FIQH MUSLIM MINORITAS PERSPEKTIF ANTROPOLOGIS Muhamad Husnul UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta E-mail :
[email protected]
Abstrak Fiqh minoritas dinilai masih sedikit dibahas oleh civitas akademika perguruan tinggi di Indonesia. Terlebih jika kajiannya diramu dengan konsep antropologi yang menekankan pada sebuah konsep kondisi riil muslim minoritas yang tampil apa adanya (pola berpikir emik). Dari sudut pandang antropologi ditemukan bahwa banyak hal yang menjadi ujung tombak persoalan antropologi yang belum tersentuh oleh fiqh, sehingga perlu adanya format baru dalamsebuah konstrukfiqih minoritas untuk mengatasi problematika yang dialami muslim minoritas tertentu. Tulisan ini akan membahas tentang fiqh minoritas, yang lebih fokus mengkaji tentang fiqh al-aqalliyat dan evolusi maqashid alsyari’ah dari konsep ke pendekatan, dilihat dari sudut pandang antropologi, dengan melihat praktik keagamaan yang dilakukan masyarakat muslim minoritas di Barat. Kata Kunci : Fiqh, Minoritas, Antropologis Abstract Fiqh minority votes are still little discussed by civitas akademika colleges in Indonesia. Especially when its mixed with the concept of anthropology that emphasizes on a concept of real conditions of muslim minorities that appear for what they are (thinking patterns emic). From the standpoint of anthropology found that many things are spearheading the issue untouched by anthropology fiqh, so that the need for a new format dalamsebuah konstrukfiqih minority to overcome problems experienced by certain minority Muslims. This paper will discuss about the minority, fiqh focus more study of fiqh al-aqalliyat and maqashid al-Shari'ah evolution from concept to approach, as seen from the viewpoint of anthropology, by looking at the religious practices of muslim minority community has done in the West. Keywords : Fiqh, minority, Anthropologist Pendahuluan Universalitas keberlakuan hukum Islam meniscayakan ketundukan semua pemeluk Islam pada ajaran-ajaran Islam, di mana pun dan kapan pun mereka itu berada, dan juga meniscayakan adanya nilai-nilai universal yang
terkandung di dalam hukum-hukum cabang yang mungkin berbeda antara satu tempat dan tempat lainnya.1 Penduduk muslim yang hidupnya di negara yang mayoritas muslim, seperti Indonesia, mungkin, belum merasakan bagaimana rasanya menjadi penduduk muslim minoritas, negara sekuler, yang penduduk mayoritasnya adalah non-muslim, seperti di Amerika dan Eropa. Ketidak-nyamanan hidup tentu, bahkan konon, kerap dirasakan oleh mereka (penduduk muslim). Perbedaan ketentuan hukum di setiap tempat dalam satu kasus yang sama di tempat yang berbeda, atau di satu tempat yang sama, tetapi terjadi di waktu yang berbeda, mengindikasikan bahwa adanya sifat fleksibilitas dan elastisitas dalam merespon persoalan-persoalan hukum. Fleksibilitas dan eleastisitas hukum Islam ini mendukung karakter universalitas tersebut, yang kemudian hukum Islam –fiqh- menjadi respon langsung terhadap realitas dan problematika hukum yang terjadi. Ada kesulitan-kesulitan mendasar yang dirasakan oleh minoritas muslim ketika harus menerapkan tafsir-tafsir agama sebagaimana dipahami umat Islam di kalangan mayoritas negara muslim. Dalam kondisi seperti ini – sulitnya menerapkan hukum Islam-, di sisi lain mereka dituntut untuk tetap menjalankan ajaran agamanya. Dari persoalan ini muncullah wacana fiqh minoritas yang sebutan lainnya fiqh al-aqalliyah, yaitu sekumpulan ajaran Islam yang dianggap mampu mengakomodasi persoalan-persoalan kontemporer yang dihadapi oleh kalangan minoritas muslim dalam menjalankan ajaran agamanya. Pembahasan Pengertian Antropologi Antropologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu antropos, artinya manusia atau orang, dan logos, artinya ilmu. Dengan demikian, antropologi artinya ilmu yang mempelajari perihal manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.
1 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh al-Aqalliyat dan Evolusi Maqashid al-Syari’ah dari Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: LKis, 2010), h. 2.
