IV. METODE PENELITIAN 4.1.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilandasi ekspektasi bahwa diversifikasi usahatani dan
penerapan sistem iuran irigasi berbasis pengusahaan komoditas dapat digunakan sebagai salah satu instrumen untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air irigasi. Ruang lingkup pengertian air irigasi dibatasi pada air yang digunakan untuk aktivitas usahatani di hamparan lahan yang tercakup dalam wilayah layanan (command area) irigasi yang pasokannya berasal dari sistem irigasi permukaan yang bersangkutan. Didefinisikan, penggunaan air irigasi tersebut sama dengan total air yang digunakan untuk usahatani dikurangi dengan air yang berasal dari curah hujan yang secara langsung jatuh di hamparan lahan sawah. Air yang berasal dari irigasi pompa ataupun dari sumber lain (mata air) tidak diperhitungkan dengan alasan: (1) untuk cakupan wilayah yang dikaji pangsanya sangat kecil, dan (2) data yang cukup lengkap dan akurat tidak tersedia. Penelitian difokuskan pada sistem irigasi yang dalam istilah keirigasian di Indonesia disebut sistem irigasi teknis. Justifikasinya terkait dengan dua alasan berikut. Pertama, investasi yang telah dikeluarkan untuk membangun sistem irigasi teknis jauh lebih besar daripada sistem irigasi lainnya. Jadi, tuntutan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air irigasi lebih relevan. Kedua, iuran irigasi berbasis komoditas membutuhkan estimasi harga bayangan air irigasi maupun volume penggunaan menurut kelompok jenis komoditas. Data untuk keperluan itu hanya tersedia pada sistem irigasi teknis karena sampai saat ini berbagai fasilitas penunjang yang dibutuhkan untuk mengukur dan memantau volume pasokan air irigasi dan sistem distribusinya hanya tersedia pada sistem irigasi tersebut. Unit analisis adalah wilayah. Kasus yang diteliti adalah sistem irigasi teknis di Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas. Justifikasi adalah sebagai berikut. Sistem iuran irigasi berbasis komoditas adalah salah satu bentuk modifikasi dari metode 'volumetric pricing'. Prospeknya lebih baik jika diterapkan pada sistem irigasi yang telah maju. Secara empiris sistem irigasi teknis di DAS Brantas adalah paling maju di Indonesia sehingga persyaratan tersebut dapat dipenuhi.
74 Secara teoritis tingkat kelaikan penerapan suatu hasil penelitian empiris adalah semakin tinggi jika model yang dikembangkan mampu menangkap tingkat keragaman yang lebih luas. Dalam elaborasi model, variasi spatial maupun variasi temporal ketersediaan maupun kebutuhan terhadap sumberdaya (air irigasi) harus didisagregasi sampai pada tingkat yang relatif rinci, dalam arti relevan dengan tingkat rincian yang secara empiris layak diterapkan. Menurut dimensi spatial, sistem irigasi teknis di DAS Brantas dirinci menjadi tiga bagian yaitu: Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub DAS Hilir yang terkait dalam suatu bentuk hubungan searah dari Hulu ke Hilir. Rincian ini perlu diperlukan berdasarkan pertimbangan: 1.
Meskipun dalam perencanaan distribusi pasokan air irigasi antar Sub DAS telah diupayakan agar merata, tetapi dalam praktek ternyata berbeda.
2.
Adanya perbedaan yang nyata dalam pola tanam, produktivitas, maupun harga-harga masukan keluaran usahatani antar Sub DAS. Dalam dimensi temporal, kebutuhan maupun pasokan air irigasi dalam
satu tahun dirinci lebih lanjut menjadi unit-unit waktu yang lebih pendek sehingga pola sebaran temporalnya diketahui. Selama ini unit waktu yang paling banyak digunakan adalah musim dimana dalam satu tahun kalender pertanian terdapat dua musim yaitu: (1) musim penghujan, disingkat MH (berlangsung pada periode Oktober/November – Maret/April), dan (2) musim kemarau, disingkat MK (berlangsung pada periode April/Mei – September/Oktober). Perincian lain yang juga lazim adalah berdasarkan Musim Tanam (MT). Sebagaimana yang dibahas dalam kerangka pemikiran, untuk lahan pesawahan irigasi terdapat tiga musim tanam yaitu: MT I (MH), MT II (MK-1), dan MT III (MK-2). Jika dikaitkan dengan kondisi empiris di lapangan, ternyata tingkat rincian seperti itu kurang memadai karena terlampau agregat. Faktanya, dalam satu musim tanam saja terdapat terdapat variasi yang cukup besar. Sebagai ilustrasi, awal pengusahaan tanaman padi untuk usahatani pada MT I tidak hanya terjadi pada Bulan Oktober atau November saja. Cukup banyak petani yang menanam padi pada Bulan Desember, bahkan ada juga yang baru menanam pada Bulan Januari. Hal ini mempunyai implikasi yang sangat serius terhadap sebaran
75 temporal kebutuhan air irigasi dan segala implikasinya. Sebagai contoh, dengan teknik pemberian air ke tanaman yang sama, kebutuhan air irigasi per hektar untuk menerapkan pola tanam padi – padi – kedele yang awal pengusahaannya dimulai pada Bulan Oktober berbeda dengan yang dimulai pada Bulan November. Secara teoritis tingkat perincian temporal yang ideal haruslah mengacu pada pertimbangan agronomi.
