RESPON DOSEN PTAI YOGYAKARTA TERHADAP KONSEP USHUL FIQH JASSER AUDA
Tamyiz Muharram Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Reconstruction maqashid al-Shari’ah concept initiated by Jasser Auda provides fresh air in the middle of stagnation usul al-fiqh paradigm. However, thinking about maqashid Jasser Auda al-shari’ah with systems theory approach gets critical response from the lecturers PTAI in Yogyakarta, where the tradition of usul al-fiqh long since has appeared in the region. This research is a qualitative descriptive with reference to the type of field research. The subjects of this study is a lecturer PTAI in Yogyakarta predetermined purposively. To find out how the response PTAI lecturer in Yogyakarta to the idea of reconstruction maqashid al-Shari’ah offered Jasser Auda, this study utilized the theory of reader-response criticism. From the results, the response, such as: First, the methodological framework, philosophical, and theoretical Jasser Auda is not based on the discourse that is more fundamental, so thought Jasser Auda seemed deprived of the most fundamental roots in the context of Islamic scholarship. Secondly, the idea maqashid al-Sharia Jasser Auda is not applicable version, so it can not answer the practical question of Muslims. Yet since the beginning Jasser Auda would like to entail various extremities and try to sit in a neutral position. Third, new ideas and Jasser Auda is still stuck in the legal framework, and ignoring the cultural framework that is much more universal and fundamental. So that any legal product that is produced using the frame maqashid al-Shari’ah version Jasser Auda impressed not only a functional law, even uprooted from their social roots. Key words: Jasser Auda, Maqashid al-Syariah, reader-response criticism.
240 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015
A. PENDAHULUAN Di tengah derasnya arus pemikiran Islam kontemporer, Jasser Auda menampilkan gagasan baru dalam merekonstruksi kembali konsep maqashid al-shari’ah melalui karyanya, Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law1. Dalam karya ini Jasser Auda hendak mereaktualisasi konsep maqashid al-syariah, yang dipercaya mampu menjawab persoalanpersoalan hukum Islam. Jasser Auda berpendapat bahwa ada enam unsur sistem yang harus diperhatikan dalam merekonstruksi kembali konsep maqashid al-shari’ah. Keenam unsur diantaranya adalah cognitive nature of system (sifat kognitif), wholeness (keutuhan), openness (keterbukaan), multidimensionality (multidimensionalitas), interrelated hierarchy (saling keterkaitan), dan purposefulness/maqashid-based approach (selalu mengacu pada tujuan).2 Unsur-unsur inilah menjadi pijakan awal metodologi dalam merekonstruksi kembali konsep maqashid al-shari’ah. Sebuah metode analisis yang dapat memadukan identitas Islam dengan isu-isu kontemporer. Jasser Auda menawarkan pendekatan sistem (System Approach) untuk mengembangkan konsep maqashid al-syariah, sebuah bangunan konseptual yang integral dengan ushul al-fiqh. Pendekatan Jasser Auda merupakan teori sains yang kemudian ia aplikasi untuk upaya pengembangan maqashid al-syariah. Maqashid al-syariah yang dulu terpusat pada konsep ‘al-hifdz’ (protection), kini ia transformasikan menjadi ‘pengembangan dan hak asasi manusia’ (development and human right). Hifdz al-‘aql (menjaga akal) misalnya, yang ulama dahulu membatasinya pada larangan minuman keras, kini ia arahkan pada pengembangan corak berpikir yang ilmiah, menciptakan mentalitas yang kuat, serta menghindari kejumudan intelektual. Melalui pendekatan sistem ini, Jasser Auda bermaksud membangun konsep maqashid al-syari’ah yang lebih filosofis dengan berpijak pada landasan teori yang kuat demi menjawab problematika-problematika Jasser Auda, Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law, (London: The International Institue of Islamic Thought, 2008), h. 21. 1
Ibid., h. 45-55.
2
Respon Dosen Ptai Yogyakarta Terhadap Konsep Ushul Fiqh Jasser Auda | 241
Islam kontemporer. Selain itu, pendekatan ini digunakan juga untuk mendapatkan makna yang kontekstual, karena baginya sistem adalah interaksi antar unit-unit dan elemen-elemen yang membentuk sebuah kesatuan (whole) untuk mencapai tujuan tertentu.3 Dalam pandangan Jassser Auda sistem bukan berarti identifikasi terhadap kenyataankenyataan dunia tapi lebih berfungsi sebagai cara mengatur paradigma berpikir akan kenyataan dunia tersebut. Jadi, sistem adalah nama sebuah kesatuan. Ini bukan semacam pandangan terhadap realita, sebagaimana banyak orang mengira, karena dalam teori sistem pandangan tentang realita disebut dengan ‘kognisi’ (cognition).4 Di Indonesia, gagasan dan ide pembaharuan konsep maqashid alsyariah tersebut sempat menyita perhatian para pemerhati hukum Islam, khususnya para dosen PTAI di Yogyakarta. Wilayah yang cukup representatif bila dilihat dari sebuah ekspresi intelektual para pengkaji ushul al-fiqh yang ada di PTAI yang ada di wilayah ini. Para dosen pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga misalnya, menempatkan Jasser Auda sebagai tokoh pemikir kontemporer yang harus dikaji oleh para mahasiswa di kelasnya. Bahkan, ilmuan sekaliber Amin Abdullah dalam orasi ilmiahnya pada pengukuhan anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), mengungkapkan signifikansi konsep maqashid alsyariah Jasser Auda dalam pengembangan hukum Islam kontemporer. Seakan telah memberikan angin segar dalam perkembangan ushul alfiqh, gagasan Jasser Auda mengundang banyak respon dari kalangan akademisi muslim di Yogyakarta. Penelitian seputar respon para dosen PTAI di Yogyakarta terhadap gagasan Jasser Auda menjadi penting dan menarik karena hal ini akan menelisik alur epistemologi pemikiran hukum Islam di PTAI di Yogyakarta. Yogyakarta, kota yang didukung oleh semangat para warganya dalam upaya pengembangan dan perwujudan obsesinya sebagai pusat tradisi intelektual di kawasan Asia Tenggara, bahkan
Ibid., h. 33.
3
Ibid., h. 31.
