WANITA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Lembaga Bahtsul Masail NU) SKRIPSI Di Susun untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dalam Ilmu Syari‟ah
Oleh:
DINIATUN HASANAH NIM. 231 108 006
JURUSAN SYARI’AH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PEKALONGAN 2012
1
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Wanita adalah makhluk Allah seperti halnya laki-laki. Hakekatnya tidak ada perbedaan antara keduanya. Sebagai hamba Allah ia juga memiliki tanggung jawab kemanusiaan, memakmurkan bumi dan mensejahterakan manusia, namun pada kenyatannya wanita sering dianggap lebih rendah dari laki-laki, atau sebagai makhluk kelas dua setelah laki-laki, bahkan ruang lingkup kegiatan wanita sering dibatasi hanya diwilayah domestik saja. Sehingga akan berpengaruh kapada Rendahnya partisipasi perempuan dalam bidang pembangunan serta peranannya dalam bidang publik yang lain. Hal ini disebabkan karena masih maraknya ketidakadilan jender di tengah masyarakat seperti pertama, subordinasi yang menempatkan posisi perempuan menjadi bagian masyarakat yang tidak penting karena perempuan dianggap sebagai makhluk kedua, sedangkan laki-laki dipandang sebagai makhluk pertama, karena itu perempuan dianggap tidak mampu memimpin lembaga atau masyarakat. 1 Kedua terjadinya marginalisasi atau pemiskinan. Kaum perempuan tidak diberi peluang untuk mendapatkan hasil kerjanya, atau tidak dihargai hasil kerjanya karena dianggap bukan pencari nafkah. 2 Baik laki-laki
1
Sri Suhandjati, Ragam Pemberdayaan Perempuan Versi Organisasi Perempuan Islam Indonesia (Semarang: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang, 2010), hal. 1 2 Ibid.
2
maupun
perempuan
sesungguhnya
memiliki
kemungkinan
untuk
berpartisipasi nyata dan punya potensi untuk berperan serta di dalam melakukan fungsi-fungsinya. 3 Aktifitas perempuan dalam sektor lain seperti sektor produksi dianggap sebagai tugas sekunder. “Kewanitaan” atau “femininitas” perempuan ditentukan oleh peran mereka disektor-sektor domestik. Kedirian perempuan tidak dapat dilepaskan dari peranannya sebagai ibu dan istri, perempuan dianggap sebagai makhluk sosial dan budaya yang utuh apabila telah memainkan kedua peranan tersebut dengan baik. 4 Dengan dibatasi ruang geraknya di rumah dan di dapur saja, wanita dianggap tidak mampu mengambil keputusan diluar wilayahnya. Hal ini menimbulkan kesimpulan bahwa dari interaksi tersebut menggambarkan seorang perempuan adalah pihak yang tersubordinasi, menjadi sasaran serta tunduk pada ideologi tersebut. Sering kali wanita dianggap hanya sebagai orang yang bertugas melaksanakan pekerjaan dirumah saja, tidak perlu pendidikan yang tinggi atau pengalaman pekerjaan yang luas. Hal ini nampaknya tidaklah beralasan karena
sekarang
ini
perkembangan jaman telah menuntut adanya perubahan pada kehidupan saat ini, dimana seorang wanita memiliki akses yang lebih besar untuk beraktifitas di luar rumahnya, baik untuk menuntut ilmu, bersosialisasi, berdakwah, bekerja maupun mengerjakan hal-hal lainnya.
3
Fauzie Ridjal, Lusi Margiyani, dan Agus Fahri Husein (ed.), Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1993), hal. 49. 4 Irwan Abdullah, Sangkan Peran Gender (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hal. 91.
3
Daya dukung teknologi informasi dan semakin terbukanya ranah publik bagi kehadiran wanita dalam aspek sosial, membuka peluangpeluang bagi kaum hawa untuk melakukan mobilisasi antarkota, antarprovinsi bahkan antarnegara. Suatu fenomena yang berbeda dengan kehidupan beberapa abad yang lalu. 5 Keterbukaan ruang bagi perempuan untuk mengikuti pendidikan sampai setinggi-tingginya telah melahirkan kemampuan-kemampuan mereka dalam segala urusan yang sebelumnya diklaim hanya menjadi milik laki-laki. Persepsi tendensius bahwa kaum perempuan kurang rasional, lebih emosioanal dan kurang kompeten menangani urusan domestik dan publik dibanding kaum laki-laki kini telah gugur dan tidak lagi popular. Kaum perempuan kini tengah bergerak merengkuh masa depannya dan mengubur masa lalu yang suram dan penuh nestapa. 6 Saat ini secara umum kondisi perempuan Indonesia mengalami perubahan. Pendidikan dan partisipasi perempuan dalam sektor publik mengalami
peningkatan.
Diantaranya
ditandai
dengan
banyaknya
perempuan yang berpartisipasi di bidang pendidikan, dakwah, sosial,dan bidang publik yang lain. Kesadaran akan pentingnya peranan perempuan telah melahirkan berbagai karya-karya yang semakin meneguhkan semangat dan kesadaran untuk selalu memperjuangkan isu-isu jender dalam Islam di Indonesia. Gerakan perempuan Islam Indonesia sebagian
5
http://suraniningsih.wordpress.com/2011/07/03/perempuan-di-ranah-publik-dan-seputarhukum-safar/ . Diunduh 21 oktober 2011 6 Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2004), hal. 170.
4
disuarakan oleh mereka yang menjadi bagian dari organisasi pembaharuan Islam. Sebagai contoh pada awal abad ke 20, Aisyiyah sebagai bagian kewanitaan Muhammadiyah, garakan dan pemikiran Aisyiyah untuk kemajuan
kaum
perempuan
berada
dalam
agenda
pembaharuan
Muhammadiyah. 7 kontribusi Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah dalam peletakan awal keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan, pendidikan, pelayanan sosial, kesehatan, dan ruang-ruang publik lainnya juga semakin meneguhkan pandangan bahwa terdapat akar kuat keterlibatan ormas Islam dalam mewujudkan keadilan dan kesetaran jender di Indonesia. Keterlibatan ini dapat dilihat dalam usaha KH. Ahmad Dahlan yang merupakan pendiri dari Muhammadiyah dalam mengajar anak-anak perempuan, bahwa anak-anak perempuan dan laki-laki sama-sama mempunyai hak untuk menuntut ilmu. Hal demikian sudah pasti merupakan terobosan intelektual yang memberikan pandangan kesetaraaan terhadap laki-laki dan perempuan, karena pada saat itu merupakan zaman di mana kesempatan pendidikan hanya menjadi milik laki-laki. 8 Hal ini ditegaskan dengan pernyataan sebagai berikut: Dialog kritis atas isu jender dalam memperjungkan hak perempuan diantaranya ditandai dengan suburnya lembaga-lembaga perempuan yang memfokuskan programnya pada pengkajian, pendidikan dan penelitian. Di lingkungan Ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) misalnya, secara struktural dapat dirujuk pada keberadaan Muslimat dan Fatayat dua ormas Islam 7
Arif Subhan,dkk., Citra Perempuan dalam Islam Pandangan Ormas Keagamaan (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003) hal. 5 8 Ibid., hal. 6.
5
dibawah NU yang aktif menggulirkan dan memperjuangkan keadilan dan kesetaraan jender dalam Islam. 9
Ormas ini selain bertujuan untuk membawa perempuan Indonesia pada kesadaran beragama, berbangsa, dan bernegara juga menentapkan tujuan untuk menyadarkan perempuan Indonesia akan hak dan tanggung jawabnya menurut Islam. Dapat dilihat beberapa langkah dari Muslimat dalam merespon isu-isu perempuan seperti, melihat permasalahan perkawinan anak-anak di
bawah umur
yaitu dilakukan dengan
keikutsertaan dalam pimpinan-pimpinan Muslimat menurut tingkatannya dalam BP4 (Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian) serta kepedulian lain terhadap isu-isu perempuan. Meskipun kedua ormas ini sama-sama memperjuangkan hak-hak wanita tidak dipungkiri memiliki sejumlah perbedaan dalam beberapa hal, perbedaan ini setidaknya tercermin melalui beberapa aspek. Pertama, ideologis, yakni cara pandang terhadap masalah keagamaan dimana NU menempatkan diri sebagai pengikut setia para ulama terkemuka yang dianggap pewaris nabi dimana ajaran Ahlusunah waljamaah di jadikan sebagai ideologi formal Nahdlatul „Ulama (NU) yang resmi, dengan keterangan, untuk memperjuangkan agama Islam menurut ajaran salah satu dari Mazhab fikih. Sementara Muhammadiyah sejak awal berdiri telah melekat dengan identitas sebagai gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi munkar dan 9
Ibid., hal. 5.
6
gerakan tajdid (tajdid) yang berusaha memurnikan ajaran Islam dari ajaran dan paham keagamaan yang tidak murni dengan merujuk kepada alquran dan sunah secara langsung. 1. Tajdid berarti kembali kapada keaslian dan kemurnian (purifikasi) dala hal akidah dan ibadah yang telah tetap dan tidak berubah-ubah. 2. Tajdid berarti modernisasi, yakni dalam hal strategi, metode, sistem, teknik, teknik perjuangan yang sifatnya berubah-ubah. 10 Sebagai organisasi Islam terbesar dan tertua di Indonesia dua organisasi Muhammadiyah (melalui Majelis Tarjih) dan Nahdlatul Ulama (melalui Lajnah Bahsul Masail) berusaha untuk memecahkan berbagai permasalahan hukum yang berhubungan dengan Islam serta kaitannya dalam merespon isu-isu perempuan dalam konteks indonesia.11 Dari uraian diatas maka penulis sengaja mengangkat judul skripsi berjudul: “WANITA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Bahtsul Masail NU)
10
Sudarno Shobron, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam Pentas Politik Nasional (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2003), hal. 27. 11 Arief Subhan, dkk., Op.cit., hal. 6.
7
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Lembaga Bahtsu Masail NU tentang wanita sebagai pejabat publik? 2. Bagaimana perbandingan Metode Istinbat Hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Lembaga Bahtsu Masail NU tentang wanita sebagai pejabat Publik?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini bertujuan: 1. Untuk mengetahui putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Lembaga Bahtsu Masail NU tentang wanita sebagai pejabat publik. 2. Untuk mengetahui perbandingan Metode Istinbat Hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Lembaga Bahtsu Masail NU tentang wanita sebagai pejabat publik. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat: 1.
Menambah wacana keilmuan tentang peran wanita dalam ranah publik.
2.
Dapat dijadikan masukan bagi wanita yang bekerja di ranah publik dalam menjalankan perannya.
8
D. Tinjauan Pustaka Dalam penelitian ini terdapat beberapa tinjauan pustaka yang relevan dengan isu-isu mengenai peranan perempuan sebagai pejabat publik dalam Islam yang cukup signifikan di Indonesia, hal ini antara lain ditandai dengan semakin banyaknya kaum perempuan yang beraktifitas diluar rumah yang mana tidak bisa lepas dari sejarah ormas Islam Indonesia yang melakukan bebagai usaha dalam mewujudkan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Dalam buku yang berjudul “Citra Perempuan Dalam Islam Pandangan Ormas Keagamaan” karangan Arief Subhan dijelaskan bahwa ormas Islam Indonesia seperti Muhammadiyah dan NU, dan ormas lain memiliki akar sejarah penting dalam merespon isu-isu perempuan di Indonesia. Langkah-langkah kedua ormas ini merupakan salah satu terobosan awal dalam memberdayakan perempuan.12 Dalam tubuh Muhammadiyah misalnya ditandai dengan berdirinya organisasi Islam perempuan yang menamakan dirinya Aisyiyah dan kemudian melahirkan juga Nasyiatul Aisyiyah organisasi Islam dibawah Muhammadiyah yang merupakan salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia dalam pergulatan isu-isu perempuan yang mana organisasi ini melakukan beberapa tahapan dalam perkembangan ideologi perempuan Aisyiyah yang menunjukan keterlibatannya dalam merealisasikan isu perempuan yakni, tahapan penegasan kedudukan perempuan di tengah
12
Ibid., hal. 6
9
laki-laki, penegasan ruang gerak dan hak-hak perempuan, penegasan perempuan sebagia pembina keluarga dan penegasan peranan perempuan dalam pembangunan. 13 Sedangkan menurut Taufik Abdullah dalam buku yang berjudul “Islam dan Problematika Gender Telaah Kepemimpinan Wanita Perspektif Terjih Muhammadiyah” mengatakan bahwa: “Eksistensi organisasi–organisasi wanita dalam masyarakat Indonesia telah tidak diragukan lagi. Melalui berbagi kegiatan yang telah dilaksanakannya sejak sebelum masa Indonesia merdeka, oganisasi-organisasi tersebut telah banyak menyumbangkan perubahan dalam masyarakatnya. Akan tetapi sepanjang sejarahnya, organisasi wanita Islam di Indonesia tidak tampil sebagai pencetus gagasan dan pemikiran sosial baru, demikian tulisan Taufik Abdullah. Lanjutnya, wanita atau organisasinya barulah muncul sebagai pencetus gagasan dalam hal-hal yang khusus menyangkut masalah kewanitaan atau keperempuanan. Dalam perkembangan, selanjutnya pergerakan wanita telah menjadi pelengkap dari pergerakan rakyat kaum laki-laki. 14 Dalam buku yang berjudul “Wanita Dalam Masyarakat Indonesia Akses Pemberdayaan Dan Kesempatan”, karya Atho Mudzar dkk, buku ini menjelaskan mengenai berbagai permasalahan wanita ditinjau dari hukum Islam serta realitasnya dalam masyarakat Indonesia, bahwa wanita di Indonesia di satu pihak mengalami kemajuan dan perkembangan yang berkaitan dengan peran mereka di Indonesia, misalnya, menjadi hakim dan anggota DPR. Namun, di sisi lain ada kecenderungan normatif yang membatasi gerak mereka di area publik. Ambiguitas lain yang terjadi di 13
Ibid., hal. 10. Agus Purwadi (ed.), Islam & Problem Gender: Telaah Kepemimpinan Wanita Dalam Perspektif Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta: Aditya Media, 2000), hal. 11. 14
10
lingkungan kita ialah bahwa disatu sisi mereka kaum wanita tidak merasa rendah dari laki-laki, sekalipun susunan dan system masyarakat Indonesia yang sebenarnya cenderung bercorak Patriarkhi. 15 Menakar Harga Perempuan karya Syafiq Hasyim, dalam buku ini diuraikan tentang berbagai kebijakan dan hukum yang dikeluarkan negara untuk perempuan dan dampak yang ditimbulkannya bagi kehidupan sosial ekonomi perempuan. Dijelaskan pula bahwa dalam pasal 27 UUD 1945 yang mengatakan bahwa Indonesia telah menganut dan menerapkan asas persamaan antara perempuan dan laki-laki. 16 Sehingga dalam menjalankan peranan
kehidupan baik yang domestik Maupun publik laki-laki dan
perempuan sama-sama memiliki kesempatan untuk melaksanakannya, sehingga tidak semestinya dipersoalkan apabila perempuan berkerja diranah publik. Dalam buku yang berjudul Dinamika gerakan perempuan di Indonesia karangan Fauzie ridjal, dijelaskan mengenai kodrat wanita yang sesungguhnya, serta peranannya dalam ranah domestik, dalam buku ini dijelaskan tentang profil wanita Indonesia dan proses pembangunannya, untuk mampu berperan dan menggunakan seoptimal mungkin kesempatan yang akan tersedia oleh abad 21, wanita dituntut untuk memiliki suatu sikap yang mandiri disamping suatu kebebasan untuk mengembangkan dirinya sebagai manusia sesuai dengan bakat yang dimilikinya. Profil
15
Atho Mudzar, Sajida S. Alvi, dan Saparinah Sadli (ed.), Wanita Dalam Masyarakat Indonesia: Akses, Pemberdayaan dan Kesempatan (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2001), hal. 267. 16 Syafiq Hasyim, Menakar Harga Perempuan ( Bandung: Mizan, 1999 ), hal. 67.
