ISTINBAT HUKUM MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH TENTANG PENGHARAMAN ROKOK SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah(S.Sy)
Oleh : SYIFAUDIN NIM: 208044100025
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011M
ISTINBAT HUKUM MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH TENTANG PENGHARAMAN ROKOK
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah(S.Sy) Oleh : SYIFAUDIN NIM: 208044100025
Dibawah bimbingan: Pembimbing I
Pembimbing II
DR. H. M. Nurul Irfan, MA 1973 0802 2003 1210 01
Kamarusdiana, S.Ag., MH 1972 2402 1998 0310 03
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul Istinbat Hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah Tentang Pengharaman Rokok telah diujikan dalam sidang Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada Senin, 20 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S. Sy) pada Program Studi Ahwal Asyakhsiyyah. Jakarta, 20 Juni 2011 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. HM. Amin Suma, SH., MA., MM NIP. 1955 0505 1982 0310 12
PANITIA UJIAN 1. Ketua
: Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM NIP. 1955 0505 1982 0310 12
2. Sekretaris
: Mufidah, SH. I.
3. Pembimbing I: Dr. H. M. Nurul Irfan, MA NIP. 1973 0802 2003 1210 01
4. Pembimbing II: Kamarusdiana, S. Ag., MH NIP. 1972 2402 1998 0310 03
5. Penguji I
: Dr. H. M. Taufiki, M. Ag NIP. 1965 1119 1998 0320 02
6. Penguji II
: Nahrowi, SH., MH NIP. 1973 0215 1999 0310 02
بسم اهلل الر حمن الرحيم KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas ridha dan rahmat-Nya-lah skripsi ini dapat diselesaikan dalam rangka memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Salawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan umat Islam Nabi Muhammad SAW, beserta segenap keluarga, Sahabat, dan juga umatnya. Yang InsyaAllah kita termasuk di dalamnya. Selama proses penyelesaian skripsi ini, penulis sangat menyadari bahwa dalam proses tersebut tidaklah terlepas dari segala bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA, dan Rosdiana, MA, masing-masing sebagai ketua dan sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag, Koordinator Teknis Non Reguler Fakultas Syariah dan Hukum UIN SYarif Hidayatullah Jakarta. 4. Dr. H. M. Nurul Irfan, M. Ag dan Kamarusdiana, S. Ag., MH yang keduanya adalah Dosen pembimbing Penulis, terimakasih yang tak terhingga untuk waktu
i
yang diluangkan, arahan, bimbingan serta kesabaran yang selalu diberikan kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. 5. Kedua orang tua tercinta yang terhormat Abah dan Ibu yang telah mendidik, membesarkan, memberikan kasih sayang yang tidak ternilai harganya, semangat serta doanya kepada penulis. 6. Saudara-saudaraku tercinta Teteh-teteh, Aa’ serta keponakan penulis yang selalu memberikan senyuman sehingga penulis termotivasi dan tersemangati ketika penulis mulai mengalami kejenuhan dalam penyelesaian skripsi ini. 7. kepada seluruh staff pengajar Fakultas Syariah, yang telah banyak memberikan banyak ilmu, wawasan, serta kesabarannya dalam mendidik penulis selama bangku perkulihan. Semoga akan menjadi manfaat dan berkah untuk penulis. 8. Segenap staff perpustakaan Syariah dan Hukum maupun perpustakaan utama yang telah memberi fasilitas penulis untuk melengkapi referensi dalam penulisan skripsi ini. 9. Sahabat-sahabatku di konsentrasi Peradilan Agama angkatan 2008 yang telah banyak mencurahkan waktu dan tenaganya untuk membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. 10. Serta rekan-rekan dan semua pihak yang mungkin tidak dapat
penulis
sebutkan satu-persatu dalam skripsi ini. Besar harapan skripsi ini dapat memberikan konstribusi yang positif bagi pihakpihak yang memberikan bantuan kepada penulis terutama bagi rekan-rekan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ahwal Syakhsiyyah konsentrasi Peradilan Agama.
ii
Penulis sangat sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, karena manusia bukanlah makhluk yang sempurna. Demikian sedikit pengantar dan ucapan terima kasih. Atas semua perhatian yang diberikan, penulis sampaikan ucapan terima kasih.
Jakarta, 09 Juni 2011
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
ii
PEDOMAN TRANSLITERASI
iv
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
1
B. Identifikasi Masalah
7
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ROKOK ......….………………………………………………..
8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
8
E. Review Study Terdahulu
9
F. Metode Penelitian
12
G. Sistematika Penulisan
14
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG FATWA A. Definisi Fatwa
16
B. Mekanisme Fatwa
22
C. Kekuatan atau Kedudukan Fatwa
31
BAB III : MAJELIS TARJIH DAN TARJIH MUHAMMADIYAH A. Pengertian Majelis Tarjih
35
B. Kedudukan Majelis Tarjih Muhammadiyah
43
C. Tugas dan Wewenang Majelis Tarjih
47
iv
BAB IV : ROKOK DALAM PERSPEKTIF MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH A. Rokok dalam Perspektif Ilmu Kesehatan
50
B. Metode Istinbat Hukum Majelis Tarjih
55
Muhammadiyah dalam Fatwa Rokok C. Analisis Penulis
63
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan
69
B. Saran
70
72
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kondisi Obyektif yang berkaitan dengan permasalahan (problematika) terhadap realita memerlukan tanggapan logis-yuridis dari nash-nash al- Quran dan as- Sunnah yang belum tercover secara eksplisit, hal ini mewajibakan seseorang yang mampu dan memenuhi syarat untuk melakukan Ijtihad (usaha sungguhsungguh untuk pengalian hukum). Al- Quran sengaja didisain untuk menjelaskan persoalan-persoalan yang menyangkut masalah hukum secara global dan tidak diperinci agar tidak kehilangan relevansinya dengan dinamika masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan dari masa ke masa. 1 Di sisi lain Allah SWT juga menganugrahkan akal serta fikiran kepada manusia
menjadikannya
makhluk
yang
berkembang,
berinovasi,
dan
berkeingintahuan tinggi terhadap suatu permasalahan, olehnya melalui pranata inilah manusia dapat mengeksplorasi akal pikirannya untuk melakukan ijtihad dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang diperlukan. Ijtihad tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Hanya orang-orang yang telah memenuhi persyaratan saja, dengan demikian ijtihad tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang akan tetapi orang yang ahli dibidangnya (Ulama)
1
Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), h. 6
1
2
ini salah satu pranata yang disiapkan agama bagi orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad untuk bertanya atau memohon penjelasan kepada orang yang mempuyai kompetensi dalam menjawab permasalahan tersebut. Termasuk dalam hal ini adalah dengan memohon penjelasan tentang status hukum (fatwa) suatu masalah atau perbuatan yang belum ada ketetapan hukumnya.
Dalam sistem hukum Islam, fatwa mempunyai peranan yang cukup
dominan dalam memberikan pertimbangan hukum keagamaan kepada masyarakat, sekalipun fatwa juga dianggap tidak punya kekuatan hukum yang mengikat (Ghair Mulzimah)2. Aktivitas yang berkembang dewasa ini khususnya di Indonesia adalah perilaku merokok. Kegiatan merokok dalam masyarakat dianggap sebagai hal yang biasa, hal ini karena banyaknya masyarakat yang melakukan kegiatan merokok. Fenomena yang ada merokok tidak hanya menjadi komoditi kaum pria dewasa bahkan dintaranya adalah kaum hawa dan yang lebih miris lagi, tidak sedikit jumlah anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar sudah konsumtif terhadap rokok. Berdasarkan pengamatan komisi perlindungan Anak Indonesia, ditemukan fakta bahwa setidaknya 60% anak-anak di bawah umur sudah mengenal rokok.3
2
Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), dalam kata
pengantar. 3
Koran Tempo, 15 Agustus 2008.
3
Rokok sudah menjadi konsumsi harian masyarakat. Rokok bebas dijual di warung, di jajakan di jalan raya, di jual di toko-toko, bahkan koperasi kampus pun tidak lewat ikut memasarkannya. Rokok adalah makhluk beracun yang terusmenerus menjadi fenomena dalam kehidupan masyarakat hingga saat ini. Peraturan pemerintah, fatwa majelis ulama, penelitian ilmiah, bahkan ancaman kesehatan serta kematian pun tetap tidak menjadikan masyarakat untuk meninggalkan rokok. Bahkan beragam alasan mereka pertahankan untuk mereduksi hukum agar rokok tetap diperbolehkan, walaupun pada kenyataannya banyak data yang mempresentasikan mengenai bahaya rokok bagi kesehatan. Tidak hanya WHO (World Health Organization) bahkan lebih dari 70.0004 artikel ilmiah mengemukakan bahwa dalam kepulan asap rokok terkandung 4000 racun kimia berbahaya, 43 diantaranya bersifat Karsinogenik yakni merangsang tumbuhnya kanker, berbagai zat yang terkandung diantaranya adalah Tar, Karbon Monoksida (CO) serta Nikotin. Dari hasil penelitian yang dilakukan United Satate Surgeon General Amerika Serikat menyatakan ada 10 tipe kanker yang disebabkan oleh rokok5 yaitu kanker mulut, tenggorokan, pita suara, esofagus, kanker paru-paru, lambung, kanker pankreas, kantung kemih, leher rahim, leukimia bahkan kanker darah.
4
Ahmad Rifa’i Rif’an, Merokok Haram, (Jakarta: Republika, 2010), h. 7
5
Ibid, h. 8
4
Prof. Dr. Anwar Jusuf, guru besar FIKUI berpendapat bahwa asap rokok jauh lebih berbahaya dibandingkan polusi udara6 karena di dalamnya mengandung zat kimia yang bersifat karsinogen, zat tersebut memicu sel-sel normal menjadi ganas dalam prosesnya yang terjadi berulang-ulang selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun hal inilah yang memicu timbulnya kanker pada paru-paru. Penyakit yang disebabkan oleh rokok begitu kompleks, namun sangat disayangkan meskipun sudah banyak penelitian yang membuktikan tentang bahaya rokok namun seolah masyarakat tetap tidak peduli. Data WHO (World Health Organization) juga menyebutkan Indonesia merupakan salah satu Negara dengan jumlah perokok terbesar di Dunia dan senantiasa meningkat dari tahun ketahunnya. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan BPS (Badan Pusat Statistik) menyebutkan persentase jumlah perokok di Indonesia dari tahun ketahunnya selalu meningkat, jika pada tahun 2001 hanya 31,8% dari penduduk Indonesia yang merokok peningkatan jelas terjadi dua kali lipatnya yakni pada tahun 2007 jumlah menjadi 69%7. Inilah kenyataannya sebagian besar masyarakat Indonesia telah menjadi konsumen aktif rokok tak jarang dari mereka menyetarakan kebutuhan merokok seperti makanan yang dikonsumsi sehari-hari bahkan ada yang menjadikannya sebagai prioritas kebutuhan pada urutan pertama.
