RELEVANSI HUKUM PROGRESIF TERHADAP HUKUM ISLAM (Studi Analisis Pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo Tentang Hukum Progresif di Indonesia)
SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh : ABDUL KHOIRUDDIN NIM: 0 6 2 2 1 1 0 0 7
JURUSAN JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2011
i
Dr. H. Moh. Arja Imroni, M.Ag Jln. Prof. Hamka km 2 Ngaliyan Semarang 50181 Brillian Ernawati, S.H. M.Hum. Jln. Prof. Hamka km 2 Ngaliyan Semarang 50181 PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp : 4 Naskah eks Hal : Naskah Skripsi An. Sdr. Abdul Khoiruddin Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Assalamu’alaikum Wr.Wb Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini kami kirimkan naskah skripsi Saudara : Nama
: Abdul Khoiruddin
NIM
: 062211007
Jurusan
: Jinayah Siyasah
Judul Skripsi
:“RELEVANSI
HUKUM
PROGRESIF
TERHADAP HUKUM ISLAM (Studi Analisis Pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo Tentang Hukum Progresif Di Indonesia)”. Dengan ini kami mohon kiranya skripsi mahasiswa tersebut dapat segera dimunaqosahkan. Demikian harap menjadi maklum. Wassalamu’alaikum Wr.Wb Semarang, 1 Juni 2011 Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. H. Moh. Arja Imroni, M.Ag NIP : 19690709 199703 1 001
Brillian Ernawati, S.H. M.Hum. NIP : 19631219 199903 2 001
ii
KEMENTERIAN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO FAKULTAS SYARI’AH Alamat : Jl. Prof. Dr. Hamka Km.2 Ngaliyan Kampus III Telp/Fax : 024-7614454 Semarang 50185
PENGESAHAN Nama NIM Jurusan Judul Skripsi
: Abdul Khoiruddin : 062211007 : Jinayah Siyasah :“RELEVANSI HUKUM PROGRESIF TERHADAP HUKUM ISLAM (Studi Analisis Pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo Tentang Hukum Progresif Di Indonesia)”.
Telah dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaud / baik / cukup, pada tanggal 22 Juni 2011. dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata 1 tahun akademik 2011. Semarang, 22 Juni 2011
Ketua Sidang,
Mengetahui, Sekretaris Sidang,
Moh. Khasan, M.Ag NIP : 19741212 200312 1 004 Penguji I,
Dr. H. Moh. Arja Imroni, M.Ag NIP :19690709 199703 1 001 Penguji II,
Prof. Dr. Mujiono, M.A NIP: 19590215 198503 1 005
Akhmad Arief Budiman, M.Ag NIP :19691031 199503 1 002
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. H. Moh. Arja Imroni, M.Ag NIP :19690709 199703 1 001
Brillian Ernawati, S.H. M.Hum. NIP :19631219 199903 2 001
iii
MOTTO
Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. al-Baqarah ayat 185).
iv
PERSEMBAHAN Alhamdulillah, berkat do’a dan segenap asa merayu nan suci teruntuk mereka yang arif, maka skripsi ini penulis persembahkan sebagai ungkapan syukur kepada Allah dan tali kasih pada hambanya, kepada:
Kedua orang tuaku, ayahanda tercinta
Suwardi yang senantiasa mendo’akan
dan mengharapkan kiprah penulis, penyemangat moral dan spiritual dalam hidupku untuk tidak selalu berputus asa, ibunda tersayang Supaah yang tak lelah mendoakan dengan kasih sayang dan kesabaran dalam mendidik serta senantiasa mengharapkan kesuksesan untuk putra-putranya. Ta’dzimku untukmu. Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.
Adik-adikku,
Ulfatul Khoiroh, Setyoningsih Hariyanti, Wahyu Handayani,
Nur Yanti, Della, Dinok, yang selalu menghiburku dan membuatku sadar akan sebuah cita-cita yang besar. Thank’s to all.
Tumpuan
hati penyejuk iman, Dinda Elly Nur Rohmah. Terima kasih atas
dukungan, pengertian, dan motivasinya selama ini. Semoga Allah SWT selalu menyertai langkahmu.
Guru-guruku di seluruh jenjang pendidikan yang telah membekali ilmu yang bermanfaat baik akademik maupun non akademik dan mendidikku dengan penuh kesabaran serta memberikan barokah doa padaku.
Semua rekan-rekan yang telah membantu penyusunan skripsi ini.
v
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain kecuali
informasi
yang
terdapat
dalam
referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 10 Juni 2011 Deklarator
Abdul Khoiruddin NIM : 062211007
vi
ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh munculnya gagasan hukum progresif yang dipelopori oleh Prof. Satjipto Rahardjo seorang Guru Besar Emiritus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, mencoba untuk membongkar tradisi civil law yang statis. Telah banyak karya yang membahas masalah ini, namun jarang sekali (atau belum ada) yang menghubungkannya dengan hukum Islam di Indonesia. Padahal hukum Islam di Indonesia telah berkembang dan diakui eksistensinya. Prof. Satjipto Rahardjo merupakan salah satu intelektual hukum yang mencoba memberikan beberapa solusi dengan pemikiran-pemikirannya seputar persoalan hukum di Indonesia, terutama persoalan ketidakadilan hukum yang berlandaskan pada hukum positivistik. Berawal dari beberapa artikel yang dimuat di Harian Kompas, kemudian artikel tersebut dibukukan dalam beberapa buku. Hukum progresif memang muncul dari kerisauan kita sebagai bangsa terhadap kurangnya keberhasilan cara kita berhukum untuk turut memecahkan problem-problem besar bangsa dan negara kita. Cara-cara berhukum yang lama, yang hanya mengandalkan penerapan undang-undang, sudah waktunya untuk ditinjau kembali. Selama ini, dengan cara berhukum yang demikian itu, hukum kurang mampu untuk memecahkan problem sosial. Penegakan hukum memang sudah dilakukan, tetapi belum menyelesaikan problem sosial. Suatu cara berhukum yang baru perlu dilakukan untuk menembus kemacetan. Sejak hukum progresif menyimpan banyak alternatif terhadap cara berhukum yang lama, maka sekalian arsenal kesenjataan yang ada pada hukum progresif perlu dikerahkan, mulai dari pengkonsepan kembali hukum, paradigma, penegakan hukum, pembuatan hukum, pendidikan dan lain-lain. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji pemikiran dari seorang begawan ilmu hukum Prof. Satjipto Rahardjo tentang hukum progresif di Indonesia serta melihat kesesuaian antara hukum progresif dengan hukum Islam. Metode penelitian yang digunakan adalah jenis library research (dokumentasi) dengan cara mengumpulkan berbagai data melalui peninggalan tertulis, terutama arsip-arsip, termasuk buku-buku tentang pendapat teori, dalil/hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian dengan bantuan pendekatan Historical Approach dan Conceptual Approach. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hukum progresif memiliki kesesuaian dengan hukum Islam, karena sama-sama mementingkan kemaslahatan manusia. Ijtihad dalam hukum Islam juga menunjukkan bahwa dalam hukum Islam juga menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum. Asasasas hukum Islam memiliki tujuan dasar untuk mewujudkan kebahagiaan manusia.
vii
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmannirrahim, Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang menciptakan segala sesuatu dengan keteraturan agar dapat dijadikan pelajaran bagi seluruh makhluk-Nya untuk mengatur dan memanage berbagai kegiatan yang akan mereka lakukan. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasulullah SAW, segenap keluarga, sahabat dan seluruh umatnya. Bagi penulis, penyusunan skripsi merupakan suatu tugas yang tidak ringan. Penulis sadar banyak hambatan yang menghadang dalam proses penyusunan skripsi ini, dikarenakan keterbatasan kemampuan penulis sendiri. Suatu kebanggaan tersendiri jika suatu tugas dapat terselesaikan dengan sebaikbaiknya. Walaupun banyak halangan dan rintangan tetapi penulis yakin sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Dengan niat dan semangat yang sangat besar dalam waktu yang cukup lama dan setelah melewati beragam tantangan atau kendala akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian hingga menghasilkan karya tulis ini. Namun demikian penulis sangat menyadari bahwa hal tersebut tidak akan terwujud dengan baik manakala tidak ada bantuan yang telah penulis terima dari berbagai pihak. Oleh sebab itu penulis menyampaikan rasa terimakasih secara tulus kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag Selaku Rektor IAIN Walisongo, Drs. H. Machasin, M.Si, Prof. Dr. H. Erfan Soebahar, M.Ag, tak lupa kami sampaikan
viii
kepada Prof Dr. H. Abdul Djamil, M.A yang sekarang di Balitbang Kemenag Jakarta. Terima kasih banyak atas arahan dan bimbingannya selama ini. 2. Bapak Dr. Imam Yahya, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. Bapak Abdul Ghofur M.Ag selaku PD I, Bapak Saifullah M.Ag selaku PD II, Bapak Arif Budiman M.Ag selaku PD III. Terima kasih atas arahan dan bimbingannya selama ini. 3. Bapak Drs. H. Muhyidin, M.Ag (Demisioner Dekan FS), Terima kasih atas arahan serta wejangannya selama ini. 4. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Drs. H. Nur Khoirin, M.Ag selaku Demisioner PD III. Kesalahan dan kekhilafan yang penulis perbuat sewaktu menjabat sebagai anak didik njenengan, sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Hukum Pidana dan Politik Islam (HMJ HPPI/JS), rasanya menjadi bahan pelajaran yang berharga, penulis jadi “ngerti” bagaimana lika-liku birokrasi kampus. Bapak Drs. H. Musahadi, M.Ag dan Bapak Drs. H. Makhsun Faiz, M.A yang selalu memberikan masukan kepada penulis. 5. Bapak Dr. H. Moh. Arja Imroni, M.Ag selaku pembimbing I, serta Ibu Brillian Ernawati, S.H. M.Hum. selaku pembimbing II, yang telah bersedia membimbing dalam proses penulisan skripsi ini. Terima kasih atas bimbingan dan motivasinya serta saran-sarannya hingga skripsi ini selesai. Dari revisirevisinya, penulis juga bisa mengerti banyak hal tentang dunia hukum, baik hukum Islam maupun hukum progresif serta bahasan-bahasan lain. Terima kasih sekali lagi pak bu, jasa Njenengan sulit untuk penulis lupakan.
ix
6. Bapak Akhmad Arif Junaidi M.Ag selaku Demisioner Kepala Jurusan Jinayah Siyasah dan Bapak Rupi’i M.Ag selaku demisioner Sekretaris Jurusan. Terima kasih atas arahan, bimbingan dan dukungannya selama ini. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada Bapak Harun selaku staf administrasi JS, dari diskusi-diskusi kecil beliau, penulis jadi tambah “ngerti” tentang hukum progresif dan seluk-beluknya, dan matur nuwun atas pinjaman bukunya. 7. Bapak Solek, M.Ag selaku Kepala Jurusan Jinayah Siyasah dan Bapak Rustam D.K.A.Harahap M.Ag, selaku Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah, selamat atas terpilihnya bapak “mengepalai” JS dan semoga bisa mengemban amanah dengan baik. Semoga Jurusan JS semakin lebih maju. 8. Segenap Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang Bapak Johan Arifin MM, Ibu Nur Huda, Ibu Mujibatun, Ibu Anthin, Ibu Nur Hidayati Setyani, Ibu Maria Ana, Pak Wahab (Wali Studi), pak Arifin, dll. Terima kasih yang tak terhingga atas bekal ilmu pengetahuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah sekaligus penulisan skripsi ini. Tak lupa kepada karyawan-karyawan FS Bu Shoimah, Pak Basith, Pak Mustaqim, Bu Khotim, Pak Setiyono, dll. 9. Seluruh Staf dan Karyawan Perpustakaan IAIN Walisongo dan Perpustakaan Fakultas Syariah yang telah memberikan izin dan layanan kepustakaan yang diperlukan, terimakasih banyak atas pinjaman bukunya Pak. 10. Sembah sujud saya haturkan kepada kedua Orang Tua kami tercinta, yang telah mencurahkan kasih sayang, memberikan dukungan serta do’anya dan semuanya yang tak ternilai, adik dan keponakan-keponakanku, dan sahabat-
x
sahabatku yang selalu mendukung dan mendo’akan tiap langkah penulis. Tiada kata-kata yang dapat saya ungkapkan karena begitu besar pengorbanan, perhatian, motivasi dan bimbingan hingga penulis bisa sampai pada saat ini. 11. Keluarga Besar Bapak Abdul Hamid, Ibu Siti Nur Hayati, Dek Faiq, Dek Vita. Kalian adalah keluarga kedua bagiku. Suasana yang hangat, akrab, selalu penulis dapatkan di keluarga ini. Semoga kita dipertemukan kembali di lain waktu. 12. All Wadyabala Justisia, Mas Adib, Mas Sarung, Mas Iman, Mas Tedi, Mas Gepeng Pujianto, Mas Umam, Mas Arif, Mas Najib, Mas Suji, Kang Nasrudin, Om Jojo, Mbak Ana, Hambali, Serta Adik-adikku di Justisia Yani Bu PU, Encep, Musa Talinta, Soli, Salam, Ima, Khomsah, Sani, Anis, Putri, Nadya dll. Kibarkan Bendera Justisia. 13. Pengurus PMII Rayon Syari’ah periode 2008-2009. Yayan calon M.H, Fian, Nikmah, Ubed, Ani “Komting”, Hima “Atul”, Uswatun pengantin baru, Huda “Robot”, Tamam Ucil, you’re my best friend’s. 14. Mantan Pengurus PMII Komisariat Walisongo 2009. Sahabat Naryoko pengurus cabang, Ropik (calon ketua cabang), Arifin, Supri Nggacuk yang selalu buat penulis tertawa, Adib Cinta Wity, Uplik, Mbak Yaya dll. Kapan Skripsinya nih...Tangan Terkepal dan Maju ke Muka. 15. Pengurus DEMA 2010, si Zaki Jeknong yang suka gonta ganti pasangan, Pak Guru Arifuddin, Tabi’in, Coco (tiga bersaudara harus rukun ya), Pipid si Putri Salju, dll. Tetaplah berjuang.
xi
16. Senior-senior PMII, Mas Ricard, Mas Saifuddin, Mas Gupong, Mbak Evi, Mbak Ovi, Mbak Viroh, Mas Koyin, Mas Yoni dll. Terima kasih telah memberikan penulis arti tentang kehidupan di kampus. 17. Adik-adikku pengurus Rayon Syariah 2010, Arif Kera Slanker’s, Endang, Asiroh al-Ebeli, Aslamiyah “Bos Pulsa”, Salamah, Rohaniah, Aqil, Juki, Nirma dll. Teruslah Berjuang. 18. Teman-teman satu angkatan 2006 Jurusan Jinayah Siyasah, Karom si Raja Tempe, Wahib the King of Pulsa, Dian dan Esa, kalian berdua adalah wanita tercantik di SJA 2006, Zia si Jenggot, Kaji Wahid, Mujab Gondrong, Ambon Naga, Ulfa, Nasiatul, Cak Imron, Zami, Delon, Kiswandi. Ayo “Ndang” Wisuda. 19. Teman-teman di KSWM, Hijriyah, Munir, Neha, Anam sang “Rektor”, Umam Gendut Houler, dll. Langgegkan diskusinya... 20. Para penghuni PKM Fasya, Khudori BEM-per, Nazar M.Top (Madit), Wahid, Heri, Cahyono, Khusni, Budi, Jamil, Takim dll. Ayo bersihkan PKM. Jangan lupa pada mandi ya, tapi jangan mandi di Masjid terus. 21. Tim Rewo-Rewo 2005. Tomi Penguasa Pandana, Hamdani al-Mungili, Rouf yang putus asa dengan Alfu, SuBam’s yang masih bingung dengan skripsinya, Faizin, Bu Widya dll. Ayo yang belum lulus “Ndang” nyusul. 22. Teman-teman 2006 Sani, Tyas, Ulil, Miftah, eNHa, Nazil, Huda Darno, Falak dll.
xii
23. Kawan-kawan di PERMAHI DPC Semarang. Plato Said, David “Ndut” Narendra, Dicky, Hasan, Sute, dll. Jika Dadamu Bergetar Melihat Ketidakadilan Maka Engkaulah Saudaraku. Salam PERMAHI. 24. Tim KKN Sidorejo, Paul Kordes, Basir Aiwa, Topan Popeye, Pok Lia, Pok Rika, Umi, Titin “ndang” dapet momongan, Nana, Tak ketinggalan pula Keluarga Besar Pak Lurah Ahmad Hidayat. Dan keluarga besar Bu Susmiyati, Mas Rudi, Mas Iwan. Terima kasih atas arahan baik materil maupun immateril dan “tumpangan” hidup selama penulis KKN di Sidorejo Kec. Sayung Kab. Demak. 25. Dan yang tidak akan terlewatkan, Para Ketua Fosia yang telah sudi merelakan “markaz”nya untuk penulis gunakan sebagai tempat “semedi” hingga selesainya skripsi ini. 26. Dan Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu yang telah membantu penulis hingga terselesaikannya skripsi ini. Semoga amal baik dan keikhlasan yang telah mereka perbuat menjadi amal saleh dan mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT, Amin. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Penulis sadar atas kekurangan dan keterbatasan yang ada pada diri penulis. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran konstruktif demi kesempurnaan skripsi ini. Semarang, 10 Juni 2011 Penulis,
Abdul Khoiruddin NIM: 062211007 xiii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.....................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...........................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................
iii
HALAMAN MOTTO ...................................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................
v
HALAMAN DEKLARASI ..........................................................................
vi
HALAMAN ABSTRAK ..............................................................................
vii
HALAMAN KATA PENGANTAR .............................................................
viii
HALAMAN DAFTAR ISI ...........................................................................
xiv
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………………………………............
1
B. Rumusan Masalah…………………………………..................
16
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………..............
16
D. Telaah Pustaka …………………………………...................... .
18
E. Kerangka Teoritik ………………………………….................
20
F. Metode Penelitian……………………………………..............
22
G. Sistematika Penulisan ………………………….......................
26
BAB II : KETENTUAN UMUM HUKUM PROGRESIF DAN ISLAM A. Pengertian Hukum Progresif .......................................................
28
1. Definisi Hukum Progresif .....................................................
28
2. Keterkaitan Hukum Progresif dengan Teori Lain..................
33
a) Hukum Progresif dan Aliran Hukum Kodrat..................
33
b) Hukum Progresif dan Critical Legal Studies...................
35
c) Hukum Progresif dan Teori Hukum Responsif................
36
B. Landasan Filosofis Hukum Progresif ..........................................
38
C. Asas Hukum Progresif dan Hukum Islam...................................
45
xiv
1. Asas Hukum Progresif ..........................................................
45
2. Asas Hukum Islam..................................................................
52
D. Konsep Maslahah dalam Hukum Islam........................................
65
E. Hukum Progresif di Indonesia ....................................................
71
BAB III : PEMIKIRAN PROF SATJIPTO RAHARDJO TENTANG HUKUM PROGRESIF A. Biografi Prof Satjipto Rahardjo ..................................................
78
1. Biografi Prof Satjipto Rahardjo.............................................
78
2. Karya-karya Prof Satjipto Rahardjo.......................................
81
3. Latar Belakang Pemikiran Prof Satjipto Rahardjo.................
83
B. Memahami Hukum Progresif Prof Satjipto Rahardjo .................
88
1. Potret Kebuntuan Legalitas Formal............................. .........
93
2. Agenda Membebaskan Hukum..............................................
98
C. Upaya Mewujudkan Hukum Progresif........................................ 103 1. Peranan Moral atau Etika............................. ......................... 103 2. Melakukan Penafsiran Hukum yang Progresif.....................
106
3. Dimulai dari Pendidikan di Fakultas Hukum........................
107
4. Mengangkat Orang-orang Baik............................. ................ 110 BAB IV : ANALISIS RELEVANSI HUKUM PROGRESIF TERHADAP HUKUM ISLAM A. Analisis Pemikiran Prof Satjipto Rahardjo Tentang Hukum Progresif di Indonesia..................................................................
112
B. Analisis Relevansi Hukum Progresif terhadap Hukum Islam..... 117 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................. 123 B. Saran-Saran ................................................................................. 124 C. Penutup........................................................................................ 125 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Segala sesuatu di dunia ini selalu mengalami perubahan seiring berjalannya waktu. Ilmu pengetahuan di segala bidang akan selalu berkembang dengan penemuan-penemuan mutakhir. Tidak terkecuali dengan ilmu hukum, yang juga senantiasa mengalami dinamika dan pasang surut. Hukum ada untuk memenuhi kebutuhan manusia yang secara naluriah menginginkan hidup dalam suasana yang tenang dan tertib. Oleh karena itu disusunlah hukum berupa peraturan-peraturan dalam rangka mewujudkan ketertiban di masyarakat.1 Namun sayangnya seringkali peraturan-peraturan itu tidak dapat mewujudkan
ketertiban
yang
diinginkan
oleh
masyarakat,
karena
perkembangan masyarakat yang lebih cepat daripada peraturan-peraturan tersebut
sehingga
peraturan-peraturan
itu
tidak
dapat
menjawab
permasalahan-permasalahan yang muncul. Yang lebih ironis adalah, peraturan-peraturan yang telah disusun tersebut membuat masyarakat yang diaturnya sengsara dan tidak bahagia.2
1
A. Qodri Azizy, Menggagas Ilmu Hukum Indonesia, dalam Ahmad Gunawan BS dan Mu'amar Ramadhan (ed) et. al., Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. x. 2 Ibid.
1
2
Hal-hal seperti inilah yang memancing timbulnya gagasan-gagasan baru di bidang hukum. Di Amerika, muncul gagasan hukum responsif dari Philippe Nonet dan Philippe Selznick ataupun Studi Hukum Kritis (The Critical Legal Studies) dengan tokohnya seperti Roberto M. Unger. Tidak ketinggalan di Indonesia yang memang merupakan negara hukum,3 tidak bisa dihindari akan kemunculan gagasan hukum dari pakar hukum Indonesia sendiri. Salah satu gagasan yang muncul di Indonesia adalah gagasan hukum progresif yang dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo. Bila dicermati pada sejumlah tulisannya, gagasan itu ternyata bukan sesuatu yang baru. Namun memang lebih mengkristal sejak beberapa tahun terakhir. Menurut Qodri Azizy, 4 sejak tahun 2002, Satjipto Rahardjo telah berbicara beberapa kali tentang hukum progresif dimana ia mengidealkannya. Menurut Ufran,5 Hukum progresif merupakan salah satu gagasan yang paling menarik dalam literatur hukum Indonesia pada saat ini.6 Hal ini menarik dibicarakan karena hukum progresif telah menggugat keberadaan hukum modern7 yang telah dianggap mapan dalam berhukum selama ini.
3
Seperti yang tertera dalam Naskah UUD 1945 BAB I pasal I ayat III yang berbunyi Negara Indonesia adalah negara hukum. 4 A. Qodri Azizy, op.cit, hlm. xi. 5 Lihat dalam Pengantar Editor buku Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009, hlm. v. 6 Progresif berasal dari kata progress yang berarti kemajuan. Hukum Progresif pertama kali dilontarkan pada tahun 2002 lewat sebuah artikel yang ditulis oleh Prof. Satjipto Rahardjo di Harian Kompas dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15 Juni 2002. 7 Istilah Hukum Modern yang dipergunakan dalam tulisan ini sekedar untuk menyebut model hukum pada masyarakat modern yang bersifat liberal, individualistik dan rasional. Hukum modern muncul di Eropa pada awal abad XIX yang saat itu didominasi oleh alam pemikiran positivistik. Model ini juga sekedar untuk membedakan dengan model hukum pada masyarakat tradisional yang lebih bersifat komunal dan magis. Lihat Wisnubroto dalam makalah Menelusuri dan Memaknai Hukum Progresif di http://wisnubroto.blogs.friendster.com/ makalah-menelusurimemaknai-hukumprogresif.html. Diambil pada tanggal 17 Januari 2011.
3
Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani kepentingan masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.8 Hukum tersebut menyingkap tabir dan menggeledah berbagai kegagalan hukum modern yang didasari oleh filsafat positifistik, legalistik dan linier tersebut untuk menjawab berbagai persoalan hukum.9 Hukum progresif mengandung semangat pembebasan yaitu pembebasan dari tradisi berhukum konvensional yang legalistik dan linier tersebut. Menjalankan sebuah hukum tidak hanya semata-mata tekstual perundang-undangan akan tetapi dalam menjalankan hukum harus dengan determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa untuk berani mencari jalan lain guna mensejahterakan rakyat sesuai dengan apa yang telah diamanatkan oleh UUD 1945.10 Hukum progresif dimulai dari suatu asumsi dasar, hukum adalah institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, 8
Hukum Progresif menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru mengatasi kelumpuhan hukum di Indonesia. Lihat, Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Kompas, 2006, hlm. ix. 9 Hukum progresif didasarkan oleh keprihatinan terhadap kontribusi yang rendah oleh ilmu hukum di Indonesia dalam mencerahkan bangsa keluar dari krisis termasuk krisis dalam bidang hukum. Munculnya hukum modern mengguncang ketertiban dalam masyarakat. Hukum yang seyogyanya dibutuhkan untuk menciptakan atau menata ketertiban masyarakat pada praktiknya seringkali justru meminggirkan ketertiban yang telah ada dalam mayarakat lokal atau masyarakat adat. Hukum adat bukan lagi menjadi landasan hukum nasional, melainkan dikalahkan oleh hukum nasional, yang diumpamakan dengan “memasukkan kambing dan harimau dalam satu kandang”. Hukum modern meminggirkan kehidupan dalam tatanan lokal dan kaidah-kaidah sosial yang menata ketertiban di masyarakat. Lihat Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Jakarta: Kompas, 2008, hlm. 11. 10 Empati, kepedulian, dan dedikasi menghadirkan keadilan, menjadi roh penyelenggara hukum. Kepentingan manusia (kesejahteraan dan kebahagiannya) menjadi titik orientasi dan tujuan akhir dari hukum. Para penegak hukum menjadi unjung tombak perubahan. Lihat Ufran op.cit, hlm. vi.
4
sejahtera
dan
membuat
manusia
bahagia.
Hukum
tersebut
tidak
mencerminkan hukum sebagai institusi yang mutlak serta final, melainkan ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia.11 Belakangan ini muncul kesan bahwa proses hukum seringkali tidak mampu menyelesaikan persoalan secara tuntas apalagi memberikan keadilan substantif bagi para pihak. Proses hukum lebih nampak sebagai mesin peradilan yang semata-mata hanya berfungsi mengejar target penyelesaian perkara yang efektif dari sisi kuantitas sesuai dengan tahap-tahap dan aturan main yang secara formal ditetapkan dalam peraturan.12 Hukum dan proses peradilan seringkali merasa terkendala ketika harus dihadapkan pada kasus-kasus yang semakin rumit dan kompleks seiring dengan perkembangan masyarakat yang sangat dipacu oleh sistem global. Sistem hukum modern yang telah terlanjur diformat dalam sekat-sekat pembagian bidang hukum secara tradisionil hitam putih13 menjadi gagap ketika dituntut harus menyelesaikan perkara-perkara yang berada pada ranah abu-abu.14 Pada beberapa kasus, sangat jelas terpampang fenomena penegakan hukum yang keliru dan cenderung tidak humanis. Ambil contoh penahanan 10 orang anak penyemir sepatu usia 11-14 tahun oleh Polres Metro Bandara
11
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009, hlm. 1. 12 Wisnubroto, op.cit. 13 Maksud dari Redaksi tradisionil Hitam Putih ini adalah mengacu pada Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Administrasi dll. 14 Ranah abu-abu di sini lebih menitikberatkan pada hal-hal yang tidak nampak jelas batas antara persoalan etika, privat atau publik.
5
Tangerang, karena kasus bermain yang disebut polisi sebagai perjudian (pasal 303).15 Secara paradigmatik dapat dijelaskan bahwa modernisme terkait dengan berkembangnya tradisi pemikiran yang mengedepankan rasionalitas daripada hal-hal yang bersifat metafisika sebagaimana yang berkembang dalam era sebelumnya. Tradisi pemikiran ilmu pengetahuan didominasi paradigma Cartesian/Baconian/Newtonian telah merubah dunia menuju era masyarakat modern dengan modernismenya. Secara singkat tradisi tersebut adalah cara berpikir yang menonjolkan aspek rasional, logis, memecah atau memilah (atomizing), matematis, masinal, deterministik dan linier.16 Perkembangan IPTEK yang sangat pesat pasca era pencerahan di dunia sains dan seni secara nyata juga berpengaruh terhadap perkembangan (perubahan) di bidang sosial, politik, ekonomi dan juga hukum. Di bidang sosial misalnya terjadi perubahan dari tipe masyarakat agraris menuju masyarakat industri yang bersifat liberal. Di bidang politik nampak pada terbentuknya
15
negara
modern
dengan
platform
konstitusional
dan
Secara positivisme pasal-pasal, maka anak-anak di Tanggerang itu bersalah dalam melakukan perjudian. Tetapi jika dikaitkan hal ini dengan kajian sosiologis, ekonomi dan budaya maka anak-anak di Tanggerang tidak dapat dinyatakan bersalah. Anak-anak di Tanggerang adalah korban konstruksi sosial yang membuat mereka terpaksa bekerja di masa kanak-kanaknya dan tidak mengerti pasal-pasal perjudian yang dituduhkan kepada mereka. Kurangnya pendidikan mempengaruhi anak-anak tersebut dalam melakukan tindakan tersebut. Sehingga secara garis besar dalam memutus sebuah kasus, para aparat penegak hukum tidak hanya melihat kepastian hukum semata. Nilai keadilan dan kemanfaatan harus diperjuangkan dalam memutus sebuah kasus. Dalam perkembangannya penahanan anak-anak di Rutan Anak tersebut mencapai 29 hari dan kemudian dilakukan penangguhan, dan kini kasusnya pergulir di pengadilan. 16 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum: Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2004, hlm. 35.
