51
IV. METODE PENELITIAN
4.1. 4.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga tempat di Provinsi Bangka Belitung yaitu
Kaa K Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka Barat, dan Kabupaten Belitung. Pe m Pe Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan peer ppertimbangan; (1) ketiga kabupaten tersebut merupakan sentra produksi lada putih teer tterluas di Bangka Belitung, terlihat pada Lampiran 2, dan (2) ketiga kabupaten teer ttersebut er merupakan pilot project pengembangan lada putih ramah lingkungan deen ddengan penerapan Good Agriculture Practices (GAP). Pelaksanaan pengambilan dda data at untuk keperluan penelitian dilaksanakan pada Bulan Mei - Juni 2011. 44. .2 4.2.
Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sek sekunder baik secara kualitatif maupun kuantitatif, yang terdiri dari data usahatani me meliputi produksi, dan input fisik usahatani, harga input dan output, nilai tukar rup rupiah terhadap dolar, harga FOB dan CIF serta data perdagangan terutama eks ekspor - impor lada putih Indonesia maupun dunia. Data primer diperoleh melalui wa w a wawancara langsung dengan menggunakan daftar pertanyaan dalam bentuk ppe er pertanyaan terstruktur (kuesioner) yang diajukan ke responden (petani) dan eek ks eksportir. Sedangkan data sekunder tersebut diperoleh melalui studi pustaka (desk sstudy) st tu yang dipublikasikan oleh lembaga atau instansi seperti Dinas Pertanian, Pe P er Perkebunan dan Peternakan Provinsi Bangka Belitung, Badan Pusat Statistik ((B BP (BPS), AELI (Asosiasi Eksportir Lada Indonesia), IPC (International Pepper
52
Community), BPTP (Balai Pengkajian Tekhnologi Pertanian) Provinsi Bangka Co Belitung, Direktorat Jenderal Perkebunan, serta publikasi atau literatur lainnya Be yang terkait dengan penelitian seperti jurnal, skripsi, thesis dan disertasi. yan 4.3. 4.3
Metode Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survey. Menurut
Siin S Sinaga (2004), dalam metode survey, pengumpulan data dilakukan dari sebagian (sampling) yang dianggap mewakili keseluruhan ciri populasi yang po ppopulasi op diketahui (representative). Pengambilan contoh (sampling) adalah suatu heen hhendak pemilihan bagian (contoh) yang representatif dari suatu populasi. Dalam prro pproses ini, penentuan jumlah sampel dilakukan secara sengaja (purposive) peen ppenelitian yaai sebanyak 9 orang petani, lembaga pemasaran dan satu orang eksportir lada yyaitu put dengan pertimbangan yaitu : (1) keterbatasan informasi mengenai jumlah pu putih, po ppopulasi op petani lada putih yang sudah menggunakan tiang panjat hidup, (2) petani sampel tersebut telah menggunakan tiang panjat hidup dalam kegiatan usahatani sam lad lada putih, (3) distribusi jumlah sampel meliputi; 2 orang petani di Kabupaten Ba Bangka Selatan, 4 orang petani di Kabupaten Bangka Barat, dan 3 orang petani di Ka Kabupaten Belitung, dan (4) keterbatasan populasi ini disebabkan karena te ek teknologi (tiang panjat hidup) dengan konsep Good Agriculture Practices (GAP) laad putih baru mulai akan dikembangkan pada petani lada putih di Provinsi llada Ba Ba Bangka Belitung. 4..4 44.4.
