FRESH IJTIHAD SEBAGAI KUNCI MEJAWAB PROBLEM MODERNITAS (Telaah Pemikiran Abdullah Saeed) Jumarim Fakultas Tarbiah IAIN Mataram
[email protected]
Asbstraksi Abdullah Saeed adalah cendikiawan muslim yang merasakan adanya kegelisahan akademik, terutama tentang keber-islam-an ummat Islam di negera-negara Barat, yang otomatis menjadi ummat minoritas. Sikap dan carapandang sebagian Islam yang ditunjukkan dengan kekerasan atas nama agama, seperti jihad yang diidentikkan dengan aksi teroris, justru menimbulkan sikap diskriminatif kelompok mayoritas terhadap ummat Islam sebagai ummat minoritas di Negara-negara Eropa termasuk Australia. Namun, akhirnya, dia, mewakili cendikiawan muslim lainnya, justru merasa nyaman (comport) dengan adanya varian Islam yang justru wellcome dengan modernitas, lalu dikembangkannya menjadi proyek akademiknya dengan istilah Progressive Ijtihadist dan pelakunya disebut Muslim Progressive. Hal mendasar yang dirumuskan dan ditawarkan Abdullah Saeed dalam proyek progressive ijtihadistnya adalah pentingnya melakukan ijtihad dengan metode “fresh ijtihad” (kreatif, aplikatif, fleksibel dan reflikatif) dengan menjadikan “Context Based Ijtihad” sebagai paradigmanya. Fiqh atau hokum Islam akhirnya harus diakui sebagai inti dari pemikiran keagamaan (Islam). Ulum al-Dien (tafsir, hadist, akhlaq, kalam dan sebagainya) akan bermuara implementasinya dalam esensi atau corak utama keislaman, yaitu fiqh atau hukum Islam. Oleh karena itu, ushul fiqh, maqashid al-syari’ah dan sebagainya terus menemukan momentumnya untuk dikembangkan sebagai alat untuk mewujudkan konsep “al-Islam Sholihun li kulli Zamanin wa Makanin”. Kata kunci; Progressive Ijtihadi, Islam Progressif, Muslim Progressif, Fresh Ijtihad, Ulum al-Din, al-Fikr al-Islam dan Dirosah Islamiyyah.
Edisi 3 tahun 2012
| 1
A. Pengantar Tak dapat dipungkiri bahwa kehadiran Muhammad SAW merupakan salah satu tonggak revolusi sistem kehidupan dalam sejarah dunia. Berbeda dengan para nabi dan rasul sebelumnya seperti Nabi Musa dan Nabi Isa AS yang memiliki mukjizat kenabian dalam bentuk “perubahan tongkat menjadi ular” dan “menghidupkan kembali orang mati” sekalipun juga mendapatkan wahyu langsung dari Allah SWT yang kemudian dikodifikasi menjadi “kitab suci” dan dipedomani ummat Yahudi dan Nasrani sampai hari ini. Mukjizat Nabi Muhammad SAW justru wahyu Allah yang diterimanya selama masa kenabian dan kerasulan, yang juga pasca meninggalnya, oleh para sahabat dikodifikasi dalam bentuk “mushaf ” kemudian menjadi “kitab suci” dan dipedomani ummat Islam sampai hari ini dan bahkan –menurut diyakini oleh ummat Islam—akan eksis dan sustainable sampai tibanya hari kiamat. Nabi Muhammad SAW memimpin gerakan sosial atau sebagai agent of change selama 23 tahun. Yaitu sebuah masa atau waktu yang sangat singkat untuk ukuran perubahan sosial yang sangat konprehensif, dan karenanya banyak kalangan menggolongkan Nabi Muhammad sebagai pemimpin revolusioner dan perubahan sosial yang dihasilkannya dikategorikan sebagai perubahan sosial yang bersifat revolutif. Apakah kekuatan revolusi yang terjadi itu disebabkan oleh karena Nabi menerima “mukjizat” berupa wahyu? atau karena faktor figur kepemimpinan Muhammad SAW yang berbakat, cerdas dan piwai menentukan strategi gerakan (community organizer)? atau Justru karena faktor wahyu, figure Muhammad, momentum dan strategi gerakan yang menyatu-padu?. Tampakanya, pilihan terakhir yang paling rasional untuk dianalisis dan “suritauladan” yang memungkinkan untuk dikembangkan sesuai kondisi dan keadaan. Selama proses kenabian dan
2 |
kerasulan Muhammad SAW, beliau senantiasa dibimbing oleh wahyu, baik yang diterimanya dalam kondisi “pasif ” maupun “aktif ”. Apa yang tertuang dan terkandung dalam “Teks” atau Nash (al-Qur’an dan al-Hadis) pada masa Nabi inilah yang sesungguhnya disebut sebagai Agama; Millahatau Dien. Sedangkan segala bentuk pemikiran, tindakan, kebijakan, perasaan (karya, karsa dan rasa) manusia --pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW-yang dikembangkan atau dikaitkan dengan “Teks” atau Nash dimaksud disebut sebagai pemikiran keagamaan (al-fikrah al-diniyyah). “Tidak ada sistem kependetaan dalam Islamkecuali kekhilafahan” merupakan