een mengungkit tingkap agar cahaya bulan bisa menyinari tangga ke bawah. Ia berlari menuruni anak tangga kemudian keluar dari menara. Tapi ketika sampai di luar, lagilagi ia berhenti. Pergi ke kuburan bukan persoalan gampang di tengah malam seperti ini. Tidak ada jalur sebagaimana burung gagak terbang, tidak ada jalan pintas dari sini ke sana. Hanya wilayah bergelombang yang dipenuhi batubatu besar dan semak belukar yang rapat. Satusatunya jalur yang terpikir oleh Maureen adalah jalur lintasan mobil kemudian menyusuri jalan raya di sekitar chateau hingga ke kuburan. Artinya, ia harus melewati gerbang utama rumah dan jalan umum yang terbuka. Bergerak secepat mungkin menyusuri jalur yang berlikuliku, akhirnya Maureen melihat rumah besar itu di hadapannya. Bangunan itu tampak gelap dan hening. Sejauh ini berjalan mulus. Maureen berbelok di jalur lintasan mobil yang panjang. Ia berlari melintasi jalan berkerikil itu hingga sampai di gerbang depan. Maureen merasa lega karena gerbang itu dioperasikan dengan detektor yang membuka dengan bisikan suara. Cepatcepat ia melewati gerbang itu lalu berbelok ke kiri menuju jalan utama. Kala itu tengah malam sehingga kemungkinan besar tak ada mobil yang lalu-lalang di wilayah terpencil itu. Keheningan mencekam Maureen kesunyian itu terasa menakutkan, keheningan yang membuat gundah. Wilayah chateau sangat luas, tak ada rumah lain di dekat situ. Satusatunya bunyi berasal dari jantung Maureen yang berdegup keras di dalam dadanya. Ia berusaha tetap berjalan di pinggir dan tetap waspada. Jantung Maureen seakan melompat ke tenggorokan dan ia berusaha tidak panik ketika mendengar bunyi deruman di tengah-tengah kesunyian. Bunyi mesin. Dari mana bunyi itu berasal? Maureen tidak menanti jawaban. Ia melemparkan diri ke tanah dan berdoa semoga semak dan rumput panjang melindunginya dari sorotan lampu. Maureen diam tidak bergerak sementara sebuah mobil melesat dan sorot lampunya menyinari wilayah di sekitarnya. Tapi sang pengemudi mestinya sedang memikirkan sesuatu karena ia tidak memperlambat kendaraannya ketika melewati perempuan berambut merah yang tertelungkup di semaksemak pinggiran jalan. Setelah yakin mobil itu sudah jauh, Maureen berdiri dan membersihkan kotoran yang menempel di pakaiannya. Ia melirik ke chateau sudah berada di kejauhan sekarang apakah lampu di kamar atas menyala? Ia menyipitkan mata, berusaha menentukan dari jendela mana lampu itu terlihat. Tapi bangunan itu terlalu besar, Maureen tak punya waktu untuk berhenti dan memikirkan. Ia kembali melangkah cepatcepat. Jantungnya berdetak keras dengan ketegangan yang memuncak saat ia mengikuti belokan yang ia kenal. Tepat di depannya, di atas sana, kuburan Poussin berkilau tertimpa cahaya bulan. “Et in Arcadia ego”, bisiknya dalam hati. “Di sinilah kita.” Ia mencari jalur yang ditemuinya bersama Peter beberapa hari lalu. Jalan setapak yang jelas-jelas disembunyikan. Maureen menemukannya berkat campuran keberuntungan dan ingatan, dan barangkali sesuatu yang lebih besar. Ia menanjak ke atas, lokasi kuburan sejak berabadabad lalu itu kokoh dan menjadi saksi bisu warisan kuno yang belum mengungkapkan rahasia rahasianya. Sekarang apa? Maureen melihat ke sekelilingnya, lalu berjalan dan berdiri di samping kuburan, berpikir dan menunggu.
Sejenak ia merasa ragu, suara Tammy terngiang-ngiang di telinga. “Alistair telah menggali tiap inci tanah ini. Dan Sinclair telah menggunakan segala jenis teknologi yang terpikirkan.” Tidak hanya itu. Bahkan ribuan pemburu harta karun telah menyebar ke wilayah ini, berkali-kali pula. Mereka tidak menemukan apa pun. Mengapa kali ini berbeda? Apa yang membuatnya berpikir bahwa ia punya hak untuk berharap lebih? Gemerisik keras di semaksemak membuatnya terlom— pat kaget, kakinya lemas, dan ia terjatuh. Tangan kanannya membentur batu tajam. Bisa ia rasakan, batu itu merobek telapak tangannya. Tapi tidak mempunyai kesempatan untuk memikirkan rasa sakit. Ia terlalu takut mendengarnya. Bunyi apakah itu? Maureen menunggu, berusaha tidak bergerak sedikit pun. Ia tidak bisa bernapas. Bunyi gemerisik itu terdengar lagi sementara dua merpati putih bersih terbang dari semaksemak, meninggi ke langit Languedoc yang pekat. Maureen menarik napas. Ia berusaha berdiri kemudian berjalan ke arah semaksemak rapat yang menutupi sebuah tumpukan batu besar yang menghalangi pemandangan pegunungan. Didorongnya batu itu untuk melihat apakah ada sesuatu di belakangnya. Tapi batu itu tetap bergeming. Didorongnya lebih kuat lagi, tetap tidak bergeser sedikit pun. Ia berhenti untuk beristirahat, berusaha berpikir. Tangannya robek tergores batu. Darah mengucur di sekujur telapak tangannya. Ketika Maureen mengangkat tangan kanannya untuk mengukur luka yang ia alami, cahaya bulan memantulkan kilau cincinnya, tepat di gambar lingkaran yang terukir pada tembaga kuno itu. Cincin. Ia selalu melepas perhiasannya sebelum tidur. Tapi malam ini ia terlalu lelah untuk menjalani rutinitas dan tertidur dengan cincin melingkari jarinya. Gambar bintang membentuk lingkaran. Sebagaimana di atas, demikian pula di bawah. Ada satu duplikat gambar itu di belakang monumen. Maureen berlari ke sisi lain kuburan itu. Disingkirkannya dedaunan untuk mencari gambar yang ia tahu ada di situ. Tangannya mengusap gambar, tetesan darah dari telapak tangannya mengenai bagian dalam lingkaran. Maureen menahan napas dan diam tak bergerak, menunggu. Tidak terjadi apa-apa. Kesunyian merambah dari menit ke menit hingga Maureen merasa terperangkap dalam ruangan hampa seluruh udara malam telah diisap sampai habis. Dari suatu kejauhan, barangkali puncak bukit aneh yang terdapat di Rennesle-Chateau, terdengar bunyi lonceng gereja. Bunyi yang dalam dan menggema itu menggetarkan tubuh Maureen. Barangkali itulah bunyi paling kudus, atau yang paling tidak kudus, yang pernah ia dengar. Tapi dentang lonceng gereja yang aneh di tengah malam buta itu terasa monumental. Kegelapan di sekeliling Maureen terkoyak oleh lonceng itu. Namun tak lama kemudian menyusul bunyi letusan tajam yang menyeramkan. Bunyi yang keras dan tegas itu berasal dari batu yang terletak tepat di belakang Maureen. Tempat munculnya merpati. Cahaya bulan yang tidak biasa menerangi tempat itu, namun kini telah berubah. Di tempat tumbuhnya rimbunan semak dan berdirinya batu
besar, kini ada sebuah jalan masuk, sebuah celah di lereng gunung, mengundang Maureen untuk masuk. Dengan beringsut-ingsut, Maureen mendekati liang yang kini terbuka. Tubuhnya gemetar, nyaris tidak terkendali. Tapi ia terus maju. Begitu sampai di dekat celah, yang cukup besar untuk ia masuki, ia melihat sinar redup di dalam. Sambil menelan rasa takut, ia masuk ke dalam liang, menunduk, dan berjalan ke perut gunung. Begitu di dalam, Maureen merasa sesak napas saking terpesonanya. Ada sebuah peti kuno yang sudah terkelupas di sana-sini. Maureen telah melihat peti itu dalam mimpinya ketika di Paris. Perempuan tua menunjukkan peti itu padanya, mengajaknya mendekat. Maureen yakin, peti yang ada di hadapannya sama dengan peti dalam mimpinya. Cahaya yang aneh dan terkesan gaib menyelimuti peti itu. Maureen membungkuk dan mengusap peti itu penuh minat. Tidak ada kunci. Jemari Maureen menelusuri bagian bawah penutup peti untuk membukanya. Ia begitu khusyuk hingga tidak mendengar bunyi langkah di belakangnya. Tak lama kemudian ia tidak merasakan apa-apa kecuali rasa sakit yang sangat di bagian belakang kepala, lalu semua menjadi gelap. Roma 26 Juni 2005 Jika Uskup Magnus O’Connor mengharapkan sambutan hangat dari Dewan Vatikan, ia akan gigit jari. Wajahwajah alim yang mengelilingi meja antik mengilap itu terlihat prihatin dan kaku. Kardinal DeCaro menoleh ke ketua penyelidikan. “Tolong jelaskan kepada Dewan, mengapa orang pertama semenjak Santo Fransiskus dari Assisi yang menunjukkan lima titik stigmata tidak mendapat perhatian serius?” Keringat Uskup O’Connor mengucur deras. Ia meremas saputangan di pangkuannya, yang ia gunakan untuk menghapus butiran keringat di wajahnya. O’Connor berdehem, dan jawabannya terdengar lebih bergetar di bandingkan yang ia harapkan. “Yang Mulia, Edouard Paschal beberapa kali mengalami kerasukan yang mengganggu. Ia menjeritjerit, menangis, dan mengklaim bahwa ia mengalami visi. Sudah dipastikan bahwa itu tidak lebih dari sekadar celotehan gila seorang yang tidak waras.” “Dan siapa yang mengambil kesimpulan resmi itu?” “Saya, Yang Mulia. Tapi mohon dipahami, lelaki ini hanya orang biasa. Seorang Cajun dari wilayah rawa…” DeCaro tidak berhasil mengendalikan rasa jengkel. Ia tidak lagi peduli dengan penjelasan sang Uskup. Taruhannya sangat besar, dan mereka mesti bergerak sangat cepat. Pertanyaanpertanyaannya semakin tajam, nada bicaranya pedas. “Gambarkan visivisi yang ia alami kepada mereka yang tidak sempat membaca arsip.” “Ia mengalami visi Tuhan Yesus bersama Maria Magdalena. Visi yang mengganggu. Ia berceloteh tentang… penyatuan mereka dan tentang anakanak. Celotehan itu semakin menjadijadi setelah…peristiwa stigmata.”
