Tawaran Ijtihad Mohammad Iqbal..
TAWARAN IJTIHAD MOHAMMAD IQBAL Telaah Konsep Ijtihad Kolektif untuk Merespon Dinamika Kehidupan Umat Islam Ahmad Junaidi Dosen Tetap STAIN Jember E-mail:
[email protected] ABSTRAK Guna menunjang pemikiran dan pengembangan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat sekarang, sudah saatnya hukum Islam dikembangkan melalui kerangka filsafat ilmu dan kerangka sosiologi hukum dengan pendekatan sejarah sosial. Karena hukum secara sosiologis merupakan refleksi tata nilai yang diyakini masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tawaran epistemologi Iqbal memfokuskan pada asal usul ilmu dan alat-alat panca indra, akal dan intuisi yang digunakan untuk memperoleh ilmu. Namun, Iqbal lebih menekankan pada intuisi. Karena itu, ia menerapkan epistemologi idealisme/spiritualisme atau dengan istilah lain modern klasik. Iqbal mengimpikan, melalui logika ilmiah atau metodologi akan didapat bangunan ilmu yang cukup kokoh dan teranyam sistematis. Akan tetapi, akal yang ada pada konsep Iqbal belum berkembang menjadi logika dan pemikirannya terlalu intuitif. Meskipun demikian, ijtihad kolektif yang ditawarkan Iqbal dapat dijadikan sebuah kontrol dan pengawasan dalam laju perkembangan studi-studi Islam agar tetap survive-kreatifdinamis. Kata kunci: Indra, Akal, Intuisi, Ijtihad. PENDAHULUAN Berkembangnya pemahaman Islam yang semakin beragam, termasuk berkembangnya pemahaman radikal seperti fenomena ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) membuat sebagian kalangan meradang. ISIS yang dianggap berbuat biadab hanya disikapi dengan penolakan secara reaktif. Padahal sebagian besar perbuatan biadab mereka itu, di antaranya memenggal kepala
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
1
Ahmad Junaidi jurnalis Amerika, disebabkan pandangan-pandangan mereka terhadap hukum Islam. Seharusnyalah ketidaksetujuan itu dilakukan dengan pelemparan wacana lain sebagai isu alternatif. Tradisi studi hukum Islam kini telah berkembang sedemikian rupa. Pada awalnya studi hukum Islam lebih banyak didekati secara normatif-doktriner. Belajar hukum Islam berarti mempelajari doktrin-doktrin Islam yang harus ditaati dan diamalkan. Hal demikian tidak hanya terkait dengan hukum Islam, tetapi menyangkut hampir seluruh ilmu-ilmu keislaman seperti tafsir, hadits, tarikh, fiqh, usul fiqh dan sebagainya. Pendekatan normatif-doktriner ini biasanya menggunakan paradigma bayani di mana kaidah-kaidah kebahasaan (al-qawa‟id al-lughawiyah) menjadi poros yang paling utama. Tarikh Tasyri‟ pun yang semestinya menjadi basis pendekatan sosiologis, lebih banyak didekati secara doktriner. Guna menunjang pemikiran dan pengembangan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat sekarang sudah saatnya hukum Islam dikembangkan melalui kerangka filsafat ilmu dan kerangka sosiologi hukum dengan pendekatan sejarah sosial. Karena hukum secara sosiologis merupakan refleksi tata nilai yang diyakini masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini berarti bahwa muatan hukum selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang, bukan hanya bersifat kekinian, melainkan juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi dan politik masa depan. Pemikiran di atas menunjukkan bahwa hukum bukan sekedar norma statis yang mengutamakan kepastian dan ketertiban, melainkan juga norma-norma yang harus mampu mendinamisasikan pemikiran dan merekayasa perilaku masyarakat dalam mencapai cita-citanya.1 Dari kenyataan sejarah hukum Islam, ternyata faktor sosial budaya mempunyai pengaruh penting dalam mewarnai produkproduk pemikiran hukum Islam, baik berbentuk kitab fiqh, perundang-undangan di negeri muslim, keputusan pengadilan, 1Amrullah
Ahmad dkk (ed.), Fiqh (Hukum Islam) antara Pemikiran Teoretis dengan Praktis (Bandung: Fakultas Syari‟ah IAIN Sunan Gunung Djati, 1991), xi.
2
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Tawaran Ijtihad Mohammad Iqbal.. maupun fatwa-fatwa ulama‟. Oleh karena itu, apa yang disebut hukum Islam itu sebenarnya adalah produk pemikiran hukum Islam yang merupakan hasil interaksi antara yuris muslim sebagai pemikir dengan lingkungan sosialnya. Meskipun al-Quran dan Hadits mempunyai aturan yang bersifat hukum, tetapi jumlahnya amat sedikit dibanding dengan jumlah persoalan hidup yang memerlukan ketentuan hukumnya. Untuk mengisi kekurangan itu, para yuris muslim telah menggunakan akalnya dan hasilnya adalah produk pemikiran hukum yang ada sekarang ini. Apa warna atau bagaimana dinamika produk pemikiran hukum itu akan tergantung kepada keberanian para pemikir hukum Islam yang ada sekarang ini.2 Salah satu di antara pemikir itu adalah Mohammad Iqbal. PEMBAHASAN Fungsi Indra, Akal dan Intuisi untuk Memperoleh Ilmu Panca indra Basis filsafat Iqbal adalah al-Quran. Menurutnya, ayat-ayat al-Quran cukup banyak menggambarkan tentang panca indra manusia yang merupakan anugerah Allah, sekaligus merupakan amanah Allah yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Artikulasi ini disampaikan Iqbal ketika menanggapi pemikiran Plato yang memandang serapan ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui panca indra sekadar pendapat belaka dan bukan pengetahuan yang sebenarnya. Iqbal menolak pemikiran Plato tentang alam materi dan alam ideal yang diuraikannya karena berdampak buruk terhadap kehidupan. Menurutnya, pikiran tersebut mendorong manusia untuk meninggalkan alam nyata pada alam khayal dan meninggalkan kehidupan ini. Iqbal tidak meragukan lagi, bahwa alam materi adalah makhluk dan manusia harus menaklukkan dan menundukkan, serta mengantarkan pada tujuannya. Dalam usaha menundukkan alam ini timbul kekuatan jiwa manusiawi dan perkembangannya. Penciptaan langit, bumi dan isinya merupakan tanda kebesaran Tuhan dan mempunyai tujuan yang luhur, terutama M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), 127. 2
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
3
Ahmad Junaidi manfaat bagi umat manusia dan makhluk lainnya. Al-Quran mengakui, sikap empiris tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan rohani manusia. Ia sama pentingnya dan merupakan bagian dari pengalaman manusia yang membuahkan pengetahuan tentang kenyataan terakhir yang menampakkan tandanya lahir ataupun batin. Untuk mengadakan hubungan dengan realitas yang dihadapkan kepada manusia, penyelidikan dan pengawasan yang teliti tentang tanda-tanda itu dapat diketahui dengan menampakkan diri pada tanggapan pengindraan.3 Kemampuan indra terletak pada daya penang benda-benda material. Bendabenda material itulah objek kajiannya. Katanya, ”Mataku menyaksikan seluruh rona benda-benda dengan jaringnya yang sempurna, ia tangkap dunia”.4 Jadi, alat yang pertama kali digunakan adalah panca indra. Menurut Iqbal, tahap ini merupakan ilmu yang paling dasar dan paling rendah. Melalui panca indra, manusia dapat menyerap informasi dari luar diri manusia (alam) dan merupakan tahap awal. Mohammad Iqbal menggunakan kata pengetahuan dalam pengertian pengetahuan berdasarkan panca indra. Pengetahuan ini akan menjadi kekuatan jika diabdikan bagi agama, tetapi jika tidak maka ia akan menjadi kekuatan setan.5 Pengetahuan ini merupakan tahap awal. Seperti ungkapannya, dalam Javid Nama, ”Pengetahuan yang benar akan diperoleh melalui panca indra, kemudian melalui realitas. Akan tetapi, pada tingkat yang paling tinggi tidak cukup dengan kesadaran”.6 Tujuan akhir semua aktifitas manusia adalah hidup bergairah, kekuatan dan kebahagiaan. Semua seni manusia haruslah diabdikan untuk tujuan terakhir ini, dan nilai segala sesuatu harus didefinisikan untuk kembali pada kemampuan hidupnya untuk menghadapi ujian-ujian hidup manusia, membuka mata pada realitas sekeliling adalah suatu keniscayaan Mohammad Iqbal, The Reconstruction of…, 14. Mohammad Iqbal, Payam-I Masyriq, terj. Hadi WM. Dalam Danusiri, Epistemologi dalam Tasawuf Iqbal, Cet. I., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 45. 5 Mohammad Iqbal, The Reconstruction of…, 20-22. 6 Ibid., 3 4
4
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Tawaran Ijtihad Mohammad Iqbal.. untuk menguasainya.7 Perhatian Iqbal tentang peran panca indra, baik sebagai alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan maupun sebagai sumber ilmu cukup jelas. Panca indra dinilai sebagai pembuka awal ditemukannya realitas yang perlu ditindaklanjuti dengan alat lain untuk memperoleh pengetahuan yang lebih lengkap dan sempurna. Namun, untuk memperoleh ilmu tidak selamanya dimulai melalui panca indra, karena kadang-kadang ilmu dapat diperoleh tidak melalui panca indra terlebih dahulu, kemudian melalui akal dan intuisi. Sebaliknya, melalui intuisi terlebih dahulu, kemudian melalui panca indra dan seterusnya, seperti dapat dilihat dari ungkapan selanjutnya. Akal Pandangan Mohammad Iqbal tentang eksistensi berdasarkan konsepnya tentang unitas dan kontinuitas semua aspek wujud tanpa sekat-sekat. Ia berusaha memperlihatkan kesatuan organik semua aspek wujud secara normatif, filosofis dan ilmiah melalui analisis akal. Realitas mutlak akan memperlihatkan simbolsimbolnya di dalam ataupun di luar. Baik sikap empirik maupun rasional tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan spiritual manusia.8 Iqbal tidak bisa memisahkan wilayah kajian ilmu empirik-rasional dengan kehidupan spiritualitasnya, sehingga sering terjadi kesulitan, berputar di sekitar area normatif-teologis dan sulit untuk memperoleh sesuatu yang baru. Akal memiliki potensi tidak terbatas sebagaimana biji yang di dalamnya terdapat kesatuan organik dari pohon ketika hadir dalam realitas.9 Pandangan integratif Mohammad Iqbal ini terilhami oleh alQuran di mana panca indra, akal dan intuisi yang bersumber dari apa yang disebut fu`ad/hati, semuanya dalam usaha untuk
