ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM HASIL IJTIHAD PRAKODIFIKASI USHUL FIQH Wahyu Abdul Jafar Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam IAIN Bengkulu (Alamat: Jln. Angrek Nusa Indah Bengkulu, E-mail:
[email protected]) Abstract: Analysis the Role of Law from Outcome of Ijtihad Pracodification of Islamic Jurisprudence. The paper is investigating that ijtihad has been prevailed during the prohethood life and developed continously. The present of Ijtihad is the reflection from the problems that usually appeared in the society and in order to find the solution to solve the problem in Islamic perspective. It is important to know that not every persons are able to do ijtihad because one must expert in Islamic jurisprudence. The wrong Ijtihad may cause digression as most commonly done in the society presently. There fore, this paper aim at analyzing the ijtihad that should be done by an expert before the codification of Islamic Jurisprudence. The aim of this paper is to understand is the outcome of ijtihad before the codification of Islamic jurisprudence is physically defect or not. After the deep study the writer came to know that though in the past the Islamic jurisprudence has not written in the collected book, but most of Islamic scholars are able to formulate the outcome of Islamic law correctly. However, the previous scholars are mostly have mastered the Islamic jurisprudence and keeped them in their brain. Keywords: Law, Ijtihad, Islamic Jurisprudence Abstrak: Analisis Kedudukan Hukum Hasil Ijtihad Prakodifikasi Ushul Fiqh Kajian ini menjelaskan bahwa ijtihad telah ada sejak Nabi Muhammad SAW masih hidup dan terus berkembang seiring berkembangnya islam. Ijtihad lahir karena merupakan refleksi logis dari pergumulan berbagai situasi dimasyarakat yang menuntut untuk dicarikan solosinya. Namun yang perlu diperhatikan tidak semua orang bisa melakukan ijtihad karena ijtihad harus mengunakan ilmu ushul fiqh. Ijtihad yang dilakukan dengan sembrono bisa menghasilkan produk hukum yang sesat seperti yang banyak terjadi dimasa ini. Oleh karena itu, Melalui kajian ini penulis membahas ijtihad yang dilakukan oleh faqih sebelum dikodifikasikanya ilmu ushul fiqh. Tujuan pembahasan ini adalah untuk mengetahui apakah produk hukum yang terlahir sebelum dikodifikasikanya ilmu ushul fiqh cacat secara hukum atau tidak. Setelah melakukan kajian yang mendalam diketahui bahwa ternyata walaupun ketika itu ilmu ushul fiqh belum dibukukan dalam satu kitab, para faqih bisa dengan tepat merumuskan dan menghasilkan produk hukum islam. Hal ini terjadi karena mereka menguasai ilmu ushul fiqh dan menyimpanya dengan baik dalam ingatan mereka. Kata kunci: Hukum, Ijtihad, Ushul Fiqh
rujukan wahyu. Sangat mungkin Allah
PENDAHULUAN Sebagai sarana perumusan fiqh,
sengaja tidak menurunkan wahyunya agar
ijtihad sesungguhnya telah dimulai sejak
Nabi saw. melakukan kreasi intelektual
zaman Rasulullah saw., sebab tidak semua
sendiri
persoalan keagamaan maupun kemanusian
universal
yang dihadapi Nabi saw.
sebelumnya.
menemukan 144
untuk
menjabarkan
yang
telah Ketika
nilai-nilai diturunkan Rasulullah
MIZANI Vol. 25, No. 2, Agustus 2015 menghadapi
pertanyaan-pertayaan
mendesak
sangat
dihawatirkan
akan
membutuhkan
memunculkan penyimpangan seperti yang
penyelesaian dengan segera, sedangkan
banyak terjadi di saat ini. Hal inilah yang
wahyu yang ditunggu- tunggu belum juga
menarik
penulis
turun,
penelitian
lebih
segala
yang
fiqh
maka
Rasulullah
kemampuan
spiritualnya
untuk
mengerahkan
intelektual
dan
untuk dalam
melakukan lagi
tentang
kedudukan hukum hasil ijtihad sebelum
memeberikan
dikodifikasikan ilmu ushul fiqh.
peyelesaian. Dengan kebersihan hati dan sikap
Nabi
saw.
yang
selalu
PEMBAHASAN
mengutamakan kepentingan ummatnya –
Definisi Ijtihad
bukan kepentingan hawa nafsunya sendiri,
Ijtihad diambil dari akar kata dalam
wamâ yanthiqu ‘ani al-hawâ–, Rasulullah
bahasa
mampu menjabarkan nilai-nilai wahyu ke
masdarnya ada dua bentuk yang berbeda
dalam kehidupan nyata ummatnya.1
artinya, yaitu2 :
Ketika Rasulullah masih hidup keabsahan
perumusan
fiqh
arab
"jahada".
bentuk
kata
jahdun dengan arti kesunguhan atau
tidaklah
sepenuh hati atau serius. Contoh
menjadi persoalan karena beliau memang
dapat kita temukan dalam surat al-
telah diberikan hak oleh Allah SWT. untuk
An'am ayat 109
membuat suatu hukum. Akan tetapi ketika Rasulullah telah meningal dunia maka
“Mereka bersumpah dengan allah sesunguh-sunguhnya supah”.3
akan timbul pertanyaan terkait keabsahan
perumusan fiqh yang dilakuan oleh para
Juhdun dengan arti kesangupan
faqih. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa
atau keampuan yang didalamnya
terbentuknya ilmu ushul fiqh adalah pada
terkandung arti sulit, berat dan
abad ke-2 hijriah.
susah. Contohnya firman Allah
Hukum-hukum Islam yang terlahir
surat at-Taubah ayat 79 واﻟﺬﯾﻦ ﻻﯾﺠﺪون اﻻ ﺟﮭﺪھﻢ ﻓﯿﺴﺨﺮون ﻣﻨﮭﻢ
dari ijtihad ketika itu (sebelum abad ke-2 H) tidak mengunakan Ilmu Ushul Fiqh
“Dan
seperti yang kita kenal sekarang. Padahal
orang-orang
yang
tidak
memperoleh selain sekedar kesangupanya,
seharusnya ijtihad itu berlandaskan ushul fiqh. Ijtihad yang terlahir tanpa ilmu ushul
1
2
Imam Nahe'i, M.H.I. dan Dr. Wawan Juandi, M.Ag, Revitalisasi Ushul Fiqh Dalam Proses Istinbath Hukum Islam, (Situbondo: Ibrohimy Pres, 2010), Cet. 1, h. 26-27
Amir Syarifuddin, ushul fiqh, (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu), h 223 3 Depag RI, Qur'an dan Terjemahannya, (Bandung, 2009), h. 205
145
Wahyu Abdul Jafar: Analisis kedudukan hukum hasil ijtihad maka
orang
munafik
itu
menghina
menguatkan
mereka”.4
dan
menyempurnakan.