Persoalannya,
tingkat rincian seperti itu
membutuhkan model yang sangat kompleks dan dalam tataran pragmatis seringkali juga tidak sulit dipraktekkan. Berpijak pada keterbatasan data yang tersedia, disagregasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah per bulan. Implikasinya, informasi yang dihasilkan adalah: (1) pola distribusi bulanan kebutuhan dan perbandingan relatifnya dengan ketersediaan air irigasi, (2) harga bayangan air irigasi per bulan, dan (3) pola optimal pengusahaan komoditas pertanian dalam unit pengamatan bulanan. Adalah fakta bahwa di lapangan komoditas yang diusahakan oleh petani di lahan sawah irigasi sangat beragam. Bukan hanya padi, tetapi juga palawija dan sayuran, tebu, tembakau, rumput gajah, bahkan juga tanaman tahunan seperti jeruk dan mangga. Dalam penelitian ini jenis-jenis komoditas yang pangsa luas pengusahaannya sangat kecil (kurang dari 1 %) tidak diperhitungkan. Oleh karena itu komoditas tanaman tahunan seperti jeruk, mangga, rambutan, rumput gajah, ataupun tanaman semusim seperti labu kuning, gambas, dan sebagainya tidak tercakup dalam penelitian. 4.2. Formulasi Fungsi Tujuan, Kendala, dan Asumsi Dalam Pemodelan Dengan asumsi bahwa peranan air irigasi dalam usahatani merupakan masukan antara (intermediate input) maka metode valuasi dapat didekati dengan Residual Imputation Approach (RIA) (Young, 1996). Penelitian ini menggunakan salah satu varian RIA tersebut yaitu metode Change in Net Income (CINI) dengan pemrograman linier. Metode ini relatif sederhana tetapi lazim digunakan (Berbel and Gomez-Limon, 2000, Tsur et al, 2002, Florencio-Cruz et al, 2002). Formulasi fungsi tujuan, kendala, dan asumsi-asumsi yang digunakan dalam model yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
76 4.2.1. Fungsi Tujuan dan Aktivitas Sesungguhnya tujuan petani adalah memaksimumkan kesejahteraan yang dalam model rumah tangga petani (farm household model) didekati dari maksimisasi utilitas dengan kendala sumberdaya rumah tangga (Nakajima 1986, Singh et al, 1986). Sesuai dengan tujuan dan fokus penelitian, maka dalam penelitian ini dilakukan penyederhanaan. Dengan asumsi petani adalah rasional, dibatasi bahwa fungsi tujuan adalah maksimisasi keuntungan bersih usahatani. Keuntungan bersih usahatani untuk setiap komoditas adalah sama dengan total penerimaan dikurangi total biaya usahatani. Tercakup dalam total biaya usahatani adalah nilai (imputed) sarana produksi yang tidak perlu dibeli (misalnya benih milik sendiri), nilai tenaga kerja dalam keluarga yang dicurahkan, sewa lahan, dan bunga pinjaman. Kompensasi terhadap manajemen usahatani tidak diperhitungkan atau diasumsikan tidak ada, dengan alasan: (i) data untuk mengestimasi kompensasi terhadap manajemen usahatani tidak tersedia, (ii) sebagian besar petani adalah petani kecil sehingga kompensasi terhadap manajemen lazimnya telah tercakup dalam nilai tenaga kerja dalam keluarga. Estimasi koefisien fungsi tujuan yaitu keuntungan bersih untuk setiap kelompok komoditas menggunakan pendekatan rataan terbobot (weighted average). Justifikasinya: (a) variasi keuntungan usahatani antar jenis komoditas dalam satu kelompok yang sama cukup besar, (b) pangsa luas garapan antar jenis komoditas bervariasi. Pembobot yang digunakan adalah luas garapan. Jadi:
G m
i
ij
j 1
ij
m
G j 1
ij
dimana: i = rata-rata terbobot keuntungan bersih aktivitas i. Gij = luas pengusahaan komoditas i yang termasuk kelompok aktivitas j
ij
= keuntungan bersih per hektar usahatani komoditas i yang termasuk kelompok komoditas j
Diasumsikan bahwa dalam kategori tenaga kerja yang sama substitusi antara tenaga kerja rumah tangga rumah tangga dengan tenaga kerja upahan
77 berlangsung sempurna sehingga tingkat upah dapat digunakan sebagai "harga" tenaga kerja dalam keluarga. Nilai sewa lahan diperoleh dari contoh. Pada status garapan bukan sewa (milik, bagi hasil, dan lain sebagainya) maka nilai sewa lahan diasumsikan sama dengan
rata-rata nilai sewa dari petani contoh berstatus
garapan sewa. Unit analisis untuk memperoleh estimasi nilai sewa lahan adalah blok tertier contoh karena nilai sewa antar blok tertier contoh cukup bervariasi. Dalam penelitian ini data tentang sumber modal usahatani yang berasal dari pinjaman sangat terbatas dan tidak cukup reliable untuk dianalisis. Di sisi lain, menurut Young (1996), agar hasil valuasi air irigasi tidak bias ke atas (over estimate) maka semua komponen biaya (termasuk bunga modal usahatani) harus diperhitungkan. Dengan menyadari keterbatasannya, dalam penelitian ini diasumsikan bahwa bunga modal pinjaman adalah sekitar 12 persen per tahun, atau 1 persen per bulan. Nilai penerimaan, biaya, dan keuntungan bersih maupun tunai usahatani masing-masing kelompok komoditas tertera pada Lampiran 2. Secara empiris bukan hanya padi yang diusahakan petani di lahan sawah tetapi juga palawija, sayuran (hortikultura), dan tanaman industri (tebu, tembakau, dan lain-lain). Bahkan ada juga yang mengusahakan tanaman tahunan seperti jeruk, mangga, dan sebagainya. Dalam penelitian ini yang diperhitungkan adalah 22 jenis komoditas, yakni komoditas tanaman pangan, hortikultura, dan tanaman tebu yang secara historis banyak diusahakan oleh petani di lokasi penelitian. Sebagaimana telah dibahas di muka, harga bayangan air irigasi dipengaruhi oleh distribusi spatial dan temporal ketersediaan maupun kebutuhan terhadap sumberdaya tersebut. Untuk mengetahui pengaruh spatial dilakukan pemilahan Sistem Irigasi Teknis DAS Brantas menjadi 3 wilayah Sub DAS yaitu: 1.
Sub DAS Brantas Hulu. Lokasi yang dijadikan contoh adalah Wilayah Irigasi Lodoyo-Tulungagung dengan luas hamparan 12 321 hektar. Sumber utama air irigasi adalah dari Dam Wlingi.
2.
Sub DAS Brantas Tengah. Lokasi contoh adalah Wilayah Irigasi Mrican seluas 28 904 hektar yang terdiri dari Mrican Kanan (16 334 Ha) dan Mrican Kiri (12 570 Ha). Sumber utama air irigasi adalah dari Sungai Brantas yang mekanisme pengaturannya menggunakan Bendung Gerak (Barrage) Mrican.
78 3.
Sub DAS Brantas Hilir. Lokasi yang diambil sebagai contoh adalah Wilayah Irigasi Delta Brantas dengan luas hamparan 27 362 hektar. Sumber utama air irigasi adalah dari Dam Lengkong. Untuk mengetahui pengaruh distribusi temporal kebutuhan maupun
ketersediaan air irigasi maka setiap komoditas dirinci lebih lanjut berdasarkan periode pengusahaannya. Kecuali untuk komoditas tebu dan ubikayu, tingkat rincian yang digunakan adalah bulanan sehingga untuk setiap jenis komoditas dirinci lebih lanjut menjadi 12 aktivitas. Aplikasi metode tersebut berimplikasi pula terhadap keuntungan usahatani karena variasi bulanan terjadi pula pada harga masukan, harga keluaran, dan adanya variasi produktivitas usahatani antar musim. Disagregasi menurut dimensi spatial dan dimensi temporal sperti tersebut di atas adalah berimplikasi pada jumlah aktivitas yang tercakup dalam model. Secara keseluruhan terdapat (2112 3) (1 3)) 759 aktivitas
yang harus
dicakup dalam model. Oleh karena itu dilakukan penyederhanaan. Dalam penelitian ini, penyederhanaan dilakukan dengan cara mengagregasikan 22 komoditas yang telah teridentifikasi dalam penelitian ini menjadi 4 kelompok komoditas.
