PEMIKIRAN ABDULLAH SAEED TENTANG ISLAM PROGRESIF DAN IJTIHAD PROGRESIF Khairul Hamim Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram Email:
[email protected] Abstrak: Tulisan ini mencoba mendalami pemikiran “progressive ijtihadis yang ditawarkan oleh Abdullah Saeed, dalam rangka menghidupkan kembali ghiroh ijtihad yang selama ini “kaku” dalam menjawab problem modernitas dan kebutuhan kontemporer, hal ini disebabkan beberapa alasan, pertama pola pemikiran progressive-ijtihadis” ini dikembangkan oleh Abdullah Saeed sebagai jawaban atas studi dan penelitian yang dilakukannya sendiri atas trend pemikiran muslim kontemporer dan dianggap paling tepat untuk menjawab problem modernitas dan kebutuhan kontemporer. Kedua, Abdullah Saeed sebagai penggagasnya adalah muslim yang di satu sisi besar dan bekerja di Australia, Negara yang penduduknya mayoritas non Muslim sekaligus merupakan Negara yang system pemerintahannya di bangun atas dasar demokrasi liberal, namun di sisi lain dia sangat menguasai khazanah Islam. Ketiga, pemikirannya dipandang lebih maju karena berupaya mendialogkan antara cara berfikir tradisiaonal dan analisis keilmuan modern-kontemporer. Keempat secara pragmatis, menghadirkan ijtihad Abdullah Saeed dimaksudkan untuk memberikan penyadaran dan pembelajaran bagi kaum muslim yang tinggal di Negaranegara yang berpenduduk mayoritas Muslim, bahwa ada kelompok masyarakat dan corak intelektual Muslim yang tumbuh berkembang di wilayah benua yang berpenduduk non Muslim, seperti Australia, Amerika, dan sebagainya. Kata Kunci: Abdullah Saeed, Islam Progresif, ijtihad Progresif Abstract: This article examines the concept of progressive ijtihad advanced by Abdullah Saeed. There are some important points about his thought. First, his idea of ijtihad is response to contemporary trends of Muslem thought. Second, his idea is inspired by the fact that he lives in secular non-Muslim majority country such Australia although he is an expert in Islamic studies. Third, Saeed’s thought formed by the combination of Islamic Studies such as 133
tafsir, hadis, fiqh, ushul fiqh, history and philosophy. Forth, pragmatically, promoting Saeed’s ijtihad is mean to offer lesson for Muslims living in secular an non-Muslim majority countries that Muslims, like him, can still strive to develop Islamic thought. Keywords: Abdullah Saeed, Islam Progressive, Progressive Ijtihad.
I. PENDAHULUAN Persoalan Ijtihad sudah menjadi barang yang selalu hangat, laris dan empuk untuk diperbincangkan terlebih lagi pada saat bersentuhan dengan masalah modernitas dan kontemporer. Dorongan untuk melakukan ijtihad pada masa kekinian adalah sebuah tuntutan yang mesti dilakukan untuk memecah kebuntuan problematika kehidupan yang selalu berubah dan mengitari kehidupan manusia. Salah satu tujuan dilakukannya ijtihad adalah untuk membedah dan memahami sedalam mungkin tentang maqashid al-syari’ah 1 sehingga syari’at Islam selalu rasional, kontekstual, dan pleksibel sesuai dengan perkembangan zaman atau dalam istilah lain, Islam shâlihun likulli zamânin wa makânin. Menurut Harun Nasution, Islam diyakini sebagai agama universal, tidak terbatas oleh waktu dan tempat tertentu. Al-Qur’an menyatakan bahwa ruang lingkup keberlakuan ajaran Islam yang dibawa Rasulullah adalah kebaikan untuk seluruh umat manusia, di mana pun mereka berada. Oleh sebab itu, Islam seyogyanya ditafsirkan secara lebih fleksibel agar bisa diterima oleh setiap manusia di muka bumi secara alamiah. Islam dapat berhadapan dengan masyarakat modern, sebagaimana ia dapat berhadapan dengan masyarakat yang bersahaja dan tradisionalistis. Ketika berhadapan dengan masyarakat modern, Islam dituntut untuk dapat menghadapinya. Kesiapan Islam menghadapi tantangan zaman inilah yang selalu dipertanyakan oleh para pemikir muslim kontemporer.2 Salah satu bentuk upaya tersebut adalah dengan menggunakan nalar kritis dan kreatif atau dalam bahasa agama disebut dengan istilah ijtihad. Karena menurut Ulil Abshar Abdalla, Ijtihad merupakan wahyu non verbal dalam bentuk pemikiran
Menurut Syathibi, para mujtahid yang mengabaikan penguasaan maqashid al-Syari’ah dalam melakukan ijtihad, mereka akan menanggung risiko sendiri karena mereka akan lebih mudah melakukan kesalahan dalam ijtihad. Termasuk dalam hal ini adalah mereka yang mendukung bid’ah (ahl al-bid’ah yang hanya melihat teks al-Qur’an yang lahiriah tanpa merenungkan tujuan dan maknanya. Baca bukunya Muhammad Hashim Kamali, Membumikan Syari’ah Pergulatan Mengaktualkan Islam, (Bandung: Mizan, 2013), 181. 2 Harun Nasution, “Dasar Pemikiran Pembaharuan dalam Islam”, dalam M. Yunan Yusuf, et al (Ed.). Cita dan Citra Muhammadiyah (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), 13-14 1
134
