Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 3, Oktober 2009 REINVENTING GOVERNMENT DAN UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Dirlanudin 1. Kerakyatan yang bagaimana yang dianggap pas di Indonesia ? Secara normatif kita tidak dapat mengetahui hak dan kewajiban kita dalam UUD 1945, hanya sejauh mana hak dan kewajiban rakyat Indonesia itu dijabarkan oleh para pelaksana negara mulai dari pimpinan puncak sampai aparat terbawah. Bila dilihat dari sudut pragmatis, maka slogan akar “akar kerakyatan” itu masih berada dalam konsep politis dan konsep intelektual, belum dibuktikan dengan tindakan yang riil dan sasaran pada rakyat yang lemah sosial ekonominya, sebab kontek rakyat itu luas cakupannya sebagai contoh “konglomerat” di Indonesia juga adalah rakyat. Secara filosofis, sesungguhnya konsep kerakyatan yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945 sudah ada hanya saja peraturan perundangan organiknya dan operasionalnya perlu ditinjau kembali. Banyak konsep rakyat dari dahulu hingga sekarang yang bersumber dari kultur Jawa, 44
yakni priyayi atau wong cilik. Dalam pemahaman seperti itu dan barangkali ini yang merupakan budaya kita yang terlihat adalah setiap kali berbicara tentang kerkayatan, didalam diri kita ada pembeda antara yang di atas dan yang di bawah; ada garis yang bertentangan antara apa diimpikan oleh yang di bawah sebagai yang baik, dan apa yang diinginkan yang di atas sebagimana seharusnya. Saat ini sudah terjadi semacam hegemoni makna kata rakyat. Dalam kondisi semacam itu, rakyat menjadi lapisan sosial yang tidak berdaya secara politik, ekonomi, bahkan secara budaya. Akar budaya ini pula yang mempengaruhi adanya pola paternalistik di dalam masyarakat Indonesia. Demikian halnya bila dikaitkan dengan pasal 1 b UUD 1945 yang secara tegas menyatakan “Kedaulatan berada ditangan rakyat”, maka yang dimaksud dengan pemerintahan demokrasi, adalah pemerintahan dari rakyat untuk rakyat. Demokrasi didasarkan pada
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 3, Oktober 2009 prinsip kedaulatan di tangan rakyat yang mengandung pengertian bahwa semua manusia pada dasarnya memiliki kebebasan dan hak serta kewajiban yang sama. Sehingga, dalam rangka, mencari format kerakyatan yang pas maka yang penting adalah bagaimana kekuasaan dari, oleh dan untuk rakyat itu diimplementasikan dan direalisasikan sehingga efektif dalam praktek dan dalam kenyataan. (Talizidhu Ndrha, 1995). 2. Dapatkah Reinventing Government (RIGOM) dilaksanakan di Indonesia ? Munculnya RIGOM di Amerika Serikat (AS), menunjukan bahwa birokrasi AS sebenernya masih belum baik dan belum memenuhi perkembangan kebutuhan konsumen. RIGOM munculnya dikala AS sedang menghadapi kebangkrutan birokrasi dimana saat pemeritahan memiliki etos kerja dan citra dari mental yang lamban, tidak efisien, dan impersonal. Namun, dalam kondisi seperti itu, beberapa instansi pemerintah di AS terutama pemerintahan di daerah sejak 1978 telah mencoba menerapkan konsep “kemitraan negara- swasta” dan
mengembangkan beberapa cara alternatif untuk memberikan pelayanan. Kotakota membantu tumbuhnya kompetisi antar penyedia jasa serta menciptakan sistem anggaran baru. Para Manajer pemerintahan mulai membicarakan “manajemen perusahaan”, organisasi pengetahuan dan “kota swadaya”. Beberapa negara bagian mulai melakukan restrukturisasi sistem layanan masyarakat mereka yang paling mahal : pendidikan, pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan. Semua itu mendasari diterapkannya pemerintahan wirausaha yang bersifat inovatif, imajinatif, dan kreatif, dengan mengubah beberapa fungsi kota menjadi sasaran penghasilan uang ketimbang penguras anggaran, kerja sama dengan sektor swasta, mendirikan perusahaan yang menghasilkan laba, berorientasi pasar, memusatkan pada ukuran kinerja, dan memberikan penghargaan terhadap jasa. Secara umum pola RIGOM menggambarkan adanya sepuluh (10) prinsip dasar dibalik bentuk pemerintahan baru, yaitu :
