BAB IV PETA SOSIAL KELURAHAN BINONG 4.1 Gambaran Umum Kelurahan Binong Kelurahan Binong merupakan salah satu kelurahan dari 151 kelurahan yang terdapat di Kota Bandung, termasuk ke dalam Kecamatan Batununggal. Terdiri dari sepuluh Rukun Warga (RW) dan 72 Rukun Tetangga (RT). Di Kelurahan Binong terdapat Kawasan Sentra Industri dan Perdagangan (KSIP) rajutan Binongjati. Sentra rajutan Binongjati merupakan salah satu kawasan dari lima kawasan yang sedang dilakukan revitalisasi oleh Pemerintah Kota Bandung. Selain itu, pada kawasan Binongjati terkonsentrasi lebih dari 80 persen usaha rajutan di Kecamatan Batununggal atau sekitar 400 unit usaha rajutan. Secara geografis, Kelurahan Binong memiliki luas sebesar 0,72 km2. Struktur geografis Kelurahan Binong dibatasi oleh wilayah : ∼
Sebelah Utara
∼
Sebelah Selatan : Kelurahan Margasenang, Kecamatan Margacinta
∼
Sebelah Barat
: Kelurahan Gumuruh, Kecamatan Batunuggal
∼
Sebelah Timur
: Kelurahan Kebon Kangkung, Kecamatan Kiaracondong
: Kelurahan Maleer, Kecamatan Batununggal
Kondisi geografis Kelurahan Binong terletak pada ketinggian tanah 760 meter di atas permukaan laut. Banyaknya curah hujan yaitu sebanyak 2.400 mm/tahun dan rata-rata suhu udara adalah 370 celcius. Orbitasi wilayah, yaitu jarak dari Pusat Pemerintahan Kelurahan adalah sebagai berikut : ∼
Jarak dari Pusat Pemerintahan Kecamatan Batununggal
: 1 km
∼
Jarak dari Pusat Pemerintahan Kota Bandung
: 5 km
∼
Jarak dari Ibukota Propinsi Jawa Barat
: 6 km
∼
Jarak dari ibukota Negara Indonesia
: 124 km
Lokasi penelitian terdapat di kawasan Binongjati, Binongkulon dan Binongtengah. Kawasan sentra rajut Binongjati jika dilihat berdasarkan pengamatan tentang lay out dan situasi kawasan, kawasan ini belum menampakan seperti suatu kawasan, karena rumah-rumah masih berjejer seperti tidak ada aktivitas usaha. Susunan rumah-rumah yang berfungsi sebagai tempat produksi dan toko (tempat pemasaran) cukup teratur di sepanjang jalan kawawan
35 ini. Keberadaan kawasan sentra rajut Binongjati belum didukung oleh kondisi fisik jalan dan situasi lingkungan lainnya. Lokasi kawasan yang berdekatan dengan lokasi Pasar Saeuran (pasar tradisional di Kelurahan Binong)
dan kondisi jalan yang rusak menjadikan
kawasan ini cenderung terlihat kumuh pada saat masuk ke kawasan. Hanya terlihat gapura sederhana yang menandakan pintu masuk ke kawasan. Penataan parkir masih belum ada dan cenderung semrawut. Keberadaan PKL dan pedagang asongan di dalam kawasan tidak terlihat, kecuali pada gerbang pintu masuk terlihat di depan Pasar Saeuran. Secara menyeluruh kawasan ini tidak memiliki fasilitas layaknya suatu kawasan wisata produksi dan perdagangan. Di sepanjang jalan Binongjati terlihat bangunan rumah dan warung berjejer, hanya sedikit bangunan rumah yang menunjukkan lokasi industri rajutan. Namun jika kita masuk ke gang-gang kecil di kiri dan kanan jalan, maka akan terlihat suatu kawasan sentra produksi rajutan. Hampir setiap rumah di dalam gang-gang kecil ini adalah industri rajutan. Sebagian besar industri rajutan dilakukan di rumah, sangat jarang yang memiliki tempat khusus untuk produksi. Sebagian besar tidak memiliki ruang tamu, karena digunakan untuk mesin-mesin rajut berproduksi. Suara bising mesin rajut terdengar hampir dari setiap rumah mulai pagi hari sampai dengan jam sepuluh malam. Pada waktu pengiriman barang maka kegiatan produksi bisa sampai dengan pukul tiga dini hari. Pada sore hari kendaraan hilir mudik keluar masuk kawasan ini, mulai dari mobil kecil hingga truk pengangkut barang menjadikan jalan Binongjati menjadi macet. Setiap harinya sekitar tiga truk besar dan beberapa mobil pick up mengangkut barang rajutan ke beberapa distributor, baik ke Tanah Abang Jakarta, Tegal Gubuk Cirebon, Surabaya maupun beberapa daerah lainnya di Indonesia. Dari Tanah Abang Jakarta barang rajutan dari Binongjati ini sebagian besar di ekspor ke luar negeri. Belum ada pengusaha rajutan yang melakukan ekspor langsung ke luar negeri.
