IV. PETA SOSIAL KELURAHAN KEBONLEGA
4.1 Kondisi Geografi Kelurahan Kebonlega merupakan satu dari enam kelurahan di wilayah Kecamatan Bojongloa Kidul, Kotamadya Bandung. Wilayah ini berada pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Luas wilayah kelurahan ini 117,85 Ha, yang terbagi atas 11 Rukun Warga (RW) dan 70 Rukun Tetangga (RT). Secara administrasi Kelurahan Kebonlega berbatasan dengan : a. Sebelah Utara
: Kelurahan Situsaer
b. Sebelah Selatan
: Kelurahan Cibaduyut
c. Sebelah Barat
: Kelurahan Babakan Ciparay
d. Sebelah Timur
: Kelurahan Mekarwangi
Berdasarkan kondisi geografis tersebut, wilayah ini cukup strategis sebagai daerah yang bisa dijadikan alternatif bagi kaum pekerja migran dalam mencari pekerjaan di bidang sektor informal dikarenakan terdapatnya sarana sosial berupa terminal bus Leuwipanjang, kawasan sentra industri sepatu Cibaduyut. Kondisi ini juga secara tidak langsung akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial, termasuk masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA. Penggunaan lahan di wilayah Kelurahan Kebonlega pada saat ini dapat dilihat pada Tabel 4 berikut: Tabel 4. Penggunaan Luas Lahan dan Persentasinya Di Kelurahan Kebonlega, 2006 No
Penggunaan Lahan
Luas (Hektar)
%
1
Perumahan /Pemukiman
85,35
72,42
2
Areal Perdagangan/pertokoan
10,25
8,69
3
Sekolah dan Perkantoran
9,50
8,06
4
Sarana Peribadatan
2,40
2,03
5
Sarana Jalan
9,00
7,63
6
Tanah kebun dan lainnya
1,35
1,14
Jumlah
117,85
100
Sumber : Profil Kelurahan Kebonlega, 2006
43 Berdasarkan tingkat penggunaan lahan tersebut, sebagian besar lahan yang ada di wilayah Kelurahan Kebonlega digunakan untuk perumahan/pemukiman yaitu 85,35 Hektar (72,42%). Kondisi ini seiring dengan pertambahan penduduk di wilayah ini baik melalui proses fertilitas maupun proses migrasi. Untuk lebih jelasnya peruntukan lahan di Kelurahan Kebonlega dapat dilihat pada gambar 2: KLASIFIKASI LAHAN PEMBAGIANPENGGUNAAN PENGGUNAAN LAHAN Perumahan / Pemukiman Areal perdagangan/pertokoan Sekolah/perkantoran Sarana peribadatan Jalan Tanah Kebun dan Lainnya
Gambar 2. Penggunaan Lahan Kelurahan Kebonlega, 2006 Jarak dari pusat pemerintahan kelurahan ke pusat pemerintahan kecamatan 2,5 km. Jarak ke pusat pemerintahan kotamadya 9 kilometer, dan jarak ke pusat pemerintahan propinsi 11 kilometer. Lokasi Kelurahan Kebonlega dilalui jalan protokol yaitu Jalan Soekarno-Hatta. Wilayah ini juga sebagai pintu masuk dari arah Barat, yaitu dengan adanya Terminal Bus Leuwipanjang. Keberadaan sarana terminal ini sangat memberikan peluang bagi usaha ekonomi sektor informal. Kelurahan ini juga merupakan bagian dari areal sektor industri sepatu Cibaduyut. Industri Sepatu Cibaduyut adalah salah satu sektor yang ditawarkan Kota Bandung dalam wisata belanja. Keberadaan terminal bus antar kota dan antar propinsi Leuwipanjang, secara langsung dapat memberikan dampak bagi warga masyarakatnya. Di samping memberi peluang usaha bagi sektor informal, juga memberikan dampak lain berupa munculnya perumahan padat sekitar terminal, maraknya premanisme di areal terminal, maraknya dunia hiburan malam seiring dengan maraknya prakek prostitusi.
