BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Periode awal 2000-an ini televisi, media online, dan media cetak Indonesia banyak membahas mengenai cerita perjalanan. Televisi sebagai media penyiaran yang paling banyak dilihat menampilkan berbagai reality show bertema perjalanan dari konsep eksploratif hingga turistik. Konsep perjalanan eksploratif dicontohkan oleh Jejak Petualang yang melakukan perjalanan hanya seorang diri. Konsep perjalanan turistik dicontohkan seperti My Trip My Adventure, Eksplore Indonesia, Survivor, dan Jalan-Jalan Selebriti yang menggambarkan perjalanan bersama. Media online banyak menghadirkan tulisan, foto-foto, dan video bertema perjalanan. Salah satu media online yang mengangkat tema perjalanan ialah naked-traveler.com yang dibuat pada 2005. Blog tersebut berisi kumpulan tulisan perjalanan yang dikirim oleh para pembacanya. Kiriman para pembaca tersebut dicetak menjadi sebuah buku laporan perjalanan yang berisi pengalaman masingmasing pembaca selama mengunjungi berbagai tempat di dalam maupun luar negeri. Buku ini diberi judul The Naked Traveler dan berseri. Setelah itu banyak buku-buku serupa yang mengikuti kemunculannya. Media cetak banyak menghasilkan buku panduan perjalanan, jurnal tentang perjalanan, laporan perjalanan hingga novel perjalanan. Contoh novelnovel perjalanan tersebut antara lain novel Sang Pemimpi (2006) dan Edensor (2007) karya Andrea Hirata, novel trilogi: Negeri 5 Menara (2010), Ranah 3
1
2
Warna (2011), Rantau 1 Muara (2013) karya Ahmad Fuadi, Jingga: Perjalanan ke India dan Thailand Mencari Surga di Bumi (2010) karya Marina S. Kusumawardhani, Travel in Love (2013) karya Diego Christian, Niskala (2013) karya Daniel Mahendra, dan novel-novel perjalanan yang dipayungi oleh Penerbit Gagas Media, yang dikenal dengan seri Setiap Tempat Punya Cerita (STPC).1 Selain novel-novel perjalanan yang telah disebutkan, ada juga novel perjalanan yang bernafas Islami maupun religiusitas seperti novel-novel karya Hanum S. Rais & Rangga Almahendra: 99 Cahaya di Langit Eropa (2011), Berjalan di Atas Cahaya (2013), Bulan Terbelah di Langit Amerika (2013), Assalamu‟alaikum, Beijing! karya Asma Nadia (2013), dan novel Haji Backpacker 9 Negara Satu Tujuan2 (2014) karya Aguk Irawan M.N. Dalam bentuk catatan perjalanan juga ada antara lain Selimut Debu (2010), Garis Batas (2011), dan Titik Nol: Makna sebuah Perjalanan (2013) karya Agustinus Wibowo. Satu lagi dalam bentuk memoar yang juga ditulis oleh Aguk Irawan M.N., yaitu Haji Backpacker sebuah Memoar (2011). Pada umunya motivasi melakukan perjalanan dalam novel-novel di atas untuk pendidikan, pekerjaan, dan berlibur. Ada juga novel perjalanan dengan alasan yang berbeda, yaitu keagamaan dan religiusitas. Novel-novel tersebut misalnya karya Hanum S. Rais & Rangga Almahendra dan Aguk Irawan M.N.
1
2
Paris, Aline (2013) karya Prisca Primasari, Last Minute in Manhattan (2013) karya Yoana Dianika; Roma, Con Amore (2013) karya Robin Wijaya; Barcelona Te Amo (2013) karya Kireina Anno, Bangkok (2013) karya Moemoe Rizal, First Time in Beijing (2013) karya Riawani Elyta, Melbourne (2013) karya Winna Effendi; Swiss Little Snow in Zurich (2013) karya Alvi Syahrin, London: Angel (2013) karya Windry Ramadhina, Tokyo: Falling (2013) karya Sefryana Khairil, Holland One Fine Day in Leiden (2013) karya Feba Sukmana, Amsterdam Ik Hou van Je (2013) karya Arumi E, Sotter Celo de Roma (2013) karya Donna Widjajanto. Penulisan selanjutnya dalam penelitian ini menjadi Haji Backpacker.
3
yang menceritakan hal berbeda. Ketiga novel karya Hanum & Rangga menceritakan perjalanan menapaki sejarah peradaban Islam di Benua Eropa sedangkan novel Aguk Irawan menceritakan perjalanan tokoh Mada melintasi sembilan negara untuk mencari jati diri setelah memberontak terhadap Tuhan. Negara-negara tersebut meliputi Thailand, Laos, Vietnam, China, India, Tibet, Nepal, Iran, dan Saudi Arabia. Negara terakhir yang dikunjungi Saudi Arabia karena di sini Mada berumrah dan berziarah di makam ayahnya. Dalam hal popularitas karya, novel Hanum dan Rangga maupun Aguk Irawan termasuk dalam kategori best seller serta mengalami ekranisasi seperti novel Sang Pemimpi, Edensor, dan Negeri 5 Menara yang telah mendahuluinya. Novel 99 Cahaya di Langit Eropa dan ketiga novel tersebut sudah banyak dijadikan objek material penelitian sedangkan novel Haji Backpacker belum banyak yang menggunakannya. Dari latar belakang penulisnya, novel 99 Cahaya di Langit Eropa ditulis oleh seorang jurnalis dan pembaca berita yang baru mulai menerbitkan buku pada tahun 2010. Profesi Hanum sebagai publik figur dan sebagai putri Amien Rais, mantan ketua MPR RI pada periode 1999-2004 dan mantan Pimpinan Pusat Muhammadiyah sangat mempengaruhi publikasi karyanya. Dengan demikian, popularitas sosok Hanum lebih dulu diperolehnya sehingga mempermudah proses publikasi. Kondisi ini berbeda dengan Aguk Irawan yang dikenal lewat karyakaryanya baik fiksi maupun non fiksi. Aguk Irawan konsisten menulis sejak tahun 90-an ketika menjadi mahasiswa di Kairo dan pernah menjadi aktivis NU. Karyakaryanya mulai diterbitakan pada tahun 1998 hingga sekarang. Konsistensi Aguk
4
Irawan juga terlihat dalam pemilihan lembaga pendidikan formalnya yang berbasis agama. Setelah lulus SMP Sunan Drajat Lamongan melanjutkan ke MAN (Madrasah Aliyah Negeri atau setara SMA) sambil belajar „kitab kuning‟ di Pondok Pesantren Darul Ulum Langitan Widang, Tuban, lalu melanjutkan kuliah di Universitas Al-Azhar Mesir, pascasarjana di Al-Aqidah Jakarta, serta pendidikan doktor di Universitas Islam Negeri Sunan Kali Jaga Yogyakarta.3 Tema-tema yang diangkat dalam karya-karyanya kebanyakan tema tentang kemanusiaan dan religiusitas.4 Dari sekian banyak karya Aguk Irawan novel Haji Backpacker sebagai salah satu karya fiksi yang mengangkat religiusitas mengalami proses berbeda dari karya-karya lainnya. Sebelum terbit sebagai novel Haji Backpacker diterbitkan dalam bentuk memoar yang berjudul Haji Back-Packer 1 (Edelweis, 2008) dan Haji Backpacker 2 (Edelweis, 2011). Memoar Haji Backpacker berisi pengalaman teknis dan spiritual melakukan ibadah haji secara backpacker. Kemudian penulis menulis lagi Haji Backpacker versi ketiga berdasarkan dua memoar sebelumnya dalam bentuk novel yang berjudul Haji Backpacker 9 Negara Satu Tujuan. Terakhir novel ini dihadirkan dalam bentuk film yang 3
