1
REKONSTRUKSI HUKUM WASIAT DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM PROGRESIF Oleh Drs. H. Trubus Wahyudi, SH. MH. ( Hakim Tinggi PTA Banten & Peserta Program Doktor (S3) Ilmu Hukum (PDIH) Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang )
BAB I : P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang Masalah Timbulnya hukum karena manusia hidup bermayarakat. Hukum mengatur hak dan kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat dan juga mengatur bagaimana cara melaksanakan dan mempertahankan hak dan kewajiban itu, karena manusia adalah pendukung hak dan kewaajiban. 1 Hukum Islam dan Hukum Progresif mengatur masalah yang dimaksud dengan fungsionalisasi orang sebagai pendukung hak dan kewajiban. Manusia dalam kehidupannya tidak abadi. Pada suatu saat ia akan mati. Jika demikian, bagaimana nasib keluarga yang ditinggalkan, bagaimana pula dengan harta kekayaan yang ditinggal yang diperoleh selama hidup? Siapakah yang berhak mengurus dan memiliki harta kekayaan tersebut? Tentu kekayaan orang yang sudah meninggal menjadi hak keluarga yang masih hidup yang disebut pewarisan ataupun adanya perbuatan hukum wasiat sewaktu Pewaris masih hidup. Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan pada orang yang masih hidup. Apabila unsur “ harta kekayaan” tidak ada, artinya orang yang meninggal itu tidak meninggalkan harta kekayaan,
1 Abdul Kadir Muhammad, Prof. SH., 2000, Hukum Perdata Indonesia, Bandung,PT. Citra Aditya Bakti, Cet. III, hal.3
2
pewarisan menjadi tidak relevan. Tetapi apabila unsur “ orang yang masih hidup “ tidak ada, artinya ahli waris atau orang yang mewarisi harta peninggalan itu tidak ada, pewarisan masih relevan; karena harta kekayaan orang yang meninggal itu jatuh kepada negara. Hukum waris di satu sisi berakar pada keluarga dan di sisi lain berakar pada harta kekayaan. Dilihat dari sisi pertama maka orang itu berhak mewarisi karena mempunyai hubungan perkawinan, hubungan darah (leluhur keturunan)
atau
dengan pewaris, atau kalaupun tidak mempunyai hubungan
perkawinan dan hubungan darah, tetapi pada waktu pewaris masih hidup, pewaris mengadakan perbuatan hukum mengenai harta kekayaannya,
apabila ia
meninggal dan menyuruh orang tertentu sebagai yang berhak atas sebagian harta kekayaannya, melalui suatu wasiat (testament) Atas dasar itulah lalu timbul dua macam materi hukum waris yaitu hukum waris ab intestato . yang didasarkan pada hubungan perkawinan dan hubungan darah, serta hukum waris testamentaire yang didasarkan pada wasiat (testament)2, yang akan dibahas dalam Makalah ini adalah materi hukum waris yang kedua yakni yang didasarkan pada wasiat. Dasar hukum berlakunya wasiat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah terformulasi pada Bab V Pasal 194 sampai dengan Pasal 209 KHI. Pengaturan mengenai wasiat dimaksud, tercakup dalam Buku II : Hukum Kewarisan. Sedangkan dasar yuridis Kompilasi Hukum Islam (KHI), berdasarkan Intruksi Presiden RI. Nomor l Tahun l991, tanggal 10 Juni 1991, kemudian dilanjutkan adanya Keputusan Menteri Agama RI. Nomor 154 Tahun l991 tanggal 22 Juli 1991 tentang Pelaksanaan INPRES Nomor 1 Tahun l991, tanggal 10 Juni 1991.3 Adapun dasar hukum berlakunya wasiat menurut Kitab Undangundang Hukum Perdata (KUHPerd), secara yuridis formal telah terformulasi 2 Abdul Kadir Muhammad, Ibid , hal . 271 3 Drs. H. Wahyu Widiyana, MA, 2001, Himpunan Peraturan Perundangundangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Dirbinbaga Islam, Cet...., hal 313-316
3
dalam 2 (dua) Bab. Yaitu Bab XIII dan Bab XIV yang terdiri dari 148 Pasal; yaitu mulai dari Pasal 874 s/d Pasal 1022 KUHPerd4. Dapat dijelaskan bahwa bunyi teks yang tertuang dalam Pasal-pasal KHI, serta bunyi teks yang tertuang dalam KUHPerd, tentang ketentuan hukum wasiat dimaksud
masih bersifat abstrak, karena itu perlu dikonkritkan untuk
menjadi pegangan hukum masyarakat. Makalah
yang berjudul “ Rekonstruksi Hukum Wasiat di Indonesia
dalam perspektif Hukum Islam dan Hukum Progresif”, kajian pembahasannya dengan setressing Hukum Islam dan Hukum Progresif. Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian agama Islam5. Dimaksud dalam hukum Islam disini adalah hukum yang diyakini memiliki keterkaitan dengan sumber dan ajaran Islam, yaitu hukum amaly berupa interaksi sesama manusia. Ringkasnya adalah Hukum Perdata Islam tertentu yang menjadi hukum positif bagi umat Islam dan sekaligus yang merupakan hukum terapan bagi Peradilan Agama6. Hukum Islam pada dasarnya mengandung nilai-nilai fitriyah yang abadi dan bertumpu pada prinsip-prinsip yang solid, tidak akan berobah dan tidak akan dirubah. Bidang ini meliputi segala tatanan yang qat’iyah dan yang merupakan jati diri hukum (agama) Islam. Dalam kelompok ini termasuk segala ketentuan yang berasal dari nilai-nilai fundamental. Diantara nilai-nilai dalam dimensi ini adalah apa yang telah dirumuskan dalan tujuan hukum Islam (maqasid al syari’ah), yaitu kebahagiaan manusia yang dapat dijabarkan dalam kemaslahatan,
kenikmatan,
keadilan,
rahmat
dan seterusnya.