Anggota Dewan semain gelisah. Mereka tidak bisa duduk dengan tenang. Sambil berbisik, mereka bertanya satu sama lain. DeCaro melanjutkan interogasi yang tidak bersahabat. “Lalu apa yang terjadi pada lelaki bernama Edouard Paschal ini?” O’Connor menarik napas panjang sebelum menjawab. “Ia menjadi semakin tersiksa dengan khayalan khayalannya hingga…ia bunuh diri dengan menembak kepalanya.” “Dan setelah ia mati?” “Sebagaimana kasus bunuh diri yang lain, kami tidak mengizinkan jenazahnya dikubur di tanah yang telah disucikan. Kami mengunci rapat-rapat peristiwa ini, dan melupakannya. Sampai…sampai putrinya menarik perhatian kami.” Kardinal DeCaro mengangguk, lalu mengangkat satu map merah lagi dari meja. Ucapannya ditujukan ke peserta pertemuan. “Ah, ya, sekarang topik beralih ke putrinya.” Banyak orang yang akan terkejut (jika tahu) bahwa aku menusukkan seorang perempuan Romawi. Claudia Procula. cucu Augustus Caesar dan anak angkat Kaisar Tiberius, ke dalam deretan pengikut kami. Namun, bukanlah statusnya sebagai seorang Romawi yang mencuatnya tidak dUiarapkan untuk berada di antara kita. Akan tetapi dia ada/ah istri Pontius Pi/atus. pemgas yang menghukum Easa ke tiang salib. I)i antara banyak orang yang membantu kami di hari-hari kegelapan. Claudia Procula mempertaruhkan sama atau balikan lebih besar dibandingkan mereka, demi Easa. Jelas yang ia korbankan jauh lebih besar dibandingkan kebanyakan orang. Namun malam hari itu di Yerusakm. ketika nyawa kami berada di ujung tanduk dia dan aku menyatu dalam hati dan jiwa kami. Semenjak hari itu kami menjalin hubungan erat. sebagai istri sehagaiibu, sebagai perempuan. Dari matanya aku tahu kalau dia akan nnyadi seorang putri JalanNya ketika waktunya tiba. Aku bisa melihatnya, pancaran sinar yang muncul seiring perubahan, ketika seorang lelaki atau perempuan melihat Tuhan dengan jelas untuk kak’pertama. Dan hati Claudia dipenuhi cinta dan pengampunan Bahwa ia tetap bersama Pontius ‘i a tins dengan segala peristiwa itu adalah sebuah petanda kesetiaannya. lingga k aki itu meninggal, ia berkorban baginya dengan pengorbanan yang lianya bisa dilakukan okh seorang perempuan yang benarbenar mencintai. Indah yang aku ketahui. Kisah Claudia belum diungkapkan. Aku berharap bisa melakukannya dengan adil. INJIL ARQUES MARIA MAGDALENA. KITAB MASA KEGELAPAN Lima Belas Chateau des Pommes Blues 27 Juni 2005 Maureen merasa mulutnya kering dan kepalanya seolah dibebani benda seberat tiga ton. Di manakah ia? Maureen berusaha menoleh. Aduuh. Rasa sakit muncul dari
kepala. Tapi selain itu ia merasa nyaman. Sangat nyaman. Ia berada di ranjang, di chateau. Bagaimana bisa? Membingungkan, tak ada yang jelas. Selintas terpikir olehnya bahwa ia diracuni dan dipukul. Oleh siapa? Di mana Peter? Ada suarasuara di luar pintu. Semakin keras. Kesal dan cemas. Marah? Pria. Berusaha mengenali aksen. Occitan, pasti Roland. Suara yang tinggi itu…Skotlan? Irlandia. Itu Peter. Maureen berusaha memanggil Peter, yang keluar hanya teriakan parau. Tapi lumayan, cukup untuk menarik perhatian, mereka bergegas masuk ke kamar. f Sepanjang hidupnya, belum pernah Peter merasa selega seperti ketika ia mendengar suara dari kamar Maureen. Didorongnya tubuh raksasa Roland ke samping dan ia mendahului Sinclair untuk menjadi yang pertama yang masuk ke kamar Maureen. Kedua lelaki itu bergegas di belakangnya. Mata Maureen terbuka dan ia terlihat kebingungan. Tapi ia sadar. Kepalanya dibalut perban, persis di bagian luka yang telah dijahit oleh dokter, sehingga ia tampak seperti korban perang. “Maureen, syukurlah. Kau bisa mendengarku?” Peter meremas tangannya. Maureen berusaha mengangguk. Ide buruk. Kepalanya berputar-putar dan ia tidak bisa melihat selama satu menit penuh. Sinclair maju dari belakang Peter, meninggalkan Roland yang membisu di belakang. “Jangan memaksa untuk bergerak. Dokter menyarankan agar sebisa mungkin kau tidak bergerak dulu.” Ia berjongkok di samping Peter agar lebih dekat dengan Maureen. Wajahnya terlihat sedih dan prihatin. Maureen mengedipkan mata untuk mengatakan bahwa ia mengerti. Ia ingin bicara, tapi ternyata tidak bisa. Akhirnya ia berbisik, “Air?” Sinclair mengambil mangkuk kristal dan sendok di meja, di samping tempat tidur. Ia berusaha keras agar nada suaranya terdengar ceria. “Jangan air dulu, perintah dokter. Tapi kau bisa menelan es batu. Jika kau berhasil melewati ini, kita lulus.” Sinclair dan Peter berusaha merawat Maureen bersamasama. Dengan lembut, Peter membantu mengangkat Maureen sementara Sinclair menyuapi potongan es batu ke mulutnya. Merasa tubuhnya telah memperoleh cairan, Maureen berusaha berbicara lagi. “Apa…?” “Apa yang terjadi?” Peter membantu meneruskan. Ia memandang Sinclair kemudian ke Roland, sebelum memberi jawaban. “Kami akan memberitahu saat kau sudah cukup beristirahat. Roland… dialah pahlawanmu. Dan pahlawanku.” Mata Maureen beralih ke Roland, yang mengangguk hormat. Maureen memang menyukai
si Occitan bertubuh besar ini. Ia merasa berterima kasih, apa pun yang telah lelaki itu lakukan untuk memboyongnya ke sini. Tapi kepedulian utama Maureen bukanlah terhadap keadaan dirinya sendiri. Jawaban yang ia butuhkan belum muncul. Sinclair menyuapi satu sendok butiran es batu lagi dan Maureen berusaha bicara kembali. “Peti…?” Untuk pertama kalinya selama berhari-hari, Sinclair tersenyum. “Aman. Sudah dibawa ke sini bersamamu. Sekarang terkunci rapat di ruang kerjaku.” “Apa…?” “Apa isinya? Kami belum tahu. Kami tidak akan membukanya tanpamu, Sayang. Rasanya tidak benar. Peti itu diserahkan kepadamu. Dan kau harus hadir ketika peti itu dibuka.” Maureen memejamkan mata dengan lega. Obat penenang membuatnya tertidur lagi. Kali ini dengan perasaan aman karena tahu, ia tidak gagal. f Ketika Maureen bangun dari tidurnya, Tammy sudah duduk di samping ranjang, di salah satu kursi berkulit merah. “Selamat pagi, Cantik,” katanya sembari meletakkan buku yang sedang ia baca. “Suster Tammy siap membantu. Apa yang bisa kuambilkan? Margarita? Pina colada?” Maureen ingin tersenyum, tapi belum bisa. “Apakah kau ingin es batu? Ah, aku lihat jempol diangkat, isyarat internasional. Oke, aku ambilkan.” Tammy mengambil mangkuk kristal lalu duduk di samping Maureen. Ia menyuapi es batu ke mulut Maureen. “Enak? Masih segar, aku membuatnya tadi pagi.” Kali ini Maureen bisa sedikit tersenyum. Tapi masih terasa sakit. Setelah beberapa sendok, ia merasa bisa berbicara. Sudah lebih baik, pikirnya. Kepalanya masih berdenyut-denyut, tapi kebingungannya sudah berkurang, dan ingatannya mulai kembali. “Apa yang terjadi?” Tammy tak lagi bisa berkelakar. Ia kembali duduk di sebelah Maureen, mimiknya sangat serius. “Kami berharap kau bisa menceritakan separuh kejadian. Baru kemudian kami melengkapi yang separuh lagi. Tidak sekarang, tentu saja. Saat kau sudah siap untuk bicara. Tapi polisi…” “Polisi?” suara Maureen parau. “Shh. Jangan tegang. Seharusnya tidak aku katakan. Tapi sekarang sudah beres. Itulah yang perlu kau ketahui.” “Tidak.” Suara Maureen sudah kembali, beserta kekuatannya. “Aku perlu tahu apa yang terjadi.” “Oke.” Tammy mengangguk. “Akan kupanggilkan yang lain.” f Keempat-empatnya masuk ke kamar Maureen. Pertama Sinclair, diikuti Peter, lalu Roland
bersamasama Tammy. Sinclair menghampiri tempat tidur dan duduk di satu kursi yang terletak di samping ranjang. “Maureen, tak bisa kukatakan betapa menyesalnya aku. Aku mengajakmu ke sini dan menempatkanmu dalam bahaya. Tapi aku tak pernah bermimpi peristiwa ini akan menimpamu. Aku yakin kami bisa melindungimu di chateau. Kami tidak menduga kau akan berjalan-jalan sendirian di tengah malam seperti itu.” Tammy bergeser mendekati Maureen. “Ingat kata-kataku waktu itu? Ada orangorang yang ingin mengha-langimu menemukan harta karun?” Maureen mengangguk, sekadar cukup untuk terlihat tetapi tidak membuat kepalanya berputar. “Siapa mereka?” bisiknya. Sinclair melangkah maju lagi. “Persekutuan Keadilan. Sekelompok orang fanatik yang telah ada di Prancis ini sejak berabadabad lalu. Mereka mempunyai agenda yang kompleks. Akan lebih baik jika kami menceritakannya nanti, setelah kondisimu pulih.” Maureen menunjukkan sikap keberatan. Ia ingin mendengar jawaban sesungguhnya. Yang mengejutkan, Peterlah yang maju untuk membantu Sinclair. “Dia benar, Maureen. Kondisi kesehatanmu masih rawan. Jadi lebih baik kita mendengar penjelasan detailnya nanti, saat kau lebih kuat.” “Kau diikuti orang,” Sinclair melanjutkan. “Mereka telah mengawasimu sejak kedatanganmu di Prancis.” “Tapi bagaimana?” Sinclair tampak pucat dan letih saat ia menyorongkan tubuhnya untuk menjelaskan. Maureen melihat lingkaran biru tanda kurang tidur di bawah matanya saat lelaki itu mengusapkan tangan ke wajahnya. “Di sinilah letak kegagalanku, Sayang. Ada orang yang menyusup. Aku sama sekali tidak menduga, tapi salah seorang di antara kami adalah musuh dalam selimut, seorang pengkhianat. Dan ini sudah berlangsung bertahuntahun.” Kepedihan, dan rasa malu, akibat kegagalan itu membuat Berenger Sinclair terpukul. Tapi meskipun samasama merasa pedih, Roland, yang berdiri di belakang Sinclair, terlihat setegar karang. Maureen menujukan pertanyaannya pada lelaki itu. “Siapa?” Roland tampak sangat muak. “De la Motte,” katanya dalam logat aslinya, bukan Prancis tapi Occitan. Sinclair meneruskan pernyataan Roland. “Jean-Claude,” katanya. “Tapi kau tidak perlu merasa dikhianati kerabatmu sendiri. Ia bukan benarbenar keturunan Paschal. Itu hanya dusta, begitu juga hal-hal lain tentang dia.