Kondisi
ini
secara
langsung
penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA
menjadi
penyebab
timbulnya
44 4.2. Kondisi Demografi Jumlah penduduk Kelurahan Kebonlega pada bulan Nopember 2006 tercatat 18.267 jiwa, terdiri dari 9.231 jiwa (50,54 persen) laki-laki dan 9.036 jiwa (49,46 persen) perempuan. Tingkat kepadatan penduduk sebanyak 16.340 jiwa per kilometer persegi. Sebagaimana pada umumnya penduduk di wilayah perkotaan, penduduk di Kelurahan Kebonlega sangat heterogen dari berbagai budaya dan etnis. Dari jumlah penduduk tersebut jumlah warga negara keturunan sebanyak 728 jiwa (3,98 persen). Piramida penduduk dapat dilihat pada Gambar 3. : Laki-laki
Perempuan > 65 60 - 64 55 - 59 50 - 54 45 - 49 40 - 44 35 - 39 30 - 34 25 - 29 20 - 24 15 - 19 10 - 14 05 - 09 0 - 04
10
9
8
7
6
5
Laki-laki
4
3
2
1
0 (dalam ratusan)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Perempuan
Gambar 3. Piramida Penduduk Kelurahan Kebonlega tahun 2006 Jumlah penduduk pada kelompok umur 15 sampai 44 tahun menempati jumlah terbanyak yaitu 9.181 jiwa (50,25 persen ) dari jumlah penduduk yang ada di Kelurahan Kebonlega. Kondisi tersebut bahwa di wilayah ini memiliki tenaga produktif yang juga merupakan satu pontensi dalam sumberdaya manusia apabila diberdayakan secara optimal. Pada sisi yang lain, golongan usia tersebut termasuk golongan usia yang rawan terhadap penyalahgunaan NAPZA. Kondisi ini juga menandakan bahwa penduduk wilayah ini dalam katagori penduduk muda, artinya usia muda produktif mendominasi dari kalkulasi golongan umur yang lebih tua. Pada kelompok umur di bawah lima tahun menjadi urutan ketiga terbanyak, yaitu
45 9,09 persen dari total penduduk. Penduduk Kelurahan Kebonlega mempunyai jumlah penduduk usia produktif relatif banyak, hal ini dikarenakan wilayah ini dijadikan
satu
alternatif
tujuan
para
pekerja
migran
untuk
mencoba
menggantungkan nasibnya di wilayah ini baik sebagai buruh lepas atau pekerja serabutan, usaha jualan kaki lima. Kebiasaan pekerja sektor ini pada umumnya dilakukan setelah musim tanam telah selesai dimana kurangnya aktivitas yang dilakukan di desanya. Keberadaan pekerja migran terbagi pada wilayah RW 09, RW 11, dan RW 13. Lokasi tersebut dikategorikan sebagai wilayah pemukiman padat dan kumuh. Terdapat kesenjangan yang mencolok antara warga perumahan golongan atas (real estate), terutama di wilayah RW 9 dan RW 10 dengan pemukiman yang padat dan kumuh, tidak layak huni baik segi kesehatan, sosial dan keamanan. Secara tindak langsung kondisi seperti demikian bisa menjadi pemicu timbulya permasalahan sosial berupa semakin melebarnya jarak pemisah antara kaum berekonomi tinggi dengan perumahan padat. Dari hasil wawancara dengan tokoh masyarakat setempat, dapat pengkaji jelaskan bahwa keberadaan etnis keturunan China yang berada di pemukiman masyarakat lokal sudah terjadi proses pembauran dengan warga sekitar, sementara yang memiliki tempat tinggal sekaligus sebagai tempat usaha di sepanjang jalan yang strategis pada umumnya relatif eksklusif dengan warga. Dalam menghadapi berbagai kegiatan yang memerlukan dukungan partisipasi dari masyarakat, pada umumnya warga keturunan relatif lebih memberikan bentuk partisipasinya dalam bentuk dana ataupun materi lainnya. Tingginya usia produktif membawa implikasi pada tingginya angkatan kerja. Kondisi tersebut jika tidak dibarengi dengan upaya-upaya berkaitan dengan penyediaan lapangan kerja, maka akan terjadi penumpukan jumlah angkatan kerja (pengangguran). Situasi seperti ini secara langsung dapat menimbulkan munculnya berbagai konflik sosial sebagai akibat timbulnya pergesekan berbagai kepentingan dalam kehidupan masyarakat. Munculnya berbagai masalah sosial dalam kehidupan masyarakat merupakan satu konsekuensi dari kehidupan di wilayah perkotaan yang heterogen, konsumtif, individualis, dan sarat dengan kompetitif.