36 4.2 Kependudukan1 Penduduk merupakan salah satu dari tiga hal pokok yang merupakan komponen utama terbentuknya suatu negara, selain wilayah dan pemerintahan. Tiga hal pokok tersebut saling berhubungan satu dengan lainnya. Karakteristik yang paling mewakili dalam menentukan gambaran suatu wilayah adalah masalah kependudukan, karena penduduk sebagai suatu subjek pokok suatu wilayah merupakan
komponen
yang
selalu
mengalami
perkembangan
(dinamic
component) dari waktu ke waktu. Sebagai ibukota propinsi, Kota Bandung merupakan kota besar di mana sekarang ini perkembangannya semakin pesat baik perkembangan secara fisik maupun non fisik. Perkembangan Kota Bandung yang demikian pesat telah menarik sangat banyak penduduk pendatang, baik yang akhirnya menetap maupun penduduk komuter. Di Kelurahan Binong sendiri penduduk komuter adalah buruh rajutan yang pulang seminggu sekali, berasal dari Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, Kota Cimahi, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kota Tasikmalaya. Penduduk Kelurahan Binong pada akhir bulan Agustus 2008 berdasarkan Laporan Kependudukan Bulan Agustus berjumlah sebanyak 17.421
2008 Kelurahan Binong
jiwa, dengan rincian 8.939 jiwa (51,31 persen)
penduduk laki-laki dan 8.482 jiwa (48,69 persen) penduduk perempuan. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk pada akhir tahun 2007, maka penduduk Kelurahan Binong pada bulan Agustus tahun 2008 mengalami peningkatan yang signifikan. Jumlah penduduk akhir tahun 2007 adalah 14.103 jiwa, dengan rincian 6.992 jiwa (49,58 persen) penduduk laki-laki dan 7.111 jiwa (50,42 persen) penduduk perempuan. Dengan demikian dalam jangka waktu delapan bulan saja terjadi pertumbuhan penduduk yang cukup drastis, yaitu mencapai 23 persen. Hal ini dimungkinkan sebagai hasil dari Pemutakhiran Data Kependudukan Kota Bandung yang dilakukan pada bulan April 2008 dalam rangka pendataan pemilih di Kota Bandung. Pendataan ini dilakukan secara sensus ke rumah-rumah,
Berdasarkan Data Monografi Kelurahan yang memerlukan interpretasi lebih mendalam secara statistik
1
37 sehingga data penduduk menurut kelompok umur lebih akurat jika dibandingkan dengan laporan jumlah penduduk sebelumnya.