45
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 3, Oktober 2009 a. Pemerintahan katalis : Mengarahkan ketimbang mengayuh ; b. Pemerintahan milik masyarakat : Memberi wewenang ketimbang melayani; c. Pemerintahan yang kompetitif : menyuntikan persaingan kedalam pemberian pelayanan; d. Pemerintahan yang digerakkan oleh misi : Mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan; e. Pemerintahan yang berorientasi hasil : Membiayai hasil, bukan masukan; f. Pemerintahan berorientasi pelanggan : Memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi; g. Pemerintahan wirausaha : Menghasilkan ketimbang membelanjakan; h. Pemerintahan antisipatif : Mencegah dari pada mengobati i. Pemerintahan desentralisasi j. Pemerintahan berorientasi pasar : Mendongkrak perubahan melalui pasar. (Osborne & Gaebler, 1995). Adapun kemungkinan penerapan RIGOM di Indonesia tentunya perlu ada penyesuaianpenyesuaian, mengingat kondisi 46
sosial budaya Indonesia sangat berbeda dengan kondisi bangsa AS, dan terutama yang sangat menentukan adalah kemauan politik secara penuh dari pemerintah yang sekarang memegang kekuasaan, sebab penerapan RIGOM membutuhkan perubahan kelembagaan, cara kerja, semangat kerja, dan integritas pegawai negeri, kebijaksanaan dan strategi serta pola pikir yang lebih profesional, berwirausaha. Dengan kata lain birokrasi itu tidak hanya memungut pajak dan mengeluarkan dana, tetapi berorientasi pada hasil tanpa melupakan kepentingan umum. Perlu diungkap disini, bahwa sebagian besar masyarakat AS lebih suka pada pemerintah yang kurang birokratis. Mereka menganggap bahwa ada suatu rangkaian kesatuan yang luas antara perilaku birokratis dan perilaku wirausaha, dan pemerintah pasti dapat menggeser posisinya pada spektrum tersebut. 3.
Upaya untuk pemberdayaan masyarakat (Empowring people) dalam rangka partisipasi masyarakat terhadap pembangunan. Dalam upaya melaksanakan pembangunan dengan merata
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 3, Oktober 2009 dan berkeadilan, maka peranan birokrasi tetap diperlukan dakam memberikan layanan publik (publik service). Hal mendasar yang harus diperhatikan adalah, dalam kaitannya dengan layanan publik ini, perlu adanya pemisahan yang tegas antara publik affairs dan civil affairs, dimana hanya publik affairs saja yang dapat diprivatisasi. Masyarakat yang telah maju, umumnya memiliki tanggung jawab moral dan diharapkan dapat turut serta dalam usaha pemerataan, seperti misalnya program- program kemitraan. Untuk mengemban amanat tersebut, diperlukan paradigma baru di dalam menjawab tantangan tersebut dimana pemerintah membutuhkan adanya pembaharuan dalam cara, etika dan semangat kerja serta profesionalisme. Selain itu, untuk berhasilnya pembangunan, birokrasi diharapkan dapat membangun partisipasi rakyat (Masyarakat) di berbagai yang tentunya didasarkan pada kesadaran mereka dan bukan karena paksaan. Karena landasan pembangunan kita adalah kerakyatan, maka partisipasi menjadi sangat esensial. Partisipasi rakyat dalam lapisan bawah yang efektif adalah
apabila diselenggarakan secara bersama dalam lingkup kelompok masyarakat. Bentuk partisipasi demikian akan menghasilkan sinergi yang menghasilkan berbagai manfaat dalam membangun masyarakat mandiri. Untuk dapat menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan tersebut, maka peran pemerintah selain berupaya mengembangkan keterbukaan (transparensy) dan kebertanggung jawaban (accountability), juga secara bertahap harus sudah bergeser dari upaya mengendalikan menjadi mengarahkan, dari upaya memberi menjadi memberdayakan (empoering). Untuk negara dimana birokrasi dengan rakyat bersifat paternal (patronizing) maka upaya pemberdayaan yaitu merupakan langkah yang sangat mendasar, dan oleh karena itu membutuhkan penyesuaian budaya birokrasi yang cukup hakiki. (Taliziduhu Ndaraha, 1995) Sebenarnya usaha memberdayakan rakyat yang konstruktif secara bertahap telah dilakukan, terlihat dengan tidak semua institusi sosial yang ada dalam masyarakat dikooptasi oleh pemerintah, gerakan 47