statemen yang disarikan dari sejarah ummat Islam generasi awal, paska wafatnya Rasul. Artinya, Agama Islam betul-betul menjadi wahyu yang senantiasa hidup dan menjadi mukjizat bagi masing-masing umat Islam untuk berbuat dan bertindak baik dalam kapasitasnya sebagai hamba Allah (‘abdullah) maupun sebagai pemimpin di muka bumi (khalifatullah fi al-ardhy), sedangkan kekhalifahan berfungsi mengatur lalu lintas independensi masing-masing ummat dalam menjalankan pemahaman dan ritual keagamaan sekaligus memfasilitasi terwujudnya keamanan, kenyamanan, keadilan, kesejahteraan dan kemajuan. Praktek ritual keagamaan dan pemikiran keagamaan berkembang pesat dengan penuh ragamnya termasuk paradigma dan metodenya, sehingga lahirlah masa keemasan peradaban Islam baik dalam bidang politik, ekonomi, budaya, seni, arsitek, ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, karena situasi politik yang tidak stabil (instabilitas)baik oleh karena faktor internal dan eksternal ummat Islam, maka kondisinya semakin tidak kondusif bagi perkembangan keilmuan. Sebagai agama dan komunitas yang mengantarkan perabadan modern saat ini, agama Islam dan ummat Islam
Al-Ihkam: Jurnal Ahwal al-Syakhshiyah Fakultas Syariah
justru senantiasa “gagap” atau menjadi “penghambat” laju peradaban dan akhirnya di banyak kawasan justru menjadi korban atau setidaknya menjadi objek uji coba dan “pasar” untuk komersialisasi hasil peradaban modern, terutama ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi. Hal demikian terjadi sebagai akibat dari terbelenggunya ummat Islam oleh pedomannya sendiri, dimana wahyu yang menjadi mukjizat (agama)yang sifatnya revolusioner,aplikatif dan reflikatif, justru didogmatisasi menjadi doktrin yang ‘baku’, ‘rigid’ dan ‘jumud’ di dalam selimut tebal ‘pemikiran ulama klasik’ sehingga kehilangan ‘kemukjizatan’nya. Bahkan lembaran-lembaran kertas yang menyimpan teks dogma sudah setara dengan lembaranlembaran kertas yang menyimpan Teks Wahyu (Mushaf) itu sendiri dalam perlakuan keseharian bahkan jauh lebih dominan dogma. Akibatnya, sikap ummat Islam dalam menerjemahkan wahyu atau agama berubah drastis dari otonomi menjadi sentralisasi, dari mujtahid menjadi muqallid. Selanjutnya muncul fanatisme ummat berdasarkan dogma atau mazhab. Arah dan agenda perubahan atau transformasi gerakan Islam terhadap sistem kehidupan manusia menemukan kondisi ‘benang kusut’. Naasnya lagi, ditengah “kekusutuan benang” peradaban Islam ini, masing-masing pemimpin dan pengikutdogma senantiasa bergerak sendirisendiri tanpa sinergi sehingga tercipta lingkaran setan yang sulit ditemukan dan diurai ujung-pangkal masalah dan solusinya. Wal akhir, masing-masing mengambil jalan pintas; beragama berdasarkan benang kusut yang digengamnya lalu dijadikan sebagai “prasastipemikiran” yang di-musiumkan dalam lembaga mazhabkemudian dikeramatkan dan di-azimat-kan. Terkubur dalam prasasti ini adalah para ulama klasik dengan segenap pemikirannya dan bahkan distratifikasikan berdasarkan
kapasitas keilmuannya masing-masing –untuk bidang fiqh-- menjadiyang tertinggi“Mujtahid Mustaqil”, “Mujtahid Mutlaq Gairu Mustaqil”, Mujtahid Muqayyad/Mujtahid Takhrij”, Mujtahid Tarjid” Dan “Mujtahid Fatwa” sebagai yang terendah.Dan tugas generasi belakangan adalah menziarahi mereka dengan harapan membawa ‘barakah pemikiran’ guna menghadapi permasalah ummat. Atau dengan kata lain, ummat Islam dalam menghadapi problem kontemporer lebih dominan mengandalkan ‘cara berpikir’ dan ‘analisis keilmuan’ yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu agama (‘Ulum al-Dien) yang telah dimusiumkan atau out of datesebagai acuan analisis dalam menjawab problem modernitas, maka hasilnya dipastikan a historis dan cenderung anarkhisatau apatis. Sebab, perubahan yang terjadi di era kontemporer ini sifatnya sangat dahsyat atau revolusioner –sebagaimana diidentifikasi oleh Abdullah Saeed—meliputi; globalisasi, migrasi penduduk, kemajuan sains dan teknologi, eksplorasi ruang angksa, penemuan-penemuan arkeologis, evolusi dan genitika, pendidikan umum dan tingkat literasi.Semuanya berdampak pada munculnya konsep negara-bangsa (nationstate) yang mewajibkan adanya kesetaraan dan perlakuan yang sama kepada semua warga negara (equal citizenship), keadilan gender (gender equality). Bahkan lebih lanjut berkonsekwensi bagi munculnyapemahaman dan kesadaran baru tentang pentingnya harkat dan martabat manusia (human dignity) dan sikap perjumpaan yang lebih dekat dan harmonis antar ummat beragama (greater inter-faith interaction) yang melahirkan pandangan bersama (collective wordview)sebagai warga dunia (word citizenship) dengan dideklarasikannnya Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai nilai bersama. Oleh karena itu, cukup banyak masalah ummat yang tak terjawab, apabila hanya
