MATERI I PENGANTAR USHUL FIQH TIM KADERISASI A. Pengertian Ushul Fiqh Ushul fiqh merupakan sebuah pembidangan ilmu yang beorientasi pada dinamisasi hukum islam dan penanganan kasus-kasus yang berkaitan dengan hukum islam. Jika diambil dari pengertian secara etimologi, Ushul Fiqh terdiri dari dua kata, yaitu ushul dan fiqh. Ushul memiliki pemahaman berakar, berasal, pangkal, asal, sumber, pokok, induk, pusat, asas, dasar, semula, asli, kaidah, dan silsilah. 1 Sedangkan Fiqh sendiri memiliki arti mengerti, dan memahami.2 Dalam pengertian Fiqh tersebut dapat difahami bahwa cakupan kajian fiqh terdapat dua pembagian ; 1. Pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia yang praktis. Hanya pada tataran hal praktis sedangkan ketika membahas mengenai kajian i’tiqadiyah maka tidak masuk kedalam kajian fiqh. Semisal, kajian mengenai kiamat, ruh, haqikat ketuhanan, dll tidak dimasukan dalam kajian fiqh sebab tidak terkait pada perbuatan manusia (mukallaf). 2. Pengetahuan tentang dalil-dalil yang terperinci pada setiap permasalahan. Maka fiqh mengkaji mengenai pengetahuan dalil-dalil yang terperinci untuk mendasari perbuatan mukallaf.
1
Ahmad warson Munawwir, kamus Al-Munawwir (Yogyakarta: Ponpes AlMunawwir Krapyak, 1983), hlm 29-30 2 Ibid 478
Dari dua hal diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Ushul Fiqh adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara (methode) pengambilan (penggalian) hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil syara’. Atau cara mudahnya ushul fiqh menjelaskan cara untuk mengambil hukum atas kegiatan dari mukallaf. Prof. Abu Zahra menjelaskan bahwa Ushul Fiqh adalah Ilmu untuk menemukan kaidah kaidah untuk menghasilkan istinbat hukum. Sedangkan Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan Ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan metode penggalian hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalil terperinci. B. Objek Kajian Ushul Fiqh Objek kajian Fiqh berbeda dengan objek kajian Ushul Fiqh. Objek kajian fiqh hanya berkutat pada hukum islam dan dalil-dalilnya saja. Sedangkan objek kajian Ushul Fiqh lebih luas lagi dengan mengkaji pada tataran metodologis pula. Ushul fiqh dan fiqh sama-sama mengkaji dalil-dalil secara terperinci. Jika fiqih dalil dijadikan alat penguat dari pada hukum itu, sedangkan jika ushul fiqh membahas mengenai dalil itu berimplikasi pada hukum apa, metode penetapan hukum, klasifikasi argumentasi serta situasi dan kondisi melatarbelakangi dalil-dalil tersebut. Dalam buku Ushul Fiqh karya Dr. Mardani dikutip objek kajian ushul fiqh dengaan empat klasifikiasi dari Abu Hamid Al-Ghazali membagi objek kajian ushul fiqh dengan empat klasifikasi (1) Pembaahasan tentang hukum syara’ dan yang berubungan denganya, seperti hakim, mahkum fih, hukum, dan mahkum ‘alaih. (2) Pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum, (3) Pembahasan tentang cara mengistinbathkan hukum dari sumber-sumber dan dalil-dalil itu, dan (4) Pembahasan tentang ijtihad.