11
wanita Indonesia pada saat ini dapat digambarkan sebagi manusia yang harus hidup dalam situasi dilematis. Di satu sisi wanita Indonesia dituntut untuk berperan dalam semua sektor, tetapi di sisi lain muncul pula tuntutan lain agar wanita tidak melupakan kodrat mereka sebagai wanita. 17 Dalam
buku
yang
berjudul
“Muhammadiyah-NU
mendayung
Ukhuwah di Tengah Perbedaan” editor Ma‟mun Murod Al-Barbasy dijelaskan bahwa sejatinya, ajaran-ajaran NU dan Muhammadiyah berasal dari sumber yang sama: quran dan hadis. Perbedaan antara keduanya sekali lagi, pada aspek pemahaman dan interpretasinya: NU lebih menekankan pada aspek keharmonisan ajaran/doktrin Islam sedangkan Muhammadiyah mengaksentuasikan kemurnian (purifikasi) ajaran doktrin Islam. Perbedaan ini akan tampak gamblang pada saat aktivis dari kedua organisasi ini mengambil rujukan baik dari quran maupun Hadis, aktivis NU lebih banyak merujuk teks-teks mengenai keharmonisan hubungan antarsesama manusia sedangkan aktivis Muhammadiyah lebih suka mengambil teks-teks bertema amar ma‟ruf nahi munkar.18 Penelitian ini ada korelasinya dengan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas. Namun, dalam penelitian ini yang menjadi fokusnya adalah putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Lembaga Bahtsul Masail NU tentang wanita sebagai pejabat publik serta metode istinbat
17
Fauzie Ridjal, Lusi Margiyani, dan Agus Fahri Husein (ed.), Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1993), hal. 107. 18 Ma‟mun Murod Al-Barbasy (ed.), Muhammadiyah-NU: Mendayung Ukhuwah di Tengah Perbedaan (Malang: UMM Press, 2004), hal. 30-31.
12
hukum yang digunakan Majelis Tarjih Muhammadiyyah dan Bahtsul Masail NU dalam hal wanita sebagai pejabat publik.
E. Kerangka Teori Yang menjadi telaah penulis adalah sejauh mana putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Bahtsul Masail NU terhadap wanita sebagai pejabat publik, karena saat ini masih banyak ditemukan persepsi yang beranggapan bahwa hanya laki-lakilah yang berhak bekerja diluar dan memegang jabatan publik lainnya. Secara konseptual, ide kesetaraan laki-laki dan perempuan telah ada dalam sistem etika Islam. Bahkan praktis gerakan perempuan juga telah Muncul pada masa awal Islam, perempuan dapat melakukan aktivitasnya secara leluasa, dan tidak dibedakan dengan aktivitas yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Boleh dikatakan bahwa masa Nabi saw merupakan masa kehidupan yang ideal bagi perempuan. Persamaan hak antara wanita dan laki-laki juga telah dahulu ditegaskan dalam quran misalnya, hak untuk berusaha dan memperoleh hasil usahanya di dalam quran dijelaskan dalam surat Al-nahl ayat 97. “Barang siapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan kami berikan balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” 19
19
Departemen Agama RI, Mushaf Al-quran Terjemah Edisi 2002 (Jakarta: Al-Huda Kelompok Gema Insani, 2002), hal.279.
13
Ayat ini menegaskan bahwa perempuan mempunyai hak untuk berusaha dan menerima hasil dari usahanya guna mendapatkan kehidupan yang layak serta pahala. Jadi, berdasarkan ayat ini, maka pendapat sebagian orang yang menyatakan bahwa tugas perempuan hanya di dalam rumah, tidaklah benar dan tidak punya alasan yang bisa dipertanggung jawabkan menurut syariat.20 Sekarang ini partisipasi perempuan telah mengalami perubahan, perempuan tidak hanya melakukan kegiatannya di dalam rumah saja, tetapi mereka banyak melakukan kegiatan di luar rumah, misalnya kegiatan mereka di bidang pendidikan, sosial, keagamaan, dan dakwah, bahkan tidak sedikit perempuan saat ini yang beraktifitas di bidang politik. Keterlibatan wanita dalam pekerjaan di luar rumah bukan sekedar soal faktor biologi atau kemajuan teknologi. Menurut beberapa ahli, memang secara biologis manusia itu berinisiatif untuk bekerja. Tetapi pikiran ini bukan berarti menetralkan kenyataan yang ada, perlu kita akui bahwa dewasa ini teknologi begitu berpengaruh pada kehidupan keluarga. Alatalat elektronik canggih yang tersedia dapat dipakai pria-wanita, tanpa perbedaan. 21 Peraturan dalam bidang politik, dapatlah dibagi 2 bagian Pertama: peranan yang langsung berupa praktik politik dalam badan-badan legislatif atau dewan-dewan perwakilan rakyat dari pusat sampai ke daerah-daerah.
20
Ahmad Kosasih ,HAM Dalam Perspektif Islam: Menyingkap Persamaan dan Perbedaan antara Islam dan Barat (Jakarta: Penerbit Salemba Diniyah, 2003), hal, 58. 21 Save m. Dagun, Maskulin, dan Feminin Perbedaan Pria-wanita Dalam Fisiologi, Psikologi, Seksual, Karier, dan Masa Depan (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), hal. 125.
14
Dalam hal ini kaum wanita harus ikut serta dan berjuang untuk mencapai jumlah perwakilan yang memadai. Kedua: Peranan tidak langsung, yaitu disalurkan dari rumahtangga, di tengah-tengah masyarakat dengan mengambil bagian aktif dan mengisi kesempatan-kesempatan yang bermanfaat di dalam masyarakat dan pengisian lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Di dalam bidang tersebut kaum wanita harus dapat
mengambil peranan yang menentukan. 22 Keterlibatan kaum perempuan dibidang publik (politik) nampaknya mendapatkan banyak sorotan dan selalu menjadi topik pembicaraan sampai saat ini, bukan hanya di kalangan feminis Muslim saja tetapi juga ormas Islam seperti Muhammadiyah dan NU yang ikut memberikan kontribusi besar dalam melakukan perubahan untuk mewujudkan kesetaran laki-laki dan perempuan dalam segala aspek kehidupa sosialnya. Seperti dalam putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah bahwa seorang wanita boleh menjadi Hakim, Direktur Sekolah, Direkur Perusahaan, Camat, Lurah, Mentri, Walikota dan sebagainya. Sebagaimana Islam memberikan hak yang sama kepada laki-laki dan perempuan, yang artinya masing-masing itu memiliki hak dan mempunyai kewajiban, walaupun di dalam sementara hal ada perbedaannya disebabkan perbedaan jenisnya. Firman Allah dalah Surat Al -Nahl ayat 97.
22
Majlis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah,Tuntunan Adabul Mar‟ah Fil Islam (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 1982), hal. 40.
15
“Barangsiapa yang berbuat kebaikan baik laki-laki maupun perempuan sedang ia itu mukmin, maka akan Kami beri kehidupan dengan kehidupan yang baik.”23 Gagasan kesetaraan gender juga dirumuskan oleh seorang feminis muslim laki-laki KH. Husein Muhammad, berupa pembelaan perempuan dalam perspektif Islam yang dilandasi oleh gagasan tentang hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi yang selalu berakar dari ajaran Islam. Nilai-nilai dasar Islam, yaitu keadilan, kesetaraan, dan penghargaan terhadap hak asasi manusia, menurut Husein dapat dilihat pada konsep tauhid. Alasannya karena dalam sejarah agama monoteisme, tauhid hadir ditengah-tengah moralitas individu dan sosial yang runtuh kacau, keruntuhan atau kekacauan moralitas ini ditandai dengan menurunnya penghargaan manusia pada nilai-nilai kemanusiaan mereka sendiri. Husein memahami tauhid sebagai menifestasi atas penghargaan terhadap hak-hak manusia dari penindasan dan semua pembawa agama tauhid hadir di tengah-tengah masyarakat yang mengalami krisis kemanusiaan. 24 Prinsip kemerdekaan manusia yang berakar pada nilai-nilai tauhid tersebut, pada sisi lain adalah juga berarti persamaan atau kesetaraan manusia secara universal. Semua manusia sama di hadapan Tuhan.25 Ayat Alquran yang pertama kali melihat kesejajaran perempuan dengan laki-laki adalah Qs. Al- Layl: 3-10 yang menyebut kaum lak-laki
23
http://muhammadiyah-bone.blogspot.com/2011/09/download-tuntunan-adabul-marahpp.html Diakses tanggal 13 pebruari 2012. 24
Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), hal. 155. 25 Ibid., hal. 156.
16
dan perempuan dalam qasam yang merupakan bukti bahwa Allah melihat persamaan antara keduanya. Dalam ayat tersebut ada isyarat bahwa perbedaan manusia hanya terletak pada aksinya apakah baik atau buruk dengan tidak melihat jenis laki-laki atau perempuan. Ayat lain yang menjelaskan prinsip persamaan antara perempuaan dan laki-laki adalah dalam Qs. Al-Nisa: 1 dan Qs. Al-A‟raf: 189, kedua ayat tersebut memberi sinyal bahwa laki-laki dan perempuan dalam menjalin kehidupan sosialnya adalah saling melengkapi.
F. Metode Penelitian a. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk dalam katagori Library research (penelitian pustaka)
atau
studi dokumen
yang
menggunakan
pendekatan kualitatif dan bersifat deskriptif. Dengan metode kualitatif ini memungkinkan kita untuk memahami penjelasan dari literaturliteratur yang spesifik membahas tentang wanita sebagai pejabat publik menurut Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Bahtsul Masail NU. b. Metode Pendekatan Metode pendekatan dalam penelitian ini menggunakan metode normatif (legal research) atau dengan istilah lain penelitian hukum
17
doktriner, juga disebut penelitian perpustakaan atau studi dokumen. 26 Sebab penelitian ini menekankan konsep hukum terhadap wanita sebagai pejabat publik dalam hukum Islam (Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Bahtsul Masail NU) Sifat penelitian ini signifikan terhadap sifat eksplanatoris, yaitu suatu penelitian untuk menerangkan, memperkuat atau menguji dan bahkan menolak suatu teori
atau
hipotesa-hipotesa serta terhadap hasil-hasil penelitian yang ada.27 Disebut penelitian normatif karena penelitian ini dilakukan dan ditunjukan hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. Sebagai penelitian perpustakaan ataupun studi dokumen, disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakuakan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. penelitian yang demikian ini disebut sebagai lawan dari penelitian sosilogis, yaitu obyek kajian mengenai perilaku manusia. Perilaku masyarakat yang dikaji adalah perilaku yang timbul akibat berinteraksi dengan sistem norma yang ada. 28 c. Bahan penelitian Bahan hukum sebagai bahan penelitian diambil dari bahan kepustakaan yang berupa bahan-bahan hukum primer, bahkan bahan hukum skunder maupun tersier.
26
Menurut Soerjono Soekanto, bahwa studi kepustakaan merupakan metode tunggal yang dipergunakan dalam penelitian normatif. 27 Sutrisni Hadi, Metode Research, jilid 1 (Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1986 ), hal. 9 28 Mukti fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &Empiris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 51.
18
1. Primer Merupakan
bahan
pustaka
yang
Perundang-undangan,
Yurisprudensi,
putusan,29dalam
ini
hal
adalah
berisikan
Peraturan
atau
berupa
hasil
putusan
Maejlis
Tarjih
Muhammadiyah dan Bahtsul Masail NU yang berkaitan dengan wanita sebagi pejabat publik. 2. Sekunder Sumber sekunder yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer, berfungsi sebagai penunjang terhadap bahan primer. 3. Tersier Yaitu sumber data pelengkap yang diambil dari kamus maupun literatur-literatur yang diambil dari internet. d. Teknik Pengumpulan data Untuk teknik pengumpulan data yaitu dengan cara membaca bukubuku, karya-karya ilmiah, dan literatur-literatur yang menjadi bahan penulisan, juga dengan menelaah dan mengkaji serta dengan membandingkan
referensi-referensi
yang
berkaitan
dengan
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian skripsi ini. Prosedurnya berupa:
29
Ibid., hal. 317.
19
a. Eksplorasi Bahan Pustaka Tahapan ini merupakan tahap awal dalam pengumpulan data yaitu berupa pencarian bahan pustaka baik buku-buku, kitab-kitab, laporan hasil penelitian, jurnal, dan artikel-artikel yang diambil dari internet. b. Dokumentasi Teknik ini dilakukan untuk mengikat data-data yang telah didapat melalui eksplorasi data dari beberapa sumber yang kemudian akan melalui tahap lagi agar data tersebut tepat sasaran pada tema. c. Kategorisasi Kategorisasi dilakukan setelah dokumentasi beberapa data yang terkait dengan penelitian, kategorisasi bertujuan untk mengetahui validitas data-data untuk difungsikan. e. Metode Analisis Data Dalam analisis data pada penelitian ini penulis menggunakan metode ushul fiqh, analisis deduktif dan
komparatif. Deduksi
adalah langkah dalam penelitian dari bahan-bahan yang terkumpul ditarik satu kesimpulan, dalam hal ini analisis terhadap metode istinbat hukum kedua organisasi Islam tersebut dijadikan satu acuan dalam pemahaman hukum wanita menjadi pejabat publik. Adapun komparatif adalah memaparkan relasi antara dua organisasi Islam diatas dengan membandingkan antara keduanya.