46 4.3 Sistem ekonomi Mata pencaharian penduduk Kelurahan Kebonlega sangat beragam sebagaimna gambaran penduduk perkotaan pada umumnya. Sektor jasa dan informal merupakan pilihan sebagian besar penduduk wilayah ini. Pada sektor swasta, umumnya sebagai besar warga masyarakat sebagai pekerja/buruh. Adanya keterbatasan kemampuan dalam mengakses lembaga-lembaga pemberi pelayanan yang sudah terbentuk dalam jejaring sosial (networking), serta rumitnya prosedur dan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi sebagai akibat adanya birokrasi yang berbelit-belit, menyebabkan sebagian besar warga memilih mata pencaharian sebagai pelaku usaha sektor informal, seperti pedagang kecil dengan modal terbatas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5 berikut:. Tabel 5. Jumlah dan Persentasi Penduduk Kelurahan Kebonlega Menurut Mata Pencaharian Tahun 2007 No
Mata Pencaharian
1
PNS/TNI/POLRI
2
Jumlah (Jiwa)
%
565
5,63
Buruh/Karyawan Swasta
5.920
59,05
3
Pedagang
3.442
34,33
4
Petani ladang
14
0,14
5
Pengrajin
83
0,82
10.024
100
Jumlah Sumber : Profil Kelurahan Kebonlega, 2006
Pihak swasta memberikan kontribusi yang relatif besar dalam penyerapan tenaga kerja terutama sektor jasa dan hiburan. Sebagaimana pada umumnya penduduk di wilayah perkotaan yang ditandai cepatnya pertumbuhan sektor industri dan jasa, menjadikan mayoritas penduduknya bekerja sebagai buruh/karyawan di perusahaan domestik maupun asing. Wilayah ini juga merupakan alternatif bagi pekerja migran untuk memperoleh fasilitas kerja, terutama sejak dioperasionalkannya terminal bus antar kota dan antar propinsi Leuwipanjang. Sebagai gambaran penduduk pendatang yang masuk untuk periode Nopember 2006 saja di Kelurahan Kebonlega tercatat 35 orang, sementara yang pindah sebanyak 19 orang (Mantis Kecamatan Bojongloa Kidul), secara langsung
47 pergerakan penduduk/mobilitas penduduk wilayah ini termasuk tinggi. Rata-rata dalam setiap tahunnya penduduk pendatang yang masuk wilayah ini sebanyak tercatat 365 orang/tahun, sementara yang pindah dari wilayah Kelurahan Kebonlega sebanyak 120 orang/tahun. Usaha mikro kecil dan menengah yang ada di Kelurahan Kebonlega sangat bervariasi dari mulai pengrajin sepatu, tas, konpeksi, pembuat roti, usaha jasa servis motor, jasa servis barang elektronik, jasa tambal ban, sampai pada pembuat makanan lokal. Proses produksi dijalankan sebagai usaha kerajinan rumah tangga. Terdapat pula usaha-usaha tersebut dalam bentuk usaha bersama (UBE) berdasarkan jenis produksi yang sama. Krisis ekonomi yang berkepanjangan telah banyak menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK). Kondisi ini menurut pengamatan pengkaji, korban PHK tersebut beralih profesi menjadi pelaku usaha sektor informal. Masalah yang sering muncul berkenaan dengan terbatasnya lahan usaha yang tidak jarang di razia petugas penertiban satuan polisi pamong praja. Sebab keberadaan para pedagang kaki lima dianggap mengganggu keindahan kota. Kondisi ini menjadikan satu dilema baik pihak pemerintahan kota, juga sebaliknya bagi pelaku usaha sektor informal berupa pedagang kaki lima. Keberadaan masyarakat di Kelurahan Kebonlega yang merupakan kaum pendatang yang bergerak pada sektor informal pada umumnya berpendidikan relatif rendah, secara langsung bisa memunculkan kondisi yang akrab dengan berbagai keterbatasan yang cenderung menjadi miskin. Sangat beralasan mengapa para pelaku usaha sektor informal memilih lembaga keuangan model rentenir dalam modal usahanya. Dampak klasik dari praktek ini adalah warga masyarakat mulai terbelit dengan bunga pinjaman yang membelit dan berakar. Kondisi ini tidak gampang dalam upaya penanganannya, justru pada sisi yang lain kebijakan pemerintah yang lebih memihak pelaku usaha bermodal besar daripada bermitra kerja dengan pelaku usaha yang modalnya kecil, tidaklah berlebihan justru kondisi diciptakan kemiskinan yang tersetruktur. Hal ini ditandai dengan: beratnya persyaratan yang harus dilengkapi, birokrasi yang berbelit, ketidak-percayaan pihak perbankan kepada sektor informal, juga akibat dari pelaku usaha sektor informal sendiri dalam proses mengakses pelayanan modal tersebut.
