DINAMIKA HUKUM ISLAM DI INDONESIA Kajian Metodologi Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah dan Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama• 1.Pendahuluan Gagasan dan atau gerakan untuk memformulasikan fiqh atau hukum Islam khas Indonesia telah dirintis bersamaan dengan pembaharuan pemikiran Islam secara keseluruhan. Namun, sejauh ini perhatian yang relatif menyeluruh dan berdiri sendiri terhadap kecenderungan pemikiran pembaharuan hukum kebanyakan masih didekati secara parsial. Sementara kajian terhadap pembaharuan pemikiran Islam yang telah dilakukan banyak sarjana, baik Indonesia maupun luar Indonesia, relatif berkembang subur.1 Pembaharuan pemikiran Hukum Islam di Indonesia dilakukan baik secara perseorangan maupun secara kelembagaan. Secara perorangan pembaharuan pemikiran Hukum Islam di Indonesia dipelopori oleh Hasby ash-Shiddieqy (1904-1975)2 dan Hazairin. Hasby menekankan prinsip kemaslahatan umat, dan ide ini telah menggugah masyarakat akan arti pentingnya fiqh dalam pembinaan hukum nasional sebagai salah satu unsur pembangunan bangsa. Sementara itu, Hazairin menggagas hukum kewarisan bilateral, terutama kaitannya dengan konsep mawali dalam memahami Q.S. al-Nisa’ ayat 33, sebagai upaya mengatasi bagian warisan cucu garis perempuan yang dalam sistem kewarisan fiqh sunni, menjadi zawi al-arham (tidak berhak mewarisi).3 Selain itu, juga Munawir Sjadzali melalui konsep Reaktualisasi Ajaran Islamnya,4
•
Makalah disampaikan da;lam diskusi terbatas tentang Hukum Islam di Indonesia” Rabu, 27 Mei 2009 Program Magister Studi Islam FIAI UII Yogyakarta. 1 Greg Barton misalnya, dalam bukunya The Emergence of Neo-Modernism: a Progressive, Liberal, Movement of Islamic Thought in Indonesia, telah melakukan kajian pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Meskipun di dalamnya secara sambil lalu menyinggung juga pemikiran pembaharuan di bidang Hukum Islam. Kamal Hassan, seorang sarjana Malaysia, juga telah melakukan penelitian yang hampir sama, yang lebih memfokuskan kepada pendekatan teologis, yang kemudian dibukukan dalam Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim, yang sudah diterjemahkan Ahmadie Thoha. B.J. Boland dengan bukunya The Struggle of Islam in Modern Indonesia, yang diindonesiakan dengan judul Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, juga telah melakukan kajian terhadap pembaharuan pemikiran Islam. Demikian juga Riaz Hassan dalam bukunya Islam dari Konservatisme sampai Fundamentalisme. Sarjana Indonesia yang menaruh perhatian dalam bidang ini, untuk menyebut beberapa contoh adalah Deliar Noer dalam bukunya The Modernist Movement in Indonesia 1900-1942, Fachri Ali dan Bahtiar Effendy dalam Merambah Jalan Baru Islam, dan Aqib Suminto, dkk dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 tahun Harun Nasution. 2 Munawir Sjadzali, “Landasan Pemikiran Politik Hukum Islam dalam Rangka Menentukan Peradilan Agama di Indonesia” dalam Tjun Surjaman (ed), Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek (Bandung: Rosda Karya, 1991), hlm. 45. Ia adalah orang Indonesia pertama yang sejak 1940 dan dipertegas pada 1960 menghimbau perlunya dibina fiqh yang berkepribadian Indonesia. Lihat Nouruzzaman, Shiddiqi, Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. vii, xx, 57. 3 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadith (Jakarta: Tintamas, 1982), hlm. 29.
dan Bustanul Arifin5 melalui kelembagaan Hukum Islam meski lebih menampilkan peranan birokrasi sebagai lokomotif pembaharuan pemikiran Hukum Islam di Indonesia. Pemikir pembaharuan Hukum Islam yang lain adalah Sahal Mahfudh yang menulis Nuansa Fiqh Sosial, dan Ali Yafie dengan bukunya Menggagas Fiqh Sosial. Di samping itu, juga khazanah pembaharuan pemikiran Hukum Islam Indonesia juga mencatat Masdar F. Mas’udi yang menulis buku Islam Agama Keadilan yang membicarakan zakat dan pajak. Tentu saja masih banyak pemikir lain yang memiliki sumbangan besar, yang tidak bisa disebut semuanya di sini.6 Secara kelembagaan, MUI melalui Komisi Fatwanya yang diketuai Ibrahim Hosen (1920-) banyak dituduh sebagai ulama pesanan pemerintah karena fatwa-fatwanya lebih banyak diwarnai dukungannya terhadap kebijakan pemerintah. Ia memulai gerakan pembaharuannya dengan menggalakkan studi fiqh perbandingan, usul fiqh perbandingan dan siyasah syar’iyah di IAIN. Nahdlatul Ulama (NU) juga melakukan pembaharuan di dalam formulasi Hukum Islam. Hal ini dapat dilihat dalam keputusan Munas Lampung, dari istinbath qauly yang merujuk pada aqwal al-‘ulama menjadi istinbat manhajy. Demikian juga Muhammadiyah di dalam Majlis tarjihnya. Untuk mengetahui secara mendalam pada pembaharuan dalam Muhammadiyah dan NU tentu perlu penelitian tersendiri.7 Pemikiran pembaharuan Hukum Islam tersebut baik secara perseorangan
maupun
kelembagaan mengedepankan perlunya lembaga tajdid dan ijtihad dilakukan untuk memformulasikan Hukum Islam yang siap untuk menjawab persoalan hukum di dalam masyarakat.8 Tulisan berikut ini mencoba mendiskusikan dan menyoroti seputar metodologi ijtihad Hukum Islam yang dilakukan oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah dan Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama. Dengan tidak bermaksud menafikan gagasan yang dikemukakan oleh pembaharu pemikiran Islam lainnya, yang ingin ditelaah dalam tulisan ini adalah pertama, peta pemikiran pembaharuan Hukum Islam, baik dari Majlis Tarjih Muhammadiyah atau Bahtsul Masail NU, dan kedua, kecenderungan kedua lembaga tersebut dalam memformulasikan Hukum Islam dalam
4
Muhammad Wahyuni Nafis (ed), Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 87-98. 5 Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya (Jakarta: Gema Insani Press, 1996). 6 Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 2001), hlm. 171-172. 7 Ibid., hlm. 172. 8 Ibid.
mengantisipasi dan memberikan solusi terhadap kasus-kasus kontemporer yang menuntut penyelesaian.9 Adapun ruang lingkup kajian dalam tulisan ini diorientasikan pada materi atau subyek hukum yang memiliki nilai praktis dalam kehidupan masyarakat. Jadi tidak terbatas dalam hukum keluarga (al-ahwal al-syakhsiyah), tetapi juga dalam masalah ekonomi, budaya, dan lainlain. Pembatasan dan pembahasan ini dimaksudkan agar awal mulai munculnya “gerakan” pemikiran formulasi fiqh Indonesia, tidak perlu dipersoalkan, dan lebih berorientasi kepada penelusuran, kecenderungan metodologi yang diaplikasikan oleh kedua lembaga tersebut.10 Tujuan telaah ini, sejalan dengan pokok masalah yang dikaji, adalah untuk mengetahui peta pemikiran pembaharuan Hukum Islam kedua lembaga tersebut yang terlibat aktif dan memiliki concern cukup kuat dalam formulasi pembaharuan Hukum Islam di Indonesia dan kecenderungan metodologis yang dikembangkan dan diaplikasikan oleh kedua lembaga tersebut dalam pemikiran
pembaharuan Hukum Islam di Indonesia.11 Kajian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi bagi upaya memahami kecenderungan metodologis dalam peta pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Karena harus diakui bahwa kesiapan hukum Islam menjawab berbagai persoalan kontemporer perlu disertai dengan pemahaman metodologis yang memadai.12 2.Metodologi Hukum Majlis Tarjih Muhammadiyah Majlis Tarjih secara bahasa adalah “komite pencari pendapat terkuat”. Sesuai dengan namanya, Majlis Tarjih Muhammadiyah antara lain bertugas untuk mempelajari pendapat berbagai fuqaha dalam masalah-masalah yang dipertikaikan, lalu mengambil pandapat yang arjah (dipandang lebih kuat sesuai dengan cara berpikir dan kondisi sekarang). Ini memang banyak dilakukan oleh Lajnah sebelum tahun 1960, khususnya menyangkut masalah-masalah ibadah murni seperti shalat, puasa, penyelenggaraan jenazah dan lain-lain. Di samping itu, Majlis Tarjih juga memutuskan masalah-masalah baru yang tidak dibahas oleh fuqaha di masa lalu, seperti perbankan, keuangan modern, asuransi, kewanitaan, kesehatan, dan lain-lain.13
9
Ibid.., hlm. 160-161. Ibid., hlm. 161. 11 Ibid. 12 Ibid. 13 Rifyal Ka’bah, Penegakan Syari’at Islam di Indonesia (Jakarta: Khairul Bayan, 2004), hlm. 194 10
3.Metodologi Dalam memutuskan suatu masalah, Majlis Tarjih menggunakan dalil-dalil al-Quran dan as-Sunnah maqbulah (yang dapat di terima otentisitasnya). Mengenai penerimaan sunnah ini terdapat antara lain 11 kaidah yang diperhatikan oleh Majlis Tarjih.14 qiyas sebagai suatu metode untuk merangkum ketentuan hukum dan hanya digunakan bila ia sangat diperlukan. Begitu juga metode-metode ushul fiqh yang lain. Dengan demikian, selama masih ada dalil al-Quran dan sunnah, maka tidak diperlukan penggunaan qiyas.15
Dari penamaan Majlis Tarjih sebagai
“komite yang mengambil pendapat yang arjah (lebih kuat)”, dapat dipahami bahwa kegiatannya adalah menganalisis berbagai pendapat mengenai ketentuan hukum Islam dengan tujuan untuk mendapatkan pendapat yang lebih kuat.16 Sidang tarjih membahas masalah-masalah penting yang dikemukakan oleh warga Muhammadiyah, atau oleh organisasi cabang atau perwakilannya yang terdapat di berbagai wilayah, atau oleh pimpinan pusat sendiri. Keputusan yang diambil oleh sidang tarjih Muhammadiyah hampir selalu dalam bentuk argumentasi, mengapa suatu masalah diputuskan sebagai boleh dan tidak boleh, dan seterusnya. Berbagai keputusan Majlis Tarjih disusun menurut format modern yang terdiri dari pendahuluan, batang tubuh keputusan, dalil-dalil yang digunakan, dan penutup. Ciri yang sangat khas dalam keputusan tarjih adalah melakukan istinbath (formulasi) langsung dari al-Quran dan al-Hadits.17 Tampak pula dalam keputusan-keputusan tersebut keinginan untuk meninggalkan taqlid (mengikuti pendapat secara membabi buta) kepada pendapat tertentu seperti yang banyak dilakukan di berbagai tempat di dunia Islam, termasuk Indonesia yang sering dipandang dalam pengkajian Islam sebagai mazhab Imam Syafi’i.18 Sekalipun nama komite ini adalah “komite mengambil pendapat yang kuat”, namun pendapat yang terkuat yang diputuskan oleh Majlis Tarjih tidak lagi pendapat orang lain, tetapi pendapat sendiri yang disarikan secara langsung dari ayat-ayat al-Quran dan teks-teks Hadits,
14
Himpunan Putusan Tarjih (Yogyakarta: PP Muhammadiyah, t.t ), hlm. 300-301 Rifyal Ka’bah, Penegakan Syari’at, hlm. 194 16 Ibid. 17 Ibid., hlm. 195. 15
18
Ibid.