6
Abu Umar Basyir, Mengapa Ragu Tinggalkan Rokok, (Jakarta: Pustaka Tazkia, 2005), h. 191
7
Ahmad Rifa’i Rif’an, Merokok Haram, (Jakarta: Republika, 2010), h. 8
5
Sangat ironis, penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam yakni 87% atau lebih dari 202 juta dari 230 juta8 jiwa sehari-harinya harus terancam dengan polusi udara yang bercampur racun yang berasal dari kepulan asap rokok.9 Rokok sebagai barang yang ditemukan belakangan ini bukan pada zaman Rasulullah, karena dalam sejarahanya rokok baru dikenal oleh para pelaut yang menyertai Columbus ke benua baru Amerika di akhir abad XV dan mulai meluas keseluruh Dunia di ujung abad XVI10. Pada perjalannannya kini rokok telah menjelma menjadi sebuah kebutuhan primer bagi manusia. Hal inilah yang kemudian mengundang kontroversi sehingga para ulama dan organisasi keislaman berupaya berijtihad untuk menentukan hukum mengkonsumsinya. Sebelum banyak dilakukan penelitian mengenai bahaya dalam kandungan rokok muncul beberapa pendapat tentang hukum menkonsumsi rokok yang ditarik hanya sebatas pengetahuan masing-masing mengenai hakikat rokok saja. Fenomena belakangan ini kaum muslimin di Indonesia dibuat berselisih pendapat mengenai fatwa dari salah satu organisasi massa yang mengharamkan rokok. Majelis Tarjih Muhammadiyah mengeluarkan fatwa bahwa rokok adalah haram. Keluarnya fatwa haram tersebut menimbulkan perselisihan dikalangan masyarakat, karena tidak sedikit dari masyarakat yang sudah terbiasa merokok dan
8
Harian Republika, tanggal 25 Mei 2008
9
Ghufron Maba, Ternyata rokok Haram, (Surabaya: PT. Java Pustaka, 2008), h. 2
10
Usman Alwi, Manfaat Rokok Bagi Anda (Menurut Kesehatan dan Islam), (Jakarta: Binadaya Press, 1990) h, 146
6
merasa bahwa rokok tersebut hanya memiliki hukum makruh saja, yaitu lebih baik ditinggalkan
daripada
dilakukan,
namun
tidak
ada
larangan
untuk
mengkonsumsinya kini di haramkan melalui fatwa tersebut. Beberapa alasan yang menjadi dasar pengharaman rokok di antaranya adalah sebagai berikut:11 1. Merokok itu sesuatu yang khobits (buruk). 2. Merokok termasuk perbuatan mubadzir. Beberapa waktu lalu Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah mengeluarkan fatwa Haram bagi rokok. Tapi sebaliknya, Nahdlatul Ulama malah memfatwakan mubah. MUI lebih condong untuk memfatwakan rokok Haram bersyarat. Menurut Tambroni, MUI menjadikan rokok menjadi haram jika dihisap oleh anak kecil hingga baliq atau sekitar usia 15 tahun, serta jika dihisap oleh ibu yang sedang hamil dan bagi orang yang berpenyakit jantung. Tak hanya itu, MUI berpandangan, rokok menjadi haram jika dihisap di tempat umum. Sejumlah pihak telah meminta MUI mengeluarkan fatwa tentang rokok, di antaranya LSM Anti Rokok dan Departemen Kesehatan. Secara substansial rokok bisa masuk dalam kategori hukum haram, makruh, atau ikhtilaf (diperselisihkan). Yang menarik dari fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah adalah, bahwa keputusan yang telah diambil yang didasarkan pada dalil-dalil yang dipandang paling kuat ketika diputuskan, dapat saja dikoreksi oleh siapapun yang
11
h. 38
Abu Umar Basyir, Mengapa Ragu Meninggalkan Rokok, ( Jakarta: Pustaka Tazkia, 2005)
7
memberikannya, asal disertai dalil/petunjuk dalil yang kuat. Hanya saja, koreksi atas keputusan itu juga harus melalui keputusan Majelis Tarjih yang didasarkan pada musyawarah, sesuai dengan ketentuan organisasi. Hal ini berdasarkan pada filosofi bahwa keputusan Majelis Tarjih bukanlah yang paling benar, tetapi di saat memutuskan di pandang paling mendekatai kebenaran di antara dalil-dalil yang didapati di kala itu.12 Berdasarkan mengangkat
dan
kenyataan mengkaji
tersebutlah
sehingga
mengenai
Istinbat
penulis
tertarik
untuk
Hukum
Majelis
Tarjih
Muhammadiyah Tentang Pengharaman Rokok. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan mengenai fatwa haram rokok adalah suatu hal yang sangat penting untuk dibahas, karena rokok itu sendiri selain memiliki kandungan yang berbahaya bagi tubuh manusia, sedang di sisi lain rokok sudah menjadi kebutuhan masyarakat yang sulit untuk ditinggalkan. Namun demikian, perlu diingat bahwa dalam Islam ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memberikan hukum terhadap sesuatu. Pengambilan hukum terhadap suatu barang tidak boleh dilakukan secara membabi buta tanpa memperhatikan serta menimbang efek yang melekat elemen-elemen yang menempel pada sesuatu permasalahan, di satu sisi rokok dianggap menguntungkan karna menghasilkan pemasukan cukai terbesar, disisi lain rokok membahayakan
12
Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet. Ke-5, h. 19
8
karena banyak terdapat zat yang dapat mengganggu kesehatan, namun pada realitanya rokok juga merupakan kebiasaan masyarakat yang tidak dapat instant dihapuskan walaupun sudah difatwakan hukumnya. Berdasarkan analisa di atas penulis ingin mengetahui kedudukan hukum rokok, dengan mengkaji sumber hukum untuk rokok serta hukum dari obyek yang digunakan dalam pertukarannya yang menuju pada al-Qur’an dan as-Sunnah, Ijma’ maupun Qiyas.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka pembatasan permasalah dalam skripsi ini dibatasi hanya pada lingkup sejauh mana Majelis Tarjih Muhammadiyah memandang hukum rokok dengan menelusuri literaturliteratur fiqh dan ushul fiqh. Sedangkan perumusan permasalahan dalam skripsi ini, adalah: 1. Bagaimana kedudukan dan kewenangan Majelis Tarjih Muhammadiyah? 2. Bagaimana mekanisme kerja Majelis Tarjih Muhammadiyah? 3. Bagaimana metode istinbat hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah terhadap fatwa haram rokok? D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan umum yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ketetapan serta pandangan hukum Islam terhadap hukum rokok,
9
sedangkan tujuan khususnya adalah agar penulis mampu menjawab permasalahan yang telah dikemukakan dalam perumusan masalah diatas, yaitu : 1. Untuk
mengetahui
kedudukan
dan
kewenangan
Majelis
Tarjih
Muhammadiyah. 2. Untuk mengetahui mekanisme kerja Majelis Tarjih Muhammadiyah. 3. Untuk mengetahui metode istinbat hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah terhadap fatwa haram rokok. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara Teoritis Diharapkan skripsi ini dapat menambah keilmuan Hukum Islam berkaitan dengan Fatwa di Majelis Tarjih Muhammadiyah. 2. Secara Praktis Seri kajian diharapkan bermanfaat terhadap prilaku yang membentuk masyarakat, pemerhati hukum. E. Review Studi Terdahulu Pembahasan mengenai rokok sudah pernah dibahas sebelumnya oleh beberapa skripsi, diantanya adalah : NAMA Kamal Febriansyah (Fakultas UIN Hidayatullah
Psikologi Syarif Jakarta,
JUDUL “Pengaruh peringatan
ANALISA Dalam skripsinya ini
tentang bahaya merokok
penulis
pada iklan rokok terhadap
meneliti
bagaimana
sikap
pengaruh
peringatan
remaja
merokok”
terhadap
berusaha
bahaya merokok pada
10
2007)
iklan rokok terhadap sikap remaja terhadap merokok. Dari hasil penelitiannya tersebut, Kamal menyimpulkan bahwa
terdapat
pengaruh yang lemah dari peringatan bahaya merokok
terhadap
sikap remaja. Hal ini dipengaruhi
oleh
kecenderungan remaja yang
masih
dalam
kondisi labil, sehingga tidak
begitu
memperhatikan peringatan
bahaya
merokok itu sendiri. “Respon
Bagus Samsudin (Komunikasi Penyiaran Islam, Dakwah
Fakultas dan
Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah tahun 2009)
Jakarta,
Warga Dalam
Perumahan
Reni
Pamulang Fatwa
Haram
skripsinya
ini
Jaya- Penulis berusaha untuk
Terhadap menjelaskan
mengenai
Rokok respon masyarakat yang
Majelis Ulama Indonesia ada di Perumahan Reni(MUI)”
Jaya haram
Pamulang rokok
fatwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI). Berdasarkan hasil analisa
11
yang
telah
dilakukan,
dapat disimpulkan bahwa respon
masyarakat
terbagi dua, yaitu antara yang
menerima
dan
menolak fatwa tersebut. “Pelaksanaan
Anita
sosialisasi bahaya rokok menjelaskan
(Jurusan
pada
Pengembangan Masyarakt
Islam
Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah tahun 2010)
program Dalam skripsi ini penulis
Jakarta,
Lembaga
Indonesia Tembakau masyarakat”
tentang
Wanita program
sosialisasi
Tanpa bahaya (WITT)
rokok
di dilakukan
yang
oleh
para
aktivis yang tergabung pada Lembaga Wanita Indonesia
tanpa
Tembakau
(WITT)
masyarakat.
di
Dalam
sosialiasi tersebut, para aktivits berusaha untuk memberikan kepada
penjelasan masyarakat
bahaya yang terkandung dalam
rokok,
keberadaan nikotin
seperti
tar yang
menyebabkan
dan dapat
berbagai
penyakit pada manusia. Selain bahaya yang akan diderita oleh perokok itu
12
sendiri, para aktivis juga berusaha menjelaskan
untuk bahaya
rokok bagi mereka yang tergolong perokok pasif. Adapun perbedaan skripsi penulis dengan skripsi-skripsi terdahulu terletak pada Kajian pembahasan, pada skripsi ini penulis menfokuskan pembahasan pada Istinbath
Majelis
Tarjih
Muhammadiyah
mengenai
rokok,
penelusuran
pengambilan hukum rokok, serta bahaya rokok bagi kesehatan. Kajian lain yang penulis coba untuk kemukakan antara lain juga pandangan hukum Islam terhadap rokok. F. Metode Penelitian Metode yang digunakan oleh penulis dalam menyelesaikan skripsi ini adalah menggunakan metode-metode yang umumnya berlaku dalam penelitian yaitu: 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara penelusuran literature, text book, surat kabar, majalah hukum, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan sebagainya yang ada relevansinya dengan judul skripsi. 2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat dekriptif-analisis, dalam pengertian tidak sekedar menyimpulkan dan menyusun data, tetapi juga analisis dan interprestasi dari data-
13
data yang berhubungan dengan rokok, bahaya rokok bagi kesehatan, rokok dalam hukum Islam serta aplikasinya dari Istinbath Majelis Tarjih Muhammadiyah yakni dalam kaitannya terhadap fatwa yang haram yang dikeluarkannya. 3. Sumber Data Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu: a. Data Primer Mengenai obyek dari kajian penelitian ini, penulis menggunakan fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah mengenai pengharaman Rokok Sebagai data Primer bahan analisa pembuatan skripsi ini, Karena melalui istinbath itu penulis dapat menganalisa metode istinbat hukum yang digunakan Majelis Tarjih Muhammadiyah terhadap pengharaman rokok. b.
Data Skunder Sedangkan tehnik dalam pengumpulan data skunder atau data penunjang,
penulis mengumpulkan data dengan bantuan Library Research yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara penelusuran literature, text book, surat kabar, majalah hukum, dan lain sebagainya yang mengandung sumber informasi terkait judul skripsi.
Kemudian
penulis
mengolah
data
dengan
menganalisa
serta
mengintrepretasikan bahan kajian yang telah ada untuk memperoleh landasan teoritis yang akurat serta menunjang proses penulisan skripsi ini, dengan demikian tujuan untuk memperoleh informasi terkini mengenai segala sesuatu yang
14
dibutuhkan serta menunjang keakuratan data untuk melengkapi penulisan skripsi ini dapat dicapai dengan maksimal. c. Teknik Analisis Data Kemudian teknik analisis data yang penulis lakukan adalah dari data yang sudah terkumpul baik dari data primer maupun skunder penulis kaitkan dengan menganalisa permasalah yang ada guna menemukan jawaban terhadap permasalahan seperti yang telah di rumuskan dalam perumusan permasalahan pada skripsi ini, dengan menggunakan metode deskriptif analisis. Kemudian dalam teknik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman kepada ketentuan yang telah diatur dalam buku “pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2008/2009”.
G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima Bab. Dengan uraian sistematika pembahasan sebagai berikut: Bab I : Merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, Identifikasi Masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian serta sistematika penulisan. Bab II : Pada bab ini berisikan mengenai landasan teori, yaitu Definisi Fatwa, Mekanisme Fatwa, serta kekuatan atau kedudukan fatwa.
15
Bab III : Bab ini menguraikan Majelis Tarjih dan Tarjih Muhammadiyah, yakni membahas mengenai pengertian Majelis Tarjih, kedudukan Majelis Tarjih Muhammadiyah, tugas dan wewenang Majelis Tarjih, serta Fatwa majelis tarjih Muhammadiyah. Bab IV : Bab ini membahas mengenai Rokok dalam perspektif majelis tarjih Muhammadiyah sub pembahasan yaitu rokok dalam persfektif ilmu kesehatan, metode istinbath hukum majelis tarjih Muhammadiyah dalam fatwa rokok serta analisis penulis. Bab V : Adalah penutup, terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG FATWA
A. Definisi Fatwa Dalam kehidupan sehari-hari, kaum muslimin seringkali mendengar istilah fatwa. Bagi sebagian orang, fatwa dianggap sebagai sebuah ketentuan yang harus dijalankan. Fatwa dianggap sebagai sebuah hukum yang memiliki konsekuensi dalam menjalankannya. Bagi sebagian yang lain, fatwa dianggap sebagai sebuah anjuran. Sehingga tidak ada ketentuan hukum dalam menjalankan atau meninggalkan suatu fatwa. Fatwa berasal dari bahasa Arab al-ifta’, al-fatwa. Yang secara sederhana dimengerti sebagai pemberi keputusan.1 Fatwa adalah suatu jawaban resmi terhadap pertanyaan atau persoalan penting menyangkut dogma atau hukum, yang diberikan oleh seseorang yang mempunyai otoritas untuk melakukannya. 2 Fatwa secara etimologi (bahasa) ialah:
Artinya: “Menyelesaikan setiap masalah” 3
1
Pengantar M. Quraisy Shihab dalam bukunya M.B. Hooker, Islam Mazhab Indonesia, Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial, terjemahan Iding Rosyidin Hasan, (Jakarta: Teraju, 2003), Cet. II, h. 16 2 Ibid., h. 21. 3
Khairul Uman dan A. Achyar Aminuddin, Ushul Fiqh II, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), h. 173
16
17
Definisi tersebut jika dicari persamaannya dalam al-Quran adalah sebuah solusi dari suatu permasalahan. Seperti firman Allah SWT:
) ١٢٧ : (النساء Artinya: Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, , sedang kamu ingin mengawini merekadan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahuinya.QS. An-Nisa‟ (QS. An-Nisa (4): 127)
Sedangkan fatwa secara terminologi (istilah) ialah:
Artinya: “Fatwa adalah menyampaikan hukum-hukum Allah berdasarkan dalildalil syariah yang mencakup segala persoalan.” 4
4
Ibid, h. 175
18
Berdasarkan terminologi tersebut, fatwa adalah sebuah hukum yang berasal dari Allah dengan menyandarkan pada dalil-dalil syariah mengenai berbagai pertanyaan yang berkenaan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat manusia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, fatwa adalah jawaban (keputusan, pendapat) yang diberikan oleh mufti tentang suatu masalah.5 Fatwa (bahasa Arab, keputusan yang sah), suatu pengumuman yang sah diberikan sebagai tanggapan atas suatu pertanyaan tentang suatu praktek hukum Islam. Keputusan ini diberikan oleh seorang mufti dengan kualifikasi tinggi dan berdasarkan pada sesuatu yang bisa dijadikan teladan dan wewenang bukan pendapat pribadi sendiri.6 Fatwa adalah menerangkan hukum agama dari suatu persoalan sebagai jawaban pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustasfi), baik perorangan maupun kolektif, baik dikenal maupun tidak dikenal. Dalam ilmu ushul fiqh fatwa berarti pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid atau sebagai jawaban yang diajukan peminta dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat.7
5
Pusat Bahasa dan Budaya, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), Cet. Ke-3, h. 275 6
Muhammad Iqbal dan William Hunt, Ensiklopedi Ringkas tentang Islam, (Jakarta: Taramedia, 2003), h. 110-111. 7
A. Rahman Ritonga, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 326
19
Dalam buku fatwa Munas VII MUI 2005, disebutkan bahwa fatwa adalah penjelasan tentang hukum atau ajaran Islam mengenai permasalahn yang dihadapi atau ditanyakan oleh masyarakat serta merupakan pedoman dalam melaksanakan ajaran agamanya.8 Fatwa adalah nasehat yang datangnya dari orang yang lebih tinggi kepada orang yang lebih rendah dari padanya, baik tingkatan umurnya, ilmunya maupun kewibawaannya.9 Fatwa adalah sama dengan petuah, nasehat, jawaban atas pertanyaan yang berkait dengan hukum. Jamaknya adalah fatawa, dalam ilmu ushul fiqh berarti pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid atau faqih sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat.10 Fatwa menurut syara’ adalah menerangkan hukum syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban dari satu pertanyaan, baik si penanya tersebut jelas identitasnya maupun tidak, baik perseorangan maupun kolektif.11 Inti dari pengertian fatwa merupakan jawaban atau penjelasan atas suatu pertanyaan atau kasus yang sedang dihadapi, dan dapat dijadikan pedoman atau dasar sesuai dengan keyakinan ajaran agamanya masing-masing.
