KESIAPAN KEJAKSAAN DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PILPRES TAHUN 2014
Oleh: Basrief Arief JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA
Disampaikan Pada Acara Rapat Koordinasi Nasional Dalam Rangka Pemantapan Pelaksanaan Pemilu Presiden Tahun 2014 Yang Diselenggarakan Oleh Kementrian Dalam Negeri
JAKARTA, 03 JUNI 2014 1
PENDAHULUAN
Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden Kejaksaan dalam posisi membantu pemerintah untuk mensukseskan Pemilu Presiden tahun 2014 bersama komponen bangsa lain untuk mengatasi setiap permasalahan yang terjadi pada pemilu 2014.
Hal tersebut telah dilakukan pada saat pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD yang sudah diselenggarakan dimana Kejaksaan menangani 137 perkara tindak pidana pemilu. Begitupun dengan PILPRES tahun 2014, Kejaksaan telah siap untuk bersanding bersama komponen bangsa lain guna mengawal dan mensukseskan Pilpres 2014 Peran Kejaksaan sebenarnya tidak hanya terbatas pada penanganan perkara tindak pidana pemilu semata melainkan juga dalam perkara perselisihan hasil pemilu yang ditangani oleh bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, juga tidak kalah penting adalah peran intelijen Kejaksaan untuk melakukan deteksi dini terhadap setiap ancaman, gangguan dan hambatan yang terjadi selama proses pemilu berlangsung. 2
HUKUM ACARA DAN TINDAK PIDANA PEMILU PILPRES
Persoalan gugatan di Mahkamah Konstitusi terhadap UndangUndang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tidak ada yang mempersoalkan baik hukum acara pelanggaran pidana Pilpres maupun jenis pelanggaran pidana pemilunya.
Pasal 195 Undang-undang nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden berbunyi “Pelanggaran pidana Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam Undang-Undang ini yang penyelesaiannya dilaksanakan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Ada 58 pasal yang mengatur pelanggaran pidana pilpres yang diatur mulai dari pasal 202 sampai dengan pasal 259 Undang-undang nomor 42 tahun 2008 tentang pemilihan Presiden dan wakil presiden. 3
Beberapa Bentuk Pelanggaran Tindak Pidana Pilpres
Pasal 202 : “Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). Pasal 203 :” Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). Pasal 204 : “Setiap orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan atau dengan menggunakan kekuasaan yang ada padanya pada saat pendaftaran Pemilih menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai Pemilih dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden menurut Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). Pasal 205: “Setiap anggota KPU yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu dalam melaksanakan verifikasi kebenaran dan kelengkapan administrasi Pasangan Calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
4
SUBJEK HUKUM TINDAK PIDANA PEMILU
Berdasarkan delik pelanggaran tindak pidana pemilu diatas maka yang dapat menjadi subjek hukum tindak pidana pemilu terbagi dalam beberapa kategori yaitu : Kategori pertama adalah penyelenggara Pemilu yang terdiri dari anggota KPU, anggota KPU provinsi, anggota KPU Kabupaten/kota, anggota Bawaslu, anggota panwaslu provinsi, anggota panwaslu kabupaten/kota, anggota panwas Kecamatan dan petugas pelaksana lapangan lainnya. Kategori kedua adalah peserta pemilu yang terdiri dari calon Presiden dan Wakil Presiden Kategori ketiga adalah pejabat tertentu yang dalam hal ini dapat berarti Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI, Anggota Polri, Pengurus BUMN/BUMD, Gubernur/Pimpinan Bank Indonesia, Perangkat Desa dan Badan lainnya yang anggarannya bersumber dari keuangan negara. Kategori keempat adalah masyarakat pemilih yang terdiri dari pelaksana survei/hitungan cepat, umum/setiap orang. Kategori kelima adalah profesi yang terdiri dari media cetak/elektronik, pelaksana pengadaan barang dan distributor
5
BEBERAPA KARAKTERISTISK TINDAK PIDANA PILPRES
Bersifat kumulatif yaitu pidana penjara/kurungan dan denda Mengenal hukuman minimal baik pidana penjara/kurungan maupun denda, ini berbeda dengan undang-undang UndangUndang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Mengenal daluarsa perkara terhadap pelanggaran yang berakibat pada perolehan hasil suara.