4
Tentang biografi Aguk Irawan diakses dari http://www.goodreads.com/book/show/10318904haji-backpacker-2 pada 1 Oktober 2015 pukul 10.43 WIB. Dari Lembah Sungai Nil (Kinanah, 1998), Hadiah Seribu Menara (Kinanah, 1999), Kado Milenium (Kinanah, 2000), Negeri Sarang Laba-Laba (Galah Press, 2002), Binatang Piaraan Tuhan (Kinanah, 2003), Liku Luka Kau Kaku (Ombak, 2004), Sungai yang Memerah (Ombak, 2005), Penantian Perempuan (Ombak, 2005), trilogi Risalah Para Pendusta (Pilar Media, 2007), Sepercik Cinta dari Surga (Grafindo, 2007), Memoar Luka Seorang TKW (Grafindo, 2007), Aku, Lelaki Asing, dan Kota Kairo (Grafindo, 2008), Balada Cinta Majenun (Citra Risalah 2008), Langit Mekah Berkabut Merah (Grafindo Khazanah Ilmu, 2008), Sekuntum Mawar dari Gaza (Grafindo, 2008), Labirin Kematian : Pergolakan Cinta dari Bawah Tanah (Arti Bumi Intaran, 2008), Hasrat Waktu (Arti Bumi Intaean, 2009), Lorong Kematian (Global Media, 2010), Sinar Mandar (Global Media 2010), Jalan Pulang (Azhar Risalah, 2011) dan novel biografi K.H. Hasyim Asy‟ari (Global Media, 2011).
5
berjudul Haji Backpacker. Novel Haji Backpacer sebagai novel yang bernafas Islami memiliki perbedaan dengan novel sejenis lainnya. Dalam hal isu keagamaan novel Haji Backpacker lebih banyak menggambarkan Islam di lingkup Asia yang justru belum banyak diungkapkan dalam karya sastra lainnya. Kalaupun ada karya tersebut hanya menggunakan salah satu negara sebagai latarnya sedangkan novel Haji Backpacker menggunakan banyak negara. Karena banyak negara yang digambarkan oleh penulis, maka diasumsikan akan banyak budaya lain yang ditemui. Pertemuan dengan budaya lain di luar tempat asal penulis akan menimbulkan negosiasi sehingga pelaku perjalanan dapat beradaptasi dengan tempat dan budaya yang baru. Negosiasi yang terjadi antara pelaku perjalanan (diri) dengan budaya liyan ini menjadi pembahasan utama dalam cerita perjalanan kaitannya dengan teori Travel Writing yang dipaparkan oleh Carl Thompson. Berdasarkan penjelasan Thompson, negosiasi tersebut dapat diungkapkan oleh penulis cerita perjalanan melalui penggambaran dunia, pengungkapan diri, representasi liyan, dan agenda (sosial, budaya, politik, dan ekonomi) dalam cerita perjalanan. Teori Travel Writing Carl Thompson selain digunakan sebagai pisau analisis juga digunakan sebagai metode penelitian karena teori ini mencakup cara kerja/analisis terhadap objek material yang dikaji. 1.2. Rumusan Masalah Masalah pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana negosiasi antara diri dan liyan yang terjadi akibat pergeseran ruang yang berupa perjalanan traveler
6
ke wilayah masyarakat dan kebudayaan yang berbeda atau asing. Selain itu, agenda
sosial,
budaya,
politik,
dan
ekonomi
seperti
apa
yang
melatarbelakanginya. Pertanyaan pokok itu dijabarkan menjadi empat pertanyaan bawahan sebagai berikut. a) Bagaimana novel Haji Backpacker menggambarkan dunia? b) Bagaimana diri yang terungkap dari pertemuan dengan dunia dan liyan dalam novel Haji Backpacker? c) Bagaimana novel Haji Backpacker merepresentasikan liyan? d) Bagaimana agenda sosial, budaya, politik, dan ekonomi mempengaruhi novel Haji Backpacker? 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengungkapkan negosiasi antara diri dengan liyan yang meliputi penggambaran dunia, pengungkapan diri, representasi liyan, dan agenda (sosial, budaya, politik, dan ekonomi) dari novel Haji Backpacker. Manfaat teoretis dan manfaat praktis dari hasil penelitian ini sebagai berikut. a) Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menjadi wawasan baru tentang pentingnya cerita perjalanan sebagai wilayah yang potensial untuk dikaji. b) Tesis
ini
juga
diharapkan
memberikan
kontribusi
positif
terhadap
perkembangan kajian, teori, dan kritik sastra Indonesia kontemporer. 1.4. Tinjauan Pustaka Penelitian ini mengacu pada hasil penelitian terdahulu berupa skripsi yang berjudul “Aspek Motivasi Tokoh Utama dalam Novel Haji Backpacker Karya
7
Aguk Irawan M.N.: Tinjauan Psikologi Sastra dan Implementasinya sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA” karya Panji Dwi Lesmana yang menunjukkan persamaan dengan objek material peneliti. Tujuan penelitian ini antara lain mendeskripsikan latar sosio historis pengarang, struktur novel Haji Backpacker karya Aguk Irawan M.N., aspek motivasi tokoh utama dalam novel Haji Backpacker karya Aguk Irawan M.N., dan implementasi aspek motivasi tokoh utama dalam novel Haji Backpacker karya Aguk Irawan M.N. dalam pembelajaran sastra di SMA. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan metode analisis pembacaan model semiotik, yaitu pembacaan heriustik dan hermeneutik. Pendekatan yang digunakan adalah psikologi sastra. Hasil penelitiannya sebagai berikut. 1) Dari analisis latar sosio historis pengarang, Aguk Irawan M.N. sebagai pengarang novel Haji Backpacker berasal dari Lamongan, Jawa Timur telah menghasilkan beberapa novel. 2) Berdasarkan struktur ceritanya, novel Haji Backpacker bertema perjuangan, cinta, dan kehidupan. Tokoh-tokohnya terdiri dari yaitu Mada, Sofia, Suchun, Marbel, Mala, Ibu, dan Ayah dengan Mada sebagai tokoh utama. Alur yang digunakan adalah alur mundur, sorot balik atau flash back. Latar waktu dalam novel berlangsung pada tahun 2008, sedangkan latar tempat berada di Indonesia, Thailand, Vietnam, China, India, Tibet, Nepal, Iran, dan Arab Saudi. 3) Aspek motivasi dalam novel Haji Backpacker yaitu: motivasi internal vs. motivasi eksternal, motivasi mengejar kesenangan vs. motivasi menjauhi rasa
