BAB III
REKAM JEJAK SANG PROFESIONAL
“Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.” Filipi 4:13
120
d
“Pasti Hotasi kuat , lihat saja penampilannya. Wong sekolah di MIT (Masschuset Institute of Technology) saja kuat. Jadi Dirut Merpati juga kuat. Proses hukum ini akan sangat bermanfaat untuk Hotasi dan negeri ini, khususnya untuk para penegak hukum. Dengan landasan kebenaran dan memperjuangkan keadilan, Hotasi pasti akan lebih kuat…”
P
ERNYATAAN dukungan itu tercatat dalam mailing grup “Support Hotasi Nababan” oleh sesama alumni Institut Teknologi Bandung (ITB).
Di kalangan alumni ITB, nama Hotasi cukup dikenal. Sebagai jebolan Jurusan Teknik Sipil ITB, Hotasi merupakan Ketua Alumni Angkatan 1983—yang adalah angkatannya. “Kepemimpinan Hotasi di yayasan tersebut sangat bagus. Dia bisa memberikan waktu buat timnya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukannya juga cukup inovatif, terutama dalam hal penggalangan dana untuk kegiatan-kegiatan sosial,” kata Betti Alisyahbana, Sekretaris Jenderal Ikatan Alumni ITB. “Integritasnya baik dan leadershipnya juga baik. Dia juga dikenal akrab, ramah, suka menolong, dan senang 121
HOTASI NABABAN
mendukung kawan-kawannya. Terpilihnya Hotasi sebaga ketua yayasan merupakan sebuah bentuk kepercayaan, karena yayasan adalah pekerjaan yang sifatnya sosial. Orang yang terpilih sebagai ketua tentunya orang yang dipercaya dan memiliki kepedulian sosial.” Ketika masih menjabat Direktur Utama Merpati Nusantara Airlines, Hotasi mendukung Betti Alisyahbana dalam pemilihan Ketua Ikatan Alumni ITB. Padahal, sebagai Dirut BUMN sepantasnya ia mendukung Hatta Radjasa. Memang biasanya para petinggi BUMN cenderung mendukung pejabat pemerintah. Hotasi berani menentukan apa yang menurut dia baik. Artinya dia bukan orang yang berpamrih. Kalau dia punya tujuan pamrih, tentu dia lebih baik mendukung orang yang punya kuasa karena ada sesuatu yang bisa diharapkan. Hotasi mendukung Betti karena dianggap lebih punya waktu dan leadership yang dibutuhkan untuk mengurus IA-ITB. Tak heran, ketika Hotasi tertimpa musibah terjerat perkara hukum, banyak kawan-kawannya sesama alumni ITB yang bersimpati dan peduli terhadapnya. Hal itu, misalnya, tampak dari aspirasi yang masuk dalam grup milis “Simpati Hotasi Nababan”.
Aktivis Mahasiwa dan Gerakan Kaum Profesional Hotasi P. Nababan lahir di Manila, 7 Mei 1965, sebagai sulung dari tiga bersaudara. Di masa itu, ayahnya, SAE Nababan, yang seorang pendeta dan teolog sedang bertugas di ibukota Filipina tersebut. Tapi, belum lagi Hotasi berusia 122
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
satu tahun, keluarganya kembali ke tanah air. Jadilah, masa kecil dan remaja Hotasi dihabiskan di tengah hiruk-pikuk Jakarta. Kedua orangtuanya mengajarkan kejujuran dan disiplin yang kuat kepada Hotasi dan kedua adiknya. Sang ayah, yang pernah menjadi Ephorus HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), memang dikenal luas sebagai sosok yang disiplin dan kukuh dalam bersikap. Karakter ayahnya itulah yang mewarnai kehidupan keluarganya. Tapi, meski demikian, sang ayah selalu diberi kesempatan untuk bebas berpikir, bebas memutuskan. Ajaran paling membekas yang diperoleh Hotasi dari ayahnya adalah bersikap dispilin, bekerja keras dan hemat, selalu berlaku jujur, serta peduli kepada sesama manusia. Teladan itu tak terlepas dari latarbelakang profesi dan pendidikan sang ayah, SAE Nababan. Dia adalah seorang pendeta terkemuka, yang pernah mengenyam pendidikan di Heidelberg, perguruan tinggi terkenal di Jerman, di tahun 1960-an. Itulah yang membentuk karakter ayahnya yang sangat disiplin dan menjunjung tinggi kejujuran. Sedangkan ibunda Hotasi, Alida Lientje Tobing, juga seorang intelektual lulusan State University of New York, Amerika Serikat juga di tahun 1960-an. Sang ibu men jalani studinya hingga mencapai gelar Master of Art (MA). Cukup lama tinggal di negara demokratis seperti Amerika Serikat, sang ibu lebih bebas mengemukakan pendapat, tapi juga bersikap respek terhadap pendapat orang lain. Ketika menikah dengan ayah Hotasi, sang ibu secara sadar memutuskan menjadi seorang ibu rumah tangga untuk 123
HOTASI NABABAN
Demonstrasi mahasiswa Bandung di Gedung DPR-MPR Senayan, yang memprotes tindakan represif aparat keamanan terhadap pengunjuk rasa di Makasar 1988.
Sebagai perwakilan, Hotasi Nababan (kedua dari kiri) dan Pramono Anung Wibowo (kedua dari kanan) saat menemui Wakil Ketua MPR/DPR RI, Letjen Saiful Sulun, menyampaikan aspirasi mahasiswa Bandung, sementara mahasiswa yang lain menggelar spanduk di tangga gedung DPR/MPR. 124
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
mengurus dan mempersiapkan anak-anaknya menghadapi kehidupan di dunia. Hotasi sendiri menjalani masa kecil dan remajanya di ibukota, terutama di kawasan Menteng Dalam, Jakarta Selatan. Saat masih kecil, ia kerap bermain bola dengan anak-anak kampung sekitar rumah orangtuanya tersebut. Di kalangan kawan-kawan masa kecilnya itu, Hotasi dikenal sebagai anak yang pintar bergaul dan memiliki banyak teman. Menjelang peringataan Hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus, sulung dari tiga bersaudara itu sering ikut melakukan kerja bakti dengan warga kampung. Setelah tamat dari SMA Pangudi Luhur (PL), tahun 1983, Hotasi melanjutkan pendidikan ke Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB). Di masa-masa inilah, ia menjadi seorang aktivis kampus. Ia, misalnya, sempat aktif di Grup Apresiasi Sastra ITB bersama Nirwan Dewanto (budayawan) dan Fajroel Rachman (aktivis antikorupsi). Hotasi juga terlibat dalam Perkumpulan Studi Ilmu Kemasyarakatan (PSIK) ITB, kelompok studi mahasiswa ITB yang peduli pada masalah-masalah kebangsaan meliputi pendidikan, sosial politik, kemasyarakatan, pemerintahan, hukum, dan lain-lain. Karena kepemimpinannya yang menonjol, Hotasi ter pilih menjadi Ketua Himpunan Jurusan Mahasiswa Teknik Sipil. Ia juga pernah ditunjuk menjadi Ketua PPLK, yaitu gabungan himpunan jurusan untuk program pengenalan kehidupan kampus, selama tiga periode (1986-1988). Rekan-rekan aktivis mahasiswa se-generasi di ITB, antara lain: Sujiwo Tedjo (budayawan), Pramono Anung Wibowo 125
HOTASI NABABAN
Bersama teman kelas Technology Policy MIT, yang sebagian besar kini telah menjadi profesor di berbagai universitas Amerika Serikat.
Bersama Heri Akhmadi (kiri) dan Bambang Parmanto (tengah) profesor di University of Pittsburg saat mengunjungi Lincoln Memorial, 1992.
126
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
(Ketua DPR RI), Lendo Novo (aktivis anti-korupsi), dan Syahganda Nainggolan (tokoh LSM). Sebagai aktivis, menurut penilaian Fajroel Rachman, “Hotasi merupakan orang yang cerdas, memiliki kemam puan berorganisasi yang menonjol, memiliki integritas, memiliki kepedulian yang tinggi, mengusung sikap plural isme yang kuat. Karakteristik inilah yang menjadi suatu panduan yang lengkap bagi Hotasi untuk menjadi seorang profesional.” Bagi Hotasi sendiri, sebagai aktivis kampus menja dikan hidupnya menjadi lebih berarti. Dari aktivitas yang dilakukannya, ia banyak memetik pelajaran, seperti mema hami bagaimana bersikap sebagai seorang pemimpin, juga bagaimana memahami situasi sosial-politik yang ber kembang di masyarakat. Semua itu, bagi Hotasi, menjadi bekal yang sangat penting dalam menjalani hidup dan karirnya kelak. Lulus dari ITB, Hotasi kemudian mendapat kesempatan untuk melanjutkan studinya di Massachusetts of Technology, di Boston, Amerika Serikat. Belum lama ia menekuni kuliah di salah satu kampus paling terkemuka di Amerika Serikat itu, Hotasi mendengar kabar kawan-kawannya sesama aktivis mahasiswa ditangkap aparat keamanan gara-gara “Peristiwa 5 Agustus 1989”. Peristiwa itu sendiri merupakan aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa ITB saat Menteri Dalam Negeri, Rudini, berkunjung ke kampus ITB. Sejumlah tokoh aktivis mahasiswa—antara lain: Fajroel Rachman, Ammarsyah, Jumhur Hidayat, dan Arnold Purba—ditangkap, dan kemudian divonis penjara selama 127
HOTASI NABABAN
tiga tahun. Mendengar kabar itu, Hotasi sangat terpukul. “Begitu kejamnya penindasan oleh kekuasaan. Mereka bukan koruptor, hanya melakukan protes,” kenang Hotasi. Semangat dan tindakan rekan-rekannya para aktivis mahasiswa, yang rela berkorban untuk kehidupan demokrasi yang lebih baik, sangat berkesan bagi Hotasi. Ketika ia mengingat dan berpikir tentang mereka, membangkitkan motivasi Hotasi untuk bekerja keras melakukan perubahan, paling tidak di tempat ia bekerja. Di MIT, Hotasi menjalani studinya selama empat tahun dengan diselingi bekerja di Boston Harbor Project, hingga menggondol dua gelar: Master of Science Civil Engineering (1991) dan Master of Science Technology Policy (1993). Kembali ke tanah air, ia langsung bekerja di Garuda Indo nesian Airlines. Dua tahun di perusahaan penerbangan nasional itu, Hotasi kemudian pindah bekerja di General Electric South Pasific. Di perusahaan General Electric (GE), ia mulai bekerja sebagai business development manager (1995). Lima tahun kemudian, Hotasi sudah menduduki pimpinan puncak perusahaan, sebagai Presiden Direktur GE Locomotif Asia Pasific. Ditengah kesibukannya bekerja sebagai profesional, jiwa aktivis dan semangat nasionalisme Hotasi tidaklah padam. Ia tetap peduli dengan perkembangan sosial-politik yang terjadi di masyarakat. Ketika gerakan reformasi bergemuruh di awal tahun 1998, Hotasi bersama sejumlah profesional daritas Profesional untuk muda lainnya membentuk Soli Reformasi (SPUR). Peran SPUR terutama bergerak di belakang layar, terutama menggalang dana dan penyiapan 128
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
logistik dari kalangan profesional untuk gerakan mahasiswa dan massa rakyat yang turun ke jalan. Dan, sebagaimana diketahui, gerakan itu kemudian berhasil mengantarkan negeri ini memasuki era reformasi.