6
Penyelesaian pelanggaran pemilu presiden dan wakil presiden
Penyelesaian pelanggaran pemilu presiden dan wakil presiden Menurut UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam pasal 190 yang intinya adalah : ◦ Pelanggaran diselesaikan melalui Bawaslu/Panwaslu sebagai lembaga yang memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap setiap tahapan pelaksanaan pemilu. ◦ Dalam proses pengawasan tersebut, Bawaslu dapat menerima laporan, melakukan kajian atas laporan dan temuan adanya dugaan pelanggaran, dan meneruskan temuan dan laporan dimaksud kepada institusi yang berwenang. ◦ Selain berdasarkan temuan Bawaslu, pelanggaran dapat dilaporkan oleh anggota masyarakat yang mempunyai hak pilih, pemantau pemilu dan peserta pemilu kepada Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota paling lambat 3 hari sejak terjadinya pelanggaran pemilu. ◦ Bawaslu memiliki waktu selama 3 hari untuk melakukan kajian atas laporan atau temuan terjadinya pelanggaran dan dapat diperpanjang selama 5 hari apabila dianggap perlu. ◦
Berdasarkan kajian tersebut, Bawaslu dapat mengambil kesimpulan apakah temuan dan laporan merupakan tindak pelanggaran pemilu atau bukan. Dalam hal laporan atau temuan tersebut dianggap sebagai pelanggaran, maka Bawaslu membedakannya menjadi:
Pelanggaran pemilu yang bersifat administratif diteruskan kepada KPU, KPU propinsi dan KPU kabupaten/kota
Pelanggaran yang mengandung unsur pidana kemudian meneruskannya kepada penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia
instansi 7
SENTRA GAKUMDU
UU nomor 42 tahun 2008 tidak mengatur mengenai Sentra Penegakan Hukum Terpadu (GAKUMDU) sebagaimana diatur dalam UU Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dimana Sentra Penegakan Hukum Terpadu (GAKUMDU) merupakan forum bersama antara Pengawas Pemilu, Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia, dimana mempunyai fungsi dan tanggung jawab yaitu;
Sebagai forum koordinasi antar pihak dalam proses tindak pidana Pemilu;
Pelaksanaan pola pelanggaran pidana Pemilu;
Sebagai pusat data dan informasi tentang pelanggaran pidana Pemilu;
Pertukaran data dan/atau informasi;
Peningkatan kompetensi dalam penanganan dugaan pelanggaran pidana Pemilu;
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi tindak lanjut penanganan pelanggaran pidana Pemilu.
8
HUKUM ACARA TINDAK PIDANA PEMILU
SYARAT FORMIL
Walaupun tidak di dalam UU Pilpres, tidak diatur mengenai Sentra Gakumdu namun dalam Nota Kesepakatan Bersama Badan Pengawas Pemilihan Umum RI, Kepolisian Negara RI dan Kejaksaan RI Nomor Kep005/A/JA/01/2013 juga diatur Sentra Penegakan Hukum Terpadu tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam prakteknya Gakumdu akan menyelesaikan persoalan-persoalan yang bersifat mendesak terkait indikasi pelanggaran pidana pemilu dengan pemahaman yang sama terhadap peristiwa atau laporan indikasi terjadinya tindak pidana pemilu mengingat limitasi waktu yang sempit. Di dalam pengalaman pemilu legislatif sebelumnya koordinasi ini sangat penting dan menyelesaikan berbagai permasalahan dan “kebuntuan” dalam menangani setiap laporan dugaan terjadinya pelanggaran pidana pemilu. Yang perlu diperhatikan dan dicermati adalah hukum acara tindak pidana pemilu harus dipatuhi oleh semua pihak karena merupakan syarat formil yang harus dipenuhi dalam suatu pemeriksaan atau pemberkasan. Sehingga apabila syarat formil mengenai batas waktu penanganan terlewati maka dapat dianggap daluwarsa dan cacat formil yang akan rentan „digugat‟ keabsahannya.