Diantara definisi tersebut adalah8 :
Pengubahan kata dari ja ha da menjadi
ijtihada
dengan
cara
Menurut Imam al-Ghazali, ijtihad adalah : ﺑﺬل اﻟﻤﺠﺘﮭﺪ وﺳﻌﺔ ﻓﻰ طﻠﺐ اﻟﻌﻠﻢ ﺑﺎﺣﻜﺎم اﻟﺸﺮﻋﯿﺔ
menambahkan dua huruf, yaitu "alif" di awalnya dan "ta" antara huruf "jim" dan
“Pengerahan kemampuan oleh mujtahid
"ha", mengandung enam maksud, salah
dalam mencari pengetahuan tentang
satu diantaranya adalah untuk mubalaghah,
hukum syara'”
yang berarti "sangat". Bila kata ja ha da dihubungkan
dengan
dua
bentuk
yang
sangat"
asy-Syaukani
dalam
karyanya Irsyad al-Fukhul, ijtahad
masdarnya tersebut, pengertianya berarti "kesangupan
Menurut
adalah ﺑﺬل اﻟﻮﺳﻊ ﻓﻰ ﻧﯿﻞ ﺣﻜﻢ ﺷﺮﻋﻲ ﻋﻤﻠﻲ ﺑﻄﺮﯾﻖ اﻹﺳﺘﻨﺒﺎط
atau
"kesunguhan yang sangat"5.
“Pencurahan kemampuan untuk
Jadi, secara bahasa ijtihad adalah
mendapatkan hukum syara' yang bersifat
berusaha atau berupaya dengan sunguh-
operasional, amali melalui upaya istinbath
sunguh. Dalam al-Qur'an, kata "jahdu"
(pengalian hukum)”
dapat ditemukan pada tiga tepat. Pada
Menurut Asy-Syatibi, ijtihad adalah
tersebut
اﻹﺟﺘﮭﺎد ھﻮ إﺳﺘﻔﺮاغ اﻟﺠﮭﺪ وﺑﺬل ﻏﺎﯾﺔ اﻟﻮﺳﻊ ﻓﻰ ادراك
mengandung arti mencurahkan keampuan
اﻻﺣﻜﺎم اﻟﺸﺮﻋﯿﺔ
ketiga
tempat
itu,
kata 6
atau upaya sunguh-sunguh . Arti demikian
“Ijtihad adalah pengerahan kesunguhan
dapat ditemukan dalam surah al-An'am
dengan usaha yang optimal dalam mengali hukum syara'”
“Mereka bersumpah dengan allah sesunguh-sunguhnya supah”. Sedangkan
7
pengertian
Menurut Saifuddin al-Amidi dalam bukunya al-Ihkam, ijtihad adalah
ijtihad
اﺳﺘﻔﺮاغ اﻟﻮﺳﻊ ﻓﻰ طﻠﺐ اﻟﻈﻦ ﺑﺸﻲء ﻣﻦ اﻻﺣﻜﺎم
secara istilah sudah banyak dikemukakan
اﻟﺸﺮﻋﯿﺔ ﺑﺤﯿﺚ ﯾﺤﺴﻰ ﻣﻦ اﻟﻨﻔﺲ اﻟﻌﺠﺰ ﻋﻦ اﻟﻤﺰﯾﺪ ﻓﯿﮫ
oleh para ulama ushul fiqh, yang mana
“Pengerahan kemampuan dalam
pengertian
memperoleh dugaan kuat tentang sesuatu
satu
sama
lainya
tidak
mengandung perbedaan pengertian yang
dari hukum syara' dalam bentuk yang
perinsip, bahkan kelihatan saling saling
dirinya merasa tidak mampu berbuat berbuat lebih dari itu”
4
Ibid, hal 292 Amir Syarifuddin, op.cit, hal 224 6 Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Uṣūl Fiqh. (Penerbit Amzah, 2005), cet. ke-1, hal 110 7 Depag RI, opcit, hal 205 5
8
M.Abdul Mujieb,dkk, Kamus istilah fiqh, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994), hal 110-111
146
MIZANI Vol. 25, No. 2, Agustus 2015 Dengan menganalisa definisi diatas dan
bembandingkanya
dapat
ulama bahwa ijtihad dalam pengertian dan
diambil
bentuk yang khusus ini pada suatu masa
9
hakikat dari ijtihad itu sebagai berikut :
kemungkinan akan terputus. Sedangkan
Ijtihad adalah pengerahan daya
ulama Hanbali mengatakan bahwa setiap
nalar secara maksimal
masa tidak boleh kosong dari ijtihad dalam
Usaha ijtihad dilakukan oleh orang
bentuk ini. Karena itu, pada setiap masa
yang
harus selalu ada mujtahid yang mencapai
telah
mencapai
derajat
tingkatan tersebut.
tertentu dibidang keilmuan yang
Kedua,
disebut faqih
ijtihad
khusus
untuk
Produk atau yang diperoleh dari
menerapkan dan mengamalkan hukum.
usaha ijtihad itu adalah dugaan
Seluruh ulama sepakat bahwa sepanjang
yang kuat tentang hukum syara'
masa tidak akan terjadi kekosongan dari
yang bersifat amaliah
mujtahid katagori ini. mereka inilah yang
Usaha ijtihad ditempuh melalui
akan
cara-cara istinbath
terhadap berbagai kasus juz'iyah, dengan
Jadi,
ijtihad
adalah
dan
menetapkan
'illat
menerapkan prinsip-prinsip yang telah
berusaha
bersunguh-sunguh
mencari
ditetapkan oleh ulama terdahulu.