8
sakit, motivasi positif vs motivasi negatif, motivasi dini vs. motivasi terlambat, motivasi pribadi vs. motivasi orang lain, dan motivasi statis vs. motivasi dinamis. 4) Aspek motivasi dalam novel tersebut dapat diimplementasikan dalam pembelajaran sastra di SMA. Dari hasil pembacaan terhadap skripsi ini peneliti menemukan kelemahan dalam pembahasan isunya. Penelitian mengenai aspek motivasi tidak dapat menggambarkan seluruh aspek cerita. Meneliti aspek motivasi hanya sebagian kecil dari seluruh isi cerita. Hal yang lebih penting untuk diteliti ialah perjalanan yang dilakukan tokoh, bukan motivasinya. Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang hanya mengkaji tentang aspek motivasi dalam novel Haji Backpacker, penelitian ini menggunakan teori Travel Writing yang memang dibutuhkan untuk analisis cerita perjalanan. Dengan teori Travel Writing Carl Thompson peneliti mengungkapkan negosiasi antara diri dengan liyan melalui penggambaran dunia, pengungkapan diri, representasi liyan, dan agenda (sosial, budaya, politik, dan ekonomi). Dengan demikian, peneliti dapat memperlihatkan aspek perjalanan dalam novel Haji Backpacker secara lengkap. 1.5. Landasan Teori Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pada bagian rumusan masalah, peneliti menggunakan teori Travel Writing (2011) Carl Thompson. Di dalam buku itu Thompson mendefinisikan cerita perjalanan sebagai “... negotiation between self and other that is brought about by movement in space”. Dengan begitu,
9
pengertian cerita perjalanan menurut Thompson (2011: 9) ialah rekaman atau produk dari pertemuan antara diri dengan liyan sebagai negosiasi antara keserupaan dan keberbedaan. Secara harfiah negosiasi memiliki arti perundingan untuk mencapai kesepakatan. Dalam konteks cerita perjalanan, perundingan tersebut dilakukan antara diri dengan liyan dalam upaya mengatasi benturan atau hubungan yang terjadi akibat keserupaan dan keberbedaan budaya. Negosiasi tersebut diungkapkan penulis melalui penggambaran dunia, pengungkapan diri, representasi liyan, dan agenda yang tersembunyi dalam cerita perjalanan. Namun, sebelum jauh memaparkan masing-masing konsep tersebut, terlebih dulu peneliti memaparkan pengertian cerita perjalanan secara umum. 1.5.1. Pengertian Cerita Perjalanan Salah satu definisi yang dapat diberikan pada pengertian perjalanan (travel) yaitu pertemuan antara diri dan liyan, yang disebabkan oleh pergerakan melalui ruang (Thompson, 2011: 9). Pergerakan ruang ini dibatasi pada pengertian perjalanan yang diuraikan sebagai cerita perjalanan (travel writing). Jika semua perjalanan tentang pergerakan melewati ruang melibatkan diri dan liyan, maka semua cerita perjalanan dewasa ini sebagai produk dari pertemuan antara persamaan dan perbedaan yang dibawa traveler. Dari segi tujuan, cerita perjalanan bertujuan melaporkan dunia yang luas meliputi orang-orang dan tempat-tempat yang asing (unfamiliar) (Thompson, 2011: 10). Jauh sebelum Thompson menyampaikan definisi mengenai cerita perjalanan di atas, banyak pendapat yang disampaikan oleh para tokoh dan penulis
10
perjalanan. Thompson (2011: 13) sendiri menggunakan banyak buku referensi yang dilabeli “perjalanan”. Buku-buku tersebut meliputi buku panduan perjalanan, fotografi perjalanan, peta, dan cerita/sastra perjalanan. Fotografi perjalanan menyajikan gambar-gambar indah suatu lokasi, sedangkan cerita perjalanan menyajikan catatan panjang yang dibuat oleh seorang penjelajah. Cerita perjalanan biasanya dibuka dengan setting bahwa narator keluar dari rumahnya untuk mencapai suatu tujuan, berpetualang, atau mencari pengalaman baru. Selama perjalanannya narator bagaikan musafir yang menjadikan perjalanannya sebagai sebuah pengalaman, yang merubah hidupnya sebelum kembali ke rumah dan menyatu dengan lingkungan sosial asalnya. Thompson (2011: 27) menunjukkan bahwa campur tangan pengarang mengenai fakta dalam cerita perjalanan tidak dapat dipisahkan. Seorang penulis perjalanan berperan sekaligus sebagai reporter dan percerita. Dalam perannya sebagai reporter, penulis harus menyampaikan informasi yang diperoleh melalui perjalanan secara akurat. Ia juga sebagai pencerita yang harus menjaga agar pembaca tetap tertarik dan senang terhadap informasi dalam ceritanya atau paling tidak ceritanya dapat dicerna dengan mudah. Dalam cerita tersebut, pengalaman perjalanan penulis menjadi unsur penting yang dirangkai menjadi sebuah teks. Teks ini dibentuk dari perpaduan antara
deskripsi,
perumpamaan,
gagasan,
perasaan,
dan
motif
ketika
menggambarkan pengalaman penulis sehingga fakta yang ada menjadi bersifat fiksi. Dalam beberapa hal, penulis cerita perjalanan akan memilih model narasi “menunjukkan” daripada “menceritakan”. Penulis tidak hanya melaporkan
11
pertemuan
yang
berhubungan
dengan
masa
lalu,
tetapi
lebih
pada