akal manusia yang terus berkembang.3 Dengan demikian, ijtihad menjadi alat yang ampuh untuk menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi oleh umat Islam sejak awal Islam sampai masa sekarang. Melalui ijtihad, masalah-masalah baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis dapat dipecahkan oleh para mujtahid, dan dengan ijtihad, Islam mampu berkembang dengan pesat menuju kesempurnaanya. Sebaliknya jika ijtihad sirna di kalangan umat Islam, maka dapat dipastikan umat Islam akan mengalami kemunduran bahkan ketidakberdayaan dalam arti pemikiran dan intelektualitas. Atas Dasar itulah, Abdullah Saeed, seorang scholar muslim kontemporer yang sekarang menetap di Australia mengedepankan konsep, metodologi atau pemikirannya terkait dengan persoalan Ijtihad yang kemudian dikenal dengan istilah Progressive Ijtihadis atau Ijtihad Progresif. Makalah ini mencoba mendalami pemikiran “progressive ijtihadis” yang ditawarkan oleh Abdullah Saeed, dalam rangka menghidupkan kembali ghiroh ijtihad yang selama ini “kaku” dalam menjawab problem modernitas dan kebutuhan kontemporer. Hal ini disebabkan beberapa alasan, pertama pola pemikiran “progressive-ijtihadis” ini dikembangkan oleh Abdullah Saeed sebagai jawaban atas studi/penelitian atau pemetaan yang dilakukannya sendiri atas trend pemikiran muslim kontemporer dan dianggap paling tepat untuk menjawab problem modernitas dan kebutuhan kontemporer. Kedua, Abdullah Saeed, sebagai penggagasnya adalah muslim yang di satu sisi besar dan bekerja di Autralia, negara yang penduduknya mayoritas non Muslim sekaligus merupakan negara yang sistem pemerintahannya dibangun atas dasar demokrasi liberal, namun disisi lain dia sangat menguasai khazanah intelektual Islam. Ketiga, pemikirannya dipandang lebih maju karena berupaya mendialogkan antara “cara berfikir” dan “analisis keilmuan” yang dikembangkan ilmu-ilmu agama (‘Ulum al-Dien) --seperti Tafir, Hadist, Kalam, Fiqh/ushul Fiqh dan Tashawuf--,dengan “cara berpikir” dan “analisis keilmuan” dalam ilmu-ilmu sosial --seperti sejarah, filsafat, sosiologi, antropologi, dan hukum--. Keempat, secara pragmatis, menghadirkan ijtihad Abdullah Saeed dari Australia dimaksudkan untuk memberikan penyadaran dan pembelajaran bagi Muslim yang tinggal di negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, bahwa ada kelompok masyarakat dan corak intelektual Muslim yang tumbuh berkembang di wilayah benua-benua yang berpenduduk mayoritas non-Muslim, seperti Autralia, Amerika dan sebagainya. II. PEMBAHASAN Ulil Abshar Abdalla dkk, Islam Liberal dan Fundamental sebuah pertarungan wacana, cet. ke VII (Yogyakarta: el-SAQ Press, 2007), 10. 3
135
A. Biografi Singkat Abdullah Saeed Abdullah Saeed lahir di Maldives 4 pada tanggal 25 September 1964. Pada masa kecil hingga remajanya ia tinggal di sebuah kota bernama Meedhoo yang merupakan bagian dari kota Addu Atoll. Ia adalah seorang keturunan suku bangsa Arab Oman yang bermukim di pulau Maldives (Maladewa). Setelah beranjak dewasa, Saeed hijrah meninggalkan tanah kelahirannya menuju Saudi Arabia untuk menuntut ilmu di sana. Di Saudi Arabia, ia belajar bahasa Arab dan memasuki beberapa lembaga pendidikan formal diantaranya, yaitu: Institut Bahasa Arab Dasar dan Institut Bahasa Arab Menengah Madinah, serta Universitas Islam Saudi Arabia. Pada tahun 1986 ia mendapat gelar BA dalam studi Islam di Arab Saudi. Setelah menamatkan studinya di Arab Saudi, atas besiswa pemerintah Arab Saudi, Abdullah Saeed meninggalkan Saudi Arabia menuju Australia. Di Australia inilah ia memperoleh gelar Master of Art di Universitas Melbourne pada tahun 1993. Dan kemudian menjadi Profesor pada tahun 2003 di Universitas yang sama. sampai sekarang ia menetap dan mengajar di Melbourne University salah satu universitas terkemuka dan terkenal di Australia. Selain sebagai Profesor Studi Arab dan Islam, Abdullah Saeed juga menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Islam Kontemporer di Universitas Melbourne. Di Australia Abdullah Saeed mengajarkan Studi Arab dan Islam pada program strata satu dan program pasca sarjana (program S2 dan S3). Di antara mata kuliah yang diampu adalah: great texts of Islam: al-Qur’an; Muslim intellectuals and modernity, great empires of Islamic civilization, Islamic banking and finance, Qur’anic Hermeneitics, Methodologies of hadith, Methods of Islamic Law, Religious Freedom in Asia, Islam and Human Right, and Islam and Muslims in Australia. 5 Selain itu, Abdullah Saeed juga terlibat dalam berbagai kelompok dialog antar kepercayaan, yaitu: antara Kristen dan Islam, dan antara Yahudi dan Islam, bahkan ia dikenal sebagai dosen yang ulet dan terkenal karena kemahirannya dalam menguasai beberapa bahasa, di antaranya: bahasa Inggris, Arab, Maldive, Urdu, dan Jerman. Kemampuan Linguistik yang ia miliki membuatnya sering bepergian ke luar negeri Maldives adalah sebuah Negara Republik, yaitu: Republik Maldives, tapi sebelumnya adalah pulau Maldives. Negara ini terletak di bagian utara Lautan India, kira-kira 500 km atu 310 mil di bagian barat daya India. Negara ini kurang lebih terdiri dari 1.000 pulau, namun yang terhuni hanya sekitar 200 pulau. Penduduk yang menghuni Negara ini berasal dari Srilanka, India, Arab dan bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Divehi yang asalnya dari Srilanka. Secara umum penduduk Negara ini memeluk agama Islam, oleh karenanya agama resmi Negara ini adalah agama Islam. Lihat Republic of Maldives (2001). Atlas (Grolier Multimedia Encyclopedia). 5 Abdullah Saeed, Abdullah Saeed Profile, Profile singkat Abdullah Saeed yang dikutip pada tanggal 17 Nopember 2014 dari http://www.zakyeducation blogspot.com 4
