Edi Hartono dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):10-19, April 2013
PENGGUNAAN PAKAN FUNGSIONAL TERHADAP DAYA IKAT AIR, SUSUT MASAK, DAN KEEMPUKAN DAGING AYAM BROILER (THE USE FUNCTIONAL FEED ON WATER HOLDING CAPACITY, COOKING LOSSES, AND TENDERNESS OF BROILER MEAT) Edi Hartono, Ning Iriyanti, dan R. Singgih Sugeng Santosa Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto
[email protected] ABSTRAK Pakan fungsional merupakan pakan yang berfungsi untuk meningkatkan performan, produktivitas maupun kesehatan ayam. Pakan fungsional selain mengandung nutrien yang terkandung dalam bahan pakan penyusun juga mengandung probiotik sedang minyak ikan lemuru dan isolat mikroba sebagai antihistamin. Penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pemberian pakan fungsional terhadap kualitas daging ditinjau dari daya ikat air, susut masak, dan keempukan daging ayam broiler. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan lima perlakuan dan empat kali ulangan, masing-masing ulangan terdiri dari lima ekor ayam broiler. Data diuji dengan analisis variansi. Perlakuan terdiri dari R0 = Penggunaan pakan fungsional sebanyak 0 % R1 = Penggunaan pakan fungsional 5 % R2 = Penggunaan pakan fungsional 10% R3 = Penggunaan pakan fungsional 15% R4 = Penggunaan pakan fungsional 20%. Peubah yang di amati adalah daya ikat air,susut masak, dan keempukan daging ayam broiler. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan level pakan fungsional terhadap daya ikat air, susut masak dan keempukan daging ayam broiler dalam pakan berpengaruh tidak nyata (P>0,05). Kesimpulan penggunaan pakan fungsional sampai level 20% dalam pakan belum meningkatkan daya ikat air, keempukan dan belum menurunkan susut masak daging ayam broiler umur 35 hari. Kata kunci : ayam broiler, pakan fungsional, daya ikat air, susut masak, dan keempukan daging. ABSTRACT Functional Feed is feed to improve the performance, productivity and health of the chicken. Fungtional feed beside containing nutrients from the feed material but also contain probiotics, while lemuru fish oil and microbial isolates as antihistamines. The purpose of this reseach were to evaluate the distribution of fungsional feed on the quality of meat based on the water holding capacity, cooking losses, and tenderness of broiler meat. Completely Randomized Design (CRD) was used in this research with five treatments. Each treatment were four time replicated and each replication consist of five broilers. The treatments of this research were R0 = basal feed with 0 % functional feed (control), R1 = basal feed with 5 % functional feed, R2 = basal feed with 10 % functional feed, R3 = basal feed with 15 % functional feed, R4 = basal feed with 20 % functional feed. Water holding capacity, cooking losses, and tenderness of broiler meat were measured as variable. Variable data were analyzed with analysis of variance. The results of the research showed that the use of functional feed non-significant effect on water holding capacity, cooking losses, and tenderness of broiler meat. Based on the research can be concluded that the use of functional feed up to 20 % in feed for broilers: water holding capacity, cooking losses, and tenderness of broilers meat is similar. Keywords: broilers, functional feed, water holding capacity, cooking losses, and meat tenderness.