4
242 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015 untuk Benua Asia,5 memberikan potensi besar dalam pengembangan ushul al-fiqh. Pastinya, hal ini juga akan berpengaruh pada pengembangan paradigma teori hukum Islam di tiap-tiap perguruan tinggi Islam yang ada di kota tersebut. Penelitian terhadap konsep maqashid al-syari’ah yang berkonsentrasi pada pemikiran Jasser Auda terbilang masih langka, karena ia adalah satu di antara sarjana muslim kontemporer yang akhir-akhir ini pemikirannya sedang booming di tengah diskursus ushul al-fiqh. Beberapa penelitian yang sudah ada hanya berbentuk artikel atau sebatas pembahasan dalam sub bab buku-buku ushul al-fiqh. Di antara artikel yang peneliti temukan adalah “Bangunan Baru Epistemologi Keilmuan Studi Hukum Islam dalam Merespon Globalisasi” yang ditulis oleh Amin Abdullah dan diterbitkan oleh jurnal Asy-Syir’ah.6 Dalam tulisannya, ia membahas tentang konsep maqashid al-syari’ah sebagai konstruksi metodologis dalam studi hukum Islam. Sebagai langkah pengembangan teori maqashid, ia menegaskan bahwa epistemologi hukum Islam kontemporer harus didasarkan pada paradigma ushul al-fiqh klasik dan isu-isu humanistik, politik dan sosial, sehingga dapat membawa hukum Islam pada ranah yang lebih aplikatif. Ahmad Imam Mawardi, dalam bukunya yang berjudul Fiqh Minoritas, Fiqh al-Aqaliyat dan Evolusi Maqashid al-Syariah dari Konsep ke Pendekatan,7 memaparkan geneologi kemunculan maqashid al-shari’ah. Menurutnya, fungsi maqashid al-syariah mengalami perkembangan yang sangat signifikan, awalnya para ulama klasik menganggapnya sebagai konsep dan kini para sarjana muslim kontemporer -diantarnya adalah Jasser Auda- menjadikannya sebagai pendekatan. Ia juga menegaskan bahwa hukum Islam harus terus dikembangkan karena ia merupakan hasil ijtihad ulama klasik yang kebenarannya bersifat relatif. Namun 5 Amin Abdullah (dkk.), Mazhab Jogja, Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer (Yogyakarta; Ar-Ruzz Press, 2002), h. 14.
Amin Abdullah “Bangunan Baru Epistemologi Keilmuan Studi Hukum Islam dalam Merespon Globalisasi”, dalam as-Syir’ah, XXXXIV, December 2012, h. 315-368. 6
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas, Fiqh al-Aqaliyat dan Evolusi Maqasid alSyari’ah dari Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2010), h. 175-236. 7
Respon Dosen Ptai Yogyakarta Terhadap Konsep Ushul Fiqh Jasser Auda | 243
demikian, Mawardi hanya menerangkan maqashid al-syariah secara umum sebagai metode hukum dalam menjawab problematika fikih minoritas dan belum memparkan maqashid al-syariah versi Jasser Auda secara komprehensif. Dari hasil kajian pustaka di atas, terlihat bahwa penelitian konsep maqashid al-syariah Jasser Auda masih terbilang langka. Padahal dilihat dari segi pemikirannya, Jasser Auda berkontribusi besar dalam pengembangan konsep maqashid al-syariah kontemporer, yaitu dengan menawarkan pendekatan sistem dalam hukum Islam. Sehingga penelitian ini layak dan perlu dilakukan. Gagasan Jasser Auda tentang rekontruksi konsep maqashid al-syari’ah memberikan angin segar di tengah kemandegan paradigma ushul al-fiqh. Hal ini mendapatkan respon hangat oleh para dosen PTAI di Yogyakarta, di mana tradisi ushul al-fiqh sejak lama telah muncul dan tergagas di wilayah ini. Sebagai subyek adalah para pakar dan ahli ushul al-fiqh yang telah memiliki legitimasi akademik dalam disiplin ushul al-fiqh, dan pihak inilah yang menjadi penentu dan penanggung jawab bagi eksistensi tradisi ushul al-fiqh. Untuk mengetahui bagaimana respon dosen PTAI di Yogyakarta terhadap gagasan rekontruksi maqashid al-syari’ah yang ditawarkan Auda maka penelitian ini akan memanfaatkan teori readerresponse criticism. Dengan teori ini kita akan mengetahui bagaimana respon dosen PTAI di Yogyakarta terhadap gagasan rekontruksi maqashid al-syariah Jasser Auda dan relevansinya terhadap pengembangan ushul al-fiqh di perguruan tinggi Islam di wilayah ini. Tugas teori reader-response criticism dalam hal ini adalah meneliti bagaimana dan sejauh apa tanggapan pembaca yang berbentuk interpretasi, konkretisasi, maupun kritik atas karya tulis yang dibaca. Tanggapan-tanggapan pembaca atas karya Jasser Auda, dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain latar belakang pendidikan, basis keilmuan dan pemikiran. Resepsi dalam teori kontemporer tidak terbatas sebagai reaksi, tetapi sudah disertai dengan penafsiran, dan bahkan penafsiran yang sangat rinci. Beberapa bentuk resepsi di antaranya dalam bentuk laporan-laporan, catatan harian, salinan, terjemahan dan
244 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015 saduran.8 Resepsi dosen-dosen PTAI di Yogyakarta terhadap gagasan dan pemikiran Jasser Auda terdiri dari beberapa bentuk catatan, salinan, terjemahan, saduran, materi perkuliahan, artikel dan buku. Resepsi para dosen PTAI di Yogyakarta terhadap pemikiran Jasser Auda pada gilirannya merupakan gudang kultural sekaligus energi kreatifitas. Bentuk-bentuk baru sebagai resepsi sering lebih popular, lebih diminati, bahkan sering lebih bermutu dibandingkan dengan bentuk aslinya.9 Alhasil, penelitian resepsi atau reader response criticism terdiri dari dua mekanisme, yaitu penelitian resepsi sinkronis dan diakronis. Penelitian resepsi sinkronis merupakan penelitian terhadap teks pada masa satu periode. Penelitian ini menggunakan pembaca yang berada dalam satu periode. Sedangkan penelitian diakronis merupakan penelitian terhadap teks yang menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca pada setiap periode. Penelitian resepsi sinkronis akan diaplikasi dalam penelitian ini. Pembaca terhadap karya Jasser Audah yang terdiri dari representasi dosen PTAI di Yogyakarta masih berada dalam satu periode masa di mana mereka sama-sama melakukan pembacaan dan respon terhadap gagasan dan pemikiran Jasser Auda.
B. KAJIAN TEORI 1. Konsep Ushul Fiqh dalam Perspektif Jasser Auda Kegelisahan akademik seorang Jasser Auda terlihat ketika ia bergumul dengan ijtihad, berpikir untuk memperbaharui dan mengembangkan teori hukum Islam tradisional. Baginya, selogan yang menyatakan bahwa “pintu ijtihad tidak tertutup” mengalami jalan buntu karena menurutnya belum tergambar bagaimana metode dan pendekatan yang digunakan dan bagaimana realisasi dan aplikasinya dalam pembaharuan hukum Islam. Dengan bekal ilmu yang diraih selama karir studi akademiknya dari menguasai bidang fiqh, ushul fiqh, hukum Islam, maqashid al-syari’ah sampai menguasai Ibid., h. 167.
8
Ibid.