Edisi 3 tahun 2012
| 3
mengacu pada “prasasti pemikiran” klasik, apalagi dengan menafikan kemungkinan munculnya kefaqihan seseorang yang disetarakan dengan istilah “Mujtahid Mustaqil”, “Mujtahid Mutlaq” dan sebagainya. Benar bahwa seseorang dapat disebut sebagai “mujtahid” apabila dapat menemukan teori, kaidah dan fiqhnya sendiri, namun bukan berarti bahwa orang yang dapat memperluas cakupan teori dan kaidah yang ditemukan mujtahid sebelumnya tidak bisa menjadi mujtahid, bahkan akan jauh lebih pantas disebut sebagai “mujtahid” atau “muslim otonom” apabila seseorang mampu memadukan teori atau keilmuan klasik dengan teori dan keilmuan modern, atau justru mampu menemukan toeri, keilmuan dan bahkan teknologi yang dapat menjawab problem atau kebutuhan ummat di tengah modernitas dan revolusi teknologi dan informasi yang maha dahsyat.
B. Abdullah Saeed & Progressive Ijtihadist Berbicara tentang otoritas keagamaan atau mujtahid dalam Islam, seringkali didominasi oleh subyektifitas alamat mujtahid itu sendiri, disamping juga oleh obyektivitas keilmuannya. Artinya, sebelum seseorang ditanyakan soal kapasitas keilmuannya, maka terlebih dahulu dipertanyakan dari mana dia berasal,pergaulan dan pendidikannya. Dan seringkali jawaban tentang ini akan berpengaruh pada tingkat kepercayaan (trust) seseorang atas integritas keilmuannya. Abdullah Saeed adalah ‘intelektual’ atau ‘mujtahid’ Muslim yang hidup di dunia baru, di wilayah mayoritas non-Muslim. Disebut sebagai ‘intelektual’ atau ‘mujtahid’ muslim karena dia tinggal dan hidup sehari-hari;bekerja, berpikir, melakukan penelitian, berkontemplasi, berkomunitas, bergaul, berinteraksi, berperilaku, bertindak, mengambil keputusan di sebuah tempat atau
4 |
negara Autralia, yang --dimana mayarakat muslim menjadi minoritas dan sistem pemerintahannya sangat sekuler bahkan masyarakatnya sangat well come dengan modernitas serta,tentu saja, tidak menunggu fatwa ulama terlebih dahulu-- sama sekali berbeda dari tempat/negara dengan sistem negara Islam atau yang penduduknya mayoritas Muslim. Di negera seperti inilah Abdullah Saeed bekerja menjajdi Direktur pada Asia Institute, Universitas Melbourne, Direktur Center for the Study of Contemporary Islam, University of Melbourne, Sultan Oman Professor of Arab and Islamic Studies, University of Melbourne, Professor pada Faculty of Law, University of Melbourne. Dan di negara seperti inilah Abdullah Saeed melakukan kontempelasi, penelitian dan berijtihad sehingga menghasilkan beberapa karya tulis baik berupa buku, makalah ataupun tulisan lepas yang jumlahnya sangat banyak dalam berbagai bidang yang bervariasi. Benar bahwa Abdullah Saeed berasal, tinggal dan bekerja di negara Australia yang penduduknya minoritas Muslim, tetapi riwayat pendidikannya sangat kapabel untuk disebut intelektual atau mujtahid muslim kontemporer, karena dunia pendidikan yang ditempuhnya mencerminkan adanya koneksitas-dialogis antara ‘Ulum al-Dien, Al-Fikr al-Islam dan Dirosah Islamiyah: dia belajar Arabic Language Study, Institute of Arabic Language, Saudi Arabia, l97779, High School Certificate, Secondary Institute, Saudi Arabia, l979-82; Bachelor of Arts, Arabic Literature and Islamic Studies, Islamic University, Saudi Arabia, l982-l986; Master of Arts Preliminary, Middle Eastern Studies, University of Melbourne, Australia, Master of Arts, Applied Linguistics, University of Melbourne, Australia, l992l994; Doctor of Philosophy, Islamic Studies, University of Melbourne, Australia, l988-
Al-Ihkam: Jurnal Ahwal al-Syakhshiyah Fakultas Syariah