10
Edi Hartono dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):10-19, April 2013
PENDAHULUAN Ayam broiler merupakan jenis unggas yang secara luas banyak diternakkan, sangat potensial sebagai sumber protein hewani. Seiring dengan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya gizi, maka untuk memenuhi kebutuhan tersebut harus diimbangi dengan pemenuhan daging yang cukup dan berkualitas. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kualitas daging, baik kualitas fisik maupun kimia. Faktor-faktor tersebut antara lain umur, pakan, manajemen pemeliharaan, kebersihan kandang. Kualitas daging juga dipengaruhi oleh jumlah nutrisi konsumsi pakan. Jumlah nutrisi yang tersedia berbeda di antara pakan. Peningkatan atau penurunan konsumsi pakan berhubungan dengan kualitas pakan yang tersedia, sehingga dapat mempengaruhi karakteristik atau kualitas daging. Pengaruh dari pakan yang berbeda komposisi atau kualitasnya terhadap kualitas daging bervariasi karena adanya variasi dari faktor lain seperti umur, spesies, bangsa, jenis kelamin, bahan aditif, berat potong atau berat karkas, laju pertumbuhan, tipe ternak, dan perlakuan sebelum dan setelah pemotongan (Soeparno, 1998). Oleh karena itu perlu dilakukan pemilihan bahan pakan yang tepat sehingga menghasilkan pakan yang mempunyai kualitas yang mampu memenuhi kebutuhan ternak dengan efisiensi penggunaan pakannya yang tinggi dan bisa menekan biaya produksi. Salah satunya digunakan pakan fungsional. Pakan fungsional merupakan pakan yang terdiri dari miyak ikan lemuru, probiotik (Lactobacillus sp dan Basilus sp) dan isolat anti alergen N3. Minyak ikan lemuru mengadung sumber omega 3 yang berfungsi menyusun lemak intramuskular yang dapat menyebabkan lemak dalam tubuh meningkat. Apabila kandungan lemak meningkat, maka daging ayam akan menjadi lebih empuk serta daya ikat airnya juga akan meningkat dan susut masaknya akan menurun. Penggunaan Lactobacllus sp dan Bacillus sp sebagai probiotik dapat meningkatkan imunitas, sehingga diharapkan terjadi peningkatan kualitas kesehatan ayam dan kualitas daging. Penggunaan N 3 penghasil histamin methil tranfase selain untuk mengurangi kandungan histamin pada daging juga diharapkan dapat meningkatan kualitas daging. Oleh karena itu pemberian pakan fungsional pada ayam broiler diharapkan mampu meningkatkan daya ikat air dan keempukan serta dapat menurunkan susut masak daging ayam broiler. METODE Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam broiler umur satu hari (DOC) strain MULTI Breeder 202 Platinum sebanyak 100 ekor dan dipelihara selama 35 hari, pakan basal yaitu dedak, jagung, tepung ikan, tepung batu kapur, topmix dan bungkil kedelai, pakan fungsional (10 % minyak ikan lemuru, 30 % Lactobacillus,30 % Bacillus, 30 % Isolat N3-antihistamin). Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan 5 perlakuan dan 4 kali ulangan, masing-masing ulangan terdiri dari 5 ekor ayam broiler. Pakan perlakuan terdiri dari : R0 = Penggunaan pakan fungsional 0 % ( Sebagai kontrol ), R1 = Penggunaan pakan fungsional 5 %, R2 = Penggunaan pakan fungsional 10%, R3 = Penggunaan pakan fungsional 15%, R4 = Penggunaan pakan fungsional 20%. Peubah yang diukur dalam penelitian ini adalah daya ikat air, susut masak, dan keempukan daging ayam broiler. Prosedur kerja penetapan daya ikat air sebagai berikut : Sampel daging seberat 0,3 gram diletakkan diatas kertas whatman 41 kemudian dipres antara dua plat kaca dengan beban 35 kg selama 5 menit. Pindahkan gambaran hasil pengepresan sampel daging ke 11