9
Respon Dosen Ptai Yogyakarta Terhadap Konsep Ushul Fiqh Jasser Auda | 245
teori sistem (system theory), ia ingin menawarkan pendekatan dan metode yang ideal dalam menyelesaikan dilema pengembangan hukum Islam dan membantu membuka kembali pintu ijtihad yang telah lama terbuka tetapi tidak ada yang berani masuk. Ibarat sebuah pintu yang tertutup, kalau tidak dibuka dengan menggunakan kunci yang tepat, maka pintu tersebut tidak akan terbuka atau terbuka tetapi rusak. Kondisi pintu tersebut akan berakibat pada nasib umat Islam di seluruh dunia di era globalisasi seperti pada sekarang ini. Amin Abdullah mengenalkan dua pendekatan (approaches) yang perlu dikuasai sekaligus secara professional. Pertama, approaches yang berhubungan erat dengan dimensi waktu dan kesejarahan. Kedua, approaches yang berhubungan erat dengan konsep dan pemikiran kefilsafatan.10 Dalam kaitannya dengan dimensi waktu dan kesejarahan, Auda menggunakan tiga kunci untuk mempelajari dan menganalisis pemikiran hukum Islam, yaitu teori hukum era tradisional, era modern, dan era posmodern.11 Dengan membandingkan pemikiran hukum Islam di ketiga era tersebut, Jasser Auda ingin membuka horizon dan membangun bangunan epistemologi keilmuan Islam baru di era kontemporer untuk menghadapi arus globalisasi. Dengan membaca dan meneliti literatur yang ada di ketiga era tersebut, Auda membagi ke beberapa varian pola pemikiran hukum Islam yang berbeda-beda disetiap masing-masing tahapan sejarahnya. Diantara varian tersebut adalah sebagai berikut: a. Islamic Traditionalism, Auda membagi kategori Islam tradisionalis ke dalam beberapa varian. Diantaranya adalah scholastic traditionalism, scholastic neo-traditionalism, neoliteralism, dan ideology oriented theories. b. Islamic Modernism, Pemikiran Islam mulai memasuki masa modernisme pada awal abad ke-20. Tokoh yang berperan besar dalam mencetuskan pemikiran ini adalah Mohammad Abdullah “Bangunan Baru...”, h. 331.
10
Jasser Auda, Maqashid al-Shari’ah ..., h. 253.
11
246 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015 Abduh (1849-1905) dan Mohammad Iqbal (1877-1938).12 Dalam hal ini Jaser Auda membagi pemikiran Islamic Modernism menjadi beberapa varian: reformist interpretation, apologetic re-interpretation, dialog-oriented re-interpretation, mashlahhah-oriented theories, dan ushul revisionism. c. Postmodernist Approach, Pendekatan postmodern hadir pada awal pertengahan abad ke-20 untuk merekonstruksi ulang paradigma berpikir kaum tradisional dan modern. Pendekatan ini juga lahir sebagai upaya menjawab problematika modernitas, terutama pada ranah deterministik dan nilai-nilai universalnya. Pendekatan ini terpusat pada ide dekonstruksi yang ditawarkan oleh Jaques Derrida. Pastinya ide ini menghasilkan beberapa corak pemikiran, diantaranya adalah post-structuralism, historical of means and/or ends, neo-rationalism, critical legal studies, dan post-colonialism. Pendekatan kefilsafatan dalam studi hukum Islam yang ditawarkan Jasser Auda adalah Pendekatan Sistem (System Approach). Apa yang dimaksud dengan Pendekatan Sistem? Pendekatan Sistem adalah multi-disiplin baru yang melibatkan beberapa subdisiplin dalam prosesnya. Auda menjelaskan dengan jelas dalam bukunya secara umum sistem adalah ‘bangunan yang terdiri dari unit-unit atau elemen-elemen yang yang saling berkaitan dan membentuk kesatuan yang bertujuan untuk mencapai berbagai fungsi’. Jadi secara khusus, analisis sistem melibatkan identifikasi berbagai unit,
12 Menurut Baljon, gerakan modernitas dalam dunia islam muncul untuk memper��tahankan pandangan bahwa al-Qur’an selaras dengan perkembangan zaman baik secara materi atapun spiritnya. Sekurang-kurangnya ada dua alasan yang menjadi pembeda antara pemikiran Islam era modern dengan era sebelumnya, a) untuk menjelaskan konsep-konsep klasik yang ada dalam al-Qur’an, b) upaya untuk menjadikan gagasan Qur’an selaras dengan ide-ide kontemporer. Lihat J. M. S. Baljon, Modern muslim Koran Interpretation, (Leiden: E.J. Brill, 1968), h. 89.
Respon Dosen Ptai Yogyakarta Terhadap Konsep Ushul Fiqh Jasser Auda | 247
elemen, atau subsistem dan bagaimana beberapa unit tersebut saling berkaitan dalam sebuah proses dan fungsi. 13 Secara sederhana, konsep-konsep dasar yang biasa digunakan dalam Pendekatan Sistem antara lain adalah melihat persoalan secara keseluruhan (wholeness), berpikiran terbuka (openness), mengkaitkan seluruh komponen (interrelated hierarchy), melibatkan berbagai dimensi (multi-dimensionality), dan selalu mengutamakan tujuan pokok (purposefulness). Terkait dengan systems, yang tak kalah pentingnya adalah apa yang disebut dengan cognitive science, yakni bahwa setiap disiplin keilmuan baik keilmuan agama maupun non-agama sangat berpengaruh dalam membentuk kognisi manusia. Dalam Pendekatan Sistem, konsep-konsep tersebut akan digunakan dalam mengembangkan hukum Islam. Hubungan antara keenam fitur tersebut mempunyai peran dan fungsi sendiri-sendiri, namun memiliki hubungan pemahaman yang kompleks. Masing-masing fitur dapat berfungsi dan berperan sendiri-sendiri, baik berfungsi sebagai penyempurna, pengingat, pelengkap, pengoreksi dan begitu seterusnya. Semuanya membentuk satu kesatuan system berpikir keagamaan. Jika ada salah satu fitur yang tidak berfungsi, maka system pemahaman keagamaan akan terganggu. Akibatnya, proses pemahaman hukum Islam tidak akan menemukan titik terang, bahkan dapat berlawanan dengan perkembangan peradaban manusia. kesatuan kerangka berpikir keagamaan yang menyangkut hukum, filsafat, politik, sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan begitu seterusnya perlu menjadi prioritas paradigma baru dalam merekonstruksi silabi hukum Islam di perguruan-perguruan tinggi Islam dan umum. Dalam upaya mengembangkan teori maqashid pada era ini, yang membedakan Jasser Auda dengan para pemikir lain adalah ditawarkannya teori ‘human development’ sebagai target utama dari konsep mashlahah.14 Mashlahah ini yang mestinya menjadi perhatian Abdullah, “Bangunan Baru...” h. 338.
13
Jasser Auda, Maqasid Sharia, h. 24.