Nilai-nilai
4 Prof. R. Subekti, SH, dan R. Tjitro Sudibio, 1984, Kitab Undang-undang Hukum Pardata, Jakarta : Pradnya Paramita, Cet. 18, hal. 216 - 244 5 Prof. H. Mohammad Daud Ali, SH., Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, Cet. IX, 2001,hal. 37-38 6 A. Wasit Aulawi, Sejarah Perkembangan Hukum Islam ( Karya Tulis), Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, Sebuah Kenangan 65 Tahun Prof. DR. H. Busthanul Arifin, SH., Jakarta, PP. IKAHA, Cet. I, 1994, hal. 78.
4
kebahagiaan tersebut bersifat abstrak (in-abstracto) yang harus direalisasikan dengan bentuk nyata (in-concreto). Dapat dijelaskan bahwa disamping nilai-nilai fundamental tersebut, terdapat pula nilai-nilai instrumental. Makna nilai instrumental terkandung dalam proses pengamalan ajaran Islam di bidang hukum yang pada hakikatnya merupakan transformasi nilai hukum Islam in-abstracto menuju nilai-nilai incroncreto. Proses transformasi ini sering disebut sebagai proses operasionalisasi atau aktualisasi hukum dalam kehidupan masyarakat.7 Selanjutnya kaitannya dengan setressing pembahasan dalam ranah perspektif hukum Progresif; menurut pendapat Satjipto Rahardjo yang dinukil oleh Ahmad Rifa’i, dimaksudkan progresif berarti kemajuan, diharapkan hukum itu hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perkembangan zaman dengan segala dasar di dalamnya serta mampu melayani masyarakat.8 Menurut pendapat Prof. Dr. Hj.
Indarti Rini, SH, MS.,
hukum
Progresif menganut ideologi hukum yang pro-keadilan dan hukum yang prorakyat. Hukum Progresif meninggalkan tradisi
analitical jurisprudence atau
rechts-dogmatiek yang cenderung menepis dunia di luar dirinya, seperti masyarakat. Dalam konteks diskresi, para penyelenggara hukum dituntut untuk memilih dengan bijaksana bagaimana ia harus bertindak, namun diskresi dilakukan semata-mata atas pertimbangan moral daripada peraturan abstrak demi kegunaan dan kefungsian tindakan
itu, untuk tujuan yang lebih besar serta
menjaga kewibawaan hukum itu sendiri.9 Dalam kajian pembahasan ini, penulis cenderung berasumsi dan terinspirasi penggunaan penggabungan “ kajian hukum normatif (doktrinal)” 7
I b i d, hal. 79 Ahmad Rifa’i, SH., MH., Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta, Sinar Grafika, Cet. II, 2011, hal. 44. 9 Prof. DR. Hj. Indrati Rini, SH., MS., Teori Hukum , Materi Kuliyah Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Islam Sultan Agung Semarang, 2013. 8
5
dengan” kajian
hukum sosiologis (empiris)” untuk mendapatkan pegangan
hukum. Dimaksudkan “Normatif (doktrinal), yaitu suatu penelitian hukum yang obyeknya berupa norma-norma hukum; sedangkan dimaksudkan “ Sosiologis (empiris)” yaitu suatu penelitian hukum yang obyeknya berupa perilaku hukum di masyarakat.10 Menurut hemat penulis, hukum wasiat yang telah diatur di dalam hukum
Islam dan juga terdapat dalam ranah
hukum Progresif, perlu di-
rekonstruksi-kan secara nyata (in-croncreto) tentang, “ bentuk pembuatan surat wasiat “ dan .”apa urgensi penulisan surat wasiat “ untuk menjadi pegangan hukum dalam melakukan perbuatan hukum wasiat bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim. Dalam pembahasannya, pengambilan dasar hukum dari Al Qur’an dan Al Sunnah, sengaja diketengahkan terjemahannya saja karena terbatasnya halaman yang tersedia. B. Perumusan Masalah Dari uraian singkat sebagaimana telah dipaparkan dalam
latar
belakang masalah tersebut, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah bentuk surat wasiat menurut hukum Islam dan hukum Progresif?
2.
Apakah urgensinya penulisan surat wasiat bagi Pemberi wasiat dan Penerima wasiat ?
BAB II : BENTUK PEMBUATAN SURAT WASIAT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PROGRESIF
MENURUT
Untuk melengkapi pemahaman secara mendasar dalam pembahasan pada bab ini, penulis berasumsi perlu dijelaskan beberapa sub pokok bahasan, yakni : Pemahaman sekilas pengertian tentang wasiat dan dasar legalitasnya, rukun dan syarat syahnya wasiat, hikmah dan batas-batas pelaksanaan wasiat, serta bentuk pembuatan surat wasiat, sebagaimana yang akan dijelaskan. 10
I b i d.
6
A. Pemahaman sekilas pengertian tentang wasiat Menurut Sayyid Saabiq, kata wasiat (washiyah) diambil dari kata “ Washshaitu al syaia, ushihi”, artinya : Aushaltuhu (aku menyampaikan
sesuatu).