8
Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Munas VII MUI 2005, Cet. III, h. V
9
M. Abdul Mujieb, dkk., Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), h. 77
10
Abdul Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996), Jilid 2, h. 326 11
Terj. Yusuf al-Qardhawi, Fatwa antara Ketelitian dan Kecerobohan, (Jakarta: Gema Insani, 1997), h. 5
20
Dari pengertian-pengertian fatwa di atas, dapat dijumpai adanya pihak yang meminta fatwa (mustafti) dan ada pihak yang memberi fatwa (mufti). Pihak yang meminta fatwa (mustafti) bisa bersifat pribadi, lembaga atau kelompok masyarakat, ataupun pemerintah dan bahkan dari kalangan MUI sendiri. Sedangkan pemberi fatwa (mufti) adalah pihak yang mengeluarkan fatwa yang dilakukan oleh seorang mujtahid atau faqih yang telah memenuhi persyaratanpersyaratan tertentu dalam mengeluarkan fatwa. Fatwa tersebut bersifat petuah, nasehat dan tidak harus diikuti oleh peminta fatwa, karena fatwa tersebut tidak mempunyai daya ikat atau sanksi bagi yang melanggarnya. Fatwa muncul karena adanya suatu perkara akibat perkembangan sosial yang dihadapi oleh umat, karena itu fatwa mensyaratkan adanya orang yang meminta atau kondisi yang memerlukan adanya pandangan atau keputusan hukum. Dengan demikian, fatwa tidak persis dengan tanya jawab keagamaan biasa seperti dalam pengajian-pengajian, bukan juga sekedar ceramah seputar suatu ajaran agama, fatwa senantiasa sangat sosiologis, ia mengandaikan adanya perkembangan baru, atau kebutuhan baru yang secara hukum belum ada ketetapan hukumnya atau belum jelas duduk masalahnya.12 Tradisi pemberian fatwa di zaman Nabi Muhammad SAW diawali dengan datangnya suatu pertanyaan dari umatnya, penjelasan mengenai hukum Islam didasarkan pada al-Quran, as-Sunnah, dan apa yang diwahyukan pada
12
M.B. Hooker, Islam Mazhab Indonesia; Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial, terj. Iding Rosyidin Hasan, (Jakarta: Teraju, 2003), Cet. Ke-2, h. 16
21
beliau, dalam al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang dimulai dengan pertanyaan dari masyarakat, mereka bertanya kepada Nabi SAW tentang berbagai persoalan, lalu mendapat jawaban dari Allah SWT melalui wahyu yang disampaikan kepada beliau. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain tentang nikah beda agama (alBaqarah (2): 221), khamr dan judi (al-Baqarah (2): 219), masa haid bagi wanita (al-Baqarah (2): 222), anak yatim (al-Baqarah (2): 220), perang pada bulan Haram (al-Baqarah (2): 217), dan lain-lain.13 Pada zaman Nabi SAW tidak terdapat pemisahan antara hukum agama dan hukum negara. Sebagai hakim, beliau memutuskan perkara yang ditanyakan, dan beliau memerintahkan untuk melaksanakannya, setelah beliau wafat, permasalahan tentang hukum ditanyakan kepada para khalifah dan hakim yang mengadili perkara masyarakat. Kalangan sahabat Nabi SAW yang terkenal sebagai pemberi fatwa di Madinah adalah „Aisyah binti Abu Bakar, Abdullah, Abu Hurairah, Said bin al-Musayyab, Urwah ibnu al-Zubair, Abu Bakar ibn Abdul Rahman ibn al-Haris, Ali ibn Abu Thalib dan Sulaiman ibn Yasar. Sementara itu di Makkah sahabat pemberi fatwa yang terkenal antara lain Abdullah ibn Abbas ibn Abdul Muthalib, Mujahid ibn Jabar, Ikrimah, Atho‟ ibn Abi Rabah dan Abu al-Zubair Muhammad ibn Muslim ibn Quddus. Sedangkan di Bashrah sahabat yang terkenal dalam memberi fatwa antara lain Anas ibn Malik al-Anshari, Abu „Aliyah Rafi‟ ibn Mahram, Hasan ibn Abi Hasan, dan di
13
Muhammad al – Khudhari Bek, Tarikh al- Tasyri’ al-Islami, (Beirut, Dar al- Kutub alIlmiyyah, 2008), Cet. 3, h. 15
22
Mesir sahabat pemberi fatwa yang terkenal antara lain Abdullah ibn Umar ibn al„Ash, Abu al-Khair Mursid ibn Abdullah al-Yazni, Yazid ibn Abu al-Habib.14 Dengan semangat dakwah Islam yang menjulang, menghasilkan wilayah Islam yang semakin meluas, kebutuhan manusia semakin beragam pula, sehingga berbagai persoalan muncul dari zaman ke zaman, yang memerlukan jawaban dan penyelesaian yang cukup serius. Untuk itu para warga pergi ke tokoh-tokoh masyarakat yang terdiri dari kaum ulama untuk menanyakan masalah-masalah hukum yang sedang dihadapi. Sudah menjadi sunnatullah bahwa tingkat pemikiran manusia, semakin meningkat dari zaman ke zaman. Hal ini terbukti dengan semakin banyak rahasia alam yang berhasil disingkap oleh manusia serta pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah berhasil menyediakan berbagai sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia yang semakin beragam. B. Mekanisme Fatwa Agama
memegang
peranan
penting
dalam
mengarahkan
dan
membimbing masyarakat. Tidak ada yang menandingi kekuatan Agama. Dan agama tidak dapat dinomorduakan atau diletakkan di pinggiran kehidupan manusia, karena Agama merupakan sumbu utama dan pegangan pokok bagi kehidupan manusia.15
14
Ibid., h. 148
15
Uyun Kamiluddin, Menyoroti Ijtihad Persis Fungsi dan Peranan Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Takafur, 2006) Cet. I, h. 12
23
Perlu ditegaskan, bahwa loncatan umat Islam dari milenium lalu ke milenium baru ini jelas menghadirkan banyak sekali perubahan dan perkembangan yang menyisakan kondisi-kondisi baru yang membutuhkan fatwa. Fatwa sudah semestinya menjadi respon proaktif dari para otoritas pemberi fatwa dalam menanggapi, bahkan persoalan-persoalan yang belum terjadi, namun sudah dapat diprediksi kehadirannya, seperti kloning manusia, dan sebagainya. Dengan demikian lembaga pemberi fatwa dituntut lebih jeli dan produktif dalam memahami kebutuhan masyarakat riil manusia. Pada tingkat resmi dan organisasi kemasyarakatan, pemberi fatwa tidak pernah dilakukan secara pribadi. Di negara-negara Timur Tengah seperti Mesir, Libanon, Irak, Iran dan Saudi Arabia, begitu juga negara-negara ASEAN seperti Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura, fatwa selalu diberikan oleh lembaga-lembaga yang berwenang. Di Indonesia pada tingkat nasional terdapat komisi fatwa MUI, dan pada tingkat ke-Ormasan Islam terdapat lembaga fatwa seperti Lajnah Tarjih Muhammadiyah dan Bahsul Masa‟il NU. Dua lembaga yang terakhir ini merupakan lembaga fatwa perintis pertama di Indonesia.16 Dari pengertian fatwa di atas dapat disimpulkan bahwa fatwa mempunyai beberapa karakteristik, antara lain:
16
M. Atho Mudzar, Fatwa-fatwa MUI; Sebuah Studi Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: INIS, 1993, h. 4
24
1. Fatwa hanya dilakukan ketika ada kejadian nyata, dan seorang ahli fiqh berusaha mengetahui hukumnya. Fatwa yang baik dari seorang mujtahid17, disamping harus memenuhi semua persyaratan ijtihad juga harus memenuhi beberapa persyaratan yang lain, yaitu mengetahui secara persis kasus yang dimintakan fatwanya, mempelajari psikologi peminta fatwa dan masyarakat lingkungannya, agar dapat diketahui dampak dari fatwa tersebut, dari segi posifit dan negatifnya. Diceritakan dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa ia mengemukakan beberapa syarat bagi mufti, yaitu: Seseorang seyogyanya tidak mengeluarkan fatwa sebelum memenuhi lima hal: pertama, memasang niat. Jika tidak disertai niat, maka ia serta ucapannya tidak mendapatkan nur (pencerahan). Kedua, bertindak atas dasar ilmu, penuh santun, wibawa dan ketenangan. Ketiga, mempunyai kekuatan untuk menghadapi dan mengetahui persoalan yang akan dikeluarkan fatwanya. Keempat, memiliki ilmu yang cukup. Sebab jika tidak didukung dengan ilmu yang memadai, maka ia akan dilecehkan dan menjadi bahan gunjingan orang. Kelima, mengetahui kondisi sosiologis masyarakat.18
17
Syarat-syarat mujtahid yang menggali hukum (mustanbith), adalah: menguasai bahasa Arab, mengetahui nasakh dan mansukh dalam al-Quran, mengerti sunnah (hadits), mengerti letak ijma‟ dan khilaf, mengetahui qiyas, mengetahui maksud-maksud hukum. Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terj. Saefullah, (Jakarta: pustaka Firdaus, 1999), cet. Ke-5, h. 568-575 18
Ibid, h. 595
25
2. Keputusan fatwa bersifat tidak mengikat.19 Para ulama wajib memberi fatwa, tidak boleh mengharuskan orang untuk menggali diri hukum-hukum itu dari dalil-dalilnya.20 Namun ia tidak boleh mengerjakan apa yang difatwakan oleh seorang ulama kecuali apabila hatinya pun puas menerima hukum itu dan tidak merasakan bahwa apa yang difatwakan itu berlawanan dengan yang seharusnya.21 3. Fatwa harus berorientasi untuk kepentingan kemaslahatan masyarakat. Dalam hal ini as-Syatibi berkata sebagaimana dikutip oleh Muhammad Abu Zahrah: Mufti yang mencapai tingkat tinggi adalah mufti yang memberikan fatwa dengan pendapat tengah-tengah yang dapat diterima mayoritas masyarakat. Maka, ia tidak menawarkan mazhab dengan pendapat yang berat dan tidak pula turun kepada pendapat yang ringan.22 Karakteristik fatwa tersebut bisa diartikan sebagai alasan atau penyebab munculnya fatwa. Ketika sebuah fatwa dikeluarkan, baik oleh lembaga-lembaga keagamaan maupun oleh organisasi-organisasi keagamaan yang memiliki departemen fatwa dimaksudkan untuk memberikan jawabatan atas berbagai persoalan yang ada di tengah-tengah umat manusia yang masih menjadi tanda tanya di antara mereka. Dalam mengeluarkan suatu fatwa, ada mekanisme yang
19
A. Rahman Ritonga, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 326 20
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiequ, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001), Cet. Ke-2, h. 166 21
Ibid, h. 67
22
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Kairo: Dar Al Fikri al „Arabiy), h. 596.
26
harus dianut. Dan mekanisme tersebut tercermin dari tiga karakteristik fatwa di atas. As-Syatibi memberikan alasan, bahwa mengambil salah satu dari dua sudut pendapat yang ekstrem akan keluar dari konteks keadilan, menyimpang ke arah kelaliman. Ia menegaskan, segi yang memberatkan akan mendatangkan kepada kerusakan, sedang segi toleransi yang mutlak akan mendatangkan kepada kelemahan.23 Pintu rukhshah (kemurahan) terbuka lebar di depan seorang mufti. Dengan rukhshah ia hadir mengobati kondisi masyarakat (penyakit sosial), apabila ia melihat bahwa menetapkan „azimah (hukum asal) akan mendatangkan kesulitan dan kesusahan. Sesungguhnya Allah suka bila dijalankan rukhshahrukhshah-Nya, sebagaimana halnya suka bila dilaksanakan „azimah-„azimahNya. Dalam keadaan di mana „azimah menimbulkan kesusahan, maka rukhshah lebih disukai Allah dari pada „azimah. Sebab Allah menginginkan hamba-Nya memperoleh kemudahan, tidak mengingingkan tertimpa kesusahan.24 Dalam Islam terdapat teori yang menyebutkan tentang maqâsid assyarî’ah. Dalam teori tersebut di jabarkan lima hal yang harus dijaga dalam mememutuskan suatu perkara. 1. Memelihara agama (hifz al-dîn)
23
Ibid
24
Ibid, h. 597.