Edi Hartono dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):10-19, April 2013
plastik transparansi. Ukur luas area basah diluar daging pres dengan bantuan kertas milimeterblok ( nyatakan dalam cm2 ). Tabel 1. Komposisi Nutrien Ayam Broiler Starter No Bahan Pakan R0 R1 R2 1 Jagung 49,0 49,0 47,0 2 Dedak padi 9,6 5,8 3,6 3 Bungkil Kedelai 26,8 27,0 27,0 4 Tepung Ikan 7,0 6,7 6,8 5 Pakan Fungsional 0,0 5,0 10,0 6 7 8 9
M.Kelapa Sawit CaCO3 Lisin Top mix
Total Komposisi Nutrien L (%) SK (%) Ca (%) * Ptotal (%) * Pav (%) * Lisin (%)* Meth (%)* PK (%) Energi ME (kkal/kg)
R3 43,3 3,1 26,5 7,0 15,0
R4 40,0 2,3 26,5 7,0 20,0
R0 53,0 17,2 20,6 5,0 0,0
Finisher R1 R2 R3 49,1 38,8 35,8 17,2 23,2 22,2 20,3 20,0 19,8 5,0 5,0 5,0 5,0 10,0 15,0
R4 20,0 35,8 16,0 6,1 20,0
6,0 0,5 0,1 1,1
4,9 0,5 0,1 1,1
4,0 0,5 0,1 1,1
3,5 0,5 0,1 1,1
2,5 0,5 0,1 1,1
2,5 0,5 0,2 1,0
1,8 0,5 0,2 1,0
1,2 0,5 0,2 1,0
0,0 0,5 0,2 1,0
0,4 0,5 0,2 1,0
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
3,8 3,8 4,0 4,3 4,6 4,6 5,0 5,9 6,1 3,1 3,1 3,3 3,6 3,9 3,7 4,1 4,9 5,2 0,6 0,9 1,0 1,0 1,0 0,6 0,6 0,6 0,6 0,7 0,7 0,7 0,8 0,8 0,7 0,8 0,9 0,9 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 1,0 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 0,5 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,5 0,4 21,3 21,2 21,4 21,4 21,6 18,6 18,6 18,9 19,0 3148 3147 3149 3170 3162 2995 2999 2992 2994
7,8 6,6 0,6 1,1 0,4 0,9 0,5 18,7 3008
Ket : Hasil analisis Lab. Nutrisi dan Makanan Ternak (2002); Hasil perhitungan berdasarkan tabel NRRC (1994)
Kandungan air bebas daging (mg) dinyatakan sebagai: area basah ( cm2 ) – 8,0 mg H2O = mg H2O = 0,0948 Daya Ikat Air == kadar air total (%) – mg H2O x 100% WHC 300 mg Prosedur kerja penetapan susut masak : Sampel ditimbang sebagai berat awal (X) sebelum direbus. Sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik, kemudian diikat agar tidak kemasukkan air ketika direbus. Sampel daging direbus dalam penangas air (waterbath), selama 1 jam dengan temperatur 800C. Setelah direbus, sampel diangkat dikeluarkan dari kantong plastik dipisahkan dari bagian kaldunya, diseka dengan kertas tissue tanpa ditekan, kemudian ditimbang (Y). Susut masak dihitung dengan menggunakan rumus: X – Y x 100% 12
Edi Hartono dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):10-19, April 2013
X Prosedur kerja penetapan Keempukan : Menyiapkan sampel daging berukuran (1x1x1) cm3, sampel diletakkan pada bagian dasar penetrometer. Jarum penunjuk diatur sehingga permukaan daging bersinggungan dengan ujung jarum, jarum penunjuk menunjukkan angka nol. Beban seberat 50 g (a) dilepas bersamaan dengan menekan alat penghitung waktu (timer), selama waktu 10 detik. Kedalaman jarum dapat dilihat pada skala penetrometer (b). Keempukan daging dinyatakan : ( b/a/t ) dalam mm/g/dt. HASIL DAN PEMBAHASAN Rataan hasil penelitian penggunaan pakan fungsional terhadap daya ikat air, susut masak dan keempukan daging selengkapnya disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Data hasil penelitian Perlakuan Daya Ikat Air (%)ns R0 18,01 ± 6,92 R1 21,67 ± 8,76 R2 16,97 ± 4,37 R3 21,74 ± 9,66 R4 17,97 ± 4,62 Keterangan :
Susut Masak (%)ns 27,77 ± 0,81 28,67 ± 1,86 27,78 ± 0,87 29,16 ± 0,55 29,45 ± 1,43
Keempukan (mm/g/dt) ns 0,06 ± 0,00 0,06 ± 0,01 0,07 ± 0,01 0,07 ± 0,01 0,06 ± 0,01
R0 = Penggunaan pakan fungsional 0 %, R1 = Penggunaan pakan fungsional 5 %, R2 = Penggunaan pakan fungsional 10%, R3 = Penggunaan pakan fungsional 15%, R4 = Penggunaan pakan fungsional 20%. ns : Non Signifikan.