6
demokrasinya. Di bidang ekonomi muncul sistem perekonomian terbuka yang membuka pasar bebas dan cenderung bersifat kapitalistik.17 Tak pelak lagi perubahan yang terjadi pada masyarakat modern tersebut juga diikuti dengan perubahan pada tatanan hukumnya, yakni muncul dan berkembangnya tatanan hukum modern atau lebih dikenal dengan sebutan sistem hukum positif.18 Surutnya kejayaan cara berpikir Cartesian/Baconian/Newtonian setelah munculnya teori-teori baru pada dunia sains seperti teori relativitas dan teori Chaos19 telah merubah cara pandang terhadap kebenaran. pada positivisme20 menyebabkan terjadinya pereduksian makna dan manipulasi fakta yang menyebabkan kegagalan dalam memahami realita secara benar dan utuh. Hal demikian nampaknya terjadi pula pada model hukum modern yang masih bertahan dengan dominasi positivismenya yang semakin sulit
17
Ibid, hlm. 36. Sistem Hukum Positif didasarkan pada asas-asas dan lembaga-lembaga hukum Barat yang untuk sebagian besar didasarkan atas asas-asas dan lembaga-lembaga hukum Romawi. Lihat Nur Hidayati Setyani, Paradigma Positivisme dan Implikasinya Terhadap Perkembangan Hukum, dalam Al-Ahkam, XIX, Edisi I April 2008, hlm. 45. 19 Chaos theory merupakan teori yang berkembang dalam bidang fisika. Perkembangan teori ini tidak lepas dari perkembangan teori sebelumnya yang telah mendominasi dan memberi penjelasan tentang dunia fisik dalam rentang waktu yang cukup lama. Chaos adalah sesuatu yang ada di mana-mana, akan tetapi sukar untuk menjelaskannya, satu situasi ketidakteraturan atau kekacauan benda (benda, ekonomi, sosial, politik) yang tidak bisa diprediksi polanya. Lihat Agus Raharjo, Membaca Keteraturan Dalam Ketakteraturan (Telaah Tentang Fenomena Chaos Dalam Kehidupan Hukum Indonesia), dalam Jurnal Ilmu Hukum Syiar Madani, IX, No. 2 Juli 2007, FH Unisba Bandung, hal. 142-160. Di di http://agusraharjo.blogspot.com/membaca-keteraturandalam-ketakaturan.html. Diambil pada tanggal 23 Pebruari 2011. 20 Positivisme adalah suatu faham falsafati dalam alur tradisi pemikiran Gallilean. Kebanyakan kelompok positivisme berasal dari kalangan orang-orang yang progresif yang bertekat mencampakkan tradisi-tradisi irasional dan memperbaharui masyarakat menurut hukum alam sehingga lebih rasional. Lihat Robert M.Z.Lawang, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid I, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994, hlm. 82. 18
7
menjadi sarana untuk mengatasi persoalan-persoalan yang berkembang pada masyarakat.21 Fenomena yang nampak jelas menunjukkan perubahan paradigma pada masyarakat pasca industri atau yang disebut juga sebagai masyarakat informasi adalah perkembangan IPTEK telah mencapai tahap yang sangat mutakhir. Salah satu produk IPTEK yang kini menjadi simbol kemajuan adalah IT (Information Technology). Teknologi inilah yang secara revolusioner merombak paradigma-paradigma yang ada sebelumnya. Sebut saja misalnya perubahan paradigma itu terjadi pada sistem teknologi, yakni dari sistem manual menjadi sistem digital/elektronik, yang mengakibatkan perubahan terhadap realitas yang ada yakni dari hard reality menjadi virtual reality atau hypperreality.22 Perubahan-perubahan paradigma secara revolusioner tersebut yang dalam bahasanya
Thomas Khun disebut
dengan istilah
Lompatan
Paradigmatik23 atau dalam bahasanya Fritjof Capra disebut dengan istilah Ingsutan Paradigma, secara nyata telah menciptakan wajah baru pada pola 21
Teori tersebut tetap hidup bahkan mendominasi kehidupan hukum di Indonesia. Ini disebabkan karena teori positivis telah mengakar kuat, tidak hanya dalam lembaga pendidikan tinggi, tetapi juga pada lembaga-lembaga penegak hukum yang mewujudkan hukum yang ada dalam undang-undang sebagai hukum yang hidup. 22 Teknologi telematika telah melahirkan sebuah dimensi ketiga dalam fenomena kehidupan masyarakat. Dimensi pertama (hard reality) adalah kenyataan dalam kehidupan empiris yang secara fisik bisa dilihat/didengar/dirasakan, dimensi kedua (soft reality) adalah kenyataan dalam kehidupan simbolik dan nilai-nilai yang dibentuk, dimensi ketiga (virtual reality) adalah kenyataan dalam kehidupan dunia mayantara (cyber space). Lihat Ashadi Siregar, Negara, Masyarakat dan Teknologi Informasi, Makalah dalam Seminar Teknologi Informasi, Pemberdayaan Masyarakat dan Demokrasi Dies Natalis FISIPOL UGM ke-46, Yogyakarta 19 September 2001. Di http://ashadisiregar.blogspot.com/negara-masyarakat-dan-teknologi-.html. Diambil pada tanggal 18 Januari 2011. 23 Menurut Khun, Revolusi Sains muncul jika paradigma yang lama mengalami krisis dan akhirnya orang mencampakkannya serta merangkul paradigma yang baru. Lihat Thomas Khun, Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains The Structure of Scientific Revolutions, (diterjemahkan oleh: Tjun Surjaman), Bandung: Remadja Karya CV, 1989, hlm. 57-83.
8
perilaku termasuk tatanan nilai-nilai di berbagai belahan dunia, sehingga lalu muncul era atau aliran posmodernisme yang mencoba merespon, mengoreksi, mengkritisi bahkan mengecam berbagai kesalahan dalam modernisme. Sebenarnya secara filosofis ada aliran pemikiran yang dekat dengan semangat posmodernisme, seperti: Legal Realism dan Critical Legal Studies.24 Legal realism antara lain mengajarkan bahwa peraturan perundangundangan bisa dikesampingkan jika ternyata keberadaannya menghalangi pencapaian keadilan. Critical Legal Studies bahkan sejak awal bersikap bahwa peraturan perundang-undangan harus dihindari karena proses penyusunannya sarat dengan muatan kepentingan yang timpang. 25 Penerapan Legal Realism dan Critical Legal Studies dalam praktek penegakan hukum di Indonesia pada saat ini jelas tidak realistis karena keberadaan paradigma hukum positif masih mendominasi dunia hukum di Indonesia. Disamping itu pada kenyataannya bagaimanapun kritikan atau kecaman posmodernisme terhadap modenisme toh terbukti belum mampu menghadang derasnya arus liberalisme, kapitalisme dan positivisme.26 Berkaitan dengan realitas-realitas tersebut maka konsep (penafsiran) hukum progresif dianggap jalan tengah yang terbaik. Ajaran hukum progresif tidak mengharamkan hukum positif namun tidak juga mendewakan ajaran 24
Studi Hukum Kritis (critical legal studies) yang dipelopori oleh Roberto M. Unger. Mazhab ini tidak puas dengan hukum modern yang sarat dengan prosedur. Gerakan Studi Hukum Kritis telah menggerogoti gagasan pokok pemikiran hukum modern dan menyodorkan satu konsepsi hukum yang secara tak langsung mengenai masyarakat dan memberi gambaran tentang satu praktek politik. Dua perhatian yang paling menonjol dari gerakan ini ialah kritik terhadap formalisme dan objektivisme. Lihat Roberto M. Unger, Gerakan Studi Hukum Kritis, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 1999, hlm. 15. 25 Wisnubroto, op.cit, hlm. 4. 26 Ibid.
9
hukum bebas. Progresivisme tetap berpijak pada aturan hukum positif, namun disertai dengan pemaknaan yang luas dan tajam. Keluasan dan ketajaman pemaknaan hukum progresif bahkan lebih dari apa yang dikembangkan dalam Sociological Jurisprudence,27 namun mencakup pula aspek psikologis dan filosofis. Pemikiran positivistis yang menghasilkan aliran hukum normativedogmatik masih dominan dalam berbagai produk hukum di Indonesia,28 baik yang berupa putusan lembaga peradilan maupun perundang-undangan, dimana aliran tersebut menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum. Dari anggapan ini akhirnya memunculkan pertanyaan kritis, untuk siapa sebenarnya hukum itu dibuat, apakah untuk kepastian hukum dan ketertiban itu sendiri, ataukah untuk kesejahteraan manusia? Lalu pertanyaan berikutnya, bila hukum itu ditujukan semata-mata untuk kepastian hukum, lalu di mana fungsi hukum yang melindungi masyarakat itu?. Penerapan dan penegakan hukum sangat dipengaruhi beberapa faktor, yaitu: faktor hukumnya sendiri, faktor aparatnya, faktor sarana dan
27
Sociological Jurisprudence muncul pada abad ke IXX dan abad ke XX. Diawali dengan munculnya aliran Sejarah dan Antropologis yang mulai meletakkan hukum pada lingkungan sosial. Sociological Jurisprudence menempatkan hukum secara sosiologis sebagai perwujudan dari kehendak masyarakat. Hukum dianggap sebagai suatu kebutuhan bagi masyarakat untuk mengatur mereka sehingga keberadaan hukum merupakan suatu kesatuan dengan masyarakatnya. Lihat Novita Dewi Masyitoh, Mengkritisi Analytical Jurisprudence Versus Sosiological Jurisprudence Dalam Perkembangan Hukum Indonesia, dalam Al-Ahkam, XX, Edisi II Oktober 2009, hlm. 17-22. 28 Pendekatan normatif-dogmatis pada hakekatnya menganggap apa yang tercantum dalam peraturan hukum sebagai deskripsi dari keadaan yang sebenarnya.
10
prasarana, faktor masyarakat dan, faktor budaya.29 Faktor-faktor ini satu sama lain kait-mengait. Penerapan dan penegakan hukum yang baik akan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat secara menyeluruh, yang mencakup keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice) dan, keadilan sosial (social justice). Atau dengan kata lain, penerapan dan penegakan hukum dapat dikatakan baik apabila dapat memberikan keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat disamping kepastian hukum. Sebab yang terjadi dalam praktek, produk hukum dari lembaga peradilan maupun pemerintah lebih sering menekankan asas kepastian hukum dan ketertiban daripada asas keadilan dan kepentingan umum.30 Realitas hukum di Indonesia yang masih bersifat sentralistik, formalisitik, represif dan status quo telah banyak mengundang kritik dari para pakar dan sekaligus memunculkan suatu gagasan baru untuk mengatasi persoalan tersebut,31 seperti apa yang sering diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo dengan ilmu hukum progresifnya, yaitu yang meletakkan hukum untuk kepentingan manusia sendiri, bukan untuk hukum dan logika hukum, seperti dalam ilmu hukum praktis. Pengertian hukum progresif ini kiranya tidak berbeda dengan apa yang telah diperkenalkan oleh Philippe Nonet &
29
Ali Irfan Asmuin, “Membangun Hukum Indonesia yang Progresif”, Makalah Magister Hukum, Semarang: Perpustakaan UNISSULA, 2010, hlm. 45. 30 Ibid, hlm. 46. 31 Hukum Represif secara khusus bertujuan untuk mempertahankan status quo penguasa yang kerap kali ditemukan dengan dalih untuk menjamin ketertiban umum. Aturan-aturan dalam hukum represif bersifat keras dan terperinci, akan tetapi lunak dalam mengikat para pembuatnya sendiri. Lihat Eman Sulaiman, Hukum Represif: Wajah Penegakan Hukum di Indonesia, dalam alAhkam, XIII, Edisi II 2001, hlm. 91.
11
Philip Selznick yang dinamakan dengan hukum responsif, yaitu hukum yang berfungsi melayani kebutuhan dan kepentingan sosial.32 Gagasan mengusung pembangunan hukum nasional yang progresif sebetulnya bertolak dari keprihatinan bahwa ilmu hukum praktis lebih menekankan paradigma peraturan, ketertiban dan kepastian hukum, yang ternyata kurang menyentuh paradigma kesejahteraan manusia sendiri. Satjipto mengatakan bahwa perbedaannya terletak pada ilmu hukum praktis yang menggunakan paradigma peraturan (rule), sedang ilmu hukum progresif memakai paradigma manusia (people). Penerimaan paradigma manusia tersebut membawa ilmu hukum progresif untuk memedulikan faktor perilaku (behavior, experience).33 Bagi ilmu hukum progresif, hukum adalah untuk manusia, sedang pada ilmu hukum praktis manusia adalah lebih untuk hukum dan logika hukum. Disinilah letak pencerahan oleh ilmu hukum progresif. Oleh karena ilmu hukum progresif lebih mengutamakan manusia, maka ilmu hukum progresif tidak bersikap submisif atau tunduk begitu saja terhadap hukum yang ada melainkan bersikap kritis.34 Gagasan tentang pembaruan hukum di Indonesia yang terutama bertujuan untuk membentuk suatu hukum nasional, tidaklah semata-mata 32
Philippe Nonet and Philippe Selznick, Law and Society in Transition, Towars Responsive Law, diterjemahkan Raisul Muttaqien, Hukum Responsif, Bandung: Nusamedia, 2008, Cet 2, hlm. 84. 33 Hal ini bertentangan diametral dengan paham bahwa hukum itu hanya urusan peraturan. Peranan manusia disini merupakan konsekuensi terhadap pengakuan bahwa sebaiknya tidak berpegangan secara mutlak kepada teks formal suatu peraturan. Lihat Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Jakarta: Kompas, 2008, hlm. 138. 34 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum, dalam buku Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Semarang: Kerjasama Pustaka Pelajar, IAIN Walisongo dan Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, 2006, hlm. 1-17.
12
bermaksud untuk mengadakan pembaruan (ansich), akan tetapi juga diwujudkan menuju pembaruan hukum yang berwatak progresif, yang mana kebijakan pembaruan hukum merupakan konkretisasi dari sistem nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Suatu keadaan yang dicita-citakan adalah adanya kesesuaian antara hukum dengan sistem-sistem nilai tersebut. Konsekuensinya adalah bahwa perubahan pada sistem nilai-nilai harus diikuti dengan pembaruan hukum, atau sebaliknya.35 Kerisauan dan kegalauan di atas menjadi pijakan berpikir dalam perenungan panjang untuk menentukan gagasan pembaruan hukum melalui studi hukum kritis yang berbasis progresif. Pembaruan hukum merupakan wujud imajinasi sebuah kesadaran baru yang menggeluti sebuah wilayah konseptual yang sangat luas. Di sana berbagai motivasi dan konsep pembaruan akan berkelit-kelindan yang menunjukkan tempat pembaruan hukum Indonesia saat ini.36 Manakala proses pembaruan hukum demi terwujudnya kesadaran baru-tanpa bisa diingkari-merupakan bagian dari proses politik yang progresif dan reformatif. Di sini hukum dapat difungsikan sebagai suatu alat pembaharuan masyarakat (tool of social engineering), entah yang diefektifkan lewat proses-proses yudisial atau yang diefektifkan melalui proses legislatif.37
35
Ibid. Ibid, hlm. 18. 37 Orientasinya tidak hanya ditujukan kepada pemecahan masalah yang ada, melainkan berkeinginan untuk menimbulkan perubahan-perubahan dalam dalam tingkah laku anggota masyarakat. Satjipto Rahardjo, op.cit, hlm. 19. 36
13
Pembaruan hukum acapkali hanya diperbincangkan sebagai legal reform.38 Secara harfiah legal reform berarti pembaruan dalam sistem perundangan-undangan belaka. Kata legal berasal dari kata lege yang berarti undang-undang alias materi hukum yang secara khusus telah dibentuk menjadi aturan-aturan yang telah dipastikan atau dipositifkan sebagai aturan hukum yang berlaku secara formal. Dengan demikian, pembaruan hukum akan berlangsung sebagai aktivitas legislatif yang umumnya melibatkan pemikiran-pemikiran kaum politis dan atau sejauh-jauhnya juga pemikiran para elit profesional yang memiliki akses lobi.39 Bergeraknya
proses
pembaruan
hukum
yang
membatasi
perbincangannya pada pembaruan norma-norma positif perundang-undangan saja, membuktikan masih kokohnya watak keras positivisme hukum dalam pembangunan hukum kita saat ini. Alam pemikiran positivisme hukum menjadi jalan kelam masa depan legal reform, serta membuat hukum terisolasi dari dimensi sosial-masyarakat. Lantas tak heran, ketika fungsi legislasi sebagai pintu awal pembaruan hukum lebih sering mengedepankan konflik kepentingan politik melalui dalih-dalih prosedur legislasi dari pada mencerminkan dialektika subtansial.40 Hukum progresif bersifat membebaskan diri dari dominasi tipe hukum liberal yang tidak selalu cocok diterapkan pada negara-negara yang
38
Soetandyo Wignjosoebroto, Pembaharuan Hukum Masyarakat Indonesia Baru, Jakarta: HuMa, 2007, hlm. 97. 39 Ibid, hlm. 98. 40 Ibid.
14
telah memiliki sistem masyarakat berbeda dengan sistem masyarakat asal hukum modern (dalam hal ini adalah Eropa).41 Konsep progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan sehingga berupaya merubah hukum yang tak bernurani menjadi institusi yang bermoral. Paradigma hukum untuk manusia membuatnya merasa bebas untuk mencari dan menemukan format, pikiran, asas serta aksi-aksi yang tepat untuk mewujudkan tujuan hukum yakni keadilan, kesejahteraan dan kepedulian terhadap rakyat. Satu hal yang patut dijaga adalah jangan sampai pendekatan yang bebas dan longgar tersebut
disalahgunakan atau
diselewengkan pada tujuan-tujuan negatif.42 Akhirnya, masalah interpretasi atau penafsiran menjadi sangat urgen dalam pemberdayaan hukum progresif dalam rangka untuk mengatasi kemandegan dan keterpurukan hukum. Interpretasi dalam hukum progresif tidak terbatas pada konvensi-konvensi yang selama ini diunggulkan seperti penafsiran gramatikal, sejarah, sistematik dan sebagainya, namun lebih dari itu berupa penafsiran yang bersifat kreatif dan inovatif sehingga dapat membuat sebuah terobosan dan lompatan pemaknaan hukum menjadi sebuah konsep yang tepat dalam menjangkau hukum yang bermoral kemanusiaan. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan pembaruan bukanlah secara tekstual melainkan secara kontekstual. Oleh karena itu pemahaman dan penerapannya memerlukan penyesuaian dengan konteks perkembangan zaman. 41 42
Ibid, hlm. 99. Ibid, hlm. 101.
15
Hal ini dapat dipadukan dengan hukum Islam yang diformulasikan dalam bentuk Islam adalah agama yang universal yang misinya adalah rahmat bagi semua penghuni alam semesta, sebagaimana dalam firman-Nya dalam surat al-Anbiya’ (21) : 107.43 Dengan demikian hukum Islam akan tetap relevan dan aktual serta mampu dalam menjawab tantangan modernitas. Hukum progresif di Indonesia memiliki kesesuaian dengan hukum Islam, karena sama-sama mementingkan kemaslahatan manusia.44 Ijtihad dalam hukum Islam juga menunjukkan bahwa dalam hukum Islam juga menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum. Asas-asas hukum Islam memiliki tujuan dasar untuk mewujudkan kebahagiaan umatnya. Tujuan penetapan hukum dalam Islam diorientasikan untuk kemaslahatan
manusia
dalam
bentuk
memberikan
manfaat
maupun
menghindarkan dari kerusakan baik dalam kehidupan di dunia maupun akhirat. Reformasi hukum Islam dewasa ini semakin signifikan sehingga lebih akomodatif dengan dinamika perubahan sosial. Dalam konteks ini untuk mengeksplorasi kajian terhadap hukum Islam digunakan sistem berfikir eklektif.45 Suatu dalil yang diprioritaskan, mengacu pada dalil mana yang
43
Yang artinya adalah dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. 44 Inilah yang digulirkan oleh pemikir Islam Abu Ishaq al-Syathibi dalam kitabnya AlMuwafaqat fi Ushul al-Syari’ah yang kemudian disebut dengan Maqashid al-Syar’iyah. Dalam pandangan al-Syathibi maslahat adalah sesuatu yang melandasi tegaknya kehidupan manusia, terwujudnya kesempurnaan hidup manusia serta yang memungkinkan manusia memperoleh keinginan-keinginan jasmaniyahnya dan aqliyahnya secara mutlak sehingga manusia dapat merasakan kenikmatan dalam hidupnya. Inilah kesesuaian dengan hukum progresif yang digagas oleh Satjipto Rahardjo tentang hukum progresif di Indonesia. 45 Eklektif adalah sebuah pemikiran yang memiliki pendirian yang luas dan juga bersifat memilih yang terbaik. Lihat Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 2001, hlm. 130.
16
lebih baik dan lebih dekat kepada kebenaran dan didukung oleh dalil yang kuat yang selaras dengan perkembangan masyarakat. Karena penelitian yang terkait antara hubungan gagasan hukum progresif dengan hukum Islam di Indonesia-sampai saat ini sejauh pengetahuan penulis-belum ada, maka penelitian ini penting untuk dilakukan untuk menambah khazanah kepustakaan.
B. Rumusan Masalah Dari gambaran dan uraian di atas dapat peneliti kemukakan beberapa pokok permasalahan sehubungan dengan judul yang diajukan tersebut di atas antara lain: 1.
Bagaimana Pemikiran Satjipto Rahardjo tentang Hukum Progresif di Indonesia?
2.
Bagaimana Relevansi antara Hukum Islam dalam Memandang Hukum Progresif yang digagas oleh Satjipto Rahardjo? Perumusan masalah tersebut, coba peneliti telisik sampai akhir
sebagai hasil penelitian dan bagaimana penelitian ini mencapai kesimpulan yang menjadi jawaban ilmiah atas masalah-masalah yang mendasar. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Setelah menentukan perumusan masalah dalam penelitian ini dengan pasti, maka tujuan dan kegunaan terhadap masalah tersebut di atas adalah sebagai berikut:
17
1.
Untuk mengetahui dan mengkaji pemikiran Satjipto Rahardjo tentang Hukum Progresif di Indonesia.
2.
Untuk mengetahui relevansi antara Hukum Islam dalam memandang Hukum Progresif yang digagas oleh Satjipto Rahardjo. Sedangkan manfaat penelitiannya dibagi menjadi dua, yaitu manfaat
secara teoritis dan praktis.46 Secara teoritis, penelitian ini berguna untuk perkembangan keilmuan dan untuk mengisi kekosongan penelitian yang menelaah hubungan antara semangat dan nilai-nilai hukum progresif dengan hukum Islam serta sebagai bahan informasi untuk penelitian lebih lanjut. Dan manfaat secara praktis empirik, penelitian ini berguna bagi para penegak hukum agar dalam menerapkan hukum, menggunakan prinsip-prinsip hukum progresif, yaitu agar hukum ada untuk kebahagiaan manusia. Selain itu karena penelitian ini nantinya adalah penelitian hukum normatif dengan tema utama hukum progresif, maka perlu kiranya dikutip pendapat Sunaryati Hartono yang menyebutkan beberapa manfaat penelitian hukum normatif, salah satunya adalah untuk melakukan penelitian dasar (basic research) di bidang hukum, khususnya apabila kita mencari asas hukum, teori hukum dan sistem hukum, terutama dalam hal-hal penemuan dan pembentukan asas-asas hukum baru, pendekatan hukum yang baru dan sistem hukum nasional yang baru.47
46
Saifullah, Konsep Dasar Proposal Penelitian, Fakultas Syari’ah UIN Malang, TK, 2006, hlm. 10. 47 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad Ke-20, Bandung: Alumni, 1994, hlm. 141.
18
D. Telaah Pustaka Telah menjadi sebuah ketentuan di dunia akademis, bahwa tidak ada satupun bentuk karya seseorang yang terputus dari usaha intelektual yang dilakukan generasi sebelumnya, yang ada adalah kesinambungan pemikiran dan kemudian dilakukan perubahan yang signifikan. Penulisan ini juga merupakan mata rantai dari karya-karya ilmiah yang lahir sebelumnya. Sejauh penelusuran peneliti, terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Diantaranya adalah Penelitian skripsi tahun 2009 oleh Mahmud Kusuma yang juga sudah dibukukan berjudul Menyelami Semangat Hukum Progresif (Terapi Paradigmatik bagi Lemahnya Hukum Indonesia) sebagai tugas akhir pada Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Dalam penelitiannya itu Mahmud Kusuma mencoba untuk terlebih dahulu menelusuri asal-usul dari gagasan hukum progresif itu dengan menelusuri pemikiran-pemikiran dari para pemikir terdahulu (Einstein, Kuhn, Capra, Zohar & Marshall, Sampford, Nonet & Selznick, Holmes, Pound, Heck, Unger) yang menurut keyakinan Mahmud Kusuma ikut memengaruhi dan membentuk pemikiran Satjipto Rahardjo hingga sampai pada gagasannya tentang hukum progresif. Kemudian dipaparkan berbagai permasalahan yang dihadapi dalam penyelenggaraan dan penegakan hukum di Indonesia.
19
Selanjutnya dipaparkan paradigma hukum progresif sebagai alternatif untuk penyelenggaraan hukum dalam garis besarnya. 48 Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Syari’ah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang berjudul Nilai-Nilai Hukum Progresif dalam Aturan Perceraian dan Izin Poligami. Penelitian ini merupakan karya skripsi yang ditulis oleh M. Yudi Fariha pada tahun 2010. Dalam skripsi ini, M. Yudi Fariha mencoba memaparkan tentang nilai-nilai hukum progresif yang terkandung dalam latar belakang kelahiran Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI maupun dalam materi hukum yang diaturnya, yang difokuskan pada aturan perceraian dan izin poligami yang dulu tidak banyak dibicarakan ulama fikih. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah penelitian ini lebih memfokuskan pada relevansi hukum progresif dikaitkan dengan hukum Islam. Secara kualitatif, buku-buku yang membahas tentang hukum progresif cukup banyak, namun di antara bukubuku yang ada belum secara spesifik membahas tentang keterkaitan antara hukum progresif dengan hukum Islam. Sepanjang pengetahuan penulis, di IAIN Walisongo sendiri belum banyak karya yang mengkaji secara mendetail pemikiran tokoh yang satu ini, terutama yang menghubungkannya dengan hukum Islam di Indonesia. Padahal hukum Islam di Indonesia telah berkembang dan diakui
48
Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif (Terapi Paradigmatik bagi Lemahnya Hukum Indonesia), Yogyakarta: antonyLib, 2009, hlm. 189-190.
20
eksistensinya.49 Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk membahas tema ini. Namun, apabila terdapat kesamaan atau kemiripan dengan karya ilmiah lain itu merupakan sesuatu yang tidak disengaja atau ketidaksengajaan dan tentunya memiliki objek kajian serta pembahasan permasalahan yang berbeda dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan ilmiah. E. Kerangka Teoritik Satjipto Rahardjo yang mulai menggulirkan Hukum Progresif sejak tahun
2002
menyatakan
bahwa
Hukum
Progresif
menolak
untuk
mempertahankan status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo berarti mempertahankan segalanya, dan hukum adalah tolak ukur untuk semuanya. Satjipto Rahardjo secara ringkas memberikan rumusan sederhana tentang hukum progresif, yaitu melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan
49
Ada lima teori eksistensi hukum Islam di Indonesia, yaitu: 1). Teori Receptio in Complexu (Lodewijk Willem Christian van den Berg): bagi setiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing. Bagi orang Islam berlaku hukum Islam, demikian pula bagi pemeluk agama lain. 2) Teori Receptie (Cornelis van Vollenhoven dan Christian Snouck Hurgronje): hukum Islam tidak otomatis berlaku bagi orang Islam. Hukum Islam berlaku bagi orang Islam, kalau ia sudah diterima (diresepsi) oleh dan telah menjadi hukum adat. 3). Teori Receptie Exit (Hazairin): pemberlakuan hukum Islam tidak harus didasarkan atau ada ketergantungan kepada hukum adat. 4). Teori Receptio A Contrario (Sayuti Thalib): hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam, ini adalah kebalikan dari teori Receptie. 5). Sebagai kelanjutan dari teori Receptie Exit dan Receptie A Contrario, muncullah Teori Eksisteni (Ichtianto S.A): teori ini menerangkan adanya hukum Islam dalam hukum Nasional Indonesia. Menurut teori ini, bentuk eksistensi hukum Islam dalam hukum nasional itu ialah (a) Ada, dalam arti hukum Islam berada dalam hukum nasional sebagai bagian integral darinya; (b) Ada, dalam arti adanya kemandirian yang diakui berkekuatan hukum nasional dan sebagai hukum nasional; (c) Ada dalam hukum nasional dalam arti norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional Indonesia; (d) Ada dalam hukum nasional dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia. Lihat H. Mustofa dan H. Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm. 143-152.
21
hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan.50 Ada catatan penting yang diberikan Satjipto, bahwa faktor manusia dalam hukum sudah terlalu lama diabaikan untuk lebih memberi tempat kepada hukum. Salah satu upaya untuk membebaskan manusia dari belenggu hukum adalah dengan ide (penegakan) hukum progresif. Catatan penting lain yang diberikan Satjipto dalam Menggagas Hukum Progresif Indonesia bahwa berbicara ilmu hukum, kita akan berhadapan dengan suatu ilmu dengan sasaran objek yang nyaris tak bertepi. Hal ini menggambarkan betapa ilmu ini sangat luas karena bersentuhan dengan berbagai aspek kehidupan. Di samping itu, pada saat yang sama, berbagai aspek itu masih pula tidak bisa dibatasi dengan wilayah teritori, baik lokal, kawasan, nasional, maupun global.51 Maka tawaran hukum progresif dalam konteks Indonesia, bagi Satjipto, didasari oleh keprihatinan terhadap rendahnya kontribusi ilmu hukum Indonesia dalam turut mencerahkan bangsa ini untuk keluar dari krisis, termasuk krisis di bidang hukum. Begitu juga dengan hukum Islam. Hukum Islam sebagaimana hukumhukum yang lain mempunyai asas dan tiang pokok. Kekuatan suatu hukum, sukar mudahnya, dapat diterima atau ditolak masyarakat tergantung kepada
50
Sejak digulirkan tahun 2002, sudah banyak orang yang tergugah dengan pendekatan hukum progresif karena hukum progresif dianggap sebagai pendekatan alternatif di tengah kejumudan positivisme hukum. 51 Satjipto Rahardjo, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 16.
22
asas dan tiang-tiang pokoknya. Salah satu asas yang sesuai dengan hukum progresif adalah tentang memperhatikan kemaslahatan manusia.52 Hukum Islam dihadapkan kepada bermacam-macam jenis manusia dan ke
seluruh
dunia.