Ibid., Mohammad Iqbal, The Reconstruction of…, 14. Lihat pula Khalifah Abdul Hakim “Renaissance in Indo Pakistan (Continued): Iqbal” dalam M. M. Sharif (ed.) A History of Muslim Philosphy, vol. II (Jerman: Otto Harrasowitz, 1966), 1625. 9 Ibid., 7 8
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
5
Ahmad Junaidi mendekatkan pada Realitas Mutlak.10 Unitas ini konsisten dalam semua perbedaan, yaitu hubungan secara organik. Ketiga-tiganya merupakan sumber pengetahuan di samping sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan, satu sama lain saling melengkapi. Intelek yang dipisahkan dari cinta adalah kejahatan (seperti setan), sedangkan intelek yang berpasangan dengan cinta memiliki sifat ketuhanan.11 Intelek adalah suatu keniscayaan karena ia akan memformulasi ide-ide, memegangi maknanya, mengakses manfaatnya, membuat, menguji dan mengatur rencana-rencana. Kegiatan intelektual tidak dapat digoyahkan oleh emosi. Ia cenderung objektif. Sementara cinta membentuk bagian dari rasa keagamaan yang emosional.12 Akal di mana ide-ide diarahkan ke sana memiliki hubungan organik antara rasa dan ide di mana yang pertama mendasari agama, sedangkan yang kedua menyusun bentuk ilmiah dari akal.13 Kebenaran adalah keberagamaan dan proses ilmiah. Meskipun melibatkan berbagai metode, keduanya memiliki tujuan yang sama. Tujuannya adalah menemukan yang real. Hanya, agama lebih dari sekedar kesadaran untuk mencapai Realitas Mutlak daripada ilmu pengetahuan.14 Iqbal membedakan antara pengetahuan ilmiah dan agama, bahwa pengetahuan mencari kebahagiaan dari penelitian, cinta mencari kebahagiaan dari penciptaan, pengetahuan berasal dari 10 “(7) yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. (8) kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. (9) kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”. Lihat Mohammad Iqbal, The Reconstruction of…, 15. 11 Ibid., 22. 12 Ibid., 13 Ibid., 14 Ibid., 195-196.
6
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Tawaran Ijtihad Mohammad Iqbal.. intelek, cinta ada dalam kesadaran hati yang luas”.15 Iqbal menulis, ”Religions stand in greater need a rational foundation of its Ultimate principles”.16 Jadi, agama tidak berarti manakala akal pikiran dikurung dan dipasung untuk tidak berpikir kritis dalam memahami dan melaksanakan agama secara wajar. Iqbal melihat kekuatan dan gerakan luar biasa : “In its deeper movement, however, thought is capable of reaching an immanent Infinite in whose self-unfolding movement the various finite concepts are merely movements. …then, thought is not static; it is dynamic and unfolds is internal infinitude in time like the seed which, from the very beginning, carries within itself the organic unity of tree as present fact”.17 (Dalam gerakannya yang lebih dalam, sungguhpun begitu pikiran mampu mencapai sesuatu yang sempurna dan tidak terbatas, yang immanen, yang dalam gerakan pernyataan dirinya berbagai konsep serba terbatas itu hanyalah sementara, pikiran tidak statis, ia dinamis dan membuka ketidakterbatasannya yang internal dalam waktu seperti biji yang sejak semula dalam dirinya mengandung kesatuan organik dari pohon seperti dalam fakta)”. Mencermati tata kelakuan akal yang begitu tegar, maka tidak ada yang tabu bagi akal. Dengan akal, manusia dilengkapi kemampuan memberi nama pada benda-benda, membentuk konsep-konsepnya. Dengan begitu, manusia diharapkan mampu menjadi penemu ilmu pengetahuan modern.18 Meski mengakui keunggulan akal, Iqbal tidak sepenuhnya percaya pada akal karena terkadang akal menyesatkan. Di sini, peran intuisi/hati, ‟isyq (cinta sangat diperlukan agar manusia memiliki sifat ketuhanan), seperti ungkapannya “Intellect, divorced from Love, is rebel (like Satan), while intellect, wedded to Love, has divine
“Iqbal‟s Concept of Knowledge” dalam Lini S. May, Iqbal His Life and Time (Lahor: Ashraf Press, Cet. I, 1974), 310. 16 Danusiri, Epistemologi dalam Tasawuf Iqbal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 1996), 46. 17 Mohammad Iqbal, The Reconstruction of..., 46. 18 Ibid., 12-13. 15
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
7
Ahmad Junaidi attributes”.19 Uraian Iqbal tentang kerja akal sebagai salah satu alat untuk memahami ilmu pengetahuan sangat bagus. Ia memiliki potensi yang luar biasa karena jika dikembangkan mampu memformulasi ide-ide, menemukan makna, menguji dan mengatur rencana,20 mencari kebahagiaan melalui penelitian dan cara kerjanya begitu bebas sehingga tidak dapat digoyahkan oleh emosi. Melalui intelek, manusia memperoleh ilmu dengan jalan penelitian, bahkan agama dinilai sebagai tidak bermakna tanpa keterlibatan akal di dalamnya,21 hingga Iqbal memiliki harapan, bahwa melalui kerja akal yang optimal, manusia mampu menjadi penemu ilmu pengetahuan modern.22 Tetapi Iqbal tidak sepenuhnya percaya pada kemampuan akal karena terkadang akal menyesatkan dan ia perlu menyempurnakan fungsi akal dengan intuisi atau hati, cinta dan‟isyq. Intuisi Tuhan sebagai objek kajian metafisika memiliki kekhususan dibandingkan kedua objek lainnya; manusia dan alam semesta. Apabila manifestasi lahiriah dari semesta ataupun jiwa dapat ditangkap indra, maka hal yang sama tidak berlaku bagi realitas ketuhanan. Tuhan adalah suatu yang mutlak tidak dapat ditangkap indra.23 Metafisika yang mengkaji tentang Tuhan disebut filsafat ketuhanan (teologi naturalis) untuk membedakannya dari teologi adikodrati atau teologi wahyu. Apabila filsafat ketuhanan mengambil Tuhan sebagai titik akhir atau kesimpulan seluruh kajiannya, maka teologi wahyu memandang Tuhan sebagai titik awal pembahasannya.24 Filsafat ketuhanan berurusan dengan pembuktian kebenaran adanya Tuhan berdasarkan penalaran manusia. Filsafat ketuhanan (teologi naturalis) tidak mempersoalkan eksistensi Tuhan, disiplin tersebut hanya ingin menggarisbawahi bahwa apabila tidak ada K. G. Saiyidain, “Iqbal‟s Educational Philosophy” dalam Lini S. May, Iqbal His Life…, 308 20 Mohammad Iqbal, The Reconstruction of..., 147. 21 Danusiri, Epistemologi…10. 22 Mohammad Iqbal, The Reconstruction of..., 12-13. 23 Donny Gahral Adian, Mohammad…, 59. 24 Ibid., 60. 19
8
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Tawaran Ijtihad Mohammad Iqbal.. penyebab pertama yang tidak disebabkan maka kedudukan benda-benda yang relative-kontingen tidak dapat dipahami akal. Ada tiga argumen besar dalam filsafat ketuhanan, yaitu argumen kosmologis mengungkapkan bahwa Tuhan harus ada karena kalau tidak, akan ada rangkaian kausalitas yang tidak terhingga untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa. Argumen teleologis mengungkapkan, bahwa dari struktur finalitas realitas dapat ditarik kesimpulan adanya sang Pencipta yang menerapkan struktur tersebut. Adapun argumen ontologis mengemukakan, bahwa Tuhan ada karena kita memikirkan dan memprediksikan eksistensi terhadap Diri-Nya.25 Secara tegas, Iqbal menolak argumen-argumen para filsuf skolastik. Baginya, argumen-argumen tersebut telah menemui kegagalan. Selain tampak sebagai suatu interpretasi pengalaman yang dibuat-buat, menurutnya argumen tersebut mengandung kesesatan logis. Iqbal menyebutkan kegagalannya di antaranya karena dipaksakannya dualisme epistemologis, yaitu pemisahan antara pikiran dan wujud (being). Padahal, dalam argumenargumen itu sendiri sebenarnya telah tersirat bahwa pikiran dan wujud pada akhirnya merupakan satu kesatuan. Dalil kosmologis yang menghentikan rentetan sebab akibat pada satu titik dianggapnya telah gagal total. Hal itu berarti mempermainkan hukum kausalitas itu sendiri. Dalil teologis yang bermaksud menemukan sifat dari sebab itu, juga tidak lebih baik. Menurutnya, argumen ini mengandung dasar analogi yang tidak berharga karena mereduksikan Tuhan hanya sebagai penggerak semata dari suatu bentukan yang tidak sempurna, laiknya seorang ahli mesin. Dalil ini telah menempatkan kedudukan pencipta seperti tukang yang di luar ciptaan-Nya. Demikian pula, dalil ontologis yang berpangkal pada akal spekulatif mengandung kesesatan logis. Bagaimanapun, alam yang memperlihatkan perubahan tidak dapat menciptakan ide tentang Wujud Yang Sempurna. Selain itu, konsep mengenai wujud tersebut bukanlah bukti dari wujud objektif. Artinya, dalil ini telah melompat dari dalil yang logis terhadap yang hakiki.26 Iqbal sepakat dengan Kant bahwa 25Mohammad 26
Iqbal, The Reconstruction of..., 27-28.