Adapun aspek rohaninya, pada diri manusia memiliki unsure nilai, budaya, keyakinan, agama, bahasa, dan lain sebagainya.2 William A. Haviland mengatakan bahwa antropologi adalah studi tentang manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.3 David Hunter mengatakan antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang manusia. Koentjaraningrat mengatakan bahwa antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat, serta kebudayaan yang dihasilkannya.4 Mempelajari manusia merupakan persoalan kompleks, karena pada diri manusia terdapat dua hal mendasar, yaitu manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani atau sebagai hewan dan sebagai manusia yang berpikir. Sebagai makhluk jasmani, manusia memiliki berbagai perbedaan, yaitu perbedaan warna kulit, bentuk tubuh, model rambut, bibir, hidung, dan lain sebagainya.5 Manusia sebagai hewan yang berpikir, pada dasarnya sama dengan hewan yang lain, artinya memiliki persamaan, seperti kera, kerbau, harimau, dan lainnya. Hewan memiliki nafsu yang sama dalam mengambil sesuatu yang bermanfaat baginya, menghindarkan diri dari yang membahayakannya. Adapun manusia sebagai makhluk berpikir, memiliki tata cara menilai baik dan buruk, yang manfaat dan mudharat, tidak hanya mengandalkan insting dan nafsu. Penilaian terhadap baik dan buruk berubah-ubah dan bervariasi, bergantung pada kebiasaan, kebudayaan, dan mungkin juga bergantung pada keyakinan terhadap nilai agama yang dianutnya, dan bergantung pada keilmuan yang dimilikinya.6 Masyarakat muslim minoritas yang dalam hal ini juga merupakan makhluk berpikir tentu memiliki tata cara menilai baik dan buruk, serta manfaat dan mudharat, berkaitan dengan hukum Islam yang sifatnya aplikatif.
Harsojo, Antropologi, (Jakarta: Binacipta, 1998), h. 13. William A. Haviland, Antropologi, (Jakarta: Erlangga, 1988), h. 7. 4 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), h. 10. 5 Beni Ahmad Saebani dan Encup Supriatna, Antropologi Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h. 13. 6 Ibid., h. 14. 2 3
Antropologi Sebagai Pendekatan Fiqh Masyarakat Muslim Minoritas Setidaknya ada 4 (empat) ciri mendasar pendekatan antropologi kaitannya dengan pembahasan ini. Pertama, bercorak descriptive, bukannya normatif. Pendekatan antropologi bermula dan diawali dari kerja lapangan (field work), berhubungan dengan orang, masyarakat, kelompok setempat yang diamati serta diobservasi dalam jangka waktu yang lama dan mendalam. Inilah yang biasa disebut dengan thick description (pengamatan dan observasi di lapangan yang dilakukan secara serius, terstuktur, mendalam, dan berkesinambungan). Thick description dilakukan dengan cara antara lain living in, yaitu hidup bersama masyarakat yang diteliti, mengikuti ritme dan pola hidup sehari-hari mereka dalam waktu yang cukup lama. Bisa berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bisa bertahun-tahun, jika ingin memperoleh hasil yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Field note research (penelitian melalui pengumpulan catatan lapangan), bukan studi teks atau pilologi seperti yang biasa dilakukan oleh para orientalis adalah andalan utama antropolog. Kedua, local practices, yaitu praktik konkrit dan nyata di lapangan. Praktik hidup yang dilakukan sehari-hari, agenda mingguan, bulanan, tahunan masyarakat minoritas muslim di negara sekular, terlebih ketika mereka melewati hari-hari atau peristiwa-peristiwa penting dalam menjalani kehidupan. Ketiga, antropologi selalu mencari hubungan dan keterkaitan antar berbagai domain kehidupan secara lebih utuh (connections across social domains). Bagaimana hubungan antara wilayah ekonomi, sosial, agama, budaya dan politik. Kehidupan tidak dapat dipisah-pisah. Keutuhan dan kesalingterkaitan antar berbagai domain kehidupan masyarakat minoritas muslim. Hampirhampir tidak ada satu domain wilayah kehidupan yang dapat berdiri sendiri, terlepas, dan tanpa terkait dan terhubung dengan lainnya. Keempat, comparative. Studi dan pendekatan antropologi memerlukan perbandingan dari berbagai tradisi, sosial, budaya, dan agama-agama. Talal Asad menegaskan lagi disini bahwa “What is distinctive about modern anthropology is the comparisons of embedded concepts (representation) between
societies differently located in time or space. The important thing in this comparative analysis is not their origin (Western or non-Western), but the forms of life that articulate them, the power they release or disable.” Setidaknya, Cliffort Geertz pernah memberi contoh bagaimana dia membandingkan kehidupan Islam di Indonesia dan Marokko.