merekonstruksinya dengan lebih jelas (Thompson, 2011: 28). Pada prinsipnya, cerita perjalanan lebih diarahkan ke dalam bentuk kemodern-an sastra, artinya cerita perjalanan lebih diarahkan ke bentuk (sub) genre sebagai buku perjalanan modern. Cerita perjalanan bisa dilihat dengan perspektif yang lebih luas, misalnya etnografi modern, juga bisa dianggap sebagai bentuk sederhana dari cerita perjalanan. Sebenarnya, hal serupa juga terjadi pada teksteks lain yang menceritakan tentang pengalaman lapangan dan perjalanan (Thompson, 2011: 32). 1.5.2. Penggambaran Dunia dan Epistemological Decorum Cerita perjalanan cenderung mempunyai tujuan untuk menyebarkan atau memberitahu pada masyarakat mengenai dunia yang luas, tempat, dan orang yang asing. Cerita perjalanan menerjemahkan „travel experience‟ ke „travel text‟. Dalam proses tersebut terdapat lapisan antara dunia nyata dan dunia yang dituliskan oleh penulis perjalanan (Thompson, 2011: 62). Dilihat dari segi estetisnya, ada masanya cerita perjalanan menjadi masalah serius, terutama ketika tujuannya memberikan informasi yang vital untuk navigasi atau panduan perjalanan (Thompson, 2011: 63). Hal yang mendasar dalam penggambaran dunia adalah dua sudut pandang yang ditunjukkan penulis, apakah dunia digambarkan secara subjektif atau objektif. Sebagai sebuah laporan mengenai dunia yang luas, orang-orang dan tempat yang asing, cerita perjalanan dapat bergerak ke dua arah yang bertentangan. Pertama, memberikan tekanan yang kuat pada gambaran objektif
12
mengenai dunia asing yang dikunjungi dengan menekan sekuat mungkin tanggapan atau pendapat pribadi traveler terhadap dunia itu. Kedua, memberikan tekanan pada diri pelaku perjalanannya sendiri, pendapat, dan respon-respon emosionalnya terhadap dunia. Kecenderungan yang pertama merupakan kecenderungan umum yang terdapat dalam cerita perjalanan Eropa dari Zaman Klasik hingga Renaisans (modern awal), sedangkan kecenderungan kedua banyak muncul dalam cerita perjalanan pada Era Modern yang bermuara pada Romantisisme (Thompson, 2011: 72). Dalam menggambarkan dunia, seorang traveler akan menghadapi perbedaan budaya sehingga ia harus berjuang untuk memahaminya. Untuk alasan ini, perjalanan menjadi sebuah pengalaman yang mengasingkan hingga menimbulkan perasaan heran/kagum/terpesona. Terkadang kondisi ini membuat penulis tidak dapat menemukan kata-kata untuk menyampaikan secara penuh pengalaman mereka. Oleh karena itu, traveler memiliki tugas untuk menjelaskan pertemuan dan pengalamannya mengenai tempat dan budaya asing yang berbeda dengan pembaca atau tempat asalnya (Thompson, 2011: 67). Selain membahas tentang subjektivitas dan objektivitas, Thompson juga menunjukkan cara atau strategi yang dapat digunakan oleh penulis cerita perjalanan untuk meraih kepercayaan pembaca terhadap cerita perjalanannya. Strategi ini oleh Thompson disebut sebagai epistemological decorum. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa cerita perjalanan menggambarkan dua lapis dunia, yaitu dunia fiksi dan kenyataan yang berkaitan dengan keakuratan penulis menyampaikan pengalaman perjalanannya. Sehubungan dengan ini, peneliti
13
merumuskan menjadi beberapa strategi berdasarkan pemaparan Thompson mengenai epistemological decorum. Pertama strategi otoritas yang dibedakan menjadi otoritas teks dan otoritas personal. Strategi otoritas teks berkaitan dengan teks-teks canon seperti Alkitab, tulisan-tulisan Bapa Gereja, karya para filsuf klasik, ahli bumi, dan sejarawan (misalnya Aristoteles dan Pliny). Pada konteks ini epistemological decorum berhubungan erat dengan kecocokan teks canon (Thompson, 2011: 73). Untuk itu, dalam cerita perjalanan disertakan kutipan-kutipan yang berasal dari teks-teks canon tersebut. Pada strategi otoritas personal, penulis perjalanan akan menghadirkan suara-suara dari para ahli dunia, figur heroik (orang yang melaporkan penemuan nyata dan ikhlas menyumbang untuk pengetahuan), atau suara penduduk asli dari tempat yang didatangi oleh traveler (Thompson, 2011: 93). Kedua, strategi objektivis untuk menyajikan informasi dan membentuk otoritas
(Thompson,
2011:
82).
Strategi
ini
menyerupai
cara
dalam
menggambarkan dunia secara objektif. Narator atau penulis perjalanan dalam menggambarkan dunia dan menyajikan informasi bisa secara objektivis faktual (detail) atau berusaha netral. Penggunaan strategi objektivis terlihat pada tulisantulisan yang menggunakan format jurnal. Terdapat pencantuman tanggal, waktu, kondisi pada saat itu juga untuk menambah konteks ketika penulis mengalami kejadian itu, yang ditulis secara langsung. Kebiasaan ini muncul di era abad ke-16 dan ke-17 yang dilakukan oleh kalangan Royal Society karena terinspirasi dari John Locke Sir Francis Bacon (Thompson, 2011: 73).
14
Ketiga, strategi empirik yang berfungsi untuk menguatkan klaim penulis bahwa semua informasi yang disajikan telah diperoleh dengan percobaan, yaitu melalui pengalaman pribadi dan pengamatan langsung. Strategi empirik didasarkan pada otoritas seorang penulis perjalanan bahwa dirinya telah menjadi saksi mata (eyewitness). Penulis menyaksikan dunia yang belum disaksikan oleh orang lain atau telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, sedangkan orang lain hanya mendengar melalui cerita-cerita (secondhand). Berangkat dari sifat kesaksi-mataan inilah biasanya penulis perjalanan selalu menggunakan sudut pandang orang pertama tunggal, misalnya “aku” (Thompson, 2011: 73). Keempat, seorang penulis perjalanan harus berusaha menerjemahkan sesuatu yang asing dengan menggunakan referensi-referensi tertentu yang ada pada budayanya. Hal ini menjadi semacam dasar, tolak ukur, bahkan pembanding untuk memahami entitas yang tidak diketahui oleh pembaca. Prinsip ini yang kemudian disebut Thompson (2011: 68-70) sebagai prinsip attachment (melampirkan). Prinsip attachment dioperasikan dengan berbagai cara yang berbeda. Tingkat yang paling dasar yang digunakan penulis perjalanan adalah penggunaan simile. Penggunaan simile akan menciptakan sebuah perbandingan dengan objek yang sedang dituliskan. Selain simile, Thompson (2011: 71) menjelaskan tentang sinekdoke, yaitu menggeneralisasikan yang sebagian dilihat traveler karena traveler hanya cenderung melihat sisi dari sebuah tempat dan budaya. Dalam hal ini, traveler memandang dengan sudut pandang tertentu untuk membuat generalisasi dan kesimpulan-kesimpulan dari keseluruhan orang atau budaya.