Ibid., 29.
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
9
Ahmad Junaidi rasio manusia memiliki keterbatasan dalam mengetahui hakikat Tuhan. Iqbal meyakini, bahwa manusia memperoleh pengalaman tentang Tuhan secara langsung melalui proses intuisi dalam pengalaman religius.27 Konsep intuisi Iqbal berbeda dengan mistikus. Jika kaum mistikus menekankan kontak langsung dengan Tuhan melalui proses intuisi, Iqbal menolak dengan mengatakan, bahwa apa yang pertama-tama tersingkap secara kuat lewat intuisi adalah keberadaan ego atau diri yang kreatif, bebas dan imortal. Ketika Iqbal berbicara tentang intuisi, kadang-kadang ia mengartikan dengan qalb, fu`ad (heart), ‟isyq, insight dan cinta. Dengan demikian, ia memberikan arti ganda terhadap intuisi meskipun masingmasing pengertiannya masih saling bersentuhan. Satu sisi, ia mengikuti Jalaluddin al-Rumi : ”The ‟heart‟ is kind of inner intuition or insight which in the beautiful word of Rumi, feeds on rays of the sun and bring us into contact with aspects of Reality other than those open to sense-perception”.28 Artinya: “hati adalah sejenis intuisi batin atau wawasan yang dengan kata-kata Rumi yang indah yang hidup dari sinar matahari dan mengenalkan pada masalah-masalah realitas selain dari yang terbuka bagi serapan indra. Dari sini jelas sekali, bahwa sebenarnya cara kerja intuisi amat berbeda dengan kerja akal ataupun panca indra. Yang pertama di luar realitas (batin), sedangkan cara kerja yang kedua dan ketiga ada pada tataran realitas-nyata-kongkret, dan inilah wilayah ilmu pengetahuan. Penelitian secara saksama akan mencermati apakah Iqbal tetap konsisten dengan pandangannya tentang fungsi intuisi”. Pada kesempatan lain, Iqbal mengikuti Bergson, mendefinisikan intuisi sebagai a higher of intellect.29 Seperti diungkapkan Jaques, intuisi merupakan bentuk yang lebih tinggi dari pengetahuan yang dapat menyentuh batin yang hidup dalam wilayah apresiasi seni, cinta. Seperti diungkapkan Jaques, intuisi Ibid., 30. Ibid., 15. 29 Ibid., 3. 27 28
10
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Tawaran Ijtihad Mohammad Iqbal.. merupakan bentuk yang lebih tinggi dari pengetahuan yang dapat menyentuh batin yang hidup dalam wilayah apresiasi seni, cinta, persahabatan, moralitas dan perkembangan batin itu sendiri.30 Terlebih lagi, ketika Iqbal setuju dengan intuisinya Bergson, berarti ia mengakui kerja intuisi yang berkaitan dengan wilayah yang bersifat batiniah. Hal ini jelas sekali, seperti pada ungkapan Iqbal dalam menolak pembuktian adanya realitas Tuhan melalui akal seperti yang dilakukan para filsuf. Iqbal tetap memandang puncak alat manusia dalam memperoleh ilmu pengetahuan adalah intuisi, atau yang sering disebut oleh Iqbal sebagai ‟isyq, cinta, ego atau diri. Iqbal memberikan suatu ilustrasi, bahwa ketika seseorang menyaksikan langit, kemudian ia menyimpulkan langit biru, ia memberi penjelasan bahwa keputusan langit biru hanyalah hasil kesan dari kesadaran. Warna biru di langit bukanlah kualitas pada langit.31 Dalam kasus ini, keputusan biru pada langit merupakan hasil keputusan akal. Hal ini jelas terbukti, bahwa indra tidak mandiri, tetapi bergantung pada intuisi dan akal, sehingga meninggalkan kesan dalam batin, sementara itu akal memberikan keputusan. Berdasarkan dominitas pengenalan terhadap objek oleh indra, akal dan intuisi, Iqbal mengadakan pembidangan meskipun semu wilayah garapnya. Dengan bantuan indra, akal menangkap kebenaran secara sepotong-sepotong atau fragmentaris. Intuisi menangkap kebenaran secara menyeluruh. Maksudnya, kebenaran yang dicapai intuisi bersifat final.32 Keputusan persepsi indra (dan akal) bisa mendatangkan keraguan, sementara intuisi menetapkan kepercayaan dan hasil tangkapannya tidak pernah salah.33 Beberapa pernyataan Iqbal membawa pada kontroversi. Misalnya, keseluruhan pengalaman mistik yang selalu melalui intuisi bersifat langsung, sekejap sama seperti pengalaman-
Jaques P., Thiroux Philosophy: Theory and Practise, (New York: Macmillan Publishing Company, 1985), 481. 31 Mohammad Iqbal, The Reconstruction of..., 32. 32 Ibid.,2. 33 Ibid.,15. 30
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
11
Ahmad Junaidi pengalaman lain,34 tidak dapat dianalisis, lebih banyak merupakan perasaan dari pada pikiran.35 Ketika berbicara tentang intuisi, Iqbal selalu mengaitkan dengan masalah-masalah metafisika, misalnya tentang Realitas Mutlak atau Tuhan. “As region of normal experience are subject to interpretation of sense-data for our knowledge of external world, so the region of mystic experience is subject to interpretation for our knowledge of God”36. Iqbal meyakini, pengetahuan yang diperoleh dari serapan indra dan akal disebut ilmu yang setiap saat bisa berubah sesuai dengan penemuan-penemuan baru. Pengetahuan yang diperoleh intuisi disebut ilmu yang hakiki, „isyq atau cinta. Karena „isyq atau cinta sebagai ilmu yang hakiki, ia menjadi pembimbing bagi ilmu biasa dan faktor dominan dalam pengembangan diri. Pada awalnya, Iqbal berusaha untuk berlaku seimbang terhadap fungsi indra, akal dan intuisi, namun akhirnya ia lebih menekankan peran intuisi. Ketika berbicara tentang intuisi, ia selalu mengaitkan dengan masalah-masalah metafisik, seperti Realitas Mutlak. Pengalaman agama tidak dapat dikomunikasikan pada yang lain, kecuali dapat dilihat dari hasilnya. Ia sebut-sebut melalui tes pragmatis, yaitu lahirnya suatu kebahagiaan. Jika seseorang ingin melihat orang lain mengalami suatu pengalaman keagamaan, melalui intuisi akan terlihat kebahagiaan memancar dari dirinya.37 Dengan kata lain, pengalaman intuitif tidak dapat diteliti dan dianalisis secara ilmiah, kecuali hanya dapat dirasakan dan dilihat bekasnya, sehingga hanya dapat dilakukan pada tataran metafisik. Untuk masalah yang kongkret, peran indra dan akal memerlukan porsi yang lebih tinggi. Hal ini dalam pemikiran Iqbal kurang begitu ditekankan. Terlebih lagi, dalam syairnya ia senantiasa menonjolkan nama Nabi Muhamad SAW yang sangat menghargai otoritas dan otonomi akal sehingga hasil kerja keras akal yang salah sekalipun akan tetap mendapat nilai (pahala). Ibid.,17. Ibid.18 36 Ibid., 37 Ibid., 27. 34 35
12
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Tawaran Ijtihad Mohammad Iqbal.. Secara seksama, hasil penelitian terhadap akar-akar epistemologi Mohammad Iqbal tentang panca indra, akal dan intuisi yang semula diusahakan dapat mengatasi kesulitan epistemologi Plato dan dapat membantu keterbelakangan umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan bidang lainnya masih belum mampu -kalau tidak boleh dikatakan tidak- memberikan arti yang signifikan karena pada akhirnya Iqbal terjebak pada kritiknya sendiri terhadap dunia ide yang diungkapkan dalam Asrar-I Khudi atau penegasannya dalam The Reconstruction of Religious Thougt in Islam seperti telah disinggung. Dalam hal ini, Iqbal lebih mengunggulkan intuisi daripada indra dan akal. Bahkan, ia meyakini kebenaran intuisi yang niscaya, persis seperti keyakinan Plato terhadap alam ide. Pendapat Iqbal tentang intuisi mirip sekali dengan pendapat Descartes, terutama klaimnya tentang ide bawaan karena pemberian Tuhan. Jadi, epistemologi Iqbal masih bersifat dogmatis-intuitif. Konsep Ijtihad menurut Iqbal Pemberlakuan ijtihad sebenarnya telah ada sejak zaman Rasulullah Saw. Bermula ketika Muhammad Saw. memerintahkan kepada Mu‟adz ibn Jabal untuk memimpin suatu peperangan, seperti diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud. “Dari Unas penduduk Hams sahabat Mu‟adz ibn Jabal, sesungguhnya Rasulullah SAW bermaksud mengutus Muadz (untuk memimpin perang) ke Yaman tidak menemukan di kitabullah?” Ia bertanya, “Bagaimana engkau akan memutuskan apabila menghadapi suatu perkara?” Mu‟adz menjawab, ”Aku akan memutuskan dengan kitabullah (al-Quran).” Nabi bertanya (kembali), ”Apabila engkau tidak menemukan di kitabullah?” Mu‟adz menjawab, ”Dengan sunnah Rasulullah SAW.” Nabi bertanya kembali, ”Jika kamu tidak menemukan dalam sunnah Rasul maupun kitabullah?” Mu‟adz menjawab, ”Aku akan bersungguh-sungguh (ijtihad) dengan menggunakan akalku.” Maka Rasulullah SAW menepuk dadanya dan bersabda, ”Segala puji bagi Allah karena pandangan Rasulullah sesuai dengan utusan Rasulullah