Bukan sekedar untuk mencari kesamaan dan
perbedaan, tetapi yang terpokok adalah untuk memperkaya perspektif dan memperdalam bobot kajian. Dalam dunia global seperti saat sekarang ini, studi komparatif sangat membantu memberi perspektif baru baik dari kalangan outsider maupun outsider. 7 Dengan demikian, pendekatan antropologi dalam pembahasan ini bermaksud untuk melihat secara emik praktik masyarakat muslim minoritas dalam melakukan kegiatan keagamaannya –ajaran agamanya- sementara di satu sisi mereka tidak bisa menjalankannya semudah di negara masyarakat muslim mayoritas, seperti Indonesia. Problematika Sosio-Politik Minoritas Muslim di Barat: Konteks Amerika dan Inggris Permasalahan sosio-politik merupakan permasalahan yang paling sering dihadapi masyarakat muslim minoritas di Barat: Amerika dan Inggris. Permasalahan ini bermula dari perbedaan latar belakang hidup, sosial budaya, ras, etnis, dan keyakinan atau agama kelompok minoritas yang berbeda dengan kelompok mayoritas. Agama dan keyakinan adalah salah satu faktor utama yang memunculkan persoalan sosial-politik ini. Proses akomodasi, asimilasi, dan penerimaan masyarakat minoritas muslim sebagai bagian dari masyarakat Barat seringkali terhambat hanya karena perbedaan agama.8 Zafat Khan mengatakan bahwa problematika utama yang dihadapi oleh minoritas muslim di Inggris adalah terutama berkenaan dengan level akomodasi
7 Amin Abdullah, Urgensi Pendekatan Antropologi Untuk Studi Agama dan Studi Islam, dikutip dari http://aminabd.wordpress.com/2011/01/14/urgensi-pendekatan-antropologi-untukstudi-agama-dan-studi-islam/ diakses 02/11/2013.
8
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas…, h. 73.
dan pengakuan public serta penerimaan atas eksistensi mereka sebagai bagian kelompok minoritas yang memiliki nilai-nilai berbeda dengan nilai kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat mayoritas. Sebab, masih ada kecenderungan untuk menganggap masyarakat muslim minoritas sebagai minoritas yang aneh, karena perbedaan diametrical nilai yang dibawanya dengan nilai-nilai lokal setempat.9 Dapat disimpulkan bahwa problematika sosial-politik masyarakat muslim minoritas di Barat berpusat pada dua hal yang saling berhubungan; sudut internal masyarakat muslim itu sendiri dan sudut eksternal masyarakat mayoritas –non-muslim- di negara Barat yang ditempati. Dari sudut internal, permasalahan ini bisa berwujud ketidakmampuan minoritas untuk berasimilasi dengan budaya dan nilai-nilai yang hidup dan berkembang disebabkan oleh minimnya pemahaman mereka dalam menyelesaikan konflik nilai yang dihadapi. Ada kesulitan mendasar untuk menentukan identitas personal sebagai muslim yang juga identitas sosial sebagai warga negara di negara sekuler. Pendidikan dan pembinaan menjadi kata kunci penyelesaian masalah internal ini, karena sesungguhnya masalah identitas diri, termasuk identitas agama, adalah sebuah on going process (proses yang sedang berjalan) dan bukan sebagai fenomena statis. Identitas agama sesungguhnya lahir dari bentukan sosial yang melibatkan faktor diri dan faktor orang lain. Permasalahan internal minoritas muslim ini sesungguhnya berujung pada bagaimana mereka mempersepsikan diri, menentukan identitas diri, dan meletakkannya dalam konteks kehidupan sekular yang dihadapi. Ketika identitas diri sebagai muslim dilepaskan dari kenyataan sebagai warga negara Barat yang memiliki tatanan yang tidak sama persepsi nilai yang dianutnya, maka problematika sosial-politik ini akan terus berlangsung dalam wujud kehilangan kebahagiaan dan kecanggungan untuk hidup normal seperti yang lain, dan tentu akan berimplikasi pada psikologi. Selain itu juga menjadikan
9 Zafar Khan, Muslim Presence in Europe: The British Dimension-Identity, Integration, and Community Activism, h. 30, dalam Ibid., h. 74.