136
dan telah mengunjungi beberapa Negara, seperti: Amerika Utara, Eropa, Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara. Bahkan, ia memiliki banyak sekali relasi pakar dan riset di seluruh dunia.6 Buah karya pemikiran dari Abdullah Saeed, baik yang berupa buku, makalah ataupun tulisan lepas sangat banyak dalam berbagai bidang keilmuan. Kecenderungan materi yang ditulis adalah tentang al-Qur’an dan Tafsir, Tren pemikiran Kontemporer Dunia Islam termasuk ekonomi Islam dan Jihad/Terorisme, Islam dan Barat. Diantaranya sekian banyak karya ilmiahnya adalah Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach, London: Routledge, 2006; “Muslim in the West and their Attitude to Full Participating in Western Societies: Some Reflections” dalam Geoffrey Levey (ed.), Religion and Multicultural Citizenship, Cambridge: Cambridge University Press, 2006; “Muslim in the West Choose Between Isolationism and Participation” dalam Sang Seng, Vol 16, Seol: Asia-Pacific Center for education and International Understanding/ UNESCO, 2006; “Jihad and Violence: Changing Understanding of Jihad among Muslims” dalam Tony Coady and Michael O’Keefe (eds.), Terorism and Violence Melbourne: Melbourne University Press, 2002; dan risetnya yang berjudul ‘Reconfiguration of Islam among Muslims in Australia 2004-2006. B. Islam, Muslim, dan Ijtihad Progresif Kajian tentang Islam, Muslim dan Ijtihad progresif mulai marak diminati oleh kalangan akademisi dengan dasar kesadaran akan dua hal: pertama, merespons secara positif anggapan negatif “warga” dunia yang menilai Islam senantiasa lamban dalam merespon laju zaman sehingga ada kesenjangan yang terjadi antara dunia Islam dan dunia barat; kedua, kesadaran bahwa salah satu strategi untuk melawan ekstrimisme yang senantiasa dituduhkan pada Islam adalah dengan memberdayakan elemenelemen progresif pada masyarakat muslim dan menjembatani jurang pemisah (gulf) antara dunia Islam dengan dunia lainnya. Dua hal inilah yang menjadi dasar urgensi edukasi dan sosialisasi Islam progresif.7 Barry Desker, direktur The Institute of Defence and Strategic Studies (IDSS), dan Zainul Abidin Rasheed, Menteri Luar Negeri Malaysia, sepakat bahwa mengangkat dimensi progresif Islam ini menjadi suatu keharusan. Bagi Desker, dimensi progresif ini sebenarnya bukan barang baru karena sesungguhnya dalam dunia Islam ada suatu tradisi yang tidak pernah pudar, yang disebutnya dengan istilah an ongoing drive to reform yang mentradisi sejak runtuhnya dinasti Ottoman tahun 1924. Kajian dimensi progresif semacam ini, menurut Rasheed akan menawarkan sebuah Dikutip dari http://www.derysmono.blogspot.com Pada tanggal 15 Nopember 2014. Laporan hasil seminar tentang "Progressive Islam and The State in Contemporary Muslim Societies,"yang diadakan oleh The Institute of Defence and Strategic Studies (IDSS) di Marina Mandarin Singapore tanggal 7-8 Maret 2006. 6 7
137
pendekatan rasional dan moderat dalam mengelola pola hubungan dunia luas. Sementara Desker menawarkan strategi reliving the progressive spirit of the pioneering Muslims, Rasheed menawarkan konsep re-imagine Islam as a civilizational project that carries a cultural heritage of both progress and reform.8 Meskipun demikian, para pakar memiliki perbedaan pendapat dalam mendefinisikan Islam progresif ini, yang berimplikasi pada definisi ijtihad progresif. Syed Hussein Alatas menjelaskan bahwa terma Islam Progresif tidak menyiratkan abstraksi ataupun reduksi dari totalitas Islam, melainkan sebuah istilah yang mengindikasikan bahwa Islam itu memang sejatinya bersifat progresif. Watak asli Islam seperti inilah sesungguhnya yang akan diangkat ke permukaan. Sementara itu, Alparsalan Acikgenc, Dekan Fakultas Seni dan Ilmu-ilmu Sosial Fatih University Turkey, menyatakan bahwa Islam progresif adalah Islam yang menawarkan keseimbangan antara mysterious and the rational aspects of human nature. 9 Definisi lainnya adalah yang dikemukakan oleh Abdullah Saeed bahwa Islam progresif merupakan salah satu dari sekian banyak aliran pemikiran Islam kontemporer yang berupaya untuk incorporate the contexts and the needs of modern Muslims yang pada akhirnya menuju "want to act to preserve the vibrancy and variety of the Islamic tradition."10 Betapapun bagusnya definisi di atas, istilah Islam Progresif ini masih menuai kritik. Chandra Muzaffar dan Ashgar Ali Engineer adalah salah satu yang keberatan. Mudzaffar tidak setuju dengan labelisasi Islam dengan label progresif, konservatif atau liberal karena label-label ini cenderung membatasi kemampuan seorang pendakwah untuk berhubungan dengan audiennya yang disebabkan oleh pembedaan dan penggolongan masyarakat muslim. Sementara itu, ketidaksetujuan Ashgar adalah karena Islam itu secara inherent sudah bersifat progresif, membebaskan dan revolusioner. Baginya, lebih baik mengkatagorikan Islam secara periodik seperti kajian Islam pada masa modern ketimbang berbicara tentang Islam modern.11 Hampir sama dengan Ashgar, Syed Farid Alatas menyoal keras istilah Islam Progresif ini dengan menyatakan bahwa istilah ini tidak perlu karena menyiratkan ada Islam yang tidak progresif. Lebih jauh lagi, istilah ini berkonotasi hubungan intim dengan apa yang disebut dengan Islam Liberal, mengaca kepada pengalaman cendikiawan-cendikiawan yang ada di Mesir dan Indonesia. 12 Meskipun