9
HUKUM ACARA TINDAK PIDANA PEMILU
Penanganan Pelanggaran pidana pemilu presiden dan wakil presiden adalah sebagai berikut : diproses melalui pengadilan dalam yuridiksi peradilan umum yang ditangani oleh hakim khusus. Pengaturan lebih jauh mengenai hakim khusus tersebut akan diatur melalui Peraturan MA. Kecuali yang diatur secara berbeda dalam UU Pemilu, maka hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana pemilu menggunakan KUHAP sebagai pedoman beracara. Dalam jangka waktu 14 hari setelah laporan dari Bawaslu, penyidik harus menyampaikan hasil penyidikan beserta berkas perkara kepada penuntut umum (PU). Jika hasil penyidikan dianggap belum lengkap, maka dalam waktu paling lama 3 hari Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik Kepolisian disertai dengan petunjuk untuk melengkapi berkas bersangkutan. Perbaikan berkas oleh penyidik maksimal 3 hari untuk kemudian dikembalikan kepada PU. Maksimal 5 hari sejak berkas diterima, Penuntut Umum melimpahkan berkas perkara kepada pengadilan. Tujuh hari sejak berkas perkara diterima Pengadilan Negeri memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana pemilu. Kepada pihak yang tidak menerima putusan PN tersebut memiliki kesempatan banding ke Pengadilan Tinggi.
10
HUKUM ACARA TINDAK PIDANA PEMILU
Permohonan banding terhadap putusan tersebut diajukan paling lama 3 hari setelah putusan dibacakan. PN melimpahkan berkas perkara permohonan banding kepada PT paling lama 3 hari sejak permohonan banding diterima. PT memiliki kesempatan untuk memeriksa dan memutus permohonan banding sebagaimana dimaksud paling lama 7 hari setelah permohonan banding diterima. Putusan banding tersebut merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat sehingga tidak dapat diajukan upaya hukum lain. Tiga hari setelah putusan pengadilan dibacakan, PN/PT harus telah menyampaikan putusan tersebut kepada PU. Putusan sebagaimana dimaksud harus dilaksanakan paling lambat 3 hari setelah putusan diterima jaksa. Jika perkara pelanggaran pidana pemilu menurut UU Pemilu dipandang dapat mempengaruhi perolehan suara peserta pemilu maka putusan pengadilan atas perkara tersebut harus sudah selesai paling lama 5 hari sebelum KPU menetapkan hasil pemilu secara nasional. Khusus terhadap putusan yang berpengaruh terhadap perolehan suara ini, KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota dan peserta harus sudah menerima salinan putusan pengadilan pada hari putusan dibacakan. 11
Peran Kejaksaan Dalam Pemilu 2014
Kerjasama dengan Instansi lain
Nota kesepakatan bersama Badan Pengawas Pemilihan Umum RI, Kepolisian Negara RI dan Kejaksaan RI nomor Kep-005/A/JA/01/2013 tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu Nota Kesepahaman bersama Nomor Kep107/A/JA/07/2013 tanggal 22 Juli 2013 dengan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk pemanfaatan sarana Video Conference di 31 Kantor Kejaksaan Tinggi yang tersebar di seluruh Indonesia guna penyelesaian dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu 12
Peran Kejaksaan Dalam Pemilu 2014 UPAYA YANG TELAH DILAKUKAN Telah diterbitkan buku ”Pedoman Penanganan Tindak Pidana Pemilu” berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor :SE-012/A/JA/04/2013 tanggal 26 April 2013 Pengarahan Jaksa Agung Republik Indonesia melalui media Teleconference tanggal 27 Juni 2013 terkait Pemilu 2014 Instruksi Jaksa Agung nomor 11/Insja/JA/11/2013 tentang Hasil Pelaksanaan Rapat Kerja Kejaksaan RI tahun 2013 yang mengamanatkan kenetralan pegawai Kejaksaan dalam pemilu 2014 dan ikut berperan aktif dalam mensukseskan pemilu 2014 Peran Intelijen diarahkan untuk melaksanakan dan berperan aktif mensukseskan Instruksi Presiden (Inpres) no.2 tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri, hal ini telah ditekankan dalam surat nomor :B-85/E/EJP/03/2013 tanggal 21 Maret 2013 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 2013 yang ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi seluruh Indonesia
13
Sistem Penanganan Pemilu 2014
Untuk Jaksa Pemilu tidak ada Jaksa khusus yang menangani berdasarkan penunjukan dari Jaksa Agung RI, penunjukannya diserahkan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi , hal ini telah kami tegaskan dalam Surat Edaran JAMPIDUM nomor :B-1086/E/Ejp/04/2013 tanggal 12 April 2013 Batas waktu yang singkat dalam proses penyidikan, penuntutan dan peradilan tindak pidana pemilu maka dilakukan koordinasi yang efektif dengan penyidik, pengadilan maupun Panwaslu/Bawaslu setempat. Putusan banding adalah putusan terakhir dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum kasasi maupun peninjauan kembali SOP penanganan pemilu berpedoman pada prosedur Gakumdu sesuai surat nomor :B-1086/ E/EJP/04/2013 tanggal 12 April 2013. Penuntutan tetap berpedoman pada Surat Edaran Jaksa Agung nomor SE-013/A/JA/12/2011 tentang pedoman Tuntutan Pidana perkara tindak Pidana umum dan terhadap perkara yang menarik perhatian masyarakat tetap berlaku PK Ting sesuai dengan surat JAMPIDUM nomor B-16/ E/Ejp/03/2002 tanggal 11 Maret 2002. Pengalaman dalam menangani perkara tindak pidana pemilu legislatif pada penyelenggaraan pemilu sebelumnya, permasalahan yang timbul ada yang dikoordinasikan secara nasional, yaitu penegak hukum ditingkat pusat dan Bawaslu namun ada permasalahan ditingkat daerah baik propinsi maupun kabupaten melalui panwaslu/penegak hukum setempat dengan koordinasi yang efektif.