Bajingan sialan. Secara tidak langsung aku memercayainya, jika tidak mana mungkin aku membiarkan dia berada di dekatmu. Saat ia menjemputmu kemarin, ia menempatkan seorang matamata di rumahku.” Maureen membayangkan Jean-Claude yang menawan. Penampilannya begitu berbeda, begitu ramah. Mungkinkah lelaki itu memiliki rencana untuk mencelakakannya? Sulit dipahami. Ada satu hal lain yang tidak masuk akal. Maureen berusaha melontarkan pertanyaan dengan lengkap. “Bagaimana mereka bisa tahu? Waktunya…” Roland, Sinclair, dan Tammy berpandangan satu sama lain, perasaan bersalah tersirat di wajah mereka. Tammy mengangkat tangan sebagai isyarat bahwa ia mengajukan diri untuk menjawab. “Akan kujelaskan.” Ia membungkuk di samping ranjang Maureen, lalu menengadah ke Peter untuk mengikutsertakannya dalam penjelasan. “Ini adalah bagian dari nubuat. Masih ingat jam matahari aneh di RennesleChateau? Jam itu menunjuk ke susunan astrologis seperti yang disebut dalam nubuat, peristiwa yang hanya terjadi kira-kira setiap dua puluh dua tahun, selama sekitar dua setengah hari.” Sinclair melanjutkan. “Setiap dua puluh tahun lebih, saat kesesuaian itu terjadi, penduduk setempat terus mengawasi wilayah untuk melihat apakah ada isyarat kejadian yang tidak lazim. Itulah tujuan awal dibangunnya menara baik milik Sanuiere maupun milikku sendiri. Dan di situlah aku semalam. Bahkan mestinya kau sampai tak lama setelah aku keluar. Aku terus mengawasi dari menara Folly selama beberapa jam sebelum berangkat ke RLC dan mengawasi dari sana. Itu tradisi keluargaku. “Dari Tur Magdala, aku melihat cahaya terang yang semakin jelas di cakrawala, persisnya di daerah Arques. Aku tahu, aku harus segera kembali ke tanahku sendiri. Aku menghubungi Roland dengan telepon genggam, tapi ia sudah keluar mencarimu. Kautahu, daerah di sekitar kuburan dimonitor dengan peralatan keamanan yang canggih. Dan ada sensor gerakan yang memicu alarm di jam tangan Roland. Tentu saja, dialah yang mengawasi paling seksama, karena kesesuaian astrologis dan karena Tammy telah memberi peringatan bahwa kemungkinan musuh kami telah bergerak lebih jauh ketimbang yang kami sangka. Roland langsung pergi begitu mendengar alarm dari wilayah sekitar kuburan. Ia sampai tak lama setelah kau diserang. Aku mengikuti dengan mobil, tidak jauh di belakangnya. Bisa aku katakan, penyerangmu itu…tidak merasa sebaik engkau sekarang. Dan setelah ia keluar dari rumah sakit, ia harus mengurusi tulangtulangnya yang patah di dalam penjara.” Semuanya mulai jelas bagi Maureen, setelah ia ingat bahwa menara itu tidak terkunci dan pintunya terbuka. Karena Sinclair baru saja ke sana. “Jean-Claude tahu benar tentang waktu kemunculan peristiwa itu. Karena hingga kemarin, ia termasuk kalangan dalam yang sangat kami percaya,” lanjut Sinclair. “Saat kami mengetahui keberadaanmu dan karyamu dalam dua tahun waktu kesesuaian astrologis, kami nyaris yakin bahwa waktunya telah tiba, seandainya kami bisa membawamu ke sini selama masa konfigurasi.” Peter mengajukan pertanyaan yang membuat kepala Maureen serasa dipukul lagi.
Lelaki itu menatap Tammy dengan pandangan menuduh. “Tunggu dulu. Sudah berapa lama kau mengetahui semua ini?” Sekarang giliran Tammy yang terlihat muram. Matanya memerah lantaran stres, kurang tidur, sekaligus karena air mata yang tertahan. “Maureen,” suaranya serak, tapi ia terus berbicara. “Aku mohon maaf. Aku tidak jujur padamu. Ketika pertama kali berjumpa denganmu di L.A., dua tahun lalu, aku memerhatikanmu dan cincin yang kaukenakan. Dan aku mendengarkan cerita yang kau ungkapkan dengan begitu lugu…yah, aku memang tidak melakukan tindakan apa-apa saat itu. Tapi aku berusaha terus menjalin hubungan denganmu dan mengawasi kemajuanmu. Begitu bukumu terbit, aku mengirimkan satu ke Berry. Sudah bertahuntahun kami berteman dekat, dan aku tahu apa yang ia cari. Yang kami semua cari.” Peter tidak senang mendengar pengakuan ini padahal ia mulai menyukai Tammy. Sekarang, setelah tahu bahwa Tammy memanfaatkan Maureen, perasaannya berubah. “Kau telah membohonginya selama ini.” Tammy membiarkan air matanya berjatuhan. “Dia benar. Aku menyesal. Lebih dari yang bisa aku katakan.” Roland merengkuh Tammy agar ia merasa aman, tapi Sinclairlah yang berbicara untuk membelanya. “Jangan terlalu keras menghakiminya. Kalian barang kali tidak suka dengan perbuatan Tammy. Tapi ia punya alasan. Dan Tammy telah berkorban jauh lebih banyak dibandingkan yang kalian ketahui. Dia tidak mementingkan diri sendiri, dan dia seorang pejuang sejati yang membela JalanNya.” Maureen berusaha menyatukan semuanya kebohongan, penipuan yang disengaja, tahuntahun penuh dengan nubuat dan mimpi aneh. Semuanya terlalu berat dengan kondisinya sekarang. Kekesalannya barangkali terlihat, karena Peter langsung menyela. “Sudah cukup untuk sekarang. Begitu kaupulih, mereka akan menjelaskan segala yang belum kauketahui.” Maureen diam sejenak. Tapi masih ada satu pertanyaan sangat penting yang perlu dijawab. “Kapan kita membuka peti itu?” Ia benarbenar heran karena mereka belum melakukannya. Orangorang ini telah menghabiskan banyak waktu untuk menemukan harta karun ini. Menyangkut Sinclair, sudah beberapa generasi yang menghabiskan jutaan dolar demi tujuan yang sama. Meskipun mereka memandangnya sebagai Dia Yang Dinantikan, Maureen merasa tidak pantas melihat peti itu sebelum mereka. Tapi Sinclair berkeras tak seorang pun bahkan boleh menyentuh peti sebelum Maureen siap. Dan secara pribadi, Roland selalu menjaga peti itu sepanjang malam. Ia tidur di antara pintu dan peti. “Sampai kau siap turun ke lantai bawah,” jawab Sinclair. Roland merasa gelisah. Suatu pemandangan menarik jika menyangkut orang sebesar dia. Tammy menangkap kegelisahaannya, ia bertanya dengan perasaan prihatin, “Ada
apa, Roland?” Raksasa Occitan itu berjalan mendekati Maureen. “Peti itu. Pusaka yang suci, Mademoiselle. Aku pikir…aku percaya jika kau menyentuhnya, peti itu akan menyembuhkan lukamu?” Maureen sangat tersentuh dengan keyakinan lelaki itu. Ia mengulurkan tangan dan meraih tangan Roland. “Barangkali kau benar. Coba lihat, apakah aku bisa berdiri…” Peter merasa cemas. “Apakah kau yakin sudah siap mencoba secepat ini? Koridornya cukup panjang, dan ada beberapa anak tangga.” Roland tersenyum pada Peter, kemudian pada Maureen. “Mademoiselle, kau tidak perlu berjalan.” Dan, setelah Maureen memberi isyarat bahwa ia siap, Roland mengangkat tubuhnya dari ranjang tanpa susah payah lalu menggendongnya dengan lembut keluar kamar. f Tanpa bicara, Bapa Peter Healy mengikuti raksasa yang menggendong tubuh sepupunya yang seperti boneka kain. Belum pernah ia merasa setidak berdaya ini, begitu tidak memiliki kekuatan sedikit pun dalam suatu situasi. Peter merasa Maureen sekarang berada di suatu tempat yang tidak bisa ia jangkau. Peti itu ditemukan lewat semacam campur tangan Tuhan. Peter melihatnya dalam diri Maureen, dan ia tahu yang lain pun melihat. Ada suasana magis di rumah besar itu. Sesuatu yang monumental tengah berlangsung, dan tidak seorang pun di antara mereka kuasa mengubahnya. Selain itu kondisi kesehatan Maureen. Dokter terkejut ketika pertama melihat luka di belakang kepalanya. Ia berkomentar hanya keajaibanlah yang membuatnya selamat. Peter merenungkan betapa gamblangnya keadaan berubah. Barangkali Roland benar. Sebenarnya Peter berpendapat sepupunya itu mesti dirawat di rumah sakit. Tapi Roland bukan Sinclair menentang usulan itu. Lelaki besar itu begitu mantap bahwa Maureen tidak boleh berjauhan dari peti. Hubungan Maureen dengan benda pusaka itu barangkali telah membuahkan semacam penyembuhan ilahiah, karena keselamatannya saja adalah peristiwa fenomenal. Saat mereka sudah di depan pintu ruang kerja Sinclair, Peter sadar bahwa ia mencengkeram butiran rosari di sakunya begitu kuat hingga tangannya tergores. f Peti itu tergeletak di lantai, di sebelah sofa yang mewah. Perlahan Roland membaringkan Maureen di atas bantalan sofa yang dilapisi beludru. Maureen berterima kasih dengan suara pelan. Kemudian Tammy duduk di salah satu ujung sofa, dan Peter duduk di ujung lain. Sinclair dan Roland tetap berdiri. Tak ada yang bergerak atau berbicara untuk waktu yang lama. Kesunyian itu dipecahkan oleh isak kecil Maureen. Tak ada yang bergerak saat Maureen menyorongkan tubuhnya dengan hatihati. Kedua tangannya diletakkan pada penutup peti besar itu, Maureen memejamkan mata. Air mata menetes dari pelupuk matanya, mengalir ke pipi. Akhirnya ia membuka mata dan melihat wajahwajah di sekelilingnya. “Pusaka itu ada di sini,” bisiknya. “Aku bisa merasakannya.” “Apakah kau sudah siap?” tanya Sinclair lembut.