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 3, Oktober 2009 resistensi umpamanya, muncul dan berkembang melalui berbagai institusi sosial yang ada dalam masyarakat seperti gerakan keagamaan, ekonomi, koperasi, yang dikelola secara swadaya oleh lembaga yang bertujuan advokasi (LSM). Gerakangerakan itu berkembang dalam skala menengah, dan mekanismenya mengacu pada pendayagunaan institusi mediasi, yaitu lembaga sosial yang memiliki posisi di antara wilayah kehidupan individu yang bersifat privat dengan lembaga makro yang berhubungan dengan kehidupan publik (pemerintah). Institusi mediasi sebenarnya telah didayagunakan dalam konteks pembangunan sekarang tetapi lebih sebagai instrumen pemberdayaan dan peranannyapun masih membutuhkan dukungan yang luas dari masyarakat yang sebagian besar berdomisili di desa dan berpendidikan rendah. Untuk mengimbangi birokrasi sekaligus memberdayakan rakyat, perlu menciptakan kondisi yang kondusif untuk lahirnya organisasi independen seperti WALHI, YLKI, atau dengan meminjam istilah birokrasi, perlu lembaga “ombudsman”. (Kastorius Sinaga, 1994). 48
4. Masalah manajemen pemerintahan yang dikendalikan oleh kelompok elit. Wawasan kerakyatan sebenarnya telah hadir jauh sebelum Republik Indonesia berdiri. Hal ini tercermin dari berbagai pendapat dan pemikiran para perintis kemerdekaan yang umumnya adalah elit terpelajar dan berpendidikan barat yang terekspose pada ide kebangsaan dan demokrasi yang memiliki warna kerakyatan. Akan tetapi, meski elit nasionalis Indonesia khususnya elit politik orientasinya begitu kuat terhadap ide kehidupan negara bangsa yang demikratis yang dicita-citakan itu tidak bisa terwujud secara pebuh. Hal ini disebabkan adanya pengaruh ajaran dan opini akademik orientalis yang wawasannya bernuansa partikularistik yang mewarnai mereka tentang konsep demokrasi, serta adanya falsafah integralisme yang menuntut konsep demokrasi cenderung lebih state-centered daripada people-centered. Demikian pula pada masa orde baru, pemerintah telah memproklamasikan tekad membangun dengan melaksanakan suatu tatanan
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 3, Oktober 2009 politik yang berlandaskan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Makna dari hal itu adalah penataan infra dan supratruktur politik serta mengatur kehidupan kenegaraan serta dalam bentuk siklus mekanisme kepemimpinan nasional. Sistem politik ini telah menjamin adanya stabilitas politik yang bisa menciptakan kondisi untuk melaksanakan pembangunan nasional. Misalnya sekarang, sejauh mana infra dan supratruktur politik yang ada dapat berfungsi dan berperan sesuai kewenangannya sebagai institusi yang menampung menterjemahkan serta menyalurkan kepentingan aspirasi rakyat. Selain itu sejauh mana kemampuan wakil- wakil rakyat mampu mengartikulasikan aspirasi rakyat tersebut. Pada kenyataannya sekarang, hegemoni negara agaknya telah merasuk hampir setiap elemen masyarakat. Mobilisasi masa untuk kepentingan negara terlihat begitu mudah dilakukan. Masyarakat seolah tanpa daya menghadapi kekuatan aparat hegemoni negara. Kekuatan sosial politik (partai politik, organisasi sosial, LSM) yang semestinya sebagai kekuatan kontrol dan pengimbang,