48 4.4 Pendidikan Dalam segi pendidikan, untuk ukuran sebuah kelurahan di wilayah perkotaan, pendidikan masyarakat Kelurahan Kebonlega masih rendah, hal ini diakibatkan jumlah penduduk pada golongan tidak tamat SD dan hanya tamat SD masih relatif tinggi yaitu 32,77% dari jumlah komposisi penduduk yang ada. Upaya-upaya yang telah dilaksanakan berupa pembentukan Kelompok Belajar Paket A dan B, khusus bagi Pekerja Anak yang bekerja di Sektor Alas Kaki (PASAK) yang kegiatannya di pusatkan di Kelurahan Cibaduyut. Hasil yang telah dicapai program tersebut adalah adanya peningkatan pendidikan sebagian kecil PASAK yang jumlahnya tidak sedikit. Gambaran mengenai tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 6 berikut: Tabel 6. Jumlah dan Persentasi Penduduk Kelurahan Kebonlega Menurut Tingkat Pendidikan, Tahun 2006 NO
TINGKAT PENDIDIKAN
JUMLAH
%
1
Belum Sekolah
2.009
10,99
2
Tidak Tamat SD
756
4,18
3
Belum Tamat SD
2.010
11,00
4
Tamat SD
5.223
28,59
5
Tamat SLTP
4.515
24,71
6
Tamat SLTA
2.712
14,84
7
Tamat Akademi/D3
538
2,94
8
Tamat Sarjana/S1
400
2,18
9
Tamat S2
102
0,55
19.267
100
Jumlah
Sumber : Profil Kelurahan Kebonlega, Tahun 2006
4.5 Gambaran Sosial Budaya dan Struktur Komunitas Dalam suatu masyarakat terjadi pelapisan sosial yang disebabkan oleh adanya pembagian kerja dalam masyarakat, konflik sosial dan kepemilikan pribadi (Kolopaking, 2003). Selain itu, proses pelapisan sosial juga dapat disebabkan faktor keahlian seseorang, senioritas, keaslian, hubungan kekerabatan dengan tokoh masyarakat, pengaruh kekuasaan, kepangkatan dan kekayaan.
49 Komunitas di Kelurahan Kebonlega pada umumnya terdiri dari campuran penduduk asli dan kaum pendatang baik yang menjadi penduduk tetap atau yang bersifat sementara. Hal tersebut menyebabkan wilayah ini sangat heterogen baik dari nilai-nilai masyarakat maupun dari pelapisan sosialnya. Kondisi tersebut sangat sulit mengidentifikasi proses pelapisan sosial yang ada di wilayah Kelurahan Kebonlega. Secara sederhana warga masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi di atas rata-rata secara kacamata sosial akan memperoleh kedudukan sosial baik lebih tinggi. Selain itu tingkat pendidikan juga mempengaruhi kedudukan seseorang dalam masyarakat. Stratifikasi sosial pada masyarakat pada umumnya dapat dilihat dari bentuk bangunan rumah, kepemilikan sarana transportasi, serta jenis pekerjaan. Tingginya tingkat heterogenitas dalam suku dan budaya di Kelurahan Kebonlega membentuk struktur secara horizontal yang ditandai dengan kesatuan sosial berdasarkan etnis dan agama. Sedangkan struktur sosial vertikal, ditandai dengan adanya pelapisan sosial yang terbentuk berdasarkan kemampuan ekonomi, atau status sosialnya. Dengan demikian pelapisan sosial yang ada di Kelurahan Kebonlega
pada
kenyataannya
dikaitkan
dengan
kemampuan
secara
materi/ekonomi, yang pada gilirannya terbentuk adanya lapisan sosial atas, lapisan sosial menengah, dan lapisan sosial bawah. Sebagai gambaran jumlah lapisan sosial bawah jumlahnya lebih banyak. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari sekretaris Kelurahan Kebonlega dan hasil olah data yang dilakukan pengkaji bahwa klasifikasi penduduk menurut proporsinya Kelurahan Kebonlega adalah: dua puluh persen untuk lapisan atas, tiga puluh persen untuk lapisan menengah, dan lima puluh persen untuk lapisan bawah. Tradisi dan kebiasaan masyarakat Jawa Barat seperti ririungan sarumpi (nilai-nilai kesetiakawanan sosial dan kegotong royongan) dan hirup sauyunan jeung sabilulungan (hidup saling tolong-menolong dan saling mengasihi) untuk saat sekarang sudah banyak terkikis oleh adanya berbagai pengaruh nilai dan budaya lain, saratnya kehidupan masyarakat kota yang kompetitif sebagai akibat tingginya heterogenitas warga masyarakat Kelurahan Kebonlega. Hal ini bisa dibuktikan dengan dominannya prinsip hidup individualisme dan ekslusif serta
50 segala sesuatu selalu diukur dengan kemampuan finansial ( Suluh Pasundan, 1998) Kehidupan individualistik telah banyak memberi pengaruh menipisnya kualitas dari pada kelembagaan ririungan sarumpi. Kehidupan masyarakat Kelurahan Kebonlega yang heterogen memicu timbulnya sifat memudarnya rasa kesetiakawanan sosial diantara warga masyarakat. Di antara nilai-nilai yang terkandung dalam kelembagaan ririungan sarumpi yang banyak mengalami pergeseran, masih terdapat satu nilai etika kesopanan yang masih dipertahankan oleh sebagian masyarakat Jawa Barat, khususnya warga masyarakat Kota Bandung yaitu kata “ punten “ acapkali terdengar apabila seseorang mau melewati kerumunan orang. Makna yang tersirat kata punten diterjemahkan dengan kata permisi. Nilai tersebut sudah melembaga dalam masyarakat Kota Bandung yang melambangkan bahwa budaya santun masih tetap terjaga.
