FIQH AL-AQALLIYYÂT: FRAMEWORK IJTIHAD HUKUM ISLAM UNTUK MUSLIM MINORITAS
Chamim Tohari Marmara University Istanbul Turkey Email:
[email protected]
Abstrak Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menemukan jawaban dari poin-poin rumusan yang menjadi lingkup kajian di antaranya tentang latar belakang munculnya fiqh alaqalliyyâth, makna etimologis, berikut pendiri dan tokohtokohnya, framework ijtihadnya, serta pembuktian atas legalitas fatwa fiqh al-aqalliyyâth. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah library research atau text studies (studi dokumen/teks) dengan pendekatan analisis metodologis, sosiologis, dan filosofis. Hasil penelitian ini adalah; (1) Fiqh al-aqalliyyâth diartikan sebagai pemahaman dan pengetahuan secara mendalam dan komprehensif terhadap hukum syarî’ah yang dikhususkan untuk umat Islam minoritas berdasarkan pertimbangan konteks sosial, zaman dan tempat. (2) metodologi ijtihad yang digunakan dalam fiqh al-aqalliyyâth adalah qiyâs (deduction), maslahah al-mursalah (public interest not based on text) dan‘urf (custom), sedangkan prinsip-prinsip ijtihad yang digunakan mencakup prinsip maslahah (public interest), dharûrah (necessity), dan taysîr (making fiqh easy). Selain itu, ada dua pola ijtihad yang dikembangkan dalam fiqh al-aqalliyyâth, yaitu metode intiqâ’î, dan metode insyâ’î. (3) legalitas fiqh al-aqalliyyâth dapat dibuktikan setidaknya melalui sudut pandang metodologis, sosiologis, dan filosofis. Kesimpulan dari penelitian ini adalah, fiqh al-aqalliyyâth merupakan perwujudan dari hukum Islam dengan sifatnya yang elastis sesuai dengan kemaslahatan yang dibutuhkan dalam konteks zaman, tempat, dan kondisinya. Keywords: Fiqh al-Aqalliyyât, Muslim Minoritas, Maqâshid alSyarî’ah, Maslahah.
Abstract The purpose of this research is to find the answers of main focuses of this research’s scope. There are about the background of the emersion of fiqh al-aqalliyyâth. Then proceed with the discussion of the etymological meaning of fiqh al-aqalliyyâth following the founder s and it’s supporters, the framework of ijtihad, as well as proof of legality aspect of fiqh al-aqalliyyâth. The method used in this study is a library research or text studies with methodological, sociological, and philosophical approach . The results of this study are; (1) Fiqh alaqalliyyâth interpreted as in-depth understanding and comprehensive to the Islamic law which is devoted or specialized for Muslims minority based on consideration of the social context, time and place. (2) The methodology of ijtihad used in fiqh al-
aqalliyyâth are: qiyâs (analogical deduction), maslahah almursalah (public interest not based on text) and‘urf (custom), while the including principles used in ijtihad are the principles of maslahah (public interest), darûrah (necessity), and taysîr (making fiqh easy). In addition, there are two patterns of ijtihad developed in fiqh al-aqalliyyâth, intiqâ’î and insyâ’î. (3) The legality of fiqh al-aqalliyyâth can be proved at least through the methodological, sociological, and philosophical viewpoint . The conclusion of this research is, the fiqh al-aqalliyyâth as a new formation of islamic law with it’s elastic characteristic according to benefit which is needed based on context of period, place, and it’s condition. Keywords: Fiqh al-Aqalliyyât, Muslim Minoritas, Maqâshid alSyarî’ah, Maslahah.
Pendahuluan Hingga saat ini, jumlah masyarakat muslim di Barat semakin berkembang pesat dan semakin menunjukkan eksistensinya. Mereka melangsungkan hidup dibawah pemerintahan non-Islam dan budaya Barat. Ahmad Rawi, ketua Union of Islamic Organizations in Europe (UIOE), memperkirakan bahwa sekitar 15.84 juta umat Islam hidup di negara-negara Eropa Barat. Di Prancis terdapat sekitar 5,5 juta muslim dari populasi penduduk total 56.6 juta jiwa; di Jerman ada 3,2 juta muslim dari
populasi 79.1 juta jiwa.1 Sementara The Council on American Islamic Relations (CAIR) memperkirakan jumlah populasi umat Islam di Amerika Serikat mencapai 6 hingga 7 juta jiwa.2 Menurut peneliti sebelumnya seperti Yvonne Yazbeck Haddad dan Jane I. Smith, perkiraan umat Islam di Eropa Barat sekitar 10 juta jiwa, dengan perincian 3 juta muslim bermukim di Prancis, 2 juta di UK, 2,5 juta di Jerman, dan sisanya menyebar di negara-negara lainnya seperti Belanda, Swedia, dan lainnya.3 Sedangkan di Amerika Utara, menurut mereka terdapat sekitar 6 juta penduduk yang beragama Islam, dan sekitar setengah juta jiwa berada di Kanada.4 Jumlah ini dimungkinkan akan terus bertambah seiring perjalanan waktu. Bersamaan dengan semakin berkembangnya populasi muslim di negara-negara Eropa Barat dan Amerika, timbul permasalahan-permasalahan bagi umat Islam yang tinggal sebagai minoritas untuk menjalankan syari‟at Islam secara sempurna. Salah satu masalah yang dapat ditemui adalah tentang pelaksanaan ibadah di negara-negara Eropa Barat dan Utara. Perbedaan geografis antara negara-negara Barat dan negaranegara Islam melahirkan perbedaan musim dan perbedaan waktu. Peredaran matahari yang biasa menjadi dasar penentuan waktu shalat dan puasa tidak selalu memungkinkan menjadi patokan waktu di negara Barat, yang mana peredaran mataharinya tidak seperti di negara-negara muslim pada umumnya. Pada titik ekstrim, ada beberapa negara Barat yang hanya mengalami siang saja tanpa malam, atau malam saja tanpa siang dalam takaran
1 Al-Rawi, Ahmad, Islam, Muslims and Islamic Activity in Europe: Reality, Obstacles and Hopes, http://www.islamonline. net/arabic/daawa/2013/12/ARTICLE05A.SHTML. di akses pada 12 februari 2014.
Fishman, Shammai, Center on Islam, Democracy, and the Future of the Muslim World, London: Research Monographs on the Muslim World, Series No 1, Paper No 2 October, 2006. 2
Haddad, Yvonne Yazbeck, and Smith, Jane I, “Introduction” in Yvonne Yazbeck Haddad and Jane Idelman-Smith (eds.), Muslim Minorities in the WestVisible and Invisible Walnut Creek, California: Atamira Press., 2002. 3
4
Haddad and Smith, “Introduction”.
waktu tertentu. Dalam kondisi seperti ini, minoritas muslim membutuhkan fiqh khusus yang mengatur ibadah mereka.5 Tidak hanya masalah ibadah, dalam interaksi sosial pun timbul kesulitan-kesulitan, di satu sisi umat Islam berkewajiban menjalankan ajaran agama, namun di sisi lain mereka harus pula mengikuti dan menyesuaikan diri dengan kultur dan aturanaturan kewarganegaraan yang tidak jarang berbenturan dengan hukum Islam sebagaimana yang mereka anut. Misalnya masalah hukum tinggal dan menjadi warga negara di negara non-Islam, memilih presiden yang non-muslim, menghadiri undangan dan mengucapkan selamat atas hari raya penganut agama lain, menguburkan muslim di pemakaman non-muslim, hingga permasalahan seperti hukum pernikahan, talak, dan rujuk, hingga pada masalah ekonomi, seperti masalah asuransi, bunga bank, dan sebagainya.6 Problematika hukum Islam yang mereka hadapi menjadi unik bukan hanya karena perbedaan wilayah dengan negara Islam yang meniscayakan perbedaan waktu, cuaca, dan musim yang bisa jadi berimplikasi pada kesulitan pengaturan jadwal ibadah, melainkan juga karena perbedaan kebijakan hidup berbangsa dan bernegara yang mengharuskan adanya dialog, proses adaptasi, ataupun asimilasi. Fiqh klasik tidak mampu secara jelas dan tegas menjawab persoalan-persoalan hukum Islam yang dihadapi umat muslim minoritas kontemporer, karena fiqh klasik ditulis pada masa lampau dalam konteks geografis yang berbeda, juga dalam konteks mayoritas penduduknya adalah muslim. Problematika modernitas yang dihadapi oleh minoritas muslim di Barat dan kondisi psiko-sosial yang dirasakan oleh mereka tidak dibayangkan dan dirasakan oleh para fuqaha klasik. Karena itulah maka para sarjana muslim kontemporer yang peduli dan bahkan juga tinggal sebagai minoritas di negara Barat berupaya melakukan reinterpretasi atas nash hukum yang ada dengan piranti ijtihad yang terus digalakkan dalam upaya menemukan bentuk fiqh yang mampu menjawab permasalahan masyarakat muslim minoritas. Dari upaya inilah kemudian muncul fiqh alaqalliyyâth.
Zuhaylî, Wahbah, Qadhâyâ al-Fiqh wa al-Mu‟âshir, Suriyah: Dâr al-Fikr, 2007. 6 Bayyah, „Abd Allâh bin, Shinâ’ah al-Fatwâ wa Fiqh al-aqalliyyâth, Lubnân: Dâr al-Minhâj, 2007, h. 228-464. 5
Tulisan ini tidak memungkinkan untuk menjelaskan secara luas tentang fiqh ini, karena itu penulis membatasi kajian hanya pada beberapa poin penting yaitu; Pertama, apa makna fiqh alaqalliyyâth secara etimologis dan siapa pendirinya? Kedua, bagaimana framework ijtihad fiqh al-aqalliyyâth? Dan ketiga, dari aspek apa saja legalitas fiqh al-aqalliyyâth dapat dibuktikan? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah library research dengan pendekatan metodologis, sosiologis, dan filosofis. Adapun hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah selain untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pada lingkup kajian di atas, juga untuk membuktikan lebih jauh dan mendalam bahwa hukum Islam adalah hukum yang berorientasi pada kemaslahatan, sehingga harus diwujudkan dalam sifatnya yang elastis, sesuai dengan kemaslahatan yang dibutuhkan oleh zaman, tempat, dan kondisi yang melingkupinya.