Metode Analisis Penelitian ini meliputi dampak kebijakan terhadap keuntungan dan daya
sai lada putih, dilakukan dengan menggunakan metode Policy Analysis Matrix sa saing
53
(PAM) yang dikembangkan oleh Monke dan Pearson (1989). Asumsi yang (PA digunakan dalam analisis PAM ini adalah : dig 1. Harga pasar adalah harga yang benar-benar diterima petani yang didalamnya terdapat kebijakan pemerintah (distorsi pasar) 22.. Harga bayangan adalah harga pada kondisi pasar persaingan sempurna yang mewakili biaya imbangan sosial yang sesungguhnya. Pada kondisi tradable, harga bayangan adalah harga yang terjadi di pasar dunia 33.. Output bersifat tradable sedangkan input dapat dipisah berdasarkan faktor asing (tradable) dan faktor domestik (nontradable) 44.. Eksternalitas dianggap sama dengan nol dimana tahapan penyusunan tabel Policy Analysis Matrix (PAM) adalah sse eb sebagai berikut: 11.. Penentuan komponen fisik untuk faktor input dan output secara lengkap dan aktivitas ekonomi produksi lada putih 2. Pemisahan seluruh biaya ke dalam komponen domestik dan asing. 3. Penentuan harga privat dan penaksiran harga bayangan input - output. 4. Tabulasi dan analisis indikator - indikator yang dihasilkan oleh PAM. 4.4 4.4.1.
Penentuan Faktor Input dan Output Dalam penelitian ini, input yang digunakan adalah lahan (sewa lahan),
bbe en atau bibit, tenaga kerja, pupuk organik (pupuk kandang), pupuk anorganik benih ((urea, urr NPK atau SP36, KCL, dolomit atau kapur), obat-obatan, peralatan (cangkul, u ppa ar parang atau golok, arit dan sprayer), tiang panjat hidup (gamal dan dadap cca an cangkring) dan input lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan output adalah bbu ut butiran lada putih.
54
4.4.2. 4.4
Penentuan Komponen Biaya Domestik dan Asing Penentuan komponen biaya domestik dan asing, menurut Monke dan
Persoan (1989), terdapat dua pendekatan dalam mengalokasikan biaya ke dalam Per komponen biaya domestik dan asing, yaitu Pendekatan Langsung (Direct kom Approach) dan Pendekatan Total (Total Approach). Pendekatan langsung Ap A pp me m e mengasumsikan seluruh biaya input yang dapat diperdagangkan (input tradable) bbaik ba ai impor maupun produksi dalam negeri dinilai sebagai komponen biaya asing ddan da an dapat dipergunakan apabila tambahan permintaan input tradable tersebut dapat dda ap dipenuhi dari perdagangan internasional. Pada pendekatan total, setiap biaya input tradable dibagi ke dalam komponen biaya domestik dan asing, dan penambahan input tradable dapat kko om ddi ip ip dipenuhi dari produksi domestik jika input tersebut mempunyai kemungkinan uun nt diproduksi di dalam negeri. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian untuk iin inii menggunakan pendekatan total dalam mengalokasikan biaya kedalam kom komponen biaya input tradable dan non tradable. Untuk lebih jelasnya dapat dili dilihat pada Lampiran 3.
4.4 4.4.3. Penentuan Harga Privat dan Penaksiran Harga Bayangan Input dan Output Kedua faktor output dan input, baik yang merupakan komponen asing dan ddo om domestik kemudian dicari dalam bentuk harga privat dan harga bayangan. Gi G it Gittinger (1986) mendefenisikan harga bayangan sebagai harga yang akan terjadi dda al suatu perekonomian apabila pasar dalam keadaan persaingan sempurna dan dalam dda al dalam kondisi keseimbangan. Sedangkan Squire Van der Tak dalam Gittinger ((1 19 (1986) mendefinisikan harga bayangan sebagai harga yang menggambarkan
55