4.6 Kelembagaan dan Organisasi Sosial Dinamika perkembangan komunitas dan kebudayaannya selalu ada kelembagaan sosial yang bersifat stabil, dan diakui masyarakat. Keberadaan kelembagaan sosial bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, maka kelembagaan tersebut dapat dikatagorikan berdasarkan jenis-jenis kebutuhan pokok, sebagai berikut (Darmawan dan Nasdian, 2003) : a. Kelembagaan kekerabatan/domestik, untuk memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan. Di Kelurahan Kebonlega terdapat Paguyuban Keluarga Perantau Garut (PKPG), Paguyuban Urang Ciamis, dan sejenisnya. b. Kelembagaan ekonomi, untuk memenuhi pencaharian hidup, memproduksi, menimbun, mendistribusi harta benda. Kelurahan Kebonlega kelembagaan ekonomi yang ada Koperasi, Persatuan Pengrajin Sepatu Cibaduyut, dan sejenisnya.. c. Kelembagaan pendidikan, untuk memenuhi kebutuhan penerangan dan pendidikan, agar menjadi anggota masyarakat yang berguna. Di Kelurahan Kebonlega telah memiliki kelembagaan pendidikan formal, seperti Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama. Pendidikan informal dilaksanakan di
51 Pondok Pesantren Al-Hudda, Taman Pendidkan Al-Qur’an (TPA) dengan dana swadaya dari masyarakat. d. Kelembagaan keagamaan, untuk memenuhi kebutuhan manusia di dalam hubungannya dengan Tuhan. Di Kelurahan Kebonlega terdapat Pondok Pesantren (Pontren) Al-Hudda, Pontren Sinar Miskin, Pontren Al-Basyariah, Pontren Al-Cojali DKM, IRMA, Majelis Taklim Al-Hidayah, Kerukunan Pemuda Gereja Filadefia Musa, dan Parsaudaraan Muda Dharma. e. Kelembagaan politik, untuk memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan kelompok dalam skala besar atau kehidupan bernegara. Di Kelurahan Kebonlega kelembagaan politik yang disebut juga kelembagaan sektor publik di tingkat lokal mencakup administrasi dan pemerintahan lokal dengan birokrasinya seperti LPM, PKK, Karang Taruna, Lembaga Keberdayaan Masyarakat Kota (LKMK), Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dan LSM Cibaduyut Peduli. f. Kelembagaan somatik, untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah manusia. Di Kelurahan Kebonlega kelembagaan Somatik yang ada adalah Puskesmas, Posyandu, Klinik, Pengobatan Alternatif, Bidan dan Dokter Praktek Umum. Keberadaan kelembagaan sosial kemasyarakatan yang ada di wilayah ini dipandang memiliki nilai strategi dalam rangka meningkatkan kemampuan masyarakat dalam berpatisipasi secara aktif menanggulangi permasalahan sosial termasuk di dalamnya adalah masalah penyalahgunaan NAPZA.