14
248 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015 khusus dalam pengembangan teori maqashid al-shari’ah masa kini. Pada hifdz al-nasl (menjaga keturunan) misalnya, dulu al-Amiri menafsirkannya dengan hukuman untuk orang yang berzina, kini Jasser Auda mengembangkannya pada teori yang beroreantasi kepada perlindungan keluarga; kepedulian yang lebih terhadap institusi keluarga. Tampaknya teori maqashid baru yang ditawarkan Jasser Auda dapat menjadi jawaban dilema problematika studi hukum Islam dewasa ini. Teori maqashid yang dilandasi prinsip-prinsip kognitif (cognitive nature), keutuhan (wholeness), keterbukaan (openness), hierarki yang saling terkait (interrelated hierarchy), multidimensionalitas (multi-dimensionality) dan mengacu pada tujuan (purposefulness) menjadi bangunan metodologi studi hukum Islam yang didasarkan pada Pendekatan Sistem. Setiap prinsip atau fitur tersebut memiliki fungsi dan peran masing-masing, dimana mereka saling berkaitan baik sebagai pengingat, penyempurna, pelengkap, pengoreksi dan begitu seterusnya. Semua prinsip itu membentuk kesatuan system berpikir keagamaan Islam yang utuh. Jika ada salah satu prinsip yang hilang, kesatuan system pemahaman keagamaan akanterganggu. Alhasil, proses pemahaman hukum Islam tidak sesuai dengan perkembangan peradaban manusia. Pastinya teori maqashid baru ini berimplikasi pada bangunan metodologi ushul fiqh yang sudah lama dibangun. Bagaimana implikasi teori tersebut? Jasser Auda memaparkannya pada seperangkat metode ushul fiqh alternatif yang berasaskan pendekatan maqashid. Diantara metode-metode tersebut adalah sebagai berikut: 15 1. Istihsan berdasarkan pada maqashid (juridical preference based on maqashid). 2. Fath al-Dhara’i (Opening the means) untuk mencapai maqashid yang lebih baik. 3. ‘Urf dan tujuan universal (al-maqashid al-‘am) 15 Ahmad al-Raisuni, al-Fikr al-Maqashidi, Qawa’iduhu wa Fawa’iduhu (Sevres: al-Dar al-Bayda’, 1999), h. 105-108.
Respon Dosen Ptai Yogyakarta Terhadap Konsep Ushul Fiqh Jasser Auda | 249
4. Istishhhab berdasarkan maqashid (presumption of continuity based on the purposefulness)
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Respon tentang Konsep Quasi Objektivis-Modernis Jasser Auda Sahiron mengapresiasi sekaligus menilai dengan kritis terhadap kerja akademik yang dilakukan oleh Jasser Auda. Apresiasi yang diberikan Sahiron kepada Jasser Auda terletak pada keunikan Jasser Auda dalam memahami dan mengkonsep ulang pemikiran tentang Maqashid Syariah. Dalam pandangan Sahiron, rumusan Maqashid Syariah telah ditemukan oleh para ulama klasik, tetapi Jasser Auda memberikan interpretasi baru terhadap rumusan tersebut. Sedangkan kritik dan penilaian Sahiron terhadap kerja Jasser Auda terletak pada pendekatan historisitasnya dalam merangkum, memetakan, merenungkan, mengklasifikasi, mengkategorisasi, dan merumuskan hasil renungannya sendiri tentang pemikiran para ulama. 16 Kritik dan apresiasi dari Sahiron tidak terbatas pada tahap pertama kerja akademik Jasser Auda, tetapi juga menohok ke jantung gagasan Maqashid Syariah ala Jasser Auda yang harus menjadi ‘ruh’ dan ‘spirit’ bagi seluruh logika para Yuridis Muslim. Dalam hal ini, Sahiron sangat apresiatif dan menilai positif pembaruan yang ditawarkan oleh Jasser Auda. Dari sini kita tahu bagaimana Sahiron menempatkan Jasser Auda seperti Fazlur Rahman, Abdullah Sa’id, dan Muhammad Talbi. Nama-nama ini dalam pandangan dan penilaian Sahiron adalah kelompok intelektual yang objektifmodernis. Kelompok ini bisa disebut sebagai kelompok yang berusaha mempertahankan warisan pemikiran lama dan tetap menerima dan mengadopsi pemikiran-pemikiran baru/modern. Kritik Sahiron ini menemukan landasan kebenarannya bila melihat usaha Jasser Auda ketika memetakan semua gagasan 16 Wawancara dengan Bapak Sahiron Syamsuddin, Dosen UIN Sunan Kalijaga pada Rabu, 20 Agustus 2014.
250 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015 dan ide yang sudah mapan sebelumnya, mengapresiasi aspekaspek keunggulannya, mengkoreksi sisi-sisi kekurangannya, dan merumuskan teori baru yang dibangun dari bahan-bahan dasar yang ia dapatkan dari hasil perenungannya sendiri. Sebab, bagaimana pun, kita tidak bisa menolak bahwa posisi Quasi Objektivis-Modernis adalah posisi yang mengakomodir semua kepentingan. Prinsip mengakomodir semua kepentingan dan kubu semacam ini terdapat dalam spirit teori Sistem ala Jasser Auda. 17 Jasser Auda dalam pandangan Sahiron telah mencoba untuk mengakomodir dua kubu yang selama ini ditengarai tidak akur, yaitu kubu yang memuja “masa silam”, dan kubu yang menyanjung “masa sekarang”. Ungkapan “masa silam” yang dimaksud oleh Sahiron adalah kelompok objektifis-tradisionalis, yang literlek dan normatif, tekstualis dan menolak penafsiran atau interpretasi yang rasionalis-saintifik seperti orang modernis. Sedangkan ungkapan “masa sekarang” digunakan oleh Sahiron untuk menyebut kelompok orang-orang modernis, yang rasionalis, yang dengan ringan tangan meninggalkan tafsir-tafsir kelompok tradisional. Di sinilah letak peranan Jasser Auda, yang coba mengakomodir rivalitas dua kubu. 18 Wawancara