JEJAK SANG IBU “Bang Agus, tolongin saya bang, ini ada soal logaritma yang susah. Jengkel saya ndak bisa ngerjain,” ujar seorang wanita berparas cantik, Rini namanya. “Mana Rin? Oalah, ini soalnya gampang kok. Begini caranya-” ujar Agus, lelaki tampan berkacamata. Di salah satu kelas sebuah Universitas Negeri ternama di Jogjakarta, dengan logat jowo-nya, Agus menjelaskan dan menjabarkan soal algoritma yang sulit. Dari dulu Rini sangat menyukai Agus, selain berparas tampan dan pintar, Agus juga sosok pria yang taat beribadah. Namun Agus memiliki kisah yang tidak diketahui hampir semua orang. *** Di salah satu gubuk di kampung wijen, hidup sebuah keluarga kecil. Keluarga itu adalah Agus dan Ibunya. Dulu Agus dan Bapak serta Ibunya hidup harmonis di gubuk tua itu. Namun, sang Ayah meninggal ketika sedang mencari ikan di laut. Waktu itu Agus masih berumur lima tahun. Sejak itu Agus dan Ibunya berjuang melawan lapar. Ibunya bekerja sebagai pedagang sayur di pasar wijen, sedangkan Agus mencari sayur liar di hutan wijen. Kegiatan itu terus dilakukan selama enam tahun. Namun sejak subuh tadi, Agus langsung disuruh berangkat sekolah tanpa mencari sayuran liar terlebih dahulu. Agus juga mendapat pelukan hangat dan Ubi jalar mentah untuk bekal di sekolah. Sore itu hujan deras mendera kampung wijen. Di sebuah gubuk di kampung itu, Agus sedang bingung mencari ibunya. Agus baru saja datang dari sekolah berjarak satu kilometer dari gubuknya. Setelah melepas baju dan tasnya yang basah karena hujan, Agus lalu mencari ke seluruh ruangan di gubuk itu. Walaupun ruangan di gubuk itu hanya ada dua, namun ia tidak kunjung menjumpai Ibu. Dengan muka lusuh, bercelana merah dan badan basah karena kehujanan, ia mengingat-ingat memori tadi pagi. Sejurus kemudian, ia tidak sengaja melihat secarik kertas di sudut meja. Ia membaca surat itu seraya bergumam pelan, “Surat siapa ini?” Dari Ibu. Untuk Agus anakku. Maafkan Ibu karena Ibu tak pernah cerita apa-apa. Maafkan Ibu karena Ibu tak pernah mengeluh tentang apapun. Maafkan Ibu karena kamu harus menempuh hidup tanpa Ibu. Nak Agus, jangan kamu bersedih karena kehilangan Ibu. Karena Ibu akan tetap ada di sisimu. Tolong berikan surat ini kepada pakdhe Tono, dia pasti akan mengurusmu. Ibu sekarang sudah tidak bisa menemanimu lagi. Jaga kesehatanmu ya nak, belajar dan teruslah belajar, dan jangan lupa beribadah. Selamat tinggal anakku. Sontak air mata mengalir bak hujan kala itu. Tak kuasa Agus membendung kesedihan di dalam hatinya kala membaca pesan dari Ibu. Ia berpikir tak karuan, semakin menjadi-jadi karena surat tersebut menyiratkan kesedihan. Seolah surat itu adalah tanda perpisahan dirinya dengan Ibu.