dan yang disimpulkan dari pendapat para ulama yang terkuat atau pendapat terkuat dari pendapat para ulama yang ada.19 Dalam menetapkan keputusan, tarjih Muhammadiyah mengunakan tiga jenis ijtihad.20 1. Ijtihad Bayani, yaitu ijtihad terhadap nash yang mujmal, baik karena belum jelas makna lafaz yang dimaksud, maupun karena lafaz itu mengandung makna ganda, mengandung arti musytarak, ataupun karena pengertian lapaz dalam ungkapan yang konteksnya mempunyai arti yang tumbuh (mutasyabih) ataupun ada beberapa dalil yang tentangan (ta’arrudh). Dalam hal yang terakhir digunakan jalan ijtihad dengan jalan tarjih. 2. Ijtihad Qiyasiy, yaitu menyeberangkan hukum yang telah ada nashnya kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash, karena adanya kesamaan illah. 3. ijtihad istishlahiy, yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak ditunjukan nash sama sekali secara khusus maupun tidak adanya nash mengenai masalah yang ada kesamaannya. Dalam masalah yang demikian penetapan hukum dilakukan berdasarkan ‘Illah untuk kemashlahatan.21 Ijtihad jenis pertama atau ijtihad bayani tidak lain adalah penjelasan terhadap teks-teks al-Quran atau sunnah yang bersifat umum. Hal itu dilakukan karena teks-teks tersebut mempunyai pengertian yang belum jelas, atau ganda, atau meragukan, atau kontradiksi. Ijtihad jenis kedua atau ijtihad qiyasiy adalah ijtihad dengan menggunakan metode qiyas (analogi), yaitu menyamakan ketentuan sesuatu masalah yang belum ditetapkan oleh teks-teks agama dengan ketentuan hukum suatu masalah yang telah ditetapkan berdasarkan teks-teks karena adanya persamaan illat (sebab). Ijtihad jenis ketiga atau ijtihad istishlahi adalah penggunaan metode istishlah atau mashlahah ‘ammah (kepentingan umum) atau al-mashalih al-mursalah (kepentingan umat yang menjadi maksud kepentingan Rasul) dalam hal tidak ada ketentuan teksteks yang jelas dari al-Quran atau as-Sunnah. Kepentingan umum dalam metodologi ushul fiqh mencakup pemeliharaan terhadp lima hal, yaitu agama, diri pribadi, akal pikiran, keturunan dan harta benda.22 Jenis pertama, yang disebut ijtihad bayani, adalah usaha untuk menjelaskan teks dari alQuran dan as-Sunnah atau dalil-dalil yang digunakan dalam merumuskan hukum tertentu karena 19
Ibid. Ibid 21 Pokok-Pokok Manhaj Majlis Tarjih Yang Telah Dilakukan dalam Menetapkan Keputusan. Dokumen resmi Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majlis Tarjih, Yogyakarta. t.t, hlm. 2-3. Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta: logos publishing house, 1995), hlm. 78. Pokok-Pokok Manhaj Majlis Tarjih Yang Telah Dilakukan dalam Menetapkan Keputusan. Dokumen resmi Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majlis Tarjih, Yogyakarta. t.t, hlm. 2-3. Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta: logos publishing house, 1995), hlm. 78. 22 Yusuf Hamid al-Alim, al-Maqashid al-‘Ammah asy-Syari’ah al-Islamiyyah (Herndon, Virginia: IIIT, 1412/ 1991), hlm. 126 20
teks atau dalil tertentu mempunyai pengertian al-musytarak (ganda), mutasyabih (mirip, tetapi tidak sama), atau ta’arudh (kontradiksi). Dengan metode ini, pada akhirnya Majlis Tarjih harus memilih salah satu pengertian yang dipandangnya kuat dari berbagai pengertian yang dipahami oleh berbagai ahli hukum Islam mengenai teks atau dalil tertentu. Pengertian ganda atau mutasyabih, atau kontradiksi, mesti lebih dari satu. Karena itu, apa yang dinamakan ijtihad bayani sebenarnya adalah ijtihad tarjihi. Al-Qardhawi menyebutnya ijtihad intiqa’i, yaitu memilih satu pendapat dari beberapa pendapat yang terkuat pada warisan fiqh Islam, yang penuh dengan fatwa dan keputusan hukum.23 Jenis kedua, ijtihad qiyasi, tidak lain dari penggunaan metode qiyas. Ijtihad itu sendiri menurut asy-Syafi’i, adalah penggunaan metode qiyas untuk menetapkan ketentuan hukum yang tidak dijelaskan oleh teks al-Quran atau sunnah. Pemahaman Majlis Tarjih mengenai ijtihad antara lain adalah seperti pemahaman asy-Syafi’i, yaitu penggunaan metode qiyas. Hal itu terlihat dari rumusan keputusan Muktamar Tarjih pada tahun 1954/1955 di Yogyakarta.24 Sekalipun tidak menggunakan teks al-Quran dan as-Sunnah, masalah yang diputuskan berdasarkan metode qiyas sebenarnya masih berkaitan dengan kedua sumber ini, yaitu mengembalikan permasalahan yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul, seperti yang dimaksud oleh ayat QS. An-Nisa (4): 59 dan dijelaskan oleh asy-Syafi’i.25 bagi Majlis Tarjih secara khusus yang menjadi dasar muthlaq untuk berhukum dalam agama Islam adalah al-Quran dan as-Sunnah.26 jadi qiyas hanya digunakan dalam keadaan tidak terdapat teks.27 Jenis ketiga, ijtihad istishlahi adalah penggunaan metode istishlah dalam merumuskan ketentuan hukum tertentu. Inti metode ini adalah kecenderungan untuk memilih pendapat yang mengutamakan kemashlahatan masyarakat. Maksud penurunan agama oleh Allah adalah untuk menjaga kemashlahatan masyarakat. Kecenderungan ini merupakan salah satu tugas pokok Majlis Tarjih Muhammadiyah seperti ditetapkan oleh Qaidah tarjihnya, yaitu “menyalurkan perbedaan pendapat/ faham dalam bidang keagamaan ke arah yang telah mashlahat.” Bagaimanapun, secara teoritis yang dimaksud ijtihad istishlahi sebenarnya masih dalam konteks
23
Yusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm. 24 Ibid., hlm. 178 25 Muhammad Idris asy-Syafi’i, Ar-Risalah (Cairo: Darat-Turats, 1399 H / 1979 M), hlm. 81 26 ( )ان ا ا ا هاءان ا وا اPassim 27 Rifyal Ka’bah, Penegakan Syari’at, hlm. 197 24
ijtihad tarjihi karena Majlis Tarjih Muhammadiyah masih melakukan pilihan kepada pendapat yang lebih mashlahat menurut pandangannya.28 Perubahan keputusan Majlis Tarjih tentang ketentuan hukum wanita keluar rumah dari melarang kepada membolehkan dengan syarat adalah sebuah bentuk keputusan kepada mashlahat. Mashlahat disini adalah kebebasan bagi wanita untuk bergerak dalam masyarakat dengan mengindahkan ketentuan Islam tentang masalah wanita di luar rumah. Lajnah kemudian memilih pendapat yang membolehkan karena ternyata teks al-Quran dan sunnah tidak pernah melarang wanita untuk melakukan kegiatan dalam masyarakat dengan membatalkan keputusan terdahulu karena ternyata Hadits yang digunakan sebagai alasan tidak mempunyai sanad yang shahih. Keputusan memilih ini tidak lain dari ijtihad tarjihi. Walupun pilihan yang dibuat bukanlah antara dua atau lebih pendapat ulama atau mazhab, metode yang digunakan tidak dapat dikatakan terlepas dari metode tarjih, dengan memilih yang arjah (lebih kuat) atau ashahh dan yang ditinggalkan adalah hadits tidak shahih yang tadinya dikira shahih.29 Seperti halnya qiyas, metode istishlah tidak digunakan dalam masalah ibadah mahdhah atau apa yang dikenal secara khusus di kalangan Muhammadiyah sebagai ibadah khashshah. Penggunaan metode-metode ijtihad ini adalah untuk masalah ibadah ‘ammah, yaitu semua pekerjaan yang diizinkan oleh Allah.30 Kebolehan menjual barang wakaf yang terancam lapuk atau rusak untuk dibelikan kembali barang baru atau barang lain yang bermanfaat diputuskan Lajnah Tarjih berdasarkan istishlah.31 Contoh lain tentang penggunaan metode ini adalah kebolehan mendatangi undangan api unggun bila ada manfaat untuk itu.32 Keputusan tentang keharaman membeli loteri juga menggunakan metode istishlah33 Termasuk mashlahat adalah keputusan Lajnah Tarjih yang bertujuan menghindari kerusakan dan mengutamakan manfaat, mengikuti kaidah ushul fiqh yang berbunyi (dar’u ’al mufaasidu awla min jalab al manaafi’). Mashlahat dengan pengertian seperti ini sering juga
28
Ibid., hlm. 198 Ibid. 30 Himpunan Putusan Tarjih, hlm. 276. 31 Ibid., hlm. 270-274 32 Ibid., hlm. 283 33 Ibid., hlm. 292 29
disebut sadd adz-dzara’i.34 Di antara keputusan Lajnah Tarjih yang berdasarka kepada kaidah ini adalah keputusan yang mengharamkan permainan yang mengarah pada perbuatan maksiat.35 Sadd adz-dzari’ah juga merupakan salah satu alasan oleh Muktamar Tarjih XII untuk mengharamkan perkawinan beda agama.36 Bila diperhatikan lebih mendalam keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh Lajnah Tarjih, maka yang dimaksud sebagai ijtihad dalam praktik Lajnah Tarjih sebenarnya bukanlah ijtihad seperti dipahami oleh para ulama pendiri mazhab. Apa yang dilakukan oleh Lajnah Tarjih pada umumnya adalah perumusan beberapa masalah hukum melalui perakitan ayat-ayat atau hadits-hadits tertentu yang dipandang Lajnah Tarjih cocok untuk permasalahan yang dibahas. Untuk hal-hal yang tidak terdapat dalam al-Quran atau Hadits, maka Lajnah Tarjih membahasnya dari buku-buku syarah hadits dan fiqh yang dekat dengan bacaan anggota yang terlibat dalam perumusan keputusan. Hal-hal yang dipandang kuat dari komentar/ pendapat para penulis buku, pen-syarah hadits dan fuqaha ini oleh Lajnah Tarjih diambil sebagai pendapat sendiri. Inilah pengertian tarjih dalam praktik yang berlaku pada Lajnah Tarjih.37 4.Pengembangan Metodologi Lajnah Tarjih tentu saja dapat mengembangkan metode ijtihad yang sudah ada sehingga mencakup ijtihad dalam pengertian lama seperti dipahami oleh para mujtahid di masa lalu dan ijtihad dalam pengertian modern sesuai perkembangan zaman yang melibatkan ahli dari berbagai disiplin yang berhubungan dengan topik permasalahan.38 Memperhatikan kritika-kritikan dan usaha-usaha yang dilakukan oleh dan simpatisan Muhammadiyah, terlihat adanya keinginan untuk meningkatkan mutu Lajnah Tarjih dalam rangka mengantisipasi tantangan masa depan. Keinginan itu pada umumnya muncul dari generasi muda yang melihat segi-segi kekurangan pada Lajnah Tarjih di samping segi-segi kelebihannya.39 Kritikan pertama bertolak dari kenyataan tentang kelangkaan ulama Muhammadiyah yang mampu melakukan tarjih dan ijtihad dalam batas tertentu seperti masa lalu. Ulama tarjih 34
Sadd adz-dzra’i, adalah penutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang dilarang dan merusak. “Faisal bin Hj. Muhammad Ali Nurdin, Sadd al-Zara’i, Pemakaiannya dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Disertasi untuk memenuhi keperluan Ijazah Sarjana Syari’at. Universitas Malaya, Kuala Lumpur, 1996, hlm. 17 35 Ibid., hlm. 382-383 36 Keputusan Muktamar Tarjih Muhammadiyah XXII, hlm. 8-10 37 Rifyal Ka’bah, Penegakan Syari’at, hlm. 199 38 Ibid. 39 Ibid., hlm. 200
generasi pertama (generasi K.H. Ahmad Dahlan) umumnya sudah meninggal dunia dan ulama generasi kedua berangsur-angsur akan habis atau memasuki usia ‘uzur (renta). Keunggulan kedua generasi ulama ini adalah dalam bahasa arab dan kemampuan memahami kitab-kitab lama. Penguasaan bahasa arab, misalnya, dapat dilihat dari redaksi keputusan-keputusan Lajnah Tarjih. Pada masa lampau, keputusan-keputusan Lajnah Tarjih selalu ditulis dalam bahasa arab dan bahasa Indonesia, tetapi pada muktamar-muktamar Lajnah Tarjih yang terakhir keputusankeputusan tersebut pada umumnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Malah dalam muktamar Muhammadiyah di banda aceh (1995), Majlis Tarjih sudah berganti nama menjadi Majlis Tarjih dan pengembangan pemikiran Islam. Penambahan bidang “pengembangan pemikiran Islam” dapat berarti penyempitan bidang tarjih yang sebelumnya banyak mengkhususkan diri dalam bidang hukum Islam.40 Kebutuhan mendesak yang dirasakan Muhammadiyah sekarang adalah kaderisasi ulama. Ulama tarjih menurut evaluasi seorang aktivis Muhammadiyah minimal harus memiliki dan menguasai kitab-kitab wajib dan anjuran tentang tafsir dan hadits seperti yang ditetapkan umumnya pada berbagai fakultas syari’at41 di berbagai dunia Islam. Untuk mengisi kebutuhan ini, Muhammadiyah antara lain mendirikan lembaga pendidikan ulama dengan nama pondok Muhammadiyah Hajjah Nuriyah Shabran di Surakarta pada tahun 1982.42 Sebenarnya dari unsur-unsur organisasi Muhammadiyah telah muncul kesadaran akan keharusan pembenahan Lajnah Tarjih sehingga muncul aset organisasi yang berharga untuk menghadapi tantangan masa depan. Pembenahan itu mencakup peningkatan sumber daya manusia yang terlibat dalam kegiatan Lajnah Tarjih terutama mutu ulama dan tenaga praktis yang melahirkan ketentuan-ketentuan hukum Islam dalam berbagai bidang, perbaikan organisasi dan manajemen dan lain-lain.43 Muhammadiyah sebenarnya mempunyai sumber daya yang cukup untuk pembenahan tersebut. Hambatan pertama dalam hal ini adalah kemauan untuk bekerja secara profesional dan purna waktu dalam menjalankan Lajnah Tarjih. Kesan umum yang tampak sekarang adalah 40
Ibid. H. Imam Muchlas, “Beberapa Tantangan Ulama Tarjih” dalam majalah Suara Muhammadiyah, no. 14/ 79/ 1994, hlm. 32 42 Ada informasi bahwa di Yogyakarta pernah berdiri Akademi Tarjih Muhammadiyah yang bertujuan membekali kader-kader Tarjih dengan disiplin ilmu keIslaman tertentu seperti tafsir, hadits, dan fiqih, tetapi tidak berjalan lama. Sungguhpun demikian, akademi tersebut berhasil melahirkan beberapa kader Tarjih dalam disiplin tertentu. 43 Rifyal Ka’bah, Penegakan Syari’at, hlm. 201. 41
bahwa kegiatan tarjih hanya kelihatan beberapa waktu menjelang dan setelah muktamar, dan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun menjelang muktamar yang akan datang, sepi dari kegiatan. Ini jelas merupakan hambatan yang besar. Penelitian hukum dan pengkajian Islam yang membuahkan hasil yang baik memerlukan kesungguhan dan banyak waktu. Hambatan kedua menyangkut tenaga manajerial dan administratif. Hambatan ketiga adalah mengenai sumber daya keulamaan.44 Hambatan pertama menyangkut internal organisasi yang harus dipecahkan oleh Muhammadiyah dalam rangka menghadapi tantangan masa depan. Hambatan kedua juga menyangkut masalah dana yang dapat dialokasikan untuk menjalankan fungsi dan tugas Lajnah Tarjih secara maksimal. Ketiadaan sumber daya dalam bidang ini dapat diganti dengan rekrutmen sumber daya eksternal melalui program kerja sama, kontrak dan lain-lain.45 Pemecahan terhadap hambatan ketiga berhubungan dengan pemecahan terhadap hambatan pertama dan kedua. Muhammadiyah sebenarnya mempunyai sumber daya keulamaan yang cukup besar terdiri dari penyandang gelar S2 dan S3 berbagai universitas Islam di Negaranegara Arab Timur Tengah, Barat, dan Indonesia, terutama dari IAIN dan berbagai perguruan tinggi agama di Indonesia. Data yang akurat tentang jumlah alumni S2 dan S3 ini memang belum tersedia, tetapi diperkirakan jumlah mereka lebih dari dua ratusan orang.46 Para ilmuan muslim yang mendapat pelatihan ilmiah melalui tradisi lama dan baru ini, bila diminta secara sungguhsungguh, akan bangga menyumbangkan tenaga mereka untuk meningkatkan mutu keputusankeputusan Lajnah Tarjih di masa depan.47 Lajnah Tarjih Muhammadiyah sebagai lembaga penelitian dan fatwa melakukan tarjih (mengambil pendapat terkuat) dalam menyimpulkan ketentuan-ketentuan hukum Islam. Pendapat terkuat adalah pendapat terkuat dalam fiqh Islam yang berada pada jangkauan anggota lajnah yang terlibat dalam formulasi hukum Islam. Dalam hal ini, lajnah telah melakukan proses ijtihad kolektif secara terbatas.48 Metodologi yang digunakan tidak terbatas dalam konteks ushul fiqh semata, tetapi juga menggunakan metode-metode formulasi modern seperti induksi, deduksi, komparasi, dan lain44
45
Ibid.