Grafik 4.1 Penduduk Kelurahan Binong Menurut Jenis Kelamin Desember 2007 dan Agustus 2008
9.000
8.000
7.000
6.000
5.000
4.000
3.000
2.000
1.000
0
Laki-laki
Pe re mpuan
Desember 2007 Agustus 2008
Sumber : Laporan Rekapitulasi Penduduk Kelurahan Binong 2007 dan Agustus 2008, diolah
Dengan luas wilayah sekitar 0,72 km2 dan jumlah penduduk sebanyak 17.253 jiwa maka kepadatan penduduk di Kelurahan Binong pada bulan Agustus 2008 adalah 23.963 jiwa/km2. Tingkat kepadatan penduduk di Kelurahan Binong ini tergolong sangat padat. Dibandingkan dengan tingkat kepadatan penduduk di Kota Bandung sekitar 13.500 jiwa/km2, maka tingkat kepadatan di Kelurahan Binong jauh lebih tinggi dari rata-rata tingkat kepadatan penduduk di Kota Bandung. Komposisi penduduk Kelurahan Binong juga dapat dilihat berdasarkan golongan umur. Berdasarkan jumlah penduduk menurut golongan umur dapat diketahui struktur umur penduduk, apakah termasuk struktur penduduk muda atau struktur peduduk tua. Jumlah penduduk Kelurahan Binong yang usianya kurang dari 15 tahun berjumlah sekitar 22,73 persen (3.960 jiwa) dan penduduk usia 65 tahun lebih berkisar 0,69 persen (120 jiwa). Struktur umur penduduk muda
38 ditunjukkan dengan proporsi penduduk yang usianya kurang dari 15 tahun adalah lebih dari 40 persen, sedangkan struktur umur penduduk tua ditunjukkan apabila proporsi penduduk dengan usia lebih dari 65 tahun adalah lebih dari sepuluh persen. Dengan demikian struktur umur penduduk Kelurahan Binong merupakan struktur umur penduduk ”peralihan” yang mengindikasikan bahwa Kelurahan Binong memiliki potensi besar dalam kelompok umur produktifnya, yang apabila diberdayakan akan menunjang keberhasilan pembangunan di segala bidang.
Grafik 4.2 Piramida Penduduk Kelurahan Binong Agustus Tahun 2008
Perempuan
Laki-laki 65 + 60 – 64 55 – 59 50 – 54 45 – 49 40 – 44 35 – 39 30 – 34 25 – 29 20 – 24 15 – 19 10 – 14 5–9 0–4 2000
1500
1000
500
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
Sumber : Laporan Rekapitulasi Penduduk Kelurahan Binong Agustus 2008, diolah
Piramida penduduk Kelurahan Binong mempunyai kecenderungan gembung di tengah, mengindikasikan struktur umur penduduknya, yaitu struktur umur peralihan. Berdasarkan piramida di atas terlihat bahwa penduduk perempuan golongan umur 20 – 24 tahun jumlahnya relatif tinggi (mencapai lebih dari 32 persen). Tingginya jumlah penduduk perempuan pada golongan umur ini dimungkinkan adalah pendatang perempuan (kaum migran) yang bekerja sebagai buruh rajut pada industri rajutan Binongjati.