Sembari mengusap peluh di pipinya. Ia lalu meneguhkan hati untuk mengantarkan surat itu kepada Pakdhe Tono. Ia lalu bergegas memakai kaos olahraga yang baru dicuci, lalu memacu sepedanya yang ia parkir didepan gubuk. Hujan pun sirna. Agus melaju dengan cepat melewati semak belukar dan persimpangan. Namun ditengah perjalanan ia dikagetkan oleh suara yang memanggil namanya. “Cah Agus! Cah Agus!” Teriak sosok laki-laki paruh baya berbalut sarung dan peci, pak Rukyah namanya. Pak Rukyah adalah salah satu penduduk kampung Wijen yang juga menjabat sebagai guru agama di SD Wijen tempat Agus belajar. Dan kabarnya, pak Rukyah mempunyai mata batin, bisa melihat bangsa jin. “Wonten nopo pak? (Ada apa pak?)” Tanya Agus sambil mengatur napasnya yang ngos-ngosan. “Sampeyan kenopo cah kok grusa grusu numpak sepeda? iki wes Maghrib, ayo Maghriban sek (kamu kok tergesa gesa gitu naik sepedanya? sudah Maghrib lho, ayo sholat Maghrib dulu),” “Kulo bade sowan dateng dalemipun Pakdhe kula Pak, Inggih pak, maturnuwun (saya mau mengunjungi rumah pakde saya pak, iya pak terimakasih),” balas Agus sopan sambil mengeluarkan sarung di tas sekolahnya yang setiap hari ia bawa. Bersama dengan pak Rukyah, Agus menuntun sepedanya menuju masjid tua tidak jauh dari tempat mereka bertegur sapa, masjid Al-Anwar namanya. Masjid itu sangat tua sampai-sampai ada bagian tembok yang retak dimakan usia. Di pinggir masjid terdapat pohon bambu berjejer-jejer. Dan di halaman masjid tumbuh pohon mangga yang sangat besar dan terlihat tua. Sesampainya mereka di masjid tua namun besar itu, pak Rukyah lalu menuju shaf paling depan dan bersiap sholat sunnah kobliyah Maghrib. Sedangkan Agus harus menaruh sepedanya dulu di tempat parkir. Ketika Agus merantai ban sepedanya, betapa terkejutnya ia ketika melirik ke salah satu sudut masjid, di pohon mangga tua itu, terdapat sosok wanita tua yang menatapnya tajam. Rambutnya putih, badannya kecil membungkuk. Wanita itu memakai baju putih kusam, wajahnya tak terlihat karena gelap, tetapi tatapannya sangat tajam. Bahkan seluruh rambut di tangan Agus pun ikut merinding. Sontak suara Muadzin ber-iqomah terdengar lantang. Karena belum wudhu dan tak kuasa menahan takut, ia langsung berlari menuju tempat wudhu. Setelah menjalankan sholat Maghrib berjamaah, Agus lalu pamit kepada pak Rukyah untuk melanjutkan perjalanan. “Pak Kula pamit rumiyen nggeh, Bade ngelanjutaken perjalanan dateng griyanipun Pakdhe Tono (Pak saya pamit dulu ya, mau melanjutkan perjalanan ke rumah nya pakde Tono),” kata Agus dengan logat krama inggilnya. “Iyo cah, ati-ati yo, Pak Tono lek gak salah iku omahe nang kampung sebelah yo cah? Ati-ati yo, iki enek sego bungkus, panganen yo lek luwe, karo lek sampeyan nang dalan diganggu jin, wocoen Ayat Al Kursi sampek jin e ilang (Iya nak, hati-hati ya, Pak Tono itu kalau tidak salah rumahnya di kampung sebelah ya nak? hati-hati ya, ini ada nasi bungkus, makanlah ketika lapar, dan jika kamu diganggu jin, baca saja Ayat Al Kursi agar jinnya hilang),” ujar pak Rukyah tegas.