15
Traveler/penulis
perjalanan
cenderung
mengambil
hal-hal
yang
emblematic/ikonik/simbolik dalam menggambarkan sesuatu. Ini karena semua berdasar pada sudut pandang yang subjektif dan taste penulisnya, maka tidak heran kalau tulisan tersebut tidak lepas dari ideologi yang diwariskan oleh budaya penulis sebagai ambisi komunitas yang memproduksinya. Kelima, plausibility dan probabilism menjelaskan hal-hal yang terjadi dalam cerita perjalanan sebagai hal yang masuk akal dan mungkin untuk terjadi. Plausibility atau plausibilitas yang dimaksud Thompson (2011: 80) meliputi keterikatan pada kebudayaan pembaca, pengetahuan umum (common sense), dan kecenderungan penulis menggunakan common sense dalam menggambarkan pembacanya. 1.5.3. Pengungkapan Diri dalam Cerita Perjalanan Pada bagian ini didiskusikan bahwa tumbuhnya keinginan dan kebutuhan untuk menekankan status kesaksian-mata dan memberikan kredibilitas lebih besar pada laporan penulis perjalanan (Thompson, 2011: 98). Melalui A Tramp Abroad (1880) karya Mark Twain, Thompson (2011: 109-110) berpendapat bahwa cara yang ditempuh penulis perjalanan untuk menegaskan diri dalam teks adalah mendeskripsikan pengalaman-pengalamannya. Karya Twain merupakan model cerita perjalanan yang tidak hanya menyajikan informasi tentang dunia yang luas, tetapi juga drama tentang kompleksitas cerita dan interaksi yang sulit dipisahkan, yang perlu terjadi antara diri dan liyan, traveler dan dunia dalam rangkaian perjalanan. Thompson (2011: 128) membagi jenis perjalanan menjadi dua pola, yaitu perjalanan turistik dan perjalanan eksploratif. Perjalanan turistik merupakan
16
perjalanan yang telah direncanakan, diatur, bahkan lebih mengedepankan tingkat kenyamanan traveler selama perjalanan. Perjalanan ini juga menggunakan pendukung seperti pemandu, peta, atau buku panduan perjalanan. Sebaliknya, perjalanan eksploratif mengandung tingkat ketidakpastian cukup tinggi. Perjalanan yang dilakukan tidak diatur atau direncanakan sedemikian rupa seperti perjalanan turistik. Dalam perjalanan eksploratif, traveler banyak menemui hal-hal yang tidak terduga, tantangan, ketidaknyamanan, penderitaan, kebahagiaan, dan lain-lain. Perjalanan ini juga tidak menggunakan pendukung seperti perjalanan turistik. Pada masa tertentu, perjalanan eksploratif menggambarkan kunjungan tempat-tempat dan kebudayaan yang belum tersentuh oleh modernitas. Perjalanan seperti ini membutuhkan kemampuan untuk mengatasi ketidaknyaman dan bahaya. Ketidaknyamanan dan gangguan inilah yang berguna bagi para penulis perjalanan. Perjalanan ditampilkan sebagai tantangan dan pelajaran sejati, bahkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi traveler, penulis gunakan sebagai klaim atas otentisitas diri maupun liyan (Thompson, 2011: 124). Di era ini, cerita perjalanan menyajikan perjalanan sebagai ritual penting perjalanan dan sebagai proses realisasi diri. Dalam cerita perjalanan sering digambarkan semacam ziarah atau pencarian karena ini merupakan jenis perjalanan yang membawa pembaharuan diri. Misalnya ziarah dan pencarian merupakan perjalanan yang sering dianggap sebagai ritus perjalanan penting pada periode sebelum akhir abad kedelapan belas (Thompson, 2011: 106).
17
Selain menjelaskan dua jenis perjalanan seperti di atas, Thompson juga menjelaskan bahwa perjalanan ziarah di sini sesuai dengan perjalanan ziarah yang terjadi di abad pertengahan, yaitu peziarah mengunjungi tempat-tempat suci dan situs-situs yang berhubungan dengan kepentingan keagamaan. Pada masa itu, perjalanan ziarah merupakan bentuk praktis dari teks-teks keagamaan (Thompson, 2011: 38). Kemudian, Thompson mencontohkan karya-karya perjalanan ziarah seperti Remarks on Several Parts of Italy (1705) karya Joseph Addison dan Discoverie of the Large, Rich and Beautiful Empyre of Guiana (1596) karya Sir Walter Ralegh. Perjalanan ziarah merupakan perjalanan spiritual, terdapat perubahan eksistensial, dan melibatkan peningkatan keyakinan. Perjalanan ini mengandung ketidaknyamanan, rasa kehilangan, dan penderitaan selama perjalanan (Thompson, 2011: 106). Dalam perjalanan ziarah juga terdapat pendidikan jiwa (education of the soul) seperti yang disampaikan dalam Kitab Bible yang menjadi acuan bagi ziarah abad pertengahan (Thompson, 2011: 38). Selanjutnya, dari jenis-jenis perjalanan akan dapat terungkap diri sebagai pelaku perjalanan yang sebelumnya diindikasikan dari pola penggambaran dunia. Pada dasarnya, Thompson membedakan adanya tiga macam subjektivitas (diri) dalam cerita perjalanan Eropa sepanjang zaman, yaitu subjektivitas pencerahan yang cenderung objektif, subjektivitas romantik yang cenderung subjektif, dan subjektivitas postmodern. Pertama, subjektivitas pencerahan (diri pencerahan) disebut juga diri yang utuh, tidak mengalami perubahan. Diri pencerahan dapat dikatakan sebagai biner oposition dari diri romantik. Diri pencerahan selalu memprioritaskan fakta dan
18
melakukan penyelidikan secara empiris dalam perjalanannya. Diri pencerahan merupakan pengamat dan subjek yang kaku. Untuk itulah, diri pencerahan dikatakan sebagai biner oposition dari diri Romantik. Jadi, diri (subjektivitas) pencerahan merupakan diri yang tidak berubah di hadapan dunia yang dikunjungi dan tetap berjarak dengan dunia (Thompson, 2011: 115-118). Kedua, subjektivitas (diri) romantik atau diri yang terlibat, artinya dalam perjalanannya subjek tidak hanya mengamati, tetapi juga bereaksi terhadap peristiwa di sekitarnya. Diri romantik senang mencari situasi yang dapat membangkitkan perasaan dan memiliki nilai spiritual yang kuat. Diri romantik lebih terbuka dan tidak hanya mencatat mengenai perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin seperti pematangan dan penemuan diri. Diri romantik juga dapat dikatakan sebagai subjek yang longgar dan bersifat psikologis karena pengalaman mempengaruhi batinnya (Thompson, 2011: 115). Ketiga, subjektivitas (diri) postmodern yang memiliki sifat lentur dan terus berubah. Dalam diri postmodern muncul asumsi bahwa sebenarnya pencarian diri itu tidak mungkin. Diri sebenarnya tidak bisa ditentukan, di samping diri (postmodern), ada diri yang lain. Dengan demikian, dalam diri postmodern menunjukkan batas yang kabur antara diri dengan liyan karena keduanya tumpang tindih. 1.5.4. Representasi Liyan dalam Cerita Perjalanan Liyan yang digunakan oleh penulis perjalanan (traveler) untuk mendefinisikan keunikan dan superioritas traveler. Liyan kemungkinan juga orang-orang yang berasal dari kultur traveler sendiri. Sebelum memberikan