Maureen tersenyum padanya. Senyuman tenang dan penuh makna yang mengubah wajahnya. Sejenak ia bukanlah Maureen Paschal. Ia seseorang yang berbeda total. Seorang perempuan yang dipenuhi cahaya dan kedamaian batin. Belakangan, saat Berenger Sinclair mengenang momen ini, ia berkata bahwa yang dilihatnya adalah Maria Magdalena sendiri yang sedang duduk di tempat Maureen. Maureen menoleh ke Tammy sambil tersenyum penuh kasih. Ia menjangkau tangan Tammy dan meremasnya sesaat, kemudian ia lepaskan. Dalam momen yang singkat itu, Tammy tahu bahwa ia telah dimaafkan. Mereka datang ke tempat itu untuk suatu tujuan suci, suatu kepentingan luhur. Semua yang berada di ruangan itu tahu. Pengetahuan itulah yang mengubah mereka semua, sekaligus menyatukan mereka untuk selamanya. Tammy membenamkan wajah dalam kedua tangannya lalu menangis pelan. Sinclair dan Roland berjongkok di samping peti dan memandang Maureen untuk mendapat penegasan. Ketika ia mengangguk, kedua lelaki itu mendongkrak penutup peti dengan jari, bersiap-siap karena menduga peti itu akan sulit dibuka. Namun ternyata engsel peti tidak berkarat seperti layaknya benda-benda tua. Tanpa susah payah, peti itu terbuka. Sedemikian mudahnya hingga Roland kehilangan keseimbangan. Namun tak seorang pun memerhatikan. Mereka terlalu khusyuk memandang dua toples tanah liat berukuran besar yang terjaga baik, berdiri di dalam peti. f Peter merasa gelisah di samping Maureen. Tapi dialah yang pertama kali memecah keheningan. “Toples itu keduanya nyaris sama persis dengan yang digunakan sebagai wadah Naskah Laut Mati.” Roland berjongkok di samping peti dan mengusap-usap bagian atas salah satu toples. “Sempurna,” bisiknya. Sinclair mengangguk. “Tentu saja. Dan lihatlah, tak ada debu atau erosi dan tanda usang atau lapuk. Seolah toples ini tidak terpengaruh waktu.” Roland berkomentar, “Ada sesuatu yang melapisi tutup toples.” Maureen meraba bagian atas salah satu toples, ia tersentak seolah terkena aliran listrik. “Mungkinkah lilin?” “Tunggu sebentar,” sela Peter. “Kita perlu berdiskusi sebentar. Kalau isi kedua toples ini sesuai dengan yang kalian harap dan kalian yakini, kita tidak berhak membukanya.” “Tidak? Lalu siapa?” nada suara Sinclair tajam. “Gereja? Toples ini tak akan pergi ke mana pun hingga kita semua bisa memverifikasi
isinya. Lagi pula, ruangan Vatikan adalah tempat terakhir yang kupilih untuk menyimpan toples-toples ini. Di sana, kedua benda suci ini akan disembunyikan dari dunia selama dua ribu tahun.” “Bukan itu maksudku,” kata Peter, lebih tenang dibandingkan yang sebenarnya ia rasakan. “Maksudku, jika ada dokumen dalam toples yang telah ditutup selama dua ribu tahun ini, paparan mendadak ke udara bisa membuatnya rusak, bahkan hancur. Aku hanya mengusulkan untuk mencari pihak netral barangkali lewat pemerintah Prancis untuk membuka toples. Jika kita membuatnya rusak, tak akan ada yang bisa kita tunjukkan, padahal kalian telah melakukan pencarian ini seumur hidup. Dan itu termasuk tindakan kriminal, secara harfiah dan spiritual.” Sinclair menghadapi dilema. Pikiran membuat isi toples itu rusak terlalu menakutkan untuk dibayangkan. Tapi godaan impian seumur hidup yang kini hanya tinggal beberapa sentimeter saja dari jarinya sulit ditepis, selain prasangka batinnya bahwa ada pihak luar yang terlibat dalam urusan garis darah ini. Sejenak ia tak mampu berkata-kata, sementara Roland berlutut di hadapan Maureen. “Mademoiselle,” ujarnya, “keputusan berada di tanganmu. Aku percaya, dialah yang membawamu kepada kami dan lewat kaulah dia akan memberitahukan wasiatnya kepada kami.” Maureen hendak menjawab Roland, tapi ucapannya terhenti karena gelombang rasa pusing menerpa dirinya. Berbarengan, Peter dan Tammy menjulurkan tangan untuk menopang tubuh Maureen. Semuanya menjadi gelap bagi gadis itu, tapi cuma sejenak. Kemudian segalanya menjadi jernih seperti kristal. Saat katakata itu meluncur, bunyinya seperti sebuah titah. “Buka toples itu, Roland.” Perintah itu keluar dari mulut Maureen, tapi suara yang berbicara bukanlah dia. f Dengan hatihati Sinclair dan Roland mengangkat kedua toples itu dari peti dan meletakkannya di atas meja mahogani besar. Roland menunda instruksi itu dengan satu pertanyaan. “Yang mana yang lebih dulu.” Ditopang Peter dan Tammy di kanan dan kirinya, Maureen menunjuk salah satu toples. Ia tidak bisa mengatakan mengapa ia memilih toples itu. Ia tahu begitu saja bahwa pilihan itulah yang tepat. Roland menuruti perintah Maureen. Ia menelusuri jarinya ke bibir toples. Sinclair mengambil alat antik untuk membuka surat dari meja kerjanya dan menoreh lapisan lilin. Tammy berdiri diam, terpesona, matanya tak pernah lepas dari Roland.
Peter tampak takut. Di antara mereka, dialah satusatunya orang yang tahu bagaimana mengurusi dokumen kuno dan datadata masa lampau yang tak ternilai. Potensi kerusakan fatal sangat besar. Bahkan membuat toples rusak saja bisa menjadi kesalahan yang tak terampuni. Seolah hendak menguatkan pikirannya, bunyi geri-nyitan menambah ketegangan dalam ruangan. Pisau pembuka surat itu telah melepas penutup toples pertama, sedikit menggores bibir toples. Peter mengernyit ketakutan dan menutup wajah dengan kedua tangannya. Tapi ia tidak bisa bersembunyi lama, helaan napas Maureen memaksanya untuk melihat. “Tanganku terlalu besar, Mademoiselle,” kata Roland pada Maureen. Maureen maju selangkah dengan kaki yang lemah, tangannya terulur untuk meraih toples yang sedikit rusak. Yang ia keluarkan dengan perlahan dan sangat hatihati menyerupai dua buku yang ditulis pada kertas yang tampaknya kuno dan terbuat dari linen. Tinta tulisan yang berwarna hitam tampak jelas, kontras dengan halaman halaman yang menguning. Huruf-hurufnya kecil, tegas, dan terbaca jelas. Peter menyorongkan tubuhnya ke Maureen, tak mampu menahan ketegangan yang menjadijadi memikirkan pusaka yang kini berada di atas meja di depan mereka. Ia memandang wajahwajah yang terpesona di sekelilingnya, tapi kesimpulannya ia tujukan langsung hanya kepada Maureen. Suaranya parau ketika mengatakan, “Tulisannya… bahasa Yunani.” Maureen merasa tenggorokannya tercekat. Dengan lemas ia bertanya, “Bisakah kau membacakan sedikit?” Tapi sebelum mendengar jawaban, Maureen sudah tahu. Wajah Peter menjadi pucat pasi. Semua yang hadir di ruangan itu yakin pada saat itu juga bahwa dunia seperti yang dikenal Bapa Peter Healy tidak akan sama. “Aku Maria, dijuluki Magdalena,” perlahan ia menerjemahkan. “Dan…” Peter berhenti. Bukan untuk memberi kesan dramatis, tapi karena ia sungguh tidak yakin apakah ia sanggup melanjutkan. Begitu memandang wajah Maureen ia tahu, tak ada pilihan selain terus menerjemahkan. “Akulah istri sah Yesus, dijuluki sang mesias, yang adalah putra agung dari keluarga Daud.” Enam Belas Chateau des Pommes Bleues 28 Juni 2005 Peter menerjemahkan naskah itu semalaman. Maureen menolak meninggalkan ruangan, hanya beristirahat sewaktu-waktu di sofa beludru. Roland telah membawakan bantal ekstra dan selembar seprai. Maureen tersenyum untuk menenangkan lelaki yang sibuk mengurusinya lantaran merasa khawatir itu. Anehnya, Maureen merasa baikbaik saja. Kepalanya sudah tidak terlalu sakit, dan ia merasa luar biasa kuat. Maureen duduk di sofa karena tidak ingin mengganggu Peter. Sinclair sudah cukup
mewakili mereka semua untuk hal ini. Tapi tampaknya Peter sama sekali tidak peduli. Maureen berpikir barangkali ia bahkan tidak menyadari kehadiran orangorang di sekitarnya. Ia begitu larut, sepenuhnya hanyut dalam tugas sucinya sebagai penulis. Tammy datang sewaktu-waktu untuk melihat perkembangan. Ia berpamitan saat malam telah larut, ber barengan dengan Roland. Maureen mengawasi keduanya seharian itu dan menyimpulkan bahwa kebersamaan mereka bukanlah kebetulan. Pikirannya melayang ke malam saat pesta berlangsung, ketika ia mendengar suara Tammy di koridor luar kamarnya, ditemani seorang lelaki yang berbicara dengan aksen tertentu. Tammy dan Roland. Pasti ada sesuatu di antara mereka berdua, tapi sepertinya masih baru. Maureen menduga mereka belum terlalu lama berhubungan. Jika situasi sudah tenang, ia akan meminta Tammy bercerita. Ia ingin mengetahui segala fakta tentang hubungan-hubungan yang terjalin di Chateau des Pommes Bleues. Perhatiannya segera kembali ke naskah saat mendengar teriakan keras Sinclair, “Ya, Tuhan! Coba kalian lihat ini!” Ia sedang berdiri dengan gugup di sebelah Peter, mengawasi. Peter membuat tulisan asalasalan di atas kertas berwarna kuning, yakni terjemahan kasar dari bahasa Yunani. Tulisan itu tidak bisa langsung dipahami. Peter masih harus menyalin seluruh isi naskah, baru kemudian kembali ke tulisan itu dan memanfaatkan keahlian bahasanya untuk memoles kalimat-kalimat itu ke dalam format yang sesuai dengan perspektif abad 21. “Ada apa?” tanya Maureen. Peter menengadah dan mengusap wajahnya. “Kau harus melihat. Ke marilah, jika kau bisa. Aku tidak berani memindahkan naskah ini.” Perlahan Maureen berdiri dari sofa, masih sadar akan luka di kepalanya meski proses kesembuhannya benarbenar ajaib. Ia berjalan mendekati meja lalu mengambil tempat di sebelah kanan Peter yang tengah duduk menghadapi berbagai catatan yang berserakan. Sinclair menunjuk ke naskah asli saat Peter menjelaskan. “Ini muncul di bagian akhir tiap segmen utama, kita sebut saja bab. Tampaknya seperti stempel lilin.” Maureen mengikuti arah jari Sinclair yang menunjuk suatu simbol. Pola yang sama dengan cincinnya itu kini tidak asing lagi baginya, sembilan lingkaran mengelilingi lingkaran pusat kesepuluh tertera di bagian bawah halaman. “Stempel pribadi Maria Magdalena,” ujar Sinclair takjub. Maureen mengangkat cincinnya ke gambar itu. Keduanya sama persis. Bahkan boleh jadi gambar itu dibuat dengan cincin yang sama. f Ketika matahari terbit di Chateau des Pommes Bleues, sebagian besar kitab pertama, kisah kehidupan Maria Magdalena dari sumber langsungnya, telah diterjemahkan. Peter bekerja seperti seseorang yang hidup dalam injil Magdalena ini, menyatu dalam tiap halamannya. Sinclair telah membawakan teh untuknya, tapi ia tak mau berhenti kecuali rehat singkat untuk menghirup minuman itu beberapa tegukan saja. Wajahnya terlihat sangat pucat, Maureen merasa khawatir.