Mushi (orang yang berwasiat), orang yang menyampaikan pesan sewaktu ia hidup untuk dilaksanakan sesudah mati. Dalam istilah syara’ wasiat diartikan sebagai pemberian seseorang kepada orang lain, baik berupa barang maupun manfaat untuk dimiliki orang yang diberi wasiat, sesudah orang yang berwasiat meninggal dunia.11 Sebagian Fuqaha mendifinisikan bahwa wasiat itu adalah pemberian hak milik secara sukarela yang dilaksanakan setelah pemberinya mati.12 Berdasarkan definisi wasiat sebagaimana disebutkan dapat disimpulkan bahwa wasiat adalah perbuatan hukum seseorang memberikan hak untuk memiliki sesuatu secara sukarela kepada orang lain yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah adanya peristiwa kematian pemberi wasiat, baik sesuatu itu berupa barang maupun manfaat. B. Legalitas Adapun legalitas berlakunya hukum wasiat
menurut hukum Islam
terdapat dalam Al Qur’an, Al Sunnah, Ijma’ dan Logika,13serta Kompilasi Hukum Islam (KHI). 1. Al Qur’an . a. Surat Al Baqarah ayat 180, yang artinya : 180.
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
11
1989, hal 583.
12
Sayyid Saabiq, Fiqhu Al Sunnah Jilid III, Beirut –Daarul Kutub Araby, Cet. VII,
I b i d , hal. 584. DR. Wahbah Al Zukhily, Al Fiqhu Al Islam wa Adillatuhu Jilid III, Damsik – Syiria, Daarul Fikri, Cet. III, l989, hal. 11. 13
7
Berdasarkan maksud Firman Allah SWT surat Al Baqarah ayat 180 tersebut dapat diambil pegangan hukum substansi bukum wasiat, bahwa bagi seseorang yang mendekati kematian wajib berwasiat kepada ibu bapak dan karib kerabatnya. b.
Surat Al Nisa’ ayat 11 dan 12 yang artinya : 11.
“.................(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sseudah dipenuhi
wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. ..........’ 12. “‘...................sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. ..............”
Berdasarkan maksud Firman Allah SWT surat Al Nisa’ ayat 11 dan 12 tersebut dapat diambil pegangan hukum yang berkaitan dengan hukum wasiat, bahwa pelaksanaan pembagian warisan kepada ahli waris yang berhak mendapatkan warisan setelah dibayarkannya hutang-hutang dan dilaksanakannya wasiat.
2. Al Sunnah. Berdasarkan Hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Abu Daud, Turmudzi dan Imam empat dari Ibnu Umar r.a, yang artinya :” Hak bagi seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang
hendak
diwasiatkan
sesudah bermalam dua malam, tiada lain wasiatnya itu tertulis di sisinya.14 Berdasarkan maksud Hadits tersebut dapat diambil pegangan hukum anjuran untuk berwasiat. Bila seseorang berwasiat hendaknya ditulis sebagai wujud kepastian hukum dan pembuktian di kemudian hari.
3. I j m a ‘ Menurut Islam, sejak zaman Rasulullah nSAW sampai sekarang, banyak menjalankan wasiat. Perbuatan hukum yang demikian tidak pernah diingkari oleh seorang pun. Ketidak- ingkaran seseorang itu menunjukkan
14
Al Sayuthi,, Al Jami’u al Shaghir fi Ahaditsi al Basyir al Nadzir Juz II, Beirut, Daarul Fikri, Cet...., Th....., hal. 145.
8
adanya Ijma’15. Bahwa sesungguhnya telah bersepakat para Ulama tentang kebolehan berwasiat.16
4. Al Ma’qul (logika). Menurut tabi’at, manusia itu selalu bercita-cita supaya amal perbuatannya di dunia diakhiri dengan
amal-amal kebajikan, untuk menambah
kekurangan-kekurangan amal kebajikan sewaktu ia masih hidup dan untuk menambah amal kebajikan yang telah ada, serta untuk menyempurnakan amal tersebut, dapat melalui pemberian wasiat.17
5. Kompilasi Hukum Islam. Dasar hukum berlakunya wasiat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah terformulasi dan tertransformasi beberapa pasal dalam KHI yang tertuang
dalam Bab V Pasal 194 sampai dengan Pasal 209 KHI.
Pengaturan mengenai wasiat tersebut tercakup dalam Buku II KHI.18
C. Rukun dan syarat syahnya wasiat Menurut Muhammad Jawwad Mughniyah, rukun wasiat itu ada 4 (empat) yaitu : redaksi wasiat (sighat), pemberi wasiat (mushi), penerima wasiat (musha lahu), dan barang yang diwasiatkan (musha bih).19 Menurut M. Idris Ramulyo menyebutkan rukun wasiat ada 4 (empat) dengan kriterai sebagai berikut : 1. Orang yang berwasiat 1) Baligh (dewasa) 2) Berakal sehat (Aqil baligh) 3) Bebas menyatakan nkehendak 15
hal.51
16
Drs. Fatkhur Rohman, Ilmu Waris, Bandung, PT. Al Ma’arif, Cet..., l975,
DR. Wahbah Al Zakhily, Op cit, hal. 11 Drs. Fatkhur Rahman, Op cit, hal. 52. 18 Drs. Wahyu Widiana, MA, Op cit. Hal. 365 – 368. 19 Muhammad Jawwad Mughniyah, Al Fiqhu ala Madzahib al Khamsah (Terj. Masykur AB. dkk.). Jakarata, PT. Lentera Basritama, Cet. II. 200l, hal.504. 17
9
4) Merupakan tindakan tabarru’ 5) Tidak dibawah kuratele 6) Islam. 2. Orang yang menerima wasiat 1) Harus dapat diketahui dengan jelas siapa yang menerima wasiat itu, nama badan atau organisasi tertentu atau mesjid. 2) Telah wujud (ada) ketika atau pada waktu wasiat dinyatakan ada sebenarnya atau ada yuridis, misalnya anak dalam kandungan. 3) Bukan tujuan maksit. 3. Suatu yang diwasiatkan 1) Dapat berlaku sebagai harta warisan atau dapat menjadi objek janjian. 2) Benda itu sudah ada (wujud) pada waktu diwasiatkan. 3) Hak milik pewasiat. 4. Sighat (lafadz ) wasiat. Adapun syarat wasiat disyaratkan dengan kalimat yang dapat dipahamkan untuk berwasiat. Ijab (pernyataan kehendak dari mushi (pewasiat mutlak). Kabul (pernyataan menerima dari mushi lahu atau penerima wasiat tidak mutlak).20
D. Hikmah Wasiat dan Batas-batas Pelaksanaannya Adapun hikmah wasiat sebagaimana termuat dalam Hadits Nabi SAW yang artinya : “ Sesungguhnya Allah telah bersedekah kepada kamu dengan sepertiga dari harta kamu sebagai penambah amal kebaikanmu, maka tempatkanlah ia dimana kamu mau atau dimana kamu suka.21 Berdasarkan maksud Hadits tersbut dapat diambil pegangan hukum bahwa wasiat adalah salah satu cara yang digunakan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT pada akhir hidupnya, agar kebaikan
L984, hal. 236.
