REKAM JEJAK PEMIKIRAN HUKUM PROGRESIF PROF. DR. SATJIPTO RAHARDJO, SH. Oleh: Dr. Suteki, S.H.,M.Hum.1
Biografi Singkat Pendidikan: Prof Satjipto Rahardjo dilahirkan di Banyumas, Jawa Tengah pada tanggal 15 Desember 1930. Dia menyelesaikan pendidikan hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Jakarta pada tahun 1960. Pada tahun 1972, mengikuti visiting scholar di California University selama satu tahun untuk memperdalam bidang studi Law and Society. Kemudian dia menempuh pendidikan doktor di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dan diselesaikan pada tahun 1979. Selain mengajar di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, beliau juga mengajar pada sejumlah Program Pascasarjana di luar Undip, antara lain di Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta, Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Nara sumber dibeberapa Universitas di luar negeri. Prof Tjip pernah memangku jabatan sebagai Ketua Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) di Universitas Diponegoro. Sebagai orang pertama yang memimpin PDIH Undip, Prof Tjip memiliki andil yang sangat besar dalam menjalankan program ini multi-entry, yang mana program ini memungkinkan orang yang berlatar belakang bukan sarjana hukum (SH) bisa mengikuti program ini. Beliau juga pernah menjadi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Karya : Biarkan Hukum Mengalir, Membangun Polisi Sipil, Membedah Hukum Progresif, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia , Mendudukkan UUD, Biarkan Hukum Mengalir, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan Manusia, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Studi Hukum di Indonesia dll.
Dr. Suteki, S.H.,M.Hum. adalah dosen Fakultas Hukum UNDIP Semarang. Ia berada dalam satu Bagian Hukum dan Masyarakat bersama Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., senior dan juga gurunya. 1
1
Lanjar (Karanganyar)
Anggodo (Jakarta)
(Potret Kebuntuan Legalitas Formal ) Dunia hukum Indonesia kembali kehilangan salah seorang putra terbaiknya. Seorang maestro hukum senior, Prof. Satjipto Rahardjo menutup usia hari Jumat, pukul 09.15, (8/1/2010). Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro (Undip) ini wafat pada usia 79 tahun, sebelumnya dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta. Satjipto Rahardjo sang maestro hukum yang diakhir hayatnya sangat getol mengkampanyekan gerakan hukum progresif. Dalam berbagai forum kuliah, seminar, diskusi dan media cetak, Satjipto berulang kali mengingatkan bahwa filosofi hukum yang sebenarnya, adalah “Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum,”. Hukum bertugas melayani masyarakat, bukan sebaliknya. Kualitas suatu hukum ditentukan dengan kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Kalimat ini seolah menyiratkan kepada kita untuk kembali pada aliran utilitarianisme Jeremy Bentham yang menyatakan bahwa tujuan
2
hukum adalah untuk mencapai “the greatest happiness for the greatest number of people”.2 Konsistensi pemikirannya yang holistik terhadap hukum menuntun Satjipto Rahardjo untuk berpikir melampaui pemikiran positivistik terhadap hukum sekalian berusaha memasukkan ilmu hukum ke ranah ilmu-ilmu sosial, salah satunya adalah sosiologi. Memasukkan hukum ke dalam ilmu-ilmu sosial adalah langkah yang progresif, karena dengan demikian memungkinkan hukum itu dianalisis dan dipahami secara lebih luas dan akan meningkatkan kualitas keilmuan dari Ilmu Hukum. Kemajuan ilmu-ilmu alam, ekonomi, sosial, politik seharusnya mendorong para ahli hukum untuk melihat apa yang bisa dimanfaatkan dari temuan-temuan disiplin-disiplin ilmu tersebut bagi praktik hukum. Dikatakan oleh Schuyt, kemajuan dalam bidang-bidang ilmu di luar hukum
seharusnya
menantang
para
ahli
hukum
yang
baik
untuk
memberikan reaksi yang memadai dan bisa memilah-milah dengan bantuan disiplin ilmu lain, mana persoalan hukum yang bisa diselesaikan dengan baik. Pengaitan antara Ilmu Hukum dengan ilmu-ilmu lain tidak hanya berhenti sampai ke ilmu-ilmu sosial, oleh karena kontekstualisasi Ilmu Hukum itu harus lebih luas lagi. Erdward O. Wilson sudah menulis buku berjudul Consilience – The Unity of Knowledge (1998)3 yang melihat kesatuan sains itu dalam suatu kontinum, yang dimulai dari ilmu tentang sel (biologi) sampai ke ilmu-ilmu sosial. Studi tentang sel yang tidak bermuara ke ilmu-ilmu sosial tidak tuntas, demikian pula sebaliknya apabila ilmu-ilmu sosial tidak dilacak kaitannya sampai ke biologi. Ilmu-ilmu sosial yang hanya saling merujuk antara sesamanya disebut Wilson sebagai kerdil, tumpul (banal). Mengikuti pendekatan holistik dalam Ilmu Hukum, maka menjadi tugas para ilmuwannya untuk menyatukan kembali hukum. Menyatukan kembali 2
Jeremy Bentham dalam Cavendish Law Cards Jurisprudence, Cavendish Publishing, London, 1997, hlm. 83. 3 Lihat Edward O. Wilson, Consilience, The Unity of Knowledge, Alfred A. Knoff Inc.,New York, USA, 1998. hlm. 9-10.