“Inggih pak, kulo mangertos, maturnuwun nggih pak (Iya pak saya mengerti, terima kasih ya Pak)” Kata Agus sembari melepas rantai di ban sepeda dan mengalungkannya di badan sepeda. Setelah benar-benar berpamitan. Agus lalu melanjutkan perjalannya menuju kampung sebelah tempat Pakdhenya tinggal, kampung Napak Tilas. Jarak antara Kampung Wijen dan Kampung Napak Tilas cukup jauh, kurang lebih enampuluh menit lamanya jika ditempuh dengan bersepeda. Sedangkan Agus masih mencapai daerah tepian kampung Wijen. Kampung Wijen dan Napak Tilas dibatasi oleh dua masjid tua yang telah dibangun beratus tahun yang lalu. Kampung Wijen diwakili oleh Masjid Al-Anwar, sedangkan Kampung Napak Tilas diwakili oleh Masjid Saka Tunggal. Jalan menuju perbatasan kampung Napak Tilas cukup sepi dan sempit, hanya cukup untuk dilalui dua sepeda ontel, dan disekitar jalan dihias dengan berbagai macam pohon. Ada pohon beringin, pohon bambu, sawo, hingga pohon pisang. Biasanya warga melakukan perjalanan antar kampung pada pagi dan siang hari, karena takut dikageti jika lewat malam hari. Namun Agus tidak mengkhawatirkan jin. Hanya satu yang ia khawatirkan, Ibunya. Malam itu Agus mengayuh sepeda kecilnya dengan cepat, pandangannya lurus ke depan. Tak ingin lagi ia melirik kanan kiri, karena kejadian tadi ketika di masjid masih tertancap di pikirannya. Di campur dengan keberadaan Ibunya yang menghilang secara misterius. Hatinya masih gundah gulana. “Ya Allah, mengapa semua ini terjadi pada diriku?” keluhnya dalam hati. Sambil mengayuh sepeda, ia membayangkan wajah ibunya pagi sebelum menghilang. Namun ini bukan saatnya berkeluh kesah. Takdir Allah yang terbaik. “Aku tidak boleh melamun,” gumam Agus dalam hati. Namun tiba-tiba ada sesuatu yang mengusik Agus. ‘Ngik-ngik-ngik’ Terdengar suara sepeda tua yang mengikuti Agus dari belakang. Bunyi kayuhan sepeda tua itu menggema di sela-sela jalan yang sepi. Karena terusik rasa penasaran dan takut ada maling menyergapnya, maka Agus mencoba menoleh ke sumber suara itu. Betapa terkejutnya ia ketika melihat sosok makhluk yang sangat sering diperbincangkan di kampungnya. Sosok makhluk yang sudah menjadi legenda kampung wijen. Sosok pria tanpa kepala. Hantu pria tak berkepala itu sudah menjadi legenda tak hanya di kampung wijen, tetapi di kampung-kampung sebelah juga. Ceritanya, dulu ada seorang petani yang mendapatkan untung banyak dari hasil panen di sawahnya. Namun ketika si petani itu pulang menaiki sepeda tuanya di malam hari, ada seorang perampok yang ingin mencuri uang si petani. Dengan berbekal celurit, si perampok menyayat kepala si petani, hingga kepala pria malang itu terlepas dan menggelinding entah kemana. Darah semburat tak karuan, sepeda tua itupun dalam sekejap berlumuran darah. Karena si perampok saat itu membawa sepeda, maka yang diambil adalah uang hasil panen, sedangkan mayat dan sepeda petani malang itu ditinggalkan begitu saja. Sehari setelah kejadian, seluruh warga menemukan tubuh pria malang itu tanpa berhasil menemukan kepalanya. Dan konon, si perampok mati bunuh diri karena selalu digentayangi hantu tak berkepala. Hingga saat
ini, hantu pria itu setiap malam mencari kepalanya yang hilang dan berkeliling di sekitar perbatasan kampung Wijen dan kampung Napak Tilas. Agus sangat terkejut dan sedikit merinding melihat secara langsung mitos kampungnya sendiri. Ia perhatikan dengan seksama makhluk itu. Terlihat daging busuk di sekitar lehernya, dengan memakai pakaian petani dan topi petani dikalungkan di badannya. Walau ia terlihat mengayuh sepedanya pelan, namun kecepatannya bisa menandingi kayuhan sepeda Agus yang semakin cepat karena rasa takutnya semakin besar. “Astaghfirullahaladzim Ya Rob, lindungilah hamba,” gumam Agus seraya menambah kecepatan sepedanya. Walaupun Agus sudah mengayuh sepedanya secepat mungkin, tapi makhluk itu masih bisa mengejar, bahkan sekarang berada di samping Agus. Bau tengik menyeruak disela-sela hidung Agus. Dagingnya yang sudah membusuk dan belatung gemuk menghiasi leher makhluk itu. Tak tahan dengan pemandangan menjijikan itu, Agus langsung komat-kamit membaca Ayat Al Kursi. Hantu tak berkepala itu pun tiba-tiba memelankan kayuhannya. Semakin pelan dan pelan. Agus yang sadar bahwa usahanya berhasil menjauhkan jin itu. Ia langsung mengulangi ucapan itu sangat lantang. Akhirnya hantu itu sekejap hilang tak berjejak. “Alhamdulillah Ya Allah” gumamnya lega. Separuh