“Kau harus beristirahat, Pete. Kau harus tidur setidaknya satu-dua jam.” “Tidak,” kata Peter serius. “Aku tidak bisa. Aku tidak bisa berhenti sekarang. Kau tidak paham karena belum melihat apa yang kulihat. Aku harus terus menerjemahkan. Aku harus tahu apa lagi yang akan ia katakan.” Mereka semua memutuskan untuk menunggu sampai Peter merasa puas dengan terjemahannya sebelum ia membacakan kepada mereka. Semuanya menghormati kemampuan Peter dan sadar bahwa tanggung jawab besar berada di pundaknya. Tapi tetap saja, menunggu bukanlah persoalan enteng. Pada saat itu, hanya Peter yang tahu isi naskah. “Aku tidak bisa meninggalkan naskah-naskah ini,” lanjut Peter, matanya memancarkan gairah yang belum pernah dilihat Maureen. “Lima menit saja. Keluarlah bersamaku selama lima menit. Kita berjalan-jalan di udara pagi. Ini baik untukmu. Lalu kau bisa masuk kembali dan kami akan membawakan sarapanmu ke sini.” “Tidak, jangan membawakan makanan. Aku harus berpuasa sampai penerjemahan ini selesai. Aku tidak bisa berhenti sekarang.” Sinclair merasa bisa memahami perasaan Peter, tapi ia juga melihat fisik lelaki itu semakin lemah. Sinclair mencoba taktik lain. “Bapa Healy, kau sedang mengerjakan tugas yang mulia. Tapi keakuratan pekerjaanmu bisa rusak jika kau terlalu lelah. Aku akan memanggil Roland untuk menjaga naskah naskah ini sementara kau beristirahat.” Sinclair menekan bel untuk memanggil Roland. Peter memandang wajah Maureen yang cemas. “Baiklah,” ia mengalah. “Lima menit, untuk menghirup udara segar.” f Sinclair membuka gerbang menuju Taman Trinitas lalu Maureen masuk bersama Peter. Seekor merpati terbang di atas barisan tanaman mawar sementara pancuran Maria Magdalena bergelegak di tengah cahaya pagi. Peter yang lebih dulu bicara, suaranya lembut dan penuh kekaguman. “Apa yang terjadi, Maureen? Bagaimana kita bisa sampai di sini, menjadi bagian semua ini? Rasanya seperti mimpi, seperti… sebuah keajaiban. Apakah semua ini terasa nyata bagimu?” Maureen mengangguk. “Ya, aku tak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi aku merasakan semacam ketenangan.
Seolah peristiwa ini terjadi sesuai dengan rencana. Dan kau sama terlibatnya seperti aku, Pete. Bahwa kau datang ke sini bersamaku bukanlah kebetulan, atau bahwa kau mengajar bahasa kuno dan bisa menerjemahkan bahasa Yunani. Semua ini… telah diatur.” “Aku memang merasa menjadi bagian dalam suatu rencana mahabesar. Tapi aku tidak tahu bagian mana, atau mengapa aku.” Maureen berhenti untuk mencium sekuntum mawar merah cantik yang telah mekar sempurna. Lalu ia menoleh kembali ke Peter. “Berapa lama semua ini berlangsung? Apakah rencana itu sudah dibuat sebelum kita lahir? Dulu sekali? Apakah kakekmu ditakdirkan bekerja di perpustakaan Nag Hammadi agar kau siap untuk peristiwa ini? Ataukah kejadian ini telah direncanakan dua ribu tahun lalu ketika Maria menyembunyikan injilnya?” Peter diam sejenak sebelum menjawab. “Kautahu, sebelum semalam aku akan memberikan jawaban yang jauh berbeda dengan jawabanku sekarang.” “Mengapa?” “Karena dia, dan kata-katanya dalam naskah itu. Ia mengatakan persis seperti yang baru saja kau ucapkan ini mengagumkan. Ia mengatakan bahwa sebagian hal telah tertulis dalam rencana Tuhan, bahwa sebagian orang di takdirkan memainkan suatu peran. Maureen, ini menakjubkan. Aku membaca kisah Yesus dan rasul rasulnya dari sumber langsung yang mengungkapkan semua itu dalam bahasa yang dipahami manusia. Tak ada yang serupa dengan…” ia ragu-ragu sejenak untuk menggunakan kata itu-“…/n;// ini dalam literatur mana pun yang dimiliki Gereja. Aku merasa tidak layak.” “Kau layak,” Maureen meyakinkan Peter sungguh-sungguh. “Kau dipilih untuk melakukan tugas ini. Lihatlah betapa besar campur tangan Tuhan untuk membawa kita bersamasama, ke tempat ini dan pada waktu sekarang ini, untuk menceritakan kisah ini.” “Tapi kisah apa yang kita ceritakan?” Peter tampak tersiksa, dan untuk pertama kalinya Maureen menyaksikan lelaki ini bergumul dengan semacam iblis batin yang sangat kuat. “Kisah apa yang aku ceritakan? Jika i n j i Ii n j i I ini otentik…” Maureen menghentikan langkahnya dan memandang Peter dengan tatapan tak percaya. “Bagaimana kau bisa sangsi? Setelah segala kejadian yang membuat kita sampai ke sini, ke tempat ini?” Maureen menyentuh belakang kepalanya yang beberapa waktu lalu terluka parah dan sekarang dalam proses penyembuhan. “Bagiku, ini persoalan keimanan, Maureen. Naskah itu terjaga dengan sempurna, tak ada kerusakan, tak ada kata yang hilang. Toples-toples itu bahkan tidak kotor sama sekali. Bagaimana bisa? Hanya ada dua kemungkinan: pemalsuan era modern atau kehendak ilahi.” “Menurutmu yang mana?” “Aku menghabiskan waktu dua puluh jam penuh untuk menerjemahkan dokumen yang paling menakjubkan. Dan kebanyakan yang kubaca pada dasarnya adalah…bidah, tapi juga
memberikan suatu visi Yesus yang indah dengan cara yang luar biasa dan manusiawi. Tapi pendapatku tidak penting. Naskah-naskah itu masih harus ditentukan keasliannya lewat proses seksama agar dunia luas menerimanya.” Peter terdiam, memanfaatkan waktu untuk berdamai dengan segala yang berkecamuk dalam kepalanya. “Jika terbukti otentik, naskah-naskah itu akan menantang sistem keyakinan sebagian besar umat manusia selama dua ribu tahun terakhir. Juga menantang segala ajaran yang pernah aku terima, segala yang pernah aku yakini.” Maureen cukup lama memandang lelaki itu, sepupu sekaligus sahabat terdekatnya. Ia mengenal Peter sebagai batu, sebagai pilar kekuatan dan integritas yang mutlak. Peter juga seorang lelaki dengan keimanan dan kesetiaan kokoh terhadap Gereja. Maureen bertanya singkat, “Apa yang akan kau lakukan?” “Aku belum sempat berpikir sejauh itu. Aku harus melihat dulu isi naskah selebihnya untuk mengetahui seberapa besar kontradiksinya, atau mudah mudahan peneguhan, dengan kisahkisah injil sebagaimana yang kita ketahui. Aku belum sampai ke deskripsi Maria tentang peristiwa penyaliban atau kebangkitan.” Maureen tibatiba saja paham mengapa Peter begitu enggan meninggalkan naskah sebelum ia selesai menerjemahkan. Pengakuan keotentikan penuturan Maria Magdalena tentang peristiwa-peristiwa sesudah penyaliban boleh jadi sangat berdampak terhadap sistem keyakinan yang dianut sepertiga populasi bumi. Ajaran Kristen menjadikan pemahaman bahwa Yesus bangkit dari kematian di hari ketiga sebagai landasan. Dan karena Maria Magdalena adalah saksi utama kebangkitannya, menurut uraian Injil, maka penuturan peristiwa-peristiwa itu dari versinya sendiri bersifat vital. Semasa melakukan riset, Maureen menjadi tahu bahwa para teoretikus yang telah membuat tulisan tentang Maria Magdalena sebagai istri Yesus secara berlebihan juga membuat pernyataan bahwa Yesus bukanlah putra Tuhan dan tidak bangkit dari kematian. Ada berbagai hipotesis tentang kehidupan Yesus setelah penyaliban. Teori yang cukup umum menyatakan bahwa tubuh fisiknya dipindahkan oleh para pengikutnya. Tapi tak ada yang berteori bahwa Yesus menikah dan menjadi Putra Tuhan. Dengan alasan tertentu, kedua kondisi itu selalu dianggap saling eksklusif, tidak bisa berlaku dua-duanya. Barangkali itulah alasannya mengapa keberadaan Maria sebagai rasul pertama selama ini dianggap sangat mengancam Gereja. Tidak diragukan, semua gagasan ini berkecamuk dalam benak Peter dalam beberapa jam terakhir yang menegangkan ini. Akhirnya ia menjawab pertanyaan Maureen. “Tergantung keputusan resmi yang dikeluarkan Gereja.” “Dan bagaimana jika mereka menyangkal isi naskah? Lalu apa? Apakah kau memilih lembaga Gereja, atau kau memilih sesuatu yang kau ketahui dalam hatimu sebagai kebenaran?” “Kuharap kedua kondisi itu tidak saling eksklusif,” kata Peter dengan senyum getir. “Barangkali aku terlalu optimis. Tapi jika itu terjadi, yah, maka waktunya akan tiba.”