Pembahasan A. Pengertian dan Pendiri 1.
Pengertian
Pada situs resmi European Council for Fatwa and Research (ECFR), definisi fiqh al-aqalliyyâth dijelaskan oleh salah satu pendiri sekaligus presiden ECFR yakni Syeikh Yûsuf Al-Qaradhawa. Menurutnya, fiqh al-aqalliyyâth adalah “kind of Fiqh which deals with laws or rulings pertaining to Muslims reside in non Muslim societies or countries”.7 Penjelasan lebih lanjut tentang poin ini, bahwa fiqh alaqalliyyâth adalah bagian spesial dari fiqh yang dikhususkan untuk umat muslim yang menetap di negeri non muslim yang dengan terpaksa harus tunduk pada undang-undang dan tata aturan hidup pemerintahan dan masyarakat non-muslim secara total yang mana aturan tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Al-Qaradhawî sendiri dalam banyak tulisannya lebih cenderung menyebut fiqh ini sebagai fiqh al-ightirâb, yang artinya fiqh untuk kaum muslimin yang hidup di Barat dan di negara lain yang bukan negeri Islam. Hal ini tampak pada karyanya “Fî Fiqh al-aqalliyyâth al-Muslimât,” yang tidak banyak menggunakan kata al-Aqaliyyât. Namun demikian, Al-Qaradhawî sendiri mengakui
7
Al-Majallat al-Ilmiyyât li al-Majlis al-Urubbi li al-Iftâ wa al-Buhûth,
Bi Annual, European Council for Fatwa and Research, Dublin, No 4&5, June/July, 2004, h. 472.
bahwa penyebutan fiqh al-aqalliyyâth dengan nama fiqh al-ightirâb terkadang tidak relevan untuk kaum muslim minoritas yang bermukim di negara seperti India dan Filippina.8 Dalam pandangan Al-Qaradhawî, masyarakat yang tinggal dimanapun, baik dalam kondisi minoritas maupun tidak, dapat menggunakan hasil ijtihad fiqh al-aqalliyyâth ini, karena fiqh tersebut merupakan salah satu bentuk rukhas (Concessions) dalam hukum Islam.9 Dr. Thâhâ Jâbir al-Alwanî, seorang pelopor dan pendiri metodologi inovatif ini, mendefinisikan fiqh al-aqalliyyât sebagai: “The idea that the Muslim Jurist must relate the general Islamic jurisprudence to the specific circumstances of a specific community, living in specific circumstances where what is suitable for them may not be suitable for others”.10 Menurutnya, tujuan fiqh al-aqalliyyâth bukanlah untuk membuat Islam baru, karena fiqh alaqalliyyâth hanyalah seperangkat metodologi untuk menjadi panduan bagaimana seorang ahli hukum Islam dapat memproduksi fiqh yang memiliki sifat fleksibel dan sesuai dengan kondisi-kondisi khusus yang dihadapi. Selanjutnya Thâhâ Jâbir Al-Alwânî menegaskan bahwa ulama klasik dan pertengahan telah mengabaikan poin ini, yakni belum adanya formulasi ijtihad hukum yang khusus untuk menjawab permasalahan fiqh ketika umat Islam berada pada konteks minoritas.11 Menurut Al-Alwani, ini adalah suatu model fiqh komunitas, elit, dengan pendekatan yang sesuai kaidah dan metodologi fiqh yang disepakati ulama. Berdasarkan metodologi fiqh al-aqalliyyâth tersebut, beberapa parameter ijtihad telah diidentifikasi dan ditetapkan untuk merespons dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari masyarakat muslim minoritas.12 Mengenai hal ini Muhammad Khalid Mas‟ud mengatakan bahwa fiqh al-aqalliyyâth sebagai sistem metodologi ijtihad hukum kontemporer untuk mempermudah dan mengatasi problem hukum Islam pada masa sekarang yang terjadi pada setiap diri Al-Qaradhawî, Yûsuf, Fi Fiqh al-aqalliyyâth al-Muslimat: Hayat alMuslimin Wasath al-Mujtama’at al-Ukhr, Kairo: Dar al-Shurûq, 2001. 9 Al-Qaradhawî, Yûsuf, Fi Fiqh al-aqalliyyâth, h. 5-8. 10http://www.isna.net/library/papers/fiqh/FiqhofMinorities1.as p. di akses pada 2 februari 2014. 11 Al-Alwânî, Thâhâ Jâbir, Maqâshid al-Sharia, Beirut: Dâr al-Hûdâ, 2003. An English translation was published under the title Towards a Fiqh for Minorities: Some Basic Reflections (Occasional Paper Series, 10), International Institute for Islamic Thought, London-Washington). 12 Al-Alwânî, Thâhâ Jâbir, Maqâshid al-Sharia, h. 3-4. 8
kamu muslimin yang hidup di negera-negara Barat ataupun yang berada pada kondisi yang sama, yakni sebagai kaum minoritas. Menurutnya fiqh al-aqalliyyâth adalah jalan untuk memecahkan konflik yang terjadi antara budaya dan nilai-nilai religius dalam bentuk framework ijtihad.13 Berdasarkan definisi di atas, tampaknya Al-Qaradhawî tidak memandang fiqh al-aqalliyyâth sebagai bentuk formulasi metodologis ijtihad yang sama sekali baru, melainkan sebatas pengembangan dari kaidah-kaidah fiqh yang telah ada. Hal ini sedikit berbeda dengan al-Alwâni yang mendeskripsikan fiqh alaqalliyyâth sebagai bentuk framework fiqh baru yang memiliki aspek kekhususan dan relevansi dengan model dan gaya hidup masyarakat muslim minoritas di negeri mereka sendiri. Artinya dalam pandangan Al-Alwanî, fiqh al-aqalliyyâth bukanlah fiqh yang diproduksi atas dasar pemanfaatan hukum wadh’î seperti azîmah (firm of obligations) dan rukhshah (concessions) semata, bukan pula sekedar fiqh yang muncul dari hasil interpretasi ulang atas fiqh yang telah ada (ta’wûlat).14 Dari sini dapat dipahami bahwa tampaknya al-Alwâni lebih melihat fiqh al-aqalliyyâth dari aspek teoritis, konstruks dan framework metodologisnya sebagai sebuah bentuk temuan ilmu yang utuh. Sementara pandangan AlQaradhawî lebih menyentuh tataran praktis dan fungsional, bahwa arah dan tujuan fiqh al-aqalliyyâth adalah untuk memberikan solusi atas permasalahan fiqh kepada masyarakat muslim minoritas di negara non-muslim.15 2. Pendiri dan Institusi Dr. Thâhâ Jâbir Al-Alwânî disebut-sebut sebagai penggagas pertama konsep fiqh al-aqalliyyâth karena tulisannya pada tahun 2001 yang berjudul Nazarât Ta’asisiyya fî Fiqh al-aqalliyyâth (pandangan dasar tentang fiqh al-aqalliyyâth) pada situs Islamonline.net, di situs inilah ia mendeskripsikan dasar-dasar teorinya tentang fiqh al-aqalliyyâth. Hingga saat ini Al-Alwânî menjabat sebagai president Graduate School of Islamic and Social Sciences di Ashburn Virginia sekaligus pendiri Fiqh Council of North America (FCNA). Doktor bidang ushûl al-fiqh dari universitas al-Azhar ini lahir di Irak tahun 1935, dalam tulisannya Al-Alwânî, Thâhâ Jâbir, Maqâshid al-Sharia, h. 4. Al-Alwânî, Thâhâ Jâbir, Maqâshid al-Sharia, h. 1-10. 15 Al-Qaradhawî, Yûsuf, Taysîr al-Fiqh li-Muslim al-Mu’âsir fî Daw’ al-Qur’ân wa al-Sunnah, Beirut: Muasasat al-Risâlah, 1996, h. 91. 13 14
ia menjelaskan problem yang muncul tentang bagaimana kaum muslim yang ingin hidup berdasarkan hukum syarî‟ah harus berhadapan dengan sistem pemerintahan yang non-syarî‟ah. Tidak hanya itu, mereka yang benar-benar ingin menerapkan hukum syarî‟ah bahkan terancam kehilangan kewarganegaraannya secara hukum. Karena itu kemunculan fiqh al-aqalliyyâth adalah hal yang semestinya, karena itu ia memposisikan fiqh al-aqalliyyâth sebagai bagian dari fiqh al-Nawâzil.16 Orang penting kedua yang layak disebut sebagai pendiri teori ini adalah Syeikh Yûsuf Al-Qaradhawî. Ia lahir pada tahun 1926 di Mesir dan meraih gelar doktor pada tahun 1973 dari universitas al-Azhar. Ulama kontemporer terkemuka yang sudah menulis ratusan buku ini dikenal sebagai pendiri European Council for Fatwa and Research (ECFR),17 dengan tujuan untuk memberikan pelayanan dan panduan hukum Islam bagi masyarakat muslim minoritas di Eropa. Dalam bukunya Fiqh alaqalliyyâth al-Muslimah: Hayât al-Muslimîn Wasath al-Mujtama’ât alUkhrâ (Fiqh Muslim Minoritas: Kehidupan kaum muslimin di tengah-tengah masyarakat yang asing), Al-Qaradhawî menjelaskan kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyah secara umum yang digunakan dalam fatwa-fatwa fiqh al-aqalliyyâth beserta contoh-contoh aplikasinya.18 Adapun sarjana-sarjana progresif lainnya yang menjadi kontributor perkembangan konsep fiqh al-aqalliyyâth ini di antaranya Abdullah bin Mahfudh bin Bayyah. Sarjana lulusan King Abdul Aziz University bermadzhab Maliki ini dilahirkan di Mauritania pada tahun 1935. Selain menjadi Vice-President of International Union of Muslim Scholars sejak pertengahan tahun 2013. Ia juga sebagai anggota ECFR di Dublin Irlandia. Dalam karyanya yang berjudul “Shinâ’ah al-Fatwâ wa Fiqh al-aqalliyyâth” ia menjabarkan tentang dasar-dasar teoritis berijtihad dalam fiqh alaqalliyyâth.19 Nama lain yang dapat disebutkan disini adalah Abd al-Majîd al-Najjâr, Sarjana Tunisia lulusan universitas al-Azhar Caeiro, Alexandre, The European Council for Fatwa and Research, Paper direpresentasikan pada The Fourth Mediterranean Social and Political Research Meeting, Florence & Montecatini Terme, 19-23 maret 2003. 17 Rosen, Ehud, The Society of the Muslim Brothers (Brotherhood), Jerusalem: Jerusalem Center for Public Affairs, 2010, h. 12. 18 Al-Qaradhawî, Yûsuf, Fi Fiqh al-aqalliyyâth, h. 61-188. 19 Bayyah, „Abd Allâh bin, Shinâ’ah al-Fatwâ wa Fiqh al-aqalliyyâth, Lubnân: Dâr al-Minhâj, 2007. 16
yang juga dikenal sebagai penggagas konsep “fiqh of citizenship” (fiqh kewarganegaraan) ini menekankan pentingnya menunjukkan jatidiri seorang muslim dengan menjalankan syari‟at Islam di negaranya sendiri tanpa mengganggu interaksi dengan budaya dan aturan kewarganegaraan yang non-Islam. Dan menurut alNajjâr, framework fiqh al-aqalliyyâth dapat diandalkan untuk memenuhinya.20 Demikian juga dengan kontributor lainnya seperti Tariq Ramadan, yang dalam bukunya “Western Muslims and the Future of Europe,” menyatakan bahwa muslim di Eropa tidak selayaknya disebut sebagai “Muslim minorities in the West” tetapi harus disebut sebagai “ Western Muslims”, yakni umat muslim dimasa kontemporer beserta identitasnya harus diakui sebagai bagian dari komunitas Barat. Baginya umat muslim harus dianggap sebagai partner masyarakat di Barat, bukan sebagai kaum minoritas.21 Selain nama-nama tersebut masih terdapat beberapa sarjana muslim pendukung, seperti Ahmad al-Raysûnî dan Muqtader Khan.