20
Komparasi ini menentukan kesamaan dan perbedaan putusan serta metode istinbat hukum kedua organisasi Islam tersebut.
G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bab pertama, berisi tentang pendahuluan yang memuat: Latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian (jenis penelitian, metode pendekatan, bahan penelitian, teknik pengumpulan data dan metode analisis data), dan sistematika penulisan. 2. Bab kedua, Gambaran umum Majelis Tarjih Muhammadiyah dan metode Istinbat Hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah, meliputi: a. Sejarah lahirnya Muhammadiyah b.
Majelis Tarjih Muhammadiyah
c. Metode Istinbat Hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah. d. Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang wanita sebagi pejabat Publik 3. Bab ketiga, Gambaran umum Lembaga Bahtsu Masail NU dan Metode Istinbat Hukum Bahtsu Masail NU, meliputi: a. Sejarah lahirnya NU b. Lembaga Bahtsu Masail NU c. Metode Istinbat Hukum Bahtsu Masail NU.
21
d. Fatwa Lembaga Bahtsu NU Tentang Wanita Sebagai Pejabat Publik. 4. Bab
keempat,
Analisis
Komparatif
Putusan
Majelis
Tarjih
Muhammadiyah dan Lembaga Bahtsu Masail NU Tentang Wanita Sebagai Pejabat Publik. a. Segi Persamaan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Lembaga Bahtsu Masail NU Tentang Wanita Sebagai Pejabat Publik. b. Segi Perbedaan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Lembaga Bahtsu Masail NU Tentang Wanita Sebagai Pejabat Publik. 5. Bab kelima, merupakan penutup yang meliputi kesimpulan dan saran.
22
BAB II KEPUTUSAN MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH TENTANG WANITA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK SERTA METODE ISTINBAT HUKUMNYA
A. Sejarah Lahirnya Muhammadiyah Muhammadiyah didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan pada tahun 1912, tepatnya pada tanggal 18 November (8 Dzulhhijjah 1330 H) di Yogyakarta kota yang disebut sebagai jantung ibukota kebudayaan Jawa. Melalui "Deklarasi Malioboro" dengan dihadiri oleh peserta sebanyak 70 orang.30 Lahirnya Muhammadiyah tidak
terlepas dari dinamika sejarah
perkembangan Islam di dunia pada umumnya, dan di Indonesia pada khususnya. Kelahiran Muhammadiyah tidak serta merta lahir dalam bentuk organisasi besar seperti yang kita lihat sekarang ini, namun melalui proses yang panjang dengan memerhatikan aspek lokalitas pada waktu itu dan konteks situasi dunia internasional. 31 Ada beberapa sebab yang bersifat obyektif yang melatarbelakangi berdirinya Muhammadiyah, yang sebagian dapat dikelompokan dalam faktor internal, yaitu faktor-faktor penyebab yang muncul di tengah-tangah kehidupan masyarakat Islam Indonesia, dan sebagiannya dapat dimasukan ke
30
James L. Peacock, Gerakan Muhammadiyah Memurnikan Ajaran Islam di Indonesia (Jakarta: Cipta Kreatif, 1986), hal. 31. 31 Mu'arif, Meruwat Muhammadiyah Kritik Seabad pembaruan Islam di Indonesia (Yogyakarta: Pilar Religia, 2005), hal. 258
23
dalam faktor eksternal, yaitu faktor-faktor penyebab yang ada di luar tubuh masyarakat Islam Indonesia. Dalam konteks situasi dunia internasional, utamanya dalam konteks perkembangan sejarah Islam yang terbagi kedalam tiga periode. Yaitu pertama, periode klasik yang dimuali tahun 650 M. Merupakan masa-masa kejayaan umat Islam yang kemudian berakhir dengan runtuhnya umat Islam saat kehancuran kota Baghdad. Kedua, periode pertengahan sekitar tahun 1250-1800 M. Puncak dari abad pertengahan sebagai abad suram bagi umat Islam ialah dengan jatuhnya Mesir di tangan kaisar Napoleon Bonaparte (tahun 1798 M). Ketiga, periode modern. Dimana merupakan masa-masa kebangkitan pasca kemunduran di abad pertengahan. Hal ini ditandai dengan memulai rintisan-rintisan tatanan kehidupan yang baru.32 Tatanan baru dunia Islam itu dimulai ketika runtuhnya Mesir di tangan Napoleon, kejadian ini telah menginsafkan umat Islam bahwa di luar mereka terdapat peradaban lain yang lebih maju. Dan mereka sadar bahwa peradaban Eropa lah yang telah mengalahkan umat Islam. Dari sini kemudian menjadi pemicu bagi beberapa tokoh umat Islam untuk mulai memikirkan nasib umatnya. Kemudian sacara berturut-urut memunculkan tokoh Islam yang membuka diri dan menerima sekaligus memahami kemajuan peradaban bangsa barat, dan semakin banyaknya tokoh Islam yang mengkaji peradaban barat, maka semakin kentara kelemahan-kelamahan umat Islam saat itu, dari sinilah justru melahirkan banyak gagasan untuk mengubah kondisi umat Islam
32
Ibid., hal. 259.
24
yang ketinggalan dari bangsa barat. Gagasan-gagasan pembaruan mulai bermunculan yang menandakan telah dibukanya abad baru yang kemudian disebut dengan "Abad Modern"33 Sementara di Arab Saudi muncul gerakan reaksioner yang dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Wahhab yang kemudian menamakan diri sebagai gerakan "Wahabbi". Gerakan ini merupakan reaksi keras terhadap pola keberagamaan umat islam yang semakin menjauhkan diri dari asas Fundamental ajaran agama Islam, yakni asas tauhid sebagai pokok ajaran Islam. Sementara di Mesir muncul sosok pembaru yang sangat radikal yaitu Jamaludin al-Afgani, kemunculan gerakan ini sebagai reaksi karas atas tiga kerajaan besar Islam saat itu. Beliau tampil dan mengkritik habis-habisan kebijakan pemerintahan Usmani. 34 Selain itu juga muncul Muhammad Abduh yang tidak lain adalah muridnya sendiri, hanya saja pemikiran keduanya sangat berbeda. Jika Jamaludin adalah orang yang aktif mengkritik kebijakan pemerintahan usmani dan sosoknya lebih mewakili sebagai seorang politis sejati. Sementara Muhammad Abduh lebih memfokuskan pemikirannya pada usaha pemahaman agama Islam, dan lebih konsisten di jalur pendidikan. Dari kemunculan tokohtokoh diatas telah melahirkan pembaru-pembaru dunia Islam untuk masa berikutnya. Sampai di Indonesia sendiri kita mengenal tokoh KH. Ahmad Dahlan pendiri persyarikatan Muhammadiyah.
33 34
Ibid., hal. 261. Ibid., hal 264.
25
Pada masa pendudukan Belanda, kondisi bangsa Indonesia dari masa ke masa mengalami penurunan kualiatas hidup yang cukup memprihatinkan. Kondisi itu bukan saja terjadi pada bangsa Indonesia, namun bagi umat Islam secara keseluruhan. Umat Islam mengalami persoalan hidup yang sulit, sehingga berimbas pada praktik pemahaman keagamaan yang telah tersinkretisasikan dengan budaya lokal. Islam murni sudah semakin jauh dari peredaran, karena dalam praktik pemahaman keagamaan itu telah tereduksi dengan ajaran-ajaran lain yang memang berseberangan terutama dalam hal ini berkaitan dengan persoalan akidah oleh karena itu, perbuatan-perbuatan dalam konteks kemusyrikan, takhayul, bidah dan khurafat semakin menjamur di mana-mana. 35 Pada akhir abad ke-19 Islam modern telah menyerukan untuk kembali kepada quran dan sunah, sebagai jargon pembaruan pemikiran Islam. Fenomena ini terjadi di hampir sebagian besar negara yang berpenduduk mayoritas Islam, khususnya di negara Islam yang tertindas. Secara umum, munculnya gagasan pembaruan ini di latar belakangi oleh kondisi internal umat Islam sendiri, di satu sisi banyak terjadi praktik ibadah yang menyimpang dari ajaran dasar, tetapi di sisi lain, muncul tokoh-tokoh Islam yang tercerahkan sebagai akibat pendidikan yang mereka peroleh. Di samping itu secara eksternal sebagian besar negara Islam berada di bawah belenggu penjajah sehingga hampir setiap gerak dan langkah umat Islam dibatasi dan bahkan dilarang. Di tengah-tengah kondisi seperti inilah lahir berbagai
35
Ibid., hal. 266.
26
gerakan pembaruan yang dipelopori oleh tokoh-tokoh Islam di berbagai negara Islam, termasuk Indonesia. Salah satu gerakan pembaruan yang lahir di bumi Indonesia adalah Persyarikatan Muhammadiyah. 36 Persoalan yang dihadapi oleh umat Islam pada saat itu telah menggerakan hati KH. Ahmad Dahlan untuk melakukan pembenahanpembenahan secara signifikan. Pertama, persoalan sosial, seperi kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan oleh KH. Ahmad Dahlan dijadikan agenda tersendiri dalam pengentasan sosial. Kedua, persoalan pemahaman keagamaan yang semakin tereduksi dengan tradisi-tradisi lokal oleh KH. Ahmad Dahlan dijadikan agenda tersendiri yang kemudian dikemas dalam konsep pembaruan (tajdid) sekaligus tanzih (purifikasi).37 Dua tipe perubahan yang diusung oleh KH.Ahmad Dahlan kemudian berkembang setelah diwadahi dalam sebuah persyarikatan (organisasi) yang disebut Muhammadiyah.
B. Majelis Tarjih Muhammadiyah Dalam organisasi Muhammadiyah Tarjih berarti: bermusyawarah bersama dari tokoh-tokoh ahli untuk meneliti, membandingkan, menimbang dan memilih dari segala masalah yang diperselisihkan karena perbedaan pendapat dikalangan umat awam, mana yang dianggap lebih kuat, lebih
36
Yusuf M. Yunan, Yusron Rozak, dan Sudarnoto Abdul Hakim (ed.), Ensiklopedi Muhammadiyah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 250. 37 Mu'arif, Op. Cit., hal. 267.
27
mendasar, lebih besar dan lebih dekat dari sumber utamanya ialah quran dan hadis. 38 Majelis Tarjih adalah suatu lembaga dalam Muhammadiyah yang membidangi masalah-masalah keagamaan, khususnya hukum bidang fikih. 39. Majelis ini dibentuk dan disahkan pada kongres Muhammadiyah XVII tahun 1928 di Yogyakarta, dengan KH mas Mansur sebagai ketuanya yang pertama. Dari namanya sebenarnya sudah dapat dilihat, bahwa Majelis ini didirikan pertama kali untuk menyelesaikan persoalan-persoalan khilafiyat, yang pada waktu itu dianggap rawan oleh Muhammadiyah, kemudian Majelis Tarjih itulah yang menetapakan pendapat mana yang dianggap paling kuat, untuk diamalkan oleh warga Muhammadiyah. Dalam perkembangan selanjutnya, Majelis Tarjih tidak sekedar mentarjihkan masalah-masalah khilafiyah, tetapi juga mengarah pada penyelesaian persolalan-persoalan
baru
yang
belum
pernah dibahas
sebelumnya, oleh karena itu tidak heran kalau banyak anggota Majelis Tarjih yang menuntut agar Majelis Tarjih diubah namanya menjadi Majelis Ijtihad. 40 Namun dengan alasan-alasan kesejarahan, sampai saat ini namanya tetap Majelis Tarjih, dan bukan Majelis Ijtihad seperti yang disarankan. 41 Fungsi dan tugas Majelis Tarjih Muhammadiyah diilhami oleh Qs. AlNur ayat 51. 38
Arbiya Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh: Suatu Studi Perbandingan (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hal. 91. 39 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta: Logos Publishing House, 1995), hal. 64 40 Amir Maksun, Pemahaman Tajdid dalam Muhammadiyah'', (makalah disampaikan pada Mukhtamar Tarjih ke XXII, 1989), hal. 15 41 Fathurrahman Djamil, Op. Cit, hal. 64.
28
"Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan Kami patuh". dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung." Maksudnya: di antara kaum muslimin dengan kaum muslimin dan antara kaum muslimin dengan yang bukan muslimin.
Dalam Muktamar Muhamadiyah ke-17 pada tahun 1928 di Yogyakarta pula dibuat pula anggaran dasar atau qaidahnya antara lain berbunyi: Bahwa Tugas Majelis Tarjih adalah:
1. Mengamat-amati perjalanan Muhammadiyah yang berhubungan dengan hukum-hukum agama. 2. Menerima, menyelidiki, dan mentarjihkan atau menetapkan hukum masalah khilafiyah yang diragukan hukumnya, yang memang penting dalam perjalanan Muhammadiyah. Penyelidikan dan pembahasan tersebut, hendaklah berdasarkan quran dan hadis dengan berpedoman pada usul fikih yang dipandang mu‟tabar, dan mementingkan riwayat dan maknanya; tidak mengutamakan aql di atas naql.42 Sesuai surat keputusan pimpinan pusat Muhammadiyah No. 6/1355 tahun 1936 bahwa Majelis Tarjih didirikan untuk menimbang dan memilih dari segala masalah yang diperselisihkan itu yang masuk dalam kalangan 42
http://miklotof.wordpress.com/2010/09/12/majlis-tarjih-dan-pengembangan-pemikiranislam-manhaj-dan-aplikasinya/. Diunduh 9 Januari 2012.