20
M. Idris Ramulyo, SH., Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, IND-HILL Co., Cet.I,
21
Sayyid Saabiq Op cit, hal. 857.
10
nya bertambah atau memperoleh kebaikan olehnya; karena di dalam wasiat itu terdapat kebaikan dan pertolongan bagi manusia.22 Dari Hadits di atas dapat dipahami juga bahwa hikmah wasiat adalah berfungsi sebagai amal kebajikan yang bisa membersihkan diri dari karat-karat dosa. Hal itu merupakan salah saatu alasan yang mendorong mengapa seseorang mewasiatkan sebagian hartanya, disamping bertujuan melapangi saudara-saudaranya yang sedang membutuhkan atau untuk kepentingan umum yang diridloi Allah SWT.23 Adapun batas maksimal yang
yang diperbolehkan pelaksanaan wasiat
dapat diwasiatkan adalah sepertiga. Tidak diperbolehkan wasiat
melebihi sepertiga harta. Yang utama adalah wasiat yang kurang dari sepertiga. Pada prinsipnya batas wasiat yang dibenarkan oleh syara’ adalah sepertiga harta peninggalan, setelah diambil biaya-biaya perawatan dan pelunasan hutang-hutang si pewasiat. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai batas jumlah yang dapat diwasiatkan tersebut dalam Pasal l95 ayat (2), berbunyi “ wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta pewasiat kecuali apabila semua ahli waris menyetujui”. 24
E. Bentuk Pembuatan Surat Wasiat Menurut Hukum Islam dan Hukum Progresif. Menurut bentuknya berdasarkan maksud Pasal 931 KUHPdt ada 3 (tiga) macam bentuk surat wasiat atau testament yaitu : l. Openbaar Testament; 22
I b i d. Dr. H. Satria Effendi M. Zen, MA, Analisis Yurisprudensi tentang Wasiat, Mimbar Hukum, No. 7, Tahun III. (September, l992), hal. 48. 2424 Drs. H. Abdul Manan, SH., SIP., M.Hum.,& Drs. M. Fauzan, SH., Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, Cet. IV, 2001, hal.112., , 23
11
2. Olographis Testament; 3. Testament tertutup atau rahasia.25 Sedangkan tata cara berwasiat dalam KHI Pasal 195 ayat(1) berbunyi “ wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau di hadapan Notaris”.26 Dalam hukum Islam bentuk pembuatan surat wasiat secara tekstual telah dicontohkan
sebagiamana tersebut dalam Hadits/ Atsar Sahabat
yang artinya : “Telah dikeluarkan oleh Abdurrrazaq dengan sanad yang shahih bahwa Anas r.a. berkata : Para Sahabat menulis poada permulaan wasiat seperti berikut : “Bismillahir rahmanir rahim”. (Dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang). Inilah yang diwasiatkan oleh si Polan bin si Polan; bahwa dia bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, bahwa hari kiamat itu pasti akan datang, tidak ada keraguan padanya, dan bahwa Allah akan membangkitkan orang-orang yang ada di dalam kubur. Dia berwasiat kepada keluarga yang ditinggalkan agar mereka bertaqwa kepada Allah, memperbaiki hubungan yang ada di antara mereka, taat kepada Allah dan Rasul-Nya bila mereka benar-benar beriman; dan dia mewasiatkan dengan wasiat yang telah dilakukan oleh Ibrahim dan Ya’kub kepada anak cucunnya : “Sesungguhnya Allah telah memilih Agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”2727 Dapat dijelaskan bahwa maksud Atsar Sahabat tersebut, bahwa sesungguhnya dahulu para Sahabat telah memberikan setimulasi contoh langsung, bila melakukan perbuatan hukum berwasiat secara tertulis dan dicantumkannya pada kepala surat wasiat itu dengan kalimat “Basmalah (Bismillahir rahmanir rahim) “, sebelum menuangkan kehendak wasiat pada surat wasiat yang diperbuatnya. 25
R.Subekti, Prof. SH, & R.Tjitro Sudibio,Op cit. Hal . 226 Drs. H. Abdul Manan, SH, SIP, M Hum & Drs. M. Fauzan, SH, Op cit. Hal 123. 27 Sayyid Saabiq, Op cit, hal. 587 26
12
Menurut ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang termasuk dalam jangkauan hukum Progresif dalam perbuatan hukum wasiat yang dituangkan pada Akta Notariel, secara garis besarnya terdiri dari : kepala, badan dan penutup; yang dapat dijelaskan sebagai berikut : -
Yang disebut Kepala yakni : Permulaan kalimat yang mengatakan pada hari ini.............dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang saya kenal dan nama-nama mereka akan disebut di bawah ini.
-
Yang disebut Badan atau tubuh Akta, yakni teks yang sebenarnya, didalamnya memuat dan menuangkan kehendak /maksud si pewasiat untuk ditulis dalam teks dimaksud.
