah Editorial Media Indonesia yang berisi audio maupun visual. Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah program “Editorial Media Indonesia” periode
41 42
Rachmat Kriyantono, Op.cit, hal. 255 Eriyanto, Op.cit, hal. 224
35
April 2008. Pendekatan dari perhatian khalayak yang antusias merupakan alasan pemilihan tema korupsi di legislatif menjadi penelitian. Langkah ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa dalam penelitian kualitatif jumlah sampel tidaklah menjadi hal yang penting, namun lebih kepada kebutuhan seperti yang dikatakan oleh Rachmat Kriyantono yang mengatakan bahwa penelitian kualitatif tidak mengutamakan besarnya populasi atau samplingnya terbatas, tetapi kedalaman penjelasan suatu fenomena. Jadi, yang ditekankan dalam penelitian ini adalah persoalan kedalaman (kualitas) data, bukan banyaknya (kuantitas) data.43
3.5. Definisi Konsep Definisi konsep dalam penelitian ini adalah: Tabel 3.1 Definisi Konsep No. 1
Konsep Konstruksi Realitas
Definisi Proses yang dimulai ketika seorang konstruktor melakukan objektivasi terhadap suatu kenyataan yakni melakukan persepsi terhadap suatu objek. Selanjutnya, hasil pemaknaan melalui proses persepsi itu diinternalisasikan ke dalam diri seorang konstruktor. Dalam tahap inilah dilakukan konseptualisasi terhadap suatu objek yang dipersepsi. Langkah terakhir adalah melakukan eksternalisasi atas hasil dari proses
43
Rachmat Kriyantono, Op.cit, hal. 58
36
permenungan secara internal tadi melalui pernyataan-pernyataan. Alat membuat pernyataan tersebut tidak lain adalah kata-kata, konsep atau bahasa. 2
Korupsi
Perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
3
Legislatif
Badan deliberalatif pemerintah dengan kuasa membuat hukum dan undang-undang. Legislatif dikenal dengan beberapa nama, yaitu parlemen, kongres, dan asembli nasional. Dalam sistem parlementer, legislatif adalah badan tertinggi dan menunjuk eksekutif. Dalam sistem presidensil, legislatif adalah cabang pemerintahan yang sama, dan bebas dari eksekutif. Legislatif juga menetapkan hukum, menaikan pajak, dan menerapkan budget dan pengeluaran uang lainnya. Legislatif juga kadangkala menulis perjanjian dan memutuskan perang.
37
3.6. Fokus Penelitian Berdasarkan tema-tema korupsi pada program editorial Media Indonesia di Metro TV periode April 2008, maka penelitian ini berfokus pada episodeepisode sebagai berikut: 1. Tanggal 10 April 2008 ( Judul: Madat Korupsi di DPR) 2. Tanggal 13 April 2008 (Judul: Slank dan Reaksi DPR) 3. Tanggal 14 April 2008 (Judul: Pengembalian Uang Yang Layak Dipujikan) 4. Tanggal 25 April 2008 (Judul: Sikap Defensif Ketua DPR) 5. Tanggal 29 April 2008 (Judul: Pelajaran Hukum Untuk DPR)
3.7. Teknik Analisis Data Setelah peneliti memperoleh data dari dokumentasi program “Editorial Media Indonesia”, kemudian diteliti berdasarkan kategori-kategori yang telah dibuat. Lalu data yang dihasilkan dibuat tabulasi dan diinterpretasi. Secara teknis peneliti menggunakan teknik framing, untuk membingkai beberapa tema dari program “Editorial Media Indonesia” priode April 2008. Tema yang menjadi penelitian adalah masalah korupsi. Perangkat analisis framing yang digunakan adalah model William A. Gamson dan Andre Modigliani. Analisis framing merupakan salah satu model analisis alternatif yang bisa mengungkapkan rahasia di balik perbedaan, bahkan pertentangan media dalam pengungkapan fakta. Analisis framing membongkar bagaimana realitas dibingkai oleh media. Melalui analisis framing akan dapat diketahui siapa mengendalikan siapa, mana lawan mana patron mana klien, siapa diuntungkan dan siapa dirugikan, siapa membentuk dan siapa yang dibentuk, dan seterusnya.
38
Konsep framing Gamson dan Modigliani terdiri dari dua perangkat analisis pokok, yaitu dengan tabel sebagai berikut:44
Tabel 3.2 Framing Gamson dan Modigliani Frame Central organizing idea for making sense of relevant events, sugegesting what is at issues (Seperangkat gagasan atau ide sentral ketika seseorang atau media memahami dan memaknai suatu isu) Framing Devices Reasoning Device (Perangkat Framing) (Perangkat Penalaran) Methapors Perumpamaan atau pengandaian.
Roots Analisis kausal atau sebab akibat.
Catchphrases Appeals to principle Frase yang menarik, kontras, menonjol Premis dasar, klaim-klaim moral. dalam suatu wacana, ini umumnya berupa jargon atau slogan. Exemplaar Consequences Mengaitkan bingkai dengan contoh, Efek atau konsekuensi yang didapat uraian (bisa teori, perbandingan) yang dari bingkai. memperjelas bingkai. Depiction Penggambaran atau pelukisan suatu isu yang bersifat konotatif. Depiction ini umumnya berupa kosakata, leksikon untuk melabeli sesuatu. Visual Images Gambar, grafik, citra yang mendukung bingkai secara keseluruhan. Bisa berupa foto, kartun ataupun grafik untuk menekankan dan mendukung pesan yang ingin disampaikan. (Sumber: Eriyanto, Analisis Framing)
44
Eriyanto, Op.cit, hal. 225
39
BAB IV HASIL PENELITIAN
4. 1 Gambaran Perusahaan1 4. 1.1 Editorial Media Indonesia Editorial Media Indonesia dapat dikatakan sebagai penerus rubrik “Selamat Pagi Indonesia” (SPI) dalam harian ekonomi Prioritas, yaitu sebuah harian di Jakarta yang terbit perdana pada 2 Mei 1986 dan diberangus oleh pemerintah Orde Baru pada 29 Juni 1987. Trio yang memimpin harian Prioritas yaitu, Surya Paloh sebagai Pemimpin Umum, Panda Nababan sebagai Wakil Pemimpin Umum, dan Nasrudin Hars sebagai Pemimpin Redaksi, memutuskan untuk membuka rubrik SPI dengan menampilkannya di halaman depan. Ditulis dengan bahasa yang lugas dan penuh humor. Terlalu kuatnya pembatasan rezim Orde Baru terhadap kiprah pers pada masa itu ternyata merupakan aspek paling subtansial dibalik apa yang disebut dengan “Pers Pancasila”. Situasi umum yang dibentuk oleh efektifnya dokrin pers Pancasila adalah haramnya pencampuradukkan antara news dan opini. Ini berarti, surat kabar disudutkan pada sebuah ruang sempit untuk tidak mengintegrasikan opini kedalam berita. Tajuk rencana juga tidak berfungsi sebagai wahana penyampaian kritik. Pada dekade 1980-an, sebagian besar tajuk rencana berisi dukungan dan pujian terhadap kebijakan pemerintah. Semua ini mengkondisikan lahirnya situasi yang ambigu dalam konstruksi SPI. Disatu pihak, kritik SPI mustahil dilakukan secara point to point, mengingat kemungkinan terjadinya
1
Ashadi Siregar, Politik Editorial Media Indonesia: Analisis Tajuk Rencana 1998-2001, LP3ES, Jakarta, 2003
39
40
benturan yang tajam dengan rezim kekuasaan. Namun di lain pihak, SPI diharapkan oleh pengasuhnya untuk tetap mengusung kritisisme. Maka, penulisan dengan bahasa yang lugas dan penuh humor merupakan siasat demi mengatasi ambigu itu. Dewasa ini publik pembaca Media Indonesia mengenal Editorial sebagai sebuah format tajuk rencana yang lugas, dan terus terang namun tak kehilangan estetika penulisan, semua itu tak pernah bisa dilepaskan dari proses evolusi dimaksud. Sebagai cikal bakal dari kelugasan dan keterusterangan yang inheren dengan Editorial Media Indonesia sekarang. Kelugasan dan keterusterangan pada Editorial Media Indonesia mengalami empat fase evolusi. Fase pertama, kelugasan dan keterusterangan muncul dalam SPI harian Prioritas yang tidak secara gamblang dideklarasikan sebagai tajuk rencana. Pada fase kedua, kelugasan dan keterusterangan muncul pada rubrik “Selamat Pagi Republik” (SPR) di harian Media Indonesia pada era Orde Baru. Metode dialogis dalam penulisan SPR sama dengan cara penulisan SPI. Pada fase ketiga, kelugasan dan keterusterangan tajuk rencana Media Indonesia selam era Orde Baru muncul dalam format Editorial. Pada fase ini metode penulisan yang bersifat dialogis telah digantikan oleh model penulisan tajuk rencana pada umumnya. Pada fase keempat, kelugasan dan keterusterangan muncul pada pasca Orde Baru, dimana pada masa itu sudah terbebaskan dari kendala politik dan psikologis. Jika dilihat secara keseluruhan proses evolusi itu, kelugasan dan keterusterangan sengaja dijadikan icon realisasi cita-cita kebebasan berpendapat dalam konteks Indonesia, dengan tajuk rencana sebagai wadah manefestasinya. Dengan demikian berarti, tajuk rencana diarahkan untuk menjalankan peran restorasi tradisi kebebasan berpendapat.
41
Gagasan yang melandasi SPI kemudian diartikulasikan sebagai ide dasar yang mewarnai Editorial Media Indonesia. Sebagai antikuitas, SPI tamat riwayatnya bersamaan dengan pemberangusan Prioritas. Tetapi gagasan yang menjadi landasan pokok kemunculan SPI diusung ke Media Indonesia melalui Editorial. Hanya saja, transformasi itu tak menghasilkan Editorial yang secara mentah-mentah menduplikasi SPI. Editorial, bagaimanapun adalah penamaan lain dari tajuk rencana, sebuah nomenklatur yang lazim dipergunakan oleh surat-surat kabar nasional untuk mengekspresikan pandangan resmi pengelola surat kabar. Jika berbagai rubrikasi dalam surat kabar merupakan ruang publik, tak demikian halnya dengan editorial atau tajuk rencana. Editorial atau tajuk rencana itu merupakan ruang privat bagi pengelola surat kabar, dan di situlah pandangan resmi pengelola surat kabar dicetuskan ke kancah publik pembaca. Dengan demikian, editorial tetap berfungsi sebagai tajuk rencana dengan mengadopsi logika penulisan SPI, yaitu; lugas, satir namun membuang aksentuasi yang bersifat dialog antara dua orang. Tatkala proses metamorfosis SPI menuju editorial bergerak kian jauh sebagai trademark bagi harian Media Indonesia, terjadi peluruhan dan pengikisan secara perlahan terhadap penggunaan bahasa yang eufemistis. Dibandingkan dengan priode kekuasaan Soeharto, kini editorial tampil dengan semangat dan format anti-eufeumisme dalam maknanya yang utuh. Sebagai sebuah pilihan, peluruhan ini hendak menjangkau tujuan yang jauh lebih besar berkenaan dengan posisi editorial sebagai tajuk rencana versi Media Indonesia, yaitu menjalankan peran kritis guna mengkreasikan lahirnya civic education tentang fairness. Purifikasi editorial dari anasir eufeumisme ditonjolkan sebagai sebuah persoalan besar yang harus dipecahkan.
42
Pada perkembangan selanjutnya, kredo pembebasan diri dari kungkungan eufeumisme membawa implikasi yang sangat besar terhadap strategi kemunculan editorial dalam rubrikasi harian Media Indonesia. Mengapa tampil di halaman depan dan diberi nama “editorial” serta bukan “tajuk rencana”, seluruhnya terkait dengan kredo pembebasan diri dari eufeumisme itu. Dengan nama yang dispensible dan selalu muncul di halaman depan, timbul greget dikalangan redaksi. Dengan sendirinya, headline hadir secara bersamaan dengan editorial yang mengusung penyingkapan-penyingkapan lugas kalangan redaksi. Sebagai titik kulminasi pemberitaan dalam realitas Media Indonesia, maka headline di halaman depan tampil bersamaan dengan alternatif perspektif yang inheren dalam editorial. Dengan format tulisan singkat pada editorial setiap hari di halaman depan Media Indonesia terbentuk mosaik opsi yang mempertautkan headline dengan Editorial. Kini, di masa pasca Orde Baru, Editorial Media Indonesia benar-benar merdeka dari “penjajahan” eufeumisme bahasa. Inilah tahap paling matang dari evolusi Editorial Media Indonesia dalam perjalan historisnya. Tajuk rencana koran-koran Indonesia pada umumnya mungkin masih terpenjara ke dalam mimpi buruk represi kekuasaan Orde Baru, sehingga tak habis-habisinya mempersepsi keterus-terangan sebagai ketidaksopanan, bahkan menjadi sindroma hingga era pasca Orde Baru. Dan Media indonesia, yang telah sejak lama berjuang membunuh eufeumisme melalui SPI, akhirnya menemukan tempat dan waktu yang tepat setelah timbulnya gelombang reformasi. Ini semua memperkuat sikap non partisan, indepedensi, dan proporsionalitas (bisa memuji dalam satu hal, tetapi mengkritik dalam hal lain). Mungkin koran lain bisa melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Media Indonesia, tetapi sisi lain dari Editorial yang
43
tak dimiliki tajuk rencana koran lain adalah kelugasan, keterus-terangan dan argumentasi. Namun demikian, ternyata evolusi Editorial Media Indonesia pernah berada dalam posisi yang tak sepenuhnya mampu terbebaskan dari belenggu eufeumisme. Pada era Orde Baru, eufeumisme bekerja secara implisit untuk mempengaruhi proses konstruksi editorial. Dengan demikian berarti, konstruksi editorial tak pernah berada dalam ruang vakum. Besar kecilnya gradasi eufeumisme dalam Editorial ditentukan oleh semua konteks dalam masyarakat yang berubah.