19
penjelasan lebih jauh mengenai representasi liyan dalam cerita perjalanan, Thompson menyajikan ilustrasi pengalaman John Ross, seorang berkebangsaan Inggris yang bertemu dengan Suku Inuit di pedalaman Eropa. Dalam ilustrasi tersebut digambarkan aksi dan reaksi antara orang Inggris (sebagai explorer) dan Suku Inuit yang baru ditemui pertama kali. Di sana jelas digambarkan perbedaan budaya antara orang Inggris dan Inuit. Orang Inggris tergambar sebagai budaya tinggi, sedangkan Suku Inuit digambarkan berbudaya lebih rendah (Thompson, 2011: 130-131). Identifikasi budaya dan menyoroti perbedaan di antara traveler dengan anggota budaya lain seperti yang dilakukan John Ross di atas menunjukkan othering (peliyanan). Motif-motif dibalik peliyanan seperti yang dilakukan Ross terhadap Suku Inuit dapat dipengaruhi beberapa aspek, misal rasa benci, takut, iri, reaksi mendadak, hal tidak dimengerti, dan keinginan menguasai. Adanya motifmotif wacana peliyanan dari para penulis perjalanan melegitimasi gambaran mereka terhadap suatu kebudayaan yang derajatnya berbeda. Hal tersebut juga menjadi landasan mengapa orang-orang Barat berhak mengelola tanah dan isinya dikarenakan perbedaan derajat tingkat kebudayaan. Barat dikatakan manusia, sedangkan liyan dikatakan setengah manusia dan bumi hanya berhak dikelola oleh manusia, contohnya pada kasus Ross dengan Suku Inuit. Ross mengeksploitasi sumber daya alam yang berada di kawasan Inuit karena menganggap Inuit tidak dapat mengelolanya. Aggota Suku Inuit dianggap tidak berbudaya, tidak berteknologi, dan bodoh (Thompson, 2011: 133). Masalah peliyanan juga disampaikan Said dalam Orientalisme, Barat
20
menggambarkan Timur sebagai the orient, wilayah yang merentang dari Mesir, Timur Tengah, India, Cina, and Jepang (Thompson, 2011: 135). Wacana-wacana muncul dalam berbagai karya seni dan sastra, banyak representasi the orient yang kejam
and
sensual.
Pandangan
tersebut
merupakan
peliyanan
negatif
(merendahkan) yang pada akhirnya dijadikan landasan ideologis untuk memperluas imperialisme Barat maupun ambisi kolonial (Thompson, 2011: 135). Imperialisme maupun kolonialisme selalu berhubungan dengan adanya pertemuan budaya. Begitu juga dengan cerita perjalanan yang menggambarkan hubungan silang budaya. Seringkali Barat mengungkapkan tentang „imaginative geographies‟ yang tak hanya ada dalam pandangan traveler, tetapi juga dalam budaya secara umum. Terkadang perjalanan merepresentasikan dunia dan penduduknya dengan acuan yang lebih besar tentang prasangka, fantasi, dan asumsi yang dibawa untuk menghadapi pertemuan dengan liyan. Dalam hal ini cerita perjalanan berfungsi sebagai wacana kolonial, misalnya dalam wilayah kekuasaan. Akan tetapi, mereka juga tetap menjaga tradisi kolonial tersebut sehingga menjadi wacana neo-kolonial yang berarti jaringan pengetahuan atas superioritas Barat pada dunia liyan (Thompson, 2011: 136). Penjelasan representasi liyan ini oleh Thompson dibedakan dalam tiga macam strategi peliyanan seperti strategi peliyanan kolonial, strategi peliyanan neo-kolonial, dan strategi peliyanan poskolonial. Pertama, strategi peliyanan kolonial yang menunjukkan cara-cara kolonial untuk mendominasi maupun menghegemoni yang dijajah. Pada bagian ini, Thompson (2011: 137) mengatakan bahwa cerita perjalanan adalah salah satu bentuk kebencian budaya oleh sikap
21
imperialis. Dalam karya Stanley yang berjudul Through the Dark Continent digunakan kata kotor, rakus, hantu yang artinya merendahkan Suku Inuit. Penggambaran semacam itu menurut Foucault dan Said merupakan bentuk secara signifikan, tidak hanya gambar dan representasi budaya lain, tetapi juga persepsi tentang traveler karena mereka menjelajahi dunia. Stanley dan penulis-penulis di akhir abad ke-19 terpengaruh oleh teori sosial Darwin yang menimbulkan anggapan bahwa orang Afrika berada pada tangga terbawah perkembangan manusia hingga muncul pernyataan “hitam bukan ras yang terpisah, tetapi spesies yang terpisah”. Tindakan-tindakan merendahkan Suku Inuit muncul di seluruh cerita. Di sisi lain, selama melakukan perjalanan, Stanley ditemani oleh pemandu orang Afrika asli. Pada akhirnya, Stanley dan orang-orang Barat lainnya menganggap dirinya sebagai agen dari Christianity, civilization, commerse. Gambaran-gambaran itu bertujuan untuk menginferiorkan Afrika dan memberi semacam legitimasi atas superioritas Barat. Dengan begitu, mereka merasa berhak mengolah dan mengatur sumber daya alam yang dikuasai (Thompson, 2011: 142-146). Kedua mengenai strategi peliyanan neo-kolonial. Sejak berakhirnya masa kejayaan kekuasaan kolonial, cerita perjalanan berubah menjadi apa yang dikatakan Lisle (via Thompson, 2011: 154) sebagai „cosmopolitan vision‟ (visi kosmopolitan) yaitu visi dalam cerita perjalanan yang berusaha untuk tidak merendahkan, tetapi untuk mengangkat pihak lain dengan perbedaan budayanya. Cerita perjalanan berusaha membingkai pertemuan antara diri dengan liyan dengan cara positif, menunjukkan rasa empati, dan relasi kesetaraan, serta
22
wawasan
nilai-nilai
universal.