-
Yang dimaksud dengan Penutup dari suatu Akta adalah dengan pengantar kata “ Demikian Akta itu “. Contoh Penutup Akta dalam pembuatan surat wasiat : “ Demikian Akta ini dibuat di..............., sesudah pembacaan seluruhnya Akta ini oleh saya, Notaris, maka Pewasiat, saya Notaris dan para saksitelah menanda tanganinya”.28
Oleh karena itu menurut hemat penulis, berdasarkan hasil kajian analitik yang berpijak pada perpaduan kajian hukum normatif dan kajian hukum empiris, maka penulis berasumsi
dapat ditemukan pegangan hukum,
bahwa bentuk
pembuatan surat wasiat yang sudah dicontohkan oleh para sahabat dan bentuk pembuatan surat wasiat yang terdapat dalam hukum positif dipraktekkan oleh masyarakat muslim dan juga rekonstruksi-kan secara nyata (in-concreto),
yang sudah
para Notaris,
perlu di
untuk pegangan hukum para
pembuat surat wasiat Muslim dalam berbentuk surat wasiat tertulis ataupun dalam bentuk Akta Notaris. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diambil pegangan hukum, bahwa dalam perbuatan hukum wasiat, sebelum kepala surat wasiat atau sebelum kepala Akta Notaris tentang wasiat, hendaknya 28
dituangkan kalimat “ Basmalah
R. Susanto, Tugas Kewajiban dan Hak-hak Notaris , Wakil Notaris (Sementara), Jakaarata, Pradnya Paramikta, Cet. II, l982. Hal. 111
13
(Bismillahir rahmanir rahim)” , sebagai wujud
cerminan pendekatan diri
Pewasiat kepada Allah SWT dan mengharapkan ridlo-Nya. Sedangkan mengenai penulisan
kalimat “Basmalah” , boleh ditulis dengan kalimat asli arabnya,
ataupun dengan kalimat latin sebagaimana disebutkan. Namun sangat dianjurkan dalam penulisan kalimat “Basmalah” dengan penulisan kalimat “Basmalah” asli arabnya.
BAB III : URGENSI PENULISAN SURAT WASIAT BAGI PEWASIAT DAN BAGI PENERIMA WASIAT A. Urgensi Penulisan Surat Wasiat Bagi Pewasiat Ihwal penulisan surat sebagai bukti otentik dikemudian hari., Al Qur’an telah memberikan setimulasinya dalam surat Al Baqarah ayat 282, yang artinya : “.......Dan janganlah kamu jemu menuliskan (perbuatan hukum itu) baik sedikit (kecil) maupun besar sampai batas waktu pelaksanaannya.................”29 Tafsir al-Maraghi menjelaskan maksud ayat tersebut, yaitu agar manusia tidak bermalas-malasan mengadakan penulisan tentang perbuatan hukum atau transaksi lainnya, baik nilainya sedikit atau banyak yang telah disebut waktu ditentukan; lagi pula ayat tersebut sebagai dalalah penulisan, dipandang sebagai sarana pegangan untuk terpenuhinya hak-hak manusia, agar tidak terjadi pelanggaran baik kadar, ukuran dan isinya, sehingga akan
dapat menjadi
pegangan oleh para yang berhak ataupun petugas-petugas lainnya. Dapat dijelaskan bahwa setiap kegiatan manusia dengan Tuhannya sebagai hubungan vertikal, maupun antara sesama manusia lainnya sebagai hubungan horizontal dan segala hubungan dengan makhluk lain, Al-Qur’an telah memberikan petunjuk jalan yang benar, lagi pula manusia itu sudah kodratnya dijadikan berbangsa-bangsa, bersuku-suku, berkelompok untuk saling berbuat baik dan tolong-menolong sesamanya, Islam telah mengatur masalah-masalah 29
29 Al Qur’an Surat Al Baqarah (2) ayat 282
14
keduniaan dengan sebaik-baiknya sebagai manifestasi dan kelengkapan dasardasar tasyri ‘ Islam. Dalam pembuatan surat wasiat dengan memanfaatkan jabatan Notaris sehinga berbentuk Akta otentik adalah memberikan kekuatan bukti sempurna serta memberikan pengaruh kekuatan resmi dari pejabat.30 Dijelaskan bahwa pembuatan wasiat umum dirumuskan sebagaimana halnya suatu akte berita acara. Bahkan naskah yang keluar dari mulut pembuat wasiat diletakkan di antara tanda kutip. Setelah naskah tersebut dibacakan maka Notaris menanyakan kepada pembuat wasiat apakah
yang dibacakan itu
mengandung kehendak terakhirnya. Notaris harus meyakinkan diri
agar ia
31
memperoleh jawaban yang jelas.
Madzhab Hanafi pada dasarnya tidak berdasar kepada tulisan dan tidak harus melaksanakan di dalam praktek, akan tetapi setelah ternyata orang-orang pada umumnya menggunakan dokumen-dokumen dan surat tertulis itu di dalam pergaulan hukum dan membiasakannya sebagai sandaran, maka Ulama-ulama Mutaakhirin memberikan fatwanya atas dasar “istihsan” untuk menerima bukti tertulis dan melakukannya di dalam praktek Pengadilan sebagai bukti.32 Hal tersebut sesuai dengan pedoman yang disitir oleh Biro Peradilan Agama RI dari ibarat yang diuraikan oleh Sayyid Usman bin Yahya, balam Kitab “Qawaanin al Syari’ah” halaman 173, menukil dari “Mukhtasyar Fatwa Ibnu Hajar” yang berbunyi :
ﻟﺑﯿﻨﺔاﻟﯿﯡم۱وﭨﭫ ﻣﻦ اﭬﺎﻣﺔ۱ ڹ ﺧﻂ اﻟﺣﺎﰼ۱ Artinya : “ Sesungguhnya tulisan pejabat atau “akte otentik” adalah lebih terpercaya untuk pembuktian di masa sekarang dan masa yang akan datang”.33 30
Muhammad Ali Al Shobuni, Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, Beirut, Daarul Fikri, Cet...., th..., hal. 196 31 Prof. Mr. M.J.A. Van Mourik, Studi Kasus Hukum Waris, PT.Eresco, Bandung Cet. I, l993, hal. 76. 32 Sobhi Mahmassani, Falsafah al Tasyri’ fi al Islam, Terj. Ahmad Sudjono, SH,Al Ma’arif , Bandung, Cet. I, l971 , hal. 276. 33 H. Moch. Djunaidi, Biro Peradilan Agama RI , Jakarta : 2 Juli l957, hal. 95.