peningkatan kesejahteraan dengan adanya perubahaan marjinal dalam persediaan pen komoditas dan faktor produksi. kom Alasan digunakannya harga bayangan dalam analisis ekonomi adalah : (1) harga privat tidak selalu mencerminkan apa yang sebenarnya diperoleh har masyarakat melalui produksi yang dihasilkan oleh aktivitas tersebut, dan (2) maa m hharga ar privat tidak selalu mencerminkan apa yang sebenarnya dikorbankan sejumlah sumberdaya yang dipilih digunakan dalam aktivitas lain seeea sseandainya yaan masih memungkinkan dimasyarakat (Gittinger, 1986) yyang Harga dasar yang terjadi belum tentu dapat dipakai langsung dalam analisis ekonomi karena sering tidak mencerminkan biaya imbangan sosial aann ana cost). Suatu komoditas akan mempunyai biaya imbangan yang sama ((oppurtunity oopp deen ddengan biaya pasar jika berada pada pasar persaingan sempurna, sehingga untuk mee m memperoleh suatu nilai yang mendekati nilai biaya imbangan sosial atau harga baay bbayangan a perlu dilakukan penyesuaian. Penentuan harga bayangan untuk komoditas yang sudah diperdagangkan dapat didekati dengan harga fob untuk kom yan yang diekspor dan cif untuk yang diimpor. Sementara untuk komoditas yang bel belum diperdagangkan, harga bayangan dapat didekati dari kesediaan konsumen unt untuk membayar (willingness to pay). 44. .4 4.4.3.1. Harga Bayangan Output Harga bayangan output yang digunakan dalam penelitian ini adalah bborder bo or price (FOB) untuk ouput yang dieskpor. Lada putih merupakan output yya an seluruhnya diekspor, sehingga penentuan harga bayangan output yang yang ddi ig digunakan adalah FOB. Rumus perhitungan harga bayangan output adalah : Harga Bayangan Lada Putih = (FOB x SER) – Biaya Tataniaga
56
4.4.3.2. Harga Bayangan Sarana Produksi dan Peralatan 4.4 Pada dasarnya dalam menentukan harga bayangan sarana produksi dan peralatan yang termasuk komoditas tradable tidak berbeda dengan penentuan per harga bayangan output. Harga bayangan ditentukan pada harga border price, har sedang untuk input non tradable digunakan harga domestik, yang termasuk input sse ed ttr ra tradable adalah pupuk, obat-obatan sedangkan bibit lada, lahan serta peralatan ttermasuk te er pada input non tradable. Harga bayangan untuk pupuk dan obat - obatan walau sudah diproduksi di dalam negeri namun sebagian bahan bakunya didatangkan dari impor, sehingga dda al harga hha ar bayangan untuk pupuk dan obat - obatan cif (cost insurance and freight). Harga bayangan untuk peralatan digunakan harga pasar dengan ppe er pertimbangan tidak ada kebijakan pemerintah yang mengatur secara langsung, sse eh sehingga distorsi pasar yang terjadi amat kecil atau pasar mendekati pasar per persaingan sempurna. 4.4 4.4.3.3. Harga Bayangan Tenaga Kerja Menurut Gittinger (1986), dalam pasar persaingan sempurna tingkat upah pas pasar mencerminkan nilai produktivitas marjinalnya. Untuk tenaga kerja terdidik, uupah up pa tenaga kerja bayangan sama dengan upah pasar (finansial), sedangkan tenaga kke er tidak terdidik dengan anggapan belum bekerja sesuai dengan tingkat kerja pproduktivitasnya, pr ro maka harga bayangan upahnya disesuaikan terhadap harga upah ffinansialnya. fi in Tenaga kerja yang digunakan petani dalam membantu usahanya ada ad da adalah tenaga kerja tidak tetap dan umumnya juga tidak terdidik sehingga harga bba ay bayangan tenaga kerja tersebut menggunakan Rusastra dan Yusdja (1982) dan
57