Ibid. Wisuda IAIN Jakarta pada tahun 1994 melahirkan 25 orang penyandang gelar S2 dan S3, dan 9 orang dari mereka berasal dari keluarga Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, hlm. 29. 47 Rifyal Ka’bah, Penegakan Syari’at, hlm. 202 48 Ibid. 46
lain. Lembaga yang terlibat dalam proses penggalian hukum Islam ini diharapkan melakukan pengembangan, baik dari segi metodologi maupun dari segi sumber daya manusia, sehingga memungkinkan untuk mengisi hukum nasional Indonesia.49 5.Metodologi Hukum Bahtsul Masail NU Kembalinya Nahdlatul Ulama (NU) kepada khitthah perjuangan tahun 1926 sebagai salah satu keputusan penting Mukhtamar ke 27 di Situbondo merupakan tonggak penting dalam pengembangan pemikiran keagamaan NU kepada kedudukannya semula sebagai jam’iyyah diniyyah ijtimaiyyah, usaha-usaha peningkatan pemahaman dan pengabdian dalam bidangbidang sosial keagamaan dapat lebih dikonsentrasikan. Bersamaan dengan itu, munculnya beberapa figur tertentu dalam kepemimpinan NU baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah telah membersitkan secercah harapan bagi terjadinya pengembangan pemikiran keagamaan dimaksud. Hal ini berlaku, baik dalam bidang teologi maupun dalam bidang hukum Islam.50 Petunjuk-petunjuk ke arah tersebut telah semakin nyata dengan dilangsungkannya berbagai seminar dan sarasehan (halqah) di lingkungan jam’iyyah dan pesantren sebagai basis pemikiran keagamaan kaum Nahdliyyin. Khususnya dalam forum-forum halqah yang semakin semarak penyelenggaraannya di berbagai pesantren, nampak dengan jelas betapa pemikiran keagamaan yang berlaku selama ini di lingkungan Nahdliyyin telah dihadapkan kepada gugatangugatan dari dalam. Suatu fenomena yang tidak mungkin didiamkan begitu saja, apalagi dipasung untuk kemudian dianggap sebagai riak-riak kecil yang pernah mengganggu perkembangan pemikiran NU dalam sejarahnya yang panjang.51 6.Metodologi Salah satu aspek yang terasa paling dominan dalam kehidupan warga Nahdliyyin adalah aspek pemikiran hukum Islam. Forum-forum pembahasan masalah-masalah keagamaan yang dikenal dengan nama bahtsul masail, baik yang berlangsung di berbagai tingkatan kepungurusan Jam’iyyah maupun yang berlangsung di pesantren-pesantren, sebagian besar tersita untuk memecahkan masalah-masalah hukum Islam ini.52
49
Ibid. A. Malik Madany, “Pola Penetapan Hukum Islam “(Antara Fakta dan Cita), dalam M. Masyhur Amin dan Islamil S. Ahmad, Dialog Pemikiran Islam & Realitas Empirik (Yogyakarta: LKPSM NU DIY bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1993), hlm.162. 51 Ibid., hlm. 162-163. 52 Ibid., hlm. 163. 50
Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang pola penetapan hukum di lingkungan NU, perlu dideskripsikan garis-garis besar jalannya bahtsul- masail selama ini, untuk kemudian dihadapkan kepada berbagai gugatan yang datang dari dalam lingkungan Nahdliyyin sendiri sebagaimana dimunculkan dalam berbagai seminar dan halaqah. Hal ini pun diungkapkan dalam bentuk garis-garis besar pula.53 Sejalan dengan mayoritas (jumhur) ulama, NU mendasarkan paham keagamaannya pada empat sumber ajaran Islam yakni al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas.54 Dalam memahami dan menafsirkan ajaran Islam dari sumber-sumbernya di atas, NU tidak melakukannya secara langsung melalui ijtihad para ulamanya, melainkan dengan menggunakan pendekatan madzhab. Khusus dalamn bidang fiqh, NU mengikuti salah satu di antara keempat madzhab fiqh yang terkenal (al-mazahibul arba’ah). Hal ini telah digariskan dalam pasal 2 dari Anggaran Dasar NU yang pertama yang lebih dikenal dengan sebutan Statuten 1926. Ketentuan pasal 2 ini diperkuat kembali dalam berbagai keputusan muktamar sampai dengan muktamar ke 28 di Yogyakarta.55 Memperhatian rumusan yang terdapat dalam Anggran Dasar dimaksud, dapat dipahami bahwa secara teoritis formal NU memiliki pemikiran hukum Islam yang berbeda dengan organisasi-organisasi Islam Indonesia yang lain, yang juga sama-sama mengikatkan diri pada pendekatan madzhab. Sebagaimana termaktub dalam Anggaran Dasar, Perti, Al-Jam’iyatul Washliyah dan Nahdlatul Wathan menegaskan keterikatannya hanya pada madzhab Imam AsySyafi’i.56 Namun demikian dalam praktek penetapan hukum Islam di lingkungan NU, perbedaan formal dan teoritis di atas tidak nampak di permukaan. Baik ketiga organisasi di atas, maupun NU, ternyata sama-sama berpegang teguh pada madzhab Asy-Syafi’i. Hal ini dapat dibuktikan dengan menelusuri semua keputusan yang diambil NU dari muktamar-muktamar, yang selalu mengacu kepada kitab-kitab yang disusun dalam madzhab Asy-Syafi’i.57
53
Ibid. Ibid. 55 Ibid. menurut A. Malik Madany mengatakan bahwa alasan-alasan tentang wajibnya mengikat diri pada salah satu di antara madzhab empat dapat dilihat dalam uraian Hadlratus Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari yang mrupakan kutipan langsung dari tulisan langsung pelopor pembaruan Islam di anak Benua India, Syah Wali Allah ad-Dihlawi. Periksa Hasyim Asy‘ari, Qanun Asasi Nahdlatul Ulama (Kudus: Menara, 1971), hlm. 52-71. Bandingkan dengan Ad-Dihlawi, Iqdul Jid fi Ahkamil Ijtihad wa Taqlid (Cairo: Dar Uts-Tasqafah, 1965), hlm. 2835. 56 A. Malik Madany, “Pola Penetapan., hlm. 163-164. 57 Ibid., hlm. 164. 54
Setidak-tidaknya ada dua alasan pokok mengapa NU hanya menjadikan madzhab AsySyafi’i sebagai panutan:58Pertama, karena madzhab fiqh yang dominan sejak masa-masa awal Islam di Nusantara adalah madzhab Asy-Syafi’i, maka dengan alasan praktis sudah sewajarnya apabila rumusan Anggaran Dasar tentang “salah satu dari empat madzhab” diartikan sebagai madzhab Asy-Syafi’i.59Kedua, pengalaman sejarah berabad-abad dari umat Islam di Indonesia menunjukkan bahwa fiqh Islam versi madzhab Asy-Syafi’i nampak relatif lebih cocok untuk diterapkan di sini.60 Dengan kedua alasan pokok ini, di samping alasan-alasan lain, dan ditambah pula dengan adanya kode etik dalam bermadzhab yang tidak memperkenankan talfiq (pemaduan antara dua pendapat dari dua madzhab dalam dua masalah yang masih dalam satu paket amalan), semakin mantaplah keterikatan NU pada madzhab Asy-Syafi’i.61 Dalam mengikuti madzhab Asy-Syafi’i, NU dengan bahtsul masail seperti telah disinggung di atas,
selalu merujuk kepada kitab-kitab yang disusun oleh ulama-ulama
bermadzhab Asy-Syafi’i (Syafi’iyyah), terutama sekali yang berwujud kitab-kitab fiqh yang terbatas pada kitab-kitab yang pada umumnya ditulis oleh para fuqaha mutaakhkhirin. Kemungkinan besar pertimbangan-pertimbangan praktis banyak menentukan dalam pemilihan kitab-kitab dimaksud adalah bahwa kitab-kitab itu sangat mudah diperoleh, dan selama ini kitabkitab itu pulalah yang menjadi pedoman bagi warga Nahdliyyin dalam praktek-praktek hukum Islam. Di sisi lain, terdapat pula alasan filosofis dengan berangkat dari asumsi bahwa para penulis kitab fiqh tersebut merupakan juru bicara resmi bagi pemikiran hukum Islam madzhab Asy-Syafi’i. Hal ini dimungkinkan oleh adanya sistem isnad dalam mempelajari masalah agama yang secara tradisional dipegangi dengan setia oleh para ulama di masa lalu, sehingga otentitas penisbatan suatu pendapat (qawl) kepada madzhab pemiliknya dapat dijamin. Oleh karena itu, kendati kitab-kitab dimaksud bukan merupakan karya-karya langsung al Imam Asy-Syafi’i, namun bonafiditasnya sebagai rujukan madzhab Asy-Syafi’i tidak pernah dipertanyakan. Kitabkitab semacam ini di lingkungan NU dikenal dengan sebutan al-kutubul-mu’tabarah atau alkutubul mawtsuqun biha, meminjam ungkapan pengarang kitab Bughyatul Mustarsyidin yang sangat populer di kalangan NU.62 58
Ibid. Ibid. 60 Ibid. Hal ini tercermin antara lain dalam tuntutan sementara kalangan NU sendiri agar dalam masalah ibadah dipegangi madzhab Asy-Syafi’i, sedangkan dalam masalah mu’amalah dipegangi madzhab Abu Hanifah. 61 A. Malik Madany, “Pola Penetapan., hlm. 164. 62 Ibid., hlm. 164-165. 59
Dengan memperhatikan kitab-kitab yang selama ini menjadi rujukan bahtsul masail, dapat dikatakan bahwa sebagian besar kitab-kitab dimaksud merupakan kitab-kitab yang sepi dari pemaparan cara instinbath (penyimpulan hukum) dari dalil-dalil syar’i. Oleh karena itu dapat dipahami apabila pengertian bermadzhab dalam NU selama ini selalu diartikan sebagai bermadzhab secara qawli, yakni dengan mengambil langsung pendapat-pendapat dari kitab-kitab fiqh karya Syafi’iyyah sebagai rumusan final hukum Islam. Dalam hubungan ini, tidak menjadi perhatian penting umntuk diketahui bagaimanakah latar belakang munculnya rumusan itu dan bagaimana pula proses metodologi yang dilalui, yang sudah barang tentu menyangkut masalahmasalah dasar dalam perangkat kaedah hukum Islam, baik berupa qawaid fiqhiyyah maupun berupa qawa’id ushuliyyah (Ushul Fiqh). Hal ini terlihat dengan jelas pada berbagai himpunan keputusan Muktamar yang didonminasi oleh ungkapan halal atau haramnya sesuatu karena adanya nash (teks) kitab tertentu yang menyatakan demikian.63 Di sini nampak bahwa selesai tidaknya pemecahan suatu permasalahan bergantung kepada ada tidaknya jawaban eksplisit tantang masalah itu dalam kutub mu’tabarah.64 Apabila masalah yang dibicarakan tidak ditemukan jawabannya dalam kitab-kitab dimaksud, sikap tawaqquf (menunda pemecahan alias mem”peti es”kan permasalahan) harus diambil, dan permasalahan itu dinyatakan sebagai mawquf. Sikap ini ditempuh dengan pertimbangan bahwa selagi para ulama NU masih tergolong dalam tingkat muqallidin (para pentaqlid),65 yang pengakuan ini merata pada semua ulama NU, belum diperbolehkan bagi mereka untuk memberikan fatwa dengan beristinbath langsung dari dalil-dalil syar’i. Hal ini sejalan dengan ungkapan penulis Bughyatul Mustarsyidin yang hanya membolehkan bagi orang semacam ini untuk menukil hukum dari mufti lain atau dari kitab terpercaya.66
را وإن و" ! ا%& '( )* )ء+ ! ا,و
63
Ibid.Keputusan komisi Masail Diniyyah dari Mu’tamar ke Mu’tamar, sebagian besarnya telah dihimpun dalam buku Ahkamul Fuqaha’ yang diterbitkan oleh penerbit Menara Kudus. 64 A. Malik Madany, “Pola Penetapan., hlm. 165. 65 Ibid. Pengertian Muqallid dalam NU tidaklah identik dengan orang yang tidak tahu sama sekali tentang dalil bagi pendapat yang dianutnya, sebagaimana sering dipahami secara salah oleh orang-orang di luar NU, melainkan mempunyai cakupan yang jauh lebih luas. Istilah muqallid dalam NU mencakup semua orang yang belum mencapai tingkatan mujtahid muthlaq mustaqill. Dengan demikian istilah muqallid di lingkungan NU mencakup pula kualitas muttabi’ (orang yang mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya) yang dikenal di kalangan luar NU. Lihat Machfud Shiddiq, Di Sekitar Soal Ijtihad dan Taqlid (Surabaya: Pengurus Besar Nahdlatoel Oelama, 1950), hlm. 77. 66 A. Malik Madany, “Pola Penetapan., hlm. 165-166.
Artinya: tidak boleh bagi orang tersebut memberikan fatwa dalam hal-hal yang tidak menjumpai masalah itu tertulis secara eksplisit dalam kitab-kitab mu’tabarah, kendati orang tersebut menjumpai hal yang menyerupai. Menyadari bahwa di antara para ulama Syafi’iyyah sendiri mustahil selalu terjadi kesepakatan dalam semua masalah, maka Mu’tamar NU yang pertama di Surabaya telah menetapkan peringkat kualitas pendapat yang harus dipedomani dalam memilih di antara berbagai pendapat. Ada enam peringkat dalam hal ini:67 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pendapat yang disepakati oleh Asy-Syaikhan (An-Nawawi dan Ar-Rafi’i). Pendapat yang dipegangi oleh An-Nawawi saja. Pendapat yang dipegangi oleh Ar-Rifa’i saja. Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama. Pendapat ulama yang terpandai. Pendapat ulama yang paling “wara’”.68 Akan tetapi dalam praktek bahtsul masail, ketentuan peringkat ini nampaknya tidak
menjadi perhatian lagi dalam proses pentarjihan di antara berbagai pendapat yang berbeda.69 Dari apa yang telah digambarkan di sini, dapat dimaklumi apabila pembahasan masalah dalam Bahtsul Masail cenderung bersifat legal formal dalam pendalaman tentang aspek-aspek yang menyangkut hakekat permasalahan, latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan yang semacamnya. Demikan pula alternatif-alternatif yang mungkin dapat diambil sebagai jalan keluar. Hal ini berkaitan dengan kurangnya informasi mengenai disiplin ilmu yang menjadi pokok permasalahan, seperti ilmu ekonomi, kedokteran dan lain-lain. Di samping itu belum membudayakan tradisi penulisan makalah di lingkungan ulama NU merupakan kendala teknis tersendiri bagi pengungkapan pemikiran secara relatif lebih utuh dalam bahtsul masail.70 7.Pengembangan Metodologi Sebagai konsekuensi dari sebuah organisasi yang mengaku diri sebagai organisasi yang dinamis, munculnya rasa ketidakpuasan di kalangan warga NU terhadap praktek bahtsul masail yang sudah dan sedang berjalan merupakan suatu kewajaran. Dalam kaitan inilah, berbagai kritik yang muncul dalam berbagai forum dari kalangan dalam NU sendiri baik melalui artikel ilmiah
67
Ibid., hlm. 166. Ibid. dan PB NU, , juz I (Semarang: Thoha Putra, t.t), hlm. 7. 69 A. Malik Madany, “Pola Penetapan., hlm. 166. 70 Ibid., 166-167. 68
maupun melalui forum seminar dan halqah seharusnya dilihat sebagai denyut nadi pemikiran NU yang menjadi pertanda masih berlangsungnya dinamika kehidupan di sana.71 Di antara berbagai otokritik yang muncul, yang sangat menarik untuk diketengahkan di sini adalah yang muncul dari peserta halqah yang notabene adalah para pemangku pondokpondok pesantren
terkemuka di Jawa khususnya. Terlepas apakah masing-masing mereka
menempati posisi Top Leader di pesantrennya ataukah sebagian mereka hanya menempati peringkat kedua atau di bawah itu, yang hal ini memang penting dalam menilai refresentatif atau tidaknya mereka dalam membawakan suara pondok pesantren, keberanian mereka untuk melakukan otokritik jelas merupakan terobosan baru. Gugatan-gugatan yang mereka lontarkan bukan hanya merupkan pendapat aneh yang segera harus dibungkam, melainkan justru lebih sering diangkat sebagai kesimpulan halaqah itu sendiri.72 Halqah Rabithah Ma’ahid Islamiyyah (Asosiasi Pondok Pesantren NU yang biasa disingkat RMI) yang terakhir di pondok pesantren Manba’ul Ma’arif Denanyar Jombang pada tanggal 26-28 Januari 1990 membicarakan topik yang sangat peka, yakni tentang bermadzhab dalam konteks kehidupan Umat Islam Masa Kini. Hampir satu tahun sebelum itu, tepatnya pada tanggal 6-7 Maret 1989, telah dilangsungkan pula halqah tentang pengembangan Majlis Bahtsul Masail di Pondok Pesantren Al- Munawwir Krapyak Yogyakarta.73 Kedua halqah ini merupakan halqah yang paling relevan bagi pembahasan ini, mengingat topik pembicaraannya yang langsung berkaitan dengan pokok bahasan ini.74 Untuk menghindari mawqufnya penetapan masalah-masalah baru yang belum sempat dibahas dan bahkan belum sempat dibayangkan oleh para penulis kitab-kitab madzhab AsySyafi’i, halqah denanyar menyepakati ditempuhnya sisitem bermadzhab secara manhaji, yakni dengan mengikuti manhaj (mnetode) istinbath yang tealh ditempuh oleh imam madzhab. Pengertian imam madzhab di sini tidak hanya mencakupm Imam Asy-Syafi’i saja, melainkan juga mencakup ketiga Imam madzhab yang lain. Demikian pula dalam bermadzhab secara qawli,
71
Ibid. Khusus tentang artikel yang menyoroti Bahtsul Masail NU dari segi metode dan kritik sumber, dapat dibaca antara lain beberapa artikel dalam: berkala kajian dan pengembangan ‘Pesantren”, No. 1/Vol/1989 yang diterbitkan oleh P3M. Jakarta. 72 A. Malik Madany, “Pola Penetapan., hlm. 167. 73 Ibid. 74 Ibid., hlm. 168.