3
hukum dengan lingkungannya, alam dan orde kehidupan yang lebih besar. Memasukkan studi hukum ke dalam orde yang lebih besar tersebut bertujuan untuk menghilangkan pemisahan antara hukum dan kehidupan manusia. Inilah yang dinamakan mengembalikan hukum ke dalam keutuhannya. Oleh Brian Z. Tamanaha dikatakan bahwa hukum dan masyarakat memiliki bingkai
yang
disebut
“The
Law-Society
Framework”
yang
memiliki
karakteristik hubungan tertentu. Hubungan tersebut ditunjukkan dengan dua komponen dasar. Komponen pertama terdiri dari dua tema pokok yaitu ide yang menyatakan bahwa hukum adalah cermin masyarakat dan ide bahwa fungsi hukum adalah untuk mempertahankan “social order”. Komponen kedua terdiri dari
tiga elemen, yaitu: custom/consent;
morality/reason; dan positive law.4 Custom/consent and morality/reason dapat dipahami dalam pemikiran Donald Black sebagai culture.5 Pandangan
Satjipto
Rahardjo
terhadap
hukum
dengan
mengoreksi kekeliruan dan kekurangan paradigm positivistik
cara
dalam ilmu
hukum mendorongnya untuk berpikir ulang terhadap cara mempelajari dan “cara berhukum” yang bertujuan menghadirkan “sebenar keadilan” atau sering disebut keadilan substantif. “Berhukum dengan hati nurani” itulah kalimat yang sering mengalir dari bibir maestro hukum ini. Saya sengaja menampilkan potret Lanjar (Kasus: Istri tewas, suami dipenjara) dan potret Anggodo (Kasus Markus Sistem Komunikasi Radio Terpadu Departemen Kehutanan yang kemudian menyeret Pimpinan KPK (Bibit dan Candra) untuk menunjukkan bahwa sampai sekarang ini masih banyak ketidakadilan muncul sebagai akibat cara kita berhukum yang masih terpenjara oleh ritual-ritual legalitas formal yang mengunggulkan cara
Lihat, Brian Z. Tamanaha, A General Jurisprudence of Law and Society, Oxford University Press, New York, 2006, hlm. 1-2. 5 Black mengatakan bahwa “culture is the symbolic aspect of social life, including expression of what is true, good, beautiful. It includes ideas about the nature of reality (theoretical and practical), supernatural, metaphysical or empirical), conceptions of what ougt to be ( right or wrong, proper and technology, religion, magic or folklore). Values, ideology, morality and law have a symbolic aspect of this kind”. Lihat, Donald Black, The Behaviour of Law, Academic Press, New York, 1976, hlm. 61. 4
4
kerja “discriminate, measure, categorize” yang menghasilkan gambar hukum yang berkeping-keping (fragmented).
