sang ayah. Selepas kematian beliau, ibunya melarang Maureen membicarakan lelaki itu atau perannya dalam kehidupan Maureen. Ia dihilangkan begitu saja dari kehidupan mereka, begitu juga keluarganya. Maureen dan ibunya pindah ke Irlandia tak lama setelah peristiwa itu. Masa lalunya di Lousiana berubah menjadi kenangan suram seorang anak yang trauma dan tidak bahagia. Tadi pagi, Maureen menelusuri buku telepon New Orleans, mencari penduduk bernama Paschal. Ada beberapa, sebagian sepertinya tidak asing. Tapi Maureen cepatcepat menutup buku itu. Ia tidak benarbenar berniat mengontak salah seorang yang kemungkinan adalah kerabatnya. Tidak setelah semua kejadian ini, dan pastinya tidak sekarang. Pengalaman itu pasti lebih dari sekadar latihan mengingat. Maureen mengusap foto itu sebagai tanda perpisahan, kemudian menyapu air mata dengan tangannya yang kotor hingga meninggalkan bekas di wajahnya. Ia tidak peduli. Ia berdiri dan berjalan tanpa menengok ke belakang, lalu berhenti di luar gerbang masuk utama. Di dalam area pemakaman itu, berdiri sebuah kapel putih sederhana. Salib perunggu yang menjadi mahkota gedung itu berkilau ditimpa matahari selatan. Mauren memandang gereja itu lewat jeruji pagar, seperti orang asing menatap ke dalam. Ia melindungi matanya dari kilauan cahaya salib perunggu lalu membalikkan badan dari gereja dan melangkah pergi. Kota Vatikan Juni 2005 Tomas Cardinal DeCaro berdiri dari kursi kerjanya dan menatap ke halaman terbuka di luar jendela. Matanya yang sudah berumur bukan satusatunya hal yang kertas kuning di atas mejanya. Pikirannya perlu rehat informasi yang baru ia terima pagi ini. Terjadi gempa belum ia ketahui adalah seberapa besar kerusakan yang dan siapa orang yang menjadi korban.
perlu diistarahatkan dari untuk kemudian merenungkan bumi. Itu yang pasti. Yang ditimbulkan musibah ini
DeCaro membuka laci paling atas untuk melihat barang yang memberinya kekuatan di saat-saat seperti ini. Potret Paus Yohanes XXIII Yang Diberkati di bahwa tajuk Vatican Secundum Vatican II. Di bawah potret itu tertulis kutipan dari seorang pemimpin besar dan visioner yang telah banyak berkorban demi mengangkat Gereja yang ia cintai ke dunia kontemporer. Meski DeCaro telah hapal kutipan itu, ia masih takut membacanya: “Bukanlah injil yang telah berubah. Akan tetapi kita yang mulai memahaminya lebih baik. Sudah tiba waktu untuk merenungkan isyarat-isyarat masa, untuk merebut kesempatan, dan berpandangan jauh ke depan.” Di luar, musim panas tengah menjelang, menjanjikan hari yang indah di Roma. DeCaro memutuskan absen beberapa jam untuk berjalan-jalan menelusuri Kota Abadi kesayangannya. Ia perlu berjalan-jalan, ia perlu merenung, dan lebih dari semua itu, ia perlu berdoa untuk mendapatkan bimbingan. Barangkali roh Paus Yohanes yang baik berkenan membantunya menemukan jalan untuk melewati krisis yang menghadang. … Bartolomeusdalangkepada kami lenai Filipus. seorang lagi kalangan kami yaig disalahpahanadan aku akan mengaku sekarang bahwa pada analnya aku salah menilainya. Dulu ia adalah pengikut Yohanes. sang Umbaptis. dan aku mengena/ dirinya lenaihubungan ifu. Karenanya, buluh waktu cukup lama sebelum aku belaiar untuk memercavai Fib’ous.
Filipus adalah k lak i misterius. Ia seorang yang praktis dan terpelajar. Dengann ya, aku bisa berbkara dalam bahasa Heknis bahasa yangjuga aku pe/ajari. la berasal dari keluarga terliormat. dilahirkan di Bethsakla. Namun sejak lama ia memilih hidup dalam kesedarhanaan, menghindari jebakan dalam kehidupan terhormat. Karakter ini iapelajaripertama kali dari Yohanes. Darihiar. Filipus terkesan keras kepala dan senang menantang, tapi di balik itu ia ringan hati dan berbudi baik. Tak ada sesuatu pun dalam diri Filipus yang akan mencelakakan makhluk hidup la terutama sangat ketat dalam kebiasaan makan dan tak akan mengonsumsi makanan yang membuathenan menderita. Meskikalangan kami’hanya menyantap ikan. Filipus tidak bisa mendengarnya. Ia tak sanggup mendengar perkataan bahwa mulut yang lembut itu dirobek dengan kail. dan ia merasa tersiksa jika membayangkan ikan menggelepar di dalam jaring. Ia kerap beringkar dengan Pelrus dan Andreas mengenai dikma ini! Aku sering memikirkannya. Barangkali ia benar, dan komitmennya pada keyakinan ini hanya satu di antara sekian banyak alasan mengapa aku mengaguminya. Kadang aku merasa Bh’pus memiliki kemiripan dengan hewan-hewan yang sangat ia kasihi, hewan-hewan yang melindungi diri dengan duriatau kulit keras, agar tak ada yang mampu menembus sosok embut di balik itu. Namun ia nrmasukkan Bartolomeus ke dalam perlindungannya saat ia mendapati lelaki itu di jalanan, tanpa rumah tujuan, la melihat kebaikan dalam diri Barto oaieus. dan menghadirkan kebaikan itu kepada kami. Usai Masa Kegelapan. Filipus dan Bartolomevs m-n/adi sumber penghiburanku yang ulama. Merekalali yangmempersiapkan segala sesuatunya dengan cepat bersama Yusuf demi keberangkatanku ke Akxandria, tempat aman yang jauhdarikampung halaman kami sendiri. Bartolomeus berperan pen ting bagi anakanak. sebagaimana juga bagi kaum perempuan. Dan ia menjadi teman kesukaan Yolianes kecil, yang mencintai semua k/aki ini. Tapi Sarah-Tamar juga )a. kedua lelaki ini lava k mendapat tempat di surga yang dipenuhi cahaya dan kesempurnaan untuk selama-lamanya. Kepedulian utama Filipus adalah mehitdungi kami dan berharap kami sampai dengan selamat di terapat tujuan. Aku pikir ia akan memenuhi segalanya, apa pun yang kuminta. Seandainya kukatakan pada Filipus bahu a tujuan kami adahh bidan, ia pasti mengerahkan si luruh k kualami ya agar kami sampai di sana. INJIL ARQUES MARIA MAGDALENA. KITAB PARA MURID Enam Paris 19 Juni 2005 Matahari menimbulkan percikan cahaya di permukaan Seine saat Maureen dan Peter menyusuri tepiannya. Paris bermandikan cahaya hangat di awal musim panas, dan mereka berdua bersantai dan menikmati pemandangan kota tercantik sedunia itu. Masih cukup banyak waktu untuk mencemaskan pertemuan dengan Sinclair dalam dua hari ini. Mereka tengah menikmati es krim horn, menyantap cepatcepat sebelum es itu meleleh terkena sinar matahari dan meninggalkan sisa yang lengket.
“Mmm, kau benar, Pete. Berthillon memang es krim paling lezat di seluruh dunia. Luar biasa.” “Es krimmu rasa apa?” Maureen ingin mempraktikkan bahasa Prancisnya. “Poivre.” “Lada?” tawa Peter meledak. “Es krimmu rasa lada?” Wajah Maureen memerah lantaran malu, tapi ia mencoba lagi. “Pauvre?” “Miskin? Kau memilih rasa miskin?” “Oke, aku menyerah. Jangan menyiksaku lagi. Ini rasa pir.” “Poire. Poire adalah pir. Maaf, seharusnya aku tidak mengolok-olokmu.” “Yah, sudah jelas sekarang, siapa yang mewarisi bakat bahasa di keluarga kita.” “Itu tidak benar. Bahasa Inggrismu sangat baik.” Mereka berdua tertawa, menikmati keceriaan momen dan keindahan hari itu. f Bangunan Notre-Dame yang megah dan bergaya Gotik mendominasi lie de la Cite sebagaimana yang telah berlangsung selama 300 tahun. Ketika mereka mendekati katedral itu, Peter menatap bagian luar bangunan itu yang menjelas di hadapannya, berikut perpaduan orangorang suci dan patung-patung. “Pertama kali melihat bangunan ini, aku berkata, ‘Tuhan tinggal di sini.’ Mau masuk?” “Tidak. Lebih baik aku di luar saja bersama patung patung, di dalam bukan tempatku.” “Ini bangunan Gotik paling terkenal dan simbol kota Paris. Sebagai turis, kau berkewajiban masuk. Lagi pula, jendela kacanya sangat mengagumkan, dan kau harus melihat jendela bulat yang berornamen garis-garis saat diterangi matahari siang.” Maureen ragu-ragu, tapi Peter meraih tangannya dan menariknya. “Ayolah. Aku janji dindingnya tidak akan runtuh saat kau masuk.” f Sinar matahari menembus jendela bulat yang sangat terkenal itu, menerangi Peter dan Maureen dengan cahaya biru langit bergaris-garis merah keunguan. Peter berkeliling, wajahnya mendongak ke jendela, perasaannya sangat tenteram. Maureen berjalan pelan di belakangnya, berusaha mencamkan bahwa ia berada dalam bangunan bersejarah yang memiliki nilai arsitektur tinggi, bukan sekadar gereja yang lain. Seorang pendeta Prancis berjalan melewati mereka, memberi salam dengan menganggukkan kepala. Maureen sedikit terpeleset saat ia lewat. Pendeta itu berhenti dan mengulurkan tangan untuk berjaga-jaga seandainya Maureen jatuh. Ia menyatakan perhatiannya menyangkut keadaan Maureen dalam bahasa Prancis. Maureen tersenyum dan mengangkat tangan, sebagai isyarat bahwa ia baikbaik saja.