kenyataannya sulit mengelak dari kecenderungan menjadi subordinasi negara. Kalau kondisi dominatif negara atas masyarakat seperti ini dibiarkan berlarut- larut, hal ini berarti telah membiarkan rakyat tereksploitasi secara berkesinambungan. Demikian juga rakyat pada akhirnya tersuruk dalam posisi tak berdaya secara politik sehingga tidak lagi memiliki kesanggupan melakukan bergaining atau kontrol atas praktek- praktek penyelenggaraan kekuasaan negara yang menyimpang dari konstitusi, atau praktek- praktek yang demokratis. Rasa ketidakberdayaan rakyat itu, pada gilirannya melahirkan sikap apatis terhadap masalah politik, bersikap tidak peduli terhadap masalah yang menyangkut kepentingan bangsa dan negara. Sebaliknya yang tumbuh adalah sikap- sikap pragmatis, yang lebih mengutamakan kepentingan diri dan kelompok sendiri. Pragmatisme ini makin menguat sejalan dengan menguatnya pengaruh liberalisme ekonomi dengan prinsip pasar bebasnya. Oleh karena itulah perlu segera dibuka ruang bagi partisipasi rakyat dalam kehidupan politik, dimana upaya ini sekaligus 49
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 3, Oktober 2009 mendorong demokratisasi. Ndraha, 1995)
perwujudan (Taliziduhu
5. Apakah Kebijakan Percontohan Otonomi Daerah yang dititikberatkan di Daerah Tingkat II dapat memberdayakan masyarakat ? Landasan hukum otonomi sangat kuat, dimulai dengan pasal 18 UUD 1945, kemudian diatur lebih lanjut berdasarkan pasal 11 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1974, yang menyatakan bahwa titik berat otonomi daerah yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab dapat dilihat dengan dikeluarkannya PP Nomor 45 Tahun 1992 yang merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1974. Dalam kenyataannya, penyerahan urusan ternyata tidak semudah yang diperkirakan. Sejak UU Nomor 5 Tahun 1974 hanya ada beberapa PP penyerahan urusan yang diterbitkan yang sebagian adalah produk Tahun 50-an. Bahkan ada urusan yang telah diserahkan, kemudian di tarik kembali. Selain itu, pendekatan kekuasaan dalam penyerahan suatu urusan pemerintahan yang telah diserahkan secara formal sering tidak diikuti dengan penyerahan 50
3P (Personil, Pembiayaan dan Perlengkapan). Itulah sebabnya pemerintah merasa perlu untuk melakukan suatu terobosan dengan membuat pola percontohan Daerah Tingkat II yang diterapkan pada 26 Dati, yang pencanangannya oleh presiden Soeharto tanggal 25 April 1995, yang sebelumnya diawali dengan terbitnya PP Nomor 8 Tahun 1995 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada 26 Dati II Percontohan. Walaupun pokok permasalahan dalam daerah Percontohan terpusat pada masalah penyerahan urusan Departemen Teknis kepada Dati II, urusan- urusan yang selama ini ditangani oleh LPNS di tingkat II juga tentu ikut difikirkan. Daerah Percontohan itu akan dimonitor dan dievaluasi perkembangannya secara periodik, sehingga dapat diketahui penyebab keberhasilan maupun kegagalan. Yang terpenting dalam pelaksanaan Percontohan otonomi Dati II ini yaitu : a. Dalam rangka keberhasilan otonomi Daerah Tingkat II, diperlukan persamaan persepsi semua pihak bahwa otonomi daerah adalah amanat Undang- undang Nomor 5 Tahun 1974 yang
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 3, Oktober 2009 harus dilaksanakan (adanya political action), disamping merupakan political will dari pemerintah dalam tangga menjawab serta mengantisipasi tuntutan pembangunan dewasa ini. Untuk itu, diharapkan agar Pemerintah Pusat dan Daerah Tingkat I benarbenar menyerahkan sebagian urusan ke Daerah Tingkat II beserta perangkat pembiayaan dan personilnya. b. Dengan menyerahkan otonomi daerah ini diharapkan pula upaya pemberdayaan masyarakat khususnya dalam aspek kewirausahaan dalam rangka menggali sebanyakbanyaknya potensi daerah yang dimiliki bagi peningkatan PAD. c. Agar undang- undang yang mengatur perimbangan keuangan/ perpajakan Pusat dan Daerah dapat segera diterbitkan, sehingga akan memberikan kesempatan kepada Daerah mempunyai pendapatan secara proporsional dengan potensi daerahnya, namun tetap dalam konteks negara kesatuan. Dengan demikian akan mengurangi ketergantungan Daerah
