Ayu Kinanti Dewi - Niken Saraswati - Anindita Budhi T - Niken Mutia Nadya Permata - Rosalia Nugraheni – Ika Zenita R - Lidya Insan Swastika – Amanda Murtiningtyas
Psikogama Motherhood
Ibu: Sang Manusia Pembelajar (Kisah nyata para Ibu Muda)
Diterbitkan secara mandiri melalui Nulisbuku.com
Ibu: Sang Manusia Pembelajar (Kumpulan Cerpen Para Ibu Muda) Oleh: Ayu Kinanti Dewi, Niken Saraswati, Anindita Budhi T, Niken Mutia, Nadya Permata, Rosalia Nugraheni, Ika Zenita Ratnaningsih, Lidya Insan Swastika, Amanda Murtiningtyas
Copyright © 2015 by Ayu Kinanti Dewi, Niken Saraswati, Anindita Budhi T, Niken Mutia, Nadya Permata, Rosalia Nugraheni, Ika Zenita Ratnaningsih, Lidya Insan Swastika, Amanda Murtiningtyas
Penerbit Nulisbuku.com www.nulisbuku.com
[email protected]
Desain Sampul: www.nulisbuku.com
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com 2
Thanks to….
Ibu dan Mama dari seluruh penulis… dan untuk seluruh Ibu di dunia Buku ini kami dedikasikan untuk para Ibu yang tak pernah lelah untuk belajar…
3
Cerita Para Ibu
Untuk Sebuah Senyum – Ayu Kinanti Dewi
5
Ibu Sang Manusia Pembelajar – Niken Saraswati
20
Terrible Twos! – Anindita Budhi T
37
Semua Ini Kulakukan Untukmu – Niken Mutia
43
Maka
56
Nikmat
Tuhan
Mana
yang
Engkau
Dustakan? – Nadya Permata
Tetap Menyusui
Saat
Demam
Berdarah
–
73
“Bahasa Krama”: Belajar Menghargai Anak –
82
Anindita Budhi T
Rosalia Nugraheni
Dia yang Kutunggu – Ika Zenita R
95
Belajar Menjadi Orang Tua, Menjadi Orang Tua
108
Pembelajar – Lidya Insan Swastika
Bayiku
Bergelar
Murtiningtyas
4
Magister
–
Amanda
120
Untuk Sebuah Senyum Ayu Kinanti Dewi
Mama. Apa yang teman-teman bayangkan ketika disebut
kata
itu?
Kehangatan,
kasih
sayang,
perhatian, rindu? Sepertinya seharusnya begitulah yang
ada
di
benak
seorang
anak
ketika
membayangkan ibunya. Jujur, saya iri. Karena bagi saya, yang sempat terbersit dalam memori tentang Mama adalah kehampaan, stagnan, pesimisme, apatisme. Seperti ada sebuah tembok yang menghalangi saya dengan memori tentang seorang Ibu yang katanya bagai sang surya. Saya bahkan lupa, kapan terakhir kali Mama tersenyum. Mama saya berkebutuhan khusus, she's schizophrenic.
5
Saya sudah akrab dengan gejala-gejala khas schizophrenia sejak saya balita. Mama sebenarnya adalah pribadi yang hangat, ramah, ceria, dan pendengar yang sangat baik. Mama juga begitu talented. Ada masa-masa indah dalam hidup saya ketika Mama begitu banyak tersenyum bahkan tertawa dan begitu semangatnya menjalani hari. Tetapi tampaknya tekanan hidup dirasakan beliau begitu
berat,
sehingga
senyumnya
sirna
berbarengan dengan semangat hidupnya yang surut. Apalagi setelah Mama berpisah dari Papa. Perlahan tapi pasti Mama seperti bukan Mama. Mama seperti orang lain. Tidak hanya senyum dan semangatnya yang pergi, kelembutan hati, kesadarannya pun entah kemana. Mama sudah tidak
bisa
memperhatikan
kebersihan
dan
kesehatan dirinya. Tidak mau makan, tidak mau mandi, tidak mau beraktivitas, tidak mau sholat. Bahkan ada saat-saat ketika dalam pandangan beliau saya begitu salah untuk sebuah hal kecil sehingga tendangan, injakan, cakaran, pukulan beberapa kali dilampiaskan pada saya. Saya tahu itu 6
bukan benar-benar ditujukan pada saya. Saya sadar bahwa Mama tidak bermaksud begitu. Tetapi di dalam hati ini ada seorang anak kecil yang merasa merana hari demi hari menanggung kesedihan, kekecewaan, kesendirian, frustrasi. Anak kecil yang rindu akan senyum kehangatan, sedikit saja. Kondisi itu yang mengokohkan sebuah tembok besar antara saya dan Mama. Sampai akhirnya saya menikah dan lalu mulai mengandung. Besar harapan saya, kondisi Mama dapat berubah dengan hadirnya seorang cucu. Karena Mama memang senang sekali dengan anak kecil. Saya meniatkan untuk paling tidak berubah dari diri saya sendiri, menghancurkan tembok yang menjadi penghalang kedekatan saya dan Mama. Saya akan jadi seorang Ibu, Ibu mana yang mau jauh dengan hati anaknya.