dengan Sahiron Syamsuddin, Dosen UIN Sunan Kalijaga pada Rabu, 20 Agustus 2014. Pembagian tiga kategori aliran pemahaman keislaman semacam ini juga ditemukan dalam pemikiran Sahiron yang coba menemukan rumusan integrasi antara ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu sekular. Hanya saja, kategori ketiga (quasi objektivis) diberi sebutan lain, yaitu quasi subjektivis. Dalam wawancara yang dilakukan peneliti, quasi objektivis dimaksudkan oleh Sahiron sebagai kategori pemikiran yang objektif dan mengabaikan sedikit banyak persoalan normatifitas penafsiran, tekstualitas, dan sakralitas teks suci. Tetapi, dalam sebuah makalah, kategori yang sama disebut dengan terminologi yang berbeda, yaitu subjektivis. Jadi, dalam pemikiran Sahiron, quasi objektivis dan quasi subjektivis adalah dua terminologi yang berbeda namun memiliki satu substansi yang sama. Lihat Sahiron Syamsuddin, “Integrasi Hermeneutika Hans Georg Gadamer ke dalam Ilmu Tafsir? Sebuah Proyek Pengembangan Metode Pembacaan Alquran pada Masa Kontemporer,” dalam Makalah yang dipresentasikan pada Annual Conference Kajian Islam yang dilaksanakan oleh Ditpertais DEPAG RI pada tanggal 26-30 November 2006 di Bandung. 17
18 Wawancara dengan Sahiron Syamsuddin, Dosen UIN Sunan Kalijaga pada Rabu, 20 Agustus 2014. Di tempat lain, Sahiron mengatakan hal yang senada, “Dari ketiga pandangan di atas, yang paling dapat diterima adalah pandangan quasi-objektivis modernis,
Respon Dosen Ptai Yogyakarta Terhadap Konsep Ushul Fiqh Jasser Auda | 251
Alhasil, secara pribadi, Sahiron setuju terhadap posisi kelompok Quasi Objektivis-Modernis. Sahiron juga setuju dengan cara berpikir Jasser Auda. Tetapi, ada aspek substansial yang diajukan oleh Sahiron sebagai kritik pedas terhadap pemikiran Jasser Auda, yaitu How-the-Apply. Ibarat seseorang yang ingin membangun rumah, ia sudah memiliki bahan-bahan bangunan yang dibutuhkan, ia juga mengetahui model rumah yang diinginkan, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara yang tepat dan benar membangun rumah. Ia juga tidak tahu bagaimana memasang genteng, menegakkan tiang, membangun dinding, dan semacamnya. Aplikasi dari teori Maqashid Syariah Jasser Audah tidak sampai menyentuh persoalan yang teknis semacam itu, sehingga di mata Sahiron terkesan tidak aplikatif. 19 Hemat peneliti, kegamangan dan ketidaktahuan Sahiron-tentang fungsi teknis-aplikatif dari teori Sistem dalam Maqashid Syariah Jasser Auda-adalah kritik paling substantif dari pembacaan Sahiron. Setidaknya kita tahu bahwa selama ini Sahiron melihat bahwa teori dari Jasser Auda itu tidaklah aplikatif. Pendekatan sistem dalam Maqashid Syariah tidak akan mampu memecahkan persoalan yang akan dihadapi dan dijalani oleh para yuridis muslim yang hendak melakukan Istinbath al-Ahkam berdasarkan teori dari Jasser Auda. Karena Sahiron melihat bahwa Jasser Auda masih bergerak di ranah filosofis, teori-teori maupun konsep-konsep yang dibangunnya berada di ranah yang absurd. Dengan kata lain, Jasser Auda berhenti pada tataran filosofis dan tidak melanjutkan perjalanan teorisasinya ke ranah-ranah yang lebih aplikatif dan teknis.
sebab di sana terdapat “keseimbangan hermeneutika”. Maksudnya, ia memberi perhatian yang sama terhadap makna asal literal (al-ma’na al-ashli) dan pesan utama (signifikansi: maghza) di balik makna literal. Dengan memberikan penjelasan tambahan tentang signifikansi.” Sahiron Syamsuddin, “Tipologi dan Proyeksi Penafsiran Kontemporer terhadap Al-Qur’an”, dalam Al-Qur’an dan Hadis, vol. 8., No. 2, Juli 2007. h. 201-202. 19 Wawancara dengan Sahiron Syamsuddin, Dosen UIN Sunan Kalijaga pada Rabu, 20 Agustus 2014.
252 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015 2. Respon terhadap Liberalisme-Religius Jasser Auda Selain Sahiron, ada juga Asmuni. Dalam merespon usaha pembaruan Jasser Auda, Asmuni menganggap pembaruan dalam Ushul Fiqh bukan barang istimewa dan bukan hal baru.20 Sejak lama pembaruan dalam Ushul Fiqh sudah ada. Setidaknya terdapat dua hal pokok yang ingin disampaikan oleh Asmuni. Pertama, Jasser Auda memiliki garis genealogi pemikiran yang sama dengan Yusuf Qardhawi, Wasyfi ‘Asyur, dan al-Jaziri. Dalam pandangan Asmuni, nama-nama ini adalah tokoh-tokoh liberalis. Dengan kata lain, Jasser Auda adalah salah satu tokoh kelompok liberal. Kedua, Jasser Auda berhasil menyembunyikan liberalismenya di balik topeng teori sistem yang diajukannya, di balik akomodasi terhadap pandangan kaum tradisionalis yang literlek, normatif, tekstualis. Sehingga liberalisme atas nama pembaruan (tajdid) seakan-akan tidak terlepas dari akar tradisionalisme. 21 Asmuni melihat Jasser Auda dari angel (sudut pandang) sebagai seorang modernis, rasionalis, liberalis, yang masih belum sepenuhnya meninggalkan hal-hal yang berbau tradisionalis, tekstualis, normatif, maka Asmuni melihat adanya gelagat liberalisme di balik ‘topeng’ teori sitem Jasser Auda. Bahkan, penilaian Asmuni semakin hiperbolis dengan bukti bahwa ia menilai Jasser Audah adalah golongan liberalis, orang yang liberal, seperti tokoh-tokoh liberal lainnya. Wawancara dengan Asmuni Mth pada Selasa, 5 Agustus 2014.