15
Sebenarnya apabila dicermati di dalam hukum Islam tentang perbuatan hukum wasiat, boleh secara lesan disaksikan dua orang saksi, boleh secara tertulis disaksikan dua orang saksi dan bisa dengan Akta Notaris, sebagai wujud fleksibelitas sifat hukum Islam. Akan tetapi perbedaan bentuk tersebut pada masa sekarang sudah tidak relevan lagi, sebab pada umumnya hampir semua lapisan masyarakat sudah menuangkan wasiat dalam bentuk Akta.34 Dapat dipahamkan bahwa perbuatan hukum wasiat, mengandung hukum “ dzul wajhaian”, yaitu berfungsi ganda. Maksudnya adalah apabila seseorang melakukan perbuatan hukum wasiat, maka perbuatan hukum wasiat itu melekat dengan sendirinya berbarengan hukum ta’abbudi dan hukum amaly. Dalam bidang mu’amalah,
hukum Islam senantiasa
memelihara
keserasian hubungan antara kedua belah pihak, senantiasa menghindarkan kedlaliman dari suatu pihak kepada pihak lain. Hukum Islam menjamin kelancaran hubungan yang baik, baik dalam bidang mu’amalah maddiyah, maupun dalam bidang mu’amalah adabiyah, lantaran hukum Islam selalu menghindarkan segala msesuatu yang menggoncangkan keseimbangan.3536 Dapat dijelaskan bahwa perbuatan hukum wasiat, disamping berfungsi membersihkan diri
dari karat-karat dosa, juga berfungsi sosial, merupakan
sumber dana untuk melapangi
yang sedang berkesempitan. Dengan fungsi
gandanya itu wasiat mendapat perhatian serius dalam kajian hukum Islam. Dalam sebuah Hadits Rasulullah mengingatkan, bahwa tidaklah benar atau tidaklah hati-hati bagi seorang muslim yang hendak mewasiatkan sesuatu yang dibiarkan begitu saja, kecuali jika wasiat itu tertulis di dekatnya (Terjemahan bebas dari hadis riwayat Bukhari dan Muslim).37
34
Drs. Noor Shofa, “Jangkauan Kewenangan Mengadili Pengadilan Agama Dalam Perkara Wasiat”, Mimbar Hukum No. 38 Tahun IX, (Juli-Agustus 1998), hal. 35. 36
Prof., Dr. T.M.Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, Cet. V, l993, hal . 109. 37 Dr. H. Satria Effendi M. Zen, MA, Op cit. Hal. 48
16
Berdasarkan maksud hadits tersebut dapat dipahamkan bahwa begitu urgensinya penulisan,
manakala seseorang melakukan perubatan hukum
berwasiat jangan sampai lalai menuliskannya, karena tidak tahu kapan ia menemui ajalnya. Kelalaian menuliskan atau memberitahukan keputusan wasiatnya, akan berakibat luputnya waktu baginya untuk sesuatu yang amat berharga. B. Urgensi Penulisan Surat Wasiat Bagi Penerima Wasiat Disamping itu, urgensi penulisan perbuatan hukum berwasiat sehingga tercipta surat wasiat atau akta Notaris, agar perbuatan wasiat dimaksud, dapat sebagai pegangan hukum dan tercapainya maksud pemberi wasiat, dan juga untuk menjamin kepastian hukum si penerima wasiat dalam mempertahankan hakhaknya di kemudian hari. Sebab apabila suatu wasiat belum tertulis atau tidak tertulis dalam suatu surat wasiat, dapat dimungkinkan adanya perubahan sikap si pewasiat dengan begitu mudahnya, ataupun timbulnya rasa keberatan dari pihak ahli waris pewasiat. Di dalam syari’at wasiat, disamping dimensi sosial, tidak kurang maknanya terdapat pula dimensi ibadah dan dimensi hukum.38 Bahkan bagi seseorang yang menjadi saksi dalam wasiat agar benar-benar jujur sesuai yang dikehendaki pewasiat, mengingat wasiat merupakan tindakan hukum dan membawa akibat-akibat hukum tertentu bagi pihak-pihak yang lain, wasiat tidak jarang menimbulkan sengketa di antara pihak terkait yang sampai ke pengadilan. Dipahamkan bahwa urgensi penulisan surat wasiat ataupun surat wasiat dalam bentuk Akta Notaris, begitu banyak manfatnya, yang antara lain demi kepastian hukum dan pegangan hukum penerima wasiat di kemudian hari.
38
Redeaksi, Mimbar Hukum No. 38 tahun IX l998, Jakarta, Al Hikmah & DITBINBAPERA Islam, hal. 4.
17
BAB IV : P E N U T U P A. Kesimpulan Pembahasan tentang “Rekonstruksi Hukum Wasiat di Indonesia dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Progresif” yang dituangkan dalam beberapa Bab dan Sub-bab sebagaimana telah diuraikan dalam penulisan maakalah ini dapat disimpulkan sebagai berikut : 1.