Daya Ikat Air Daging Ayam Broiler Kemampuan menahan air menjadi faktor penting terutama pada daging yang akan digunakan dalam industri pangan. Daya ikat air daging adalah kemampuan protein daging mengikat air di dalam daging, sehingga daya ikat air ini dapat menggambarkan tingkat kerusakan protein daging. Berdasarkan Tabel 2. rataan Daya Ikat Air (DIA) berkisar antara 16,97 – 21,74%, hasil penelitian ini lebih rendah dari hasil penelitian Muchbianto (2009) menyatakan bahwa DIA daging ayam broiler berkisar antara 25-38% dan Mulyati (2003) DIA daging ayam broiler umur 6 minggu sebesar 25,58%. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan level pakan fungsional dalam pakan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap daya ikat air daging ayam broiler, hal ini disebabkan karena ayam dipotong pada umur dan jenis kelamin yang sama, kandungan protein dan energi yang diberikan secara isokalori dan isoprotein yaitu ayam periode stater protein 21% dengan EM 3100 kkal/kg dan ayam periode finisher protein 18% dengan EM 2900 kkal/kg, serta pakan fungsional sampai level 20% mengandung asam lemak tidak jenuh terutama asam lemak omega 3 hanya sebesar 3,5%. Menurut Soeparno (1998) menyatakan bahwa daya ikat air dipengaruhi oleh umur, spesies, bangsa, jenis kelamin, bahan aditif, berat potong atau berat karkas, laju pertumbuhan, tipe ternak, dan perlakuan sebelum dan setelah pemotongan dan lemak intramuskuler (Wismer-Pedersen, 1971), serta fungsi otot (Lawrie, 1995).
13
Edi Hartono dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):10-19, April 2013
Hamm (1981) menyatakan bahwa perubahan daya ikat air daging diduga karena terjadinya perubahan ion-ion yang diikat oleh protein daging. Penurunan daya ikat air disebabkan oleh makin banyaknya asam laktat yang terakumulasi akibatnya banyak protein miofibriler yang rusak, sehingga diikuti dengan kehilangan kemampuan protein untuk mengikat air. kandungan protein daging yang tinggi akan diikuti dengan semakin tingginya daya mengikat air. Daya ikat air hasil penelitian tidak berpengaruh nyata disebabkan juga oleh kandungan nutrien pakan yang diberikan berupa lemak dan serat kasar pakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap konsumsi lemak dan konsumsi serat kasar. Rataan konsumsi lemak hasil penelitian adalah 6,5 g/e/hr dan konsumsi serat kasar = 4 g/e/hr serta konsumsi energi sebesar 330 kalori/e/hr. Edwards (1981) menyatakan bahwa kadar lemak mempunyai hubungan negatif dengan kadar protein, (Oktaviana, 2009) semakin meningkatkan kadar protein daging ayam broiler, sehingga DIA daging semakin meningkat karena kemampuan protein untuk mengikat air secara kimiawi, dan semakin menurun kadar lemak daging. Daging yang mempunyai kadar lemak tinggi mempunyai nilai DIA lebih tinggi daripada daging yang kandungan lemaknya rendah. Ayam yang mengkonsumsi energi kurang dari kebutuhan, maka akan mengalami penurunan lemak karkas, sedangkan bila ayam mengkonsumsi energi melebihi kebutuhan maka akan memperlihatkan lemak karkas yang meningkat (Anggorodi, 1985). Kandungan serat kasar yang terlalu tinggi di dalam pakan menyebabkan pakan tidak dapat dicerna sehingga dapat membawa zat makanan yang dapat dicerna ikut keluar dengan feses (Wahyu, 1997). Selain itu menurut Parakkasi (1990) menyatakan bahwa kandungan serat kasar dalam pakan yang meningkat dapat menyebabkan daya cerna menurun sehingga ayam pedaging kurang mampu memanfaatkan zat makanan. Hal tersebut menyebabkan kadar lemak turun, sehingga DIA turun. Otot dengan kadar lemak tinggi akan mempunyai DIA yang tinggi, demikian pula sebaliknya apabila kadar lemak daging tersebut rendah maka DIA yang dihasilkan akan rendah pula (Saffle and Bratcler yang disitasi Soeparno, 1998). Pengaruh tidak nyata juga disebabkan karena komposisi pakan yang diberikan dan konsumsi pakan perlakuan relatif sama yaitu 110 g/e/hr serta hasil analisis sidik ragam menghasilkan pengaruh