Basis pengelompokan adalah kedekatan karakteristik komoditas
dalam konteks kebutuhan air irigasi yaitu: 1. Kedekatan karakteristik dalam durasi kebutuhan air irigasi untuk satu siklus usahatani yang dihitung sejak penyiapan lahan sampai dengan panen 2. Kedekatan karakteristik dalam cara pemberian air untuk tanaman yang lazim diaplikasikan petani. Secara garis besar ada dua macam cara pemberian air ke tanaman yang dipraktekkan petani yaitu: (1) Dengan penggenangan. Secara empiris, penggenangan hanya diaplikasikan untuk tanaman padi; khususnya pada saat pengolahan tanah, fase pertumbuhan vegetatif awal, dan fase pertumbuhan generatif awal yakni menjalang pembungaan – akhir masa pengisian biji. (2) Tanpa penggenangan. Lazimnya petani menerapkannya dalam usahatani untuk sebagian besar komoditas pertanian selain padi.
79 Keempat kelompok komoditas tersebut adalah: padi, palawija/hortikultur/ tanaman industri kategori-1, palawija/hortikultur/tanaman industri ketegori-2, dan tebu. Jenis komoditas yang tercakup di setiap kelompok tersebut dapat disimak pada Tabel 2. Tabel 2. Pengelompokan komoditas usahatani yang diterapkan dalam pemodelan Komoditas yang tercakup
Kelompok komoditas
Komoditas Utama
Komoditas lainnya
1. Padi
Padi
-
2. Palawija/hortikultur/ tanaman industri kategori-1 (P/H_1)
Jagung
Kacang panjang Tomat Bengkoang Ubi jalar Cabai rawit Cabai merah besar Cabai keriting Tembakau
3. Palawija/hortikultur/ tanaman industri kategori-2 (P/H_2)
Kedele
Kacang tanah Kacang hijau Bawang merah Terong Paria Mentimun Krai Semangka Blewah
4. Tebu
Tebu
Ubikayu
Dengan penyederhanaan seperti tersebut di atas maka jumlah aktivitas di setiap Sub DAS adalah 37. Oleh karena dalam model dilakukan pula disagregasi spatial menjadi 3 Sub DAS maka secara teoritis terdapat 111 aktivitas yang tercakup dalam model. Sebaran temporal kebutuhan air irigasi di masing-masing Sub DAS berbeda meskipun aktivitas dan sebaran temporal pengusahaannya sama karena rata-rata laju evapotranspirasi untuk setiap aktivitas antar Sub DAS berbeda. Daftar aktivitas dan sebaran temporal pengusahaannya di setiap Sub DAS dapat disimak pada Tabel 3.
80 Tabel 3. Sebaran temporal aktivitas di setiap Sub DAS yang tercakup dalam model Waktu pengusahaan Kelompok Musim Kode komoditas tanam aktivitas*) Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags sep Padi
MH
MK-1
MK-2
Palawija/ MH hortikultura/ tanaman industri_1 MK-1
MK-2
Palawija/ MH hortikultura/ tanaman industri_2 MK-1
MK-2
Lainnya *):
-
(x/y/z)_1 (x/y/z)_2 (x/y/z)_3 (x/y/z)_4 (x/y/z)_5 (x/y/z)_6 (x/y/z)_7 (x/y/z)_8 (x/y/z)_9 (x/y/z)_10 (x/y/z)_11 (x/y/z)_12
vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv
vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv
(x/y/z)_13 (x/y/z)_14 (x/y/z)_15 (x/y/z)_16 (x/y/z)_17 (x/y/z)_18 (x/y/z)_19 (x/y/z)_20 (x/y/z)_21 (x/y/z)_22 (x/y/z)_23 (x/y/z)_24
vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv
vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv
(x/y/z)_25 vvv vvv vvv (x/y/z)_26 vvv vvv vvv (x/y/z)_27 vvv vvv vvv (x/y/z)_28 vvv vvv vvv (x/y/z)_29 vvv vvv vvv (x/y/z)_30 vvv vvv vvv (x/y/z)_31 vvv vvv vvv (x/y/z)_32 vvv vvv vvv (x/y/z)_33 vvv vvv vvv (x/y/z)_34 vvv vvv vvv (x/y/z)_35 vvv vvv vvv vvv (x/y/z)_36 vvv vvv (x/y/z)_37 vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv
x = aktivitas di Sub DAS Hulu y = aktivitas di Sub DAS Tengah z = aktivitas di Sub DAS Hilir
81 4.2.2. Kendala Sumberdaya Dalam konteks spatial, terdapat dua kategori sumberdaya yaitu: (1) bersifat spesifik wilayah, dan (2) bersifat lintas wilayah. Suatu sumberdaya dikategorikan bersifat spesifik wilayah jika mobilitas spatialnya sangat kecil atau nol, dan dikategorikan bersifat lintas wilayah jika mobilitas spatialnya sangat tinggi. Sifat lintas wilayah dapat dipilah lebih lanjut: (1) satu arah (misalnya air irigasi), dan (2) dua arah (misalnya tenaga kerja). Dalam penelitian ini ada 4 macam sumberdaya yang tercakup sebagai kendala dalam maksimisasi keuntungan usahatani yaitu lahan, air irigasi, modal, dan tenaga kerja. Rincian masing-masing kendala tersebut adalah sebagai berikut. 4.2.2.1. Lahan Kendala sumberdaya lahan bersifat spesifik wilayah karena mobilitas spatialnya dianggap nol. Dalam model yang diterapkan pada penelitian ini terdapat dua jenis kendala yaitu: (1) ketersediaan sumberdaya, dan (2) definisi. Lahan yang tersedia adalah luas lahan sawah yang berada dalam cakupan layanan irigasi
(command
area).