Bentuk Pembuatan Surat Wasiat Adapun bentuk wasiat menurut hukum Islam boleh berbentuk lisan yang di saksikan dua orang saksi atau berbentuk tulisan dengan disaksikan dua orang saksi atau berbentuk Akta Notaris. Namun perbedaaan bentuk tersebut pada masa sekarang sudah tidak relevan lagi, sebab pada umumnya hampir semua lapisan masyarakat sudah menuangkan wasiat dalam bentuk Akta. Apabila wasiat itu berbentuk surat wasiat atau berbentuk Akta Notaris, sangat dianjurkan pada Kepala Surat Wasiat atau Kepala Akta Notaris dituangkan dalam kalimat “ Basmalah”, sebagai wujud cerminan ungkapan pendekatan diri dan mohon rahmat serta ridla Allah SWT bagi Pewasiat.
2. Urgensi Penulisan Surat Wasiat Adapun urgensi adanya perbuatan hukum wasiat dalam bentuk penulisan wasiat dalam bentuk surat wasiat atau berbentuk Akta Notaris adalah untuk terealisirnya kepastian hukum perbuatan hukum pewasiat, demi tercapainya maksud dan tujuan luhur pewasiat. Selain itu juga untuk kepastian hukum dan pegangan hukum hak-hak si penerima wasiat di kemudian hari, serta tidak mudah adanya perubahan sikap dari pewasiat dan sebagai antisipasi timbulnya rasa keberatan pihak ahli waris pewasiat.
B. Saran-saran 1.
Disarankan kepada kaum muslimin apabila melakukan perbuatann hukum pembuatan surat wasiat, dan juga kepada Notaris Muslim dalam melayani kliennya untuk pembuatan surat wasiat dalam bentuk
18
surat wasiat atau berbentuk
akta notariel, agar
kiranya tidak
keberatan menuliskan kalimat “ Basmalah” pada kepala surat wasiat atau akta Notarielnya; bahkan bagi klien pun agar mengingatkan untuk penulisan kalimat “Basmalah” pada kepala surat wasiat atau kepala akta Noitariil dimaksud. 2.
Dalam hal berwasiat agar terpelihara dan tercapainya maksud dan tujuan si Pewasiat, sangat dianjurkan agar wasiatnya ditulis atau dalam bentuk Akta Notaris.
C. P e n u t u p Demikian pembahasan tentang “ Rekonstruksi Hukum Wasiat di Indonesia dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Progresif “ dalam Makalah ini dapat penulis selesaikan, tentunya dalam pembahasannya masih banyak kekurangan. Oleh karena itu apabila ada kritik konstruktif dari berbagai pihak, senantiasa penulis trima dengan lapang hati, semoga ada manfaatnya. Amiin.
19
DAFTAR BACAAN
1. Abdul Manan, H., Drs., SH., SIP., M.Hum & Drs. M. Fauzan, SH. Pokokpokok Hukum Perdata Agama, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada , Cet. IV, 2001. 2. Abdul Kadir Muhammad, Prof. SH., Hukum Perdata Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, Cet. 2000. 3. Andi Syamsu Alam, H., Drs. SH., MH., & Drs. H. M. Fauzan, SH., MM., MH.,Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Jakarta, Pena Media, Cet. I, 2008. 4. Ahmad Rifai, SH., MH., Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Cet. II., 2011 5. Al-Sayuthi, Al Jami’u al Shaghir fi Ahaaditsi al Basyir al Nadzir Juz II, Beirut, Daarul Fikri, Cet. ..., th.., 6. Fathur Rahman, H., Drs., Ilmu Waris, Bandung, PT. Al Ma’arif. Cet..,l975. 7. Indarti Rini, Hj., Prof. Dr., SH., MS., Teori Hukum, Materi Kuliyah Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Islam Sultan Agung, Semarang,2013. 8. Muhammad Dau Ali, H., Prof. SH., Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam Inonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, Cet. IX, 2001 9. Muhammad Jawwad Mughniyah, Al Fiqhu ‘ala Madzaahib al Khamsah, (Terj. Masykur A.B. dkk), Jakarta, PT. Lentera Basritama, Cet. VII, 2001 10. M. Idris Ramulyo, SH., Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, IND-HILL CO, Cet. I, l984. 11. Muhammad Ali Al -Shabuni, Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, Beirut Daarul Fikri, Cet.., Th.., 12. MJA. Van Mourik, Prof., Mr., Studi Kasus Hukum Waris, PT. Eresco, Bandung, Cet. I, l993. 13. Moch. Djunaidi, H., Biro Peradilan Agama RI., Jakarta, 2 Juli l957.
20
14. Noor Shofa, Drs., Jangkauan Kewenangan Mengadili Pengadilan Agama Dalam Perkara Wasiat, Mimbar Hukum No, 38 Tahun IX, (Juli – Agustus l998). 15. R. Subekti, Prof.., SH., & R. Tjitro Suibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya Paramita, Cet.18, l984. 16. R. Soesanto., Tugas Kewajiban dan Hak-hak Notaris, Wakil Notaris (Sementara), Jakarta, Pradnya Paramita, Cet. II, l982. 17. Sobhi Mahmassani, Filsafat al Tasyri’ fi al Islami, (Terj. Ahmad Sujono, SH), Bandung, PT. Al Ma’arif, Cet.., l971. 18. Sayyid Saabiq, Fiqhu al Sunnah, Jilid III, Beirut, Daarul Kutub Araby, Cet. VII, l985. 19. Satria Effendi M. Zen, H., Dr., MA., Analisis Yurisprudensi tentang Wasiat, Mimbar Hukum Nomor 7, tahun III, l992. 20. TM. Hasbi Ash Shiddiqiey, Prof. Dr., Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, Cet. V., l993. 21. Wahbah Al Zakhily, Dr., Al Fiqhu al Islam wa Adillatuhu Jld III, Damsyik, Syiria, Daarul Fikri, Cet. III, l989. 22. Wasit Aulawy, Sejarah Perkembangan Hukum Islam,(Karya Tulis), Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, Sebuah Kenangan 65 Tahun Prof. Dr. Busthanul Arifin, SH., Jakarta, PP-IKAHA, Cet. I, l994. 23. Wahyu Widiana, H., Drs., MA., Himpunan Peraturan Perundangundangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta, Dirbinbaga Islam, Cet..., 2001. 24. Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsir, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, PT. Intermasa, Cet.., l993 25. ......................., , Mimbar Hukum, No.38. Tahun IX, Jakarta, AlHikmah, Ditbinbapera Islam, l998.