Suryana (1980) dalam Novianti (2003) yaitu sebesar 80 persen dari tingkat upah Su yang berlaku di daerah penelitian. yan 4.4.3.4. Harga Bayangan Lahan 4.4 Tanah atau lahan merupakan faktor produksi utama dan termasuk input nno on tradable dalam usahatani atau usaha pertanian. Pada penelitian ini harga non bba bay a bayangan lahan ditentukan berdasarkan nilai sewa lahan yang berlaku. Hal ini senada dengan pendapat Gittinger (1986) mengemukakan bahwa harga bayangan sse en lahan lla ah ditentukan berdasarkan nilai sewa lahan yang diperhitungkan pada tiap musim tanam yang berlaku di masing - masing tempat. mu m u 4.4.3.5. Harga Bayangan Nilai Tukar 44. .4 Penetapan nilai tukar Rupiah didasarkan atas perkembangan nilai tukar m ma mata uang asing yang menjadi acuan (US Dollar). Untuk menentukan harga bay bayangan nilai tukar digunakan formula yang telah dirumuskan oleh Squire Van der Tak dalam Gittinger (1986), bahwa penentuan harga bayangan nilai tukar ma mata uang ditentukan dengan menggunakan rumus :
SER
OER SCF
dimana ddi im : SER
: Nilai Tukar Bayangan (Rp/US $)
OER : Nilai Tukar Resmi (Rp/US $) SCF
: Faktor Konversi Standar
Nilai Ni N il faktor konversi standar yang merupakan rasio dari nilai impor dan ekspor pajaknya dapat ditentukan : diit dditambah
58
SCF
Xt Mt ( Xt Txt ) ( Mt Tmt )
dimana : dim SCFt
: Faktor konversi standar untuk tahun ke-t
Xt
: Nilai ekspor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp)
Mt
: Nilai impor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp)
Txt
: Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor untuk tahun ke-t (Rp)
Tmt
: Penerimaan pemerintah dari pajak impor untuk tahun ke-t (Rp)
Harga bayangan nilai tukar dihitung berdasarkan metode Square dan Van dder de er Tak, yaitu besarnya nilai ekspor tahun 2010 (Xt) Rp. 157 732.6 milyar nilai impor iim mp (Mt) Rp. 135 606.1 milyar, pajak ekspor dan impor masing-masing Rp R p 7 633.6 milyar dan Rp. 19 497.7 milyar (Badan Pusat Statistik, 2010). Pada Rp. akhirnya diperoleh nilai Shadow Exchange Rate (SER) sebesar Rp. 9 457, untuk aak kh leb lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 4. Berdasarkan uraian diatas, maka sec secara ringkas metode penentuan harga bayangan dan komponen masing - masing inp input ditunjukan pada Lampiran 5. 4.4 4.4.4. Penentuan Biaya Tataniaga Biaya tataniaga yang dikeluarkan untuk menambah nilai atau kegunaan ssuatu su ua barang, baik kegunaan tempat, bentuk dan waktu. Biaya tataniaga yang ada ddalam da al penelitian ini yaitu biaya pengangkutan dan penanganan. Biaya ppe en pengangkutan merupakan biaya yang dikeluarkan untuk mengangkut barang dari ppr ro produsen atau petani sempai ke pengumpul maupun eksportir, sedangkan biaya ppe en penanganan terdiri dan biaya pengemasan.
59
4.4.5. Analisis Indikator Matriks Kebijakan 4.4 1.
Analisis Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial
a.
Private Profitability Keuntungan privat merupakan indikator daya saing (competitiveness) dari
sist si s sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer keeb kkebijakan yang ada. Apabila D > 0 maka sistem komoditas itu memperoleh profit diia ddiatas normal yang mempunyai implikasi bahwa komoditas itu mampu berekspansi, bbe er kecuali apabila sumberdaya terbatas atau adanya komoditas alternatif yang yan lebih menguntungkan. ya b.. b
Social Profitability Keuntungan
sosial
merupakan
indikator
keunggulan
komparatif
((comparative ccoo advantage) atau efisiensi dari sistem komoditas pada kondisi tidak adda divergensi dan penerapan kebijakan efisien. Apabila H > 0 dan nilainya aada ma makin besar, berarti sistem komoditas makin efisien dan mempunyai keunggulan kom komparatif yang tinggi. Sebaliknya, bila H < 0, berarti sistem komoditas tidak ma mampu hidup tanpa bantuan atau intervensi pemerintah. Untuk komoditas ter tertentu, daerah yang mempunyai Social Profitability lebih besar akan mee m memperoleh prioritas lebih tinggi untuk pengembangan komoditas tersebut. 2. 2.
Analisis Keunggulan Kompetitif dan Keunggulan Komparatif
a. a.