l992. Sehingga dengan latar pendidikan demikian, Kecenderungan tema yang ditulis adalah tentang al-Qur’an dan Tafsir, tentang Tren Kontemporer Dunia Islam termasuk ekonomi Islam dan Jihad/Terrorisme, Islam dan Barat. Diantaranya Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006); “Muslim in the West and their Attitude to Full Participating in Western Societies: Some Reflections” dalam Geoffrey Levey (ed.), Religion and Multicultural Citizenship (Cambridge: Cambridge University Press, 2006); “Muslim in the West Choose Between Isolationism and Participation” dalam Sang Seng, Vol 16, Seol: Asia-Pacific Center for education and International Understanding/UNESCO, 2006); “Jihad and Violence: Changing Understanding of Jihad among Muslims” dalam Tony Coady and Michael O’Keefe (eds.), Terrorism and Violence (Melbourne: Melbourne University Press, 2002); dan risetnya yang berjudul ‘Reconfiguration of Islam among Muslims in Australia (20042006)’. Tulisan ini ingin mendalami konsep “Fresh Ijtihad” yang ditawarkan oleh Abdullah Saeed, yang didedikasikannya untuk menjembatani keterbelakangan –untuk tidak mengatakan ketidakmampuan-“cara berpikir” dan “analisis keilmuan” yang dikembangkan ilmu-ilmu agama (‘Ulum al-Dien) dalam menjawab problem modernitas dan kebutuhan kontemporer. Sebagai cendekiawan muslim yang berlatar belakang pendidikan di Saudi Arabia dan berkarir akademik di Melbourne Australia Abdullah Saeed menjadi sangat kompeten untuk menilai dunia Barat dan Timur secara objektif. Saeed sangat konsern dengan dunia Islam kontemporer. Pada dirinya ada spirit bagaimana ajaran-ajaran Islam itu bisa shalih li kulli zamanin wa makanin, dalam paham minoritas Muslim yang tinggal di
negara Barat. Sebagai intelektual muslim kontemporer yang berusaha dan punya kemampuan untuk menggabungkan ‘Ulum alDien, al-Fikr al-Islam dan Dirosat Islamiyah, maka Abdullah Saeed, ketika melihat satu kegelisahan dan ingin menjawabnya, tidak serta-merta membuat rumusan baru tentang pemikiran Islam dengan mengadopsi pendapat-pendapat ulama klasik dan kontemporer –sebagaimana dilakukan oleh mayoritas ‘ulama yang senantiasa mencari jawaban melalui jalan pintas dengan merujuk pendapat ulama klasik/fiqh—melainkan, dia, melakukan studi/penelitian (inquiry) terlebih dahulu. Konsep fresh ijtihad yang ditawarkan Abdullah Saeed didasarkan atas hasil studi pemetaan terhadap trend pemikiran ummat Islam kontemporeryang dilakukannya. Dia menemukan 6 trend pemikiranIslam berikut perangkat epistimologinya yang berbedabeda. Kemudian, dari trend pemikiran itu, Abdullah Saeed mengambil langkah penyelesaian atas kegelisahannya dengan masuk menjadi bagian dari salah satu trend tersebut lalu memperkuatnya dengan membangun perangkat metodeloginya yang aplikatif dan kontekstual, yaitu Islam progressif , pelakunya disebut muslim progressif, pendekatannya dinamai progressive ijthadis dan metodenya adalah fresh ijtihad. Progressive ijtihadi adalah salah trend pemikiran Islam kontemporer yang senantiasa mengkontekskan teks sesuai kondisi dan berkehendak untuk menjawab kebutuhana manusia sebagai manusia sekaligus bercitacita mewujudkan slogan “al-Islam Sholehun li kulli zamanin wa makanin”. Epistimologi keilmuannya adalah mendialogkan antara cara berpikir dan analisis ilmu-ilmu agama (‘Ulumu al-Dien) dengan Ilmu-ilmu sosial modern. Dalam studi pemetaannya, Abdullah Saeed banyak menemukan kelompok
Edisi 3 tahun 2012
| 5
muslim yang pola pemikirannya masuk kategori Islam progresif, dan merekabisa datang dari berbagai latar belakang suku dan berbagai orientasi intelektual. Mereka bisa dianggap mewarisi pemikiran para modernis dan mengikuti sebuah garis turunan modernis-neo-modernis-progressif. Progressive Ijtihadis ingin membawa perubahan ke masyarakat mereka melalui sebuah reinterpretasi teks dan tradisi Islam. Mereka telah melakukan sesuatu di luar apa yang telah dilakukan oleh para Muslim modernis apologetis dan bahkan di luar pembatasan yang dibuat oleh neo-modernis tentang bagaimana seharusnya umat islam berinteraksi dengan dunia modern.Bahkan Abdullah Saeed menemukan banyak nama untuk menyebutkan kelompok intelektual ini seperti “Muslim Liberal”, Muslim Progressif ”, “Ijtihadist”, “Transformatif ”, atau bahkan “neo-Modernis”. Namun Abdullah Saeed memastikan bahwa kelompok-kelompk ini bukanlah sebuah pergerakan melainkan sebuah trend pemikiran dengan berbagai suara yang ada di dalamnya; Islam modernis, liberal, feminis, atau bahkan para muslim tradisional yang telah bertransformasi. Kebanyakan tokoh-tokoh progressif ijtihadi atau Islam progressif tinggal dan menetap di Barat dan di beberapa negara Islam yang memberikan kebebasan intelektual. 