Tekad Membenahi Merpati Semangat nasionalisme pula yang memanggil Hotasi Nababan untuk membenahi Merpati Nusantara Airline. Ia merasa tertantang untuk memajukan Merpati. Itulah sebabnya ketika ditawari untuk memimpin BUMN pener bangan itu, Hotasi menerima dengan tangan terbuka. Padahal, gaji dan pendapatannya sebagai Presiden Direktur GE Locomotif jauh lebih besar dari gajinya di Merpati. Sejak dilantik sebagai Direktur Utama Merpati, Mei 2002, Hotasi segera melakukan pembenahan di berbagai sektor. Kondisi Merpati saat itu memang sulit, tapi tak berarti tak ada jalan keluar. Begitulah keyakinan Hotasi. Soal tekad Hotasi untuk memajukan Merpati itu juga diakui Muchtaruddin Siregar. “Saya menilai orangnya baik, dan ada keinginan kuat untuk memperbaiki kondisi Merpati. Memang saat Hotasi masuk, kondisi Merpati sudah payah. Jadi, untuk melakukan pengembangan atau pembaruan di berbagai hal membutuhkan upaya yang sangat berat,” kata Muchtaruddin. Penilaian senada juga dilontarkan Jaka Pujiyono, salah seorang general manager dan kemudian menjadi direksi di Merpati. “Hotasi orangnya sangat enerjik. Bahkan ia seringkali memberi energi positif pada semua karyawan 129
HOTASI NABABAN
Merpati. Dia bisa memotivasi karyawan untuk mampu mencapai target yang telah ditentukan. Dia pun mampu membangun suasana kerja yang kondusif,” kata Pujiono. Hotasi juga membangun gaya bekerja yang profesional seperti halnya di perusahaan-perusahaan swasta. Kecepatan, efisiensi dan evaluasi, menjadi gaya bekerja yang banyak ia tularkan di Merpati. Gaya bekerja itu tidak saja muncul dalam bentuk peraturan, melainkan dicontohkan langsung oleh Hotasi. “Ada pengalaman ketika saya mendapat tugas untuk melakukan pemeriksaan pelayanan penumpang di bandara selaku GM Marketing, Hotasi sering hadir lebih dahulu di lapangan. Dia mencontohkan bagaimana agar karyawan menjadi lebih sigap dalam bekerja dan mau terjun langsung ke lapangan. Itu yang membuat para karyawan terus meningkatkan kinerjanya,” tutur Jaka Pujiono lagi. Salah satu pembenahan yang dilakukan di awal kepe mimpinannya, Hotasi menargetkan penghematan hingga Rp 150 miliar per tahunnya. Penghematan dilakukan untuk memperbaiki kondisi keuangan Merpati. Beberapa pos pengeluaran yang dihemat adalah bahan bakar, catering, asuransi, dan ground handling. Selain itu, Hotasi juga merasionalisasi jumlah karyawan, melalui program pensiun dini. Dengan program ini, jumlah karyawan berkurang signifikan: dari semula 4.300 orang menjadi 2.600 orang. Di bawah kepemimpinan Hotasi, Merpati juga berupaya melakukan restrukturisasi utang kepada para kreditur. Ketika Hotasi ditunjuk menjadi Direktur Utama Merpati, modal Merpati memang sudah negatif. Ketika itu, utang perusahaan mencapai Rp 1,6 triliun, sementara asetnya 130
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
Bersama Jack Welch, CEO GE (kiri) dan CEO Maxxus.
Bersama karyawan Lokindo, dengan latar belakang loco hasil produksi GE pesanan PT KAI. 131
HOTASI NABABAN
Bersama pimpinan dan crew Merpati selesai upacara Pengibaran Bendera Merah Putih , 2003
Berbicara di depan karyawan Merpati, Mei 2005 132
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
hanya Rp 800 miliar. Pelan tapi pasti, restrukturisasi utang berjalan. Untuk mendongkrak penjualan dan menekan biaya, Merpati membuka gerai baru melalui kerja sama operasi, renegosiasi biaya asuransi, dan menutup rute penerbangan yang merugikan. Lazimnya perusahaan penerbangan, Merpati juga terus meremajakan armadanya, terutama dengan menye wa sejumlah pesawat tipe terbaru. Kontrak sewa pesawat dengan pihak lain itu umumnya berjalan lancar. Kalaupun ada yang gagal alias pesawat tak datang seuai jadwal, security deposit dikembalikan kepada Merpati. Hanya satu kontrak yang gagal dan security deposit tidak dikembalikan, yaitu kontrak dengan TALG. Perkara inilah yang kemudian menyeret Hotasi Nababan dan dua direksi Merpati lainnya menjadi tersangka kasus korupsi. Dalam dunia bisnis, kata Betti Alisyahbana, bentuk pertanggungjawaban CEO atas kesalahan yang diperbuat dalam membuat suatu kebijakan, bisa penurunan jabatan, dipindahkan posisi, hingga paling fatal adalah pemecatan. Kalau pidana apalagi tuduhan korupsi kan harus memenuhi beberapa kriteria; melanggar hukum, merugikan negara dan menguntungkan pribadi atau pihak tertentu. “Menurut saya, hal-hal itu tidak dilakukan oleh Hotasi. Kebijakan yang diambil sesai dengan prosedur, artinya tidak me langgar hukum. Dan saya yakin, Hotasi secara pribadi tidak mengambil keuntungan dalam hal ini,” tegas Betti Alisyahbana. Keyakinan yang sama juga dilontarkan sejumlah ahli hukum dan praktisi penerbangan yang dimintai pendapat 133
HOTASI NABABAN
Merpati menyediakan penerbangan gratis untuk Relawan dan Tenaga Medis serta mengirim obat-obatan kepada korban Gempa Jogjakarta/ Jawa Tengah, April 2006.
Bersama staf Merpati di Biak, 2002
134
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
Merpati sebagai perusahaan penerbangan perintis menembus berbagai wilayah terpencil di Papua. 135
HOTASI NABABAN
dan testimoni mengenai perkara sewa pesawat Merpati. Tapi, rupanya, aparat Kejaksaan Agung memakai “kaca mata kuda” dalam menyidik perkara ini. Duduk perkara dan rekam jejak Hotasi Nababan sama sekali tak diper timbangkan para penyidik kejaksaan. Kini, harapan akan keadilan ditujukan kepada pertimbangan majelis hakim yang akan mengadili perkara ini kelak. d
136
SAYA ANTI KORUPSI! Oleh Hotasi Nababan
S
ELASA tengah malam, 12 Mei 1998, empat tubuh muda terbaring kaku di ruangan yang dingin di Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta. Saya tertegun, mereka begitu anggun. Banyak orang lalu lalang, tapi mata saya tidak bisa berpindah dari mereka. Wajah mereka cerah, seperti masih ada. Di titik itu, saya berjanji pada diri sendiri: “Enough is enough”. Tubuh Elang, Heri, Hafidin, dan Hendriawan—empat mahasiswa Universitas Trisakti—yang terbujur kaku telah memberi pesan, bahwa Indonesia punya masa depan. Bangsa yang bebas dari penindasan, kebodohan, dan korupsi. Kata terakhir itu, “bebas korupsi” makin tertanam dalam benak saya. Memberantas korupsi harus dimulai dari diri saya sendiri. Segera setelah kabar penembakan mereka merebak, para profesional di Jakarta, yang terhubungkan oleh jaringan melalui email dan sms, menjadi galau. Lantas, memutuskan ikut dalam pusaran reformasi waktu itu. Bersama puluhan profesional lain—seperti Sita Supomo, Bara Hasibuan, Nana Supangat, Andi Saleh, Rachman Akil, dan Eqwin Ardjani— saya ikut mendirikan Solidaritas Profesional untuk Reformasi (SPUR), pada tanggal 16 Mei 1998. Selain ikut dalam arus reformasi, SPUR aktif menolak diskriminasi. Dengan cepat
137
HOTASI NABABAN
Bersama Bara Hasibuan, Rambun Tjahjo, dan kalangan profesional lainnya mulai turun ke jalan, Mei 1998.
Aksi damai Solidaritas Profesional untuk Reformasi di BEJ 19 Mei 1998.
138
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
kami mengumpulkan apa saja yang dapat digunakan untuk membantu logistik mahasiswa yang menduduki Gedung DPR/MPR di Senayan. Kami mengatur pemesanan puluhan ribu nasi bungkus dari berbagai warung tegal, mengumpulkan vitamin dan obat flu, baju hangat, dan uang dari kalangan berada yang bermukim di Jakarta, dari Menteng hingga Pondok Indah. Pokoknya, banyak kaum berada yang tadinya hanya asyik menonton televisi, kemudian bangkit membela gerakan reformasi. Gerakan reformasi di kalangan kelas menengah itu terus berlanjut hingga Pemilu 1999 digelar. Euforia menentang Orde Baru pun masih selangit. Setelah hasil pemilu keluar melalui proses yang panjang hingga diserahkan ke parlemen, mulailah kalangan reformasi merasakan bahwa “saham” mereka dalam proses refor masi telah dibajak politisi. Kemudian gerakan ini memudar. Saya mengambil keputusan untuk tidak ikut Pemilu untuk menjadi anggota DPR, karena menyadari pekerjaan di dunia politik akan menguras banyak energi yang tidak menyentuh langsung tujuan reformasi itu sendiri. Dunia politik masih berupa persaingan “zero-sum”. Jika ada yang memperoleh, ada yang kehilangan. Demokrasi kita masih muda. Politik adalah survival habitat yang berumur pendek, dengan semboyan “to kill or to be killed”, atau “jika saya tidak mengambil, yang lain akan ambil”. Saya memilih berkiprah di dunia profe sional, karena menyadari bahwa situasi setelah krisis pasti membutuhkan leadership baru yang lebih demokratis, yang membumi, dan
139
HOTASI NABABAN
cepat, di tengah suasana ketidakpastian. Saya mulai mencari peluang untuk masuk ke salah satu dari ratusan BUMN yang ada. Dengan pengalaman di perusahaan penerbangan Garuda Indonesia Airways dan perusahaan multi-nasional General Electric (GE), saya memutuskan untuk mengikuti fit and proper test di PT Merpati Nusantara Airlines (Merpati). Saya menyadari BUMN masih dipersepsikan sebagai “pubic office”, seperti jabatan di pemerintah, karena kedua huruf “M” dan “N”. Memimpin BUMN yang dalam keadaaan kesulitan keuangan, seperti Merpati, pasti ada resiko. Jika berhasi belum tentu ada yang berterima kasih, tapi jika gagal maka reputasi profesional saya bisa hilang. Dengan sadar, saya mengambil resiko itu. Saat itu Merpati sedang dalam tahap recovery. Dirut Merpati sebelumnya, Wahyu Hidayat, berhasil membawa Merpati lolos dari krisis moneter tanpa bantuan pemerintah. Leadership dia sangat kuat dan berani memotong produksi demi mengurangi kerugian perusahaan. Setelah mendapat izin dari Wahyu Hidayat, saya mengikuti fit and proper test. Di masa itu, di BUMN sangat tidak lazim calon pengganti datang berkomunikasi dengan yang akan digantikan. Awal berkenalan di ruangannya, kami berdua canggung. Namun, kemudian beliau dapat melihat komitmen saya untuk menjaga legacy beliau. Bagi saya, “sowan” kepada pemimpin yang akan digantikan adalah hal yang wajib dilakukan karena dia pasti akan menjadi penasehat dan sumber informasi terbaik. Jika kunci-kunci itu diberikan, maka pejabat baru akan mudah bekerja.