Gambar yang muncul dari
metodologi seperti itu adalah kerangka, skeleton, bukan sosok hukum yang utuh6. Fenomena peradilan terhadap ‘wong cilik’ (the poor) misalnya: (1) kasus pencemaran nama baik dokter dan RS Omni International oleh Prita Mulyasari (ditahan 3 Mei 2009-3 Juni 2009, Tangerang); (2) kasus pencurian satu buah semangka (Kediri), Cholil dan Basar Suyanto dipidana 15 hari percobaan 1 bulan; (3) kasus pencurian kapuk randu seharga Rp 12.000 (4 anggota keluarga (Manisih, 2 anaknya dan sepupunya ditahan di LP Rowobelang Batang), (4) kasus Pak Klijo Sumarto(76) tersangka pencurian setandan pisang kluthuk mentah seharga Rp 2000 di Sleman:7 Desember 2009 (mendekam di LP Cebongan Sleman), (5) kasus Mbok Minah (dituduh mencuri 3 biji kakao seharga Rp 2.100: 2 Agustus 2009 di Purwokerto, dihukum pidana percobaan 1 bulan 15 hari); (6) kasus Lanjar yang kehilangan nyawa isterinya karena kecelakaan bersama, namun dia didakwa menghilangkan nyawa orang lain karena kelalaiannya dan harus mendekam dipenjara di Karanganyar; dan (7) kasus yang melibatkan orang ‘besar’ (the have) misalnya kasus Bank Century telah membuktikan bahwa hukum hanya dipahami sebatas skeleton legal formalistik yang terasing (teralienasi) dengan masyarakatnya sehingga seringkali mengalami kebuntuan legalitas formalnya. Hukum kita sekarang seolah seperti sebilah pisau dapur, tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Terhadap orang kecil (the poor) hukum bersifat represif, sedangkan terhadap orang besar (the have) hukum bersifat protektif dan memihaknya. The have always come out ahead, demikian kata Marc Galanter. Fenomena peradilan terhadap ‘the poor’’ maupun ‘the have” seperti disebutkan di muka seolah menunjukkan bahwa penegakan
6 Satjipto Rahardjo, Pendekatan Holistik Terhadap Hukum, Bacaan Untuk Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Tidak Diterbitkan, Oktober 2005.
5
hukum menemui kebuntuan legalitas formalnya untuk melahirkan keadilan substantif. Hal ini disebabkan oleh karena penegak hukum terpenjara oleh ‘ritual’ penegakan hukum yang mengandalkan materi, kelembagaan serta prosedur yang kaku dan anti dengan inisiasi rule breaking.7 Gerakan hukum progresif memang lahir akibat kekecewaan kepada penegak hukum yang kerap berperspektif positivis. Yakni, hanya terpaku pada teks dalam undang-undang tanpa mau menggali lebih dalam keadilan yang ada di masyarakat. Para penganut paham positivisme kerap berdalih paham civil law yang dianut Indonesia 'mengharuskan' hakim sebagai corong undang-undang (la bouche de la loi). Rule breaking sebagai salah satu strategi menembus kebuntuan legalitas formal merupakan icon dalam merefleksikan gerakan hukum progresif yang digagas oleh Satjipto Rahardjo. Sebagai seorang pendidik ilmu hukum, apa yang diperoleh setelah mengajarkan ilmu hukum yang mengagungkan “the order” selama puluhan tahun (mencapai 30 tahun lebih) tidaklah selalu menemukan “the order” dalam kehidupan hukum bahkan acapkali menemukan “disorder”. Hal ini diilustrasikan dalam pidato Emeritus sebagai Guru Besar Fakultas Hukum UNDIP tanggal 15 Desember 2000.
yang
Ketidakteraturan
berjudul: (Teaching
“Mengajarkan Order
Finding
Keteraturan Disorder);
Menemukan
Tigapuluh
Tahun
Perjalanan Intelektual dari Bojong ke Pleburan.”
Menurut Satjipto Rahardjo, ada tiga cara untuk melakukan rule breaking, yaitu: (1) Mempergunakan kecerdasan spiritual untuk bangun dari keterpurukan hukum memberikan pesan penting bagi kita untuk berani mencari jalan baru (rule breaking) dan tidak membiarkan diri terkekang cara lama, menjalankan hukum yang lama dan tradisional yang jelas-jelas lebih banyak melukai rasa keadilan; (2) Pencarian makna lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru dalam menjalankan hukum dan bernegara hukum. Masing-masing pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum didorong untuk selalu bertanya kepada hati nurani tentang makna hukum yang lebih dalam; (3) Hukum hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika saja, tetapi dengan perasaan, kepedulian dan keterlibatan (commpassion) kepada kelompok yang lemah. Lihat, Yusriyadi, Paradigma Sosiologis dan Implikasinya Terhadap Pengembangan Ilmu Hukum dan Penegakan Hukum di Indonesia, Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar FH UNDIP, Semarang, 18 Pebruari 2006, hlm 32-33.. 7
6
Pemikiran Satjipto Rahardjo tentang hukum progresif telah menjadi virus dan mulai mewabah pada setiap jenjang dan lini kehidupan hukum dan kehidupan lainnya. Polisi, Jaksa, Hakim apalagi teoretisi telah mulai “terinfeksi” oleh virus tersebut bahkan banyak yang turut “membumikan” gagasan dan gerakan hukum progresif itu. Gerakan hukum progresif Satjipto Rahardjo tak akan lekang oleh waktu manakala upaya menghadirkan sebenar
keadilan
terus
diperjuangkan
oleh
para
pendekar
hukum.