Maka
tentulah
pembina
hukum
memperhatikan
kemaslahatan masing-masing mereka sesuai dengan adat kebudayaan mereka serta iklim yang menyelubunginya. Jika kemaslahatan-kemaslahatan itu bertentangan satu sama lain, maka pada saat itu didahulukan maslahat umum atas maslahat khusus dan diharuskan menolak kemudharatan yang lebih besar dengan jalan mengerjakan kemudharatan yang kecil.53 Kemudian asas mewujudkan keadilan yang merata. Manusia di dalam hukum Islam, sama kedudukannya. Mereka tidak lebih melebihi karena kebangsaan, karena keturunan, karena harta atau karena kemegahan. Tak ada di dalam hukum Islam penguasa yang bebas dari jeratan Undang-undang, apabila mereka berbuat zalim. Semua manusia di hadapan Allah Hakim yang Maha Adil adalah sama.54 F. Metode Penelitian 1. Metode Pengumpulan Data Dalam menyusun skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif.55 Penelitian dilakukan dengan cara melakukan
52
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm.
71. 53
T.M Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 58. 54 Ibid, hlm. 68-69. 55 Penelitian ini terdiri dari penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum. Lihat Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006, hlm. 42.
23
kajian analitis yang komprehensip terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, dan bila diperlukan didukung oleh bahan hukum tersier.56 Untuk mendapatkan data-data yang lengkap dan benar dalam rangka menyelesaikan permasalahan serta untuk mencari kebenaran ilmiah yang bersifat obyektif dan rasional juga dapat dipertanggungjawabkan, maka penulis menggunakan metode dokumentasi.57 Dalam hal ini penulis mengkaji data-data dan fakta yang berupa catatan-catatan dokumen, buku, jurnal, majalah, arsip dan hal-hal lain yang menyangkut dengan penelitian ini. 2. Sumber Data Karena penelitian ini merupakan studi terhadap hasil pemikiran dari seorang tokoh, maka data-data yang dipergunakan lebih merupakan data pustaka. Ada dua macam data yang dipergunakan, yakni data primer dan data sekunder. a. Sumber Data Primer.
56
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat dan merupakan data utama dalam penelitian ini, seperti buku-buku ataupun tulisan langsung dari Prof. Satjipto Rahardjo, Bahan hukum sekunder adalah yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti literatur atau buku dan artikel para pengkaji pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo, sedangkan bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia hukum. Lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006, hlm.13. 57 Metode dokumentasi adalah cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, terutama arsip-arsip, termasuk buku-buku tentang pendapat teori, dalil/hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian. Lihat Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Hukum, Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press, 1998, hlm. 100.
24
Sumber data primer merupakan sumber data utama dan paling pokok berupa buku dan tulisan asli yang berasal dari karya Satjipto Rahardjo. Dari beberapa karya yang telah diterbitkan, penulis menggunakan rujukan utama dari karya Satjipto Rahardjo yang berjudul Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia diterbitkan di Yogyakarta oleh Genta Publishing tahun 2009 dan buku Menggagas Hukum Progresif Indonesia terbitan Pustaka Pelajar tahun 2006.
b. Sumber Data Sekunder. Data sekunder tetap diperlukan sebagai data pendukung yang berupa buku atau artikel yang dapat mendukung penelitian skripsi ini. Sumber data sekunder adalah data yang mengutip dari sumber lain sehingga tidak bersifat otentik karena sudah diperoleh dari sumber kedua dan ketiga. Sumber sekunder penulis ambil dari beberapa pengkaji pemikiran Satjipto Rahardjo, baik itu berupa buku, skripsi, tesis, maupun karya ilmiah lainnya, diantaranya adalah buku Pembaharuan Hukum Masyarakat Indonesia Baru, karangan Soetandyo Wignjosoebroto,58 dan buku Menelusuri dan Memaknai Hukum Progresif yang ditulis oleh Wisnubroto, serta beberapa referensi lainnya yang mendukung dalam penulisan skripsi ini.
58
Soetandyo Wignjosoebroto boleh disebut sebagai satu-satunya Guru Besar (bukan IlmuHukum) di Indonesia namun secara konsisten dan tekun melalui beberapa bukunya mencoba mengintroduksikan dengan cara mengelaborasi kembali kondisi Indonesia dimasa lalu termasuk proses pemberlakuan hukum asing kepada rakyat jajahan kala itu, sehingga generasi bangsa Indonesia dewasa ini diharapkan mendapatkan panduan yang jelas mengenai hal tersebut. Lihat juga di Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1994.
25
3. Metode Analisis Data Metode yang akan digunakan sebenarnya cukup sederhana, yakni mencoba menarik beberapa pokok pemikiran dari karya Satjipto Rahardjo tersebut, kemudian menguraikannya secara sistematis. Adapun metode penelitian dalam penulisan karya skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Metode Deskriptif-Analitik.59 Metode ini penulis gunakan untuk melakukan pelacakan dan analisa terhadap pemikiran, biografi serta kerangka metodologis pemikiran Satjipto Rahardjo dengan cara menganalisis data yang diteliti dengan memaparkan data-data tersebut kemudian diperoleh kesimpulan. Untuk mempertajam analisis, metode content analysis (analisis isi) juga bisa penulis pakai. Content analysis digunakan melalui proses mengkaji data yang diteliti. Dari hasil analisis isi ini diharapkan akan mempunyai sumbangan teoritik. Metode ini akan penulis gunakan dalam BAB IV yaitu Analisis Pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo tentang Hukum Progresif di Indonesia. 2. Metode Historical Approach. Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi. Pendekatan ini penulis gunakan karena ingin mengungkap filosofis dan 59
Deskriptif adalah berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan apa yang ada, baik mengenai kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang sedang tumbuh, proses yang sedang berlangsung atau yang telah berkembang. Cara ini digunakan dengan maksud untuk mengetahui latar belakang munculnya pemikiran Satjipto Rahardjo tentang hukum progresif di Indonesia, sehingga dalam pembuatan skripsi ini akan lebih mudah memahami jalan pikiran maupun makna yang terkandung di dalamnya secara komprehensif. Lihat Bambang Sunggono, op.cit, hlm. 38.
26
pola pikir yang melahirkan gagasan tentang hukum progresifnya Prof. Satjipto
Rahardjo
sehingga
natinya
sangat
relevan
dengan
perkembangan hukum di Indonesia saat ini. 3. Metode Konsep (conceptual approach) Penelitian hukum normatif akan lebih akurat bila dibantu oleh satu atau lebih pendekatan lain yang cocok, guna memperkaya pertimbanganpertimbangan hukum yang tepat untuk menghadapi problem hukum yang dihadapi, maka Pendekatan Konsep dilakukan karena peneliti merujuk kepada prinsip-prinsip hukum progresif dalam menelaah hukum di Indonesia. Prinsip-prinsip ini ditemukan dari tulisan seorang pakar hukum yaitu Satjipto Rahardjo sebagai penggagas hukum progresif.
G. Sistematika Penulisan Untuk memperoleh gambaran yang jelas serta mempermudah dalam pembahasan, maka secara keseluruhan dalam penelitian skripsi ini terbagi menjadi lima bab, dimana setiap bab merefleksikan muatan isi yang satu sama lain saling melengkapi. Untuk itu disusun sistematika sedemikian rupa sehingga dapat tergambar ke mana arah dan tujuan dari tulisan ini. Bab pertama, berisi pendahuluan yang merupakan garis besar dari keseluruhan pola berpikir dan dituangkan dalam konteks yang jelas serta padat. Atas dasar itu deskripsi skripsi diawali dengan latar belakang masalah yang terangkum di dalamnya tentang apa yang menjadi alasan memilih judul, dan bagaimana pokok permasalahannya. Selanjutnya untuk lebih memperjelas
27
maka dikemukakan pula tujuan penelitian yang mengacu pada perumusan masalah. Penjelasan ini akan mengungkap seberapa jauh signifikasi tulisan ini. Dilanjutkan dengan metode penulisan yang diungkap apa adanya dengan harapan dapat diketahui apa yang menjadi sumber data, teknik pengumpulan data dan analisis data. Pengembangannya kemudian nampak dalam sistematika penulisan ini. Bab
kedua
dimaksudkan
sebagai
landasan
teoritik
dalam
pembahasan skripsi ini. Bab ini berisi penjelasan umum tentang hukum progresif yang meliputi pengertian hukum progresif, landasan filosofis, asas hukum progresif dan asas hukum Islam serta hukum progresif di Indonesia. Selanjutnya bab ketiga yang berisi pemikiran-pemikiran Satjipto Rahardjo. Dalam bab ini penulis menguraikan tentang biografi, karya-karya Satjipto Rahardjo yang kemudian dilanjutkan dengan pemikiran-pemikiran Satjipto Rahardjo tentang hukum progresif di Indonesia. Analisis data sebagai bab keempat diperoleh berdasarkan landasan teori
dan
data
yang
diperoleh
dan
terkumpulkan
dengan
tetap
mempertahankan tujuan pembahasan. Adapun isi bab ini adalah analisis pemikiran Satjipto Rahardjo tentang hukum progresif di Indonesia dilanjutkan dengan analisis relevansi hukum progresif terhadap hukum Islam. Sebagai akhir pembatasan dari keseluruhannya, maka bab kelima penulis mencoba mengambil beberapa kesimpulan, dilanjutkan dengan beberapa saran dan diakhiri dengan kata penutup. Adapun mengenai daftar pustaka, lampiran, serta riwayat pendidikan akan dimasukkan dalam lampiran.
BAB II KETENTUAN UMUM HUKUM PROGRESIF
A.
Pengertian Hukum Progresif 1.
Definisi Hukum Progresif Progresif adalah kata yang berasal dari bahasa asing (Inggris) yang asal katanya adalah progress yang artinya maju. Progressive adalah kata sifat, jadi sesuatu yang bersifat maju. Hukum Progresif berarti hukum yang bersifat maju. Pengertian progresif secara harfiah ialah, favouring new, modern ideas, happening or developing steadily1 (menyokong ke arah yang baru, gagasan modern, peristiwa atau perkembangan yang mantap), atau berhasrat maju, selalu (lebih) maju, meningkat.2 Istilah hukum progresif di sini adalah istilah hukum yang diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo, yang dilandasi asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia. Satjipto Rahardjo merasa prihatin dengan rendahnya kontribusi ilmu hukum dalam mencerahkan bangsa Indonesia, dalam mengatasi krisis, termasuk krisis dalam bidang hukum itu sendiri. Untuk itu beliau melontarkan suatu pemecahan masalah dengan gagasan tentang hukum progresif. Adapun pengertian hukum progresif itu sendiri adalah mengubah secara cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam 1
Oxford Learner's Pocket Dictionary (New Edition), Edisi ketiga; Oxford: Oxford University Press, hlm. 342. 2 Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 2001, hlm. 628.
28
29
teori dan praksis hukum, serta melakukan berbagai terobosan. Pembebasan tersebut didasarkan pada prinsip bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia.3 Pengertian sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo tersebut berarti hukum progresif adalah serangkaian tindakan yang radikal, dengan mengubah sistem hukum (termasuk merubah peraturanperaturan hukum bila perlu) agar hukum lebih berguna, terutama dalam mengangkat harga diri serta menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. Secara lebih sederhana beliau mengatakan bahwa hukum progresif adalah hukum yang melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Jadi tidak ada rekayasan atau keberpihakan dalam menegakkan hukum. Sebab menurutnya, hukum bertujuan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua rakyat.4 Satjipto Rahardjo mencoba menyoroti kondisi di atas ke dalam situasi ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu hukum, meski tidak sedramatis dalam ilmu fisika, tetapi pada dasarnya terjadi perubahan yang fenomenal mengenai hukum yang dirumuskannya dengan kalimat dari 3
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Kompas, 2007, hlm. 154. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum; Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, Surakarta: Muhammadiyah Press University, 2004, hlm. 17. 4
30
yang sederhana menjadi rumit dan dari yang terkotak-kotak menjadi satu kesatuan. Inilah yang disebutnya sebagai pandangan holistik dalam ilmu (hukum). Pandangan holistik tersebut memberikan kesadaran visioner bahwa sesuatu dalam tatanan tertentu memiliki bagian yang saling berkaitan baik dengan bagian lainnya atau dengan keseluruhannya. Misalnya saja untuk memahami manusia secara utuh tidak cukup hanya memahami, mata, telinga, tangan, kaki atau otak saja, tetapi harus dipahami secara menyeluruh. 5 Menurut Satjipto tumbangnya era Newton mengisyaratkan suatu perubahan penting dalam metodologi ilmu dan sebaiknya hukum juga memperhatikannya dengan cermat. Karena adanya kesamaan antara metode Newton yang linier, matematis dan deterministic dengan metode hukum yang analytical-positivism atau rechtdogmatiek yaitu bahwa alam (dalam terminology Newton) atau hukum dalam terminologi positivistic (Kelsen dan Austin) dilihat sebagai suatu sistem yang tersusun logis, teratur dan tanpa cacat.6 Analogi terkait ilmu fisika dengan teori Newton saja dapat berubah begitu pula dengan ilmu hukum yang menganut faham
5
Ibid, hlm. 18. Analytical-positivism atau rechtdogmatiek adalah suatu paham dalam ilmu hukum yang dilandasi oleh gerakan positivisme. Gerakan ini muncul pada abad ke sembilanbelas sebagai counter atas pandangan hukum alam. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2006, hlm. 260. 6
31
positivisme.7 Sebuah teori terbentuk dari komunitas itu memandang apa yang disebut hukum, artinya lingkungan yang berubah dan berkembang pastilah akan perlahan merubah sistem hukum tersebut.8 Hukum progresif bermakna hukum yang peduli terhadap kemanusiaan sehingga bukan sebatas dogmatis belaka. Secara spesifik hukum progresif antara lain bisa disebut sebagai hukum yang pro rakyat dan hukum yang berkeadilan. Konsep hukum progresif adalah hukum tidak ada untuk kepentingannya sendiri, melainkan untuk suatu tujuan yang berada di luar dirinya. 9 Oleh karena itu, hukum progresif meninggalkan tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek. Aliran-aliran tersebut hanya melihat ke dalam hukum dan membicarakan serta melakukan analisis ke dalam, khususnya hukum sebagai suatu bangunan peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis. Hukum progresif bersifat responsif yang mana dalam responsif ini hukum akan selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri.10
7
Positivisme adalah salah satu aliran dalam filsafat (teori) hukum yang beranggapan, bahwa teori hukum itu hanya bersangkutpaut dengan hukum positif saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitasnya hukum dalam masyarakat. Lihat Achmad Roestandi, Responsi Filsafat Hukum, Bandung: Armico, 1992, hlm. 80. 8 Satcipto Rahardjo beranggapan bahwa teori bukan sesuatu yang telah jadi, tetapi sebaliknya akan semakin kuat mendapat tantangan dari berbagai perubahan yang terus berlangsung, dan kemudian selanjutnya akan lahir teori-teori baru sebagai wujud dari perubahan yang terus berlangsung tersebut. Lihat Turiman, Memahami Hukum Progresif Prof. Satjipto Rahardjo Dalam Paradigma “Thawaf” (Sebuah Komtemplasi Bagaimana Mewujudkan Teori Hukum Yang Membumi/Grounded Theory Meng-Indonesia). Makalah pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. (diambil tanggal 25 Desember 2010). 9 Karakter progresif dicirikan oleh kecenderungan pada nalar kritis dan keberpihakan pada keadilan dan kemanusiaan. 10 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum; Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, op.cit, hlm. 19.
32
Kehadiran hukum dikaitkan pada tujuan sosialnya, maka hukum progresif juga dekat dengan sociological jurisprudence dari Roscoe Pound.11 Hukum progresif juga mengundang kritik terhadap sistem hukum yang liberal, karena hukum Indonesia pun turut mewarisi sistem tersebut. Satu moment perubahan yang monumental terjadi pada saat hukum pra modern menjadi modern. Disebut demikian karena hukum modern bergeser dari tempatnya sebagai institusi pencari keadilan menjadi institusi publik yang birokratis. Hukum yang mengikuti kehadiran hukum modern harus menjalani suatu perombakan total untuk disusun kembali menjadi institusi yang rasional dan birokratis. Akibatnya hanya peraturan yang dibuat oleh legislatiflah yang sah yang disebut sebagai hukum.12 Progresifisme hukum mengajarkan bahwa hukum bukan raja, tetapi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan manusia. Asumsi yang mendasari progresifisme hukum adalah pertama hukum ada untuk manusia dan tidak untuk dirinya sendiri, kedua hukum selalu berada pada status law in the making dan tidak bersifat final, ketiga hukum adalah institusi yang bermoral kemanusiaan.13 11
Teori yang sering dikemukakannya adalah law as a tool of sosial engineering. Menurutnya tujuan dari sosial engineering adalah untuk membangun suatu struktur masyarakat sedemikian rupa sehingga secara maksimum dicapai kepuasan akan kebutuhan dengan seminimum mungkin terjadi benturan dan pemborosan. Lihat Novita Dewi Masyitoh, Mengkritisi Analytical Jurisprudence Versus Sosiological Jurisprudence Dalam Perkembangan Hukum Indonesia, dalam Al-Ahkam, XX, Edisi II Oktober 2009, hlm. 19. 12 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum; Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, op.cit, hlm. 20. 13 Ibid.
33
Berdasar asumsi-asumsi di atas maka kriteria hukum progresif adalah: 1.
Mempunyai tujuan besar berupa kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.
2.
Memuat kandungan moral kemanusiaan yang sangat kuat.
3.
Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan meliputi dimensi yang amat luas yang tidak hanya bergerak pada ranah praktik melainkan juga teori.
4.
2.
Bersifat kritis dan fungsional.
Keterkaitan Hukum Progresif Dengan Teori Lain Satjipto
Rahardjo
menyebut
sedemikian
banyak
aliran
pemikiran yang berdekatan atau berbagi dengan pemikiran hukum progresif. Sebagian besar di antaranya dikenal sebagai aliran-aliran klasik dalam filsafat hukum. Sebagian lagi termasuk ke dalam gerakan berpikir dalam hukum atau suatu teori hukum. Pemikiran-pemikiran tersebut akan disajikan secara berurutan di bawah ini. a) Hukum Progresif dan Aliran Hukum Kodrat Menurut Satjipto Rahardjo, kedekatan aliran hukum kodrat14 dengan hukum progresif terletak pada kepeduliannya terhadap hal-hal
14
Sebagai suatu nama aliran, penggunaan istilah "aliran hukum kodrat" merupakan pilihan yang dirasakan lebih baik daripada "aliran hukum alam". Jika meminjam kategorisasi John Austin, posisi hukum kodrat (natural law) masuk dalam kriteria hukum yang sebenarya (laws properly so called), sedangkan hukum alam (law of nature) adalah suatu hukum yang bukan sebenarnya (laws imporperly so called) karena berasal dari hasil metafora. Baca John Austin dalam Mark R. Mac Guigan, Jurisprudence: Readings and Cases Toronto: University of Toronto Press, 1966, hlm. 130-142.
34
yang oleh Hans Kelsen disebut sebagai meta-juridical. Beliau menulis sebagai berikut: "Teori hukum alam mengutamakan 'the search of justice' daripada lainnya, seperti dilakukan oleh aliran analitis. Hukum progresif mendahulukan kepentingan manusia yang lebih besar daripada menafsirkan hukum dari sudut 'logika dan peraturan.15 Ada beberapa hal yang perlu diberikan catatan atas pernyataan Satjipto Rahardjo di atas. Pertama, nilai keadilan dan kemanusiaan pada aliran hukum kodrat memiliki dimensi yang lebih luas daripada aliran filsafat hukum manapun. Aliran hukum kodrat meletakkan dimensi keadilan dan kemanusiaan secara universal, bukan partikular.16 Hal kedua adalah bahwa gagasan pemikiran aliran hukum kodrat bertolak dari filsafat idealisme, sesuatu yang tidak klop dengan keinginan Satjipto Rahardjo untuk menjadikan hukum sebagai institusi yang dibiarkan mengalir. Dalam idealisme, apa yang dianggap adil dan baik itu sudah selesai berproses. Justru karena sudah berupa produk itulah, maka nilai-nilai ini bisa diberlakukan secara universal dan abadi. Ketiga, cara bernalar dalam aliran hukum kodrat juga menerapkan logika doktrinal-deduktif yang self-evident. Keyakinan tentang kebenaran yang mutlak dan tidak terbantahkan itu terkesan paradoks dengan pemikiran Satjipto Rahardjo, mengingat beliau mengharapkan hukum senantiasa membangun dan mengubah dirinya
15
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif.., Op.cit., hlm. 8. Gagasan universalisme ini bahkan mampu mengatasi ruang dan waktu. Hal ini tentu saja sangat bertolak belakang dengan semangat hukum progresif yang menempatkan latar belakang pemikirannya sebagai pemikiran hukum di tengah-tengah masa transisi ke Indonesiaan. 16
35
menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Setiap tahap dalam perjalanan hukum adalah putusan-putusan yang dibuat guna mencapai ideal hukum. Titik singgung lain yang dapat dilacak antara hukum progresif dan aliran hukum kodrat adalah pada apa yang disebut logika kepatutan sosial (social reasonableness) dan logika keadilan. Kedua logika ini, menurut Satjipto Rahardjo, harus diikutsertakan dalam membaca kaidah hukum karena membaca kaidah adalah menyelam ke dalam roh, asas, dan tujuan hukum.17 Dalam kaca mata aliran hukum kodrat, konsep tentang keadilan merupakan salah satu isu paling penting yang diwacanakan. Sebagai seorang sosiolog hukum, Satjipto Rahardjo memang tidak secara khusus menceburkan diri ke dalam diskusi terkait topik ini. Jika ia sepakat bahwa hukum progresif menganut tipe hukum responsif, maka dapat diasumsikan bahwa beliau cenderung memandang keadilan sebagai keadilan substantif. b) Hukum Progresif dan Critical Legal Studies Titik temu antara hukum progresif dan Critical Legal Studies (CLS), menurut Satjipto Rahardjo, terletak pada kritik keduanya terhadap sistem hukum liberal yang didasarkan pada pikiran politik liberal, khususnya terkait dengan rule of law.18 Tentu saja pemikiran yang bertentangan dengan sistem hukum liberal tidak hanya ada pada gerakan CLS. Namun, jika kritik-kritik CLS ingin ditampilkan dan disandingkan 17 18
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum..., Op.cit., hlm. 120-125. Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi..., Op.cit., hlm. 238.
36
dengan pemikiran hukum progresif, maka dapat diberikan sejumlah catatan. CLS menusuk jantung formalisme hukum sebagaimana dianut sistem hukum liberal dengan mengajukan dua keberatan, yaitu terhadap konsep the rule of law dan legal reasoning. Dalam kaca mata CLS, tidak ada yang dinamakan the rule of law, karena yang ada hanyalah the rule of the rulers. Di sini wacana tentang kesamaan hak misalnya, menjadi utopis. Satjipto Rahardjo termasuk orang yang tidak pernah percaya dengan asas kesamaan hak ini di lapangan. Dalam kuliah-kuliahnya beliau sering mengutip pernyataan Marc Galanter tentang "the haves always come out ahead"19 yang menunjukkan adanya praktik diskriminatif (dalam arti negatif) dalam penegakan hukum. Sementara tentang penalaran hukum (legal reasoning), juga ditolak oleh CLS. Penganut CLS memandang tidak ada yang istimewa dari apa yang disebut penalaran hukum itu. c) Hukum Progresif dan Teori Hukum Responsif Sekalipun hukum responsif tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah aliran filsafat hukum, dalam tulisan ini teori hukum ini layak untuk disinggung. Perkenalan dan ketertarikan Satjipto Rahardjo terhadap teori ini sudah jauh-jauh hari disuarakannya. Tidak heran apabila saat beliau sampai pada pemikirannya tentang hukum progresif,
19
Satjpto Rahardjo, Hukum Progresif..., Op.cit., hlm. 9.
37
tipe hukum responsif dari Nonet dan Selznick ini ikut digandengnya sebagai salah satu karakteristik pemikirannya pula. 20 Nonet dan Selznick pada dasarnya tidak memposisikan ketiga model perkembangan hukum (developmental model) dalam satu garis hierarkis. Artinya, tidak ada klaim bahwa tahapan hukum responsif adalah tahapan yang paling cocok, paling dapat menyesuaikan diri, atau paling stabil dibandingkan dengan tahapan hukum otonom atau hukum represif. Setiap pola menuntut adanya proses adaptasi. Bahkan menurut mereka, model pada tahapan ketiga kurang stabil dibandingkan dengan tahapan kedua dan pertama. Nonet & Selznick juga menyatakan, "We want to argue that repressive, autonomous, and responsive law are not only distinct types of law but, in some sense, stages of evolution in the relation of law to the political and social order.21 Satjipto Rahardjo tidak memberi uraian tentang potensi-potensi kelemahan ini tatkala beliau menyodorkan tipe responsif sebagai karakter pemikiran hukum progresifnya. Sebagai contoh, patut diperdebatkan: benarkah tahapan hukum otoriter yang menurut kajian Moh. Mahfud
20
Boleh jadi penyebutan hukum responsif ini adalah konsekuensi logis dari pemikiran Pak Tjip yang sejak awal telah berada pada arus sosiologis. Hal ini sejalan pula dengan pernyataan Allan C. Hutchinson tatkala meresensi buku Nonet & Selznick di dalam the American Journal of Jurisprudence, Vol. 24 (1979), hlm. 210. Hutchinson menyatakan, "A crystallized vision of such a responsive legal order forms the core of the third modality of responsive law. Building on the work of Pound and the American Realist, the authors attempt to construct an institutional framework for substantive justice; 'responsive law, not sociology, was the true program of sociological and realist jurisprudence'." 21 Phillippe Nonet & Philip Selznick, Law and Society in Transition: toward Responsive Law (New Jersey: Transaction Publishers, 2001), hlm. 18.
38
M.D, telah menandai politik hukum pada era Orde Baru itu22 dan baru saja kita lewati masanya tersebut sungguh-sungguh telah siap untuk digiring saat ini langsung menuju ke tahap hukum responsif? Dengan perkataan lain, tidakkah kita membutuhkan adaptasi terlebih dulu pada tahapan hukum otonom sebelum dapat melangkah ke tahapan hukum responsif? Dan, bukankah pemikiran hukum progresif didesain sebagai teori hukum pada masa transisi? B. Landasan Filosofis Hukum Progresif Hukum
progresif
memang
masih
berupa
wacana,
namun
kehadirannya terasa sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia yang sudah mengalami krisis kepercayaan terhadap hukum yang berlaku sekarang ini. Hukum progresif belum lagi menampakkan dirinya sebagai sebuah teori yang sudah mapan. Demikian pula halnya dengan hukum progresif, harus ada inti pokok program (hard core) yang perlu dijaga dan dilindungi dari kesalahankesalahan yang mungkin timbul ketika hukum progresif itu akan diterapkan ke dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, manakala hukum progresif dikembangkan dari wacana menjadi sebuah teori, maka haruslah dilengkapi dengan hipotesis pelengkap. Hal inilah yang nampaknya belum dimiliki hukum progresif, sehingga pencetus ide Satjipto Rahardjo harus dapat mengembangkan program riset ilmiah tentang hukum progresif secara serius tidak hanya berhenti pada tataran wacana.
22
Moh. Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, hlm. 28.
39
Inti pokok program yang perlu dipertahankan dalam hukum progresif adalah hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Adagium bahwa hukum adalah untuk manusia perlu dipertahankan dari berbagai bentuk falsifiable agar kedudukan hukum sebagai alat untuk mencapai sesuatu, bukan sebagai tujuan yang sudah final. Apa yang dimaksud dengan falsifiable yaitu sebuah hipotesis atau teori hanya diterima sebagai kebenaran sementara sejauh
belum
ditemukan
kesalahannya.
Semakin
sulit
ditemukan
kesalahannya, maka hipotesis atau teori itu justru mengalami pengukuhan.23 Setiap teori ilmiah, baik yang sudah mapan maupun yang masih dalam proses kematangan, memiliki landasan filosofis. Ada tiga landasan filosofis pengembangan ilmu termasuk hukum yaitu ontologis, epistemologis dan aksiologis. Landasan ontologis ilmu hukum artinya hakikat kehadiran ilmu hukum itu dalam dunia ilmiah. Artinya apa yang menjadi realitas hukum sehingga kehadirannya benar-benar merupakan sesuatu yang substansial.24 Landasan epistemologis ilmu hukum artinya cara-cara yang dilakukan di dalam ilmu hukum sehingga kebenarannya bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Kemudian landasan aksiologis ilmu hukum artinya manfaat dan kegunaan apa saja yang terdapat dalam hukum itu sehingga kehadirannya benar-benar bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Landasan ontologis hukum progresif lebih terkait dengan persoalan realitas hukum yang terjadi di Indonesia. Masyarakat mengalami krisis
23
Chalmers, A.F, Apa itu Yang Dinamakan Ilmu?, Terjemahan: Redaksi Hasta Mitra, What is this thing called Science?, Jakarta: Penerbit Hasta Mitra, 1983, hlm. 24 Rizal Mustansyir dalam Hukum Progresif Tinjauan Filsafat Ilmu. Makalah diunduh pada tanggal 12 Februari 2011 di progresiflshp.com.
40
kepercayaan terhadap peraturan hukum yang berlaku. Hukum yang ada dianggap sudah tidak mampu mengatasi kejahatan kerah putih (white colar crime) seperti korupsi, sehingga masyarakat mengimpikan teori hukum yang lebih adekuat. Ketika kehausan masyarakat akan kehadiran hukum yang lebih baik itu sudah berakumulasi, maka gagasan tentang hukum progresif ibarat gayung bersambut. Persoalannya adalah substansi hukum progresif itu sendiri seperti apa, belum ada hasil pemikiran yang terprogram secara ilmiah.25 Landasan epistemologis hukum progresif lebih terkait dengan dimensi metodologis yang harus dikembangkan untuk menguak kebenaran ilmiah. Selama ini metode kasuistik --dalam istilah logika lebih dekat dengan pengertian induktif—lebih mendominasi bidang hukum. Kasus pelanggaran hukum tertentu yang dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku – dicari dalam pasal-pasal hukum yang tertulis, menjadikan dimensi metodologis belum berkembang secara optimal. Interpretasi atas peraturan perundang-undangan yang berlaku didominasi oleh pakar hukum yang kebanyakan praktisi yang memiliki kepentingan tertentu, misalnya untuk membela kliennya. Tentu saja hal ini mengandung validitas tersendiri, namun diperlukan terobosan metodologis yang lebih canggih untuk menemukan inovasi terhadap sistem hukum yang berlaku. Misalnya interpretasi terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak semata-mata bersifat tekstual, melainkan juga kontekstual.