mereka sulit untuk menerapkan ajaran agamanya sesuai tuntunan, walaupun sekali lagi menggunakan fiqh minoritas. Dari sisi eksternal, problematika sosial-politik minoritas muslim di Barat dapat dilihat dari sikap ambigu negara-negara Barat dalam memberikan kebijakan kepada masyarakat muslim. Misalnya, kesimpulan yang diperoleh oleh The Commission on British Muslims and Islamophobia dalam kajiannya yang menyatakan: The UK government's official stance is one of inclusion, and to enable minorities such as the muslims to participate freely and fully in the economic, social, and public life of the natioan, while still being able to maintain their own culture, tradition, language, and values.10 Kalimat di atas akan sama sekali tidak berguna dengan kalimat berikutnya: In practice it is not always easy for Muslim citizens of the United Kingdom both to participate freely and fully in the economic, social, and public life of the nation, and at the same time to take a full part in their religious and cultural traditions to which they belong.11 Dari kalimat di atas jelas tampak ambivalensi negara dalam membuat aturan untuk minoritas msim. Lebih dari itu, secara implisit kalimat tersebut diatas terkesan seolah-olah bukan bagian dari sebuah bangsa, melainkan sebagai tamu yang ingin dihormati dan ditoleransi. Implikasinya kemudian adalah munculnya gap sosial, kecemburuan sosial, dan bahkan, pada yang paling ekstrem, kerusuhan sosial. Jika ditelusuri faktor munculnya diskriminasi terhadap muslim minoritas disebabkan salah satunya adalah keengganan Barat, khususnya Eropa untuk memahami Islam, dikarenakan warisan penilaian-penilaian subjektif yang menstigma-negatifkan Islam.
10 Pandangan resmi pemerintahan Inggris adalah salah satu yang termasuk dalam ketentuan ini, yakni memungkinkan kelompok minoritas seperti umat Islam untuk berpartisipasi secara bebas dan penuh dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan public dari bangsa ini, sementara masih mampu untuk melaksanakan budaya, tradisi, bahasa, dan nilai-nilai mereka sendiri.
Dalam praktiknya, tidak selalu mudah bagi warga negara Inggris yang beragama Islam untuk secara bersamaan berpartisipasi secara bebas dan penuh dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan public bangsa serta melaksanakan secara penuh tradisi agama dan budaya yang dimilikinya. 11
Problematika Hukum Islam Masyarakat Minoritas di Barat: Konteks Amerika dan Inggris Permasalahan inti yang dihadapi muslim minoritas di Barat, sejatinya terletak pada esensi kepercayaan dan keberagaman (pluralitas). Permasalahan tentang bagaimana sikap muslim minoritas memahami agamanya dan bagaimana masyarakat Barat memahami ajaran Islam merupakan sesuatu yang sangat krusial. Inilah kemudian yang sampai sekarang masih kurang menjadi fokus utama, tertutupi oleh kajian dan kebijakan sosial-politik yang lebih bersifat kulit luar dari masalah sesungguhnya. Karena itu Tariq Ramadan, tokoh muslim moderat Eropa yang paling populer di Eropa saat ini, menyatakan: The central points is that Islam is, first and foremost, a divinely revealed religion, with belief in its universal validity, a way of life and death, and not merely the cultural characteristic of a specific population coming from countries outside Europe. Indeed without taking into account this religious dimension, all discussions about aspects of Islam in Europesocial and political integration, economic progress, or other matterswould be, if not futile, highly inadequate.12 Permasalahan aplikasi hukum Islam yang dilakukan muslim minoritas di negara Barat ini menjadi menarik diperbincangkan karena: pertama, permasalahan hukum Islam berbeda dengan sisi lain dalam Islam pada umumnya, karena aplikasi hukum seringkali berwujud lebih dari sekadar ibadah individual ketika harus berkaitan dengan orang atau komunitas lain. dalam konteks Barat, hal ini lebih menarik lagi karena semua madzhab hukum Islam eksis mengikuti madzhab yang dianut di negara asal para imigran (muslim minoritas). Kedua, pada umumnya di negara sekular modern, ada ketegangan antara keinginan negara untuk tetap mendudukkan agama di luar ranah public dan tetap sebagai wilayah privat seseorang, dan keinginan sekelompok orang beragama yang ining kehiudpan mereka benar-benar diatur sesuai dengan ajaran agama yang dipeluk. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan paradigma 12 “Poin utamanya adalah bahwa Islam merupakan, yang pertama dan terpenting, agama yang berdasarkan wahyu Tuhan, dengan kepercayaan akan validitas unversalnya, jalan hidup dan mati, dan tidak semata-mata merupakan karakteristik kultural dari populasi yang datang dari negara-negara di luar Eropa. Sungguh, tanpa mempertimbangkan dimensi keberagamaan ini, semua diskusi tentang aspek-aspek Islam di Eropa-integrasi sosial dan politik, kemajuan ekonomi atau hal-hal lain-akan menjadi tidak layak atau bahkan sia-sia.” Tariq Ramadan, To Be A European Muslim, (Leicester: Islamic Foundation, 2002), h. 207-208, dalam Ibid., h. 87.