4.7 Potensi Penguatan Lembaga Keagamaan Berdasarkan hasil peta sosial, dapat diketahui bahwa di Kelurahan Kebonlega terdapat berbagai kelembagaan baik yang bersifat formal maupun informal. Lembaga keagamaan yang ada meliputi; 4 buah Pondok Pesantren, 15 DKM, Kerukunan Pemuda Gereja Filadelfia Musa, dan Persaudaraan Muda Dharma. Kondisi tersebut merupakan satu potensi yang bisa diberdayakan berkaitan dengan upaya penguatan lembaga keagamaan, seiring dengan program pemerintahan Kota Bandung yaitu Perwujudan Kota Bandung Sebagai Kota Agamis. Dengan terwujudnya kehidupan masyarakat yang agamis secara langsung
52 diantaranya
bisa
mewujudkan
upaya-upaya
meningkatkan
kemampuan
masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan NAPZA. Hasil dari observasi dan wawancara mendalam pada kegiatan Praktek Lapangan I dan II, kondisi lembaga-lembaga yang ada di Kelurahan Kebonlega kurang memiliki performa yang secara langsung mempengaruhi proses pelayanan dan pengelolaan lembaga tersebut. Hal ini disebabkan berbagai faktor, antara lain ; individu-individu pengurus atau pengelola lembaga pindah alamat, kurangnya proses kaderisasi, rendahnya sumberdaya manusia para pengurus, tidak memiliki jaringan mitra kerja, kurangnya kemampuan dalam merencanakan program, terbatasnya kemampuan dalam mengakses sistem sumber dan faktor yang lainnya. Beberapa hal yang melandasi memilih perlunya upaya penguatan lembaga keagamaan antara lain disebabkan melihat kenyataan kehidupan sekarang yang sarat akan kompetitif, sarat pancaroba, disertai berbagai macam krisis yang secara langsung mengakibatkan adanya kesenjangan sosial. Kondisi ini secara langsung mengakibatkan lemahnya kontrol sosial masyarakat. Pada gilirannya kondisi masyarakat seperti demikian sangat rentan terhadap berbagai masalah sosial termasuk di dalamnya masalah penyalahgunaan NAPZA. Dengan keberadaan terminal bus antar kota-antar propinsi Leuwipanjang secara langsung memberikan dampak positif berupa terdapatnya areal bagi usaha pada bidang informal, sewa atau kontrak kamar dan usaha jasa lainnya. Tetapi pada sisi yang lain seiring dengan hal tersebut secara tidak langsung menimbulkan kawasan pemukiman di sekitar terminal menjadi padat. Kondisi penghunian yang padat secara langsung berkaitan dengan meningkatnya angka tindak kriminalitas. Menurut informasi dari Kepolisian Sektor Bojongloa Kidul, setelah berdirinya terminal tersebut jumlah tindak kejahatan berupa penjambretan, pencopetan, penipuan serta pencurian selalu ada peningkatan. Ini sesuatu hal yang waar bila di wilayah tersebut terdapat sarana umum berupa terminal, stasion ataupun pelabuhan. Menurut Badan Narkotika Propinsi, wilayah Kecamatan Kebonlega merupakan salah satu wilayah yang relatif banyak dalam penyalahgunaan NAPZA, di wilayah ini terdapat 13 kasus, 5 kasus diantaranya ada di wilayah Kelurahan Kebonlega. Keberadaan komunitas pengguna NAPZA sangat sulit
53 untuk dijangkau oleh orang yang bukan pemakai. Komunitas tersebut dengan berbagai isyarat dan kode yang susah diartikan orang awam sudah menjadi bagian hidup dari masyarakat pada umumnya. Data yang diperoleh dari BNP tersebut adalah data sudah berkaitan dengan hukum, bisa diambil kesimpulan jumlah tersebut akan lebih banyak bagi mereka-mereka yang belum bersinggungan dengan aparat penegak hukum. Berdasarkan kodisi seperti dijelaskan di atas, maka penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA di wilayah ini bisa dikatagorikan sudah pada tingkat meresahkan warganya. Hal ini seperti yang dikemukakan Pimpinan Pondok Pesantren AL-Hudda, bahwa permasalahan sosial pemakaian NAPZA adalah musuh bersama, bukan saja umat Islam, tetapi umat-umat di luar Islam. Dengan melibatkan semua elemen masyarakat secara bersama-sama akan bisa lebih optimal memerangi Narkoba dari sekarang juga. Pernyataan tersebut setelah santri didiknya ada yang terkena narkoba. Salah satu upaya dalam menghadapi situasi berbagai krisis tersebut adalah dengan cara penanaman nilai-nilai agama berupa peningkatan nilai keimanan terhadap Tuhan yang mampu menangkal berbagai pengaruh termasuk besarnya pengaruh penyalahgunaan NAPZA. Nilai-nilai agama sebagai satu nilai yang mendasar diharapkan mampu mengantisipasi berbagai pengaruh buruk yang bisa merusak sendi-sendi kehidupan manusia. Di Kelurahan Kebonlega juga terdapat Lembaga Pemasyarakatan Khusus Narkotika Klas II Banceuy. Keberadaan lembaga ini diharapkan memberikan kontribusinya kepada masyarakat terutama dalam pola pembelajaran tentang bagaimana dampak serta resiko dari penyalahgunaan NAPZA.