29
Muhammadiyah, mana yang dianggap kuat dan berdalil benar dari quran dan hadis. Majelis Tarjih mulai merundingkan sampai kepada menetapkan hasil penyelidikan dan pertimbangan pada dalil quran dan hadis itulah menjadi putusan Majelis Tarjih yang dapat menyatukan dan menjaga Muhammadiyah dari perselisihan yang tajam atau perpecahan pendapat.43 Tugas pokok Majelis Tarjih awalnya hanya membahas dan memutuskan masalah-masalah keagamaan yang diperselisihkan, dengan mengambil pendapat yang dianggap paling kuat, namun lebih lanjut banyak bidang yang dibahas dalam Majelis Tarjih ini, seperti yang diterangkan dalam agenda pembahasan Muktamar Tarjih, dalam Muktamar Tarjih yang pertama, tahun 1929, di Solo sampai Muktamarnya pada tahun 1953, hanya membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan ibadah, mulai dari masalah bersuci (Thaharah) sampai pelaksanaan ibadah haji, ditambah pembahasan jenazah dan wakaf. Pada tahun 1954 dan 1955 dibahas masalah sumber ajaran Islam secara global, dan dibahas pula masalah-masalah yang berhubungan dengan kegiatan warga Muhammadiyah secara praktis. 44 Pada tahun 1960 Muktamar Tarjih baru mulai mengadakan pembahasan mengenai masalah pembatasan kelahiran, perubahan dan hak milik, namun Muktamar yang diselenggarakan di Pekajangan Pekalongan ini tidak sampai mengambil keputusan, kemudian mulai tahun 1968 sampai yang terakhir
43
Yusuf M. Yunan, Yusron Rozak, dan Sudarnoto Abdul Hakim (ed.), Ensiklopedi Muhammadiyah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 44 Fathurrahman Djamil, Op. Cit, hal. 65.
30
tahun 1989 baru dibahas dan ditetapkan hukumnya mengenai berbagai masalah muamalah kontemporer.45 Muktamar Tarjih tahun 1968 di Sidoarjo membahas masalah bunga bank, keluarga berencana, nalo dan natto, pada tahun 1972 di wiradesa Pekalongan membahas asuransi atau pertanggungan, pada tahun 1976 di Garut membahas pengelolaan dan pendayagunaan harta dalam Islam dan etika wanita dalam Islam (adabu al‟ mar‟ah fi al-islam), kemudian pada tahun 1980 di Klaten membahas masalah bayi tabung dan pencakokan jaringan atau organ tubuh manusia dan terakhir tahun 1989 di Malang membahas masalah aborsi, perkawinan antar agama, asuransi dan lain-lain. 46 Dari sederetan agenda permasalahan yang dibahas dalam satu muktamar tarjih ke muktamar tarjih berikutnya, seperti telah dijelaskan diatas , dapat dipahami bahwa tugas pokok Majelis Tarjih tidak hanya terbatas pada masalah-masalah Khilafiyat dalam bidang ibadah saja, melainkan juga mencakup masalah-masalah muamalah kontemporer. Jadi, bidang garapan Majelis Tarjih sudah sangat luas, berbeda dari tugas dan kegiatan yang dilaksanakan pada saat lembaga itu didirikan. Sehubungan semakin banyak tugas yang harus dilaksanakan oleh Majelis Tarjih, maka pimpinan pusat Muhammadiyah pada tahun 1971 telah menetapakan Qaidah Lajnah Tarjih. Dalam pasal 2 Qaidah tersebut disebutkan, bahwa tugas Lajnah/Majelis Tarjih adalah sebagai berikut:
45 46
Ibid., hal. 66 Ibid.
31
1. Menyelidiki dan memahami ilmu agama Islam untuk memperoleh kemurniannya. 2. Menyusun tuntunan akidah, akhlak, ibadah, dan muamalah duniawiyyah. 3. Memberi fatwa dan nasihat, baik atas permintaan maupun Tarjih sendiri memandang perlu. 4. Menyalurkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih maslahat. 5. Mempertinggi mutu Ulama. 6. Hal-hal lain dalam bidang keagamaan yang diserahkan oleh pimpinan persyarikatan. 47
C. Metode Istinbat Hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah Himpunan Putusan Majelis Tarjih memutuskan bahwa dasar mutlak untuk berhukum dalam agama Islam adalah quran dan hadis. 48 Sedangkan ruang lingkup ijtihad bagi Muhammadiyah adalah: 1. Masalah-masalah yang terdapat dalam dalil zhanny, dan 2. Masalah-masalah yang secara eksplisit tidak terdapat dalam quran dan Sunah. Majelis Tarjih Muhammadiyah membedakan tiga istilah teknis dalam ijtihad. Yaitu: metode, pendekatan dan teknik. Metode ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah adalah:
47
Ibid., hal. 67. Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah: Cetakan ke 3 (Yogyakarta: Pustaka SM, t.t), hal. 278. 48
32
a. Bayani (semantik), yaitu metode istinbat hukum dengan pendekataan kebahasaan. Ijtihad ini merupakan usaha mendapatkan hukum dari nash-zhanni dengan mencari dasar-dasar interpretasi atau tafsir. Misalnya dalam contoh yang dikemukakan oleh Dr. Muhammad Ma'ruf al-Dawalibiy ialah ijtihad dalam memahami ayat 41 surat al-Anfal, oleh Umar bin Khattab sesudah wafatnya Rasulullah Saw. Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa semua ghanimah yang diperoleh kaum muslimin pertama-tama harus diambil seperlimanya untuk Allah dan Rasul. Maksudnya, untuk keperluan yang berhubungan dengan kemaslahatan agama. Juga untuk kepentingan Rasul dan keluarganya. Pada bagian seperlima itu juga diberikan kepada anak yatim, fakir, miskin dan ibnu sabil. Sisa yang empat perlimanya dibagikan kepada para mujahid yang ikut berperang.49 Dalam menjelaskan pelaksanaan ijtihad bayani, Muhammad Ma'ruf al- Dawalibiy mengemukakan peristiwa pembagian ghanimah yang berupa tanah Khaibar, tidak dibagi empat perlimanya untuk mujahid yang ikut perang. Tetapi, untuk kepentingan seluruh kuam muslimin. Pada saat itu Umar bin Khatab setelah melihat bahwa makin luasnya daerah yang dikuasai Islam, memerlukan biaya yang besar. Maka menurutnya pembagian yang demikian perlu dipikirkan agar tanah-tanah itu tidak terkumpul pada orang yang ikut berperang saja. Lalu Umar menentukan ijtihadnya bahwa harta bergerak tetap dibagi sesuai ketentuan nash yaitu 49
Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah: Metodologi dan Aplikasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 115.
33
seperlima untuk Allah dan Rasulnya serta anak yatim dan fakir miskin, sementara untuk harta tidak bergerak (tanah) tidak dibagi kepada orang yang
ikut
berperang,
mengingat
makin
banyaknya
pembiayaan
pemerintahan Islam makin banyak. Pertimbangannya adalah agar harta tidak hanya dinikmati oleh orang yang ikut perang saja. 50 b. Qiyasi.(analogi) Ijtihad ini dilakukan untuk mendapatkan hukum suatu masalah yang tidak ada nasnya secara langsung, seperti menghisap ganja. Tetapi ada nas quran maupun sunah yang menunjukan keharamannya, seperti keharaman khamr. Dengan mendasarkan masalah yang akan dicari hukumnya, seperti menghisap ganja itu, tidak didapati pada quran dan hadis yang ada kesamaan adalah larangan quran tentang khamar. Menyamakan hukum keharaman ganja dengan hukum keharaman khamar dalam usul fikih disebut
dengan
menetapkan
hukum
berdasarkan
qiyas.
Yaitu
mempergunakan alasan dengan jalan ijtihad dan istinbat dari pada nas-nas yang ada, melalui persamaan 'illat sebagimana telah dilakukan oleh ulamaulama salaf dan khalaf. 51 c. Istislahi (filosofis), yaitu metode istinbath hukum dengan pendekatan kemaslahatan. 52 Yaitu mencari ketentuan suatu masalah yang tidak ada ketentuan hukumnya berdasarkan nas, baik yang melarang maupun memerintah
50
Ibid., hal. 115-116. Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Loc. Cit. 52 Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam (Yogyakarta: UII Press, 2002), hal. 17651
177.
34
dengan dasar kemaslahatan yang akan dicapai. Ijtihad dalam hal ini adalah melakukan sejauh mana maslahah yang akan dicapai dan kemungkinan mafsadah yang akan timbul.53 Sedangkan pendekatan Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam berijtihad adalah pendekatan: a. Sejarah b. Sosiologi c. Antropologi d. Hermenetik. Adapun teknik ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah adalah:; a. Ijmak b. Qiyas c. Maslahah Mursalah d. Al 'urf. Apabila terjadi pertentangan beberapa dalil yang masing-masing menunjukan ketentuan hukum yang berbeda-beda (ta'arudh al-adillat), langkah –langkah yang ditempuh oleh Majelis Tarjih adalah: a. Al-jam'wa al-tawfiq, yaitu menerima semua dalil yang walaupun secara eksplisit terhadap pertentangan. Sedangkan untuk kebutuhan praktis, Majelis Tarjih mempersilahkan umatnya untuk memilih salah satu dalil tersebut.
53
Asjmuni Abdurrahman, Op., Cit. hal. 108.
35
b. Al-tarjih, yaitu memilih dalil yang lebih kuat untuk diamalkan dan meninggalkan dalil yang lebih lemah. c. Al- naskh, yaitu mengamalkan dalil yang munculnya lebih akhir. d. Al-tawaqquf, yaitu menghentikan penelitian terhadap dalil yang dipakai dengan cara mencari dalil yang baru.54 Dalam menggunakan hadis, Muhammadiyah lebih menekankan pada kritik sanad. Bahkan dalam menerima hadis dha‟if sebagai hujah pun, tolak ukur yang digunakan adalah hadis itu harus diriwayatkan dengan sanad yang banyak. Dalam menggunakan hadis terdapat beberapa kaidah yang telah menjadi keputusan Majelis Tarjih sebagai berikut: 1. Hadis mauquf belaka tidak dapat dijadikan hujah. Yang dimaksud dengan hadis mauquf adalah apa yang telah disandarkan kepada sahabat baik ucapan maupun perbuatan dan yang semacamnya, baik bersambung atau tidak. 2. Hadis mauquf yang termasuk hukum marfu‟ dapat menjadi hujah. 3. Hadis mauquf termasuk hukum marfu‟ apabila ada qarinah yang dapat dipahami kemarfu'annya kepada Rasulullah. 4. Mursal Tabi'in tidak bisa dijadikan hujah. 5. Hadis Mursal Tabi'in dapat dijadikan hujah apabila hadis itu besertakan qarinah yang menunjukan persambungan sanadnya. 6. Mursal Shahabi dapat dibuat hujah, apabila terdapat qarinah yang menunjukan persambungnnya.
54
Ibid., hal. 177.
36
7. Hadis-hadis daif yang menguatkan satu dengan lainnya tidak dapat dijadikan hujah, kecuali jika banyak jalan periwayatannya, ada qarinah yang dapat dijadikan hujah dan tidak bertentangan dengan quran dan hadis. 8. Jarh itu didahulukan dari pada ta'dil sesudah keterangan yang jelas dan sah menurut anggapan syara'. 9. Riwayat orang yang terkenal melakukan tadlis dapat diterima bila ia menerangkan bahwa apa yang ia riwayatkan itu bersanad sambung, sedang tadlisnya itu tidak sampai tercela keadilannya. 10. Faham Shahabi akan perkataan musytarak pada salah satu artinya wajib diterima. 11. Penafsiran Shahabi atas arti kata-lahir kepada lainnya, maka arti lahir itulah yang diamalkan. 55 Metode tarjih terhadap nas yang dilakukan oleh Majelis Tarjih dengan memperhatikan beberapa segi: (1). Sanad, tarjih terhadap sanad dilakukan dengan memperhatikan: a. Kualitas dan Kuantitas Rawi, b. Bentuk dan sifat periwayatan, dan c. Sighat penerimaan dan pemberian hadis (kayfiyyat al-tahammul wa alada'). (2). Matan, tarjih terhadap sanad dilakukan dengan memperhatikan:
55
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah: Cetakan ke 3 (Yogyakarta: Pustaka SM, t.t), hal. 300-301.
37
a. Matan yang menggunakan sighat cegahan (al-nahy) lebih diutamakan dari pada matan yang menggunakan sighat perintah (amr), dan b. Matan yang menggunakan sighat khusus (al-khas) lebih diutamakan atas matan yang digunakan sighat umum (al-'amm). (3) Materi hukum, dan (4) Eksternal.56 Ijmak yang diterima hanyalah yang terjadi pada masa sahabat Nabi. Pola seperti ini pada dasarnya hasil adopsi dari mazhab Hanbali. Di mana menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, “Imam Ahmad dan Syafi‟i mengatakan bahwa barang siapa yang mengakui ijmak sebagai dasar hukum, ia telah berdusta, sebab mungkin masih ada seorang mujtahid yang tidak setuju.” Karena itu, sangat sulit untuk mengetahui terwujudnya ijmak sebagai dasar hukum. Apabila ada orang yang bertanya, apakah ijma‟ itu bisa terjadi? Menurut Imam Ahmad, jawabannya yang paling tepat adalah, “La na‟lam alnash ikhtalafu.” Karenanya, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, sebagai penganut mazhab Hanbali, menyatakan tidak menerima ijmak kecuali ijmak yang dilakukan para sahabat.57 Qiyas yang diterima oleh Muhammadiyah dengan catatan tidak mengenai masalah ibadah mahdhah. Kelima, Men-ta‟lil (dalam arti menggali hikmah dan tujuan hukum) dapat digunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil Quran dan Hadis. Menurut Muhammadiyah, kemaslahatan umat merupakan sesuatu yang harus diwujudkan. Karena itu, dalam masalah56
Jaih Mubarok, Op. Cit., hal. 177-178. http://ahmadrajafi.wordpress.com/2011/02/08/ijtihad-eksklusif-telaah-atas-pola-ijtihad-3ormas-islam-di-indonesia/ Diakses 14 Januari 2012 57
38
masalah yang berhubungan dengan muamalah, peranan akal cukup besar, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan itu. Pola ini dalam usul fikih disebut dengan mashlahat al-mursalah, sebuah teori yang diterapkan oleh Imam Malik. Dimana menurut Ramadan al-Buti, kemaslahatan dunia itu pada dasarnya juga untuk meraih kemaslahatan akhirat. Metode lain yang digunakan oleh Muhammadiyah adalah sadd al-dzari‟ah, yaitu kebalikan dari istihsan. Dalam nas membolehkan melakukan sesuatu itu. Tetapi, kalau dibolehkan itu dibuka sama sekali dalam kondisi tertentu akan membawa mafsadah (kerusakan), maka patut dilarang, dengan dasar sadd al-dzari‟ah. Artinya menutup sesuatu (yang dibolehkan) yang dapat menuju kerusakan.58
D. Keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah Tentang Wanita Sebagai Pejabat Publik. Wanita sebagai pejabat publik mengisyaratkan adanya wilayah dengan karakteristik kerjanya sebagai kegiatan kemasyarakatan dalam makna yang luas. Istilah ini sering didikotomikan dengan wilayah “domestik”, yaitu wilayah dengan karakteristik kerjanya pada kegiatan sosial dalam arti terbatas, yaitu kegiatan kerumahtanggaan. Dengan demikian batasan pembahasan wanita sebagai pejabat publik adalah kegiatan perempuan muslim di wilayah kerja dengan kegiatan-kegiatan sosial dalam arti yang luas. Yaitu perempuan dalam kiprahnya di masyarakat luas. 59
58
. Asjmuni Abdurrahman, Op. cit., hal 108. Wawan Gunawan dan Evie Shofa Inayati (ed.), Wacana Fiqh Perempuan dalam Perspektif Muhammadiyah (Yogyakarta: Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah Yogyakarta, 2005), hal.60. 59
39
Dalam
keputusan
Muktamar
Tarjih
XVII
di
Wiradesa
dan
disempurnakan pada muktamar XVIII di Garut tentang “Adabul Mar‟ah Fil Islam” dinyatakan bahwa agama tidak monolak atau menghalang-halangi seseorang wanita menjadi hakim, direktur sekolah, direktur perusahaan, camat, lurah, menteri, walikota dan sebagainya. 60 Tentang hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, an-Nas'i, at-Turmudzi dan Ahmad dari Abu Bakrah:
)لي يفلح قىم ولىا أهزهن ام رأة ( رواه البخاري والنسائ والتزهذي واحود “tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita”, Majelis Tarjih PP Muhammadiyah tidak melihat adanya dalil-dalil yang merupakan nas bagi pelanggaran wanita menjadi pemimpin. Karena itu Majelis Tarjih PP Muhammadiyah berkesimpulan, sesuai dengan putusan Wiradesa tersebut boleh wanita menjadi direktur Rumah Sakit dan boleh hukumnya wanita menjadi pejabat publik lainnya. Keputusan ini berlandaskan pada quran surat at-Taubah ayat 71.