Kendala
definisi
berupa
persamaan
yang
mengekspresikan persyaratan bahwa aktivitas pada waktu t dapat dilakukan jika aktivitas pada waktu t-1 telah selesai siklusnya sehingga ada lahan yang tersedia. Ketersediaan sumberdaya lahan di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub DAS Hilir masing-masing adalah 12 321 hektar, 28 904 hektar, dan 27 362 hektar. 4.2.2.2. Air Irigasi Secara teoritis kendala air irigasi tidak bersifat spesifik lokal per Sub DAS karena pasokan air irigasi di Sub DAS hulu (yang lebih atas) mempengaruhi pasokan air irigasi di Sub DAS yang lebih bawah dalam suatu yang sifatnya hubungan rekursif. Mengingat bahwa model merupakan penyederhanaan dan abstraksi dunia nyata (Sinaga, 1997) maka model yang baik harus semaksimal mungkin dapat merefleksikan kondisi empiris. Secara empiris, alokasi spatial air irigasi pada Sistem Irigasi Teknis DAS Brantas menggunakan pendekatan pengelolaan pasokan (supply management – SM) dengan pendekatan sistem jatah. Di sisi lain, pada penelitian ini alokasi
82 spatial air irigasi menggunakan pendekatan pengelolaan permintaan yang dimodifikasi (modified demand management – MDM) yang dalam penelitian dianggap relevan sebagai transisi dari pendekatan SM ke pendekatan DM (demand management). Sebagaimana dijelaskan di muka, data yang dibutuhkan dalam pendekatan MDM ada dua jenis yaitu: (1) kuantitas air irigasi yang dapat digunakan sebagai perkiraan kebutuhan minimum di masing-masing Sub DAS, dan (2) ketersediaan air irigasi di masing-masing Sub DAS. Data tersebut diperoleh dari data "Dasarian" yang tercatat di Seksi-seksi Cabang Pengairan dimana blok-blok tertier contoh berlokasi. Agar representatif untuk menggambarkan kondisi "normal" maka yang digunakan adalah rata-rata pasokan air irigasi dari data deret waktu selama 10 tahun terakhir. Pada data yang tersedia, satuannya adalah dalam liter per detik per hektar yang dalam penelitian ini dikonversikan dalam m3/bulan. Ketersediaan air irigasi di masing-masing Sub DAS tertera pada Tabel 4. Tabel 4. Air Irigasi per bulan yang tersedia di pesawahan irigasi teknis di masing-masing Sub DAS Brantas (106 m3/Bulan) Bulan
Air irigasi yang tersedia di setiap wilayah contoh*)
Sub DA Hulu Sub DAS Tengah (28 904 Ha) (12 321 Ha) Oktober 26.188 – A10 21.499 + c10.A10 – B10 November 29.655 – A11 31.918 + c11.A11 – B11 Desember** 41.406 65.560 Januari** 42.622 68.342 Februari** 41.131 64.716 Maret** 39.174 60.390 April** 35.957 52.347 Mei** 31.792 43.304 Juni 31.405 – A6 34.745 + c6.A6 – B6 Juli 26.684 – A7 22.423 + c7.A7 – B7 Agustus 26.077 – A8 21.205 + c8.A8 – B8 September 25.186 – A9 20.491 + c9.A9 – B9
Sub DAS Hilir (27 362 Ha) 17.907 + g10.B 10 26.958 + g11.B 11 61.862 63.572 61.251 56.905 49.529 42.772 31.822 + g6.B6 18.749 + g7.B7 17.862 + g8.B8 16.498 + g9.B9
Kebutuhan minimum**) Hulu
Tengah
Hilir
11.391 15.184 16.673 12.236 11.600 10.665
24.405 34.918 38.919 26.490 24.542 23.438
23.091 32.142 36.591 23.907 23.280 21.656
Keterangan:
At ct Bt gt * **
= = = = = =
air yang ditransfer dari Sub DAS Hulu ke Sub DAS Tengah pada waktu-t efisiensi penyaluran At dimana ct < 1 air yang ditransfer dari Sub DAS Tengah ke Sub DAS Hilir pada waktu-t efisiensi penyaluran Bt dimana gt < 1 sebagian ditransfer ke wilayah lain estimasi kebutuhan minimum air irigasi untuk Bulan Desember – Mei tidak diperlukan karena secara empiris air irigasi tidak menjadi pembatas.
83 4.2.2.3. Modal Tunai Untuk Usahatani Modal tunai dibutuhkan untuk membeli sarana produksi, membayar tenaga kerja upahan, menyewa lahan (jika lahan garapannya berstatus sewa), dan sebagainya. Sewa lahan ternyata bervariasi, ada yang per musim tanam ataupun per tahun (lintas musim tanam). Untuk sewa lahan yang sifatnya lintas musim tanam diasumsikan nilai sewa antar musim adalah sama sehingga nilai sewa per hektar per musim tanam sama dengan total nilai sewa lahan dibagi dengan frekuensi pengusahaannya (musim tanam). Secara empiris modal tunai merupakan salah satu kendala yang dihadapi petani dalam berusahatani. Petani yang kemampuan permodalannya sangat terbatas cenderung menerapkan pola tanam yang hemat kapital. Oleh karena itu partisipasi petani miskin dalam mengusahakan komoditas-komoditas bernilai ekonomi tinggi pada umumnya sangat rendah karena pengusahaan komoditas seperti itu cenderung padat modal meskipun sebenarnya secara potensial dapat memberikan keuntungan yang lebih besar. Data tentang ketersediaan modal tunai usahatani pada suatu wilayah tidak dapat digali secara langsung sehingga perlu diestimasi dengan pendekatan tidak langsung. Dalam estimasi itu diperlukan asumsi-asumsi yang disesuaikan dengan kondisi empiris dan kerangka pikir teoritis. Kondisi empiris yang harus diperhitungkan dalam mengembangkan metode estimasi antara lain adalah: 1. Sebagian besar petani mengandalkan cara swadana untuk memenuhi kebutuhan modal usahataninya. Hal ini antara lain disebabkan akses petani terhadap lembaga perkreditan formal pada umumnya sangat rendah. Di pihak lain lembaga perkreditan formal di pedesaan pada umumnya lebih tertarik melayani kredit untuk usaha non pertanian seperti industri kerajinan rakyat, perdagangan, ataupun jasa-jasa lainnya. 2. Oleh karena sebagian besar petani mengandalkan sumber permodalan untuk usahatani dari modal sendiri maka kemampuan permodalan usahatani tergantung pada pendapatan rumah tangga yang bersangkutan. Jadi, kemampuan permodalan berkorelasi positif dengan pendapatan per kapita.