pendapat yang diambil tidak terbatas hanya dari lingkungan madzhab Asy-Syafi’i melainkan juga dari ketiga madzhab lain.75 Mengenai ketetapan untuk mengambil manhaj dan qawl di luar madzhab Asy-Syafi’i ini, Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama memang memungkinkannya. Atau setidak-tidaknya tidak terdapat penyataan yang secara eksplisit dalam AD NU yang melarangnya. Bahkan justru dalam penyusunan rumusan AD NU yang tidak secara langsung menyebut NU sebagai organisasi yang terikat hanya pada madzhab Asy-Syafi’i, seperti yang telah disinggung sebelumnya, nampak kearifan para ulama tokoh pendiri NU yang memungkinkan warganya mengambil pendapat dari ketiga madzhab yang lain, apabila hal itu memang dibutuhkan.76 Satu-satunya kendala untuk mengambil aqwal dari madzhab lain hanyalah kode etik yang tidak membolehkan talfiq dalam satu paket amalan. Masalah talfiq dan masalah Tatabbu’ur Rukhash (mencari pendapat-pendapat yang ringan untuk diambil) memang merupakan masalah yang perlu memperoleh kejelasan yang segera dalam kaitannya dengan realisasi kesepakatan di atas.77 Dalam hubungannya dengan bermadzhab secara manhaji yang dalam batas-batas tertentu sebenarnya telah dipraktekkan oleh sebagian ulama pengikut madzhab di masa-masa dahulu sebagaimana dibuktikan oleh adanya perbedaan anatara aqwal ‘ulamail madzhab dengan qawlul imam, NU dihadapkan pada hambatan lain, yakni hambatan psikologis para ulamanya. Sebab betapaun adanya, bermadzhab secara manhaji berarti melakukank ijtihad, suatu tema yang dianggap berlawanan dengan sikap tawadlu’ yang menjadi ciri yang menonjol pada para ulama NU. Kendati sebenarnya tema ijtihad dalam Ushul Fiqh mengenal beberapa tingkatan, dari yang tertinggi sampai yang terendah namun hambatan psikologis ini nampak sulit untuk disingkirkan. Untuk itulah halqah Denanyar menyepakati rumusan istinbath jama’i (penggalian hukum Islam secara kolektif). Dengan tema istinbath yang pada hakekatnya merupakan kewenagan mujtahid, hambatan psikologis dari penggunaan tema ijtihad dapat diatasi. Demikian pula dengan istinbath secara Jama’i (kolektif), diharapkan agar sikap tawadui’ yang mungkin dianggap berlebihan itu diharapkan dapat mencair.78 75
Ibid. Ibid. dan Zamakhsyari Dhofir mengutip keterangan K.H. Adlan Ali yang setiap kali melakukan ibadah Haji di Tanah Suci selalu mengikuti madzhab Imam Malik dengan alasan terlalu berat untuk mempraktekkan madzhab Asy-Syafi’i di sana. Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 158. 77 A. Malik Madany, “Pola Penetapan., hlm. 168. 78 Ibid., hlm. 168-169. 76
Adapun dalam masalah pemilihan pendapat di antara pendapat-pendapat yang berbeda yang dalam istilah kelompok lain dikenal dengan istilah tarjih – halqah menyepakati dilakukannya pengambilan keputusan secara kolektif (taqrir jama’i).79 Adanya syarat kolektif (jama’i) dalam istinbath dan taqrir ini sangat penting pula artinya dalam mencegah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, yang sekaligus pula berguna dalam menjaga kebersamaan dalam berorganisasi.80 Untuk merealisir kesepakatan-kesepakatan di atas, pendalaman terhadap Ushulul-Fiqh, Qawa’id Fiqhiyyah, Muqaranatul Madzahib (perbandingan madzhab) dan yang semacamnya, merupakan suatu keniscayaan. Bahkan dalam rangka lebih memantapkan pelaksanaan kesepakatan di atas, adanya ulama-ulama NU yang memiliki spesialisasi dalam masing-masing madzhab yang empat, seperti diusulkan oleh sementara peserta halqah, sangat layak untuk dipertimbangkan.81 Dalam
hubungannya
dengan
masalah
kutub
mu’tabarah,
halqah
krapyak
mempertanyakan relevansinya. Hal ini berkaitan dengan kurang jelasnya kriteria yang harus digunakan untuk mengukur sejauh mana suatu kitab digolongkan ke dalam kelompok kutub mu’tabarah.82 Bahkan lebih dari itu, terhadap kitab-kitab yang selama ini diterima sebagai kutubul mu’tabarah sekali pun halqah sebelumnya di Watucongol Muntilan Magelang telah memutlakkan perlunya kontekstualisasi pemahaman. Sebab pemikiran-pemikiran yang ada dalam kitab-kitab itu sendiri lahir antara lain menurut dhurufnya sendiri. Oleh karena itu upaya pemahamnnya pun tidak terbatas pada makna-makna harfiyah, melainkan harus mampu menyentuh natijah-natijah pemikiran yang menjadi jiwanya. Terlebih lagi apabila disadari bahwa kitab-kitab yang selama ini mendominasi forum bahtsul masail lebih banyak berasal dari karya ulama mutaakhkhirin yang kadangkala mnengandung rumusan-rumusan pemikiran yang berbeda dengan karya ulama yang lebih awal. Dalam kaitan ini sangat layak untuk direnungkan pendapat Almarhum K.H. Ali Ma’sum yang membagi kitab-kitab madzhab Asy-Syafi’i dalam lima tingkatan, sesuai dengan tingkatan kemampuan orang yang mempelajarinya. Untuk itu
79
Ibid., hlm. 169. Ibid. 81 Ibid. 82 Ibid. 80
beliau menempatkan kitab-kitab karya Imam As-Syafi’i sendiri seperti, Al-Umm. Ar-Risalah, Ahkamul Qur’an dan Al-Musnad pada tingkatan tertinggi.83 Adapun dalam rangka mengatasi kesan kurang mendalamnya pembahasan forum Bahtsul Masail, perjuangan forum tersebut berdasarkan berat ringannya masalah yang dibahas, yang dibarengi dengan seleksi permasalahan menurut relevansinya, perlu mendapatkan perhatian. Dengan demikian, jumlah masalah yang ditargetkan untuk diselesaikan tidak nampak terlalu dipaksakan. Di samping itu, guna menunjang pemahaman yang lebih utuh tentang hakekat permasalahan yang dibahas sehingga mampu menelorkan keputusan yang bijaksana sesuai dengan kemaslahatan universal ajaran Islam, kehadiran serta peran serta yang aktif dari para pakar ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi begitu penting. Terlebih lagi dalam hubungannya dengan para pakar yang berasal dari lingkungan Nahdliyyin sendiri, yang selama ini nampak kurang merasa peran sertanya oleh NU dan pesantrennya.84 Adalah wajar apabila setiap gagasan penyegaran, apalagi pembaruan, akan mengundang reaksi yang tidak selalu positif. Demikian pulalah halnya dengan gagasan pengembangan Majlis Bahtsul Masail.85 Satu hal yanh harus disadari, terutama oleh para penentang gagasan itu ialah bahwa keterbukaan informasi yang menjadi ciri yang kuat dari abad kita sekarang ini menuntut sikap yang sangat arif dalam memberikan penilaian. Ditambah dengan kenyataan semakin banyakanya putra-putri Nahdliyyin yang mengenyam pendidikan di lembaga-lembaga yang terbuka untuk masuknya pendapat-pendapat yang berbeda, maka siap memasung dan membungkam gagasan itu dapat dianggap sebagai bentuk kesewenang-wenangan.86 Yang penting dalam hal ini adalah pembinaan dan peningkatan forum-forum komunikasi untuk menjembatani kemauan dari kedua belah pihak. Cara semacam ini, di samping dapat mengurangi konservativisme di kalangan para penentang, juga mencegah sedini mungkin terjadinya langkah-langkah pengembangan pemikiran yang tak terkendali dari sementara pemilik gagasan dimaksud.87 Pada akhirnya NU sebagai organisasi yang dinamis sesuai dengan semboyannya yang populer: 83
Ibid. dan Ali Ma’sum, Imam Syafi’i, dalam Bangkit No. 16 Tahun II Juli 1981, hlm. 20-21. A. Malik Madany, “Pola Penetapan., hlm. 170. 85 Ibid. 86 Ibid. 87 Ibid., hlm. 170-171. 84
-./) ا( ا0 12/ وا-)3 ا ا.4 5%)*ا dituntut untuk mampu membuktikan penyantunannya, bahkan jika mungkin, penyerapan terhadap gagasan-gagasan baru, sepanjang hal itu tidak mengancam dasar keyakinannya yang prinsipiil.88 8.Pengembangan Metodologi Pasca MUNAS Lampung Musyawarah Nasional (MUNAS) alim ulama NU pada tanggal 21-25 Juli 1992 di Bandar Lampung adalah awal munculnya kesadaran formal akan pentingnya pengembangan pemikiran metodologis khususnya dalam rangka melakukan ijtihad untuk mengambil keputusan hukum. Berdasarkan dokumen sepanjang kurun waktu 1926, sampai dengan 1999 dapat disimpulkan bahwa Lajnah Bahtsul Masail89 dalam mengaplikasikan pendekatan bermazhab menggunakan tiga macam metode penggalian hukum yang diterapkan secara berjenjang,90 yaitu sebagai berikut: Pertama, metode qauly (tekstual); yaitu dengan merujuk langsung pada teks pendapat imam mazhab empat atau pendapat ulama pengikutnya.91 Kedua, metode ilhaqi; yaitu menyamakan hukum suatu kasus yang belum ada ketentuan hukumnya dengan kasus yang telah ada hukumnya dalam kitab-kitab fiqh.92 Ketiga, metode manhajiy (bermazhab secara manhajiy/metodologis); yaitu menyelesaikan masalah hukum dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam mazhab. Prosedur operasional metode manhajiy adalah dengan mempraktekkan qawaid ushuliyyah (kaidah-kaidah ushul fiqh) dan qawaaid fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh).93 Ditilik dari sisi pengembangan teoritis dalam metode berijtihad, munculnya penegasan secara teoritis tentang metode dan prosedur penggalian hukum, metode manhajiy merupakan suatu perkembangan yang ideal karena konsekuensi penggunaan metode ini adalah harus mengacu pada metode penggalian hukum mazhab empat secara komprehensif dengan
88
Ibid., hlm. 171. Lajnah Bahtsul Masail adalah semacam lembaga fatwa keagamaan milik Nahdlatul Ulama (NU). Secara operasional lembaga ini melakukan kajian hukum Islam untuk menemukan katentuan hukum dari masalah-masalah yang terjadi di masyarakat (masa’il waqi’iyyah). 90 Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masail 1926-1999 (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 118-124. 91 Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan NU (Surabaya: PP. RMI dan dinamika Press, 1997), hlm. 365-367. 92 Ibid. 93 Ibid. 89
memperhatikan ragam dan hirarkinya.94 Akan tetapi itu saja tidak cukup, karena baik kaidah fiqh maupun ushul fiqh dalam batas tertentu akan tidak mampu memecahkan problem hukum kontemporer. Oleh karena agar metode itu compatible dengan dunia modern, maka perlu ada pengembangan metodologi.95 Sementara berijtihad secara manhajiy dengan pengertian di atas, karena masih berkutat pada pengambilan dan mengikuti apa yang sudah dihasilkan oleh ulama mazhab, belum sampai pada pengembangan metodologi yang mesti menjadi kebutuhan dalam konteks memecahkan problem hukum kontemporer.96 Pengembangan metodologi dilatarbelakangi oleh kenyataan ketidakcukupan metode klasik memecahkan problem-problem kontemporer. Sementara metodemetode sains modern karena meninggalkan peran wahyu juga dirasa tidak cukup memberikan jawaban kebutuhan muslim kontemporer. Pada titik inilah saya mencoba menawarkan sebuah gagasan untuk ruang kosong dalam hal pengembangan metodologi.97 Pengembangan yang dimaksud di sini adalah melakukan upaya rekonstruksi bangunan teori bermazhab secara manhajiy yang telah didefinisikan di atas, yang diintegrasikan dengan metode-metode sains modern dengan mengambil elemen-elemen baik dari metode-metode Islam klasik maupun metode-metode Barat modern. Sintesa dari keduanya diharapkan menghasilkan sebuah metode yang cukup applicable. Usaha ini dilakukan dalam rangka pengembangan pemikiran metodologi menuju –meminjam istilah Qodri Azizi– “ijtihad saintifik modern” dengan metode “manhajiy elektis”98 atau “manhajiy plus saintifik”, sebagai implementasi alMuhafadzah ‘ala al-Qadim al-Shaleh wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah (melestarikan khazanah lama yang baik dan mengambil khazanah baru yang lebih baik).99
94
Metode dan hirarki penggunaan sumber hukum Islam menurut mazhab Hanafi adalah: al-Qur’an, alHadis ash-Shahihah, Aqwal as-Shahabah, Qiyas, al-Istihsan, Ijma’. Mazhab Maliki: al-Qur’an, al-Hadis as-Shahih, Ijma’ as-Shahabah, ‘Amal Ahl Madinah, Fatwa ash-Shahabah, Qiyas, Istihsan, al-Mashalih al-Mursalah, dan azZara’i. Mazhab Syafi’i: al-Qur’an, al-Hadist ash-Shahih, Ijma’, Aqwal as-Shahabah, dan Qiyas. Mazhab Hanbali, Nash, Ijma’, Qiyas, al-Mashalih al-Mursalah, al-Istihsan, az-Zara’i, Fatwa as-Shahabah, dan al-Istishhab. Lihat Ahmad Zahroh, …, hlm. 130-131. 95 Mahsun Mahfudz, “ Menuju Rekonstruksi Nahdkatul Ulama Menuju Ijtihad Saintifik Modern”, dalam Jurnal Ilmiah Citra Ilmu, Kajian Kebudayaan dan Keislaman, Edisi 6, Vol. III, Oktober 2007, hlm. 45-47. 96 A. Qodri Azizi, Reformasi Bermazhab, Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Saintifik Modern (Jakarta: Penerbit Teraju, 2003), hlm. 54. 97 Mahsun Mahfudz, “ Menuju Rekonstruksi., hlm. 47. 98 Istilah “eklektis” dipinjam dari konsep tipologi pemikiran Islam al-Jabiri yaitu sebuah tipe pemikiran dalam Islam yang berupaya mengadopsi unsur-unsur yang terbaik dari Barat modern maupun Islam, dan kemudian diramu sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi model modernis dan tradisionalis. 99 Mahsun Mahfudz, “ Menuju Rekonstruksi., hlm. 47-48.