perjalanan telah Agus tempuh. Banyak jin-jin yang mengganggu ekspedisi kecil agus, tetapi tidak separah hantu tak berkepala tadi. Ia lalu terserang rasa lapar yang ia tahan sedari tadi. Ia berniat menepi sejenak untuk menyantap nasi bungkus dari pak Rukyah. Sekarang Agus sedang berada di daerah persawahan. Banyak suara hewan hewan kecil seperti jangkrik, kodok, dan belalang. Agus melirik kanan dan kiri, berharap menemukan tempat istirahat. Dia lalu melihat ada sebuah gubuk kecil. Gubuk itu sebenarnya difungsikan untuk tempat istirahat para petani yang sedang bercocok tanam. Tetapi terkadang menjadi singgahan anak-anak kecil untuk melepas lelah usai bermain petak umpet. Agus dengan cepat duduk di gubuk tua itu, sembari membuka bungkusan nasi, tak lupa ia membaca bismillah agar tak diganggu makhluk halus lagi. Lalu dengan lahap ia menyantap nasi dengan lauk telur dadar dan mie itu. Dengan wajah puas dan kenyang, ia lalu membuang bungkus nasi yang sudah kosong ke tempat sampah dekat situ. Setelah meneguk air minum di tasnya. Ia lalu bersiap-siap melanjutkan perjalanan. “Oh Ibu, engkau dimana Ibu?” pikir Agus resah. Sampai sekarangpun ia masih memikirkan Ibunya yang menghilang secara misterius. Agus mengayuh sepedanya dengan pelan, takut perutnya sakit karena kekenyangan. Badannya yang sudah sangat pegal sangat menyiksa. Tapi ia meneguhkan hatinya untuk melanjutkan perjalanan, paling tidak hingga menjumpai masjid Saka Tunggal, tanda bahwa ia telah memasuki kampung Napak Tilas. Perjalanan kurang lebih tinggal duapuluh menit lagi. Dengan berbekal semangat ia mengayuh sepedanya cukup cepat. Namun sekali lagi ia harus memasuki daerah alas. Dimana terdapat banyak sekali pohon-pohon tempat makhluk halus tinggal. Agus mengayuh sepedanya makin cepat. Dan semakin cepat ketika ia melihat sosok makhluk hitam, besar, dan berbulu yang sering disebut genderuwo oleh warga setempat.
Tiba-tiba Agus dikejutkan dengan sosok wanita berambut hitam pekat berbaju putih sedang berdiri di tengah jalan, membelakangi Agus. Terpaksa Agus mengerem sepedanya supaya tidak menabrak wanita itu. “Mbak, jangan berdiri di tengah jalan. Nanti ketabrak lho!” Teriak Agus kesal. “Hihihi-” Wanita berambut panjang itu seketika menoleh kearah Agus. Aku terbelalak kaget kala melihat perawakan mengerikan wanita itu. Wajahnya putih dan pucat. Mulutnya menganga hingga menyentuh kuping. Dan hidungnya mengeluarkan cairan merah kehitaman. Sontak Agus membaca Ayat Kursi lagi. Semakin keras karena rasa takut yang menyelimutinya. Ia juga memejamkan mata, sambil membayangkan wajah Ibunya, ia melantunkan ayat Kursi keras-keras. Ketika Agus membuka kedua bola matanya, sosok makhluk tembus pandang yang mirip ibunya mendekati hantu wanita itu. Mendekat dan mendekat. Hingga keduanya hilang tak berbekas. Agus sangat terkejut melihat sosok makhluk yang mirip sekali dengan Ibunya itu. “Ibu? Apa tadi itu Ibu?” Kata Agus terkaget kaget. Dengan panik Agus menoleh kanan dan kiri berharap menemukan jejak sang Ibu. Namun apa daya, jejak itu telah hilang tak berbekas. Tak terasa air matanya mengalir lagi di kedua pipi Agus. Menandakan bahwa ia sangat merindukan sang Ibu. "Aku tidak boleh berpikir buruk. Sekarang aku harus melanjutkan perjalanan ini. Dan mencari kejelasan ke Pakdhe Tono," gumam Agus lirih. Agus langsung mengayuh kembali sepeda kecilnya. Perjalanan menuju Kampung Napak Tilas akan segera usai. Setidaknya sepuluh menit lagi Agus akan disambut oleh megahnya masjid tua bernama Saka Tunggal. Agus mengayuh sepedanya melewati jalan-jalan yang masih berupa alas, banyak pohon-pohon angker yang tumbuh di sekitarnya. Semenjak tadi, Agus sudah digoda berbagai macam Makhluk Halus, tapi ia tetap tegar dan pantang menyerah. "Tinggal sedikit lagi!" Teriak Agus dalam hati karena tak ingin menyerah ditengah jalan. Namun ketika kubah masjid Saka Tunggal mulai terlihat, pundak Agus terasa berat sekali. "Mungkin karena aku sudah terlalu pegal," pikirnya. Tetapi rasa berat itu sangat tidak wajar. Seperti ada yang menaiki pundaknya. Walau napasnya sudah tak teratur lagi, tapi Agus tidak terlalu memikirkannya dan mengayuh semakin cepat, karena masjid Saka Tunggal sudah menampakkan dirinya. Celakanya, Agus sudah terlalu lelah untuk mengayuh. Perjalanan jauh yang ia tempuh sudah cukup berat baginya. Ditambah kemunculan makhluk-makhluk nakal yang menyeruak bak angin jahat melemahkan mental Agus.