4.1.2 Dari Media Cetak ke Televisi Ketika Surya Paloh menjadikan Metro TV sebagai medium untuk mengaudio-visualkan Editorial Media Indonesia ke dalam format deklamasi, maka tiba-tiba di masyarakat politik dan di public sphare Indonesia timbul suatu gaya, suatu penampilan tentang editorial sebagai tulisan yang dapat dipidatokan. Pengaudio-visualan memperlihatkan bahwa selain enak dibaca, Editorial Media Indonesia juga enak dipidatokan. Melalui kemunculan di Metro TV, Editorial seakan sebuah speech writing dengan warna-warni intonasi. Tanpa bisa dielakkan, setiap editorial lalu membawa serta estetika. Penelitian terhadap pilihan favorit pemirsa terhadap program acara Metro TV memperlihatkan kenyataan bahwa Editorial Media Indonesia di Metro TV menduduki peringkat ke-3 setelah headlines news dan running text. Hingga kini, tak pernah ada pengadopsian suatu metode guna mempertegas akselerasi lompatan kuantum editorial dari media cetak menuju media elektronik. Sebagaimana diketahui ada perbedaan style antara penulisan
44
untuk media cetak dan penulisan untuk media elektronik. Tetapi untuk Editorial Media Indonesia tak diperlukan lagi penulisan ulang agar dapat tampil di televisi. Editorial, dengan demikian merupakan teks untuk media cetak yang sangat kenyal untuk ditampilkan di media elektronik. Dalam menjalankan peran dan fungsinya, jajaran penulisan editorial ternyata juga tak mengubah gaya penulisan yang telah lama berjalan. Tak dibutuhkan sedikit pun kompromi agar tulisannya dapat tampil di media elektronik. Mindset semata sebagai pengelola media cetak yang harus menulis editorial hampir tak mengalami proses interupsi hingga dewasa ini. Munculnya penekanan, aksentuasi, dan lain-lain dalam pembacaan editorial yang muncul di Metro TV menafsirkan subtansi Editorial untuk kemudian diaudio-visualkan. Ini mirip dengan adaptasi sebuah novel ke dalam film. Tampilnya Editorial di Media Indonesia dan di Metro TV itu merupakan perpaduan dari dua medium untuk menawarkan kepada publik suatu sudut pandang dan pemaknaan akan peristiwa-peristiwa besar dan aktual. Surya Paloh sendiri sudah lama memikirkan kemungkinan tampilnya Editorial di televisi, bahkan jauh sebelum ia mendirikan Metro TV sebagai jaringan televisi berita. Ini karena Editorial memang memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menggugah kesadaran orang dan untuk menggugat timbulnya irasionalitas sosial maupun politik. Dalam format televisi, kekuatan itu bersifat ekspansional. Secara perlahan tapi pasti terbentuk lapisan pembaca yang mengikuti Editorial di Media Indonesia setelah sebelumnya menyaksikan Editorial di Metro TV. Dampak sinergis ini tercermin dari surat-surat pembaca yang dikirimkan ke redaksi Media Indonesia.
45
4.2 Hasil Penelitian Objek penelitian ini adalah pada periode April 2008. Berdasarkan data kolom Editorial Media Indonesia di Metro TV yang dikumpulkan oleh peneliti, ada 5 (lima) artikel yang secara eksplisit menggambarkan tentang korupsi yang terjadi di legislatif sebagai objek tulisannya.
4.2.1 Konstruksi dengan judul: Madat Korupsi di DPR Frame yang di bangun pada artikel pertama yang berjudul “Madat korupsi di DPR” adalah korupsi di DPR seperti candu yang telah menimbulkan kerugian negara.
Tidak banyak Metaphors yang bisa ditemui pada artikel ini. Perumpamaan yang hanyalah mata rantai, untuk menyatakan bahwa DPR merupakan jaringan atau bagian yang tidak terpisahkan dari segala bentuk praktik korupsi yang terjadi di Indonesia.
46
Catchphrases-nya: “DPR mulai menjelma menjadi pemadat korupsi yang sulit ditahan.” Hal ini adalah tudingan yang menonjol karena berkaitan dengan judulnya “Madat Korupsi di DPR” Perangkat selanjutnya, Exemplaar yang mempertautkan bingkai dengan contoh atau uraian yang mendukungnya. Di sini, bingkai bahwa korupsi di DPR seperti candu didukung oleh kalimat: Korupsi, suap, dan berbagai penyelewengan di kalangan pemangku otoritas negara seperti candu. Bara korupsi ibarat magma gunung berapi yang terus mencari celah di puncak untuk melampiaskan geloranya.
Depiction yang merupakan perwujudan dari penggambaran atau pelukisan suatu isu yang bersifat konotatif. Stempel dalam kalimat berikut mencontohkan itu. Koreksi atas kesalahan pemerintah Orde Baru yang memperlakukan DPR sebagai lembaga stempel telah melahirkan DPR yang superkuat sekarang ini.
Perangkat framing terakhir, visual image yang mendukung bingkai secara keseluruhan mewujud dalam: 1. Gambar papan nama Al Amin Nasution pada pintu ruang kerjanya di gedung DPR, dan dilanjutkankan dengan shot lambang Partai Persatuan Pembangunan (PPP). 2. Gambar ruang sidang anggota dewan beserta anggotanya. 3. Gambar Istana Presiden dilanjutkan dengan gambar gedung DPR yang dibentengi oleh pagar tinggi berjeruji besi. 4. Gambar tumpukan uang. 5. Gambar anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
47
Gambar papan nama Al Amin Nasution, menjelaskan bahwa anggota komisi IV DPR dari fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena transaksi penyuapan di Hotel Ritz Carlton Jakarta. Al Amin juga merupakan representasi dari sebagian besar anggota DPR, bahwa oknum-oknum anggota DPR merupakan salah satu mata rantai krusial korupsi di Indonesia. Adapun gambar ruang sidang dewan beserta anggotanya, melukiskan sekaligus mengingatkan kepada masyarakat bahwa kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR sudah sering terdengar. Paling akhir adalah dana dari Bank Indonesia sebesar Rp 36 miliar yang mengalir kelembaga tersebut, adalah komisi XI, dalam pembahasan undang-undang perbankan pada 2003. Selanjutnya gambar Istana Presiden direpresentasikan sebagai lembaga eksekutif, sedangkan gedung Dewan Perwakilan Rakyat yang dibentengi oleh pagar beruji besi dicitrakan sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan yang super kuat sekarang ini. Akibat mempunyai kewenangan yang super kuat tersebut maka, poros korupsi mulai bergeser ke DPR, dari sebelumnya di eksekutif. Gambar tumpukan uang di ilustrasikan seperti candu, dan terakhir adalah gambar anggota Komisi Pemberantasan Korupsi, yang ingin menyampaikan kepada masyarakat bahwa KPK layak di acungi jempol atas prestasi kerjanya, sekaligus memberi dukungan penuh kepada KPK untuk memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia. Ini sejalan dengan narasi yang mengatakan: KPK harus maju terus, pantang mundur. Selanjutnya, perangkat penalaran pertama, roots, yang mengindikasikan hubungan kausalitas.
48
Poros korupsi yang mulai bergeser ke DPR--dari sebelumnya di eksekutif-terjadi bersamaan dengan penguatan kewenangan lembaga itu. Ya, penguatan kewenangan lembaga tersebut dituding sebagai awal munculnya korupsi yang melibatkan anggota dewan terhormat, yang ternyata merupakan representasi dari seluruh rakyat Indonesia. Hubungan kausalitas juga terdapat pada kalimat seperti di bawah ini: Dengan mengontrol angka-angka dalam anggaran dan pasal-pasal undang-undang, anggota DPR tergoda untuk menjadi pialang-pialang yang meneror menuntut imbalan. Itulah bentuk korupsi yang marak di poros eksekutif-legislatif-korporasi. Makna
kalimat
tersebut
menyatakan,
bahwa:
dengan
penguatan
kewenangan tersebut, DPR juga dapat dengan leluasa mempermainkan pasalpasal dalam undang-undang untuk mendapatkan nilai konpensasi atas bentuk negosiasi kotor yang mereka ciptakan. Appeals to Principles, perangkat penalaran kedua, terpenuhi dengan adanya kalimat yang berbunyi: Tidak ada kata lain kecuali mengacungkan jempol terhadap KPK yang berani menangkap anggota DPR yang melacurkan integritas lembaga perwakilan rakyat. Dan, kepada DPR sebagai lembaga, janganlah melindungi anggota seperti itu kalau terbukti memeras dan menerima suap. Dan perangkat penalaran terakhir, Consequences dipenuhi dengan kalimat: DPR harus malu pada destruksi integritas yang dilakukan para anggota yang kemadatan korupsi. Opini inilah yang ingin disampaikan ketika penulisnya mengatakan bahwa, korupsi di DPR seperti candu. Agar lebih lengkap tersusun, tabel berikut akan membantu kita mendapatkannya.
49
Tabel 4.1 Framing Artikel “Madat Korupsi di DPR Frame Korupsi di DPR seperti candu Framing Devices (Perangkat Framing)
Reasoning Device (Perangkat Penalaran)
Methapors Roots Oknum-oknum anggota DPR menjadi salah 1. Poros korupsi yang mulai bergeser ke satu mata rantai krusial korupsi di DPR--dari sebelumnya di eksekutif-Indonesia sekarang ini. terjadi bersamaan dengan penguatan kewenangan lembaga itu. 2. Dengan mengontrol angka-angka dalam anggaran dan pasal-pasal undangundang, anggota DPR tergoda untuk menjadi pialang-pialang yang meneror menuntut imbalan. Itulah bentuk korupsi yang marak di poros eksekutiflegislatif-korporasi. Catchphrases Bila dulu kita mengecap korupsi sebagai budaya, kini korupsi telah berubah menjadi madat. DPR, bersamaan dengan penguatan kewenangannya, mulai menjelma menjadi pemadat korupsi yang sulit ditahan.
Appeals to principle Tidak ada kata lain kecuali mengacungkan jempol terhadap KPK yang berani menangkap anggota DPR yang melacurkan integritas lembaga perwakilan rakyat. Dan, kepada DPR sebagai lembaga, janganlah melindungi anggota seperti itu kalau terbukti memeras dan menerima suap.
Exemplaar Korupsi, suap, dan berbagai penyelewengan di kalangan pemangku otoritas negara seperti candu. Bara korupsi ibarat magma gunung berapi yang terus mencari celah di puncak untuk melampiaskan geloranya.
Consequences DPR harus malu pada destruksi integritas yang dilakukan para anggota yang kemadatan korupsi.
Depiction Koreksi atas kesalahan pemerintah Orde Baru yang memperlakukan DPR sebagai lembaga stempel telah melahirkan DPR yang superkuat sekarang ini. Visual Images 1. Gambar papan nama Al Amin Nasution pada pintu ruang kerjanya di gedung DPR, dan dilanjutkankan dengan shot lambang Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
50
2. Gambar ruang sidang anggota dewan beserta anggotanya.
3. Gambar Istana Presiden dilanjutkan dengan gambar gedung DPR yang dibentengi oleh pagar berjeruji besi.
4. Gambar tumpukan uang.
51
5. Gambar anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
4.2.2 Konstruksi dengan judul: Slank dan Reaksi DPR Frame yang di bangun pada artikel kedua dengan judul “Slank dan Reaksi DPR” dimana DPR dinilai sebagai lembaga yang anti kritik.
Adapun Metaphors yang bisa ditemui pada artikel ini merupakan perumpamaan dengan sebutan wajah tirani, untuk menyatakan bahwa DPR
52
digambarkan sebagai lembaga yang menjalankan kekuasaannya dengan sewenang-wenang. Catchphrases-nya: “Wajah itulah yang ditampilkan DPR sebagai reaksi atas kritik grup band Slank dalam lagunya Gosip Jalanan. Dalam lirik lagu itu memang disebutkan: Mau tau gak mafia di Senayan, kerjanya tukang buat peraturan, bikin UUD ujung-ujungnya duit... Kata-kata itulah yang menyulut kemarahan DPR. Lewat Badan Kehormatan DPR, mereka tadinya berencana menggugat Slank. Namun, dibatalkan bersamaan dengan tertangkapnya anggota DPR Al Amin Nasution oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (9/4) lalu, karena diduga terlibat suap.” Hal ini adalah tudingan yang menonjol karena berkaitan dengan judulnya “Slank dan Reaksi DPR” Perangkat selanjutnya, Exemplaar yang mempertautkan bingkai dengan contoh atau uraian yang mendukungnya. Di sini, bingkai bahwa DPR anti kritik didukung oleh kalimat: Reaksi DPR yang lebih menonjolkan emosi ketimbang nurani kian memperlihatkan mereka yang berkantor di Senayan itu makin menjauhkan diri dari tuntutan reformasi.
Depiction yang merupakan perwujudan dari penggambaran atau pelukisan suatu isu yang bersifat konotatif. Yes men dan lembaga paling korup dalam kalimat berikut mencontohkan itu. 1. Reformasi memang telah banyak mengubah wajah DPR. Dari semula sebagai lembaga yes man, DPR kini menjadi pusat kekuasaan paling berpengaruh. 2. Tidak mengherankan berbagai survei menempatkan DPR sebagai lembaga paling korup.