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
13
Ahmad Junaidi SAW.”38 Secara literal, ijtihad berasal dari kata ijtahada-yajtahiduijtihadan, artinya bekerja keras, bersungguh-sungguh.39 Secara terminologis, ijtihad adalah usaha keras untuk menentukan suatu hukum dalam permasalahan yang tidak ada ketentuannya dalam al-Quran dan Sunnah.40 Ijtihad dan ijma‟ adalah pelengkappelengkap yang diperlukan sehingga sunnah –tingkah laku yang merupakan tauladan- semakin disempurnakan.41 Pemberlakuan ijtihad di kalangan para sahabat terus berjalan sejak khalifah Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Talib. Metode Ijtihad sebagai Alat untuk Mempertautkan Fungsi Indra, Akal dan Intuisi Iqbal menyadari dengan sesungguhnya, bahwa manusialah satu-satunya makhluk Tuhan yang dianugerahi kemampuan kreatif. Ia mampu mengolah alam yang mentah menjadi sesuatu yang baru. Karena itu, manusia terletak di dalam jantung kehidupan kreatifitas Tuhan. Manusialah makhluk yang dipilih 38Muhammad
Muhyi al-Din „Abd al-Hamid, Sunan Abi Dawud, (Bandung: Dahlan, tt), Juz III, 303. 39Luis Ma`luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‟lam, (Bayrut: Dar alMashriq, 1987), 105-6. 40Ijtihad dilakukan ketika tidak lagi dapat ditempuh analogi (al-qiyas) secara langsung terhadap ketentuan hukum yang telah diketahui. Di kalangan Sunni, ijtihad terus diberlakukan setelah wafatnya al-Khulafa‟ alRashidun melalui para imam madzhab, tetapi setelah kokoh imam madzhab empat: Imam Malik, Imam Ahmad ibn Hanbal, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‟i diberlakukan persyaratan yang begitu ketat, ruang gerak yang semakin sempit dan terbatas, bahkan peran seorang hakimpun sangat terikat dengan ijtihad salah satu madzhab dan akhirnya pintu ijtihad benarbenar tertutup dan berhenti pada keempat imam madzhab tersebut. Sementara di kalangan Syi‟ah, ijtihad merupakan hak prerogative otoritas keagamaan (ulama) Syi‟ah. Khusus bagi Syi‟ah Akhbari, ijtihad dilakukan oleh para imam, kecuali apabila mereka tidak dapat dilakukan oleh ulama besar, mujtahid yang diakui. Misalnya, umat Islam Syi‟ah yang melakukan ibadah haji, boleh thawaf di lantai masjid, tetapi ijtihad hanya berlaku bagi para pengikutnya. Cyril Glassicn, Ensiklopedi Islam: Ringkas, terj. Ghufron A. Mas‟udi (Jakarta: RajaGrafindo Persada: Ed. I, 1999), 161-2. 41 Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, terj. Anas Mahyudin (Bandung: Pustaka, Cet. III, 1995), 17.
14
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Tawaran Ijtihad Mohammad Iqbal.. Tuhan untuk suatu tugas besar di muka bumi. Iqbal menemukan bahwa dalam diri manusia itu sendiri terdapat seperangkat alat yang berfungsi untuk memperoleh ilmu pengetahuan, seperti panca indra, akal dan intuisi. Bahkan ia mengajukan perlunya dibuka kembali pintu ijtihad, sebagai prinsip gerak dalam Islam untuk menghilangkan kebekuan dan kejumudan dalam berpikir. Kedudukan ijtihad dalam Islam amatlah penting. Ijtihad berperan sebagai ruh dari dinamika hukum Islam. Dengan kata lain, ijtihad adalah modal penting agar hukum Islam senantiasa dapat menjawab tantangan perkembangan zaman. Apalagi, jika mencermati pengertian ijtihad dalam perkembangan yang panjang, begitu luas cakupannya. Pada kenyataannya, ijtihad memang dilakukan di berbagai bidang sejak khalifah Umar ibn Khattab dan para tokoh yang datang kemudian hari. Umar ibn Khattab, salah seorang sahabat Nabi yang tidak hanya terkenal gagah berani, tetapi juga genius, bahkan dikenal sebagai pelopor pengembang ijtihad.42 Ia mengemukakan prinsipprinsip yang perlu dilakukan dalam ijtihad, antara lain: 1. Pencurahan usaha dan kemampuan semaksimal mungkin seorang faqih. 2. Tujuan ijtihad adalah untuk mencapai hukum yang dhanni dan demi kemaslahatan umat dalam usaha memperoleh rasa keadilan yang sama. 3. Yang dituju ijtihad adalah hukum yang bersifat amali. 4. Cara untuk mendapatkan hukum yang dituju melalui istinbath. 5. Objek ijtihad hanyalah pada dalil-dalil yang dhanni atau tidak ada dalilnya sama sekali.43 Umar ibn Khattab melakukan ijtihad dalam menentukan kalender/ penanggalan Islam,44 masalah almu`allafah qulubuhum, orang yang baru masuk Islam yang perlu dilunakkan hatinya, dalam membagi zakat, tanah rampasan perang, dera bagi peminum minuman keras, hukuman potong tangan bagi pencuri dan talak tiga.45 Umar berijtihad dengan
M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad..., 32. Ibid., 33, 60. 44 Mahmud al-„Alusi, Fi Tafsir al-Qur`an al-„Adhim wa al-Sab‟i alMathani, (Misr: Dar al-Fikr, Jilid V, tt), 90. 45M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad..., 39-57. 42 43
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
15
Ahmad Junaidi menggunakan metode ijma‟46 dan qiyas.47 Pada perkembangan selanjutnya, ijtihad terus dilakukan oleh imam madzhab empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Ahmad ibn Hanbal, namun setelah kedudukan imam empat ini menjadi kokoh. Ijtihad mulai diberlakukan secara ketat, bahkan terkesan mandeg. Setelah ijtihad diformulasikan terutama pada abad pertengahan tidak lagi melibatkan/menggunakan sunnah ataupun ijma‟ sehingga ijtihad berubah menjadi bersifat formal.48 Pandangan teologis yang muncul pada waktu itu yang anti rasional pun ikut memengaruhi sikap mereka terhadap pemikiran hukum,49 hingga muncul nama-nama seperti Ibnu Taymiyyah, Sayid Ahmad Khan, Jamaludin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Semuanya menuntut dibukanya kembali pintu ijtihad. Mereka mulai melakukan gerakan ijtihad sesuai dengan tuntutan zaman. Ibnu Taymiyyah (1263-1328 M) memiliki prinsip muwafaqat sarih al-ma‟qul li salih al-manqal (pendapat akal sesuai dengan wahyu).50 Ia dianggap sebagai titik yang menentukan antara periode klasik Islam dan periode pertengahan. Pemikiran ijtihad meliputi bidang kalam, etika dan metodologi hukum Islam atau ushul fiqh dengan tetap berpegang pada al-Quran dan alSunnah.51 Jamaludin al-Afghani (wafat 1897 M) adalah seorang politikus besar yang menyebarkan semangat pemberontakan terhadap imperialisme-kolonialisme sebagai usaha untuk melepaskan umat Islam dari bangsa Barat dengan membentuk Pan-Islamisme.52 Muhammad Abduh (wafat 1905) justru berbeda 46Ijma‟
adalah kesepakatan para sahabat dalam memutuskan suatu hukum yang belum ada ketetapannya, baik dalam al-Quran maupun hadits. 47Qiyas adalah cara memutuskan suatu hukum dengan jalan menganalogkan perkara yang akan diputuskan dengan membandingkan perkara yang sudah ada karena ada „illat (alasan/penyebab) yang sama. 48 Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, terj. Anas Mahyudin, (Bandung: Pustaka, cet. III, 1995), 229. 49 Ibid., 50 Juhaya S. Praja, “Epistemologi Ibn Tamiyah” dalam Jurnal Ulumul Quran, No. 7, vol. II, 1990, 74. 51 Ibid., 75. 52 H. A. Mukti Ali, Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan dan Muhammad Iqbal, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 13-14.