25
Ibid.
41
Hukum tidak dipandang sebagai kumpulan huruf atau kalimat yang dianggap mantera sakti yang hanya boleh dipahami secara harafiah. Metode hermeneutika boleh dikembangkan oleh para pakar hukum untuk membuka wawasan tentang berbagai situasi yang melingkupi kasus hukum yang sedang berkembang dan disoroti masyarakat. Misalnya kasus korupsi yang terjadi di kalangan birokrat, bukan semata-mata dipahami sebagai bentuk kecilnya gaji yang mereka terima, sehingga sikap permisif atas kejahatan korupsi yang dilakukan acapkali terjadi.26 Pemahaman atas sikap amanah atas jabatan yang mereka emban jauh lebih penting untuk menuntut rasa tanggung jawab (sense of responsibility) mereka. Hukum harus dikaitkan dengan kemampuan seseorang dalam mengemban amanah. Dengan demikian landasan epistemologis hukum progresif bergerak pada upaya penemuan langkah metodologis yang tepat, agar hukum progresif dapat menjadi dasar kebenaran bagi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.27 Metodologi merupakan bidang yang ditempuh untuk memperoleh pengetahuan dan sekaligus menjamin objektivitas atau kebenaran ilmu. Metodologi merupakan proses yang menampilkan logika sebagai paduan sistematis dari berbagai proses kognitif yang meliputi: klasifikasi, konseptualisasi, kesimpulan, observasi, eksperimen, generalisasi, induksi, deduksi, dan lain-lain. Hukum progresif baru dapat dikatakan ilmiah
26
Ibid. Apa yang dimaksud dengan metodologis disini ialah kajian perihal urutan langkahlangkah yang ditempuh (prosedur ilmiah), supaya pengetahuan yang diperoleh benar-benar memenuhi ciri ilmiah. 27
42
manakala prosedur ilmiah berupa langkah-langkah metodis di atas sudah jelas. Landasan aksiologis hukum progresif terkait dengan problem nilai yang terkandung di dalamnya. Aksiologi atau Teori Nilai menurut Runes adalah hasrat, keinginan, kebaikan, penyelidikan atas kodratnya, kriterianya, dan status metafisiknya. Hasrat, keinginan, dan kebaikan dari hukum progresif perlu ditentukan kriteria dan status metafisiknya agar diperoleh gambaran yang lebih komprehensif tentang nilai yang terkandung di dalamnya. Kriteria nilai terkait dengan standar pengujian nilai yang dipengaruhi aspek psikologis dan logis.28 Pentingnya memahami landasan nilai dalam sebuah teori atau gerakan ilmiah adalah untuk mengetahui secara pasti orientasi atau kiblat dari teori atau aliran tersebut. Persoalan yang pokok dalam aksiologi ilmu adalah: Apa tujuan pengembangan ilmu? Apakah ilmu bebas nilai ataukah tidak? Nilai-nilai apa yang harus ditaati oleh ilmuwan? Tujuan ilmu yang hakiki adalah untuk kemaslahatan atau kepentingan manusia, bukan ilmu untuk ilmu (science to science). Ilmu yang dikembangkan untuk kepentingan manusia senantiasa akan memihak pada masyarakat, bukan pada dokumen atau lembaran ilmiah semata. Ketika kepentingan manusia terkalahkan oleh dokumen ilmiah, maka
28 Hal ini sangat tergantung pada aliran filsafat yang dianut, kaum hedonist misalnya menemukan standar nilai dalam kuantitas kesenangan. Kaum idealis lebih mengakui sistem objektif norma rasional sebagai kriteria. Sedangkan kaum naturalis menemukan ketahanan biologis sebagai tolok ukur. Hukum progresif seharusnya lebih memihak pada cara pandang kaum idealis yang mengakui sistem objektif norma rasional, karena persoalan yang dihadapi hukum progresif harus dipandang secara objektif-rasionalistik.
43
di sanalah dibutuhkan landasan nilai (basic of value) yang mampu memperjuangkan dan mengangkat martabat kemanusiaan sebagai suatu bentuk actus humanus. Hukum progresif harus memiliki landasan nilai yang tidak terjebak ke dalam semangat legal formal semata, namun memihak kepada semangat kemanusiaan (spirit of humanity).29 Habermas mengatakan bahwa ilmu selalu memiliki kepentingan. Ia menegaskan bahwa pemahaman atas realitas didasarkan atas tiga kategori pengetahuan yang mungkin, yakni informasi yang memperluas kekuasaan kita atas kontrol teknik; informasi yang memungkinkan orientasi tindakan dalam tradisi umum; dan analisis yang membebaskan kesadaran kita dari ketergantungannya atas kekuasaan. Dengan demikian hanya ada tiga struktur kepentingan yang saling terkait dalam organisasi sosial, yaitu kerja, bahasa, dan kekuasaan.30 Hukum progresif pun tak sepenuhnya bebas nilai, bahkan sangat terkait dengan kepentingan pembebasan kesadaran kita dari ketergantungan atas kekuasaan (politik, hukum positif, dan lain-lain). Nilai-nilai yang harus ditaati oleh ilmuwan (termasuk pakar hukum), tidak hanya peraturan perundang-undangan sebagai bentuk rule of the game dalam kehidupan berbangsa-bernegara, tetapi juga keberpihakan kepada 29
Problem ilmu itu bebas nilai atau tidak, masih menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan. Namun mereka yang berpihak pada kubu bebas nilai (value-free) -- terutama kaum positivistik-- harus mengakui bahwa manusia tidak dapat diperlakukan seperti benda mati atau angka-angka yang bersifat exactly, measurable, clear and distinct. Manusia adalah mahluk berkesadaran yang memiliki nurani yang tidak sertamerta serba pasti, terukur, jelas dan terpilah. Manusia adalah mahluk dinamis yang selalu berproses dalam menemukan jati dirinya. Lantaran itu pula terma kejahatan (criminal) tidak ditemukan dalam ranah benda mati atau dunia satwa, melainkan dalam kehidupan manusia. 30 Jurgen Habermas, Knowledge and Human Interest, Translated by: Jeremy J. Shapiro, Boston:.Beacon Press, 1971, hlm. 313. Lihat juga makalah Rizal Mustansyir dalam Hukum Progresif Tinjauan Filsafat Ilmu. Makalah diunduh pada tanggal 12 Februari 2011 di progresiflshp.com.
44
kebenaran
(truth),
pengembangan
profesionalitas
yang
menuntut
pertanggungjawaban ilmiah, dan lain-lain. Sayangnya sampai sekarang tidak banyak kalangan yang berminat mempersoalkan akar filosofis dari pemikiran Satjipto Rahardjo. Sebagian orang bahkan memandang pemikiran hukum progresif tidak lebih daripada suatu kiat penemuan hukum (rechtsvinding).31 Dalam perspektif konfigurasi aliran-aliran filsafat hukum, Satjipto Rahardjo sebenarnya tidak cukup jelas memposisikan letak pemikirannya. Ia juga memberikan beberapa label untuk pemikiran hukum progresif ini. Misalnya, suatu ketika ia mengatakan bahwa hukum progresif adalah suatu gerakan intelektual.32 Pada kesempatan lain ia menyebut hukum progresif merupakan suatu paradigma33 dan konsep mengenai cara berhukum.34 Bahkan, suatu ketika beliau juga pernah memberi predikat: ilmu hukum progresif.35
31
Artinya bahwa sepanjang seseorang menafsirkan hukum dengan tidak lagi semata-mata mengikuti bunyi teks undang-undang, maka ia sudah berpikir mengikuti cara hukum yang progresif. 32 Ia menekankan, "Hukum progresif bisa dimasukkan ke dalam kategori suatu gerakan intelektual, seperti critical legal studies movement (CLS) di Amerika Serikat." Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009, hlm. 22 dan 52. 33 Ia menyatakan, "Peta yang memandu hukum perlu dibuat sedemikian rupa, sehingga benar-benar bersifat mendasar. Sifat mendasar tersebut memberi jawaban terhadap pertanyaan 'hukum untuk apa?' dan 'hukum untuk siapa?'. Suasana puncak atau ultimate ini lazim disebut sebagai paradigma. Sebuah paradigma yang disodorkan di sini adalah hukum untuk manusia sebagaimana disebut di atas." Baca Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009, hlm. 70. 34 Ia juga menulis, "Hukum progresif adalah sebuah konsep mengenai cara berhukum. Cara berhukum tidak hanya satu; melainkan bermacam-macam. Di antara cara berhukum yang bermacam-macam itu, hukum progresif memiliki tempatnya sendiri." Baca Satijpto Rahardjo, "Hukum Progresif: Aksi, Bukan Teks," dalam Satya Arinanto & Ninuk Triyanto, ed., Memahami Hukum: dari Konstruksi sampai Implementasi, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, hlm. 3. 35 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif.., op.cit., hlm. 81.
45
Dalam satu buku yang ditulis oleh Bernard L. Tanya dkk. dan diberi kata sambutan oleh Satjipto Rahardjo, pemikiran hukum progresif ini juga diposisikan sebagai suatu teori hukum dan tampaknya Satjipto Rahardjo pun tidak menunjukkan tanda-tanda keberatan dengan pengklasifikasian ini. Teori beliau ditempatkan bersama-sama dengan teori hukum responsif dari Nonet dan Selznick sebagai kelompok teori hukum pada masa transisi.36 C. Asas Hukum Progresif dan Hukum Islam 1.
Asas Hukum Progresif Menurut Satjipto Rahardjo pembahasan mengenai asas hukum adalah membicarakan unsur yang penting dan pokok dari peraturan hukum, dan tidak berlebihan pula jika dikatakan bahwa asas hukum merupakan jantung dari peraturan hukum. Hal ini dikarenakan asas hukum adalah landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa setiap peraturan hukum selalu bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut.37 Menurut Paton -sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjoasas hukum adalah sarana yang membuat hukum itu hidup, tumbuh dan berkembang dan ia juga menunjukkan bahwa hukum itu bukan sekedar kumpulan dari peraturan-peraturan belaka.38 Hukum memiliki titik pandang dan akan bertolak dari situ pula. Dalam hukum titik pandang itu terdapat pada asas hukum. Asas hukum
36
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, & Markus Y. Hage, op.cit., hlm. 175-180. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, op.cit, hlm. 45. 38 Ibid. 37
46
bukanlah
peraturan
seperti
pasal-pasal
Undang-undang,
namun
sebagaimana dikatakan Scholten, hukum tidak dapat dipahami dengan baik tanpa asas-asas. Asas hukum menjadikan hukum lebih dari sekedar peraturan yang dibuat dengan sengaja dan rasional, tetapi juga suatu dokumen moraletis. Asas hukum memang tidak tampil sebagai aturan (rule) yang konkrit, tetapi lebih sebagai kaidah (norm) di belakang peraturan. Aturan itu rasional, sedangkan kaidah memiliki kandungan moral dan bersifat etis. Asas hukum menjelaskan dan memberi ratio legis mengapa harus ada aturan. Ia menjadi penghubung antara peraturan hukum dan cita-cita sosial serta pandangan etis masyarakatnya.39 Hukum progresif melihat dunia dan hukum dengan pandangan yang mengalir saja, seperti ―panta rei‖ (semua mengalir) dari filsuf Heraklitos. Apabila orang berkeyakinan dan bersikap seperti itu, maka ia akan membangun suatu cara berhukum yang memiliki karakteristiknya sendiri, sebagaimana akan diuraikan di bawah ini.40 Pertama, paradigma dalam hukum progresif adalah bahwa hukum adalah untuk manusia. Pegangan, optik, atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat peraturan hukum. Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai pusatnya. Hukum ada
39
Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Jagat Ketertiban, Jakarta: UKI Press, 2006, hlm. 124-
40
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Jakarta: Penertbit Buku Kompas, 2008,
129. hlm. 139.
47
untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Apabila kita berpegangan pada keyakinan, bahwa manusia itu adalah untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum.41 Kedua, hukum progresif menolak untuk mempertahankan keadaan status quo dalam berhukum.42 Mempertahankan status quo memberi efek yang sama, seperti pada waktu orang berpendapat, bahwa hukum adalah tolok ukur untuk semuanya, dan manusia adalah untuk hukum. Cara berhukum yang demikian itu sejalan dengan cara positivistik, normatif dan legalistik. Sekali undang-undang mengatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bisa berbuat banyak, kecuali hukumnya dirubah lebih dulu.43 Ada hal lain yang berhubungan dengan penolakan terhadap cara berhukum yang pro status quo tersebut yaitu berkaitan dengan perumusan-perumusan masalah kedalam perundang-undangan. Substansi undang-undang itu berangkat dari gagasan tertentu dalam masyarakat yang kemudian bergulir masuk ke lembaga atau badan legislatif. Dalam 41
Lin Yu Tang, seorang intelektual China yang lama bermukim di Amerika telah membedakan penempatan rasionalitas hukum modern, dan mengingatkan ada tujuan yang lebih besar dan karena itu kita perlu lebih berhati-hati dalam melaksanakan sistem yang rasional itu. Apabila tujuan lebih besar itu tidak disadari, maka hukum akan menjadi kering sehingga masyarakat (manusia) bisa menjadi sakit dan tidak bahagia. Menurut Satjipto Rahardjo, para penyelenggara hukum di negeri ini hendaknya senantiasa merasa gelisah apabila hukum belum bisa membuat rakyat bahagia. Inilah yang juga disebut sebagai penyelenggaraan hukum yang progresif. Lihat di Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Kompas, 2007, hlm. 11-12. 42 Mempertahankan status quo adalah menerima normativitas dan sistem yang ada tanpa ada usaha untuk melihat aneka kelemahan di dalamnya, lalu bertindak mengatasinya. Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, cet ketiga, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008, hlm. 114. 43 Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, op.cit, hlm. 139.
48
lembaga inilah suatu gagasan itu kemudian dirumuskan dalam kata serta kalimat dan akhirnya menjadi undang-undang.44 Namun, menurut Satjipto Rahardjo, pengalaman di lapangan menunjukkan betapa kompleksnya masalah dan bekerjanya hukum. Hukum tidak selalu sejelas, segampang, dan sesederhana seperti dibayangkan orang, kendati dikatakan, hukumnya sudah jelas. Hukum adalah dokumen yang terbuka untuk atau mengundang penafsiran. Undang-undang yang dirasakan tidak adil oleh masyarakat mungkin akan ditidurkan atau dikesampingkan.45 Menurut Satjipto Rahardjo, dalam nada yang mungkin agak ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan atau kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan itu dibuat. Misalnya, badan legislatif membuat peraturan yang sulit dilaksanakan dalam masyarakat, maka sejak saat itu sebetulnya badan tersebut telah menjadi arsitek bagi kegagalan para penegak hukum dalam menerapkan peraturan tersebut. Hal ini, misalnya dapat terjadi karena peraturan tersebut memerintahkan dilakukannya sesuatu yang tidak didukung oleh sarana yang mencukupi. Akibatnya, tentu saja peraturan tersebut gagal dijalankan oleh penegak hukum.46 Hal ini dapat juga terjadi bahwa pembuat undang-undang mengeluarkan peraturan yang mewajibkan rakyat untuk melakukan 44
Ibid, hlm. 140. Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, op.cit, hlm. 96. 46 Ibid. 45
49
sesuatu, misalnya untuk menanam jenis tanaman tertentu. Perintah peraturan tersebut kemudian ternyata mendapatkan perlawanan dari rakyat. Berhadapan dengan situasi tersebut, apa yang akan dilakukan oleh penegak hukum tergantung dari tanggapan yang diberikan terhadap tantangan pada waktu itu. Penegak hukum dapat tetap bertekad untuk menjalankan keinginan serta perintah yang terkandung dalam peraturan. Bertindak demikian berarti penegak hukum harus menggunakan kekuatan untuk memaksa. Sebaliknya, dapat pula terjadi, penegak hukum menyerah pada perlawanan rakyat, yang berarti penegak hukum mengendorkan penerapan dari peraturan tersebut.47 Uraian di atas menegaskan, bahwa membaca undang-undang bukan sekedar mengeja kalimat dalam undang-undang, melainkan memberi makna kepada teks tertulis itu. Oleh sebab itu, kepastian hukum adalah hal yang tidak sederhana, karena teks undang-undang yang secara eksplisit mengatakan tidak boleh ditambah dan dikurangi pun, masih saja bisa diberi makna lain. Penerapan hukum yang meniru cara kerja mesin, tidak memedulikan resiko-resiko yang muncul dari peraturan yang buruk itu.48 Ketiga, apabila diakui bahwa peradaban hukum tertulis akan memunculkan sekalian akibat dan resiko sebagaimana dikemukakan di atas, maka cara kita berhukum sebaiknya juga mengantisipasi tentang bagaimana mengatasi hambatan-hambatan dalam menggunakan hukum 47
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Genta Pubishing, 2009, hlm. 25. 48 Biarkan Hukum Mengalir, op.cit, hlm. 142.
50
tertulis tersebut. Secara ekstrem kita tidak dapat menyerahkan masyarakat untuk sepenuhnya tunduk kepada hukum, yang tertulis itu. Menyerah bulat-bulat seperti itu adalah sama dengan membiarkan diri kita diatur oleh teks formal tertulis yang belum tentu benar-benar berisi gagasan asli yang ingin dituangkan ke dalam teks tersebut dan yang memiliki resiko bersifat kriminogen.49 Oleh karena itu menurut Satjipto Rahardjo cara berhukum yang lebih baik dan sehat, dalam keadaan seperti itu adalah memberikan peluang untuk melakukan pembebasan dari hukum formal.50 Karakteristik yang kuat dari hukum progresif adalah wataknya sebagai hukum yang membebaskan. Dengan watak pembebasan itu, hukum progresif sangat peka terhadap perubahan dan ide perubahan serta berkeinginan kuat untuk menjadikan hukum agar bersifat protagonis.51 Untuk menunjang pemikiran hukum progresif, diperlukan semangat pembebasan untuk melihat kekurangan dan kegagalan hukum dalam fungsinya untuk memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat.52 Keempat, hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam hukum. Ini bertentangan diametral dengan paham bahwa hukum itu hanya urusan peraturan. Peranan manusia di sini merupakan konsekuensi terhadap pengakuan,
49
Ibid. Ibid. 51 Lapisan-lapisan dalam Studi Hukum, op.cit, hlm. 82. 52 Ibid, hlm. 88. 50
51
bahwa sebaiknya kita tidak berpegangan secara mutlak kepada teks formal suatu peraturan. Di atas sudah diuraikan betapa besar risiko yang dihadapi apabila kita menyerah sepenuhnya kepada peraturan.53 Cara berhukum melalui teks tidak selalu menghasilkan perbuatan yang sesuai dengan yang dikehendaki teks. Ironisnya tidak jarang teks hukum berubah fungsi, yaitu dari menghendaki orang untuk mematuhinya menjadi suatu panduan untuk melakukan perbuatan yang menyimpang dengan selamat. Sebelum seorang koruptor melakukan korupsi, ia terlebih dahulu dapat mempelajari dengan cermat seluk-beluk undang-undang tentang korupsi, sehingga ia dapat menemukan celah hukum untuk meloloskan diri. Ini termasuk varian mengenai cara berhukum melalui teks, yaitu secara sadar melakukan penyimpangan terhadap teks hukum atau menyelundupi undang-undang.54 Menurut Satjipto Rahardjo,55 perilaku manusia didorong oleh kepentingan, dan kepentingan itu berbeda-beda bagi setiap orang, sehingga kita dihadapkan kepada pilihan-pilihan. Dengan demikian menjalankan hukum adalah suatu pilihan, bukan pekerjaan otomatis. Hukum yang canggih sekalipun tidak dapat mengontrol penggunaan hukum menurut kemauan yang melakukannya. Maka hukum yang dijalankan pun tergantung dari sudut masuknya suatu kepentingan. Orang yang berperilaku baik akan menjadikan hukum bekerja dengan baik pula,
53 54
Hukum dalam Jagat Ketertiban, op.cit, hlm. 144. Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009, hlm.
71. 55
Ibid, hlm. 160.
52
begitu pula sebaliknya, hukum akan menjadi alat untuk melakukan kejahatan jika dijalankan oleh orang yang berperilaku jahat. Perilaku manusia yang memiliki sifat-sifat alami dan fitri itulah yang menjadi landasan kuat bagi keberlangsungan kehidupan bersama manusia. Sesungguhnya sifat-sifat itu tidak hanya menjadi landasan hukum, melainkan jugan institut lain, seperti ekonomi dan politik. Strukturisasi keduanya tidak menghilangkan perilaku baku manusia. Dalam bernegara hukum dan berhukum, pada akhirnya masyarakat akan kembali bersandar pada perilaku mereka. Perilaku tersebut tersimpulkan dalam cara hidup kita seharihari. Menjalani kehidupan dengan baik adalah landasan fundamental dari hukum.56 2.
Asas Hukum Islam Hukum Islam sebagaimana hukum-hukum yang lain mempunyai asas dan tiang pokok. Kekuatan suatu hukum, sukar mudahnya, dapat diterima atau ditolak masyarakat tergantung kepada asas dan tiang-tiang pokoknya.57 Hudari Bik berpendapat bahwa dalam pembinaan hukum Islam, setidaknya ada tiga asas.58 a) ‘Adamul Harj (Tidak Menyempitkan). Haraj menurut bahasa Arab adalah sempit. Banyak dalildalil yang menunjukkan bahwa syari’at ini didasarkan atas dihilangkannya kesempitan. Firman Allah Ta’ala: 56
Ibid, hlm. 170. T.M Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 58. 58 Hudari Bik, Tarikh al-Tasyri‟ al-Islami, diterjemahkan Mohammad Zuhri, Sejarah Pembinaan Hukum Islam, Darul Ihya, 1980, hlm. 31-39. 57
53
Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. al-Baqarah ayat 185).
Artinya: Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS. Al-Hajj ayat 78).
Artinya: “Dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggubelenggu yang ada pada mereka.”(QS. al-A’raaf ayat 157). Maksudnya adalah dalam syari'at yang dibawa oleh Nabi Muhammad itu tidak ada lagi beban-beban yang berat yang dipikulkan
kepada
Bani
Israil.
Umpamanya: mensyari'atkan
membunuh diri untuk sahnya taubat, mewajibkan qisas pada pembunuhan baik yang disengaja atau tidak tanpa membolehkan membayar diat, memotong anggota badan yang melakukan kesalahan, membuang atau menggunting kain yang kena najis. Dan hadits Nabi :
بؼثت بانحٍُفت انسًحت Artinya:”Aku diutus dengan agama yang ringan” Menurut
Yusuf
al-Qaradhawi,59
memudahkan adalah
manhaj al-Qur’an dan Nabi. Manhaj tersebut diajarkan oleh Nabi kepada para sahabat. Beliau 59
memerintahkan mereka untuk
Yusuf al-Qaradhawi, Dirasah fi Fiqh Maqashid Syari‟ah, diterjemahkan H. Arif Munandar Riswantom Fiqih Maqashid Syariah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007, hlm. 158.
54
mengikutinya. Baik individu maupun jamaah. Ketika mengutus Abu Musa dan Muadz bin Jabal ke Yaman, beliau mengutus dengan wasiat ini, “Mudahkan jangan menyulitkan, beri kabar gembitra bukan ketakutan, dan taatlah bukan berselisih”. Hal yang beliau wasiatkan kepada Muadz dan Abu Musa beliau wasiatkan juga kepada umat. Anas meriwayatkan bahwa Nabi pernah bersabda, “Mudahkanlah dan jangan menyulitkan, berilah kabar gembira dan jangan ketakutan.” (Muttafaq alaih). Dengan demikian yang dicipta adalah memudahkan dalam fatwa, dan memberi kabar gembira dalam dakwah.60 Ulama sering menguatkan pendapat mereka dengan perkataan “Ini lebih mudah bagi manusia”. Jika berijtihad, mereka pun sering membetulkan muamalah manusia sesuai dengan kemampuan. Mereka menyandarkan hal tersebut kepada kaidahkaidah syariat, seperti al-dharurat tubih al-mahzhurat (keadaan darurat membolehkan hal yang terlarang), al-hajah tunazzil manzilah al-dharurah (kebutuhan mendesak disesuaikan dengan kedudukan darurat), al-dharar yuzal (darurat harus dihilangkan), al„adah muhakkamah (adat menjadi hukum), al-masyaqqqah tajlib al-taysir (kesulitan mendatangkan kemudahan), serta kaidah-kaidah lainnya
60
Ibid.
55
yang dibuat oleh ulama dan mereka ambil dari teks-teks dan hukumhukum syariat.61 Di sini harus diingatkan ungkapan yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Hilyatul Auliya, Imam Ibnu Abdil Barr dalam al-Ilm, dan Imam an-Nawawi dalam muqaddimah kitab alMajmu‟ dari Imam Sufyan bin Said al-Tsauri, yang menjadi imam dalam bidang fiqih, hadits, dan wara’. Ia berkata dengan ungkapan yang sangat agung, “Fiqih adalah pemberian rukhshah dari tokoh yang tsiqat, sedang memberikan tuntutan hukum yang keras dapat dilakukan oleh semua orang.”62 Kita harus memperhatikan perkataannya bahwa rukhshah dari ulama yang tsiqat, yaitu ulama yang dipercayai kefaqihan dan kesalehan agamanya. Sedangkan orang yang tidak memiliki kedua hal itu atau salah satunya maka bisa saja ia memberikan rukhshah dalam sesuatu yang tidak boleh diberikan rukhshah, sehingga tindakannya itu melanggar dalil-dalil syari’at yang qath‟i dan muhkamat serta kaidah-kaidahnya. Hal ini tentunya tidak dapat
61
Salah satu contoh bahwa Rasulullah SAW mempraktekkan kemudahan ialah ketika beliau memperhatikan karakter orang-orang Ethiopia yang senang menari dan bermain. Oleh karena itu, beliau mengizinkan mereka untuk melakukan hal itu di masjid beliau yang mulia. Saat itu Umar melempari mereka dengan kerikil, Rasululah SAW bersabda kepadanya, “Biarkanlah mereka wahai Umar”. (Muttafaq alaih). Dalam riwayat lain, beliau bersabda, “Mereka adalah Bani Rafdah. Lihat juga Yusuf al-Qaradhawi, “Taisir al-Fiqh li al-Muslim al-Mua‟shir fi Dahu alQur‟an wa as-Sunnah”, diterjemahkan Abdul Hayyie al-Kattani, M. Yusuf Wijaya, dan Noor Cholis Hamzain, Fiqih Praktis bagi Kehidupan Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2002, hlm. 20. 62 Ibid, hlm. 21
56
diterima oleh insan muslim yang cinta dan teguh memegang agamanya.63 Yusuf al-Qaradhawi mengatakan bahwa maksud dari kemudahan itu mengandung beberapa perkara:64 1) Memperhatikan sisi keringanan atau rukhshah. 2) Memperhatikan kondisi yang mendesak dan kondisi yang meringankan. 3) Memilih yang paling mudah dan bukan yang paling hati-hati di zaman kita hidup masa kini.65 4) Membatasi dalam masalah-masalah yang wajib dan yang haram. 5) Membebaskan diri dari fanatisme mazhab. 6) Kemudahan dalam semua masalah. Terkait dengan prinsip ini, dalam kaidah fiqih terdapat kaidah yang berbunyi al-masyaqqah tajlib al-taysir (kesulitan mendorong kemudahan) yang oleh Ali Haydar dijelaskan bahwa kesulitan yang terdapat pada sesuatu menjadi sebab dalam mempermudah dan memperingan sesuatu tersebut, yang pada intinya 63
Ibid. Ishom Talimah, al-Qaradhawi Faqihan, diterjemahkan Samson Rahman, Manhaj Fiqih Yusuf al-Qaradhawi, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001, hlm. 94. 65 Al-Qaradhawi berkata ―Manhaj yang menjadi pilihan saya dan manhaj yang Allah tunjukkan kepada saya dan saya akan selalu komitmen dengannya dalam tulisan, fatwa dan pengajaran. Saya akan mengambil yang mudah dalam masalah furu‟ (cabang) dan tegas dalam masalah yang ushul (pokok). Jika dalam satu masalah terdapat dua pandangan yang berbeda dan dua pendapat yang sama berdekatan, satu diantaranya penuh kehati-hatian, sedangkan yang satunya lagi lebih mudah, maka selayaknya bagi kita untuk memilih fatwa yang lebih mudah bagi seluruh manusia dan jangan mengambil yang paling hati-hati. Alasan dan hujjahnya ialah perkataan Aisyah, “Tidaklah Rasulullah diberi pilihan dua perkara kecuali dia memilih yang paling gampang di antara keduanya selama itu tidak mengandung dosa.‖ Siapa pun yang belajar fiqih sahabat dan para ulama salafus shalih (ujar al-Qaradhawi), dia akan mendapatkan bahwa fiqih yang mereka ambil umumnya mengarah kepada fiqih yang lebih mudah, sedangkan fiqih setelah sahabat lebih cenderung kepada kehati-hatian. Ishom Talimah, Ibid, hlm. 95. 64
57
menekankan
besarnya
perhatian
syariat
pada
bentuk-bentuk
kemudahan dan keringanan hukum. Bahkan al-Sya’bi pernah menyatakan, jika seorang muslim diperintahkan melakukan salah satu di antara dua hal, kemudian ia memilih yang paling ringan baginya, maka pilihannya itu lebih disukai Allah SWT. 66 Petunjuk dari kaidah ini adalah segala kesukaran dan kesulitan yang tidak dapat dihindari oleh manusia akan diberikan keringanan oleh Tuhan. Di samping itu kaidah ini menjadi sumber adanya bermacam-macam rukhsah dalam melaksanakan tuntunan syariat.67 Selain itu, terdapat kaidah lain yang secara substansial mempunyai kemiripan dengan kaidah al-masyaqqah tajlib al-taysir, yaitu kaidah yang berbunyi al-dlarar yuzalu (kerusakan harus dihilangkan). Inti dari kaidah ini adalah bagian dari upaya syariat dalam menciptakan kemaslahatan dan menolak kerusakan dengan memberi kemudahan bagi kaum muslimin. Ciri kemudahan yang dikandung kaidah al-masyaqqah tajlibu al-taysir adalah upaya merengkuh nilai-nilai maslahat yang menjadi inti dari kaidah aldlarar yuzalu.68 b) Taqlil al-Taklif (Menyedikitkan Beban) 69
66
Abdul Haq, Ahmad Mubarok, dan Agus Ro’uf, Formulasi Nalar Fiqh, Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, Surabaya: Khalista, 2006, hlm. 177. 67 Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami Bandung: Al-Ma’arif, 1993, hlm. 504. 68 Abdul Haq, Ahmad Mubarok, dan Agus Ro’uf, op. cit., 213. 69 Hudari Bik, loc. cit., hlm. 35.