Pandangan Agus mulai buram, memudar, dan nanar. Kayuhannya semakin pelan. Pandangannya sudah tak jelas lagi, kakinya tidak mau bergerak. Raganya menolak perintah untuk melanjutkan perjalanan lebih jauh lagi. Seketika Agus ambruk dari sepedanya. Darah dari pelipis mata mengucur karena terbentur kerikilkerikil kecil. "Ibu, aku sekarat." batinnya lirih. Air matanya mengalir lagi dan semakin deras ketika menerima kenyataan pahit ini, dia kelelahan. Sebelum pandangannya memudar, ia mendengar suara langkah kaki mendekat kearahnya. Namun tiba-tiba semua menjadi gelap, bagai terhisap dalam lubang hitam. *** "Tidak!" Agus terbangun dari pingsannya. Badannya masih sulit untuk digerakkan karena lelah. Ia melihat sang rembulan menyeruak diantara jendela. Ketika melihat sekeliling, ia ternyata berada di sebuah kamar yang cukup luas. Lebih besar dari kamarnya. Agus menoleh kanan dan kiri. Terlihat ada sebuah kain bertuliskan arab dipaku disela-sela dinding. Setelah ia menamatkan tulisan arab itu, ternyata tulisan arab itu adalah Ayat Al Kursi. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Agus terkejut. Seketika itu pula pintu kamar terbuka pelan. Terlihat sosok pria paruh baya. Dengan perawakan rapi, memakai sarung dan peci, dan berbaju putih bersih berjalan mendekati Agus. "Sampeyan sudah sadar nak?" tanya pria paruh baya itu. "Inggih pak, terima kasih sudah menyelamatkan saya, maaf ini dimana ya?" "Maaf saya belum memperkenalkan diri, nama saya Amir. sekarang adik sedang berada di kamar saya, di Masjid Saka Tunggal, saya pengurus masjid ini." "Oh, jadi bapak Amir yang menyelamatkan saya ketika pingsan di pinggir jalan ya pak? Terimakasih banyak ya pak. Nama saya Agus," balas Agus sembari memijit-mijit sendiri pundaknya yang masih pegal. "Dik Agus ya. Tidak apa-apa kok dik. Saya kebetulan sedang mencari tanaman waktu itu, lalu mendengar ada suara ibu-ibu minta tolong. Namun ketika saya menuju sumber suara, saya hanya melihat adik pingsan. Jadi saya angkat adik kesini. Tenang saja dik, jin yang menaiki pundakmu sudah saya usir" jelas Pak Amir seraya tersenyum hangat. "Suara Ibu-ibu minta tolong?" batin Agus heran. Hati Agus mulai resah memikirkan kejadiankejadian ganjil yang terjadi selama perjalanannya menuju kampung Napak Tilas. "Adik belum sholat Isya' ya? Ayo sholat dulu, tapi sebelumnya minum ramuan ini ya nak, untuk menghilangkan pegal,"
"Inggih pak. Maturnuwun," jawab Agus dengan nada sopan. Setelah meminum ramuan itu, badan Agus terasa ringan, lelah di badannya cukup berkurang. Agus langsung menuju ruang tengah Masjid Saka Tunggal. Ukiran-ukiran huruf arab menghiasi interior masjid. Ditambah pilar-pilar besar yang menyangga atap masjid itu, membuat siapapun yang mengunjungi masjid Saka Tunggal akan berdecak kagum. Agus lalu menuntaskan kewajibannya yang tertunda. Setelah selesai menyelesaikan Sholat Isya', Agus menceritakan semuanya kepada Pak Amir. "Begitu ya dik. Tapi bahaya lho kalau melakukan perjalanan di malam hari, apalagi sampeyan masih kecil." "Inggih saya mengerti pak, tapi apa boleh buat. Saya sangat kehilangan Ibu saya pak," ujar Agus lirih. "Ya