1. Konsep “Fresh Ijtihad’ Abdullah Saeed Setelah melakukan studi pemetaan atas trend pemikiran Islam kontemporer di berbagai benoa dan negara, maka dari 6 trend yang ditemukannya, Abdullah Saeed seolah menemukan jawaban atas kegelisahan akademiknya, --baik sebagai akademisi muslim di lingkup universitas yang berada di negara minoritas muslim, maupun sebagai muslim yang berbekalkan ilmu-ilmu agama (‘Ulum al-Dien) dan ilmu pengetahuan
6 |
sosial dan humanites modern dan tinggal di negara minoritas muslim--. Bahwa sikap berlebihan barat dalam menyikapi terorisme pasca tragedi Bom WTC dengan perlakuan diskriminatif atas tokoh dan ummat Islam di Barat, sepenuhnya tidak dapat disalahkan, karena sesungguhnya secara doktrin dan cara berpikir extrems seperti itu ditemukan dalam kelompok muslim. Tetapi, tentu saja tidak dapat digenaralisir, karena masih banyak pula pola pemikiran yang bertolak belakang dengan itu dan bahkan sangat well come dengan nilai-nilai modernitas bahkan dengan nilai apapun dan manapun asalkan membawa kemashlahatan secara luas bagi keterlindungan harkat dan martabat manusia sebagai manusia. Dan oleh karena itulah, Abdullah Saeed menggagas dan membangun Islam progressif sebagai proyek besarnya secara akademis. Namun, sebelum merumuskan langkah operasional termasuk metode kerja proyek Islam progressifnya, Abdullah Saeed terlebih dahulu melakukan pemetaan terhadap model ijtihad dalam bidang hukum Islam secara khusus. Setidaknya, dia menemukan ada 3 model ijtihad yang menurutnya sangat berpengaruh pada masanya masing-masing sepanjang sejarah hukum Islam, yaitu; 1. Text-Based Ijtihad, yakni metode ijtihad yang lazim dilakukan oleh fuqaha klasik dan masih memiliki banyak pengaruh di kalangan pemikir tradisionalis. Pada model ini “teks” berkuasa penuh, baik itu nash Qur’an, Hadits, Ijma’ ataupun pendapat imam Mazhab yang dihasilkan melalui metode qiyas, istihsan, istishab, maslahah mursalah, sad al-zari’ah dan al-‘urf lalu dikembangkan secara fanatik oleh para ulama mazhab masingmasing. 2. Eclectic Ijtihad, yakni upaya memilih nash atau pendapat ulama sebelumnya
Al-Ihkam: Jurnal Ahwal al-Syakhshiyah Fakultas Syariah
yang paling mendukung pendapat dan posisi yang diyakininya. Terkadang dalam masalah tertentu langsung mengacu pada nash (al-Qur’an dan Hadist), tetapi juga pada masalah lain lebih mengacu pada pendapat ulama sebelumnya. Dalam berijtihad, mereka menyeleksi nash dan pendapat ulama, namun –oleh Abdullah Saeed—menengarai upaya seleksi ini lebih cenderung ke upaya justifikasi sikap dan pendapatnya bukan sebagai upaya serius untukpencarian kebenaran; 3. Context-Based Ijtihad, sebuah fenomena baru dimana dalam berijtihad mereka mencoba memahami masalahmasalah hukum dalam konteks kesejarahan dan konteks kekiniannya. Mereka memadukan antara teks dan konteks dengan menggunakan ilmuilmu modern sebagai alat bedahnya, sehingga–menurut Abdullah Saeed-pendapat akhir mereka lebih banyak mengacu pada kemaslahatan umum sebagai maqasid al-shari’ah. Dari dua pemetaan yang dilakukan Abdullah Saeed, maka sampailah pada kesimpulannya untuk membangun proyek yang --dia namakan– progressif ijtihadis dengan menjadikan model context-Based Ijtihad sebagai paradigma ijtihadnya.Dan output dari proyeknya ini adalah lahirnya apa yang –dia sebut sebagai—Islam progressif dengan Muslim progressif sebagai subjeknya. Yaitu ummat Islam yang dapat bersikap secara mandiri dan otonom dalam menerjemahkan agamanya dalam kehidupan sehari-hari (mujtahid), bukan sebaliknya menjadi ummat yang pemikiran keagamaannya tersentralisasi pada individu tertentu dan lainnya menjadi bergantung atau dependent dan muqallid. Agar semua dapat menjadi mujtahid bagi dirinya, maka Abdullah Saeed menawarkan “fresh ijtihad” sebagai metode, yaitu ijtihad yang kreatif, aplikatif, fleksibel dan reflikatif.