dengan
Dasar Ijtihad
mempergunakan segala daya dan dana
Dasar
untuk mempelajari hukum islam dari
hukum
ijtihad
banyak
sumbernya yang asli, yaitu al-Qur'an dan
ditemukan pada ayat-ayat al-Qur'an dan
Hadist Rosulullah kemudian melahirkan
hadits Nabi SAW., yang nash-nashnya
hukum baru darinya. Dari definisi yang
memerintahkan untuk mengunakan pikiran
disebutkan diatas, dapat diketahui bahwa
dan
ijtihad mengandung dua faktor utama,
(pelajaran)11, antara lain :
akal
yaitu10 :
suatu
hukum
mengambil
I'tibar
Dari al-Qur'an Dasar hukum ijtihad dalam al-
Pertama, Ijtihad yang khusus untuk menetapkan
serta
Qur'an antara lain :
dan
penjelasanya. Ini adalah ijtihad yang
إن ﻓﻲ ذﻟﻠﻚ ﻵﯾﺎت ﻟﻘﻮم ﯾﺘﻔﻜﺮون
sempurna dan dikhususkan bagi ulama
“Sesunguhnya pada yang demikian
yang ingin mengetahui hukum-hukum
ini terdapat tanda-tanda(kebesaran Allah)
furu' amaliyah dengan mengunakan dalil-
bagi kaum yang berpikir”.12
dalil secara terperinci. Menurut jumhur 11
Huzaemah Tahindo Yanggo pengantar perbandingan mazhab, (Ciputat: logos wacana ilmu, 1999), hal 3 12 Depag RI, op.cit, hal 644
9
Amir Syarifuddin, op.cit, hal 226 10 Muhammad Abu Zahro, ushul fiqh, (Lebanon: Darul fikr arobi, 1958), hal 567
147
Wahyu Abdul Jafar: Analisis kedudukan hukum hasil ijtihad ﻓﺈن ﺗﻨﺎزﻋﺘﻢ ﻓﻲ ﺷﻲء ﻓﺮدوه اﻟﻲ ﷲ واﻟﺮﺳﻮل
menjawab,"aku
“Maka jika kamu berselisih paham
akan
putuskan
berdasarkan
kitabullah(al-
tentang sesuatu, kembalikanlah pada Allah
Qur'an)."kemudian
dan Rosul”.13
lagi,"bagaimana ﻓﺎﻋﺘﺒﺮواﯾﺎ أوﻟﻰ اﻷﺑﺼﺎر
“Maka ambillah (kejadian itu)
nabi bila
menjumpai
dalilnya
menjawab,
"akan
bertanya
kamu
tidak
al-qur'an?"mu'az aku
selesaikan
berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam
untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang
sunah
rosullah".kemudian
rosullulah
yang mempunyai pandangan”.14
bertanya lagi, "bagaimana seandainya
إﻧﺎ أﻧﺰﻟﻨﺎ إﻟﯿﻚ اﻟﻜﺘﺎب ﺑﺎﻟﺤﻖ ﻟﺘﺤﻜﻢ ﺑﯿﻦ اﻟﻨﺎس
kamu tidak mendapati dalam al-qur'an dan
ﺑﻤﺎ أراك ﷲ
as-sunah untuk menyelesaikanya?" mu'az
kami
telah
menjawab, "aku akan berijtihad dengan
kepadamu
dengan
“Sesunguhnya menurunkan membawa
kitab
kebenaran,
rasioku
dan
aku
akan
kamu
berhati-hati". Kemudian rosulluh menepuk
mengadili antara manusia dengan apa
dada mu'az, sambil bersabda, "segala puji
yang
bagi
telah
supaya
mengunakan
Allah
wahyukan
kepadamu”.15(Q.S.an-Nisa :105)
allah
yang
telah
memberikan
petunjuk kepada duta rosul-nya terhadap apa yang direstui rosullah”16.(H.R.Abu
Dari Hadits
Daud)
Dasar hukum berijtihad yang terdapat dalam Hadits, antara lain : ﻋﻦ ﻣﻌﺎذ ﺑﻦ ﺟﺒﻞ ﻗﺎل ﻗﺎل رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﻋﻠﯿﮫ
ﻋﻦ ﻋﻤﺮوﺑﻦ اﻟﻌﺎص رﺿﻰ ﷲ ﻋﻨﮫ اﻧﮫ ﺳﻤﻊ رﺳﻮل
أﻗﻀﻲ ﺑﻜﺘﺎب:ﻛﯿﻒ إذاﻋﺮض ﻟﻚ ﻗﻀﺎء؟ﻗﺎل:وﺳﻠﻢ
ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ و ﺳﻠﻢ ﯾﻘﻮل اذا ﺣﻜﻢ اﻟﺤﺎﻛﻢ
:ﷲ ﻗﺎل
ﻓﺎﺟﺘﺤﺪ ﺛﻢ أﺻﺎب ﻓﻠﮫ أﺟﺮان واذا ﺣﻜﻢ ﻓﺎﺟﺘﺤﺪ ﺛﻢ
ﻓﺈﻟﻢ ﺗﺠﺪ ﻓﻲ ﺳﻨﺔ رﺳﻮل ﷲ وﻻ ﻓﻲ ﻛﺘﺎب ﷲ؟ ﻗﺎل
أﺧﻄﺄ ﻓﻠﮫ أﺟﺮ
ﻓﻀﺮب رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻲ ﻋﻠﯿﮫ.أﺟﺘﮭﺪ رأي وﻻ آﻟﻮ
"Dari
,وﺳﻠﻢ ﺑﯿﺪه ﻋﻠﻰ ﺻﺪره
amr
ibn
ash
ra,
ia
mendengar rosul allah SAW.. bersabda,
رﺳﻮل رﺳﻮل ﷲ ﻟﻤﺎ ﯾﺮﺿﻲ رﺳﻮل ﷲ
apabila
seorang
hakim
hendak
menetapkan suatu hukum kemudian ai
“Dari mu'az bin jabal yang berkata SAW..
berijtihad. dan ternyata ijtihadnya benar
bersabda,"bagaimana upaya kamu dalam
maka ia mendapatkan dua pahala, dan
menyelesaikan
yang
apabila ia hendak menetapkan hukum
kepadamu?"mu'az
kemudian ia berijtihad dan ternyata
bahwa
Rosullulah
suatu
doajukan
perkara
13
Ibid, hal 128 Ibid, hal 915 15 Ibid, hal 139 14
16
Abi Daud, Sunan Abi Daud, zus 1,
hal 489
148
MIZANI Vol. 25, No. 2, Agustus 2015 ijtihadnya salah maka ia mendapatkan
dianggap jelas dan mana yang dianggap
satu pahala"17.(H.R.Muslim)
tidak jelas, yaitu :qoti' dan zhonni. Qoti'
Dari dua hadits diatas, nampak
adalah jelas keadannya apabila mempunyai
jelas, bahwa ijtihad dilegalisasi oleh
dua sifat, yang pertama keadaan yang
Rosulluh SAW. untuk dijadikan sebagai
merupakan
salah satu sumber hukum islam, bila tidak
berkenaan
ditemukan didalam al-Qur'an dan Sunah
zhanni adalah suatu hukum di dalam al-
hukum dari kasus yang aktual, walaupun
Qur'an yang dapat berubah apabila ada
kemungkinan ijtihad yang dilakukan itu
kesepakatan antara dua pihak yang terkait
keliru menurut pandangan Allah. Hadits
dalam suatu masalah, khususnya dalam
diatas juga memberikan dorongan kepada
bidang muamalah.