Mahasiswa, teoretisi dan praktisi perlu terus mengembangkan wajah, sifat, karakter serta tujuan hukum progresif. Di kalangan praktisi hukum, sangat menarik
pernyataan
Busyro
Muqqodas---sebagaimana
dikutif
oleh
hukumonline---yang berharap agar dosen-dosen hukum yang masih junior mengikuti jejak Begawan Ilmu Hukum itu. Satjipto Rahardjo adalah seorang ilmuan besar tetapi menampilkan pribadi yang sederhana. Para hakim harus mencontoh
dan
mengikuti
cara
berpikir
Satjipto
Rahardjo
dengan
mengasup paham dari gerakan hukum progresif itu. Ini adalah sebuah bentuk pengakuan atas kebenaran gagasan sang Maestro Hukum itu. Pengaruh Satjipto Rahardjo di kalangan para penggiat hukum memang tak sedikit. Sekelompok orang bahkan membentuk sebuah Forum Diskusi Hukum Progresif, misalnya di Magiaster Ilmu Hukum (MIH) UNDIP. Mereka menamakan dirinya sebagai Kaum Tjip-ian. Nama “Tjip-ian” diambil dari nama panggilan Satjipto, yakni Prof. Tjip. Di situs pertemanan facebook, jumlah anggota kaum tjipian ini mencapai hampir 500 orang. Saya pun pernah berdiskusi dalam salah satu acara Kaum ini, yakni dalam Seminar Prospek Hukum Progresif, 20 Juli 2009. Saya sempat tersentak membaca salah satu judul buku karangan Kaum Tjip-ian Neo-Aliran Pleburan yang diluncurkan pada saat itu yang bertajuk: “ EVOLUSI PEMIKIRAN HUKUM BARU: Dari Kera ke Manusia, Dari Positivistik ke Progresif”. Tulisan-tulisan dalam buku itu mengejutkan saya karena mereka sudah demikian gelisah menghadapi pembelajaran hukum yang didominasi pada fokus perundang-undangan dan penerapannya belaka. Melalui pemikiran hukum progresif Satjipto Rahardjo dan media buku itu kaum Tjip-ian seolah menemukan ruang baru 7
untuk menyalurkan “pikiran memberontak” mereka secara baik. Saya melihat adanya pemikir-pemikir psikoanalisis kekirian yang memiliki potensi melakukan falsifikasi terhadap kemapanan positivisme untuk mengarah pada pemikiran dan praktik hukum yang mampu menghadirkan sebenar keadilan, yakni bukan saja keadilan formal melainkan lebih mengarah pada keadilan materiil atau keadilan substantif. Dalam catatan Saya, Maestro Hukum ini adalah salah satu pengagum Fritjop Capra. Banyak buku Capra yang menginspirasi pemikiran Satjipto Rahardjo, misalnya The Turning Point, The Hidden Connection, The Web of Life dan lain-lain. Ia mengamini pendapat Capra8 yang menyatakan bahwa, sekarang ini kita hidup dalam suatu masa turning point. Ketidakmampuan kita untuk kembali melihat kehidupan manusia dengan pandangan yang utuh, menurut Capra, menyebabkan terjadi krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral dan spiritual manusia. Orang tidak bisa lagi memusatkan perhatian pada satu obyek yang dipisahkan dari lingkungannya, melainkan membiarkan obyek tersebut bersatu dengan lingkungannya. Metodologi analitis Cartesian, Baconian dan Newtonian tidak membawa kita kepada pemahaman yang benar tentang sesuatu. Metodologi harus mengutuhkan, bukan memisah-misahkan. Pendekatan dan metodologi holistik itu tidak hanya dalam fisika, tetapi juga dalam kedokteran, psikologi dan ilmu-ilmu sosial. Meski pemikirannya diikuti oleh para pakar dan praktisi hukum, hal itu tidak mejadikan Satjipto Rahardjo “pongah”. Pada kenyataannya juga tidak semua orang sependapat dan menyetujui pemikiran beliau untuk menarik studi hukum ke ranah yang lebih luas. Pada saat orang mengecam, menghujat pemikirannya, Satjipto Rahardjo tetap menjadi tokoh yang low profile. Saya teringat betul dengan apa yang ditulis oleh Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya berjudul ‘Penelitian Hukum’ yang
8
Fritjop Capra, The Turning Point (Science, Society, and The Rising Culture, London: Flamingo, 1983.