27
Menjaga atau memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat: a. Memelihara agama dalam peringkat darûriyyât, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang termasuk peringka primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat ini diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama. b. Memelihara agama dalam peringkat hâjiyyât, yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti shalat jama‟ dan qashar bagi orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan, maka tidak akan mengancam eksistensi agama, melainkan hanya mempersulit orang yang melakukannya. c. Memelihara agama dalam peringkat tahsîniyyât, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajibannya kepada Tuhan. Misalnya, menutup aurat, baik di dalam maupun luar shalat, membersihkan badan, pakaian dan tempat. 2. Memelihara jiwa (hifz al-nafs) Memelihara
jiwa,
berdasarkan
tingkat
kepentingannya,
dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat: a. Memelihara jiwa dalam peringkat darûriyyât, seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau
28
kebutuhan pokok itu diabaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia.25 b. Memelihara jiwa dalam peringkat hâjiyyât, seperti dibolehkan berburu dan menikmati makanan yang lezat dan halal. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya akan mempersulit hidupnya. c. Memelihara jiwa dalam peringkat tahsîniyyât, seperti ditetapkannya tata cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan atau etiket, sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang. 3. Memelihara akal (hifz al-‘aql) Memelihara akal, dilihat dari segi kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat: a.
Memelihara akal dalam peringkat darûriyyât, seperti diharamkan meminum minuman keras. Jika ketentuan ini tidak diindahkan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi akal.
b.
Memelihara akal dalam peringkat hâjiyyât, seperti dianjurkan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya kegiatan itu tidak dilakukan, maka tidak akan merusak akal, tetapi akan mempersulit diri seseorang, dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
25
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Kairo: Dar Al Fikri al „Arabiy), h. 42
29
c.
Memelihara akal dalam peringkat tahsîniyyât, seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaidah. Hal ini erat kaitannya dengan etiket, tidak akan mengancam eksistensi akal secara langsung.26
4. Memelihara keturunan (hifz al-nasl) Memelihara keturunan, ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat: a. Memelihara keturunan dalam peringkat darûriyyât, seperti disyari‟atkan nikah dan dilarang zina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka akan terancam eksistensi keturunan.27 b. Memelihara keturunan dalam peringkat hâjiyyât, seperti ditetapkan ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talak padanya. Jika mahar itu tidak disebutkan pada waktu akad, maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia harus membayar mahar misl. Sedangkan dalam kasus talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi rumah tangga tidak harmonis lagi. c. Memelihara keturunan dalam peringkat tahsîniyyât, seperti disyari‟atkan khitbah atau walîmah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan 26
27
Ibid, h. 43
Ibid.
30
mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula akan mempersulit orang yang melakukan perkawinan. 5. Memelihara harta (hifz al-mâl) Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga peringkat: a. Memelihara harta dalam peringkat darûriyyât, seperti disyari‟atkan tatacara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Apabila aturan itu dilanggar, maka akan berakibat terancanmnya eksistensi harta. b. Memelihara harta dalam peringkat hâjiyyât, seperti disyari‟atkan jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan mengancam eksistensi harta melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan modal. c. Memelihara harta dalam peringkat tahsîniyyât, seperti adanya ketentuan agar menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan berpengaruh kepada keabsahan jual beli itu, sebab peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat yang kedua dan pertama.28 Adapun proses yang berkaitan dengan mekanisme pemberian fatwa yakni, 1. al-Ifta atau al-futya, kegiatan menerangkan hukum syara’ (fatwa) sebagai jawaban yang diajukan. 28
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Kairo: Dar Al Fikri al „Arabiy), h. 44
31
2. Mustafti, artinya individu atau kelompok yang mengajukan pertanyaan atau meminta fatwa. 3. Mufti, Orang yang memberikan fatwa atas pertanyaan yang diajukan. 4. Mustafti Fih, masalah, peristiwa, kasus atau kejadian yang ditanyakan status hukumnya. 5. Fatwa, Jawaban atau hukum atas masalah, peristiwa, kasus atau kejadian yang ditanyakan.29
C. Kekuatan/kedudukan Fatwa Kehidupan sehari-hari tidak pernah mudah bagi individu yang sungguhsungguh berpedoman pada wahyu, kesulitan-kesulitannya berlipat ganda dengan adanya akomodasi Islam yang setengah hati. Fatwa merupakan suatu yang krusial karena merupakan respon internal terhadap pelbagai persoalan di mana angota-anggota umat sendiri memandangnya sebagai hal yang sangat penting dalam rangka menunaikan kewajiban yang diberikan Tuhan dengan benar. Dalam kehidupan di masyarakat fatwa menduduki fungsi yang sebagai amar ma’ruf nahi munkar, karena ia menyampaikan pesan-pesan agama yang harus dikerjakan atau harus ditinggalkan oleh umat. Oleh karena itu, hukum berfatwa menurut asalnya adalah fardhu kifayah. Bila dalam suatu wilayah hanya ada seorang mufti yang ditanya tentang suatu masalah hukum yang sudah terjadi dan akan luput seandainya ia tidak segera berfatwa, maka hukum berfatwa atas 29
Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: elsas, 2008) h.21.
32
mufti tersebut menjadi fardhu a’in. Namum, bila ada mujtahid lain yang kualitasnya sama atau lebih baik atau masalah yang ditanyakan kepadanya bukanlah masalah yang mendesak untuk segera dipecahkan, maka hukum berfatwa bagi mufti tersebut adalah fardhu kifâyah.30 Lahirnya suatu fatwa berpengaruh terhadap pensosialisasinya di masyarakat. Fatwa harus dikeluarkan oleh mufti yang memahami, mengerti dan mendalami akan hukum syari’at, mufti berkedudukan sebagai pemberi penjelasan tentang hukum syara’ yang harus diketahui dan diamalkan oleh umat. Oleh karena itu, umat akan selamat apabila ia berfatwa dengan benar dan akan sesat apabila ia salah dalam berfatwa. Kedudukan mufti sama dengan hakim, yaitu menggali hukum atau mencetuskan hukum kepada umat. Namun fatwa yang dikeluarkan bukanlah peraturan atau undang-undang yang harus diikuti, fatwa hanyalah nasehat, petuah atas jawaban pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan hukum, tiada sanksi bagi yang menghianatinya. Sebelum memberikan jawaban atau fatwa, seorang mufti pada dasarnya telah melalui proses yang mencakup empat hal, yaitu : 1. Apa hukum atas masalah yang dimaksud. 2. Apakah dalilnya 3. Apa wajh dalalah-nya.
30
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: PT Logos Wacanan Ilmu, 2001), Cet. Ke-2, h.
434-435
33
4. Apa saja jawaban-jawaban/fatwa yang bertentangan di seputar persoalan yang dimaksud. Berdasarkan hal itu, sebagian ulama ahli fiqh mensyaratkan seorang mufti itu harus ahli ijtihad (mujtahid). Sebab, empat proses tersebut di atas, menuntut kemampuan orang yang ahli ijtihad, di samping tentu saja dia adalah seorang muslim, adil, mukallaf, ahli fiqh dan memliki pemikiran yang jernih. Namun asSyaukani tidak mensyaratkan seorang mufti itu harus mujtahid, yang penting dia ahli di dalam agama Islam.31 Seorang mufti juga harus memperhatikan beberapa keadaan, seperti : mengetahui secara persis kasus yang dimintakan fatwanya, mempelajari psikologi mustafti dan masyarakat lingkungannya agar dapat diketahui implikasi dari fatwa yang dikeluarkannya sehingga tidak membuat agama Allah menjadi bahan tertawaan dan permainan. Lebih lanjut seperti yang telah di yakini Imam Malik, bahwa ia tidak akan memberi fatwa suatu masalah sebelum ada pengakuan dari tujuh puluh ulama yang menyatakan bahwa dirinya mempunyai kemampuan untuk menjawab permasalahan tersebut.32 Hal ini dijaga demi menjaga kehati-hatian keluarnya hukum. Seorang mufti tidak boleh berfatwa dengan fatwa yang bertentangan dengan nash syar’i, meskipun fatwanya itu sesuai dengan madzhabnya. Ia juga tidak boleh berfatwa dari perkataan dan pandangan yang belum mengalami 31
Ibid, h.435
32
Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam (Jakarta:elsas,2008), h. 29
34
proses tarjih atau analisis perbandingan dan pengambilan dalil terkuat. Kehatihatian para salaf as shaleh dalam menjawab suatu masalah yang diajukan merupakan
cerminan
keluasan
ilmu
dan
kehati-hatian
mereka
dalam
mengeluarkan fatwa, karena mereka mengetahui secara persis ancaman bagi orang yang mengeluarkan fatwan tanpa yakin akan dalil-dalilnya. Ancaman bagi orang atau pihak yang dengan mudah mengeluarkan fatwa tanpa pertimbangan yang matang adalah neraka.33 Dengan memperhatikan berbagai penjelasan di atas, baik mengenai pengertian fatwa maupun sejarah fatwa di masa Rasulullah atau sahabat, ditambah dengan beberapa karakteristik yang melekat pada pemberian suatu fatwa, maka dapat disimpulkan bahwa fatwa mempunyai kedudukan yang tidak mengikat. Fatwa yang dikeluarkan oleh pemberi fatwa, tidak serta merta harus diikuti atau dijalankan oleh kaum muslimin. Hal ini karena sifat fatwa yang lebih kepada anjuran atau saran, sehingga memberikan pilihan kepada kaum muslimin untuk mengikutinya atau tidak.