84 3. Sumber pendapatan rumah tangga petani tidak hanya berasal dari usahatani tetapi juga berasal dari bekerja dan atau berusaha pada kegiatan non usahatani seperti berburuh tani, berburuh/bekerja di sektor non pertanian (termasuk pula jika yang bersangkutan menjadi pegawai swasta/negeri), berdagang, usaha industri kecil, dan lain sebagainya; bahkan termasuk pula kiriman dari anggota rumah tangganya yang bekerja di kota/luar negeri sebagai migran sirkuler. 4. Dalam mengalokasikan pendapatan rumah tangga tidak ada pemilahan eksklusif. Dengan demikian, anggaran yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan modal usahatani tidak hanya berasal dari penerimaan usahatani. 5. Sebagian besar petani yang tidak dapat memenuhi kebutuhan modal usahataninya cenderung meminjam dari petani lainnya (sebagai implikasi dari definisi petani maka pedagang saprodi atau pedagang hasil-hasil pertanian juga merupakan anggota populasi petani jika mereka mengelola usahatani). 6. Dalam transaksi kredit, faktor yang berpengaruh adalah lokasi (jarak). Petani mengandalkan sumber pinjaman dari petani lain yang lokasinya lebih dekat. Terkait dengan ketersediaan modal tunai untuk usahatani tersebut diasumsikan bahwa: 1. Jika air irigasi tidak menjadi kendala maka pola tanam yang diterapkan hanya dibatasi oleh modal yang tersedia. 2. Pengetahuan dan kemampuan teknis petani dalam berusahatani homogen. 3. Mobilitas modal usahatani dalam satu Sub DAS sempurna, sedangkan antar Sub DAS mobilitasnya dianggap nol karena jarak antar Sub DAS relatif jauh (Peta wilayah pada Lampiran 3). 4. Jika petani tidak dapat memenuhi kebutuhan modal usahataninya maka sumber pinjaman yang dapat diakses adalah dari petani lain yang tidak miskin. 5. Petani contoh yang dijadikan responden mewakili populasi petani di lokasi penelitian. Berdasarkan pertimbangan kondisi empiris (butir 1 sampai 6) dan asumsi (butir 1 sampai 5) tersebut di atas maka maksimum modal usahatani yang tersedia
85 dapat diproksi dari rata-rata biaya per hektar yang dikeluarkan oleh petani yang berada di atas garis kemiskinan pada usahatani di persil-persil lahan sawah yang tidak mengalami kendala air irigasi. Dengan demikian dapat dipresentasikan sebagai berikut: MR
CR LR GR
dimana M R modal tunai usahatani yang tersedia di Sub DAS R contoh
C R rata-rata modal usahatani per tahun yang dikeluarkan petani tidak miskin (di atas garis kemiskinan) pada persil-persil sawah garapan di Sub DAS R contoh yang tidak mengalami kendala air irigasi. GR rata-rata luas sawah garapan tersebut pada C R
LR total luas sawah di Sub DAS R contoh Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah petani tidak miskin yang menguasai persil-persil sawah garapan dengan pasokan air irigasi cukup (air irigasi tidak menjadi kendala) di Sub DAS Brantas Hulu, Tengah, dan Hilir masing-masing adalah 37, 22, dan 34 %. Rata-rata luas garapan maupun rata-rata biaya usahatani tunai yang dikeluarkan pada persil-persil lahan sawah tersebut dapat disimak pada Tabel 5. Tabel 5. Rata-rata luas dan total biaya yang dikeluarkan petani tidak miskin untuk usahatani di lahan sawah yang tak terkendala air irigasi Wilayah Sub DAS Hulu
Jumlah petani n (%) 44 36.67
Garapan (Ha)
( = GR ) 0.826
Rata-rata biaya usahatani (Rp.103/Th) Per hektar Total ( = CR ) 5 949.8 7 203.2
Sub DAS Tengah 44
22.00
1.447
10 712.6
7 403.3
Sub DAS Hilir
34.38
1.038
7 473.7
7 200.1
55
Dengan pendekatan seperti tersebut di atas, maka perkiraan modal tunai untuk usahatani yang tersedia di masing-masing Sub DAS adalah sama dengan hasil pembagian kolom 5 dengan kolom 4 pada Tabel 5 dikalikan dengan luas lahan sawah di masing-masing Sub DAS tersebut. Hasil estimasi modal tunai usahatani yang tersedia di masing-masing Sub DAS tertera pada Tabel 6.
86 Tabel 6. Perkiraan modal yang tersedia untuk biaya tunai usahatani di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 Total luas Modal tunai yang tersedia (Rp.106/Th) sawah (Hektar) Total Per Hektar Sub DAS Brantas Hulu 12 321 88 747.1 7.203 Sub DAS Tengah 28 904 213 988.4 7.403 Sub DAS Hilir 27 362 196 998.8 7.200 Wilayah
4.2.2.4. Tenaga Kerja Tenaga kerja dipilah menjadi dua kategori yaitu tenaga kerja manusia dan tenaga kerja mesin. Tenaga kerja manusia dapat dipilah lebih lanjut menjadi dua jenis yaitu pria dan wanita. Dalam penelitian ini diasumsikan substitusi tenaga kerja manusia antar kategori adalah sempurna sehingga tenaga kerja wanita yang tersedia dapat dikonversikan dalam unit pengukuran untuk tenaga kerja pria. Faktor konversi adalah perbandingan total tingkat upah (termasuk upah dalam bentuk natura) tenaga kerja wanita terhadap total tingkat upah tenaga kerja pria. Ketersediaan tenaga kerja manusia diestimasi dengan cara berikut. Langkah pertama adalah menentukan populasi rumah tangga yang bekerja dalam aktivitas usahatani. Diasumsikan bahwa rumah tangga yang bekerja di usahatani hanya terdiri dari dua: (1) rumah tangga petani, dan (2) buruh tani murni. Langkah kedua, mengestimasi pasokan tenaga kerja per rumah tangga untuk aktivitas usahatani yang diproksi dari rata-rata jumlah tenaga kerja per rumah tangga yang bekerja dan atau membantu bekerja di usahatani. Oleh karena tenaga kerja rumah tangga juga dialokasikan pada kegiatan di luar usahatani lahan sawah, maka ratarata Hari Orang Kerja (HOK) yang tersedia per musim tanam untuk usahatani di lahan sawah diasumsikan sama dengan pangsa HOK pada usahatani di lahan sawah terhadap total HOK rumah tangga yang dicurahkan untuk seluruh aktivitas ekonomi dikalikan dengan 90 (asumsi HOK efektif per musim tanam). Bobot untuk anggota rumah tangga usia kerja yang statusnya bekerja di usahatani adalah satu, sedangkan yang statusnya membantu bekerja adalah setengah. Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa mobilitas spatial tenaga kerja adalah sempurna. Di sisi lain, fakta memperlihatkan bahwa di pedesaan terdapat variasi musiman dalam ketersediaan tenaga kerja, terutama tenaga kerja manusia.
87 Hal ini disebabkan adanya migrasi tenaga kerja ke kota yang sifatnya musiman. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, pada penelitian ini ketersediaan tenaga kerja tidak dipilah menurut Sub DAS tetapi hanya dipilah berdasarkan musim tanam. Terkait dengan potensi intensitas tanam yang dapat diterapkan, di wilayah pertanian beririgasi teknis dikenal tiga musim tanam yaitu: (1) Musim Tanam (MT) I yang umumnya berlangsung pada periode Oktober – Januari, (2) MT II (Februari – Mei), dan (3) MT III (Juni – September). Selain itu, meskipun sesungguhnya tidak akurat Musim Tanam I seringkali juga disebut usahatani Musim Hujan (MH), sedangkan MT II dan MT III masing-masing disebut pula usahatani Musim Kemarau-1 (MK-1) dan Musim Kemarau-2 (MK-2). Populasi rumah tangga petani di masing-masing region diestimasi dari data primer, sedangkan estimasi populasi rumah tangga buruh tani murni diperoleh dari data sekunder yang dikumpulkan dari desa-desa lokasi penelitian dengan sejumlah penyesuaian. Metode yang digunakan adalah sebagai berikut: 3
TKTAN m TKTAN Rm R 1
dimana: TKTAN Rm TKPTAN Rm
UPAHWR TKWTAN Rm UPAHPR
TKPTAN Rm
LR HOKPUSH Rm JARPK R 0.5 JARPBK R HOKEFm lR HOKPTOTRm
TKWTAN Rm
HOKWUSH Rm LR JARWK R 0.5 JARWBK R HOKEFm lR HOKWTOTRm
dimana:
TKTANRm
= jumlah tenaga kerja untuk usahatani di Sub DAS R pada musim m yang tersedia
TKPTANRm
= jumlah tenaga kerja pria untuk usahatani di Sub DAS R pada musim m yang tersedia
TKWTANRm
= jumlah tenaga kerja pria untuk usahatani di Sub DAS R pada musim m yang tersedia
LR
= luas lahan sawah di Sub DAS R
lR
= rata-rata luas pemilikan sawah di Sub DAS R
JARPK R
= rata-rata jumlah anggota rumah tangga pria yang bekerja
88 JARPBK R JARWK R
= rata-rata jumlah anggota rumah tangga pria berstatus membantu kerja = rata-rata jumlah anggota rumah tangga wanita yang bekerja
= rata-rata jumlah anggota rumah tangga wanita berstatus membantu kerja HOKPUSH Rm = rata-rata jumlah hari kerja pria untuk usahatani JARWBK R
HOKPTOTRm = rata-rata jumlah hari kerja pria untuk kegiatan ekonomi HOKWUSHRm = rata-rata jumlah hari kerja wanita untuk usahatani HOKWTOTRm = rata-rata jumlah hari kerja wanita untuk usahatani HOKEFm = jumlah hari orang kerja (HOK) efektif per musim (sebagaimana dijelaskan di atas adalah 90 HOK) R
= 1, 2, dan 3 masing-masing melambangkan Sub DAS Brantas Hulu Sub DAS Brantas Tengah, dan Sub DAS Brantas Hilir.