Peter berbalik ke samping Maureen, sementara pendeta Prancis itu melanjutkan perjalanannya. “Kau tidak apa-apa?” “Yah, tibatiba agak pusing. Jet lag, barangkali.” “Kau kurang tidur beberapa hari terakhir ini.” “Aku yakin itu juga berpengaruh.” Maureen menunjuk ke salah satu bangku kayu yang sejajar dengan jendela bulat itu. “Aku akan duduk saja di situ sebentar dan menikmati keindahan jendela kaca. Kau pergilah melihat-lihat.” Peter tampak cemas, tapi Maureen menenangkannya. “Aku baikbaik saja. Pergilah. Aku di sini saja.” Peter mengangguk lalu pergi mengelilingi katedral. Maureen duduk di bangku, berusaha menyeimbangkan diri. Ia tidak mau mengaku pada Peter bahwa ia merasa sangat limbung. Ini terjadi sangat cepat, dan ia tahu jika tidak segera duduk, ia pasti jatuh. Tapi ia tidak mau mengatakan pada Peter. Barangkali ini hanya akibat jet lag bercampur kelelahan. Maureen mengusap wajahnya, berusaha mengusir rasa pusing. Pantulan sinar warnawarni yang berubah-ubah dari jendela bulat menerangi altar, juga salib besar berpatung Yesus. Maureen mengedipkan mata keraskeras. Salib itu tampak semakin besar, dan semakin besar dalam pandangannya. Ia mencengkeram kepalanya erat-erat karena pusing yang sangat dan visi itu pun muncul. f Petir menyambar di langit yang gelap secara tidak wajar pada Jumat siang yang paling nestapa. Perempuan berselubung merah berjuang keras mendaki bukit untuk mencapai puncaknya. Goresan dan luka terlihat di tubuhnya dan pakaiannya robek. Hanya satu tujuannya, mendekati Dia. Bunyi palu menghantam paku logam menempa logam bergema di udara, menyayat hati. Perempuan itu akhirnya tak tahan, ia menjerit pedih, jeritan kesengsaraan manusia yang tiada tara. Perempuan itu sampai di kaki salib, tepat ketika hujan mulai turun. Ia mendongak kepadaNya, dan tetesan darahNya memercik ke wajah yang penuh dukacita itu, bercampur dengan air hujan yang tak mau berhenti. f Larut dalam visi, Maureen tidak sadar di mana ia berada. Jeritannya, gema kepedihan Maria Magdalena, memantul ke seisi katedral Notre-Dame, membuat para turis ketakutan dan membuat Peter berlari cepat ke arahnya f “Kita ada di mana?”
Maureen tersadar di atas sofa dalam ruangan bersekat kayu. Wajah Peter yang cemas ada di atas wajah Maureen ketika ia menjawab. “Di salah satu kantor katedral.” Peter mengangguk ke pendeta Prancis yang bertemu dengan mereka tadi. Ia masuk dari pintu yang disamarkan di belakang ruangan itu, wajahnya cemas. “Bapa Marcellah yang membantuku membawamu ke sini. Kau tidak boleh ke mana-mana dulu.” Bapa Marcel maju dan menyerahkan segelas air putih. Maureen meminumnya dengan perasaan bersyukur. “Merci,” katanya pada pendeta itu, yang mengangguk tanpa berkata-kata lalu kembali ke belakang ruangan untuk menunggu sekiranya mereka membutuhkan bantuannya lagi. “Maafkan aku,” kata Maureen lemah. “Jangan berkata begitu. Ini di luar kendalimu. Kau i-ngin menceritakan apa yang kau lihat?” Maureen mengungkapkan visi itu. Wajah Peter kian pucat dengan setiap kata. Setelah selesai, Peter memandang Maureen dengan sangat serius. “Maureen, aku tahu kau tak mau mendengar ucapanku ini, tapi kupikir kau mengalami visi ilahiah.” “Jadi mungkin aku harus berkonsultasi dengan seorang pendeta?” gurau Maureen. “Aku serius. Persoalan ini di luar lingkup pengalamanku. Tapi aku bisa menghubungi orang yang mengetahui hal-hal semacam ini. Bicaralah dengannya, hanya itu. Barangkali akan membantu.” “Tidak usah.” Maureen berkukuh dan bangkit dari sofa. “Kita kembali saja ke hotel agar aku bisa beristirahat. Setelah tidur, pasti aku akan baikbaik saja.” f Maureen mampu menyingkirkan visi itu dan berjalan sendiri meninggalkan lingkungan katedral. Ia merasa lega karena bisa keluar dari samping sehingga tidak berpapasan lagi dengan interior bangunan tempat ikon besar Kristiani itu berada. Setelah Maureen berbaring di kamarnya, Peter kembali ke kamarnya sendiri. Ia duduk sebentar, memikirkan apakah ia harus menghubungi seseorang sekarang. Masih terlalu pagi untuk menelepon ke Amerika. Peter berjalan-jalan sebentar dan kembali setelah saatnya lebih pantas untuk menelepon. f Di ujung sungai Seine, Bapa Marcel berjalan kembali dalam interior katedral yang temaram. Ia diikuti seorang rohaniwan Irlandia, Uskup O’Connor, yang berusaha mengajukan pertanyaan dalam bahasa Prancis yang berantakan. Bapa Marcel membawanya ke sebuah bangku tempat Maureen mengalami visi, lalu memberi penjelasan secara perlahan. Ia berusaha menjembatani kesenjangan bahasa di antara mereka. Meski usahanya itu tulus, tapi pendeta Prancis itu terlihat seperti sedang berbicara pada seorang idiot. O’Connor
menyudahi percakapan itu dengan kibasan tangan tidak sabar, duduk diam di bangku itu, dan menatap salib besar di altar dengan penuh konsentrasi. Pan’s 19 Juni 2005 Gua Musketeer tidak terlalu suram di siang hari, lantaran diterangi bola lampu mahaterang yang tak kenal ampun. Penghuninya mengenakan pakaian kasual dan tanpa pita merah aneh terikat di leher yang menandakan mereka sebagai anggota Persekutuan Keadilan. Sebuah replika lukisan Yohanes Pembaptis karya Leonardo da Vinci tergantung di dinding belakang, terpisah satu blok saja dari versi orisinilnya yang tersimpan di Louvre. Dalam lukisan tersohor ini, Yohanes menatap dari kanvas dengan senyum penuh makna. Tangannya diangkat, jari telunjuk dan ibu jari kanannya menunjuk ke langit. Leonardo melukis Yohanes dalam pose yang sering disebut sebagai pose “Ingat Yohanes” ini, pada beberapa kesempatan. Makna posisi tangan itu mengundang perdebatan selama berabadabad. Lelaki Inggris itu duduk di kursi ujung meja seperti biasa. Punggungnya menghadap lukisan. Seorang lelaki Amerika dan Prancis duduk di kanan dan kirinya. “Aku tak mengerti maksudnya,” kata si Inggris itu besampul tebal dari meja dan digoyanggoyangkannya membaca dua kali. Tak ada yang baru, tak ada yang dia. Lalu apa? Apakah kalian memikirkan persoalan
gusar. Diangkatnya buku ke dua lelaki itu. “Aku sudah menarik perhatian kita. Atau ini? Atau aku hanya berbicara
sendirian?” Ia melempar buku itu ke atas meja dengan muak. Si Amerika mengambil buku itu lalu membuka-buka lembarannya tanpa perhatian. Ia berhenti pada sampul lipatan dalam dan melihat foto penulisnya. “Cantik. Mungkin itu sebabnya.” Si Inggris itu mengejek. Dasar Yankee goblok, tidak bisa mengambil kesimpulan. Ia selalu keberatan jika orang Amerika menjadi anggota Persekutuan. Tapi si idiot ini dari keluarga kaya raya dan berhubungan erat dengan pusaka mereka, jadi mereka tak bisa mendepaknya. “Dengan uang dan kekuasaannya, Sinclair bisa memperoleh lebih dari sekadar ‘cantik1 dengan sekali menjentikkan jari, setiap saat selama dua puluh empat jam sehari. Gayanya yang playboy sudah terkenal di Inggris dan Amerika. Tidak, pasti ada sesuatu yang lebih besar dibandingkan sekadar ingin iseng-iseng saja dengan gadis ini, dan kuharap kalian mendapat jawabannya. Segera.” “Aku hampir yakin bahwa dalam pandangan Sinclair, gadis itu adalah sang Gembala. Tapi aku akan segera memastikannya,” tutur si Prancis. “Aku akan berangkat ke Languedoc minggu ini.” “Minggu ini sudah sangat terlambat,” bentak si Inggris “Pergi paling lambat besok. Hari ini lebih baik. Kita dikejar waktu, kalian tahu itu.” “Rambutnya merah,” komentar si Amerika. Si Inggris menggeram. “Dengan uang dua puluh euro dan kemauan, pelacur manapun bisa berambut merah. Pergi dan selidiki mengapa gadis itu penting. Cepat. Karena jika Sinclair mendapatkan yang ia cari sebelum kita…” Ia tak menyelesaikan kalimatnya, memang tidak perlu. Mereka tahu persis apa yang akan terjadi.