“Waktu untuk apa?” “Eiigere magistrum. Untuk memilih sang pemimpin.” f Mereka telah selesai berjalan-jalan dan kembali ke chateau. Maureen meyakinkan Peter untuk, paling tidak, mandi untuk menyegarkan diri sebelum kembali ke tugasnya. Maureen kembali ke kamarnya untuk mencuci muka dan menyatukan pikiran-pikirannya. Kelelahan menyerang, tapi ia tidak boleh menyerah, tidak sekarang. Tidak sampai ia tahu isi naskah itu selengkapnya. Saat Maureen mengeringkan wajah dengan handuk merah yang mewah, terdengar ketukan di pintu. Tammy menerobos masuk. “Selamat pagi. Apakah aku ketinggalan informasi?” “Tidak. Peter akan membacakan kitab pertama pada kita begitu ia rasa terjemahannya telah siap. Ia mengatakan isinya menakjubkan, tapi cuma itu yang aku ketahui.” “Di mana dia sekarang?” “Di kamarnya sedang beristirahat sejenak. Ia tidak mau meninggalkan naskahnaskah itu, tapi kami mendesaknya. Ia merasa resah meski tidak mengakuinya terang-terangan. Tanggung jawab di pundaknya sangat besar. Barangkali bahkan kewajiban yang luar biasa besar.” Tammy duduk di ujung ranjang Maureen. “Kautahu apa yang membuatku heran? Mengapa gagasan ini membuat orangorang begitu terusik, gagasan bahwa Yesus menikah dan memiliki beberapa orang anak? Mengapa kondisi itu menihilkan dia atau pesannya? Mengapa umat Kristen merasa terancam dengan hal ini?” Tammy terus berbicara dengan bergairah. Jelaslah persoalan ini telah menjadi bahan pemikirannya. “Bagaimana dengan ayat terkenal dari Injil Markus, ayat yang dibaca dalam upacara pernikahan? ‘Pada awalnya Tuhan menjadikan mereka lelaki dan perempuan dan karena ini seorang lelaki akan meninggalkan ibu dan ayahnya dan berpasangan dengan istrinya. Dan keduanya akan menjadi satu tubuh, sehingga mereka tidak lagi dua melainkan satu.’” Maureen mengawasi Tammy dengan heran. “Aku tidak menyangka akan mendengar kutipan Injil darimu dengan begitu akurat.” Tammy mengedipkan mata. “Markus, bab sepuluh, a-yat enam sampai delapan. Selama ini orang menyerang kita dengan Injil untuk menguji dan menyingkirkan peran penting Maria. Jadi aku mengabdikan diri untuk mencari ayat-ayat yang mendukung keyakinan kita. Dan itulah khotbah Yesus yang tercatat dalam Injil. Carilah seorang istri dan hiduplah bersamanya. Jadi mengapa ia berkhotbah tentang sesuatu yang kemudian menjadi keliru jika ia sendiri yang melakukannya?” Maureen mendengarkan dan memikirkan pertanyaan Tammy dengan seksama. “Pertanyaan
bagus. Bagiku, gagasan bahwa Yesus menikah membuatnya tampak lebih dekat.” Tammy belum selesai. “Dan Tuhan disebut sebagai bapak, lalu mengapa Kristus, sebagai putra Tuhan, tidak boleh menirukan citra ini, sebagai bapak dari anakanak? Bagaimana hal itu memengaruhi keilahiannya? Aku tidak mengerti sama sekali.” Maureen menggelengkan kepala. Ia juga tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan sebesar itu. “Aku rasa itulah pertanyaan utama yang harus dijawab Gereja, dan individu sesuai dengan keimanannya.” f Saat malam menjelang, Peter menyatakan telah selesai menerjemahkan kitab pertama. Sinclair bangkit dari tempat duduknya. “Apakah kau siap menerjemahkan pada kami, Bapa? Jika ya, aku akan memanggil Roland dan Tamara. Mereka juga menjadi bagian seperti kita.” Peter mengangguk. “Ya, panggillah mereka.” Lalu ia menatap lurus ke Maureen, sorot matanya sulit ditafsirkan, perpaduan antara suram dan terang. “Karena sekaranglah waktunya.” Tammy dan Roland bergegas masuk, bergabung dengan yang lainnya di ruang kerja Sinclair. Setelah semuanya berkumpul mengelilingi Peter, ia menjelaskan bahwa masih ada kekurangan yang membutuhkan waktu dan beberapa pendapat pakar lain. Tapi secara keseluruhan, ia telah menghasilkan penerjemahan yang padu dan suatu pemahaman tentang siapa sesungguhnya Maria, dan apa perannya dalam kehidupan Yesus Kristus. “Ia menamai naskah ini Kitab Masa Besar.” Bapa Healy mengangkat setumpuk kertas catatan berwarna kuning lalu mulai membaca dengan suara lembut kepada para pendengarnya. “‘Aku Maria, dijuluki Magdalena, putri suku agung Benjamin dan anak perempuan dari kota Nazaret. Akulah istri sah Yesus, Sang Mesias JalanNya, yang adalah putra agung keluarga Daud dan keturunan kasta saleh Harun. Banyak tulisan tentang kami dan akan lebih banyak lagi di waktu mendatang. Banyak yang menulis tentang kami tanpa pengetahuan akan kebenaran dan tidak menyaksikan Masa Besar. Katakata yang kutuangkan dalam halaman-halaman ini adalah kebenaran di hadapan Tuhan. Inilah kisah hidupku, selama Masa Besar, Masa Kegelapan, dan masa-masa sesudahnya. Kutinggalkan katakata ini untuk anakanak masa depan, agar ketika waktunya tiba, mereka bisa menemukan ucapanku ini dan mengetahui fakta tentang orangorang yang memimpin JalanNya.”
Kisah kehidupan Maria Magdalena tergelar di hadapan mereka dengan rincian yang menakjubkan dan tidak dinyana. Tujuh Belas Galilee i 26 M Tanah terasa lunak dan dingin di antara jemari kaki Maria. Ia menunduk melihat kakinya, sadar bahwa kaki yang telanjang itu benarbenar kotor. Tapi ia tidak peduli sama sekali. Lagi pula, kondisi itu justru serasi dengan keseluruhan penampilannya hari ini. Rambut panjangnya yang cokelat kemerahan dan mengilap terurai lepas ke pinggang, tidak diikat dan acakacakan. Gaunnya longgar, tanpa ikat pinggang. Sebelumnya, saat berusaha menyelinap keluar rumah, ia tertangkap basah oleh Martha yang lalu menggerutu. “Kaupikir, kau mau ke mana dengan penampilan seperti itu?” Maria tertawa kecil, tidak kesal sama sekali lantaran tertangkap basah saat berusaha melarikan diri. “Aku hanya ingin ke kebun. Dan kebun itu dikelilingi tembok. Tak ada yang akan melihatku.” Martha tampak sangsi. “Tidak pantas seorang wani— 1 Wilayah Palestina utara yang dulu berada di bawah kekuasaan bangsa Romawi. ta dengan derajat dan status sepertimu berlarian di tanah kotor seperti gadis pelayan yang tidak beralas kaki.” Gerutuan Martha lebih merupakan rutinitas alih-alih sesuatu yang baru. Dia sudah terbiasa dengan watak adik iparnya yang berjiwa bebas. Maria adalah makhluk Tuhan yang mengagumkan dan lain daripada yang lain, dan Martha sangat mencintainya. Lagi pula, gadis itu tidak memiliki banyak kesempatan untuk memanjakan diri. Kehidupannya dibayangi tanggung jawab, dan kebanyakan waktu ia mengemban fakta itu dengan anggun dan berani. Pada hari ketika Maria memiliki waktu luang, dan ini sangat jarang, ia berjalan-jalan di kebun. Tidak adil rasanya mencabut kesenangan kecil itu darinya. “Kakakmu akan kembali sebelum matahari terbenam,” Martha mengingatkan dengan memberi penekanan. “Aku tahu. Jangan cemas, ia tidak akan melihatku. Dan aku akan kembali tepat waktu untuk membantumu menyiapkan makanan.” Gadis muda itu mendaratkan ciuman ke pipi istri kakaknya lalu berlari keluar untuk menikmati waktu kesendirian di kebun. Martha mengawasi kepergiannya dengan senyuman sedih. Maria begitu mungil dan rapuh, mudah sekali memperlakukan dia sebagai seorang anak. Tapi ia bukan anak kecil lagi, Martha mengingatkan dirinya sendiri. Sekarang dia adalah gadis muda yang sudah pantas menikah, seorang wanita yang sangat sadar akan takdirnya yang agung dan sangat penting. Tapi Maria tidak memikirkan takdirnya ketika ia memasuki kebun. Masih banyak waktu untuk memikirkan hal itu besok. Diangkatnya kepalanya begitu aroma Oktober bercampur embusan angin dari Laut Galilee memenuhi hidungnya. Gunung Arbei menjulang di sebelah barat laut, kuat dan memberi ketenangan di bawah matahari siang. Ia selalu menganggapnya sebagai