53
Pencitraan lewat visual image, dijabarkan sebagai berikut: 1. Gambar grup band Slank yang sedang bernyanyi, menggambarkan realitas yang ada di tengah-tengah masyarakat, bawasannya lirik lagu yang dibawakan Slank merupakan jeritan masyarakat. 2. Gambar gedung DPR yang dibentengi oleh pagar tinggi berjeruji besi diibaratkan DPR yang berwajah tirani dan anti kritik. 3. Gambar Al Amin Nasution ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, memperjelas bahwa memang ada mafia di senayan dan itu sesuai dengan lirik lagu yang dinyanyikan oleh grup band Slank. Dalam lirik lagu itu memang disebutkan: Mau tau gak mafia di Senayan, kerjanya tukang buat peraturan, bikin UUD ujung-ujungnya duit... Selanjutnya, perangkat penalaran pertama, roots, yang mengindikasikan hubungan kausalitas. Dengan kekuasaan yang besar minus pengawasan, DPR dengan leluasa bisa bertindak sesuka hati. Ironisnya, apa yang dilakukan DPR justru untuk memenuhi hasrat mereka sendiri. Mulai dari gaji, fasilitas, maupun tetek bengek lainnya. Semua mulus bisa diwujudkan tanpa ada hambatan dari lembaga eksekutif maupun yudikatif. Ya, dengan kekuasaan yang besar minus pengawasan lembaga tersebut bisa bertindak semau mereka termasuk praktik korupsi yang mereka jalankan. Appeals to Principles, perangkat penalaran kedua, terpenuhi dengan adanya kalimat yang berbunyi: Kritik lewat medium lagu maupun medium apa pun merupakan salah satu sumber energi yang menggerakkan roda demokrasi. Tanpa ada kritik sama artinya demokrasi telah mati. Dan perangkat penalaran terakhir, Consequences dipenuhi dengan kalimat: penangkapan anggota DPR Al Amin Nasution mencerminkan kalau lirik
54
lagu Slank benar-benar diangkat dari realitas sosial. Bahwa memang ada mafia Senayan, seperti juga masih kentalnya mafia peradilan. Opini inilah yang ingin disampaikan redaksi untuk mengatakan bahwa DPR tidak mau dikritik. Agar lebih lengkap tersusun, tabel berikut akan membantu kita mendapatkannya.
Tabel 4.2 Framing Artikel: Slank dan Reaksi DPR Frame DPR yang Anti Kritik Framing Devices (Perangkat Framing)
Reasoning Device (Perangkat Penalaran)
Methapors Dewan Perwakilan Rakyat kian lama semakin menunjukkan wajah aslinya. Bukan mengedepankan sosok demokrasi sebagai amanat reformasi, melainkan justru sebaliknya. Wajah tirani.
Roots Dengan kekuasaan yang besar minus pengawasan, DPR dengan leluasa bisa bertindak sesuka hati. Ironisnya, apa yang dilakukan DPR justru untuk memenuhi hasrat mereka sendiri. Mulai dari gaji, fasilitas, maupun tetek bengek lainnya. Semua mulus bisa diwujudkan tanpa ada hambatan dari lembaga eksekutif maupun yudikatif. Appeals to principle Kritik lewat medium lagu maupun medium apa pun merupakan salah satu sumber energi yang menggerakkan roda demokrasi. Tanpa ada kritik sama artinya demokrasi telah mati.
Catchphrases Wajah itulah yang ditampilkan DPR sebagai reaksi atas kritik grup band Slank dalam lagunya Gosip Jalanan. Dalam lirik lagu itu memang disebutkan: Mau tau gak mafia di Senayan, kerjanya tukang buat peraturan, bikin UUD ujung-ujungnya duit... Exemplaar Reaksi DPR yang lebih menonjolkan emosi ketimbang nurani kian memperlihatkan mereka yang berkantor di Senayan itu makin menjauhkan diri dari tuntutan reformasi.
Depiction 1. Reformasi memang telah banyak mengubah wajah DPR. Dari semula sebagai lembaga yes man, DPR kini menjadi pusat kekuasaan paling
Consequences Penangkapan anggota DPR Al Amin Nasution mencerminkan kalau lirik lagu Slank benar-benar diangkat dari realitas sosial. Bahwa memang ada mafia Senayan, seperti juga masih kentalnya mafia peradilan.
55
berpengaruh. 2. Tidak mengherankan berbagai survei menempatkan DPR sebagai lembaga paling korup. Visual Images: 1. Gambar grup band Slank yang sedang bernyanyi, menggambarkan realitas yang ada di tengah-tengah masyarakat, bawasannya lagu yang dibawakan Slank merupakan jeritan masyarakat.
2. Gambar gedung DPR yang dibentengi oleh pagar berjeruji besi di ibaratkan DPR yang berwajah tirani dan anti kritik.
3. Gambar Al Amin Nasution ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, memperjelas bahwa memang ada mafia di senayan dan sesuai dengan lirik lagu yang dinyanyikan oleh grup band Slank.
56
4.2.3 Konstruksi dengan judul: Pengembalian Uang Yang Layak Dipujikan Frame yang di bangun pada artikel ketiga dengan judul “Pengembalian Uang Yang Layak Dipujikan” menggambarkan DPR yang mulai sadar bahwa uang itu bukan milik mereka tapi milik rakyat yang diwakilkannya yang harus dikembalikan.
Metaphors yang bisa ditemui pada artikel ini merupakan perumpamaan dengan sebutan Show Room, untuk menyatakan bahwa DPR digambarkan sebagai lembaga yang suka pamer harta dan kemewahan, padahal harta tersebut hasil dari merampok uang rakyat. Catchphrases-nya: “Pengembalian uang itu jelas layak dipujikan. Ia menjadi berita yang segar, bagaikan oasis di tengah kekeringan berita bagus dari DPR.” Kalimat ini sarat dengan pujian yang ditujukan kepada DPR dan ini merupakan angin segar yang dihembuskan oleh lembaga wakil rakyat yang berkantor di senayan itu. Kalimat ini berkorelasi dengan judulnya “Pengembalian Uang Yang Layak Dipujikan”
57
Perangkat selanjutnya, Exemplaar yang mempertautkan bingkai dengan contoh atau uraian yang mendukungnya. Di sini, bingkai bahwa DPR Layak Mendapat Pujian didukung oleh kalimat: Dari dua fakta pengembalian uang yang dilakukan PDIP dan PKS itu saja jelas tampak betapa besar uang di luar gaji yang mengalir ke saku anggota DPR. Yang dikembalikan saja total lebih Rp 5 miliar. Jumlah yang tidak dikembalikan, yang dimakan diam-diam oleh wakil rakyat, tentu berlipat-lipat lebih besar lagi.
Kalimat tersebut ingin mengatakan alangkah besar jumlah uang rakyat yang telah digerogoti oleh anggota legislatif, namun, langkah yang di lakukan PDIP dan PKS yang mengembalikan uang kepada negara, harus diberi apresiasi yang positif. Depiction yang merupakan perwujudan dari penggambaran atau pelukisan suatu isu yang bersifat konotatif. Seperti pada kalimat di bawah ini: Citra DPR menyangkut uang sudah rusak berat. Permainan uang dipersepsikan telah merajalela berkaitan dengan semua kewenangan yang dimiliki DPR.
Visual image dimunculkan dengan bantuan aksentuasi gambar sebagai berikut: 1. Gambar anggota fraksi Partai Keadilan Sejahtera. 2. Gambar anggota dan logo Partai Demokrasi Indonesia perjuangan. 3. Gambar mesin penghitung uang yang biasa digunakan di bank. 4. Gambar plang nama Komisi Pemberantasan Korupsi. Gambar anggota fraksi Partai Keadilan Sejahtera cukup mewakili DPR yang mulai sadar bahwa uang gratifikasi sebesar Rp 1,9 miliar tersebut adalah milik rakyat, dan harus dikembalikan kepada rakyat.
58
Begitupula dengan gambar anggota dan logo Partai Demokrasi Indonesia perjuangan, menyatakan bahwa uang legislasi sebesar Rp 3,38 miliar adalah milik rakyat. Oleh karena itu pengembalian uang yang dilakukan oleh PKS dan PDI Perjuangan itu jelas layak mendapat pujian. Diharapkan semua fraksi yang ada di DPR mengikuti langkah yang diambil oleh PKS maupun PDI Perjuangan. Adapun gambar mesin penghitung uang yang biasa digunakan di bank, dicitrakan sebagai sumber suap menyuap dikalangan anggota DPR. Gambar plang nama Komisi Pemberantasan Korupsi, gambar ini ingin menerangkan bahwa siapa saja yang tersangkut kasus korupsi harus dibeberkan ke KPK. Siapapun anggota DPR yang kedapatan atau terbukti melakukan tindak pidana korupsi akan berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Selanjutnya, perangkat penalaran pertama, roots, yang mengindikasikan hubungan kausalitas. Suap tak dapat terjadi dengan sebelah tangan. Suap hanya mungkin karena ada yang memberi dan menerima. Untuk memberantasnya, pemberi suap pun harus dibeberkan kepada KPK. Tidak cukup hanya uangnya yang kembali ke negara.
Terjadinya suap menyuap di kalangan DPR karena adanya oknum yang berusaha mengeruk keuntungan dengan cara curang. Kalimat ini juga menekankan, siapapun yang melakukan suap, baik yang menerima atau pun yang memberi harus dilaporkan ke KPK. Appeals to Principles, perangkat penalaran kedua, terpenuhi dengan adanya kalimat yang berbunyi: Pengembalian uang adalah perkara langka. Oleh karena itu, sekali lagi, ia layak dipujikan. Bahkan, ia mestinya ditiru fraksi partai lain sehingga menjadi kesadaran kolektif wakil rakyat.
59
Dan perangkat penalaran terakhir, Consequences dipenuhi dengan kalimat: Anggota DPR yang berintegritas dambaan rakyat. Opini ini yang ingin disampaikan penulis untuk mengatakan bahwa anggota DPR yang berintegritas yang diingini oleh rakyat. Agar lebih lengkap tersusun, tabel berikut akan membantu kita mendapatkannya.
Tabel 4.3 Framing Artikel: Pengembalian Uang Yang Layak Dipujikan Frame Kembalikan Uang, DPR Layak Dipuji Framing Devices (Perangkat Framing)
Reasoning Device (Perangkat Penalaran)
Methapors Sangat tidak mengherankan bila gaya hidup anggota DPR pun berubah mencolok. Tempat parkir di Senayan pernah berubah menjadi seperti layaknya show room mobil baru dan mahal.
Roots Suap tak dapat terjadi dengan sebelah tangan. Suap hanya mungkin karena ada yang memberi dan menerima. Untuk memberantasnya, pemberi suap pun harus dibeberkan kepada KPK. Tidak cukup hanya uangnya yang kembali ke negara.
Catchphrases Pengembalian uang itu jelas layak dipujikan. Ia menjadi berita yang segar, bagaikan oasis di tengah kekeringan berita bagus dari DPR.
Appeals to principle Pengembalian uang adalah perkara langka. Oleh karena itu, sekali lagi, ia layak dipujikan. Bahkan, ia mestinya ditiru fraksi partai lain sehingga menjadi kesadaran kolektif wakil rakyat.
Exemplaar Dari dua fakta pengembalian uang yang dilakukan PDIP dan PKS itu saja jelas tampak betapa besar uang di luar gaji yang mengalir ke saku anggota DPR. Yang dikembalikan saja total lebih Rp 5 miliar. Jumlah yang tidak dikembalikan, yang dimakan diam-diam oleh wakil rakyat, tentu berlipat-lipat lebih besar lagi.
Consequences Anggota DPR yang berintegritas dambaan rakyat.
Depiction Citra DPR menyangkut uang sudah rusak berat. Permainan uang dipersepsikan telah merajalela berkaitan dengan semua kewenangan yang dimiliki DPR.
60
Visual Images: 1. Gambar anggota fraksi Partai Keadilan Sejahtera.
2. Gambar anggota dan logo Partai Demokrasi Indonesia perjuangan.
3. Gambar mesin penghitung uang yang biasa digunakan di bank.
4. Gambar plang nama Komisi Pemberantasan Korupsi.
61
4.2.4 Konstruksi dengan judul: Sikap Defensif Ketua DPR Frame yang di bangun pada artikel ke empat dengan judul “Sikap Defensif Ketua DPR” menggambarkan DPR yang tidak mau tunduk kepada undangundang dan lebih senang menunjukkan watak arogansi kekuasaannya.
Metaphors yang bisa ditemui pada artikel ini merupakan perumpamaan dengan sebutan bagai nila setitik yang merusak susu sebelanga, untuk menyatakan bahwa, noda (kesalahan) yang dibuat oleh sebagian kecil oknum yang ada di lembaga tersebut ternyata dapat merusak citra baik anggota legislatif secara keseluruhan. Catchphrases-nya: “Sikap defensif yang diperlihatkan ketua dewan itu justru kampanye buruk terhadap seluruh anggota dewan yang sebentar lagi ikut berlaga dalam Pemilu 2009.” Kalimat ini ingin mengingatkan, bahwa ketua DPR jangan melindungi koruptor yang ada di lembaga tersebut yang justru akan merugikan dirinya di mata masyarakat. Kalimat ini berkorelasi dengan judulnya “Sikap Defensif Ketua DPR”
62
Perangkat selanjutnya, Exemplaar yang mempertautkan bingkai dengan contoh atau uraian yang mendukungnya. Di sini, bingkai bahwa ketua DPR bersikap defensif didukung oleh kalimat: Ketua DPR tidak mengizinkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah ruang kerja anggota Komisi IV DPR Al Amin Nur Nasution. Kalimat tersebut ingin mengatakan bahwa ketua DPR tidak mendukung penegakan hukum di Indonesia. Depiction yang merupakan perwujudan dari penggambaran atau pelukisan suatu isu yang bersifat konotatif. Seperti pada kalimat di bawah ini: Berdasarkan hasil survei persepsi masyarakat, lembaga legislatif selalu meraih predikat terkorup. Visual image yang terdapat pada judul berita kali ini adalah sebagai berikut: 1. Gambar two shot ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Antasari Azhar bersama dengan ketua DPR, Agung Laksono. 2. Gambar Al Amin Nasution. 3. Gambar Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan. 4. Gambar pintu penjara. 5. Gambar medium close up Agung Laksono
Mari kita bedah satu persatu gambar diatas. Gambar two shot Antasari Azhar bersama Agung Laksono, menerangkan bahwa antara KPK dan ketua DPR sedang terjadi konflik yang serius berkaitan dengan kasus korupsi yang melibatkan angota DPR, Al Amin Nasution.