Private Cost Ratio PCR = (C/ (A - B)) Rasio Biaya Privat atau Private Cost Ratio (PCR=C/(A–B)) adalah rasio
bia domestik terhadap nilai tambah dalam harga privat. Nilai Private Cost bi biaya Raa R Ratio (PCR) mencerminkan berapa banyak sistem komoditas tersebut dapat
60
menghasilkan untuk membayar faktor domestik dan tetap dalam kondisi me kompetitif yakni break event setelah membayar keuntungan normal (D= 0). Jelas kom perusahaan lebih menyukai D > 0 dan ini dapat diraih jika C < (A - B). Maka per usaha penanganan biaya faktor domestik dan biaya input tradable adalah usa bertujuan untuk memaksimumkan profit. Dengan demikian PCR menunjukkan bbe er kke em kemampuan sistem komoditas membiayai faktor domestik pada harga privat. Apabila nilai PCR < 1 dan makin kecil, berarti sistem komoditas tersebut mampu Ap A p membiayai faktor domestiknya pada harga privat dan kemampuan itu meningkat. me m e b.. b
Domestic Resource Cost Ratio Rasio Biaya Sumberdaya Domestik atau Domestic Resource Cost Ratio
(DRCR= G/(E-F)) adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga ((D D sso os sosial. Nilai Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) merupakan indikator kke em kemampuan sisitem komoditas membiayai biaya faktor domestik pada harga sos sosial. Apabila Domestic Resource Cost Ratio lebih besar dari satu (DRCR > 1), ber berarti sistem komoditas tidak mampu hidup tanpa bantuan atau intervensi pem pemerintah. Kegiatan ini akan memboroskan sumberdaya domestik yang langka kar karena memproduksi komoditas dengan biaya sosial yang lebih besar daripada bia biaya impornya. Jika tidak ada pertimbangan lain, maka melakukan impor akan lle eb efisien dibandingkan dengan memproduksi sendiri. Sebaliknya apabila nilai lebih D Do o Domestic Resource Cost Ratio lebih kecil dari satu atau (DRCR<1) dan nilainya m a makin kecil berarti sistem komoditas makin efisien, mempunyai daya saing yang m a makin tinggi dan mampu hidup tanpa bantuan dan intervensi pemerintah serta me m e mempunyai peluang ekspor yang makin besar. Dalam upaya meningkatkan laju
61
pertumbuhan ekonomi, komoditas dengan nilai Domestic Resource Cost Ratio per lebih kecil akan memperoleh prioritas lebih tinggi dalam pengembangannya. leb
4.4.6. Dampak Kebijakan Pemerintah 4.4 Hasil matriks kebijakan yaitu dari baris ketiga menunjukkan divergensi, diim ddimana apabila terdapat perbedaan nilai dari baris pertama dan baris kedua me me mengindikasikan adanya intervensi atau kebijakan pemerintah sehingga pasar tterdistorsi. te er Analisis dampak kebijakan meliputi kebijakan input, kebijakan output, daan kebijakan input - output secara keseluruhan. ddan 11..
Kebijakan Output
aa..
Transfer Output Transfer Output (TO = A - E) merupakan selisih antara penerimaan yang
ddiih ih dihitung atas harga privat (finansial) dengan penerimaan yang dihitung ber berdasarkan harga sosial (bayangan). Nilai output transfer menunjukkan terdapat keb kebijakan pemerintah yang dapat diterapkan pada output sehingga membuat harga out output privat dan sosial berada. Nilai output transfer positif menunjukkan bes besarnya transfer (insentif) dari masyarakat (konsumen) terhadap produsen. De Dengan kata lain masyarakat membeli dan produsen menerima dengan harga yang lleeb tinggi dari harga yang seharusnya, begitu sebaliknya apabila output transfer lebih ber be bernilai negatif. b. b.
Nominal Protection Coefficient on Tradable Output Koefisien Proteksi Output Nominal atau Nominal Protection Coefficient
oon n Output (NPCO=A/E) merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi peem ppemerintah terhadap output. Jika nilai Nominal Protection Coefficient on Output
62
lebih dari satu (NPCO > 1) berarti terjadi penambahan penerimaan akibat adanya leb kebijakan yang mempengaruhi harga output (efek divergensi). Sementara apabila keb nilai Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO<1) kurang dari satu, maka nil yang terjadi adalah sebaliknya. yan 22..