gunungnya sendiri, tumpukan keras tanah merah yang subur dan berdiri bersebelahan dengan tanah kelahirannya. Dan ia sangat rindu dengan tempat itu. Belakangan ini keluarganya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah mereka yang lain, di Bethany, karena lokasinya yang berdekatan dengan Yerusalem sangat penting bagi pekerjaan kakaknya. Tapi Maria mencintai keindahan alam liar Galilee dan sangat gembira ketika kakaknya memberitahu bahwa mereka akan menghabiskan musim gugur di sini. Inilah waktu yang paling ia sukai. Momen-momen saat ia sendirian, dikelilingi bunga-bunga liar dan pepohonan zaitun. Kesendirian menjadi sesuatu yang semakin langka. Maria berusaha menikmati tiap detik dari kesempatan yang ia curi ini. Di sini, ia bisa benarbenar menikmati keindahan Tuhan dengan tenang, tak terikat aturan ketat menyangkut pakaian dan tradisi yang menjadi bagian tak terpisah dari status kehidupannya. Sang kakak pernah mendapati Maria di sini dan bertanya apa yang dilakukannya selama “menghilang” dari rumah. “Tidak ada! Benarbenar tidak ada!” Sorot mata Lazarus yang tadinya tajam kini melembut. Ia marah karena adiknya tidak muncul saat makan malam, kemarahan yang lahir dari kekhawatiran. Perhatiannya terhadap sang adik lebih dari sekadar terhadap saudara kandung. Ia sangat memerhatikan adik kecilnya yang cantik dan cerdas, tapi ia juga pelindung Maria. Kesehatan dan kenyamanan Maria menjadi prioritas utamanya. Dengan cara apa pun, Maria harus dilindungi. Ini adalah tugas suci baginya, baik terhadap keluarga, masyarakat, maupun Tuhannya. Ketika ia muncul, sang adik tengah terbaring di rumput dengan mata terpejam, tidak bergerak sedikit pun. Pemandangan ini membuatnya sangat takut. Tapi Maria bergerak, seolah mencium kepanikannya. Sembari menutupi matanya yang mengantuk dari sinar matahari, ia memandang wajah kakaknya yang murka. Sang kakak memang marah besar. Kemarahan Lazarus reda begitu mendengar ucapan sang adik. Untuk pertama kalinya, ia paham betapa adiknya sangat membutuhkan kesempatan untuk bisa menyendiri, suatu kesempatan yang langka. Sebagai anak perempuan satusatunya dari garis keturunan Benjamin, masa depannya telah ditentukan sejak ia masih bayi. Ia menyandang takdir istimewa dari darah dan nubuat suci. Yakni pernikahan agung, sesuatu yang telah diramalkan oleh para rasul besar Israel suatu pernikahan yang diyakini banyak orang sebagai tak kurang dari kehendak mutlak Tuhan. Beban yang terlalu besar untuk bahu semungil itu, pikir Lazarus saat ia mendengarkan penjelasan adiknya. Maria berbicara dengan sikap yang biasanya tidak ia lakukan, terbuka dan disertai emosi. Ini membuat sang kakak sadar, sekaligus merasa bersalah, bahwa Maria merasa takut dengan peran yang telah ditentukan baginya dalam sejarah. Aneh memang, tapi ia jarang mengizinkan dirinya menganggap sang adik sebagai manusia seutuhnya. Maria adalah makhluk yang sangat berharga, harus dilindungi dan diayomi. Lazarus memandang semua tugas ini dengan sangat hatihati dan melaksanakannya dengan bangga. Tapi ia juga mencintai sang adik meski baru setelah bertemu istrinya, Martha, ia membolehkan dirinya untuk benarbenar menyadari hal itu, atau merasakan emosi semacam itu.
Lazarus masih sangat belia ketika ayahnya meninggal. Barangkali terlalu muda untuk mengemban tanggung jawab besar keluarga, selain tanggung jawabnya sendiri sebagai seorang tuan tanah. Tapi pemuda ini sudah bersumpah menjelang ayahnya meninggal bahwa ia tidak akan membuat keluarga Benjamin kecewa. Ia tidak akan mengecewakan kaumnya dan Tuhan bangsa Israel. Dengan tekad bulat, Lazarus mengemban berbagai tanggung jawab. Yang teratas adalah menjaga adiknya, Maria. Kehidupannya sarat dengan tugas dan tanggung jawab. Lazarus pula yang mengatur pendidikan dan pengasuhan adiknya agar sesuai dengan takdirnya yang mulia. Tapi ia tidak mengizinkan dirinya sendiri merasakan apa pun. Emosi adalah kemewahan, dan tidak jarang berbahaya. Untungnya Tuhan mengirimkan Martha kepadanya. Ia sulung dari tiga bersaudara dari Bethany yang lahir dari salah satu keluarga Israel yang terhormat. Pada dasarnya pernikahan itu sudah diatur, meski Lazarus diberi kesempatan untuk memilih satu di antara tiga gadis. Pada awalnya ia memilih Martha karena alasan praktis. Sebagai putri sulung, ia bijaksana dan bertanggung jawab, di samping memiliki pengalaman yang lebih banyak dalam hal mengatur rumah tangga. Kedua adiknya kurang bijaksana dan sedikit manja. Lazarus cemas kalau-kalau mereka membawa pengaruh negatif terhadap adiknya. Ketiga gadis itu cantik, tapi kecantikan Martha lebih menenangkan. Ia memberi efek menenteramkan bagi Lazarus. Pasangan praktis itu menjadi pasangan yang saling mencintai, Martha telah membuka hati Lazarus. Ketika ibu Lazarus meninggal secara mendadak, meninggalkan Maria yang masih memerlukan pengasuhan, Martha melangkah masuk dan mengambil peran itu tanpa kesulitan. Maria sedang memikirkan Martha ketika ia berhenti untuk beristirahat di bawah naungan pohon kesukaannya. Besok, imam besar Jonathan Annas akan datang dan persiapan pernikahan dimulai. Tak akan ada lagi kesempatan menyelinap tanpa kawalan untuk waktu yang sangat lama. Jadi Maria memilih memanfaatkan momen ini sebaik-baiknya. Memang, seperti yang mereka semua ketahui, waktunya akan tiba. Waktu, saat ia dipaksa meninggalkan rumah yang sangat ia cintai untuk pergi ke wilayah selatan bersama suaminya kelak. Suami! Easa. Memikirkan lelaki yang adalah tunangannya itu saja membuat hatinya merasa hangat. Wanita mana pun pasti iri dengan kedudukannya sebagai calon ratu bagi raja mereka. Tapi ada sesuatu yang lebih dari sekadar kedudukan yang membuat Maria merasa senang. Yaitu lelaki itu sendiri. Orangorang memanggilnya Yeshua, putra sulung dan keturunan keluarga Daud. Tapi Maria memanggilnya dengan nama masa kecilnya, Easa. Ini membuat kakaknya dan Martha merasa malu. “Tidak pantas memanggil calon raja kita dan pemimpin yang telah terpilih dengan panggilan masa kecilnya, Maria,” tegur Lazarus saat terakhir kali Easa berkunjung. “Pantas untuknya,” jawab sebuah suara yang lembut dan dalam yang segera menarik perhatian. Lazarus langsung terdiam. Ia menoleh ke belakang dan melihat sang Putra Singa sendiri, Yeshua, berdiri di sana. “Maria telah mengenalku sejak aku masih kecil, dan dia selalu memanggilku Easa. Aku tak akan mengubahnya dengan alasan apa pun.” Lazarus terlihat malu sampai Easa menyelamatkan suasana dengan senyumnya. Ada
kesan magis dalam ekspresi itu. Suatu kehangatan yang mampu mengubah suasana dan mustahil ditahan. Sisa malam itu berjalan luar biasa, dipenuhi orangorang yang paling dicintai Maria, berkumpul mengelilingi Easa dan mendengarkan kearifannya. Sembari berbaring di bawah naungan dua pohon zaitun yang besar, Maria tertidur di bawah mentari siang. Bayangan akan calon suaminya hadir menyertainya. f Saat Maria merasa ada bayangan menutupi wajahnya, ia menjadi panik dan menduga ia telah terlalu lama tidur. Hari sudah gelap! Lazarus pasti marah. Tapi saat ia menggelengkan kepala untuk menghilangkan kantuk, ia sadar hari masih siang. Matahari bersinar terang di atas Gunung Arbei. Maria mendongak untuk melihat benda apa yang menimbulkan bayangan di wajahnya. Ia terperangah, sesaat tak mampu bergerak sebelum berdiri, dengan segala keceriaan seorang gadis belia yang tengah kasmaran, melihat sosok di hadapannya. “Easa!” pekiknya senang. Lelaki itu merentangkan tangannya dan merengkuh Maria dengan pelukan hangat sesaat sebelum ia sedikit mundur untuk melihat wajah cantik gadis itu. “Merpati kecilku,” katanya, menggunakan julukan yang ia berikan kepada Maria saat masih kecil. “Mungkinkah kau bertambah cantik setiap hari?” “Easa! Aku tidak tahu kau akan datang. Tak ada yang memberitahu…” “Mereka tidak tahu. Ini juga kejutan buat mereka. Tapi persiapan pernikahanku berjalan tanpa kehadiranku.” Ia kepada Maria lagi. Maria memandangi sosok itu sejenak, diimbangi tulang pipi yang tegas. Dialah lelaki paling lihat, bahkan lelaki paling tampan di dunia.
aku tidak bisa membiarkan menyunggingkan senyuman sepasang mata gelap tampan yang pernah Maria
“Tapi kata kakakku tidak aman jika kau menjumpaiku di sini sekarang.” “Kakakmu lelaki hebat yang terlalu khawatir,” kata Easa menenangkan. “Tuhan akan memberi dan melindungi.” Saat Easa berbicara, Maria menunduk dan sadar betapa kacau penampilannya. Rambutnya yang panjang hingga ke pinggang acakacakan dan penuh dengan helaian rumput dan daun kering, serasi dengan kakinya yang telanjang dan berdebu. Pada saat seperti ini, ia sangat jauh dari gambaran seorang calon ratu. Maria memohon maaf atas penampilannya yang kurang pantas, tapi Easa memotong dengan tawa cerianya. “Jangan cemas, Merpatiku. Engkaulah alasanku ke sini, bukan pakaian, bukan pula penampilanmu.” Ia mengulurkan tangan dan mengambil daun dari rambutnya dengan lagak menggoda. Maria tersenyum padanya, merapikan pakaian, dan membersihkan kotoran yang menempel. “Kakakku tidak boleh melihatku dalam keadaan seperti ini,” kata Maria dengan mimik cemas.