Untuk mengetahui operasionalisasi konsep fresh ijtihad yang ditawarkan Abdullah Saeed, maka dapat dilihat melalui pemikirannya dalam dua hal, yaitu; Pertama; Pemikiran Tentang Prinsip Menafsirkan Nash (al-Qur’an dan Hadist) Abdullah Saeed tetap menjadikan Nash (al-Qur’an dan Hadist) juga termasuk teks (pemikiran ulama klasik atau turast) sebagai sumber yang harus tetap dirujuk dalam menjawab problem kontemporer. Hanya saja, harus dikontekskan atau nash dan teks harus didialogkan dengan keadaan saat ini, bukan nas dan teks secara otomatis harus menundukkan semua keadaansesuai kehendaknya. Oleh karena itu, Abdullah Saeed memaparkan tujuh prinsip dalam proses kentekstualisasi teks atau menafsirkan teks atau Nash; Al-Qur’an dan Hadist, yaitu sebagai berikut; 1. Menaruh atensi mendalam pada konteks dan dinamika sosio-historisnya 2. Menyadari bahwa ada beberapa topik yang tidak dicakup oleh al-Qur’an karena waktunya belum tiba pada waktu diturunkannya al-Qur’an 3. Menyadari bahwa setiap pembacaan atas teks kitab suci harus dipandu oleh prinsip kasih sayang, justice dan fairness, 4. Mengetahui bahwa al-Qur’an mengenal hirarki nilai-nilai dan prinsip; 5. Mengetahui bahwa dibolehkan berpindah dari satu contoh yang kongkret pada generalisasi atau sebaliknya; 6. Kehati-hatian harus dilakukan ketika menggunakan teks lain dari tradisi klasik, khususnya yang berkaitan dengan otentisitasnya; 7. Fokus utama pada kebutuhan muslim
Edisi 3 tahun 2012
| 7
kontemporer. Kedua; Pemikiran Abdullah Saeed tentang Kreteria Muslim Progressif Dengan menerapkan ketujuh prinsip tersebut, maka akan terbentuk watak atau sikap seorang ummat yang disebut dengan muslim progressif, yaitu; 1. Berpandangan bahwa banyak hal dalam hukum Islam memerlukan perubahan dan reformasi yang substansial untuk memenuhi kebutuhan umat Islam sekarang ini. 2. Berpandangan bahwa berbagai perubahan sosial baik itu dalam hal intelektual, moral, hukum, ekonomi, ataupun teknologi harus tercerminkan dalam hukum Islam atau Islam Sholihun li kulli zamanin wa makanin 3. Bahwa untuk melakukan perubahan dan reformasi hokum Islam yang dapat memenuhi kebutuhan ummat Islam, maka menjadi keniscayaan untuk mengkombinasikanturast (keilmuan Islam tradisional) dengan ilmu-ilmu modern, atau keharusan menguasai keilmuan Islam dan ilmu modern 4. Pendekatan berfikirnya adalah ilmiahindependen, tidak dogmatis dan terikat ke salah salah satu dari mazhab baik itu dalam hal hukum maupun teologi. 5. Dalam berijtihad, harus menekankan pada keadilan sosial, kesetaraan gender, hak asasi manusia, dan hubungan harmonis antara Muslin dan nonMuslim. Bahkan Abdullah Saeed memberikan 10 kreteria yang lebih bersifat teknis yang membedakan muslim progresif dengan lainnya, yaitu; 1. Menunjukkan kemandirian dan rasa
8 |
nyaman (comfort) ketika menafsir ulang atau menerapkan kembali hukum dan prinsip-prinsip Islam, 2. Berkeyakinan bahwa keadilan gender adalah nilai yang ditegaskan dalam Islam, 3. Berpandangan bahwa semua agama secara inheren adalah sama dan harus dilindungi secara konstitusional, 4. Berpandangan bahwa semua manusia juga equal 5. Berpandangan bahwa keindahan (beauty) merupakan bagian inheren dari tradisi Islam baik yang ditemukan dalam seni, arsitektur, puisi atau musik, 6. Mendukung kebebasan berbicara, berkeyakinan dan berserikat, 7. Menunjukkan kasih sayang pada semua makhluk, 8. Menganggap bahwa hak “orang lain” itu ada dan perlu dihargai, 9. Memilih sikap moderat dan antikekerasan dalam menyelesaikan permasalahan masyarakatnya, 10. Menunjukkan kesukaan dan antusiasnya ketika mendiskusikan isu-isu yang berkaitan dengan peran agama dalam tataran publik. Dari kedua pemikiran Abdullah Saeed tentang prinsip-prinsip dalam menafsirkan nash dan kreteria muslim progressif, maka terlihat langkah kerja tentang konsep “fresh ijtihad” yang ditawarkannya, yaitu; 1. Tetap menjadikan nash (al-Qur’an dan hadist) bahkan teks (pemikiran ulama klasik) atau meminjam istilah Abid alJabiry turast sebagai sumber rujukan