Barat yang menjunjung tinggi
demokrasi, mempertimbangkan hak-hak
minoritas, termasuk minoritas agama, karena seringkali aplikasi suatu aturan hukum, termasuk hukum Islam, bersifat umum dan saling terkait dengan faktor lain. Setidaknya terdapat beberapa aspek problematis hukum Islam muslim minoritas di Barat; politik, geografis, ritual ibadah, hukum (pidana), dan aspek lainnya. Yusuf al-Qardhawi menyebutkan beberapa contoh permasalahan hukum lainnya, misalnya tentang bercampurnya kuburan orang Islam dengan kuburan non-muslim, pembelian rumah dengan memakai uang pinjaman bank asing, ucapan selamat hari raya kepada pemeluk agama lain, hukum cuka yang dibuat dari khamr, hukum enzim yang dibuat dari babi, hak waris seorang muslim dari non-muslim, dan sebagainya.13 Abdul Moqsith Ghazali menyampaikan bahwa keluhan minoritas muslim tentang pelaksanaan ajaran Islam di Barat menyentuh hampir semua aspek dalam Islam. Pertama, keluhan di bidang ibadah mahdlah (ibadah murni), seperti shalat (termasuk shalat Jum‟at), dan puasa. Mencari masjid untuk shalat Jum‟at di Barat susah. Umat Islam tidak jarang harus menempuh perjalanan jauh agar shalat Jum‟at bisa dilangsungkan, sementara yang bersangkutan pada saat yang sama juga harus bekerja di perusahaan. Terlampau sering meninggalkan pekerjaan dengan alasan shalat Jum‟at kadang tidak segera dipahami oleh atasan mereka di Barat. Kedua, dalam bidang ahwâl syakhshiyyah (hukum keluarga) juga ada masalah. Di bidang ini, sebagian minoritas muslim di Barat menghadapi soal pelik mengenai status perkawinan. Banyak dijumpai, suami dan istri pada mulanya beragama Kristen. Namun, seiring waktu kadang si istri memeluk Islam, sementara si suami masih menganut agama lamanya. Konsisten dengan fikih lama-konvensional, maka si isteri harus bercerai dari suaminya. Karena perempuan Islam tak dibolehkan menikah dengan orang laki-laki bukan Islam. Hingga sekarang, pernikahan beda agama masih sulit untuk ditembus
13 Yusuf al-Qardhawi, Fi Fiqh al-Aqalliyat al-Muslimat Hayat al-Muslimin Wasath alMujtama’ al-Ukhra, (Beirut: Dar al-Syuruq, 2001), h. 76-154.