140
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
Saya mengingat pesan dari sesepuh manajemen, seperti tiono Hadianto, bahwa ada tiga Robby Johan dan Mar kesalahan direktur utama baru BUMN yang sering dilakukan setelah pelantikan, yaitu: menjelekkan direksi lama, mengganti kabinet, dan mengganti supplier. Mereka berpesan, jika saya tidak melakukan ketiganya maka itu tanda pemimpin yang percaya diri dan menghormati pendahulu yang sebenarnya juga telah melakukan yang terbaik bagi perusahaan. Sesaat dilantik menjadi Direktur Utama Merpati, tanggal 6 Mei 2002, saya meminta direksi baru lainnya untuk menjaga nama baik direksi lama, tidak merombak tim manajemen hingga proses evaluasi kinerja tahunan, dan tidak mengganti supplier, apa lagi membawa “jagoan” menjadi supplier baru. Khusus kepada para supplier, saya memberitahu mereka agar fokus pada tiga hal saja, yaitu memperbaiki kualitas, menurunkan harga, dan tidak memberikan apapun kepada orang Merpati. Mereka tidak perlu bersusah-payah mengajak makan atau mela kukan pendekatan personal. Pertemuan cukup di kantor. Jika ada yang mempersulit, silakan sampaikan kepada saya. Pesan ini disampaikan berulang kali kepada supplier di hadapan staf Merpati. Kepada internal manajemen, saya meminta agar menjaga nama baik Merpati dengan tidak menerima apapun dari supplier, karena di antara komunitas supplier tidak ada yang rahasia jika seseorang memberi sesuatu. Pengalaman saya di GE memberi keyakinan bahwa jalan “clean business” dengan mitra adalah hal terbaik untuk jangka panjang. Tantangan pertama yang saya hadapi adalah bagaimana 141
HOTASI NABABAN
mencukupkan diri dengan penghasilan sepertiga dari yang saya terima di GE sebelumnya. Karena putra saya masih bayi, kami (saya dan istri) lebih mudah menyesuaikan pola hidup. Untungnya saya tidak punya hobi mahal, demikian pula istri saya. Yang susah adalah menghadapi lingkungan sosial. Sebagai Dirut BUMN, saya dianggap punya banyak uang, sehingga harus pandai mengatur sumbangan sosial bagi keluarga atau kenalan. Selama enam tahun di Merpati, saya memutuskan tidak mencari penghasilan lain untuk menutup kekurangan keuangan tadi. Jika tidak cukup, kami beberapa kali mencairkan simpanan deposito saat di GE. Yang penting, saya berhasil membuktikan bahwa tanpa korupsi dan sampingan, Dirut BUMN dapat hidup layak. Integritas baru berjalan jika pemimpin memberi contoh, dari direksi hingga ke bawah. Saya selalu berusaha tidak dilayani pimpinan Merpati di daerah, karena akan men jadi beban bagi mereka. Suatu waktu, saya meminta banyak penjemput saya di Surabaya untuk kembali bekerja. Demikian juga dengan fasilitas hotel dan mobil saat dinas, dipilih semurah mungkin. Jika pola hidup pribadi dan dinas saya sederhana, saya yakin itu merupakan kampanye “anti korupsi” yang paling efektif, daripada terlalu banyak pidato. Dalam memimpin Merpati selama enam tahun (periode 2002-2008), kami meng hadapi persoalan keuangan yang membelit tiap hari. Hampir semua faktor melawan upaya penyelamatan Merpati: biaya bahan bakar naik 100%, pesaing menjatuhkan harga lebih dari 50%, kondisi armada makin menua sehingga biaya perawatan meningkat, utang
142
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
perusahaan yang jatuh tempo makin bertumpuk, dan ketidakpastian perbaikan modal Merpati yang telah negatif. Belum lagi organisasi yang besar dan lamban. Keputusan dilakukan setiap hari untuk melakukan pembayaran yang adil kepada supplier, kunci supaya operasional tidak ter henti. Sementara itu jumlah armada makin berkurang, sehingga pemasukan sulit menu tup pengeluaran wajib setiap bulan. Pemerintah beberapa kali mengubah rencana perbaikan modal. Di tahun 2004, pemerintah menyetujui Merpati mencari investor hingga 49%, supaya neraca lebih baik dan memperoleh modal kerja untuk perbaikan produksi. Namun, setahun kemudian (2005), pemerintah membatalkan rencana privatisasi itu, dan meminta Direksi Merpati mencari upaya lain. Semua upaya yang mungkin—seperti Kerja Sama Operasi (KSO) dengan Pemda, kredit Avtur, dan pembentukan SBU— tetap saja tidak dapat mengurangi pendarahan cash yang keluar. Hingga akhirnya pemerintah dan DPR menyetujui bantuan pemberian dana Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 450 Milyar untuk tahun anggaran 2007. Rencana penyelamatan di tahun 2007 itu terdiri dari rasio nalisasi organisasi, restrukturisasi utang, dan penambahan armada yang efisien. Merpati berhasil mengurangi karyawan dari 3.200 orang menjadi 2.500 orang. Kemudian utang jangka pendek juga berkurang, dari Rp 300 Milyar menjadi Rp 77 Milyar, melalui hair-cut. Namun, dalam upaya penambahan armada, Merpati sulit mendapat kepercayaan dari lessor pesawat. 143
HOTASI NABABAN
Target Kinerja tahun 2007 jauh meleset dari rencana kerja perusahaan yang menjadi dasar bantuan pemerintah sebesar Rp 450 Milyar. Target laba bersih yang seharusnya sebesar Rp 27 milyar, malah menjadi rugi sebesar Rp 145 milyar. Saya sangat kecewa. Rasanya semua upaya sudah dikerahkan. Walaupun bahan bakar dan kurs dolar menjadi penyebab utama kerugian, saya tetap merasa malu. Sebagai pemimpin tertinggi di Merpati, saya punya banyak kewenangan untuk melakukan apa saja demi penyelematan Merpati. Namun, sebagian kewenangan itu tidak saya gunakan penuh karena tenggang rasa atau terlalu banyak pertimbangan. Setelah berpikir selama dua bulan, saya memutuskan mundur dari Dirut Merpati. Awalnya Pak Sofyan Djalil, Menteri Negara BUMN, menolak pengunduran diri tersebut, karena menganggap banyak faktor di luar kendali saya. Saya jelaskan kepada beliau, bahwa saya telah berjanji akan membawa Merpati keluar dari kerugian supaya datang bantuan pemerintah. Kenyataannya Merpati masih rugi. Dan saya lah yang paling bertanggung jawab. Akhirnya, beliau menerima pengunduran diri saya. Senin, 3 Maret 2008, saya berpamitan kepada seluruh karyawan lewat email, ber samaan dengan serah terima jabatan kepada Pak Cucuk Suryoprojo, supaya tidak ada mis-informasi. Seluruh direksi dan karyawan Merpati kaget, namun menghormati keputusan saya. Setelah enam tahun berjibaku di Merpati, akhirnya saya harus tahu diri kapan harus berhenti. d
144
145
TESTIMONI PARA KOLEGA
D
I KALANGAN koleganya sesama profesional ataupun eksekutif bisnis Hotasi Nababan dikenal sebagai profesional yang selalu memegang teguh prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Integritas pribadi itu sejatinya telah tertanam jauh sejak Hotasi menjadi aktivis di masa ia masih mahasiswa di ITB Bandung. Berikut testimoni sejumlah kolega tentang karakter dan integritas Hotasi Nababan.
FADJROEL RACHMAN Aktivis Anti-korupsi SAYA mengenal Hotasi sejak kami sama-sama kuliah di ITB. Saya masuk satu tahun lebih dulu di ITB tahun 1982 Jurusan Kimia. Kebetulan saya dan Hotasi sama-sama aktif di Group Apresiasi Sastra di ITB. Selain itu kami juga terlibat dalam organisasi aktivis ITB yaitu Perkumpulan Studi Ilmu Kemasyarakatan (PSIK). PSIK-ITB adalah kelompok studi mahasiswa ITB yang concern pada masalahmasalah kebangsaan meliputi pendidikan, sosial politik, ke masyarakatan, pemerintahan, hukum, dan lain-lain. 146
Pedomannews.com
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
Selama mengenal Hotasi di ITB itu, saya melihat Hotasi merupakan orang yang cerdas, memiliki kemampuan berorganisasi yang menonjol, memiliki integritas, memiliki kepedulian yang tinggi dan orang yang pluralis. Karakteristik inilah yang menjadi suatu panduan yang lengkap bagi Hotasi untuk menjadi seorang profesional. Pernah saya punya pengalaman saat Hotasi menca lonkan diri menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil ITB. Saya dan teman-teman di PSIK terlibat sebagai tim suksesnya. Saat itu, Hotasi sempat mendapat perlawanan dari kelompok dan organisasi mahasiswa berbasis agama (Islam) di ITB, karena Hotasi memiliki latar belakang agama yang berbeda. Masa itu, kami sudah memperjuangkan agar kepemim pinan di ITB tidak didasarkan atas nilai-nilai primordial seperti suku, agaman, atau keyakinan, melain kan ber dasarkan meritokrasi atau kepemimpinan berdasarkan prestasi. Akhirnya, Hotasi pun berhasil menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil ITB, karena temanteman yang lain percaya dengan integritas, kepedulian sosialnya, dan sikapnya yang menghargai pluralisme. Hotasi sangat menghormati kelompok-kelompok agama yang lain. Setelah Hotasi menjadi Direktur Utama di Merpati 147
HOTASI NABABAN
pun tidak ada yang berubah pada dirinya, baik dari sikap maupun perilakunya. Perilakunya biasa saja sama seperti pada waktu mahasiswa dulu. Jadi, cukup mengejutkan buat saya saat mendengar bahwa Hotasi dituduh telah melakukan tindak pidana korupsi di Merpati. Buat saya, itu amat berlawanan dengan integritasnya selama ini. Menurut saya tidak mungkin Hotasi yang telah menginvestasikan dirinya selama ini untuk menjadi orang yang memiliki integritas, mau meng hancurkan itu dalam waktu singkat. Saya mendapatkan kabar kasus tersebut melalui SMS yang dikirimkan oleh Hotasi sendiri. Kebetulan saya me mi liki media Pedomannews.com. Saya pun langsung memerintahkan redaksi untuk menyelidiki kasus tersebut dan mendapatkan data-data yang relevan. Saya juga mendapatkan data-data tersebut dari Hotasi ketika jumpa pers. Kebetulan juga saya kuliah di Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dengan konsentrasi hukum ekonomi. Jadi saya banyak berdiskusi dengan dosen-dosen FHUI, terutama Prof. Erman Rajagukguk, tentang perkara yang membelit Hotasi. Dari data-data dan hasil diskusi, saya menilai bahwa kasus Hotasi ini merupakan konsekuensi dari inkonsistensi antara Undang-Undang No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara) dengan UndangUndang No.19 tahun 2003 tentang BUMN (UU BUMN) dan Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), terutama me nyangkut kedudukan keuangan negara sebagai kekayaan negara yang dipisahkan. 148
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
Dalam UU Keuangan Negara, uang negara yang diser takan dalam modal BUMN merupakan milik negara. Sedangkan pada UU BUMN, dinyatakan bahwa uang negara tersebut menjadi kekayaan negara yang dipisahkan. Sehingga pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada UU Keuangan Negara, melainkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat sesuai dengan UU PT. Artinya, kerugian yang dialami oleh BUMN tidak bisa diartikan sebagai kerugian negara. Karena itu, keputusan-keputusan bisnis yang diambil oleh pemimpin BUMN harus didasarkan pada UU PT, dan itu tidak dapat dikriminalkan. Dalam UU PT tidak ada istilah korupsi karena tidak menyangkut keuangan negara, yang ada adalah penggelapan. Sebenarnya “sengketa” Undang-unang ini sudah per nah diajukan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani ke Mahkamah Agung (MA) tahun 2005. Setahun kemudian, MA mengeluarkan fatwa No. WMKA/Yud/VIII/2006, tertanggal 16 Agustus 2006, yang mengatakan bahwa UU No. 12 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara itu tidak lagi mengikat secara hukum dengan adanya UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang merupakan undang-undang khusus (lex specialis) dan lebih baru. Masalahnya, fatwa MA itu hanya sebuah pendapat hukum (legal opinion) MA yang tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum. Dari uraian tersebut, menurut saya Hotasi merupakan korban dari inkonsistensi horisontal antara UU Keuangan Negara dengan UU BUMN dan UU PT. Kasus Hotasi merupakan kasus yang terkait dengan keputusan bisnis (business judgement). Dan sebuah keputusan bisnis jika 149
HOTASI NABABAN
didasarkan pada UU PT, sepanjang tidak mengan dung unsur pidana atau penggelapan, tidak boleh dikriminalkan. Sepanjang data-data yang saya dapatkan dan pelajari, Hotasi tidak memenuhi unsur-unsur penggelapan tersebut. Harapan saya kepada Hotasi agar ia menghadapi kasus ini tanpa ragu, dan membuka semua data yang ada. Kepu tusan pengadilan distrik di Amerika Serikat juga harus terus diungkapkan kepada publik, agar publik mengetahui bahwa kasus ini sudah diputuskan sebagai kasus wanprestasi dan merupakan kasus perdata. Saya juga berharap agar kejaksaan dalam menangani kasus ini juga memeriksa fatwa MA tahun 2006, serrta banyak berdiskusi dengan para ahli di bidang hukum perusahaan. Dan yang lebih penting lagi adalah agar inkonsistensi UU ini dapat diatasi segera oleh DPR. Hal ini bertujuan agar para pemimpin BUMN yang lain tidak ragu-ragu dalam mengambil keputusan bisnis.