sumber dengan
resmi, bahasa.
dan
arti
Sedangkan
orang yang sudah mampu berijtihad untuk
Pada dasarnya ijtihad itu dilakukan
melakukan ijtihad. Kalau ijtihadnya itu
dalam menghadapi masalah-masalah yang
benar menurut pandangan Allah, akan
hukumnya tidak dijelaskan dalam al-
diberi dua pahala dan kalau keliru akan
Qur'an maupun hadits Nabi. Hal ini sejalan
diberi satu pahala18.
dengan apa yang dapat ditangkap dari dialog antara Nabi dengan Mu'adz bin
Ruang lingkup Ijtihad Lapangan ijtihad terdapat dalam
Jabal yang menyatakan bahwa ia akan
dua keadaan, yaitu19 :
melakukan ijtihad bila tidak mendapatkan
Tidak ada nas tertulis
dari
Contoh dari tidak ada nas tertulis
demikian secara sederhana dapat dikatakan
adalah seperti dua orang Sahabat dalam
bahwa lapangan ijtihad itu adalah masalah-
berpergian ingin salat tidak ada air mereka
masalah yang hukumnya tidak dijelaskan
bertayamum. Kemudian bertemu air masih
dalam al-Qur'an dan Hadits.
sedangkan
yang
lain
hadits.
Dengan
secara rinci adalah sebagai berikut :20
tidak
mengulangi salatnya.
dan
Sedangkan ruang lingkup ijtihad
dalam zuhur, yang satu shalat lagi setelah berwudu
al-Qur'an
Hukum yang dibawa oleh nash-
Tertulis tapi tidak jelas
nash yang zhanni, baik dari segi
Ada tertulis tetapi tidak jelas dapat
wurud-nya,
maupun
dari
segi
pengertiannya (dalalahnya) yaitu
dibedakan dalam dua keadaan, mana yang
hadits ahad. Sasaran ijtihad ini
17
Imam Muslim, Shahih Muslim, juz
adalah
9, hal 114
dari
segi
sanad
dan
18
Huzaemah Tahindo yanggo, op.cit,
pensahihannya serta hubungannya
hal 6 19
Moh.Idris Ramulyo, Asas-asas hokum islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal 111
20
hal 7
149
Huzaemah Tahindo Yanggo, op.cit,
Wahyu Abdul Jafar: Analisis kedudukan hukum hasil ijtihad
dengan hukum yang tidak dicari
pengertian, atau dibawa oleh hadits
itu.
mutawatir,
Hukum yang dibawa oleh nash
shalat, puasa, zakat, haji
qath'I, tetapi dalalahnya zhanni,
sebagainya, haramnya riba dan
maka obyek ijtihadnya hanya dari
makan harta orang. Demikian pula
segi dalalahnya saja.
penentuan
Nash yang wurudnya zhanni, tetapi
tertentu dari syara' yang dibawa
dalalahnya qath'I, maka obyek
oleh hadits mutawatir juga tidak
ijtihadnya
menjadi
adalah
pada
sanad,
seperti
kewajiban dan
bilangan-bilangan
obyek
ijtihad,
seperti
kesahihan serta kesinabunganya.
bilangan raka'at shalat, cara-cara
Tidak ada nash dan ijama', maka
melakukan haji, dan sebagainya.
disini ijtihadnya hanya dilakukan
2. Hukum-hukum yang tidak dibawa
dengan segenap metode dan cara.
oleh sesuatu nash, dan tidak pula
Dari penjelasan diatas, jelaslah
diketahui dengan pasti dari agama,
bahwa ijtihad dalam ruang dan jangkaunya
melainkan
mengenai materi-materi hukum jinayat,
(diijma'kan) oleh para mujtahid
adalah sangat luas. Dalam praktenya
dari
dimungkingkan adanya lebih dari satu
pemberian warisan untuk nenek
interpretasi.
perempuan,
Karena
itu,
ia
bersifat
telah
sesuatu
disepakati
masa,
tidak
seperti
sahnya
mukhtalaf fih maksudnya menampung
perkawinan yang dilakukan antara
terjadinya perbedaan pendapat dikalangan
wanita islam dengan orang lelaki
mujtahid.
Dengan
bukan muslimin.
dimungkinkan
adanya
demikian, variasi
Hukum Ijtihad
dalam
Dalam kedudukannya sebagai faqih
pelaksanaan suatu ketentuan hukum yang yang
bersifat qath'iyah.
pendapatnya
lapangan hukum islam bisa menjadi pokok
fatwa
ijtihad,
melainkan
berijtihad
tertentu.
Lapangan
yang
lapangan
tidak
diikuti
dan
diamalkan oleh orang lain yang meminta
Oleh karena itu, tidak semua
beberapa
akan
tentang
sesuatu,
tergantung
maka pada
hukum kondisi
mujtahid dan umat disekitarnya. Yang
boleh
menjadi obyek ijtihad ialah :21
dimaksud dengan hukum berijtihad disini
1. Hukum yang dibawa oleh nash
ialah hukum orang yang melakukan ijtihad,
qat'I baik kedudukanya maupun
baik dari tujuan hukum taklifi, maupun hukum wadh'I. karena yang berwenang
21
T.M.Hasbi pengantar hukum islam, Bintang, 1980), h.76
Ash-Shiddieqy, (jakarta: Bulan
150
MIZANI Vol. 25, No. 2, Agustus 2015 melakukan ijtihad adalah orang yang telah
Bila
mencapai tingkat faqih.22
keadaan
yang
dinyatakan
kepada faqih tersebut belum terjadi secara
Adapun hukum berijtihad terkait
praktis,
tetapi
umat
menghendaki
dengan hal dimaksud diatas adalah ada
ketetapan hukumnya untuk mengantisipasi
empat, yaitu23 :
timbulnya kasus tersebut, maka ijtihad
Wajib 'ain
dalam hal ini hukumnya sunah, artinya
Bila seorang faqih ditanya tentang
tidak berdosa faqih tersebut bila tidak
hukum suatu kasus yang telah berlaku,
melakukan ijtihad, namun bila ia berijtihad
sedangkan ia hanya satu-satunya faqih
akan lebih baik.
yang dapat melakukan ijtihad dan ia
Mubah
merasa kalau tidak melakukan ijtihad pada
Dalam menghadapi suatu kasus
saat itu akan berakibat kasus tersebut luput
yang sudah terjadi dalam kenyatan atau
dari hukum, maka hukum berijtihad bagi
belum terjadi, dan kasus tersebut belum
faqih tersebut adalah wajib 'ain
diatur secara jelas dalam nash al-Qur'an
Wajib kifayah
maupun Sunah, sedangkan orang yang
Bila seorang faqih ditanya tentang
memiliki kualifikasi sebagai mujtahid ada
berlaku,
beberapa orang, maka dalam hal ini hukum
sedangkan ia adalah satu-satunya faqih
berijtihad bagi seorang faqih hukumnya
ketika itu, tetapi ia tidak khawatir akan
mubah atau boleh.