60
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tuntunan Adabul Ma'rah Fil Islam: Keputusan Muktamar Majlis Tarjih Muhammadiyah ke XVIII di Garut (Yogyakarta:Pustaka SM, 1982), hal. 41.
40
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan RasulNya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." Dari ayat di atas dijelaskan bahwa laki-laki dan wanita mukmin, mereka dengan sebagian yang lain mengerjakan amar ma'ruf dan nahi munkar, memerintahkan kebajikan dan mencegah kejahatan. Termasuk dalam wilayah advokasi ini adalah persoalan-persoalan sosial politik atau ketatanegaraan dimana mereka secara bersama-sama ikut mengarahkan dan melakukannya. Oleh karenanya, dalam hal yang berkaitan dengan soal kemakmuran rakyat dan keamanan negara kaum wanita ikut bertanggung jawab.61 Metode ijtihad yang digunakan dalam bidang sosial keagamaan ini adalah bahwa Muhammadiyah mengaitkan dan mendialogkan antara teks dan konteks. Mengkritisi aspek historis pemahaman umat terhadap nas-nas dan teks-teks keagamaan termasuk nas-nas quran dan hadis. Untuk itu Muhammadiyah selalu memperhatikan perkembangan budaya umat manusia dalam mensikapi perubahan tatanan sosial kegamaan. 62 Berkaitan dengan wanita sebagai pejabat publik termasuk dalam bidang sosial keagamaan yang mana hal ini termasuk urusan dunia, semantara dalam Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah yang dimaksud dengan urusan dunia dalam sabda Rasulullah saw. "kamu lebih mengerti urusan duniamu" ialah segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi 61
Agus Purwadi (ed.), Islam &Problem Gender: Telaah Kepemimpinan Wanita Perspektif Tarjih Muhammadiyah (Malang: Aditya Media, 2000), hal. 13. 62 Ibid., hal. 16.
41
(yaitu perkara-perkara/pekerjaan-pekerjaan/urusan-urusan yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia).63 Dalam pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih dijelaskan bahwa dalam hal-hal yang termasuk urusan dunia penggunaan akal sangat diperlukan, demi kemaslahatan umat. Hal ini sesuai dengan salah satu metode ijtihad yang dilakukan Muhammadiyah yaitu metode ijtihad istishlahi, dimana kemaslahatan umatlah yang akan dicapai. Dalam hal ini usaha yang dilakukan adalah penelitian sejauh mana maslahah yang akan dicapai dan kemungkinan mafsadah yang akan muncul. Jika dalam penelitian terhadap nas quran maupun hadis terdapat maslahah maka lakukan, dan jika kemungkinan terdapat mafsadah, maka hindari. 64 Konteks kehidupan wanita dalam era kontemporer sangat berbeda dengan konteks mereka pada masa klasik. Kemampuan dan kelebihan yang dahulu dimiliki laki-laki kini telah dapat digantikan oleh kecanggihan tegnologi sehingga tidak sedikit wanita saat ini yang melebihi kemampuan laki-laki. Dengan demikian maka tidak dipermasalahkan lagi jika wanita ikut berperan dalam sektor publik, dengan tetap mengacu kepada kemaslahatan bersama yang akan dicapai. Hadis yang melarang mengangkat perempuan untuk menjadi pemimpin harus dipahami sebagai ungkapan sementara sesuai dengan kedaan zaman waktu itu, sementara zaman sekarang keadaan sudah berbeda. Oleh karena itu, tidak relevan lagi mempersoalkan boleh-tidaknya perempuan menjadi Hakim (pemimpin). 63 64
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Op. Cit., hal. 276. Asjmuni Abdurrahman, Loc.Cit.
42
Dalam putusan Tarjih Adabul Mar‟ah fil Islam memuat dua bab tentang perempuan dan kaitannya dengan masalah politik, yaitu bab VII dengan judul “ Wanita Islam dalam Bidang Politik,” dan bab VIII dengan judul “Bolehkah Wanita Menjadi Hakim?” kedua bab ini sesungguhya menggambarkan apresiasi Tarjih terhadap wanita dan mendukung bahkan mewajibkan wanita berperan secara menentukan dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan secara umum. Mengenai peran politik perempuan dalam Adabul Mar‟ah Fil Islam ditegaskan bahwa peranan wanita dalam bidang politik dibedakan menjadi dua bagian: Pertama, peranan yang langsung berupa praktik politik dalam badanbadan legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat darri pusat sampai ke daerah. Dalam hal ini kaum wanita harus ikut serta dan berjuang untuk mencapai jumlah perwakilan yang memadai. Kedua, peranan tidak langsung, yaitu disalurkan dari rumah tangga, ditengah-tengah masyarakat dengan mengambil bagian aktif dan mengisi kesempatan-kesempatan bermanfaat di dalam masyarakat. Di dalam bidang tersebut kaum wanita harus dapat mengambil peranan yang menentukan. 65 Mengenai kepemimpinan perempuan, Putusan Tarjih dalam Adabul Mar‟ah Fil Islam dapat dipahami memberikan apresiasi dan afirmasi atas kebolehan perempuan menjadi pemimpin. Pada sebuah paragraf ditegaskan bahwa tidak ada alasan dalam agama untuk menghalang-halangi atau menolak perempuan menjadi hakim, direktur sekolah, direktur perusahaan, camat,
65
Wawan Gunawan dan Evie Shofa Inayati (ed.), Op. cit,. hal. 49
43
lurah, walikota, menteri, dan sebagainya. Meskipun Putusan Tarjih tidak menyebut secara tegas kebolehan perempuan menjadi kepala negara, namun semangat dari keseluruhan putusan ini tidak mengingkari hal tersebut. Putusan Tarjih memang tidak mengemukan argumentasinya secara gamblang dan sistematis, namum dari keseluruhan apa yang dikemukakan di dalamnya dapat dipahami hal-hal sebagai berikut: 1. Bahwa menurut Putusan Tarjih sesuai dengan Qs, 4: 124 dan 9: 71, setiap orang mukmin, perempuan dan laki-laki secara sama, bertanggung jawab dalam perbuatannya menyangkut dirinya sendiri dan ibadahnya kepada Allah, di samping mengenai urusan kemasyarakatan dan publik pada ummnya. Dalam bahasa putusan tersebut ”wanita dan laki-laki bertanggung jawab di lapangan amar ma‟ruf nahi munkar dalam hal menegakan keadilan dan mencegah kelaliman.” Dari dasar pemikiran seperti ini, maka dipahami bahwa kesempatan untuk memimpin sebagai perwujudan dari tanggung jawab masing-masing sama antara kedua jenis tersebut dan tidak ada alasan untuk mengingkari hak wanita yang berarti mengingkari tanggung jawab kemasyarakatannya yang tegas-tegas telah dinyatakan quran. Meskipun dalam kenyataan, laki-laki mempunyai sifat ketegaran dan kekuatan yang menyebabkannya secara sosiologis berperan lebih banyak dalam kehidupan publik, namun-demikian kurang lebih pemahaman Tarjih-tidak diingkari bahwa wanita dalam lapangan maknawi dapat berkembang setara dengan laki-laki.” Dalam hal demikian agama
44
tidak mengecam atau menghalang-halangi perkembangan jenis manapun selama hidup manusia tetap dalam kebaktiannya kepada tuhan.” 66 2. Adapun hadits Abu Bakrah “Tidak akan beruntung golongan orang yang menyerahkan kekuasaan urusan mereka pada wanita” merupakan suatu ungkapan sementara yang dikaitkan dengan gambaran tertentu pada masa tertentu dan bentuk tertentu yang pernah dialami umat manusia di masa silam yang jauh-suatu keadaan yang sukar dicari persamaanya dimasa kini. Dengan demikian pada masa sekarang tidak tepat lagi dipersoalkan bolehkah perempuan menjadi Hakim. 3. Mengenai Q.S. 4: 34, ar-rijalu qawwamu-na „ala an-nisa‟. Putusan Tarjih mempunyai pemahaman yang khas. Putusan tersebut tidak menerjemahkan ayat qawwam-una dalam ayat tersebut dengan pemimpin sebagaimana lazimnya di kalangan ulama, melainkan “laki-laki adalah penegak tanggung jawab atas wanita.” Atas dasar itulah kemudian dinyatakan bahwa agama tidak menolak dan menghalang-halangi kepemimpinan wanita. 67
66 67
Ibid., hal. 50 Ibid., hal. 51
45
BAB III FATWA LEMBAGA BAHTSUL MASAIL NU TENTANG WANITA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK SERTA METODE ISTINBAT HUKUMYA
A. Sejarah Lahirnya Nahdlatul Ulama (NU) Secara etimologi, Nahdlatul Ulama terdiri dari dua kata bahasa arab, Nahdlah artinya bangkit, bangun, loncatan dan al-ulama artinya kelompok agamawan. Sedangkan secara epistemologis, Nahdlatul Ulama adalah komunitas cendekiawan (ulama) yang mampu menerima, melestarikan dan meneruskan tradisi dan budaya generasi sebelumnya serta mampu melakukan eksplorasi, inovasi dan kreasi yang lebih baik dan bermanfaat. Dengan demikian Nahdlatul Ulama secara spesifik mempunyai kesadaran historis dan kemampuan mereformasi kondisi yang secara kultural maupun pemikiran kurang relevan. 68 Nahdlatul Ulama (NU) didirikan pada 31 Januari 1926 oleh sejumlah tokoh ulama tradisional dan usahawan Jawa Timur. Pembentukannya seringkali dijelaskan sebagai reaksi defensif terhadap berbagai kelompok reformis, Muhammadiyyah, dan kelompok modernis moderat yang aktif dalam gerakan politik Sarikat Islam (SI). 69 Sisi lain terhadap perkembangan politik dan paham keagamaan tingkat internasional. Oleh karenanya ada tiga
68
Hilmy Muhammadiyah dan Sulthan Fatoni, NU: Identitas Islam Indonesia (Jakarta: eLSAS Jakarta), hal. 120. 69 Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru , terjemahan Farid wajid (Yogyakarta: LKis,1999), hal. 17.
46
penyebab yang mendorong lahirnya NU, yaitu: (1) gerakan pembaharuan di Indonesia (2) kepentingan politik, dan (3) perkembangan Timur Tengah. 70 Pertama, gerakan pembaharuan di Indonesia. Muhammadiyyah dikenal sebagai gerakan pembaharuan di Indonesia, oleh Deliar Noer dimasukan dalam gerakan modern di Indonesia. Ide-ide pembaharuan Muhammadiyyah diwujudkan dalam dua dimensi, yaitu purifikasi dan modernisasi. Purifikasi dengan cara memberantas bidah, khurafat dan tahayul serta berbagai amalan yang bersifat sinkretis. Muhammadiyah menentang taklid dan menganjurkan ijtihad sebagaimana yang dianjurkan oleh para pembaharu dari Timur Tengah yang dibangun oleh Muhammad Abdul Wahab yang kemudian berkembang menjadi aliran wahabi.
Ijtihad sebagai trade mark kelompok pembaharu
mendapat tantangan dari kaum tradisional (NU). Sebagai contoh adalah Fakih Usman yang menyatakan bahwa belajar agama Islam, tidak seharusnya bersumber dari kitab-kitab Imam mazhab, tetapi hendaklah dilihat dari sumber aslinya quran dan hadis. Sementara kaum tradisional mempertahankan metode mazhab dalam memahami ajaran Islam, bahkan mengikuti salah satu dari empat mazhab (Maliki, Hanafi, Syafi‟i, Hanbali) adalah wajib. Logikanya cukup sederhana, bahwa para imam itu adalah orang-orang pilihan yang tidak diragukan sedikitpun kedalaman dan pemahaman agama, dibandingkan dengan generasi yang datang kemudian. 71 Kedua, kepentingan politik. Menurut Alfian, NU lahir karena ulamaulama pesantren terpinggirkan dalam persaingan politik nasional. Sarekat 70
Sudarno Shobron, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam Pentas Politik Nasional (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2003), hal. 38 71 Ibid., hal. 38-39.