39 Berdasarkan komposisi ini dapat dilihat sex ratio menurut golongan umur. Sex ratio menurut golongan umur dapat menunjukkan pola sex ratio dari umur muda (mulai dari kelahiran) hingga umur tua. Sex ratio penduduk Kelurahan Binong
adalah sebesar 105,39. Hal ini menunjukkan komposisi penduduk
menurut jenis kelamin di Kelurahan Binong, di mana penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan penduduk perempuan. Berdasarkan grafik 4.2 terlihat ada beberapa golongan umur yang memiliki sex ratio cukup ekstrim, yaitu terdapat perbedaan yang mencolok antara jumlah penduduk laki-laki dan penduduk perempuan. Sex ratio golongan umur 25 – 29 tahun, 40 – 44 tahun, dan 45- 49 tahun menunjukkan angka lebih dari 150. Angka ini menunjukkan jumlah peduduk laki-laki pada golongan umur ini lebih dari 1,5 kalinya penduduk perempuan. Golongan umur 25 – 29 tahun juga mempunyai sex ratio sebesar 176,43 yang mengandung pengertian bahwa komposisi penduduk laki-laki lebih tinggi 1,76 kali dari penduduk perempuan. Demikian pula pada golongan umur 20 – 24 tahun sex ratio sebesar 56,64. Hal ini menunjukkan jumlah penduduk laki-laki pada golongan umur ini hampir setengah kali dari jumlah penduduk perempuan. Relatif ekstrimnya angka sex ratio pada beberapa golongan umur ini dapat dimaklumi pada kondisi Kelurahan Binong, di mana wilayah ini merupakan salah satu kawasan sentra industri di Kota Bandung sehingga menarik minat pendatang untuk mencari nafkah sebagai buruh rajut di kawasan ini. Berdasarkan data penduduk menurut golongan umur juga dapat diketahui angka rasio beban ketergantungan, yaitu tingkat ketergantungan dari penduduk yang berusia kurang dari 15 tahun dengan penduduk usia lebih dari 65 tahun terhadap penduduk usia 15 – 64 tahun. Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa rasio ketergantungan penduduk Kelurahan Binong adalah 30,58. Hal ini mengandung pengertian bahwa dari 100 (seratus) jiwa penduduk usia produktif menanggung 31 jiwa penduduk usia tidak produktif. Dengan demikian beban ketergantungan dari penduduk tidak produktif di Kelurahan Binong relatif rendah. Hal ini dapat dimaklumi karena struktur umur penduduk di kelurahan ini adalah struktur umur transisi/peralihan, di mana pada struktur ini mayoritas penduduk berada pada usia produktif.
40 4.3 Sistem Ekonomi Mata pencaharian penduduk Kelurahan Binong relatif beragam, mulai dari Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota TNI, karyawan swasta, wiraswasta, pedagang, petani, pertukangan, jasa dan pemulung. Mata pencaharian yang relatif dominan di Kelurahan Binong adalah pengusaha rajutan, buruh rajut tidak dibayar (pekerja keluarga), dan buruh makloon di usaha rajutan. Berdasarkan data ini juga terlihat ada bias mata pencaharian. Persentase terbesar adalah pelajar dan mahasiswa (lebih dari 80%), padahal kita pahami bersama bahwa status sebagai pelajar dan mahasiswa bukanlah mata pencaharian. Jika dibandingkan dengan data jumlah penduduk menurut golongan umur terlihat jelas bahwa angka penduduk yang mata pencahariannya sebagai pelajar adalah over estimate. Penduduk usia sekolah (5-19 tahun) adalah sebanyak 4.415 jiwa, lebih rendah dari jumlah penduduk yang mata pencahariannya sebagai pelajar. Hal ini kiranya dapat menjadi perhatian dalam pengumpulan data kependudukan di masa mendatang. Berdasarkan hasil Sensus Ekonomi (SE) 2006, yaitu pendataan unit usaha baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum non pertanian di Kota Bandung, jumlah usaha/perusahaan di Kelurahan Binong adalah sekitar 1.742 usaha. Jika dirinci menurut lokasi usaha, maka jumlah usaha dengan lokasi usaha tetap dan tempat permanen adalah sebanyak 1.081 usaha dan usaha dengan lokasi tidak tetap atau di luar bangunan (kaki lima, pedagang keliling) sebanyak 661 usaha. Berdasarkan hasil SE 2006 kegiatan usaha yang paling banyak di Kelurahan Binong adalah kegiatan perdagangan besar dan eceran. Adanya Pasar Saeuran dan pusat perdagangan jalan Kiaracondong di Kelurahan Binong merupakan salah satu penyebab besarnya jumlah usaha perdagangan besar dan eceran di kelurahan ini. Sekitar 38,40 persen usaha yang ada di Kelurahan Binong adalah usaha perdagangan besar dan eceran. Usaha akomodasi, penyediaan makan dan minum, menempati peringkat kedua, dengan jumlah usaha sebanyak 20,09 persen. Kegiatan ini meliputi kegiatan penyediaan akomodasi, serta kegiatan penyediaan makan dan minum, seperti restoran, warung nasi, penjual makanan atau minuman yang diproses di lokasi berjualan serta jasa catering. Adanya pasar pun merupakan salah satu penyebab jumlah usaha ini relatif besar, di samping
41 banyaknya usaha catering untuk makan karyawan pabrik rajut, pengumpul limbah dan pemasok gas bagi industri rajut.