yang tidak nyata. Soeparno (1998) menyatakan bahwa DIA dipengaruhi oleh perbedaan komposisi, kualitas dan jumlah pakan yang dikonsumsi. Pemberian pakan yang mengandung konsentrat rendah (sebagai sumber energi) dan berserat tinggi akan menghasilkan daging yang kurang berlemak daripada daging yang dihasilkan dari pakan yang mengandung konsentrat tinggi dan berserat rendah Lawrie (1995). Daya ikat air sangat dipengaruhi oleh pH daging, hasil penelitian pH daging berkisar antara 5,4 sampai 5,8. Daya ikat air juga dipengaruhi oleh pH daging (Alvarado dan McKee, 2007; Allen et al., 1998) air yang tertahan di dalam otot meningkat sejalan dengan naiknya pH, walaupun kenaikannya kecil (Bouton et al.,1971). Nilai pH yang tinggi dapat memperbaiki daya ikat air (Buckle et al., 1985). Pearson dan Young (1989) menyatakan bahwa pH daging meningkat, maka daya ikat air juga meningkat. Rendahnya nilai pH daging mengakibatkan struktur daging terbuka sehingga menurunkan daya ikat air, dan tingginya nilai pH daging mengakibatkan struktur daging tertutup sehingga daya ikat air tinggi (Bouton et al., 1971; Buckle et al., 1985). Soeparno (2005) menyatakan bahwa pada tinggi rendahnya nilai merupakan perwujudan dari titik isoelektrik protein-protein daging. pH yang lebih rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging, maka
14
Edi Hartono dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):10-19, April 2013
terdapat ekses muatan positif yang mengakibatkan penolakan miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul-molekul air, sehingga DIA meningkat. Susut Masak (cooking loss) Daging Ayam Broiler Susut masak (cooking loss) merupakan fungsi dari suhu dan lama pemasakan. Susut masak dapat dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi miofibril, ukuran dan berat sampel daging, dan penampang lintang daging. Rataan hasil penelitian terhadap susut masak berkisar 27,77–29,45(%) (Tabel 2). Berdasarkan hasil penelitiaan rataan susut masak pada umumnya bervariasi antara 1,5-54,5% (Bouton et al., 1978). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan level pakan fungsional dalam pakan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap susut masak daging ayam broiler. Hal ini dikarenakan karena pemberian pakan menggunakan serat kasar yang relatif sama berkisar antara 3,08 – 3,89 sehingga menghasilkan susut masak yang relatif sama. Serat kasar yang dikonsumsi akan menjerak lemak sehingga zat makanan yang diserap akan menurun. Hal ini sesuai dengan pendapat Sutardi (1997) menyatakan bahwa serat kasar dalam saluran pencernaan unggas dapat menjerat lemak (Sutardi, 1997) sehingga zat makanan yang terserap oleh tubuh unggas menurun. Adapun hal tersebut mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap susut masak karena lemak intramuskuler menghambat atau mengurangi cairan daging yang keluar selama pemanasan, meskipun pada daging yang mengandung lemak intramuskuler yang lebih besar akan kehilangan lemak yang lebih besar. Kandungan lemak yang lebih besar akan meningkatkan kemampuan menahan air oleh protein daging, karena adanya lemak intramuskuler yang menutup jaringan mikrostruktur daging (Lawrie, 1995) disamping itu lemak di permukaan daging akan meleleh saat dimasak dan menyelimuti daging sehingga susut masak lebih rendah. Ransum dengan kandungan serat kasar tinggi mempunyai nilai cerna ransum yang rendah (Jorgensen, et al., 1996). Susut masak juga dipengaruhi oleh pH. Dalam penelitian pH daging relatif sama berkisar antara 5,93–5,99 sehingga menghasilkan susut masak yang relatif sama. Susut masak juga dipengaruhi oleh kandungan protein pakan. Kadar Pakan protein yang digunakan relatif sama berkisar antara 21,27–21,56% (pakan disusun secara iso protein) sehingga menghasilkan susut masak yang relatif sama. Menurut Hamm (1986) bahwa perluasan jaringan protein atau pengembangan protein miofibril (khususnya miosin) akibat pelemahan ikatan-ikatan