B. Framework Ijtihad 1. Karakteristik Untuk mencapai tujuan-tujuan dari ijtihad fiqh alaqalliyyâth, menurut al-Qaradâwî ada beberapa hal yang menjadi karakteristik fiqh ini, yakni: (1) Fiqh al-aqalliyyâth adalah fiqh yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip umum dan dasardasar metodologis dengan menggunakan kaidah-kaidah fiqh dan ushûl al-fiqh untuk menghasilkan bentuk fiqh yang mampu mengatasi problematika hukum Islam kontemporer. Menurut pengamatan penulis, perbedaannya dengan fiqh yang telah ada adalah bahwa model ijtihad fiqh konvensional tampak lebih berorientasi pada teks, sedangkan model ijtihad fiqh al-aqalliyyâth ini lebih berorientasi pada pencapaian Maqâshid al-syarî’ah (maksud-maksud syarî‟ah). (2) Fiqh al-aqalliyyâth merupakan bentuk refleksi dari universalitas hukum Islam dan realitas sosial masyarakat muslim kontemporer, dimana legal framework fiqh tersebut tidak mungkin bertentangan dengan syari‟at Islam. (3) Aspek keunikan fiqh ini tampak sekali ketika ditarik ke dalam 20 Al-Najjâr, Abd Al-Majîd, Fiqh al-Muwâtana Lil Muslimîn Fî Arubbâ, http://www.moslimonline.com/download.php?id=204. Di akses pada10 desember 2013. 21 Ramadan, Tariq, Western Muslims and the Future of Islam, UK: Oxford University Press, 2004.
realitas masyarakat muslim mayoritas, karena fiqh ini tumbuh dari kondisi kultur dan religius kaum muslim minoritas. Artinya produk hukum dalam fiqh al-aqalliyyâth memang baru dan belum dijumpai dalam kitab-kitab fiqh klasik, karena fiqh klasik memang ditulis dalam konteks umat Islam dalam posisi mayoritas berikut kontekstualitasnya.22 2. Metodologi Proses ijtihad dalam framework fiqh al-aqalliyyâth didasarkan pada dua premis yang secara eksplisit dapat dilihat melalui dua karakter, yakni universalitas Islam (‘Alamiyyât alIslâm) dan tujuan-tujuan syarî‟ah (maqâshid al-syarî‘ah). Premis yang pertama merefleksikan bahwa Islam merupakan suatu ajaran global, selanjutnya konsep universalitas ini menekankan pada fakta bahwa suatu fatwa atau fiqh selalu berubah dari waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat lainnya, selain juga merefleksikan ijtihad fiqh al-aqalliyyâth sebagai upaya mendapatkan identitas dari apa yang disebut sebagai “The Western Muslim”.23 Premis kedua adalah apa yang dikenal dengan istilah maqâshid al-syarî‘ah yang mana konsep ini tidak mungkin terwujud tanpa melakukan kombinasi yang proporsional antara nash dan realitas konteks. Salah satu hal yang mendasari penekanan ini oleh al-„Alwânî adalah karena peninggalan fiqh masa silam tidak selalu dapat memecahkan kebuntuan yang dihadapi kaum muslim minoritas.24 Menguatkan argumen al-„Alwânî, al-Qaradhâwî berpendapat bahwa yang paling mampu untuk merespons problematika hukum kontemporer adalah ijtihad dengan berpegang pada dua prinsip metodologis tersebut, yakni prinsip maqâshidi dan prinsip ‘alamiyyât al-Islâm. Kedua prinsip tersebutlah yang kemudian melahirkan prinsip-prinsip ijtihad dalam fiqh alaqalliyyâth seperti dharûrah (necessity), taysîr (leniency), dan maslahah (benefit).25 Sedangkan metodologi ijtihad yang juga digunakan dalam proses ijtihad fiqh al-aqalliyyâth adalah qiyâs
Sultan, Salah, Methodological Regulations for the Fiqh of Muslim Minorities, available at: http://islamicstudies.islammessage.com/Article.aspx?aid=308 di akses pada 19 desember 2013. 23 Sultan, Salah, Methodological Regulations. 24 Al-Alwânî, Thâhâ Jâbir, Maqâshid al-Sharia, h. 1-4. 25 Sultan, Salah, Methodological Regulations. 22
(deduction), maslahah al-mursalah (public interest not based on text) dan‘urf (custom).26 Menurut Al-Qaradhawî, setidaknya ada dua pola ijtihad yang dikembangkan dalam fiqh al-aqalliyyâth yaitu: (1) metode intiqâ’î, yaitu metode penetapan hukum fiqh yang dilakukan dengan mengungkap pendapat-pendapat ulama terdahulu beserta dalil-dalil yang digunakan mereka kemudian membandingkan dan memilih pendapat yang lebih kuat dalilnya dan lebih sesuai dengan kondisi sekarang, atau yang paling kuat keberpihakannya pada realisasi Maqâshid al-syarî’ah. (2) metode inshâ’î, metode penetapan hukum fiqh - dengan metode ijtihad tertentu - untuk mengambil konklusi hukum baru dalam suatu permasalahan yang belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu. Masalah tersebut bisa jadi belum pernah dibahas sama sekali oleh mereka atau sudah pernah dibahas tapi seorang ahli fiqh kontemporer mempunyai keputusan hukum yang berbeda dengan keputusan ulama sebelumnya.27 Hal ini bisa terjadi karena adanya perkembangan zaman yang senantiasa memerlukan pemecahan permasalahan hukum dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi yang ada. Sehingga bisa jadi masalah yang muncul sekarang belum pernah ada pada zaman para ahli hukum terdahulu, atau masalah tersebut sudah pernah ada namun hasil keputusan mereka tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi kontemprer dewasa ini.28 Selain kedua pola ijtihad di atas, menurut Al-Qaradhawî dalam framework ijtihad fiqh al-aqalliyyâth juga dikembangkan model ijtihad dengan pendekatan Maqâshid al-Syarî‟ah dengan beberapa kaidah dasar berikut; (1) Memperhatikan setiap illat, maksud, dan kemaslahatan sebelum menentukan hukum syar‟î, (2) Penentuan Maqâshid al-syarî’ah harus dengan dalil, (3) Kemaslahatan dan kemafsadatan harus disusun secara hierarkis, (4) Memahami sebab-sebab turunnya nash beserta konteks sosial yang melingkupinya, (5) Membedakan hukum yang bersifat
http://www.e-cfr.org/eng/article.php?sid=47. Di akses pada 20 desember 2013. 27 Al-Qaradhawî, Yûsuf, Al-Ijtihâd al-Mu’âshir, Kairo: Dâr al-Tauzî‟ wa al-Nasyr al Islâmiyyah, 1994, h.115. 28 Al-Qaradhawî, Yûsuf, Al-Ijtihâd al-Mu’âshir, h.127. 26
ta’abbudî dan ta’aqqulî, (6) Pembedaan antara tujuan (Maqâshid) dan perantara (washâ’il).29 3. Ifta Salah satu institusi terbesar fiqh al-aqalliyyâth di Eropa yang tercatat paling banyak mengeluarkan fatwa adalah European Council for Fatwa and Research (ECFR). Institusi tersebut berkedudukan di Irlandia dan dipimpin oleh Syeikh Yusuf AlQaradhawî. Fatwa-fatwa ECFR telah di kodifikasikan menjadi dua jilid. Jilid pertama terdiri dari 43 tafwa dan telah diterbitkan oleh ECFR30 dengan fatwa-fatwa yang tampak elastis, realistis, dan moderat. Secara umum fatwa-fatwa tersebut merekomendasikan terpeliharanya hukum Islam dalam kehidupan minoritas muslim dengan tanpa meninggalkan hukum yang berlaku dalam konstitusi negara, budaya, adat-istiadat di negeri non-muslim dimana mereka tinggal. Kemudian koleksi jilid kedua terdiri dari 37 fatwa. Seperti pada jilid pertama, fatwa-fatwa pada jilid kedua tersebut juga tampak mencerminkan pandangan yang moderat, kooperatif dan kental dengan nuansa kultur dan style of live Eropa. Untuk memahami proses ifta, perlu diketahui bahwa dalam ECFR terdapat semacam komite fatwa yang terdiri dari beberapa pakar syarî‟ah dari beberapa negara, yang dapat dilihat dalam tabel berikut; Daftar anggota ECFR31 No Country of Residence Members 1