58
Menyedikitkan beban merupakan konsekuensi logis bagi tidak adanya menyulitkan (asas pertama), karena di dalam banyaknya
beban
mengakibatkan
kesempitan.
Orang
yang
menyibukkan diri terhadap al-Qur’an untuk melihat perintahperintah dan larangan-larangan yang di dalamnya niscaya dapat menerima terhadap kebenaran pokok ini, karena dengan melihatnya sedikit memungkinkan untuk mengetahuinya dalam waktu sekilas dan
mudah
mengamalkannya,
tidaklah
banyak
perincian-
perinciannya sehingga banyaknya itu tidak menimbulkan kesulitan terhadap orang-orang yang mau berpegang dengan kitab Allah yang kuat. Sebagian dari ayat yang menunjukkan hal itu adalah firman Allah Ta’ala dalam surat al-Maidah yang berbunyi:
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu al-Qur‟an itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (QS. Al-Maidah ayat 101). Masalah-masalah yang dilarang ini adalah sesuatu yang
telah dimaafkan oleh Allah yakni didiamkan pengharamannya.
59
Seandainya mereka tidak menanyakannya niscaya hal itu diampuni dalam meninggalkannya. Mereka
boleh
memilih
dalam
melakukannya
atau
meninggalkannya. Sebagian dari padanya adalah sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:
ٍػٍ أبً ثؼهبت انخشًُ جشثٕو بٍ َاشش – سضً اهلل ػُّ – ػ َ " إٌَِ اهللَ فَشَضَ فَشَائِض: سسٕل اهلل صهى اهلل ػهٍت ٔسهى قال َٔحَذَ حُذُٔدَاً فَال تَؼْتَذَُْٔا َٔحَشَوَ َأشٍَْاءَ فَال،فَال تُضٍَِؼَُْٕا َٔسَكَتَ ػٍَْ َأشٍَْاءَ َسحًَْتً نَكُىْ غٍَْشَ َِسٍَْاٌٍ فَال تَ ْبحَثُٕا،تَُْتَِٓكَُْٕا ِ حذٌث حسٍ سٔاِ انذاسقطًُ ٔغٍش.)ػََُْٓا"(سٔاِ يسهى Artinya: “Dari Abu Tsa‟labah Al Khusyani, jurtsum bin Nasyir radhiallahu 'anhu, dari Rasulullah Shallallahu „alaihi wa Sallam, beliau telah bersabda : “ Sesungguhnya Allah ta‟ala telah mewajibkan beberapa perkara, maka janganlah kamu meninggalkannya dan telah menetapkan beberapa batas, maka janganlah kamu melampauinya dan telah mengharamkan beberapa perkara maka janganlah kamu melanggarnya dan Dia telah mendiamkan beberapa perkara sebagai rahmat bagimu bukan karena lupa, maka janganlah kamu membicarakannya”. (HR. Muslim).
ٍحذثُا ٌحٍى بٍ ٌحٍى أخبشَا إبشاٍْى بٍ سؼذ ػٍ بٍ شٓاب ػ ػايش بٍ سؼذ ػٍ أبٍّ قال قال سسٕل اهلل صهى اهلل ػهٍّ ٔسهى إٌ أػظى انًسهًٍٍ فً انًسهًٍٍ جشيا يٍ سأل ػٍ شًء نى )ٌحشو ػهى انًسهًٍٍ فحشو ػهٍٓى يٍ أجم يسأنتّ (سٔاِ يسهى Artinya: Menceritakan Yahya bin Yahya, menceritakan pada kita Ibrahim bin Sa‟ad dari Ibnu Syihab dari Amir bin Sa‟ad dari bapaknya mengatakan bahwa Rosulullah SAW telah bersabda. “Sebesar-besar dosa orang muslim terhadap muslim lain adalah orang yang menanyakan sesuatu yang tidak diharamkan atas mereka, maka sesuatu itu diharamkan karena pertanyaannya.”(HR. Muslim).
60
c) Berangsur-angsur Mendatangkan Hukum Dalam
menetapkan
suatu
hukum,
hendaknya
tidak
dilakukan secara radikal, karena masyarakat akan sulit untuk melaksanakannya. Maka seyogyanya dilakukan setahap demi setahap. Sebagai contoh, jika pemerintah mengeluarkan peraturan tentang kewajiban bagi pengendara sepeda motor agar menyalakan lampu di siang hari secara sekaligus, maka masyarakat akan menentangnya karena belum mengetahui tujuan dari hal tersebut, namun masyarakat akan mudah menerima dan melaksanakannya jika peraturan itu diterapkan secara bertahap dan setelah masyarakat memahami manfaatnya.70 Dalam sosiologi Ibnu Khaldun dinyatakan bahwa suatu masyarakat (tradisional atau yang tingkat intelektualnya masih rendah) akan menentang apabila ada sesuatu yang baru atau sesuatu yang datang kemudian dalam kehidupannya, lebih-lebih apabila sesuatu yang baru tersebut bertentangan dengan tradisi yang ada. Masyarakat senantiasa memberikan respon apabila timbul sesuatu di tengah-tengah mereka.71 Dengan mengingat faktor tradisi dan ketidaksenangan manusia untuk menghadapi perpindahan sekaligus dari suatu keadaan lain yang asing sama sekali bagi mereka, al-Qur’an 70 Rachmat Djatnika, Jalan Mencari Hukum Islami Upaya ke Arah Pemahaman Metodologi Ijtihad, dalam kata pengantar, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Amrullah Ahmad, dkk (ed), et. al., Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. 107-108. 71 Fatchurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 69
61
diturunkan secara berangsur-angsur, surat demi surat dan ayat demi ayat sesuai dengan peristiwa, kondisi, dan situasi yang terjadi. Dengan cara demikian, hukum yang diturunkannya lebih disenangi oleh jiwa dan lebih mendorong ke arah menaatinya, serta bersiapsiap meninggalkan ketentuan lama dan menerima ketentuan baru.72 Berangsur-angsur mendatangkan hukum, artinya Allah dalam mendatangkan hukum-hukumnya tidak dengan sekaligus, tetapi diangsur dari satu demi satu. Misalnya tentang hukum dilarangnya orang meminum khamar dan main judi. Ketika Rasulullah SAW ditanya tentang hukum keduanya itu oleh sebagian kaum muslim yang telah meminum khamar dan main judi, maka turun firman Allah dalam surat al-Baqarah yang berbunyi:
Arttinya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamardan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya .(QS. Al-Baqarah ayat 219). Dalam ayat ini tidak jelas kelihatan tentang terlarangnya kedua perkara yang ditanyakan itu, padahal sebenarnya sudah terkandung di dalamnya larangan keras, karena segala yang
72
Ibid, hlm. 70.
62
mendatangkan dosa bagi orang yang mengerjakannya sudah dilarang keras orang mengerjakannya. 73 Belakangan diturunkan pula satu ayat yang berarti melarang orang mengerjakan shalat dikala mabuk yang bunyinya :
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. (QS. An-Nisa’ ayat 43). Kemudian pada suatu saat diturunkan pula ayat yang tegas jelas melarang orang meminum arak dan bermain judi, yang bunyinya :
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah,74 adalah termasuk perbuatan syaitan. 73
Chalil Moenawar, Kembali Kepada Al-Qur‟an dan As-Sunnah, Jakarta: PT Midas Surya, 1993, hlm. 230. 74 Al Azlaam artinya: anak panah yang belum pakai bulu. orang Arab Jahiliyah menggunakan anak panah yang belum pakai bulu untuk menentukan apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan atau tidak. Caranya Ialah: mereka ambil tiga buah anak panah yang belum pakai bulu. setelah ditulis masing-masing Yaitu dengan: lakukanlah, jangan lakukan, sedang yang ketiga tidak ditulis apa-apa, diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Ka'bah. bila mereka hendak melakukan sesuatu Maka mereka meminta supaya juru kunci ka'bah mengambil sebuah anak panah itu. Terserahlah nanti Apakah mereka akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sesuai dengan tulisan anak panah yang diambil itu. kalau yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya, Maka undian diulang sekali lagi.
63
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
Barulah dengan ayat ini jelas terlarangnya orang meminum arak dan bermain judi, yang berarti supaya kedua macam perbuatan itu dijauhi benar-benar oleh segenap orang yang beriman. Fathurrahman Djamil75 menambahkan dua asas lagi, yaitu: d) Memperhatikan Kemaslahatan Manusia Hukum Islam dihadapkan kepada bermacam-macam jenis manusia dan ke seluruh dunia. Maka tentulah pembina hukum memperhatikan kemaslahatan masing-masing mereka sesuai dengan adat kebudayaan mereka serta iklim yang menyelubunginya. Jika kemaslahatan-kemaslahatan itu bertentangan satu sama lain, maka pada saat itu didahulukan maslahat umum atas maslahat khusus dan diharuskan menolak kemudharatan yang lebih besar dengan jalan mengerjakan kemudharatan yang kecil.76 Dalam masa kepemimpinannya, Umar menjadikan maslahat dan nash sebagai pokok atau dasar tasyri’nya. Hampir pada semua kejadian dan kasus yang dihadapinya diputuskan dengan tujuan untuk maslahat ammah. Jika dalam suatu kejadian ada nash
75 76
Fathurrahman Djamil, op. cit., hlm. 71-75. T.M Hasbi Ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 66.
64
khususnya, maka Umar harus melaksanakannya dan agar hal itu dapat membawa maslahat, serta menjadikan masalah yang ada nashnya itu membawa dua sisi manfaat. Karena penguasa jika memutuskan satu keputusan hanya karena menurutnya hal itu ada kemaslahatannya, dan dengan sengaja melanggar nash, maka putusannya itu tidak harus dipatuhi, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Nujaim.77 Umar selalu berpijak pada pemahaman nash dan yang tidak ditolak oleh akal, di samping ia juga selalu berpegangan pada keputusan-keputusan tasyri’ yang umum. Adapun jika dalam masalah yang tidak ada nash khususnya, maka pada saat itu Umar tidak
mengeluarkan
satu
keputusan
tasyri’
hanya
dengan
menggunakan ra’yu dan ijtihadnya dan mengatakan bahwa itu adalah maslahat, dengan tanpa mengaitkan dan menguatkannya dengan alasan lain.78 e) Mewujudkan Keadilan yang Merata. Manusia di dalam hukum Islam, sama kedudukannya. Mereka tidak lebih melebihi karena kebangsaan, karena keturunan, karena harta atau karena kemegahan. Tak ada di dalam hukum Islam penguasa yang bebas dari jeratan undang-undang, apabila mereka
77
Muhammad Baltaji, Manhaj Umar Ibn al-Khathab fi al-Tasyrii‟, diterjemahkan H. Masturi Irham, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khathab, Jakarta: Khalifa, 2005, hlm. 480. 78 Ibid.
65
berbuat zalim. Semua manusia di hadapan Allah Hakim yang Maha Adil adalah sama.79 Nabi bersabda:
ػٍ ػائشت سضً اهلل ػُٓا قانت كاَت ايشاة يخضٔيٍت تستؼٍش ٍو بقطغ ٌذْا فأتً أْهٓا أسايت ب.انًتاع ٔتجحذِ فأيش انُبً ص ًو فٍٓا فقال نّ انُب.صٌذ سضً اهلل ػُّ فكهًِٕ فكهى انُبً ص ٌاأسًت ! أتشفغ فً حذ يٍ حذٔد اهلل ػضٔجم؟ ثى قاو: و.ص اًَا ْهك انزٌٍ يٍ قبهكى أَٓى كإَ ارا: و خطٍبا فقال.انُبً ص ٍّسشق فٍٓى انششٌف تشكِٕ ٔاراسشق فٍٓى انضؼٍف أقًٕا ػه انحذ ٔانزي َفسً بٍذِ نٕ كاَت فاطًت بُت يحًذ سشقت نقطؼت .)ٌذْا (سٔاِ يسهى Artinya: “diriwayatkan dari Aisyah r.a ia berkata;”ada seorang perempuan mahzumiah meminjam barang dan mengingkarinya. Kemudian Nabi Muhammad saw menyuruh agar tangan perempuan itu dipotong. Tetapi kemudian keluarganya datang kepada Usamah bin Zaid ra dan mengadukan hal itu. Selanjutnya Usamah bin Zaid menyampaikan pengaduan itu kepada Nabi. Nabi saw berkata,‟Hai Usamah, aku tidak melihatmu dapat membebaskan suatu hadd dari Allah Azza wa Jalla‟. Kemudian Nabi berdiri dan berkhotbah, seraya berkata.‟ Sesungguhnya kehancuran generasi sebelum kamu adalah karena bila orang yang meulia dari mereka mencuri, maka mereka biarkan. Bila orang yang rendah dari mereka mencuri, maka mereka menegakkan hadd potong tangan atasnya. Demi Dzat yang jiwaku berada di dalam genggamanNya, Andaikata Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya.‟ Dengan demikian maka tangan perempuan mahzumah itu dipotong. (HR. Muslim).80 D. Konsep Maslahah dalam Hukum Islam Dalam pemikiran hukum Islam bila dikaitkan dengan perubahan social, muncul dua teori; Pertama, teori Keabadian yang meyakini bahwa hukum Islam tidak mungkin bisa berubah dan dirubah sehingga tidak bisa 79
T.M Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit., hlm. 68-69. Muslim ibn Hajjaj al-Qusyairy al-Naysabury, Sahih Muslim, Jilid II, Libanon: Dar alKutub al-Ilmiyah, t.th. 80
66
beradaptasi dengan perkembangan zaman. Peran akal manusia hanya memahami doktrin teks-teks hukum. Kedua, teori Adaptabilitas yang meyakini bahwa hukum Islam, sebagai hukum yang diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia, dan bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman, sehingga ia bisa dirubah demi mewujudkan kemaslahatan umat manusia. Hukum Islam terikat dan dipahami menurut latar belakang sosio-kultural yang mengelilinginya, sehingga peran akal dapat memahami perputaran hukum.81 Dasar lahirnya teori adaptabilitas adalah prinsip Maslahah, yang merupakan tujuan hukum Islam itu sendiri. Prinsip maslahah ini yang membuat hukum Islam mampu merespons setiap perubahan sosial.82 Dalam catatan sejarah, eksistensi maslahah sebagai metode istinbath hukum bila dikaitkan dengan peran akal di dalamnya, memunculkan corak maslahah yang berbeda-beda di kalangan pemikiran hukum Islam. Kata maslahah yang dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan maslahat, berasal dari Bahasa Arab yaitu maslahah. Maslahah ini secara bahasa atau secara etimologi berarti manfaat, faedah, bagus, baik, kebaikan, guna atau kegunaan. Maslahah merupakan bentuk masdar (adverd) dari fi‟il (verb) salaha. Dengan demikian terlihat bahwa, kata maslahah dan kata manfaat yang juga berasal dari Bahasa Arab mempunyai makna atau arti yang sama.
81
Ahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, Yogyakarta: PT LKIS, 2005, hlm. 16-17. Muhammad Khalid Mas’ud, Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq al-Shatibi‟s Life and Thought, terj. Yudian W Asmin, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Surabaya: alIkhlas, 1995, hlm. 23-24. 82
67
Sedangkan menurut istilah atau epistemology, maslahah diartikan oleh para ulama Islam dengan rumusan hampir bersamaan, di antaranya alKhawarizmi (w. 997 H.) menyebutkan, maslahah adalah al-marodu bilmaslahatil-mukhaafazatu „ala maqsudi-syar‟i bidaf‟i-l mufaasidi „ani-lkholqi,
yaitu
memelihara
bencana/kerusakan/hal-hal
tujuan
yang
hukum
merugikan
Islam diri
dengan
manusia
menolak (makhluq).
Sedangkan ulama telah berkonsensus, bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk memelihara agama, akal, harta, jiwa dan keturunan atau kehormatan. Tidak jauh berbeda dengan al-Khawarizmi di atas, al-Ghazali merumuskan maslahah sebagai suatu tindakan memelihara tujuan syara‟ atau tujuan hukum Islam, sedangkan tujuan hukum Islam menurut al-Ghazali adalah memelihara lima hal di atas. Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara salah satu dari lima hal di atas disebut maslahah, dan setiap hal yang meniadakannya disebut mafsadah, dan menolak mafsadah disebut maslahah.83 Sedangkan menurut asy-Syatibi dari golongan mazhab Malikiyah sebagai orang yang paling popular dan kontropersi pendapatnya tentang maslahah-mursalah mengatakan bahwa maslahah itu (maslahat yang tidak ditunjukkan oleh dalil khusus yang membenarkan atau membatalkan) sejalan dengan tindakan syara‟.84 Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Apabila seseorang melakukan aktivitas yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara’ 83
Malcom H. Keer, Moral and Legal Judgment Indevendent of Relevation, Philosophy: East and West 18, 1968, hlm, 279. 84 Muhammad Khalid Mas’ud, op.cit, hlm. 26.
68
diatas, maka dinamakan maslahah. Disamping itu untuk menolak segala bentuk kemadhorotan (bahaya) yang berkaitan dengan kelima tujuan syara’ tersebut, juga dinamakan maslahah.85 Imam al-Ghazali memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’, sekalipun bertentangan dengan tujuan manusia, karena kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara’, tetapi sering didasarkan pada hawa nafsu. Oleh sebab itu, yang dijadikan patokan dalam mentukan kemaslahatan itu adalah kehendak dan tujuan syara’, bukan kehendak dan tujuan manusia.86 Kemaslahatan yang dapat dijadikan pertimbangan untuk menetapkan hukum menurut al-Ghazali adalah apabila; Pertama, maslahah itu sejalan dengan tindakan syara’. Kedua, maslahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’. Ketiga, maslahah itu termasuk ke dalam kategori maslahah yang dhoruri, baik yang menyangkut kemaslahatan pribadi maupun orang banyak dan universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang.87 Maslahah menurut Abu Ishak al- Syathibi dapat dibagi dari beberapa segi: pertama, dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan ada tiga macam, yaitu: (a) Maslahah al-Dharuriyyah
85
Abu Hamid Al-Ghazali, al-Mustashfa min „Ilmi al-Ushul, Beirut: Dar al Kutub al‖Ilmiyah’, 1980, hlm. 286. 86 Ibid. 87 Ibid, hlm. 289.
69
Kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat, yakni memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara harta. Kelima kemaslahatan ini disebut dengan al-mashalih al-khamsah. (b) Maslahah al-Hajiyah kemaslahatan
yang
dibutuhkan
untuk
menyempurnakan
atau
mengoptimalkan kemaslahatan pokok (al-mashalih al-khamsah) yaitu berupa keringanan untuk mepertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia (al-mashalih al-khamsah) diatas. (c) Maslahah al-Tahsiniyyah, Kemaslahatan
yang
sifatnya
komplementer
(pelengkap),
berupa
keleluasan dan kepatutan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya ( maslahah al-hajiyyah). Kedua, dari segi keberadaan maslahah, ada tiga macam, yaitu : (a) Maslahah al-Mu‟tabarah Kemaslahatan yang didukung oleh syara’. Maksudnya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. (b) Maslahah al-Mulghah Kemaslahatan yang ditolak oleh syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’. (c) Maslahah al-Mursalah Kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan atau ditolak syara’ melalui dalil yang rinci, tetapi didukung
70
oleh sekumpulan makna nash (ayat atau hadits). Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi dua, yaitu maslahah gharibah dan maslahah mursalah. Maslahah gharibah adalah kemaslahatan yang asing, atau kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan syara’, baik secara rinci maupun secara umum. Al-Syathibi mengatakan kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan dalam praktek, sekalipun ada dalam teori. Maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang tidak didukung dalil syara’ atau nash yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash.88 Jumhur Ulama Ushul Fiqh (Ulama Hanafiyah, Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah) menetapkan bahwa maslahah dapat dijadikan dalil untuk menetapkan hukum, apabila memenuhi tiga syarat: Pertama, kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis kemaslahatan yang didukung nash secara umum. Kedua, kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan sehingga hukum yang diterapkan melalui maslahah al-mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari atau menolak kemudaratan. Ketiga, kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu.89 Alasan Jumhur ulama Ushul Fiqh, antara lain : (a). Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia.
88
Abu Ishak Al Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‟ah, Beirut: Dar al-Ma’rifah. 1973, hlm. 8-12. 89 Ibid.
71
(b). Kemaslahatan manusia senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman dan lingkungan mereka sendiri. Apabila Syari’at Islam terbatas pada teks-teks hukum yang ada, akan membawa kesulitan. (c). Merujuk kepada tindakan yang dilakukan oleh beberapa sahabat Nabi SAW., antara lain Umar Ibn al-Khaththab tidak memberi zakat kepada para mu’allaf, karena kemaslahatan orang banyak menuntut hal itu. Abu Bakar Ash-Shiddiq mengumpulkan al-Qur’an atas saran Umar ibn alKhaththab sebagai salah satu kemaslahatan kelestarian al-Qur’an dan menuliskan al-Qur’an pada satu logat bahasa di zaman Utsman bin Affan demi memelihara tidak terjadinya perpedaan bacaan al-Qur’an itu sendiri.90 E. Hukum Progresif di Indonesia Hukum progresif memasukkan prilaku sebagai unsur penting dalam hukum dan lebih khusus lagi dalam penegakkan hukum. Pengalaman bidang hukum di Indonesia masih kental dengan pengalaman hukum dari pada pengalaman prilaku. Proses hukum masih lebih dilihat sebagai proses peraturan dari pada prilaku mereka yang terlibat di situ. Untuk mengatasi stagnasi disarankan agar aspek perilaku dilihat, diperhatikan dan dibicarakan secara sungguh-sungguh tidak kalah dengan perhatian terhadap komponen peraturan. Secara sistem hukum menjadi tidak lengkap apabila komponen dari sistem tersebut hanya terdiri dari peraturan dan institusi dan atau struktur
90
Ibid, hlm. 13.
72
saja. Perilaku menjadi bagian integral dari hukum, sehingga memajukan hukum melibatkan pula tentang bagaimana peran prilaku.91 Secara historis dapat dilihat, penegakkan hukum di Indonesia ada beberapa faktor yang menggerakkan semangat penegakkan hukum.92 Pertama, substansi hukum di Indonesia (undang-undang dan peraturan di bawah undang-undang) cenderung pasif dan tidak futuristik, dalam arti bahwa substansi-substansi hukum tersebut tertinggal dari dinamika masyarakat yang melahirkan banyak persoalan baru yang sama sekali tidak tersentuh hukum. Hal tersebut merupakan suatu cerminan bahwa hukum positif di Indonesia masih klasik dan tidak visioner.93 Kedua, penegakan hukum di Indonesia cenderung permisif dan pasif (lemah) terhadap terdakwa yang notabene punya nama dan struktur kekuasaan yang cukup kuat, baik di masyarakat maupun di pemerintahan. Salah satu hal yang mengarah pada kondisi tersebut adalah kurang aktifnya jaksa dalam mencari dan mengajukan alat buki untuk menjerat terdakwa di persidangan. Sebut saja dalam penanganan kasus-kasus korupsi (selain yang ditangani di Pengadilan Tipikor) yang melibatkan pejabat yang memiliki pengaruh cukup kuat cenderung mendapat hukuman yang sangat ringan dengan kualifikasi kesalahan yang cukup berat.94
91
Sacipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku, op.cit, hlm. 78. Ibid. 93 Ibid. 94 Bahkan data TII (Transparansi Internasional Indonesia) dan ICW (Indonesia Corruption Watch) menyebutkan angka tidak kurang dari 50% terdakwa kasus korupsi yang ditangani di Pengadilan Negeri divonis bebas. 92
73
Berdasar analisis Prof. Surya Jaya,95 banyaknya terdakwa yang divonis bebas di PN disebabkan karena bukti yang diajukan oleh jaksa tidak cukup kuat sehingga mudah dimentahkan oleh terdakwa. Lebih lanjut, dikatakan bahwa berbeda dengan bukti jaksa, bukti yang diajukan KPK lebih kuat dan minimal melampirkan dua alat bukti, sehingga sangat kecil kemungkinan bagi terdakwa untuk lolos dari jeratan hukum.96 Hal ini menunjukkan bahwa penegakan hukum tehadap kalangan elite masih jauh dari pemenuhan rasa keadilan masyarakat maupun keadilan hukum nasional.
Kasus lain terjadi di akhir Mei 2009, dimana untuk menunggu jam tayang siaran langsung sepak bola Liga Champions, sekelompok pedagang sayuran keliling yang mengontrak secara bertetangga kamar ukuran 2×3 meter, melakukan permainan kartu remi. Bukannya menikmati aksi pemain bola, tetapi malah datang petugas polsek menangkap dan menahan 5 orang penjual sayuran keliling itu, dengan tuduhan berjudi, meskipun barang bukti yang ada hanyalah Rp.4.000,-.97 Pertanyaan saat ini adalah mungkinkah paradigma penegakan hukum progresif diterapkan di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu dikaji
terlebih
dahulu
mengenai
dimensi-dimensi
perubahan
atau
pembaharuan hukum nasional. Ismail Saleh mengemukakan bahwa dalam 95
Seorang hakim ad hoc Pengadilan Tipikor di Jakarta. Tabloid Tribun Timur, edisi 23 Agustus 2009. 97 Kejadian tersebut membuat para pakar hukum kaget dan mempertanyakan proses penahanan yang dilakukan aparat kepolisian. Betapa tidak, anak-anak yang berumur belasan tahun ditahan karena dugaan berjudi yang sama sekali tidak berdasar. Permainan yang dilakukan oleh anak-anak tersebut murni sekadar permainan belaka, dan bukan judi seperti disangkakan oleh aparat. LSM-LSM pun serempak mengumbar kritik atas tindakan polisi tersebut, sebab bagaimanapun, anak seperti mereka sharusnya tidak ditahan dan dipenjarakan. 96
74
rangka pembaharuan dan pengembangan hukum nasional, terdapat tiga dimensi utama, yaitu: 1. Dimensi Pemeliharaan Dimensi
pemeliharaan
adalah
dimensi
yang
berkaitan
dengan
pemeliharaan (maintenance) tatanan hukum yang telah ada. Pemeliharaan di sini tidak diartikan sebagai mempertahankan tatanan hukum yang ada secara penuh, tetapi mempertahankan tatanan dengan berpijak pada situasi atau kondisi yang sudah berubah.98 Inilah yang kemudian melahirkan pemahaman dan penerapan hukum secara holistik dalam rangka mencapai nilai-nilai dan tujuan substantif hukum. 2. Dimensi Pembaruan Aksentuasi dimensi pembaruan adalah peningkatan dan penyempurnaan pembangunan hukum nasional. Dalam konteks pembaruan ini dianut kebijaksanaan
bahwa
pembangunan
hukum
nasional
disamping
pembentukan peraturan-peraturan perundang-perundangan yang baru, dilakukan pula usaha penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang telah ada sesuai dengan konteks dan kebutuhan hukum.99 3. Dimensi Penciptaan
98
Penulis menyebut hal ini dengan kontekstualisasi hukum, yaitu memahami dan menerapkan hukum sesuai dengan konteks atau kapasitas permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian, penerapan hukum tidak bersandar pada penafsiran normatif belaka, melainkan sudah melibatkan dimensi eksternal hukum itu sendiri, yaitu konteks hukum. 99 Pembaruan menurut Abdul Mannan tidak perlu dilakukan secara radikal atau membongkar semua aturan yang ada, tetapi cukup aturan yang dianggap sudah tidak relevan dengan situasi yang ada dan paradigma penegakan hukum nasional. Lihat Abdul Mannan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007, hlm. 14.
75
Dimensi ini disebut juga dengan dimensi kreatifitas. Perkembangan yang pesat pada berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi berimplikasi pada kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya di bidang ekonomi yang melahirkan gagasan baru, lembaga baru, dan digitalisasi transaksi keuangan. Hal ini membutuhkan peraturan baru yang berarti bahwa harus diciptakan peraturan perundang-undangan baru yang mengakomodir hal tersebut, sehingga fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social engineering) dapat terlaksana dengan baik. Dengan melihat dimensi pembaharuan hukum nasional tersebut, dapat dipahami bahwa pada dasarnya pembaharuan hukum nasional menuju hukum progresif merupakan proses yang sistemik dan berkelanjutan. Penegakan hukum progresif sebagai unit dari sistem hukum progresif sebagai gagasan yang dikembangkan oleh Satjipto Rahardjo, sangat mungkin diterapkan di Indonesia, paling tidak karena beberapa hal. Pertama, landasan pemikiran penegakan hukum progresif sudah mengalami perkembangan, baik di kalangan akademisi maupun praktisi hukum. Satjipto Rahardjo, sebagai tokoh yang mencetuskan ide hukum progresif telah menanamkan dasar-dasar sistem hukum modern yang holistik dan berorientasi pada pencapaian tujuan substantif hukum, yaitu keadilan.100 Kritik atas model penegakan hukum yang hanya ―mengeja undangundang‖ oleh Satjipto Rahardjo dijabarkan dengan proposisi filsafati, yaitu penegakan hukum harus dilakukan sebagai kegiatan penemuan hukum; suatu
100
Ibid, hlm. 15.
76
proses untuk menggali dan menemukan jiwa hukum itu sendiri, sehingga hukum tidak dijalankan secara pasif. Lebih lanjut, hukum dalam perspektif hukum progresif merupakan upaya berkesinambungan, kreatif, inovatif, dan berkeadilan. Ufran mengemukakan bahwa penegakan hukum progresif tidak hanya melibatkan kecerdasan intelektual belaka, melainkan juga melibatkan kecerdasan emosional dan spiritual.101 Dengan kata lain penegakan hukum merupakan upaya yang dilandasi determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai dengan keberanian untuk mencari jalan lain yang berbeda dengan jalan atau cara konvensional. Kedua, secara faktual riak penegakan hukum progresif telah ada dan mulai dikampanyekan oleh sebagian penegak hukum. Kepolisian misalnya secara massif mengkampanyekan iklan maupun slogan yang esensinya membuat pencitraan positif kepolisian di masyarakat. Kampanye institusi polisi sebagai mitra dan pelayan masyarakat merupakan upaya sistemik yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan pelayanan kepolisian sekaligus mengembangkan kerja sama yang padu dengan masyarakat dalam menegakkan hukum. Ketiga, masyarakat, dalam hal ini direpresentasikan oleh LSM-LSM semakin menunjukkan kepekaannya terhadap upaya penegakan supremasi hukum. Lembaga-lembaga independen seperti ICW, MTI, dan LBH semakin menunjukkan kontribusinya dalam mengawal penegakan hukum di Indonesia.