33
Ibid
BAB III MAJELIS TARJIH DAN TAJDID MUHAMMADIYAH
A. Pengertian Majelis Tarjih Pemikiran Muhammadiyah dalam bidang keagamaan pada umumnya dan pemikirannya dalam bidang fikih khususnya telah ditulis dalam Himpunan Putusan Majelis Tarjih. Buku ini memuat putusan-putusan yang telah diambil oleh Majelis Tarjih dalam berbagai bidang, terutama bidang fikih. Kemudian berbagai macam putusan Majelis Tarjih juga dapati dijumpai dalam buku-buku lain yang diterbitkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah.1 Menurut bahasa, kata tarjih berasal dari rajjaha. Rajjaha berarti member pertimbangan lebih dahulu dari pada yang lain. Menurut istilah, para ulama berbeda-beda dalam memberikan rumusan tarjih ini. Sebagian besar ulama Hanafiyah, Syafi‟iyyah dan Hanabilah, memberikan rumusan bahwa tarjih itu perbuatan mujtahid, sehingga dalam kitab Kasyufu „l-Asrâr disebutkan bahwa tarjih adalah:2
1
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995), Cet. Ke-1, h. 9 2
Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah; Metodologi dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet. Ke-5, h. 3
35
36
Artinya: “Usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu di antara dua jalan yang bertentangan, karena adanya kelebihan yang nyata untuk dilakukan tarjih.” Dalam penjelasan kitab tersebut dikatakan bahwa mujtahid yang mengemukakan satu dari dua dalil itu lebih kuat dari yang lainnya, karena adanya keterangan; baik tulisan, ucapan, maupun perbuatan yang mendorong mujtahid untuk mengambil yang mempunyai kelebihan dari pada yang lain. Barangkali akan lebih sempurna kalau kita tambahkan pengertian (ta‟rif) yang menyebutkan adanya pertentangan dua dalil itu dalam kualifikasi yang sama, seperti yang dikemukakan oleh Ustadz Ali Hasballah, dengan rumusan:
Artinya: “Menempatkan kelebihan salah satu dari dua dalil yang sama dengan sesuatu yang menjadikannya lebih utama dari yang lain dengan ungkapan atau penggunaannya.”3 Sedangkan tarjîh merupakan istilah yang terdapat dalam ilmu usûl al-fiqh yang secara harfiah diartikan dengan „pengukuhan‟, yang membuat sesuatu yang kukuh
(
). Dalam istilah usûl al-fiqh kata ini diartikan dengan
mengukuhkan salah satu di antara dua dalil yang bertentangan yang seimbang 3
Ibid, h.4
37
kekuatannya dengan menyatakan kelebihan dalil yang satu dari yang lainnya. Dengan demikian tarjîh hanya dilakukan pada dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan, baik yang bersifat qat‟i maupun zanni. Sedangkan tugas Majelis Tarjih pada Muhammadiyah adalah membahas dan memutuskan masalahmasalah keagamaan yang diperselisihkan, dengan cara mengambil pendapat yang dianggap kuat dalilnya.4 Sedang K.H. Sahlan Rasyidi, sebagaimana yang dikutip oleh Arbiyah Lubis, mendefinisikan tarjih dalam organisasi Muhammadiyah sebagai: “Bermusyawarah bersama dari tokoh-tokoh ahli yang meneliti, membanding, menimbang dan memilih dari segala masalah yang diperselisihkan karena perbedaan pendapat di kalangan umat awam mana yang dianggap lebih kuat, lebih mendasar, lebih besar dan lebih dekat dari sumber utamanya ialah al-Quran dan Hadis.”5 Sedangkan tajdid, dari segi bahasa berarti pembaharuan, dan dari segi istilah tajdid memiliki dua arti, yakni (1) pemurnian; (2) peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya. Dalam arti “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber kepada al-Quran dan as-Sunnah as-Shalihah. Dalam arti “peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya”, tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran pengamalan, dan
4
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995), Cet. Ke-1, h. 65 5
Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh; Suatu Studi Perbandingan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 91
38
perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada al-Quran dan asSunnah as-Shalihah. Untuk melaksanakan tajdid dalam kedua pengertian istilah tersebut, diperlukan aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang dijiwai oleh ajaran Islam. Menurut Muhammadiyah, tajdid merupakan salah satu watak dari ajaran Islam. Rumusan tajdid tersebut mengisyaratkan bahwa Muhammadiyah ijtihad dapat dilakukan terhadap peristiwa atau kasus yang tidak terdapat secara eksplisit dalam sumber utama ajaran Islam, al-Quran dan Hadits; dan terhadap kasus yang terdapat dalam kedua sumber itu. Ijtihad dalam bentuknya yang kedua dilakukan dengan cara menafsirkan kembali al-Quran dan Hadits sesuai dengan kondisi masyarakat sekarang ini. Pada prinsipnya, Muhammadiyah mengakui peranan akal dalam memahami al-Quran dan Hadits. Namun kata-kata “yang dijiwai ajaran Islam memberi kesan bahwa akal cukup terbatas dalam menyelesaikan masalah-masalah yang timbul sekarang ini, dan akal juga terbatas dalam memahami nash al-Quran dan Hadits. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jika pemahaman akal berbeda dengan kehendak zâhir nash, maka kehendak nash harus didahulukan daripada pemahaman akal. Prinsip ini jelas berbeda dengan prinsip yang diyakini oleh Muhammad Abduh. Menurut yang disebut terakhir ini, akal harus didahulukan
39
dari arti zâhir nash, jika terdapat pertentangan di antara keduanya. Artinya, nash itu harus dicari interpretasinya sehingga sesuai dengan pemahaman akal.6 Majelis Tarjih Muhammadiyah mengakui kenisbian akal dalam memahami nash al-Quran dan Hadis. Tetapi, kenisbian itu hanya terbatas pada ketentuan-ketentuan yang sudah diatur dalam nash. Sedangkan dalam masalah keduniaan penggunaan akal sangat diperlukan guna mencapai kemaslahatan umat. Artinya, masalah-masalah yang berhubungan dengan sesama manusia, atau bisa disebut mu‟âmalah, dengan demikian penggunaan akal sangat penting dalam menghadapi masalah mu‟amalah, khususnya yang berhubungan dengan masalah sosial, karena Muhammadiyah disebut organisasi sosial. Kerangka tarjih Muhammadiyah bertitik tolak dari kerangka berpikir bahwa Islam diyakini sebagai agama wahyu yang bersifat universal dan eternal. Islam dalam pengertian ini tidak dapat diubah. Kemudian untuk menjadi kesemestaan dan keabadian ajaran Islam di dunia yang senantiasa berubah, diperlukan penyesuaian dan penyegaran dengan situasi baru. Sehingga pada hakikatnya tarjih dalam Muhammadiyah terkait dengan masalah tafsir, hadis, dan usul al-fiqh.7 Setelah penulis mengemukakan pengertian dari tarjih itu sendiri, penulis kemudian berusaha untuk memberikan beberapa aspek yang terdapat dalam 6
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995), Cet. Ke-1, h. 58-59 7
Afifi Fauzi Abbas, anggota majlis tarjih PP. Muhammadiyah Periode 2005-2010 pada pengajian tarjih “Kitab Masail Khamsah” di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Menteng Raya, hari Ahad, 12 Februari 2006. Dikutip dari Rifka Rahma Wardati, Tafsir Tematik al-Quran tentang Hubungan Sosial antarumat beragama Karya Majlis Tarjih Muhammadiyah, Skripsi, (Jakarta: Fakultas Ushuluddin, 2006), h. 17
40
proses pentarjihan. Hal ini penulis lakukan,dalam rangka untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang tarjih. Setidaknya ada tiga aspek pentarjihan. Hal ini jika dilihat dari uraian para ahli ilmu Ushul Fiqh berkaitan dengan tarjih untuk dalil-dalil manqûl, yaitu:8 1. Yang kembali kepada sanad, dan ini dibagi menjadi dua: a. Yang kembali kepada diri perawi yang dibagi menjadi dua pula; yang kembali kepada diri perawi dan yang kembali pada penilaian perawi b. Yang kembali kepada periwayatan 2. Yang kembali kepada matan. 3. Yang kembali kepada hal yang di luar tersebut.9 Untuk lebih jelaskanya, berikut ini adalah penjelasan dari ketiga aspek pentarjihan tersebut di atas. 1. Yang kembali kepada diri perawi: a. Jumlah perawi (maksudnya sanad) yang banyak jumlahnya dimenangkan dari yang sedikit. b. Kemasyhuran tsiqah seorang perawi dimenangkan dari yang tidak. c. Perawi yang lebih wara‟ dan takwa dimenangkan dari yang kurang.
8
Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah; Metodologi dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet. Ke-5, h. 5-8 9
Ibid,
41
d. Perawi yang telah mengamalkan yang diriwayatkan, lebih diutamakan dari yang menyelisihinya. e. Perawi yang menghayati langsung yang diriwayatkan, dimenangkan dari yang jauh. f. Perawi yang lebih dekat hubungannya dengan Nabi, dimenangkan dari yang jauh. g. Perawi yang termasuk kibâr-i l-Shahâbah diutamakan dari yang Shighâr-i „l-Shahâbah. h. Perawi yang lebih dulu Islamnya dimenangkan dari yang kemudian. i. Perawi yang mendengar ucapan hafalan langsung lebih diutamakan dari yang hanya menerima dari tulisan. j. Perawi yang menerima khabar sesudah baligh diutamakan dari yang menerima sebelum baligh.10 2. Yang kembali pada penilaian (tazkiyah) perawi: a. Jumlah yang menganggap baik lebih banyak dimenangkan dari yang sedikit. b. Ungkapan yang menganggap baik dengan tegas diutamakan dari yang tidak tegas. c. Pensucian
perawi
dengan
menggunakan
kata
pensaksian
dimenangkan dari yang hanya dengan kata periwayatan saja. 3. Yang kembali pada periwayatan: 10
Ibid, h. 7
42
a. Yang diriwayatkan atas yang didengar dari gurunya diutamakan dari yang dibaca di hadapan gurunya. b. Yang
disepakati
marfu‟-nya
dimenangkan
dari
yang
diperselisihkan. c. Riwayat bi l-lafzzhi dimenangkan dari riwayat bi „l-ma‟na. 4. Yang kembali kepada matan, dititikberatkan pada lafaz dan makna: a. Yang bukan musytarak didahulukan dari yang musytarak. b. Haqikah didahulukan atas majaz. c. Kalau keduanya musytarak, yang lebih sedikit artinya didahulukan dari yang banyak artinya. d. Kalau keduanya majaz, pengertian yang manqul didahulukan atas yang ma‟qul. e. Yang tidak memerlukan izhmar atau hadzf didahulukan atas yang memerlukan. f. Kalau keduanya hakiki, maka yang lebih masyhur yang dipakai. g. Makna syar‟i didahulukan atas makna lughawi. h. Yang ada muakkad-nya didahulukan dari yang tidak. i. Manthuq didahulukan atas yang mafhum. j. Khâsh didahulukan atas „âm. 5. Yang kembali pada isi dalil: a. Yang melarang didahulukan atas yang membolehkan. b. Yang melarang didahulukan atas yang mewajibkan.
43
c. Yang mengandung hukum haram didahulukan atas yang makruh. d. Itsbat didahulukan atas nafi‟. e. Yang mengandung ziyadah didahulukan atas yang tidak. f. Yang mengandung taklifi dimenangkan atas yang wadl‟i. g. Yang meringankan didahulukan atas yang memberatkan.11 6. Tarjih sebuah dalil, berdasarkan yang lain dari hal-hal tersebut di atas: a. Yang mencocoki dengan dalil lain dimenangkan dari yang tidak. b. Yang mengandung apa yang diamalkan oleh ahli Madinah dimenangkan dari yang tidak. c. Yang ta‟wil-nya sesuai dimenangkan dari yang tidak sesuai. d. Hukum yang ber-illah dimenangkan dari yang tidak.12
B. Kedudukan Majelis Tarjih dalam Muhammadiyah Dilihat dari sejarah berdirnya, Majelis Tarjih Muhammadiyah tidak terlepas dari keadaan masyarakat Jawa yang sinkretis, serta banyaknya praktekpraktek bersifat „abangan‟, menyebabkan konsep dasar tauhid sebagai asas dari segala hal yang asasi terbelenggu tradisi animistik.13 Gambaran Cliffort Geerzt cukup memberikan kejelasan bahwa kehidupan ke-Islaman masyarakat Jawa
11
Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah; Metodologi dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet. Ke-5,h. 8 12
Ibid, h. 10
13 13
Cliffort Geerzt, The Religion of Java, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), Cet. Ke-3, h. 6
44
terklasifikasi ke dalam tiga struktur sosial, abangan, santri, dan priyayi, di mana masing-masing varian memberi kesan akan kualitas keberagamaannya masingmasing. Kondisi demikian menyadarkan Muhammadiyah, sehingga dalam kongres Muhammadiyah XVI tahun 1927 di Pekalongan, usulan K.H. Mas Mansur, supaya Muhammadiyah membentuk suatu Majelisatau badan semacam Majelis ulama yang bertugas khusus meneliti dan menggali hukum-hukum Islam berdasarkan al-Quran dan hadis, yang sekarang dikenal dengan Majelis Tarjih, diterima dengan suara bulat.14 Muhammadiyah disinyalir mengalami stagnasi pemikiran justru karena Majelis Tarjih Muhammadiyah belum berfungsi secara optimal. Adapun kelahiran Majelis Tarjih ini K.H. Mas Mansur mendasarinya dengan beberapa pertimbangan: 1. Dikhawatirkan di masa yang akan datang timbul perpecahan di dalam tubuh Muhammadiyah yang disebabkan perbedaan faham dan pendapat mengenai masalah-masalah furû‟iyah. 2. Dikhawatirkan kalau Muhammadiyah menyimpang dari aturan-aturan dan batasan-batasan agama disebabkan mengejar kebebasan lahiriah dan mengejar kuantitas.
14
H.D.G. Muchtar, et.al, Beberapa Pedoman Ber-tarjih, (Yogyakarta: Muhammadiyah, 1985),
h. 17
45
Dengan lahirnya Majelis Tarjih, menjadi tumpuah Muhamadiyah dalam gerakan
pemikiran
ke-Islaman
dan
menjadi
simbol
pembaharuan
Muhammadiayh tahap kedua.15 Berdasarkan pertimbangan di atas, maka pada kongres Muhammadiyah XVI di Pekalongan memutuskan untuk membentuk panitia perumusnya yang personalianya sebagai berikut: K.H. Mas Mansur, Surabaya, A.R. Sutan Mansur, Maninjau, H. Muchtar, Yogyakarta, H.A. Muthi, Kudus, Kartosudarmo, Jakarta, M. Husni dan Yunus Amin, Yogyakarta.16 Hasil kerja panitia perumus kemudian di bawa ke dalam Muktamar Muhammadiyah XVII tahun 1928 di Yogyakarta. Muktamar mengesahkan kaidah Majelis Tarjih serta membentuk pimpinan pusat yang diketuai oleh K.H. Mas Mansur dengan sekretarisnya H. Aslam Zainuddin. Sehubungan dengan semakin banyaknya tugas yang harus dilaksanakan oleh Majelis Tarjih, maka Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1971 telah menetapkan Kaidah Lajnah Tarjih. Dalam Pasal 2 Kaidah tersebut disebutkan, bahwa tugas Lajnah Tarjih adalah sebagai berikut: 1. Menyelidiki dan memahami ilmu agama Islam untuk memperoleh kemurniannya. 2. Menyusun tuntunan akidah, akhlak, ibadah dan mu‟amalah dunyawiyah.