9.Dari Fiqh Transendental Menuju Pemaknaan Sosial Berpangkal tolak dari deskripsi metodologi ijtihad baik yang dikembangkan oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah maupun Bahtsul Masail NU tersebut di atas, nampaknya nalar hukum Islam
yang
kemaslahatan). 100
dikembangkan 100
yang
dominan
adalah
nalar
fiqh
utilitarianistik
(
Oleh karena itu, nalar fiqh tersebut perlu dikembangkan lebih lanjut ke arah
Dalam kajian hukum Islam, maqasid al-syari’ah yaitu tentang tujuan ditetapkannya hukum dalam Islam sangat penting. Karena begitu pentingnya maqasid al-syari’ah tersebut, para ahli teori hukum menjadikan maqasid al-syari’ah sebagai salah satu kriteria (di samping kriteria lainnya) bagi mujtahid yang melakukan ijtihad. Adapun inti dari konsep maqasid al-syari’ah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak mudarat, istilah yang sepadan dengan inti dari maqasid al-syari’ah tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada maslahat. Untuk memahami hakikat dan peranan maqasid al-syari’ah, berikut diuraikan secara ringkas teori tersebut. Imam al-Haramain al-Juwaini dapat dikatakan sebagai ahli teori (ulama ushul al-fiqh) pertama yang menekankan pentingnya memahami maqasid alsyari’ah dalam menetapkan hukum Islam. Ia secara tegas mengatakan, bahwa seseorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia memahami benar tujuan Allah mengeluarkan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, Kemudian al-Juwaini mengelaborasi lebih jauh maqasid al-syari’ah itu dalam hubungannya dengan illat, asl dapat dibedakan menjadi lima bagian, yaitu: asl yang masuk kategori daruriyat (primer), al-hajat al-ammah (sekunder), makramat (tersier), sesuatu yang tidak masuk kelompok daruriyat dan hajiyat, dan sesuatu yang tidak termasuk ketiga kelompok sebelumnya, Dengan demikian pada prinsipnya alJuwaini membagi asl atau tujuan tasyri’ itu menjadi tiga macam, yaitu daruriyat, hajiyat dan makramat (tahsiniyah).Pemikiran al-Juwaini tersebut dikembangkan oleh muridnya, al-Gazali. Al Gazali menjelaskan maksud syari’at dalam kaitannya dengan pembahasan al-munasabat al-maslahiyat dalam qiyas, sedangkan dalam pembahasannya yang lain, ia menerangkannya dalam tema istislah, Maslahat menurut al-Gazali adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kelima macam maslahat di atas bagi al-Gazali berada pada skala prioritas dan urutan yang berbeda jika dilihat dari sisi tujuannya, yaitu peringkat primer, sekunder dan tersier,. Dari keterangan ini jelaslah bahwa teori maqasid al-syari’ah sudah mulai tampak bentuknya. Pemikir dan ahli teori hukum Islam berikutnya yang secara khusus membahas maqasid al-syari’ah adalah Izzuddin ibn Abd al-Salam dari kalangan Syafi’iyah. Ia lebih banyak menekankan dan mengelaborasi konsep maslahat secara hakiki dalam bentuk menolak mafsadat dan menarik manfaat,. Menurutnya, maslahat keduniaan tidak dapat dilepaskan dari tiga tingkat urutan skala prioritas, yaitu: daruriyat, hajiyat dan takmilat atau tatimmat. Lebih jauh lagi ia menjelaskan, bahwa taklif harus bermuara pada terwujudnya kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Berdasarkan penjelasan ini, dapat dikatakan bahwa Izzuddin ibn Abd al-Salam telah berusaha mengembangkan konsep maslahat yang merupakan inti pembahasan dari maqasid al-syari’ah. Pembahasan tentang maqasid al-syari’ah secara khusus, sistematis dan jelas dilakukan oleh al-Syatibi dari kalangan Malikiyah. Dalam kitabnya al-Muwafaqat yang sangat terkenal itu, ia menghabiskan lebih kurang sepertiga pembahasannya mengenai maqasid al-syari’ah. Sudah tentu, pembahasan tentang maslahat pun menjadi bagian yang sangat penting dalam tulisannya. Ia secara tegas mengatakan bahwa tujuan utama Allah menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk terwujudnya kemaslahatan hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, taklif dalam bidang hukum harus mengarah pada dan merealisasikan terwujudnya tujuan hukum tersebut. Seperti halnya ulama sebelumnya, ia juga membagi urutan dan skala prioritas maslahat menjadi tiga urutan peringkat, yaitu daruriyat, hajiyat dan tahsiniyat.Yang dimaksud maslahat menurutnya, seperti halnya konsep al-Gazali, yaitu memlihara lima hal pokok, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Konsep maqasid al-syari’ah-maslahat yang dikembangkan oleh al-Syatibi di atas sebenarnya telah melampaui pembahasan ulama abad-abad sebelumnya. Konsep maslahat al-Syatibi tersebut melingkupi seluruh bagian syari’ah, dan bukan hanya aspek yang tidak diatur oleh nas. Sesuai dengan pernyataan al-Gazali, al-Syatibi merangkum bahwa tujuan Allah menurunkan syari’ah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan. Setiap suruhan dan larangan ayat dan hadis tidak terlepas dari memelihara kemaslahatan. Al-Syatibi memaparkan tiga aliran yang diikuti ulama usul fikih dalam usaha menyingkap maqasid al-syari'ah. Aliran-aliran yang dimaksud adalah: Pertama, aliran zahiriyah ( literalis/tekstualis, yaitu ulama yang mengikuti aliran ini berpendapat bahwa maqasid al-syari'ah adalah sesuatu yang abstrak, tidak dapat diketahui kecuali melalui petunjuk Tuhan dalam bentuk zahir nas yang jelas (eksplisit). Petunjuk itu tidak perlu diteliti lagi, harus dipahami sebagaimana adanya seperti yang tertulis dalam nas (manurut bahasa). Apakah taklif ( tugas diberikan Tuhan kepada manusia) memperhatikan maslahat manusia itu sendiri, ataupiun
tidak, walaupun kemaslahatan itu telah terwujud pada sebagian orang, namun itu semua tidak perlu diperhatikan. Yang jelas kemaslahatan itu tidak dapat diketahui sedikitpun tanpa melihat nas dalam bentuk tekstual. Pendapat ekstrim dari ulama yang menganut aliran ini menolak nalar dan qiyas; kedua, Ulama yang tidak menempuh pendekatan melalui zahirnya nas dalam memahami maksud al-Quran dan Sunnah. Kelompok ini terbagi pula ke dalam dua aliran, yaitu (1) Aliran batiniyah, adalah ulama yang mengikuti aliran ini berpendapat bahwa maqasid alsyari'ah bukan terletak pada bentuk zahirnya nas, tidak pula dipahami dari nas yang jelas. Namun, maqasid syari'ah merupakan sesuatu yang tersembunyi di balik itu semua ( di dalam batin). Hal seperti ini terdapat pada semua aspek syari'ah. Tidak seorangpun yang berpegang pada makna lahir dari suatu lafaz dapat mengetahui maksud syari'ah. Aliran ini merupakan aliran yang berpretensi membatalkan syari'at Islam dan dapat membawa kepada kekafiran. Aliran ini berpendapat bahwa imam mereka terpelihara dari dosa. Pendapat seperti ini tidak mungkin dipahami, kecuali dengan merusak makna lahir nas al-Quran dan al-Sunnah yang sudah jelas, (2) Aliran substansialis ( alMuta'ammiqin fi al-qiyas), adalah ulama yang berpendapat bahwa maqasid syari'ah dapat diketahui dengan memperhatikan makna-makna substansi ( al-ma'ani al-nazariyah) yang terdapat dalam lafaz. Arti zahir dari suatu nas bertentangan dengan makna substansi, yang diperhatikan adalam makna substansi dan arti zahir nas ditinggalkan. Hal itu dilakukan baik dengan memperhatikan kemaslahatan maupun tidak. Yang penting makna substansi itu harus diteliti dengan baik sehingga nas-nas syari'ah mesti mengikuti makna substansinya; Ketiga, Aliran ulama al-Rasikhin, yaitu ulama yang menggunakan penggabungan dua pendekatan antara arti zahir nas dengan makna substansi/illatnya. Makna substansi tidak boleh merusak makna zahir suatu nas, demikian pula sebaliknya, sehingga syari'at Islam berjalan secara harmonis tanpa ada kontradidksi di dalamnya. Dalam konteks ini, aliran zahiriyah, aliran batiniyah, aliran substansialis semuanya ditolak Syatibi dan menurutnya sebagai aliran sesat lagi menyesatkan ( ra'yu kulli qasidin li ibta al-syari'ah, wa ma'a haza al-rakyi ila al-kufr, wa iyazubillahi). Aliran yang diikuti oleh Syatibi adalah aliran ketiga ( ulama rasikhin) yang dapat dijadikan rujukan dalam mengetahui maksud-maksud yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Al-Sunnah. Hal ini diketahui dari ungkapan Syatibi sendiri fa 'alaih al-i'timad fi al-dabit allazi bihi yu'rafu maqsid al-syari', Meskipun begitu, pemikiran maslahat al-Syatibi ini tidak seberani gagasan seorang ulama kontroversial-at-Tufi,. Pandangan at-Tufi-seorang ahli teori hukum Islam dari Hanbaliyah (tetapi ada yang menyatakan ia sebenarnya orang Syi’i?) mewakili pandangan yang radikal dan liberal tentang kemaslahatan ini.At-Tufi berpendapat bahwa prinsip maslahat dapat membatasi (takhsis) Al-Qur'an, sunah dan ijma’ jika penerapan nas Al-Qur'an, sunah dan ijma’ itu akan menyusahkan manusia,. Akan tetapi, ruang lingkup dan bidang berlakunya maslahat at-Tufi tersebut adalah mu’amalah.At-Tufi membangun pemikiran tentang maslahat tersebut berdasarkan atas empat prinsip, , yaitu: 1.Akal bebas menentukan kemaslahatan dan kemafsadatan, khususnya dalam lapangan mu’amalah dan adat. Untuk menentukan suatu kemaslahatan atau kemafsadatan cukup dengan akal. Pendirian at-Tufi bahwa akal semata, tanpa harus melalui wahyu mampu mengetahui kebaikan dan keburukan menjadi fondasi yang pertama dalam piramida pemikirannya. Akan tetapi, atTufi membatasi kemandirian akal itu dalam bidang mu’amalah dan adat istiadat, dan ia melepaskan ketergantungan atas petunjuk nas, maslahat atau mafsadat pada kedua bidang itu. Pandangan ini bertolak belakang dengan mayoritas ulama yang menyatakan bahwa sekalipun kemaslahatan dan kemafsadatan itu dapat dicapai dengan akal, kemaslahatan itu harus mendapatkan justifikasi dari nas atau ijma’, baik bentuk, sifat maupun jenisnya. 2.Sebagai kelanjutan dari pendapatnya yang pertama di atas, at-Tufi berpendapat bahwa maslahat merupakan dalil syari’ mandiri yang kehujahannya tergantung pada akal semata. Dengan demikian, maslahat merupakan dalil mandiri dalam menetapkan hukum. Oleh sebab itu, untuk kehujahan maslahat tidak diperlukan dalil pendukung karena maslahat itu didasarkan kepada pendapat akal semata. Bagi at-Tufi, untuk menyatakan sesuatu itu maslahat atas dasar adat-istiadat dan eksperimen, tanpa membutuhkan petunjuk nas. 3.Maslahat hanya berlaku dalam lapangan mu'amalah dan adat kebiasaan, sedangkan dalam bidang ibadat (mahdah) dan ukuran-ukuran yang ditetapkan syara’, seperti salat zuhur empat rakaat, puasa Ramadan selama satu bulan, dan tawaf itu dilakukan tujuh kali, tidak termasuk objek maslahat karena masalah-masalah tersebut merupakan hak Allah semata. Bagi at-Tufi, maslahat ditetapkan sebagai dalil syara’ hanya dalam aspek mu’amalah (hubungan sosial) dan adat istiadat. Sedangkan dalam ibadat dan muqaddarat, maslahat tidak dapat dijadikan dalil. Pada kedua bidang tersebut nas dan ijma’-lah yang dijadikan referensi harus diikuti. Perbedaan ini terjadi karena dalam pandangan at-Tufi ibadah merupakan hak prerogatif Allah, karenanya, tidak mungkin mengetahui jumlah, cara, waktu dan tempatnya kecuali atas dasar penjelasan resmi langsung dari Allah. Sedangkan lapangan mu’amalah dimaksudkan untuk memberikan kemanfaatan dan kemaslahatan kepada umat manusia. Oleh karena itu, dalam masalah ibadat Allah lebih mengetahui, dan karena itu kita harus mengikuti nas dan ijma’ dalam bidang ini. Mengenai masalah hubungan sosial, manusialah yang lebih mengetahui kemaslahatannya. Karenanya mereka harus berpegang pada maslahat ketika kemaslahatan itu bertentangan dengan nas dan ijma’. 4.Maslahat merupakan dalil syara’ paling kuat. Oleh
nalar fiqh liberal fenomenologik. Dengan demikian, urgen bagi dua lembaga tersebut untuk mengembangkan kajian hukum Islam di Indonesia yang lebih berorientasi pada pemaknaan sosial.Untuk menuju ke arah ini tidak dapat dilepaskan dari aspek metodologi Hukum Islam yang mendasarinya, yaitu ilmu usul al-fiqh. Ilmu Usul fiqh merupakan metodologi terpenting yang ditemukan oleh dunia pemikiran Islam dan tidak dimiliki oleh umat lain.101 Ilmu usul al-fiqh ini tidak hanya menjadi metodologi baku bagi hukum Islam, tetapi merupakan metodologi baku bagi seluruh pemikiran intelektual Islam. Akan tetapi, sejarah pemikiran Islam telah mempersempit wilayah kerjanya hanya dalam wilayah pemikiran hukum. Oleh karena itu, ilmu yang didirikan oleh asy-Syafi’i (w. 204H/819M) ini oleh ulama-ulama selanjutnya misalnya oleh al-Qhadli al-Baidlawi (w. 685H/ 1286M) didefinisikan sebagai “pengetahuan tentang dalil-dalil umum Fiqh (beberapa metode atau kaidah), cara memanfaatkannya dan pengetahuan tentang orang yang memanfaatkan dalil-dalil umum itu.102 Adalah sangat dapat dimengerti bila dikatakan bahwa kemunduran yang dialami oleh fiqh Islam dewasa ini diduga kuat juga disebabkan oleh kurang relevannya perangkat teoritik ilmu Usul Fiqh untuk memecahkan problem kontemporer.103 Dalam perjalanan sejarah ilmu Usul alfiqh, ar-Risalah karya as-Syafi’i dianggap buku rintisan pertama tentang ilmu ini. Ar-Risalah yang penulisannya bercorak teologis-deduktif kemudian diikuti oleh para ahli Usul mazhab mutakallimun (Syafi’iyah, Malikiyah, Hanabilah dan Mu’tazilah). Sementara itu ulama Hanafiyah memiliki cara penulisan tersendiri yang bercorak induktif-analitis. Baik ar-Risalah, karena itu, at-Tufi juga menyatakan apabila nas dan ijma’ bertentangan dengan maslahat, didahulukan maslahat dengan cara pengkhususan (takhsis) dan perincian (bayan) nas tersebut. Dalam pandangan at-Tufi, secara mutlak maslahat itu merupakan dalil syara yang terkuat itu bukan hanya merupakan dalil ketika tidak adanya nas dan ijma’, juga hendaklah lebih diutamakan atas nas dan ijma’ ketika terjadi pertentangan antara keduanya. Pengutamaan maslahat atas nas dan ijma’ tersebut dilakukan at-Tufi dengan cara bayan dan takhsis, bukan dengan cara mengabaikan atau meninggalkan nas sama sekali, sebagaimana mendahulukan sunah atas Al-Qur'an dengan cara bayan. Hal demikian dilakukan at-Tufi karena dalam pandangannya, maslahat itu bersumber dari sabda Nabi saw., “tidak memudaratkan dan tidak dimudaratkan”. Pengutamaan dan mendahulukan maslahat atas nas ini ditempuh baik nas itu qat’i dalam sanad dan matan-nya atau zani keduanya. Dalam kajian usul al-fiqh kontemporer konsep maslahat ini dikembangkan lebih lanjut menjadi ilmu yang berdiri sendiri yang dinamakan ilm al-maqasid. 101 Thaha Jabir al-‘Alwani, Source Methodology in Islamic Jurisprudence, edisi 2, Edisi bahasa Inggris oleh Yusuf Talal De Lorenzo dan Anas S. al-Shaikh-Ali, Herdon –Virginia: IIIT, 1416/1994, xi. Abdul Hamid A. Abu Sulaiman dan Ali Garisyah memberikan pernyataan serupa. Lihat: Abdul Hamid A. Sulaiman, Crisis in The Muslim Mind, Herdon Virginia: IIIT, 1415/1993), Ali Garisyah, Metode Pemikiran Islam (Manhaj al-Tafkir al-Islami), Jakarta: Gema Insani Press, 1989, 56. 102 Ali. b. Abd. Al-Kafi as-Subki, al-Ibhaj fi Syarh al-Minhaj, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1416. 1995, I. 19. 103 Abdullahi Ahmed al-Na’im dalam bukunya Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human rights and International Law setidaknya menyebutkan adanya kesulitan-kesulitan dalam memadukan pola pikir fiqh klasik dan fiqh kontemporer dalam beberapa hal, antara lain yang terkait dengan Hukum Publik, Konstitusionalisme Modern, Hukum Pidana, Hukum Internasional Modern serta Hak Asasi Manusia.
buku-buku Usul mazhab mutakallimun maupun mazhab Hanafiyah memiliki kesamaan paradigma, yaitu paradigma literalistik dalam arti begitu dominannya pembahasan tentang text, dalam hal ini text berbahasa Arab, baik dari segi grammar maupun sintaksisnya dan mengabaikan pembahasan tentang maksud dasar dari wahyu yang ada di balik teks literal.104 Dengan demikian, sangat dapat dimengerti bila dikatakan bahwa kemunduran yang dialami oleh fiqh Islam dewasa ini diduga kuat juga disebabkan oleh kurang relevannya perangkat teoritik ilmu Usul Fiqh untuk memecahkan problem kontemporer.