16
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Tawaran Ijtihad Mohammad Iqbal.. dengan gurunya. Ia melihat masyarakat berpecah belah karena fanatik terhadap satu madzhab (aliran), maka ia menyerukan agar umat Islam kembali pada al-Quran dan Hadits dan memahami agama menurut garis salaf. Ia melakukan kritik terhadap Jabbariyah dan memberikan kebebasan pada akal yang dipandang sebagai nikmat Allah, kritik terhadap para ulama al-Azhar yang dipandang bertanggung jawab karena telah mengajarkan kepada para mahasiswa dengan buku-buku yang penuh pertentangan dan amat berpengaruh pada jalan pikir dan perilaku mereka. Abduh berusaha mengintegrasikan pendidikan Barat ke dalam pendidikan tinggi di al-Azhar Mesir karena pengalamannya, bahwa Barat maju melalui pendidikan.53 Memerhatikan pemberlakuan ijtihad yang dilakukan oleh berbagai tokoh dari masa ke masa secara historis dapat ditarik benang merahnya, bahwa apa yang mereka lakukan terutama dalam wilayah amaliyah-historisitas keberagamaan umat, dan bahwa ijtihad yang mereka lakukan adalah dalam usaha menggunakan kemampuan akal secara optimal sesuai dengan nama ijtihad itu sendiri. Atau dengan kata lain, mereka menuju ke arah rasionalisme, liberalisme, dan radikalisme berpikir dengan tetap didampingi teologi salaf. Jadi, ijtihad yang dilakukan umat Islam tetap di bawah bayang-bayang atau otoritas wahyu. Menurut Iqbal, ijtihad secara etimologi berarti daya upaya, sedangkan menurut terminologi Islam ijtihad adalah berusaha keras dengan maksud hendak membuat satu ketetapan bebas mengenai suatu masalah hukum. Ide ini berasal dari QS. alAnkabut (29: 69). Hal ini diperkuat oleh hadits Rasulullah SAW yang memberikan izin untuk berijtihad kepada Mu‟adz ibn Jabal ketika akan menetapkan satu perkara setelah tidak menemukan ketetapan yang dimaksud, baik di dalam al-Quran maupun Hadits. Dengan pendidikan dan pengalamannya, Iqbal -seperti reformis Islam yang lain- mencerminkan adanya pengaruh Barat ataupun Islam. Ia mengenali romantika keagamaan dengan menyadari zaman gemilang Islam pada masa silam. Akan tetapi, H. M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang….., 84-85. Lihat pula H. A. Mukti Ali, Ijtihad dalam Pandangan…., 36-53. 53
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
17
Ahmad Junaidi ia juga seperti seorang realis yang mampu memahami keniscayaan dan kebutuhan perubahan serta pembaruan Islam. Ia adalah produk Islam di India sehingga mampu menikmati dua warisan, yakni aspek Islam dan aspek India secara bersamaan. Iqbal hidup di tengah-tengah minoritas Islam yang berdampingan tidak saja dengan suatu mayoritas Hindu, tetapi juga dengan pemerintah kolonial Inggris. Tiada hari lagi kekuasaan Islam yang membanggakan. Ia berkeyakinan, bahwa intelektualisme Hindu dan Pantheisme Sufi sangat mengurangi kemampuan komunitas muslim untuk bertindak. Juga ketegangan-ketegangan baru dan pertikaian komunal antara masyarakat Hindu dan Muslim. Kondisi ini menjadikan Mohammad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah (1876-1948) dari Muslim League semakin prihatin terhadap masa depan minoritas Muslim dalam negara sekuler di bawah dominasi Hindu. Perbedaan-perbedaan komunal dan kecurigaan dalam masa sejarah yang panjang -bisakah kaum muslim meyakini- bahwa komunal bukan identitas dan kepentingan nasional tidak akan merupakan faktor yang menentukan kelak dalam politik India mereka. Sebagai makhluk, manusia secara fungsional akan selalu berhubungan dengan suatu proses dunia yang bebas. Satusatunya hidup yang dikenal adalah kehendak, usaha, kegagalan atau kemenangan. Satu perkembangan yang berkelanjutan dari satu keadaan ke keadaan yang lainnya yang lebih baik dan menuju kesempurnaan. Dari sudut ini, hidup adalah perubahan dan perubahan pada dasarnya adalah ketidaksempurnaan.54 Sikap diam kaum muslim India dianggap sebagai penyimpangan dari semangat Islam, semangat gerakan yang dinamis dan evolusi yang kreatif. Untuk mengungkapkan ide kreatif, Iqbal berusaha bercermin dan meneladani Muhammad Rasulullah Saw. ketika beliau kembali dari pengalaman keagamannya. Nabi yang telah mi‟raj kembali ke dunia dan kreatif. Beliau kembali untuk masuk ke dalam lintasan ruang dan waktu guna mengawasi kekuatan-kekuatan sejarah dan menciptakan satu cita-cita dunia yang segar.
54
18
Mohammad Iqbal, The Reconstruction of…., 56.
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Tawaran Ijtihad Mohammad Iqbal.. Bagi seorang sufi, ketenangan pengalaman wahidiyah (unitary experience) adalah sesuatu yang terakhir, berbeda dengan Nabi, pertemuannya dengan pengalaman wahidiyah adalah merupakan kebangkitan (langkah awal), dalam dirinya kekuatan-kekuatan psikologis yang mengguncangkan dunia, sepenuhnya mengubah dunia. Keinginan untuk melihat pengalaman keagamaannya berubah menjadi satu kekuatan dunia yang hidup. Jadi, kembalinya itu sama artinya dengan ujian pragmatis dari nilai pengalaman keagamaannya. Dalam tindak kreatifnya, Nabi ingin menilai, baik diri sendiri maupun dunia dari kenyataan kongkret dan dia berusaha untuk membuat dirinya objektif.55 Tawaran Konsep Ijtihad Kolektif Muhammad Iqbal untuk Merespon Dinamika Kehidupan Umat Islam Pada zaman dahulu, dunia telah menghasilkan beberapa sistem besar dan filsafat justru pada masa manusia relatif masih primitif dan diperintah oleh sugesti. Hal ini merupakan hasil karya dari pemikiran abstrak yang tidak dapat melangkah lebih jauh dari sistematisasi kepercayaan dan tradisi keagamaan yang samar-samar dan tidak memberi pegangan pada kehidupan yang kongkret. Oleh karena itu, kelahiran Islam dapat dikatakan sebagai titik pembatas antara dunia kuno dengan dunia modern, sebagaimana diungkapkan Iqbal. “The Prophet of Islam seems to stand between the ancient and modern world. In so far as the source of his revelation is concerned he belongs to the ancient world; in so far as the spirit of his revelation is concerned he belongs to the modern world. In him life discovers other sources of knowledge suitable to its new direction”.56 Ungkapan Iqbal tersebut menjelaskan makna akhir wahyu. Kenabian dalam Islam merupakan suatu titik di mana manusia tidak ada pilihan lain kecuali kembali pada pengalaman dan kemampuannya sendiri. Hal ini merupakan nilai budaya dari satu 55 56
Ibid., 118. Ibid., 120.
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
19
Ahmad Junaidi ide besar dalam Islam.57 Untuk itu, Iqbal menawarkan perlunya dilakukan ijtihad sebagai bentuk tindakan konkret dalam menjawab tantangan zaman yang senantiasa berubah. Iqbal melihat sejak berdirinya madzhab-madzhab, ide ijtihad dipagari penuh oleh syarat-syarat yang hampir tidak mungkin dilaksanakan oleh seorang manusia, bahkan terkesan pintu ijtihad telah tertutup. Hal ini pula yang diperkirakan Iqbal membawa dampak negatif dalam pemikiran Islam, yaitu terjadinya stagnasi selama hampir 500 tahun. Penerapan aturan yang begitu ketat dan kaku dalam pelaksanaan ijtihad sama artinya dengan memasung kreatifitas manusia yang bervariasi. Masyarakat yang terlalu terorganisasi, secara individu sepenuhnya tertindas keluar dari wujudnya. Ia memenangkan seluruh kekayaan dari pikiran sosial di sekelilingnya, tetapi kehilangan jiwanya sendiri. Karena itu, ijtihad berarti sebagai kegiatan kreatif bagi masyarakat Islam untuk menyatakan pikiranpikiran barunya atau sebagai cara untuk menyatakan jiwanya. Melalui usaha ijtihad, manusia (individu dan masyarakat) dapat mengarahkan perkembangan dan perubahan yang tidak mungkin berhenti dari gerak perubahan-perubahannya. Menurut Iqbal gerak kebudayaan Islam berarti berijtihad untuk menyatukan ayat-ayat Allah yang ada pada alam yang gerak pertumbuhan dan perkembangannya, memaksa manusia untuk selalu memperbarui sikap hidupnya dengan berpedoman pada wahyu Tuhan, yang secara langsung diturunkan oleh Allah melalui nabi-Nya, yakni alQur‟an, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. sebagai sunnah kenabian. Gugatan terhadap tertutupnya pintu ijtihad ini dilakukan oleh tokoh-tokoh seperti Ibnu Taymiyyah, Ibnu Hazm, Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan lain-lainnya.58 Reformasi yang dilakukan oleh ketiga tokoh ini, dinilai Iqbal masih bersifat konservatif karena semata-mata hanya kembali kepada nas-nas alQuran ataupun Hadits. Berbeda dengan reformasi (bentuk lain dari ijtihad) yang terjadi di Turki. Dalam hal ini, ijtihad diperkuat dan diperluas dengan pemikiran filsafat modern dalam
57 58
20
Ibid., Ibid., 144-146.