15
M. Rusli Karim, Muhammadiyah dalam Kritik dan Komentar, (Jakarta: Rajawali Press, 1986), Cet. Ke-1, h. 37 16
H.D.G. Muchtar, et.al, Beberapa Pedoman Ber-tarjih, (Yogyakarta: Muhammadiyah, 1985), h. 12
46
3. Memberi fatwa dan nasihat, baik atas permintaan maupun Tarjih sendiri memandang perlu 4. Menyalurkan perbedaan pendapat/paham dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih maslahat. 5. Mempertinggi mutu ulama. 6. Hal-hal lain dalam bidang keagamaan yang diserahkan oleh Pimpinan Persyarikatan.17
Berdasarkan tugas pokok dan kegiatan yang telah dilakukan oleh Majelis Tarjih, agaknya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Majelis sini merupakan lembaga ijtihad Muhammadiyah. Tugas utamanya adalah menyelesaikan segala macam persoalan kontemporer, ditinjau dari segi fikih. Tentu yang dimaksud dengan ijtihat di sini adalah ijtihad jama‟i. Memang dalam perkembangan awal, ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah lebih banyak bersifat ijtihad intiqa‟i atau ijtihad tarjihi. Namun dalam perkembangannya yang terakhir sudah mengarah kepada ijtihad insya‟i. Ijtihad dalam bentuk terakhir ini dilakukan oleh Majelis Tarjih, erat kaitannya dengan perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia yang mengarah kepada kehidupan modern. Kebanyakan masalah kontemporer yang dihadapi oleh Majelis Tarjih itu tidak ditemukan dalam khazanah pemikiran
17
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995), Cet. Ke-1, h. 66-67
47
umat Islam sebelumnya. Persoalan-persoalan yang baru itu menuntut penanganan yang baru pula, sesuai dengan tuntutan umat Islam Indonesia kontemporer.18
C. Tugas dan Wewenang Majelis Tarjih Sejak berdirinya hingga saat ini, tugas Majelis Tarjih Muhammadiyah telah mengalami perkembangan dan perubahan. Awalnya Majelis Tarjih Muhammadiyah hanya membahas masalah-masalah yang diperselihkan saja, yaitu dengan cara mengambil pendapat yang dianggap kuat dalilnya. Sehingga tugas utama Majelis ini awalnya hanya membuat tuntunan atau pedoman bagi warga Muhammadiyah, terutama masalah ibadah. Agenda pembahasan Majelis Tarjih yang pertama yakni pada tahun 1929 di solo hanya membahas mengenai ibadah, mulai dari bersuci, hingga pelaksanaan ibadah haji ditambah dengan pembahasan jenazah dan wakaf. Kemudian pada tahun 1954 dibahas secara global mengenai sumber ajaran Agama dan masuk di dalamnya adalah masalah-masalah yang berhubungan dengan kegiatan warga Muhammadiyah secara praktis seperti batas aurat bagi laki-laki, mengajar lakilaki atau sebalinya dan lain-lain.19 Pada tahun 1960 Muktamar Tarjih baru mulai mengadakan pembahasan mengenai masalah pembatasn kelahiran, perburuhan, dan hak milik namun pada 18
Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah; Metodologi dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet. Ke-5 h. 67 19
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995), Cet. Ke-1, h. 65
48
muktamar ini tidak sampai pengambilan keputusan hingga muktamar-muktamar yang diselanggarakan dengan berbagai macam pembahasn masalah kontemporer seperti
halnya bunga
bank, keluarga berencana (KB)
asuransi
atau
pertanggungan dan lain sebagainya. Sederet agenda permasalahan yang dibahas dalam satu muktamar tarjih ke muktamar tarjih berikutnya dapat dipahami bahwa tugas pokok dari Majelis Tarjih Muhammadiyah tidak hanya terbatas pada masalah-masalah Khilafayat dalam bidang Ibadah saja melainkan masalah kekinian sesuai dengan perkembangan zaman.20 Jadi, lingkup garapan Majelis Tarjih Muhammadiyah sangat luas, berbeda dengan tugasnya ketika lembaga ini didirikan. Sehubungan dengan semakin meluasnya daerah garapan Majelis Tarjih Muhammadiyah, maka Pimpnan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1971 menetapkan Kaidah Lajnah tarjih. Dalam pasal 2 disebutkan bahwa tugas Lajnah Tarjih adalah sebagai berikut: 1. Menyelidiki dan memahami ilmu agama Islam untuk memperoleh kemurniannya. 2. Menyusun tuntunan akidah, akhlak, ibadah, dan mu‟amalah dunyawiyah. 3. Memberi fatwa dan nasehat, baik atas permintaan maupun Tarjih sendiri memandang perlu. 4. Menyalurkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih maslahat. 20
Ibid, h. 66
49
5. Mempertinggi mutu ulama. 6. Hal-hal lain dalam bidang keagamaan yang diserahkan oleh Pimpinan Persyarikatan.21 Berdasarkan tugas pokok tersebut, tidaklah salah kiranya bahwa Majelis Tarjih Muhammadiyah dianggap sebagai pangkal penafsiran terhadap masalahmasalah keagamaan. Penafsiran yang dilakukan jelas bersinggungan dengan permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat modern. Mengingat tugas dan wewenang yang dimiliki oleh Majelis Tarjih, maka anggota Majelis Tarjih bukan berasal dari sembarang orang. Dalam Qaidah Lajnah Tarjihnya dalam pasal 4 ayat (1) Qaidah Lajnah Tarjih, disebutkan bahwa syarat anggota Lajnah Tarjih adalah “Ulama (laki-laki/perempuan) anggota persyarikatan yang mempunyai kemampuan bertarjih, yang mempunyai kemampuan bertarjih. Tentu yang dimaksud dengan bertarjih di sini adalah melakukan kegiatan di bidang istinbat hukum atau lebih tegas lagi berijtihad. Itulah yang dimaksud oleh warga Muhammadiyah, bahwa anggota lajnah tarjih Muhammadiyah harus mampu “membaca kitab kuning” paling tidak dapat membaca dan memahami kitab Subul al-Salam.)22
21
22
Kaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah (Muhammadiyah Majlis Tarjih, 1971), h. 2
Ibid., h. 68
BAB IV ROKOK DALAM PERSPEKTIF MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH
A. Rokok dalam Perspektif Ilmu Kesehatan Kebiasaan merokok dalam pandangan ilmu kesehatan dapat merusak tubuh manusia, terutama paru-paru. Hal ini dikarenakan dalam rokok terdapat berbagai kandungan materi beracun yang dapat membahayakan organ tubuh manusia. Menurut ilmu kedokteran rokok mengandung lebih dari kurang 4000 bahan kimia1. Di antara materi-materi beracun yang terdapat di dalam rokok antara lain adalah, Nikotin, Distilasi, Arsenik, Gas Karbon Monoksida, Nitrogen Oksida, Amonium Karbonat, Ammonia, Formic Acid, Acrolein, Tar dan lain sebagainya.2 Zat tersebut diatas diantaranya dapat diurai sebagai berikut: 1. Nikotin Nikotin adalah sejenis unsur kimia beracun, mirip dengan alcaline. Ia merupakan salah satu jenis obat perangsang yang dapat merusak jantung dan sirkulasi darah. Nikotin membuat pemakainya kecanduan. Bahayanya bisa dijelaskan oleh fakta bahwa 4 cc nikotin terbukti cukup untuk membunuh seekor kelinci besar.
1
Suryo Sukendro, sehat, Tanpa Berhenti Merokok, (Yogyakarta: Pinus, 2007) Cet. Ke-1, h.
80 2
Abu Umar Basyir, Mengapa Ragu Tinggalkan Rokok, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2008), Cet. Ke-2, h. 17-22
50
51
2. Distilasi Proses penciptaan unsur hedro karbon yang sangat dikenal sebagai penyebab kanker. 3. Arsenik Sejenis unsur kimia yang biasa digunakan untuk membunuh serangga. 4. Gas karbon monoksida Gas beracun yang dapat mengurangi kemampuan darah membawa oksigen. Yaitu gas yang terbentuk ketika pembakaran tembakau dan kertas pembungkus rokok dalam waktu lama. Unsur ini memiliki kemampuan cepat sekali bersenyawa dengan homoegilobine. Akibatnya, suplai oksigen ke seluruh organ tubuh terhambat. Sebagai gantinya, tubuh terpaksa menyerap unsur timah berat yang beracun. 5. Nitrogen Oksida Unsur kimia yang dapat mengganggu saluran pernafasan bahkan merangsang kerusakan dan perubahan kulit tubuh. 6. Amonium Karbonat Unsur kimia yang membentuk plak kuning pada permukaan lidah dan mengganggu kelenjar makanan dan perasa yang terdapat di permukaan lidah tersebut. Unsur ini juga merangsang produksi air liur, menimbulkan batuk dan membantu tubuh untuk menerima berbagai macam penyakit seperti pilek, radang mulut, tenggorokan dan amandel.
52
Bahan rokok yang mengandung bahan kimia beracun yang merusak sel paruparu dan menyebabkan kanker.3 7. Ammonia Sejenis gas tidak berwarna yang terdiri dari nitrogen dan hydrogen. Zat ini sangat tajam baunya dan merangsang. Ammonia ini sangat mudah memasuki sel-sel tubuh. Begitu kerasnya racun yang terdapat pada amonio itu, sehingga jika disuntikkan sedikit saja ke dalam peredaran darah akan mengakibatkan seseorang pingsan. 8. Formic Acid Jenis cairan tidak berwarna yang bergerak bebas dan dapat mengakibatkan lepuh. Cairan ini sangat tajam dan baunya menusuk. Zat ini dapat menyebabkan seseorang seperti merasa digigit semut. Bertambahnya jenis acid apapun dalam peredaran darah akan mengakibatkan pernafasan menjadi cepat. 9. Acrolein Sejenis zat cair tidak berwarna, seperti aldehyde. Zat ini diperoleh dengan mengambil cairan dari glyceril, atau dengan metode pengeringan. Zat ini sedikit banyak mengandung kadar alkohol. Dengan kata lain, acrolein adalah alkohol yang cairannya telah diambil. Cairan ini sangat menganggu dan berbahaya bagi kesehatan.4
3
Ibid
53
10. Tar Tar terbentuk selama pemanasan tembakau. Tar merupakan kumpulan berbagai zat kimia yang berasal dari daun tembakau sendiri maupun yang ditambahkan dalam proses pertanian atau industri sigaret. Selama proses pembakaran rokok tidaklah
berbeda dengan proses
pembakarana bahan- bahan padat lainnya, rokok yang terbuat dari daun kering, kertas zat perasa yang dapat dibentuk oleh elemen karbon (C). Dunia kesehatan menyatakan bahwa merokok memberi dampak negatif yang luas bagi kesehatan dan ditengarai sebagai salah satu penyebab utama timbulnya penyakit kangker paru, jantung koroner, impotensi dan gangguan kehamilan serta janin.5 DR. Jeffry S. Wigand, mantan wakil presiden penelitian dan pengembangan Brown and Williamson (B&W0 Tobacco Corperation, Amerika serikat mengatakan saat ini komposisi rokok bukan hanya sekedar campuran tembakau dan cengkih, melainkan ada semacam rekayasa kimia ammonia yang ditinggalkan keasammannya, hal ini lah yang membuat nikotin dalam tembakau jadi lebih cepat untuk diserap oleh paru-paru dan akhirnya akan berefek ke otak dan sistem saraf.6 Tidak ada rokok yang “aman”. Inilah pesan yang disampaikan lembaga kesehatan masyarakat di Indonesia dan di seluruh dunia.
4
Ibid
5
Suryo Sukendro, sehat, Tanpa Berhenti Merokok, (Yogyakarta: Pinus, 2007) Cet. Ke-1, h.
6
Ibid
85
54
Salah satu akibat orang merokok adalah resiko terkena kanker paru-paru semakin besar. Anwar Yusuf, guru besar tetap Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia, sebagaimana yang dikutip oleh Abu Umar Basyir, mengatakan bahwa makin dini orang mulai merokok, makin cepat orang itu terkena kanker paruparu. Hasil sebuah penelitian menunjukkan, asap rokok lebih berbahaya dibandingkan dengan polusi udara. Lebih lanjut Anwar Yusuf menjelaskan bahwa asap rokok mengandung zat kimia yang sebagian bersifat karsinogen. Kemampuan dari zat ini adalah memicu sel-sel normal menjadi ganas. Proses perangsangan itu terjadi selama bertahun-tahun. Kendati terdapat faktor lain yang menyebabkan terjadinya kanker paru-paru, namun merokok adalah faktor utama penyebab keganasan.7 Proses terjadinya kanker paru-paru membutuhkan waktu 10-20 tahun. Biasanya, gejala kanker paru-paru diawali umur 40 tahun dan puncaknya pada usia 60 tahun. Makin dini orang merokok dan terus berkelanjutan, maka resikonya makin besar. Ketika orang merokok pada usia 10 tahun lebih tua, rerikonya setengah dari orang yang merokok pada usia lebih muda. 50% penderita kanker paru-paru tidak mengetahui bahwa asap rokok merupakan penyebab penyakitnya. Itu disebabkan8
7
Abu Umar Basyir, Mengapa Ragu Tinggalkan Rokok, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2008), Cet. Ke-2, h. 190-191. 8
Ibid, h. 191-192
55
Dari berbagai penyakit akibat rokok, maka penyakit paru khususnya kanker paru-paru, bronkitis kronik, serta jantung merupakan topik-topik yang paling banyak dibahas para ahli dan menarik perhatian masyarakat luas, hal ini dikarenakan kurangnya informasi yang diterima masyarakat mengenai bahayanya asap yang ditimbulkan oleh perokok untuk dirinya sendiri serta orang sekitarnya.9 Ditinjau dari sudut pandang ilmu kesehatan, rokok sangat berbahaya bagi kesehatan tubuh manusia. Tidak ada kandungan di dalam rokok yang bermanfaat bagi organ tubuh manusia. Seluruh kandungan yang terdapat di dalam sebatang rokok, tidak memiliki dampak yang baik bagi organ tubuh manusia. Sehingga sering ada ungkapan bahwa “perokok tidak ada yang mati tua”. Ungkapan ini untuk memberikan sindiran bagi mereka yang menjadi perokok aktif, bahwa hidup mereka tidak akan sampai usia tua. Dengan kata lain, para perokok kebanyakan mati muda. A. Metode Istinbat Hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam Fatwa Rokok Dalam
memberikan
fatwa
haram
merokok,
Majelis
Tarjih
Muhammadiyah memiliki beberapa alasan yang berlandaskan pada dalil-dalil alQuran dan Sunnah. Dalil yang berasal dari al-Quran antara lain Surat al-A’raf ayat 157, al-Baqarah ayat 195, an-Nisa’ ayat 29, al-Isra’ ayat 26-27. Adapun
9
Tjandra Yoga Aditama, Rokok dan Kesehatan (Jakarta : UI Press, 1992) Cet. III. H. 21
56
hadis yang digunakan sebagai dalil pengharaman rokok adalah hadis dari Ibnu Majah, Ahmad, dan Malik, serta hadis dari Ahmad dan Abu Daud. Lebih jelasnya, Majelis Tarjih Muhammadiyah mengemukakan dua dalil utama dalam pengharaman rokok, yaitu al-muqaddimât an-naqliyah (penegasan premis-premis syariah), yang terdiri dari beberapa alasan.10 1. Al-muqaddimât an-naqliyah (penegasan premis-premis syariah) a. Agama Islam (syariah) menghalalkan segala yang baik dan mengharamkan khabâits (segala yang buruk), sebagaimana di tegaskan dalam al-Quran:
…
…
Artinya: ....Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk…. (QS. Al-A’raf/ 7: 157) b. Agama Islam (syariah) melarang menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan dan perbuatan bunuh diri sebagaimana dinyatakan dalam al-Quran:
... Artinya: ...Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS. AlBaqarah/ 2: 195)
10
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos,1995), Cet. Ke-1h. 87
57
… Artinya: Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.(QS. An-Nisa’/ 4: 29) c. Larangan perbuatan mubazir dalam al-Quran:
(٢٧) (٢٦) Artinya: Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah Saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (QS. Al-Isra’/ 17: 26-27)
d. Larangan menimbulkan mudarat atau bahaya pada diri sendiri dan pada orang lain dalam hadis riwayat Ibnu Majah, Ahmad, dan Malik:
Artinya: Tidak ada bahaya terhadap diri sendiri dan terhadap oranglain (HR. Ibnu Mâjah, Ahmad, dan Mâlik).11 e. Larangan
perbuatan
memabukkan
dan
melemahkan
sebagaimana
disebutkan dalam hadis:
11
Ahmad Ibnu Hambal, Ed. Syu’aib al- Arna’uth (Kairo: Mu’assasah al- Risalah) Cet. 2 Vol , h. 55, No. 2865.