Kebijakan Input
aa..
Transfer Input Transfer Input (TI = B - F) menunjukkan bahwa kebijakan input yang
pada input tradable menyebabkan terjadinya perbedaan antara biaya diih ddiharapkan input inp tradable privat dan biaya input tradable sosial. Jika nilai transfer input in (TI>O) menunjukkan harga sosial input asing yang lebih rendah. po ppositif o Akibatnya produsen harus membayar input lebih mahal. Sebaliknya jika transfer Akk A inp kurang dari nol (TI<0), hal ini menunjukkan adanya subsidi pemerintah in input teer tterhadap input asing, sehingga petani tidak membayar penuh korbanan sosial yang seharusnya dibayarkan seh b.
Nominal Protection Coefficient on Tradable Input Koefisien Proteksi Input Nominal atau Nominal Protection Coefficient on
Inp Input (NPCI = B/F) merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi peem ppemerintah terhadap harga input domestik. Apabila nilal NPCI kurang dari satu (N ((NPCI<1) N maka kebijakan pemerintah bersifat protektif terhadap input dan prro pprodusen menerima subsidi atas input asing tradable sehingga produsen dapat mee m membeli dengan harga yang lebib rendah. Apabila nilai NPCI lebih dan satu (N ((NPCI>1) N maka terdapat proteksi terhadap produsen input asing tradable, yang
63
menyebabkan sektor yang menggunakan input tersebut akan dirugikan dengan me tingginya biaya produksi. tin c.
Transfer Factor Transfer Faktor (TF = C – G) menunjukkan besarnya subsidi terhadap
inp non tradable. Jika nilai Transfer Faktor positif (TF > O) menunjukkan in input ba bah ba bahwa terjadi subsidi negatif pada input non tradable. Sedangkan jika nilai transfer faktor negatif, berarti terdapat subsidi positif pada input non tradable. t ra tr
33..
Kebijakan Input-Output
aa..
Effective Protection Coefficient Koefisien Proteksi Efektif (EPC = (A-B)/(E-F) merupakan indikator dan
dam da dampak keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem produksi ko kkomoditas om
dalam
negeri.
Nilai
Effective Protection
Coefficient
(EPC)
menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau me me menghambat produksi domestik. Nilai Effective Protection Coefficient lebih dari sat (EPC>1) artinya adalah bahwa kebijakan melindungi produsen domestik satu sec efektif. secara b. b.
Transfer Bersih Transfer Bersih (TB = D - H) merupakan selisih antara keuntungan bersih
yan benar - benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. Nilai ya yang ttrra transfer bersih lebih besar dari nol (TB > 0), menunjukkan tambahan surplus pprro produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input ddaan output. Sebaliknya jika Transfer Bersih bernilai negatif. dan
64
c.
Profitability Coefficient Profitability Coefficient (PC=D/H) merupakan pengaruh keseluruhan dari
kebijakan yang menyebabkan keuntungan pnivat berbeda dengan keuntungan keb sosial dicerminkan oleh nilal koefisien keuntungan (PC). Jika nilai koefisien sos keuntungan (PC) lebih dari satu, maka yang terjadi adalah kebijakan pemerintah keu ke mee m membuat keuntungan yang diterima oleh produsen lebih kecil bila dibandingkan ttanpa ta an adanya kebijakan d d..
Subsidy Ratio to Producer Nilai Rasio Subsidi bagi Produsen atau Subsidi Ratio to Producers
(S ((SRP SR = L/E) menunjukkan tingkat penambahan dan pengurangan penerimaan adanya kebijakan pemenintah. Nilai Subsidi Ratio to Producers (SRP) kaar kkarena yaan bernilai negatif berarti kebijakan pemenintah menyebabkan produsen yyang m me mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari biaya sosial untuk berproduksi
4.4 4.4.7. Analisis Sensitivitas Analisis sensivitas dilakukan untuk melihat bagaimana hasil analisis suatu akt aktivitas ekonomi bila terjadi perubahan terhadap input dan output. Perubahan ini daap mempengaruhi struktur biaya dan penerimaan petani lada putih di Provinsi ddapat Baa B Bangka Belitung. Analisis sensitivitas bertujuan untuk mengetahui dampak siim ssimulasi kebijakan pemerintah terhadap keuntungan dan daya saing komoditas lad putih. Analisis sensivitas dalam penelitian ini adalah : la lada 1. Penurunan harga lada putih sebesar 20 persen 1. 2. Peningkatan harga pupuk sebesar 20 persen 2. 3 Penurunan produksi 20 persen 3.