Ibid, 2-3 Ibid, 8. 10Omid Safi, (ed) "Introduction," dalam Progressive Muslims: On Justice, Gender, and Pluralism (Oxford: Oneworld, 2003), 2. 11 IDSS, "Progressive Islam," 14-15. 12 Ibid, 16 8 9
138
mereka tidak setuju dengan penggunaan istilah Islam Progresif, mereka sepakat bahwa dimensi progresif Islam menjadi krusial untuk diangkat dan disosialisasikan. Sosialisasi terhadap Islam Progresif ini mengalami beberapa kendala. Antara lain adalah, menurut Abdullah Saeed, anggapan bahwa hanya ada satu set hukum Islam yang bisa diterima sebagai kebenaran tunggal dan lainnya dianggap salah. Penyakit truth claim ini masih melekat di kalangan umat Islam. Dalam bahasa lain Engineer menyatakan bahwa key obstacle terletak pada internal umat, yaitu hilangnya kebebasan dan tiadanya demokrasi. Sementara itu, Chandra Muzaffar menyebutkan empat kendala penyebaran ide-ide Islam progresif: pertama, adalah yang direpresentasikan oleh kelompok muslim konservatif yang menebarkan ide-idenya dengan menggunakan kekerasan; kedua, adalah yang ditunjukkan oleh karya intelektual muslim yang men-klaim peduli pada masa depan Islam tetapi yang dilakukan adalah membungkus ide lama dengan pakaian baru (refashioning Islam); ketiga, adalah perilaku atau tindakan negara-bangsa yang represif; keempat, adalah apa yang ditunjukkan oleh global system of power yang tidak memberi peluang perbedaan pendapat dalam mendiskusikan isu-isu sosial ekonomi.13 Lepas dari kendala-kendala tersebut, ide-ide Islam Progresif terus berjalan menciptakan equilibrium pemikiran keislaman. Bahkan, ide Islam Progesif ini bukan hanya bersentuhan dengan nilai-nilai universal seperti keadilan dan kebebasan yang menjadi wacana unggulan modernitas, melainkan masuk pada wilayah-wilayah hukum Islam. Maka muncullah istilah progressive ijtihadis yang meniscayakan penafsiran ulang nash-nash hukum dan pembingkaian ulang metode penetapan hukum sehingga sifat fleksibelitas dan elastisitas hukum Islam yang dicanangkan oleh para mujtahid masa lalu tidak hanya tertulis di kitab-kitab kuning melainkan menjadi kenyataan sehari-hari. Abdullah Saeed adalah salah satu dari sekian cendekiawan yang peduli dengan proyek ini. C. Ijtihad Progresif: Gagasan Besar Abdullah Saeed Subjek dari Islam Progressif adalah Muslim Progressif. Islam progressif merupakan upaya untuk mengaktifkan kembali dimensi progresifitas Islam yang dalam kurun waktu cukup lama mati suri ditindas oleh dominasi teks yang dibaca secara literal, tanpa pemahaman kontekstual. Dominasi teks ini oleh Mohammad
13
Ibid, 15.
139
Abid al-Jabiry disebut sebagai dominasi epistemologi atau nalar Bayani dalam pemikiran Islam.14 Metode berpikir yang digunakan oleh Muslim Progresif inilah yang disebutnya dengan istilah progresif-ijtihad. Sebelum dipaparkan bagaimana kerangka kerja Progressif-Ijtihad dalam melakukan penafsiran al- Qur’an, ada baiknya melihat posisi Muslim progressif dalam trend pemikiran Islam yang ada saat ini. Menurut Abdullah Saeed, ada enam kelompok trend pemikiran Muslim pada masa sekarang, yang mana corak pemikiran berikut epistemologinya berbeda-beda: Pertama adalah The Legalist-traditionalist (Hukum (fiqh) Tradisional). Trend pemikiran The Legalist-Traditionalist adalah sangat ketat mengikuti mazhab hukum Islam pramodern dan juga sangat terikat dengan ajaran-ajaran atau mazhab teologisnya. Tren ini dominan dalam sistem seminari-seminari tradisionalis (madrasah) di seluruh dunia Islam, misalnya di Timur Tengah, Afrika, anak benua India dan dunia Melayu. Bahkan sampai saat ini, seorang muslim terus diharapkan untuk mengikuti mazhab-mazhab klasik itu dalam hal yang terkait dengan ritual dan bagian lain dalam hukum Islam seperti hukum keluarga. Sekalipun ada beberapa di kalangan pemikir the legalist traditionalist pada abad ke duapuluh yang berupaya untuk menyatukan mazhab-mazhab hukum ini. Oleh karena itu, tidak sedikit ulama dari kelompok ini memiliki
kesamaan cara pandang dalam beberapa masalah
modern sekalipun mereka tetap mewakili Islam ortodoks atau mazhabnya masingmasing, karena pengaruh penafsiran hukum dan teologi klasik masih dominan dalam beberapa sektor dunia Islam hari ini. Abdullah saeed memasukkan Yusuf Al-Qardhawi sebagai contoh kelompok pemikiran ini, karena Al-Qardhawi dianggapnya sebagai salah satu pemikir Islam paling encer/kepala dingin (temperate), dan sebagai salah satu pemikir yang menggabungkan pengetahuan tradisional tentang syariah dengan pemahaman baru Lebih lanjut, M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan IntegratifInterkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, h.184-226. 14
140
tentang
masalah-masalah
kontemporer.