kehalalannya
karena
begitu
kukuhnya
argumen
naqliyah
yang
mengharamkannya. Namun, tidak jarang fikih Islam berkata “A”, umat Islam berkata “B”. Tak sedikit umat Islam di Barat lebih mempertahankan pernikahannya
sekalipun
beda
agama,
dengan
alasan
tak
mungkin
menghancurkan bangunan keluarga yang telah tegak dengan peluh dan air mata. Demi anak dan keutuhan keluarga, mereka memilih mempertahankan keluarga dari pada menghancurkannya. Berbagai upaya telah ditempuh agar keharaman nikah beda agama bisa dilonggarkan. Jika kita menganggap bahwa non-Islam di Barat adalah Ahli Kitab, maka semestinya tak ada masalah sekiranya orang Islam hendak menikahi perempuan Yahudi dan Kristen di sana. Al-Qur‟an dengan tegas mengatakan tentang kehalalan laki-laki muslim menikah dengan perempuan Ahli Kitab. Zainuddin al-Malibari dalam kitabnya, Fath al-Mu‟in, membolehkan laki-laki Muslim menikahi perempuan Yahudi-Israel. Sementara tentang pernikahan perempuan muslim dengan laki-laki Ahli Kitab, semua ulama cenderung mengharamkannya. Pengharaman ini muncul dari sebuah kekhawatiran: bahwa jika laki-lakinya non-muslim dan perempuannya yang muslim, maka besar kemungkinan agama isteri dan anak-anak akan mengikuti agama sang suami. Namun, kekhawatiran ini tak banyak terbukti. Berbagai riset menunjukkan, anak-anak yang lahir dari orang tua berbeda agama banyak mengikuti agama ibu. Di tengah masyarakat Barat yang menjunjung tinggi kebebasan beragama, tekanan suami agar isteri dan anak-anak mengikuti agama diri si suami sebenarnya tidak terlampau mengkhawatirkan. Soal dalam perkawinan ini tak pelak juga akan berimbas pada pewarisan. Pandangan fikih yang (konon) diacukan pada sebuah hadits melarang umat Islam mewariskan hartanya pada keluarga atau keturunan nonmuslim. Perbedaan agama (ikhtilâf al-dîn) dianggap sebagai penghalang (mâni‟) terjadinya proses waris-mewarisi. Ketentuan ini tak mudah ditunaikan keluarga muslim di Barat di mana salah satu anggota keluarganya ada yang berbeda agama. Dengan demikian diperlukan pemahaman yang lebih kontekstual terhadap ketentuan fiqhiyyah seperti ini. Yusuf al-Qardhawi berusaha memberi
solusi: bahwa orang Islam boleh menerima warisan dari orang non-muslim, tapi tidak buat sebaliknya. Pendapat ini tanggung dan tak menyelesaikan masalah. Orang akan menggugat pandangan al-Qardhawi ini: bahwa umat Islam hanya mencari “enaknya saja” --siap menerima warisan tapi tak siap mewariskan. Ia dinilai tidak adil (unfair). Jika ditelusuri, ikatan kewarisan dalam Islam terjadi karena ikatan darah bukan ikatan agama. Perbedaan agama dijadikan sebagai penghalang kewarisan (mâni‟ al-irtsi) dalam fikih Islam terdahulu, karena umat Islam terlibat konflik dengan umat agama lain. Artinya, dalam suasana normal (ketika umat Islam tak berada dalam suasana perang dengan umat agama lain), maka fikih Islam kembali ke hukum normal lagi. Bahwa perbedaan agama tak boleh dijadikan sebagai penghalang. Saya cenderung tak mempersoalkan sekiranya seorang anak yang beragama Kristen di Barat hendak mewariskan harta kepada orang tuanya yang beragama Islam. Begitu juga sebaliknya. Darah yang mengalir dalam tubuh anak adalah darah orang tua. Sementara dalam kasus suami-istri, sekalipun tak ada hubungan darah, mereka telah sepakat mengadakan satu ikatan kukuh (mîtsâqan ghalîzhan) untuk hidup bersama dalam hubungan sebagai suami-isteri, karena itu wajar kalau terjadi waris-mewarisi. Ketiga, dalam bidang muamalah juga ada masalah. Tak sedikit ulama fikih yang berpendapat perihal haramnya umat Islam bersahabat dengan umat agama lain. Tak hanya disitu, bahkan juga diharamkan untuk memilih kepala negara non-muslim. Menerapkan pandangan fikih demikian di Barat potensial menimbulkan masalah. Umat Islam akan kian teralienasi dari komunitas besar di Barat. Padahal, sebagai warga negara, umat Islam mustinya mengintegrasikan diri dalam sebuah komunitas. Ia tak boleh menarik diri dari lalu lalang pergaulan masyarakat. Dalam keadaan demikian, sekalipun banyak teks agama yang melarang umat Islam bergaul dengan umat non-muslim, umat Islam di Barat akhirnya cenderung tak mempedulikannya. Ulama Islam berfikir agar minoritas muslim di Barat mendapatkan penanganan khusus dari sudut fikih. Sebab, bertumpu pada fikih arus utama akan merepotkan posisi umat Islam di sana. Jabir Thaha al-„Alwani dan Yusuf al-
Qardhawi menempuh solusi progresif dengan merintis fikih baru, fikih minoritas (fiqh al-aqalliyyat). Jabir al-„Alwani menulis tentang Toward a Fiqh for Minorities. Yusuf al-Qaradhawi menulis “Fi Fiqh al-Aqalliyyat al-Muslimah”. Di Indonesia, Ahmad Imam Mawardi menulis Fiqh Minoritas: Fiqh al-Aqalliyyat dan Evolusi Maqashid al-Syariah, dari Konsep ke Pendekatan.14 Berdasarkan dari latar belakang tersebut umat Islam di negeri-negeri minoritas itu sangat membutuhkan pedoman untuk hidup sesuai dengan ajaran Islam. Pedoman itu tidak lain adalah sistem syariah Islam, yang terkenal universal dan abadi, selalu sesuai dengan zaman dan keadaan. Tentunya karena punya sifat tsabat
dan
tathawwur yang harmonis.