63
Gambar Al Amin Nasution, menerangkan kepada khalayak bahwa, inilah Al Amin Nasution yang tersandung kasus korupsi dan dilindungi oleh ketua DPR, Agung Laksono. Gambar ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan, ingin menerangkan bahwa KPK pernah menggeledah ruang kerja Bagir Manan. Gambar ini ingin mengingatkan kembali kepada khalayak bahwa saat Bagir Manan menolak KPK menggeledah ruang kerjanya, hujatan justru datang dari senayan. Bersama pemerintah, DPR selaku pembuat undang-undang memberikan kewenangan kepada KPK untuk menggeledah ruang kerja ketua Mahkamah Agung tersebut. Inilah yang dijadikan alasan oleh KPK untuk menggeledah ruang kerja Al Amin Nasution. Gambar pintu penjara melukiskan bahwa siapa saja yang menghalangi KPK menjalankan tugasnya dapat dipidanakan serta di penjarakan. Sedangkan gambar medium close up, Agung Laksono ini, ingin lebih menjelaskan lagi bahwa ketua DPR tersebut adalah orang yang ngotot tidak mengizinkan KPK untuk menggeledah ruang kerja anggota komis IV DPR, Al Amin Nasution.
Selanjutnya, perangkat penalaran pertama, roots, yang mengindikasikan hubungan kausalitas. Sikap pimpinan DPR itu bisa saja ditafsirkan sebagai upaya untuk melindungi koruptor. Lebih celaka lagi jika masyarakat menafsirkan para koruptor selama ini berkantor di gedung megah di Senayan sehingga perlu dilindungi pemimpin mereka. Penafsiran itu tidak sepenuhnya salah karena berdasarkan hasil survei persepsi masyarakat, lembaga legislatif selalu meraih predikat terkorup.
64
Sikap yang diambil oleh ketua DPR tersebut menimbulkan banyak penafsiran, antara lain adalah melindungi koruptor serta tidak mendukung penegakan hukum di Indonesia. Dengan melindungi koruptor, otomatis DPR mendapat predikat sebagai lembaga terkorup di negeri ini. Appeals to Principles, perangkat penalaran kedua yang menunjukkan klaim-klaim moral, terpenuhi dengan adanya kalimat yang berbunyi: Penegakan hukum mestinya tidak mengenal reses. Hukum harus tegak 24 jam nonstop. Dan perangkat penalaran terakhir, Consequences dipenuhi dengan kalimat: “Rakyat pasti sangat cerdas untuk tidak memilih lagi anggota DPR yang prokoruptor”. Opini yang ingin disampaikan pada kalimat ini adalah anggota DPR yang terkait tindak pidana korupsi tidak akan dipilh lagi oleh rakyat. Agar lebih lengkap tersusun, tabel berikut akan membantu kita mendapatkannya.
Tabel 4.4 Framing Artikel: Sikap Defensif Ketua DPR Frame Penolakan DPR Konyol Framing Devices (Perangkat Framing)
Reasoning Device (Perangkat Penalaran)
Methapors Banyak anggota DPR bersih, mestinya tidak ada alasan untuk takut digeledah KPK. Ketakutan itu bagai nila setitik yang merusak susu sebelanga.
Roots Sikap pimpinan DPR itu bisa saja ditafsirkan sebagai upaya untuk melindungi koruptor. Lebih celaka lagi jika masyarakat menafsirkan para koruptor selama ini berkantor di gedung megah di Senayan sehingga perlu dilindungi pemimpin mereka. Penafsiran itu tidak sepenuhnya salah karena berdasarkan hasil survei persepsi masyarakat, lembaga legislatif selalu meraih predikat terkorup.
Catchphrases Sikap defensif yang diperlihatkan ketua
Appeals to principle Penegakan hukum mestinya tidak
65
dewan itu justru kampanye buruk terhadap seluruh anggota dewan yang sebentar lagi ikut berlaga dalam Pemilu 2009.
mengenal reses. Hukum harus tegak 24 jam nonstop.
Exemplaar Ketua DPR tidak mengizinkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah ruang kerja anggota Komisi IV DPR Al Amin Nur Nasution.
Consequences Rakyat pasti sangat cerdas untuk tidak memilih lagi anggota DPR yang prokoruptor.
Depiction Berdasarkan hasil survei persepsi masyarakat, lembaga legislatif selalu meraih predikat terkorup. Visual Images: 1. Gambar two shot ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Antasari Azhar bersama dengan ketua DPR, Agung Laksono.
2. Gambar Al Amin Nasution.
3. Gambar Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan.
66
4. Gambar pintu penjara.
5. Gambar medium close up Agung Laksono
4.2.5 Konstruksi dengan judul: Pelajaran Hukum Untuk DPR Frame yang di bangun pada artikel kelima dengan judul “Pelajaran Hukum Untuk DPR” menggambarkan DPR yang seharusnya berterima kasih kepada KPK, karena KPK telah membangun kembali citra DPR yang telah rusak.
67
Ada tiga Metaphors yang bisa ditemui pada artikel ini yang merupakan perumpamaan dengan sebutan titik nol, elok, dan tubuh. Mari kita urai kata perkata atau kalimat perkalimat: Pertama “Citra DPR sudah mencapai titik nol di mata masyarakat” kalimat ini ingin menyatakan bahwa DPR tidak mempunyai wibawa lagi di mata masyarakat. Bisa juga berarti kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut sudah tidak ada sama sekali. Kedua “Jauh lebih elok lagi jika DPR secara sukarela meminta kepada KPK untuk menggeledah seluruh ruang kerja anggota termasuk pimpinan DPR”. Kalimat ini ingin mengatakan, alangkah lebih baik membantu KPK untuk mencari bukti daripada menutup-nutupi keburukan anggota DPR termasuk pimpinannya. Ketiga “Pembangunan citra yang lebih baik itu harus dilakukan dengan penuh kesadaran dari dalam tubuh DPR sendiri”. Makna dari kalimat ini adalah untuk menciptakan kesan baik di mata publik harus dimulai dari dalam diri sendiri. Catchphrases-nya: “Penolakan DPR untuk digeledah KPK mestinya juga dilihat sebagai pembangkangan terhadap konstitusi.” Kalimat ini ingin mengingatkan, janganlah DPR sebagai pembuat undang-undang, justru melanggar undang-undang yang mereka buat sendiri. Kalimat ini berkorelasi dengan judulnya “Pelajaran Hukum Buat DPR” Perangkat selanjutnya, Exemplaar yang mempertautkan bingkai dengan contoh atau uraian yang mendukungnya. Di sini, bingkai bahwa DPR Harus Taat Konstitusi untuk memperbaiki citra didukung oleh kalimat: Dalam berbagai survei yang dilakukan lembaga independen menyangkut persepsi publik, DPR dipersepsikan sebagai lembaga terkorup di negeri
68
ini.Kesediaan DPR untuk digeledah KPK bisa menghapus sebagian kesan DPR sebagai lembaga pelindung koruptor.
Depiction yang merupakan perwujudan dari penggambaran atau pelukisan suatu isu yang bersifat konotatif. Seperti pada kalimat di bawah ini: Dalam berbagai survei yang dilakukan lembaga independen menyangkut persepsi publik, DPR dipersepsikan sebagai lembaga terkorup di negeri ini. Adapun visual image yang merupakan perangkat framing terakhir pada judul kali ini adalah: 1. Gambar anggota KPK yang sedang menggeledah ruangan DPR. 2. Gambar gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. Gambar anggota KPK yang sedang menggeledah ruangan DPR, menjelaskan bahwa lembaga ini mempunyai kewenangan penuh untuk memeriksa siapapun yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, tak terkecuali ketua DPR beserta anggotanya. Gambar gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, pengambilan gambar low angle mencitrakan KPK yang berwibawa. Selanjutnya, perangkat penalaran pertama, roots, yang mengindikasikan hubungan kausalitas. Penggeledahan itu dilakukan setelah KPK mengantongi izin dari ketua pengadilan sesuai dengan prosedur hukum acara. Prosedur itu sangatlah sederhana, seperti penggeledahan harus ada saksinya. Penggeledahan di DPR, kemarin, disaksikan Badan Kehormatan DPR dan Komisi III DPR yang membidangi hukum.
Tindakan yang diambil KPK untuk menggeledah ruang kerja DPR sudah sesuai dengan hukum.
69
Appeals to Principles, perangkat penalaran kedua yang menunjukkan klaim-klaim moral, terpenuhi dengan adanya kalimat yang berbunyi: Keberhasilan KPK menggeledah ruangan di DPR juga harus dilihat sebagai kemenangan hukum. Hukum yang tidak pernah mengenal diskriminasi status sosial kelembagaan. Dan perangkat penalaran terakhir, Consequences dipenuhi dengan kalimat: “DPR mestinya berterima kasih kepada KPK. Mengapa? Citra DPR sudah mencapai titik nol di mata masyarakat. Dalam berbagai survei yang dilakukan lembaga independen menyangkut persepsi publik, DPR dipersepsikan sebagai lembaga terkorup di negeri ini. Kesediaan DPR untuk digeledah KPK bisa menghapus sebagian kesan DPR sebagai lembaga pelindung koruptor.” Opini yang ingin disampaikan pada kalimat ini adalah untuk memulihkan nama baik DPR yang selama ini telah rusak akibat korupsi yang terjadi di lembaga wakil rakyat itu. Agar lebih lengkap tersusun, tabel berikut akan membantu kita mendapatkannya.
Tabel 4.5 Framing Artikel: Pelajaran Hukum Untuk DPR Frame DPR Harus Taat Konstitusi, Untuk Rehabilitasi Citra Framing Devices (Perangkat Framing)
Reasoning Device (Perangkat Penalaran)
Methapors 1. Citra DPR sudah mencapai titik nol di mata masyarakat.
Roots Penggeledahan itu dilakukan setelah KPK mengantongi izin dari ketua pengadilan sesuai dengan prosedur hukum acara. Prosedur itu sangatlah sederhana, seperti penggeledahan harus ada saksinya. Penggeledahan di DPR, kemarin, disaksikan Badan Kehormatan DPR dan Komisi III DPR yang membidangi hukum.
2. Jauh lebih elok lagi jika DPR secara sukarela meminta kepada KPK untuk menggeledah seluruh ruang kerja anggota termasuk pimpinan DPR. 3. Pembangunan citra yang lebih baik itu
70
harus dilakukan dengan penuh kesadaran dari dalam tubuh DPR sendiri. Catchphrases Penolakan DPR untuk digeledah KPK mestinya juga dilihat sebagai pembangkangan terhadap konstitusi.
Appeals to principle Keberhasilan KPK menggeledah ruangan di DPR juga harus dilihat sebagai kemenangan hukum. Hukum yang tidak pernah mengenal diskriminasi status sosial kelembagaan.
Exemplaar Dalam berbagai survei yang dilakukan lembaga independen menyangkut persepsi publik, DPR dipersepsikan sebagai lembaga terkorup di negeri ini. Kesediaan DPR untuk digeledah KPK bisa menghapus sebagian kesan DPR sebagai lembaga pelindung koruptor.
Consequences DPR mestinya berterima kasih kepada KPK. Mengapa? Citra DPR sudah mencapai titik nol di mata masyarakat. Dalam berbagai survei yang dilakukan lembaga independen menyangkut persepsi publik, DPR dipersepsikan sebagai lembaga terkorup di negeri ini. Kesediaan DPR untuk digeledah KPK bisa menghapus sebagian kesan DPR sebagai lembaga pelindung koruptor.
Depiction Dalam berbagai survei yang dilakukan lembaga independen menyangkut persepsi publik, DPR dipersepsikan sebagai lembaga terkorup di negeri ini. Visual Images: 1. Gambar anggota KPK yang sedang menggeledah ruangan DPR.
2. Gambar gedung Komisi Pemberantasan Korupsi.
71
4.3. Analisis dan Pembahasan Frame yang di bangun oleh Editorial Media Indonesia di Metro TV merupakan bentuk kontrol media terhadap Dewan Perwakilan Rakyat yang perlu didukung dan mendapat apresiasi positif dari masyarakat. Ini merupakan langkah maju di era reformasi, yang mana sebelumnya pada era Orde Baru, menurunkan berita yang mengkritisi tindakan pemerintah adalah merupakan keniscayaan.