Mereka sudah belajar dari peristiwa terakhir ketika seseorang dari kubu yang salah, masuk terlalu jauh. Raut tersinggung tampak jelas di wajah si Amerika, dan khayalan tentang penulis berambut merah tanpa kepala membuatnya sangat tidak nyaman. Lelaki Amerika itu mengangkat buku karya Maureen dari meja, mengepit di ketiaknya, lalu berjalan mengikuti teman Prancisnya menuju teriknya Paris. f Setelah kedua bawahannya pergi, si lelaki Inggris, yang dibaptis dengan nama John Simmon Cromwell, berdiri dan berjalan ke bagian belakang lantai dasar itu. Di suatu sudut yang tidak terlihat dari ruang utama, terdapat ruang beratap rendah yang menjorok ke dalam. Di sana terdapat sebuah lemari besar dari kayu hitam. Sebuah altar kecil berdiri di sebelah kanan lemari. Di hadapannya terdapat sebuah kayu kecil untuk bersimpuh memanjatkan doa. Ada besi tempa yang tergantung di lemari itu, dan laci bawahnya dikunci dengan sebuah gembok yang menyeramkan. Orang Inggris itu memasukkan tangan ke dalam kemejanya untuk mengambil kunci yang tergantung di lehernya. Sambil berjongkok, ia memasukkan kunci itu ke gembok dan membuka laci bawah. Dikeluarkannya dua benda. Pertama, botol yang seperinya berisi air suci. Air itu ia siramkan ke tulisan keemasan yang tertera di altar. Selanjutnya ia mengeluarkan sebuah relik kecil tapi indah. Perlahan, Cromwell meletakkan relik di atas altar dan mencelupkan tangannya ke dalam air. Ia membasuhkan air itu ke lehernya dengan kedua telapak tangannya sambil mengucapkan doa. Kemudian ia mengangkat relik itu setinggi mata. Lewat sebuah jendela mungil dalam wadah yang sedianya kotak emas yang kokoh itu, sekilas tampak sesuatu yang mirip gading gajah. Tulang manusia yang panjang, pipih, dan tidak rata, berkeretak saat Cromwell mengintip peti pusaka itu. Didekapnya tulang itu lalu ia membaca doa dengan khusyuk. “Oh Guru Keadilan yang agung, ketahuilah aku tak akan mengecewakanmu. Namun kami memohon bantuanmu. Tolonglah kami yang mencari kebenaran. Bantulah kami yang hidup hanya untuk menjaga nama besarmu. “Lebih dari segalanya, bantulah kami agar pelacur itu tetap pada tempatnya.” f Si Amerika, sekarang sendirian, melintasi rue de Rivoli dan berteriak di telepon genggamnya karena lalu lintas Paris yang bising. “Kami tak bisa menunggu lebih lama. Ia benarbenar pemberontak, benarbenar tidak dapat dikendalikan.” Suara di ujung lain juga beraksen Amerika terpelajar, bergaya timur laut, dan samasama marah. “Tetap pada rencana semula. Kita harus mencapai tujuan dengan cara yang rapi dan sempurna. Lagi pula rencana itu dibuat oleh orangorang yang jauh lebih bijaksana dibandingkan kamu,” bentak suara seseorang yang lebih tua, bermil-mil dari Paris. “Orangorang bijak itu tidak ada di sini,” balas lelaki muda itu di telepon. “Mereka tidak melihat apa yang kulihat. Berengsek, Ayah, kapan kau akan memberi aku kepercayaan?” “Nanti, kalau kau sudah pantas menerimanya. Sementara ini, aku melarangmu
melakukan sesuatu yang sembrono.” Pemuda Amerika itu menutup teleponnya dengan kasar sambil menyumpah-nyumpah. Ia membelok di tikungan depan Hotel Regina, memotong lewat lokasi des Pyramides. Ia mengangkat pandangan pada waktu yang tepat sehingga tidak bertabrakan dengan patung Joan of Arc yang berkilau, mahakarya Fremiet. “Sundal,” makinya pada pahlawan Prancis itu, dan berhenti cukup lama untuk meludah ke patung itu tanpa menghiraukan tatapan orang. Pan’s 20 Juni 2005 Piramida kaca I.M. Pei berkilau di pagi hari musim panas yang cerah di Prancis. Maureen dan Peter, samasama merasa bugar setelah tidur nyenyak semalam, mengantri bersama turis-turis lain untuk memasuki Louvre. Peter menatap para pemandu museum di sekelilingnya yang menunggu di antrean panjang, menggenggam buku panduan. “Aku tidak mengerti, mengapa banyak orang meributkan Mona Lisa. Lukisan paling top di jagad ini.” “Setuju. Tapi sementara orang lain pergi kesana-ke-mari untuk melihatnya, kita akan mendapat balkon Richelieu untuk kita sendiri.” f Maureen dan Peter membeli tiket dan memeriksa peta lantai Louvre. “Bagian mana yang akan kita kunjungi lebih dulu?” Maureen menjawab, “Nicolas Poussin. Aku ingin melihat Gembala Arcadia secara langsung sebelum kita melihat yang lain.” Mereka berjalan menelusuri sayap bangunan yang berisi karya-karya besar Prancis, memerhatikan dinding-dinding untuk menikmati mahakarya Poussin yang penuh tekateki. Maureen menjelaskan, “Tammy mengatakan bahwa lukisan ini menjadi pusat kontroversi selama berabad abad. Louis XIV berjuang selama dua dasawarsa untuk memilikinya. Ketika akhirnya lukisan itu ia dapatkan, ia menyimpannya di lantai dasar Versaille agar orang lain tak bisa melihatnya. Aneh, bukan? Menurutmu, mengapa raja Prancis itu berjuang keras untuk mendapatkan karya seni yang penting lalu menyembunyikannya?” “Itu menambah deretan misteri kita.” Peter memeriksa nomor-nomor dalam buku panduan sambil mendengarkan. “Menurut buku ini, lukisan itu seharusnya…” “Di sini!” pekik Maureen. Peter menyusulnya dan mereka menatap lukisan itu tanpa berkata-kata. Maureen memecah kebisuan, ia menoleh ke Peter. “Aku merasa sangat bodoh. Aku seperti menunggu lukisan ini memberitahukan sesuatu.” Maureen menatap lukisan itu kembali. “Apakah kau ingin mengatakan sesuatu, Perempuan Gembala?” Peter tersentak dengan sebuah pikiran. “Aku tak percaya, mengapa tak terpikir olehku sebelumnya.” “Terpikir apa?” “Ide tentang seorang perempuan gembala. Yesus ada lah Gembala Yang Baik.
Barangkali Poussin atau setidaknya Sinclair mengisyaratkan Perempuan Gembala Yang Baik?” “Ya!” teriak Maureen, terlalu keras mengekspresikan kegembiraannya. “Barangkali Poussin ingin menunjukkan Maria Magdalena sebagai Perempuan Gembala, pemimpin jemaat. Pemimpin gerejanya sendiri!” Peter meringis. “Yah, aku tidak persis mengatakan begitu…” “Kau tak perlu mengatakannya. Tapi lihatlah, ada tulisan Latin pada kuburan di lukisan ini.” “E t in Arcadia ego,” Peter membaca keraskeras. “Hmm. Tak masuk akal.” “Bagaimana terjemahannya?” “Tak tahu. Tata bahasanya kacau.” “Kemungkinan bahasa Latin ini sangat buruk atau ini semacam kode. Terjemahan harfiahnya adalah kalimat yang tidak lengkap, ‘Dan di Arcadia aku…’ tak ada artinya.” Maureen berusaha mendengarkan, tapi suara seorang wanita yang memanggil-manggil seseorang dari seberang museum membuyarkan konsentrasinya. “Sandro! Sandro!” Ia melihat ke seliling, mencari sumber suara itu sebelum meminta maaf pada Peter. “Maaf, tapi suara wanita itu sangat mengganggu.” Suara itu memanggil-manggil lagi, lebih keras dibandingkan sebelumnya, mengusik Maureen. “Siapa itu?” Peter menatap Maureen, bingung. “Siapa apa?” “Wanita itu memanggil…” “Sandro! Sandro!” Maureen menatap Peter sementara suara itu semakin nyaring. Peter sama sekali tidak mendengarnya. Maureen menoleh untuk melihat turis dan mahasiswa lain yang tengah khusyuk menikmati karya seni bernilai tinggi. Tampaknya tak seorang pun mendengar suara yang memanggil dengan penuh harap itu. “Oh, Tuhan. Kau tidak mendengar, ya? Tak ada yang mendengar kecuali aku.” Peter tampak tak berdaya. “Mendengar apa?” “Ada seorang wanita memanggil dari suatu tempat di museum ini. ‘Sandro! Sandro! Ayolah!” Maureen menarik lengan baju Peter dan berlari ke arah sumber suara. “Ke mana kita?” “Mengikuti suara itu. Sumbernya dari arah ini.” Mereka berlari melewati loronglorong museum, Maureen meminta maaf sambil berlari ketika ia menabrak beberapa pemandu museum. Suara itu berubah menjadi bisikan yang memohon dengan sangat, tapi tetap mengajaknya ke suatu tempat. Maureen berkeras mengikutinya. Mereka berlari kembali melewati sayap Richelieu, tidak menghiraukan tatapan penjaga museum yang jengkel, lalu menuruni beberapa anak tangga dan masuk ke koridor lain, melewati papan petunjuk bertuliskan sayap Denon. “Sandro…Sandro…Sandro…!”
Suara itu mendadak berhenti saat Maureen dan Peter sampai di tangga yang mewah melewati patung dewi Nike dengan segala kejayaannya.Setelah sampai di atas tangga, mereka berbelok ke kanan dan berhadap-hadapan dengan dua mahakarya Renaisans Italia yang kurang terkenal. Peter yang pertama berkomentar. “Lukisan frescoi Botticelli.” Suatu pengetahuan muncul di kepala mereka secara berbarengan. “Sandro. Alessandro Botticelli.” Peter memandang fresco itu lalu menoleh pada Maureen. “Wow, bagaimana kau melakukannya?” Maureen gemetar. “Aku tidak tahu. Aku hanya mendengarkan dan mengikuti.” Mereka mengalihkan perhatian ke sosok yang nyaris berukuran seperti aslinya dalam lukisan-lukisan fresco yang berjejer. Peter menerjemahkan tulisan pada plakat. “Fresco pertama ini diberi judul Venus dan Tiga Dewi mempersembahkan hadiah kepada seorang perempuan muda. Yang kedua diberi judul Seorang Pemuda Bersama Venus ?Menghadap Seniseni Libera/. Fresco yang dibuat untuk pernikahan Lorenzo Tornabuoni dan Giovanna Albizzi.” “Ya, tapi mengapa ada tanda tanya setelah Venus?” Maureen bertanya. Peter menggeleng. “Mereka pasti tidak yakin bahwa ia subjeknya.” Lukisan itu tampak elegan tapi merupakan gambaran aneh seorang pemuda yang memegang tangan seorang perempuan berbalut jubah merah. Mereka berhadapan dengan tujuh perempuan, tiga di antara mereka memegang objek yang tidak lazim dan ganjil; seorang menggenggam kalajengking hitam yang sangat besar dan tampak ganas, sedangkan perempuan di sebelahnya memegang busur. Perempuan lainnya memegang alat 1 Teknik melukis pada medium gips basah atau kering yang kemudian dipecah menjadi sejumlah bagian, mengikuti kontur objek yang dilukis. arsitek dalam posisi yang canggung. Peter mengungkapkan isi pikirannya. “Tujuh seni liberal. Ranah pembelajaran tingkat tinggi. Lukisan ini menyampaikan bahwa pemuda ini berpendidikan tinggi?” “Tujuh seni liberal itu apa?” Sambil memejamkan mata untuk mengingat mata kuliah klasiknya, Peter mengutip. “Trivium, atau tiga jalur ilmu utama, adalah tata bahasa, retorika, dan logika. Yang empat lagi, quadrivium, adalah matematika, geometri, musik, dan kosmologi. Semua ini diilhami oleh Pytha goras dan perspektifnya bahwa semua angka mencerminkan ilmu pola berdasarkan waktu dan ruang.” Maureen tersenyum padanya. “Sangat mengesankan. Sekarang bagaimana?” Peter mengangkat bahu. “Aku tidak tahu bagaimana hal ini masuk ke dalam puzzle kita yang kian besar.” Maureen menunjuk kalajengking itu. “Mengapa sebuah lukisan pernikahan menggambarkan seorang perempuan memegang serangga besar yang sangat beracun? Ini lambang seni liberal yang mana?” “Aku tidak tahu pasti.” Peter melangkah sedekat mungkin ke lukisan fresco yang dipisahkan dengan pembatas lalu menjorokkan badannya. “Tapi lihatlah lebih dekat. Kalajengking itu lebih hitam dan lebih jelas dibandingkan bagian lukisan lainnya. Lebih jelas dibandingkan semua objek yang dipegang perempuanperempuan ini. Sepertinya kalajengking itu…”
Maureen menyelesaikan ucapan Peter. “Ditambahkan belakangan.” “Tapi oleh siapa? Sandro sendiri? Atau seseorang yang ingin merusak fresco mahakarya ini?” Maureen menggeleng, bingung dengan penemuan mereka f Setelah membeli kopi krim di kedai kopi Louvre, Maureen berbelanja bersama Peter. Ia memilih duplikat lukisan lukisan yang telah mereka amati, juga sebuah buku tentang kehidupan dan karya Botticelli. “Aku berharap bisa tahu lebih banyak tentang asal-usul fresco itu.” “Aku lebih tertarik untuk mengetahui asal-usul suara yang mengarahkanmu ke fresco itu.” Maureen meneguk kopinya sebelum menjawab. “Apa, ya? Alam bawah sadar? Petunjuk Tuhan? Kegilaan? Hantu Louvre?” “Seandainya saja aku bisa menjawab, tapi aku tidak bisa.” “Katanya kau ini penasihat spiritual,” gurau Maureen, lalu mengalihkan perhatian ke duplikat lukisan Botticelli yang telah ia keluarkan dari bungkusnya. Ketika cahaya yang terpantul dari piramida kaca menerpa kertas itu, Maureen mendapat ilham. “Tunggu sebentar. Bukankah kau tadi mengatakan bahwa kosmologi adalah salah satu seni liberal?” Maureen menunduk ke cincin tembaga yang ia kenakan. Peter mengangguk. “Astronomi, kosmologi. Ilmu bintang. Kenapa?” “Cincinku. Orang di Yerusalem yang memberikannya mengatakan bahwa ini adalah cincin seorang kosmolog.” Peter menutup wajahnya dengan tangan seolah dengan melakukannya ia bisa memperoleh jawaban. “Jadi apa hubungannya? Apakah kita harus melihat ke bintangbintang untuk mendapatkan jawaban?” Maureen mengangkat jarinya ke perempuan misterius yang memegang serangga hitam yang sangat besar. Ia nyaris melompat dari kursinya saat berteriak, “Scorpio!” “Apa?” “Ini simbol astrologis untuk Scorpio. Dan perempuan di sebelahnya memegang busur. Simbol Sagitarius. Dalam zodiak, letak Scorpio dan Sagitarius bersebelahan.” “Jadi menurutmu ada semacam kode dalam fresco itu yang berhubungan dengan astronomi?” Maureen mengangguk pelan. “Paling tidak, gambaran itu adalah langkah awal untuk memecahkan misteri kita.”