4.8 Evaluasi Program Pencegahan Narkoba Berbasis Keluarga Program yang pernah ada di Kelurahan Kebonlega adalah Program Pencegahan Narkoba Berbasis Keluarga. Program ini pada awalnya sebagai suatu upaya dari kelompok keluarga yang anak/anggota keluarganya menjadi pecandu NAPZA. Kegiatan ini sebagai bentuk kepedulian dari keluarga penyandang masalah untuk berbagi pengalaman tentang beratnya upaya menanggulangi korban penyalahgunaan NAPZA. Berdasarkan hasil wawancara dari tiga keluarga
54 penyandang masalah, berhasil diperoleh informasi bahwa atas dasar inisiatif dari keluarga-keluarga tersebut maka disusunlah sebuah proposal yang berisikan tentang perlunya diadakan pembelajaran kepada masyarakat dalam bentuk penyuluhan di lembaga sekolah yang ada di wilayah Kelurahan Kebonlega. Proposal tersebut ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kota Bandung, Kepolisian Sektor Bojongloa Kidul dan Kecamatan Bojongloa Kidul, serta Badan Narkotika Kota (BNK) Bandung sebagai tembusannya. Usulan proposal tersebut mendapat perhatian dari pihak-pihak terkait yaitu Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan Kota Bandung, sehingga pada Tahun 2003, kegiatan penyuluhan tentang bahaya NAPZA dilaksanakan di SMP Negeri Bojongloa Kidul. Dampak yang dirasakan dari pengaruh penyalahgunaan NAPZA cukup banyak menyita tenaga, waktu dan tidak sedikit anggaran yang dikeluarkan dari perawatan kesehatan, sampai pada proses terapi dan rehabilitasi, baik yang diselenggarakan lembaga pelayanan yang ada maupun oleh pihak keluarga. Upaya pengobatan ketergantungan NAPZA merupakan upaya yang tidak gampang untuk dilaksanakan tanpa disertai dukungan dan kesungguhan
kerja keras serta
kesabaran yang tinggi terutama bagi pelaku itu sendiri, oleh keluarga dan kerabatnya, serta pihak-pihak terkait dalam merehabilitasi dampak dari penyalahgunaan NAPZA. Tanpa kesemuanya tersebut bentuk upaya apapun tidak akan menghasilkan secara maksimal. Tahun 2004, kegiatan upaya pencegahan narkoba berbasis keluarga mulai dimasukan dalam agenda kerja Kelurahan Kebonlega. Melalui proses dengar pendapat dari berbagai pihak terkait diperoleh satu kesepakatan tentang suatu upaya-upaya dalam wujud pembentukan Keluarga Peduli Bahaya Narkotika. Pembentukan keluarga semacam ini sebagai langkah pembelajaran kepada masyarakat luas tentang bahaya dari dampak buruk dari penyalahgunaan NAPZA melalui keluarga peduli. Pada awalnya program kegiatan dari Keluarga Peduli Bahaya Narkotika disatukan dalam agenda kerja PKK dalam unit kegiatan sadar hukum. Dipergunakannya
kelembagaan
PKK
dalam
upaya
pencegahan
penyalahgunaan NAPZA, karena berargumentasi bahwa peran para ibu dalam kesehariannya lebih dominan dalam pembentukan sikap dan kepribadian anak
55 yang baik dan hal tersebut merupakan satu nilai tersendiri dalam rangka pemberian pendidikan tentang bahaya dari penyalahgunaan NAPZA. Pihak-pihak yang terkait dan memiliki korelasi dalam pembelajaran masyarakat antara lain ; Dinas Kesehatan Kota Bandung, Dinas Pendidikan Kota Bandung, Lembaga Pemasyarakatan Khusus Narkotika Banceuy Bandung, dan beberapa Lembaga Swadaya masyarakat (LSM), seperti Yayasan Rumah Cemara, Yayasan Bahtera, Yayasan Harapan Keluarga, Darrut Tauhid, YPK Batu Penjuru dan Yayasan Insan Kamil. Keberadaan LSM ini sangat membantu dalam proses pendidikan dan pembelajaran pada keluarga dan masyarakat pada umumnya baik berupa berbagai pengenalan dan informasi tentang bahaya NAPZA, pengenalan berbagai jenis terapi dan pengobatan, sampai pada upaya-upaya praktis yang harus dilaksanakan apabila
menjumpai
pelaku
penyalahgunaan
NAPZA,
serta
memberikan
penyuluhan hukum yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA.
4.8.1 Program Kegiatan Program pencegahan narkoba berbasis keluarga, secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut : 1.
Program kegiatan: a.
Pelatihan pengenalan NAPZA dan berbagai dampaknya.
b.
Pelatihan teknik membangun interaksi sosial dalam keluarga.
c.
Pelatihan teknik dan strategi pendidikan pada anak
d.
Pelatihan strategi hidup sehat.