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Tawaran Ijtihad Mohammad Iqbal.. keberagamaan dan politik.59 Meskipun Iqbal tidak setuju dengan pandangan partai nasionalis yang berusaha memisahkan urusan agama dan negara karena menurutnya agama Islam tidak memisahkan antara agama dan politik. Pada dasarnya, Iqbal sangat mendukung ijtihad yang mereka lakukan. Menurut Iqbal, di antara negeri-negeri Islam sekarang ini, hanya Turki yang telah melepaskan ketiduran dogmatisnya dan sadar akan dirinya sendiri. Negeri ini telah menuntut hak kebebasan intelektualnya dari yang ideal menuju yang real, satu peralihan yang menimbulkan perjuangan intelektual dan moral yang bersemangat.60 Ijtihad yang dilakukan di sini bukan hak otoritas individu, melainkan ijtihad kolektif, yaitu yang dilakukan sebuah badan atau lembaga yang terdiri atas individu-individu atau sebuah majelis yang terpilih (parlemen).61 Melalui analisisnya yang cukup tajam terhadap kemajuan negara Turki, Iqbal tidak hanya berusaha membangkitkan kebuntuan dan kejumudan umat Islam dalam berpikir, tetapi lebih jauh lagi. Jika Iqbal sependapat, bahwa ijtihad yang merupakan prinsip gerak dalam Islam seharusnya dilakukan secara kolektif dapat dipahami dan reasonable. Pertama, masalah yang dihadapi umat Islam pada masa lalu amat berbeda dengan masalah umat masa kini. Wilayah umat Islam yang ada saat ini sangat luas dan begitu kompleks. Bila umat Islam pada masa keemasannya telah bersentuhan dengan Hellenisme dengan berbagai penemuan ilmiahnya, namun jangan lupa pada masa itu belum ada teknologi yang sebenarnya. Kedua, ijtihad kolektif yang memiliki wadah formal seperti sebuah institusi/lembaga negara memiliki kekuatan yang kokoh untuk mengambil suatu keputusan dan dalam merumuskan banyak hal. Ketiga, pada masa keemasan Islam banyak tokoh yang di dalam dirinya terhimpun berbagai kapasitas, baik sebagai ulama, ilmuwan, maupun filsuf, dan figurfigur seperti itu dapat dilihat pada tokoh-tokoh: al-Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Rushd dan lain-lain. Tetapi, untuk masa sekarang agak sulit mencari seseorang yang mumpuni dalam berbagai bidang. Ibid., 145. Ibid., 154. 61 Ibid., 149. 59 60
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
21
Ahmad Junaidi Keempat, dikotomi antara kajian agama, ilmu dan teknologi, serta filsafat yang masih mencolok menambah sulitnya seseorang untuk bisa melakukan ijtihad secara individu kalau tidak, boleh dikatakan mustahil. Ijtihad yang paling ideal untuk memahami masalah secara komprehensif-integratif diperlukan ijtihad kolektif. Tampaknya, melalui konsep ijtihad, Iqbal memimpikan lahirnya sebuah negara Islam di mana di dalamnya terjadi hubungan yang harmoni antara yang sakral dan profan untuk memenuhi dua fungsi manusia, yakni secara vertikal sebagai hamba Allah dan secara horizontal menjadi wakil Allah yang bertugas memakmurkan bumi. Yang terakhir ini tidak akan dibahas lebih jauh karena di luar kajian. Jika dicermati, makna ijtihad sejak awal kemunculannya begitu luas cakupannya, namun memasuki Abad Pertengahan hingga masa Iqbal dan sesudahnya sebagian besar masih tetap berada di wilayah penetapan hukum yang pada akhirnya harus kembali pada kitab suci (teologis normatif), baik esensial maupun substantif.62 Konsep ijtihad Mohammad Iqbal memperlihatkan bagaimana seharusnya semua potensi yang ada dalam diri manusia, indra, akal dan hati dapat berjalan serasi dalam menghasilkan ilmu pengetahuan (kerja teoretis) dan mengelola alam semesta (kerja praktis) bagi kepentingan umat manusia. Selama perjalanan panjang, Iqbal mengamati umat Islam begitu jauh dari ajaran yang sebenarnya: Islam mengajarkan umatnya untuk kreatif dan progresif. Melalui studi yang seksama terhadap ayat-ayat al-Quran dan pengalaman intelektualnya, Iqbal menemukan dalam diri manusia tersimpan potensi diri yang diidentifikasi sebagai, indra, akal dan intuisi yang dapat dioptimalkan dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Argumentasi Iqbal hanya -dengan dan- melalui ilmu pengetahuanlah manusia (termasuk umat Islam) dapat menjadi penemu ilmu-ilmu modern dan menaklukkan dunia. Semua ini memerlukan etos kerja yang baik dan perjuangan yang tiada henti dengan membuka wawasan dan kebebasan berpikir. Ijtihad merupakan suatu cara yang dianggap tepat oleh Iqbal, M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), 60. 62
22
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Tawaran Ijtihad Mohammad Iqbal.. sehingga ia menyatakan bahwa ijtihad merupakan prinsip gerak dalam Islam.63 Ijtihad memberikan hak/porsi yang lebih besar pada akal dari potensi lainnya karena dalam ijtihad sebenarnya terletak dinamika hukum Islam dan dinamika berpikir yang sesungguhnya, terbukanya ruang gerak manusia dalam mengaktualisasikan kemampuan dirinya melalui ide dan tindakan. Ijtihad merupakan modal utama dan suatu keniscayaan agar pemikiran Islam dapat menjawab tantangan zaman yang selalu berubah dan mensyaratkan umatnya senantiasa membuka diri untuk menerima perubahan yang terjadi dan terus menjadi.64 Secara tegas, Iqbal mengakui universalitas ilmu sebagaimana tidak ada matematika Inggris, Astronomi Jerman atau ilmu kimia Perancis sehingga siapapun dapat memanfaatkannya tanpa batasbatas ras, suku wilayah dan agama.65 Dalam berijtihad, sudah seharusnya menggunakan berbagai hasil pemikiran Barat mutakhir sebagai jalan yang tepat untuk melampaui kekakuan pemikiran Islam.66 Cita-cita Iqbal masih menjadi sebuah cita-cita dan sebuah impian karena dia tidak konsisten terhadap prinsip awalnya sendiri. Prinsipnya yang terkenal adalah Tauhidullah sebagai ide kerja yang harus dibina di atas persamaan, solidaritas dan kemerdekaan.67 Dengan demikian, prinsip Tauhidullah tidak hanya merupakan faktor dominan dalam kebudayaan Islam, tetapi menuntut pembuktiannya menjadi kekuatan ruang dan waktu sebagai prinsip kerja dalam kehidupan. Di mana seluruh perbuatan/ tindakan dipimpin oleh motivasi-motivasi yang luhur dan mulia bukan oleh rencana eksploitasi yang ambisius atau nafsu jahat dan serakah. Mencintai Tuhan sebagai aplikasi Tauhidullah, berarti sepenuhnya terlibat dalam dunia yang Tuhan Mohammad Iqbal, The Reconstruction of….., 141. Johan Mouleman, “Pengantar” dalam Mohammad Arkoun, Nalar Islam dan Nalar Modern: Berbagai tantangan dan Jalan Baru, XXI., (Jakarta: INIS, 1994), 5. 65 Mohammad Iqbal, The Reconstraction of…., 148. 66 Ibid.,, 144-146. Lihat pula Johan Mouleman, “Pengantar” dalam Mohammad Arkoun, Nalar Islam…, 5. 67 Ibid.,147. 63 64
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
23
Ahmad Junaidi ciptakan, bukan lari darinya.68 Manusia dengan kekuatan alam itu sendiri dalam usaha mengubah nasibnya yang lebih baik, dalam perubahan ini Tuhanpun ikut berperan aktif.69 Tingkat kemajuan bagi ego (diri) salah satunya adalah perwakilan Tuhan di mana pemikiran dan tindakan, instink dan penalaran menjadi satu.70 Keinginan Iqbal untuk membawa umat keluar dari kejumudan dan kemunduran yang disebabkan pengaruh tasawuf bahkan dengan pedas dia kritik.71 Pada akhirnya, intuisi –inti pengalaman tasawuf- dipertahankannya dan diklaim sebagai kebenaran final. Hal ini berarti menutup kemungkinan dan kebenaran yang lain. Jadi, di antara prinsipnya sendiri masih terjadi kontradiksi. Penutupan kemungkinan, berarti menutup kembali pintu ijtihad yang sangat dinamis. Analisis Pluralitas ilmu dan kapasitas yang ada di dalam diri berubah menjadi monisme kembali. Dengan demikian, konsep Iqbal belum mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul dalam filsafat tradisional ataupun kesulitan dan kemandegan pemikiran umat. Ilmu pengetahuan merupakan studi yang objektif dan netral tentang alam dan menghendaki sebuah komunitas peneliti yang selalu ingin mencari kebenaran yang sempurna tanpa memandang kasta, keyakinan dan warna kulit. Kegiatan ilmiah memerlukan peran bahasa dalam arti yang luas sehingga hasilnya dapat dikomunikasikan karena manusia dapat berpikir, berbicara, menulis, mengerti, bahkan membuat interpretasi melalui bahasa.72 Bahasa merupakan modus operandi dari cara manusia mengada di dunia dan merupakan wujud yang 68 Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis Arkoun, ter. Ahmad Baiquni (Bandung: Mizan, Cet, I, 2000), 74. 69 Mohammad Iqbal, The Reconstruction of…, 11-12. 70 Syed „Abdul Vahid, Iqbal: His Art and Thought (Lahore: Ashraf, 1944), 62. 71 Mohammad Iqbal, Asrar-I Khudi, terj. Bahrum Rangkuti (Jakarta: Bulan Bintang, tt), 135-137. Lihat pula Mohammad Iqbal, The Reconstruction of…, 142-143. 72 E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Cet. II., (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 26.