14
Kesiapan Jaksa/Penuntut Umum Perkara Pemilu ◦ Diklat tindak pidana pemilu yang melibatkan para Asisten Tindak Pidana Umum (Aspidum) dan Kepala Seksi Tindak Pidana Umum (Kasi Pidum) seluruh Indonesia. ◦ Telah ditunjuk Jaksa Pemilu oleh Kepala Kejaksaan Tinggi untuk Jaksa yang menangani perkara tindak pidana pemilu di tingkat Kejati maupun Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia.
15
Peran bidang Datun dan Intelijen Untuk bidang datun, Kejaksaan menangani perkara mewakili pemerintah/KPU untuk perselisihan hasil pemilu yang biasanya terjadi antara KPU versus Peserta Pemilu. Kemudian peran intelijen Kejaksaan dalam mensukseskan pemilu 2014 melalui upaya : Pertama, pembentukan posko pemantau Pemilu tahun 2014 sesuai surat JAM Intelijen Nomor : B-019/D/Dsp.1/01/2014 Tanggal 10 Januari 2014. Pembentukan ini tidak hanya di tingkat pusat Kejaksaan Agung RI, tetapi juga sampai ke Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri dan Cabang Kejaksaan Negeri. Kedua, Intelijen Kejaksaan diminta untuk memberikan informasi dan data yang akurat kepada pimpinan. Informasi dan data akurat ini dibutuhkan untuk menentukan langkah-langkah kebijakan penegakan hukum di bidang Pemilu. Ketiga, Intelijen kejaksaan diwajibkan untuk dapat mendeteksi dan mengidentifikasikan kerawanan dan potensi-potensi gangguan keamanan dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu. Keempat, intelijen Kejaksaan memberikan dukungan terhadap bidang PIDUM dalam penyelesaian pelanggaran tindak pidana Pemilu dan bidang DATUN dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara dan perselisihan hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi.
16
PENUTUP
Hukum acara dalam penanganan pelanggaran pidana pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 memiliki keterbatasan waktu. Untuk itu dibutuhkan ketaatan terutama dari Bawaslu/Panwaslu maupun Penyidik dan Penuntut Umum serta Hakim untuk memperhatikan syarat formil tersebut karena menyangkut keabsahan dari proses pemeriksaan yang dapat mengakibatkan cacat formil dan daluarsa.
Sedangkan untuk kategori tindak pidana pemilu hanya terkategori menjadi pelanggaran pemilu, berbeda dengan pemilu legislatif yang mengkategorisasikan menjadi pelanggaran dan kejahatan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pemilu yang merupakan hajatan politik dalam pelaksanaan penegakan hukum dimungkinkan akan terjadi intervensi politik dalam menegakan hukum tindak pidana pemilu. Untuk itu Kejaksaan dalam posisi netral dan kepada Jaksa diperintahkan untuk bertindak profesional serta menjaga integritas dalam menangani perkara pelanggaran pidana pemilu.
Harapan terbesar dari penegakan hukum pelanggaran pidana pemilu yang adil, transparan dan menjamin kepastian hukum adalah terciptanya iklim kondusif yang akan membawa bangsa dan negara memiliki pemimpin yang amanah dan sanggup membuat masyarakat makmur dan sejahtera. Kejaksaan ingin menjadi salah satu kontributor untuk mewujudkan cita mulia tersebut. Amin.
.
17
SEKIAN DAN TERIMAKASIH
18