United Kingdom
6
2
France
5
3
Germany
3
4
Austria, Bosnia, Canada, Ireland, 1 each Nederlands, Norway, Switzerland, United
Al-Qaradhawî, Yûsuf, Dirâsah fî fiqh Maqâshid al-Syarî’ah: bayna al-Maqâshid al-kulliyah wa nushûsh al-juz’iyyah, Kairo: Dâr al-Syurûq, 2008, h. 153-199. 30 Ramadan, Tariq, Western Muslims. 31 http://www.e-cfr.org/eng/article.php?sid=47. Di akses pada 21 November 2013. 29
States 5
Saudi Arabia
3
6
Qatar, Sudan
2 each
7
Egypt, Kuwait, Lebanon, Mauritania, UEA
1 each
Source: Personal observations and ECFR Official website. Setelah pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan kejelasan hukum dari masyarakat masuk ke sekretariat ECFR, maka komite segera melakukan riset dan studi mendalam, untuk itu komite ini melakukan pertemuan setiap dua minggu sekali guna mempresentasikan pandangan-pandangan hukum setiap anggotanya. Jawaban yang disepakati komite, itulah yang kemudian diberikan secara institusional dan dipublikasikan. Apabila ada pertanyaan yang belum terjawab, maka kemudian dikirim ke institusi lain yang lebih besar dan lebih luas kapasitasnya (seperti The International Islamic Fiqh Academy, atau Muslim World League Fiqh Council yang berkedudukan di Mekkah), untuk didiskusikan jawaban yang paling tepat. Johansen-Karman menyebutkan bahwa mayoritas yang membutuhkan fatwa adalah kaum wanita,32 demikian pula menurut Alexandre Caeiro dan Schlabach. Karena menurutnya ada perbedaan besar dan mendasar antara fiqh klasik dan fiqh modern tentang isu-isu kewanitaan. Dalam hal ini kompleksitas masalah yang dihadapi kaum wanita muslimah minoritas tampaknya lebih besar, sehingga munculnya fatwa-fatwa fiqh kontekstual sangat dibutuhkan oleh kaum wanita.33 Di antara materi fatwa yang telah diputuskan hukumnya misalnya: Pertama, fatwa dalam konteks ibadah, seperti mengucapkan selamat atas hari raya penganut agama lain dan masalah waktu K. L. Johansen Karman, Rethinking Islamic Jurisprudence for Muslim Minorities. The Politics and the Work of Contemporary Fiqh Councils. (Artikel tidak dipublikasikan). 33 Caeiro, Alexandre, The European Council. 32
sholat Jum‟at. Fatwa resmi ECFR menyatakan bahwa ucapan selamat hari raya kepada mereka adalah suatu perbuatan yang diperbolehkan karena bagian dari perbuatan baik ketika memang memberikan efek positif dalam pola interaksi kemanusiaan, yang tidak diperbolehkan adalah mengikuti acara ritual keagamaan mereka.34 Fatwa lainnya adalah tentang waktu sholat jum‟at. Ada yang mengajukan pertanyaan kepada ECFR tentang bagaimana hukumnya melaksanakan sholat jum‟at sebelum tergelincirnya matahari (qabl al-zawâl) atau setelah masuknya waktu sholat ashar (ba’d al-‘ashr), dengan alasan sempitnya waktu khutbah dan sholat Jum‟at pada waktu dhuhur di beberapa negara, terutama pada musim dingin, atau karena tiadanya kesempatan menunaikan sholat Jum‟at karena berbenturan dengan jadwal kerja atau kuliah, kecuali pada waktu pagi atau sore. Menanggapi pertanyaan ini AlQaradhawî menyatakan bahwa jumhur ulama menyepakati waktu sholat Jum‟at adalah pada waktu sholat dhuhur, yakni dari tergelincirnya matahari sampai pada posisi matahari yang memungkinkan bayangan suatu benda telah menyamai benda aslinya dikurangi bayangan ketika matahari tergelincir. Namun Al-Qaradhawî kemudian mengemukakan beberapa pandangan madzhab yang berbeda dengan pandangan jumhur ulama. Di antaranya pandangan ulama Hanabilah yang memberikan kelonggaran waktu sholat Jum‟at di awal waktu atau di akhir waktu sholat Jum‟at yang dikemukakan oleh ulama Malikiyah.35 Menurut Al-Qaradhawî, pilihan seperti itu lebih baik daripada melalaikan sholat Jum‟at itu sendiri. Meskipun demikian, ketika kesempatan melaksanakannya tepat pada waktu yang telah disepakati itu ada, maka melakukannya bersama tanpa perselisihan itu adalah yang lebih baik.36 Kedua, dalam konteks ekonomi, tentang hukum membeli rumah dengan kredit bank berbunga. Dalam masalah ini, ECFR menyatakan kebolehannya dan bahkan Yûsuf Al-Qaradhawî sebagai pimpinannya meralat pendapatnya sendiri yang sebelumnya melarang dan menolak tegas pandangan yang membolehkannya.37 Pandangan Al-Qaradhawî ini didasarkan pula pada beberapa pendapat fuqaha kontemporer seperti Muhammad Rashîd Ridhâ, Musthafâ Zarqâ‟ dan keputusan beberapa lembaga Al-Qaradhawî, Yûsuf, Fi Fiqh al-aqalliyyâth, h. 145-151. 35 Al-Qaradhawî, Yûsuf, Fi Fiqh al-aqalliyyâth, h. 72-75. 36 Al-Qaradhawî, Yûsuf, Fi Fiqh al-aqalliyyâth, h. 75-77. 37 Al-Qaradhawî, Yûsuf, Fi Fiqh al-aqalliyyâth, h. 154-155. 34
fatwa international seperti Lembaga Fatwa Kuwait, Majelis Ulama Dunia, ECFR dan FCNA yang memiliki kesimpulan sama tentang bolehnya membeli rumah dengan memanfaatkan kredit bank berbunga (ribawî) karena suatu kebutuhan yang mendesak. Alasan kedua yang dikemukakan oleh Yûsuf Al-Qaradhawî adalah analisis manfaat dan keuntungan yang akan diperoleh dan mengantarkan pada kemaslahatan hidup minoritas muslim di Barat.38 Ketiga, fatwa dalam konteks politik, salah satunya adalah, apa hukum seorang muslim ikut serta dalam sebuah sistem pemerintahan yang tidak Islami? Dalam hal ini ECFR membolehkan keikutsertaan muslim minoritas untuk ikut berpartisipasi politik. Pandangan ECFR lebih menekankan pada konteks dan berorientasi pada kemaslahatan, yang merupakan inti dari Maqâshid al-sharî‟ah. Teks-teks dalil yang digunakan sebagai dasar dalam fiqh klasik, seperti karya al-Ghazâlî, al-Mâwardî, dan al-Farrâ‟ lebih dipahami dari sisi tujuannya dibandingkan dengan sisi makna harfiyyah teks itu sendiri. Pandangan ECFR ini sangat sesuai dengan pandangan FCNA dan pandangan beberapa sarjana muslim Amerika kontemporer seperti Muqtader Khan yang jelasjelas mendukung Obama pada pemilu Amerika tahun 2008 dengan menjadikan terwujudnya kemaslahatan bagi umat muslim khususnya dan dunia pada umumnya, sebagai konsiderasi utama (Khan, 2008). Keempat, Fatwa dalam bidang al-ahwâl al-syahsiyah, yakni tentang hukum seorang muslim menerima warisan dari keluarganya yang non-muslim. Pertanyaan ini dikemukakan oleh seorang laki-laki mu’allaf (baru masuk Islam) yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya yang masih tetap beragama non-Islam. Laki-laki tersebut adalah pewaris tunggal dari kedua orang tuanya yang meninggalkan harta warisan cukup banyak. Pertanyaannya, apakah boleh dia menerima warisan dari orang tuanya sementara hadis dengan tegas menyatakan bahwa orang muslim tidak boleh mewarisi orang kafir, dan sebaliknya orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang muslim? Sebenarnya tidak ada yang memungkiri derajat keshahihan hadis tentang larangan saling mewarisi antara orang Islam dan orang kafir tersebut. Semua ulama madzhab setuju dan tidak berselisih pendapat dalam hal ini. Meskipun demikian, Yûsuf Al-Qaradhawî memilih untuk mengikuti pendapat yang tidak populer di kalangan empat 38
Al-Qaradhawî, Yûsuf, Fi Fiqh al-aqalliyyâth, h. 154-191.