Al-Ihkam: Jurnal Ahwal al-Syakhshiyah Fakultas Syariah
dalam ijtihad kontemporer. Sepintas tidak terlihat adanya progresivitas pemikiran Abdullah Saeed, karena pemikiran hokum klasik juga mensyaratkan hal demikian, bahkan Abdullah Saeed lebih cenderung menguatkan teori maqashid al-syari’ah atau Al-mashlahah al-Ammah yang telah eksis sebelumnya. Hanya saja, Abdullah Saeed menawarkan hal maju dari sisi memposiskan nash atau turast sebagai salah satu pihak yang disandingkan secara setara dengan problem kontemporer untuk dikontekskan; dibaca dan dinilai, menggunakan alat dan ilmu-ilmu modern. Bukan sebaliknya, Problem kontemporer dan ilmu-ilmu modern harus dibaca dan dinilai dengan menggunakan nash atau turast.Bahkan –salah satu—syarat yang paling maju ditawarkan Abdullah Saeed adalah “keberanian mujtahid untuk mengakui dan menyadari bahwa ada beberapa topik yang tidak dicakup oleh al-Qur’an karena waktunya belum tiba pada waktu diturunkannya alQur’an”. Hal ini dimaksudkan agar tidak memaksakan bahwa semua problem modernitas harus dicarikan rujukan teksnya secara spesialisnya pada nash (ayat berapa, suarat apa), melainkan dicukupkan dengan maqashid al-syari’ah yang outpunya adalah pertimbangan kemashlahatan manusia menurut manusia. 2. Sebagai konsekwensi dari syarat pertama, maka fresh ijtihad mensyaratkan penguasaan secara luas dan mendalam terhadap ilmu-ilmu modern sebagai alat analisisnya. Sebab, problem kontemporer --seperti keadilan sosial, kesetaraan gender, HAM dan hubungan harmonis muslim non muslim-- tidak akan dapat dipahami, dianalisis dan disimpulkan dengan baik, jika hanya menggunakan epistemologi keilmuan Islam, melainkan
menjadikan kemajuan atau modernitas sebagai satu titik yang didialogkan dengan teks atau nash(al-Qur’an dan hadist) guna mendapatkan kemaslahatan bagi manusia menurut manusia dengan mengunakan epistemologi keilmuan modern; social sciences dan humanities kontemporer dan filsafat kritis, sebagai pisau analisisnya.
C. Penutup Di satu sisi terjadi revolusikeilmuan dan interaksi social yang demikian dahsyat dan canggih, yang telah merubah pandangan dan kesadaran manusia secara universal mulai dari pentingnya harkat dan martabat manusia (human dignity), hubungan yang harmonis dan akrab antar ummat beragama (Greather inter-faith interaction), konsep negara –bangsa (nation-state) yang memperlakukansecara setara kepada semua warga negara (equal citizenship) dan mengarusutamakan kesetaraan gender (gender equality maenstreaming) dan akhirnya dideklarasikan HAM sebagai sumber nilai bersama dalam kapasitas sebagai Warga dunia (world citizenship). Namun, di sisi lain pemikiran dan tindakan mayoritas ummat Islam seringkali dinilai lamban –untuk tidak mengatakannya—serba terbelakang bila dihadapkan dengan perubahan-perubahan maha dahsyat yang terjadi dalam sejarah peradaban modern tersebut. Sehingga sering terjadi ketidakharmonisan antara Islam dan Modernitas, Islam dan Ilmu Pengetahuan dan seterusnya. Namun, Abdullah Saeed, mewakili cendekiawan muslim lainnya, justru menjadi nyaman (comfort) dengan ke-Islam-annya ketika menemukan adanya varian Islam yang justru wellcome dengan modernitas dan ilmu penegatahuan, kemudian mengembangkan dan menyebutnya sebagai progressive ijtihadist.