Grafik 4.3 Struktur Perekonomian Kelurahan Binong Tahun 2006
Lainnya 11,42%
Industri 14,81%
Usaha persewaan 15,27%
Perdagangan 38,40% Akomodasi 20,09%
Sumber : Hasil SE 2006 Kota Bandung, BPS Kota Bandung, diolah Usaha persewaan juga mempunyai persentase relatif besar, yaitu sekitar 15,27 persen. Usaha ini mencakup kegiatan persewaan bangunan seperti kontrakan rumah maupun kos-kosan, yang banyak terdapat di kelurahan ini, sebagai dampak dari industri rajutan yang mengundang para pendatang untuk menetap di kawasan ini. Usaha industri pengolahan berjumlah sekitar 14,81 persen dari total usaha di Kelurahan Binong. Dari 14,81 persen usaha industri pengolahan di Kelurahan Binong, sekitar 90,31 persennya adalah usaha industri rajutan. Konsentrasi usaha industri pengolahan di Kelurahan Binong sejak dahulu adalah usaha industri rajutan, yang terkonsentrasi di kawasan Binongjati. Walaupun secara unit usaha industri rajutan tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan usaha perdagangan, tetapi usaha ini mampu menciptakan penyerapan tenaga kerja yang relatif besar baik bagi Kelurahan Binong sendiri maupun bagi luar wilayah Binong. Demikian juga dengan nilai tambah, usaha rajutan mampu menyumbangkan penciptaan nilai tambah yang relatif besar bagi penciptaan nilai
42 tambah di Kelurahan Binong. Oleh karena itu sangat beralasan apabila daerah ini dijadikan sebagai kawasan sentra rajutan di Kota Bandung. Cikal bakal industri rajutan Binongjati dimulai sejak tahun 1965. Sebelumnya, penduduk Binongjati banyak yang menjadi buruh di pabrik-pabrik rajutan milik pedagang Tionghoa di Kota Bandung. Namun, dengan meningkatnya permintaan rajutan, pedagang Tionghoa meminta para buruh mengerjakan rajutan di rumah. Mereka dibekali mesin rajut dan wajib menyetorkan produksinya sesuai dengan permintaan majikan. Tingginya permintaan membuat sejumlah buruh bisa menabung sehingga mampu membeli mesin sendiri. Sambil mengerjakan pesanan majikan, mereka juga mengajar beberapa orang di Binongjati mengerjakan baju rajutan. Tahun 1975, hanya ada tiga pabrik (industri) rajutan di Binongjati. Namun, karena permintaan dari Pasar Baru Bandung cukup banyak, penduduk Binongjati mulai ikut membuat pabrikpabrik rajutan. Pada saat itu pabrik bertambah hingga mencapai 30 pabrik. Pada tahun 1997 ketika terjadi krisis moneter, industri rajutan Binongjati justru mengalami booming, karena harga jual hasil rajutan untuk ekspor melonjak. Tahun 2006 terdapat sekitar 400 industri rajut, dengan jumlah tenaga kerja sekitar 8.000 orang. Kondisi ekonomi yang paling memberikan dampak bagi usaha rajutan, menurut informan Sw adalah kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak). Menurut Sw, dampak kenaikan harga BBM cukup berat bagi pengusaha. Kenaikan BBM berdampak pada kenaikan harga bahan baku, sehingga biaya produksi menjadi tinggi sedangkan order berkurang. Yang terjadi adalah banyaknya pengusaha yang kolaps. Input produksi rajut atau bahan baku bagi sentra industri rajutan Binonjati diperoleh dari pemasok. Jumlah pemasok masih sangat terbatas karena para pemasok mendapatkan barang (benang) dari dua sampai tiga pabrik yang memproduksi bahan baku kebutuhan industri ini. Proses pencarian bahan baku dilakukan melalui pemasok yang langsung datang ke industri, sehingga kualitas benang sangat ditentukan oleh pasokan benang dari pemasok bahan. Output dari sentra rajutan Binongjati ini sebagian besar diekspor ke luar wilayah Kota Bandung. Lebih dari 75 persen produksi rajutan dari Binongjati