hukum
suatu
kasus
yang
luputnya kasus tersebut dari hukum, atau
haram
pada waktu itu ada beberapa orang faqih.
berijtihad yang dihukumi haram
Maka hukum berijtihad ketika itu adalah
adalah untuk kasus yang tekah ada
wajib kifayah. Hal ini berarti bahwa untuk
hukumnya dan ditetapkan berdasarkan
menetapkan hukum suatu kasus tersebut
dalil yang sharih dan qothi' atau orang
telah ada seorang faqih yang tampil untuk
yang
berijtihad maka faqih yang lain terbebas
mencapai tingkat faqih. Jadi, haramnya
dari kewajiban berijtihad, namun bila tidak
berijtihad dalam hal ini adalah pertama
ada seorang faqih-pun yang berijtihad,
karena ijtihad tidak boleh dilakukan bila
sehinga hukumnya luput, maka semua
telah ada nash yang sharih dan qothi yang
faqih yang ada disitu berdosa, karena
mengaturnya, kedua karena orang yang
meningalkan kewajiban kifayah.
berijtihad tidak/ belum memenuhi syarat
melakukan
ijtihad
itu
belum
yang dituntut untuk proses ijtihad.
Sunah
Syarat-syarat menjadi mujtahid 22
Amir Syarifuddin, op.cit, hal 226 Ardla'ah Ahmad,Diktat Ushul fiqh "seputar ijtihad dan mujtahid", hal 12-14 23
151
Wahyu Abdul Jafar: Analisis kedudukan hukum hasil ijtihad Dibukanya pintu ijtihad dalam
Maksudnya haruslah mengetahui
hukum islam tidak berarti bahwa setiap
hukum-hukum syar'iyyah
orang bisa melakukan ijtihad, melainkan
pada
hanya orang-orang yang memiliki syarat-
menyebutkan hukum-hukum tersebut, serta
syarat tertentu saja yang boleh melakukan
cara-cara mengambil dan memetik hukum
ijtihad, Syarat-syarat tersebut adalah :
dari ayat-ayatnya. Sekiranya suatu kasus
disodorkan kepadanya, maka ia dengan
Menguasai Bahasa Arab24
al-Qur'an
dan
yang terdapat ayat-ayat
yang
Ulama ushul fiqh telah sepakat
mudah menghadirkan segala sesuatu yang
bahwa seorang mujtahid disyaratkan harus
berkenaan dengan topik kasus itu dari ayat-
menguasai bahasa arab, karena al-Qur'an
ayat ahkam dalam al-Qur'an, sebab-sebab
diturunkan sebagai sumber syari'at dalam
turunya masing-masing ayat itu yang
bahasa
dengan
shahih, dan sunah yang dapat menafsirkan
Sunnah yang berfungsi sebagai penjelas
dan mentakwilkanya. Berdasarkan inilah ia
dari al-Qur'an, juga tersusun dalam bahasa
mengistimbathkan hukum kasus itu.
arab. Imam Ghazali memberikan kriteria
arab.
Demikian
juga
Mengetahui sunnah (hadits)26
penguasaan bahasa arab oleh seorang
Syarat ini telah disepakati secara
mujtahid, dengan mengatakan : seorang
bulat oleh para ulama, bahwa seorang
mujtahid harus mampu memahami ucapan
mujtahid harus mengerti betul tentang
orang arab dan kebiasaan-kebiasaan yang
Sunnah, baik qauliyah, fi'iliyah maupun
berlaku dalam pemakaian bahasa arab
taqririyah, minimal pada setiap pokok
dikalangan mereka. Sehinga ia dapat
masalah (bidang) menurut pendapat bahwa
membedakan ucapan yang sharih, zhahir,
ijtihad itu bisa dibagi pembidanganya.
dan
majaz,
Menurut pendapat yang menolak adanya
memisahkan antara yang ‘am dan khos,
pembidangan dalam ijtihad, maka seorang
antara yang muhkam dan mutasabih,
mujtahid harus menguasai seluruh Sunah
mutlaq dan muqoyat, nash serta mudah
yang mengandung hukum taklifi, dengan
atau tidaknya dalam pemahaman. Kreteria
memahami
yang menjadi persyaratan seperti itu tidak
maksud
dapat dipenuhi kecuali oleh seorang yang
melatarbelakangi datangnya suatu hadits.
tingkat kemampuan berbahasa arabnya
Mujtahid juga harus mengetahui nasakh
sudah sampai pada derajat ijtihad.
dalam mansukh sunah, 'am dan khashnya,
mujmal,
hakikat,
dan
isinya hadits
serta dan
menangkap
kondisi
yang
Mempunyai pengetahuan tentang alQur'an25 24
25
Abdul Wahab Kholaf,
26
Muhammad Abu Zahro, op.cit, hal
ilmu ushul fiqh, (kairo: darul ilmu, 1978), hal 218 Muhammad Abu Zahro, op.cit, hal
380
383
152
MIZANI Vol. 25, No. 2, Agustus 2015 mutlaq dan muqoyyanya, takhsis dari yang
persoalan terdapat beberapa (ketentuan)
umum. Demikian juga harus mengerti alur
yang
riwayat dan sanad hadits, kekuatan perawi
berlawanan
hadits, dalam arti mengetahui sifat dan
diketahui
keadaan
adakalanya tidak diketahui. Kalau dapat
perawi
hadits
yang
berlawanan.
sejarah
menyampaikan hadits-hadits Rasulullah.
diketahui,
belakangan
Mengetahui tentang segi-segi qiyas27
tersebut
Nash-nash
yang
adakalanya
dapat
dikeluarkanya
maka
nash
membatalkan
yang nash
dan
datang yang
dikeluarkan dahulu. Kalau tidak diketahui
Mujtahid harus mengetahui segisegi Qiyas, misalnya ia mengetahui tentang
sejarahnya,
'illat, dan hikmah pembentukan hukum
diusahakan pemaduan antara keduanya,
yang
disyari'atkan,
kalau tidak bisa maka harus diadakan
mengenai jalur-jalur yang dipersiapkan
mentarjihan terhadap salah satunya, artinya
oleh
'illat
dicari mana yang lebih kuat dari semua
hukumnya. Ia juga harus mengetahui
seginya, menurut cara-cara yang banyak
terhadap berbagai hal ihwal manusia dan
dibicarakan dalam buku-buku ushul fiqh.