101
Lihat dalam Pengantar Editor buku Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009, hlm. viii.
77
Tidak jarang kritik tajam ditujukan kepada penegak hukum yang dianggap lamban dan tidak serius dalam menangani perkara. Kondisi-kondisi faktual demikian sesungguhnya merupakan aset dalam menghidupkan penegakan hukum yang progresif. Sejatinya, untuk membangun suatu sistem penegakan hukum yang baik diperlukan kerja sama dari semua unsur dalam sistem. Bekerjanya setiap unsur akan menggerakkan roda penegakan hukum secara berkelanjutan.102 Dalam konteks ini pula, penegakan hukum progresif harus dilihat sebagai upaya menyeluruh. Upaya tersebut tidak hanya pada unsur struktur dan kultur hukum, melainkan merangsek ke unsur substansi hukum, terutama hukum formil. Pembaruan aturan-aturan dalam perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan dinamika masyarakat merupakan keniscayaan, sehingga esensi penegakan hukum progresif benar-benar dapat dilaksanakan.
102
Abdul Mannan, op.cit, hlm. 16.
BAB III PEMIKIRAN PROF. SATJIPTO RAHARDJO TENTANG HUKUM PROGRESIF
A. Biografi Prof. Satjipto Rahardjo 1.
Biografi Prof. Satjipto Rahardjo Beliau memiliki nama lengkap Prof. DR. Satjipto Rahardjo, SH. Lahir di Karanganyar, Banyumas, Jawa Tengah pada tanggal 15 Desember 1930. Riwayat pendidikannya cukup panjang. Beliau menyelesaikan pendidikan hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Jakarta pada tahun 1960. Pada tahun 1972, mengikuti visiting scholar di California University selama satu tahun untuk memperdalam bidang studi Law and Society.1 Dalam kurun waktu yang sama ketika Satjipto Rahardjo sedang mendalami kajian ilmu hukum di negeri Paman Sam tersebut, pada Tahun 1970-an itu sebuah gerakan hukum yang juga dilandasi pandangan sosiologi hukum sedang berkembang di Amerika. Gerakan yang menyebut ideologinya sebagai critical legal studies (CLS) tersebut mewabah dalam cara pandang ilmuwan hukum negara adikuasa tersebut. CLS atau Studi Hukum Kritis itu sendiri merupakan perkembangan pemikiran sosiologi hukum, bidang yang digeluti oleh Satjipto dengan teguh dari awal karir hukumnya. Hal ini tidak bermaksud menyebutkan
1
Lembar Biografi Prof. Satjipto Rahardjo dalam buku “Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia”, hlm. 153.
78
79
cara pandang keilmuwan Satjipto adalah cara pandang yang sepenuhnya dipengaruhi oleh Studi Hukum Kritis tersebut, namun setidak-tidaknya Satjipto sedikit banyaknya merasakan cakrawala intelektual di Amerika ketika gerakan CLS itu diusung. 2 Kemudian beliau menempuh pendidikan doktor di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dan diselesaikan pada tahun 1979. Satjipto kemudian menjadi salah satu panutan utama studi sosiologi hukum di tanah air. Tulisan-tulisan ilmiah lepas dan buku-bukunya menjadi pokok perdebatan pemikiran hukum serta pelbagai diskursus sosiologi hukum. Terhadap hasil karya dan pemikirannya itu, Satjipto pantas ditasbihkan oleh sebagian kalangan sebagai salah satu begawan hukum terbesar yang dimiliki Indonesia saat ini.3 Selain mengajar di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP), beliau juga mengajar pada sejumlah Program Pascasarjana di luar UNDIP, antara lain di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogjakarta, Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Nara sumber di beberapa Universitas di dalam negeri maupun di luar negeri.4 Prof Tjip sapaan akrab beliau, pernah memangku jabatan sebagai Ketua Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) di Universitas Diponegoro. Sebagai orang pertama yang memimpin PDIH UNDIP, Prof Tjip 2
Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum, Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2005, hlm. 162. 3 Ibid, hlm. 163. 4 Suteki, Rekam Jejak Pemikiran Hukum Prof. Satjipto Rahardjo. Makalah diunduh pada tanggal 15 Februari 2011.
80
memiliki andil yang sangat besar dalam menjalankan program ini multientry, yang mana program ini memungkinkan orang yang berlatar belakang bukan sarjana hukum (SH) bisa mengikuti program ini. Sebagai pakar Satjipto juga pernah menduduki jabatan prestigious bahkan di era Soeharto. Melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 yang menjadi pegangan Ali Said (Mantan Ketua Mahkamah Agung) untuk menunjuk beberapa tokoh nasional sebagai anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) yang pertama di Indonesia. Pada tanggal 7 Desember 1993, Satjipto Rahardjo menjadi salah satu dari 25 tokoh yang menduduki jabatan sebagai anggota KOMNAS HAM pertama tersebut bersama Soetandyo Wignyosoebroto yang juga sejawatnya sesama pakar sosiologi hukum Indonesia. 5 Sejak awal memang sangat kelihatan sekali bahwa Satjipto dengan sengaja mendedikasikan kehidupannya dalam dunia hukum. Hal ini terbukti dengan latar belakang pendidikan yang diambilnya sejak awal. Semua orang tahu dengan pasti bahwa Satjipto Rahardjo merupakan
akademisi
yang
sangat
getot
sekali
membicarakan
kebobrokan dan mengkritisi hukum di Indonesia. Bahkan dengan sikap kritisnya ia kemudian menemukan berbagai sikap yang dinilai menghalangi kemajuan hukum bagi rakyat. Tidak hanya sebatas itu, yang
5
Khudzaifah Dimyati, op.cit, hlm. 164.
81
terpenting beliau juga mencoba menawarkan solusi berhukum yang sesuai dengan konteks masyarakat.6
2.
Karya-karya Prof. Satjipto Rahardjo Bisa dibilang bahwa Prof Tjip adalah orang yang paling produktif dalam berkarya.7 Hal ini dibuktikan dengan berbagai publikasi yang disusun dalam bentuk karya buku antara lain: Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum yang diterbitkan pada tahun 1977. Hukum, Masyarakat dan Pembangunan yang ditulis tahun 1980. Ditahun yang sama juga menulis buku Hukum dan Masyarakat. Kemudian pada tahun 1981 beliau juga menulis Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Kemudian buku yang berjudul Permasalahan hukum di Indonesia berhasil beliau terbitkan pada tahun 1983, ditahun yang sama juga menulis buku Hukum dan Perubahan Sosial. Kemudian Ilmu Hukum ditulis pada tahun 1991, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah tahun 2002, Membangun Polisi Sipil tahun 2002, SisiSisi Lain Hukum di Indonesia tahun 2003. Pada tahun 2004 beliau juga menulis buku yang berjudul Ilmu Hukum: Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, yang diterbitkan di
6
Miftahul A’la, Prof. Tjip dan Mazhab Hukum Progresif, Makalah diunduh pada tanggal 23 Pebruari 2011 di miftah.blogspot.com. 7 Produktivitas Prof Tjip tampaknya berangkat dari motto hidupnya sebagai intelektual, yakni seorang intelektual adalah orang yang berpikir dengan tangannya. Lihat sambutan Satjipto Rahardjo dalam Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, & Markus Y. Hage, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Surabaya: Kita, 2006, hlm. ii.
82
Surakarta oleh Muhammadiyah University Press,8 Membedah Hukum Progresif tahun 2006,9 Hukum Dalam Jagat Ketertiban tahun 2006, Biarkan Hukum Mengalir tahun 2007, Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia, Mendudukkan Undang-Undang Dasar: Suatu Optik dari
Ilmu Hukum
Umum
tahun 2007,
Negara Hukum
Yang
Membahagiakan Rakyatnya tahun 2009, Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan Manusia juga ditulis pada tahun 2009, Lapisan-lapisan dalam Studi Hukum tahun 2009, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia tahun 2009. Selanjutnya buku yang berjudul Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan
Manusia
Kaitannya
Dengan
Profesi
Hukum
dan
Pembangunan Hukum Nasional tahun 2009 dengan penerbit Genta Publishing Yogyakarta. Di penerbit dan tahun yang sama pula buku Membangun dan Merombak Hukum Indonesia Sebuah Pendekatan Lintas Disiplin berhasil diterbitkan. Kemudian Buku Hukum dan Perilaku Hidup Baik adalah Dasar Hukum Yang Baik yang terbit tahun 2009.10
8
Buku ini pada hakikatnya merupakan eksperimen Satjipto Rahardjo dalam dunia ilmu hukum. Selama ini beliau gelisah disebabkan hukum biasanya dipahami secara dangkal dan sempit, dilihat dari sisi kulitnya saja tanpa menyentuh pada aspek hakikat dari ilmu hukum itu sendiri. Lewat buku ini, Satjipto Rahardjo secara implisit mengungkapkan kegelisahannya lewat kata-kata: “inikah tanda-tanda lonceng kematian hukum?”. 9 Buku yang ditulis ini membedah tuntas tentang gagasan hukum progresif. Mulai dari pemikiran awal, menggugat harmonisasi dan idealisme hukum, posisi hukum ideal di masa depan hingga kristalisasi gagasan hukum progresif. Dibahas pula dengan tajam peranan sejumlah mazdhab hukum serta urgensi etika terhadap pembangunan hukum progresif juga bagaimana posisi hukum progresif dalam pembangunan hukum. 10 Buku ini adalah buku yang terakhir ditulis oleh Prof. Satjipto Rahardjo sebelum beliau meninggal dunia dalam usia 80 tahun pada hari Jum’at tanggal 8 Januari 2011 di Rumah Sakit Pertamina Jakarta akibat mengalami kegagalan dalam pernafasan.
83
Tulisan-tulisan beliau yang berupa artikel juga sering tampil menghiasi sejumlah media cetak, seperti Kompas, 11 Forum Keadilan, Tempo, Editor, Suara Merdeka dll.12
3.
Latar Belakang Pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo Sosiologi hukum13 sebelum diperkenalkan Maxmillian Weber sesungguhnya secara praktis telah menjadi kajian dari para ilmuwanilmuwan terkemuka di pelbagai zaman. Georges Gurvitch setidaknya adalah salah satu ilmuwan yang menggolongkan Aristoteles, Hobbes, Spinoza, dan Montesquieu sebagai pengkaji sosiologi hukum dari aneka zaman. Baik era pra modern hingga modern. Bahkan saat ini keilmuwan mereka tetap dihargai sebagai bagian tak terpisah untuk dikaji oleh generasi keilmuwan masa post modern.14 Hal ini tidak lain menurut Gurvitch karena kajian sosiologi hukum itu timbul dengan serta-merta dalam penyelidikan sejarah dan 11
Di Harian Kompas Prof. Tjip menulis dari tahun 1975 hampir 33 tahun lebih. Menurut catatan wartawan Kompas Subur Tjahjono, berdasarkan database dari Pusat Informasi Kompas, artikel yang ditulis Prof. Tjip ini telah lebih dari 387 (per 23 November 2009) dan masih diminati sebagai karya yang mampu memberikan opini pembanding dan solutif. Lihat Subur Tjahjono, Satjipto, 33 Tahun Menulis Artikel, dalam Kompas.com, dapat diakses melalui: http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/27/05383141/satjipto.33.tahun.menulis.artikel. 12 Dari tinjauan kepustakaan yang coba penulis gali, penulis sendiri berkeyakinan masih terdapat karya-karya lain dari Prof. Tjip yang tidak terdeteksi. Penulis mengakui memiliki keterbatasan kemampuan untuk menjelajahi tulisan-tulisan ilmiahnya di pelbagai Jurnal dan Majalah. Setidaknya tulisannya di media massa telah mencapai ratusan artikel bahkan mungkin ribuan. 13 Sosiologi berasal dari kata latin, socius yang berarti kawan dan kata Yunani, logos yang bermakna kata atau bicara, sehingga definisi sosiologi berarti bicara mengenai masyarakat. Sedangkan menurut Auguste Comte, sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang merupakan hasil terakhir daripada perkembangan ilmu pengetahuan. Lihat Georges Gurvitch, Sosiologi Hukum, Jakarta: Penerbit Bharatara, 1996, hlm. 58. 14 Feri Amsari, Satjipto Rahardjo dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif, dalam Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi RI edisi September 2009. Diunduh di http://www.feriamsari.wordpress.com.
84
etnografi yang berkenaan dengan hukum, dan juga dalam penyelidikan di lapangan hukum yang sekaligus mencari tujuan lain, misalnya dalam hal mencari solusi ideal terhadap masalah sosial.15 Menurut Satjipto, sosiologi hukum memiliki basis intelektual dari paham hukum alam (lex naturalist),16 itu sebabnya capaian paham sosiologi hukum adalah untuk menyelesaikan persoalan kehidupan manusia dan lingkungannya. Filosofi dari teori hukum alam adalah kesatuan dengan kondisi lingkungan. Karena itu, kalangan sosiologi hukum selalu mengaitkan aturan hukum dengan kondisi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Bahkan terbentuknya sebuah negara berdasarkan teori du contract social yang dipopulerkan J.J. Rosseau pun harus diakui merupakan kajian sosiologi hukum, bahkan ketika manusia masih dalam kelompok-kelompok kecil di alam liar. Menurut
Kranenburg
yang
mensitir
pandangan
Locke,
menuturkan bahwa ketika di masa purba sesungguhnya pemberlakuan hukum yang melindungi hak-hak asasi manusia sudah terjadi. Kemudian secara berlahan-lahan timbulah kontrak sosial antara masyarakat untuk membentuk pemerintahan yang mampu melindungi hak-hak manusia yang
sebelumnya
dilindungi
secara
hukum
alamiah
(moral
kemasyarakatan). Selengkapnya Kranenburg mengisahkan sebagai berikut;
15
Ibid. Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002, hlm, 12. 16
85
Menurutnya alam manusia berhak atas beberapa hak, malahan atas hak-hak yang paling penting yaitu hak hidup, hak kemerdekaan dan hak milik. Sekarang tujuan perjanjian pembentukan negara adalah menjamin suasana hukum individu secara alam itu. Kekuasaan pemerintah dengan demikian menemukan batasnya dalam suasana hukum individu secara alam itu. Apabila pemerintah memperkosa suasana hukum itu, maka ia bertentangan dengan tujuan utama perjanjian masyarakat. Maka gezag pemerintah secara absolut memperkosa hakekat asasi perjanjian untuk pembentukan negara.17 Paparan Kranenburg di atas memperlihatkan bahwa masyarakat mengkreasikan hukum demi perlindungan lingkungan sosialnya sendiri. Kajian mengenai kondisi lingkungan sosial itu dari hari ke hari kemudian berkembang. Bahkan kajian sosiologi hukum kekinian juga menyentuh tema mengenai kondisi lingkungan dan hubungan manusia dan alam itu sendiri.18 Jimly
Asshiddiqie
dalam
bukunya
Green
Constitution
menuturkan relasi hukum dan perlindungan lingkungan hidup tempat masyarakat sosial tumbuh dan berkembang. Jika dicermati kutipan Jimly dalam bukunya mengenai Konstitusi Vermont bahwa; Semua orang dilahirkan sama-sama bebas dan merdeka serta memiliki hak-hak tertentu yang bersifat alami, inheren, dan tidak dapat dikurangi. Di antara hak-hak itu adalah hak untuk menikmati dan mempertahankan hidup dan hak atas 17
Kranenburg, Ilmu Negara Umum, diterjemahkan Tk. B. Sabaroedin, Jakarta: J.B. Wolters, 1959, hlm. 17. 18 Feri Amsari, op.cit.
86
kebebasan mendapatkan, memiliki, dan melindungi hak milik, dan mencari serta mendapatkan kebahagian hidup dan keselamatan.19 Kutipan Jimly tersebut memperlihatkan telah terjadi kaitan antara ilmu lingkungan dan Hukum Tata Negara. Kaitan dua ilmu tersebut bisa dikatakan sebagai bagian dari ilmu sosiologi hukum. Keterkaitan Hukum Tata Negara dan sosiologi hukum sesungguhnya telah pula ditelusuri oleh pakar-pakar Hukum Tata Negara dan politik lampau seperti Montesquieu.20 Sosiologi hukum Montequieu memperlebar dasar penyelidikan Aristoteles dengan menyajikan masalah hubungan antara sosiologi hukum dan cabang sosiologis lainnya, khsususnya ekologi sosial yang menyelidiki dan menelaah volume suatu masyarakat, bentuk dan bangunan tanahnya, sifat khas geografisnya, dan lain-lain dalam hubungannya dengan kepadatan penduduk.21 Walaupun tidak langsung menceritakan aturan hukum yang peduli kepada pelestarian lingkungan, namun tautan itu memperlihatkan bahwa pemikiran sosiologi hukum setidaknya telah merangkai jalan menuju pemikiran hukum hijau sebagaimana saat ini sedang di dengung-dengungkan oleh pelbagai pakar hukum. Teori hukum alam yang menjembatani institusi hukum kepada dunia manusia dan masyarakat menjadikan tujuan dari kehadiran hukum
19
Jimly Asshiddiqie, Green Constitution, Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Rajawali Press, 2009, hlm. 14. 20 Ibid. 21 Georges Gurvitch op.cit, hlm, 66-67.
87
tidak dapat dipungkiri adalah penemuan rasa keadilan secara otentik. Bukan terlibat ke dalam wacana hukum positif yang berkonsentrasi kepada bentuk prosedur serta proses formal hukum.22 Hubungan hukum dan manusia serta masyarakat itu juga dijelaskan oleh Thomas Hobbes dalam Leviathan bahwa lex naturalis yang merupakan suatu aturan atau aturan umum, diperoleh melalui nalar, dimana manusia dilarang membuat sesuatu, yang berbahaya terhadap kehidupannya, atau menghilangkan sarana-sarana pelestarian kehidupan itu.23 Pandangan
tersebut
memperlihatkan
bahwa
hukum
dan
masyarakat merupakan bangunan yang terus berkembang, tidak terjebak kepada bentuk normatif yang mati rasa. Sebagaimana dinyatakan Satjipto; Teori hukum alam selalu menuntun kembali sekalian wacana dan institusi hukum kepada basisnya yang asli, yaitu dunia manusia dan masyaraka. Kebenaran hukum tidak dapat dimonopoli atas nama otoritas para pembuatnya, seperti pada aliran positivisme, melainkan kepada asalnya yang otentik, norma hukum alam, kalau boleh disebut demikian, berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan cita-cita keadilan yang wujudnya berubah-ubah dari masa ke masa.24
22
Ibid. Thomas Hobbes, Mengenai Manusia dan Negara, Leviathan, dalam Shadia B. Drury, Hukum dan Politik, Bacaan Mengenai Pemikiran Hukum dan Politik, Bandung: Penerbit Tarsito, 1986, hlm. 254-255. 24 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum…, op.cit hlm. 12-13. 23
88
B. Memahami Hukum Progresif Prof. Satjipto Rahardjo Adalah Satjipto Rahardjo, atau Prof. Tjip yaitu seseorang yang dijuluki Begawan sosiologi hukum Indonesia yang pertama kali mencetuskan gagasan hukum progresif.25 Gagasan ini kemudian mencuat kepermukaan dan menjadi kajian yang sangat menarik ditelaah lebih lanjut. Apa yang digagas oleh Prof. Tjip ini menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru mengatasi kelumpuhan hukum di Indonesia. Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani kepentingan masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.26 Dilihat dari kemunculannya, hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif-yang dapat dipandang sebagai yang sedang mencari jati diri bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum di masyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20. Dalam proses pencariannya itu, Prof. Tjip kemudian berkesimpulan bahwa salah satu penyebab menurunnya kinerja dan
25
Gagasan dimaksud pertama kali dilontarkan pada tahun 2002 lewat sebuah artikel yang ditulis di Harian Kompas dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15 juni 2002. 26 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006 hlm ix.
89
kualitas penegak hukum di Indonesia adalah dominasi paradigma positivisme dengan sifat formalitasnya yang melekat.27 Dalam pandangan hukum progresif hal inilah yang disebut kebijakan yang tidak memberikan kemanfaatan sosial bagi masyarakat, dan seakan-akan ilmu ekonomi hanya tombol kematian bagi kepentingan masyarakat secara umum. Karena pilihan meanstream ekonomi Indonesia yang cenderung postivistik terhadap kepentingan neo liberalisme belaka.28 Sehingga tak heran agenda untuk menjalankan sistem ekonomi seperti ini, yang pertama adalah melakukan globalisasi hukum yang disesuaikan dengan kepentingan pragmatis yaitu akumulasi modal. Artinya mekanisme hukum yang diciptakan bertitik sentral pada mazhab sistem pembangunan ekonomi neo liberalisme sampai masuk ke dalam ranah positivisme hukum. Paradigma hukum progresif sangat menolak meanstream seperti ini yang berpusat pada aturan/mekanisme hukum positivistik, dan hukum progresif membalik paham ini. Kejujuran dan ketulusan menjadi mahkota penegakan hukum. Empati, kepedulian, dan dedikasi menghadirkan keadilan, menjadi roh penyelenggara hukum. Kepentingan manusia (kesejahteraan dan
27
Ibid. hlm 10-11, Lihat juga Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003, hlm 22-25. 28 Apa yang menjadi pendirian neo-liberalisme dicirikan sebagai berikut: kebijakan pasar bebas yang mendorong perusahaan-perusahaan swasta dan pilihan konsumen, penghargaan atas tanggung jawab personal dan inisiatif kewiraswastaan, serta menyingkirkan birokrasi dan parasit pemerintah. Aturan dasar kaum neo-liberalis adalah, liberalisasikan perdagangan dan finansial, biarkan pasar menentukan harga, akhiri inflasi, stabilitas ekonomi-makro dan privatisasi kebijakan pemerintah haruslah menyingkirkan dari penghalang jalan. Paham inilah yang saat ini oleh para aktor globalisasi dipaksakan untuk diterima semua bangsa-bangsa di seluruh dunia, khususnya juga terjadi di Indonesia.
90
kebahagiannya) menjadi titik orientasi dan tujuan akhir dari hukum. Para penegak hukum menjadi unjung tombak perubahan.29 Dalam logika inilah revitalisasi hukum dilakukan. Perubahan tak lagi pada peraturan, tetapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasi hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Aksi perubahan pun bisa segera dilakukan tanpa harus menunggu perubahan peraturan, karena pelaku hukum progresif dapat melakukan pemaknaan yang progresif terhadap peraturan yang ada. Menghadapi suatu aturan, meskipun aturan itu tidak aspiratif misalnya, aparat penegak hukum yang progresif tidak harus menepis keberadaan aturan itu. Ia setiap kali bisa melakukan interpretasi30 secara baru terhadap aturan tersebut untuk memberi keadilan dan kebahagiaan pada pencari keadilan.31 Berdasarkan uraian diatas, hukum progresif sebagaimana hukum yang lain seperti positivisme, realisme, dan hukum murni, memiliki karakteristik yang membedakannya dengan yang lain, sebagaimana akan diuraikan dibawah ini.32 Pertama, paradigma dalam hukum progresif adalah, bahwa hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia. Artinya paradigma hukum progresif mengatakan bahwa hukum adalah untuk manusia. Pegangan, optik atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai
29
Sudjiono Sastroatmojo, Konfigurasi Hukum Progresif, Artikel dalam Jurnal Ilmu Hukum, Vol.8 No 2 September 2005, hlm 186. 30 Satjipto Rahardjo, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006 hlm 3-4. 31 Sudjiono Sastroatmojo, Konfigurasi…op,cit. 32 Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta, 2007, hlm 139.
91
sesuatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum. Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Apabila kita berpegangan pada keyakinan bahwa manusia itu adalah untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum.33 Sama halnya, ketika situasi tersebut di analogikan kepada undangundang penanaman modal yang saat ini cenderung hanya mengedepankan kepentingan investasi belaka, tanpa melihat aspek keadilan dan keseimbangan sosial masyarakat. Sewajarnya bahwa undang-undang penanaman modal sebagai regulasi yang pada kaitannya juga dengan pembangunan ekonomi di Indonesia diciptakan untuk pemenuhan hak dasar masyarakat. Bukan dengan tujuan sebaliknya, masyarakat menjadi victim akibat dari aturan tersebut.34 Kedua, hukum progresif menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo memberikan efek yang sama, seperti pada waktu orang berpendapat, bahwa hukum adalah tolak ukur semuanya, dan manusia adalah untuk hukum. Cara berhukum yang demikian itu sejalan dengan cara positivistik, normative dan legalistik. Sekali undangundang mengatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bias berbuat banyak, kecuali hukumnya dirubah lebih dulu.35 Dalam hubungan dengan ini, ada hal lain yang berhubungan dengan penolakan terhadap cara berhukum yang pro status quo tersebut, yaitu 33
Ibid, hlm. 140. Ibid. 35 Ibid, hlm. 143. 34
92
berkaitan dengan perumusan-perumusan masalah kedalam perundangundangan. Substansi undang-undang itu berangkat dari gagasan tertentu dalam masyarakat yang kemudian bergulir masuk ke lembaga atau badan legislatif. Terakhir adalah, hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam hukum. Ini bertentangan dengan diametral dengan paham, bahwa hukum itu hanya urusan peraturan. Peranan manusia disini merupakan konsekuensi terhadap pengakuan, bahwa sebaiknya kita tidak berpegangan secara mutlak kepada teks formal suatu peraturan.36 Diatas telah dijelaskan betapa besar risiko dan akibat yang akan dihadapi apabila kita menyerah bulat-bulat kepada peraturan. Cara berhukum yang penting untuk mengatasi kemandegan atau stagnasi adalah dengan membebaskan diri dari dominasi yang membuta kepada teks undang-undang. Cara seperti ini bias dilakukan, apabila kita melibatkan unsur manusia atau perbuatan manusia dalam berhukum. Karena pada dasarnya the live of law has not been logis, but experience.37 Gagasan hukum progresif dan karakteristik yang membedakannya dengan yang lain sebagaimana uraian di atas, memberi warna dan cara pandang baru di dalam memahami hukum sebagai regulasi pembangunan ekonomi. Gagasan tersebut paling tidak merupakan pertimbangan pada aspek 36
Ibid, hlm. 146. Penjelasan bahwa hukum itu adalah prilaku, bukan aturan, lihat Satjipto Rahardjo, Hukum Itu Perilaku Kita Sendiri, artikel pada Harian Kompas, 23 September 2002. Lihat juga Satjipto Rahardjo dalam Hukum dan Perilaku Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009. 37
93
mekanisme yang dijalankan pada roda pembangunan ekonomi Indonesia, walaupun kita tahu bersama bahwa paradigma hukum progresif bukanlah sesuatu ilmu ekonomi murni. Berkaitan dengan hal itu, muncul pertanyaan, bagaimana jika gagasan hukum progresif ini secara mekanistik dapat diterapkan dalam alternatif pembangunan ekonomi Dunia Ketiga, yang pada khususnya dalam konteks Indonesia. Uraian di bawah ini akan menjelaskan persoalan tersebut.
1. Potret Kebuntuan Legalitas Formal Konsistensi pemikiran yang holistik terhadap hukum menuntun Satjipto Rahardjo untuk berpikir melampaui pemikiran positivistik terhadap hukum sekalian berusaha memasukkan ilmu hukum ke ranah ilmu-ilmu sosial, salah satunya adalah sosiologi. Memasukkan hukum ke dalam ilmu-ilmu sosial adalah langkah yang progresif, karena dengan demikian memungkinkan hukum itu dianalisis dan dipahami secara lebih luas dan akan meningkatkan kualitas keilmuan dari Ilmu Hukum.38 Kemajuan ilmu-ilmu alam, ekonomi dan sosial serta politik seharusnya mendorong para ahli hukum untuk melihat apa yang bisa dimanfaatkan dari temuan-temuan disiplin-disiplin ilmu tersebut bagi praktik hukum. Dikatakan oleh Schuyt, kemajuan dalam bidang-bidang ilmu di luar hukum seharusnya menantang para ahli hukum yang baik untuk memberikan reaksi yang memadai dan bisa memilah-milah dengan
38
Suteki, op.cit,
94
bantuan disiplin ilmu lain, mana persoalan hukum yang bisa diselesaikan dengan baik.39 Pengaitan antara Ilmu Hukum dengan ilmu-ilmu lain tidak hanya berhenti sampai ke ilmu-ilmu sosial, oleh karena kontekstualisasi Ilmu Hukum itu harus lebih luas lagi. Erdward O. Wilson sudah menulis buku berjudul Consilience – The Unity of Knowledge40 yang melihat kesatuan sains itu dalam suatu kontinum, yang dimulai dari ilmu tentang sel (biologi) sampai ke ilmu-ilmu sosial. Studi tentang sel yang tidak bermuara ke ilmu-ilmu sosial tidak tuntas, demikian pula sebaliknya apabila ilmu-ilmu sosial tidak dilacak kaitannya sampai ke biologi. Ilmuilmu sosial yang hanya saling merujuk antara sesamanya disebut Wilson sebagai kerdil, tumpul.41 Mengikuti pendekatan holistik dalam Ilmu Hukum, maka menjadi tugas para ilmuwannya untuk menyatukan kembali hukum. Menyatukan kembali hukum dengan lingkungannya, alam dan orde kehidupan yang lebih besar. Memasukkan studi hukum ke dalam orde yang lebih besar tersebut bertujuan untuk menghilangkan pemisahan antara hukum dan kehidupan manusia.42 Inilah yang dinamakan mengembalikan hukum ke dalam keutuhannya. Oleh Brian Z. Tamanaha dikatakan bahwa hukum dan 39
Suteki, op.cit. Edward O. Wilson, Consielence The Unity of Knowledge, Alfred A. Knof inc, New York, USA, 1998, hlm. 9. Lihat juga Suteki Rekam Jejak Pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo. 41 Suteki op.cit. 42 Satjipto Rahardjo, Pendekatan Holistik Terhadap Hukum, Bacaan untuk Mahasiswa Program doktor Ilmu Hukum Undip Oktober 2005. Makalah Tidak diterbitkan dan diunduh pada tanggal 26 Januari 2011. 40
95
masyarakat memiliki bingkai yang disebut The Law-Society Framework yang memiliki karakteristik hubungan tertentu. Hubungan tersebut ditunjukkan dengan dua komponen dasar. Komponen pertama terdiri dari dua tema pokok yaitu ide yang menyatakan bahwa hukum adalah cermin masyarakat dan ide bahwa fungsi hukum adalah untuk mempertahankan social order.43 Komponen kedua terdiri dari tiga elemen, yaitu: custom/consent; morality/reason; dan positive law. Custom/consent and morality/reason dapat dipahami dalam pemikiran Donald Black sebagai culture. Pandangan Satjipto Rahardjo terhadap hukum dengan cara mengoreksi kekeliruan dan kekurangan paradigm positivistik dalam ilmu hukum mendorongnya untuk berpikir ulang terhadap cara mempelajari dan cara berhukum yang bertujuan menghadirkan sebenar keadilan atau sering disebut keadilan substantif. Berhukum dengan hati nurani itulah kalimat yang sering mengalir dari Satjipto Rahardjo. Sampai sekarang ini masih banyak ketidakadilan muncul sebagai akibat cara kita berhukum yang masih terpenjara oleh ritual-ritual legalitas formal yang mengunggulkan cara kerja diskriminatif, measure, categorize yang menghasilkan gambar hukum yang berkeping-keping. Gambar yang muncul dari metodologi seperti itu adalah kerangka, bukan sosok hukum yang utuh.44
43 44
Ibid. Suteki, loc.cit.