f Cahaya Paris menembus jendela kamar hotel Maureen, menerpa barangbarang yang terletak di sampingnya, di atas tempat tidur. Ia tertidur ketika membaca buku Botticelli, dan lukisan Poussin tergeletak di samping yang lain. Maureen tidak menyadari keberadaan barangbarang itu. Sekali lagi, ia hanyut dalam sebuah mimpi. f Dalam kamar berdinding batu, temaram dengan lentera minyak, seorang perempuan tua menghampiri meja. Kerudung merah pucat menutupi rambut panjangnya yang kelabu. Tangannya yang terserang rematik menggerakkan pena bulu ayam dengan hatihati di atas sehelai kertas. Peti kayu besar adalah satusatunya ornamen dalam ruangan itu. Perempuan tua itu berhenti menulis, berdiri dari kursinya, dan berjalan perlahan menuju peti. Dengan sendi yang sudah rapuh, ia membungkuk hatihati dan membuka penutupnya yang berat. Sambil menoleh dari bahunya, senyum tulus dan penuh makna tampak di wajahnya. Ia menoleh pada Maureen dan mengajaknya mendekat, Paris 21 Juni 2005 Sebagai penghormatan yang manis terhadap keeksentrikan Gaul, jembatan tertua di Paris, Pont Neuf, kerap disebut sebagai “Jembatan Baru”. Jembatan ini menjadi nadi utama kehidupan Paris, membelah Seine untuk menghubungkan Kota Administratif Pertama dengan jantung Tepian Kiri. Peter dan Maureen melewati patung Henri IV, salah seorang raja Prancis yang paling dicintai, di atas jembatan. Sarana transportasi ini selesai dibangun pada tahun 16D6, ketika sang raja memerintah dengan penuh toleransi. Pagi itu sangat indah, penuh dengan percik percik pesona yang menjadi ciri khas Kota Cahaya yang tiada banding ini. Namun, meski pemandangan di sekelilingnya sempurna, Maureen merasa gugup. “Jam berapa sekarang?” “Bertambah lima menit dari saat terakhir kau bertanya,” jawab Peter tersenyum. “Maaf. Aku mulai merasa gelisah.” “Di surat itu ia mengatakan akan bertemu di gereja pada tengah hari, Sekarang baru jam sebelas. Masih banyak waktu.” Mereka menyeberangi Seine dan mengikuti peta, menuju jalanjalan Tepian Kiri yang berkelok-kelok. Dari Pont Neuf mereka masuk ke rue Dauphine, melewati stasiun kota Odeon lalu ke rue Saint-Sulpice, dan berakhir di taman yang bak lukisan dengan nama yang sama. Menara lonceng gereja yang sangat besar dan tidak serasi mendominasi taman, memayungi air mancur terkenal yang dibangun oleh Visconti pada 1844. Ketika Maureen dan Peter memasuki pintu masuk yang kelewat besar, Peter merasakan keragu-raguan sepupunya. “Kali ini aku tak akan meninggalkanmu.” Peter menggenggam tangan Maureen untuk membesarkan hatinya lalu membuka pintu gereja yang megah. f Mereka masuk dengan membisu. Ada sekelompok turis di kapel pertama di sebelah kanan.
Kelihatannya mereka adalah mahasiswa seni dari Inggris. Dengan suara pelan, dosen mereka memberi kuliah tentang tiga mahakarya Delacroix yang menghiasi tempat itu: Yakub Berdebat dengan Malaikat, Heliodorus Diusir dari Rumah Tuhan, dan Santo Mikael Mengalahkan Setan, Pada kesempatan lain, Maureen pasti tertarik untuk memandang karya seni terkenal dan menguping kuliah dalam bahasa Inggris itu, tapi sekarang pikirannya tertuju pada hal lain. Mereka melewati mahasiswa Inggris itu dan terus menuju perut gedung. Keduanya terpesona dengan bangunan bersejarah yang luar biasa megah itu. Nyaris secara naluriah, Maureen mendekati altar yang dibatasi sepasang lukisan besar. Tinggi masingmasing lukisan itu sekitar tiga puluh kaki. Yang pertama menggambarkan dua orang perempuan seorang mengenakan jubah biru, dan satunya lagi merah. “Maria Magdalena dan Bunda Perawan?” tebak Maureen. “Dari warna pakaiannya sepertinya begitu. Vatikan mengeluarkan dekrit bahwa Bunda Maria hanya digambarkan dalam pakaian biru atau putih.” “Dan Magdalena selalu dalam pakaian merah.” Maureen pindah ke lukisan lain yang juga mengapit altar. “Lihat yang ini…” Lukisan itu mengambarkan Yesus yang terbaring di malamnya, sementara Maria Magdalena tampaknya sedang mempersiapkan penguburan jasadNya. Bunda Maria dan dua perempuan lain menangis di sudut lukisan itu. “Maria Magdalena mempersiapkan penguburan jasad Kristus? Ini tidak disebutkan dalam Injil, bukankah begitu?” “Markus lima belas dan enam belas menyebutkan bahwa Magdalena dan perempuanperempuan lain membawa rempahrempah ke makam yang barangkali mereka gunakan untuk mengurapi Kristus. Tapi kitab itu tidak menggambarkan prosesi ini secara khusus.” “Hmm,” Maureen berpikir. “Dan di gambar ini Maria Magdalena sedang melakukannya. Bukankah dalam tradisi Ibrani, pengurapan jasad untuk dimakamkan hanya boleh dilakukan oleh…” “Istri,” jawab suatu suara pria bangsawan dengan aksen Skotlandia yang kental. Maureen dan Peter langsung menoleh ke lelaki yang muncul dari belakang mereka secara tibatiba. Kehadirannya menyedot perhatian mereka. Ia luar biasa tampan, pakaiannya necis. Namun meski busana dan pembawaannya menunjukkan keningratan, ia tidak terkesan mem bosankan. Bahkan sebenarnya, segala sesuatu mengenai Berenger Sinclair tidak terlalu konvensional, benarbenar orisinil. Pangkasan rambutnya sempurna, meski agak terlalu panjang untuk diterima di House of Lords. Ia mengenakan kemeja sutra Versace, alih-alih Savile Row. Arogansi alamiah disertai keistimewaan luar biasa diimbangi dengan humor senyuman penggoda dan nyaris kekanakkanakan selalu siap muncul saat ia berbicara. Maureen langsung terpesona, merasa takjub saat ia menyimak kelanjutan penjelasannya.