24
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Tawaran Ijtihad Mohammad Iqbal.. seakan-akan merangkul seluruh konstitusi tentang dunia ini.73 Melalui bahasa terjelma kebudayaan manusia.74 Kegiatan ilmiah meniscayakan adanya komunikasi aktif melalui bahasa di antara para pelakunya, berarti ada hubungan yang intensif-efektif dan kontinyu dengan yang lain. Ilmu pengetahuan bersifat sosial. Ia merupakan suatu kegiatan kelompok daripada usaha perorangan. Sikap kerja sama penelitian ilmiah menjelaskan objektivitas dalam ilmu pengetahuan. Jelas, objektivitas hanya dapat dibuktikan melalui pengalaman-empirikeksperimental. Penelitian teoretis mencari yang dapat dimengerti sebagai objek dalam memahaminya dan bukan tujuan untuk melayani hasil praktis. Pengetahuan yang murni adalah tujuan ilmuwan dan keberhasilan dalam usaha keras tidak mungkin dalam pengertian lain dari pada pemurnian motivasinya. Karena alasan inilah, baik ilmu maupun filsafat harus bebas bagi tujuan individu tanpa mengambil pelayanan tujuan-tujuan praktis. Yang benar tujuan intelek merupakan bagian dari justifikasi praktis, bahkan pengetahuan praktis, dalam pengertian yang amat penting bergantung pada teori menuju hukum. Data yang dihadapi ilmuwan adalah data umum, tersedia bagi setiap penyelidik yang memenuhi syarat untuk membuat pengamatan yang tepat. Ketika melaporkan percobaan, ilmuwan memasukkan banyak sekali rincian, bukan untuk kepentingannya sendiri, melainkan juga memungkinkan untuk penyelidik lain melakukan urutan percobaan yang sama. Dengan demikian, ia dapat mengamati secara seksama apakah hasil yang dilaporkan benar-benar terjadi.75 Dengan demikian, kerja ilmiah bersifat fair (jujur), transparan dan terbuka bagi siapapun. Penelitian ilmiah meniscayakan metodologi yang akurat melalui proses dan prosedur awal, menggunakan metode dan pendekatan, menggunakan teori dan sistematika serta logika berpikir. Inilah kegiatan ilmiah yang sesungguhnya. Tampaknya, konsep Iqbal belum melakukan langkah-langkah ini. Dalam Ibid., Ibid., 75 Irving Copy, “Pengantar Logika” dalam C. A. Qadir (penyunting), Ilmu Pengetahuan dan Metodenya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), 65. 73 74
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
25
Ahmad Junaidi tulisannya, beberapa kali Iqbal menyebut-nyebut lahirnya Islam adalah lahirnya intelek induktif yang menjadi ciri kebudayaan Islam dan menjadi landasan kebudayaan modern,76 tetapi konsep ini tidak dijelaskan lebih lanjut bagaimana bentuk dan cara kerjanya. Konsepnya tentang pengalaman intuitif sangat eksklusif karena bersifat langsung, sekejap dan tidak dapat dianalisis. Konsep Iqbal termasuk kriteria teologis-intuitif karena pernyataannya tentang kebenaran intuitif tidak terbantahkan.77 Hal ini disebabkan pernyataan Iqbal meski mengakui kebenaran indra dan akal yang berfungsi sebagai alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan menjadi kurang berarti dengan distorsi yang ia lakukan sendiri ketika menghadapi kebenaran intuitif. Memasuki era globalisasi dan era reformasi, tampaknya memberi kemungkinan baru bagi umat Islam untuk memperluas cakrawala dan menjadi kreatif kembali. Sepenuhnya, Iqbal menyadari beberapa segi kekuatan dan kelemahan tradisi intelektual Islam klasik. Pribadinya sendiri menggambarkan suatu bentuk paduan baru yang amat menarik. Ia adalah seorang esoteris yang mengubah puisi-puisi kesufian. Di lain pihak, ia adalah seorang pemikir dengan pandangan kemodernan dan keilmuan. Iqbal dipandang sebagai bapak intelektual Pakistan modern, telah berusaha untuk menemukan apa yang murni Timur tentang dirinya dan masyarakatnya yang berbeda dengan budaya Barat yang dirasakannya menekan. Ia berkeberatan terhadap gambaran dunia yang dualistik, Barat yang modern dan dinamis serta Timur yang sarat dengan tradisi keagamaan yang mandeg. Secara seksama, hasil telaah dan penelitian terhadap epistemologi Iqbal diharapkan dapat menjadi pemicu bagi munculnya semangat dan sikap-sikap apresiatif terhadap warisan klasik Islam. Serentak dengan itu diupayakan menarik benang merah dan relevansinya bagi tantangan zaman kini, dengan tetap bertitik tolak pada al-Quran yang dinyatakan Allah sebagai Keterangan atas segala sesuatu.
76 77
26
Mohammad Iqbal, The Reconstruction of…, 120-122. Ibid., 2.
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Tawaran Ijtihad Mohammad Iqbal.. Pada prinsipnya, tantangan yang ada di depan umat Islam sekarang mengungkapkan kembali kandungan al-Quran dengan segala implikasinya secara luas dan kreatif, di mana terhimpun di dalamnya kekuatan intuisi, berpikir, perasaan, pengindraan, keterampilan dan imajinasi. Untuk itu, kaum muslim zaman sekarang, seperti telah dipraktikkan oleh mereka pada zaman dahulu harus menggunakan segala macam bahan yang telah disediakan oleh pengalaman manusia dalam budaya dan peradaban. Khususnya, dalam pengembangan ilmu pengetahuan diperlukan sebuah sistem ilmu pengetahuan yang tidak terpecahpecah dan berdiri sendiri, tetapi bekerja sama secara harmonis sehingga persoalan yang makin kompleks itu dapat diselesaikan secara menyeluruh, terpadu dan mendalam. Suatu pendekatan yang sering disebut sebagai pendekatan multidisiplin dan interdisiplin,78 termasuk studi-studi Islam. Menurut telaah filsafat ilmu, hampir semua jenis kegiatan ilmu pengetahuan, baik normal sciences maupun social sciences, bahkan religious sciences selalu mengalami apa yang disebut Shifting Paradigm (pergeseran gugusan pemikiran keilmuan). Kegiatan ilmu selamanya bersifat historis, lantaran dibangun, dirancang dan dirumuskan oleh akal budi manusia yang juga bersifat sementara, yaitu terikat oleh ruang dan waktu, terpengaruh oleh perkembangan pemikiran dan perkembangan kehidupan sosial yang mengitari penggal waktu tertentu. Dengan demikian, sangat dimungkinkan terjadinya perubahan, pergeseran, perbaikan, perumusan kembali, nasikh-mansukh, serta penyempurnaan rancang bangun epistemologi keilmuan, -jika tidak- maka kegiatan keilmuan akan mandeg dengan sendirinya atau bersifat pasif.79
78 Nurcholis Madjid, Kaki langit Peradaban Islam, Cet. I., (Jakarta: Paramadina, 1997), 7-8. Lihat pula Conny R. Semiawan dkk., Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu, Cet. IV., (Bandung: Rosda Karya, 1999), 61. Musa Asy‟arie, “Epistemologi dalam Perspektif Pemikiran Islam” dalam Jarot Wahyudi dkk., (ed.), Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya Mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum (Yogyakarta: SUKA Press IAIN SUKA, 2003), 37. 79 M. Amin Abdullah, Studi Agama-Agama: Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 1966), 102. Lihat pula
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
27
Ahmad Junaidi Kemungkinan terjadinya perubahan dalam wilayah Islamic Studies, sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan, karena inti pemikiran keislaman yang berporos pada tauhid dan moralitas Qur‟ani akan tetap terjaga seperti adanya. Hanya rumusan baru, pendekatan-pendekatan kontemporer, bahkan uraian aktualkontekstual -tidak dapat tidak- harus diupayakan dan diprogramkan mengingat peradaban dan cara berpikir manusia era teknologi modern, yakni manusia abad ilmu dan informasi, teknologi dan industri tidaklah sama dan sebangun dengan cara dan pola berpikir manusia era pra-scientific-agraries. Setidaknya, pola berpikir yang digunakan sudah harus disesuaikan dengan muatan pengalaman manusia modern era ilmu dan teknologi, tanpa harus meninggalkan warisan khazanah intelektual Islam. Jika tidak dilakukan, maka diskursus Islamic Studies akan tertinggal dari laju pertumbuhan cara berpikir umat muslim pendukungnya atau -paling tidak- akan terjadi gap antara keberagamaan dan kehidupan itu sendiri.80 Pekerjaan ini memang tidak mudah karena memerlukan sebuah kerja sejarah dari komunitas peneliti, bukan hanya beberapa ahli yang selalu ingin mencari kebenaran untuk merombak tatanan berpikir yang telah mengurat akar dalam masyarakat Muslim. Akan tetapi, bagaimanapun sulitnya pekerjaan ini harus dimulai dengan menumbuhkan sense of logic and empirical studies, mentalitas yang haus akan data-data historisempiris dan mempunyai greget keingintahuan intelektual (ciouricity), serta berupaya untuk merealisasikannya. Komunitas seperti ini tidak dapat dibentuk dalam waktu sehari. Eropa membutuhkan waktu selama empat abad. Pembentukan itu mulai dengan Galileo dan proses tersebut masih berlangsung terus hingga sekarang. Kaum Muslim telah membentuk masyarakat serupa, namun hanya bertahan beberapa abad.81
Thomas Kuhn, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, terj. Tjun Surjaman (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1995), 91. 80 Ibid., 103. 81 C. A. Qadir (penyunting), “Pengembangan Ilmu Pengetahuan di Kalangan Muslim: Sebuah Pengantar” dalam Ilmu Pengetahuan dan Metodenya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), 5.