Tulisan-tulisannya
mendapatkan
penerimaan yang luas, dan banyak karyanya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Kedua adalah The Political Islamist Abdullah Saeed menjadikan al-Maududi sebagai contoh paling menonjol kelompok ini, karena pengaruhnya yang demikian luas sebagai dampak dari kepribadiannya yang cukup produktif dalam karya tulis menulis. Kelompok yang trend pemikirannya masuk ketegori The Political Islamist bertujuan untuk mengembangkan orde sosial politik yang Islami dalam masyarakat Muslim. Mereka menolak teori ideologi modern seperti nasionalisme, sekularisme dan komunisme. Mereka juga menolak "Westernisasi". Mereka menuntut reformasi dan perubahan di dalam masyarakat Muslim dan menekankan nilai-nilai dan institusi yang Islami serta membuang jauh-jauh nilai dan norma Barat. Cata-citanya adalah membangun sebuah negara Islam. dan untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, sebagian pemikiran mereka menggunakan pendekatan revolusioner terhadap pemerintahanpemerintahan “tidak Islami” meskipun harus dengan menggunakan kekerasan. Tetapi sebagian lainnya justru dengan pendekatan evolusioner atau bertahap dengan memainkan fungsi pendidikan secara menyeluruh hingga ke tingkat akar rumput. Argumen utama yang dibangun untuk memperkuat pemikiran mereka adalah fakta peran Islam dalam masyarakat yang terus menerus terkikis yang disebabkan oleh kolonialisme dan peran negara-negara modern (Barat) yang senantiasa memarjinalkan hikum Islam dengan nilai nasionalisme, sekularisme dan sebagainya. Gerakan Terkemuka terkait dengan Islam politik adalah Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Jamaat Islam Pakistan. Mereka memiliki pendekatan yang sama terhadap perubahan sosial dan sama-sama mengadopsi ideologi yang menentang keberadaan penguasa entah itu negara ataupun agama. Mereka bertekad untuk mengubah masyarakat Muslim dari dalam. Setiap pihak yang dianggap sebagai hambatan bagi tujuan mereka itu bisa menjadi target tantangan mereka. Bahkan beberapa kelompok aktivis militan muncul dalam gerakan-gerakan ini. Kelompok aktivis militan ini menyatakan bahwa negara-bangsa yang ada dalam dunia Islam tidak sah. 141
Argumentasi mereka adalah bahwa, sebuah negara untuk dikatakan sah harus mendapatkan otoritas dan legitimasi dari Tuhan yaitu melalui agama yang diwahyukan bukan malah dari rakyat. Kedaulatan Allah harus menjadi yang tertinggi dalam negara itu artinya dengan menjalankan hukum islam bukan hukum buatan manusia. Karena sebagian negara Islam tidak menerapkan hukum Islam maka mereka dianggap tidak sah dan dijadikan musuh oleh para kelompok militan ini Ketiga adalah The Secular Muslim (Muslim Sekuler). Berbeda dengan the political islamist, the secular muslims justru melihat Islam terbatas pada domain kepercayaan pribadi dan hubungan antara individu dengan Tuhannya. Mereka sangat menghargai tingkat kesalehan individu atau kesalehan pribadi – pribadi sehingga mereka menganggap tidak perlu untuk membentuk negara Islam atau untuk menerapkan hukum Islam. Keempat adalah The Theological Puritans. Kelompok the Teological Puritans sangat concern terhadap isu seputar masalahmasalah teologi atau aqidah. Mereka mencoba memurnikan masyarakat dari apa yang mereka anggap sebagai praktek yang antitesis terhadap Islam seperti penghormatan terhadap orang-orang suci dan ibadah suci, sihir, praktek-praktek sufi tertentu dan apa yang mereka sebut inovasi dalam hal keagamaan(Bid'ah). Mereka sangat bergantung pada ajaran tokoh seperti Ibn Taymiyyah (w. 728/1328) dan Muhammad bin Abd al-Wahhab (W. 1207/1792) dan penerus-penerus ajaran modern mereka. Ciri utama mereka adalah puritan dan literalis, ditambah dengan kebiasaan mengklaim bid’ah kepada kelompok muslim di luar mereka. Abdullah Saeed mengelompokkan Muhammad bin Shalih al-Uthaymin dalam kelompok tren ini, karena dia adalah seorang ulama dari Saudi dan dianggap sebagai pemikir kontemporer. Salah satu bidang di mana pembacaan tekstual terhadap al-Quran dan hadits adalah dalam hal hubungan antara Muslim dan non Muslim. Kelima adalah Kelompok Militants Extremists. 142
Pada akhir abad dua puluh dan awal abad 21 militansi diantara umat Islam dikaitkan dengan serangkaian aktivitas termasuk perjuangan kebebasan lokal, perjuangan internasional seperti perang Afganistan, dan aktivitas anti Barat yang dilakukan oleh beberapa militan ekstremis seperti Osama bin Laden. Pada awal-awal abad 21 aktivitas-aktivitas anti barat sebagai dampak dari tragedi pengeboman gedung WTC (11 September 2001) mendominasi perdebatan tentang militansi dan ekstremisme dalam Islam. Kemudian banyak muncul aksi-aksi pengeboman oleh Jaringan Islam Militan. Tindakan ini dilandasi oleh adanya pemahaman yang mendalam dalam benak mereka bahwa terjadi ketidakadilan terhadap umat Islam. Pemahaman ini diperkuat lagi oleh cerita bahwa ketidakadilan ini dimulai semenjak perang salib, kemudian berlanjut pada zaman kolianialisme dan dominasi Barat atas Islam pada Post kolonialisme. Keenam adalah Progressive Ijtihadis (Progressif-Ijtihad.15 Progressive ijtihadis adalah salah satu trend pemikiran Islam kontemporer yang berupaya menyesuaikan teks sesuai kondisi dan bermaksud untuk menjawab kebutuhan manusia sebagai manusia sekaligus bercita-cita mewujudkan slogan “alIslam Sholehun li kulli zamanin wa makanin”. Dan karena itu lebih tenar disebut sebagai Islam Progressif, subyeknya disebut Muslim Progressif dengan menggunakan progressive-ijtihadis sebagai pendekatan dan metodenya. Epistimologi keilmuannya adalah mendialogkan antara cara berpikir dan analisis ilmu-ilmu agama (‘Ulumu alDien) dengan Ilmu-ilmu sosial modern. Dalam studi pemertaannya, Abdullah Saeed banyak menemukan kelompok muslim yang pola pemikirannya masuk kategori Islam progresif, dan mereka bisa datang dari berbagai latar belakang suku dan berbagai orientasi intelektual. Mereka bisa dianggap mewarisi pemikiran para modernis dan mengikuti sebuah garis turunan modernis-neo-modernis-progressif.