“Hanya seorang istri yang diizinkan mempersiapkan jasad suaminya untuk dikuburkan. Kecuali jika ia tidak menikah, dalam kasus ini ibunyalah yang mendapat kehormatan itu. Seperti yang kalian lihat dalam lukisan ini, ibunda Yesus hadir, tapi jelas bukan ia yang melakukan tugas itu. Sehingga hanya ada satu kesimpulan.” Maureen menatap lukisan itu, lalu kembali ke lelaki karismatik yang berdiri di depannya. “Maria Magdalena adalah istriNya,” tutur Maureen menuntaskan. “Bravo, Nona Paschal.” Lelaki Skotlandia itu membungkuk seperti di panggung teater. “Tapi maafkan aku karena sudah bersikap tidak sopan. Lord Berenger Sinclair, siap membantu Anda.” Maureen melangkah maju untuk menyambut tangannya, tapi Sinclair mengejutkannya dengan menggenggam tangan Maureen cukup lama. Ia tidak langsung melepaskan, malah membalikkan tangan mungil Maureen ke atas tangannya yang besar. Lalu jarinya menyentuh cincin Maureen. Ia tersenyum kembali pada Maureen, sedikit nakal, dan mengedipkan mata. Maureen tidak bisa berkonsentrasi. Sebenarnya, ia sudah berkali-kali bertanya dalam hati, lelaki seperti apa Lord Sinclair ini. Apa pun yang ia bayangkan, tidak seperti yang ia lihat sekarang. Maureen berusaha tidak terbata-bata saat berbicara. “Kau sudah kenal aku.” Lalu ia mengenalkan Peter. “Ini…” Sinclair memotong. “Bapa Peter Healy, tentu saja. Sepupumu, jika aku tidak salah? Kau sudah pernah ke sini tentunya.” Ia melirik jam tangan Swissnya yang trendi dan luar biasa mahal. “Kita tidak punya waktu banyak. Ayolah, ada beberapa benda yang kupikir menarik dilihat.” Sinclair berbicara lewat bahunya sambil berjalan cepat cepat melintasi gereja. “Sambil lalu saja, tak usah repot-repot melihat buku panduan yang dijual di sini. Lima puluh halaman tanpa menyebutkan Maria Magdalena sama sekali. Seolah dengan mengabaikannya, ia akan hilang begitu saja.” Maureen mengikuti langkahnya yang cepat, dan berhenti di sebelahnya ketika sampai di depan altar samping lain yang berukuran kecil. “Seperti yang akan kalian lihat, ia digambarkan dalam beberapa bagian gereja ini, tapi dengan sengaja diabaikan. Ini salah satu contoh yang bagus.” Sinclair memimpin mereka ke sebuah patung marmer yang besar dan elegan. Sebuah Pieta, patung klasik Bunda Maria memangku tubuh Kristus yang terluka parah. Di sebelah kanannya, berdiri Maria Magdalena yang menyandarkan kepalanya ke bahu Bunda Maria. “Buku panduan hanya menyebutkan patung ini dengan ‘Pieta, abad 18 Italia’. Tentu saja, Pieta tradisional menunjukkan Bunda Maria memangku putranya setelah penyaliban. Penyertaan Maria Magdalena dalam karya ini sangat tidak ortodoks, tapi…diabaikan secara sengaja.” Sinclair mendesah dan menggelenggelengkan kepala lantaran ketidakadilan ini.
“Lalu, apa teorimu?” tanya Peter, sedikit lebih pedas dibandingkan yang ia niatkan. Sesuatu dalam kearogansian Sinclair membuatnya gusar. “Apakah ada konspirasi Gereja untuk menghilangkan Maria Magdalena?” “Silakan menyimpulkan sendiri, Bapa. Tapi aku akan bercerita pada kalian bahwa di Prancis, jumlah gereja yang dipersembahkan kepada Maria Magdalena lebih banyak dibandingkan yang dipersembahkan kepada orang suci lainnya, termasuk Bunda Maria. Bahkan ada satu wilayah di Paris yang mengambil nama beliau aku rasa kalian pernah ke Madeleine?” Maureen tibatiba tersadar. “Baru terpikir olehku, Madeleine adalah sebutan Prancis untuk Magdalena, bukan?” “Tepat. Pernahkah kalian ke gerejanya yang berada di Madeleine? Sebuah bangunan yang sangat megah, benarbenar didedikasikan kepadanya. Tapi pada awalnya tak satu pun karya seni dan dekorasi di sana yang menggambarkan Maria Magdalena. Tidak satu pun. Aneh, bukan? Mereka menambahkan pahatan Marochetti di atas altar. Konon nama aslinya Asumsi Bunda Maria, lalu diubah menjadi Asumsi Maria Magdalena karena tekanan…yah, mereka yang peduli pada kebenaran.” “Aku rasa kau akan mengatakan bahwa Marcel Proust juga menamakan kuenya Magdalena,” sindir Peter. Berlawanan dengan Maureen yang langsung terpesona, ia merasa jengkel dengan keyakinan Sinclair yang kurang sopan. “Yah, mereka membuat bentuk seperti cangkang kerang karena suatu alasan.” Sinclair mengangkat bahu, membiarkan Peter memikirkan sendiri ucapannya sementara ia berjalan mendekati Maureen ke depan Pieta. “Hampir seakan-akan mereka berusaha menghilangkan dia,” komentar Maureen. “Ya, Nona Paschal. Banyak orang yang berusaha membuat kita melupakan warisan Magdalena. Tapi kehadirannya begitu kuat. Dan seperti yang telah kaulihat, ia tidak akan dilupakan, terutama…” Lonceng gereja berdentang pada jam dua belas siang, memotong jawaban Sinclair. Lelaki itu malah mengajak mereka untuk cepatcepat ke bagian gereja yang lain. Ia menunjuk suatu garis meridian tipis dari perunggu yang menempel di lantai gereja, memanjang dari utara ke selatan. Garis itu berakhir di sebuah tugu marmer bergaya Mesir, disertai sebuah bola bumi keemasan dan salib di atasnya. “Ayo, cepat. Sekarang sudah tengah hari, kalian harus melihatnya. Perisitiwa ini hanya terjadi setahun sekali.” Maureen menunjuk garis perunggu. “Itu apa?” “Meridian Paris. Membelah Prancis secara menarik. Tapi coba lihat di atas sana.” Sinclair menunjuk sebuah jendela di atas dinding seberang mereka. Ketika mereka menengadah, sebersit cahaya matahari bersinar melalui jendela dan menukik ke bawah menerangi garis perunggu yang menempel di batu itu. Mereka menyaksikan cahaya itu menari di lantai gereja, mengikuti garis perunggu. Cahaya itu naik ke tugu hingga mencapai bola bumi dan menerangi salib keemasan yang bermandikan cahaya. “Indah, bukan? Posisi gereja ini disesuaikan untuk menandai titik balik matahari dengan sempurna.” “Indah sekali,” kata Peter sepakat. “Sebenarnya aku tidak suka menentang
ocehanmu, Lord Sinclair, tapi ada alasan religius yang absah untuk peristiwa ini. Paskah ditandai pada hari Minggu setelah bulan purnama pasca-terjadinya ekuinoks musim semi.z Menciptakan sesuatu untuk mengidentifikasi ekuinoks dan titik balik matahari tidak lazim dilakukan gereja.” Sinclair mengangkat bahu dan menoleh pada Maureen. “Dia benar juga.” “Tapi ada hal lain berkenaan dengan Meridian Paris ini, bukan?” “Sebagian orang menyebutnya Garis Magdalena. Garis itu sama dengan garis di peta yang aku kirimkan padamu. Garis itu bermula di Amiens dan berakhir di Montserrat. Jika kau ingin tahu apa sebabnya, temui aku di rumahku di Languedoc dua hari lagi. Aku akan menunjukkan alasannya, dan lebih banyak lagi. Oh, aku hampir lupa.” Sinclair mengeluarkan satu amplop mewah berwarna krem dari saku bagian dalam. “Aku tahu kalian kenal dengan seorang pembuat film yang menyenangkan, Tamara Wisdom. Ia akan datang ke pesta kostum kami di akhir minggu. Aku harap kalian mau bergabung. Dan aku juga sangat berharap kalian mau menginap sebagai tamu di chateauku.” Maureen memandang Peter untuk melihat reaksinya. Mereka sama sekali tidak menduga akan mendapat 2 Jatuh sekitar tanggal 23 September, salah satu dari dua hari setiap tahun kala matahari melintasi khatulistiwa dan panjang siang dan malam sama. undangan ini. “Lord Sinclair,” kata Peter. “Maureen telah bepergian jauh untuk memenuhi pertemuan ini. Dalam surat, kau berjanji memberi jawaban…” Sinclair memotong ucapannya. “Bapa Healy, orang menghabiskan waktu dua ribu tahun untuk memahami misteri ini. Kau tidak bisa berharap mengetahui segalanya dalam satu hari. Pengetahuan sejati harus dihargai, bukan? Sekarang aku sudah terlambat untuk suatu pertemuan, dan harus cepatcepat pergi.” Maureen memegang lengan Sinclair untuk menahannya. “Lord Sinclair, dalam surat itu kau menyebut tentang ayahku. Aku harap setidaknya kau mau menceritakan apa yang kau ketahui tentang dia.” Sinclair menatap Maureen, sikapnya melunak. “Manis,” katanya ramah, “aku menyimpan surat yang ditulis oleh ayahmu. Aku rasa kau akan sangat tertarik. Surat itu tidak aku bawa, tapi ada di chateau. Itulah salah satu alasanku memintamu datang dan menginap di sana. Dan Bapa Healy juga, tentunya.” Maureen membisu. “Surat? Apakah kau yakin surat itu ditulis ayahku?” “Bukankah nama ayahmu Edouard Paul Paschal, dieja dengan bahasa Prancis? Dan bukankah ia menetap di Lousiana?” “Ya,” jawab Maureen hampir berbisik. “Maka surat itu pasti darinya. Aku menemukannya dalam arsip keluarga kami.”
“Tapi apa isinya?” “Nona Paschal, akan sangat tidak adil bagiku jika harus mengatakannya karena ingatanku tidak baik. Aku akan dengan senang hati menunjukkannya padamu saat kau datang ke Languedoc. Sekarang, aku benarbenar harus pergi. Aku sudah terlambat. Jika kau membutuhkan sesuatu, telepon saja nomor di surat undangan itu dan berbicaralah dengan Roland. Ia akan membantu apa pun kebutuhanmu. Apa saja, tinggal katakan.” Sinclair cepatcepat pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal. Ia melontarkan ucapan terakhir lewat bahunya. “Oh, dan aku rasa kau sudah mempunyai peta. Ikuti saja Garis Magdalena.” Bunyi langkah kaki lelaki Skotlandia itu, yang mening galkan gereja dengan tergesagesa, bergaung di gereja yang beratap tinggi. Tinggallah Maureen dan Peter saling menatap tak berdaya. f Maureen dan Peter membicarakan pertemuan aneh mereka dengan Sinclair saat makan siang di suatu kafe Tepian Kiri. Opini mereka tentang Sinclair berbeda-beda. Peter curiga hingga ke batas jengkel. Maureen terpesona hingga ke batas terpikat. Usai makan, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan menelusuri Jardin du Luxembourg. Sebuah keluarga dengan anakanak yang nakal tengah berpiknik di taman saat mereka lewat. Dua anak yang lebih kecil berlari mengejar bola, dan ke arah satu sama lain, sementara kakak-kakak dan orangtua mereka memberi semangat. Peter berhenti untuk menonton mereka, ekspresi wajahnya sendu. “Ada apa?” tanya Maureen memerhatikan. “Tidak apa-apa. Aku cuma memikirkan orangorang di rumah. Saudarasaudara perempuanku, anakanak mereka. Kautahu, sudah dua tahun aku tidak pulang ke Irlandia. Apalagi kau, lebih lama lagi.” “Dengan pesawat, hanya memakan waktu satu jam saja dari sini.” “Aku tahu. Percayalah, aku juga memikirkannya. Kita lihat saja nanti. Jika ada waktu, aku akan pergi ke sana selama beberapa hari.” “Pete, aku sudah dewasa dan mampu mengurus diri sendiri. Mengapa kau tidak mengambil kesempatan selagi di sini?” “Dan meninggalkanmu di tangan Sinclair? Kau sudah gila, ya?” Bola yang kini berada dalam kekuasaan anak yang lebih tua, melayang ke arah Peter. Ia menahannya dengan kaki lalu menendangnya ke arah anakanak itu. Setelah melambaikan tangan untuk menyemangati mereka, Peter melanjutkan jalanjalannya bersama Maureen. “Apakah kau pernah menyesali keputusanmu?”