dengan Pusat sekaligus mendorong kemandirian serta motivasi Daerah dalam menggali PAD- nya. d. Pelaksanaan otonomi daerah tingkat II membawa dampak semakin luasnya tugas, tanggung jawab dan wewenang Bupati Kepala Daerah. Oleh sebab itu, diperlukan rambu- rambu dan pengawasan DPRD yang semakin efektif. e. Peran daerah tingkat II yang semakin luas tersebut diperlukan adanya keserasian melalui pelaksanaan penelitian (polici research) tentang organisasi dan fungsi Daerah Tingkat II, Daerah Tingkat I dan Pemerintah Pusat, sehingga akan tercipta manajemen pemerintahan yang semakin efisien dan efektif. f. Agar dapat diketahui tingkat keberhasilan program pemerintah tentang otonomi Daerah Tingkat II ini, maka sebelum diberlakukan di seluruh Daerah Tingkat II, seyogyanya terlebih dahulu dirumuskan tolok ukur/ indikator keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah tersebut. Dengan demikian indikator tersebut, dapat digunakan untuk 51
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 3, Oktober 2009 menentukan Dati II yang layak mendapat penambahan penyerahan urusan dari Pusat maupun Dati I. g. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokokpokok pemerintahan di Daerah ditetapkan 20 (dua puluh) tahun yang lalu. Kondisi dan kompleksitas masalah pembangunan nasional sudah semakin berbeda, selain pembangunan di Daerah di segala bidang telah mengalami kemajuan yang pesat. Oleh sebab itu kiranya undang- undang tersebut perlu untuk disempurnakan. (Ateng Syafrudin, 1991). 6. Implikasi Kebijaksanaan Pemberdayaan Rakyat. Kunci untuk memberdayakan rakyat berada pada “kekuatan rakyat sendiri”, maka hal itu sama artinya dengan upaya pemberdayaan rakyat atau penguatan rakyat. Upaya memberi daya kepada rakyat (pemberdayaan rakyat) ini tidak sama atau tidak hanya berupa tindakan memberi bantuan finansial semata- mata. Praktek pemberdayaan rakyat adalah lebih berupa tindakan- tindakan konkret yang dapat 52
meningkatkan kemampuan (kualitas sumber daya manusia). Selain itu prakteknya pemberdayaan rakyat adalah upaya membuka pengertian atau kesadaran yang lebih luas tentang hak dan kewajiban rakyat sebagai warga sah dari sebuah negara yang merdeka. Kesadaran akan hak dan kewajiban itu meliputi hak- hak dan kewajiban-kewajiban politik, sosial, ekonomi, kultural, maupun hukum. Di sebuah desa yang miskin, upaya pemberdayaan rakyat berwujud tindakan- tindakan minimal harus dilakukan untuk menghilangkan kendala- kendala yang menghalangi kemajuan masyarakat. Tindakan itu mulamula memang dapat diawali dari pemberian bantuan yang bersifat materil. Tetapi yang jauh lebih penting dan harus segera dilakukan adalah berubahnya sikap para elit pemerintahan sampai pemerintah desa dalam melakukan hubungan- hubungan dengan rakyatnya menjadi lebih terbuka dan demokratis. Tanpa adanya perubahan sikap dan tingkah laku dari para elit pemerintahan, dapat dibayangkan betapa sulitnya mengharapkan perubahan yang dimulai dari rakyat (terutama masyarakat desa) terkebih
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 3, Oktober 2009 dahulu. Dan itu berarti akan semakin sulit lagi mengharapkan peran masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam usahausaha membangun daerah dan desanya. Peran LSM dalam kajian ini jelas sangat besar, dengan syarat LSM mampu menempatkan diri secara proporsional “hanya” sebagai kawan atau mitra semata-mata (sebagai katalisator dan fasilitator pendemokratisasian kehidupan masyarakat). LSM todak boleh terjebak menjadi neo patron di masyarakat. Jadi upaya pemberdayaan rakyat seharusnya dimulai dari dan oleh para elit pemerintahan. Setelah diakui peran para elit tersebut, maka kini perlu ditengok kembali aturan yang menjadi cetak biru (blue print) penataan kehidupan masyarakat (di pedesaan adalah undangundang No. 5 Tahun 1974). Ada alasan kuat untuk segera diadakan pengkajian ulang terhadap isi pasal- pasal yang mengatur hak dan kewajiban kepala desa (elit pemerintah). Sebab bagaimanapun elit pemerintah adalah agen kunci dalam melakukan perubahanperubahan di masyarakat. Dalam masyarakat desa, Kepala Desa adalah orang nomor satu dalam hirarkhi sistem kemasyarakatan,