8
memberikan statemen kepada Guru Besar, Guru Kecil dan Guru Tanggung --yang melarang mempelajari hukum hanya bersifat normatif---adalah dosen yang tidak memahami ilmu hukum alias tidak memahami ilmunya sendiri. Peter Mahmud menyatakan dosen itu seperti syair lagu Jawa dari Koes Ploes tahun 1970-an yang berbunyi : E la e lo, sawo dipangan uler; e la e lo wong bodho ngaku pinter”. Saat saya melaporkan kritikan demikian kepada Prof Tjip, justru ia hanya mengatakan “sing bener mengko bakal katon” (yang benar nanti akan terbukti benar). Kini, gagasan beliau sudah banyak terbukti benar dalam kehidupan hukum di Indonesia yang sering ia katakan sebagai laboratorium hukum yang ‘par excellence’. Meski masih banyak hakim yang terkungkung dalam ritual legal positivism, namun telah banyak pula yang mengasup cara berhukum mengikuti gagasan hukum progresif Satjipto Rahardjo. Putusanputusan hakim, baik hakim peradilan umum maupun hakim konstitusi telah banyak menunjukkan progresivitasnya. Putusan-putusan yang lahir dari progresivitas Mahkamah Konstitusi (MK) dalam mendukung upaya tegaknya konstitusi, demokrasi, hak asasi manusia dan nilai-nilai keadilan sosial telah tersebar dalam berbagai putusan MK baik dalam perkara judicial review maupun putusan yang terkait dengan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Demi menegakkan konstitusi MK seringkali melakukan terobosan hukum---dalam istilah Prof. Satjipto Rahardjo disebut rule breaking---ketika menemui kebuntuan legalitas formal, baik pada peraturan perundangundangan maupun proses beracara. MK telah melakukan “the non enforcement of law” baik secara partial, maupun secara sporadic enforcement. Putusan MK yang dapat dikelompokkan pada kategori partial enforcement dan bersifat progresif, misalnnya: a. Putusan MK No. 066/PUU-II/2005 bertanggal 12 April 2005 yang membatalkan Pasal 50 UU MK yang terkait dengan pembatasan wewenang pengujian MK yang hanya pada undang-undang yang dibentuk sesudah perubahan pertama UUD 1945. Jika Pasal 50 UU MK 9
b.
c. d.
e.
tidak dibatalkan maka MK tidak mungkin membuka peluang bagi KUHP, UU Pemasyarakatan, UU Perkawinan, UU Narkotika, UU No. 02/PNPS/1964, dan UU lainnya untuk diuji di MK seperti yang sudah dilakukan MK selama ini. Putusan No. 011-017/PUU-I/2003 bertanggal 24 Pebruari 2004 tentang putusan yang merehabilitasi kembali hak mantan dan keturunan anggota PKI. Putusan No. 5/PUU-V/2007 bertanggal 23 Juli 2007 tentang diperbolehkannya calon independen dalam pemilihan kepala daerah. Putusan No. 22-24/PUU-VI/2008 bertanggal 23 Desember 2008 tentang perubahan penghitungan caleg terpilih dari nomor urut menjadi suara terbanyak. Putusan No. 102/PUU-VII/2009 bertanggal 6 Juli 2009 tentang diperbolehkannya penggunaan KTP atau Paspor sebagai syarat memilih dalam Pilpres meskipun yang bersangkutan tidak terdaftar di DPT.
Putusan-putusan MK tersebut di atas bersifat the non enforcement of law dalam kategori partial enforcement, dalam arti MK melakukan terobosan hukum dengan menganulir, membatalkan sutau pasal dalam undangundang tertentu sehingga tidak semua ketentuan dalam undang-undang tersebut diberlakukan atau ada sebagian (partial) dari undang-undang yang harus dipatuhi sedangkan sebagian lainnya tidak perlu diberlakukan. Putusan enforcement
MK
yang
misalnya
dapat
Putusan
dikelompokkan No.