Dari uraian diatas, maka dapat diketahui, jika diibaratkan dalam suatu proses produksi. Sedang kaidah dan cara penerapanya diibaratkan dengan alat produksi. Sementara, pelaku (Hakim) diibaratkan sebagai tenaga kerja dan Fiqh adalah produk. C. Tujuan dan Manfaat Ushul Fiqh. Tujuan dari pada Ushul fiqh telah disinggung didalam definisi dan objek kajian akan tetapi perlu untuk diberikan penekananpenekanan khusus terhadapanya. Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin yang dikutip oleh Dr. Mardani dalam bukunya ushul fiqh menyebutkan tujuan dari pada ushul fiqh adalah untuk menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terinci agar sampai kepada hukumhukum syara’ yang bersifat amali, yang ditujuk oleh dalil-dalil itu. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan ushul fiqh adalah mencari metode penerapan konten-konten dalil yang paling relevan dan telah disesuaikan dengan kondisi sosial yang ada serta berdasarkan maqoshid syari’ah. Disisi lain para ulama’ terdulu telah merumuskan metode ushul fiqh. Maka ketika kita menemukan kasus baru yang tidak terdapat hukumnya dengan kaidah-kaidah ushuliyah yang telah ditentukan, kita akan mudah menemukan rule yang paling relevan untuk menetapkan hukum dari kasus baru tersebut. Serta dengan kaidah-kaidah itu kita bisa mendinamisasi ketetapan hukum yang telah ditetapkan ulama’. D. 4 Pilar Ushul Fiqh Dalam menerapkan ushul fiqh terdapat beberapa hal yang menuntut keberadaanya karena jika tidak terdapat salah satu hal tersebut maka dipastikan bahwa ushul fiqh tidak akan terselenggara. Adapun 4 pilar terselenggaranya ushul fiqh antara lain :
1. Hukum : sifat yang merupakan implikasi dari khitab (Ketentuan) dan mengikat terhadap setiap perbuatan mukallaf. 2. Hakim : Orang yang memiliki kualifikasi khusu untuk menetapkan hukum atau yang memutuskan hukum 3. Mahkum Fih : Perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syara’ 4. Mahkum Alaih : Mukallaf (orang yang diberi ketentuan hukum) E. Ijtihad Dalam ushul fiqh proses untuk mengambil hukum disebut dengan ijtihad. Para ulama’ madzhab semuanya melakukan ijtihad untuk menemukan hukum terhadap kasus kasus baru. Imam Al-Ghazali mendefininiskan ijtihad dengan mengerahkan segala kemampuan seorang mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukumhukum syara’. Sedangkan menurut Asy-Syaukani, Ijtihad adalah mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syar’i yang bersifat amali melalui cara istinbath. Dari dua definisi diatas dapat diambil hakikat dari ijtihad sebagai berikut. 1. Ijtihad adalah pengerahan daya nalar secara maksimal. 2. Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yant telah mencapai derajat tertentu di bidang keilmuan disebut faqih. 3. Produk atau usaha yang diperoleh dari ijtihad itu adalah dugaan kuat tentang hukum syara’ yang bersifat ‘amaliah. 4. Usaha ijtihad ditempuh dengan cara-cara istinbath. Syarat Berijtihad 1. Mengerti dengan makna-makna yang dikandung oleh ayatayat hukum dalam Al-Quran baik secara bahasa maupun secara istilah. 2. Mengetahui tentang hadist-hadist hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakaian syara’
3. Mengetahui tentang ma’na ayat atau hadist yang telah dinaskh. 4. Mempunyai pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah terjadi ijma’ tentang hukumnya dan mengetahui tempat-tempatnya. 5. Mengetahui tentang seluk beluk qiyas. 6. Menguasai bahasa arab serta ilmu-ilmu alat yang berhubungan dengannya. 7. Mengetahui maqashid al-syari’ah F. Maqasid syari’ah Maqashid syari’ah ialah tujuan syara’ dalam menetapkan hukum Islam. Tujuan tersebut diambil dari beberapa nash quran dan hadist. Adapun pembagianya terdapat 5 klasifikasi : 1. Hifdzu Ad-din (Menjaga Agama) disini difahami bahwa menjaga agama adalah menjaga hak Allah, hak Manusia dan Hak Alam. 2. Hifdzu Nafs (Menjaga Nyawa) disini difahami bahwa nyawa seseorang harus terlindungi dengan kehadiran suatu hukum 3. Hifdzu Al-Mal (Menjaga Harta) disini difahami bahwa kehadiran suatu hukum harus dapat pula menjaga harta sesuai dengan hak perorangan. 4. Hifdzu An-Nasl (Menjaga Keturunan) difahami pula menjaga keturunan adalah prinsip dari masing-masing manusia untuk melangsungkan kehidupan / bereproduksi. 5. Hifdzu Aql (Menjaga Akal) difahami pula dalam memutuskan ketetapan hukum harus tetap berorientsi dalam terjaminya keselamatan terkait keamanan akal seseorang.
Pada dasarnya keberadaan maqasid adalah untuk menjamin terjadinya kemaslahatan dari setiap fatwa hukum yang dikeluarkan seorang yang berijtihad.