58
Artinya:
Dari Ummi Salamah bahwa Rasulullah saw melarang setiap yang memabukkan dan setiap yang melemahkan. (HR Ahmad dan Abû Dâud).
f. Agama Islam (syariah) mempunyai tujuan (maqâsid asy-syarî’ah) untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia. Perwujudan tujuan tersebut dicapai melalui perlindungan terhadap agama (hifd ad-dîn), perlindungan terhadpa jiwa/raga (an-nafs), perlindungan terhadap akal (al-‘aql), perlindungan terhadap keluarga (an-nasl), dan perlindungan terhadap harta (al-mâl). Perlindungan terhadap agama dilakukan dengan peningkatan ketakwaan melalui pembinaan hubungan vertikal kepada Allah SWT dan hubungan horizontal kepada sesama dan kepada alam lingkungan dengan mematuhi berbagai norma dan petunjuk syariah tentang bagaimana berbuat baik (ihsân) terhadap Allah, manusia dan alam lingkungannya. Perlindungan
terhadap
jiwa/raga
diwujudkan
melalui
upaya
mempertahankan suatu standar hidup yang sehat secara jasmani dan rohani serta menghindarkan semua faktor yang dapat membahayakan dan merusak manusia secara fisik dan psikis, termasuk menghindari perbuatan yang berakibat bunuh diri walaupun secara perlahan dan perbuatan menjatuhkan
59
diri kepada kebinasaan yang dilarang di dalam al-Quran.12 Perlindungan terhadap akal dilakukan dengan upaya antara lain membangun manusia yang cerdas termasuk mengupayakan pendidikan yang terbaik dan menghindari segala hal yang bertentangan dengan upaya pencerdasan manusia. Perlindungan terhadap keluarga diwujudkan antara lain melalui upaya penciptaan suasana hidup keluarga yang sakinah dan penciptaan kehidupan yang sehat termasuk dan terutama bagi anak-anak yang merupakan tunas bangsa dan umat. Perlindungan terhadap harta diwujudkan antara lain melalui pemeliharaan dan pengembangan harta kekayaan materiil yang penting dalam rangka menunjang kehidupan ekonomi yang sejahtera dan oleh karena itu dilarang berbuat mubazir dan menghamburkan harta untuk hal-hal yang tidak berguna dan bahkan merusak diri manusia sendiri. 2. Tahqîq al-Man’î a. Penggunaan untuk konsumsi dalam bentuk rokok merupakan 98 % dari pemanfaatan produk tembakau, dan hanya 2% untk penggunaan lainnya.13 b. Rokok ditengarai sebagai produk berbahaya dan adiktif serta mengandung 4000 zak kimia, di mana 69 di antaranya adalah karsinogenik (pencetus kanker). Beberapa zat berbahaya di dalam rokok tersebut di antaranya tar,
12
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995), Cet. Ke-1,, h. 89 13 Departemen Kesehatan, Fakta Tembakau Indonesia: Data Empiris untuk Strategi Nasaional Penanggulangan Masalah Tembakau, 2004
60
sianida, arsen, formalin, karbonmonoksida, dan nitrosamin. Kalangan medis dan para akademisi telah menyepakati bahwa konsumsi tembakaku adalah salah satu penyebab kematian yang harus segera ditanggulangi. Direktur Jenderal WHO, Dr. Margaret Chan, melaporkan bahwa epidemi tembakau telah membunuh 5,4 juta orang pertahun lantara kanker paru dan penyakit jantung serta lain-lain penyakit yang diakibatkan oleh merokok. Itu berarti bahwa satu kematian di dunia akibat rokok untuk setiap 5,8 detik. Apabila tindakan pengendalian yang tepat tidak dilakukan, diperkirakan 8 juta orang akan mengalami kematian setiap tahun akibat rokok menjelang tahun 2030. Selama abad ke-20, 100 juta orang meninggal karena rokok, dan selama abad ke-21 diestimasikan bahwa sekitar 1 milyar nyawa akan melayang akibat rokok. c. Kematian balita di lingkungan orang tua merokok lebih tinggi dibandingkan dengan orang tua tidak merokok baik di perkotaan maupun di pedesaan. Kematian balita dengan ayah merokok di perkotaan mencapai 8,1% dan di pedesaan mencapai 10,9%. Sementara kematian balita dengan ayah tidak merokok di perkotaan 6,6% dan di pedesaan 7,6%. Resiko kematian populasi balita dari keluarga perokok berkisar antara 14% di perkotaan dan 24% di pedesaan. Dengan kata lain, 1 dari 5 kematian balita terkait dengan perilaku merokok orang tua. Dari angka kematian balita 162
61
ribu per tahun (Unicef 2000), maka 32.400 kematian dikontribusi oleh perilaku merokok orang tua.14 d. Adalah suatu fakta bahwa keluarga termiskin justru mempunyai prevelensi merokok lebih tinggi daripada kelompok pendapatan terkaya. Angka-angka SUSESAS 2006 mencatat bahwa pengeluaran keluarga termiskin untuk membeli rokok mencapai 11,9%, sementara keluarga terkaya pengeluaran rokoknya hanya 6,8%. Pengeluaran keluarga termiskin untuk rokok sebesar 11,9% itu menempati urutan kedua setelah pengeluaran untuk beras. Fakta ini memperlihatkan bahwa rokok pada keluarga miskin perokok menggeser kebutuhan makanan bergizi esensial bagi pertumbuhan balita. Ini artinya balita harus memikul resiko kurang gizi demi menyisihkan biaya untuk pembelian rokok yang beracun dan penyebab banyak penyakit mematikan itu. Ini jelas bertentangan dengan perlindungan keluarga dan perlindungan akal (kecerdasan) dalam maqâsid asy-syari’ah yang menghendaki pemeliharaan dan peningkatan kesehatan serta pengembangan kecerdasan melalui makanan bergizi.15 e. Dikaitkan dengan aspek sosial-ekonomi tembakau, data menunjukkan bahwa peningkatan produksi rokok selama periode 1961-2001 sebanyak 7 kali lipat tidak sebanding dengan perluasan lahan tanaman tembakau yang konstan bahkan cenderung menurun 0,8% tahun 2005. Ini artinya
14 15
Ibid., h.8 Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, No. 6/ SM/ MTT/ III/ 2010.
62
pemenuhan kebutuhan daun tembakau dilakukan melalui impor. Selisih nilai ekspor daun tembakau dengan impornya selalu negatif sejak tahun 1993 hingga tahun 2005. Selama periode tahun 2001-2005, devisa terbuang untuk impor daun tembakau rata-rata US$ 35 juta. Bagi petani tembakau yang menurut Deptan tahun 2005 berjumlah 684.000 orang, pekerjaan ini tidak begitu menjanjikan karena beberapa faktor. Tidak ada petani tembakau yang murni; mereka mempunyai usaha lain atau menanam tanaman lain di luar musim tembakau. Mereka tidak memiliki posisi tawar yang kuat menyangkut harga tembakau. Kenaikan harga tembakau tiga tahun terakhir tidak membawa dampak berarti kepada petani tembakau karena kenaikan itu diiringi dengan kenaikan biaya produksi. Pendidikan para buruh tani rendah, 69% hanya tamat SD atau tidak bersekolah sama sekali, dan 58% tinggal di rumah berlantai tanah. Sedang petani pengelola 64% berpendidikan SD atau tidak bersekolah sama sekali dan 42% masih tinggal di rumah berlantai tanah. Upah buruh tani tembakau di bawah Upah Mininum Kabupaten (UMK); Kendal 68% UMK, Bojonegoro 78% UMK, dan Lombok Timur 50% UMK. Upah buruh tani tembakau termasuk yang terendah, perbulan Rp 94.562, separuh upah petani tebu dan 30% dari ratarata upah nasional sebesar Rp 287.716,- per bulan pada tahun tersebut. Oleh karena itu 2 dari 3 buruh tani tembakau menginginkan mencari pekerjaan lain, dan 64% petani pengelola menginginkan hal yang sama. Ini
63
memerlukan upaya membantu petani pengelola dan buruh tani tembakau untuk melakukan alih usaha dari sektor tembakau ke usaha lain.16 f. Pemaparan dalam halaqah Tarjih tentang Fikih Pengendalian Tembakau hari Ahad 21 Rabiul Awal 1431 H/07 Maret 2010 M, mengungkapkan bahwa Indonesia belum menandatangani dan meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) sehingga belum ada dasar yang kuat untuk melakukan upaya pengendalian dampak buruk tembakau bagi kesehatan masyarakat. Selain itu terungkap pula bahwa cukai tembakau di Indonesia masih rendah dibandingkan beberapa negara lain sehingga harga rokok di Indonesia sangat murah yang akibatnya mudah dijangkau keluarga miskin dan bahkan bagi anak-anak sehingga prevalensi merokok tetap tinggi. Selain itu iklan rokok juga ikut merangsang hasrat mengkonsumsi zat berbahaya ini.
B. Analisis Penulis Dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer, perlu diteliti lebih dahulu hakikat dari masalah tersebut. Penelitian terhadap kasus yang akan ditetapkan hukumnya sama pentingnya dengan penelitian terhadap sumber hukum yang akan dijadikan dalilnya. Artinya, bahwa dalam menerapkan nash terhadap satu kasus yang baru, kandungan nash harus diteliti dengan cermat, termasuk meneliti tujuan 16
Ibid
64
disyari’atkan hukum tersebut. Setelah itu perlu dilakukan “studi kelayakan” (tanqîh al-manâth), apakah ayat atau hadis tertentu layak untuk diterapkan dengan kasus hukum yang terdapat dalam al-Quran dan hadist. Padahal setelah diadakan
penelitian
yang
seksama,
ternyata
kasus
itu
tidak
sama.
Konsekuensinya, kasus tersebut tidak dapat disamakan hukumnya dengan kasus yang pada kedua sumber hukum yang utama itu. Di sinilah letak pentingnya pengetahuan tentang tujuan hukum disyari’atkan hukum dalam Islam. Dalam mengeluarkan sebuah fatwa, Majelis Tarjih Muhammadiyah menggunakan dua argumen, al-muqaddimât an-naqliyyah (penegasan premispremis syariah) dan tahqîq al-man’i (penegasan fakta syariah). Pada argumen pertama, Majelis Tarjih berusaha untuk menelusuri sumber-sumber hukum Islam yang berkaitan dengan masalah yang akan difatwakan, di mana dalam penelitian ini adalah masalah pengharaman rokok. Untuk nash al-Quran, Majelis Tarjih Muhammadiyah menggunakan ayat 157 surat al-A’raf, di mana di dalam ayat tersebut menjelaskan tentang penghalalan sesuatu yang baik dan mengharamkan sesuatu yang buruk. Jika dilihat dari kandungan yang terdapat dalam rokok, maka dapat dipastikan bahwa tidak ada satu kandungan pun yang bermanfaat bagi tubuh manusia. Hampir seluruh kandungan yang terdapat dalam rokok memberikan dampak buruk bagi organ tubuh manusia. Maka menurut hemat penulis, pemilihan ayat ini sangat tepat jika melihat resiko yang ditimbulkan dari merokok.