65
Dasar pertimbangan dari analisis sensivitas (kepekaan) diatas sebagai berikut : 1. Harga lada putih dunia cukup fluktuatif dan sangat tergantung pada jumlah komoditas lada yang diperdagangkan dipasar dunia. Pergerakan harga lada domestik sekitar 20 persen sampai 30 persen, hal ini didasarkan trend perkembangan harga lada putih di Bangka Belitung. Pada tahun 2009 rata-rata harga lada putih sebesar Rp. 37 0002 per kilogram dan pada tahun 2010 harga lada putih rata – rata berkisar antara Rp. 47 000 sampai denga Rp. 50 000 3 per kilogram, serta tahun 2011 harga lada putih sebesar Rp. 67 000 4 per kilogram. Oleh karena itu, menarik untuk mengetahui perubahan keuntungan dan daya saing jika terjadi penurunan harga lada putih sebesar 20 persen. 22.. Perubahan harga pupuk diakibatkan situasi yang tak terduga seperti terjadi kelangkaan pupuk pada saat musim tanam tiba atau pada saat waktu pemupukan. Kenaikan harga pupuk sebesar 20 persen lebih didasarkan pada perkembangan harga pupuk subsidi seperti TSP atau SP36 pada tahun 2009 sebesar Rp. 1 550, kemudian naik pada tahun 2010 sebesar Rp. 2 000 per kilogram dan pada tahun 2009, harga pupuk Urea sebesar Rp. 1 200 per kilogram, kemudian tahun 2010, harga pupuk urea mengalami kenaikan sebesar Rp. 1 600 per kilogram5. Sedangkan untuk pupuk KCL merupakan pupuk non subsidi, sehingga harga pupuk tersebut berdasarkan pada kondisi pasar persaingan sempurna atau harga yang berlaku di daerah penelitian. Oleh
2
Dinas D Pertanian, Perkebunan dan Peternakan, 2009. Badan B Ba Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi http://www.bappebti.go.id (Analisis Perkembangan P e harga komoditas, senin 2 Agustus 2010 diakses 25 April 2011. 4 Bangka B Ba Pos, edisi 26 April 2011 /bangka.tribunnews.com diakses 25 April 2011. 5 Asosiasi Ass A Produsen Pupuk Indonesia, /www.appi.or.id. 3
66
karena itu, menarik untuk mengetahui perubahan keuntungan dan daya saing jika terjadi kenaikan harga pupuk sebesar 20 persen. 3. Budidaya lada putih sangat tergantung dengan faktor internal dan eksternal. Faktor internal mencakup kemampuan manajerial petani dalam mengelola usahataninya dan faktor eksternal mencakup perubahan lingkungan seperti iklim dan cuaca yang mendukung kondisi tanaman lada putih. Kedua faktor tersebut sangat mempengaruhi kegiatan usahatani khususnya produksi lada putih di Bangka Belitung. Berdasarkan wawancara dengan petani lada putih di provinsi Bangka Belitung rata - rata penurunan produksi selama dua tahun terakhir antara 20 sampai dengan 30 persen. Penurunan ini, lebih disebabkan karena selama dua tahun terakhir terjadi perubahan lingkungan, yang menyebabkan terjadinya perubahan pola taman, waktu pemupukan, curah hujan dan intensitas sinar matahari yang berkurang. Oleh karena itu, menarik untuk mengetahui perubahan keuntungan dan daya saing jika terjadi penurunan produksi lada putih petani sebesar 20 persen.