hidrogen ataupun ikatan hidrofobik menyebabkan lebih banyak yang termobilisasi antara miofibril sehingga terjadi peningkatan daya ikat air. Bouton et al. (1971) menyatakan bahwa daging dengan nilai pH tinggi lebih empuk daripada aging dengan pH rendah. Ayam yang digunakan dalam penelitian mempunyai spesies, jenis kelamin, dan umur yang relatif sama sehingga menghasilkan susut masak yang relatif sama. Perbedaan spesies ternak dapat menyebabkan perbedaan susut masak. Jenis kelamin pada umur yang sama mempunyai pengaruh yang kecil terhadap susut masak. Berat potong mempengaruhi susut masak terutama bila terjadi deposit lemak intramuskuler. Lemak intramuskuler menghambat atau mengurangi cairan daging yang keluar selama pemanasan, meskipun pada daging yang mengandung lemak yang lebih besar akan kehilangan lemak yang lebih besar. Perbedaan bangsa ternak dapat menyebabkan perbedaan susut masak. Jenis kelamin pada umur yang sama mempunyai pengaruh yang kecil terhadap susut masak. Perbedaan susut masak ini antara lain berhubungan dengan 15
Edi Hartono dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):10-19, April 2013
jumlah lemak daging (Soeparno, 1998). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar lemak daging, dan dengan bobot potong yang relatif sama yaitu sebesar 800 g. Daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas lebih baik dibanding daging yang mempunyai susut masak lebih besar karena kehilangan nutrisi selama pemasakan lebih sedikit (Lawrie,2003; Soeparno, 2005; Dilaga dan Soeparno, 2007). Keempukan daging ayam broiler Keempukan dan tekstur daging adalah penentu yang paling penting pada kualitas daging. Faktor yang mempengaruhi keempukan daging digolongkan menjadi faktor antemortem seperti genetik, bangsa dan fisiologi, faktor umur, manajemen, jenis kelamin, dan spesies. Faktor postmortem di antaranya meliputi proses chilling, refrigerasi, pelayuan, dan pembekuan termasuk lama dan temperatur penyimpanan, dan metode pengolahan, termasuk metode pemasakan dan penambahan bahan pengempuk. Keempukan bisa bervariasi di antara spesies, bangsa ternak dalam spesies yang sama, potongan karkas, dan di antara otot, serta pada otot yang sama (Soeparno, 1998). Keempukan dengan hasil penelitian memiliki rataan berkisar antara 0,06 - 0,07 yang relatif sama dikarenakan umur pemotongan pada ayam tersebut yang sama. Hal ini sesuai dengan pendapat (Soeparno, 1998) bahwa jumlah dan kekuatan kolagen dapat meningkat sesuai dengan umur, ikatan silang kovalen meningkat selama pertumbuhan dan perkembangan ternak dan kolagen menjadi lebih kuat. Berdasarkan hasil penelitian nilai keempukan daging rendah menunjukkan bahwa daging yang dihasilkan semakin padat dan tidak berlemak. Hal ini disebabkan karena daging yang dihasilkan dari kelima perlakuan ransum mempunyai kandungan lemak daging yang relatif sama sehingga menghasilkan nilai keempukan yang tidak nyata. Secara teori semakin tinggi tingkat energi maka lemak yang dihasilkan semakin banyak sehingga keempukan daging meningkat (Soeparno, 1998). Lemak yang dihasilkan tidak seluruhnya masuk ke dalam daging, Karena dalam tubuh unggas terjadi proses penimbunan lemak dibawah kulit (sub cutan) dalam jumlah yang banyak, disamping itu juga terjadi penimbunan sejumlah lemak abdominal yaitu lemak yang terdapat di dalam rongga perut akibatnya kandungan lemak daging tetap rendah. Pada penelitian yang diuji adalah semuanya menggunakan otot dada sehingga menghasilkan keempukan yang relatif sama. Otot dada diduga tidak banyak melakuan aktifitas, mengingat ayam broiler termasuk spesies unggas yang jarang bergerak, sehingga otot dada lebih sedikit tersusun serabut myofibril dan kurang mengandung protein daging yang menyebabkan kapasitas menahan air lebih rendah sehingga keempukan daging akan lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat lawrie (1979) yang menyatakan bahwa otot yang banyak melakukan aktivitas