Paradigma
literalistik berlangsung selama kurang lebih lima abad (dari abad ke-2 H sampai abad ke-7 H) dan baru mengalami perbaikan dengan munculnya asy-Syatibi (w. 790/1388) pada abad ke-8 H yang menambahkan teori maqasid as-syari’ah yang mengacu pada maksud Allah yang paling dasar sebagai pembuat hukum (syari’, lawgiver). Enam abad kemudian, sumbangan asy-Syatibi pada abad ke-8H/14M itu, direvitalisasikan oleh para pembaharu Usul Fiqh di dunia modern, seperti Muhammad Abduh105 (w. 1905), Rasyid Ridha106 (w. 1935), Abdul Wahhab Khallaf107 (w. 1956), ‘Allal al-Fasi108 (w. 1973) dan Hasan Turabi109. Karena tidak menawarkan teori baru terkecuali merevitalisasi prinsip maslahah yang ditawarkan as-Syatibi melalui teori maqasid-nya itu, karena itu kelompok ini disebut sebagai penganut aliran utilitarianisme.110 Sementara itu, pertanyaan tentang bagaimanakah teks suci dapat dipahami dan kemudian dijalankan dalam konteks dunia modern yang sudah barang tentu tidak lagi sama dengan konteks zaman Nabi tetap saja masih menjadi agenda besar bagi umat Islam dewasa ini. Pertanyaan semacam ini menurut
104
Dengan meminjam kerangka analisis al-Jabiry, model berpikir yang memusatkan pada kajian teks dan bahasa pada umumnya dikategorikan sebagai corak berpikir yang menggunakan Epistemologi Bayani, yang berbeda secara tegas dari medel berpikir dan berijtihad model Burhani dan lebih-lebih Irfani. Lebih lanjut M. Amin Abdullah, “Al-Ta’wil al-‘Ilmi: Ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci”, Al-Jami’ah, vol. 39, 2. 2001. 359-391. 105 Pandangan tentang Pembaharuan ushul dituangkan dalam buku yang diedit oleh Muhammad ‘Imarah, al-‘Amal al-Kamilah li al-Imam Muhammad ‘Abduh, Ed. Muhammad Abduh ‘Imarah, 6 vol, Beirut: Al-Mu’assasah al-‘Arabiyah li ad-Dirasah wa an-Nasyr, 1972-4. 106 Pemikiran Pembaharuan ushulnya dapat dijumpai dalam karyanya, Yusr al-Islam wa Ushul at-Tasri’ alAm, Kairo: Mathba’ah Nahdlah Mishr, 1956. 107 Lebih lanjut Mashadir at-Tasyri’ fi ma la Nashsha fih, Kairo: Dar al-Kitab al-Arabi, 1955 108 Lebih lanjut Maqashid as-Syari’ah al-Islamiyyah wa Makarimuha, Casablanca: Maktabah al-Wahdah al‘Arabiyah, 1963. 109 Pemikiran pembaharuan ushulnya dapat dijumpai dalam Tajdid Ushul al-Fiqh, Beirut and Khortoum: Dar al-Fikr, 1980. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Afif Muhammad dengan judul Pembaharuan Ushul Fiqh. Lihat Hasan Turabi, Pembaharuan ushul Fiqh, Bandung: Penerbit Pustaka, 1986. Baca juga karyanya yang berjudul: Tajdid al-Fikr al-Islami, Rabat: Dar al-Qarafi li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1993. 110 Hallaq mengistilahkannya dengan religious utilitarianism (utilitarianisme keagamaan) Wael B. Hallaq, A. History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Ushul Fiqh, Cambridge: Cambridge University Press, 1987.
sebagian pakar seperti Muhammad Iqbal,111 Muhammad Taha,112 Abdullahi Ahmed Na’im,113 Muhammad Said Ashmawi,114 Fazlur Rahman,115 Muhammad Abied al-Jabiri116 dan Muhammad Syahrur117 sama sekali tidak dapat diselesaikan dengan berpijak pada prinsip maslahah klasik di atas. Bahkan mereka beranggapan bahwa prinsip maslahah tidak lagi memadai untuk membuat hukum Islam mampu hidup di dunia modern. Dengan mengambil sampel tiga orang pemikir (Muhammad Abied al Jabiri, Fazlur Rahman dan Syahrur), kelompok ini dinamakan aliran liberalisme keagamaan (religious liberalism), karena coraknya yang liberal dan cenderung membuang teori-teori Usul Fiqh lama. Pembaharuan di bidang usul dari kelompok ini dianggap lebih menjanjikan dan lebih persuasif. Kelompok ini dalam rangka membangun metodologinya yang ingin menghubungkan antara teks suci dan realitas dunia modern lebih berpijak pada upaya melewati makna eksplisit teks untuk menangkap jiwa dan maksud luas dari teks. Akan tetapi bagaimanapun juga, tawaran pembaharuan Usul oleh mereka yang disebut dengan kaum liberalis itu tetap saja menyisakan sejumlah kontroversi dan perdebatan. Tawaran itu hingga saat ini masih dianggap oleh mayoritas ulama Usul secara negatif bahkan penuh kecurigaan. Akar utama penyebab kontroversi ini adalah karena tawaran mereka tidak memiliki landasan kuat pada kerangka teoritik (Theoritical frame) ilmu Usul yang telah ada sebelumnya. Padahal perkembangan suatu ilmu tidak harus berjalan secara evolutif yang selalu berpijak pada teori lama tetapi bisa saja dengan cara revolutif, di mana sama sekali tidak berpijak pada teori-teori yang telah ada sebelumnya, tetapi 111 Pandangannya akan perlunya pembaharuan ushul dapat dijumpai dalam karya magnum opus-nya, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Lahore: Ashraf Press, 1971 112 Konsep pembaharuan ushulnya yang sangat khas dengan teori naskh model barunya dapat dibaca dalam karyanya yang diterjemahkan oleh muridnya, Abdullahi Ahmed an-Na’im ke dalam bahasa Inggris dengan judul: The Second Message of Islam, alih bahasa: Abdullahi Ahmed an-Na’im (Syiracuse: Syiracuse University Press, 1987 113 Pemikiran pembaharuan ushulnya yang pada dasarnya merupakan pengembangan lebih lanjut dari ide gurunya, Mahmud Muhammad Taha, dituangkan dalam karyanya yang terkenal dengan judul Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law, Syracus: Syracus University Press, 1990 114 Baca: Muhammad Said Asymawi, Ushul asy-Syari’ah (Beirut: Dar Iqra’, 1983). 115 Fazlur Rahman, Toward Reformulating the Methodology of Islamic Law: Sheikh Yamani on Public International on Islamic Law”, New York University Journal of International Law and Politics 12 (1979): 219-24. Teori Rahman yang kemudian terkenal dalam peraturan pemikiran Islam adalah “gerak ganda” atau double movement yang selalu mengaitkan antara ideal moral al-Qur’an dan legal-spesifik dalam masyarakat dalam satu keutuhan gerak dialektika 116 Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa al-Qur’an dan Qira’ah Mu’asirah (Damaskus: al-Ahab li athThiba’ah li an-Nasyr wa at-Tauzi, 1992). Syahrur mempopulerkan “teori hudud” yang diambil inspirasinya dari ilmu-ilmu kealaman dalam memahami perintah-perintah tuhan dalam kitab suci. 117 Hallaq, A History..., 214.
menawarkan sebuah paradigma yang sama sekali baru. Perkembangan ilmu semacam ini disebut “gestalt swich” atau “gestalt shift” alias pergeseran paradigma (paradigm shift) yang sangat dikenal dalam filsafat ilmu pengetahuan kontemporer.118 Dari beberapa catatan di atas, jelaslah pengembangan fiqh ke depan diarahkan pada upaya menjadikannya etika bersama. Suatu etika yang mampu menciptakan pandangan hidup yang baru, yang lebih bisa menjamin kebutuhan akan pengembangan dan perubahan. Dalam hal ini, reinvensi menjadi sesuatu yang amat penting. Bagaimanapun “teks fiqh” harus diciptakan serta direposisi kembali ketika bertemu dengan konteks kebudayaan dan sosial yang berbedabeda. Tidak sekedar memberikan cap Islam kepada sejumlah anasir realitas empirik dan tradisi, melainkan memberikan ruang penafsiran119 berdasarkan kemungkinan epistemis yang disediakan oleh tradisi itu sendiri.120 Hal ini mensyaratkan tumbuhnya etos baru, yang tidak sekedar repetisi dari kajian sebelumnya. Selama ini, studi tentang fiqh dikuasai oleh kecenderungan untuk semata-mata melihat fiqh dari karya-karya tertulis yang representatif. Terlihatlah tekanan yang berlebihan, perhatian yang hanya bertumpu pada tulisan, kebudayaan elit, dan budaya resmi. Sementara aspek-aspek lainnya, seperti bagaimana teks tersebut dihayati seorang muslim, tulisan-tulisan yang karena tekanan sosial dan politik terpinggirkan, serta kehidupan yang tidak tertulis pada kebudayaan yang tidak mempunyai tradisi penulisan semuanya luput dari perhatian. Suatu pembaharuan fiqh hanya bisa dilakukan dengan memberikan “cetak biru” pada dinamika kehidupan umat muslim sendiri. Oleh karena itu, penalaran atau pola ijtihad bayani, qiyasi dan istislahi dalam usul al-fiqh di atas, lebih jauh lagi sekarang ini dikembangkan pendekatan bayani, burhani dan irfani.Dengan melengkapi secara terpadu pendekatan bayani dengan pendekatan burhani dan irfani, diharapkan pemikiran hukum Islam menjadi lebih terbuka terhadap adanya pluralitas, lebih responsif
118
Thomas S. Khun, The Structure of Scientific Revolutions, (Chicago: The University of Chicago Press, 1970), hlm.121. 119 Ide Penafsiran ini agak mirip dengan konsep Bassam Tibi, seorang cendekiawan Syiria yang sekarang tinggal di Jerman, tentang “Cultural Accomadition”. Hanya saja Tibi memaksudkannya tela’ah hubungan antara Islam dan modernisme yang datang dari barat. Lihat Ulil Abshar Abdalla, “Kegelisahan Kyai Desa di Kota Metropolitan Jakarta, “Majalah Basis, No. 03-04, Tahun ke- 49, 2000), hlm. 24. 120 Zuhri Humaidi, “Fiqih dan Lokalitas dalam Perspektif Multikulturalisme”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar, Islam Nusantara, Edisis No. 26 Tahun 2008, hlm. 126.
terhadap perkembangan peradaban, sekaligus mendalami makna spiritualitas setiap pemikiran dan pengalaman keagamaannya.121 Dirasa perlu adanya pengkajian ulang, khususnya pada pendekatan burhani dan irfani yang selama ini terlalu kecil porsinya dalam pemikiran keislaman di kalangan ahli hukum Islam, untuk tidak mengatakan belum ada. Ada kekhawatiran, dengan pendekatan burhani pemikiran hukum Islam akan menjadi sekular, lepas dari ajaran agama, atau terlalu jauh memisahkan agama dari masalah-masalah kemasyarakatan.122 Apabila dikaitkan dengan pendekatan-pendekatan dan metodologi pemikiran Islam, pengembangan Pemikiran Islam dan Ijtihad Hukum, rumusan-rumusan ideologis dan rumusan pokok-pokok metodologi penetapan masalah-masalah keagamaan dalam bidang fiqh selama ini sangat didominasi oleh pendekatan bayani. Kalaupun melibatkan pendekatan burhani, kemungkinan itu masih sangat kecil porsinya. Sementara dari segi corak pemikirannya, pemikiran keagamaan dalam fiqh sangat didominasi oleh pemikiran yang sangat tekstual dan berorientasi kepada asas legal-formal, sehingga sangat sedikit menyentuh substansi.123 Ketiga pendekatan dimaksud adalah bayani, burhani, irfani dalam khazanah pemikiran Islam mulai dikenalkan oleh Muhammad Abid al-Jabiri, terutama dengan karyanya Bun-yah al'Aql al-'Arabi,124 yang dimaksudkan sebagai analisis kritis terhadap epistemologi dalam pemikiran dan kebudayaan Islam.125 a.Pendekatan Bayani Pendekatan bayani merupakan studi filosofis terhadap sistem bangunan pengetahuan yang menempatkan teks (wahyu) sebagai suatu kebenaran mutlak. Adapun akal hanya menempati kedudukan sekunder yang bertugas menjelaskan dan membela teks yang ada. Dengan kata lain, kaum bayani hanya bekerja pada dataran teks, bukan pada dataran akal. Oleh
121
Syamsul Hidayat, “Tafsir Dakwah Muhammadiyah” dalam Republika (opini), Selasa 24 Juni 2003. Ibid. 123 Ibid, dalam Republika (opini), Rabu 25 Juni 2003. 124 Muhammad Abid al-Jabiri,.Bunyah al’Aql al-‘Arabi: Dirasah Tahliliyah li Nuzhum al-Ma’rifah fi Saqafah al-‘Arabiyah. (Beirut : Markaz Dirasah al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1992). 125 Ibid. dan M.Amin Abdullah,” al-Ta’wil al-Ilm ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci”, dalam M.Amin Abdullah dkk, Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural. (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2002). hlm.28-34.dan Jaih Mubarok,. Metodologi Ijtihad Hukum Islam. (Yogyakarta: UII Press, 2002).hlm.218-227. 122
karenanya, kekuatan pendekatan ini terletak pada bahasa, baik pada dataran gramatikal dan struktur maupun sastra.126 Dalam konteks ini, bahasa tidak semata-mata sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai media transformasi budaya. Bahasa sebagai media transformasi budaya termasuk dalam pengertian mode of thought dan membentuk kerangka rujukan asasi kaum bayani. Salah satu implikasinya, lafaz dan makna mendapatkan posisi yang cukup terhormat, terutama dalam diskursus usul fiqh. Dalam ilmu kalam, diskursus tentang lafaz-makna dapat dijumpai dalam perdebatan tentang "kemakhlukan Alquran", atau tentang sifat-sifat Allah antara isbat al-sifat dan ta'til, dan juga tentang takdir.127 Bagi pemikiran hukum Islam, pendekatan bayani ini tetap diperlukan dalam rangka komitmennya kepada teks ajaran Islam, yaitu Alquran dan Sunnah Nabi, sebagai wahyu tertulis dan wahyu tidak tertulis, serta warisan intelektual Islam, baik salaf maupun khalaf. Dengan pendekatan ini pula, pemikiran hukum Islam akan menangkap kandungan teks ajaran agama sebagaimana bunyi lafaznya dan makna yang dikandung di dalamnya secara kebahasaan dan budaya bahasa yang digunakan oleh teks tersebut.128 Namun demikian, dominasi dan orientasi pemahaman bayani yang berlebihan akan menimbulkan persoalan dalam pemikiran hukum Islam. Kecenderungan kepada eksklusifisme dan truth-claim merupakan salah satu efek negatif yang selama ini dilakukan oleh sebagian juris muslim. Kitab fiqh akhirnya menjadi segala-galanya. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan berikutnya, yaitu pendekatan burhani dan Irfani.129 b.Pendekatan Burhani Pendekatan burhani adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio yang dilakukan melalui dalil-dalil logika. Pendekatan ini menjadikan realitas teks maupun konteks 126
Ibid. dan Jaih Mubarok,. Metodologi....hlm.218-227, dan M.Amin Abdullah,” al-Ta’wil al-Ilm ....
hlm.28-34.