Fiat justitia ruat caelum. Biarpun langit runtuh, hukum harus tetap ditegakkan. Sepertinya, itulah landasan editorial Media Indonesia menurunkan pandangan redaksionalnya tentang korupsi yang terjadi di lembaga legislatif. Hal ini sesuai dengan apa yang diserukan oleh UNESCO bahwa media komunikasi massa memainkan peran sebagai "pendorong pemberantasan korupsi". Seruan ini layak diperhatikan para praktisi maupun akademisi media massa, karena tampaknya lembaga PBB itu kini menemukan paradigma baru bagi media massa
72
negara berkembang. Dengan peran sebagai "pendorong pemberantasan korupsi", media massa menganut paradigma civil society demi perwujudan good governance bagi pemerintahan, badan, dan lembaga publik, maupun organisasi perusahaan. Dalam kurun waktu satu bulan, tepatnya pada bulan April 2008, Editorial Media Indonesia setidaknya menurunkan editorialnya sebanyak lima kali yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi di dewan kehormatan itu. Berdasarkan hasil analisis framing dari kelima judul ( Madat Korupsi Di DPR, Slank dan Reaksi DPR, Pengembalian Uang Yang Layak Dipujikan, Sikap Defensif Ketua DPR, Pelajaran Hukum Buat DPR) pada editorial Media Indonesia di Metro TV di atas didapatkan hasil bingkai seperti di bawah ini: Judul pertama adalah Madat Korupsi Di DPR. Korupsi di DPR sudah seperti candu, siapapun yang pernah mencoba serta merasakannya, susah untuk dapat melepaskan diri dari efek yang ditimbulkannya, yaitu sifat ketagihan. Seperti layaknya para pemakai narkoba, mereka akan mencari dan terus mencari barang haram tersebut untuk memenuhi kebutuhannya. Ini sesuai dengan kalimat yang ada pada editorial tersebut: “DPR mulai menjelma menjadi pemadat korupsi yang sulit ditahan.” Bingkai tersebut dibuat berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang marak terjadi di lembaga legislatif. Pernyataan tersebut diperkuat dengan tertangkapnya Al Amin Nur Nasution oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebelumnya, kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR sudah sering terdengar. Paling akhir adalah dana dari Bank Indonesia sebesar Rp 36 miliar yang mengalir ke lembaga itu, padahal, tiga pejabat teras BI, termasuk Gubernur Burhanuddin Abdullah, sudah dijadikan tersangka. Namun, lagi-lagi
73
mereka para anggota dewan yang terhormat tetap melakukan kejahatan kemanusian tersebut, ini berarti, memang benar korupsi membuat mereka kecanduan. Sejenak terlintas di benak peneliti pada ungkapan Karl Marx yang populer, bahwa agama adalah candu, ungkapan tersebut dipahami oleh banyak kaum agamawan sebagai ”pelecehan” terhadap agama. Akibatnya, Karl Marx pun dituduh sebagai penganjur atheisme, anti-agama dan ”perusak” bagi eksistensi agama-agama. Kutukan ini terus berlanjut terhadap Karl Marx akibat sikap radikalnya tersebut. Seandainya Karl Mark masih hidup dan tinggal di Indonesia, tidak mustahil dia akan memberi ungkapan yang tidak kalah populernya, bahwa di Indonesia, korupsi adalah candu. Ya, peneliti dan siapapun tentu sepakat akan hal ini, bahwa di Indonesia, korupsi adalah candu. Salah satu fungsi komunikasi massa, menurut Dominick (Eriyanto, 2001:16) adalah melakukan fungsi surveillance (pengawasan). Dalam kasus ini, media sebagai lembaga pengontrol berkewajiban memberi informasi kepada publik, agar publik tahu bahwa, inilah wajah DPR kita sekarang, sarat dengan praktik korupsi. Padahal mereka, para anggota dewan yang terhormat merupakan representasi
dari
seluruh
rakyat
Indonesia.
Ironis
sekali,
maka
tidak
mengherankan bila kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota legislatif selalu menarik dan mendapat perhatian lebih dari kalangan media. Kembali lagi kepada pembingkaian, editorial menyoroti sepak terjang KPK, dimana Komisi Pemberantasan Korupsi terkesan tebang pilih dalam menyikapi kasus korupsi di legislatif. Dasar pemikiran ini tercermin pada kalimat di bawah ini:
74
“Tetapi sampai sekarang belum ada satu pun anggota DPR yang terangterangan menerima ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Padahal, tiga pejabat teras BI, termasuk Gubernur Burhanuddin Abdullah, sudah dijadikan tersangka.” Namun demikian, editorial juga memuji Komisi Pemberantasan Korupsi atas kerja kerasnya menangkap Al Amin Nasution. Ungkapan ini terlihat pada kalimat seperti di bawah ini: “Tidak ada kata lain kecuali mengacungkan jempol terhadap KPK yang berani menangkap anggota DPR yang melacurkan integritas lembaga perwakilan rakyat.” Terlihat jelas di sini bahwa editorial saat menurunkan pandangan redaksionalnya tidak akan pernah objektif dan tidak bebas dari keberpihakan, justru sebaliknya berwajah ganda, seperti dua sisi mata uang, di satu sisi menghujat dan di sisi lain memuji. Jadi realitas itu dibentuk dan dikonstruksi. Idealnya sebuah media saat menurunkan berita harus berpedoman pada etika jurnalistik, yaitu cover bothside. Pernyataan ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Peter L. Berger (Eriyanto, 2002:15), bahwa “realitas tidak dibentuk secara alamiah, tetapi sebaliknya dibentuk dan dikonstruksi.” Dengan pemahaman semacam ini, realitas berwajah ganda/plural. Setiap orang mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Pemilihan simbol dan kata dalam sebuah tayangan editorial diharapkan mempunyai makna dan dapat menarik perhatian publik terhadap suatu isu yang sedang berkembang. Dan selanjutnya isu tersebut menjadi konsensus bersama yang harus diperangi, dalam hal ini adalah isu korupsi di legislatif. Adapun Sound pada editorial ini, ditemukan perbedaan kata, antara naskah editorial Media Indonesia versi cetak dengan naskah editorial Media Indonesia
75
versi Metro TV yang dibacakan oleh pembaca naskah editorial. Mari kita perhatikan kata “itulah” pada kalimat di bawah ini: Al Amin Nasution yang ditangkap di ruang hotel bisa saja menerima bayaran atas kebijakan yang telah menguntungkan pihak lain. Itulah harga dari sebuah persekongkolan yang jelas merugikan orang banyak. Dengan mengontrol angka-angka dalam anggaran dan pasal-pasal undang-undang, anggota DPR tergoda untuk menjadi pialang-pialang yang meneror menuntut imbalan. Itulah bentuk korupsi yang marak di poros eksekutif-legislatif-korporasi.
Kata “itulah” merupakan kata yang terdapat pada naskah editorial Media Indonesia versi cetak, namun saat naskah itu dibacakan di editorial Media Indonesia versi Metro TV, kata ”itulah” berubah menjadi kata “inilah”. Hal ini dimaksudkan agar terjadi sinkronisasi antara kalimat yang sedang dibacakan dengan gambar, hingga pada akhirnya, makna kalimat tersebut bisa dipahami oleh khalayak. Selanjutnya, yang menarik adalah pembingkaian suara di akhir kalimat pada paragraf terakhir naskah editorial Media Indonesia tersebut, ternyata ditambahkan kata “Hmm..”, yang diucapkan untuk menekankan atau menegaskan suatu maksud tertentu. Kata “Hmm..” yang diucapkan pembaca editorial, merupakan bentuk keragu-raguan (seperti: mungkinkah DPR masih mempunyai rasa malu, mungkinkah partai-partai mau membersihkan anggotanya yang berbakat korup, dan mungkinkah KPK akan maju terus pantang mundur. Semua ini menyisakan tanda tanya dan keraguan).
Judul kedua adalah Slank dan Reaksi DPR lagu Slank yang berjudul Gosip Jalanan tersebut mencerminkan suara rakyat, itulah yang terlintas di benak peneliti. Realitas inilah yang coba diangkat redaksi ke dalam editorialnya, namun
76
mengapa Slank yang menjadi icon-nya, seperti tercermin di dalam judul editorial “Slank dan Reaksi DPR” padahal banyak musisi lainnya yang tidak kalah garang mengkritisi DPR, sebut saja Iwan Fals dalam lagunya yang berjudul Wakil Rakyat. Lagu Slank ini sudah cukup lama, diciptakan pada tahun 2004, namun kenapa baru sekarang anggota dewan terhormat itu kebakaran jenggot. Menurut Fishman (Eriyanto, Analisis Framing, 2002:100), ada dua kecenderungan studi bagaimana proses produksi berita dilihat. Pandangan pertama sering disebut sebagai pandangan seleksi berita (selectivity of news). Dalam bentuknya yang umum pandangan ini seringkali melahirkan teori seperti gatekeeper. Intinya produksi berita adalah proses seleksi. Ini sesuai dengan apa yang diseleksi oleh redaksi terhadap judul lagu Slank tersebut. Pendekatan kedua adalah pendekatan pembentukan berita (creation of news). Dalam perspektif ini, peristiwa itu bukan diseleksi, melainkan sebaliknya, dibentuk. Wartawanlah yang membentuk peristiwa, mana yang disebut berita dan mana yang tidak. Dalam teks editorial Media Indonesia, bingkai dipakai paling tidak untuk tiga tujuan. Pertama, memberikan citra negatif kepada DPR lewat lagu yang dinyanyikan oleh Slank. Lagu berjudul Gosip Jalanan tersebut memicu reaksi DPR karena dianggap melecehkan mereka. Bahkan lewat dewan kehormatan, DPR berencana menggugat Slank. Menurut Irsyad Sudiro, ketua dewan kehormatan DPR-RI, bahwa lagu tersebut tidak proporsional. Berikut pernyataan Irsyad Sudiro dalam program Seputar Indonesia di RCTI: “Lagu tersebut bisa merendahkan, bisa membangun image yang negatif tidak proporsional, kecuali memang ada fakta-fakta atau rentetanrentetan kegiatan yang kemudian dikoreksi, itu bisa, tapi ituuuu… lembaga ini membuat undang-undang tapi ujung-ujungnya duit, seperti itu. Hendaknya tidak seperti itu.”
77
Berikut lirik lagu Slank berjudul “Gosip Jalanan” yang dipermasalahkan Dewan Kehormatan DPR: GOSIP JALANAN Pernah kah lo denger mafia judi Katanya banyak uang suap polisi Tentara jadi pengawal pribadi Apa lo tau mafia narkoba Keluar masuk jadi bandar di penjara Terhukum mati tapi bisa ditunda Siapa yang tau mafia selangkangan Tempatnya lendir-lendir berceceran Uang jutaan bisa dapat perawan Kacau balau … Kacau balau negaraku ini .. Ada yang tau mafia peradilan Tangan kanan hukum di kiri pidana Dikasih uang habis perkara Apa bener ada mafia pemilu Entah gaptek apa manipulasi data Ujungnya beli suara rakyat Mau tau gak mafia di senayan Kerjanya tukang buat peraturan Bikin UUD ujung-ujungnya duit Pernahkah gak denger teriakan Allahu Akbar Pake peci tapi kelakuan barbar Ngerusakin bar orang ditampar-tampar Citra ini diperkuat dengan bantuan visual grup band Slank yang sedang menyanyikan lagu berjudul “Gosip jalanan”. Protes ini dilakukan Slank dengan cara slengean namun dalam maknanya. Kedua, bingkai dipakai untuk memberi citra bahwa DPR tidak pro reformasi. Hal tersebut dapat dilihat pada kalimat di bawah ini: “Dewan Perwakilan Rakyat kian lama semakin menunjukkan wajah aslinya. Bukan mengedepankan sosok demokrasi sebagai amanat reformasi, melainkan justru sebaliknya. Wajah tirani.”
78
Kalimat ini menekankan bahwa, DPR telah keluar dari jalur dan semangat reformasi. DPR sekarang anti kritik. Ketiga, bingkai dibangun untuk memberi alasan mengapa DPR jadi begitu congkak. Ini tidak lain karena kekuasan DPR yang power full. Hal ini tampak pada uraian seperti berikut: “Dengan kekuasaan yang besar minus pengawasan. DPR dengan leluasa bisa bertindak sesuka hati. Ironisnya apa yang dilakukan DPR justru untuk memenuhi hasrat mereka sendiri. Mulai dari gaji, fasilitas, maupun tetek bengek lainnya. Semua mulus bisa diwujudkan tanpa ada hambatan dari lembaga eksekutif maupun legislatif.” Dari semua uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, media mempunyai kemampuan untuk membuat strategi wacana untuk menggiring opini publik. Strategi itu dalam bentuk yang paling umum adalah dengan menonjolkan sisi tertentu dan menghilangkan sisi yang lain. Adapun Sound pada editorial yang berjudul “Slank dan Reaksi DPR” di awali oleh pernyataan Kaka, sang vokalis grup band Slank, yang berbunyai “Kita sangat-sangat tersentuh dengan korupsi yang hari gini masih merajalela.” Pernyataan Kaka tersebut merupakan bentuk pembelaan grup band Slank, bahwa memang benar ada mafia di Senayan. Lagu yang berjudul Gosip Jalanan tersebut dibuat berdasarkan realitas yang terjadi di DPR. Selanjutnya terjadi penekanan intonasi pada kata “paling korup” seperti terlihat pada kalimat di bawah ini: Tidak mengherankan berbagai survei menempatkan DPR sebagai lembaga paling korup.
Intonasi yang tinggi tersebut diucapkan untuk mengundang perhatian dan menanamkan persepsi negatif tentang DPR di benak khalayak.