20
Ibid. Di satu sisi, kritik dan aroma ketidaksukaan Asmuni terhadap liberalisme ter��cium dalam tulisannya lain lain. Liberalisme yang notabene datang dari Barat tidak mem�berikan manfaat besar, menurutnya, bahkan cenderung membawa dampak buruk. Apa yang datang dari Barat harus diimbangi dari ajaran Islam. Pandangan ini dapat ditemukan, salah satunya, pada pembahasannya tentang persoalan yang dihadapi metodologi ilmu fikih. Asmuni mengatakan secara amat sentimen, “fiqh tidak lagi mendampingi seluruh aktifitas Muslim sebagai “prestasi” kaum penjajah untuk “menyingkirkan fiqh Islami” dan menggantinya dengan fiqh Barat. “ Asmuni Mth., Dosen Fakultas Ilmu Agama Islam UII, “Produk Perbankan Syariah (Antara Al-Minhâj Al-Raddi Dan Al-Minhâj Al-Maqshadî),” dalam Buletin Al-Islamiyah, September 17, 2013, atau dalam http://alislamiyah.uii.ac.id/, diunduh pada 17 November 2014. 21
Respon Dosen Ptai Yogyakarta Terhadap Konsep Ushul Fiqh Jasser Auda | 253
Selain menempatkan Jasser Auda sebagai bagian dari kelompok yang pro-liberalisme, Asmuni pun kemudian melancarkan serangan dan kritik yang tajam. Ia mengatakan bahwa basis riset (inquiry) Jasser Auda kurang mendalam dan memiliki celah. Celah pertama yang ditemukan oleh Asmuni dalam basis inquiry Jasser Auda adalah tidak adanya fondasi kuat. Dalam pandangan Asmuni, Jasser Auda tidaklah sistematis dalam menyampaikan pemikiran besarnya. Pemikiran yang disampaikannya masih bersifat sporadis, terpisahpisah, dan pembaca dipaksa mencari sendiri dasar dari inquiry-nya. Karena itulah, Asmuni mengatakan bahwa metode yang digunakan oleh Jasser Auda belum jelas, tidak detail, tidak mendasar, dan tidak menjawab problem dasar dari sebuah bangunan pengetahuan teoritis. Dalam pandangan Asmuni, Jasser Auda tiba-tiba hanya mendorong yuridis muslim untuk mempertimbangkan apa yang sudah ada, konteks-konteks sosial budaya, politik-ekonomi, dsb., yang terdatang di tengah-tengah masyarakat. Tiba-tiba saja Jasser Auda berbicara bahwa metode Ushul Fiqh haruslah komprehensif, holistik, dan sejenisnya. Tetapi, jika ditanyakan kepadanya, semua itu untuk tujuan apa? Maka dalam pembacaan Asmuni, Jasser Auda tidak pernah berbicara tentang universalitas syariah (kulliyatu alSyariah) sebagai tujuan akhir dari pembentukan metode Ushul Fiqh versinya itu. Penyebab keterjerumusan Jasser Auda ke pihak liberalis, dalam pandangan Asmuni, ada dua hal: pertama, tiadanya bahasan tentang universalitas syariah, dan kedua, tiadanya standar yang harus dipatuhi ketika menggunakan berbagai disiplin ilmu, yang memungkinkan agar realitas tidak mendominasi pada normatifitas teks. Dalam hemat peneliti, problem kedua yang diajukan oleh Asmuni ini mirip dengan problem yang diajukan oleh Sahiron, yaitu tidak aplikatif dan mengambang. 22 22 Wawancara dengan Asmuni Mth., Dosen FIAI-UII pada Selasa, 5 Agustus 2014. Ada satu tema unik yang dibicarakan oleh Asmuni terkait konsep kemaslahatan umat (masyarakat)
254 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015 Kritik dari Asmuni ini memang sangatlah tajam dan menohok. Sebab, Asmuni melihat kekurangan paling fundamental dari gagasan besar Jasser Auda. Dilihat dari perspektif historisitas pemikiran, universalitas syariah telah banyak dibahas oleh para ulama klasik jauh sebelum Jasser Auda. Para ulama klasik itu membicarakan universalitas syariah, bukan saja universalitas dari poin-poin dalam Maqashid Syariah (al-kulliyat al-khamsah). Jika para ulama klasik membicarakan universalitas syariah, maka mengapa Jasser Auda tidak melakukannya? Padahal, para ulama klasik membangun universalitas Maqashid Syariah sebagai kelanjutan dari bangunan pemikiran mereka tentang universalitas syariah. Hemat peneliti, cara Asmuni menempatkan Jasser Auda sebagai tokoh liberalis masih bisa diterima, sebab hal itu hanya persoalan dimana Asmuni berdiri dengan sudut pandang subjektifnya dan dimana pula Asmuni meletakkan Jasser Auda untuk diberi penilaian. Holland percaya bahwa proses membaca mencakup transaksi antara pembaca dan teks asli. Holland juga berpendapat bahwa di dalam pikiran setiap individu terdapat identity theme, yaitu pembaca memiliki gaya tertentu dalam kehidupan dan pembacaannya. Tandatanda, komunitas pembaca, dan gaya membaca yang bervariasi itulah yang membangun sebuah reader response.23 Semua yang dan konsep maqasyid syariah (tujuan agama). Dalam satu kesempatan, Asmuni menulis pemikirannya tentang pengobatan dalam Islam. Dalam tulisan itu, Asmuni mengatakan bahwa berobat menggunakan hal-hal yang diharamkan adalah tindakan yang dibenarkan oleh agama, karena memiliki tujuan yang jelas, yaitu tercapainya kesehatan seseorang. Lebih lengkapnya, Asmuni mengatakan begini, “Jadi dalam konteks penggunaan obat haram yang mengacu pada al-wasilah al-mamnu’ah (sarana yang dilarang) dengan tujuan mewujudkan al-maqashid (tujuan syari’ah) dapat dibenarkan. Hal ini masuk dalam kategori pengecualian (mabda’ istitsna’at) dimana prosedur penetapannya menerapkan tiga kaidah yaitu kaidah istishlahi, kaidah istihsani dan keadaan darurat.” H. Asmuni Mth, “Tahlîl Dan Tahrîm Pada Obat Dan Cara Pengobatan Dalam Ijtihad Fuqahȃ’” dalam Bulletin AlIslamiyah, 22 September 2014, atau dalam http://alislamiyah.uii.ac.id/, diunduh pada 17 November 2014. Dari sini, kita bisa melihat betapa pentingnya pemahaman tentang Maqashid Syariah, Universalitas Syariah, Kemaslahatan Ummat, dalam konteks pemikiran Asmuni. Tyson, Critical, Critical Theory Today A User-Friendly Guide, New York: Routledge,
23
Respon Dosen Ptai Yogyakarta Terhadap Konsep Ushul Fiqh Jasser Auda | 255
dikatakan Holland di sini menjadi pembenar terhadap sikap Asmuni yang sedemikian rupa terhadap pemikiran Jasser Auda. Sejatinya Asmuni sama halnya dengan Sahiron, yang menilai Jasser Auda berada di posisi Quasi Objektivis Modernis. Hanya saja, bagi Asmuni, Jasser Auda lebih cenderung atau lebih dekat kepada-meminjam terminologi Sahiron-posisi Quasi Objektivis. Dalam pandangan Asmuni, kelompok Islamis-Revivalis adalah kelompok yang menjadikan al-Quran dan Sunnah sebagai sumber penetapan hukum. Berbeda halnya dengan kelompok Liberalis, mereka dalam penilaian Asmuni telah berusaha menjadi tuntutan realitas, perkembangan jaman, perubahan ruang dan waktu, sebagai sumber hukum. Kelompok Liberalis selalu memasukkan unsurunsur ilmiah, saintifik, kritisisme, rasionalisme, etc., sebagai acuan dalam penetapan hukum, sebaliknya kaum Islamis-Revivalis tidak mau lepas dari bunyi-bunyi literlek sebuah teks. Sementara Jasser Auda bagi Asmuni berusaha duduk di tengah-tengah dengan cara mengakomodir dua ekstrimitas kanan (islamis-revivalis) dan ekstrimitas kiri (liberalis) tersebut, tetapi bagaimanapun usaha Jasser Auda untuk netral dan akomodatif, bagi Asmuni, tetaplah tidak berhasil. Pada akhirnya, Jasser Auda tetap lebih cenderung membela kelompok Liberalis. 3. Respon terhadap Konsep Derekonstruksi Jasser Auda Hamim Ilyas memiliki pandangan lain tentang Maqashid Syariah yang dikembangkan Jasser Auda. Bagi Hamim Ilyas, hasil kerja Jasser Auda belum mencapai “tujuan” utama, tetap masih sebagai “sasaran”. Ada dua kategori unik yang disampaikan oleh Hamim Ilyas, yaitu “tujuan” dan “sasaran” dari hukum Islam. Dua kategori ini tentu saja berbeda dari segi substansinya.