m
= 1, 2, dan 3 masing-masing adalah MH, MK-1 dan MK-2
Di lapangan, tenaga kerja mesin yang paling penting adalah untuk kegiatan pengolahan tanah. Berdasarkan pertimbangan itu, dalam penelitian ini tenaga kerja mesin yang diperhitungkan adalah traktor. Estimasi ketersediaan tenaga kerja traktor didasarkan atas data dan atau informasi yang diperoleh dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Lokasi Penelitian (Tulungagung, Kediri, Nganjuk, Sidoarjo). Berdasarkan data dan informasi yang tersedia, dapat diestimasi kapasitas kerja (pengolahan) dari traktor yang tersedia.
Satuan
kapasitas olah adalah dalam hektar. Konversi ke satuan Hari Kerja Traktor (HKT) dilakukan dengan cara mengalikan kapasitas kerja tersebut dengan rata-rata kebutuhan per hektar tenaga kerja traktor untuk pengolahan tanah. Hasil estimasi ketersediaan tenaga kerja mesin dan tenaga kerja manusia tertera pada Tabel 7. Tabel 7. Ketersediaan tenaga kerja di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 Kategori Tenaga kerja 1. Manusia 2. Mesin (Traktor)
Satuan 3
10 HOKP 103 HKT
MT I (MH) MT II (MK-1) MT III (MK-2) 12 300.5 193.0
12 291.4 193.0
HOKP = Hari Orang Kerja (setara) Pria (rata-rata 8 jam kerja per hari) HKT = Hari Kerja Traktor (rata-rata 10 jam kerja per hari)
11 201.9 193.0
89 4.2.3. Kendala Historis Pola Tanam Berdasarkan pengalaman selama ini, valuasi air irigasi dengan metode CINI seringkali membutuhkan adanya sejumlah a priori judgment (Young, 1996) yang mengacu pada kondisi empiris yang menggambarkan pola tanam dan teknik pengairan yang diaplikasikan dalam usahatani. Jadi, penyertaan kendala tersebut dalam pemodelan adalah untuk mengkondisikan agar "feasible region" yang diekspresikan dalam model representatif terhadap kondisi empiris. Justifikasinya adalah sebagai berikut. Jika diasumsikan petani adalah rasional, maka pola tanam yang diterapkan mencerminkan pilihan yang diambil dalam rangka mencapai tujuan. Justifikasinya adalah bahwa dalam pola tanam tercakup komposisi komoditas yang yang dimensinya mencakup: jenis komoditas (apa), skala pengusahaan (berapa), dan waktu pengusahaan (kapan). Ketiga aspek itu merupakan substansi strategis dalam proses pengambilan keputusan dalam rasionalitas petani untuk memaksimumkan keuntungan usahataninya berdasarkan sejumlah kendala yang dihadapinya. Sebagai individu yang rasional maka petani juga melakukan penyesuaian terhadap perkembangan yang terjadi di lingkungannya. Oleh karena itu, "peta" historis pola tanam semestinya mencerminkan dinamika dari respon petani terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan yang dilakukannya dalam pengelolaan usahatani. Jika sistem sosial komunitas petani terbuka (tidak terisolasi), maka perkembangan pola tanam sebenarnya juga merupakan wujud dari inovasi dan adaptasi kelembagaan dalam sistem pengelolan usahatani. Terkecuali jika terjadi suatu perubahan lingkungan yang sangat besar dan atau ada intervensi dari luar yang secara cepat (revolusi) mampu mengubah pilihan yang dihadapi oleh suatu komunitas petani, pada umumnya gerak perubahan dan arah perkembangan pola tanam berlangsung sedikit-demi sedikit (gradual). Dengan demikian dalam periode yang pendek variasi pola tanam antar tahun tidak terlalu besar. Jadi, dalam batas-batas tertentu peta historis pola tanam dapat dimaknai sebagai daerah layak (feasible region) pola pengusahaan komoditas yang diterapkan oleh komunitas petani; dan dalam jangka pendek perubahan yang terjadi cenderung mengikuti pola yang diterapkan.
90 Dalam dimensi kuantitatif "peta" yang dimaksud di atas adalah perkembangan luas tanam masing-masing komoditas yang dapat diamati dari data deret waktu. Jika luas tanam masing-masing komoditas per tahun terinci per musim tanam, maka dapat diperoleh "peta" yang lebih rinci. Ada tiga aspek penting yang tercakup dalam data seperti itu: (1) ragam jenis komoditas yang diusahakan, (2) dinamika luas pengusahaan masing-masing komoditas yang diusahakan, dan (3) pola musiman pengusahaan komoditas. Penyajian kuantitatif "peta" historis pola tanam yang ringkas dapat ditempuh melalui pemanfaatan ukuran pemusatan (nilai tengah, median, modus) dan ukuran dispersi (maksimum – minimum, ragam, standar deviasi) perkembangan pola tanam dari data deret waktu yang tersedia. Ukuran pemusatan yang paling lazim digunakan adalah rata-rata aljabar (arithmatic mean), sedangkan ukuran dispersi yang paling luas digunakan adalah galat baku (standard deviation). Dalam penelitian ini yang dipergunakan untuk merepresentasikan "peta historis" pola tanam adalah rata-rata dan galat baku perbandingan luas tanam antar komoditas antar tahun. Justifikasinya: (1) informasi terpenting yang dibutuhkan adalah
komparasi antar komoditas, dan (2) pemanfaatannya lebih fleksibel
daripada besaran absolutnya. Kendala historis pola tanam yang digunakan dalam penelitian ini dapat dipresentasikan sebagai berikut:
BEDRm
p x Ei i1 q xDj j 1
A EDRm Rm
yang dapat pula dituliskan menjadi:
q p A x Ei H EDRm x Dj 0 Rm i1 Rm j 1 dan
q p B x Ei H EDRm xDj 0 i1 Rm j 1 Rm
91 dimana: p x Ei i 1 Rm
= total luas tanam xi dari kelompok komoditas E di Sub DAS R pada musim m
q x Dj j 1 Rm
= total luas tanam xj dari kelompok komoditas D di Sub DAS R pada musim m
A H EDRm
= nilai rata-rata perbandingan luas tanam xi dalam kelompok komoditas E terhadap luas tanam xj dalam kelompok komoditas D di Sub DAS R pada musim m ditambah simpangan bakunya; yang dihitung berdasarkan luas tanam tahun-tahun sebelumnya (data deret waktu).