127
Ibid. dan M.Amin Abdullah,” al-Ta’wil al-Ilm… hlm.28-34.dan Jaih Mubarok,. Metodologi ....hlm.218-
128
Ibid. dan Jaih Mubarok,. Metodologi….hlm.218-227, dan M.Amin Abdullah,” al-Ta’wil al-Ilm ….
227. hlm.28-34 129
227.
Ibid. dan M.Amin Abdullah,” al-Ta’wil al-Ilm…hlm.28-34.dan Jaih Mubarok,. Metodologi ....hlm.218-
sebagai sumber kajian. Dalam pendekatan burhani tercakup metode ta'lili yang berupaya memahami realitas teks berdasarkan rasionalitas; dan metode istislahi yang berusaha mendekati dan memahami realitas objektif atau konteks berdasarkan filosofi. Realitas tersebut meliputi realitas alam, realitas sejarah, realitas sosial maupun realitas budaya. Dalam pendekatan ini, teks dan konteks - sebagai dua sumber kajian - berada dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi.130 Oleh karena itu, pemahaman terhadap realitas kehidupan sosial-keagamaan dan sosial keislaman menjadi lebih memadai apabila dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi, antropologi, kebudayaan, dan sejarah.131 Dalam model pendekatan burhani, keempat metode sosiologi, historis, kebudayaan, dan antropologi-berada dalam posisi yang saling berhubungan secara dialektis dan saling melengkapi membentuk jaringan keilmuan.132 c.Pendekatan Irfani Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada pengalaman batiniyyah, zauq, qalb, wijdan, basirah, dan intuisi. Pendekatan irfani (pengetahuan) ini menekankan hubungan antara subjek dan objek secara direct experience, tidak lewat medium bahasa atau teks dan tidak lewat logika rasional, sehingga objek menyatu dengan dalam diri subjek.Objek hadir dalam diri subjek.133 Pengetahuan
irfani
sebenarnya
adalah
pengetahuan
pencerahan,
sebagaimana
dikembangkan dalam filsafat isyraqi. Di sini perlu dibedakan dengan filsafat emanasi yang cenderung pantheistik. Filsafat isyraqi menyatakan bahwa pengetahuan diskursif harus dipadu secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif. Zauq berfungsi menyerap misteri segala esensi yang menimbulkan pengetahuan dan rasa damai pada jiwa yang resah-gelisah dan membuang skeptisisme. Dengan pemaduan tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi
130
Ibid. dan Jaih Mubarok,. Metodologi…hlm.218-227, dan M.Amin Abdullah,” al-Ta’wil al-Ilm ….
hlm.28-34. 131
Ibid.dan M.Amin Abdullah,” al-Ta’wil al-Ilm…. hlm.28-34.dan Jaih Mubarok,. Metodologi ....hlm.218-
132
Ibid. dan Jaih Mubarok,. Metodologi...hlm.218-227, dan M.Amin Abdullah,” al-Ta’wil al-Ilm…. hlm.28-
133
Ibid. dan M.Amin Abdullah,” al-Ta’wil al-Ilm…. hlm.28-34.dan Jaih Mubarok,. Metodologi ....hlm.218-
227. 34. 227.
pengetahuan
yang
mencerahkan,
bahkan
akan
mencapaial-hikmahal-haqiqiyah.134
Pengetahuan irfani dapat dicapai melalui tiga tingkatan. Pertama, tahap membersihkan diri dari ketergantungan terhadap dunia. Kedua, ditandai dengan pengalaman-pengalaman eksklusif menghampiri dan merasakan pancaran nur Ilahi. Ketiga, ditandai dengan perolehan pengetahuan yang seolah-olah tak terbatas dan tak terikat oleh ruang dan waktu, karena bersatunya al-'aql, al'aqil, dan al-ma'qul.135 Pengalaman batiniyah Rasulullah dalam menerima wahyu Alquran merupakan contoh konkret dari pengetahuan irfani. Namun dengan keyakinan yang kita pegangi selama ini, pengetahuan irfani yang akan dikembangkan mungkin dalam kerangka mengikuti jejak Rasulullah. Dalam hal ini, konsep-konsep Qurani, seperti qalb (qulub), fu'ad, basirah, fitrah, dan ulul albab dapat dicermati lebih lanjut.136 Dapat dikatakan, meski pengetahuan irfani bersifat subjektif dan batiniyah, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas kebenarannya akan bersifat inter-subjektif.137 Objek pengetahuan irfani berupa cahaya, yakni cahaya-cahaya penyingkap, yang mengantarkan kepada pengetahuan yang sebenarnya. Simbolisasi cahaya itu adalah Tuhan itu sendiri, yang bersifat transhistoris dan transkultural.138 Implikasi berikut dari pengetahuan irfani dalam konteks pemikiran hukum Islam adalah menghampiri agama pada tataran substantif, esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang lain yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan kepada Tuhan diimbangi rasa empati dan simpati kepada adanya "orang lain" secara elegan dan
134
Ibid.dan Jaih Mubarok,. Metodologi....hlm.218-227, dan M.Amin Abdullah,” al-Ta’wil al-Ilm .... hlm.28-
135
Ibid. dan M.Amin Abdullah,” al-Ta’wil al-Ilm…hlm.28-34.dan Jaih Mubarok,. Metodologi ....hlm.218-
136
Ibid.dan Jaih Mubarok, Metodolog…hlm.218-227, dan M.Amin Abdullah,” al-Ta’wil al-Ilm…. hlm.28-
137
Ibid. dan M.Amin Abdullah,” al-Ta’wil al-Ilm…hlm.28-34.dan Jaih Mubarok,. Metodologi ....hlm.218-
138
Ibid. dan Jaih Mubarok,. Metodologi....hlm.218-227, dan M.Amin Abdullah,” al-Ta’wil al-Ilm ....
34 227. 34 227. hlm.28-34.
setara, termasuk di dalamnya kepekaan terhadap problem-problem kemanusiaan, pengembangan budaya, dan peradaban yang disinari oleh pancaran fitrah ilahiyah.139 Oleh karena itu, pemikiran hukum Islam kontemporer perlu memahami semua realitas persoalan keislaman kontemporer dalam rangka mengantisipasi gerak perubahan zaman era industrialisasi dan globalisasi budaya serta agama.140 Pembaruan dan pengembangan pemikiran hukum Islam meliputi persoalan sosial keagamaan, sosial budaya, sosial politik, sosial ekonomi, sains dan teknologi, lingkungan hidup, etika dan rekayasa genetika/bioteknologi, serta isu-isu yang berkaitan dengan masalah keadilan dalam bidang hak asasi manusia (HAM), demokrasi, hubungan pria dan wanita dalam Islam, civil society, agama dan kekerasan sosial, spiritualitas keagamaan, penguatan kesadaran moralitas publik, pemecahan KKN, dialog dan hubungan antarumat beragama, integrasi dan disintegrasi nasional, kepekaan pluralitas keagamaan dalam bidang pendidikan dan pengajaran, dan lain-lain.141 d.Hubungan Tiga Pendekatan Apabila peta wilayah pengembangan pemikiran hukum Islam kontemporer jauh berkembang sebagaimana dijelaskan di atas, maka bagaimana bentuk hubungan antara bayani, burhani, dan irfani. Setelah diperoleh pemahaman kerangka metodologi di atas,langkah penting lain yang tidak kalah strategisnya adalah penentuan bentuk hubungan antara ketiganya. Ketepatan dan kekeliruan penentuan pola hubungan antara ketiganya menentukan hasil yang akan dicapai. Ada tiga jenis hubungan antara ketiganya, yaitu paralel, linear, dan spiral.142 Jika bentuk hubungan antara ketiganya dipilih dalam bentuk paralel, di mana ketiga pendekatan berjalan sendiri-sendiri, tanpa ada hubungan antara satu pendekatan dengan pendekatan yang lain, maka nilai manfaat praktis dan kegunaan pengembangan keilmuan yang akan diraih juga akan minim sekali. Bentuk hubungan paralel mengasumsikan bahwa dalam diri seorang muslim terdapat tiga jenis metodologi keilmuan agama Islam sekaligus, tetapi masingmasing metodologi berdiri sendiri dan tidak saling berdialog dan berkomunikasi, tergantung pada 139
Ibid. dan M.Amin Abdullah,” al-Ta’wil al-Ilm…. hlm.28-34.dan Jaih Mubarok,. Metodologi .....hlm.218-
140
Ibid, dalam Republika (opini), Kamis 26 Juni 2003. Ibid. dan Jaih Mubarok,. Metodologi...hlm.218-227, dan M.Amin Abdullah,” al-Ta’wil al-Ilm .....
227. 141
hlm.28-34. 142
227.
Ibid. dan M.Amin Abdullah,” al-Ta’wil al-Ilm…. hlm.28-34.dan Jaih Mubarok,. Metodologi .....hlm.218-
situasi dan kondisi. Jika ia berada pada wilayah bayani, ia gunakan pendekatan bayani sepenuhnya, dan tidak "berani" memberi masukan dari hasil temuan dari pendekatan metodologi keilmuan keislaman yang lain. Meskipun begitu, seminim-minimnya hasil yang diperoleh dari model hubungan yang bersifat paralel ini, masih jauh lebih baik daripada hanya hasil dari salah satu metodologi dan tidak mengenal jenis metodologi yang lain.143 Sedangkan hubungan linear, pada ujung-ujungnya adalah "kebuntuan" karena tidak memberi ruang bagi yang lain. Pola pendekatan linear akan mengasumsikan bahwa salah satu dari ketiga metodologi tersebut akan menjadi primadona. Seorang muslim akan menepikan masukan yang diberikan atau disumbangkan oleh metodologi yang lain, karena ia telah telanjur hanya mengakui salah satu dari ketiga pendekatan yang ada. Pendekatan yang ia pilih dianggap sebagai suatu pendekatan yang ideal dan final. Jenis pilihan semacam ini pada gilirannya akan mengantarkan seseorang pada kebuntuan, karena dogma keilmuan di mana tradisi berpikir bayani tidak mengenal tradisi berpikir burhani atau irfani dan begitu sebaliknya.144 Kedua bentuk hubungan itu baik yang paralel maupun yang linear bukan merupakan pilihan yang baik yang dapat memberikan petunjuk untuk umat Islam era kontemporer. Pendekatan paralel tidak dapat membuka wawasan dan gagasan-gagasan baru. Masing-masing pendekatan macet, terhenti, dan bertahan pada posisinya sendiri-sendiri, dan itulah yang disebut klaim kebenaran, atau monopoli kebenaran. Sedang pendekatan linear yang mengasumsikan adanya finalitas
akan menjebak seseorang atau kelompok pada situasi-situasi eksklusif-
polemis.145 Pendekatan pemikiran hukum Islam kontemporer baru dapat mengantarkan seorang muslim pada pemilihan antara salah satu dari kedua pendekatan keilmuan di atas. Kedua pilihan tersebut masing-masing kurang kondusif untuk mengantarkan kematangan religiusitas seseorang, apalagi kelompok. Oleh karena itu, perlu dilengkapi dengan pola hubungan antara ketiga
143
Ibid. dan Jaih Mubarok,. Metodologi....hlm.218-227, dan M.Amin Abdullah,” al-Ta’wil al-Ilm ....
hlm.28-34. 144
Ibid. dan M.Amin Abdullah,” al-Ta’wil al-Ilm…. hlm.28-34.dan Jaih Mubarok,. Metodologi....hlm.218-
145
Ibid. dan Jaih Mubarok,. Metodologi....hlm.218-227, dan M.Amin Abdullah,” al-Ta’wil al-Ilm .....
227, hlm.28-34
metodologi yang ada yang lebih memberi kemungkinan dirumuskan angin segar di kalangan para juris muslim.146 Hubungan yang baik antara ketiganya adalah hubungan yang bersifat spiral-sirkular, dalam arti bahwa masing-masing pendekatan keilmuan yang digunakan dalam pemikiran hukum Islam sadar dan memahami keterbatasan, kekurangan, dan kelemahan yang melekat pada diri masing-masing, serta sekaligus bersedia memperbaiki kekurangan yang melekat pada dirinya. Dengan begitu, kekakuan, kekeliruan, ketidaktepatan, dan kesalahan yang melekat pada masingmasing metodologi dapat dikurangi dan diperbaiki setelah memperoleh masukan dan kritik dari jenis pendekatan dari luar dirinya, baik masukan dari pendekatan bayani, burhani, maupun irfani.147 Corak hubungan yang bersifat spiral tidak menunjukkan adanya finalitas dan eksklusifitas, karena finalitas -- untuk kasus-kasus tertentu -- hanya akan mengantarkan seseorang dan kelompok muslim pada jalan buntu
yang cenderung menyebabkan
ketidakharmonisan hubungan antar-sesama muslim, lebih-lebih hubungan ekstern antar-umat beragama. Finalitas tidak memberikan kesempatan munculnya kemungkinan-kemungkinan baru yang barangkali lebih kondusif untuk menjawab persoalan-persoalan hukum
Islam
kontemporer.148 Hasil dari interaksi pemikiran hukum Islam dengan kenyataan sosio-kultural menyebabkan pemikiran hukum Islam dapat tampil secara inklusif dan penuh toleran dengan gagasan segar di bidang sosial dan kultural. Kekayaan pengalaman tersebut di atas dapat mengkristal dalam metodologi pemikiran hukum Islam yang memadukan antara pendekatan tekstual dan kontekstual, pendekatan legal-formal dan pendekatan substansial dalam satu kesatuan yang utuh dan terpadu. Pendekatan tersebut kemudian dikenal dengan nalar bayani, nalar burhani, dan nalar irfani.149
146
Ibid. dan M.Amin Abdullah,” al-Ta’wil al-Ilm…. hlm.28-34.dan Jaih Mubarok,. Metodologi .....hlm.218-
147
Ibid. dan Jaih Mubarok,. Metodologi....hlm.218-227, dan M.Amin Abdullah,” al-Ta’wil al-Ilm….