muamalah
karenanya
Syar'i
hukum
untuk
mereka,
mengetahui
sehinga
ia
dapat
maka
pertama-tama
Mengetahui maksud-maksud hukum29
mengetahui suatu kasus yang tidak ada
Sudah dimaklumi bahwa hukum
nash hukumnya. Ia juga harus mengetahui
dalam syari'at islam itu diaksudkan dan
tentang kemaslahatan manusia dan adat
bertujuan untuk kesejahteraan seluruh
istiadat mereka, serta sesuatu yang menjadi
umat manusia. Dan memang itulah maksud
perantara kepada kebaikan dan keburukan
dari
mereka,
sebagaimana
sehinga
apabila
ia
tidak
menemukan jalan dalam qiyas untuk
risalah
Muhammad telah
difirmankan
SAW. Allah
dalam surat al-Anbiya, ayat 107 :
mengetahi hukum kasus itu, maka ia dapat
وﻣﺎ ارﺳﻠﻨﺎك اﻻ رﺣﻤﺔ ﻟﻠﻌﺎﻟﻤﯿﻦ
menepuh jalan lain dari berbagai jalan
"dan tidaklah kami utus kamu
yang telah dipersiapkan oleh syariat islam
(Muhammad)
untuk sampai kepada istimbath hukum
untuk sekalian alam".30
mengenai sesuatu yang tidak ada nashnya.
kecuali
sebagai
rahmat
Sebagai realisasi dari rahmat itu,
Mengetahui pertentangan nash28
maka syariah islam haruslah mampu menjaga/
Pandai menghadapi nash-nash yang
memelihara
kemaslahatan
manusia yang tiga tingkatan, yaitu :
berlawanan, kadang-kadang dalam satu
1. Dharuriyyat (kebutuhan primer) 27
Abdul Wahab Kholaf, op.cit, hal
219 28
A.Hanafi, pengantar dan sejarah huku islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal 167
29
Muhammad Abu Zahro, op.cit, hal
30
Depag RI, op.cit, hal 508
386
153
Wahyu Abdul Jafar: Analisis kedudukan hukum hasil ijtihad 2. Hajiyyat (kebutuhan sekunder)
Rosulullah wafat, ialah Abu Bakar, Umar
3. Tahsinat (kebutuhan tersier)
bin Khatob, Zaid bin Tsabit, Ubay bin
Agar benar-benar
fatwa
seorang
mujtahid
bisa
menyentuh
Ka'ab, Muaz bin Jabal, Ibnu Abas, dan Ibnu Mas'ud31.
pada
kemaslahatan, maka ia harus mengetahui
Umar bin khattab dalam berijtihad
pula maslahah haqiqiyah (maslahah yang
seringkali
real, nyata) dan maslahah wahmiyah
kemaslahatan umat, dia tidak sekedar
(maslahah yang imajinatif yang muncul
menerapkan nash secara lahir, sementara
dari keinginan hawa nafsu). Begitu juga
tujuan hukum tudak tercapai. Misalnya,
dia harus mengetahui kenyatan yang
demi kemaslahatan rakyat yang ditaklukan
obyektif dalam mempertimbangkan antara
pasukan
maslahat dan madharat, dan mendahulukan
menetapkan
menolak madharat harus didahulukan dari
tersebut tidak diambil oleh pasukan islam
pada menarik maslahat, manfaat kepada
tetapi dibiarkan digarap oleh penduduk
umum (kolektif) harus didahulukan atas
daerah setempat, dengan syarat setiap
manfaat kepada perorangan (individual).
panen harus diserahkan sekian persen
Demikianlah
dalam
kepada pemerintahan islam, Umar bin
madharat dan manfaat dalam ijtihad yang
khattab berpendapat jika rakyat di daerah
harus diketahui oleh mujtahid.
tersebut tidak memiliki mata pencaharian
Produk Ijtihad Prakodifikasi Ushul
yang akibatnya bisa membebani Negara.
Fiqh
Ulama ushul fiqh berpendapat bahwa
prinsip-prinsip
Pada masa sahabat, wilayah kekuasan
suatu
daerah,
bahwa
tanah
di
ia
daerah
Ali bin Abi Thalib juga melakukan
dampak
ijtihad dengan cara kias, yaitu mengiaskan
peleburan etnis dan berbagai macam
hukuman orang yang meminum khamer
kebudayaan.
menyelesaikan
dengan hukuman orang yang melakukan
berbagai masalah yang aktual pada waktu
qadf. Alasanya adalah bahwa seseorang
itu, peran ijtihad dirasa sangat penting,
yang
karena tanpa ijtihad, akan banyak masalah
khamer akan mengigau, dan apabila ia
Dalam
sebagai
di
adalah kemaslahatan.32
masalah sosial kemasarakatan tumbuh heterogen,
islam
landasan Umar bin Khatab dalam kasus ini
islam bertambah luas. seiring dengan ini
sangat
mempertimbangkan
yang
mabuk
karena
meminum
yang tidak diketahui status hukumnya, sementara wahyu (al-Quran) dan hadis
31
Huzaemah Tahindo yanggo, pengantar perbandingan mazhab, (Ciputat: logos wacana ilmu,1999), hal 28 32 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), hal 1882
sudah terhenti. Diantara sahabat yang terkenal
melakukan
ijtihad
sesudah 154
MIZANI Vol. 25, No. 2, Agustus 2015 mengigau maka ucapanya tidak bisa
metode ijtihad yang mereka pergunakan
dikontrol, sehinga dapat menuduh orang
disamping latar belakang keilmuan dan
berbuat berzina. Hukuman bagi pelaku
oreantasi penalaran yang berlainan. Umar
qadf adalah delapan puluh kali dera. Oleh
bin Khatob, umpamanya, lebih condong
sebab itu hukuman bagi orang yang
kepada
meminum khamer sama dengan hukuman
mempergunakan qiyas. Sedangkan Ali bin
menuduh zina.33
Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud
Meskipun para Sahabat Nabi SAW. dalam
berijtihad
dan
maslahat
di
samping
juga
keduanya lebih banyak mempergunakan
beristinbath
qiyas walaupun kadang-kadang sering juga memakai maslahah ‘ammah.37
mengunakan cara dan sumber rujukan yang satu, terkadang dalam mengambil putusan hukum suatu kasus bisa berbeda-
Analisis
beda. Misalnya, Abu Bakar berpendapat
Ijtihad Prakodifikasi Ushul Fiqh
bahwa
kakek
bisa
menghalangi
Kedudukan
Untuk
Hukum
mengetahui
Hasil
kedudukan
(menghijab) saudara-saudaranya dari hak
hukum hasil ijtihad prakodifikasi ushul
waris, dengan alasan bahwa al-Qur'an
fiqh, maka kita harus mengetahui terlebih
menamai kakek dengan sebutan ayah34,
dahulu apakah seseorang yang melakukan
seperti tercantum dalam surat yusuf ayat
ijtihad mesti benarnya ataukah ia masih
38 :
bisa salah. Kemudian kalau diangap benar, واﺗﺒﻌﺖ ﻣﻠﺔ إﺑﺮاھﻢ وإﺳﺤﺎق وﯾﻌﻘﻮب
maka apakah hukum yang diijtihadkan itu
"Dan aku mengikuti agama bapak-
harus pula mengikat bagi orang yang lain
bapakku yaitu ibrahim, Ishak dan Ya'kub.35
atau
tidak,
kemudian
apakah
bisa
Tetapi Umar tidak sependapat dengan
dibatalkan oleh hukum lain hasil ijtihad
Abu Bakar, dan berkata "kakek tidak
pula, atau tidak. Persoalan-persolan inilah
menghalangi
karena
yang akan dibicarakan dalam pembahasan
penamaan kakek dengan sebutan ayah
ini guna untuk mengetahui kedudukan
adalah majazi".36
hukum ijtihad prakodifikasi ushul fiqh.