BAMBANG HARYMURTI Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo SAYA kenal Hotasi Na ba ban karena kami sesama alumni ITB, tapi mulai mengenal secara dekat ketika saya mulai kuliah di Universitas Harvard pada 1990 dan bung Hotasi sedang kuliah di MIT, Boston, Amerika Serikat. Bung Hotasi ini jelas seorang yang idealis, pandai dan amat cinta bangsa. Integritasnya juga amat baik. Ia amat menjaga 150
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
Setelah ia lulus MIT, saya bertemu lagi dengan Hotasi di Indonesia. Ia sudah bekerja sebagai eksekutif di General Electric (GE) dan maju pesat dalam kariernya. Mengingat GE adalah perusahaan multinasional yang bersikap amat meritokratis, maka ini menunjukkan kinerjanya memang kinclong. Dalam kaitan perkara hukum yang dialami Hotasi saat ini, setelah memperlajari kasusnya, saya berkesimpulan apa yang dilakukan Bung Hotasi dan jajaran direksi sudah sesuai prinsip prinsip tata kelola perusahaan (BUMN) yang baik. Jangan lupa, saat bung Hotasi menjadi Direktur Utama PT Merpati, BUMN ini sedang mengalami ekuiti negatif, hingga tak mungkin ada perusahaan leasing yang ternama yang akan berhubungan bisnis dengan Merpati. Itu sebabnya hanya dapat berhubungan dengan perusahaan leasing yang kurang ternama (lebih berisiko). Risiko ini harus diambil karena untuk menyelamatkan kondisi keuangan Merpati adalah dengan meningkatkan pendapatan melalui penam bahan armada. Bahwa tenyata perusahaan penyedia pesawat itu wan prestasi karena bangkrut adalah bagian dari risiko bisnis yang wajar. Jadi, hal ini jelas kekeliruan dalam penerapan hukum. Apa yang dilakukan oleh Hotasi Nababan dan direksi Merpati adalah keputusan bisnis yang memang mengan 151
tempointeraktif.com
nama baik ayahnya yang ketika itu menjadi ketua (Ephorus) HKBP.
HOTASI NABABAN
dung risiko rugi. Ini masih dalam kewenangan direksi dan pertanggungjawabannya adalah kepada para komisaris. Apakah setiap kali sebuah BUMN mengalami kerugian maka direksinya harus dipenjara? Saya berharap pihak kejaksaan segera menghentikan kasus ini. Banyak sekali kegiatan korupsi yang merugikan bangsa ini dan seharusnya kejaksaan menggunakan tenaga dan waktunya untuk memberantas korupsi ini, bukan mengkriminalkan kebijakan yang diambil direksi BUMN sesuai kewenangannya
RUDY SETYOPURNOMO Direktur Utama Merpati Nusantara Airlines SAYA mengenal Hotasi Naba ban sejak tahun 1990an, waktu studi pasca-sarjana di Amerika Serikat. Saya di Harvard University, Hotasi di MIT. Saat itu yang sekolah sama-sama di sana, antara lain, Bambang Harymurti, Muliawan Hadad, Haidar Bagir, Ainun Makarim, dan Sofyan Jalil. Lalu, karena ketika itu belum ada tradisi pengajian, saya pun membuat acara pengajian bulanan di rumah kontrakan saya. Kebetulan rumah kontrakan saya itu agak besar. Imam atau khatibnya Sofjan Jalil. Nah, meski beragama Kristen, Hotasi sering hadir di pengajian. Jadi, jelas dia orang yang sangat toleran dalam beragama. Kita juga welcome saja. Setelah selesai studi S2 (master) di Harvard, saya ambil 152
studi S2 lagi di MIT. Waktu itu saya sudah bekerja di Garuda Maintenance Facility (GMF), dan GMF membutuhkan banyak orang pintar. Nah, saya meli hat Hotasi punya potensi, lalu saya tawarkan dia untuk bergabung ke Garuda. Kalau mau, nanti dicarikan beasiswa. Lalu dapatlah beasiswa dari Garuda untuk Hotasi (1992). Kemudian setelah saya pulang ke Garuda dan menjabat Vice President Corporate Strategy, Hotasi saja rekrut di tempat saya. Tugas pertamanya Hotasi adalah membuat airline management untuk program S2 di Universitas Indonesia. Biaya dari Garuda, untuk orang Garuda, dan pengajarnya dari MIT. Saya pimpinan proyeknya, dan pelaksananya Hotasi. Saya kalau percaya dengan orang sampai limitnya. Nah, Hotasi salah satu dari orang yang saya percaya betul. Dan memang Hotasi kalau diberi tugas pasti selesai. Lalu waktu saya disekolahkan lagi (1995) kita pisah, karena Hotasi pindah ke GE. Tapi, kami masih sering ketemu di acaraacara MIT Club, yang di dalamnya ada saya, Hotasi, dan teman lainnya. Saat memimpin Merpati, saya lihat Hotasi sudah menja lankannya dengan baik. Dia proper, dan bukan tipe penye leweng. Selain itu, dia juga nasionalis, sangat profesional dan bukan tipe pencuri. Satu hal lagi, dia tipe yang tidak mau 153
Q Comm / Karel Sihombing
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
HOTASI NABABAN
menjahati orang. Itu yang saya kenal tentang pribadi Hotasi. Tentang perkara hukum yang menimpanya sekarang, sebenarnya tidak pantas dijadikan masalah hukum pidana. Hal ini (soal gagal dalam proses sewa pesawat) merupakan hal biasa dalam airline business. Orang Amerika yang menipu juga sudah mengaku salah. KPK dan Bareskrim Mabes Polri juga bilang tidak salah. Tapi, tidak tahu lah kalau kejaksaan bersikap berbeda. Itu diluar pemikiran saya. Mencuatnya perkara ini, saya pikir ini nggak terkait soal politik ya. Cuma ada beberapa orang saja yang tidak suka dengan Hotasi. Sekarang Merpati di bawah kepemimpinan saya akan mengejar kerugian yang sudah dilakukan oleh orang Amerika tadi. Ini kan uangnya Merpati dan akan meminta pertanggungjawabannya.
BETTI S. ALISJAHBANA Sekretaris Jenderal Ikatan Alumni ITB Mantan Presdir IBM Indonesia Saya mengenal Hotasi Nababan saat kami sama-sama bekerja di perusahaan swasta. Waktu itu Hotasi bekerja di General Electric (GE), sementara saya di International Business Machines (IBM). Sebagai sesama profesional, kami memiliki beberapa kali kesem patan bertemu baik formal maupun non formal. Dalam setiap kesempatan itu saya dan Hotasi banyak berbincang dan berdiskusi mengenai perkembangan dunia bisnis di Indonesia. Dalam 154
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
Perkenalan saya dengan Hotasi lebih intensif terjadi saat saya mencalonkan diri menjadi Ketua Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (IA-ITB) tahun 2007. Saya dan Hotasi memang samasama alumni (ITB). Nah, saat pemilihan ketua IA ITB 2007 itu, Hotasi adalah salah satu pendukung saya. Dia seringkali hadir dalam pertemuan-pertemuan persiapan pemilihan Ketua IA-ITB. Disitu saya melihat bahwa Hotasi adalah orang yang profesional, independen, berani mengambil sikap dan tanpa pamrih. Saya melihat apa yang terjadi pada Hotasi ini merupakan perkara perdata, dimana dia sebagai Direktur Utama Merpati mengambil sebuah kebijakan yang kemudian ternyata tidak tepat. Saya sendiri pernah menjadi pimpinan suatu perusahaan yang seringkali dihadapkan pada suatu pengambilan keputusan. Terkadang ada saja keputusan yang kita buat ternyata salah. Sebagai CEO kita memang harus mempertanggungjawabkan keputusan secara bisnis. Nah, sayangnya untuk kasus Hotasi ini pihak kejaksaan malah menggiring persoalan pengambilan keputusan bisnis sebagai tindak pidana korupsi. Memang, Hotasi harus mempertanggungjawabkan keputusannya itu, tapi dalam kapasitasnya sebagai Direk 155
alumniaritb.net
perbincangan dan diskusi itulah saya memiliki impresi yang positif mengenai Hotasi, terutama dalam segi profesionalisme.
HOTASI NABABAN
tur Utama, bukan pribadi. Dan tidaklah diganjar dengan hukuman pidana. Dalam dunia bisnis, bentuk pertang gungjawaban CEO atas kesalahan yang diperbuat dalam membuat suatu kebijakan, bisa penurunan jabatan, dipin dahkan posisi, hingga paling fatal adalah pemecatan. Kalau pidana apalagi tuduhan korupsi kan harus memenuhi beberapa kriteria; melanggar hukum, merugikan negara dan menguntungkan pribadi atau pihak tertentu. Menurut saya, hal-hal itu tidak dilakukan oleh Hotasi. Kebijakan yang diambil sesuai dengan prosedur, artinya tidak melanggar hukum. Dan saya yakin, Hotasi secara pribadi tidak meng ambil keuntungan dalam hal ini. Saya pikir kasus ini harus dikupas secara tuntas sehingga semua pihak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Situasi seperti ini bisa saja terjadi pada Direksi BUMN yang lain. Kami tentu tidak ingin permasalahan Hotasi ini menjadi preseden terutama bagi pimpinan BUMN lainnya, dimana suatu kesalahan dalam pengambilan keputusan bisnis harus mendapat ganjaran hukuman pidana.