madzhab yang menyatakan bahwa orang Islam boleh menerima warisan dari non-muslim, tetapi tidak berlaku sebaliknya. Pendapat Yûsuf Al-Qaradhawî ini berdasarkan beberapa riwayat zaman sahabat, salah satunya adalah riwayat dari Umar, Mu‟âdz, dan Mu‟âwiyah, bahwa mereka memperbolehkan orang Islam menerima warisan dari orang non-muslim, tetapi tidak berlaku sebaliknya. Selain itu, kebolehannya ini juga dibandingkan dengan kebolehan orang laki-laki muslim menikahi perempuan ahl al-kitâb, sementara laki-laki ahl al-kitâb tidak boleh menikahi perempuan muslimah.39 Lebih lanjut Yûsuf Al-Qaradhawî menyatakan bahwa dimensi kemaslahatan menerima warisan dari non-muslim akan lebih besar daripada membiarkan harta waris itu dikuasai umat non-muslim yang kemungkinan akan dipergunakan untuk kepentingan maksiat atau pengembangan agama mereka. Berdasarkan takwîl madzhab Hanafî tentang hadis “Seorang muslim tidak boleh dibunuh hanya karena membunuh orang kafir.” Menurut mereka, orang kafir yang dimaksudkan adalah orang kafir harbî yang memerangi Islam. Oleh karena itu menurut Al-Qaradhawî, larangan saling mewarisi juga berlaku hanya antara muslim dan kafir harbî.40 Sebenarnya masih terdapat fatwa-fatwa kontemporer lainnya yang dikeluarkan oleh institusi fatwa di Eropa seperti ECFR, dalam bidang yang lebih luas selain dari yang telah disebutkan di atas. Misalnya fatwa tentang dibolehkannya istri yang pindah masuk Islam untuk tetap hidup bersama suaminya yang non-muslim41 dibolehkannya wanita melepas jilbabnya ketika aturan hukum negara menghalangi pemakaian jilbab, dan juga dibolehkannya seorang muslim bekerja di perusahaan yang menjual atau memproduksi khamr dan atau produk-produk tidak halal lainnya menurut hukum Islam.42
C. Legalitas 1. Kritik atas Legalitas Fiqh Al-aqalliyyâth
Al-Qaradhawî, Yûsuf, Fi Fiqh al-aqalliyyâth, h. 126-128. 40 Al-Qaradhawî, Yûsuf, Fi Fiqh al-aqalliyyâth, h. 128-131. 41 Al-Qaradhawî, Yûsuf, Fi Fiqh al-aqalliyyâth, h. 105. 42 Al-Alawî, Irfan, A Guide to Shari’ah Law and Islamist Ideology In Western Europe 2007-2009, Washington London-Koln-Sarajevo: The Centre for Islamic Pluralism, 2009, h. 127. 39
Sebagai sebuah karya hasil pemikiran manusia, fatwa-fatwa fiqh al-aqalliyyâth tentunya tidak luput dari kritikan, baik oleh kelompok sosial maupun individual. Salah satu yang secara keras mengritik kehadiran fiqh kontemporer ini adalah Muhammad Said Ramadhan al-Buti, seorang ulama masa kini yang lahir tahun 1929 di Cilka, sebuah desa kecil kaum kurdish di daerah Boutan di propinsi Sirnak Turki.43 Ulama kenamaan lulusan al-Azhar University ini menetap di Damaskus Syria dan wafat beberapa waktu silam karena konflik politik yang melanda negeri itu. Semasa hidupnya beliau sempat menyatakan kritik kepada salah satu institusi fiqh al-aqalliyyâth yakni ECFR yang dikepalai Yusuf al-Qaradhawi. Dalam kritiknya ia menyatakan bahwa fiqh alaqalliyyâth sebagai konstruks fiqh baru untuk muslim minoritas di Barat menurutnya bukanlah suatu hal yang baik, dan hanya akan menciptakan perselisihan.44 Menurut al-Buti, seorang mufti fiqh alaqalliyyâth haruslah memiliki pengetahuan yang cukup tentang Barat dan situasi kaum muslim yang menetap disana untuk memahami realitas yang mereka hadapi.45 Ketika Al-Alwânî menyatakan bahwa fiqh tradisional tidak mampu memecahkan problem masyarakat muslim di Barat, karena itu kaum muslim hendaknya meng-konstruks ulang fiqh dengan metode yang baru, agar fiqh lebih menyentuh realitas daripada sekedar nilai teoritis. Al-Buti menanggapi hal ini dengan menyatakan bahwa hakekatnya organisasi keislaman semacam ECFR, FCNA, dan lainnya hanya bertujuan untuk menarik perhatian dan simpati Barat. Hal ini tampak bahwa sepertiga bahkan setengah dari anggotanya hanyalah orang-orang yang tidak memiliki kompetensi yang cukup untuk berfatwa, karena menurut al-Buti, mereka tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang ilmu ushul al-fiqh, ini adalah hal yang aneh untuk seorang mujtahid.46 Al-Buti menegaskan bahwa dalam ilmu ushûl al-fiqh ada ijma‟ (consensus of muslim scholars) tentang karakter seorang mufti dan batas kompetensi yang harus Al-Buti, Muhammad Said Ramadan, Hâdhâ Wâlidi: al-Qissa alKâmila li hayât al Shaykh mullah Ramadân al-Buti min wilâdatihi ilâ wafâtihi, Damaskus: Dâr Al-Fikr, 2006. 44 Lihat selengkapnya pernyataan Muhammad Said Ramadan AlButi dalam karyanya Al-Islâm wa al-Gharb, Damaskus: Dâr Al-Fikr, 2007. 45 Al-Buti, Muhammad Said Ramadan, Al-Islâm wa al-Gharb. Lihat juga artikel Budak, Zekeriya, Al-Bouti’s attitude towards fiqh al-aqalliyyâth, Leiden, 2011. 46 Budak, Zekeriya, Al-Bouti’s attitude, h. 35. 43
dimilikinya. Berdasarkan ushul al-fiqh, semua orang harus mengikuti aturan yanng ditetapkan oleh para ulama mujtahid masa lalu tentang siapa yang mendapat otoritas untuk mengeluarkan fatwa. Dalam pandangan al-Buti, para sarjana anggota institusi fatwa di Barat, termasuk ECFR tidak termasuk kelompok orang yang memiliki otoritas untuk berijtihad, mereka tidak lebih hanyalah para muqallid (imitator).47 Dalam kritiknya, alButi juga mensinyalir adanya tujuan politis dari lembaga fatwa ECFR. Menurutnya, anggota ECFR didominasi oleh kelompok gerakan Ikhwan al-Muslimin, bahkan hampir seluruh anggotanya memiliki ikatan dengan gerakan tersebut. Menurutnya, fatwafatwa fiqh dengan karakteristik moderat seolah-olah sengaja dibuat untuk kepentingan politis gerakan ini, setidaknya untuk menarik simpati dari politisi Barat.48 Al-Buti juga menolak pandangan Al-Alwânî yang menyatakan bahwa tujuan fiqh al-aqalliyyâth adalah untuk membentuk kaum muslim minoritas sebagai representasi model masyarakat Islam di negeri non-Islam. Sebagai contoh, membolehkan pemakaian uang pinjaman dari bank yang menggunakan sistem riba dengan alasan dharurat, melegalkan pernikahan wanita yang pindah masuk Islam dengan suami yang tetap kafir, membolehkan orang bekerja di perusahaan khamr dan produk-produk yang tidak halal lainnya, dan mengijinkan wanita untuk melepas jilbabnya jika undang-undang melarang wanita memakainya, fatwa-fatwa yang demikian itu menurut al-Buti tidak pernah disepakati oleh The International Fiqh Council yang berpusat di Jeddah sebagai pemegang otoritas fatwa tertinggi di dunia.49 Dalam konteks ini penulis melihat bahwa dalam pemikiran al-Buti, suatu bentuk ataupun model konstruks fiqh baru, hanya bisa diakui ketika tidak bertentangan dengan pandangan jumhur ulama. Masih menurut al-Buti, bahwa fiqh alaqalliyyâth lebih sesuai desebut sebagai fiqh al-darurât, karena nama ini dipandang dapat mengelaborasi aspek teoritis secara lebih menyeluruh. Karena itu setiap orang hendaknya dapat memperkirakan standart dharurat sesuai dengan situasi yang dihadapi masing-masing, selama masih memegang prinsip-prinsip dharurat.50 Al-Buti, Muhammad Said Ramadan, Al-Islâm wa al-Gharb, h. 144. Budak, Zekeriya, Al-Bouti’s attitude, h. 36. 49 Al-Buti, Muhammad Said Ramadan, Al-Islâm wa al-Gharb, h.145. 50 Al-Buti, Muhammad Said Ramadan, Al-Islâm wa al-Gharb, h. 146. 47 48
Dalam hal kapasitas seorang mufti, terdapat sedikit kesamaan pandangan antara al-Buti dan Abou El-Fadl, yang menganggap bahwa mereka yang mengisi posisi lembaga dan organisasi keislaman lainnya di Barat adalah kelompok profesional di luar bidang hukum Islam, seperti para dokter, insinyur, atau akademisi yang menekuni studi selain hukum Islam. Merekalah yang sementara ini menjadi konsultan keislaman di berbagai masjid dan organisasi keislaman. Dalam konteks Amerika, Khaled Abou El-Fadl menyatakan bahwa bidang syarî‟ah masih dipenuhi oleh orang-orang yang mengklaim diri ahli, tetapi tidak mampu membedakan antara hukum yang sesungguhnya bersifat fundamental dan yang bersifat partikular.51 Kritik lainnya datang dari seorang tokoh Hizb al-Tahrir, Asif K Khan melalui artikel yang ditulisnya, ”The Fiqh of Minorities: The New Fiqh to Subvert Islam”.52 Menurutnya, produk fatwa dari fiqh al-aqalliyyâth hanyalah bukti dari sebuah proses korupsi pemikiran yang menghasilkan solusi kebarat-baratan. Atau sebuah proses pemikiran yang kental dengan pengaruh kapitalisme dan tidak mampu memahami batas-batas ideologi Islam. Meskipun para pendukung fiqh al-aqalliyyâth beralasan bahwa salah satu tujuan mereka adalah untuk terciptanya tatanan masyarakat muslim yang seimbang baik peranannya dalam kehidupan bernegara maupun kewajibannya untuk menjadi seorang muslim yang taat pada doktrin agama, namun Asif Khan beranggapan bahwa apa yang dilakukan para pendukung fiqh al-aqalliyyâth bukanlah jalan yang dibenarkan oleh syarî‟ah, selain itu tujuantujuan yang baik tidak akan dapat tercapai tanpa adanya komitmen untuk menegakkan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh syarî‟ah. Karena menurutnya hal-hal yang dilarang (muharramat) dalam syarî‟ah (yang kemudian dibolehkan dalam fatwa fiqh al-aqalliyyâth) diturunkan untuk mencegah umat Islam dari kerusakan.53 2. Analisis Terhadap Legalitas Fiqh Al-aqalliyyâth Menurut analisis penulis, kritikan-kritikan yang dilontarkan baik oleh al-Buti maupun Asif Khan di atas tampak lemah untuk dijadikan konsiderans karena beberapa hal berikut: Leonard, Karen, “American Muslim Politics,” dalam Ethnicities, vol. 3, no. 2, 2010. 52 Khan, Asif K, The Fiqh of Minorities; The New Fiqh to Subvert Islam, London: Khilafah Publication, 2004. 53 Khan, Asif K, The Fiqh of Minorities. 51
Pertama, kritikan al-Buti maupun Asif Khan tidak menyentuh ranah metodologis fiqh al-aqalliyyâth secara spesifik dan proporsional, sehingga sulit membuktikan kelemahan-kelemahan epistemologis ijtihad fiqh al-aqalliyyâth. Kedua, pernyataan al-Buti yang menganggap bahwa motivasi lembaga-lembaga fatwa di Barat berikut yang ada di dalamnya hanya untuk menarik simpati Barat demi mendapatkan keuntungan politis adalah pernyataan yang tidak disertai bukti ilmiah sehingga meragukan kebenarannya. Kalaupun misalnya tuduhan ini benar, maka tetap saja secara ilmiah tidak dapat meruntuhkan legalitas framework fiqh al-aqalliyyâth. Ketiga, kritikan yang dilontarkan untuk menganulir fiqh al-aqalliyyâth tampak tidak disertai solusi yang realistis untuk kaum minoritas muslim di Barat, sehingga secara nalar kritikan-kritikan tersebut sulit diterima. Terlepas dari pro-kontra framework dan fatwa fiqh minoritas tersebut, setidaknya ada beberapa hal yang ingin penulis cermati sebagai respons untuk menjustifikasi legalitas fiqh alaqalliyyâth. Pertama, aspek metodologis yang digunakan dalam proses ijtihad fiqh al-aqalliyyâth. Kedua, aspek sosiologis yang ditampilkan dalam fatwa-fatwa fiqh al-aqalliyyâth. dan ketiga, aspek filosofis yang dalam hal ini akan sedikit diulas tentang Maqâshid alsyarî’ah sebagai tujuan universal hukum Islam. Pertama, aspek metodologis. Sebenarnya sumber hukum dan metodologi yang digunakan dalam proses ijtihad fiqh alaqalliyyâth adalah sumber metodologi yang dilegalkan oleh para ushuliyyun. Sebagaimana yang diketahui bahwa ada tiga sumber pokok dalam hukum Islam, yakni al-Qur‟an, Sunah, dan ijma‟. Sedangkan metodologi ijtihad yang lazim digunakan para ulama mazhab di antaranya qiyâs (deduction), maslahah al-mursalah (public interest not based on text) dan‘urf (custom). Kesemuanya tampak sekali digunakan dalam proses dan hasil ijtihad yang dikembangkan ECFR. Sebenarnya perkembangan dan pembentukan metodologi hukum Islam dilakukan para mujtahid masa lalu maupun masa kini (selain sebagian kecil kelompok Islam puritan) tidak luput dari melalui proses sintesis antara pokokpokok nilai (substansi hukum) dan kebutuhan masyarakat54 Fiqh al-aqalliyyâth, selain berpegang pada sumber-sumber hukum Islam dan metodologi yang legal tersebut, juga menekankan pada