Lazarus sangat ketat dalam hal protokol dan kehormatan. Ia pasti marah besar jika mengetahui adiknya sekarang berada di kebun, tak didampingi, berpenampilan tak pantas di hadapan calon raja dari garis Daud pula. “Aku akan mengatasi Lazarus,” kata Easa menenangkan. “Tapi sekadar berjaga-jaga, bagaimana jika kaumasuk ke dalam dan berpura-pura tidak bertemu denganku. Aku akan keluar lewat belakang dan kembali malam ini setelah memberi informasi bahwa aku akan datang. Dengan begitu, baik kakakmu maupun Martha tidak akan terkejut.” “Baiklah, aku akan bertemu denganmu malam ini,” jawab Maria, mendadak merasa malu. Ia merasa canggung sejenak, lalu menuju rumahnya. “Pura-pura kaget, ya,” teriak Easa, menyaksikan calon istrinya berlari melewati kebun. f Siang itu, dan malam yang menyertainya, memberi kenangan yang tak akan dilupakan Maria seumur hidup. Itulah kali terakhir ia tahu bagaimana rasanya hidup bebas, belia, kasmaran, dan bahagia. Jonathan Annas datang keesokan hari, tapi dengan agenda baru. Iklim politik dan spiritual di Yerusalem menunjukkan situasi yang semakin tidak stabil sehingga rencana diubah untuk mengantisipasi ancaman yang kian hebat dari Roma. Para imam telah memilih seorang pemimpin baru lewat dewan rahasia. Dewan ini menganggap Yeshua tidak pantas mengemban tugas sebagai seorang yang dipilih. Para anggota dewan telah menghadap Annas untuk melaporkan kesimpulan mereka. Saat tamu akan datang, Martha menyuruh Maria keluar dari ruangan, tapi ia menolak berada jauh-jauh sementara masa depannya tengah didiskusikan oleh orangorang yang paling berpengaruh. Easa tersenyum padanya untuk menguatkan hati. Tapi Maria menangkap sesuatu dalam sorot mata Easa yang membuatnya takut. Ketidakpastian. Ia tidak pernah melihat Easa tampak tidak yakin sebelumnya, tapi sekarang ia melihatnya dan itu membuatnya luar biasa takut. Bertentangan dengan perintah Martha, Maria bersembunyi di lorong ruangan dan menguping. Terdengar suarasuara meninggi, sebagian berteriak, sebagian saling mengemukakan pendapat. Sering kali sulit mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan. Suara yang tegas, keras, dan kasar itu milik Jonathan Annas. “Kau sendiri yang menimbulkan persoalan ini dengan berdamai dengan kaum Zelot.z Orangorang Romawi tak akan membiarkan kami menunjukkan kedekatan sekecil apa pun denganmu lantaran adanya pembunuh gelap dan pelaku revolusi di antara para pendukungmu. Itu sama saja mengundang penjagal.” Suara yang tenang berirama setelah itu adalah suara Easa. “Aku menerima siapa pun yang memilih untuk mengikutiku dan menginginkan kerajaan Tuhan. Kaum Zelot 2 Anggota aliran fanatik di Vudea pada abad pertama masehi yang mengadakan perlawanan bersenjata menentang pendudukan Romawi.
mengakui bahwa aku keturunan Daud. Akulah pemimpin mereka yang sah. Juga kalian.” “Kau tidak paham siapa yang kita hadapi,” Annas menjawab dengan bentakan. “Pontius Pilatus, gubernur baru, adalah seorang barbar. Ia akan menumpahkan darah sebanyak apa pun untuk membungkam tuntutan kita yang paling dasar sekalipun. Ia mengibarkan bendera pagan di jalanjalan kita, mengecap uang logam kita dengan stempel yang menghina Tuhan, dan semua ini ia lakukan untuk membuka mata kita bahwa kita tidak berdaya melawan dia. Dia tidak akan ragu menyingkirkan siapa pun di antara kita di sini jika ia rasa kita mendukung pemberontak Rumah Tuhan yang menentang Romawi.” “Penguasa Romawi akan mendukung kita,” kata Easa. “Barangkali ia bersedia menengahi dengan gubernur baru.” Annas menukas. “Herod Antipas tidak mendukung apa pun selain nafsu dan kesenangannya sendiri. Roma telah membanjirinya dengan emas. Ia hanya menjadi Yahudi jika ada kasus yang mendukung ambisinya saja.” “Istrinya seorang Nasrani,” kata Easa. Komentar ini disambut dengan diam. Easa mengembangkan ajaranajaran liberal orang Nasrani. Ibunya adalah pemimpin kaum ini. Orangorang Nasrani tidak menerapkan hukum yang diberlakukan Rumah Tuhan bangsa Yahudi secara ketat. Di antara tradisi mereka yang berbeda adalah mereka menyertakan wanita dalam ritualritual, bahkan mengakui wanita sebagai rasul. Mereka juga membolehkan orangorang yang bukan Yahudi untuk mendengarkan ajaran mereka dan berpartisipasi dalam kebaktian. Meski Annas menitikberatkan faksi Zelot sebagai alasan utama dewan menarik dukungan mereka dari Easa, semua orang yang hadir tahu bahwa itu hanyalah dalih. Ajaranajaran Easa terlalu revolusioner, terlalu dipengaruhi kaum Nasrani. Imam-imam Rumah Tuhan tak akan mampu mengendalikannya. Dengan menghebatnya isu bahwa istri Herod seorang Nasrani, berarti Easa telah mementahkan tantangan para imam Rumah Tuhan. Ia akan melangkah ke peran ilahiahnya sebagai raja keturunan Daud dan sang mesias tanpa mereka, dan melaksanakan semua itu seperti seorang Nasrani. Pilihan itu sangat berisiko. Meski bisa menyingkirkan keimaman Rumah Tuhan, pilihan itu juga bisa menjadi bumerang bagi Easa jika masyarakat menarik dukungannya demi kepentingan para pemimpin tradisional mereka. Tapi Annas belum berhenti dengan serangannya. Suaranya menggelegar dalam ruangan yang dipenuhi ketegangan itu. “Dia yang memiliki mempelai wanita adalah pengantin pria.” Kebisuan mencekam ruangan itu lagi. Maria membeku di luar pintu. Lidahnya kering dan mulutnya kelu. Kalimat itu berasal dari puisi yang ditulis Raja Solomon, Song of Songs, untuk merayakan penyatuan agung keluarga-keluarga Israel. Puisi itu menunjuk dan jelas-jelas mengacu pada pertunangan Easa dan Maria. Agar seorang raja bisa memimpin rakyat, tradisi mengharuskannya memiliki seorang mempelai yang samasama berasal dari garis keturunan yang agung. Sebagai
keturunan Benjamin dari Raja Saul, Maria adalah putri dengan derajat tertinggi di kalangan Israel, berdasarkan garis darah. Dengan demikian ia bertunangan dengan Yeshua, Putra Singa Yudea, sejak masih bayi. Suku Yudea dan Benjamin telah menyatu sejak zaman dulu, dan pernikahan agung dua garis keturunan ini tetap terjaga sejak putri Saul, Michal, menikah dengan Daud. Namun, untuk menjadi raja agung yang sesuai hukum, ia mesti memiliki ratu yang agung pula. Annas melontarkan isu yang menohok pertunangan itu. Yang berbicara selanjutnya adalah kakak Maria. Lazarus seorang lelaki yang senantiasa mampu mengendalikan emosi. Hanya orangorang yang sangat dekat dengannya yang bisa menangkap nada tajam dalam suaranya ketika ia berbicara dengan imam besar itu. “Jonathan Annas, adikku bertunangan dengan Yeshua berdasarkan hukum. Para nabi telah menunjuknya sebagai sang mesias bagi kalangan kita. Aku tidak melihat alasan untuk membatalkan pertunangan itu, karena Tuhanlah yang telah memilihnya bagi kita.” “Berani-beraninya kau mengatakan padaku apa yang dipilih Tuhan?” bentak Annas. Di balik pintu, Maria meringis. Lazarus orang yang berbudi. Ia akan merasa malu jika menghina imam besar. “Kami percaya Tuhan telah memilih lelaki lain. Seorang pembela hukum yang luhur, seseorang yang akan menegakkan segala ketentuan suci bagi kita tanpa menimbulkan penghinaan politis terhadap Romawi.” Itulah dia, kebenaran telah disampaikan kepada semuanya. Seorang pembela hukum yang luhur. Inlah cara Annas menunjukkan pada Easa bahwa mereka tidak akan menolerir reformasi kaum Nasrani meski garis darahnya tak bercela. “Dan siapa dia?” tanya Easa tenang. “Yohanes.” “Sang pembaptis?” Lazarus tak percaya. “Ia keluarga Singa,” sebuah suara yang juga keras terdengar, Maria tidak mengenal suara itu. Kemungkinan imam yang lebih muda, Caiaphas, menantu Annas. “Dia bukan dari keturunan Daud,” suara Easa tetap tenang. “Ya.” Yang ini suara Annas. “Tapi ibunya berasal dari garis keturunan imam-imam Harun dan ayahnya dari kaum Zadok. Orangorang menganggapnya pewaris rasul Elijah. Fakta ini cukup untuk mengalihkan orang agar mengikutinya, jika ia menikah dengan mempelai yang sesuai.” Mereka telah berkomplot. Annas datang untuk meng amankankan pertunangan Maria dengan seorang calon mesias dari pilihan mereka. Ia menjadi komoditas yang mereka butuhkan untuk mengesahkan suatu kerajaan. Suara berikutnya adalah teriakan marah. Maria belum pernah bertemu Yakobus, adik
Easa, tapi ia menduga lelaki itulah yang berteriak. Suaranya mirip Easa, hanya saja tanpa ketenangan yang tetap terjaga. “Kau tidak bisa mengambil dan memilih mesias seperti barangbarang di pasar. Kita semua tahu, Yeshua adalah orang yang dikuduskan untuk memimpin kalangan kita tanpa paksaan. Betapa lancangnya kau mengambil pengganti karena kau mencemaskan kedudukanmu sendiri.” Teriakan memuncak seiring lelaki-lelaki itu saling membentak agar didengarkan. Maria berusaha mencerna suarasuara dan katakata itu, tapi sekarang ia gemetar. Segalanya akan berubah. Ia bisa merasakannya hingga ke sumsum tulang. Perintah Annas melengking di antara suarasuara yang lain. “Lazarus, sebagai pelindung gadis ini, hanya kau yang bisa mengambil keputusan untuk memutus pertunangan ini dan mempersembahkan putri Benjamin kepada calon yang kami pilih. Sekarang keputusan ada di tanganmu. Tapi jika boleh