LAMPIRAN 1 Contoh surat Wasiat
WASIAT Nomor : ....................
Pada hari ini, .................................................................................................................... Berhadapan .................................................................................................................... - Tuan A, pedagang, ..................................................................................................... - Menurut keterangannya, Warga Negara Indonesia, dilahirkan di ............................... Penghadap menerangkan hendak membuat surat wasiat dan untuk itu memberitahukan kemauannya yang terakhir kepada saya, Notaris, dihadapan saksisaksi. --------------------------------------------------------------------------------------------------------Kemauan itu saya, Notaris, susun dan suruh tulis dalam perkataan-perkataan sebagai berikut : “ Saya........................................................................................................ .................................................................................................................. .................................................................................................................” Setelah susunan perkataan tersebut di atas selesai, maka susunan perkataan tadi saya, Notaris, tanya kepadanya apakah yang dibacakan itu benar membuat kemauannya yang terakhir. ---------------------------------------------------------------------------Pembacaan, pertanyaan dan penjawaban itu semuanya dilakukan dihadapan saksisaksi. Penghadap saya, notaris kenal. ----------------------------------------- DEMIKIANLAH AKTA INI -------------------------------------
LAMPIRAN 2 Contoh surat Wasiat
WASIAT Nomor : ....................
-
Pada hari ini, Senin tanggal empat Juli seribu sembilan ratus delapan puluh delapan ( 4-7-1988 ). -------------------------------------------------------------------------------
-
Berhadapan dengan saya, ....................................................................................., Sarjana Hukum, Kandidat Notaris, berdasarkan Surat ketetapan Ketua Pengadilan Negeri Bogor tanggal ................................. Nomor ............................. Pengganti dari tuan ................................., Sarjana Hukum, Notaris di Bogor, dengan dihadiri saksi-saksi yang nama-namanya akan disebut pada akhir akta ini : ----------------------------------------------------------------------------------------------------------
-
Tuan A, pedagang, bertempat tinggal di ................................................................. Warga Negara Indonesia, Kartu Tanda Penduduk Nomor ...................................., Kelurahan .................................. yang berlaku hingga tanggal ...............................
-
Menurut keterangannya dilahirkan di Bogor pada tanggal ......................................
-
Penghadap menerangkan hendak membuat surat wasiat dan untuk itu memberitahukan kemauannya yang terakhir kepada saya, notaris, seperlunya diluar saksi-saksi. -----------------------------------------------------------------------------------
-
Kemauan itu saya, notaris, susun dan suruh tulis dalam perkataan-perkataan sebagai berikut : ------------------------------------------------------------------------------------“ Saya tarik kembali dan hapuskan semua wasiat dan surat-surat lain yang mempunyai kekuatan wasiat yang dibuat oleh saya, sebelum surat wasiat ini, tidak ada yang dikecualikan. --------------------------------------------------------------------Saya angkat isteri saya dan anak-anak saya sebagai para ahli waris tersendiri, masing-masing untuk bagian yang sama. ----------------------------------------------------
LAMPIRAN 2 Contoh surat Wasiat
Saya angkat menjadi pelaksana wasiat saya tuan X, pengusaha, bertempat tinggal di Jakarta, Jalan Solo nomor 500, demikian dengan memberikan kepadanya segala hak yang menurut Undang-undang dapat diberikan kepada seorang pelaksana wasiat, terutama hak untuk mengambil dan memegang seluruh harta peninggalan saya menurut aturan-aturan dalam Undang-undang.” -
Setelah susunan perkataan tersebut selesai, maka sebelum membacakannya saya minta kepada penghadap untuk memberitahukan keamuannya yang terakhir kepada saya, notaris, akan tetapi sekarang dihadapan saksi-saksi. -------Setelah permintaan itu dipenuhi oleh penghadap, maka susunan perkataan tadi saya, notaris, bacakan kepada penghadap, dan sesudahnya saya, notaris, tanya kepadanya apakah yang dibacakan itu benar memuat kemauannya yang terakhir. -----------------------------------------------------------------------------------------------Dan atas pertanyaan itu penghadap menjawab bahwa apa yang dibacakan itu benar memuat kemauannya yang terakhir. -------------------------------------------------PEMBACAAN, PERTANYAAN dan PENJAWABAN itu semuanya dilakukan dihadapan saksi-saksi. ----------------------------------------------------------------------------
-
Penghadap saya, notaris kenal. -----------------------------------------------------------------
----------------------------------------- DEMIKIANLAH AKTA INI -------------------------------------
Dibuat sebagai minuta dan dilangsungkannya di Bogor pada hari dan tanggal tersebut dalam kepala akta ini dengan dihadiri : ------------------------------------------- ............................................................................................................................. ............................................................................................................................. kedua-duanya pegawai notaris, bertempat di ......................................................... yang saya, notaris kenal, sebagai saksi. ------------------------------------------------------
-
Segera setelah akta ini saya, notaris, bacakan kepada penghadap dan saksisaksi, maka akta ini ditanda tangani oleh penghadap, saksi-saksi dan saya, notaris.--------------------------------------------------------------------------------------------------