ke
dalam
41/PHPU.D-IV/2008
sporadic
bertanggal
2
Desember 2009 tentang putusan sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Provinsi Jawa Timur. Pada perkara sengketa Pemilukada Jawa Timur, untuk pertama kalinya MK memerintahkan pemungutan suara ulang untuk Pemilukada. Dalam putusanyya MK telah keluar dari belenggu undang-undang yang dinilai tidak mampu memunculkan rasa keadilan dalam arti substantif, sebab undang-undang yang diuji tidak dapat memberikan solusi hukum terhadap permasalahan yang dihadapi sehingga mengusik rasa keadilan sosial di tengah-tengah masyarakat. Hakim lain yang juga menerapkan prinsip progresivitas berupa the non enforcement of law dapat disebutkan beberapa di antaranya yaitu: (1) MA yang memutus bebas terhadap dakwaan makar Mukhtar Pakpahan yang secara legalitas formal telah memenuhi unsur-unsur delik makar. 10
Hakim Agung Adi Andojo Sutjipto waktu yang mengadili kasasi Mukhtar Pakpahan di masa Soeharto. Oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, Pakpahan dijatuhi sanksi pidana (straf) atas tuduhan berbuat makar. Dalam tingkat kasasi di Mahkamah Agung, Pakpahan tidak melakukan perbuatan makar. Menurut MA, para hakim di bawah telah melakukan penerapan hukum yang salah dengan menggunakan yurisprudensi yang sudah ada sejak zaman kolonial. Dan secara sosiologis, hal itu keliru jika diterapkan pada penduduk suatu bangsa yang sudah merdeka dan sudah mulai menjalankan demokrasi dan memperhatikan hak asasi manusia. (2) PT Tangerang dengan Putusan Bebas (meskipun memenuhi unsur-unsur delik UU ITE) untuk Prita Mulyasari terkait dengan kasus pencemaran nama baik. Saya yakin hakim-hakim tersebut dalam memutus perkara mempertimbangkan aspek sosiologis dari hukum termasuk social effectnya, bahkan untuk kasus Prita Mulyasari masyarakat turut membelanya dengan pengumpulan koin uang recehan (hampir mencapai 1 milyar rupiah) sebagai simbol pemberontakan rakyat terhadap peradilan yang legal formalistik. Coin for justice menjadi salah satu icon di penghujung tahun 2009 lalu. Berdasarkan
identitas,
pendekatan,
serta
paradigma
yang
memayungi gerakan hukum progresif, dapat dikatakan bahwa hukum progresif seharusnya memiliki sistem kehidupan hukum yang melampaui ritual-ritual penegakan hukum yang mengandalkan prosedur kaku legalitas formal. Hukum harus dibingkai dengan perspektif makna (hermeneutika). Bila tidak, maka kita akan terus terjebak pada formalisme hukum yang dalam praktik menunjukkan banyak kontradiksi dan kebuntuan dalam pencarian kebenaran dan keadilan substansial. Salah satunya adalah konsep tentang penegakan hukum. Dalam formalisme, hukum dan penegakannya dengan mata tertutup pun, akan berjalan sistematis ibarat rumusan matematika yang jelas, tegas dan pasti. Tidak ada kekeliruan di dalamnya. Seolah hukum itu seperti mesin automat, tinggal pencet tombol maka keadilan begitu saja akan diciptakan pula. Pembentukan KPK, misalnya bisa dikatakan sebagai sikap tidak percaya penuh pada keyakinan formalisme bahwa aparat penegak hukum bertindak sesuai prosedur. Dalam hal ini, secara kelembagaan kita telah mengadopsi kritik terhadap kemapanan hukum ala studi hukum kritis. Pada titik ini, kita telah selangkah lebih maju dari keyakinan lama dimana taat 11
buta terhadap prosedur digeser menjadi kritis terhadap prosedur. Satu hal yang perlu ditambahkan lagi adalah afiliasi antara berbagai kekuatan pembaharuan yang telah terbentuk. Sejak tahun 2004, Prof Satjipto Rahardjo telah menyerukan provokasi yang bunyinya “bersatulah kekuatan hukum progresif”9. Prospek hukum progresif selanjutnya akan ditentukan oleh banyak faktor, yakni kemauan penegak hukum untuk bersikap ‘sableng’, dan berlaku ‘gendheng’ dalam arti harus mau dikatakan aneh, tidak populer, dan melawan arus konvensional. Mantra-mantra braveness, diskresi, rule breaking, rechtsvinding dan moral reading on law adalah sebuah keniscayaan. Akhirnya dapat dikatakan bahwa, untuk dapat menghadirkan gambar hukum yang utuh di tengah masyarakat, mau atau tidak kita harus mempelajari hukum dan cara berhukum kita dengan berani keluar dari alur tradisi penegakan hukum yang hanya bersandarkan kepada peraturan perundang-undangan. Hukum bukan semata-mata perundang-undangan yang berada ruang hampa yang steril dari aspek-aspek nonhukum. Hukum harus dilihat dalam perspektif sosial, karena hukum bukan hanya rule, melainkan juga behavior. Hukum mesti progresif menyongsong perubahan sosial dengan tetap berupaya menghadirkan keadilan substantif. Telah tiba saatnya kita mengucapkan selamat jalan kepada sang Maestro Hukum Indonesia. Seperti pesan akhir dalam pidato emeritusnya di UNDIP tahun 2000, Satjipto Rahardjo mengatakan: “Sebagai orang tua sudah waktunya turun. Saya hanya menitipkan agar di Undip ini---juga di universitas lain---ilmu pengetahuan, termasuk hukum, diusahakan dengan progresif, dengan terus berusaha untuk berada pada puncak perkembangan atau kemutakhiran
ilmu.