96
Fenomena peradilan terhadap wong cilik misalnya: kasus pencemaran nama baik dokter dan RS Omni International oleh Prita Mulyasari.45 Kemudian kasus pencurian satu buah semangka oleh Cholil dan Basar Suyanto warga Kampung Wonosari, Kelurahan Bujel, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri yang dipidana selama 15 hari percobaan 1 bulan di PN Kediri Jawa Timur. Selanjutnya kasus pencurian kapuk randu seharga Rp 12.000 oleh 4 anggota keluarga yaitu Manisih, 2 anaknya (Sri dan Juwono) dan sepupunya (Rustono) yang akhirnya ditahan di LP Rowobelang Batang. 46 Kemudian kasus Pak Klijo Sumarto warga Jering, Sidorejo Godean, Kabupaten Sleman tersangka pencurian setandan pisang kluthuk mentah seharga Rp 2000.47 Kasus Mbok Minah yang dituduh mencuri 3 biji kakao seharga Rp 2.100, dan pada tanggal 2 Agustus 2009 dihukum pidana percobaan 1 bulan 15 hari di PN Purwokerto. Kemudian kasus Lanjar yang kehilangan nyawa isterinya karena kecelakaan bersama, namun dia
didakwa menghilangkan
nyawa
orang lain karena
kelalaiannya dan harus mendekam dipenjara di Karanganyar, dan kasus yang melibatkan orang besar misalnya kasus Bank Century telah 45
Prita mulyasari ditahan pada tanggal 3 Mei sampai 3 Juni 2009 di PN Tangerang. Dalam perkembangannya, hakim memvonis bebas Prita Mulyasari walau memenuhi unsur delik sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Penulis yakin bahwa hakim-hakim tersebut dalam memutus perkara mempertimbangkan aspek sosiologis dari hukum termasuk sosial effectnya, bahkan dalam kasus ini masyarakat turut membelanya dengan pengumpulan koin uang recehan yang hampir mencapai 1 milyar rupiah. Ini merupakan sebuah pemberontakan rakyat terhadap peadilan yang legal formalistik. Dan akhirnya coin for justice menjadi salah satu icon di penghujung tahun 2009 lalu. 46 Data dihimpun dari berbagai sumber al: republika.co.id, kompas.com dan Suaramerdeka.com. 47 Akhirnya pada tanggal 7 Desember 2009 Pak Klijo mendekam di LP Cebongan Sleman.
97
membuktikan bahwa hukum hanya dipahami sebatas skeleton legal formalistik yang terasing (teralienasi) dengan masyarakatnya sehingga seringkali mengalami kebuntuan legalitas formalnya.48 Hukum kita sekarang seolah seperti sebilah pisau dapur, tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Terhadap orang kecil hukum bersifat represif, sedangkan terhadap orang besar hukum bersifat protektif dan memihaknya. Fenomena peradilan terhadap orang kecil maupun orang besar seperti disebutkan di atas seolah menunjukkan bahwa penegakan hukum menemui kebuntuan legalitas formalnya untuk melahirkan keadilan substantif. Hal ini disebabkan oleh karena penegak hukum terpenjara oleh ritual penegakan hukum yang mengandalkan materi, kelembagaan serta prosedur yang kaku dan anti dengan inisiasi rule breaking.49 Gerakan hukum progresif memang lahir akibat kekecewaan kepada penegak hukum yang kerap berperspektif positivis. Yakni, hanya terpaku pada teks dalam undang-undang tanpa mau menggali lebih dalam keadilan yang ada di masyarakat. Para penganut paham positivisme kerap
48
Suteki, op.cit. Rule breaking sebagai salah satu strategi menembus kebuntuan legalitas formal merupakan icon dalam merefleksikan gerakan hukum progresif yang digagas oleh Satjipto Rahardjo. Cara berhukum ini sebaiknya dilihat sebagai usaha untuk mematahkan ketidakadilan, sehingga tidak boleh dijalankan secara asal-asalan. Ia merupakan kekuatan yang disimpan untuk menghadapi keadaan yang tidak adil. Kepedulian terhadap manusia termasuk ke dalam mengusahakan keadilan tersebut. Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009, hlm. 102. 49
98
berdalih paham civil law yang dianut Indonesia mengharuskan hakim sebagai corong undang-undang.50 Sebagai seorang pendidik ilmu hukum, apa yang diperoleh setelah mengajarkan ilmu hukum yang mengagungkan the order selama puluhan tahun tidaklah selalu menemukan the order dalam kehidupan hukum bahkan acapkali menemukan disorder.51 Hal ini diilustrasikan dalam pidato Emeritus sebagai Guru Besar Fakultas Hukum UNDIP tanggal 15 Desember 2000. yang berjudul: Mengajarkan Keteraturan Menemukan Ketidakteraturan (Teaching Order Finding Disorder); Tigapuluh Tahun Perjalanan Intelektual dari Bojong ke Pleburan.52
2. Agenda Membebaskan Hukum Hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya, dan hukum itu tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia. Berawal, dari pesan pendek dari Satjipto Rahardjo yang menjelaskan bagaimana memahami hukum sebagai relasi sosial selayaknya mewakili ekspresi kepentingan masyarakat. Menjalankan hukum di Indonesia kini terancam kedangkalan berpikir karena orang lebih banyak membaca huruf undang-undang
50
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik, op.cit, hlm. 103. 51 Hal inilah yang kemudian disebut dengan hukum itu penuh dengan ketidakteraturan yang dikatakan oleh Charles Samford. Charles Samford adalah pemikir hukum yang banyak berpengaruh terhadap pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo tentang hukum progresifnya. 52 Suteki, op.cit.
99
daripada berusaha menjangkau makna dan nilai yang lebih dalam. Ini adalah rumusan kualitatif dari pengalaman empirik selama ini, seperti upaya menjalankan supremasi hukum, menangani koruptor-koruptor kelas kakap seperti terbebas dari jangkauan hukum, belum lagi pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia menikmati kebebasan dari hukuman dan
pemandangan
kelam
parodi
lainnya.
Alih-alih
memberi
kesejahteraan dan kebahagiaan kepada rakyat, supremasi hukum malah kehilangan pesonanya sebagai institusi keadilan.53 Maka kesempatan untuk merenungkan apakah yang mendasari hukum telah mengalami degradasi cita-cita sosialnya. Kita memang seperti berkejaran dengan waktu, sehingga skeptis memikirkan soal yang lebih mendasar itu. Masalahnya barangkali terletak di sini, yakni pada paradigma hukum atau cara pandang yang selama ini mendasari praktik hukum kita. Paradigma positivisme yang selama ini menjadi kaca mata kita dalam membaca realitas hukum barangkali sudah kehilangan relevansinya dalam menjawab problem sosial saat ini. Akibatnya kita memberikan jawaban dan solusi yang keliru pula. Pemeriksaan kembali secara kritis terhadap paradigma yang mendasari pandangan-pandangan kita selama ini mau tidak mau sepertinya harus dilakukan. Sudah saatnya masalah ini tidak membelenggu paradigma penegak hukum kita yang cenderung postivistik dalam penerapannya.54
53
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007,
hlm. 26 54
Seperti diketahui, kajian hukum di Indonesia yang secara geneologis berasal dari tradisi hukum Eropa Kontinental atau civil law (masuk melalui kolonial Belanda), berkembang di bawah
100
Diaplikasikan ke dalam pemikiran tentang hukum, positivisme menghendaki dilepaskannya pemikiran metayuridis mengenai hukum, sebagaimana dianut pemikir hukum kodrat. Karena itu setiap norma hukum harus eksis dalam alamnya yang objektif sebagai norma-norma yang positif, ditegaskan sebagai wujud kesepakatan kontraktual yang konkrit antara warga masyarakat. Hukum tidak lagi dikonsepsi sebagai asas moral meta-yuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex. Masuknya arus utama aliran positivisme hukum itu ke bumi Indonesia, dalam perkembangannya menjadi saham pemikiran yang dominan. Positivisasi hukum selalu memperoleh prioritas utama dalam setiap upaya pembangunan hukum di negara-negara yang tengah tumbuh modern dan menghendaki kesatuan atau penyatuan hukum. Dinyatakan oleh Anthon F. Susanto bahwa positivisasi hukum selalu berakibat sebagai proses nasionalisasi dan etatisasi hukum, dalam rangka penyempurnaan kemampuan negara dan pemerintah untuk monopoli kontrak sosial yang formal melalui pemberlakuan atau pemberdayaan hukum positif.55
bayang-bayang paradigma positivisme. Paradigma ini sebetulnya berasal dari filsafat positivisme August Comte pada tahun 1798-1857. Positivisme merupakan paham yang menuntut agar setiap metedologi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis, sebagai sesuatu objek, yang harus dilepaskan dari sembarang macam pra-konsepsi metafisis yang subjektif sifatnya. Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, Pembaharuan Hukum Masyarakat Indonesia Baru, Lihat Dony Donardono, Wacana Pembaharuan Hukum di Indonesia, Jakarta: HuMa, 2007, hlm. 27 55 H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum “Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali”, Cet IV, Bandung: Refika Aditama, 2008, hlm. 80.
101
Seakan-akan paradigma positivisme hukum dalam perjalanannya tidak pernah mengalami apa yang disebut oleh Kuhn sebagai anomaly; menjadi heran ia terus relevan digunakan untuk memandang atau membaca realitas hukum saat ini. Bukannya paradigma postivisme hukum memahami realitas hanya cenderung menggunakan teks-teks formal secara kaku.56 Dengan menekankan pada konteks tersebut, aliran hukum Critical Legal Studies Movement (Gerakan Studi Hukum
Kritis) akan
menampilkan pemikiran hukum yang menjadi oposisi dari paradigma postivisme hukum yang sedemikian dominan. Gerakan CLS sudah menggejala pada tahun 1970an di Amerika Serikat, sebagai arus pemikiran hukum yang tidak puas dan menentang paradigma hukum liberal yang sudah mapan dalam studi-studi hukum atau
jurisprudence.
Dengan
menengok
pada
perkembangan
jurisprudence di tempat lain, wacana ingin mengajak melihat secara kritis permasalahan hukum di Indonesia, terutama dengan mengajak membebaskan
kajian-kajian
pembaruan
hukum
dari
paradigma
otorianisme kaum positivis yang sangat elitis. Sebagai topik awal perhatian, CLS mengalihkan alur berpikir normologik ke arah nomologik.57 Sehingga pembacaan terhadap proses pembaruan hukum dapat dilakukan tanpa harus terjebak sebatas merubah/membuat sejumlah pasal dan ayat dalam undang-undang, lebih 56 57
27.
Ibid, hlm. 81. Ifdhal Kasim, Gerakan Studi Hukum Kritis, terjemahan ELSAM, Jakarta, 1999, hlm.
102
jauh gagasan pembaruan hukum juga mengena pada dasar-dasar paradigmatiknya.
Sebagaimana
analisis
CLS,
tidak
semata-mata
bertumpu pada teks, tetapi juga mengarahkan analisisnya pada konteks dimana hukum itu eksis, dan melihat hubungan kausal antara teks (doktrin hukum) dengan realitas.58 Adapun agenda implementasi hukum progresif adalah dengan melalui dua hal yakni agenda akademis dan agenda aksi. Agenda akademis berkaitan dengan hukum progresif yang menolak pengutamaan dan pengunggulan ilmu hukum yang bekerja secara analitis (analytical jurisprudence), yaitu yang mengedepankan peraturan dan logika atau rule and logic. Cara kerja analitis yang berkutat dalam ranah hukum positif tidak akan banyak menolong hukum untuk membawa Indonesia keluar dari keterpurukan secara bermakna. Hukum progresif lebih mengunggulkan aliran realisme hukum dan penggunaan optik sosiologis dalam menjalankan sebuah hukum.59 Hukum progresif tidak melihat hukum sebagai suatu produk final, melainkan yang secara terus menerus masih harus dibangun. Oleh sebab itu hukum progresif lebih melihat hukum sebagai proses. Sesuai dengan penggunaan optik sosiologis, maka proses dan pembangunan tersebut tidak harus melalui hukum. Apabila harus melalui hukum, maka tidak akan perubahan sebelum hukum dirubah. Hukum progresif lebih
58 59
Ibid. Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, op.cit, hlm. 110
103
memilih konsep perubahan dan pengubahan Karl Renner yang mengikuti modus gradually working out dari pada changing the rule. Sedangkan pada agenda aksi kita sudah seharusnya mengubah siasat dengan lebih mengandalkan pada mobilisasi hukum. Mobilisasi hukum
lebih mengandalkan pada
keberanian untuk melakukan
interpretasi hukum secara progresif dari pada tunduk dan membiarkan dibelenggu oleh peraturan-peraturan hukum. Advokasi tersebut yang pertama kali ditujukan kepada agensi sistem peradilan, seperti hakim dan jaksa, dan juga kepada pemerintah atau birokrasi dan elite-elite politik. Pada agenda aksi pendidikan hukum, fakultas hukum perlu segera berbenah diri dengan menyiapkan kurikulum dan pembelajaran menuju kepada realisasi dari hukum progresif.60 C. Upaya Mewujudkan Hukum Progresif Setidaknya ada beberapa hal yang bisa dikatakan sebagai upaya untuk mewujudkan gagasan hukum progresif, sejauh kesimpulan penulis, yaitu: 1. Peranan Moral atau Etika. Progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, memiliki sifat-sifat kasih sayang serta kepedulian terhadap sesama sebagai modal penting bagi membangun kehidupan berhukum dalam masyarakat. Progresivisme mengajarkan bahwa hukum bukan raja, tetapi alat untuk menjabarkan dasar
60
Ibid.
104
kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan manusia. Progresivisme tidak ingin menjadi hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral kemanusiaan.61 Etika atau moral akan berbicara benar dan salah atau baik dan buruk yang melekat langsung pada diri manusia. Jika seorang tidak memiliki etika atau moral, maka manusia itu sama saja dengan makhluk lain yaitu binatang yang dicipta demikian. Rasionalnya, bahwa hukum progresif adalah institusi yang bermoral kemanusiaan, ini jelas penekanan yang tidak dapat ditawar-tawar. Hal ini sangat erat dengan pembangunan mental, pembangunan fisik bagus, tetapi mental buruk, tidak ada artinya. Oleh karena hukum progresif sasarannya adalah manusia, maka perlu pembangunan etika atau moral manusia yang isi dan sifatnya bermacam-macam, antara lain: a.
pembaharuan, penyegaran atau perombakan cara berpikir manusia.
b.
peningkatan, pembinaan ataupun pengarahan dalam cara kerja manusia.
c.
penataran, pemantapan, ataupun adanya penyajian dan penemuan prakarsa-prakarsa baru dan sebagainya.62 Namun demikian, etika dengan sendirinya mempunyai alat
pengukur yang dapat digunakan untuk menilai, menetapkan atau memutuskan sesuatu perbuatan/tindakan yang susila dan mana yang
61
Joni Emirzon, Urgensi Etika (Moral) dalam pembangunan Hukum Progresif di Masa Depan, dalam Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif,Ed, I Gede A.B Wiranata, Joni Emirzon, dan FirmanMuntaqo, (Jakarta: Penertbit Buku Kompas, cet 2; 2007), 228. 62 Ibid, hlm. 229.
105
asusila atau tidak susila. Alat penilai tersebut dalam bahasa filsafat disebut “consciousness” yaitu kata hati atau kesadaran jiwa manusia. Isi dari consciousness ini merupakan kesatuan dari totalitas sejumlah sikap jiwa, yang terdiri antara lain ialah: a.
kesadaran (terhadap kesanggupan, kekurangan diri sendiri).
b.
pertimbangan rasa (sebagai cerminan dari adanya rasa keadilan, kemanusiaan dan kesehatan pikiran).
c.
kedewasaan
jiwa
(sebagai
pencerminan
dari
kekayaan
pengalaman,kemasakan pertimbangan dan sikap penghati-hatian).63 Kata hati atau kesadaran jiwa manusia, sesungguhnya sangat abstrak dan sulit untuk diketahui, kecuali dari perilaku atau tindakan (action). Hati nurani ataukesadaran jiwa manusia sangat dipengaruhi oleh akal pikirannya, untuk itu perlu kekuatan etika yang membentenginya agar tidak menyimpang. Dengan kata lain, etika tidak lain dari suatu norma yang berfungsi mempertahankan dan menegakkan nilainilai moral manusia, supaya dapat dipatuhi oleh anggota masyarakat itu sendiri dalam kehidupan sebagai makhluk sosial. Inilah inti hukum progresif. Di dalamnya terkandung moral kemanusiaan yang sangat kuat. Jika etika atau moral manusia telah luntur, maka penegakan hukum tidak akan tercapai, sehingga membangun
63
Ibid, hlm. 232.
106
masyarakat untuk sejahtera dan kebahagiaan manusia juga tidak akan terwujud.64 2. Melakukan Penafsiran Hukum yang Progresif Penafsiran bukan semata-mata membaca peraturan dengan menggunakan logika peraturan, melainkan juga membaca kenyataan atau apa yang terjadi di masyarakat. Kedua pembacaan itu disatukan dan dari situ akan muncul kreatifitas, inovasi, dan progresivisme. 65 Sejak peraturan itu keluar dari dapur yang memproduksinya maka ia menjalani kehidupan sendiri. Ia dianggap sebagai sarana yang mampu untuk menyelesaikan persoalanpersoalan yang dihadapkan kepadanya. Dalam perjalanannya ia harus mampu mengatakan, bahwa listrik bisa dicuri, bahwa kapal itu juga berarti kapal terbang, sekalipun menurut legislatif yang bisa dicuri adalah barang dan pada waktu peraturan dibuat belum ada kapal terbang.66 Sejak penerapan peraturan adalah timebound dan spacebound67 dan sejak peraturan dibuat itu juga terikat kepada keduanya, maka setiap saat peraturan itu akan mengalami pendefinisian kembali agar bisa melayani situasi “di sini dan sekarang”. Paul Scholten mengatakan sebagai berikut, “Het recht is er, doch het moet worden gevonden” (hukum itu ada, tetapi masih harus ditemukan). Oleh sebab itu dikatakan, bahwa penegakan hukum itu bukan semata-mata pekerjaan masinal, otomatis dan 64 65
Ibid, hlm. 233. Hukum dalam Jagat Ketertiban, Op. Cit,, 171. lihat pula, Hukum Progresif, Op. Cit.,
127. 66 67
Ibid. Dibatasi ruang dan waktu
107
linier, melainkan penuh dengan kreativitas. Pekerjaan menemukan adalah pekerjaan kreatif dan di situlah letak penafsiran.68 Penafsiran adalah pemberian makna terhadap teks peraturan dan karena itu tidak boleh berhenti pada pembacaan harfiah saja. Dengan cara seperti itu hukum menjadi progresif karena bisa melayani masyarakatnya. Melayani masyarakat berarti melayani kehidupan masa kini dan oleh sebab itu progresif. Penafsiran progresif memahami proses hukum sebagai proses pembebasan terhadap konsep yang kuno yang tidak dapat lagi dipakai untuk melayani kehidupan masa kini.69 3. Dimulai dari Pendidikan di Fakultas Hukum Sudah diketahui luas, bahwa pendidikan hukum di Indonesia lebih menekankan penguasaan terhadap perundang-undangan yang berakibat pada terpinggirkannya manusia dan perbuatannya dalam proses hukum. Sembilan puluh persen lebih kurikulum mengajarkan tentang teksteks hukum formal dan bagaimana mengoperasikannya. 70 Namun model pembelajaran hukum seperti itu tidak hanya dimonopoli oleh pendidikan hukum di Indonesia. Keadaan tersebut juga terjadi di Amerika Serikat, oleh karena menjadi sebab merosotnya kepedulian terhadap penderitaan manusia, yang seharusnya ditolong oleh hukum.71
68
Ibid. Ibid, hlm. 172. 70 Biarkan Hukum Mengalir,Op. Cit., 145. 71 Ibid. 69
108
Secara agak ekstrem, Gerry Spence mengatakan, bahwa sejak mahasiswa memasuki pintu fakultas hukum, maka rasa kemanusiaannya dirampas dan direnggutkan. Mereka lebih disiapkan untuk menjadi profesional,
tetapi
mengabaikan
dimensi
kemanusiaan.
Spence
mengibaratkan keadaan tersebut bagaikan membeli pelana kuda berharga ribuan dolar hanya untuk dipasang pada kuda yang harganya sepuluh dolar.72 Ketidakmampuan sarjana hukum Amerika bukan terletak pada profesionalitasnya, tetapi pada kemiskinannya sebagai manusia (human being). Mereka ini telah dididik untuk melawan (againts) perasaan, mengasihi (caring) orang lain, dan sesama manusia (being). Spence mengatakan, bahwa untuk memperoleh bantuan hukum yang sebenarnya orang akan lebih berhasil jika pergi ke jururawat, yang jelas akan merawatnya sebagai manusia yang menderita, daripada pergi ke kantor advokat. Maka itu Spence menyarankan agar sebelum menjadi seorang profesional, para sarjana hukum itu dididik untuk menjadi manusia yang berbudi luhur (evolved person) terlebih dahulu.73 Perubahan peranan yang diharapkan dari para sarjana hukum sedikit banyak dengan jelas dapat dibaca pada perumusan mengenai tujuan umum pendidikan hukum sebagaimana yang diadakan oleh Fakultas Hukum
Universitas
sarjanasarjana 72 73
Ibid. Ibid, hlm. 146.
Airlangga,
hukum
yang
yaitu: mampu
“Berusaha menciptakan
menghasilkan masyarakat
109
sebagaimana dikehendaki melalui saranasarana hukum, dan mampu menyelesaikan masalahmasalah hukum di dalam konteks sosialnya”.74 Selain itu, pada tahun 1975 diadakan seminar “Sarjana Hukum dan Pembangunan” oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Salah satu keputusan yang menyangkut tipe sarjana hukum mengatakan, “Tipe sarjana hukum pembaharu adalah mereka yang melihat tertib hukum yang berlaku sebagai suatu bahan untuk diuji (to be challenged) kegunaannya di dalam masyarakat sekarang, dan mengemukakan alternatif-alternatif pengaturan yang lain”.75 Tampaknya sekarang yang dikehendaki adalah agar sarjana hukum tidak hanya memikirkan bagaimana menerapkan hukum yang sekarang berlaku, melainkan juga tentang kemungkinan-kemungkinan untuk merombaknya sebagai bagian dari perubahan-perubahan yang sedang berjalan dalam masyarakat. Para sarjana hukum dituntut untuk tidak hanya mempertahankan status quo, melainkan juga sebagai seorang yang berkeahlian untuk turut membentuk masyarakat melalui jalan hukum. Membentuk masyarakat bukan hanya dalam artian menyusun suatu sturktur yang statis, melainkan juga menggerakkan perubahanperubahan dalam perilaku anggota masyarakat. Perubahan perilaku ini merupakan salah satu ciri dari pembinaan hukum pada negara-negara sedang berkembang, oleh karena di sini dibangun banyak institusi sosial
74
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009,
hlm. 228. 75
Satjipto Rahardjo, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009, hlm. 141.
110
dan kenegaraan yang baru dan dengan sendirinya memerlukan perilaku yang sesuai. Sangat jelas sekali peraturan perundang-undangan sekarang digunakan
untuk
mewujudkan
keputusan-keputusan
politik
yang
mendatangkan perubahan-perubahan, suatu karakteristik dalam peraturan perundang-undangan yang kiranya bisa disebut sebagai “legislative forward planning” atau “developmental legislation”.76 4. Mengangkat Orang-orang Baik Meski mungkin jumlah Orang-orang baik di negeri ini tidak sedikit, namun umumnya mereka tidak muncul atau tidak bisa muncul. Mereka tidak bisa bermain menurut “kultur preman” sehingga tersisihkan menjadi kelompok pinggiran.77 Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto telah merasakan pahitnya akibat yang menimpa seorang hakim progresif anti status quo. Hanya karena ingin mengangkat kualitas Mahkamah Agung, dengan membongkar kolusi di kalangan korps sendiri, Adi Andojo harus terdepak. Ironisnya, bukan kekuatan progresif yang menang, justru sebaliknya, mereka yang pro status quo yang menang. Begitulah Adi Andojo, begitu pula nasib kekuatan progresif lain, Baharuddin Lopa dan Hoegeng.78 Begitu pula nasib Bismar Siregar, seorang hakim yang memiliki semangat progresif, justru dicap sebagai hakim yang kontroversial oleh komunitas hukum yang didominasi oleh pikiran yang positivistik.
76
Ibid, hlm. 142. Membedah Hukum Progresif, op. cit., hlm. 26. 78 Ibid, hlm. 115. 77
111
Menurut Satjipto Rahardjo, hal yang amat menarik adalah pelakupelaku hukum progresif, sedikit ditemukan di tingkat nasional, tetapi lebih banyak di tingkat lokal, di kalangan manusia dan pelaku kecil. Hakim-hakim progresif, seperti Amiruddin Zakaria, Teguh Prasetyo, dan Benyamin Mangkudilaga (saat ikut membatalkan pencabutan SIUPP Tempo), bukanlah “hakim-hakim besar”. Sayang mereka Orang-orang marjinal dan kian dipinggirkan bila tidak bersatu dan dipersatukan.79 Maka
jika
Orang-orang
seperti
ini
diangkat
dan tidak
dimarjinalkan, maka gagasan hukum progresif yang membebaskan dan membuat manusia bahagia akan dapat terwujud.
79
Ibid, hlm. 118.
BAB IV ANALISIS RELEVANSI HUKUM PROGRESIF TERHADAP HUKUM ISLAM
A. Analisis Pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo tentang Hukum Progresif di Indonesia Gagasan hukum progresif lahir di tengah-tengah kegalauan dan karena itu lebih sarat dengan keinginan untuk bertindak daripada suatu kontemplasi abstrak. Namun demikian, karena ia dilontarkan dan berasal dari komunitas akademik, maka pemikirannyapun perlu bersifat komprehensif dan di sini pemikiran teoritispun tak dapat ditinggalkan. Hukum progresif mengajak bangsa ini untuk meninjau kembali caracara berhukum di masa lalu. Cara berhukum merupakan perpaduan dari berbagai faktor sebagai unsur, antara lain, misi hukum, paradigma yang digunakan, pengetahuan hukum, perundang-undangan, penggunaan teori-teori tertentu, sampai kepada hal-hal yang bersifat keperilakuan dan psikologis, seperti tekad dan kepedulian, keberanian, determinasi, empati serta rasaperasaan. Pemikiran Satjipto Rahardjo tentang hukum memang sedikit berbeda dengan tokoh dan praktisi hukum lain yang sebagian besar menganut aliran positivistik dan legalistik. Namun pemikiran hukum progresif yang dianut Prof Tjip itu sebenarnya tidak bertentangan dengan aliran positivistik, melainkan bersifat komplementer atau melengkapi. Hukum progresif
112
113
memandang hukum bukan hanya dari aspek prosedur, formalitas, dan kepastian hukum secara formal, namun bagaimana hukum dapat menyentuh rasa keadilan masyarakat. Penegakan hukum di Indonesia merupakan entitas yang tidak terpisahkan dalam perkembangan tata dan sistem hukum di Indonesia. Penegakan hukum di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari riak sejarah bangsa, mulai dari masa penjajahan hingga masa kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. Harus diakui bahwa mekanisme dan implementasi penegakan hukum kita masih banyak celah dan kekurangan. Sebagai contoh, dalam kasus pelanggaran lalu lintas, penegakan hukum cenderung masih sangat lemah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan beberapa fakta bahwa ada sebagian oknum aparat (polisi) yang belum kebal dengan suap, aparat yang tidak bijaksana dalam melakukan tindakan, serta hubungan antara aparat kepolisian dengan pengendara yang cenderung resisten. Contoh lain dapat ditunjukkan dari beberapa kasus yang melibatkan oknum jaksa nakal, yang paling mendapat sorotan adalah Jaksa Urip Tri Gunawan yang divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor dengan pidana penjara 20 tahun.1 Dari kasus Jaksa Urip, kita memperoleh gambaran
-tanpa
menggeneralisasi- bahwa masih ada oknum jaksa yang memanfaatkan kewenangan yang dimilikinya untuk memanipulasi hukum sehingga pihakpihak yang berpotensi dijerat hukum karena pelanggaran pidana dapat dengan mudah lepas dan menghirup udara bebas tanpa ada rasa khawatir. 1
Dalam berbagai kesempatan, Jaksa Agung Hendarman Supandji menyebut peristiwa penangkapan Urip Tri Gunawan salah satu koordinator Tim Jaksa BLBI Gedung Bundar dengan istilah Tjunami Kejaksaan.