47
Islam (SI) didominasi perannya oleh orang-orang kota yang terdiri dari (1) intelektual Islam berpendidikan Barat, misalnya H.O.S Tjokroaminoto, Haji Agus salim dan Abdul Muis, (2) para santri yang menganut paham paham modernisme Islam, terutama anggota Muhammadiyah. Para ulama dan kyai yang bermazhab, penganut paham tradisional tidak mempunyai peranan penting dalam lembaga tersebut. SI sendiri merupakan salah satu wadah perjuangan politik yang berbasis pada Islam namun berideologi kebangsaan, sangat strategis untuk menyalurkan aspirasi politik umat Islam. Para kyai dan ulama dari kalangan pesantren di pedesaan kalah bersaing merebut pos-pos strategis dalam partai. Dengan demikian, dapat pula disimpulkan bahwa karena faktor tempat, kalangan Islam modernisme memperoleh akses yang lebih besar untuk berkiprah di SI, sementara pada saat yang bersamaan terjadi proses penolakan terhadap ulama yang berbasis pedesaan. Dari sinilah cikal bakal ketegangan dan konflik semakin terbuka, dan semakin jelas pada saat pertemuan tokoh-tokoh Islam berbagai aliran dalam kongres Al-Islam. 72 Kongres Al-Islam Indonesia makin menampakan perbedaan pandangan antara kaum pembaru dengan kaum tradisionalis. Pada bulan Januari 1926, sebelum Kongres Al-Islam di Bandung, suatu rapat antar organisasi-organisasi pembaru di Cianjur memutuskan untuk mengirim utusan yang terdiri dari dua orang pembaru ke Mekah. Satu bulan kemudian, Kongres Al-Islam tidak menyambut baik gagasan Kiai Wahab yang menyarankan agar usul-usul kaum tradisionalis mengenai praktek keagamaan dibawa oleh delegasi Indonesia.
72
Ibid., hal. 39-40.
48
Penolakan tersebut telah menyebabkan kaum tradisionalis memperjuangkan kepentingan mereka dengan cara membentuk Komite Hijaz, untuk mewakili mereka di hadapan Raja Sa'ud. Untuk memudahkan tugas ini, pada tanggal 31 Januari 1926 diputuskan untuk membentuk suatu organisasi yang mewakili Islam tradisionalis, yaitu Nahdlatul Ulama. Adapun mandat yang di bawa delegasi untuk diserahkan kepada Raja Sa'ud berupa permintaan mengenai kemerdekaan bermazhab. NU juga memohon agar tetap diramaikannya tempat-tempat bersejarah, permintaan kaum tradisionalis berkaitan dengan empat mazhad dikabulkan oleh Raja dalam surat balasanya sedangkan hal-hal lain tidak ditanggapi sama sekali. 73 Ketiga, perkembangan Timur Tengah. Aliran Wahabi yang sangat keras terhadap praktek-praktek syirik, bidah, khurafat, dan tahayul menjadi penyebab lahirnya NU. Sesungguhnya pemicu berdirinya NU adalah tindakan penguasa baru Arab Saudi berpaham Wahabi yang telah berlebih-lebihan dalam menerapkan program pemurnian ajaran Islam. Kala itu pemerintahan, antara lain menggusur beberapa petilasan sejarah Islam dengan dalih mencegah kultus individu. Mereka juga melarang kegiatan mauludan, bacaan berzanji, diba‟aan dan sebagainya. Alasan yang selanjutnya adalah keinginan untuk menempatkan diri sebagai penerus khalifah tunggal dunia Islam. Disamping berdirinya Kerajaan Saudi Arabia yang mengusung paham wahabi juga
runtuhnya
kesultanan
Turki.
Tentunya
gerakan
wahabi
telah
mempengaruhi proses percepatan kelahiran Nahdaltul Ulama. Satu sisi NU 73
Andree feillard, NU Vis-à-vis: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna terjemahan Lesmana (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 1999), hal. 11-12.
49
merupakan perwujudan dari gerakan ulama tradisional. Wahabi adalah gerakan modernis yang anti tradisi. 74 Nahdlatul ulama
mewujudkan
cita-cita
dan
tujuannya
melalui
serangkaian ikhtiyar yang didasari oleh dasar-dasar faham keagamaan yang membentuk kepribadian khas Nahdlatul Ulama. Inilah yang kemudian disebut Khittah Nahdlatul Ulama. Adapun pengertian dari khittah adalah: a. Khittah Nahdlatul Ulama adalah landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga Nahdlatul ulama yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi serta dalam setiap prosees pengambilan keputusan. b. Landasan tersebut adalah faham Islam Ahlusunah waljamaah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia, meliputi dasardasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan. c. Khittah Nahdlatul Ulama juga digali dari intisari perjalanan sejarah khidmahnya dari masa ke masa. 75 Adapun dasar-dasar faham keagamaan NU adalah sebagai berikut: a. Nahdlatul Ulama mendasarkan faham keagamaan kepada sumber ajaran agama Islam: Alquran, Sunah,Ijma, dan Qiyas. b. Dalam memahami, menafsirkan Islam dan sumber-sumbernya diatas, Nahdlatul
Ulama
mengikuti
faham
Ahlusunah
waljamaah
dan
mengguakan jalan pendekatan (mazhab):
74
Hilmy Muhammadiyah dan Sulthan Fatoni, NU: Identitas Islam Indonesia (Jakarta: eLSAS Jakarta), hal. 120. 75 Abdul Muchith Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah & Ajaran (Refleksi 65 Th. Ikut NU) (Surabaya: Khilista, 2006), hal. 25.
50
1. Di bidang akidah, NU mengikuti ahlusunah waljamaah yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan al-Asy'ari dan Imam Manshur al-Maturidzi. 2. Di bidang fikih, NU mengikuti jalan pendekatan (mazhab) salah satu dari mazhab Abu Hanifah an-Nu'man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal. 3. Di bidang tasawuf, mengikuti antara lain Imam al-Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali serta Imam-imam yang lain. c. Nahdlatul Ulama mengikuti pendirian, bahwa Islam adalah agama yang fitri, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki manusia. Faham keagamaan yang dianut NU bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi milik serta ciri-ciri suatu kelompok manusia seperti suku maupun bangsa, dan tidak bertujuan menghapus niali-nilali tersebut.76
B. Lembaga Bahtsul Masail NU Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama atau disingkat LBM NU adalah sebuah lembaga otonom Organisasi Masyarakat Nahdlatul Ulama yang berkecimpung pada pembahasan masalah-masalah kekinian yang berkembang di Masyarakat dengan berpedoman pada Quran dan Hadis dan Kutub at Turats para mujtahid terdahulu.77
76
Ibid., hal. 25-26. http://mtsfalakhiyah.wordpress.com/2011/01/07/lembaga-bahtsul-masail-nahdlatul-ulamalbm-nu/ Diakses tanggal 7 pebruari 2012. 77
51
Lajnah Bahtsul Masail NU (LBM) pada awalnya merupakan forum diskusi di kalangan ulama dan masyarakat pesantren jauh sebelum NU berdiri. Kegiatan ini berkembang secara kontiniu dan dinamis seiring dengan perkembangan sosial,
budaya, politik, dan ekonomi, terlebih pasca
kemerdekaan Indonesia mengalami transisi di berbagai bidang, karena banyak permasalahan yang muncul di kalangan masyarakat termasuk permasalahan fiqh. Pesantren merupakan intitusi sosial keagamaan yang dijadikan tempat bertanya, tradisi inilah yang kemudian terus membudaya dengan adanya forum-forum kajian ke Islaman di lingkungan warga NU terutama di pondok pesantren. Metode yang digunakan biasanya membahas pasal-pasal dalam kitab kuning. Kiai sebagai titik sentral merupakan simbol yang selalu diidolakan untuk dimintai fatwa. Dalam memberikan fatwa, nasehat atau pendapat para ulama, NU selalu membiasakan mengambil dari kitab-kitab imam mazhab yang empat atau para pengikutnya.78 Tradisi musyawarah antar pesantren itu dimasukan dalam salah satu agenda kegiatan NU sejak tahun berdirinya (1926), meskipun belum menggun akan istilah baku, seperti Bahtsul Masail. Istilah Lajnah Bahtsul Masail itu baru muncul belakangan setelah banyak tuntutan formalisasi forum musyawarah antar kiai tersebut. Istilah itu dimunculkan dalam Muhktamar ke 28 di Yogyakarta tahun 1989, melalui rekomendasi Komisi 1 (Bahtsul Masail) kepada PBNU untuk membentuk Lajnah Bahtsu Masail diniyyah (Lembaga 78
http://smujiono.blogspot.com/2011/05/metode-fatwa-nahdlatul-ulama.html tanggal 6 Pebruari 2012.
Diakses
52
Pengkajian Masalah-maalah Agama), sebagai lembaga permanen yang khusus menangani persoalan keagamaan.79 Kemudian rekomendasi Komisi 1 di atas didukung oleh halaqoh (sarasehan) Denanyar yang diadakan pada tanggal 26-28 Januari 1990 yang bertempat tinggal di PP. Mamba‟ul Ma‟arif Denanyar Jombang yang samasama merekomendasikan di bentuknya lembaga yang sama dengan harapan dapat menghimpun para ulama dan intelektual NU untuk melakukan istinbath jama‟i. Berkat desakan Mukhtamar XXVIII dan halaqah Denanyar tersebut maka pada tahun 1990 dibentuklah Lajnah Bahs al-Masa‟il Diniyyah (LBMD) secara
legal
formal
berdasarkan
Surat
Keputusan
PBNU
Nomor
30/A.1.05/5/1990.80 Forum ini bertugas mengambil keputusan tetang hukum-hukum Islam baik yang berkaitan dengan masail fiqhiyah (masalah fikih) maupun masalah katauhidan dan bahkan masalah-masalah tasawuf (tarekat). Forum ini biasanya diikuti oleh Syuriyah dan ulama-ulama NU yang berada di luar struktur organisasi termasuk para pengasuh pesantren. Masalah-masalah yang dibahas umumnya merupakan kejadian (waqi'ah) yang dialami oleh anggota masyarakat yang diajukan kepada Syuriyah oleh organisasi ataupun perorangan. Masalah-masalah itu setelah diinventarisasi oleh Syuriyah lalu diadakan skala prioritas pembahasannya. Dan apabila dalam pembahasan itu terjadi kemacetan (mauquf) maka akan diulang pembahasannya dan kemudian 79
Abdul Mughits, Kritik Nalar Pesantren (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2008), hal. 189-190. 80
Ibid., hal. 190.
53
dilakukan ke tingkat organisasi yang lebih tinggi: dari Ranting ke Cabang, dari Cabang ke Wilayah, dari Wilayah ke Pengurs Besar dan dari PB ke Munas dan pada akhirnya ke Mukhtamar.81 Sistem (proses) penetapan fatwa dalam bahtsul masail di lingkungan Nadlatul Ulama (NU) ditetapkan pada Musyawarah Nasional (MUNAS) alim ulama NU di Bandar Lampung tanggal 21–25 Januari 1992, sistem penetapan fatwa kemudian disempurnakan kembali melalui keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama nomor 02/Munas/VII/2006 tentang Fikrah Nadliyah. Fikrah Nahdliyah merupakan kerangka berfikir yang didasarkan pada ajaran Ahlulsunah waljamaah. Fikrah Nadliyah dijadikan dasar Nahdlatul Ulama (Khithah Nadliyah) termasuk dalam menetapkan fatwa hukum. Fikrah Nadliyah merupakan respon NU terhadap gelombang globalisasi, universal dan HAM. Menyadari perubahan teknologi, sosial budaya, dan ilmu pengetahuan begitu cepat Nahdlatul Ulama sebagai panutan terbesar di Indonesia harus memiliki sikap dan respon yang positif. 82
C. Metode Istinbat Hukum Lembaga Bahtsul Masail NU Metode pengambilan kesimpulan hukum Ulama Muhammadiyah dengan Ulama NU dalam masalah-masalah wa‟qiiyah yakni hal-hal yang terjadi di zaman sekarang sangat berbeda. Perbedaan ini pernah disampaikan oleh KH.
81
http://www.bahrudinonline.netne.net/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=133 Diakses tanggal 7 pebruari 2012. 82
http://smujiono.blogspot.com/2011/05/metode-fatwa-nahdlatul-ulama.html tanggal 7 Pebruari 2012.
Diunduh
54
Wahid Hasyim (1914-1953 M) salah seorang tokoh NU sebagaimana dikutip oleh Syam'ani Syaroni, bahwa Muhammadiyah melihat masalah dari atas kebawah- quran, sunah, baru pendapat ulama. Sedangkan NU melihat masalah dari bawah keatas-pendapat ulama,sunah baru quran.83 Pengertian istinbat hukum di kalangan NU bukan mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya, yaitu Quran dan Sunah akan tetapi sesuai dengan sikap dasar bermazhab, yaitu dengan memberlakukan secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya. Sedangkan istinbat dalam pengertian pertama (cenderung ke arah perilaku ijtihad yang oleh ulama NU dirasa sangat sulit karena keterbatasanketerbatasan yang disadari oleh mereka. Terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh yang namanya mujtahid. Sementara itu, istinbat dalam pengertiannya yang kedua, selain praktis, dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah mampu memahami ibarat kitabkitab fikih sesuai dengan terminologinya yang baku. Oleh karena itu, kalimat istinbat di kalangan NU terutama dalam kerja bahtsul masail-nya Syuriyah NU tidak populer karena kalimat itu telah populer di kalangan ulama NU dengan konotasinya yang pertama yaitu ijtihad, suatu hal yang oleh ulama Syuriyah tidak dilakukan karena keterbatasan pengetahuan. Sebagai gantinya dipakai kalimat bahtsul masail yang artinya membahas masalah-masalah waqi'ah
83
Sam‟ani Syaroni, Legalitas Wakaf Tunai Perspektif NU dan Muhammadiyah (pekalongan: Religia, No. 2, November, II, 2005), hal. 156.
55
(yang terjadi) melalui maraji'(referensi) yaitu kutubul-fuqaha (kitab-kitab karya para ahli fikih).84 Pendapat para ulama Syafi'iyah masih cukup dominan dalam forum bahtsul masa'il NU. Namun demikian perlu dijelaskan bahwa dominasi Syafi'i bukan berarti ulama NU menolak pendapat (aqwal) ulama di luar Sayif'iyyah. Hal itu dilakukan lantaran para kiai NU memang tidak mempunyai referensi lain di luar mazhab Syafi'i semisal kitab al-Mudawanah (Imam Malik), Kanzal al-Wushul (Bazdawi al-Hanafi), al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Ibnu Hazm), Raudhat al-Nadhir fi Jannat al-Munazhir (Ibnu Qudamah al-Hanbali) dan lain-lain. Karena itu tidak heran jika keputusan bahtsul masa'il selalu sarat dengan kitab-kitab Syafi'i mulai dari yang paling kecil semisal Safinat alShalah karya Imam Nawawi Banten sampai dengan yang paling besar seperti al-Umm atau al-Majmu'.85 Dalam hal ini, dominasi mazhab Syafi‟i telah mempengaruhi sendi, ritus (kredo), dan sikap umum keagamaan masyarakat. Mazhab syafi‟i sebagai representasi mazhab hukum telah menjadi perwujudan nyata dan terpenting dari peradaban Islam di Indonesia. 86 Menurut Bruinessen, dominasi mazhab Syafi‟I di Nusantara ini juga disebabkan karena banyaknya ulama Nusantara
84
Tim Lajnah Ta‟lif Wan Nasyr (LTN) PBNU, Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Mukhtamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010) (Surabaya, Khalista, 2011), hal. ix. 85 Ibid. 86 Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatiris Hingga Emansipatoris (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2005), hal. 216.