15
Abdullah Saeed, Islamic Thought……, 142-150
143
Progressif Ijtihadist memiliki tugas (task) ingin membawa perubahan ke masyarakat melalui rethink, reinterpret, and uphold the universal values of Islam (yakni memikirkan kembali, menafsirkan kembali, dan menjunjung tinggi nilai universal islam).16 Abdullah Saeed menemukan banyak nama untuk menyebutkan kelompok intelektual
ini
seperti
“Muslim
Liberal”,
Muslim
Progressif”,
“Ijtihadist”,
“Transformatif”, atau bahkan “neo-Modernis”. Namun Abdullah Saaed memastikan bahwa kelompok-kelompok ini bukanlah sebuah pergerakan melainkan sebuah trend pemikiran dengan berbagai suara yang ada di dalamnya; Islam modernis, liberal, feminis, atau bahkan para muslim tradisional yang telah bertransformasi. Kebanyakan tokoh-tokoh progressif ijtihadi atau Islam progressif tinggal dan menetap di Barat dan di beberapa negara Islam yang memberikan
kebebasan
intelektual. Adapun Karakteristik pemikiran Muslim progressif-ijtihadi, Sebagaimana dijelaskan selanjutnya oleh Abdullah Saeed dalam bukunya Islamic Thought adalah sebagai berikut : 1. Mereka mengadopsi pandangan bahwa beberapa bidang hukum Islam tradisional memerlukan perubahan dan reformasi substansial dalam rangka menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Muslim saat ini; 2. Mereka cenderung mendukung perlunya fresh ijtihad dan metodologi baru dalam ijtihad untuk menjawab permasalahan-permasalahan kontemporer; 3. Beberapa
diantara
mereka
juga
mengkombinasikan
kesarjanaan
Islam
tradisional dengan pemikiran dan pendidikan Barat modern; 4. Mereka secara teguh berkeyakinan bahwa perubahan sosial, baik pada ranah intelektual, moral, hukum, ekonomi atau teknologi, harus direfleksikan dalam hukum Islam; 5. Mereka tidak mengikutkan dirinya pada dogmatism atau madzhab hukum dan teologi tertentu dalam pendekatan kajiannya;
16
144
IDSS, Progressive Islam and……, 5.
6. Mereka meletakkan titik tekan pemikirannya pada keadilan sosial, keadilan gender, HAM, dan relasi yang harmonis antara Muslim dan non-Muslim.17 Pada kesempatan yang lain, yaitu pada seminar "Progressive Islam and The State in Contemporary Muslim Societies" di Marina Mandarin Singapore, Abdullah Saeed memberikan kriteria yang agak berbeda dengan kriteria diatas, yakni sepuluh kriteria yang lebih bersifat teknis gerakan yang membedakan muslim progresif dengan lainnya. Menurutnya, muslim progresif (1) menunjukkan rasa nyaman (comfort) ketika menafsir ulang atau menerapkan kembali hukum dan prinsipprinsip Islam, (2) berkeyakinan bahwa keadilan gender adalah ditegaskan dalam Islam, (3) berpandangan bahwa semua agama secara inheren adalah sama dan harus dilindungi secara konstitusional, (4) berpandangan bahwa semua manusia juga equal, (5) berpandangan bahwa keindahan (beauty) merupakan bagian inheren dari tradisi Islam baik yang ditemukan dalam seni, arsitektur, puisi atau musik, (6) mendukung kebebasan berbicara, berkeyakinan dan berserikat, (7) menunjukkan kasih sayang pada semua makhluk, (8) menganggap bahwa hak "orang lain" itu ada dan perlu dihargai, (9) memilih sikap moderat dan anti-kekerasan dalam menyelesaikan permasalahan masyarakatnya, (10) menunjukkan kesukaan dan antusiasnya ketika mendiskusikan isu-isu yang berkaitan dengan peran agama dalam tataran publik.18 D. Metodologi dan Pendekatan Ijtihad Progresif Sebelum membahas metode pendekatan ijtihad progresif Abdullah Saeed di atas terlebih dahulu kita mengetahui apa yang dimaksud dengan ijtihad? Menurut Saeed ijtihad adalah: The exertion of the utmost effort by a trained jurist, talking into account all the relevant texts of the qur’an and Sunna as well as principles of jurisprudence, to discover, for particular human situation, a rule of law.19
Tariq Ramadan, Western Muslims and the Future of Islam (New York: Oxford University Press, 2004), 24-28. 18 IDSS, Progressive Islam………………, 6. 19 Abdullah Saeed, Islamic Thought……, 52 17
145
(Pengerahan seluruh tenaga atau daya upaya yang dilakukan oleh ulama dalam memahami teks al-Qur’an dan Sunnah maupun prinsip-prinsip hukum untuk mengetahui ketentuan hukum dari situasi yang bersifat husus). Ijtihad
lanjut
Saeed
merupakan
sebuah
mekanisme
dalam
menginterpretasikan hukum Islam yang terkandung atau tertera dalam al-Qur’an dan Sunnah kemudian mengembangkannya agar tetap hidup, dan sejalan dengan keilmuan baik ilmu politik, ekonomi, hukum, teknologi, dan perkembangan moral masyarakat. Menurut Saeed, Ijtihad dilakukan pada saat: 1. There is evident (text) in the primary sources of syari’ah, but neither the meaning of the evident nor its authenticity is certain. 2. The meaning of the text is certain, but the authenticity is not. 3. The authenticity of the texts is certain but the meaning is not. 4. There is no text at all relevant to to the matter. 20 Abdullah Saeed menegaskan betapa pentingnya ijtihad dan yang tak kalah pentingnya lagi adalah memperbaharui ijtihad sehingga para mujtahid modern (modernist/progressive ijtihadis dapat melakukan fresh ijtihad. Hal ini dilakukan agar para modernist21 dapat memperoleh prinsip-prinsip yang relevan dari al-Qur’an dan Sunnah dalam memformulasi hukum agar sesuai dengan tuntutan dunia modern. 22 Dengan demikian para modernist atau progressif ijtihadis memiliki peran yang