43 diekspor ke Tanah Abang Jakarta, sebagai pusat pemasaran dan penampung utama produksi rajutan Binongjati. Dari Tanah Abang Jakarta produk rajutan Binongjati sebagian besar di ekspor ke luar negeri dana beberapa daerah di Indonesia. Daerah pemasaran rajutan Binongjati selain Pasar Tanah Abang Jakarta antara lain : Pasar Turi Surabaya, Pasar Tegal Gubuk Cirebon, Solo, Padang, Medan, Palembang, Kudus, Bali, Lombok, dan sebagian ke ITC Kebon Kelapa, Pasar Baru Bandung, serta beberapa factory outlet di Bandung seperti Renariti, Kayaguya, dan lain-lain. Hampir 95 persen sistem penjualan adalah grosir, hanya sekitar lima persen saja penjualan secara eceran (ritel). Rendahnya sistem penjualan ritel dikarenakan tidak adanya ruang pamer (showroom) bagi hasil produksi, di samping karakter yang sudah terbentuk pada diri para pengusaha untuk memasarkan dengan sistem grosiran. Menurut Sw, karakter yang terbentuk dari pengusaha untuk menjual dalam sistem grosir sudah begitu kuat, sehingga sulit jika ada konsumen yang ingin membeli secara ritel. Sulitnya penjualan secara ritel juga dikarenakan kurang baiknnya infrastruktur menuju lokasi kawasan. Akses infrastruktur yang buruk, seperti jalan yang sempit tidak dapat dilalui bis besar, lokasi kawasan yang agak jauh dari jalan raya (sekitar 600 meter), jalan yang berlobang, tidak ada tempat parkir, lokasi masuk yang terkesan kumuh karena adanya pasar, serta tidak adanya Rajutan Trade Center (RTC) sebagai pusat penjualan ritel bagi pengusaha merupakan penyebab lemahnya keinginan pengusaha untuk berbisnis dalam sistem eceran (ritel). Dalam rangka meningkatkan potensi perekonomian di kawasan Binongjati, Pemerintah Kota Bandung menetapkan kawasan ini sebagai salah satu dari lima Kawasan Sentra Industri dan Perdagangan (KSIP) di Kota Bandung, dan akan melakukan revitalisasi bagi kawasan ini. Revitalisasi lebih difokuskan pada perbaikan dan penataan infrastruktur kawasan, sehingga kawasan ini layak untuk dijadikan kawasan wisata produksi dan perdagangan. Sampai dengan saat ini, kawasan sentra rajutan Binongjati baru sampai pada tahap sentra produksi, belum pada taraf sentra pemasaran atau perdagangan.
44 4.4 Struktur Komunitas Struktur komunitas di Kelurahan Binong tidak terdefinisi dengan jelas. Masyarakat di sini memandang materi sebagai prestise dari status sosial seseorang. Secara umum seseorang yang sukses (cenderung dinilai dari sisi materi) dianggap sebagai orang yang penting. Dalam industri rajutan sendiri kelas sosial terbentuk dengan sendirinya dari kualitas barang produksi yang dihasilkan dan jenis pemasaran. Pengusaha yang terbiasa memproduksi barang rajutan kualitas menengah ke atas cenderung terpisah dengan kelompok pengusaha yang memproduksi rajutan kualitas menengah ke bawah. Berdasarkan hal ini tanpa disadari langsung oleh para pengusaha telah terbentuk kelas pengusaha rajutan kelas tanah abang, kelas tegal gubuk, dan kelas factory outlet atau butik. Konflik yang biasanya terjadi namun tidak sampai muncul ke permukaan adalah ketika ada salah satu kelas yang meniru model dari kelas yang lain dan menjatuhkan harga barang tersebut.