54 Hallaq, Wael B., A History of Islamic Legal Theories, United Kingdom: Cambridge University Press, 1997, h. 213-230.
beberapa prinsip hukum Islam seperti maslahah (public interest), dharûrah (necessity), dan taysîr (making fiqh easy). Sejauh pengamatan penulis, konstruks ijtihad fiqh alaqalliyyâth sebenarnya telah melalui proses dan metode sebagaimana yang ditempuh oleh para ulama mujtahid mazhab yang diakui. Adapun perbedaan hasil ijtihad adalah hal yang wajar dan harus diterima, karena perbedaan tersebut tentunya sangat dipengaruhi oleh konteks dan kondisi sosial yang dihadapi setiap mujtahid. Adapun ketika didapati fatwa dalam fiqh alaqalliyyâth yang tampak keluar dari salah satu pokok sumber hukum Islam, tidak lantas dianggap telah keluar dari prosedur ijtihad yang legal. Karena bagaimanapun hal itu dapat juga dijumpai dalam pernyataan para ulama terdahulu, juga ulama kontemporer. Misalnya pakar ushûl al-fiqh Abd al-Wahhab Khallaf (w. 1956), yang berpendapat bahwa nash yang turun pada konteks masa lalu tidak mengikat untuk diterapkan pada generasi berikutnya apabila nash tersebut tidak lagi relevan dengan maslahah al-mursalah (public interest).55 Karena itu, sebagai karya pemikiran ulama kontemporer, penolakan terhadap hasil ijtihad fiqh al-aqalliyyâth adalah hal yang tidak perlu dipungkiri, tetapi tentunya tidak berarti lantas menghilangkan aspek legalitas fatwafatwa fiqh al-aqalliyyâth, karena fiqh tersebut dibangun atas dasar metodologi yang legal. Kedua, aspek sosiologis. Secara umum dapat dikatakan bahwa kemunculan fiqh al-aqalliyyâth akibat interaksi umat Islam minoritas dengan masyarakat yang mayoritas tidak beragama Islam. Para pendukung fiqh al-aqalliyyâth beranggapan bahwa karena kita hidup di tengah-tengah peradaban Barat yang modern, maka dibutuhkan suatu metodologi ijtihad fiqh baru untuk menjawab permasalahan hidup yang modern pula. Salah satu contoh yang dikemukakan pendukung fiqh al-aqalliyyâth adalah apa yang dilakukan oleh Imam al-Syâfi‟î (r.a.) yang merubah fatwa-fatwanya dari Madinah ke Bagdad dan kemudian ke Mesir. Menurut Azizah Y. al-Hibri, perubahan hukum yang dilakukan Imam al-Syâfi‟î adalah sebagai konsekwensi perbedaan kondisi, waktu dan tempat yang dialaminya.56
Hallaq, Wael B., A History of Islamic, h. 223. 56 Al-Hibri, Azizah Y, Islamic and American Constitutional Law: Borrowing Possibilities or a History of Borrowing? Pennsyvania: Journal Of Constitutional Law University Of Pennsylvania; Vol. 1: No. 3, 2010. 55
Perubahan hukum Islam sangat dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor zaman dan lingkungan. Para ulama terdahulu telah memaklumi hal ini,57 bahkan pengaruh zaman dan lingkungan terhadap hasil ijtihad hukum Islam telah dibakukan oleh para ushuliyyûn dengan kaedah-kaedah seperti (tidak dipungkiri bahwa perubahan hukum-hukum karena perubahan zaman),58 (adat dapat menjadi hukum),59 (hukum bergantung pada ada tidaknya illat),60 dan kaidah-kaidah lainnya. Yang dimaksud dengan perubahan hukum Islam disini adalah mendahulukan kemaslahatan atas pelaksanaan hukum pada nash, sehingga memunculkan hukum yang berbeda atas pemahaman dari nash yang sama61 atau dalam istilah Al-Qaradhawî adalah upaya penangguhan pelaksanaan hukum yang termaktub dalam redaksi nash karena adanya suatu kondisi tertentu yang lebih menjamin kemaslahatan. Menurut seorang ulama Hanafi, Ibn Abidin, yang dimaksud dengan perubahan hukum Islam bukanlah usaha merubah syari‟at Islam sesuai waktu dan tempat, tetapi melaksanakan hukum syari‟at dengan menyesuaikannya pada ‘urf (adat) yang berlaku di masyarakat.62 Hukum Islam, selain hukum yang bersifat qath’î tsubût (mutawatir dan atau shahih dari sisi periwayatannya) dan qath’î dalâlah (jelas maknanya, tidak memungkinkan untuk dimaknai lebih dari satu makna), maka hukum yang tercantum pada nash-nash dapat berubah dengan berprinsip pada Maqâshid dan illat nash yang dimaksud.63 Dalam konteks Western Society, permasalahanpermasalahan yang dihadapi umat Islam minoritas adalah realitas Al-Syâthibî, Abû Ishaq, Muwâfaqât Fî Ushûl al-Ahkâm, Kairo: t.p, t.th, h. 285-286. 58 Muhammad, Abu Sa‟id, Syarhu majâmi‟, istanbul, t.p. , 1305 H, h. 328. 59 Nujaim, Zainul Abidin Ibrahim Ibn, Al-asbah wa Nadhâ’ir, Mesir: Dâr al-Kutub, 1311 H, h. 134. 60 Al-Ghazâlî, Muhammad bin Muhammad Abu Hamid, AlMustasfa min ‘ilmi al-ushûl, juz 2, Beirut: Dâr al-Kitâb al-Ilmiyyah, t.th, h. 134. 61 Salabî, Muhammad Musthafa, Ta’lîl al-Ahkâm, Kairo: t.p. , 1983, h. 316. 62 Abidin, Muhammad Amin ibn, Nashr al-Urf Fî binâ ba’d al-ahkâm ‘alâ al-‘urf, Mesir: Maktabah al-Kulliyyât al-Azhâriyyah, t.th. dalam buku ini dijelaskan kedudukan urf dan kekuatannya sebagai dalil hukum. 63 Al-Qaradhawî, Yûsuf, Taysîr al-Fiqh, h. 138. Lihat pula dalam bukunya yang lain, Al-Ijtihâd fî al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Kairo: Dâr al57
Qalam, 1996.
yang tidak dapat dipungkiri. Masalah yang paling krusial dan terus berlangsung sampai saat ini adalah tentang hukum tinggal dan menjadi warga negara di negara non-Islam. Meskipun masalah ini telah ada bahasannya dalam fiqh klasik karya para pendiri madzhab dan ulama madzhab masa lalu, tetap saja masih menyisakan perdebatan panjang karena dua hal: Pertama, fiqh klasik yang membahas masalah ini ditulis oleh ulama masa lalu yang tidak pernah mengalami perkembangan Islam seperti saat ini. Mereka tinggal di tempat dan pada masa ketika umat Islam ada pada posisi mayoritas. Perbedaan waktu dan tempat, yang dalam teori hukum Islam (ushûl al-fiqh) dinyatakan sebagai salah satu variabel penentu status hukum, harusnya menjadi pertimbangan dasar dalam menentukan hukum minoritas muslim yang tinggal di Barat pada saat ini. Kedua, pola hubungan negara kontemporer berbeda jauh dengan pola hubungan negara dalam fiqh al-siyâr (fiqh diplomatik) masa lalu, yang hanya mengenal dua bentuk negara, yaitu negara Islam (dâr al-Islâm) dan negara perang (dâr al-harb). Penjelasan tentang masalah-masalah hukum yang dihadapi muslim minoritas di Barat tidaklah banyak karena fiqh klasik banyak membahas tentang hukum orang kafir di negara Islam, tetapi tidak banyak yang membahas hukum orang Islam di negara non-Islam. Karena kondisi sosiologis yang demikian itu, maka melakukan perubahan hukum untuk menghasilkan solusi bagi warga muslim minoritas dapat dibenarkan secara syar‟i. Ketiga, aspek filosofis. Secara umum, tujuan yang hendak dicapai dari ajaran syari‟at Islam adalah (menghasilkan kemaslahatan dan mencegah kerusakan). Menurut Izz al-Dîn Abd al-Salâm,64 secara bahasa kata “maslahah” memiliki makna yang sama dengan kata “manfaat”. Menurut al-Ghazâlî, maslahah adalah usaha yang berorientasi pada pemeliharaan maksudmaksud syarî‟ah, yang mencakup pemeliharaan agama (hifz al-dîn), kehidupan (hifz al-nafs), nasab (hifz al-nasab), akal (hifz al-aql), dan harta (hifz al-mâl), baik pada level dharûriyyah, hâjiyyah maupun tahsîniyyah. Kelima eksistensi tersebut disebut sebagai al-ushûl alkhamsah. Karena itu, semua perbuatan yang ditujukan untuk memelihara al-ushûl al-khamsah dinamakan sebagai maslahah, dan semua perbuatan yang menyebabkan rusaknya dan bahkan hilangnya eksistensi al-ushûl al-khamsah disebut sebagai mafsadah. Sehingga mencegah terjadinya mafsadah berarti melakukan 64 Al-Salâm, Izz al-Dîn ibn Abd, Qawâ’id al-Ahkâm Fî Masâlih alAnâm, Kairo: Dâr al-Qalam, 1400 H, h. 6-14.