2. Tujuan Pencegahan: a.
Mengembangkan keterampilan hidup, termasuk kesadaran diri, harga diri, pengambilan keputusan yang baik.
b.
Menyebarluaskan informasi benar tentang bahaya NAPZA melalui pendidikan keluarga
c.
Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial dari keluarga, kelompok sebaya dan lingkungan sosial
d.
Membangun kewaspadaan dan ketahanan masyarakat terhadap pengaruh NAPZA.
56 3. Alasan mengutamakan upaya pencegahan: a. Untuk mengembangkan individu yang sehat b. Untuk membantu individu dan keluarga dari dampak NAPZA. c.
Pencegahan memungkinkan individu dan keluarga melibatkan diri dalam kegiatan positif yang jauh dari pengaruh NAPZA.
4.8.2 Kepengurusan Sebagai suatu organisasi pelaksana dalam kegiatan pencegahan narkoba berbasis keluarga, kepengurusannya seperti dijelaskan pada gambar 4 berikut : PENANGGUNG JAWAB LURAH KEBONLEGA
KETUA Ny.Idris Atmawijaya WAKIL KETUA Ny. Danto W
LSM LSM
KELUARGA-KELUARGA DI SETIAP RT
KOORDINATOR LAPANGAN
MASYARAKAT Gambar 4. Kepengurusan Kegiatan Pencegahan NAPZA Berbasis Keluarga Keterangan : : Garis koordinasi dan kerjasama : Garis dukungan secara lansung : Garis UmpanBalik
Keberadaan kepengurusan dalam program tersebut, berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan pengkaji sudah tidak berjalan sama sekali. Hal-hal yang menyebabkannya adalah pengurus inti sudah berpindah tugas dan domisili serta tidak ada upaya proses kaderisasi . Salah satu faktor mengapa upaya pencegahan penyalahgunaan NAPZA belum maksimal disamping keterbatasan pengetahuan tentang NAPZA, juga karena masih adanya stigma buruk masyarakat terhadap penyandang masalah penyalahgunaan NAPZA yang dianggap sebagai aib bagi keluarga.
57 Berdasarkan pengamatan penulis, kegiatan program ini tidak berjalan secara optimal, hal ini dikarenakan: a. Para pengurus dari kelembagaan tersebut pindah tugas / domisili. b. Keterbatasan dalam segi dana sebagai dampak lemahnya dalam proses pengaksesan sistem sumber sebagai akibat terbatasnya sumberdaya manusia. c. Kerbatasan akan koordinasi antar lintas lembaga dan intansi. d. Kurangnya kepedulian warga masyarakat sebagai akibat keterbatasan dalam pengetahuan tentang masalah dan dampak dari penyalahgunaan NAPZA. e. Belum dilibatkannya lembaga keagamaan dalam upaya pencegahan NAPZA Atas dasar uraian tersebut, dapat diambil satu kesimpulan bahwa program pencegahan NAPZA berbasis keluarga tidak bisa melembaga dikarenakan tidak adanya upaya pengkaderan pengelola program tersebut.
4.8.3 Sumber Dana Pelaksanaan program ini dibiayai oleh alokasi dana Kelurahan Kebonlega, juga dari berbagai sumber, yaitu ; alokasi dana rutin Dinas Kesehatan Kota Bandung, alokasi dana rutin Dinas Pendidikan Kota Bandung, serta dana kegiatan pembinaan masyarakat Kepolisian Sektor Bojongloa Kidul. Pada umumnya kegiatan dilaksanakan dalam suatu kerjasama antar lintas instansi seperti pihak Kepolisian Sektor memberikan materi berkaitan dengan segi hukum, Dinas Kesehatan lebih menfokuskan pada dampak fisik berupa beberapa gangguan dari fungsi tubuh, sementara dari Lapas Narkotika memberikan materi dampak yang diakibatkan dari penyalahgunaan NAPZA berupa kurungan/masuk penjara sebagai media pembelajaran bagi pelajar dan masyarakat pada umumnya. Atas kondisi tersebut, penulis berupaya mengkaitkan program tersebut dengan upaya yang akan dilaksanakan melalui penguatan lembaga keagamaan yang ada di wilayah ini. Alasan yang mendasari program preventif penyalahgunaan NAPZA melalui penguatan lembaga keagamaan adalah karena lembaga ini memiliki daya tangkal dalam upaya pencegahan NAPZA dalam bentuk penguatan norma-norma agama yang mengalami kemunduran sebagai
58 akibat beragai fenomena sosial yang di latar belakangi munculnya berbagai krisis, baik ekonomi, krisis sosial, krisis moral yang ada pada kehidupan masyarakat dewasa ini.