79
Pada judul ketiga “Pengembalian Uang Yang Layak Dipujikan” di mana menurut pandangan peneliti, kedua editorial sebelumnya “Madat Korupsi di DPR dan Slank dan Reaksi DPR” menimbulkan efek yang cukup segnifikan. Terbukti, dua fraksi yang ada di DPR, PKS (Partai Keadilan Sejahtera) dan PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) terpaksa mengembalikan uang kepada negara. Dan tentu saja, pengembalian uang ini layak mendapat pujian. PKS yang terkenal dengan slogan “Bersih, Peduli, Profesional” ternyata menerima suap, dan akhirnya mengembalikan uang gratifikasi sebesar Rp 1,9 miiliar ke Komisi Pemberantasan Korupsi, dan PDI-P mengembalikan uang legislasi sebesar Rp 3,8 miliar yang diserahkan kepada sekjen DPR. Namun, kenapa hanya PKS dan PDIP saja yang mengembalikan uang tersebut, sedangkan partai besar seperti Golkar tidak mengembalikan uang legislasi kepada negara. Seperti dilansir Kompas.com (Jumat, 22 Februari 2008 | 13:55 WIB), wakil ketua umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar, Agung Laksono di Lombok, NTB, Jumat (22/2/2008), menjelaskan: “Fraksi Partai Golkar mempertimbangkan untuk tidak mengembalikan ke kas negara, karena pertanggungjawaban penggunaannya sulit dipantau transparansi sistem keuangannya. Pemanfaatan uang tambahan insentif legislasi itu memang sangat terbuka terhadap berbagai pilihan.” “Uang legislasi yang terkumpul sebanyak Rp 5,031 miliar. Jumlah tersebut dikumpulkan dari 129 anggota dengan masing-masing anggota fraksi sebesar Rp 39 juta.” Yang menarik perhatian peneliti, mengapa partai Golkar yang tidak mengembalikan uang legislasi tersebut, justru hilang dari pemberitaan editorial Media Indonesia di Metro TV. Pemberitaan tidak bebas dari pengaruh pemilik modal. Kenapa partai Golkar tidak disebut-sebut dalam editorial? karena, disinyalir ada hubungannya
80
dengan Surya Paloh sebagai Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar dan sekaligus pemilik modal, dominasi dan hegemoni lantas terjadi. Hegemoni bekerja melalui konsensus ketimbang upaya penindasan satu kelompok terhadap kelompok lain, seperti yang terjadi dalam sebuah dominasi. Salah satu kekuatan hegemoni adalah bagaimana ia menciptakan cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang dianggap benar, sementara wacana lain dianggap salah. Ada suatu nilai atau konsensus yang dianggap memang benar, ketika ada cara pandang atau wacana lain dianggap tidak benar. Media di sini secara tidak sengaja dapat menjadi alat bagaimana nilai-nilai atau wacana yang dipandang dominan itu disebarkan dan meresap dalam benak khalayak sehingga menjadi konsensus bersama. Selanjutnya editorial juga mempertanyakan siapa saja yang terlibat dalam kasus suap menyuap di lembaga legislatif ini. Tidak mungkin ada api bila tidak ada yang menyulut. Pernyataan tersebut diperkuat dengan kalimat seperti di bawah ini: “Suap tak dapat terjadi dengan sebelah tangan. Suap hanya mungkin karena ada yang memberi dan menerima. Untuk memberantasnya, pemberi suap pun harus dibeberkan kepada KPK. Tidak cukup hanya uangnya yang kembali ke Negara.” Menurut John Hartley (Eriyanto, 2002:131), narasi berita hampir mirip dengan sebuah novel atau fiksi. Di sana ada pahlawan dan ada pula penjahat. Seperti juga dalam cerita fiksi, pahlawan baru ada, kalau ada penjahat, demikian juga penjahat harus ada pahlawan yang menghentikannya. Bagi Hartley, memandang narasi berita semacam ini, mengandaikan ada dua belah pihak yang ditampilkan oleh media. Media selalu punya kecenderungan untuk menampilkan tokoh dua sisi, untuk dipertentangkan diantara keduanya.
81
Adapun Sound pada editorial berjudul “Pengembalian Uang Yang Layak Dipujikan” terkesan biasa-biasa saja. Dari keseluruhan naskah yang dibacakan, tidak ditemukan adanya penekan intonasi pada kata atau kalimat secara signifikan.
Selanjutnya pada judul keempat “Sikap Defensif Ketua DPR” bingkai kali ini, menyikapi sikap arogan ketua DPR, Agung Laksono yang melindungi koruptor di lembaga legislatif yang dia pimpin. Lagi-lagi lebel Agung Laksono sebagai orang Golkar tidak disebut-sebut dalam editorial Media Indonesia di Metro TV. Kenapa Al Amin Nasution dikaitkan dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sementara Agung Laksono tidak dikaitkan dengan partai Golkar. Jelas, politik media yang dilakukan redaksional, menurut peneliti terlalu kentara. Seharusnya media bisa lebih seimbang saat menurunkan editorialnya. Produksi berita berhubungan dengan bagaimana rutinitas yang terjadi dalam
ruang
pemberitaan
yang
menentukan
bagaimana
wartawan
didikte/dikontrol untuk memberitakan peristiwa dalam perspektif tertentu. Selain praktik organisasi dan ideologi profesional tersebut, ada satu aspek lain yang sangat penting yang berhubungan dengan bagaimana peristiwa ditempatkan dalam keseluruhan produksi teks, yakni bagaimana berita itu bisa bermakna dan berarti bagi khalayak. Stuart Hall menyebut aspek ini sebagai konstruksi berita. (Eriyanto, 2002:119). Dalam editorial yang berjudul ’Sikap Defensif Ketua DPR’, bingkai dipakai paling tidak untuk menjelaskan bahwa sikap defensif yang dilakukan ketua DPR menimbulkan tiga penafsiran. Pertama, ketua DPR tidak mau tunduk pada aturan, dan dianggap sebagai pembangkangan terhadap konstitusi. Kedua tindakan pimpinan DPR itu bisa saja ditafsirkan sebagai upaya untuk melindungi
82
koruptor, dan ketiga, tindakan pimpinan DPR itu dianggap telah melegitimasi lembaga legislatif tersebut sebagai sarang koruptor. Adapun Sound pada editorial Media Indonesia di Metro TV kali ini, ditemukan penambahan kata “Ha ha ha ha..” yang mana sebelumnya tidak ada kata “Ha ha ha ha..” pada naskah editorial Media Indonesia versi cetak. Kata tersebut dapat kita lihat pada kalimat berikut ini: Alasan DPR sedang reses terkesan lucu sebab yang reses itu adalah anggota DPR. Ruang kerja Al Amin Nur Nasution yang akan digeledah itu tidak ikut-ikutan reses. Ha ha ha ha…
Makna kata “Ha ha ha ha..” tersebut mengindikasikan alasan yang dibuat DPR, tidak masuk akal dan terkesan mengada-ada. Selanjutnya ada penekanan intonasi pada kata “tegak” seperti tercermin pada kalimat berikut ini: Lagi pula, penegakan hukum mestinya tidak mengenal reses. Hukum harus tegak 24 jam nonstop.
Penekan intonasi pada kata “tegak” dimaksudkan untuk menyatakan bahwa hukum di atas segalanya dan hukum tidak boleh tidur. Selanjutnya, penambahan kata terulang kembali, kali ini adalah penambahan kata “He..” (bunyi Epepet dalam ucapan bahasa Indonesia, seperti di terangkan pada EYD, Ejaan Yang Disempurnakan, contoh kata; Ketika, bukan kata; ular Keket). Kalimat yang mendapat penambahan kata “He..” tercermin pada kalimat seperti yang ada di bawah ini: Alasan kedua sama lucunya dengan alasan pertama. Yaitu, Ketua DPR mempersoalkan kewenangan KPK. Bukankah kewenangan KPK itu diberikan DPR bersama pemerintah selaku pembuat undang-undang? He..
83
Kata “He..” tersebut dimaksudkan untuk mengingatkan kembali kepada Ketua DPR, Agung Laksono, bahwa yang memberi kewenangan kepada KPK adalah DPR, mengapa lantas DPR mempersoalkan kewenangan itu. Dan terakhir adalah penambahan kata “Ha ha ha ha…” pada kalimat penghujung di paragraf terakhir naskah editorial Media Indonesia di Metro TV. Maksud kata tersebut ingin menyampaikan kepada DPR untuk berhati-hati, jangan mempermainkan kepercayaan yang diberikan oleh rakyat, bila Anda (anggota DPR) tidak ingin untuk tidak dipilih kembali sebagai pemegang amanat rakyat.
Dan judul terakhir pada penelitian ini adalah “Pelajaran Hukum Untuk DPR” bingkai yang dibangun pada editorial ini ingin menjelaskan kepada khalayak bahwa, kedudukan hukum di atas segalanya. Ini juga bisa diartikan sebagai kemenangan hukum. Pernyataan tersebut sejalan dengan kalimat di bawah ini: “Keberhasilan KPK menggeledah ruangan di DPR juga harus dilihat sebagai kemenangan hukum. Hukum yang tidak pernah mengenal diskriminasi status sosial kelembagaan.” Bingkai selanjutnya lebih kepada kinerja KPK untuk dapat menembus arogansi kekuasaan badan legislatif dalam upaya penegakan hukum. Kalimat di bawah ini mengindikasikan hal tersebut: “Penolakan DPR untuk digeledah KPK mestinya juga dilihat sebagai pembangkangan terhadap konstitusi. Karena itu, kesediaan DPR untuk digeledah, sekalipun kesadaran itu datangnya terlambat, tetap perlu diberi apresiasi.” Keterangan lainnya, dalam editorial ini, menyerukan apa yang seharusnya dilakukan DPR terhadap KPK yang telah berbaik hati memperbaiki citra lembaga
84
legislatif tersebut yang selama ini terpuruk di mata masyarakat. Tidak ada kata lain, selain berterima kasih kepada KPK. Hal ini tercermin pada kalimat di bawah ini: “DPR mestinya berterima kasih kepada KPK. Mengapa? Citra DPR sudah mencapai titik nol di mata masyarakat. Dalam berbagai survei yang dilakukan lembaga independen menyangkut persepsi publik, DPR dipersepsikan sebagai lembaga terkorup di negeri ini. Kesediaan DPR untuk digeledah KPK bisa menghapus sebagian kesan DPR sebagai lembaga pelindung koruptor.” Pada editorial ini, peneliti ingin menyampaikan bahwa redaksi membuat kalimat penutup yang begitu elegan. Mari perhatikan kalimat berikut ini: “Penggeledahan itulah cara KPK berterima kasih kepada DPR. KPK telah memberikan pelajaran sangat berharga kepada lembaga yang melakukan uji kelayakan dan kepatutan kepada dirinya..” Inti kalimat di atas dimaksudkan agar DPR tidak kehilangan muka. DPR adalah lembaga terhormat sekaligus representasi dari seluruh rakyat Indonesia, oleh karena itu harus dijaga kredibilitasnya. Peter L. Berger mengatakan (Eriyanto, 2002:17), bahwa sebuah teks berupa berita tidak bisa kita samakan seperti secangkir kopi dari realitas, ia haruslah dipandang sebagai konstruksi atas realitas. Karenanya, sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda. Wartawan bisa jadi mempunyai pandangan dan konsepsi yang berbeda ketika melihat suatu peristiwa, dan itu dapat dilihat dari bagaimana mereka mengkonstruksi peristiwa itu, yang diwujudkan dalam teks berita. Adapun Sound pada naskah editorial yang berjudul “Pelajaran Hukum Untuk DPR” ini, tidak terjadi penekan intonasi pada kata atau kalimat secara signifikan, namun yang terjadi justru sebaliknya, penurunan intonasi pada kata dan rangkaian kalimat seperti di bawah ini:
85
Jauh lebih elok lagi jika DPR secara sukarela meminta kepada KPK untuk menggeledah seluruh ruang kerja anggota termasuk pimpinan DPR. Apalagi jika anggota DPR secara sukarela pula meminta KPK untuk meneliti rekening bank mereka. Inisiatif seperti itu yang tidak pernah muncul dari anggota dewan.
Kalimat yang diucapkan dengan menurunkan intonasi tersebut, terkesan seperti merayu, berharap, sekaligus menyarankan agar DPR mau secara sukarela untuk digeledah tanpa tekanan dari KPK. Dan sebagai penutup dari paragraf terakhir pada editorial ini adalah penambahan kata “Ha ha ha ha..” di ujung kalimat. Mari perhatikan kalimat yang diucapkan oleh pembaca naskah editorial berikut ini: Penggeledahan itulah cara KPK berterima kasih kepada DPR. KPK telah memberikan pelajaran sangat berharga kepada lembaga yang melakukan uji kelayakan dan kepatutan kepada dirinya. Ha ha ha ha..
Kata “Ha ha ha ha…” tersebut mengindikasikan suatu kepuasan, karena KPK telah memberi pelajaran hukum yang sangat berharga kepada DPR. Semoga arogansi yang ditunjukkan badan terhormat tersebut tidak terulang kembali.