Dengan
demikian
kita
berharap
dapat
mempersembahkan yang terbaik pada bangsa dan negara.”, kini sebagai penerusnya kita akan mengenangnya sembari mencoba mengembangkan dan membumikan gagasan-gagasan “progresifnya” yang ternyata terbukti benar. Jakarta, 19 Januari 2010 Cantriknya Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.:
Dr. Suteki, S.H.,M.Hum. 9
Kompas 6/9/2004
12
DAFTAR RIWAYAT HIDUP 1. Data Pribadi
1. Nama Lengkap
:
Dr. Suteki, S.H.,M.Hum.
2. Keahlian 3. Tempat/Tanggal Lahir 4. Alamat Rumah
: :
Ilmu Hukum (Hukum dan Masyarakat) Sragen, 2 Pebruari 1970
:
5. Pekerjaan Pangkat/Golongan Jabatan Fungsional
: : :
Jl. Palapa I Blok B No.4 Pondok Majapahit I Bandungrejo, Mranggen-Demak Jawa Tengah, Indonesia Phone: (024 76728281), email :
[email protected] HP: 0856 41111114 Dosen Fakultas Hukum UNDIP sejak 1994 Pembina/ IV A Lektor Kepala
Tugas Tambahan
:
1. Sekretaris II Magister Kenotariatan 2. Anggota BPE (Auditor Internal UNDIP)
Alamat Kantor
:
6. Suku/Kebangsaan 7. Status Marital
: :
Fakultas Hukum UNDIP Jl. Imam Bardjo, SH. No 1-3 Semarang, Indonesia Phone: (024) 8316870 Fax: (024) 8316870 Jawa / Indonesia Kawin Isteri : Kartika Ikawati, Amd Anak: 1. Maulana Shika Arjuna 2. Adnan Shena Firdaus 3. Princess Aisha Prameswari
2.
Riwayat Pendidikan : a.
Formal: 1. September 2005 – 17 Mei 2008 2. September 1996 – Desember 2000 3. September 1989 – Oktober 1993 4. Juni 1986 - Mei 1989
13
(Doktoral PDIH UNDIP). (MIH UNDIP) (Ilmu Hukum UNDIP) ( SMA Negeri 1 Sragen)
b. Kursus / Penataran
No. Subject 1
Waktu
Tempat/Tahun
2
Kursus Dosen Senior Pancasila Kursus Internship Filsafat Pancasila
7 hari
UNDIP / 1997
9 hari
UGM / 1998
3
Kursus Sosiologi Hukum
9 hari
UI/ 1999
4
Kursus AMDAL
7 hari
5
Pelatihan Metodologi litian Kualitatif
BAPEDAL Jawa Tengah / 2002 UNAIR, 2009
Pene- 5 hari
c. Mata Kuliah Yang Diampu: 1. Pancasila
(2 SKS)
2. Filsafat Pancasila
(2 SKS)
3. Hukum dan Masyarakat
(3 SKS)
4. Metodologi Penelitian dan Penulisan Hukum
(2 SKS)
5. Hukum dan Alih Teknologi
(2 SKS)
6. Hukum dan Kemiskinan
(2 SKS)
7. Hukum Moral dan Agama
(2 SKS)
3. Publikasi Buku 1. Pendidikan Pancasila di Era Reformasi (Tim: BP UNDIP 2001). 2. Hak Atas Air Di Tengah Liberalisasi Hukum dan Ekonomi (Pustaka Magister, 2007). 3. Integrasi Hukum dan Masyarakat (Pustaka Magister, 2007). 4. Hukum dan Alih Teknologi (Pustaka Magister, 2007). 5. Hukum dan Transformasi Global (Pustaka Magister, 2007). 6. Rekonstruksi Politik Hukum di Bidang Sumber Daya Air (dlm proses penerbitan).
4.