7
Tidak mudah ternyata hamil dan merawat Mama. Juga Mama tidak serta merta berubah mengetahui akan menimang cucu. "Kamu tu hamil atau ga sih?" Ini pertanyaan yang sering saya dengar dari Mama di kala hamil. Padahal Mama melihat hari demi hari perut saya membuncit, bahkan setiap cek ke dokter selalu saya ajak sampai masuk ke ruang konsultasi. Saya yang ketika hamil memang jadi jauh lebih sensitif hanya bisa menjawab sekenanya dan menangis. "Kamu sama Satriyo tu apa sih, temen atau apa sebetulnya?" Satriyo adalah suami saya, Mama saya mendampingi saya saat akad nikah. Bagaimana perasaan temanteman jika seorang Mama bertanya seperti itu? Sedih,
kesal,
heran,
bercampur
aduk
perasaan ini saat itu. Saya hanya bisa diam, masuk kamar, dan menangis. Ketika di kamar, sambil menangis saya ajak si Kakak di perut bicara.
8
"Kak.. kenapa ya Eyang begitu? Kak... tolong maklumi Eyang ya.." Suatu sore ketika sedang di tempat usaha, Asisten Rumah Tangga (ART) menghubungi saya dan dengan panik menyampaikan Mama kabur dari rumah. Saya dan suami buru-buru pulang ke rumah dan menemukan Mama dipinggir jalan bersama ART dan beberapa tetangga yg menahan Mama pergi. Wajah
Mama
tampak
suram
sekali,
matanya
dan
akhirnya
memerah menatap nanar. Astaghfirullah.. Cukup
lama
membujuk
memaksa Mama masuk mobil. Mama semakin memberontak ketika dipegangi orang lain selain saya. Saya dengan susah payah harus mendekap Mama sampai masuk mobil, ketika kondisi perut saya sedang hamil 6 bulan. Sampai di rumah Mama meracau tidak karuan. Tidak mau makan. Saya hanya bisa membujuknya,menenangkannya sambil menangis.Beberapa hari setelahnya kondisi Mama juga belum kunjung stabil. Sempat saya harus lari
9
mengejar Mama yang tiba-tiba keluar rumah setelah menerima kiriman makanan dari tetangga. Saya menemukan Mama sudah mengomel di rumah tetangga. Saya ajak Mama pulang dengan hati yang tidak karuan. Tidak mau makan, tidak minum obat, tidak mau keluar kamar, adalah yang sehari-hari harus saya hadapi. Hampir setiap hari ketika menghadapi stimulus Mama, saya akan menangis. Prihatin melihat saya, sampai-sampai ada kerabat yang setengah memaksa Mama dirawat saja di Rumah Sakit Jiwa. Oh no! Bagaimanapun kondisi Mama saya tidak akan tega Mama diurus oleh orang lain tanpa pengawasan saya, Mama akan semakin terpuruk karena merasa 'dibuang'. Stres
saya
cukup
tinggi
ketika
diukur
sebelum kelas hypnobirthing. Ketika hamil saya harus bekerja sampai jam 21.00 karena target usaha kala itu. Itu tidak membuat saya terlalu stres. Saya juga harus diet karbohidrat untuk mengontrol berat si Kakak yang cepat sekali naik.
10