Terakhir di Bab ini, peneliti ingin menyampaikan bahwa, berdasarkan analisis framing dari kelima judul editorial tersebut, terdapat hubungan antara judul yang satu dengan judul yang lain, termasuk backsound dan suara narator saat naskah editorial dibacakan. Hal ini dilakukan oleh redaksional agar editorial lebih bermakna dan berbekas di dalam benak khalayak. Benang merah antara judul satu dengan lainnnya, dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, ada kesamaan isu dari kelima judul editorial tersebut, dimana semuanya mengarah kepada praktek korupsi di lembaga legislatif (DPR-RI). Setiap editorial dibuat sesuai kondisi yang ada. Mulai dari tertangkapnya Al Amin
86
Nasution dan diberi judul ‘Madat Korupsi di DPR’, dilanjutkan dengan editorial dengan judul ‘Slank Dan Reaksi DPR’, dimana menurut peneliti, judul ini terinspirasi dari tanggapan pemirsa yang menyatakan bahwa lagu Gosip Jalanan itu merupakan realitas yang terjadi di masyarakat. Begitu pula dengan editorial yang berjudul ‘Pengembalian Uang Yang Layak Dipujikan’ pun tidak terlepas dari agenda pemberitaan. Selanjutnya editorial dengan judul ‘Sikap Defensif Ketua DPR’ ditulis sesuai dengan kondisi saat itu, dimana Agung Laksono sebagai ketua DPR, tidak mengizinkan KPK untuk menggeledah ruang anggota badan legislatif tersebut, berkaitan dengan tertangkapnya Al Amin Nasution. Judul terakhir adalah ‘Pelajaran Hukum Untuk DPR’. Judul ini tercipta setelah KPK diizinkan menggeledah ruang anggota DPR. Peneliti teringat dengan teori Agenda Setting, teori tersebut menyatakan; apa yang diagendakan oleh media merupakan agenda masyarakat. Dengan kata lain, khalayak digiring pada isu tertentu. Kedua, konstruksi realitas pada setiap editorial, dibuat semenarik mungkin agar berdampak kepada khalayak, termasuk memadukan backsound dengan naskah editorial yang dibacakan oleh narator. Naskah editorial yang dibacakan oleh narator, ternyata cukup membuat bulu kuduk merinding bagi setiap orang yang mendengarnya. Ketiga, yang tidak kalah menariknya dari kelima editorial tersebut adalah editorial yang berjudul ‘Pengembalian Uang Yang Layak Dipujikan’, dimana, tidak ada satupun kalimat yang menyinggung partai Golkar. Padahal partai Golkar yang menerima uang legislasi paling banyak, sebesar Rp 5,031 miliar, namun tidak mengembalikannya kepada negara. Selanjutnya pada judul Sikap Defensif Ketua DPR, lagi-lagi editorial tidak menyebut-nyebut partai Golkar. Peneliti
87
berasumsi bahwa, ini ada hubungannya dengan pemilik modal, bukan rahasia umum, bahwa Surya Paloh adalah ketua Dewan Penasihat Partai Golkar, sekaligus pemilik media. “Ada daftar panjang tentang bagaimana kepemilikan media ternyata menomorduakan jurnalisme di bawah kepentingan mereka.”45 Terakhir, konstruksi realitas ditutup dengan editorial berjudul Pelajaran Hukum Untuk DPR. Editorial ini ingin menyampaikan bahwa kedudukan hukum di atas segalanya. Editorial ini merupakan klimaks dari keseluruhan editorial yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi di lembaga terhormat tersebut.
45
Bill Kovach, Tom Rosenstiel. The Elements of Journalism, (Crown Publishers, New York, 2001), hal. 29
88
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan Simpulan ini didasarkan pada metode penelitian analisis framing yang menggunakan model William A. Gamson dan Andre Modigliani sebagai kerangka analisis teks media. Dari sinilah kemudian dikembangkan secara kualitatif dan interpretatif. Secara keseluruhan bingkai yang dibuat oleh Editorial Media Indonesia di Metro TV didasarkan pada perannya sebagai pendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Seperti dikatakan oleh Joseph Pulitzer “Perangilah korupsi melalui media massa.” Secara khusus, dua dari lima judul Editorial: “Pengembalian Uang Yang Layak Dipujikan” dan “Sikap Defensif Ketua DPR” pemberitaanya tidak cover bothside. Hal ini disinyalir karena adanya pengaruh hegemoni pemilik modal. Pemilik itu, bisa saja sangat paham dengan apa yang dimaksud dengan jurnalisme yang harus independen, minim intervensi atau seimbang. Tapi, ketika ia memiliki kepentingan politik, tidak ada yang bisa berjanji dan memastikan bahwa pemberitaan di media massa yang dimilikinya itu tidak mengakomodir kebutuhan itu. Dominasi dan hegomoni pun terjadi. Hegemoni bekerja melalui konsensus ketimbang upaya penindasan satu kelompok terhadap kelompok lain, seperti yang terjadi dalam sebuah dominasi. Salah satu kekuatan hegemoni adalah bagaimana ia menciptakan cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang dianggap benar, sementara wacana lain dianggap salah. Ada suatu nilai atau konsensus yang dianggap memang benar, 88
89
ketika ada cara pandang atau wacana lain dianggap tidak benar. Media di sini secara tidak sengaja dapat menjadi alat bagaimana nilai-nilai atau wacana yang dipandang dominan itu disebarkan dan meresap dalam benak khalayak sehingga menjadi konsensus bersama. Media massa adalah media diskusi publik tentang suatu masalah yang melibatkan tiga pihak: wartawan, narasumber dan khalayak. Namun satu pihak yang tidak boleh dilupakan, karena pihak inilah yang paling mungkin mempengaruhi diskusi di ranah yang semestinya untuk publik, didedikasikan kepada kebutuhan khalayak, ia adalah pemilik media massa. Media apapun tidak bisa lepas dari bias-bias, baik yang berkaitan dengan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, bahkan agama. Tidak ada satu pun media yang memiliki sikap indepedensi dan objektivitas yang absolut, tak terkecuali Editorial Media Indonesia di Metro TV. Tanpa adanya kesadaran seperti ini, mungkin saja kita menjadi bingung, merasa terombang-ambing, dan dipermainkan oleh penyajian media.
5.2 Saran Berikut adalah saran yang bisa diberikan oleh peneliti, yakni: 1. Editorial Media Indonesia di Metro TV harus cover bothside dalam menyajikan berita kepada khalayaknya. 2. Editorial Media Indonesia di Metro TV harus menjaga independensi saat memproduksi berita. 2. Editorial
Media
Indonesia
di
Metro
TV
harus
memperhatikan
visualisasi/gambar, sebaiknya tidak menggunakan visual yang sama dan berulang-ulang, agar Editorial tidak terkesan miskin gambar.
90
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Ardianto, Elvinaro. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung Simbiosa. 2004 Kovach, Bill, Tom Rosenstiel. The Elements of Journalism. Crown Publishers, New York. 2001 Djuroto,Totok. Manajemen Penerbitan Pers, Bandung. Remaja Rosdakarya. 2000 Djuarsa, Sasa Sendjaja dkk. Teori Komunikasi. Jakarta. Universitas terbuka 1996 Efendi, Onong Uchjana. Komunikasi Toeri dan Praktek. Bandung. Remaja Rosdakarya, 2003 Eriyanto, Analisis Framing. Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, Yogakarta LkiS. 2002 Hamad, Ibnu. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta. Granit. 2004 Hennesy, Bernard. Pendapat Umum. Jakarta. Erlangga. 1990 Hamzah, Andi. Korupsi: Dalam Pengelolaan Proyek Pembangunan. Jakarta. Akademika Pressindo. 1985 Junaedhi, Kurniawan. Ensiklopedi Pers Indonesia. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. 1991 Kriyantono, Rachmat. Teknik praktis Riset Komunikasi. Jakarta. Kencana. 2006 Morrisan. Jurnalistik Televisi Mutakhir. Jakarta. ramdina Prakasa. 2004 ------------ Media Penyiaran: Strategi mengelola Radio dan Televisi. Jakarta. Ramdina Prakasa, 2005 Naratama. Menjadi Sutradara televisi. Jakarta. PT Grasindo. 2006 Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. 2007 Rakhmat, Jalaluddin. Metode Penelitian komunikasi. Bandung. PT Remaja Rosdakarya, 2004 Sobur, Alex. Analisis Teks Media (Analisis Teks media, Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing) Rosdakarya. Bandung. 2002
91
Siregar, Ashadi. Menyingkap Media penyiaran. Yogyakarta. LP3Y. 2001 ------------ Politik Editorial Media Indonesia: Analisis Tajuk Rencana 1998-2001. Jakarta. LP3ES. 2003 Sutaryo, Sosiologi Komunikasi. Arti Bumi Intaran. Yogyakarta. 2005 William L. Rivers, Bryce McIntyre. Alison Work. Editorial. Bandung. Remaja Rosdakarya. 1994
SUMBER LAIN: Feni Fasta, Kontestasi Antara Kepemilikan Silang Dengan Isi Pemberitaan Media Massa, Jakarta, Tesis, 2006 Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK, Pemberdayaan Penegakan Hukum, Jakarta, Laporan Tahunan, 2007 Company Profile Metro TV http://www.media-indonesia.com Editorial tanggal: 10 April 2008 Editorial tanggal: 13 April 2008 Editorial tanggal: 14 April 2008 Editorial tanggal: 25 April 2008 Editorial tanggal: 29 April 2008 http://www.kompas.com/read/xml/2008/02/22/13555779 Jumat, 22 Februari 2008 l 13:55 WIB
93
Lampiran 1 Pemberitaan Editorial Media Indonesia Tanggal: 10 April 2008 Judul Editorial
MADAT KORUPSI DI DPR
Isi Editorial
PENANGKAPAN Al Amin Nasution di Hotel Ritz Carlton Jakarta dalam transaksi penyuapan menegaskan kembali sebuah kebenaran yang tidak bisa dibantah. Bahwa oknumoknum anggota DPR menjadi salah satu mata rantai krusial korupsi di Indonesia sekarang ini. Al Amin Nasution yang ditangkap petugas Komisi Pemberantasan Korupsi pada Rabu (9/4) dini hari adalah anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan. Salah satu bidang yang menjadi kewenangan Komisi IV adalah kehutanan, sektor yang menyimpan banyak persoalan sekaligus banyak godaan. Kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR sudah sering terdengar. Paling akhir adalah dana dari Bank Indonesia sebesar Rp 36 miliar yang mengalir ke lembaga itu, Komisi XI, dalam pembahasan Undang-Undang Perbankan pada 2003. Tetapi sampai sekarang belum ada satu pun anggota DPR yang terang-terangan menerima ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Padahal, tiga pejabat teras BI, termasuk Gubernur Burhanuddin Abdullah, sudah dijadikan tersangka. Poros korupsi yang mulai bergeser ke DPR--dari sebelumnya di eksekutif--terjadi bersamaan dengan penguatan kewenangan lembaga itu. Koreksi atas kesalahan pemerintah Orde Baru yang memperlakukan DPR sebagai lembaga stempel telah melahirkan DPR yang superkuat sekarang ini. Berbagai kewenangan, terutama bujet, memunculkan godaan anggota DPR untuk bermain mata dengan pejabat-pejabat di eksekutif, termasuk di daerah. Tertangkapnya Al Amin Nasution di kamar hotel bersama pejabat Sekretaris Daerah Bintan memperlihatkan ada pertemuan kepentingan di sana. Tidak berapa lama setelah Komisi IV menyetujui pengalihan lahan hutan lindung menjadi hutan produksi di sebuah kawasan di Riau Kepulauan, pertemuan itu terjadi. Kasusnya mirip dengan penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan oleh KPK. Sehari setelah pemerintah mengumumkan penghentian pengusutan BLBI, sang jaksa tertangkap tangan
94
menerima uang di rumah seorang pengusaha. Korupsi, ternyata, tetap, bahkan semakin merajalela. Lembagalembaga dan orang-orang yang mengendalikan kewenangan dan kebijakan menuntut bayar atas keberpihakan. Al Amin Nasution yang ditangkap di ruang hotel bisa saja menerima bayaran atas kebijakan yang telah menguntungkan pihak lain. Itulah harga dari sebuah persekongkolan yang jelas merugikan orang banyak. Dengan mengontrol angka-angka dalam anggaran dan pasalpasal undang-undang, anggota DPR tergoda untuk menjadi pialang-pialang yang meneror menuntut imbalan. Itulah bentuk korupsi yang marak di poros eksekutif-legislatif-korporasi. Tidak ada kata lain kecuali mengacungkan jempol terhadap KPK yang berani menangkap anggota DPR yang melacurkan integritas lembaga perwakilan rakyat. Dan, kepada DPR sebagai lembaga, janganlah melindungi anggota seperti itu kalau terbukti memeras dan menerima suap. Korupsi, suap, dan berbagai penyelewengan di kalangan pemangku otoritas negara seperti candu. Bara korupsi ibarat magma gunung berapi yang terus mencari celah di puncak untuk melampiaskan geloranya. Bila dulu kita mengecap korupsi sebagai budaya, kini korupsi telah berubah menjadi madat. DPR, bersamaan dengan penguatan kewenangannya, mulai menjelma menjadi pemadat korupsi yang sulit ditahan. DPR harus malu pada destruksi integritas yang dilakukan para anggota yang kemadatan korupsi. Partai-partai harus mulai serius membersihkan diri dari anggota-anggota yang berbakat korup. Di sisi lain, KPK, harus maju terus, pantang mundur.
95
Lampiran 2 Pemberitaan Editorial Media Indonesia Tanggal: 13 April 2008 Judul Editorial
SLANK DAN REAKSI DPR
Isi Editorial
Dewan Perwakilan Rakyat kian lama semakin menunjukkan wajah aslinya. Bukan mengedepankan sosok demokrasi sebagai amanat reformasi, melainkan justru sebaliknya. Wajah tirani. Wajah itulah yang ditampilkan DPR sebagai reaksi atas kritik grup band Slank dalam lagunya Gosip Jalanan. Dalam lirik lagu itu memang disebutkan: Mau tau gak mafia di Senayan, kerjanya tukang buat peraturan, bikin UUD ujung-ujungnya duit... Kata-kata itulah yang menyulut kemarahan DPR. Lewat Badan Kehormatan DPR, mereka tadinya berencana menggugat Slank. Namun, dibatalkan bersamaan dengan tertangkapnya anggota DPR Al Amin Nasution oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (9/4) lalu, karena diduga terlibat suap. Reaksi DPR yang lebih menonjolkan emosi ketimbang nurani kian memperlihatkan mereka yang berkantor di Senayan itu makin menjauhkan diri dari tuntutan reformasi. Padahal, kritik lewat medium lagu maupun medium apa pun merupakan salah satu sumber energi yang menggerakkan roda demokrasi. Tanpa ada kritik sama artinya demokrasi telah mati. Reformasi memang telah banyak mengubah wajah DPR. Dari semula sebagai lembaga yes man, DPR kini menjadi pusat kekuasaan paling berpengaruh. Lewat perannya di bidang perundang-undangan, anggaran, pengawasan, dan perwakilan, DPR kian kemaruk kekuasaan. DPR bisa mengawasi pemerintah dan menentukan jabatanjabatan penting di republik ini, tapi tidak ada satu pun lembaga negara yang punya hak mengawasi DPR. Pengawasan hanya datang dari publik dan dalam batas-batas tertentu dari partai yang memiliki anggota di Senayan. Dengan kekuasaan yang besar minus pengawasan, DPR dengan leluasa bisa bertindak sesuka hati. Ironisnya, apa yang dilakukan DPR justru untuk memenuhi hasrat mereka sendiri. Mulai dari gaji, fasilitas, maupun tetek bengek lainnya. Semua mulus bisa diwujudkan tanpa ada hambatan dari lembaga eksekutif maupun yudikatif.