28
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Tawaran Ijtihad Mohammad Iqbal.. Hasil telaah terhadap epistemologi Iqbal, menurut term epistemologi, pemikiran Iqbal termasuk tipe sumber ilmu pengetahuan. Meskipun ia telah mencoba memisahkan antara epistemologi sebagai sumber ilmu dan epistemologi sebagai cara untuk memperoleh ilmu, namun masih terlihat tumpang tindih, seperti panca indra dan akal yang dinilai di samping sebagai sumber ilmu juga sebagai cara untuk memperoleh ilmu. Anjuran Iqbal kepada kaum muslim untuk belajar ke Barat tidak bisa ditawar-tawar lagi jika umat muslim ingin tetap survive dalam menjawab tantangan di tengah-tengah dunia yang bersifat global. Tampaknya, merupakan suatu keharusan untuk mengembangkan empirisme dalam satu keutuhan dimensi yang bermuatan spiritualitas dan moralitas. Hanya para ilmuwan (community of researches) yang dapat menyatukan pemikiran dengan tindakan kongkret mereka, serta tindakan berkesinambungan untuk menciptakan ruang kebebasan baru dan memberikan artikulasi intelektual baru bagi suara-suara membisu. Kajian studi-studi Islam yang telah dilakukan oleh para pakar Muslim ataupun hasil temuan para Islamolog, seperti tafsir, kalam, tasawuf fiqh dan lain-lain masih banyak menggunakan metode deduktif-a priori dan jarang sekali menggunakan metode induktif-a posteriori. KESIMPULAN Berdasarkan paparan di atas, bisa dimengerti bahwa Iqbal tidak setuju dengan dikotomi antara rasio dan materi, teori dan praksis, jasmani dan rohani, tetapi berusaha untuk memadukannya. Hal ini dapat dilihat bagaimana Iqbal senantiasa mengakarkan semua pemikirannya pada Tauhidullah sebagai gambaran ketaatannya terhadap agama yang merupakan kata kunci bagi kemajuan ilmu pengetahuan yang sarat akan nilai yang dapat memberi manfaat bagi suatu pembaruan epistemologi dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan pada masa kini dan yang akan datang. Iqbal memandang alam dengan hukumnya sebagai peluang (chance) bagi manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan penelitian demi kemakmuran dan manfaat sebanyakbanyaknya bagi kehidupan umat manusia. Epistemologi Iqbal memfokuskan pada asal usul ilmu dan
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
29
Ahmad Junaidi alat-alat panca indra, akal dan intuisi yang digunakan untuk memperoleh ilmu. Namun, Iqbal lebih menekankan pada intuisi. Karena itu, ia menerapkan epistemologi idealisme/ spiritualisme atau dengan istilah lain modern klasik. Iqbal mengimpikan, melalui logika ilmiah atau metodologi akan didapat bangunan ilmu yang cukup kokoh dan teranyam sistematis. Akan tetapi, akal yang ada pada konsep Iqbal belum berkembang menjadi logika dan pemikirannya terlalu intuitif. Meskipun demikian ijtihad kolektif yang ditawarkan Iqbal dapat dijadikan sebuah kontrol dan pengawasan dalam laju perkembangan studi-studi Islam agar tetap survive-kreatifdinamis.
30
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
Tawaran Ijtihad Mohammad Iqbal.. DAFTAR PUSTAKA „Alusi , Mahmud al-, Fi Tafsir al-Qur`an al-„Adhim wa al-Sab‟i alMatsani, Jilid V,. (Misr: Dar al-Fikr, tt). Abdullah, M. Amin, Studi Agama-Agama; Normativitas atau Historisitas. Cet. I. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1966). Ahmad, Amrullah dkk (ed.), Fiqh (Hukum Islam) Antara Pemikiran Teoretis dengan Praktis (Bandung: Fakultas Syari‟ah: IAIN Sunan Gunung Djati, 1991). Ali, H. A. Mukti, Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan dan Muhammad Iqbal (Jakarta, Bulan Bintang, 1990). Asy‟arie, Musa, Epistemologi dalam Perspektif Pemikiran Islam” dalam Jarot Wahyudi dkk., (ed.), Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya Mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum (Yogyakarta: SUKA Press IAIN SUKA, 2003). Copy, Irving, “Pengantar Logika” dalam C. A. Qadir (penyunting), Ilmu Pengetahuan dan Metodenya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988). Danusiri Epistemologi dalam Tasawuf Iqbal. Cet. I. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996). Glassicn, Cyril, Ensiklopedi Islam: Ringkas, terj. Ghufron A. Mas‟udi, Ed. I. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999). Hakim, Khalifah Abdul “Renaissance in Indo Pakistan (Continued): Iqbal” dalam M. M. Sharif (ed.)., A History of Muslim Philosphy, vol. II, (Jerman: Otto Harrasowitz, 1966). Hamid, Muhammad Muhyi al-Din „Abd al, Sunan Abi Dawud. Juz III. (Bandung: Dahlan, tt). Iqbal, Mohammad, Asrar-I Khudi, terj. Bahrum Rangkuti (Jakarta: Bulan Bintang, tt). _______________, Payam-I Masyriq, terj. Hadi WM. Dalam Danusiri, Epistemologi dalam Tasawuf Iqbal. Cet. I. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995). _______________, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (London: Oxford University, 1934). Jaques P., Thiroux Philosophy: Theory and Practise (New York: Macmillan Publishing Company, 1985). Kuhn, Thomas, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, terj. Tjun Surjaman (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1995). Lee, Robert D., Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal hingga
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014
31
Ahmad Junaidi Nalar Kritis Arkoun, ter. Ahmad Baiquni. Cet, I. (Bandung: Mizan, 2000). Ma`luf, Luis, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‟lam (Bayrut: Dar alMashriq, 1987). Madjid, Nurcholis, Kaki langit Peradaban Islam, Cet. I, (Jakarta: Paramadina, 1997). May, Lini S., Iqbal His Life and Time. Cet. I. (Lahor: Ashraf Press, 1974). Mouleman, Johan, “Pengantar” dalam Mohammad Arkoun, Nalar Islam Dan Nalar Modern: Berbagai tantangan dan Jalan Baru. XXI. (Jakarta: INIS, 1994). Mudzhar, M. Atho, Membaca Gelombang Ijtihad antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998). Praja, Juhaya S., “Epistemologi Ibn Tamiyah” dalam Jurnal Ulumul Quran No. 7, vol. II, 1990. Qadir, C. A. (penyunting), “Pengembangan Ilmu Pengetahuan di Kalangan Muslim: Sebuah Pengantar” dalam Ilmu Pengetahuan dan Metodenya, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988). Rahman, Fazlur, Membuka Pintu Ijtihad, terj. Anas Mahyudin. Cet. III. (Bandung: Pustaka, 1995). Saiyidain, K. G., “Iqbal‟s Educational Philosophy” dalam Lini S. May, Iqbal His Life and Times. Lahore, Ashraf Press, Cet. I, 1974. Semiawan, Conny R. dkk., Cet. IV. Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu (Bandung: Rosda Karya, 1999). Sumaryono, E., Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Cet. II. (Yogyakarta: Kanisius, 1995). Vahid, Syed „Abdul, Iqbal: His Art and Thought (Lahore: Ashraf, 1944).
32
Al-Ahwal, Vol. 6, No. 1 April 2014