B H EDRm
= nilai rata-rata perbandingan luas tanam xi dalam kelompok komoditas E terhadap luas tanam xj dalam kelompok komoditas D di Sub DAS R pada musim m ditambah simpangan bakunya; yang dihitung berdasarkan luas tanam tahun-tahun sebelumnya (data deret waktu).
A Data perkembangan luas tanam yang digunakan dalam estimasi H EDRm B maupun H EDRm adalah data sekunder yang diperoleh dari Seksi-seksi Cabang
Pengairan di lokasi contoh yang dilengkapi dengan data yang diperoleh dari wawancara dengan Pengurus P3A contoh. Hasil estimasi tertera pada Tabel 8. Tabel 8. Nilai Rata-rata dan galat baku perbandingan luas tanam antar kelompok komoditas menurut musim tanam di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas pada periode 1990 - 2000*) P/H-1 terhadap P P/H-2 terhadap P/H-1 Tebu terhadap P Rata-rata STD**) Rata-rata STD**) Rata-rata STD**) Sub DAS MT I 0.047 0.027 0.475 0.094 Hulu MT II 0.217 0.119 0.458 0.130 MT III 7.313 3.732 0.401 0.141 Setahun 0.048 0.009 Sub DAS MT I 0.016 0.008 0.465 0.091 Tengah MT II 0.215 0.114 0.457 0.135 MT III 7.417 3.736 0.406 0.148 Setahun 0.052 0.009 Sub DAS MT I 0.043 0.022 0.458 0.072 Hilir MT II 0.209 0.108 0.464 0.133 MT III 7.420 3.639 0.414 0.150 Setahun 0.059 0.010 *) : P, P/H-1, P/H-2 masing-masing adalah kelompok komoditas padi, palawija/hortikultur kategori 1, dan palawija/hortikultur kategori 2. **) : Galat baku (standard deviation). Sub DAS
Musim Tanam
92 4.2.4. Kebutuhan Sumberdaya 4.2.4.1. Lahan Kebutuhan terhadap sumberdaya (koefisien teknologi) pada persamaan kendala lahan adalah sama dengan 1 (satu) karena satuan untuk koefisien fungsi tujuan maupun koefisien teknologi untuk semua persamaan kendala adalah per hektar. Sebagaimana dibahas pada konteks ketersediaan sumberdaya (Sub Bab 4.2.2), dalam satu tahun kalender pertanian terdapat tiga musim tanam (MT) yaitu MT I yang biasanya berimpit dengan sebagian besar dari periode yang tercakup pada musim hujan (MH), MT II atau musim kemarau-1 (MK-1) dan MT III atau musim kemarau-2 (MK2). Pemilahan menjadi tiga musim tanam karena secara teoritis maupun secara empiris dalam satu tahun dapat dilakukan tiga kali pengusahaan komoditas dominan (padi) di lahan sawah. Mengacu pada fenomena empiris, usahatani dikategorikan termasuk periode MH jika awal pengusahaan tanaman dilakukan pada Bulan-bulan Oktober, November, Desember, atau Januari. Dikategorikan termasuk periode MK-1 jika awal pengusahaannya terjadi pada Bulan-Bulan Februari, Maret, April, atau Mei; dan dikategorikan termasuk periode MK-2 jika awal pengusahaannya dilakukan pada Bulan-bulan Juni, Juli, Agustus, atau September.
4.2.4.2. Kebutuhan air Irigasi Estimasi koefisien teknologi yang merefleksikan kebutuhan air irigasi per kelompok komoditas mengadopsi hasil penelitian Ban (1984) yang dimodifikasi. Peneliti tersebut mengestimasi kebutuhan air irigasi pada sistem irigasi pompa air tanah sehingga air yang berasal dari irigasi permukaan dan curah hujan diklasifikasikan "air dari sumber lain". Dalam penelitian ini, yang diestimasi adalah kebutuhan air irigasi permukaan sehingga yang diklasifikasikan "air dari sumber lain" adalah air dari curah hujan (curah hujan efektif). Air dari irigasi pompa tidak diperhitungkan karena: (i) sumber sadapannya dari air tanah dangkal yang ketersediaannya sangat dipengaruhi oleh air irigasi permukaan yang meresap ke dalam tanah, (ii) proporsi pasokan air dari irigasi pompa sangat kecil.
93 Koefisien kebutuhan air irigasi yang dihasilkan dalam penelitian Ban (1984) adalah: (1) kebutuhan bulanan untuk usahatani padi November – Februari (MT I) dan Maret – Juni (MT II), (2) kebutuhan bulanan untuk usahatani palawija Juni – September (MT III), dan (3) untuk usahatani tebu (Oktober – September). Untuk memperoleh koefisien bulanan pada periode-periode pengusahaan yang lain, dilakukan penyesuaian dengan memanfaatkan pola kebutuhan air irigasi bulanan dari konsep yang dikembangkan oleh Dinas Pengairan. Jadi besarannya mendekati hasil penelitian Ban (1984), sedangkan pola sebaran temporalnya menyerupai distribusi temporal kebutuhan air irigasi yang dikembangkan oleh Dinas Pengairan. Hasil estimasi tertera pada Lampiran 4, 5, dan 6. Mengacu pada konsep pengembangan komoditas, maka konsep yang dikembangkan dalam mengestimasi kebutuhan air irigasi diderivasi dari pola tanam yang akan diterapkan (Ban, 1984). Dalam konteks itu, pemahamannya harus memperhitungkan tiga aspek pokok berikut: 1. Konsep-konsep pengembangan pola tanam. Dalam konteks ini perlu dipahami kecenderungan
perubahannya
maupun
konstelasinya
dalam
konsep
pembangunan pertanian dalam arti luas. 2. Aspek sosial ekonomi wilayah. Ini dapat digali dari studi agroekonomi secara komprehensif. Dalam konteks ini, ada dua gugus informasi yang harus diketahui yaitu: (1) keragaan sosial ekonomi rumah tangga petani (penguasaan tanah, struktur pendapatan, aplikasi teknologi usahatani, teknik irigasi yang diterapkan, dan lain-lain), dan (2) struktur perekonomian wilayah, baik kondisi aktual maupun perkiraan tentang arah perkembangannya di masa mendatang. 3. Kondisi sumberdaya alam, terutama iklim (curah hujan, suhu rata-rata, kelembaban, dan sebagainya) dan kondisi tanah. Selanjutnya, dengan memperhitungkan faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan air untuk tanaman (evapotranspirasi, laju perkolasi, koefisien tanaman, dan sebagainya) ditentukan kebutuhan air irigasi neto maupun total. Secara ringkas, konstelasi hubungan antar faktor tersebut dapat disimak dari skema yang tertera pada Gambar 8.