96
Itulah yang membangun tirani DPR. Namun, justru di lembaga tinggi inilah bersarang penyakit korupsi paling parah. Tidak mengherankan berbagai survei menempatkan DPR sebagai lembaga paling korup. Ada banyak kasus berbau korupsi yang melibatkan anggota dewan. Mulai dari kasus percaloan, aliran dana Departemen Perikanan dan Kelautan, aliran dana Bank Indonesia, hingga sederet kasus lainnya. Hanya saja, belum ada satu pun anggota dewan aktif yang bisa diseret ke pengadilan. Kalaupun ada, kasusnya kemudian hilang entah ke mana. Yang menonjol justru kasus korupsi yang melibatkan anggota dewan di daerah. Data KPK tahun 2006 menyebutkan ada 1.000 anggota dewan yang terlibat kasus korupsi, 300 di tingkat provinsi dan 700 di kabupaten/kota. Karena itu, penangkapan anggota DPR Al Amin Nasution mencerminkan kalau lirik lagu Slank benar-benar diangkat dari realitas sosial. Bahwa memang ada mafia Senayan, seperti juga masih kentalnya mafia peradilan.
97
Lampiran 3 Pemberitaan Editorial Media Indonesia Tanggal: 14 April 2008 Judul Editorial
PENGEMBALIAN UANG YANG LAYAK DIPUJIKAN
Isi Editorial
FRAKSI Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengembalikan uang gratifikasi sebesar Rp1,9 miliar ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jumlah yang terbesar Rp1 miliar berasal dari Komisi IV DPR yang membidangi masalah kehutanan dan pertanian. Februari lalu, PDI Perjuangan juga mengembalikan uang kepada negara. Uang itu adalah uang legislasi sebesar Rp 3,38 miliar yang diserahkan kepada Sekjen DPR. Itu merupakan pengembalian uang yang terbesar. Pengembalian uang itu jelas layak dipujikan. Ia menjadi berita yang segar, bagaikan oasis di tengah kekeringan berita bagus dari DPR. Seperti diketahui, KPK baru saja menangkap Al Amin Nur Nasution, anggota Komisi IV DPR dari PPP, yang diduga menerima suap dari Pemerintah Kabupaten Bintan berkaitan dengan pengalihan fungsi hutan lindung. Permainan uang di DPR bukan isu baru. Sekalipun di lembaga itu ada Badan Kehormatan dan sekalipun wakil rakyat itu pernah menandatangani pakta integritas, kelakuan terhadap uang tidak berubah. Dari dua fakta pengembalian uang yang dilakukan PDIP dan PKS itu saja jelas tampak betapa besar uang di luar gaji yang mengalir ke saku anggota DPR. Yang dikembalikan saja total lebih Rp 5 miliar. Jumlah yang tidak dikembalikan, yang dimakan diam-diam oleh wakil rakyat, tentu berlipat-lipat lebih besar lagi. Itulah sebabnya sangat tidak mengherankan bila gaya hidup anggota DPR pun berubah mencolok. Tempat parkir di Senayan pernah berubah menjadi seperti layaknya show room mobil baru dan mahal. Pengembalian uang adalah perkara langka. Oleh karena itu, sekali lagi, ia layak dipujikan. Bahkan, ia mestinya ditiru fraksi partai lain sehingga menjadi kesadaran kolektif wakil rakyat. Citra DPR menyangkut uang sudah rusak berat. Permainan uang dipersepsikan telah merajalela berkaitan dengan semua
98
kewenangan yang dimiliki DPR. Oleh karena itu, langkah fraksi PKS dan PDIP mengembalikan uang itu, jelas hal yang menggembirakan. Namun, urusan hendaknya tidak selesai hanya sampai pada pengembalian dana. Dalam hal dana legislasi bagi anggota DPR, misalnya, PDIP mestinya juga berjuang agar anggaran negara untuk itu dihapuskan saja. Sebaliknya dalam pengembalian dana gratifikasi kepada KPK, harus ada gebrakan lebih jauh agar pemberi dana juga jera. Untuk itu, setiap pengembalian dana gratifikasi sebaiknya juga disertai dengan nama, jabatan, dan lembaga pemberi gratifikasi. Dengan demikian, KPK juga memiliki data yang lengkap untuk mengusutnya. Mengapa PKS takut melakukannya? Suap tak dapat terjadi dengan sebelah tangan. Suap hanya mungkin karena ada yang memberi dan menerima. Untuk memberantasnya, pemberi suap pun harus dibeberkan kepada KPK. Tidak cukup hanya uangnya yang kembali ke negara. Yang juga perlu disorot ialah konsistensi anggota DPR melaporkan kekayaannya kepada KPK. Berdasarkan laporan kekayaan itu, bisa diketahui seberapa jauh kekayaan wakil rakyat meloncat dengan cepat. KPK mestinya berani mengumumkan siapa saja anggota DPR yang telah melaporkan kekayaannya dan siapakah pula yang tidak mematuhinya. Anggota DPR yang berintegritas dambaan rakyat. Salah satu ukuran integritas itu adalah tak dapat dibeli dan berani konsisten melaporkan harta kekayaannya. Bisakah partai menghasilkan kader yang demikian, itulah pertanyaan besar yang meragukan jawabannya.
99
Lampiran 4 Pemberitaan Editorial Media Indonesia Tanggal: 25 April 2009 Judul Editorial
SIKAP DEFENSIF KETUA DPR
Isi Editorial
Ketua DPR tidak mengizinkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah ruang kerja anggota Komisi IV DPR Al Amin Nur Nasution. Amin kini ditahan KPK dengan dugaan penyuapan terkait dengan alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Anggota Fraksi PPP itu ditangkap KPK pada 9 April. Alasan penolakan DPR terkesan konyol karena tidak merujuk kepada ketentuan undang-undang. Ada dua alasan penolakan yang disampaikan Ketua DPR Agung Laksono. Pertama, saat ini DPR dalam masa reses. Kedua, yang menjadi pertanyaan pimpinan DPR, apakah kewenangan KPK sampai sejauh itu. Alasan DPR sedang reses terkesan lucu sebab yang reses itu adalah anggota DPR. Ruang kerja Al Amin Nur Nasution yang akan digeledah itu tidak ikut-ikutan reses. KPK hanya mau menggeledah ruang kerja anggota DPR yang sudah berstatus tersangka dan yang berangkutan pun kini mendekam dalam tahanan. Lagi pula, penegakan hukum mestinya tidak mengenal reses. Hukum harus tegak 24 jam nonstop. Alasan kedua sama lucunya dengan alasan pertama. Yaitu, Ketua DPR mempersoalkan kewenangan KPK. Bukankah kewenangan KPK itu diberikan DPR bersama pemerintah selaku pembuat undang-undang? Kewenangan yang sama itulah yang pernah dipakai KPK untuk menggeledah ruang kerja Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan. Bukankah ketika Bagir Manan menolak digeledah hujatan justru datang dari Senayan? Sangatlah jelas, DPR tidak mau tunduk pada aturan yang dibuatnya sendiri. Dengan demikian, alasan penolakan Ketua DPR lebih mencerminkan watak arogansi kekuasaan daripada merujuk kepada perintah undang-undang. Kewenangan menggeledah itu melekat dalam diri KPK setelah mengantongi izin dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Kewenangan itu pun dilengkapi dengan senjata pamungkas pemaksa, yaitu
100
memidanakan setiap orang yang menghalangi KPK melaksanakan tugasnya. Ancaman pidananya tidak main-main, bisa dipenjara paling lama 12 tahun. Sikap pimpinan DPR itu bisa saja ditafsirkan sebagai upaya untuk melindungi koruptor. Lebih celaka lagi jika masyarakat menafsirkan para koruptor selama ini berkantor di gedung megah di Senayan sehingga perlu dilindungi pemimpin mereka. Penafsiran itu tidak sepenuhnya salah karena berdasarkan hasil survei persepsi masyarakat, lembaga legislatif selalu meraih predikat terkorup. Persepsi itu kini seakan menemukan kebenarannya di balik penolakan untuk digeledah. Harus jujur dikatakan, masih banyak anggota DPR yang bersih. Sayangnya, suara mereka yang jujur itu nyaris tak terdengar dalam ingar-bingar perbuatan tercela sejumlah anggota dewan. Karena banyak anggota DPR bersih, mestinya tidak ada alasan untuk takut digeledah KPK. Ketakutan itu bagai nila setitik yang merusak susu sebelanga. Tentu saja kita tidak berharap nilanya sudah menjadi sebelanga dan susunya tinggal setitik di Senayan. Mestinya, penggeledahan oleh KPK itu bisa dijadikan momentum untuk mengampanyekan DPR yang bersih dan bebas dari polusi korupsi. DPR yang berada dalam barisan bersemangat memberantas korupsi. Sikap defensif yang diperlihatkan ketua dewan itu justru kampanye buruk terhadap seluruh anggota dewan yang sebentar lagi ikut berlaga dalam Pemilu 2009. Rakyat pasti sangat cerdas untuk tidak memilih lagi anggota DPR yang prokoruptor.
101
Lampiran 5 Pemberitaan Editorial Media Indonesia Tanggal: 29 April 2009 Judul Editorial
PELAJARAN HUKUM UNTUK DPR
Isi Editorial
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya berhasil menembus tembok arogansi pimpinan DPR. Kemarin, KPK menggeledah enam ruangan di Gedung DPR. Padahal, empat hari sebelumnya, Ketua DPR Agung Laksono tidak mengizinkan KPK menggeledah DPR dengan berbagai alasan, antara lain DPR sedang reses. Penggeledahan itu dilakukan setelah KPK mengantongi izin dari ketua pengadilan sesuai dengan prosedur hukum acara. Prosedur itu sangatlah sederhana, seperti penggeledahan harus ada saksinya. Penggeledahan di DPR, kemarin, disaksikan Badan Kehormatan DPR dan Komisi III DPR yang membidangi hukum. Penolakan DPR untuk digeledah KPK hakikatnya adalah pengingkaran DPR atas hak konstitusionalnya. Sebab, menurut konstitusi, DPR bersama pemerintahlah yang menyusun undang-undang termasuk hukum acara tersebut. KPK hanya menjalankan tugas yang sudah diatur secara rinci oleh DPR bersama pemerintah dalam undang-undang. Keberhasilan KPK menggeledah ruangan di DPR juga harus dilihat sebagai kemenangan hukum. Hukum yang tidak pernah mengenal diskriminasi status sosial kelembagaan. Sebelumnya KPK pernah menggeledah ruang kerja Ketua Mahkamah Agung dan Gubernur Bank Indonesia. Dengan demikian, KPK telah menjalankan perintah konstitusi, yaitu segala warga negara sama kedudukannya di depan hukum. Penolakan DPR untuk digeledah KPK mestinya juga dilihat sebagai pembangkangan terhadap konstitusi. Karena itu, kesediaan DPR untuk digeledah, sekalipun kesadaran itu datangnya terlambat, tetap perlu diberi apresiasi. Tentu, kita berharap, kesediaan itu bukan karena pimpinan DPR takut dengan ancaman hukuman badan paling lama 12 tahun kepada setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, dan menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan korupsi. DPR mestinya berterima kasih kepada KPK. Mengapa? Citra
102
DPR sudah mencapai titik nol di mata masyarakat. Dalam berbagai survei yang dilakukan lembaga independen menyangkut persepsi publik, DPR dipersepsikan sebagai lembaga terkorup di negeri ini. Kesediaan DPR untuk digeledah KPK bisa menghapus sebagian kesan DPR sebagai lembaga pelindung koruptor. Tentu penghapusan sebagian kesan bergantung pada hasil penggeledahan. Jika KPK tidak menemukan indikasi korupsi di ruang yang digeledah, semua persepsi negatif tentang DPR kiranya terehabilitasi. Jauh lebih elok lagi jika DPR secara sukarela meminta kepada KPK untuk menggeledah seluruh ruang kerja anggota termasuk pimpinan DPR. Apalagi jika anggota DPR secara sukarela pula meminta KPK untuk meneliti rekening bank mereka. Inisiatif seperti itu yang tidak pernah muncul dari anggota dewan. Padahal, diperlukan cara-cara revolusioner untuk membangun citra DPR yang lebih bermartabat lagi. Tidak bisa hanya menggunakan cara-cara konvensional. Pembangunan citra yang lebih baik itu harus dilakukan dengan penuh kesadaran dari dalam tubuh DPR sendiri. Penggeledahan itulah cara KPK berterima kasih kepada DPR. KPK telah memberikan pelajaran sangat berharga kepada lembaga yang melakukan uji kelayakan dan kepatutan kepada dirinya.