Pembicara Seminar/Diskusi Panel/Dialog Interaktif
1. Seminar Prospek Hukum Progresif di Indonesia: UNDIP 20 Juli 2009 2. Dialog Interaktif tentang Cukai Tembakau di Radio Suara Sakti, TVRI Jawa Tengah, TV-KU dan TV Cakra, Maret-April 2009 (Tinjauan Sosiologi Hukum). 3. Seminar Hasil Penelitian Fundamental, DIKTI-Jakarta, Mei 2009. 4. Seminar Perkembangan Hukum dan Demokrasi di Indonesia: LPIP Jawa Tengah 9 Mei 2008 5. Diskusi Panel Bias Kebangkitan Nasional di Bidang Hukum: BEM FE UNDIP:2008 14
6. Seminar Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (Kota Semarang (2004), Kota Salatiga (2004), Kab. Brebes (2005), Kab. Wonogori (2005), Kab. Purworejo (2006)). 7. Seminar Nasional Perlindungan Hukum Guru Tidak Tetap: PGTTI Jawa Tengah: 2004. 8. Seminar dan Workshop Hasil Penelitian Unggulan: UNDIP 2003 9. Seminar Nasional Hasil Penelitian Unggulan: UNDIP 2002 10. Seminar Peranan LSM Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup di Jawa Tengah (BAPEDAL Jawa Tengah, 2002).
E. Penelitian 1. Socio-Economic Survey Consulting Services for Benefit Monitoring and Evaluation and Implementation Completion Report (ICR) SemarangSurakarta Urban Development Project (SSUDP) IBR Loan No. 374-INO: 2001 (Anggota). 2. Land Consolidation in Urban Development,Its Role in, and advantages for People, Demak Regency, 1999 : World Bank (Anggota). 3. Documentation for Follow-up of Land Acquisition in Demak–KudusKaliwungu, Demak–Kudus–Kendal Regency, Department of Public Works– General Directorate of Bina Marga: 1999 (Anggota). 4. External Monitoring and Evaluation of The Land Acquisition, Resettlementand Rehabilitation Programme For Kuto River Sub Project North Java Flood Control Sector Project, Kendal Regency,2001–2002 (Sinotech Koordinator). 5. Bagi Hasil Tanah Pertanian di Pati Jawa Tengah (1996: Ketua) 6. Tracer Study and Resettlement Survey of Road Construction of Genuk– Pedurungan Road (Semarang-Kudus, Kaligarang-Pamularsih, Demak-Kudus) ( 1998-1999: Anggota). 7. Study of Land Acquisition and Resettlement Action Plan for SemarangFlood Control Project Consolidated Preparation Study (SFCP–CPS): West Semarang River System, Dolok-Penggaron River System, Tuntang-Jragung River System, Serang/Wulan-Juana River System, SMEC International PTY LTD, (1999: Anggota) 8. Peranan Komunikasi Hukum Dalam Mencegah Pencurian Kayu Hutan di Kabupaten Grobogan dan Blora (1998, 2007): Ketua) 9. Peranan Lisensi Paten Dalam Alih Teknologi (2000: Ketua) 10. Urgensi Pengaturan Lisensi Paten Dalam Rangka Alih Teknologi di Kota Semarang (2001: Ketua) 11. Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa Kasus Kedung Ombo Jawa Tengah, Jratun Seluna (2001-2002: Anggota). 12. Perlindungan Hukum Bagi Guru Tidak Tetap di Kota Semarang (2003: Ketua) 13. Aspek Hukum Pembauran Etnis Cina di Kota Semarang (2004: Anggota) 14. Penanganan Pengelolaan Sampah Dalam Rangka Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kota Semarang (2007: Ketua). 15. Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kota Semarang (2005: Ketua). 16. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kota Semarang (2006: Ketua).
15
17. Emergensi Alih Teknologi Kekayaan Intelektual di Perguruan Tinggi, Studi di UNDIP dan UGM (2008: Ketua). 18. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah di Kota Semarang (2008: Ketua). 19. Perlindungan Hukum Konsumen Perumahan Terhadap Pemenuhan Fasilitas Umum dan Sosial di Kota Semarang dan Kabupaten Demak (2008: Anggota). 20. Rekonstruksi Politik Hukum SDA: Penelitian Fundamental DIKTI, 2008 (Ketua) 21. Analisis Doktrinal Terhadap Taraf Sinkronisasi Vertikal Dalam Penerapan Nilai Keadilan Sosial di Bidang Sumber Daya Air (2008: Penelitian Mandiri) 22. Strategi Pengentasan Kemiskinan Melalui Penggunaan Hukum Sebagai Sarana Rekayasa Sosial (Law as a Tool of Social Engineering), Hibah Stategis Nasional, DIKTI, 2009 (Ketua). 23. Rekonstruksi Lembaga dan Pranata Hukum di Bidang SDA dan Kelistrikan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) (Jawa dan Bali): Hibah Pasca DIKTI, 2009-2011 (Anggota).
16