2006, h. 183.
256 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015 Berbeda dengan Sahiron dan Asmuni, Hamim Ilyas menempatkan gagasan Maqashid Syariah dari Jasser Auda sebagai gagasan yang dangkal. Kedangkalan tersebut diukur dari fungsi hukum. Dilihat dari segi fungsinya, hukum bergerak di empat ranah: sebagai pranata sosial, kontrol sosial, alat rekayasa sosial, dan sebagai institusi keadilan. Namun, Maqashid Syariah dengan Pendekatan Sistem yang ditawarkan Jasser Auda tidak sampai membahas tentang fungsi hukum ini. Jadi, ketika para yuridis muslim bekerja melakukan istinbath al-ahkam menggunakan teori dari Jasser Auda maka dapat dipastikan mereka tidak berpikir tentang tujuan-tujuan hukum tersebut. Bahkan, bila para yuridis muslim tersebut berhasil menelorkan keputusan hukum maka boleh jadi hasil ijtihad hukum mereka tidak mengarah pada keempat fungsi hukum di atas. Dalam pandangan Hamim Ilyas, hukum yang tidak menjalankan keempat fungsinya adalah sia-sia belaka. Sedangkan teori Maqashid Syariah yang ditawarkan Jasser Auda mengarahkan pada ‘kesia-siaan’ semacam itu. 24 Menurut hemat peneliti, pernyataan Hamim Ilyas di atas serupa dengan kritik dari Asmuni, yaitu kegagalan Jasser Auda memberikan landasan paling universal dari seluruh bangunan teorinya. Hanya saja, jika Asmuni mengatakan bahwa seharusnya Jasser Auda membicarakan tentang universalitas syariah (kulliyatu al-syariah), di sini Hamim Ilyas menganjurkan agar Jasser Auda membicarakan 24 Wawancara dengan Hamim Ilyas, Dosen UIN Sunan Kalijaga pada Kamis, 7 Agustus 2014. Pemikiran tentang pentingnya ketertiban sosial sebagai fungsi dari hukum tidak lepas dari pemikirannya yang lain tetang Islam sebagai Agama Kepedulian, Agama Peradaban, Agama Rahmat Lil Alamin, Agama Rasional, Agama Peradaban. Memang bisa diterima bahwa Hamim Ilyas memikirkan bahwa apalah guna sebuah produk hukum apabila tidak mampu menciptakan dan turut berkontribusi bagi pembangunan peradaban dan kemanusiaan. Pada intinya, bukan hanya hukum, Islam itu sendiri adalah untuk membangun peradaban dunia, ketertiban sosial, kesejahteraan umat, atau untuk kata yang lebih singkat, Islam sebagai agama kemanusiaan. Jika hukum diproduksi tidak untuk menciptakan tujuan ideal ini maka semuanya akan sia-sia, termasuk produk hukum. Lihat Hamim Ilyas, «Islam Risalah Rahmat dalam al-Quran (Tafsir Q.S. al-Anbiya›, 21: 107)», dalam Hermeneia: Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Volume 6, Issue 2, (Yogyakarta: Pascasarjana, IAIN Sunan Kalijaga, 2007), h. 263-273
Respon Dosen Ptai Yogyakarta Terhadap Konsep Ushul Fiqh Jasser Auda | 257
paradigma Islam sebagai agarama rahmat lil alamin. Saran dari Asmuni maupun Hamim Ilyas tersebut sejatinya bermuara pada satu tujuan yang sama, yaitu titik lemah dalam bangunan teori Jasser Auda. Dengan kata lain, teori Maqashid Syariah Jasser Auda baru betul-betul bisa aplikatif dan fundamental apabila disertasi dengan fondasi yang kuat, yaitu adanya bahasan khusus tentang universalitas syariah (dalam istilah Asmuni) dan paradigma Islam (dalam istilah Hamim Ilyas). 25 Dua point utama yang disampaikan Hamim Ilyas ini adalah dua kelemahan mendasar dalam Maqashid Syariah versi Jasser Auda. Kajian Ushul Fiqh Jasser Auda tidak dilandasi dengan paradigma Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, sehingga berdampak pada kebuntuannya dalam menjawab probelm umat di tataran praktis. Dengan kata lain, Ushul Fiqh Jasser Auda tidak aplikatif, hanya duduk di pelataran yang absurd. Sebab, sebagai sebuah ilmu pengetahuan, tidaklah cukup hanya bicara secara metodologis, tetapi juga harus dilengkapi dengan panduan praktis, teknis, operasional, dan fungsional. 26 Di samping itu, kerangka pemikiran Jasser Auda masih terbatasi oleh kerangka hukum. Dalam artinya, Ushul Fiqh versi Jasser Auda hanya beroperasi untuk menghasilkan produk hukum, tanpa mempertimbangkan kerangka kebudayaan, sehingga produk hukum yang dihasilkan dimungkinkan tidak mengembang empat fungsi utama dari sebuah keputusan hukum. Padahal, dalam pandangan Hamim Ilyas, hukum harus memainkan empat fungsi pokoknya, jika tidak maka hukum akan sia-sia. Sementara ini, kajian Jasser Auda hanya mengantarkan yuridis muslim yang mungkin
Ibid.
25
Ibid. Selain sebagai pakar hukum dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Hamim Ilyas bisa dikatakan sebagai pakar kebudayaan. Karyanya yang spesifik membahas tentang kebudayaan berisi ulasan tentang hubungan rakyat dan budaya keraton. Lihat selengkapnya Hamim Ilyas, dkk., Interaksi Penguasa Dan Rakyat Dalam Khasanah Budaya Kraton, (Yogyakarta: Yayasan Kebudayaan Islam Indonesia, 2007) 26
258 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015 bekerja menggunakan teorinya menghasilkan produk hukum, tanpa konsekuensi mengamanatkan fungsi hukum kepada produk hukum.