56
yang belajar dengan para ulama Kurdi yang bermazhab Syafi‟I yang tinggal di Makkah dan Madinah pada abad XVII M.87 Adapun metode istinbat hukum dalam Lembaga Bahtsu masil NU tidak jauh beda dengan LBM pesantren. Secara garis besar metode itu ada empat, yaitu metode qauli, taqrir jama‟i, dan manhaji.88 Metode qauli. Metode ini adalah suatu cara istinbat hukum yang digunakan oleh ulama/intelektual NU dalam Lajnah Bahsul Masail dengan mempelajari masalah yang dihadapi, kemudian mencari jawabannya pada kitab-kitab fiqh dari mazhab empat, dengan mengacu dan merujuk secara langsung pada bunyi teksnya. Atau dengan kata lain, mengikuti pendapatpendapat yang sudah “jadi” dalam lingkup mazhab tertentu.89 Walaupun penerapan metode ini sudah berlangsung lama, yakni sejak pertama kali dilaksanakannya bahtsu masail (1926), namun hal ini baru secara eksplisit dinyatakan dalam keputusan Munas Alim Ulama di Bandar Lampung (21-25 Juni 1992). Keputusan bahtsul masail di lingkungan NU dibuat dalam kerangka bermazhab kepada salah satu mazhab empat yang disepakati dan mengutamakan bermazhab secara qauli. Oleh karena itu, secara garis besar metode pengambilan keputusan Bahtsul Masail NU di bedakan menjadi dua bagian ; (1) Ketentuan umum dan (2) sistem pengambilan keputusan hukum atau metode penetapan fatwa. Ketentuan umum menjelaskan tentang pengertian teknis pengambilan hukum untuk dijadikan fatwa, dapat di bedakan 87 88 89
Abdul Mughist, Op. Cit., hal. 178. Ibid., hal.192.
http://zm-motivasi.blogspot.com/2011/05/metode-istimbath-hukum-majlis-tarjih.html Diunduh tanggal 10 Maret 2012.
57
NU dalam menetapkan fatwa melalui 2 metode yaitu qauli yang bersumber dari kitab Mu‟tabarat, dan apabilah tidak dapat di telusuri secara qauli maka melalui ilhaq. Ketentuan umum secara teknis dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Yang di maksud dengan kitab adalah al-kutubul mu‟tabarah, yaitu kitabkitab tentang ajaran Islam yang sesuai dengan akidah Ahlusunah Wal Jamaah (rumusan Muktamar NU ke XXVII). 2. Yang dimaksud dengan bermazhab secara qauli adalah mengikuti pendapat-pendapat yang sudah jadi dalam lingkup Mazhab tertentu. 3. Yang di maksud dengan bermazhab secara Manhaji adalah mengikuti jalan fikiran dan kaedah penetapan hukum yang telah disusun oleh Imam mazhab. 4. Yang di maksud dengan istinbat adalah mengeluarkan hukum syari‟ah dari dalilnya dengan qawa‟id ushuliyyah dan qawa‟id fiqhiyah. 5. Yang dimaksud dengan qauli adalah pendapat Imam Mazhab. 6. Yang di maksud dengan wajah adalah pendapat ulama Mazhab 7. Yang di maksud dengan Taqrir Jama‟i adalah upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu di antara beberapa qaul/ wajah 8. Yang dimaksud dengan Ilhaq (ilhaqul masail bi nazha‟irin) adalah menyamakan hukum suatu kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab (menyamakan dengan pendapat yang sudah jadi). 9. Yang dimaksud dengan usulan masalah adalah permintaan untuk membahas suatu kasus/masalah, baik hanya berupa “judul” masalah
58
maupun sudah disertai pokok-pokok fikiran atau pula hasil pembahasan awal dengan maksud dimintakan tanggapan. 10. Yang di maksud dengan pengesahan adalah pengesahan hasil suatu bahtshul masail oleh PB NU, MUNAS, Alim Ulama NU dan Muktamar NU.90 Adapun mengenai prosedur penjawaban masalah disusun dalam urutan sebagai berikut: 1. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan di sana terdapat hanya satu qaul/wajah, maka dipakailah qaul/wajh sebagaimana diterangkan dalam ibarat tersebut. 2. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan di sana terdapat lebih dari satu qaul/wajh, maka dilakukan taqrir jama'i untuk memilih suatu qaul/wajh. 3. Dalam kasus tidak ada qaul/wajh sama sekali yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhaqul-masail bi nazha'iriha secara jama'i oleh para ahlinya. 4. Dalam kasus tidak ada satu qaul/wajh sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka bisa dilakukan istinbat, jama'i dengan prosedur bermazhab secara manhaji oleh para ahlinya.91 Jika dengan metode qauli ini tidak menemukan ta‟bir kitab-kitab fikih, maka dilakukan apa yang disebut dengan ilhaq al-masa‟il bi nazariha, yakni menyamakan hukum suatu kasus yang belum dijawab oleh kitab (belum ada 90 91
Tim Lajnah Ta‟lif Wan Nasyr (LTN) PBNU, Op. Cit., hal. 470. Ibid., hal. 470-471.
59
ketetapan hukumnya) dengan kasus serupa yang telah dijawab oleh kitab (telah ada ketetapannya), atau menyamakan pendapat yang sudah “jadi”. Sama dengan metode qauli, metode ini secara operasional juga telah diterapkan sejak lama oleh NU, walaupun secara implisit dan tanpa nama sebagai metode ilhaqi. Jika dengan metode ilhaqi ini juga tidak dapat ditarik kesimpulan hukumnya karena tidak ada ta‟bir kitab fiqh yang dapat di-ilhaq-kan, maka ditempuh metode manhaji, yaitu suatu cara menyelesaikan masalah keagamaan dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam mazhabnya. Sebagaimana dua metode pertama, metode ini pernah diterapkan oleh ulama NU terdahulu hanya saja belum dikenal dengan istilah manhajnya. 92 Sebagimana laporan Ahmad zahro, bahwa di antara tiga metode tersebut, metode qauli adalah metode yang paling sering diterapkan LBMDNU, menyusul metode ilhaqi dan terakhir yang paling jarang adalah metode manhaji. Demikian juga di pesantren, metode qauli tetap paling sering diterapkan.93
D. Fatwa Lembaga Bahtsul Masail NU Tentang Wanita Sebagai Pejabat Publik Wanita dalam Islam mendapat tempat yang mulia, tidak seperti dituduhkan oleh sementara masyarakat, bahwa Islam tidak menempatkan wanita sebagai subordinat dalam tatanan kehidupan masyarakat. Islam 92 93
Abdul Mughits, Op. Cit., hal 194. Ibid.
60
memberikan hak wanita yang sama dengan laki-laki untuk memberikan pengabdian yang sama kepada agama, nusa, bangsa dan negara. Ini ditegaskan dalam Alquran surat al-Mukmin ayat 40.
“Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka Dia tidak akan dibalasi melainkan sebanding dengan kejahatan itu. dan Barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam Keadaan beriman, Maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.”(QS. Al-Mukmin:40).
Dalam konteks peran-peran publik menurut prinsip-prinsip Islam, wanita diperbolehkan melakukan peran-peran tersebut dengan kosekuensi bahwa ia dapat dipandang mampu dan memiliki kapasitas untuk menduduki peran sosial dan politik tersebut. Dengan kata lain bahwa kedudukan wanita dalam proses sistem negara-bangsa telah terbuka lebar, terutama perannya dalam masyarakat majemuk ini, dengan tetap mengingat bahwa kualitas, kapasitas, kapabilitas dan akseptabilitas bagaimanapun, harus menjadi ukuran, sekaligus tanpa melupakan fungsi kodrati wanita sebagai sebuah keniscayaan. Keputusan Konferensi Besar Syuriah Nahdlatul Ulama di Surabaya pada tanggal 19 Maret 1957 dalam Bahtsul Masail NU mengenai wanita sebagai pejabat publik diantaranya mengenai wanita yang menjadi anggota DPR/DPRD. Dijelaskan bahwa DPR/DPRD adalah badan permusyawaratan untuk menentukan hukum (tsubutu amrin li amrin), bukan untuk menentukan
61
qadha (lizamil hukmi). Oleh sebab itu wanita menjadi anggota DPR/DPRD menurut hukum Islam diperbolehkan apabila memenuhi syarat sebagai berikut: a. „Afifah. b. Ahli dalam hal-hal tersebut diatas. c. Menutupi auratnya. d. Mendapat izin dari yang berhak memberi izin. e. Aman dari fitnah f. Tidak menjadikan sebab timbulnya mungkar menurut syara; Apabila tidak memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, maka haram, dan syuriah dengan kebijaksanaan serta persetujuan PB syuriah NU berhak menariknya.94 Putusan LBM lain yaitu mengenai perempuan menjadi kepala Desa, sesuai dengan Keputusan Rapat Dewan Partai Nahdlatul Ulama di Salatiga pada tanggal 25 Oktober 1961M. bahwa sebenarnya mencalonkan orang perempuan untuk pilihan Kepala Desa itu tidak boleh, kecuali dalam keadaan memaksa, sebab disamakan dengan tidak bolehnya orang perempuan menjadi hakim. Demikian menurut mazhab Syafi‟i, Maliki, Hanbali dan yang dilakukan
oleh
ulama
salaf
dan
khalaf.
Tetapi
mazhab
Hanafi
memperbolehkan dalam urusan harta benda.sedangkan Imam Ibnu Jarir memeperbolehkan dalam segala urusan dari apa saja. 95
94 95
Tim Lajnah Ta‟lif Wan Nasyr (LTN) PBNU, Op. Cit., hal. 296. Ibid., hal. 338.
62
Demikian pula para ulama berbeda pendapat tentang persyaratan jenis kelamin laki-laki (untuk menjadi hakim). Mayoritas ulama berpendapat, jenis kelamin laki-laki merupakan syarat keabsahan hukumnya. Imam Abu Hanifah berpendapat, perempuan boleh menjadi hakim dalam masalah harta. Imam alThabari berpendapat, perempuan boleh menjadi hakim secara mutlak dalam hal apapun. Abdul Wahab berpendapat, bahwa tidak ada perbedaan di kalangan ulama dalam persyaratan status merdeka. Maka ulama yang menolak hakim perempuan, maka ia menyamakan hakim perempuan dengan kepemimpinan tertinggi (negara) dan mengqiyaskan perempuan dengan budak karena kehormatannya yang kurang. Ulama yang memperbolehkan hakim perempuan untuk masalah harta,
maka
ia
menyamakannya dengan kesaksian perempuan dalam masalah harta. Dan ulama yang memperbolehkan hakim perempuan dalam segala hal, maka ia menyatakan bahwa hukum asal dalam masalah ini adalah setiap perkara yang mudah diputuskan di antara manusia maka hukumnya boleh kecuali kepemimpinan tertinggi negara yang telah dikhususkan oleh ijma‟ (atas ketidak bolehannya). Sedangkan persyaratan merdeka, maka tidak ada khilaf di dalamnya. 96 Menurut pendapat tiga imam (Maliki, Syafi‟I dan Hanbali), bahwa tidak sah perempuan menduduki posisi hakim. Sedangkan Abu Hanifah mensahkan perempuan menjadi hakim dalam segala hal yang diperbolehkan adanya kesaksian perempuan. Menurut Abu Hanifah kesaksian wanita itu bisa
96
Ibid., hal.339.
63
diterima dalam segala hal kecuali yang berkaitan dengan masalah pidana. Imam Muhammad Ibnu Jarir al-Tahbari memperbolehkan perempuan menjadi hakim
dalam
hal
apapun.
Pendapat
yang
pertama
(yang
tidak
memperbolehkan) merupakan pendapat yang ketat/keras yang dianut oleh ulama salaf dan khalaf. Sedangkan pendapat yang kedua merupakan pendapat yang ringan/toleran. Pendapat yang ketiga merupakan pendapat yang lebih ringan lagi. Argumen pendapat yang kedua dan ketiga, bahwa sesungguhnya peleraian permusuhan itu termasuk babاألهز بالوعزوف والنهي عي الونكز (menyuruh kebaikan dan melarang kemungkaran) yang dalam hal ini para ulama tidak mensyaratkan jenis laki-laki. Rasullulah Saw. bersabda :
) (رواه البخاري والنسائ والتزهذي واحود.لَل ْني يُي ْنفلِل َلح قَلىْن ٌمم َلولَّلىْن ا أَل ْنه َلزهُي ْنن ِل ْنه َلزأَلةًة “Tidak akan pernah suskses sesuatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan”. Rasullulah Saw. dalam bersabda tersebut ketika masyarakat mengangkat putri Raja Persia sebagai ratu sesudahnya. Para ulama ahli kasysyaf sepakat tentang persyaratan jenis kelamin laki-laki bagi semua mubaligh. Kita tidak pernah mendengar bahwa salah seorang perempuan al-salaf al-shalih telah tampil sebagai pendidik, karena perempuan derajatnya tidak sempurna, walaupun ada yang sempurna di kalangan sebagian dari mereka, seperti Maryam putri Imran dan Asiyah istri Fir‟aun. Dikatakan
64
sempurna tersebut terkait dengan ketakwaan dan agama dan bukan tentang penetapan hukum di kalangan masyarakat.97
97
Ibid., hal. 312.