“Keputusan apa? Pergi bersamamu?” “Bukan. Menjadi pendeta.” Peter berhenti mendadak, kaget mendengar pertanyaan itu. “Mengapa kau bertanya seperti itu?” “Mengawasi kau tadi. Kau suka anakanak. Kau bisa menjadi seorang ayah yang hebat.” Peter melanjutkan langkahnya saat menjelaskan. “Tak ada penyesalan. Aku merasakan panggilan dan aku mengikutinya. Aku masih merasakan panggilan itu dan rasanya aku akan selalu merasakannya. Aku tahu, kau sulit memahami hal ini.” “Aku masih sulit memahaminya.” “Hmm. Kautahu apa yang ironis?” “Apa?” “Kaulah alasanku menjadi pendeta.” Sekarang giliran Maureen yang berhenti. “Aku? Bagaimana? Mengapa?” “Aturan gereja yang ketinggalan zaman membuatmu menjauhi iman. Ini sering terjadi, tapi sebenarnya tak perlu. Dan sekarang ada banyak ordo ordo pemuda, progresif, cendekiawan yang berusaha memasukkan spiritualitas ke dalam abad dua puluh satu sehingga mudah diakses kalangan muda. Aku mendapatkan ini dalam Yesuit yang pertama kutemukan di Israel. Mereka berusaha mengubah sebab yang membuatmu menjauh. Aku ingin berpartisipasi dalam usaha itu. Aku ingin membantumu menemukan keimananmu lagi. Kau, dan orangorang lain yang sepertimu.” Maureen menatap Peter, berusaha keras menahan air mata yang menggenang di balik matanya. “Mengapa tidak kau katakan padaku sebelumnya.” Peter mengangkat bahu. “Kau tak pernah bertanya.” … Penderitaan terak/iir Easa adalah siksaan berai bagi kami. terutama bagi Petrus. Tidak jarang ia menangis dalam tidurnya, namun ia tak mau memberitahu apa sebabnya, tak pula ia mengizinkan kami meno/o/ignya. Akhirnya aku mengetahui kebenaran itu dari mulut Bartolomeus. la mngatakan bahwa Filipus tidak berniat melukaiku dengan kenangan buruk seperti itu. Namun setiap malam. Filipus dihantui pikiran tentang penderitaan Easa. tentang bagaimana ia terluka. Lelaki-klaki itu menunjukkan rasa hormatnya padaku, seakan aku/ah satusatunya orang di antara kami yang mengetahui semangat Easa. Selama kami di Mesir, Bartolomeus menjadi muridku yang pahng berbakti, la ingin tahu sebanyak mungkin dan setepat mungkin, la begitu bersemangat, haus ilmu, bak seorang kelaparan merindukan roti. Seakanakan penderitaan Easa menimbulkan hmangdalam dirinya, yang hanya bisa diisi dengan ajaranajaran JaktnNya. Belakangan aku tahu. ada suatu panggilan kltusus yang membuatnya
menyebarkan firman-firman Cinta dan Cahaya ke seluruh bumi. dan bahwa orang lain akan berubah olehnya. Maka sedap malam, ketika anakanak dan yang/ainnya terklap. kuberitakan rahasia-rahasia itu kepada Bartolomeus, Ia akan siap ketika waktunya tiki. Tapi aku tak tahu bagaimana jika aku adalali dia. Aku mencintainya seperti darah dagingku sendiri. Dan aku mencemaskannyakarena keindahan dan kemurniannya tak akan dipahami deh orang lain sebagaimana yang dipahami orang-ang v.mg sangat mencintainya. Dia l laki yang jujur. or INJIL ARQUES MARIA MAGDALENA KITAB PARA MURID Tujuh Wilayah Languedoc, Prancis 22 Juni, 2005 Kehijauan wilayah pedesaan Prancis berkelebat di jendela kereta api berkecepatan tinggi. Perhatian Maureen dan Peter tidak tertuju pada pemandangan, melainkan terserap sepenuhnya ke berbagai peta, buku, dan kertas yang terserak di hadapan mereka. “Et in arcadia ego,” gumam Peter sembari menulis asalasalan di buku catatan warna kuning. “Et … in … Arcadia … e-go …” Ia begitu khusyuk memerhatikan peta Prancis, khususnya bagian tengah yang bergaris merah. Ia menunjuk garis itu. “Lihatlah, garis Meridian Paris melewati Languedoc, di sebelah bawah, di kota ini. Arques. Nama yang sungguh menarik.” Peter melafalkan nama kota itu, bunyinya mirip dengan “Ark”. “Seperti pada Noah’s Ark (Bahtera Nuh) atau Ark of the Covenant (Tabut Perjanjian)?” Maureen sangat penasaran, ke mana persoalan ini mengarah. “Tepat. Ark adalah kata Latin yang multimakna. Umumnya berarti wadah, tapi bisa juga berarti kuburan. Tunggu sebentar, lihat yang ini.” Peter mengambil buku catatan itu lagi, juga pena. Ia mulai menggoreskan hurufhuruf Et in Arcadia ego. Di bagian atas kertas, ia menulis ARK dengan huruf kapital hitam. Di bawahnya, ia menulis ARC dengan gaya yang sama. Maureen mendapat ide. “Oke, bagaimana jika begini? ARC. ARC - ADIA. Barangkali kata ini mengacu pada suatu tempat legendaris di Arcadia. Barangkali, Arcadia adalah gabungan beberapa kata? Apakah ada artinya dalam bahasa Latin?” Peter menulis dengan huruf kapital: ARC A DIA “Bagaimana?” tanya Maureen tidak sabaran. “Apakah ada artinya?” “Jika ditulis seperti ini, bisa berarti ‘Bahtera Tuhan’. Dengan sedikit imajinasi, kalimat ini bisa berarti
‘dan dalam Bahtera Tuhan aku berada’.” Peter menunjuk kota Arques di peta. “Barangkali kautahu tentang sejarah Arques? Jika ada legenda suci yang terkait dengan kota ini maka kalimat itu bisa berarti ‘dan dalam desa Tuhan aku berada’. Ini hanya perkiraan, tapi inilah jawaban terbaik yang bisa kupikirkan.” “Permukiman Sinclair berada tepat di luar Arques.” “Ya, tapi bukankah itu tidak menjelaskan mengapa Nicolas Poussin membuat lukisan itu empat ratus tahun lalu? Atau mengapa kau mendengar suarasuara di Louvre ketika kau memandang lukisan ini. Kupikir, kita mesti memisahkan Sinclair dari persoalan-persoalan ini barang sejenak.” Peter berkeras menyingkirkan pentingnya Sinclair dari pengalaman Maureen. Gadis ini telah beberapa tahun menerima visivisi Magdalena, jauh sebelum ia mendengar tentang Berenger Sinclair. Maureen mengangguk setuju. “Jadi, kita anggap saja Arques dikenal sebagai wilayah suci karena alasan tertentu, atau ‘desa Tuhan’, berarti Poussin memberitahukan kita bahwa ada sesuatu yang penting di sana, di Arques? Begitukah teorinya? ‘Dan dalam desa Tuhan aku berada?’” Peter mengangguk, kelihatan merenung. “Hanya perkiraan. Tapi kupikir wilayah sekitar Arques layak dikunjungi, bagaimana menurutmu?” f Hari itu adalah hari pasar di desa Quillan. Kota di kaki gunung Pyrenees, Prancis, itu ramai dengan aktivitas berkaitan dengan acara mingguan ini. Penduduk daerah pedalaman Languedoc bergegas dari satu kios ke kios lain. Mereka memborong hasil bumi dan ikan yang diangkut dari Mediterania. Maureen dan Peter menelusuri pasar. Di tangan Maureen ada duplikat lukisan Gembala Arcadia. Seorang pedagang buah melihatnya dan tertawa sambil menunjuk ke lukisan itu. “Ah, Poussin!” Ia mulai memberondong mereka dengan petunjuk petunjuk dalam bahasa Prancis. Peter memintanya berbicara lebih lambat. Putra pedagang itu, usianya sepuluh tahun, memerhatikan Maureen dengan pandangan bingung sementara sang ayah berbicara dengan Peter dalam bahasa Prancis. Sang anak memutuskan untuk mencoba berbicara dalam bahasa Inggris, meski terpatahpatah. “Anda ingin ke kuburan Poussin?” Maureen mengangguk senang. Ia baru tahu bahwa kuburan dalam lukisan itu benarbenar ada. “Ya. Oui" “Oke. Pergilah ke jalan utama dan ikuti jalan itu. Jika Anda melihat gereja, belok ke kiri. Kuburan Poussin ada di puncak bukit.” Maureen berterima kasih pada bocah itu. Lalu ia membuka tasnya, dan mengeluarkan uang lima euro.