maslahah, karena perbuatan tersebut dapat menghasilkan maslahah.65 Sedangkan menurut al-Thûfî, maslahah adalah sebab yang mengarah kepada terwujudnya maksud-maksud syarî‟ah baik dalam ranah ibadah maupun adat. Al-Thûfî membagi maslahah dalam dua kelompok, yakni maslahah dalam bidang ibadah dan adat. Ibadah sebagai maslahah karena ibadah dapat mengantarkan manusia kepada maksud-maksud syarî‟ah. Sedangkan adat („urf) sebagai maslahah karena dapat menciptakan manfaat dan keteraturan hidup bagi masyarakat.66 Dari definisi al-Thûfî di atas dapat ditegaskan bahwa maslahah dalam pandangan ahli ‘urf bertolak dari segala hal yang menjadi sebab terjadinya manfaat. Dan pemaknaan seperti inilah yang dikehendaki oleh pada pakar bahasa, karena adanya kesesuaian antara makna maslahah secara bahasa dan secara istilah. Kesamaan pandangan antara al-Ghazâlî dengan al-Thûfî adalah, keduanya sama-sama memahami makna maslahah sebagai sebab yang menghantarkan kepada manfaat dan kebaikan. Sedangkan perbedaan dari keduanya adalah, al-Thûfî membedakan antara maslahah dalam perspektif ‘urf dan maslahah dalam perspektif syarî‟ah. Hal inilah yang mungkin tidak dilakukan oleh al-Ghazâlî. Karena definisi maslahah yang dikemukakan oleh al-Ghazâlî seakan-akan tidak memberi ruang untuk model maslahah dalam perspektif ‘urf. Seiring dengan perkembangan zaman, apabila hukum Islam yang ada kemudian tidak lagi mampu menghasilkan maslahah maupun mencegah kerusakan, maka ada dua hal yang dapat dilakukan, yakni: Pertama, melakukan ijtihad ulang dengan menjadikan Maqâshid al-Syarî‟ah sebagai acuan untuk menghasilkan fiqh yang mampu mewujudkan kemaslahatan dan menutup pintu-pintu kerusakan. Untuk mengetahui Maqâshid alsyarî’ah dapat dilelakukandengan metode ta’lîl al-Maqâshidî, artinya mencari pengetahuan terhadap alasan-alasan hukum yang mendasari pemberlakuan suatu hukum yang mana alasan-alasan tersebut menjadi jalan untuk mengetahui Maqâshid dari hukum syar’î.67 Kedua, apabila langkah pertama tidak mampu dilakukan, maka hendaknya suatu nash ditangguhkan keberlakuannya, demi Al-Ghazâlî, Abu Hamid, Al-Mustasfa, h. 286-287. Zaid, Musthafa, Shar’hu al-Arba’in al-Nawawiyah: Mulhaq bi alRisâlah al-Maslahah fî Tashrî’ al-Islâmî Najmuddîn al-Thûfî, t.tp: Dâr ak-Fikr al-Arâbî, t.th, h. 211. 67 Al-Zanjânî, Shihâb al-Dîn, Takhrîj al-Furû’ ‘alâ al-Ushûl, Beirut: Mu‟assasah al-Risâlah, 1994, h.38. 65 66
terwujudnya kemaslahatan. Hal ini serupa dengan pandangan alThûfî yang menyatakan bahwa inti dari seluruh ajaran Islam yang termuat dalam nash adalah kemaslahatan bagi umat manusia. Karenanya, seluruh bentuk kemaslahatan disyari‟atkan dan kemaslahatan itu tidak perlu mendapatkan dukungan dari nash, baik oleh nash tertentu maupun oleh makna yang dikandung oleh sejumlah nash. Maslahat menurutnya merupakan dalil paling kuat yang secara mandiri dapat dijadikan alasan dalam menentukan hukum syara’.68 Karena itu jumhur ulama, baik pada masa sahabat, tâbi‟în, dan mereka yang datang setelahnya, mereka berpegang bahwa hukum-hukum syari‟at dapat dipastikan berorientasi pada pencapaian kemaslahatan bagi umat manusia di dunia dan akhirat, serta menghilangkan kemafsadatan dalam berbagai bentuknya. Bahkan tidak ada kelompok manapun sepanjang masa yang berbeda dari prinsip jumhur tersebut kecuali sebagian sebagian kecil ulama terutama kelompok Dhâhiriyyah.69 Kaitannya dengan fatwa dalam fiqh al-aqalliyyâth, maka dalam pandangan penulis, fatwa-fatwa yang dikeluarkan tampaknya lebih mendekati pada aspek-aspek kemanfaatan dan mencegah kemudharatan bagi kaum muslimin minoritas. Misalnya pandangan Yûsuf Al-Qaradhawî tentang hukum menyampaikan ucapan selamat hari raya kepada tetangga yang berbeda agama asalkan tidak merusak keimanan - adalah suatu perbuatan yang diperbolehkan, karena bagian dari perbuatan baik ketika memang memberikan efek positif dalam pola interaksi kemanusiaan. Fatwa Al-Qaradhawî tersebut selain dimaksudkan untuk menjaga agama (hifz al-dîn) juga termasuk bagian dari menjaga kehormatan diri (hifz al-‘ird). Contoh lainnya adalah fatwa ECFR dan FCNA tentang kebolehan membeli rumah dengan memakai kredit bank. Ketika melihat realitas masyarakat muslim di Barat, Yûsuf Al-Qaradhawî menganggap bahwa ada kebutuhan yang menempati posisi sebagai kondisi darurat yang dalam kaidah fiqh menjadi sebab bolehnya sesuatu yang dilarang (al-hâjatu tanzilu manzilat aldharûrah). Alasan lainnya yang dikemukakan oleh Al-Qaradhawî adalah analisis manfaat dan keuntungan yang akan diperoleh dan Al-Amirî, Abdallah al-Husain, Dekonstruksi Sumber Hukum Islam: Pemikiran Hukum Najm al-Din al-Thûfî , Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004, h. 1-16. 69 Khirzullâh, Abd al-Kadîr ibn, Madkhal ilâ ‘Ilm al-Maqâshid alSyarî’ah, Riyâdh: Maktabah al-Rusyd, 2005, h. 81. 68
mengantarkan pada kemaslahatan hidup minoritas muslim di Barat. Dalam konsep al-dharûriyyat al-khams kondisi seperti ini termasuk bagian dari memelihara jiwa dan kehidupan (hifz al-nafs). Kasus lain yang menempati rating pertama dalam persoalan hukum keluarga masyarakat minoritas muslim di Barat, adalah masalah pernikahan beda agama, yang di antara kasusnya adalah konversi agama salah satu pasangan. Permasalahan kontraversial ini sangat jarang terjadi dalam negara yang mayoritas muslim, tetapi menjadi hal yang lazim dalam konteks muslim di Barat. Tentang konversi agama seorang istri menjadi muslimah, sementara suaminya tetap memeluk agama asalnya. Pertanyaannya, apakah istri tersebut harus bercerai dengan suaminya? Konteks pertanyaan ini adalah adanya konflik psikologis, karena di satu sisi mayoritas ulama berpendapat bahwa istri tersebut harus mengajukan cerai, sementara pada sisi yang lain istri keberatan meninggalkan suami yang dicintainya dan mengorbankan anak dan keluarganya yang telah terbangun secara harmonis.70 Jawaban fiqh klasik atas permasalahan tersebut di atas cukup beragam, namun mayoritas masyarakat dan ulama berkeyakinan akan keharusan cerai di antara keduanya. AlQaradhawî dengan ECFR-nya membolehkan sang istri tetap bersama suami dan keluarganya, menurut mereka memberikan keleluasaan bagi suami-istri tersebut untuk tetap sebagai suami-istri selama tidak dipisahkan oleh penguasa (sultan). Pendapat inilah yang dianggap lebih memberikan kemaslahatan.71 Pendapat ini tampaknya lebih sejalan dengan semangat memelihara keturunan (hifz al-nafs) daripada pendapat yang mengharuskan bercerai. Demikianlah beberapa contoh kasus dalam fiqh al-aqalliyyâth yang secara nyata lebih mampu mewujudkan kemaslahatan yang disebut al-dharûriyyat al-khams yang dikehendaki syara‟. Fatwafatwa yang dihasilkan dalam fiqh al-aqalliyyâth lebih menjamin keberlangsungan hidup warga muslim minoritas daripada fiqhfiqh yang telah ada sebelumnya. Jadi secara filosofis, argumen yang melemahkan eksistensi fiqh al-aqalliyyâth dengan alasan bahwa fiqh tersebut melanggar hukum syari‟at, tentunya tidak dapat diterima, karena hakekatnya fiqh al-aqalliyyâth sejalan dengan misi hukum syari‟at, yakni untuk terwujudnya kemaslahatan. 70 Al-Qaradhawî, Yûsuf, Fî Fiqh al-aqalliyyâth al-Muslimat: Hayât alMuslimîn Wasath al-Mujtama’ât al-Ukhrâ, Kairo: Dar al-Shuruq, 2001, h. 105. 71 Al-Qaradhawî, Yûsuf, Fî Fiqh al-aqalliyyâth, h. 117-122.