BAB IV ANALISIS KOMPARATIF PUTUSAN MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH DAN LEMBAGA BAHTSUL MASAIL NU TENTANG WANITA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK A. Segi Persamaan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Lembaga Bahtsul Masail NU Tentang Wanita Sebagai Pejabat Publik Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah
dalam
Muhktamar Tarjih XVII di Wiradesa dan Keputusan Konferensi Besar Syuriah Nahdlatul Ulama di Surabaya tanggal 19 Maret 1957. Memiliki beberapa persamaan di antaranya dari segi makna, bahwa kedua putusan ini sama-sama membolehkan wanita menjadi pejabat publik, seperti yang terlihat dalam bunyi putusan Majelis Tarjih Muhamadiyah yang terangkum dalam adabul mar‟ah fil Islam: Agama Islam tidak menolak atau menghalanghalangi seorang wanita menjadi pejabat publik seperti contoh: wanita menjadi Hakim, Direktur Sekolah, Direktur Perusahaan, Camat, Lurah, Mentri, Walikota dan sebagainya. Keputusan Konferensi Syuriah Nahdlatul Ulama di Surabaya pada Tanggal 19 Maret 1957 menyebutkan bahwa diperbolehkannya seorang wanita menjadi anggota DPR/DPRD dengan ketentuan memiliki syarat seperti 'afifah, ahli dalam bidangnya, menutup auratnya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, NU berpijak pada prinsip bahwa Islam memberikan hak yang
65
sama terhadap wanita
dan laki-laki untuk memberikan pengabdiannya
kepada agama, nusa dan bangsa. Persamaan lain yaitu dalam hal penafsiran tentang paham kegamaan ayat dan hadis tentang kesetaraan gender, dalam hal ini adalah dalam menfasirkan ayat " " قىاهىى علً النساءdalam surat al-Nisa ayat 34. Majelis Tarjih Muhammadiyah tidak menerjemahkan ayat قىاهىىdalam ayat tersebut dengan pemimpin sebagaimana lazimnya dikalangan para ulama, melainkan laki-laki adalah penegak tanggung jawab atas wanita” bukan pemimpin dengan jaringan konseptual yang berpusat pada arti kekuasaan. Dengan demikian " "الزجال قىاهىى علً النساءdapat diterjemahkan penanggung jawab terhadap wanita, dalam pengertian menopang, memikul beban dan tanggung jawab. Akan tetapi beban dan tanggung jawab itu bukan suatu kekuasaan dan dominasi, melainkan sebagai suatu imbangan dari suatu karakteristik dalam ciptaan. Atas dasar itulah kemudian dinyatakan bahwa agama tidak menolak dan menghalang-halangi kepemimpinan wanita. Ayat tersebut dinyatakan tidak mencakup kepemimpinan dalam wilayah publik dan kemasyarakatan. Oleh sebab itu ayat tersebut tidak dapat dijadikan dasar penolakan kepemimpinan perempuan.98 Sedangkan untuk Lembaga Bahtsul Masail NU menafsirkan ayat ini sesuai dengan prinsip keadilan, maka diskriminasi atas perempuan dalam posisi publik tidak dibenarkan, serta dengan hak yang sama juga dimiliki oleh 98
Wawan Gunawan dan Evie Shofia Inayati, Wacana Fiqh Perempuan Dalam Perspektif Muhammadiyah (Yogyakarta: PP Muhammadiyah Yogykarta, 2005), hal. 52.
66
laki-laki. Ayat
" " قىاهىى علً النساءhendaknya diletakan dalam konteks
hubungan domestik dalam rumah tangga, sehingga tidak bisa digunakan untuk menghalangi hak perempuan atas posisi-posisi publik.99 Mengenai ayat 34 surat al-Nisa, dijelaskan dalam tafsir ash-Shabuni bahwa latar belakang historis (sebab turunnya ayat ini) ayat itu menyangkut hubungan privat lelaki dan wanita dalam rumah tangga. Ayat itu turun mengenai kasus pembangkangan (nusyuz) istri Sa‟ad ibnu ar-Rabi‟ yaitu Habibah binti Zaid. Sa‟ad termasuk salah seorang kepala suku, tetapi keduaduanya dari suku Anshor. Pada suatu hari Habibah ini durhaka kepada suaminya, lalu Sa‟ad menamparnya dan ia mengadukan hal itu kepada Nabi SAW seraya minta supaya Sa‟ad dihukum qishash. Maka Nabi menjawab “Dia boleh membalas suaminya”. Begitulah lalu Habibah keluar hendak membalas Sa‟ad. Tetapi belum sebarapa jauh Nabi menyuruhnya kembali, karena kini Jibril telah datang kepadaku dengan membawa ayat 34 surat alNisa. Nabi saw tidak melakukan hukum tersebut karena turunnya ayat ini, maka perintah membalas itupun dicabutnya. 100 Dalam ayat itu sendiri juga ditegaskan salah satu alasan lelaki memimpin wanita, yaitu karena lelaki bertanggung jawab atas nafkah keluarga. Jadi jelas bahwa ayat ini adalah dalam konteks kehidupan suami istri. Karenanya ayat ini tidak merupakan nash pelanggaran wanita menjadi
99
Tim Lajnah Ta‟lif Wan Nasyr (LTN) PBNU, Op. Cit., hal.805. Muhammad Ali Ash-Shabuni, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni, terjemahan Mu‟amal Hamidy dan Imron A. Manan (surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003),hal. 404-405. 100
67
pemimpin dalam kehidupan sosial di luar rumah tangga, seperti menjadi direktur dan sebagainya. 101 Dalam konteks peran-peran publik menurut prinsip-prinsip Islam, wanita diperbolehkan melakukan peran-peran tersebut dengan konsekuensi bahwa ia dapat dipandang mampu dan memiliki kapasitas untuk menduduki peran sosial dan politik tersebut. Dengan kata lain bahwa kedudukan wanita dalam proses sistem negara-bangsa telah terbuka lebar, terutama perannya dalam masyarakat majemuk ini, dengan tetap mengingat bahwa kualitas, kapasitas, kapabilitas dan akseptabilitas bagaimanapun harus menjadi ukuran, sekaligus
tanpa
melupakan
fungsi
kodrati wanita
sebagai
sebuah
keniscayaan. 102 B. Segi Perbedaan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Lembaga Bahtsul Masail NU Tentang Wanita Sebagai Pejabat Publik Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Lembaga Bahtsul Masail NU tentang wanita sebagai pejabat publik selain memiliki persamaan dalam hal kebolehannya, juga memiliki perbedaan dari masing-masing putusan. Pertama, dari segi istinbat hukum kedua lembaga tersebut. Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam hal yang berkaitan dengan masalah "Muamalat dunyawiyat" selalu bertumpu pada maqashid al-syari'ah, yaitu untuk
101
Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, Tanya Jawab 4 cetakan kedua (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2003), hal. 242. 102 Tim Lajnah Ta‟lif Wan Nasyr (LTN) PBNU, Op. Cit., hal. 783-784.
68
mewujudkan kemaslahat manusia, berkaitan dengan wanita sebagai publik termasuk dalam kategori "Muamalat Dunyawiyat" dapat dipahami bahwa istinbath hukum ini termasuk dalam metode ijtihad istishlahi (yaitu menyelesaikan beberapa kasus dengan menggunakan penalaran yang berdasarkan atas kemaslahatan). Hal ini dapat dilihat ketika Muhammadiyah menafsirkan ayat 34 surat an-Nisa, Majelis Tarjih memiliki penafsiran yang khas dalam menerjemahkan ayat قىاهىى, dimana ayat ini tidak di tafsirkan dengan pemimpin sebagaimana lazimnya dikalangan para ulama, akan tetapi ditafsirkan sebagai penanggung jawab atas wanita. Sementara Lembaga Bahtsul Masail NU dalam beristinbat hukum tentang boleh tidaknya wanita mejadi hakim masih mengutip dari ulama salaf seperti Imam Syafi'I, Hanbali, dan Maliki, yang dikutip dari kitab Bidayatul Mujtahid103 sehingga bisa dipahami bahwa isinbat hukum lembaga ini menggunakan metode Qauli, yaitu metode istinbat hukum dengan cara mempelajari permasalahan yang ada, kemudian mencari jawabannya pada kitab-kitab fikih (mazhab empat) dengan mengacu langsung pada bunyi teksnya atau sama dengan mengikuti pendapat para ulama yang sudah jadi. Hal ini dapat dilihat dari bunyi putusan yang serat dengan pendapat-pendapat ulama mazhab. Sehingga dapat disimpulkan perbedaan dari masing-masing metode yang digunakan adalah metode ijtihad Istishlahi dan metode Qauli.
103
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid Wa Nihayah al-Muqtashid, (Bairut: Dar al-Kitab alArabi, 2006), Jus II, hal. 707.
69
Kedua, Perbedaan dari segi cakupan wilayah publik. Dalam Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dijelaskan bahwa wanita boleh menjabat sebagai hakim, pimpinan tertinggi suatu negara atau menjadi presiden, meskipun dalam putusan tersebut dinyatakan dalam bahasa yang implisit. Sedangkan dalam Putusan Lembaga Bahtsul Masail NU menjelaskan bahwa wanita boleh menjadi anggota DPR/DPRD dengan dalil bahwa DPR/DPRD merupakan badan permusyawaratan untuk menentukan hukum (tsubutu amrin li amrin), bukan untuk menentukan qadha (lizamil hukmi). Sehingga dipahami bahwa putusan tersebut membolehkan wanita menjadi pejabat publik selama posisinya tidak sebagai pemegang kekuasaan yang utama. Sementara untuk menjadi hakim Putusan Lembaga Bahtsul Masail NU memiliki tiga argumen. Yang pertama tidak boleh, dalam hal ini NU berpijak pada pendapat tiga Imam yaitu: (Maliki, Syafi‟i dan Hanbali) yang menyamakan hakim perempuan dengan kepemimpinan tertinggi (negara) dan mengqiyaskan perempuan dengan budak karena kehormatannya yang kurang, yang kedua boleh hanya dalam urusan harta benda sebagaimana dikatakan oleh Imam Abu Hanifah, ia menyamakan dengan kesaksian perempuan dalam masalah harta, sedangkan yang membolehkan dalam segala hal karena menyamakan dengan hukum asal dalam masalah ini adalah setiap perkara yang mudah diputuskan di antara manusia maka hukumnya boleh kecuali kepemimpinan tertinggi negara yang telah dikhususkan oleh ijma‟ (atas ketidak bolehannya).
70
Dapat dipahami bahwa perbedaan antara kedua lembaga tersebut yaitu: Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah yang terhimpun dalam buku Adabul Mar'ah Fil Islam, secara eksplisit maupun implisit menyatakan bahwa wanita boleh dan berhak begerak di bidang publik/politik dalam hal apapun. Sementara Lembaga Bahtsul Masail NU menyatakan boleh wanita menjabat publik selama jabatan tersebut bukan untuk mementukan qadha (lizamil hukmi)..
BAB V PENUTUP A. SIMPULAN Dari pembahasan dan uraian pada bab sebelumnya dapat penulis simpulkan sebagai berikut: 1. Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Lembaga Bahtsul Masail NU tentang wanita sebagai pejabat publik: Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah membolehkan wanita menjadi pejabat publik dalam segala hal. Seperti, boleh wanita menjabat sebagai Direktur, DPR, Camat, Bupati, maupun Jaksa Agung, atau Hakim dan sebagainya yang tentu sesuai dengan keahlian dalam bidang masing-masing. Lembaga Bahtsul Masail NU membolehkan wanita menjadi pejabat publik selama kedudukannya bukan sebagai penentu utama dalam memutuskan suatu hukum. Seperti contoh wanita menjadi Anggota DPR/DPRD. Dalam hal ini, Lembaga Bahtsul Masail NU dalam mengambil putusan berdasarkan pada ayat 40 surat al-Mukmin. Selain itu juga berdasarkan prinsip-prinsip Islam, bahwa dalam konteks peran publik wanita boleh menjalankan peran tersebut dengan konsekuensi bahwa ia dapat dipandang mampu dan mempunyai kapasitas untuk menduduki jabatan tersebut serta dapat bertanggung jawab.
72
Mengenai
surat
an-Nisa
ayat
34,
Putusan
Majelis
Tarjih
Muhammadiyah mempunyai penafsiran khas mengenai ayat الزجال
قىاهىى علً النساء. Ayat ini tidak ditafsirkan sebagai pemimpin sebagaimana yang ditafsirkan oleh para ulama, melainkan laki-laki merupakan penegak tanggung jawab atas wanita. Atas dasar ini maka dinyatakan
agama
tidak
menghalang-halangi
wanita
menjadi
pemimpin. 2. Perbandingan metode istinbat hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Lembaga Bahtsul Masail NU tentang wanita sebagai pejabat publik adalah: Majelis Tarjih Muhammadiyah mamahami surat al-Nisa ayat 34 ini,
الزجال قىاهىى علً النساءdengan pemahaman yang khas. Putusan tersebut tidak menerjemahkan ayat قىاهىى
dengan pemimpin
sebagaimana lazimnya dikalangan para ulama, melainkan laki-laki adalah penegak tanggung jawab atas wanita” bukan pemimpin dengan jaringan konseptual yang berpusat pada arti kekuasaan. Dengan demikian, ayat tersebut dapat diterjemahkan penanggung jawab terhadap wanita, dalam pengertian menopang, memikul beban dan tanggung jawab. Muhammadiyah menafsirkan ayat tersebut sesuai dengan konteks sosial ayat itu turun. Ayat ini tidak bisa dijadikan landasan pelarangan wanita menjadi pejabat publik, karena ayat ini bekaitan dengan wilayah domestik. Dan kemaslahatan bersama pun
73
dapat diraih. Sehingga metode ini dikategorikan kedalam metode ijtihad istishlahi dalam masalah "Muamalat Dunyawiyat". Putusan Lembaga Bahtsul Masail NU melakukan istinbat hukum dengan metode Qauli, yang merupakan suatu metode untuk mencari jawaban suatu masalah dengan cara mengutip pendapat dari salah satu mazhab empat, atau mengikuti produk hukum yang sudah "jadi". Dalam hal ini NU mengutip pedapat dari para ulama salaf yang terdapat dalam kitab Bidayatul Mujtahid. Dalam kitab ini disebutkan beberapa pendapat para ulama (Syafi'i, Maliki, Hanbali, dan Hanafi) tentang persyaratan boleh tidaknya wanita menjadi pejabat publik. Dan dengan mengutip dari pendapat ulam salaf inilah NU menentukan hukum kebolehan wanita menjadi pejabat publik. Metode ijtihad yang demikian disebut dengan metode qauli. B. PENUTUP Pada bab penutup ini penyusun mengucapakan puji syukur kehadirat Allah SWT. Dengan segala rahmat dan kenikmatan yang tiada terhenti, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan tugas ini, baik dari segi substansi maupun dari segi penulisan, dan selesainya tugas ini berkat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu kami penulis mengucapkan banyak terima kasih. Semoga karya ini bermanfaat bagi penulis secara pribadi dan pembaca pada umumnya.
74