D. SIMPULAN Dalam bekerja merumuskan Maqashid Syariah dengan Pendekatan Sistem, Jasser Auda melalui dua tahapan penting. Kedua tahapan ini menjadi karakternya yang khas. Pada tahap pertama Jasser Auda melakukan pemetaan terhadap karya-karya dari para intelektual sebelumnya, yang sama-sama membicarakan tentang Maqashid Syariah pada khususnya dan Ushul Fiqh pada umumnya. Pada tahap kedua, Jasser Auda melihat rumusan baru yang hendaknya dipenuhi guna menghasilkan suatu gagasan besar dalam disiplin Ushul Fiqh pada umumnya dan Maqashid Syariah pada khususnya. Rumusan baru sebagai penemuannya itu berupa teori Sistem sebagai pendekatan Maqashid Syariah. Namun demikian, pemikiran Jasser Auda tentang Maqashid Syariah yang didekati dengan pendekatan teori System mendapat respon kritis dari para dosen yang mengajar di beberapa kampus Islam yang ada di Yogyakarta. Respon kritis mereka dapat dipetakan menjadi beberapa point berikut: Pertama, kerangka metodologis, filosofis, dan teoritis dari Jasser Auda tidak dilandasi dengan wacana yang lebih fundamental,semisal tentang universalitas syariah (ajaran Islam), paradigma Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, dan sejenisnya. Konsekuensinya, pemikiran Jasser Auda tampak tercerabut dari akarnya paling paling fundamental dalam konteks keilmuan Islam. Kedua, gagasan Maqashid Syariah versi Jasser Auda tidak aplikatif, sehingga tidak bisa menjawab persoalan umat muslim yang bersifat praktis. Bahkan, gagasannya itu terkesan membiarkan para pendukung dan penggunanya bebas bermain interpretasi dan tafsir, sehingga mendorong orang pada posisi yang liberal dan sekuler. Padahal sejak
Respon Dosen Ptai Yogyakarta Terhadap Konsep Ushul Fiqh Jasser Auda | 259
awal Jasser Auda ingin bekerja sebagai perangkul berbagai ekstrimitas dan coba ingin duduk di posisi yang netral. Ketiga, ide dan gagasan Jasser Auda masih terjebak dalam kerangka hukum, dan mengabaikan kerangka kebudayaan yang jauh lebih universal dan fundamental. Sehingga setiap produk hukum yang dihasilkan menggunakan kerangka berpikir Maqashid Syariah versi Jasser Auda terkesan hanya berupa hukum yang tidak fungsional, bahkan tercerabut dari akar sosialnya. Padahal, hukum diciptakan untuk mengemban fungsi-fungsi sosial. Ushul Fiqh adalah kerangka berpikir untuk menghasilkan produk hukum. Pengembangan berbentuk apapun, termasuk gaya dan style yang ditawarkan Jasser Auda, tetaplah tidak akan mengubah hakikat Ushul Fiqh sebagai sebuah disiplin. Pada saat yang bersamaan, Ushul Fiqh lahir di ruang sejarah, bukan di ruang kosong. Karenanya, Ushul Fiqh tidak bisa dilepaskan dari kepentingan manusia padanya. Otomatis, Ushul Fiqh harus memiliki ikatan kuat dengan kepentingan manusia. Dengan sudut pandang semacam ini, peneliti melihat disiplin Ushul Fiqh yang digagas Jasser Auda sudah mapan, hanya saja menyisakan sedikit kekurangan, yaitu lemahnya teori sistem Jasser Auda dalam memuaskan kepentingan manusia. Tetapi, kekurangan tersebut dapat diatasi dengan reformulasi terhadap teori Jasser Auda. Kerja-kerja akademik berikutnya sangat dibutuhkan guna melengkapi sisi-sisi kelemahan yang terdapat dalam pemikiran Jasser Auda.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Amin, (dkk.), Mazhab Jogja, Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta; Ar-Ruzz Press, 2002. ________, “Bangunan Baru Epistemologi Keilmuan Studi Hukum Islam dalam Merespon Globalisasi”, dalam as-Syir’ah, XXXXIV, December 2012.
260 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015 ________, “Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fiqh dan Dampaknya Pada Fiqh Kontemporer” dalam Ainur Rofiq, Mazhab Jogja, Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: ArRuzz, 2002. ________, “Studi Islam di Tinjau dari Sudut Pandang Filsafat (Pendekatan Filsafat Keilmuan)”, dalam Amin Abdullah (ed.), Re-Strukturisasi Metodologi Islamic Studies, Yogyakarta: SUKA Press, 2007. ________, Re-Strukturisasi Metodologi Islamic Studies Mazhab Jogja, Yogyakarta: Suka Press, 2007. al-Raisuni, Ahmad, al-Fikr al-Maqashidi, Qawa’iduhu wa Fawa’iduhu Sevres: al-Dar al-Bayda’, 1999. Asmuni Mth, “Menelusuri Argumen Integrasi Agama Dan Politik”, dalam Bulletin Al-Islamiyah, 19 Juni 2014 atau http://alislamiyah. uii.ac.id, diunduh pada 14 November 2014. ________, “Penetapan Harga dalam Islam: Perpektif Fikih dan Ekonomi”, Makalah dalam http://pa-kotabaru.pta-banjarmasin.go.id/www. pta-banjarmasin.net, diunduh pada 17 November 2014. ________, “Produk Perbankan Syariah (Antara Al-Minhâj Al-Raddi Dan Al-Minhâj Al-Maqshadî),” dalam Buletin Al-Islamiyah, September 17, 2013, diunduh dari http://alislamiyah.uii.ac.id/ pada 17 November 2014. ________, “Tahlîl Dan Tahrîm Pada Obat Dan Cara Pengobatan Dalam Ijtihad Fuqahȃ’” dalam Bulletin Al-Islamiyah, 22 September 2014, atau dalam http://alislamiyah.uii.ac.id/, diunduh pada 17 November 2014. Auda, Jasser, Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law, London: The International Institue of Islamic Thought, 2008.
Respon Dosen Ptai Yogyakarta Terhadap Konsep Ushul Fiqh Jasser Auda | 261
Ilyas, Hamim, “Islam Risalah Rahmat dalam al-Quran (Tafsir Q.S. alAnbiya’, 21: 107)”, dalam Hermeneia: Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Volume 6, Issue 2, Yogyakarta: Pascasarjana, IAIN Sunan Kalijaga, 2007. ________, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga, Yogyakarta: Safira Insania Press, 2005. ________, Interaksi Penguasa Dan Rakyat Dalam Khasanah Budaya Kraton, Yogyakarta: Yayasan Kebudayaan Islam Indonesia, 2007. Mawardi, Ahmad Imam, Fiqh Minoritas, Fiqh al-Aqaliyat dan Evolusi Maqasid al-Syari’ah dari Konsep ke Pendekatan, Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2010. Osborne, Grant R., The Hermeneutical Spiral, America: Intervarsity Press, 1991. Rahman, Fazlur, Major Themes of The Qur’an, Chicago: University of Chicago, 1994. Syamsuddin, Sahiron, “Integrasi Hermeneutika Hans Georg Gadamer ke dalam Ilmu Tafsir? Sebuah Proyek Pengembangan Metode Pembacaan Alquran pada Masa Kontemporer”, dalam makalah yang dipresentasikan pada Annual Conference Kajian Islam yang dilaksanakan oleh Ditpertais DEPAG RI pada tanggal 26-30 November 2006 di Bandung. ________, “Tipologi dan Proyeksi Penafsiran Kontemporer terhadap AlQur’an”, dalam Al-Qur’an dan Hadis, vol. 8., No. 2, Juli 2007. ________, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009. Tyson, Lois, Critical Theory Today A User-Friendly Guide, New York: Routledge, 2006.
262 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015 Yatim, Badri (Edit), Membangun Pusat Keunggulan Studi Islam-sejarah dan profil pimpinan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1957-2002, Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2002.