Cerita
perjalanan
dulu
bertujuan
untuk
mendominasi dan mengeksploitasi wilayah lain, sedangkan cerita perjalanan sekarang berusaha membantu proyek masyarakat global dengan cara saling pengertian dan toleransi. Hal tersebut mengajarkan pada manusia bagaimana menghargai kebudayaan dan mengenali nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Menurut Thompson (2011: 155), cerita perjalanan modern seperti meneruskan proyek kolonialisme dengan cara yang berbeda. Cerita perjalanan dijadikan medium penghibur bagi Barat, menyuguhi orang-orang Barat dengan kisah/dongeng tentang perjalanan mereka. Cerita perjalanan merupakan warisan sikap imperialis sehingga (seperti) menjadi konsumsi Barat yang menyuguhkan gambaran tentang liyan dan mendukung neo-kolonialisme, mengagungkan superioritas Barat. Peliyanan neo-kolonial menggambarkan liyan secara lebih halus seperti yang dicontohkan Thompson dalam karya Peter Biddlecombe yang berjudul French Lessons in Afrika (1993). Dalam banyak kasus, mudah bagi traveler Barat menyatakan bahwa masalah-masalah tersebut berasal dari tempat atau budaya lokal. Dalam karyanya, Peter menolak dan menghindari diskusi tentang campur tangan budaya Barat dalam permasalahan lokal tersebut, misal akibat-akibat geopolitik, perang dingin, dampak setelah dijajah oleh Barat, sejarah panjang tentang eksploitasi, dan pemberian oleh kekuatan luar seolah-olah tidak diungkit dalam permasalahan tersebut. Barat dianggap tidak ada pada masa yang sama dengan traveler dan budayanya. Anggapan seperti itu memposisikan Barat pada latar depan modernitas dan peningkatan legitimasi atas dominasi Barat yang
23
global. Kondisi ini membuat liyan terlihat lebih primitif, kuno, atavistik dalam perbandingan dengan Barat yang terang (Thompson, 2011: 160-161). Ketiga, strategi poskolonial memandang cerita perjalanan tanpa kecuali sebagai kekuatan untuk kebaikan dunia atau secara sederhana sebagai perantara merayakan kebebasan manusia (Cocker via Thompson, 2011: 162). Pada masa poskolonial ini muncul penulis perjalanan dari dunia ketiga, dari kelompokkelompok yang disebut subaltern. Oleh karena itu, para penulis dunia ketiga semangat membuang agenda imperialis, mengatur nostalgia imperialis dan cenderung merendahkan budaya lain karena belum terpengaruh sepenuhnya oleh modernitas Barat. Cerita perjalanan yang ditulis oleh penulis poskolonial berupaya menentang stereotipe dan sikap Barat terhadap budaya atau tempat lain. Kincaid dan Caryl Philips penulis Jamaica melakukan hal tersebut dalam tulisan yang berjudul The Small Place (yang) membahas tentang dampak pariwisata yang terjadi di Karibia. Tulisannya sering disebut sebagai counter travel writing. Hal ini juga dilakukan oleh Philip dalam tulisannya The European Tribe yang menyoroti warga kulit putih yang ada di tengah masyarakat berkulit hitam. Hal yang berkebalikan dari tulisan orang kulit putih yang kebanyakan membahas warga berkulit selain putih berada di tengah masyarakat berkulit putih (Thompson, 2011: 164). Karakteristik cerita perjalanan dari penulis poskolonial lain ialah adanya perluasan sudut pandang, sejarah, dan hubungan antar budaya yang kerap diabaikan oleh penulis berkulit putih. Hal ini dilakukan oleh Amitav Gosh dalam tulisannya In an Antique Land yang mengisahkan hubungan seorang budak India
24
dan majikan Yahudi berdasarkan surat dari seorang saudagar Arab. Gosh menciptakan suatu bentuk sejarah yang dikonstruksi sendiri dan mengisahkan hubungan antar negara Timur Tengah berdasarkan surat tersebut. Gosh menuliskan bahwa negara-negara Timur Tengah merupakan suatu negara dengan peradaban yang maju. Kedatangan bangsa Barat dengan misi pemberadabannya justru merusak peradaban negara Timur Tengah tersebut (Thompson, 2011: 165). Tidak semua penulis cerita perjalanan poskolonial menentang asumsi dan stereotip Barat. Salah satunya adalah V.S. Naipaul sebagai orang Trinidad keturunan India, yang sebagian besar hidupnya tinggal dan bekerja di Inggris. Tulisan Naipaul bercerita mengenai gelandangan dan orang-orang terlantar akibat adanya warisan budaya campuran. Naipaul tidak seperti penulis lain, dia juga membenarkan stereotip Barat bahwa negara dunia ketiga memang inferior. Oleh karena pendapatnya, Naipul dianggap sebagai pendukung neo-kolonialisme Barat, meski ada yang membantahnya (Thompson, 2011: 165-166). Dengan demikian, cerita perjalanan, baik secara kesejarahannya dan pada masa kini tidak selalu bisa membantu dalam hal penciptaan citra antara satu dengan yang lain. Hal itu karena citra dan representasi yang disediakan oleh genre ini sering disederhanakan dan difungsikan untuk menyangkal hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan yang terjalin antara traveler dan pembaca perihal tempat yang digambarkan. 1.5.5. Agenda dalam Cerita Perjalanan Setelah revolusi industri, para traveler memiliki misi untuk memperluas wilayah dengan dibekali peralatan-peralatan seperti seorang peneliti dan penjelajah untuk benar-benar mengetahui dan menggambarkan potensi-potensi
25
daerah baru. Hal ini berpengaruh pada penulisan pengalaman perjalanan mereka yang mulai sistematis karena didahului observasi-observasi yang relevan dengan berbagai kepentingan. Namun bagaimanapun juga gaya teks itu disajikan, cerita perjalanan tidak pernah lepas dari subjektivitas penulis yang pasti merupakan ekspresi ideologi (Thompson, 2011: 3). Strategi objektivis baik dalam pengumpulan dan representasi data sering dimaksudkan untuk mengatasi subjektivitas yang tak terelakkan dari sudut pandang traveler. Teks-teks yang dihasilkan biasanya memiliki dimensi ideologis. Daftar panjang 'produksi alami' yang banyak mengisi narasi eksplorasi abad kedelapan belas dan kesembilan belas. Tampaknya, model objektif tentang penggambaran fakta ekspresif dan kontributif untuk agenda komersial dan kolonial banyak didukung perjalanan eksplorasi Eropa pada era ini (Franklin, 1979; Pratt, 2008 via Thompson, 2011: 85). Berkaitan dengan agenda cerita perjalanan ini, Greenbalt menyebutnya bahwa perjalanan bukan sebagai „imagination at play‟, tetapi sebagai „imagination at work‟. Cerita perjalanan berkontribusi dalam memperluas kekuasaan Eropa dengan keingintahuan dari para cendekiawan, terlebih lagi dengan teknologi persenjataan yang maju untuk menghadapi pribumi yang dijumpai (Thompson, 2011: 85). Pendapat lain dikemukakan Thompson (2011: 119) bahwa perjalanan yang dilakukan traveler seringkali digunakan untuk mempertinggi dan menghimpun status sosial sebagaimana istilah yang digunakan oleh Pierre Bourdieu sebagai “kapital budaya”. Ketika hal ini terjadi, cerita perjalanan menjadi bagian dalam pembangunan wibawa dan kemajuan sosial.