sudah, sekarang kamu istirahat di kamar saya saja, besok pagi-pagi baru menyelesaikan perjalanan kerumah pakdhe kamu," balas Pak Amir. "Iya pak, terima kasih banyak." Agus berjalan menuju kamar tidur. Setelah merebahkan tubuhnya, Agus lalu mencoba memejamkan mata. Berharap dapat memimpikan Ibunya. Cahaya putih pun perlahan semakin gelap. Didalam mimpi, Agus melihat Ibunya tersenyum indah. Sangat indah. Seakan-akan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Pancaran jingga dari ufuk timur serta pekik ayam yang saling bersautan menjadi potongan kisah prolog fajar. Agus terbangun oleh suara Bapak Amir yang menyuruhnya untuk mengambil Air Wudhu, waktu subuh akan tiba. Setelah menyelesaikan sholat subuh berjama'ah, Agus lalu mengemas barangnya dan bersiap-siap untuk melanjutkan ekspedisinya. Sebelum berangkat ia disuguhi sebungkus nasi hangat dan teh panas oleh Pak Amir. Setelah mengucapkan rasa syukur sedalam-dalamnya kepada Sang Maha Pemberi Rejeki, ia melahap dengan nikmat nasi bungkus itu. "Ternyata masih banyak orang-orang baik di sekitar hamba, Alhamdulillah," batin Agus sembari melahap semuanya. Setelah nasi itu habis tak bersisa, dan teh panas raib ia teguk, ia lalu pamit kepada Pak Amir dan mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya. "Hati-hati di jalan ya dik" "Inggih pak, maturnuwun. Saya pamit dulu pak, Assalamualaikum." ujar Agus sopan sembari menyiapkan sepeda lusuhnya. "Wa'alaikumussalam." ***
Tampak sebuah rumah tua yang tidak dapat dibilang gubuk lagi. Halaman rumahnya terlihat cukup luas, jemuran pakaian dan ikan asin tertata rapi di halaman rumah yang luas. Rumah tua itu adalah milik Pakdhe Tono. Agus yang senang karena perjalanannya akan berakhir lalu mengayuh sepedanya semakin cepat, dan akhirnya ia tiba di halaman rumah Pakdhe Tono. "Assalamualaikum, Pakdhe!" pekik Agus terlihat tidak sabar. "Wa'alaikumussalam," balas seseorang yang sudah cukup berumur dari balik pintu. Tak lama kemudian, pintu depan terbuka. Terlihat sosok wanita yang sudah cukup tua, banyak kerutan di dahinya. Serta jilbab ungu membalut kepalanya, Budhe Tono namanya. "Nak Agus! Pak, ada nak Agus! Ayo masuk nak," teriak Budhe Tono sedikit riang. Kesedihan tersirat di paras Budhe Tono, namun tampaknya ia terlihat menutupi kesedihannya. Budhe Tono kemudian menyuruh Agus masuk dan duduk di ruang tamu. Budhe dan Pakdhe Tono adalah sepasang suami istri yang cukup berada, Pakdhe Tono mempunyai kebun apel yang cukup luas, dan sebuah tambak yang berisi ikan-ikan yang bermacam-macam. Pakdhe Tono bertugas merawat semua aset itu, sedangkan Budhe Tono bertugas menjual hasil panen kepasar-pasar. Tapi sayang, pasangan itu belum dikaruniai seorang anak. "Nak Agus! Pakdhe ndak nyangka kamu bakal datang kesini, kamu sendirian nak? Aku sama Budhemu rencananya mau kerumahmu nanti siang, " Ujar Pakdhe Tono yang muncul secara tibatiba dibalik pintu ruang tengah. “Iya Pakdhe, saya sendirian. Saya kesini karena saya mencari ibu, Pakdhe. Kemarin waktu saya pulang dari sekolah, ibu saya tidak ada di rumah. Saya malah menemukan surat ini,” ucap agus seraya menyerahkan surat Ibunya