memiliki serabut myofibril yang lebih banyak dan protein daging sebagai penghubung didalam otot mempunyai pengaruh penting terhadap nilai keempukan daging. Makin tinggi kandungan protein daging maka nilai keempukan daging makin rendah. Dalam ransum penelitian juga mengandung serat kasar yang relatif sama berkisar 3,08 – 3,89 sehingga menghasilkan keempukan yang relatif sama. serat kasar dapat mengurangi lemak yang ada di dalam tubuh ayam tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat (Sutardi, 1997) menyatakan bahwa serat kasar dalam saluran pencernaan unggas dapat menjerat lemak, sehingga zat makanan yang terserap oleh tubuh unggas menurun. Menurut Coetzee dan Hoffman (2002), 16
Edi Hartono dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):10-19, April 2013
penambahan asam lemak omega-3 pada pakan ayam akan diserap dan didepositkan ke jaringan tubuhnya tanpa ada perubahan yang signifikan. Peningkatan deposisi lemak tersebut tentunya akan meningkatkan keempukan daging. Keempukan adalah satu pelengkap sensoris yang penting pada daging (Wick dan Marriot, 1999). Keempukan adalah salah satu kriteria mutu yang melibatkan mekanisme degradasi proteinprotein daging. Pakan yang digunakan mengandung protein yang relatif sama berkisar antara 21,27 – 21,56 sehingga menghasilkan keempukan yang relatif sama. Degradasi protein dapat disebabkan oleh enzim yang ada pada sel-sel daging itu sendiri maupun enzim-enzim protease yang sengaja ditambahkan dari luar (Kinsman, Kotula and Briddenstein, 1994). Otot daging mengandung kolagen yang merupakan protein struktural pokok pada jaringan ikat dan mempunyai pengaruh besar terhadap keempukan daging (Purnomo, 1996). Distribusi kolagen pada otot skeletal tidak merata tergantung pada aktivitas fisik dari masing-masing otot. Jumlah dan kekuatan kolagen dapat meningkat sesuai dengan umur, ikatan silang kovalen meningkat selama pertumbuhan dan perkembangan ternak dan kolagen menjadi lebih kuat (Soeparno, 1998). Komponen utama daging yang andil terhadap keempukan atau kealotan, yaitu jaringan ikat, serabut-serabut otot, dan jaringan adipose. Jaringan ikat lebih sedikit adalah lebih empuk daripada otot yang mengandung jaringan ikat dalam jumlah yang lebih besar (Soeparno, 1992) dan semakin tinggi lemak marbling akan membuat daging semakin empuk (Dilaga dan Soeparno, 2007). Daging yang empuk adalah hal yang paling dicari konsumen (Komariah et al., 2004). Semakin menurun nilai daya putus daging maka semakin empuk daging tersebut (Maruddin, 2004). Hoffman et al., (2003) melaporkan bahwa nilai pH daging mempunyai hubungan negatif dengan daya putus daging. Daging dengan nilai pH tinggi cenderung memiliki nilai daya putus daging yang rendah. SIMPULAN Penggunaan pakan fungsional sampai level 20% dalam pakan belum meningkatkan daya ikat air, keempukan dan belum menurunkan susut masak daging ayam broiler umur 35 hari. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Jenderal Soedirman, Ketua lembaga penelitian dan Dr.Ir. Ning Iriyanti,MP selaku ketua proyek penelitian Skim Riset untuk Percepatan Guru Besar dana DIPA Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto yang telah mengikutsertakan penulis dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Allen, C.D., D.L. Fletcher, J.K. Northcutt, and S.M. Russell. 1998. The relationship of broiler breast color to meat quality and shelf-life. Poultry Science. 77:361-366. Alvarado, C. and S. McKee. 2007. Marination to improve functional properties and safety of poultry meat. Journal Appl Poultry Res. 16:113-120. Anggorodi. 1985. Kemajuan Mutakhir Dalam Ilmu Makanan Ternak Unggas. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta 17
Edi Hartono dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):10-19, April 2013