26
Dari berbagai pendapat di atas, kemudian agenda dalam cerita perjalanan oleh Thompson (2011: 7) dikatakan sebagai implikasi etis dan politis yang merepresentasikan masyarakat dan budaya lain. Dalam penelitian ini, agenda dalam cerita perjalanan dapat ditelusuri dari cara penulis atau narator menggambarkan dunia yang berupa tempat dan orang. Agenda juga dapat terimplikasi dari genre perjalanan, misal perjalanan wisata/turistik, perjalanan eksploratif, dan sebagainya. Selain dari cerita perjalanan, agenda juga ditemukan dalam buku-buku perjalanan. Fussell (via Thompson, 2011: 15) menyatakan bahwa buku perjalanan yang benar jelas memiliki unsur pribadi atau subjektif, yakni suatu pemahaman bahwa agenda dalam buku perjalanan tidak hanya fungsional atau praktis. Sebaliknya, penekanan sensibilitas khas penulis dan gaya pada latar depan dalam teks-teks ini untuk memberikan dimensi sastra pada buku perjalanan. Menurut Fussell, buku perjalanan biasanya berupa catatan perjalanan orang pertama yang dapat dibaca untuk hiburan dan manfaat estetika, sebanyak informasi berguna yang disediakan. Gaya demikian penting sebagai konten dalam teks-teks tersebut. Sekali lagi, ini adalah penekanan yang membedakan cerita perjalanan dari buku panduan dan bentuk lain yang lebih fungsional dari catatan perjalanan atau dokumen. Pertanyaan tentang gaya dan estetika tunduk pada fungsi utamaya dalam menyampaikan informasi secara efisien dan akurat. 1.6. Hipotesis dan Variabel Hipotesis merupakan kesimpulan atau jawaban sementara yang ditetapkan berdasarkan teori yang digunakan sehubungan dengan masalah penelitian
27
(Suriasumantri, 1978; Wiarawan, 2005 via Faruk, 2012: 21). Atas dasar teori di atas, penelitian ini mengasumsikan bahwa cerita perjalanan sebagai wacana poskolonial memperlihatkan kecenderungan subjektivitas dalam penggambaran dunia, diri neo-kolonial dalam pengungkapan subjektivitasnya, dan menunjukkan perbedaan dalam strategi peliyanannya. Cerita objektivitas
perjalanan dalam
tersebut
penggambaran
juga
memperlihatkan
dunianya,
persamaan
kecenderungan dalam
strategi
peliyanannya, dan diri poskolonial yang resisten dalam pengungkapan subjektivitasnya. Kecenderungan tersebut dapat bervariasi sesuai dengan perbedaan latar belakang nasional atau lokal dan pada agenda-agenda sosial dan politik tertentu yang berlaku di lingkungan nasional atau lokal masing-masing. Variasi itu merentang dari kutub subjektivitas ke objektivitas, kesamaan dan perbedaan, dan kolonial ke poskolonial dalam pengungkapan diri. Di samping itu, perjalanan yang diceritakan dalam novel ini juga memiliki agenda baik implisit maupun eksplisit. Dari hipotesis tersebut ditemukan dua variabel dasar dari penelitian ini, yaitu variabel terikat/dependen meliputi subjektivitas-objektivitas (penggambaran dunia), persamaan-perbedaan, dan kolonial-poskolonial. Kemudian variabel bebas/independennya berupa agenda sosial dalam skala lokal maupun nasional. 1.7. Metode Penelitian Untuk membuktikan hipotesis di atas, penelitian ini menggunakan dukungan data empirik dalam pengumpulan data dan dukungan pemikiran analitis dan kritis dalam analisis data.
28
a) Metode Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data ini pada dasarnya ialah seperangkat cara atau teknik yang merupakan perpanjangan dari indera manusia karena tujuannya mengumpulkan fakta-fakta empirik yang terkait dengan masalah penelitian (Faruk, 2012: 25). Data untuk variabel pertama bersumber pada teks karya sastra yang diteliti. Dari teks itu akan dikumpulkan satuan-satuan tekstual yang merepresentasikan satuan-satuan kenyataan tekstual yang berupa gambaran mengenai dunia, strategi peliyanan, dan diri yang diungkapkan. Masing-masing dari satuan-satuan kenyataan tekstual itu akan dikelompokkan menjadi dua, yaitu gambaran subjektif dan objektif, strategi perbedaan dan kesamaan, kesetaraan dan hierarki, dan diri kolonial, neo-kolonial, dan poskolonial. Data variabel kedua bersumber pada teks-teks eksternal, baik berupa teks-teks sosiologis, kebudayaan, maupun historis. b) Metode Analisis Data Analisis data merupakan seperangkat cara atau teknik yang merupakan perpanjangan dari pikiran manusia karena fungsinya bukan untuk mengumpulkan data, melainkan untuk mencari hubungan antardata (Faruk, 2012: 25). Analisis data dilakukan untuk menemukan hubungan antara variabel yang pertama dengan variabel yang kedua. Metode yang digunakan adalah metode historis dengan mendasarkan diri pada dokumen-dokumen historis yang menyatakan adanya hubungan
empirik
antara
keduanya,
metode
perbandingan
dengan
membandingkan data-data yang ada dengan dokumen pembanding tertentu, dan metode inferensi logis seperti deduksi, induksi, dan silogisme.
29
1.8. Sistematika Penelitian Penelitian mengenai cerita perjalanan dalam novel Haji Backpacker karya Aguk Irawan disajikan dalam enam bab. Bab I berupa pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat, tinjauan pustaka, landasan teori, hipotesis dan variabel, metode penelitian, serta sistematika laporan penelitian. Bab II pembahasan tentang penggambaran dunia yang mencakup penggambaran objektif, penggambaran subjektif, dan epistemological decorum. Bab III pembahasan pengungkapan diri yang terdiri dari subbab perjalanan eksploratif, ziarah, dan mitologis. Bab IV pembahasan tentang representasi liyan terdiri dari subbab strategi pelainan kolonial, strategi pelainan neo-kolonial, strategi pelainan poskolonial, dan strategi representasi liyan. Bab V membahas agenda yang terdapat dalam novel Haji Backpacker. Bab VI berisi kesimpulan dari semua pemaparan dalam penelitian ini.