kepada Pakdhe Tono. Setelah membaca surat itu, Pakdhe Tono termenung sejenak. Sejurus kemudian ia menceritakan semuanya kepada Agus. "Begini nak, Pakdhe akan menjelaskan dari awal. Sebenarnya, beberapa tahun yang lalu Ibumu terserang penyakit berbahaya. Ibumu awalnya batuk darah. Tapi karena mencukupi kehidupan sehari-hari saja dan menyekolahkanmu sudah cukup berat bagi ibumu, maka ia tidak menghiraukan penyakitnya. Tapi akhir-akhir ini Ibumu sering muntah darah. Dan pagi itu, tak lama setelah cah Agus ke sekolah, Ibumu ambruk dan ditemukan oleh Bu Kuncoro, tetanggamu. Setelah beberapa menit dirawat dirumah Pak Kuncoro, Ibumu sadar dan menulis surat untukmu dan ditaruh di meja. Lalu meminta tolong Bu Kuncoro untuk mengantar Ibumu kerumah Pakdhe. Namun ketika Ibumu tiba dirumah Pakdhe, semuanya sudah terlambat, Ibumu meninggal tadi malam, nak." Pakdhe Tono menjelaskan semuanya seraya terisak pilu. "Apa! Ibu meninggal?!" pekik Agus seolah tidak mempercayai perkataan Pakdhe Tono. Matanya sudah berkaca-kaca. Memang ketika perjalanan menuju rumah Pakdhe Tono banyak tanda-tanda bahwa Ibunya sudah meninggalkan dunia ini. Ditambah surat itu yang menyiratkan kesedihan yang mendalam. Namun Agus selalu berharap semuanya akan baik-baik saja. "Tapi! Kenapa hal itu harus terjadi ?!" Teriak Agus dalam hati. Sontak Agus menangis sejadijadinya, ia tidak kuasa menahan kesedihan yang sangat mendalam. Seketika badannya mati rasa.
Pikirannya kalut tak karuan. Pakdhe Tono juga tak kuasa menahan air mata, begitu pula Budhe Tono yang baru saja menyiapkan segelas teh hangat di meja ruang tamu. "Nak, tabahkan hatimu. Jangan menyalahkan siapa-siapa. Ini sudahlah menjadi bagian dari takdirNya. Kuatkan hatimu nak," ujar Pakdhe Tono sembari mengusap kepala Agus yang masih menangis pilu. "Ya Allah, jika ini memang jalan yang terbaik bagiMu, hamba akan berusaha ikhlas ya Allah," teriak Agus dalam hati. Setelah keadaan tenang. Agus lalu menemui raga Sang Ibu yang tergeletak lemas tak bernyawa di rumah sakit kampung Napak Tilas. Dan rencananya jenazah akan dimakamkan pada sore hari setelah dimandikan dan disholatkan. Agus menjalani serangkaian perpisahan dirinya dengan sang Ibu dengan tabah. Berharap Ibunya menemui Yang Maha Kuasa di Surga. Beberapa hari setelah itu, Agus dirawat oleh Pakdhe dan Budhenya di kampung Napak Tilas. *** "Ayaah, tunggu Nabil dong Yah" teriak riang anak kecil mengikuti Ayahnya. Terlihat sebuah keluarga sedang tamasya di keukenhof, taman bunga tulip di Belanda. Keluarga kecil itu dengan riang bercakap-cakap dan bermain di sekitar taman Keukenhof. Ya, itu adalah Agus bersama istrinya Rini, dan Anak pertamanya Nabila. Sudah dua-puluh tahun berlalu sejak kejadian itu. Kini Agus telah mencapai puncak kesuksesannya dan menetap sementara di belanda untuk menempuh gelar Profesor. Ditengah-tengah canda tawa keluarga kecil itu, Agus berkata dalam hati "Ibu, terima kasih atas senyum yang engkau berikan. Terima kasih atas jerit payah yang engkau berikan. Walau engkau menderita karena penyakit, tapi engkau selalu memberikan senyum indah padaku. Terima kasih atas segalanya, ibu." TAMAT