MUCHTARUDIN SIREGAR Komisaris Utama Merpati Nusantara Airlines (1996-2004) SAYA mengenal Hotasi Nababan beberapa saat menjelang ia dilantik sebagai Direktur Utama Merpati (di tahun 2002). Saya menilai orangnya baik, dan ada keinginan kuat untuk memperbaiki kondisi Merpati. Memang saat 156
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
Hotasi masuk, kondisi Merpati sudah payah. Jadi, untuk melakukan pengembangan atau pembaruan di berbagai hal membutuhkan upaya yang sangat berat. Setiap minggu sekali ada rapat rutin antara jajaran Komisaris dan Direksi Merpati, dan disitu kita saling bertukar pendapat tentang perkembangan Merpati. Ada kalanya kita berdebat, tapi secara umumnya akhirnya ada kesepakatan untuk mengembangkan Merpati ke depan. Terhadap masalah hukum yang menimpa Hotasi sekarang, terus terang saya sama sekali tidak mengetahui, tidak diberitahu, dan juga tidak mencari tahu. Jadi saya tidak ada komentar tentang masalah tersebut.
JAKA PUJIYONO Mantan Direksi MNA SAYA mengenal Hotasi Nababan sejak ia masuk di Merpati tahun 2002. Masuknya Hotasi ke Merpati membawa banyak perubahan, baik dalam orientasi kerja maupun gaya bekerja (work style). Visinya jauh ke depan. Dia ingin Merpati tumbuh menjadi sebuah perusahaan BUMN yang mampu bersaing dengan swasta. Pengalaman bekerja di GE banyak mewarnai perubahan 157
HOTASI NABABAN
gaya bekerja karyawan di Merpati. Hotasi orangnya sangat enerjik. Bahkan ia seringkali memberi energi positif pada semua karyawan Merpati. Dia bisa memotivasi karyawan untuk mampu mencapai target yang telah ditentukan. Dia pun mampu membangun suasana kerja yang kondusif. Hotasi selalu menekankan pelayanan maksimal pada pelanggan. Hotasi juga membangun gaya bekerja yang professional seperti halnya di perusahaan-perusahaan swasta. Kecepatan, efisiensi dan evaluasi, menjadi gaya bekerja yang banyak ia tularkan di Merpati. Gaya bekerja itu tidak saja muncul dalam bentuk per aturan, melainkan dicontohkan langsung oleh Hotasi. Ada pengalaman ketika saya mendapat tugas untuk melakukan pemeriksaan pelayanan penumpang di bandara selaku GM Marketing, Hotasi sering hadir lebih dahulu di lapangan. Dia mencontohkan bagaimana agar karyawan menjadi lebih sigap dalam bekerja dan mau terjun langsung ke lapangan. Itu yang membuat para karyawan terus meningkatkan kinerjanya. Dalam bekerja, Hotasi juga tidak mengenal batasan waktu. Dia termasuk orang yang memiliki waktu kerja 24 jam. Jam berapa saja dia bisa dihubungi atau menghubungi karyawan untuk melakukan kontrol pekerjaan. Dia selalu mengedepankan kepentingan perusahaan di atas kepen tingan pribadi. Karena itu, selama 6 tahun lebih saya berinteraksi dengannya, tidak pernah saya men dengar sedikitpun ada kepentingan pribadi Hotasi dalam pengambilan kebijakan-kebijakan perusahaan. Saya juga 158
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
tidak pernah melihat dia bermain-main dalam hal keuangan perusahaan. Sebagai Direktur Utama, Hotasi termasuk sosok yang sederhana. Pakaian dan barang-barang yang dike nakan bukanlah barang-barang yang branded. Biasa-biasa saja. Bahkan pada waktu Menteri Negara BUMN mempersilahkan agar BUMN menaikkan gaji karyawan termasuk direksi, Merpati termasuk salah satu yang tidak mengambil peluang itu. Hotasi beralasan karena kondisi keuangan Merpati masih berat. Kesederhanaan Hotasi buat saya menunjukkan integritasnya. Kasus yang menimpa Hotasi saat ini menurut saya merupakan resiko bisnis. Dalam berbisnis tentu dari sekian banyak kebijakan, ada saja yang rugi. Seperti halnya bisnis penerbangan, ada rute yang untung dan ada pula rute yang rugi. Itu hal yang biasa dalam bisnis. Dari ribuan keputusan yang diambil Hotasi, tidak semua sukses. TALG adalah contoh yang tidak sukses. Tetapi, pengadilan distrik di Amerika Serikat sendiri telah memutuskan bahwa pihak TALG bersalah dan harus mengembalikan uang deposit Merpati. Beda ceritanya, kalau di pengadilan distrik tersebut Merpati kalah, berarti memang ada yang salah di Merpati. Tapi ini kan menang. TALG sendiri kan sudah mencicilnya meskipun jumlahnya sangat sedikit. Jadi sebenarnya masalah TALG adalah masalah teknis penagihan (collection). Kalau penagihan yang sudah dikuatkan pengadilan di Amerika dijalankan terus, walau perlu waktu, saya kira masalahnya bisa selesai. Meski Merpati masih mengalami kerugian, namun 159
sejak masuknya Hotasi di Merpati hingga ia keluar, terjadi peningkatan pendapatan kotor perusahaan dari Rp 800 Miliar menjadi Rp 2 Triliun per tahun. Kenaikan itu sangat signifikan. Saya berharap agar Hotasi dapat melewati masalah ini dan terus produktif. Saya sering hadir dan menyaksikan bagaimana Hotasi saat menjadi pembicara dalam seminar di depan forum eksekutif, mampu mempengaruhi dan menularkan semangat untuk maju. Saya kira, Hotasi termasuk dari sedikit anak muda yang potensial yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. d
160
BAB IV
ABUSE OF POWER PENEGAK HUKUM
162
d
“Saya tidak akan mengemis agar saya diberi pengampunan, tetapi saya akan memberi pencerahan kepada Anda tentang tugas hakim dan berusaha meyakinkan Anda akan tugas ini….” (Socrates, 399 SM)
K
ALIMAT diatas diucapkan Socrates, seorang filsuf terkemuka Yunani Kuno, di depan persidangan yang mengadilinya. Tugas utama seorang hakim adalah untuk memberikan putusan (judgement), bukan menghadiahkan keadilan berdasarkan favour (baca: korup si, kolusi, dan nepotisme) dan keputusan yang diberikan harus berdasarkan hukum (to judge according to law). Meski putusan mati yang dijatuhkan adalah tidak adil, tetapi Socrates berpendirian, itu adalah legal finding of the court dan harus ditaati, meski harus ditukar dengan nyawa sekalipun.1
Pada tahun 399 SM, Socrates (dalam usia 70 tahun), dihadapkan pada sidang Pengadilan Heliasts yang terdiri dari 501 warga Athena. Dalam pengadilan ini semua warga Athena yang hadir adalah hakim. Socrates dituduh melakukan dua kejahatan. Pertama, Socrates dituduh 1 Lihat Charles Himawan; Etika Politik dan Ketaatan Hukum Socrates; dalam buku “Hukum Sebagai Panglima; Penerbit Kompas; 2006. 163
HOTASI NABABAN
sengaja menolak menyembah dewa-dewa resmi Yunani. Kedua, Socrates dengan sengaja telah merusak pikiran anak muda dengan ajaran-ajaran filsafatnya. Dari semula Socrates telah mengetahui ia tidak mem punyai peluang untuk keluar dari sidang pengadilan sebagai orang bebas, karena sebagian besar hakim adalah musuh-musuh Socrates. Melihat realitas itu, salah seorang muridnya, Crito, bermaksud menyuap para penjaga penjara agar Socrates bisa melarikan diri. Meski Socrates menge tahui bahwa tuduhan yang dikenakan pada dirinya adalah palsu dan hasil rekayasa, ia menganggap melarikan diri dari penjara adalah suatu kejahatan terhadap negara. Sang filsuf memilih menghadapi sidang pengadilan, meski ancaman hukuman mati telah menantinya. Dan, pada akhirnya, Pengadilan Heliasts menjatuhkan vonis mati, dengan cara meminum racun, terhadap Socrates. Sesaat sebelum menjalani hukuman mati itu, Socrates berkata kepada dua orang sahabatnya, Simmias dan Cebes: “…orang harus tabah ketika menghadapi kematian, dan patut mempunyai harapan baik, bahwa setelah meninggalkan dunia ini, ia akan memperoleh kebaikan terbesar di dunia lain…” Pengadilan yang akan dihadapi Hotasi Nababan, mung kin, tidak setragis yang dihadapi Socrates. Persidangan yang dihadapinya juga bukan Pengadilan Heliasts, melainkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Tapi, ada kesa maan antara perkara Socrates dan Hotasi: tuduhan yang dihadapi merupakan hasil rekayasa. Dalam hal Hotasi, tuduhan atau sangkaan yang menjeratnya merupakan 164
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
rekayasa aparat kejaksaan. Dan meski tahu perkara yang menjeratnya merupakan hasil rekayasa, Hotasi Nababan— sebagaimana juga Socrates—tetap tegar menghadapi sidang pengadilan. Ia, seperti juga Socrates, mentaati hukum apapun risiko yang harus dihadapi. Hotasi merupakan korban penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) aparat penegak hukum. Ia terjerat perkara tindak pidana korupsi, berkaitan sewa pesawat Merpati beberapa tahun lalu. Hotasi ditetapkan sebagai tersangka penyidik Kejaksaan Agung, 16 Agustus 2011. Hanya sehari menjelang peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Ia dituduh telah melanggar pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 (sebagaimana sudah diubah menjadi UU No. 20 Tahun 2001) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK). Ketentuan pasal 2 ayat (1) UU PTPK menyatakan tindak pidana korupsi adalah: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara……” Penjelasan umum UU PTPK menyatakan bahwa agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara “melawan hukum” dalam pengertian formil maupun materiel. Dengan perumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam 165
HOTASI NABABAN
tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatanperbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masya rakat harus dituntut dan dipidana. Sebagaimana diketahui, delik formil adalah rumusan undang-undang yang menitikberatkan kelakuan yang dilarang dan diancam oleh undang-undang. Delik formil tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik. Misalnya, pencurian (pasal 362 KUHP), penghasutan (pasal 160 KUHP), perbuatan di muka umum menyatakan perasaan kebencian, permusuhan atau penghinaan kepada salah satu atau lebih golongan rakyat di Indonesia (pasal 156 KUHP), penyuapan (pasal 209, 210 KUHP), sumpah palsu (pasal 242 KUHP), pemalsuan surat (pasal 263 KUHP). Sedangkan delik materiel adalah rumusan undangundang yang menitikberatkan akibat yang dilarang dan dian cam dengan pidana oleh undang-undang. Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum, maka paling banyak hanya ada percobaan. Misalnya, tentang penganiayaan (pasal 35 KUHP), pembakaran (pasal 187 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP). Dalam beberapa hal, batas antara delik formil dan materiel tidak terlalu jelas, misalnya tentang pencurian (pasal 362 KUHP), dan tentang larangan melakukan bigami atau poligami (pasal 279 KUHP).