227 hlm.28-34. 148
Ibid. dan M.Amin Abdullah,” al-Ta’wil al-Ilm…hlm.28-34.dan Jaih Mubarok,. Metodologi….hlm.218-
227 149
Ibid. dan Jaih Mubarok. Metodologi….hlm.218-227, dan M.Amin Abdullah,” al-Ta’wil al-Ilm ….hlm.28-34
Nalar pikir bayani dimaknai sebagai pendekatan yang lebih tekstual, seperti berkembang pada fikih klasik dan tengah pada umumnya. Sementara pendekatan burhani adalah upaya memahami hukum Islam dengan mengintegrasikan ilmu-ilmu sosial humaniora dan ilmu-ilmu alam sebagai kelengkapan ilmu keislaman. Adapun nalar irfani adalah penalaran dengan perenungan yang mendalam dengan melibatkan pengalaman langsung dan penghayatan keagamaan yang lebih esoterik.150Dengan demikian ciri khas pemikiran hukum Islam kontemporer adalah adanya hubungan yang erat dan timbal balik antara sisi normativitas Alquran dan Sunnah Nabi dengan historisitas pemahamannya pada wilayah kesejarahan tertentu.151 10.Penutup Pengembangan pemikiran hukum sebagai strategi perubahan sosial diwujudkan secara bertahap sesuai dengan kondisi empirik. Arahnya adalah untuk pengembangan kehidupan islami sesuai dengan paham yang bertumpu para pembaharuan pemikiran hukum Islam. Hal ini dilakukan dengan menghidupan ijtihad dan tajdid, sehingga hukum Islam tidak menjadi kaku, rigid, dan eksklusif.152 Pemikiran hukum Islam menjadi lebih terbuka dan memiliki rasionalitas yang tinggi untuk dapat diterima oleh semua pihak. Dengan memfokuskan pada penyadaran iman melalui potensi kemanusiaan, diharapkan umat dapat menerima dan memenuhi seluruh ajaran Islam yang kaffah secara bertahap sesuai dengan keragaman sosial, ekonomi, budaya, politik, dan potensi yang dimiliki oleh setiap kelompok ummat.153 Atas dasar pemikiran tersebut, pemikiran hukum Islam dalam perspektif kultural dapat dipahami dalam dua pengertian, yaitu pengertian umum (makna luas) dan pengertian khusus (makna sempit). Dalam arti luas dipahami sebagai kegiatan pemikiran dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk berbudaya dalam rangka menghasilkan kultur alternatif yang bercirikan Islam.154
150
Ibid. dan M.Amin Abdullah,” al-Ta’wil al-Ilm…. hlm.28-34.dan Jaih Mubarok,. Metodologi ....hlm.218-
151
Ibid. dalam Republika (opini), Jumat 27 Juni 2003. Ibid. dan Jaih Mubarok,. Metodologi....hlm.218-227, dan M.Amin Abdullah,” al-Ta’wil al-Ilm .....
227. 152
hlm.28-34. 153
Ibid. dan M.Amin Abdullah,” al-Ta’wil al-Ilm…. hlm.28-34.dan Jaih Mubarok,. Metodologi .....hlm.218-
154
Ibid. dan Jaih Mubarok,. Metodologi....hlm.218-227, dan M.Amin Abdullah,” al-Ta’wil al-Ilm ....
227 hlm.28-34.
Hukum Islam yang dijiwai oleh pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran Islam yang kontekstual.155Adapun dalam pengertian khusus, adalah kegiatan pemikiran dan pengembangan hukum Islam dengan memperhatikan, memperhitungkan, dan memanfaatkan adat-istiadat, seni, dan budaya lokal yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dalam proses menuju kehidupan islami sesuai dengan metodologi tersebut di atas dan tingkat perkembangan masyarakat.156 Oleh karena itu, pemikiran hukum Islam dan penerapannya akan menyentuh ke seluruh lapisan masyarakat yang beragam kondisi sosio- kulturalnya.157 Dengan demikian, pengembangan pemikiran Hukum Islam di Indonesia di masa datang sesungguhnya memiliki dua dimensi wilayah keagamaan yang satu sama lain perlu memperoleh perhatian yang seimbang. Yang pertama adalah wilayah “religious practical guidance” (tuntutan keagamaan yang bersifat praktis terutama ihwal ibadah mahdhah), dan kedua wilayah pemikiran keagamaan yang meliputi visi, gagasan, wawasan, nilai-nilai dan sekaligus analisis terhadap berbagai persoalan (ekonomi, politik, sosial-budaya, hukum, ilmu pengetahuan, lingkungan hidup dan lain-lain) yang mungkin terus berubah dan berkembang. Relevansi memperhatikan wilayah pemikiran Hukum Islam ini, secara implisit oleh Majlis Tarjih dan Bahtsul Masail ketika berbagai aspek kehidupan yang mungkin akan berkembang di masa mendatang, dan belum tercover dalam putusan Majlis Tarjih dan Bahtsul Masial NU. “Melihat ini, masih banyak materi yang perlu dijelmakan di Indonesia, dan Muhammadiyah dan NU dapat memulai hal ini, menyusun materi dan metodologi fiqh baru, seperti fiqh kelautan, fiqh pertanahan, fiqh perhutanan, fiqh perburuhan, fiqh pariwisata, fiqh kependudukan, fiqh teknologi, fiqh anggaran dan sebagainya. DAFTAR PUSTAKA ‘Alwani, Taha Jabir al-.1994. Source Methodology in Islamic Jurisprudence, edisi 2, Edisi bahasa Inggris oleh Yusuf Talal De Lorenzo dan Anas S. al-Shaikh-Ali, Herdon – Virginia: IIIT. ‘Imarah, Muhammad.1972. al-‘Amal al-Kamilah li al-Imam Muhammad ‘Abduh, Beirut: AlMu’assasah al-‘Arabiyah li ad-Dirasah wa an-Nasyr. Abdalla, Ulil Abshar.2000. “Kegelisahan Kyai Desa di Kota Metropolitan Jakarta, “Majalah Basis, No. 03-04, Tahun ke- 49, 2000), hlm. 24. 155
Ibid. dan M.Amin Abdullah,” al-Ta’wil al-Ilm…. hlm.28-34.dan Jaih Mubarok,. Metodologi .....hlm.218-
156
Ibid. dan Jaih Mubarok,. Metodologi...hlm.218-227, dan M.Amin Abdullah,” al-Ta’wil al-Ilm .....
227 hlm.28-34. 157
Ibid. dan M.Amin Abdullah,” al-Ta’wil al-Ilm….. hlm.28-34.dan Jaih Mubarok,. Metodologi .....hlm.218-227
Abdullah, M. Amin.2001. “Al-Ta’wil al-‘Ilmi: Ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci”, Al-Jami’ah, vol. 39, 2. 2001. hlm.359-391. Abdullah, M.Amin.2002.” al-Ta’wil al-Ilm ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci”, dalam M.Amin Abdullah dkk, Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta. hlm.28-34. Ahmed an-Na’im (Syiracuse: Syiracuse University Press. Alim, Yusuf Hamid al-.1991. al-Maqashid al-‘Ammah asy-Syari’ah al-Islamiyyah.Herndon, Virginia: IIIT. Arifin, Bustanul.1996. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya .Jakarta: Gema Insani Press. Asy‘ari, Hasyim.1971. Qanun Asasi Nahdlatul Ulama. Kudus: Menara. Asymawi, Muhammad Said.1983. Ushul asy-Syari’ah. Beirut: Dar Iqra’. Azizi, A. Qodri.2003. Reformasi Bermazhab, Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Saintifik Modern.Jakarta: Penerbit Teraju. Dhofir, Zamakhsyari.1982. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES. Dihlawi, Syah Wali Allah Ad-.1965. Iqdul Jid fi Ahkamil Ijtihad wa Taqlid .Cairo: Dar UtsTasqafah. Djamil, Fathurrahman. Tanpa Tahun. Pokok-Pokok Manhaj Majlis Tarjih Yang Telah Dilakukan dalam Menetapkan Keputusan. Dokumen resmi Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majlis Tarjih, Yogyakarta. Djamil, Fathurrahman.1995. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah. Jakarta: Logos Publishing House. Fasi, Alla al-.1963. Maqashid as-Syari’ah al-Islamiyyah wa Makarimuha, Casablanca: Maktabah al-Wahdah al-‘Arabiyah. Garisyah, Ali .1989.Metode Pemikiran Islam (Manhaj al-Tafkir al-Islami), Jakarta: Gema Insani Press. Gazali, Abu Hamid al-.1971. Syifa’ al-Galil fi Bayan al-Syibh wa al-Mukhil wa Masalik alTa’lil. Bagdad: Matba’ah al-Irsyad. Hallaq, Wael B. .1991." The Primacy or the Qur'an in Shatibi's Legal Theory", dalam Islamic Studies Presented to Charles J. Adams, ed Donald P. Little Wael B. Hallaq. Leiden: E.J. Brill. hlm, 69-90, Hallaq, Wael B..1987. A. History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Ushul Fiqh, Cambridge: Cambridge University Press. Hallaq, Wael B..1990. "On Inductive Corroboration, Probability and Certainty in Sunni Legal Thought', dalam Islamic Law and Jurisprudence: Studies in Honor of Farhat J. Ziadeh, ed.Nicholas Heer. Seatle: University of Washington. hlm. 24-31, Hanafi, Hassan.1956. Yusr al-Islam wa Ushul at-Tasri’ al-Am, Kairo: Mathba’ah Nahdlah Mishr, Hasan, Husein Hamid.1971. Nazariah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami. Kairo: Dar an-Nahdah al-Arabiyah. Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadith (Jakarta: Tintamas, 1982), hlm. 29. Hidayat, Syamsul .2003“Tafsir Dakwah Muhammadiyah” dalam Republika (opini), Selasa 24, 25, 26 dan 27 Juni 2003. Hidayat, Syamsul.2003. “Tafsir Dakwah Muhammadiyah” dalam Republika (opini), Selasa 24 Juni 2003.
Hidayat, Syamsul.2003. “Tafsir Dakwah Muhammadiyah” dalam Republika (opini), Rabu 25 Juni 2003. Hidayat, Syamsul.2003. “Tafsir Dakwah Muhammadiyah” dalam Republika (opini), Selasa 26 Juni 2003. Humaidi, Zuhri .2008.“Fiqih dan Lokalitas dalam Perspektif Multikulturalisme”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar, Islam Nusantara, Edisis No. 26 Tahun 2008, hlm. 126. Iqbal, Muhammad.1971. The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Lahore: Ashraf Press. Izzuddin ibn Abd al-Salam. Tanpa Tahun., Qawa’id al-Ahkam fi Masalih al-Anam. Kairo : alIstiqamat. Jabiri, Muhammad Abid al-.1992. Bunyah al’Aql al-‘Arabi: Dirasah Tahliliyah li Nuzhum alMa’rifah fi Saqafah al-‘Arabiyah. Beirut : Markaz Dirasah al-Wihdah al-‘Arabiyyah. Juwaini, Abd al-Malik ibn Yusuf Abu al-Ma’ali al-.1400.Al-Burhan fi Usul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Ansar, Ka’bah, Rifyal.2004. Penegakan Syari’at Islam di Indonesia. Jakarta: Khairul Bayan. Keputusan komisi Masail Diniyyah dari Mu’tamar ke Mu’tamar, sebagian besarnya telah dihimpun dalam buku Ahkamul Fuqaha’ yang diterbitkan oleh penerbit Menara Kudus. Keputusan Muktamar Tarjih Muhammadiyah XXII, hlm. 8-10 Khallaf, Abdul Wahab.1955. Mashadir at-Tasyri’ fi ma la Nashsha fih, Kairo: Dar al-Kitab alArabi. Khun, Thomas S..1970. The Structure of Scientific Revolutions, Chicago: The University of Chicago Press. Lubis, Nur A.Fadhil.1995. Hukum Islam dalam Kerangka Teori Fikih dan Tata Hukum Indonesia. Medan: Pustaka Widyasarana. Ma’sum, Ali.1981.” Imam Syafi’i,” dalam Bangkit No. 16 Tahun II Juli 1981, hlm. 20-21. Madany, A. Malik .1993.“Pola Penetapan Hukum Islam “(Antara Fakta dan Cita), dalam M. Masyhur Amin dan Islamil S. Ahmad, Dialog Pemikiran Islam & Realitas Empirik.Yogyakarta: LKPSM NU DIY bekerjasama dengan Pustaka Pelajar. hlm.162 171. Mahfudz, Mahsun.2007.“Menuju Rekonstruksi Nahdkatul Ulama Menuju Ijtihad Saintifik Modern”, dalam Jurnal Ilmiah Citra Ilmu, Kajian Kebudayaan dan Keislaman, Edisi 6, Vol. III, Oktober 2007, hlm. 45-47. Mas'ud, Muhammad Khalid. 1993. Shatibi's Theory of Meaning", Islamic Studies 32 (1993),116. Mas'ud, Muhammad Khalid.1977. Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq al-Shatibi's Life and Thought. Islamabad: Islamic Research Institute. Masyhuri, Aziz.1997. Masalah Keagamaan NU. Surabaya: PP. RMI dan Dinamika Press. Mubarok, Jaih.2002. Metodologi Ijtihad Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press. Muchlas, H. Imam .1994.“Beberapa Tantangan Ulama Tarjih” dalam majalah Suara Muhammadiyah, No. 14/ 79/ 1994, hlm. 32 Na’im, Abdullahi Ahmed an-.1990. Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law, Syracus: Syracus University Press. Nafis, Muhammad Wahyuni (ed)., 1995. Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali.Jakarta: Paramadina.
Nurdin, Faisal bin Hj. Muhammad Ali.1996. Sadd al-Zara’i, Pemakaiannya dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Disertasi untuk memenuhi keperluan Ijazah Sarjana Syari’at., Kuala Lumpur: Universitas Malaya PP. Muhammadiyah. Tanpa Tahun. Himpunan Putusan Tarjih. Yogyakarta: PP Muhammadiyah. PP.Muhammadiyah.Tanpa Tahun. Pokok-Pokok Manhaj Majlis Tarjih Yang Telah Dilakukan dalam Menetapkan Keputusan. Dokumen resmi Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majlis Tarjih, Yogyakarta. Qardhawi, Yusuf.1987. Ijtihad Kontemporer .Jakarta: Bulan Bintang. Rahman, Fazlur.1979.” Toward Reformulating the Methodology of Islamic Law: Sheikh Yamani on Public International on Islamic Law”, New York University Journal of International Law and Politics 12 (1979): 219-24. Raisuni, Muhmmad Al-..1992. Nazariyât al- Maqasid ‘inda Al-Imam Syatibi. Riyadh : al-Dâr al‘Ilmiah li al-Kitab al-Islami. Rofiq, Ahmad.2001. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia.Yogyakarta: Gama Media. Shiddiq, Machfud.1950. Di Sekitar Soal Ijtihad dan Taqlid. Surabaya: Pengurus Besar Nahdlatoel Oelama. Shiddiqi, Nouruzzaman.1997. Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Sjadzali, Munawir.1991. “Landasan Pemikiran Politik Hukum Islam dalam Rangka Menentukan Peradilan Agama di Indonesia” dalam Tjun Surjaman (ed), Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek .Bandung: Rosda Karya, hlm. 45. Subki, Ali. b. Abd. Al-Kafi as-.1995.al-Ibhaj fi Syarh al-Minhaj, Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyah, Sulaiman, Abdul Hamid A. Abdul Hamid A..1993. Crisis in The Muslim Mind, Herdon Virginia: IIIT. Syafi’i, Muhammad . Idris asy-.1979.Ar-Risalah .Kairo: Darut-Turats. Syahrur, Muhammad.1992. Al-Kitab wa al-Qur’an dan Qira’ah Mu’asirah. Damaskus: al-Ahab li ath-Thiba’ah li an-Nasyr wa at-Tauzi. Syatibi, Abu Ishaq al-.Tanpa Tahun. al-Muwafaqat fi Usul al-Syari'ah. Mesir: al-Maktabah alTijariyah. Taha, Mahmud Muhammad.1987. The Second Message of Islam, alih bahasa: Abdullahi Turabi, Hasan.1980. Tajdid Ushul al-Fiqh, Beirut and Khortoum: Dar al-Fikr. Turabi, Hasan.1986. Pembaharuan Ushul Fiqh, Bandung: Penerbit Pustaka. Turabi, Hasan.1993. Tajdid al-Fikr al-Islami, Rabat: Dar al-Qarafi li an-Nasyr wa at-Tauzi.. Zahro, Ahmad.2004. Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masail 1926-1999. Yogyakarta: LKiS.