Bouton, P.E., P.V. Harris, and W.R. Shorthose. 1971. Effect of ultimate pH upon the waterholding capacity and tenderness of mutton. Journal Food Science. 36:435-439. Bouton, P.E., Harris, P.v and Shaw, F.D. 1978. Effect of Low Voltage Stimulation of Beef Carcasses on Muscle Tenderness and pH. Journal Food Science, 43: 1392- 1397. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, and F. M. Wooton. 1985. Ilmu Pangan. Penerjemah Purnomo, H. dan Adiono. Cetakan Ke-1. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Coetzee, G. J. M dan L. C. Hoffman. 2002. Effect of various dietary n-3/n-6 fatty acid ratios on the performance and body composition of broilers. South African. Journal Animal Science, 32 (3) : 175-184. Edwards, H.M. Jr. 1981. Carcass composition studies. 3. Influence of age, sex and calorie protein contents of the diet on carcass composition of Japanese quail. Poultry Science. 60: 25062512. Hamm, R. 1981. Postmortem change in muscle affecty the quality of comminuted meat products. Dalam Lawrie, R. A. 1985. Meat Science. Peargamon Press, New York. Hamm, R. 1986. Functional Properties of The Myofibril System and Their Measurement in Muscle as Food. Academic Press. New York. Hoffman, L.C., M. Muller, S.W.P. Cloete, and D. Schmidt. 2003. Comparison of six crossbred lamb types: sensory, physical and nutritional meat quality characteristics. Meat Science. 65: 1265-1274. Jorgensen, H., X.Q. Zhao, K.E.B. Knudsen, and B.O. Egum. 1996. The Influence of Dietary Fibre Source and Level on The Development of The Gastro Intestinal Tract, Digestibilty and Energy Metabolism in Broiler Chicken. Br. Journal. Nutrien. 75 : 379 -395. Kinsman, D.M., Kotula, A. W., and Briddenstein, B.C., 1994. Muscle Food. Chapman and Hall. New York. Komariah, I.I. Arief dan Y. Wiguna. 2004. Kualitas fisik dan mikrobia daging sapi yang ditambah jahe (Zinger officinale roecoe) pada konsentrasi dan lama penyimpanan yang berbeda. Media Peternakan Vol. 28(2):38-87.Lawrie, R.A. 1995. Meat Science Third Edition. The Avi Publishing Company, Inc. Westport. Connecticut. Maruddin, F. 2004. Kualitas daging sapi asap pada lama pengasapan dan penyimpanan. Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 4(2):83-90. Muchbianto, R. 2009. Pengaruh Penambahan Limbah Udang Terfermentasi Aspergillus niger pada Pakan Terhadap Kualitas Fisik Daging Ayam Broiler. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya. Malang. Mulyati. 2003. Pengaruh Penggunaan Bungkil Biji Karet yang di Fermentasi dengan Ragi Tempe dan Oncom dalam Ransum Terhadap Kualias Daging Ayam Broiler. Tesis. Fakultas Peternakan. Universitas Diponegoro. Oktaviana, D. 2009. Pengaruh pemberian ampas virgin coconut oil dalam ransum terhadap performan, produksi karkas, perlemakan, antibodi, dan mikroskopik otot serta organ pencernaan ayam broiler. Tesis. Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta. Parakkasi, A., 1990. Ilmu Gizi dan Makanan Monogastrik. Angkasa. Bandung. Pearson, A.M. and R.B. Young. 1989. Meat and Biochemistry. Academy Press Inc., California. Purnomo, H. 1996. Dasar-dasar Pengolahan dan Pengawetan Daging. Grasindo. Jakarta. 18
Edi Hartono dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):10-19, April 2013
Soeparno. 1992. Komposisi Tubuh dan Evaluasi Daging Dada sebagai Pedoman Penilaian Kualitas Produk Ayam Kampung Jantan. Buletin Peternakan Vol. 16. Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Soeparno, 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Ke-4. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sutardi, T. 1997. Peluang dan Tantangan Pengembangan Ilmu-Ilmu Nutrisi Ternak. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Nutrisi. Fapet IPB. Bogor. Wahyu, J., 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Wick, M., and Marriot, N.G., 1999. The Relationship of The Sarcomeric Architecture to Meat Tenderness. The Ohio State University. Columbus. Wismer-Pedersen, J. (1971). The Science of Meat and Meat Products. 2nd ed. Ed. J. F. Price san B.S. Schweigert. W. H. Freeman and Co., San Fransisco. Hal. 177.
19