166
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
Peluang Abuse of Power Ketidakjelasan itu pula yang terjadi dengan rumusan pasal 2 ayat (1) UU PTPK, serta penjelasan pasal tersebut. Ketidakjelasan tersebut yang mengundang penafsiran yang luas (multi-tafsir) dari kalangan aparat penegak hukum, yang pada gilirannya cenderung memberi peluang abuse of power. Abuse of power aparat penegak hukum, termasuk kejak saan, terutama disebabkan kewenangan dan kekuasaan yang besar dalam menentukan status perkara. Hasil penelitian Juniver Girsang, dalam disertasi doktor ilmu hukum di Universitas Padjajaran Bandung, memperlihatkan bahwa di dalam praktik peradilan pidana korupsi, putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 003/PUU-IV/2006, tanggal 25 Juli 2006,yang telah menghapus ajaran sifat melawan hukum materiel, ternyata tidak ditaati oleh aparat penegak hukum, termasuk hakim Mahkamah Agung dalam memberikan putusannya.2 Putusan Mahkamah Konstitusi itu berawal dari gugatan yang dilayangkan Ir. Dawud Djatmiko, yang tersangkut perkara dugaan korupsi pembangunan jalan Jakarta Outer Ring Road (JORR). Dawud yang merasa dirugikan karena sangkaan korupsi, mengajukan judicial review (permohonan pengujian) terhadap pasal 2 ayat (1) UU PTPK. Setelah bersidang, Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan judicial review tersebut. Dalam putusannya, Majelis Hakim Konstitusi berpendapat bahwa pasal 2 ayat (1) 2 Dr. Juniver Girsang, SH, MH; Abuse Of Power, JG Press, 2012 167
HOTASI NABABAN
Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK), sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang No. 20 Tahun 2001, telah memperluas kategori unsur “melawan hukum” dalam hukum pidana, tidak lagi hanya sebagai formele wederrechtelijkheid melainkan juga dalan arti materiele wederrechtelijkheid. Penjelasan pasal 2 ayat (1) UU PTPK kalimat bagian pertama itu berbunyi “Yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.” Menurut pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi, penjelasan dari pembuat undang-undang ini sesungguhnya bukan hanya menjelaskan pasal 2 ayat (1) tentang unsur melawan hukum, melainkan telah melahirkan norma baru, yang memuat digunakannya ukuran-ukuran yang tidak tertulis dalam undang-undang secara formal untuk menen tukan perbuatan yang dapat dipidana. Penjelasan yang demikian itu, telah menyebabkan kriteria perbuatan melawan hukum (pasal 1365 KUHPerdata) yang dikenal dalam hukum perdata yang dikembangkan sebagai jurisprudensi mengenai perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), seolah-olah telah diterima menjadi suatu ukuran melawan hukum dalam hukum pidana (wederrechtelijkheid). Karena itu, apa yang patut dan yang memenuhi syarat moralitas dan 168
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
rasa keadilan yang diakui dalam masyarakat, yang berbedabeda dari satu daerah ke daerah lain, akan mengakibatkan bahwa apa yang di satu daerah merupakan perbuatan melawan hukum, di daerah lain boleh jadi bukan merupakan perbuatan melawan hukum. Berkaitan dengan pertimbangan di atas, Majelis Hakim Konstitusi dalam putusan Nomor 005/PUU-III/2005 telah pula menguraikan bahwa sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam praktek pembentukan perundangundangan yang baik, yang juga diakui mengikat secara hukum, penjelasan berfungsi untuk menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam pasal dan tidak menambahkan norma baru, apalagi memuat substansi yang sama sekali bertentangan dengan norma yang dijelaskan. Dengan berbagai pertimbangan itu, Majelis Hakim Konstitusi memutuskan penjelasan pasal 2 ayat (1) UU PTPK kalimat pertama itu merupakan hal yang tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, penjelasan pasal 2 (ayat 1) UU PTPK sepanjang frasa “Yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”, dinyatakan bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia 169
HOTASI NABABAN
1945, sekaligus tidak mempunyai hukum mengikat. Tentu saja, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut akan mudah distigmatisasi sebagaipendukung aliran legalistik, yang oleh beberapa pakar hukum disebutkan bahwa aliran legalistik ini telah dinyatakan ketinggalan jaman atau tidak mengikuti perkembangan jaman. Namun, dengan iklim yang memprihatinkan dari penanganan perkara tindak pidana korupsi di Indonesia yang memperlihatkan maraknya mafia hukum dan praktik penyalagunaan kekuasaan (abuse of power) dari aparat penegak hukum, aliran legalistik nampaknya masih diperlukan, demi tercapainya kepastian hukum. Apalagi, asas legalistik merupakan landasan hukum fundamental dari hukum pidana di Indonesia, sebagaimana dianut pasal 1 ayat (1) KUHP: “Suatu perbuatan tidak dapat di pidana, kecuali berdasarkan kekuatan hukum perundangundangan pidana yang telah ada.” Jadi, jelaslah putusan Mahkamah Konstitusi lebih mem perlihatkan adanya jaminan kepastian hukum yang adil. Pantas dicatat, pada hakekatnya hukum itu diadakan harus dapat menjamin kepastian hukum dan menciptakan keadilan. Putusan Mahkamah Konstitusi itu yang menghendaki bahwa hubungan kata “dapat” dengan merugikan “keuangan negara” memunculkan dua pandangan ekstrim: yaitu, pandangan yang nyata-nyata merugikan keuangan negara; dan pandangan yang mengatakan masih kemungkinan dapat menimbulkan kerugian negara. Karenanya, unsur “dapat” merugikan keuangan negara atau perekonomian negara itu harus dapat dibuktikan dan dihitung terlebih dahulu. Sehingga, Mahkamah Konstitusi menghendaki 170
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
adanya kerugian keuangan negara harus ditempatkan sebagai delik formil, dimana unsur-unsur perbuatan harus telah dipenuhi. Dalam pandangan Mahkamah Konstitusi frasa “dapat merugikan keuangan negara” yang menjadi akibat dari suatu perbuatan tidak menjamin kepastian hukum yang adil. Kendati demikian, apabila kerugian negara itu tidak dapat dibuktikan secara akurat dalam hal jumlah kerugiannya, maka dipandang cukup untuk menuntut atau memidana pelaku sepanjang unsur dakwaan lain berupa unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan cara melawan hukum telah terbukti. Bila dilihat secara objektif rasional, khususnya dalam praktik penegakan hukum perkara korupsi, maka putusan Mahkamah Konstitusi itu merupakan salah satu solusi adanya jaminan kepastian hukum yang diberikan dalam penanganan tindak pidana korupsi. Tapi, seperti dijelaskan diatas, putusan Mahkamah Konstitusi ini ternyata tidak ditaati dan dijalankan sebagian kalangan aparat penegak hukum, termasuk aparat kejaksaan dan peradilan. Hal itu memiliki implikasi yang sangat signifikan terhadap penegakan tindak pidana korupsi, yaitu terjadinya ketidak pastian hukum dan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) oleh aparat penegak hukum. Adanya ruang penaf siran (yang subyektif sifatnya) sebagai implementasi dari ajaran sifat melawan hukum materil, merupakan celah yang dapat dimanfaatkan aparat penegak hukum sesuai kepentingannya dalam menangani tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu, menurut Juniver Girsang, perlu dibuat 171
HOTASI NABABAN
undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang secara tegas menyatakan diberlakukannya sifat melawan hukum formil, dan membuat secara jelas dan rinci unsurunsur melawan hukum dalam tindak pidana korupsi.3
Motif Abuse of Power Akibat penyalahgunaan wewenang (abuse of power) yang telah dilakukan oknum aparat hukum, termasuk oknum jaksa, telah membuat citra institusi hukum tercemar. Dalam beberapa kasus, bahkan memicu amarah rakyat yang merasa teraniaya. Bila martabat hukum telah direndahkan oleh aparatnya sendiri, maka rakyat akan mengambil jalannya sendiri. Ini peringatan bagi kalangan penegak hukum, terutama kalangan kejaksaan, yang telah bertindak menyelewengkan wewenang dan kuasanya secara semena-mena. Motif abuse of power yang dilakukan oknum aparat kejaksaan terutama berkaitan dengan dua hal: kepentingan pribadi dan intervensi atau dipengaruhi pemegang ke kuasaan. Dalam kaitan motif pertama, yaitu motif kepen tingan pribadi oknum kejaksaan ada bermacam-macam, tapi kebanyakan berkaitan dengan mencari keuntungan ekonomi ataupun peningkatan karir/jabatan. Kini, seperti dikatakan Prof. Satjipto Rahardjo, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro,hukum—terutama yang berkaitan dengan perkara-perkara korupsi, telah menjadi komoditas —untuk mencari keuntungan materi dan memperkaya 3 ibid 172
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
diri sendiri bagi aparat penergak hukum. Fenomena dan tren inilah yang bahwa “hukum telah menjadi semacam komoditi yang diperdagangkan”. 4 Sedangkan mengenai abuse of power yang berkaitan dengan pengaruh kekuasaan, T. Mulya Lubis pernah menga takan bahwa fungsi kejaksaan telah berubah: dari lembaga penegak hukum yang terutama mewakili kepentingan hukum publik menjadi lembaga penegakan hukum yang mewakili kepentingan negara (elit kekuasaan). “Secara formal kita tahu bahwa kejaksaan itu bagian dari pemerintah, tetapi sebagai lembaga penegak hukum seharusnya kiblat kejaksaan itu adalah kepentingan publik: public sense of justice,” tegas Mulya Lubis.5 Hal ini, menurut Mulya Lubis, terutama disebabkan kuatnya budaya militerisme dalam tubuh kejaksaan. Ber kaitan dengan proses pengambilan keputusan, misalnya, dalam hal “rentut” (rencana penuntutan) semuanya ter gantung kepada atasan. Tak heran, bila kita jarang melihat kaderisasi yang berhasil di tubuh kejaksaan, karena sejak dini sudah dilatih tunduk pada atasan. Padahal seorang jaksa yang baik adalah jaksa yang mampu bertindak dan memutuskan sesuatu dalam iklim kerja yang otonom, bebas, dan independen.6 4 Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH; Sekitar Hukum yang Diperdagangkan; dalam buku “Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia; Penerbit Kompas; 2009 5 T. Mulya Lubis; Kejaksaan Agung: Reformasi Jalan di Tempat; Kompas, 22 Juli 2003 6 ibid 173
HOTASI NABABAN
Abuse of power yang dilakukan para oknum jaksa, apapun motifnya, jelas telah mencemarkan citra Korps Adhyaksa, serta melanggar doktrin Trikrama Adhyaksa: Satya Adi Wicakasana. Satya bermakna kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga maupun kepada sesama manusia.Adi bermakna kesempurnaan dalam bertugas dan yang berunsur utama, bertanggungjawab baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap keluarga dan terhadap sesama manusia. Wicaksana bermakna bijaksana dalam tutur-kata dan tingkah laku, khususnya dalam penerapan kekuasaan dan kewenangannya.7 Ulah oknum jaksa juga telah menyimpang jauh dari visi korps Adhyaksa yang berbunyi: “Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang bersih, efektif, efisien, transparan, akuntabel, untuk dapat memberikan pelayanan prima dalam mewujudkan supremasi hukum secara profesional, proporsional dan bermartabat yang berlandaskan keadilan, kebenaran, serta nilai – nilai kepautan.”
Teladan dari Lopa Di kalangan kejaksaan sendiri, sebenarnya juga pernah ada figur-figur yang pantas menjadi teladan dalam menegakkan doktrin dan misi Korps Adhyaksa tersebut. Salah seorang diantaranya adalah (almarhum) Baharuddin Lopa, yang telah menjadi legenda dalam dunia penegakan hukum di negeri ini. Lopa dikenal sebagai jaksa yang tak 7 Dikutip dari www.kejaksaan @ co.id 174
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
kenal kompromi dalam menegakkan hukum. Salah satu kisah klasik tentang sepak terjangnya adalah saat ia menyidik dan memenjarakan Tony Gozal, pengusaha kaya dan salah satu “orang kuat” di Sulawesi Selatan di era 1980-an.