yang dihargai dalam kehidupan sehari- hari dan secara yuridis formal adalah kepanjangan tangan kepentingan pemerintah pusat di tingkat terbawah (Mubyarto, dkk, 1994) 7. Kesimpulan a. Format kerakyatan yang pas adalah bagaimana kekuasaan dari, oleh dan untuk rakyat di implementasikan dan direalisasikan sehingga efektif dalam praktek kehidupan sehari- hari di masyarakat. b. Penerapan RIGOM membutuhkan perubahan kelembagaan, cara kerja, semangat kerja dan integritas pegawai negeri, kebijaksanaan dan strategi serta pola pikir yang lebih profesional, berwirausaha. Jadi birokrasi tidak hanya memungut pajak dan mengeluarkan dana, tetapi berorientai pada hasil tanpa melupakan kepentingan umum. c. Menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, peran pemerintah selain berupaya mengembangkan keterbukaan dan kebertanggungjawaban, juga harus sudah bergeser dari 53
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 3, Oktober 2009 upaya mengendalikan menjadi mengarahkan. Dari upaya memberi menjadi memberdayakan (empowering). Untuk negara dimana hubungan birokrasi dengan rakyat bersifat paternal, maka upaya pemberdayaan merupakan upaya sangat mendasar yang membutuhkan penyesuaian dan perubahan buaya organisasi yang cukup hakiki. d. Untuk mengimbangi birokrasi sekaligus memberdayan rakyat, perlu menciptakan kondisi yang kondusif untuk lahirnya organisasi independen seperti WALHI, YLKI, atau perlu lembaga obudsman. e. Rasa ketidakberdayaan rakyat melahirkan sikap apatis terhadap masalah politik, sikap tidak peduli terhadap kepentingan bangsa dan negara. Sebaliknya yang tumbuh sikap pragmatis, yang lebih mengutamakan kepentingan diri dan kelompok sendiri. Pragmatisme ini semakin menguat sejalan dengan menguatnya pengaruh liberalisme ekonomi dengan prinsip pasar bebasnya. f. - Penyerahan otonomi daerah diharpkan pula 54
-
-
-
ada upaya pemberdayaan masyarakat khususnya dalam aspek kewirausahaan dalam rangka menggali sebanyak-benyaknya potensi daerah yang dimiliki bagi peningkatan PAD. Undang- undang yang mengatur perimbangan keuangan / perpajakan Pusat dan Daerah harus memberikan kesempatan kepada daerah mempunyai pendapatan secara proporsional dengan potensi daerahnya, namun tetap dalam konteks negara kesatuan. Perlu dirumuskan tolok ukur / indikator keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Indikator tersebut digunakan untuk menentukan Dati II yang layak mendapat penambahan penyerahan urusan dari pusat maupun dari Dati I. Kondisi dan kompleksitas masalah pembangunan nasional sudah semakin berbeda, mengingat pembangunan di daerah telah mengalami
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 3, Oktober 2009
g. -
-
kemajuan pesat, maka undang- undang No. 5 Tahun 1974 perlu untuk disempurnakan. Prakteknya pemberdayaan rakyat harus lebih berupa tindakan konkrit yang dapat meningkatkan kemampuan (kualitas sumber daya manusia). Sangat penting segera dilakukan adalah berubahnya sikap para elit pemerintahan sampai lebih terbuka dan demokratis.
Rosyid, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. Sinaga, Kastorius, 1995 NGOs in Indonesia, A Study of the Rule of Non Governmental Organizations in the Development Process, Printshop, Strullendorf, Germany. Syafrudin, Ateng, 1991 Titik Berat Otonomi Daerah pada Daerah Tingkat II dan Perkembangannya, Mandar Maju, Bandung.
DAFTAR PUSTAKA Mubyarto, dkk, 1994 Keswadayaan Masyarakat Desa Tertinggal, Aditya Media, Yogyakarta. Ndraha, Taliziduhu, 1995 Mencari dan Mengukuhkan Akar Kerakyatan : RIPE, RIGO, Pascasarjana UI Jakarta. Osborne, David and Gaebler, Ted, 1995 Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing Governmtn) Mentransformasi Semangat Wirausaha ke dalam sektor publik, Alih bahasa Abdul 55