Simpulan Hasil temuan dari tulisan ini adalah sebagai berikut; Pertama, fiqh al-aqalliyyâth dapat dimaknai sebagai pemahaman dan pengetahuan secara mendalam dan komprehensif terhadap suatu hukum syarî‟ah yang dikhususkan untuk umat Islam minoritas berdasarkan pertimbangan konteks sosial, zaman dan tempat. Oleh pendirinya, fiqh al-aqalliyyâth tidak hanya dianggap sebagai hasil pengembangan dan interpretasi ulang dari kaidah-kaidah fiqh yang telah ada yang diproduksi atas dasar pemanfaatan hukum wadh’î seperti azîmah (firm of obligations) dan rukhshah (concessions) semata, tetapi sebagai bentuk framework fiqh baru yang memiliki aspek kekhususan dan relevansi dengan model dan gaya hidup masyarakat muslim minoritas. Kedua, metodologi ijtihad yang digunakan dalam framework ijtihad fiqh al-aqalliyyâth adalah qiyâs (deduction), maslahah al-mursalah (public interest not based on text) dan‘urf (custom), sedangkan prinsip-prinsip ijtihad yang digunakan mencakup prinsip maslahah (public interest), darûrah (necessity), dan taysîr (making fiqh easy). Selain itu, ada dua pola ijtihad yang dikembangkan dalam fiqh al-aqalliyyâth, yaitu metode intiqâ’î, dan metode insyâ’î. Ketiga, legalitas fiqh alaqalliyyâth dapat dibuktikan setidaknya melalui sudut pandang metodologis, sosiologis, dan filosofis. Adapun yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah, fiqh al-aqalliyyâth dibangun di atas fondasi metodologis yang dilegalkan ulama terdahulu, dan merupakan perwujudan dari hukum Islam dengan sifatnya yang elastis sesuai dengan kemaslahatan yang dibutuhkan dalam konteks zaman, tempat, dan kondisinya.
Daftar Pustaka Abidin, Muhammad Amin ibn, Nashr al-Urf Fî binâ ba’d al-ahkâm ‘alâ al-‘urf, (Mesir: Maktabah al-Kulliyyât al-Azhâriyyah, t.th.) Al-Alawî, Irfan, A Guide to Shari’ah Law and Islamist Ideology In Western Europe 2007-2009, (Washington-London-KolnSarajevo: The Centre for Islamic Pluralism, 2009) Al-Alwânî, Thâhâ Jâbir, Maqâshid al-Sharia, (Beirut: Dâr al-Hâdî, An English translation was published under the title
Towards a Fiqh for Minorities: Some Basic Reflections (Occasional Paper Series, 10), International Institute for Islamic Thought, London-Washington), 2003. ---------------------------, Madkhalun ilâ Fiqh al-aqalliyyâth; An Introduction to fiqh al-aqalliyyâth), Unpublished. ---------------------------, Muqadimah Fî Fiqh al-Aqaliyât, (Arabic Paper). ----------------------------, Ijtihad in the Regulation and Correction of Capital Markets, AAISS, 14/3, 1997. Al-Amirî, Abdallah al-Husain, Dekonstruksi Sumber Hukum Islam: Pemikiran Hukum Najm al-Din al-Thûfî , J(akarta: Gaya Media Pratama, 2004) Al-Buti, Muhammad Said Ramadan, Al-Islâm wa al-Gharb, (Damaskus: Dâr Al-Fikr, 2007) -----------------------------------------------, Hâdhâ Wâlidi: al-Qissa alKâmila li hayât al Shaykh mullah Ramadân al-Buti min wilâdatihi ilâ wafâtihi, (Damaskus: Dâr Al-Fikr, 2006) Al-Ghazâlî, Muhammad bin Muhammad Abu Hamid, Al-Mustasfa min ‘ilmi al-ushûl, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-Ilmiyyah, t.th) Al-Qaradhawî, Yûsuf, Taysîr al-Fiqh li-Muslim al-Mu’âsir fî Daw’ alQur’ân wa al-Sunnah, (Beirut: Muasasat al-Risâlah, 1996) --------------------------, Al-Ijtihâd al-Mu’âshir, (Kairo: Dâr al-Tauzî‟ wa al-Nasyr al Islâmiyyah, 1994) --------------------------, Al-Ijtihâd fî al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, (Kairo: Dâr al-Qalam, 1996) --------------------------, Fî Fiqh al-Awlawiyât, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1996.) --------------------------, Fî Fiqh al-aqalliyyâth al-Muslimat: Hayât alMuslimîn Wasath al-Mujtama’ât al-Ukhrâ, (Kairo: Dar alShuruq, 2001) --------------------------, Dirâsah fî fiqh Maqâshid al-Syarî’ah: bayna alMaqâshid al-kulliyah wa nushûsh al-juz’iyyah, (Kairo: Dâr alSyurûq, 2008) Al-Salâm, Izz al-Dîn ibn Abd, Qawâ’id al-Ahkâm Fî Masâlih al-Anâm, (Kairo: Dâr al-Qalam, 1400 H) Al-Shâthibî, Abû Ishaq, Muwâfaqât Fî Ushûl al-Ahkâm, (Kairo: t.p, t.th) Al-Zanjânî, Shihâb al-Dîn, Takhrîj al-Furû’ ‘alâ al-Ushûl, (Beirut: Mu‟assasah al-Risâlah, 1994) Al-Zuhaylî, Wahbah, Qadhâyâ al-Fiqh wa al-Fikr al-Mu’âshir, (Sûriyah: Dâr al-Fikr, 2007)
Bayyah, „Abd Allâh bin, Shinâ’ah al-Fatwâ wa Fiqh al-aqalliyyâth, Lubnân: Dâr al-Minhâj, 2007. Hallaq, Wael B., A History of Islamic Legal Theories, (United Kingdom: Cambridge University Press, 1997) Khirzullâh, Abd al-Kadîr ibn, Madkhal ilâ ‘Ilm al-Maqâshid alSyarî’ah, (Riyâdh: Maktabah al-Rusyd, 2005) Muhammad, Abu Sa‟id, Syarhu majâmi’, (Istanbul, t.p. , 1305 H) Nujaim, Zainul Abidin Ibrahim Ibn, Al-asbah wa Nadhâ’ir, Mesir: (Dâr al-Kutub, 1311 H) Ramadan, Tariq, Western Muslims and the Future of Islam, (UK: Oxford University Press, 2004) Rosen, Ehud, The Society of the Muslim Brothers (Brotherhood), (Jerusalem: Jerusalem Center for Public Affairs, 2010) Salabî, Muhammad Musthafa, Ta’lîl al-Ahkâm, (Kairo: t.p. , 1983) Thâhâ Abd al-Ra‟uf Sa‟id, Qawâ’id al-Ahkâm fî Masâlih al-Anâm lil Izz al-Dîn ibn Abd al-Salâm, tt: tp,). Zaid, Musthafa, al-Mashlahah fî al-Tasyrî’ al-Islâmî wa Najamuddîn alThûfî , (Beirut: Dâr al-Fikr, 1954) --------------------, Shar’hu al-Arba’in al-Nawawiyah: Mulhaq bi alRisâlah al-Maslahah fî Tashrî’ al-Islâmî Najmuddîn al-Thûfî, (t.tp: Dâr ak-Fikr al-Arâbî, t.th) Al-Hibri, Azizah Y, Islamic and American Constitutional Law: Borrowing Possibilities or a History of Borrowing? Pennsyvania: Journal Of Constitutional Law University Of Pennsylvania; Vol. 1: No. 3, 2010. Al-Majallât al-Ilmiyyât li al-Majlis al-Urubbi li al-Iftâ wa al-Buhûth, Bi Annual, European Council for Fatwa and Research, Dublin, No 4&5, June/July, 2004. Caeiro, Alexandre, The European Council for Fatwa and Research, Paper presented at the Fourth Mediterranean Social and Political Research Meeting, Florence & Montecatini Terme, 19-23 March, organized by the Mediterranean Programme of the Robert Schuman Centre for Advanced Studies at the European University institute, 2003. Conseil europeen des fatwas et de la recherche, Recueil de fatwas, seri no. 1, Presentation by Yûsuf Al-Qaradhawî, Preface et commentaires by Tariq Ramadan, Lyon, 2003. El-Fadl, Khaled Abou, Islamic Law and Muslim Minorities: The Juristic Discourse on Muslim Minorities from the Second/Eighth to the Eleventh/Seventeenth Centuries, Journal Islamic Law and Society, 1-2, 1994.
European Council for Fatwa and Research. First Collection of Fatwas. Cairo: Islamic INC, 2002. Fishman, Shammai, Center on Islam, Democracy, and the Future of the Muslim World, London: Research Monographs on the Muslim World, Series No 1, Paper No 2 October, 2006. Haddad, Yvonne Yazbeck, and Smith, Jane I, “Introduction” in Yvonne Yazbeck Haddad and Jane Idelman-Smith (eds.), Muslim Minorities in the WestVisible and Invisible Walnut Creek, (California: Atamira Press., 2002) K. L. Johansen Karman, Rethinking Islamic Jurisprudence for Muslim Minorities. The Politics and the Work of Contemporary Fiqh Councils. Khan, Asif K, The Fiqh of Minorities; The New Fiqh to Subvert Islam, London: Khilafah Publication, 2004. Khan, Muqtader, American Muslims and the 2008 Presidential Election Policy Recommendation, Michigan: Institute for Social Policy and Understanding, 2008. Leonard, Karen, “American Muslim Politics,” dalam Ethnicities, vol. 3, no. 2, 2010. Mas‟ud, Muhammad Khalid, Islamic Law and Muslim Minorities, United Kingdom: ISIM Newsletter, 11/12. Al-Buti, M.S.R, Fiqh of Minorities, Islamic University of Rotterdam, 2007 http://www.iurtv.nl/ar/58/Prof.%20Dr.%20Buti.htm, Al-Najjâr, Abd Al-Majîd, Fiqh al-Muwâtana Lil Muslimîn Fî Arubbâ, available at: http://www.moslimonline.com/download.php?id=204 Al-Rawi, Ahmad, Islam, Muslims and Islamic Activity in Europe: Reality, Obstacles and Hopes, http://www.islamonline. net/arabic/daawa/2003/12/ARTICLE05A.SHTML http://www.e-cfr.org/eng/article.php?sid=47. http://www.isna.net/library/papers/fiqh/FiqhofMinorities1.asp Sultan, Salah, Methodological Regulations for the Fiqh of Muslim Minorities, available at: http://islamicstudies.islammessage.com/Article.aspx?aid= 308 www.islamicpluralism.eu