Associated Press
Saat itu, Lopa menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Sula wesi Selatan (1982-1986), menjebloskan Tony Gozal dalam kasus penyelewengan tanah milik pemerintah daerah. Tekanan dari segala penjuru agar berhenti menyidik Tony, tak digubris Lopa. Suatu kali, ditengah gencargencar nya memeriksa Tony, Presiden Soeharto bersama Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew bertemu di Makassar. Tempatnya tak lain di Hotel Makassar Golden, hotel termewah di Sulawesi Selatan milik Tony. Lopa ikut menjemput Soeharto dan Lee di Bandara Hasanuddin. Tapi ia menolak mengantar sampai ke hotel dan tak mau
Baharuddin Lopa 175
HOTASI NABABAN
datang ke jamuan makan malam yang dihadiri semua pejabat Sulawesi. “Tidak baik saya ke situ. Apa kata orang kalau saya datang ke hotel yang sedang saya sidik,” kata Lopa. Tony kemudian divonis bersalah dan meringkuk di Penjara Gunungsari. Gara-gara perkara ini, Lopa terpental dari jabatannya.8 Pertengahan 2001, Presiden Abdurahman Wahid mengangkat Lopa sebagai Jaksa Agung. Ia pun segera melakukan gebrakan, terutama menyidik berbagai perkara korupsi yang sempat di peti-es kan kejaksaan. Tapi, sayang, baru beberapa bulan menduduki jabatan Jaksa Agung, “pendekar hukum” ini wafat. Kematiannya diratapi banyak orang. Bendera-bendera diturunkan setengah tiang. Skala liputan media tentangnya hanya bisa ditandingi peristiwa meninggalnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Gus Dur. Itu menandakan bahwa rakyat sebenarnya merindukan dan mencintai aparat penegak hukum yang benar-benar menjalankan tugas mulianya.
Lunturnya Moralitas Penegak Hukum Tapi, apa yang terjadi sekarang, segelintir aparat penegak hukum, termasuk di kejaksaan, telah menyeleweng jauh dari doktrin Adhyaksa serta teladan dari para senior mereka. Kronisnya penyakit di tubuh Korps Adhyaksa disinyalir dari sebuah audit yang pernah dilakukan terha dap institusi kejaksaan, yang dilakukan sebuah lembaga 8 Lihat “Cermin Lopa Buat Pejabat Republik; Tempo, edisi 19/XXX/09-15 Juli 2001 176
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
independen, beberapa tahun lalu. Hasil audit yang dila kukan selama enam bulan itu menyimpulkan, institusi kejaksaan tidak siap atau ill equipped untuk memikul tugas berat dalam tantangan demokrasi menuju Indonesia Baru. Kejaksaan secara meluas dianggap lembaga yang tak memiliki integritas, profesionalitas, dan efesiensi. Hasil kerja kejaksaan sejak konsolidasi zaman Orde Baru, dianggap gagal. Padahal di negara lain lembaga kejaksaan dikenal amat signifikan perannya, dan karenanya didukung masyarakat serta komunitas hukum. Karena dalam tatanan law enforcement, kejaksaan lah lembaga yang memimpin penegakan hukum dan keadilan di negeri ini.9 Di samping itu, perkembangan hukum positif sendiri juga semakin pesat. Sehingga, jangankan orang awam, para ahli hukum sendiri pun tidak mudah mengetahui dan menguasai sekalian bidang dan peraturan hukum yang telah dikeluarkan. Maka, saat ini masyarakat dan para konsumen hukum berada pada kedudukan yang sangat lemah dan rentan. Di sisi lain, para pemangku profesi hukum juga memiliki resiko besar untuk terjerumus ke dalam praktikpraktik manipulasi kepentingan. 10 Lebih lanjut, menurut Satjipto, lunturnya idealisme para penegak hukum di Indonesia akan memiliki dampak sosial yang besar bagi cita-cita keadilan hukum di negeri ini. Memang lunturnya idealisme penegak hukum di negeri ini tidak bisa disalahkan mengingat budaya hukum di negeri ini semakin menuju pada arus komersialisasi. Hukum seolah 9 T. Mulya Lubis, opcit 10 Satjipto Rahardjo, opcit 177
Q Comm / Karel Sihombing
HOTASI NABABAN
Kejaksaan Agung yang diharapkan menjadi garda terdepan penegakan hukum di Indonesia. Tetapi, sayang citranya tercemar oleh ulah sejumlah oknum jaksa.
menjadi komoditi yang diperjual-belikan. Sementara itu, kejahatan makin lama makin canggih dan makin sulit dideteksi. Ini tidak diimbangi dengan peningkatan sikap profesionalisme aparat kejaksaan. Dulu, korupsi itu masih bersifat personal. Kemudian menjadi struktural, kultural, dan sekarang menjadi sistemik. Tapi, kata Satjipto, untuk mengatasinya, tidak diimbangi dengan visi, konsep, dan program kerja yang canggih. Akibatnya, muncul kesan bahwa Kejaksaan Agung lamban menangani.11 Sampai kini, kata Satjipto lagi, semua penegak hukum (polisi, hakim, dan jaksa) belum pernah menyamakan visi dan tindakan untuk menghadapi korupsi. Aparat hukum 11 Satjipto Rahardjo, opcit 178
Jasman Panjaitan, mantan Direktur Penyidikan Jampidsus yang menetapkan Hotasi Nababan sebagai tersangka dengan surat No. Print 104/F2/Fd. 1/08/2011, tanggal 16 Agustus 2011.
yang korup harus segera ditindak. Lalu, dipikirkan bagai mana tindakan pencegahannya melalui pengawasan, di antaranya dengan penerapan sistem kontrol terpadu. Misal nya, kejaksaan agung atau kepolisian diwajibkan memberikan laporan kepada publik, atau memiliki akses untuk mengontrol kinerja mereka. Jadi, masyarakat harus dilibatkan. Singkat kata, reformasi penegakan hukum tersendat, karena hampir 35 tahun soal penegakan hukum telantar. Institusi hukum seperti kejaksaan, kepolisian, pengadilan, dan advokat lemah. Reformasi hukum dan penegakan hukum baru akan jalan jika ada institusi hukum yang solid dan kuat. Reformasi penegakan hukum masih berjalan lambat dan belum memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pada dasarnya apa yang terjadi akhir-akhir ini merupakan ketiadaan keadilan yang dipersepsi masyarakat (the absence of justice). Ketiadaan keadilan ini merupakan akibat dari pengabaian hukum (dis 179
tribunnews.com
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
HOTASI NABABAN
regardling the law), ketidakhormatan pada hukum (disres pecting the law), ketidakpercayaan pada hukum (distrusting the law) serta adanya penyalahgunaan hukum (misuse of the law). Sejumlah masalah yang layak dicatat berkenaan dengan lambannya proses reformasi penegakan hukum antara lain: sistem peradilan yang dipandang kurang independen dan imparsial, belum memadainya perangkat hukum yang mencerminkan keadilan sosial, inkonsistensi dalam penegakan hukum, masih adanya intervensi terhadap hukum, lemahnya perlindungan hukum terhadap masyarakat, rendahnya kontrol secara komprehensif terhadap penegakan hukum, belum meratanya tingkat keprofesionalan para penegak hukum. Survei Lembaga Survey Indonesia (LSI) yang dipublikasi Januari 2012 lalu, menunjukkan proporsi publik yang menilai kondisi penegakan hukum di Indonesia buruk atau sangat buruk jauh lebih besar ketimbang penilaian sebaliknya. Hampir sepanjang pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2011), baru pada Desember 2011, saat survei dilakukan, lebih banyak rakyat yang menilai kondisi penegakan hukum secara umum “buruk”. Pada tahun-tahun sebelumnya penilaian seperti ini tidak pernah terjadi. Temuan ini menunjukkan terjadinya penurunan penilaian positif terhadap pemerintah.12 Berdasarkan survei yang melibatkan 1.220 responden, penilaian bahwa penegakan hukum di negeri ini baik dan sangat baik hanya tercapai sekitar 33 persen, sementara yang menilai buruk dan sangat buruk mencapai sekitar 12 Tempo.co, 10 Januari 2012 180
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
43 persen. Tren persepsi atas kondisi penegakan hukum secara nasional saat ini menjadi rendah karena dipicu oleh berbagai hal, seperti lemahnya penegakan hukum terkait kasus dana talangan Bank Century, skandal Nazarudin, dan kasus Nunun Nurbaeti. Data Governance Indicator World Bank 2011, dalam sepuluh tahun terakhir, juga menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia tidak mengalami kemajuan berarti, dan masih tetap negatif. Korupsi tinggi, kepastian hukum rendah, regulasi tidak berkualitas, dan inefisiensi penyelenggaraan negara. Jika ini terus berlanjut, kepercayaan publik terhadap penegakan hukum dan pemberantasan korupsi bisa semakin merosot.13 Situasi dan kondisi hukum seperti digambarkan di atas itulah yang kemudian menyuburkan apa yang disebut sebagai “mafia peradilan”. Banyak pihak menilai sangat sulit menghilangkan “mafia peradilan” di sebuah negara berkembang seperti Indonesia. Ini mengingat tingkat ketaatan aparat penegak hukum terhadap kode etik serta standar moral, masih sangat tipis. Akibatnya, melunturnya kewibawaan hukum dan badan peradilan di mata publik. Bisa jadi, itulah sebabnya belakangan ini sempat muncul gagasan untuk memidanakan putusan hakim yang salah memutus suatu perkara. Tapi, gagasan ini segera ditentang kalangan hakim dan akademisi.14 Pasalnya, jika 13 ibid 14 Lihat Harifin A. Tumpa, “Upaya Meruntuhkan Kekuasaan Kehakiman?”, Kompas, 26 April 2012, dan Romli Atmasasmita; “Menghukum Putusan Pengadilan”, Kompas, 3 Mei 2012. 181
HOTASI NABABAN
gagasan memidanakan putusan hakim itu terlaksana, maka akan mengancam kekuasaan kehakiman yang merdeka. Pemidanaan putusan hakim akan mematikan kreativitas hakim, dan nantinya tidak akan pernah menemukan hakim progresif. Seperti dikatakan Harifin H. Tumpa, mantan Ketua Mahkamah Agung, “Saya setuju hakim bahwa harus profe sional. Saya juga setuju hakim yang ‘nakal’ dan mem perjualbelikan perkara harus ditindak dengan hukum yang seberat-beratnya, tetapi tidak berdasarkan putusannya… Putusan hakim harus menegakkan hukum dan keadilan, bukan hukum atau undang-undang semata, karena hakim bukanlah corong undang-undang (de la bouche de la loi). Hakim dapat menemukan hukum (rechtsvinding) atau menciptakan hukum (rechtsschepping).”15
Solusi untuk Kewibawaan Penegak Hukum Sebagai rakyat negeri ini, kita tentu mengharapkan pene gak hukum yang bisa bersikap profesional dan independen, serta mengambil keputusan yang memenuhi rasa keadilan. Itu semua demi martabat penegak hukum yang berwibawa. Berkaitan dengan itu, ada beberapa solusi yang dibutuhkan: • Penyempurnaan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terutama yang berkaitan de ngan pasal-pasal yang bertentangan dengan konstitusi negara, UUD 1945. Misalnya, pasal 2 ayat (1) UU PTPK serta penjelasannya, yang telah dinyatakan Mahkamah 15 Harifin A. Tumpa, ibid 182
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
Konstitusi bertentangan dengan UUD 1945. • Peningkatan profesionalisme aparat penegak hukum, sehingga mampu bersikap independen dan bersih. Hal ini akan berdampak bagi tegaknya hukum dan keadilan di negeri ini. • Perbaikan kesejahteraan aparat penegak hukum, ter utama kalangan hakim. Sebab, bagaimanapun, hakim adalah gerbang terakhir bagi masyarakat yang mencari keadilan. Dengan hakim yang kesejahteraan cukup, diharapkan dunia peradilan Indonesia bisa menjadi lebih baik dan bersih. • Selain itu, diperlukan juga keteladanan dari tokohtokoh penegak hukum yang bersih dan berani dalam menegakkan hukum dan keadilan. Sosok seperti Baha rudin Lopa merupakan salah satu yang pantas diteladani para penegak hukum di negeri ini.