Ibid, 52-53. Senada dengan Saeed, M. Hasyim Kamali juga menyebutkan empat bagian dimana boleh dan tidaknya ijtihad yaitu (1) Evidence which is decisive both in respect of authenticity and meaning (2) Evidence which is authentic but speculative in meaning (3) That which is of doubtful authenticity , but definite in meaning (4) Evidence which is speculative in respect both authenticity and meaning. Baca Muhammad Hasyim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence, (United Kingdom: Cambridge, 1991), 168. 21 Khalid Aboul Fadl lebih senang menggunakan istilah Moderat daripadaistilah progresif, reformis dan modernis. Baca lebih detail buku: Khaled Abou El-Fadl, The Great Theft: Wriestling Islam from the Extrimist, diterjemah oleh Helmi Mustafa menjadi Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006), 27-28. 22 Abdullah Saeed, Islamic Thought…., 54. 20
146
sangat besar dalam menyelesaikan problem kontemporer, sebagaimana tertulis dalam buku Islamic Thought: The modernist, on the whole played major role in bringing ijtihad to the forefront of the debate on reform of Islamic thought, and it portraying ijtihad as an essensial tool to be utilized in more flexible and creative manner in solving contemporary problem.23 (Para modernist secara keseluruhan memiliki peran utama dalam membawa konsep ijtihad ke lini terdepan dalam debat mereformasi pemikiran Islam, dan ijtihad merupakan alat yang paling essensial yang dapat digunakan secara fleksibel dan kreatif dalam menyelesaikan problem kontemporer). Ketika Abdullah Saeed ingin menjelaskan bagaimana operasionalisasi metode progressive ijtihadist yang dilakukan oleh muslim progresif ini, maka terlebih dahulu dia memaparkan bentuk-bentuk ijtihad yang sangat popular digunakan pada periode modern ini. ternyata tidak hanya trend pemikiran secara umum yang dipetakan, tetapi Abdullah Saeed juga melakukan pemetaan terhadap model ijtihad dalam bidang hukum Islam secara khusus. Dia menemukan ada 3 model ijtihad yang menurutnya sangat berpengaruh pada masanya masing-masing sepanjang sejarah hukum Islam, yaitu; 1. Text-based ijtihad, yakni metode ijtihad yang lazim dilakukan oleh fuqaha klasik dan masih memiliki banyak pengaruh di kalangan pemikir tradisionalis. Pada model ini text berkuasa penuh, baik itu nash Qur'an, hadis ataupun pendapat ulama sebelumnya baik yang berupa ijma' ataupun qiyas; 2. Eclectic Ijtihad, yakni upaya memilih nash atau pendapat ulama sebelumnya yang paling mendukung pendapat dan posisi yang diyakininya. Yang ada adalah upaya justifikasi bukan pencarian kebenaran; 3. Context-Based Ijtihad, sebuah fenomena baru yang mencoba memahami masalahmasalah hukum dalam konteks kesejarahan dan konteks kekiniannya (modern).
23
Ibid.
147
Pada biasanya, pendapat akhirnya akan mengacu pada kemaslahatan umum sebagai maqâshid al-syari'ah.24 Dengan mengacu pada hasil pemetaannya ini, maka Abdullah Saeed, menjadikan model context-based ijtihad sebagai bentuk operasioal dari metode progressive ijtihadis. Kalau metodologi klasik biasanya memecahkan permasalahan hukum dengan mendasarkannya pada teks al-Qur'an, kemudian memahami apa yang dikatakan teks tentang permasalahan tersebut, dan paling jauhnya kemudian menghubungkan teks itu dengan konteks sosio-historisnya, maka progressive ijtihadis mencoba lebih jauh lagi menghubungkannya dengan konteks kekinian sehingga tetap up to date dan bisa diterapkan. Selanjutnya, berkaitan dengan bagaimana metodologi progressive Ijtihadis dalam menafsir ulang teks-teks al-Qur’an, Abdullah Saeed memaparkan tujuh pendekatan utama: (1). Atensi pada konteks dan dinamika sosio-historis; (2) menyadari bahwa ada beberapa topic yang tidak dicakup oleh al-Qur’an karena waktunya belum tiba pada waktu diturunkannya al-Qur’an; (3) setiap pembacaan teks kitab suci harus dipandu dengan oleh prinsip kasih sayang, justice dan fairness; (4) mengetahui bahwa al-Qur’an mengenal hirarki, nilai-nilai dan prinsip; (5) mengetahui bahwa dibolehkan berpindah dari satu contoh yang konkret pada generalisasi atau sebaliknya; (6) kehati-hatian harus dilakukan ketika menggunakan teks lain dari tradisi klasik, khususnya yang berkaitan dengan otentisitasnya; (7) fokus utama pada kebutuhan muslim kontemporer.25 Pendekatan terhadap teks seperti inilah yang menurut Saeed akan mampu memberikan jawaban atas permasalahan kontemporer. Contoh konkretnya adalah kasus murtad (riddah) yang menurut UDHR pasal 18 menyatakan sebagai hak asasi manusia. Sementar dalam hukum Islam klasik, seorang murtad harus dihukum bunuh. Dalam hal ini apakah Islam bertentangan dengan hak-hak asasi manusia yang disepakati oleh PBB itu? Ataukah Islam tidak memberi kebebasan kepada seseorang
24
Ibid., 55.