saudara-saudara,
Perbedaan hasil ijtihad mereka itu terjadi
antara
lain
kerena
Nilai kebenaran hasil Ijtihad
perbedaan
Persoalan ini berkisar apakah pada tiap-tiap hukum (lazim disebut masalah
33
furu’) terdapat hukum tertentu yang sudah
Ibid, hal 1882 Muhammad Ali as-Saayis, pertumbuhan dan perkembangan hukum fiqh, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), hal 40 35 Depag RI, op.cit, hal 354 36 Muhammad Ali as-Saayis, op.cit, hal 41 34
ditetapkan hukumnya oleh tuhan, dan apakah mujtahid bisa menemukan hukum 37
17-18
155
Muhammad Abu Zahroh, op.cit., hal
Wahyu Abdul Jafar: Analisis kedudukan hukum hasil ijtihad tersebut atau tidak ? jika hukum (furu’)
pendapat
telah
mengemukakan pendapat agar tawanan itu
ditetapkan
oleh
tuhan,
berarti
Umar
karena
khatab,
dibunuh
mujtahidin hanya satu, dan yang bisa
merugikan
mencapai kebenaran juga satu. Ataukah
berpikir untuk mempertimbangkan langkah
pada tiap-tiap peristiwa tersebut tidak ada
yang harus diambil, kemudian beliau
hukum tertentu dari tuhan, melainkan
mengambil kesimpulan untuk menahan
hukumnya adalah kesimpulan semata-mata
saja tawanan tersebut sebagaimana yang
dari penelitian yang berijtihad, dan dengan
disarankan oleh Abu Bakar. Kemudian
demikian maka tiap-tiap orang
Allah SWT menegur tindakan Nabi dengan
islam.
mungkin
ia
kebenaran yang sedang dicari oleh para
yang
saja,
ibn
Selanjutnya
akan Nabi
menurunkan surat Anfal ayat 67.39
berijtihad bisa mencapai kebenaran dan kebenaran juga bisa berbilang.
Dari kasus diatas, kita bisa menarik
Untuk mengetahui apakah hasil
kesimpulan bahwa apa yang diperbuat
ijtihad itu pasti benar atau bisa salah, kita
Nabi dalam kasus tersebut semata-mata
bisa merujuk kepada asbabun nuzul surat
hasil
anfal ayat : 67
berdasarkan wahyu dan hasil ijtihad itu
ﻣﺎ ﻛﺎن ﻟﻨﺒﻲ ان ﯾﻜﻮن ﻟﮫ اﺳﺮي ﺣﺘﻰ ﯾﺜﺨﻦ ﻓﻲ
buah
pikiranya
sendiri,
tidak
tidak pasti betul melainkan bisa saja salah.
اﻷرض
Untuk mengetahui apakah hasil
Tidak patut bagi seorang nabi
ijtihad yang dilakukan oleh para mujtahid
mempunyai tawanan sebelum ia dapat
hanya ada satu, atau bisa juga berbilang,
melumpuhkan musuhnya di muka bumi.38
kita
bisa
melihat
pada
hadits
yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan alPara ulama menyatakan bahwa
Nasa’i40. Di masa nabi muhamad SAW
asbabun nuzul ayat ini adalah masalah
masih hidup, pernah ada dua orang
tawanan perang badar. Kasus ini muncul
Sahabat yang sedang dalam perjalanan,
waktu menghadapi tawanan perang badar.
tiba-tiba masuk waktu shalat, sementara
Pada waktu itu nabi menanyakan pendapat
mereka tidak menemukan air. karena itu,
Abu
perang,
keduanya shalat dengan tayammum. Tidak
sebaiknya diapakan ? kemudian Abu Bakar
lama kemudian keduanya menemukan air.
mengemukakan
supaya
Karena masih dalam waktu shalat, maka
tawanan perang itu ditahan saja dan tidak
salah seorang mengulangi shalatnya dan
Bakar
mengenai
tawan
pendapatnya
dibunuh dengan harapan mereka berguna bagi
islam. 38
Lalu
Nabi
menanyakan
39
Amir Syarifuddin, ushul fiqh, (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu) , hal 231 40 Huzaemah Tahido Yanggo,op.cit, hal 23
Depag RI, Op.cit, Hal 272
156
MIZANI Vol. 25, No. 2, Agustus 2015 yang seorang lagi tidak mengulangi,
mengharuskan
karena ia berpendapat bahwa shalatnya
mengikutinya, karena pendapat yang telah
telah
yang
diketemukan oleh seseorang masih bisa
mengulangi shalatnya beranggapan bahwa
menjadi obyek ijtihad bagi orang lain pada
meskipun
dikerjakan
setiap masa dan setiap lingkungan. Adanya
dengan sempurna, tentu shalatnya hanya
sesuatu ijtihad dalam suatu persoalan tidak
dengan tayammum itu batal, sebab sudah
menghalang-halangi adanya ijtihad yang
ditemukan air dalam waktu shalat. Ketika
lain, sebab pendapat yang diperolehnya
keduanya bertemu dengan Rasulullah dan
hanya
menceritakan peristiwa itu, Rasulullah
(dhann), karena tidak diperoleh dari nash
bersabda kepada yang tidak mengulangi
yang qat’I atau dari hukum yang sudah
shalatnya :
diijma’kan, melainkan hanya berdasarkan
sempurna.