65
Selanjutnya, ayat yang digunakan adalah surat al-Baqarah ayat 195, yang di dalamnya terdapat larangan bagi manusia untuk menjerumuskan diri mereka kepada kebinasaan. Berbagai kandungan berbahaya yang terdapat dalam rokok memang bisa menghantarkan perokoknya dalam kebinasaan atau kematian. Sehingga resiko terkena penyakit yang menyebabkan kematian pada diri perokok lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tidak. Lalu ayat berikutnya adalah surat an-Nisa’ ayat 29, yang melarang umat manusia untuk membunuh dirinya sendiri. Seperti pada ayat sebelumnya, dalam ayat ini juga tersirat bagaimana Allah SWT sangat menyayangi makhluk ciptaanNya, sehingga melarang mereka untuk menghancurkan diri mereka atau membunuh diri mereka sendiri. Sedangkan hadits yang dipergunakan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam mengeluarkan fatwa pengharaman rokok, di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Majah, Ahmad, dan Malik yang isinya larangan menimbulkan mudharat atau bahaya, baik pada diri sendiri maupun orang lain. Sebagaimana diketahui, bahwa mereka yang aktif merokok, tidak saja membahayakan diri mereka sendiri dengan memasukkan kandunga-kandungan yang berbahaya ke dalam tubuh, melainkan juga membahayakan orang-orang di sekitarnya yang disebut dengan perokok pasif. Adapun hadis kedua, adalah hadis yang diriwayatkan dari Ahmad dan Abu Daud, yang isinya Rasul melarang setiap yang memabukkan dan yang melemahkan. Kandungan hadis ini memang masih membuka diskusi bagi
66
kalangan intelektual, apakah rokok termasuk barang yang memabukkan atau tidak. Bagi sebagian orang, justru terdapat opini yang mengatakan bahwa dengan tidak merokok, kinerja mereka menjadi menurun. Sehingga ada pembenaran dalam tindakan mereka. Lalu dalil berikutnya yang digunakan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah adalah maqâshit as-syari’ah, di mana telah dijelaskan sebelumnya terdapat 5 hal yang harus dijaga oleh kaum muslimin. Di antara lima hal tersebut adalah perlindungan terhadap jiwa/raga. Seorang muslim hendaknya menjaga jiwa dan raga mereka dari berbagai bahaya yang berasal dari makananan maupun minuman, bahkan barang-barang yang membahayakan itu sendiri seperti rokok. Selain perlindungan terhadap jiwa dan raga, juga ada perlindungan terhadap harta. Sebagaimana diketahui, bahwa untuk dapat merokok, seseorang harus mengeluarkan sejumlah uang untuk membelinya. Barang dibeli tersebut kemudian dibakar. Dengan demikian, tidak ada manfaat bagi tubuh itu sendiri, karena yang masuk ke dalam tubuh hanya berupa asap saja. Lalu penulis berusaha menelaah argumen kedua yang digunakan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah, tahqîq al-man’i (penegasan fakta syariah). Di dalam argumen kedua, Majelis Tarjih berusaha menjelaskan aspek-aspek sosial yang ada di sekitar rokok. Sebagai sebuah industri, konsumsi rokok hanya menggunakan 2 persen bahan lain selain tembakau. Ini artinya bahwa yang dihisap oleh para perokok 98% adalah tembakau. Lalu pada poin kedua dijelaskan tentang berbagai kandungan berbahaya yang terdapat di dalam
67
tembakau itu sendiri. Serta dipaparkan beberapa data yang menyebutkan jumlah orang yang meninggal akibat merokok. Pada poin ketiga, diungkapkan fakta mengenai bagaimana kondisi orangorang yang ada di sekitar para perokok. Ini artinya bahwa bahaya yang ditimbulkan oleh rokok tidak hanya pada perokok itu sendiri, melainkan kepada orang lain. Selanjutnya, Majelis Tarjih Muhammadiyah mengungkapkan fakta bahwa kebanyakan para perokok adalah mereka yang berasal dari golongan miskin. Ini artinya, bahwa konsumen rokok bukan termasuk masyarakat yang memiliki pendapatan tinggi, akan tetapi justru sebaliknya. Keadaan ini tentu menjadi ironi, karena masyarakat yang berpenghasilan rendah, justru sebagian besar penghasilan mereka dihabiskan untuk sesuatu yang merusak badan mereka. Dengan demikian, konsekuensinya adalah alokasi dari pendapatan mereka untuk makanan yang bergizi akan semakin berkurang, di mana hal ini akan memberikan efek buruk bagi perkembangan dan pertumbuhan badan anak-anak mereka. Pada poin selanjutnya, Majelis Tarjih mengajukan fakta lain yang berkenaan dengan dampak sosial ekonomim dari industri rokok itu sendiri. Berdasarkan data yang mereka miliki, peningkatan konsumsi rokok ternyata tidak serta merta membawa dampak ekonomi yang baik bagi masyarakat. Hal ini karena sebagian besar bahan baku rokok berupa tembakau didatangkan dari
68
negara lain atau impor. Selain itu kondisi petani tembakau di Indonesia juga tidak termasuk dalam kategori yang sejahtera. Argumen tersebut meruntuhkan anggapan sebagian masyarakat yang menganggap bahwa pelarangan rokok akan membawa dampak ekonomi yang cukup buruk bagi para petani tembakau. Sebagai sebuah industru, tentu banyak pihak yang memiliki kepentingan dengan pelarangan atau penghalalan suatu produk, terutama produk rokok. Dari hasil analisa yang telah penulis kemukakan, dapat disimpulkan bahwa fatwa pengharaman rokok yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah dikeluarkan dengan pertimbangan yang masak-masak. Fatwa tersebut berusaha untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat, terutama warga Muhammadiyah agar raga atau tubuh mereka tidak menjadi rusak karena konsumsi rokok. Selain dampak kesehatan yang ditimbulkan oleh rokok, pertimbangan lainnya adalah bahwa alokasi pendapatan masyarakat yang menjadi perokok untuk belanja rokok seringkali lebih besar dibandingkan dengan alokasi pendapatan mereka untuk makanan yang bergizi. Kondisi ini tentu akan berdampak buruk bagi generasi mendatang, terutama generasi yang tumbuh di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah yang orang tuanya menjadi perokok aktif.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelusuran penulis terhadap literatur yang berkaitan dengan pembahasan, yaitu istinbath hukum Islam dengan mengambil studi kasus fatwa haram rokok yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kedudukan Majelis Tarjih Muhammadiyah adalah sebagai sebuah badan yang mengkaji berbagai persoalan kontemporer yang dihadapi oleh masyarakat, di mana persoalan-persoalan tersebut belum ada hukumnya. Untuk itu Majelis Tarjih Muhammadiyah berusaha untuk mencari hukum berkenaan dengan persoalan kontemporer dengan bersandarkan pada al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Selanjutnya, setelah dilakukan kajian yang mendalam terhadap suatu masalah, Majelis Tarjih mengeluarkan hukum tersebut yang berupa fatwa. 2. Mekanisme kerja Majelis Tarjih Muhammadiyah dilakukan dengan cara memilih anggota MajelisTarjih yang memiliki kompeten di dalam keilmuan agama. Para anggota Majelis Tarjih dituntut untuk menguasai berbagai literatur ke-Islaman yang berkaitan dengan masalah hukum. Berkenaan dengan
pengeluaran
suatu
fatwa,
Majelis
Tarjih
Muhammadiyah
menyandarkannya kepada sumber-sumber hukum Islam yang ada. 69
70
3. Metode istinbat hukum fatwa haram rokok yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah dilakukan dengan menelaah sumber-sumber hukum Islam.
Dalam
metode
tersebut,
Majelis
Tarjih
Muhammadiyah
mengemukakan dua dalil, yaitu al-muqaddimât al-naqliyyah (penegasan premis-premis syariah) dan tahqîq al-man’i (penegasan fakta syar’i). Pada dalil pertama, dikemukakan dalil-dalil yang berasal dari al-Qur’an, Hadis, Ijma’ dan Qiyas. Sedangkan pada dalil kedua, dikemukakan fakta-fakta yang ada melalui berbagai penelusuran referensi.
B. Saran-saran Adapun saran-saran yang dapat penulis berikan dala penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai tema yang penulis angkat, yaitu metode istinbat hukum fatwa pelarangan rokok. Penelitian bisa dikembangkan kepada majelis-majelis lain yang memliki kompetensi dalam mengeluarkan suatu fatwa. 2. Bagi masyarakat yang mendukung keluarnya fatwa pengharaman rokok dari Majelis Tarjih Muhammadiyah, hendaknya tidak serta merta menjadi polisi sosial dengan memberikan hukuman kepada mereka yang masih merokok. Hal ini mengingat bahwa kekuatan fatwa hanya sebatas anjuran atau nasehat. Sedangkan bagi mereka yang kontra dengan fatwa ini, hendaknya menyikapi perbedaan tersebut dengan arif. Karena fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis
71
Tarjih Muhammadiyah ini ditujukan bagi kemaslahatan masyarakat itu sendiri. Perbedaan yang terjadi dalam menafsirkan suatu masalah, hendaknya tidak disikapi dengan tindakan anarkis. Melainkan hendaknya disikapi dengan arif dan bijaksana dengan mengemukakan argumen-argumen yang sesuai dengan dalil-dalil yang ada dalam syari’at.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan terjemahnya. Abdurrahman, Asjmuni, Manjhaj Tarjih Muhammadiyah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, Cet.ke-5. Aditama, Tjandra Yoga, Rokok dan Kesehatan Jakarta : UI Press, 1992 Cet. III Ahmad Ibnu Hambal, Ed. Syu’aib al- Arna’uth (Kairo: Mu’assasah al- Risalah) Cet. 2 Vol , h. 55, No. 2865. Amin, Ma’ruf, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta: Elsas, 2008. Arikunto, Suharsini, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta, 2006, Cet. Ke-13. Agnes Tineke, Kompas Minggu 2 Mei 2002. Alwi, Usman Manfaat Rokok Bagi Anda (Menurut Kesehatan dan Islam), (Jakarta: Binadaya Press, 1990) Basyir, Abu Umar, Mengapa Ragu Tinggalkan Rokok, Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2005. Beik, M. Hudori, Tarikh Tasyri’ al-Islami, Surabaya, Al-Hidayah, t.th. Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad MajelisTarjih Muhammadiyah, Jakarta: Logos, 1995, Cet. Ke-1. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996. Fanjari, Al, Ahmad Syauqi, Nilai Kesehatan dalam Syariat Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1996. Iqbal, Muhammad dan Hunt, William, Ensiklopedi Ringkas tentang Islam, Jakarta: Taramedia, 2003. Geerzt, Cliffort, The Religion of Java, Jakarta: Pustaka Jaya, 1989, Cet. Ke-3.
72
73
Hooker, M.B., Islam Mazhab Indonesia, Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial, terjemahan Iding Rosyidin Hasan, Jakarta: Teraju, 2003, Cet. II. Kaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah (PP Muhammadiyah MajelisTarjih, 1971. Kamiluddin, Uyun Menyoroti Ijtihad Persis Fungsi dan Peranan Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Takafur, 2006 Cet. I, Karim, M. Rusli, Muhammadiyah dalam Kritik dan Komentar, Jakarta: Rajawali Press, 1986, Cet. Ke-1. Lubis, Arbiyah, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh; Suatu Studi Perbandingan, Jakarta: Bulan Bintang, 1993. Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Munas VII MUI 2005, Cet. III, h. V. Muchtar, H.D.G., et.al, Beberapa Muhammadiyah, 1985.
Pedoman
Ber-tarjih,
Yogyakarta:
PP
Mudzar, M. Atho, Fatwa-fatwa MUI; Sebuah Studi Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: INIS, 1993. Mujieb, M. Abdul, dkk., Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994. Maba, Ghufron Ternyata rokok Haram, Surabaya: PT. Java Pustaka, 2008. Qaradhawi, Al, Yusuf, Halal dan Haram dalam Islam, penerjemah Abu Hana Zulkarnain dan Abdurrahim Mu’thi, Jakarta: Akbar, 2004, Cet. Ke-1. Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam, Bandung : PT Sinar Baru Algesindo, 1994. Rifa’i Ahmad Rif’an, Merokok Haram, Jakarta: Republika, 2010. Ritonga, A. Rahman, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996. Roan, Ilmu Kedokteran Jiwa, Psikiatri, 1979. Ash-Shiddiequ, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001, Cet. Ke-2 Sukendro, Suryo, sehat, Tanpa Berhenti Merokok, (Yogyakarta: Pinus, 2007) Cet. Ke-1
74
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh 2, Jakarta: PT Logos Wacanan Ilmu, 2001, Cet. Ke-2
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, terj. Saefullah, Jakarta: pustaka Firdaus, 1999), cet. Ke-5 Tim penyusun kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007, Cet. Ke-3 Uman, Khairul dan Aminuddin, A. Achyar, Ushul Fiqh II, Bandung: CV Pustaka Setia, 1998 Utomo, Setiawan Budi, Fiqih Kontemporer, Jakarta: Pustaka Saksi, 2000 Yanggo, Chuzaimah T., Prof. Dr.,dan Anshary, A. Hafiz, (ed.)Problematika Hukum Islam Kontemporer Edisi keempat, Jakarta : PT. Pustaka Firdaus, 2002, Cet. Ke-3 Website: http://id.wikipedia.org/wiki/Rokok htpp://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/kedokteran/dampakmerokok-bagi-kesehatan, posted February 18th, 2008 by djmanshiro. http://ackogtg.wordpress.com/2009/02/19/merokok-dilihat-dari-sudut-pandangkedokteran-dan-islam/#more-183 http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2010/03/24/brk,20100324-235034,id.html http://www.microfin-center.com/web/index.php?option=com content&view =article&id=48:tentang-fatwa&catid=34:artikel-ekonomi-syariah&Itemid=56 http://www.sampoerna.com/default.asp?Language=Bahasa &Page=smoking&searWords=, artikel diakses pada tanggal 18 Desember 2010 Warta Berita Harian Umum Republika, Selasa 26 Maret 2002. Harian Republika, tanggal 25 Mei 2008