IDSS, Progressive Islam, 5., baca juga buku yang ditulis oleh M. Arfan Mu’ammar dan Abdul Wahid Hasan dkk, Studi Islam Perspektif Insider/Outsider, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2013), 362-363. 25
148
muslim untuk memilih agama lain? Abdullah Saeed dalam seminar tentang civil and political rights menjawab persoalan ini dalam artikelnya yang berjudul “Article 18 of UDHR and the need for Rethingking Muslim Conception of Religious Freedom. Riddah dalam hukum Islam klasik didefinisikan sebagai perpindahan agama kepada selain Islam setelah ia dengan suka rela memeluk agama Islam. Mayoritas ulama klasik menyatakan bahwa sekali seorang memeluk Islam, maka ia terlarang untuk pindah ke agama lain. Riddah adalah termasuk pelanggaran pidana yang sanksi hukumannya adalah hukuman mati. Pada masa itu riddah diasosiasikan dengan pemberontakan pada keluarga kaum mukmin. Abdullah Saeed kemudian mencoba untuk mengekplorasi perkembangan ide riddah ini dengan menelusuri aspek sejarahnya. Ternyata pada fase Makah, “makna” dasar kebebasan beragama adalah bahwa ia merupakan urusan antara Tuhan dan manusia. Maka sesungguhnya riddah itu adalah dosa (sin) antara hamba dengan Tuhannya, dan bukan tindakan pidana (crime) pemaknaan baru atas riddah ini baru muncul pada fase Madinah Meskipun demikian masyarakat beragama pada tahapan ini masih berfungsi side by side tanpa adanya penekanan yang keterlaluan pada superioritas Islam. Baru pada masa Khilafahlah pemaknaan atas riddah dihiasai oleh superioritas Islam. Komunitas Islam diasosiasikan dengan kekuatan politik. Penaklukan-penaklukan daerah baru akhirnya memetakan komunitas secra hitam putih, termasuk dalam hal agama. Selanjutnya pada masa dinasti Umayyah dan awal dinasti Abbasiah, pemaknaan kehormatan politik bertemu dengan superioritas Islam itu. Pada masa inilah setiap yang berbeda dianggap sebagai sebuah tindakan subversif, tindakan pidana yang harus mendapat hukuman. Abdullah Saeed menyadari bahwa perkembangan historis seperti tersebut di atas, sudah selayaknya mendudukkan riddah ini pada posisi yang sebenarnya, yakni sebagai sebuah dosa bukan pidana. Apalagi kondisi saat ini berbeda dengan masa lalu. Hal ini terlihat dari kritik Saeed atas pandangan hukum Islam klasik dengan argument sebagai berikut: pertama, hampir 150-200 ayat al-Qur’an mendukung kebebasan beragama, berkeyakinan, memilih dan lain-lain. Kedua, tidak ada satu pun ayat dalam al-Qur’an yang menyebutkan hukuman di dunia atas orang yang murtad, 149
adanya adalah dalam hadis. Ketiga, hukum riddah mayoritas adalah berdasarkan ijtihad, bukan langsung dari Tuhan, karena itu bisa dinegosiasikan. Keempat, keimanan adalah urusan antara seorang hamba dengan Tuhannya, Negara tidak punya urusan dengan hal ini. Kelima, hukum riddah berbahaya bagi umat karena membunuh kretivitas dan inovasi pemikiran yang merupakan hak manusia. Keenam, Riddah adalah dosa dan bukan tindakan pidana.26 Dengan demikian maka apa yang dinyatakan dalam pasal 18 UDHR itu adalah tidak bertentangan dengan prinsip hukum Islam. III. PENUTUP Abdullah Saeed adalah termasuk salah satu intelektual Muslim (mujtahid) kontemporer yang menguasai turast dan memiliki ketajaman analisis terhadap ‘ulum al-dien dan ilmu-ilmu sosial modern. Gagasan Saeed tentang Islam progresif, muslim progresif dan ijtihad progresif patut mendapat apresiasi untuk kemudian dicoba diimplementasikan di era kontemporer ini. Pemikiran Saeed dengan Ijtihad progresifnya ini merupakan hasil inquirynya setelah cukup lama resah (doubt) terhadap fenomena sosial vis a vis hukum Islam yang cenderung “berselisih” dengan dunia barat sebagai simbol modern dan kontemporer. Terjadinya perubahan yang maha dahsyat -yang berimplikasi kepada munculnya berbagai macam problema- dalam segala lini kehidupan masyarakat baik politik, hukum, ekonomi, sosial-budaya, dan lain sebagainya menuntut para mujtahid kontemporer untuk segera mencari penyelesaiannya melalui ijtihad. Namun demikian pendekatan ijtihad yang dilakukan haruslah berbeda seperti pendekatan ijtihad yang pernah dilakukan oleh ulama sebelumnya yang menggunakan pendekatan text-based ijtihad dan eclectic ijtihad. Akan tetapi harus diperbaharui (renewal) dengan menggunakan pendekatan context-based ijtihad. Penggunaan context based ijtihad akan melahirkan fresh ijtihad sehingga dapat mengantar muslim progresif memperoleh hasil yang maksimal yakni penyesuaian kebutuhan manusia dengan kebutuhan modern. Sehingga adagium al-Islâm shâlihun likulli zamânin wa makânin menjadi terbukti keabsahannya. Secara pragmatis ijtihad progresif dilakukan untuk mereview kembali pemahaman klasik yang cenderung konservatif dan tradisional menuju peningkatan pemahaman dan kesadaran kolektif tentang pentingnya harkat dan martabat manusia (human dignity), hubungan yang harmonis dan akrab antar umat beragama 26
150
Ibid, 365.
(Greather inter-faith interaction), konsep negara–bangsa (nation-state) yang memperlakukan secara setara kepada semua warga negara (equal citizenship) dan mengarusutamakan kesetaraan gender (gender equality meanstreaming). IV. Daftar Pustaka Abdullah, Muhammad Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan IntegratifInterkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Fazlur Rahman, Interpreting the Qur’an, sebagaimana dikutip dalam; Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas. http://www.abdullahsaeed.com/accessed http://www.abdullahsaeed.com/profile/hisstory.htm./accessed Kamali, Muhammad Hashim, Membumikan Syari’ah Pergulatan Mengaktualkan Islam, (Bandung: Mizan, 2013). Laporan hasil seminar tentang "Progressive Islam and The State in Contemporary Muslim Societies,"yang diadakan oleh IDSS di Marina Mandarin Singapore tanggal 7-8 Maret 2006. Nasution, Harun “Dasar Pemikiran Pembaharuan dalam Islam”, dalam M. Yunan Yusuf, et al (Ed.). Cita dan Citra Muhammadiyah (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985). Nuruddin, Amiur, Ijtihad Umar Ibn al-Khaththab: Studi tentang perubahan hukum dalam Islam, (Jakarta, Rajawali Pers, 1987) XII Saeed, Abdullah, Interpreting the Qur’an: Towards a contemporary approach, New York: Routledge, 2006. -----------------------, Islamic Thought: An Introduction, London and New York, Routledge, 2006. Safi, Omid (ed) "Introduction," dalam Progressive Muslims: On Justice, Gender, and Pluralism (Oxford: Oneworld, 2003). Tariq Ramadan, Western Muslims and the Future of Islam, New York: Oxford University Press, 2004 -----------------------, "What is Progressive Islam," dalam The International Institute for the Study of Islam in the Modern World (ISIM) News Letter, No. 13, Desember 2003.
151