Sementara
shalatnya
sudah
didasarkan
atas
lain
untuk
dugaan
kuat
أﺻﺒﺖ اﻟﺴﻨﺔ وأﺟﺰأﺗﻚ ﺻﻼﺗﻚ
tanda-tanda yang telah ditentukan oleh
"Engkau telah berbuat sesuai dengan
syara’ dan yang dipakai sebagai alat
Sunah
dan
shalatmu
sudah
pengali. Hasil yang diperolehnya sudah
memadai".{HR.Abu Dawud}41
barang tentu dapat berbda-beda menurut
Kepada yang mengulangi shalatnya,Nabi
perbedaan
SAW bersabda :
memakainya.43 ﻟﻚ اﻷﺟﺮ ﻣﺮﺗﯿﻦ
kempuan
orang
yang
Dalam hubunganya dengan diri orang
"Untukmu dua pahala".{HR.Abu Daud}42
1.
orang
yang berijtihad itu sendiri, maka pendapat
Kasus diatas membuktikan
hasil ijtihad mengikat baginya dan ia harus
bahwa kebenaran hasil ijtihad itu bisa
bertindak seuai dengan ketentuanya selama
berbilang tidak tertentu hanya satu.
ia masih tetap memegangi hasil ijtihadnya. Karena pendapat tersebut adalah hukum
Mengikat Atau Tidaknya Pendapat
syara’
Hasil Ijtihad
yang
sesuai
dengan
Persoalan ini seputar apakah pendapat
dugaanya(keyakinanya). Dalam hal ini ia
yang dihasilkan oleh ijtihad itu mengikat
tidak boleh meningalkan pendapatnya
kaum muslimin secara umum, atau kepada
tersebut atau mengikuti mujtahid lain yang
orang yang bertanya atau kepada diri orang
mempunyai pendapat lain. Hal ini sudah
yang berijtihad itu sendiri. Terhadap kaum
disepakati
muslimin pada umumnya maka pendapat
masing-masing
hasil ijtihad tidak mengikat dan tidak
berdasarkan atas dugaan kuat sendiri
41
43
Imam Abu Daud,op.cit, zus 1,hal
para
fuqoha,
pendapat
karena tersebut
Ahmad Hanafi, MA, pengantar dan sejarah hukum islam, (Jakarta: Bulan Bintang,, 1970), hal 170
414 42
oleh
Ibid,hal 414
157
Wahyu Abdul Jafar: Analisis kedudukan hukum hasil ijtihad (keyakinan sendiri-sendiri dan oleh karena
ijtihadnya yang pertama dan memutuskan,
itu
untuk kemudian dikawinkan lagi dengan
maka
tidak
ada
alasan
untuk
memenangkan salah satunya44.
memakai wali. Kalau tidak diputuskan,
Dalam hubunganya dengan orang lain
maka berarti ia terus-menerus bercampur
yang bertanya maka pendapat hasil ijtihad
dengan istri dengan menyalahai keyakinan
mengikat pula padanya, karena mazhab
sendiri.
orang
yang bertanya tersebut adalah
pegangan orang yang ditanya. Hal ini
PENUTUP
adalah menurut pendirian yang kuat dari
Hukum yang dihasilkan dari ijtihad
45
ulama-ulama fiqh . 2.
sebelum dikodifikasikannya ilmu ushul
Pembatalan Ijtihad46
fiqh adalah sah dan bisa diamalkan
Di atas telah disebutkan bahwa hasil
berdasarkan hadist Nabi SAW. "jika
ijtihad hanya mengikat bagi orang yang
seseorang
melakukan ijtihad dan bagi orang yang
ijtihadnya benar maka ia mendapatkan
yang melakukan ijtihad dan bagi orang lain
dua pahala dan apabila hasil ijtihadnya
yang bertanya kepadanya, dan pengikatan
salah, ia mendapatkan satu pahala". Para
ini berlaku selama orang yang berijtihad
sahabat yang melakukan ijtihad setelah
tersebut
Nabi SAW. wafat tetap mengunakan ilmu
tidak
menarik
kembali
pendapatnya.
mengadakan
penetapan
kemudian
hasil
ushul fiqh walaupun ketika itu ilmu ushul
Kalau orang yang berijtihad sendiri yang
berijtihad
fiqh belum ditulis dan dibukukan. Ilmu
peninjaun
dan
ushul ketika itu tersimpan didada mereka
baru
yang
dan disampaikan secara lisan dari guru
pendapat
dipandangnya benar. Maka pendapat baru
kepada muridnya.
inilah yang harus dipegangi. jadi kalau menurut ijtihadnya yang pertama, seorang
Referensi
berpendapat bahwa, perkawinan tanpa wali
Ahmad, Ardla'ah, Diktat Ushul fiqh "seputar ijtihad dan mujtahid"
diperbolehkan dimana ia melakukannya, sedang
perkawinan
mendapat
legalisasi
kemudian
berobah
tersebut dari
Ash-Shiddieqy, T.M.Hasbi, pengantar hukum islam, (jakarta: Bulan Bintang, 1980)
belum
pengadilan,
berijtihadnya
dan As-Saayis, Muhammad Ali, pertumbuhan dan perkembangan hukum fiqh, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995)
berpendapat bahwa perkawinan tanpa wali tidak sah, maka ia harus membatalkan 44
Ibid, hal 171 Ibid, hal 171 46 Ibid, hal 172 45
158
MIZANI Vol. 25, No. 2, Agustus 2015 Dahlan, Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997) Daud, Abi, Sunan Abi Daud, Maktabah Syamilah, zus 1 Hanafi, Ahmad, pengantar dan sejarah huku islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970) Jumantoro, Totok, Samsul Munir Amin, Kamus Uṣūl Fiqh. (Penerbit Amzah, 2005), cet. ke-1 Kholaf, Abdul Wahab, ilmu ushul fiqh, (kairo: darul ilmu, 1978) Mujieb, M.Abdul,dkk, Kamus istilah fiqh, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994) Muslim, Imam, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, juz 9 Nahe'I,
Imam, dan Wawan Juandi, Revitalisasi Ushul Fiqh Dalam Proses Istinbath Hukum Islam, (Situbondo: Ibrohimy Pres, 2010), Cet. 1
Ramulyo, Moh.Idris, Asas-asas hokum islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004) RI, Depag, Qur'an dan Terjemahannya, (Bandung, 2009) Syarifuddin, Amir, ushul fiqh, PT Logos Wacana Ilmu)
(Ciputat:
Yanggo, Huzaemah Tahindo, pengantar perbandingan mazhab, (Ciputat: logos wacana ilmu, 1999) Zahro,
Muhammad Abu, ushul fiqh, (Lebanon: Darul fikr arobi, 1958)
159