4.5 Kelembagaan Masyarakat Kelembagaan merupakan unsur-unsur yang mengatur perilaku warga masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Inti dari kelembagaan adalah pola hubungan dan sistem norma yang berlaku di masyarakat. Oleh karena itu suatu masyarakat merupakan kumpulan dari beberapa kelembagaan, mengingat pola hubungan dan sistem norma yang terbentuk berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan. Koentjaraningrat (1979) diacu dalam Kolopaking dan Tonny (2007) mengkategorikan kelembagaan ke dalam delapan kategori, yaitu : kelembagaan kekerabatan, ekonomi, pendidikan, ilmiah, estetika dan rekreasi, keagamaan, politik dan somatik. Kelembagaan yang dominan terbentuk di Kelurahan Binong adalah kelembagaan ekonomi. Hal ini berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup dari sisi ekonomi yang mencakup kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi, terbentuk kelembagaan ekonomi. Industri rajutan di Binongjati merupakan salah satu kelembagaan ekonomi yang cukup dominan dalam kehidupan masyarakat.
45 Selain kegiatan industri rajutan, kelembagaan ekonomi di Kelurahan Binong juga terdapat kegiatan Pasar Saeuran, dan koperasi.
4.6 Sumberdaya Lokal Pengembangan masyarakat sebagai alternatif pembangunan menekankan prinsip pembangunan yang bersifat bottom up. Prinsip ini berpusat pada gagasan untuk penilaian pengetahuan lokal, nilai-nilai, keterampilan, proses, dan sumber daya lokal. Inti utama dari pengembangan masyarakat adalah membentuk unsurunsur komunitas sebagai kesatuan masyarakat yang dilandasi oleh ketergantungan atau kebersamaan. Upaya tersebut dapat dicapai melalui kepemilikan benda-benda dan kepemilikan struktur dan proses oleh masyarakat (Gunardi et al, 2007 : 27). Pada awalnya sumberdaya lokal yang dimiliki Kelurahan Binong adalah areal pertanian. Namun seiring dengan proses industrialisasi dan pertambahan jumlah penduduk maka sumberdaya ini semakin menyusut keberadaannya. Saat penelitian berlangsung, sumberdaya pertanian menjadi tidak signifikan di Kelurahan Binong yang bergeser dari daerah pertanian menjadi daerah industri dan jasa. Yang berkembang saat ini adalah sumberdaya manusia, yaitu adanya transfer keahlian merajut dan berdagang antar masyarakat di Kelurahan Binong sehingga kegiatan rajutan menjadi salah satu potensi yang dimiliki oleh wilayah.
4.7 Masalah Sosial Kemiskinan merupakan masalah sosial lain yang relatif sulit untuk dientaskan di kawasan ini, bahkan di hampir seluruh wilayah di dunia ini. Berdasarkan pendataan PSE05, jumlah penduduk hampir miskin, miskin dan sangat miskin sebanyak 846 rumah tangga. Dalam rangka menangani kemiskinan di Kelurahan Binong dan hampir seluruh wilayah di Indonesia telah digulirkan beberapa program seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Askeskin, Beras Miskin, P2KP, PNPM, Bawaku Makmur, pembagian kompor gas, serta program bantuan kemiskinan lainnya. Permasalahan yang timbul adalah tidak meratanya bantuan, karena mayoritas penduduk ingin mendapatkan bantuan tersebut sehingga kadangkala terjadi benturan di masyarakat