d
183
HOTASI NABABAN
Bersama salah satu tokoh kepemimpinan yang dikaguminya, Steven Covey, Oktober 2003 184
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
MENJADI PESAKITAN DI KEJAKSAAN oleh Hotasi Nababan
P
ADA 7 Mei 2011 siang, bertepatan dengan ulang tahun saya ke 46, terjadi kecelakaan pesawat MA-60 di Kaimana, Papua. Suasana duka menyelimuti Merpati dan masyarakat. Saya segera menelpon Sardjono Jhony Setiawan, Direktur Utama Merpati, untuk menyampaikan simpati dan duka mendalam. Setiap kecelakaan pesawat yang membawa korban akan menjadi mimpi buruk seumur hidup bagi Dirut atau CEO maskapai penerbangan (airlines) dimanapun. Selanjutnya, pemberitaan berkembang ke mana-mana. Bumbu politik pun ikut bercampur. Masyarakat menuntut dilaku kannya penyelidikan. Kejaksaaan mulai me manggil pimpinan Merpati. Saat pemeriksaan MA-60 inilah, kejaksaan memanggil saya dan beberapa mantan direksi Merpati lainnya. Tapi bukan berkaitan dengan kecelakaan pesawat di Kaimana, melainkan untuk kasus sewa pesawat yang terjadi lima tahun sebelumnya . Saat memenuhi panggilan pemeriksaan pertama, akhir Juni 2011, kami datang tanpa pernah berpikir kasus ini akan diteruskan. Tanpa didampingi penasihat hukum, saya, Guntur Aradea (mantan Direktur Keuangan), Harry Par djaman (mantan Direktur Operasi), Tony Sudjiarto (mantan 185
HOTASI NABABAN
GM Aircraft Procurement), dan Fardinan Kenedy (Biro Hukum Merpati) menganggap bahwa pe mang gilan ini hanya untuk melengkapi data yang sudah pernah diberikan kepada Kejaksaan dan Bareskrim Mabes Polri. Suasana pemeriksan santai dan berlangsung secara paralel selama dua jam. Sebagian besar waktu dihabiskan untuk “pertanyaan administratif”. Kemudian kami dipanggil lagi tanggal 4 Juli 2011. Kali ini, suasana pemeriksaan mulai serius. Tim pemeriksa mulai bertanya tentang kewenanangan masing-masing orang, dan proses pengambilan keputusan penempatan deposit. Setelah selesai pemeriksaan, kami mulai bertanya kepada tim penyi dik di bagian Pidana Khusus itu tentang hasil penyelidikan Kejaksaan Agung di tahun 2007 (oleh penyidik Jaksa Agung Muda Intelijen/JAM Intelijen) dan tahun 2008 (oleh penyidik Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara/JAM Datun). Tim penyidik menjawab bahwa penyidikan ini tidak ada sangkut pautnya dari penyelidikan terdahulu. Kemudian, kami sampaikan salinan surat dari Bareskrim dan KPK tentang tidak ditemukannya unsur pidana. Begitu menerima salinan surat itu, jaksa penyidik segera mema sukkan ke dalam map tanpa membuka dan membacanya. Mereka menegaskan bahwa setiap instansi punya kewenangan melakukan penyelidikan sendiri. Di saat itulah kami men cium adanya desakan atas kasus ini. Benar saja, tanpa pem be ritahuan, status pemeriksaan ditingkatkan menjadi “penyidikan” pada 7 Juli 2011. Saat saya tengah berkumpul dengan keluarga besar di sore
186
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
hari libur, tanggal 17 Agustus, datanglah banyak sms dari wartawan yang memberitahu berita penetapan saya sebagai “tersangka” kasus sewa pesawat Merpati. Berita itu, bagi saya, seperti geledek besar. Banyak kawan dan keluarga mengirim sms, email, dan twitter mempertanyakan penetapan tersangka ini. Tentu saja saya sangat kaget dan kecewa. Tidak pernah saya membayangkan dijadikan “tersangka korupsi”, sebuah perbuatan yang tidak pernah dan akan saya lakukan. Saat itu saya sulit berpikir jernih. Siapa dan benda apakah yang saya hadapi ini? Beberapa minggu kemudian, 12 September 2011, saya dicekal oleh Dirjen Imigrasi atas permintaan JAM Intelijen Kejaksaan. Saya merasa dijadikan seseorang yang harus dimusuhi negara, karena dianggap bisa kabur ke luar negeri. Ini kesedihan saya kedua setelah penetapan sebagai tersangka korupsi. Sekarang saya tidak dapat mengunjungi mitra kerja yang ada di luar negeri, atau menghadiri konferensi. Semua rencana perjalanan dengan keluarga pun dibatalkan. Dahulu saat sebagai aktivis mahasiswa, “cekal” memberi makna kepahlawanan menghadapi rezim Suharto. Sekarang, “cekal” seperti menjadi borgol yang hina. Mengapa saya menjadi pesakitan dari sebuah kasus yang “sumir”? Kami yang sesungguhnya korban penipuan pihak TALG, malah menjadi pesakitan. Ada perjanjian yang sah. TALG bukan fiktif. Pesawat yang akan disewa ada. Merpati memenuhi kewajibannya, TALG tidak. Kemudian Merpati minta pengembalian depositnya, TALG menolak. Akhirnya, pengadilan Washington DC memenangkan gugatan Merpati. TALG bangkrut, tapi pemiliknya tetap harus mengembalikan. 187
HOTASI NABABAN
Mediasi dilakukan lagi di Washington DC. Mereka masih tidak menunjukkan itikad baik. Atas saran Jaksa Pengacara Negara dari JAM Datun, maka Merpati mulai menuntut pidana “penggelapan” supaya mereka lebih serius mengembalikan. Namun, di tahun 2010, Direksi Merpati menghentikan penuntutan pidana dan pengejaran uang. Pada titik inilah, potensi kerugian negara dapat terjadi. Sepanjang pemeriksaan di Kejaksaan Agung, saya belajar dan mendengar banyak. Kejaksaan adalah lembaga negara yang punya tradisi kuat sejak zaman Belanda, yang namanya bahkan diambil dari zaman Majapahit. Menarik kutipan dari wikipedia: ….. W.F. Stutterheim mengatakan bahwa dhyaksa adalah pejabat negara di zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya di saat Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa (1350-1389 M). Dhyaksa adalah hakim yang diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan. Para dhyaksa ini dipimpin oleh seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi para dhyaksa tadi.
Doktrin Kejaksaan Tri Krama Adhyaksa juga luar biasa, yaitu satya, adhi, dan wicak sana. “Satya” berarti kese tiaan dari kejujuran. “Adhi” adalah kesempurnaan bekerja. “Wicaksana” berarti bijaksana dalam ber tindak. Dengan doktrin ini, Kejaksaan adalah aset terpenting bangsa ini untuk mewujudkan keadilan bagi semua. Terhadap kasus saya ini, apakah para jaksa yang memeriksa saya sudah jujur terhadap fakta yang ada? Apakah jaksa penyidik sudah hati-hati menganalisa agar
188
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
kesimpulannya tidak bercacat? Apakah sudah bijaksana dalam memperkarakan kami? Yang menarik adalah mengamati bagaimana dinamika yang ada di antara anggota penyidik di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, karena mereka mengalami beberapa kali pergantian. Anggota yang diganti selalu mendapat jabatan struktural baru di daerah, atau promosi. Anggota yang mengganti selalu dari daerah, yang menunggu penu gasan berikut sebagai jaksa fungsional di bagian pidana khusus. Sebagai jaksa fungsional, mereka diharapkan dapat konsentrasi dan independen dalam menyidik. Tanpa menyebut nama, saya menyaksikan segelintir jaksa yang sangat ambisius untuk mengejar promosi akan begitu gencar meme riksa kami, bahkan kadang-kadang bukan bertanya lagi tapi sudah menyalahkan. Sebagian lagi yang masih baru lebih berhati-hati dalam bertanya, dan mau mendengarkan penjelasan serta membaca dokumen yang disampaikan. Kedua pendekatan itu, bisa jadi, dilakukan agar hasil penyidikan bisa dari kedua sisi. Dalam tiga kali pemeriksaan saya sebagai ter sangka, pertanyaan penyidik seperti tidak fokus. Hal ini terutama ditunjukkan dari perbuatan pidana yang disangkakan berubah-ubah. Awalnya, mereka menggali kemungkinan pelanggaran prosedur penga daan. Kemudian bertanya tentang per ijinan dari pemegang saham dan komi saris. Berikutnya, tentang surat kuasa penan datanganan per janjian. Belakangan mereka konsentasi pada dua hal, yaitu: sejauh mana kami mengetahui adanya niat TALG untuk
189
HOTASI NABABAN
memindahkan deposit, dan pengikatan pesawat yang belum dikuasai. Semua hal itu telah dijawab dengan dokumen yang disiapkan dan keterangan para ahli hukum dan kalangan praktisi penerbangan. Saat beristirahat, sebagian penyidik meng ung kapkan bahwa dalam gelar perkara, suara tim penyidik masih belum bulat. Sebagian masih melihat belum cukup bukti adanya unsur pidana. Sementara sebagian besar mulai jenuh atas status kasus ini, dan menganggap lebih baik pengadilan lah yang memutuskan. Saya juga mendengar bagaimana sistem peng ukuran kinerja internal kejaksaan makin ketat. Setiap jaksa punya KPI (key perfor mance indicator), seperti layaknya sebuah perusahaan. Jumlah kasus korupsi menjadi target dari tingkat bawah di Kejaksaan Negeri hingga Kejaksaan Agung. Selain kuantitas, tim jaksa yang dapat menuntaskan kasus korupsi yang pembuktiannya sulit akan mendapat kredit. Demikian juga Kejaksaan punya target pengembalian kerugian negara. Tersangka korupsi dijanjikan keringanan hukuman jika bersedia membayar kerugian negara itu ke kas negara. Namun, dalam banyak kasus, hal ini tidak terjadi. Walaupun membayar jumlah yang dituduhkan, para tersangka tetap dihukum. Jika Kejaksaan berorientasi pada jumlah kasus korupsi, pemaksaan unsur pidana, dan pengejaran uang negara yang berujung pada pencitraan, di manakah doktrin Tri Karma Adhyaksa berada? Apakah kejaksaan bisa jujur, seksama, dan bijaksana?
190
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
Memberikan souvenir Merpati kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di penerbangan VVIP dari Aceh ke Jakarta, Februari 2005.
Menyalami Presiden Megawati Soekarnoputri sebelum penerbangan VVIP Merpati, 2004. 191
HOTASI NABABAN
Mendampingi Menteri Perhubungan Hatta Rajasa dalam penerbangan perdana Merpati ke Merauke, 2005.
Kunjungan kerja Menteri Perhubungan Jusman Jusman Safeii Djamal ke Merpati Maintenance Facilit, 8 Agustus 2007. 192
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
104, 108, 109, 133, 159, 187, 189, 196-200, 203-208, 210, 213, 215-222, 224, 225, 229, 230, 232, 235-239, 241-243, 253-255 T. Mulya Lubis, 173, 177 Tonny Sinay, 14 Tony Gozal, 175 Tony Sudjiarto, 39, 99, 185, 230, 233, 234, 235 Untung Udji Santoso, 14 Wahyu Hidayat, 140 Wayan Suarna, 197 W.F. Stutterheim, 188 Xanana Gusmao, 252 Yoseph Suardi Sabda, v, 15, 20, 23, 25, 66, 74, 77, 83, 84, 225 Yudiawan, vi, 64, 65, 112
259