“Merci, merci beaucoup,” katanya pada anak laki-laki itu sambil menyelipkan uang ke tangannya. Anak itu tersenyum lebar. “De hen, Madame1. Bon chance,” teriak pedagang buah itu ketika Maureen dan Peter meninggalkan pasar. Putranya melontarkan kalimat terakhir. “Et in Arcadia ego1.” Bocah itu tertawa, lalu berlari untuk membeli permen dengan uang yang baru diterimanya. f Maureen dan Peter berusaha menyatukan petunjuk petunjuk dari ayah dan anak tadi, yang akhirnya membawa mereka ke jalan yang benar. Peter mengemudikan mobil pelan-pelan agar Maureen bisa mengawasi wilayah itu lewat jendela kursi belakang. “Di sana! Benar, ‘kan? Di puncak bukit itu?” Peter meminggirkan mobil di tepi lereng yang ditutupi pepohonan pendek dan rerumputan. Di belakang kumpulan semak belukar itu, mereka bisa melihat batu persegi empat, puncak kuburan itu. “Aku pernah melihat kuburan yang terpisah seperti ini di Tanah Sucii. Ada beberapa yang semacam ini di wilayah Galilee,” jelas Peter. Lalu ia tercenung sesaat, 1 Verusalem. seolah ada sesuatu yang ia pikirkan. “Ada apa?” tanya Maureen. “Aku baru ingat, ada satu kuburan seperti ini di jalan menuju Magdala. Mirip sekali dengan kuburan ini. Bahkan bisa dibilang sama.” Mereka menyisir tepi jalan, mencari jalur yang menuju ke kuburan itu. Ada satu, jalur itu sepertinya dipenuhi semak belukar. Maureen berhenti di ujung jalur itu, ia berjongkok. “Lihat ini, segala yang berserakan ini bukan tumbuhan hidup.” Peter jongkok di sampingnya dan memungut ranting dan semaksemak yang disebarkan di sepanjang jalur itu. “Kau benar.” “Sepertinya seseorang sengaja menyamarkan jalur ini,” kata Maureen. “Mungkin hanya pekerjaan pemilik tanah. Barangkali ia bosan melihat orang seperti kita menerobos tanahnya. Wisatawan berdatangan ke tempat ini sejak empat ratus tahun lalu. Siapa pun bisa menjadi jengkel karenanya.” Mereka bergerak hatihati, melangkah di antara semak, menelusuri jalur itu hingga ke puncak bukit. Ketika kuburan granit berbentuk persegi empat itu sudah dihadapan mereka, Maureen mengeluarkan duplikat lukisan Poussin dan membandingkannya dengan wilayah di sekelilingnya. Daerah bebatuan tepat di belakang kuburan serupa dengan yang terlihat di lukisan. “Keduanya sama.” Peter mendekati struktur itu dan mengusap permukaan kuburan. “Kecuali kuburan ini begitu mulus,” katanya sambil mengamati. “Tak ada pahatan.”
“Jadi, pahatan itu hanya rekaan Poussin?” Maureen membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara. Ia sendiri berjalan mengitari sarkofagus. Melihat bagian belakang kuburan ditutupi semak dan ranting, Maureen berusaha menyingkirkannya. Setelah bersih, bagian belakang itu menjadi jelas dan membuatnya berteriak memanggil Peter. “Ke marilah! Kau harus melihat!” Peter berdiri di sampingnya, membantu Maureen menahan semaksemak itu. Ketika ia lihat sumber yang membuat Maureen terpekik, ia menggelenggelengkan kepala tidak percaya. Pahatan di bagian belakang kuburan itu ternyata pola sembilan lingkaran yang mengelilingi cakram pusat. Tampilannya sama seperti desain pada cincin kuno di jari Maureen. f Maureen dan Peter bermalam di sebuah hotel kecil di Couiza, beberapa mil dari Arques. Tammy yang memilihkan lokasi itu karena letaknya dekat dengan suatu tempat misterius bernama Rennesle-Chateau. Kalangan esoteris mengenalnya sebagai Desa Misteri. Senja itu, Tammy sedang terbang menuju Languedoc. Mereka bertiga sepakat untuk bertemu di ruang sarapan, esok pagi. Tammy muncul tibatiba di ruang sarapan. Di sana, Maureen dan Peter tengah menikmati kopi sembari menunggunya. “Maaf, aku terlambat. Penerbangan menuju Carcassonne ditunda, dan aku tiba lepas tengah malam. Aku sulit sekali tidur dan kemudian sulit bangun.” “Aku cemas karena tidak mendengar kabar darimu semalam,” ujar Maureen. “Apakah kau mengemudi mobil dari Carcassonne?” “Tidak. Ada temanteman yang datang untuk ke pesta Sinclair besok malam. Aku pergi bersama mereka. Salah seorang di antara mereka penduduk di sini. Dialah yang menjemput kita.” Maureen dan Peter terlihat bingung. “Mengapa?” tanya mereka serentak. “Sinclair marah karena kita menginap di hotel. Ia meninggalkan pesan untukku semalam. Ia menyediakan kamar di chateau untuk kita semua.” Peter terlihat khawatir. “Aku tak suka ide ini.” Ia menyerahkan persoalan ini ke Maureen. “Aku lebih suka tetap tinggal di sini. Kupikir akan lebih aman untukmu. Hotel ini wilayah yang netral. Kita bisa kembali ke sini jika ada sesuatu yang membuatmu merasa tidak nyaman.” Tammy merasa kesal. “Coba dengar, apakah kalian tahu, berapa banyak orang yang sangat ingin menerima undangan ini? Chateau adalah tempat yang mengagumkan. Rasanya seperti berada di museum. Jika kalian menolak, Sinclair akan tersinggung. Kalian tentu tidak menginginkan hal ini terjadi. Terlalu banyak yang bisa ia tawarkan.” Maureen tak tahu harus bagaimana. Ia menatap kedua temannya bergantian. Peter benar hotel ini adalah wilayah yang netral. Namun ia mengkhayalkan bagaimana rasanya tinggal di chateau.
Kesempatan itu membuatnya bisa mengamati lebih dekat Berenger Sinclair yang penuh teka-teki. Tammy mencium dilema Maureen. “Sudah kukatakan, Sinclair itu tidak berbahaya. Bahkan kupikir, ia lelaki yang luar biasa.” Ia memandang Peter, “Tapi, jika kau memiliki pandangan lain, anggap saja kesempatan itu ‘Tetap membuat temantemanmu mendekat, tetapi membuat musuhmu lebih dekat lagi’.” Ketika acara sarapan itu selesai, Tammy telah berhasil meyakinkan mereka untuk keluar dari hotel. Peter mengawasi wanita itu dengan seksama ketika mereka makan. Ia mencamkan bahwa Tammy adalah perempuan yang mahir membujuk. Rennes-ie-Chateau, Prancis 23 Juni 2005 “Kau tak akan menemukan tempat itu pada kesempatan pertama. Kecuali ada orang yang menunjukkan jalan.” Tammy memberi arahan-arahan dari kursi belakang. “Belok kanan lihat jalan kecil di sana? Jalan itu menuju Rennesle-Chateau di puncak bukit.” Jalan sempit yang menanjak dan penuh belokan tajam itu belum diaspal. Di puncak bukit, terpancang papan petunjuk yang sebagiannya tertutup semak. Di papan itu tertera nama desa kecil. “Kau bisa parkir di sini.” Tammy mengarahkan mereka ke suatu tanah kosong yang kecil dan berdebu, tepat di jalan masuk desa. Begitu keluar mobil, Maureen melihat arlojinya. Ia melihat dua kali sebelum berkomentar. “Aneh, arlojiku mati. Padahal sebelum meninggalkan AS, aku telah memasang baterai baru.” Tammy tertawa. “Nah, kelucuan telah dimulai. Waktu memiliki makna baru di pegunungan misterius ini. Aku jamin, arlojimu akan kembali normal setelah kita meninggalkan wilayah ini.” Peter dan Maureen saling berpandangan lalu membuntuti Tammy. Tanpa berusaha menjelaskan, ia terus saja berjalan sembari melemparkan guyonan ke Peter dan Maureen yang berjalan di belakangnya. “Hadirin, sekarang kita memasuki Zona Antah-berantah.” Desa itu sendiri terkesan menyeramkan, seperti wilayah yang diabaikan waktu. Ukurannya luar biasa mungil dan terlihat lain daripada yang lain. “Adakah orang yang tinggal di sini?” tanya Peter. “Oh, ya. Desa ini benarbenar berfungsi. Penduduknya tidak sampai dua ratus, tapi tetap penduduk seperti di wilayah yang lain.” “Sepi sekali,” ujar Maureen sambil mengamati. “Memang selalu seperti ini,” jelas Tammy, “hingga bus tur mengeluarkan penumpangnya.” Ketika mereka memasuki desa, di sebelah kanan mereka tampak sisasisa chateau, sebuah rumah yang nyaris hancur yang darinyalah desa ini memperoleh nama.
“Itu Chateau Hautpol. Puri itu dulu milik para Ksatria Templar saat Perang Salib. Lihat menaranya?” Tammy menunjuk menara kecil yang sudah usang. “Jangan terkecoh dengan lokasinya yang terpencil dan kondisinya yang sudah rusak. Menara Alkemi adalah landmark esoteris yang paling penting di Prancis. Bahkan barangkali di dunia.” “Kurasa kau akan menjelaskan sebabnya?” Peter merasa kejengkelannya menjadijadi. Ia sudah letih dengan permainanpermainan yang dibungkus dalam misteri. Ia ingin segera memperoleh jawaban yang masuk akal. “Akan kukatakan padamu, tapi nanti. Karena tak a-kan ada artinya kecuali kau sudah mengetahui sejarah desa ini. Kita tunda jawabannya. Akan kujelaskan dalam perjalanan pulang.” Mereka melewati sebuah toko buku kecil di sebelah kiri. Toko itu tutup, namun bukubuku yang menampilkan simbolisme berhala terpajang di balik jendela. “Tidak sama dengan jemaat Katolik di desa pertanianmu, ya?” bisik Maureen kepada Peter sementara Tammy berjalan di depan mereka. “Sepertinya begitu,” Peter mengiakan sembari menatap jajaran bukubuku aneh dan perhiasan berbentuk bintang bersudut lima di jendela. Ada keanehan lain di dinding seberang jalan sempit itu yang menarik perhatian Maureen saat mereka mengikuti Tammy melewati jalanjalan tua berbatu. Ukiran di samping sebuah rumah, posisinya sejajar mata, terlihat seperti gambar jam matahari. Bagian inti logam telah lama copot, menyisakan lubang lapuk di tengahtengahnya. Jika dilihat dari dekat, gambar itu sangat tidak biasa. Mereka memulai dengan nomor sembilan dan terus hingga nomor tujuh belas. Kegiatan ini memakan waktu setengah jam. Namun goresan di atas angkaangka itu tetap serangkaian simbol yang terkesan misterius. Peter memandang lewat bahu Maureen saat ia menunjukkan simbol yang sungguh ganjil. “Menurutmu, apa arti simbol ini?” ia bertanya pada Peter. Tammy mendekati mereka. Ia tersenyum bak kucing yang baru menghabiskan krim. “Jadi kalian telah menemukan keganjilan penting pertama di RLC,” katanya. “RLC?” “Rennesle- Chateau. Begitu sebutan orang karena nama lengkapnya terlalu panjang. Kalian mesti belajar menggunakan dialek lokal agar bisa menyesuaikan diri di pesta besok malam.” Maureen kembali menatap ukiran di dinding. Peter pun mengawasi dengan seksama. “Aku mengenali simbolsimbol ini. Planet-planet. Itu bulan, dan Merkurius. Apakah itu matahari?” Ia menunjuk lingkaran dengan titik di bagian tengah. “Benar,” jawab Tammy. “Dan itu Saturnus. Simbol selebihnya berhubungan dengan astrologi. Ini Libra, Virgo, Leo, Cancer, dan ini Gemini.” Sepuah pikiran melintas di kepala Maureen. “Adakah Scorpio di sini? Atau Sagitarius?”