Edisi 3 tahun 2012
| 9
Progressive ijtihadi adalah salah satu trend pemikiran Islam kontemporer yang senantiasa mengkontekskan teks sesuai kondisi dan berkehendak untuk menjawab kebutuhana manusia sebagai manusia sekaligus bercita-cita mewujudkan slogan “alIslam Sholehun li kulli zamanin wa makanin”. Pelaku progressive ijtihadis adalah Muslim Progressif yang didambakan Abdullah Saeed sebagai jembatan penghubung antara Islam dan modernitas serta ilmu pengetahuan, karena didalam diri Muslim progressif tertanam pandangan tidak adanya benturan antara Islam dan modernitas yang diwujudkan dengan sikap kemandirian ummat dalam pemikiran keagamaannya atau menjadi mujtahid bagi dirinya dan bukan menjadi muqallid. Metode ijtihad yang ditawarkan adalan fresh ijtihad yang mengaharuskan penguasaan secara seimbang antara nash, turash dan ilmu-ilmu pengetahuan modern. Secara tidak langsung Abdullah Saeed ingin mengatakan dua hal. Pertama; kejumudan dan ketidak harmonisan Islam dengan modernitas disebabkan oleh beratnya persyaratan untuk mencapai posisi sebagai “mujtahid”, dan karena kebanyakan muslim menjadi bergantung/muqallid. Kedua, bahwa “pintu ijtihad” tidak pernah tertutup, bahkan sudah saatnya untuk terbuka dan dilakukan oleh setiap ummat beragama. Namun, tanpa disadari, Abdullah Saeed terjebak pada lubang yang sama, dimana sebelumnya juga tidak pernah ada statemen tegas tentang “tertutupnya pintu ijtihad”, melainkan tersirat dalam beragama teks klasik/turast yang mensyaratkan banyak hal untuk dapat menjadi mujtahid, yakni penguasaan nash dan turast yang ditopang oleh sikap dan perilaku yang “sholeh” dan “wara’”. Sedangkan Abdullah Saeed jutrsu semakin memperbanyak syaratnya, yakni penguasaan nash dan turast sekaligus pengusaan secara
mendalam terhadap social sciences dan humanities kontemporer dan filsafat kritis. Namun, hal menarik yang diambil dari pemikiran Abdullah Saeed adalah bahwa setiap perilaku ummat Islam harus berjalan berdasarkan hukum Islam, kapanpun dan dimanapun. Dan dia sangat berkeyakinan bahwa antara Islam dan modernitas tidak akan pernah ada masalah, selama ukurannya adalah kemashlahatan umum (al-mashlahah al-‘ammah). Dan hal ini hanya bisa didapatkan dengan penguasaan secara baik dan seimbang antara nash, turast dan modernitas itu sendiri dengan segenap perangkatnya masingmasing, kemudian diaktualisasikan dengan keberanian untuk melakukan ijtihad sendiri (otonom) dengan metode fresh ijtihad; kreatif, aplikatif dan fleksibel. Namun, bila problem modernitas semata-mata dibaca dengan lensa nash dan turast apalagi dengan paradigma text basedijtihad atau elected ijtihad, maka mesti akan menyisakan ketidakharmonis, seperti hubungan antar agama, baik dalam hal hidangan makanan, pernikahan, silaturrahmi, ucapan selamat hari raya, saling mendoakan, saling membantu dalam ibadah dan sebagainya. Belum lagi soalsoal ubudiyyah yang dituntut ada perubahan kaifiyyah, pemahaman dan sebagainya oleh karena factor situasi dan kondisi baik yang dipengaruhi alam maupun social dan politik, terutama di daerah-daerah minoritas, dan sebagainya. Wallahu a’lam bi al-Shawab
Daftar Pustaka Al-Jabiriy, Muhammad ’Abid, Takwin al-’Aql al-’Arabiy;(Beirut: Markaz Dirasat alWahdah al-’Arabiyyah, cet. VIII, 2008) Abu Zaid, Nasr Hamid, Tekstualitas AlQur’an; Kritik Terhadap Ulumul Qur’an; Edisi Revisi, Yogyakarta; LKiS, 1993 Abdullah, M. Amin, Islamic Studies di
10 |
Al-Ihkam: Jurnal Ahwal al-Syakhshiyah Fakultas Syariah
Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006 Ghazali, Muqshit, Abd, Argumen Pluralisme Agama,Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an, Jakarta, KataKita, 2009 Mawardi, Imam, Ahmad ; Fiqh Minorirtas; Fiqh Aqalliyat dan Evolusi Maqashid Al-Syari’ah dari Konsep ke Pendekaan, Yogyakarta; LkiS, 2010 Mutawalli; Persepsktif Muhammad alAsymawi Terhadap Historisitas Syari’ah, dalam Jurnal Ulumuna, Vol. XIII No. 1 tahun 2009 Saeed, Abdullah , Islamic Thought An Introduction (London and New York: Routledge, 2006) Saeed, Abdullah ,Interpreting the Qur’an: Towards a contemporary approach, New York NY, Routledge, 2006 Safi, Omid (Ed.), Progressive Muslims: On Justice, Gender and Pluralism, Oxford, Oneworld Publications, 2003. Sirry, A. Mun’im (Ed), Fiqh Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-
Pluralis, Jakarta, Paramadina, 2004 Syafe’I, Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1999 Selo,Soemardjan dan Soeleman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi, Jakarta, Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1974 Ramadan, Tariq, Western Muslims and the Future of Islam, New York : Oxford University Press, 2004, h. 24-28 Roy, Oliver, Geneologi Islam Radikal, Yogyakarta, Genta Press, 2005 Jurnal Tanwir, Edisi Ke 2 Vol.1, Wajah Pluralis Islam Modernis, Jakarta, PSAP Muhammadiyah, 2003 Jurnal Tashwir Afkar, no.12, Deformalisasi Syari’at, Jakarta, Lakpesdam NU, 2002 http://averozal.blogspot.com/2011/03/ sejarah-islam-di-australia-oleh-asep. html. http://www.indonesia.embassy.gov.au/ jaktindonesian/sistem_pemerintahan. html. http://www.abdullahsaeed.org/about-me. http://www.scribd.com/doc/47781516/ ISLAM-PROGRESIF
Edisi 3 tahun 2012
| 11