114
Salah satu permasalahan yang cukup riskan dalam penegakan hukum di Indonesia adalah banyaknya aturan dalam hukum formil (hukum acara) yang menimbulkan banyak penafsiran, sehingga berdampak pada kekaburan peraturan dan ketidakpastian dalam pelaksanaan aturan tersebut. Sebagai contoh, kasus PK oleh Jaksa dalam kasus Mukhtar Pakpahan pada tahun 1996 merupakan PK pertama yang diajukan oleh jaksa dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia,2 kemudian PK jaksa terhadap vonis bebas Djoko Tjandra dan Sjahril Sabirin yang akhirnya dikabulkan Mahkamah Agung. Banyak pihak yang mempertanyakan bahkan mengkritik keras tindakan jaksa tersebut, karena menurut mereka Pasal 263 ayat (1) KUHAP secara tegas menyebutkan bahwa pihak yang berhak mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya. Akan tetapi, pendapat ini mendapat perlawanan dari
beberapa
pakar
hukum.
Paustinus
Siburian
(2009)
misalnya
mengemukakan bahwa jika dibaca dengan seksama ketentuan pasal 263 KUHAP, maka Jaksa dapat mengajukan PK dengan ketentuan bahwa terdakwa divonis bersalah oleh hakim, akan tetapi tidak diikuti dengan pemidanaan. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 263 ayat (3) KUHAP. Sementara itu, Wisnubroto (2009) mengemukakan bahwa PK dapat diajukan oleh jaksa jika situasi perkara adalah anomali atau tidak biasa
2
Oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Jakarta, Mukhtar Pakpahan dijatuhi sanksi pidana atas tuduhan berbuat makar pada masa Soeharto. Dalam tingkat kasasi di Mahkamah Agung, Pakpahan tidak melakukan perbuatan makar. Menurut MA, para hakim di bawah telah melakukan penerapan hukum yang salah dengan menggunakan yurisprudensi yang sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Dan secara sosiologis, hal itu keliru jika diterapkan pada penduduk suatu bangsa yang sudah merdeka dan sudah mulai menjalankan demokrasi dan memperhatikan hak asasi manusia. Lihat juga penjelasan Suteki, Rekam Jejak Pemikiran Hukum Prof. Satjipto Rahardjo. Makalah diunduh pada tanggal 15 Februari 2011.
115
(extraordinary crime), misalnya pelanggaran HAM berat, kejahatan lingkungan, dan korupsi. Kontroversi apakah jaksa berhak mengajukan PK atau tidak sudah cukup menggambarkan kepada kita bahwa betapa masih banyak aturan atau ketentuan dalam hukum acara yang multi tafsir dan menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian pelaksanaannya. Satjipto Rahardjo sebagai tokoh yang mencetuskan ide hukum progresif telah menanamkan dasar-dasar sistem hukum modern yang holistik dan berorientasi pada pencapaian tujuan substantif hukum, yaitu keadilan. Kritik atas model penegakan hukum yang hanya “mengeja undang-undang” oleh Satjipto Rahardjo dijabarkan dengan proposisi filsafati, yaitu penegakan hukum harus dilakukan sebagai kegiatan penemuan hukum; suatu proses untuk menggali dan menemukan jiwa hukum itu sendiri, sehingga hukum tidak dijalankan secara pasif. Lebih lanjut, hukum dalam perspektif hukum progresif merupakan upaya
berkesinambungan,
kreatif,
inovatif,
dan
berkeadilan.
Ufran
mengemukakan bahwa penegakan hukum progresif tidak hanya melibatkan kecerdasan intelektual belaka, melainkan juga melibatkan kecerdasan emosional dan spiritual. Dengan kata lain penegakan hukum merupakan upaya yang dilandasi determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai dengan keberanian untuk mencari jalan lain yang berbeda dengan jalan atau cara konvensional. Kedua, secara faktual riak penegakan hukum progresif telah ada dan mulai dikampanyekan oleh sebagian penegak hukum. Kepolisian misalnya
116
secara massif mengkampanyekan iklan maupun slogan yang esensinya membuat pencitraan positif kepolisian di masyarakat. Kampanye institusi polisi sebagaimitra dan pelayan masyarakat merupakan upaya sistemik yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan pelayanan kepolisian sekaligus mengembangkan kerja sama yang padu
dengan masyarakat dalam
menegakkan hukum. Ketiga, masyarakat, dalam hal ini direpresentasikan oleh LSM-LSM semakin menunjukkan kepekaannya terhadap upaya penegakan supremasi hukum. Lembaga-lembaga independen seperti ICW, MTI, dan LBH semakin menunjukkan kontribusinya dalam mengawal penegakan hukum di Indonesia. Tidak jarang kritik tajam ditujukan kepada penegak hukum yang dianggap lamban dan tidak serius dalam menangani perkara. Bila fungsi ini dapat dijalankan dengan lebih baik lagi, konstruksi kultur hukum di masyarakat melalui pendidikan dan penyadaran (kontemplasi) hukum masyarakat. Kondisi-kondisi faktual demikian sesungguhnya merupakan aset dalam menghidupkan penegakan hukum yang progresif. Sejatinya, untuk membangun suatu sistem penegakan hukum yang baik diperlukan kerja sama dari semua unsur dalam sistem. Bekerjanya setiap unsur akan menggerakkan roda penegakan hukum secara berkelanjutan. Dalam konteks ini pula, penegakan hukum progresif harus dilihat sebagai upaya menyeluruh. Upaya tersebut tidak hanya pada unsur struktur dan kultur hukum, melainkan merangsek ke unsur substansi hukum, terutama hukum formil. Pembaruan aturan-aturan dalam perundang-undangan yang
117
sudah tidak sesuai dengan perkembangan dinamika masyarakat merupakan keniscayaan, sehingga esensi penegakan hukum progresif benar-benar dapat dilaksanakan.
B. Analisis Relevansi Hukum Progresif Terhadap Hukum Islam Sebagaimana dijelaskan pada bab terdahulu bahwa Hukum progresif mempunyai empat karakteristik yaitu: 1.
Hukum progresif berpendirian hukum adalah untuk manusia
2.
Hukum progresif menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum
3.
Peradaban hukum tertulis akan melahirkan akibat penerapan hukum bekerja seperti mesin. Harus ada cara untuk melakukan pembebasan dari hukum formal.
4.
Hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam berhukum. Karena peranan perilaku menentukan teks formal suatu peraturan tidak dipegang secara mutlak.3 Menurut penulis, karakteristik utama dari hukum progresif terdapat
pada dua nomor pertama (1 dan 2). Sedangkan karakteristik nomor 3 adalah karakteristik turunan dari karakteristik nomor 2. Adapan karakteristik nomor 4 tidak lain adalah turunan dari karakteristik pertama. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa karakteristik inti dari hukum progresif adalah hukum
3
Rangkuman karakteristik ini juga terdapat pada artikel Mukhtar Zamzami, Mencari Jejak Hukum Progresif dalam sistem Khadi Justice, Varia Peradilan, tahun XXIV No. 286 (September 2009), hlm. 23.
118
untuk kepentingan manusia dan menolak mempertahankan status quo dalam berhukum. Jika melihat kepada asas hukum Islam secara umum sebagaimana pendapat dari Hudari Bik, yaitu ‘adamul harj (meniadakan kesempitan), taqlil al-taklif (menyedikitkan beban), dan tadarruj fi al-tasyri’ (berangsur-angsur dalam menetapkan hukum), maka ketiga asas pembangunan hukum Islam itu dekat sekali memiliki kesesuaian dengan karakteristik pertama dari hukum progresif, yaitu hukum untuk manusia. Asas meniadakan kesempitan dan menyedikitkan beban yang juga didukung oleh kaidah fikih yang berbunyi al-masyaqqah tajlib al-taysir (kesulitan mendorong kemudahan) dan al-dlarar yuzalu (kerusakan harus dihilangkan) menunjukan bahwa syariat Islam memiliki perhatian yang sangat besar terhadap kemudahan dan keringanan hukum bagi manusia. Hal ini berarti, hukum Islam memposisikan hukum bagi kemaslahatan manusia, hal ini sesuai dengan semangat dari hukum progresif, yaitu hukum untuk manusia. Pembangunan hukum Islam juga sangat memperhatikan perilaku manusia dalam berhukum sebagaimana salah satu karakteristik dari hukum progresif (karakteristik ke empat). Hal ini dibuktikan dengan adanya asas berangsur-angsur dalam mendatangkan hukum. Contoh dari penerapan asas ini adalah mengenai pengharaman khamar yang tidak sekaligus turun dalam satu kali perintah, melainkan beberapa kali. Hal ini dikarenakan untuk menghindari penolakan secara radikal dari masyarakat yang menjadi objek perintah ini. Karena masyarakat ketika itu sudah terbiasa meminum khamar sehingga sulit
119
untuk merubahnya sekaligus. Maka mengingat perilaku masyarakat yang demikian, maka hukum keharaman khamar tidak turun dalam sekali waktu saja. Selanjutnya, terkait dengan karakteristik kedua dari hukum progresif yang menolak adanya status quo dalam berhukum, maka menurut penulis, karakteristik ini sesuai dengan adanya ijtihad di dalam fikih. Alasan logis dari adanya ijtihad adalah dikarenakan setiap masalah berbeda-beda tergantung tempat, waktu maupun kondisi yang melingkupinya dan selalu muncul masalah-masalah baru yang membutuhkan jawaban segera. Menganggap bahwa semua permasalahan telah dijawab oleh kitab-kitab fikih menurut penulis adalah sama dengan memposisikan kitab-kitab fikih dalam status quo. Dalam konteks Indonesia, maka gagasan para tokoh di Indonesia yang berusaha menyingkirkan anggapan bahwa ijtihad telah tertutup dan menggagas fikih yang berkepribadian Indonesia bisa digolongkan kepada penerapan asas menolak status quo dalam berhukum. Peranan ijtihad sangat besar dalam perkembangan dan pembaruan hukum Islam di Indonesia. Langkah awal yang dilaksanakan oleh para pembaru hukum Islam di Indonesia adalah mendobrak paham ijtihad telah tertutup, dan membuka kembali kajian-kajian tentang hukum Islam dengan metode komprehensif yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Fikih yang dihasilkan oleh mujtahid pada masa lalu adalah suatu karya agung yang dapat memandu kehidupan umat dalam segala bidangnya, karena ia dipahami dan dirumuskan sesuai dengan keadaan dan kondisi pada
120
masa itu. Namun waktu, kondisi dan tempat yang dihadapi umat sekarang sudah berbeda dengan waktu, kondisi dan tempat dirumuskannya fikih tersebut. Oleh karena itu, fikih lama itu secara tekstual sulit dijadikan panduan kehidupan beragama secara utuh pada saat ini. Karenanya fikih lama sulit diterapkan pada saat ini, sedangkan umat sangat membutuhkannya.4 Hampir di seluruh umat Islam sudah berpikir untuk mengaktualkan hukum Islam dengan cara memahami semua hukum Islam untuk menghasilkan rumusan baru sehingga dapat menjadi panduan dalam kehidupan nyata. Gagasan
agar
fikih
yang
diterapkan
di
Indonesia
harus
berkepribadian Indonesia dicetuskan oleh Hasbi ash-Shiddieqy. Menurut Hasbi ash-Shiddiqy, dalam rangka pembaruan hukum Islam di Indonesia perlu dilaksanakan metode talfiq5 dan secara selektif memilih pendapat mana yang cocok dengan kondisi negara Indonesia. Di samping itu perlu digalakkan metode komparasi.6 Kajian komparasi ini hendaknya dilakukan juga dengan hukum adat dan hukum positif Indonesia, juga dengan syari’at agama lain. Sehubungan dengan hal ini, seorang yang ingin melakukan kajian komparasi hendaknya mempunyai pengetahuan yang luas dalam berbagai ilmu 4 Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad, (Ed) Abdul Halin, Jakarta: Ciputat Press, 2002, hlm. 76. 5 Yang dimaksud dengan talfiq adalah meramu beberapa pemikiran atau ijtihad ulama terdahulu, sehingga dengan ramuan ini muncul satu bentuk lain yang kelihatannya baru. Hal ini ditempuh karena bila diambil dari satu mazhab tertentu dalam menghadapi suatu masalah terlihat ada hal-hal yang tidak aktual. Fikih-fikih yang ada ini di samping mengandung hal-hal yang sudah tidak aktual masih banyak pula mengandung bagian-bagian yang bersifat aktual. Bagian-bagian yang mengandung daya aktual dari beberapa aliran fikih itu digabung menjadi satu hingga masalahnya dalam bentuk keseluruhan menjadi aktual dalam arti mengandung nilai-nilai maslahat. 6 Yaitu metode memperbandingkan satu pendapat dengan pendapat lain dari seluruh aliran hukum yang ada atau yang pernah ada, dan memilih yang lebih baik dan lebih dekat kepada kebenaran serta didukung oleh dalil yang kuat.
121
pengetahuan dan juga mengetahui secara lengkap tentang berbagai masalah fikih. Gagasan ini mendapat sambutan positif dari berbagai pihak para pembaru hukum Islam di Indonesia, baik secara perorangan maupun secara organisasi. Di Indonesia dikenal beberapa orang pembaru hukum Islam yang banyak
memberikan kontribusi
dalam
perkembangan
hukum
Islam,
diantaranya Hasan Bangil, Harun Nasution, Hazairin, Ibrahim Husen, Munawir Syadzali, Busthanul Arifin dan lain-lain. Para tokoh ini berjasa begitu besar dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia terutama dalam hal memasukkan nilai-nilai hukum Islam ke dalam legalisasi nasional dan juga ide lahirnya beberapa peraturan perundang-undangan untuk dipergunakan oleh umat Islam pada khususnya dan warga negara Indonesia pada umumnya. Di samping itu, organisasi Islam seperti Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Jamiatul Wasliyah, al-Irsyad, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) telah banyak memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap pembaruan hukum Islam di Indonesia dan telah berusaha semaksimal mungkin agar hukum Islam dapat masuk ke dalam legalisasi hukum nasional. Fleksibelitas perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia sangat relevan dengan memperkenalkan etos progresivisme dalam dinamika dan kristalisasi hukum Islam. Implikasi dari corak pemikiran progresif ini adalah pembebasan manusia dari hal-hal yang bersifat mitologis, pasif
122
maupun agresif-konservatif. Atas dasar etos progresif ini, diakui kapasitas manusia yang memiliki segenap kebebasan (free will, free act).
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan data yang diperoleh dan hasil analisis penulisan, kiranya dapat penulis simpulkan sebagai berikut: 1.
Hukum progresif yang bertolak pada pengertian bahwa hukum untuk manusia menjadikan manusia sebagai tujuan penegakan hukum yang utama. Kepastian hukum yang dianggap tidak adil, pada konteks tertentu, dapat diabaikan asalkan bisa menemukan keadilan dengan metode yang lain. Intinya keadilan tidak hanya berada di pengadilan dan yang tertulis dalam Undang-undang, tapi keadilan berada di mana-mana. Hukum progresif memandang hukum bukan hanya dari aspek prosedural, formalitas, dan kepastian hukum secara formal, namun bagaimana hukum dapat menyentuh rasa keadilan bagi masyarakat. Hukum progresif memiliki dua karakteristik inti yaitu hukum untuk manusia dan menolak mempertahankan status quo dalam berhukum.
2.
Kemudian bahwa antara gagasan hukum progresif dan hukum Islam memiliki kesesuaian yang dapat diuraikan dengan dua poin penting. Jika dilihat dari asas-asas hukum Islam secara umum, maka asas-asas hukum Islam tersebut memiliki kesesuaian dengan karakteristik hukum progresif, yaitu hukum untuk (kepentingan) manusia. Sedangkan ijtihad sebagai cara untuk menjadikan hukum Islam sesuai dengan setiap zaman
123
124
adalah sesuai dengan karakteristik menolak mempertahankan status quo dalam berhukum. B. Saran Sesuai dengan harapan penulis agar pikiran-pikiran dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, kiranya penulis menyampaikan beberapa saran sebagai berikut: 1.
Untuk membangun hukum nasional yang ideal serta sesusai dengan jiwa masyarakat Indonesia maka perlu juga merujuk pada asas-asas hukum Islam maupun hukum progresif karena keduanya memiliki kesesuaian.
2.
Karena hukum progresif adalah diperuntukkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia dan memuat pemahaman baru yang menggeser pemahaman lama, maka perlu sosialisasi lebih lanjut kepada masyarakat luas agar apa yang menjadi tujuan hukum dapat tercapai. Perlu juga dilakukan penelitian mengenai progresifitas pada aparat penegak hukum dalam menerapkan hukum materil.
3.
Dalam tataran praktis hendaknya semangat hukum progresif di Indonesia tidak hanya berhenti pada tataran diskursus saja melainkan juga harus dijiwai oleh para aparat penegak hukum itu sendiri, sehingga apa yang menjadi tujuan dari hukum itu bisa terwujud dengan baik.
4.
Untuk dapat menghadirkan gambar hukum yang utuh di tengah masyarakat maka kita harus mempelajari hukum dan cara berhukum kita harus dengan berani keluar dari alur tradisi penegakan hukum yang hanya bersandarkan pada peraturan perundang-undangan saja. Hukum
125
harus dilihat dalam perspektif sosial karena hukum bukan hanya rule melainkan juga behavior. 5.
Penegakan hukum di Indonesia harus diarahkan untuk menegakkan keadilan dengan cara menjalankan kepastian hukum yang bermanfaat untuk masyarakat demi tercapainya kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Apapun model penegakan hukum, harus berorientasi pada nilai-nilai keadilan dan bertujuan demi kesejahteraan rakyat, karena hukum bukan hanya untuk ketertiban maupun kedamaian, tapi semuanya akan bermuara pada kesejahteraan yang hakiki dan kesejahteraan secara umum.
C. Penutup Alhamdulillah berkat rahmat, taufiq dan hidayah-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis sadar sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan juga masih banyak kekurangan. Namun kekurangan tersebut bukan berarti penulis lepas tanggung jawab secara ilmiah. Oleh karena itu saran dan kritik yang konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan dan semoga semua itu dapat terealisasikan demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat baik bagi diri penulis sendiri maupun bagi para pembaca pada umumnya. Akhirnya penulis banyak mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini. Dan semoga Allah SWT senantiasa memberikan jalan yang lurus sebagai petunjuk agar kita selalu dalam ridha-Nya. Amiin.
126
DAFTAR PUSTAKA A’la, Miftahul, Prof. Tjip dan Mazhab Hukum Progresif, Makalah diunduh pada tanggal 23 Pebruari 2011 di miftah.blogspot.com. Ali, Achmad, Keterpurukan Hukum di Indonesia: Penyebab dan Solusinya, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002. Al-Ghazali, Abu Hamid, al-Mustashfa min „Ilmi al-Ushul, Beirut: Dar al Kutub al-”Ilmiyah’, 1980. Al-Qaradhawi, Yusuf, Taisir al-Fiqh li al-Muslim al-Mua‟shir fi Dahu alQur‟an wa as-Sunnah, diterjemahkan Abdul Hayyie al-Kattani, M. Yusuf Wijaya, dan Noor Cholis Hamzain, Fiqih Praktis bagi Kehidupan Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2002. --------------, Dirasah fi Fiqh Maqashid Syari‟ah, diterjemahkan H. Arif Munandar Riswantom Fiqih Maqashid Syariah, Jakarta: Pustaka alKautsar, 2007. Al-Syathibi, Abu Ishak, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‟ah, Beirut: Dar alMa’rifah. 1973. Amsari, Feri, Satjipto Rahardjo dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif, dalam Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi RI edisi September 2009. Diunduh di http://www.feriamsari.wordpress.com. Al-Naysabury, Muslim Ibnu Hajjaj al-Qusyairy, Shohih Muslim, Jilid II, Libanon: Dar al Kutub al-Ilmiyah, t.th. Ash-Shiddieqy, T.M Hasbi, Falsafah Hukum Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001. --------------, Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1967. --------------, Pengantar Ilmu Perbandingan Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Asshiddiqie, Jimly, Green Constitution, Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Rajawali Press, 2009. Austin, John dalam Mark R. Mac Guigan, Jurisprudence: Readings and Cases Toronto: University of Toronto Press, 1966.
127
Baltaji, Muhammad, Manhaj Umar Ibn al-Khathab fi al-Tasyri‟ diterjemahkan H. Masturi Irham, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khathab. Jakarta: Khalifa, 2005. Bik, Hudari, Tarikh al-Tasyri‟ al-Islami, diterjemahkan Mohammad Zuhri, Sejarah Pembinaan Hukum Islam, Darul Ihya, 1980. Chalmers, A.F, Apa itu Yang Dinamakan Ilmu?, Terjemahan: Redaksi Hasta Mitra, What is this thing called Science?, Jakarta: Penerbit Hasta Mitra, 1983. Dewi Masyitoh, Novita, Mengkritisi Analytical Jurisprudence Versus Sosiological Jurisprudence Dalam Perkembangan Hukum Indonesia, dalam Al-Ahkam, XX, Edisi II Oktober 2009, Semarang: FS IAIN Walisongo, 2009. Dimyati, Khudzaifah, Teorisasi Hukum, Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2005. Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Donardono, Dony, Wacana Pembaharuan Hukum di Indonesia, Jakarta: HuMa, 2007. Fuad, Ahsun, Hukum Islam Indonesia, Yogyakarta: PT LKIS, 2005. Gurvitch, Georges, Sosiologi Hukum, Jakarta: Penerbit Bharatara, 1996. Habermas, Jurgen, Knowledge and Human Interest, Translated by: Jeremy J. Shapiro, Boston:.Beacon Press, 1971. Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Ofset, 1997. Hidayati Setyani, Nur, Paradigma Positivisme dan Implikasinya Terhadap Perkembangan Hukum, dalam Al-Ahkam, XIX, Edisi I April 2008, Semarang: FS IAIN Walisongo, 2008. Hobbes, Thomas, Mengenai Manusia dan Negara, Leviathan, dalam Shadia B. Drury, Hukum dan Politik, Bacaan Mengenai Pemikiran Hukum dan Politik, Bandung: Penerbit Tarsito, 1986. Kasim, Ifdhal, Gerakan Studi Hukum Kritis, terjemahan ELSAM, Jakarta, 1999.
128
Keer, Malcom H, Moral and Legal Judgment Indevendent of Relevation, Philosophy: East and West 18, 1968. Khun, Thomas, Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains The Structure of Scientific Revolutions, (diterjemahkan oleh: Tjun Surjaman), Bandung: Remadja Karya CV, 1989. Kranenburg, Ilmu Negara Umum, diterjemahkan Tk. B. Sabaroedin, Jakarta: J.B. Wolters, 1959. Kusuma, Mahmud, Menyelami Semangat Hukum Progresif (Terapi Paradigmatik bagi Lemahnya Hukum Indonesia), Yogyakarta: antonyLib, 2009 Lawang, Robert M.Z, Teori Sosiologi Klasik dan Modern jilid I, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994. Mahfud, Moh. M.D., Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2009. Mannan, Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007. Mas’ud, Muhammad Khalid, Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq alShatibi‟s Life and Thought, terj. Yudian W Asmin, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Surabaya: al-Ikhlas, 1995. Moenawar, Chalil, Kembali Kepada Al-Qur‟an dan As-Sunnah, Jakarta: PT Midas Surya, 1993. Mustansyir, Rizal, Hukum Progresif Tinjauan Filsafat Ilmu. Makalah diunduh pada tanggal 12 Februari 2011 di progresiflshp.com. Mustofa dan H. Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Hukum, Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press, 1998. Nonet, Philippe and Philippe Selznick, Law and Society in Transition, Towars Responsive Law, diterjemahkan Raisul Muttaqien, Hukum Responsif, Bandung: Nusamedia, 2008. Oxford Learner's Pocket Dictionary (New Edition), Edisi ketiga; Oxford: Oxford University Press.
129
Partanto, Pius A dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 2001. Rahardjo, Satjipto, Biarkan Hukum Mengalir, Jakarta: Kompas, 2008. --------------, "Hukum Progresif: Aksi, Bukan Teks," dalam Satya Arinanto & Ninuk Triyanto, ed., Memahami Hukum: dari Konstruksi sampai Implementasi, Jakarta: Rajawali Pers, 2009. --------------, Hukum dalam Jagat Ketertiban, Jakarta: UKI Press, 2006. --------------, Hukum dan Perilaku Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009. --------------, Hukum dan Perilaku, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009. --------------, Hukum Itu Perilaku Kita Sendiri, artikel pada Harian Kompas, 23 September 2002. --------------, Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum, dalam buku Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Semarang: Kerjasama Pustaka Pelajar, IAIN Walisongo dan Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, 2006. --------------, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009. --------------, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2006. --------------, Ilmu Hukum: Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2004. --------------, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Kompas, 2006. --------------, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. --------------, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009. --------------, Penafsiran Hukum Yang Progresif, Semarang: t.p, 2005. --------------, Pendekatan Holistik Terhadap Hukum, Bacaan untuk Mahasiswa Program doktor Ilmu Hukum Undip Oktober 2005.
130
--------------, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Genta Pubishing, 2009. --------------, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta: Kompas, 2003. --------------, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002. Raharjo, Agus, Membaca Keteraturan Dalam Ketakteraturan (Telaah Tentang Fenomena Chaos Dalam Kehidupan Hukum Indonesia), Dimuat dalam Jurnal Ilmu Hukum Syiar Madani, Vol. IX No. 2 Juli 2007 FH Unisba Bandung, 2007. Roestandi, Achmad, Responsi Filsafat Hukum, Bandung: Armico, 1992. Saifullah, Konsep Dasar Proposal Penelitian, Fakultas Syari’ah UIN Malang, TK, 2006. Salman, H.R. Otje dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum “Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali”, Cet IV, Bandung: Refika Aditama, 2008. Sastroatmojo, Sudjiono, Konfigurasi Hukum Progresif, dalam Jurnal Ilmu Hukum, Vol.8 No 2 September 2005. Siregar, Ashadi, Negara, Masyarakat dan Teknologi Informasi, Makalah dalam Seminar Teknologi Informasi, Pemberdayaan Masyarakat dan Demokrasi Dies Natalis FISIPOL UGM ke-46, Yogyakarta 19 September 2001. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006. Sulaiman, Eman, Hukum Represif: Wajah Penegakan Hukum di Indonesia, dalam al-Ahkam, XIII, Edisi II 2001, Semarang: FS IAIN Walisongo, 2001. Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006. Suteki, Rekam Jejak Pemikiran Hukum Prof. Satjipto Rahardjo. Makalah diunduh pada tanggal 15 Februari 2011. Tabloid Tribun Timur, edisi 23 Agustus 2009.
131
Tanya, Bernard L., Yoan N. Simanjuntak, & Markus Y. Hage, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Surabaya: Kita, 2006. Tjahjono, Subur, Satjipto, 33 Tahun Menulis Artikel, dalam Kompas.com, http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/27/05383141/satjipto.33.ta hun.menulis.artikel. Turiman, Memahami Hukum Progresif Prof. Satjipto Rahardjo Dalam Paradigma “Thawaf” (Sebuah Komtemplasi Bagaimana Mewujudkan Teori Hukum Yang Membumi/Grounded Theory Meng-Indonesia). Makalah pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. Ulfran dalam Pengantar Editor buku Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009. Unger, Roberto M, Gerakan Studi Hukum Kritis, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 1999. Wignjosoebroto, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1994. --------------, Pembaharuan Hukum Masyarakat Indonesia Baru, Jakarta: HuMa, 2007. Wilson, Edward O., Consielence The Unity of Knowledge, Alfred A. Knof inc, New York, USA, 1998. Wisnubroto dalam makalah Menelusuri dan Memaknai Hukum Progresif. Diambil pada tanggal 17 Januari 2011. Zamzami, Mukhtar, Mencari Jejak Hukum Progresif dalam Sistem Khadi Justice, Varia Peradilan, tahun XXIV No. 286 (September 2009).
BIODATA MAHASISWA
Yang bertanda tangan dibawah ini, Nama
: Abdul Khoiruddin
Tempat/Tanggal Lahir : Kudus, 16 Mei 1985 Alamat
: Kesambi RT 01 RW 04 Kecamatan Mejobo Kabupaten Kudus Kode Pos 59381
Nama orang tua Bapak
: Suwardi
Ibu
: Supaah
Alamat
: Kesambi RT 01 RW 04 Kecamatan Mejobo Kabupaten Kudus Kode Pos 59381
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya .
Semarang, 22 Juni 2011 Penulis,
Abdul Khoiruddin NIM: 062211007
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama Tempat/ Tgl Lahir Jenis Kelamin Agama Alamat Rumah Email
: Abdul Khoiruddin : Kudus, 16 Mei 1985 : Laki-laki : Islam : Jl. Kademangan RT 01 RW 04 Desa Kesambi Kec. Mejobo Kab. Kudus. Kode Pos 59381 :
[email protected]
Jenjang Pendidikan : 1. SDN Kesambi I 2. MI Qudsiyyah 3. MTs Qudsiyyah 4. MA Qudsiyyah 5. Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Islam angkatan 2006
Lulus tahun 1997 Lulus tahun 2000 Lulus tahun 2003 Lulus tahun 2006 Semarang Jurusan Hukum Pidana dan Politik
Pendidikan Non Formal: 1. TPQ al-Qur’an Darus Salam Kesambi 2. Madrasah Diniyah Tarbiyatus Sibyan wal Banat Kesambi Mejobo 3. Ponpes Raudlatul Muta’allimin Jagalan Kudus Pengalaman Organisasi: 1. Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) HPPI 2009 2. Koordinator Departemen Sospol PMII Rayon Syari’ah Komisariat Walisongo 20072008 3. Departemen Sospol PMII Komisariat Walisongo Semarang 2008-2009 4. Ketua OPAK Mahasiswa Baru 2010 5. Bidang Pengembangan Wacana dan Penerbitan Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) IAIN Walisongo Semarang 2007-2008 6. Wakil Ketua Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) cabang Semarang 2009-2011 7. Koordinator Menkumdang DEMA IAIN Walisongo Semarang 2010 8. Sekretaris Jurnal LPM Justisia 9. Direktur eLSa Justisia 2007-2008 10. Keluarga Mahasiswa Kudus di Semarang (KMKS) 11. Ketua III Persatuan Pelajar Qudsiyyah (PPQ) tahun 2004 12. Koordinator Desa (Kordes) Tim KKN IAIN Walisongo di Demak 2010 Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih. Semarang, 22 Juni 2011 Hormat Saya,
Abdul Khoiruddin NIM: 062211007