Tammy menggeleng, namun ia menunjuk ke sebelah kiri jam matahari dengan posisi seperti jam tujuh pada permukaan jam biasa. “Tidak ada. Kalian lihat lokasi tempat tanda-tanda ini berakhir? Itu planet Saturnus. Jika tanda-tanda berlanjut dengan arah yang berlawanan dari arah jarum jam, kalian akan menemukan Scorpio diikuti Libra dan kemudian Sagitarius.” “Kenapa berhenti di lokasi yang sangat aneh?” tanya Maureen. “Dan apa artinya?” Peter jauh lebih tertarik dengan jawaban. Tammy mengangkat kedua tangannya, syarat bahwa ia tak bisa menjelaskan. “Kami rasa ada hubungannya dengan susunan planetarium. Selain itu, kami benarbenar tidak tahu.” Maureen terus memandangi gambar itu. Ia tengah membayangkan lukisan fresco Sandro di Louvre dan berusaha memastikan apakah lukisan itu ada kaitannya dengan kalajengking. Maureen ingin tahu, kira-kira apakah manfaat jam matahari yang aneh ini, jika pun ada. “Apakah ini seperti ungkapan ‘ketika bulan berada di rumah ketujuh dan Yupiter sejajar dengan Mars’?” “Jika kalian berdua akan menyanyikan ‘The Age of Aquarius’, aku pergi saja,” ujar Peter. Mereka semua tertawa. Tammy kemudian menjelaskan, “Tapi dia benar. Barangkali ada kaitannya dengan susunan planetarium tertentu. Dan karena gambar itu ditempatkan di sini, di depan rumah utama, bisa diasumsikan gambar itu penting untuk diketahui seluruh penghuni desa.” Tammy memimpin mereka menjauhi jam matahari itu dan mengakhiri tur. Mereka menuju vila nun di atas. “Sentra desa ini adalah museum dan wilayah vila. Letaknya di atas, persis di hadapan kita.” Di ujung jalan sempit di depan mereka, berdiri sebuah bangunan rumah, sebuah vila yang tersusun dari bebatuan artistik. Menara batu yang bentuknya aneh mencuat di suatu bagian di belakangnya, menyatu dengan lereng gunung. “Misteri desa ini terpusat pada kisah yang sangat aneh tentang seorang pendeta terkenal atau bahkan legendaris yang tinggal di sini pada akhir abad 18. Abbe Berenger Sauniere.” “Berenger? Bukankah itu nama depan Sinclair?” tanya Peter. Tammy mengangguk. “Ya, dan itu bukan kebetulan. Kakek Sinclair berharap jika cucunya diberi nama yang sama, barangkali ia akan mewarisi sifat-sifat nama yang disandangnya. Sauniere menjaga sejarah dan misteri lokal tanpa kenal takut. Dan ia sangat berbakti pada warisan Maria Magdalena. “Omong-omong, ada berbagai legenda yang menceritakan penemuan Abbe di sini, ketika ia akan merestorasi gereja. Sebagian orang percaya bahwa ia menemukan harta terpendam Rumah Tuhan (Temple) Yerusalem yang hilang. Karena chateau di sebelahnya terkait dengan Ksatria Templar maka tidak mustahil mereka menggunakan permukiman terpencil ini untuk menyembunyikan barang rampasan dari Tanah Suci. Siapa yang akan mencari barang berharga di sini? Dan sebagian orang mengatakan bahwa Sauniere menemukan dokumendokumen yang luar biasa berharga. Apa pun itu membuatnya sangat kaya, secara mendadak secara misterius. Sepanjang hidupnya, ia menghabiskan banyak
uang padahal gajinya sebagai pendeta lokal hanya sekitar dua puluh lima dolar setahun. Lalu, dari mana ia mendapatkan uang? “Dulu, di tahun 1980-an, trio peneliti Inggris menulis buku tentang Sauniere dan harta kekayaannya yang misterius. Buku itu laris. Di AS judulnya Holy Blood, Holy Grail, dan dianggap klasik oleh kalangan esoteris. Sayangnya, buku itu menimbulkan semangat berburu harta karun ke daerah ini. Sumber daya alam dieksploitasi, dan sejumlah landmark dirusak oleh fanatikus agama dan pemburu harta. Sinclair bahkan menempatkan penjaga bersenjata di tanahnya untuk melindungi kuburan itu.” “Kuburan Poussin?” tanya Maureen. Tammy mengangguk. “Tentu saja. Itulah bagian inti keseluruhan misteri, berkat Para Gembala dari Arcadia.” “Kami ke kuburan kemarin. Aku tidak melihat seorang penjaga pun,” ujar Peter. Tammy tertawa terkekeh-kekeh. “Itu karena kedatangan kalian diterima. Percayalah, jika kalian datang ke sana, dia tahu. Dan jika kedatangan kalian tidak ia inginkan, kalian yang akan tahu.” Mereka sampai di sebuah bangunan besar yang mendominasi desa. Pada papan penunjuk, tertera tulisan “Villa Bethania Kediaman Berenger Sauniere”. Begitu mereka melewati pintu museum, Tammy tersenyum dan mengangguk pada wanita di meja depan yang melambaikan tangan, menyuruh mereka masuk. “Bukankah kita harus membeli karcis?” tanya Maureen ketika mereka melewati papan yang menunjukkan harga karcis. Tammy menggeleng. “Tidak, mereka sudah mengenalku. Aku memanfaatkan museum ini sebagai latar dokumentasi sejarah alkemi.” Ia memimpin mereka melewati kotak kaca yang memajang jubah kependetaan yang dikenakan Abbe Sauniere pada abad 19. Peter berhenti untuk melihat-lihat pakaian ini sementara Tammy terus berjalan ke ujung lorong. Ia berhenti di depan pilar batu kuno yang berukir salib. “Namanya Pilar Ksatria dan diyakini diukir oleh Visigoth pada abad 18. Dulu, pilar ini ditempatkan di altar gereja lama. Ketika Abbe Sauniere memindahkan pilar ini saat restorasi vila, ia menemukan perkamen yang berisi sandi-sandi misterius, atau begitulah yang mereka katakan.” Tempat pemajangan perkamen telah diperluas oleh kurator museum agar kodenya terlihat lebih jelas. Surat-surat bertinta tebal berserakan, tapi jika dilihat lebih seksama, penempatannya tidaklah acak. Maureen menunjuk tulisan ET IN ARCADIA EGO dalam huruf kapital hitam. “Tulisan itu lagi,” kata Maureen pada Peter. Ia beralih ke Tammy. “Lalu apa
artinya? Apakah itu sebuah kode?” “Setidaknya ada lima puluh teori yang pernah kudengar yang menyebutkan makna frasa itu. Bahkan hal ini memicu industri pondokan yang muncul nyaris dengan sendirinya.” “Peter menemukan teori menarik ketika di kereta dalam perjalanan ke sini,” sela Maureen. “Ia pikir ada kaitannya dengan desa Arques. ‘Di Arques, desa Tuhan, aku berada’.” Kelihatannya Tammy terkesan. “Dugaan yang bagus, Padre. Kepercayaan yang paling umum adalah penjelasan anagram Latin. Jika kita mengubah posisi huruf-hurufnya, maka kalimat itu berbunyi ‘I tego arcana Dei’.” “Aku menyembunyikan rahasia-rahasia Tuhan,” Peter menerjemahkan. “Ya. Tidak banyak membantu, bukan?” Tammy tertawa. “Ayolah, aku ingin mengajak kalian melihat bangunan ini dari luar.” Peter masih memikirkan kuburan Poussin. “Tunggu sebentar. Tidakkah itu artinya ada sesuatu yang disembunyikan di dalam kuburan? Jika kalimat-kalimat itu disatukan maka hasilnya ‘Di Arques, desa Tuhan, aku menyembunyikan rahasia’.” Maureen dan Peter menunggu tanggapan Tammy. Yang ditunggu termenung sejenak. “Teori itu sama bagusnya dengan teori lain yang pernah kudengar. Sayangnya, kuburan itu telah berkali-kali dibuka dan diteliti. Kakek Sinclair mengeksvakasi tiap inci properti itu hingga seluas satu mil persegi sekitar kuburan. Dan Berenger telah menggunakan segala macam teknologi untuk mencari harta k a ru n -ultrasound, radar, dan lain-lain.” “Dan mereka tidak menemukan apa-apa?” tanya Maureen. “Tidak sama sekali.” “Barangkali ada orang lain yang lebih dulu mengambilnya,” Peter menduga. “Bagaimana dengan pendeta Sauniere? Mungkinkah itu yang membuatnya sangat kaya? Harta karun yang ia temukan?” “Banyak orang menduga begitu. Tapi anehnya, hingga kini tak seorang pun tahu rahasia Sauniere. Padahal telah dilakukan riset selama beberapa dasawarsa baik oleh pria maupun wanita yang begitu gigih.” Tammy memimpin mereka melewati pekarangan indah yang didominasi air mancur berdinding batu dan marmer. “Terlalu mencolok untuk suatu lingkungan jemaat sederhana di abad 19?” Peter berkomentar. “Begitu, ya. Dan anehnya lagi, meski telah mengeluarkan banyak uang untuk membangun tempat ini, Abbe Sauniere tak pernah tinggal di sini. Bahkan sebenarnya ia enggan menetap di sini. Akhirnya, ia menyerahkan kediaman ini ke… pelayannya.11 “Kau berhenti sebelum menyebut ‘pelayannya’,” kata Peter jeli. “Yah, banyak orang percaya wanita itu lebih dari sekadar pelayan. Bahwa ia pasangan Sauniere.”
“Tapi bukankah ia pendeta Katolik?” “Jangan menghakimi, Padre. Itulah moto yang selalu kupegang.” Maureen tidak mendengarkan pembicaraan mereka, perhatiannya tertuju pada sebuah patung yang telah lapuk termakan cuaca. “Patung siapa ini?” “Joan of Arc,” jawab Tammy. Peter mendekat agar bisa melihat patung itu lebih jelas. “Oh ya, benar. Itu pedang dan benderanya. Tapi, patung ini seperti ti