Tidak kehilangan
originalitasnya sehingga dijamin keasliannya, namun juga tidak kehilangan kelenturannya.15 Fiqh yang dimaksud –minoritas- juga setidaknya memiliki prinsip yaitu; merupakan ijtihad kontemporer, kontektual bukan tekstual, memudahkan bukan memberatkan, pendapat jumhur bukan pribadi, beda keadaan beda fatwa, menerima kedaruratan.16 Fiqh Minoritas sebagai Sistem: Bersatunya Fiqh, Realitas, dan Maqashidu alSyari’ah Dalam tataran teologis tidak ada yang menyangsikan bahwa Tuhan menciptakan makhluk dengan kehendak dan kekuasaan-Nya. Dengan segala sifat baik-Nya, Tuhan menciptakan segala sesuatu dengan tujuan yang pasti dan terlepas dari sifat kesia-siaan. Aturan-aturan yang dibuat adalah untuk dilaksanakan oleh manusia dalam konteks kehidupan mereka guna menggapai tujuan kebahagiaan dan kemaslahatan. Dari sini dapat dikatakan bahwa ketentuan Tuhan, realitas kehidupan, dan tujuan kehidupan adalah suatu kesatuan yang saling terkait. Fiqh sebagai ketentuan-ketentuan hukum yang dipahami dari firman Allah dan hadits Nabi secara teoritis senantiasa memiliki keterkaitan yang erat 14 Abdul Moqsith Ghazali, Fikih Mayoritas dan Fikih Minoritas; Upaya Rekonstruksi Fikih Lama dan Merancang Fikih Baru, (Jakarta: Tashwirul Afkar Edisi No. 31, 2012), h. 51-54. 15 16
Ahmad Sarwat, Fiqih Minoritas, (Jakarta: Du Center Press, 2013), h. 23. Ibid., h. 25-31.
dengan konteks kehidupan yang ditetapkan hukumnya sebagaimana juga berkaitan dengan tujuan hukum yang dibawanya, yakni mewujudkan kemaslahatan. Fiqh mengalami perkembangan pesat sejak masa awalnya, dan mencapai puncaknya pada periode tadwin, yakni masa kodifikasi kitab-kitab fiqh setelah mapan dengan lahirnya imam-imam madzhab.17 Perkembangan puncak fiqh pada masa tersebut melahirkan efek negative yang tidak terduga, yakni munculnya tradisi taqlid sejak akhir 200 H yang memakan waktu sangat panjang, bahkan mungkin hingga saat ini. problematika hukum mulai bermunculan sejak dirasakan bahwa sudah tidak ada lagi hubungan erat antara fiqh, realitas empiric, dan maqashid al-syari’ah yang disebabkan oleh tiga hal; pertama, fiqh-fiqh yang terkodifikasi dibuat dalam konteks negara-negara muslim Timur Tengah, sementara Islam berkembang jauh melampaui batas territorial negara Timur Tengah. Kedua, fiqh-fiqh yang ada kebanyakan merupakan pendapat dan fatwa hukum yang dibuat pada masa lalu di mana para fuqaha‟ tidak memiliki gambaran tentang konteks kehidupan masa modern. Ketiga, adanya keterputusan maqashid al-syari’ah dengan ketentuan fiqh akibat diaplikasikannya fiqh masa lalu pada konteks modern yang berbeda.18 Kekauan hukum Islam (fiqh) menjadi perbincangan dan perdebatan yang terus aktual. Ia tidak lagi bersifat fleksibel dan elastis sebagaimana yang dipaparkan dalam teori-teori bahkan senantiasa dikonotasikan sebagai normatif, fundamentalis, radikal, dan sejumlah wajah lainnya yang tidak menyiratkan Islam sebagai agama kasih sayang yang senantiasa sesuai dengan setiap waktu dan tempat. Kenyataan ini diyakini sebagai konsekuensi logis dari tidak sejalannya fiqh dengan realitas empririk kontemporer yang dihadapi dan nilainilai universal Islam. Potret problematis semacam ini semakin terasa ketika dilema hukum Islam seperti ini diletakkan dalam konteks kehidupan minoritas muslim Barat.
Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, An Introduction to the Sunni Ushul alFiqh, (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), Bab pertama, dalam Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas…, h. 272-273. 18 Ibid., h. 274. 17
Masyarakat muslim minoritas di Barat merasakan kesulitan dalam menerapkan
penafsiran-penafsiran
Islam
klasik
ketika
dirasakan
ada
kesenjangan yang cukup lebar antara „what is‟, realitas yang dihadapi „what ought to be‟, kondisi ideal yang seharusnya, yang dipahami dari tradisi klasik itu. Kesenjangan ini semakin memperkuat wacana Barat, tempat di mana mereka tinggal, bahwa ajaran Islam tidak sesuai dengan nilai budaya Barat. Satu-satunya cara untuk merespon secara positif kondisi seperti ini adalah dengan kembali pada nilai-nilai dasar dan prinsip-prinsip universal yang dibawa oleh Islam, yaitu maqashid al-syari’ah, untuk kemudian dijadikan sebagai dasar menata ulang pemahaman fiqh yang ada agar sesuai dengan realitas yang ada, tetapi tidak terlepas dari prinsip-prinsip dasar Islam.
Simpulan Fiqh minoritas (fiqh al-aqalliyat), bagaimanapun cara dan dari sudut pandang apa orang melihatnya, menjadi keniscayaan yang tidak dapat dielakkan. Dilihat dari sudut pandang antropologi kegiatan serta interaksi muslim minoritas dengan segala lini kehidupan di Barat, tidak dapat disalahkan, karena memang begitu adanya di Barat, yang tentu jauh berbeda dengan pola kehidupan yang di ada di negara mayoritas muslim. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi muslim minoritas (imigran muslim) beralih tempat ke Barat. Adalah itu –berdomissili di Barat- bukanlah sebuah persoalan yang perlu diperdebatkan. Interaksi muslim minoritas di Barat dengan segala lingkup kehidupannya, memaksa harus adanya fiqh minoritas yang bisa mengakomodasi kebutuhan mereka, dan ini urgen untuk dicari solusinya. Di sinilah letak betapa hukum Islam (fiqh) elastis terhadap waktu dan tempat.
Daftar Pustaka A. Haviland, William. 1988. Antropologi. Jakarta: Erlangga. Ahmad Saebani, Beni, Encup Supriatna. 2012. Antropologi Hukum. Bandung: Pustaka Setia. Al-Qardhawi, Yusuf. 2001. Fi Fiqh al-Aqalliyat al-Muslimat Hayat al-Muslimin Wasath al-Mujtama’ al-Ukhra. Beirut: Dar al-Syuruq. Amin Abdullah, Urgensi Pendekatan Antropologi Untuk Studi Agama dan Studi Islam,
dikutip
dari
http://aminabd.wordpress.com/2011/01/14/urgensi-pendekatanantropologi-untuk-studi-agama-dan-studi-islam/ diakses 02/11/2013 Harsojo. 1998. Antropologi. Jakarta: Binacipta. Imam Mawardi, Ahmad. 2010. Fiqh al-Aqalliyat dan Evolusi Maqashid al-Syari’ah dari Konsep ke Pendekatan. Yogyakarta: LKis. Koentjaraningrat. 1998. Pengantar Antropologi. Jakarta: Bulan Bintang. Moqsith Ghazali, Abdul. 2012. Fikih Mayoritas dan Fikih Minoritas; Upaya Rekonstruksi Fikih Lama dan Merancang Fikih Baru. Jakarta: Tashwirul Afkar Edisi No. 31. Sarwat, Ahmad. 2013. Fiqih Minoritas. Jakarta: Du Center Press.