94
Mulai
Rancangan Pola Tanam
Konsep pembangunan pertanian Studi agroekonomi Kondisi iklim
Kebutuhan air neto
Evapotranspirasi Koefisien tanaman Laju perkolasi Pudding water Curah hujan efektif
Efisiensi irigasi Diversi kebutuhan air
= (kebutuhan air neto)/(efisiensi irigasi) Air dari sumber lain
Permintaan air di area irigasi
= (diversi kebutuhan air) – (air dari sumber lain)
Selesai
Gambar 8.
Skema konsep estimasi kebutuhan air irigasi
Konsep tersebut merupakan landasan untuk menyusun prosedur kalkulasi kebutuhan air irigasi. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang estimasi kebutuhan air irigasi, disajikan prosedur kalkulasi yang ditempuh Ban (1984) sebagaimana tertera pada Gambar 9. Kebutuhan air irigasi total (GR) untuk suatu areal tertentu ditentukan oleh luas areal (A), kebutuhan neto di lapangan (NR), dan efisiensi irigasi (IE). Formulasinya adalah:
GR A NR IE 1 Sedangkan kebutuhan air irigasi neto di lapangan (net field irrigation requirement = NR) dipengaruhi oleh kebutuhan air untuk pengolahan tanah (LR), kebutuhan tanaman (crop consumptive use of water = Cu), laju perkolasi (PR), kebutuhan air untuk pesemaian (Nr), dan curah hujan efektif (ER) dengan formula: NR LR Cu Nr PR ER
95
Data Meteorologi
=
Estimasi / kalkulasi dengan metode yang tepat/sesuai
1. Curah hujan harian 2. Suhu rata-rata 3. Rata-rata kelembaban relatif 4. Rata-rata kecepatan angin 5. Rata-rata sinar matahari (jam) 6. Rata-rata evaporasi (A-pan)
Evapotranspirasi Potensial (ETo)
Rencana Pola tanam
Kondisi Lahan
Koefisien Tanaman (KC) Penggunaan oleh tanaman (Cu)
Kebutuhan Air untuk Pengolahan Tanah (LR)
Kebutuhan Air untuk Pesemaian (Nr) Laju Perkolasi (PR)
Curah Hujan Efektif (ER)
Kebutuhan Air Neto NR = [ Cu dan/atau Nr + LR +PR – ER]
- Efisiensi penyaluran
Efisiensi Irigasi (IE) = - Efisiensi pengoperasian - Efisiensi aplikasi di hamparan
Kebutuhan Air Total (Diversi) GR = NR/IE
Gambar 9.
Prosedur kalkulasi kebutuhan air irigasi untuk tanaman
96 Laju perkolasi dipengaruhi oleh jenis tanah, terutama faktor-faktor yang mempengaruhi porositas tanah (kadar liat tanah, kadar pasir, bahan organik). Untuk sistem irigasi teknis di DAS Brantas, laju perkolasi yang selama ini dijadikan acuan adalah sekitar 2.2 mm/hari – 4.4 mm/hari. Kebutuhan air untuk pengolahan tanah, dipengaruhi oleh kondisi tanah dan cara pengolahan tanah. Kalkulasi kebutuhan air irigasi untuk pengolahan tanah yang dipergunakan di Indonesia pada umumnya menggunakan metode berikut (Nippon Koei and JICA, 1993):
LR
M e k ( Eo P ) e( M T ) / S e k 1 e ( M T ) / S 1
dimana: M = kebutuhan air untuk mengkompensasi evaporasi dan perkolasi hamparan dalam keadaan jenuh E0 = evaporasi (untuk pengolahan tanah disetarakan = 1 x ET0) P
= perkolasi
T
= periode pengolahan tanah (untuk usahatani padi dihitung 20 hari)
S
= kebutuhan untuk penjenuhan (200 mm) ditambah dengan 50 mm untuk lapisan tanah sehingga S = 200 mm + 50 mm = 250 mm
Kebutuhan air untuk pengolahan tanah yang selama ini dijadikan acuan dalam sistem irigasi teknis di Indonesia adalah sekitar 16 mm/hasi – 20 mm/hari. Kebutuhan tanaman (Cu) ditentukan oleh evapotranspirasi dan koefisien tanaman (crop coefficient = Kc). Evapotranspirasi potensial dipengaruhi oleh iklim, yaitu suhu, kelembaban, angin, dan lama penyinaran matahari (sunshine hours); sedangkan koefisien tanaman tergantung pada jenis atau kelompok jenis tanaman. Pada dasarnya Cu merupakan perkalian antara ETo dengan Kc. Jadi, Cu ETo Kc .
Terkecuali jika pesemaian dilakukan di tempat lain yang terpisah dari hamparan yang akan dijadikan lahan penanaman, kebutuhan air untuk pesemaian lazimnya telah termasuk dalam kalkulasi kebutuhan air untuk pengolahan tanah.
97 Curah hujan efektif yang sering dijadikan acuan dalam sistem irigasi teknis di DAS Brantas adalah sekitar 50 persen (kisaran 48 - 55 persen) yang dihitung berdasarkan persamaan:
Re f 151 R dimana: f
= tingkat curah hujan efektif
Re
= curah hujan efektif dalam mm/hari
R
= curah hujan tengah bulanan minimum pada siklus lima tahunan
4.2.4.3. Modal Tunai Untuk Usahatani Modal tunai diperlukan petani untuk memenuhi biaya usahatani yang secara riil dikeluarkan petani untuk membeli sarana produksi yang tidak dihasilkan sendiri oleh petani, untuk membayar tenaga kerja luar keluarga (buruh tani), untuk membayar sewa lahan, dan sebagainya. Berbeda dengan konsep biaya total (untuk menghitung keuntungan bersih usahatani pada estimasi koefisien fungsi tujuan) dimana nilai setiap komponen biaya adalah imputed, dalam biaya tunai nilai setiap komponen biaya tersebut adalah yang secara riil dikeluarkan oleh petani. Sebagai contoh, pada konsep biaya total estimasi rata-rata nilai sewa lahan menggunakan asumsi bahwa semua petani adalah penyewa lahan; sedangkan pada konsep biaya tunai rata-rata nilai sewa lahan dihitung dari total nilai sewa lahan yang dikeluarkan oleh petani yang secara riil menyewa lahan dibagi dengan seluruh populasi. Oleh karena itu secara umum nilai untuk setiap komponen biaya imputed lebih besar daripada nilai tunai sehingga biaya total pada umumnya besar daripada biaya tunai. Data yang digunakan untuk mengestimasi biaya tunai berupa data primer dari hasil survey di tingkat petani. Estimasi koefisien kebutuhan modal tunai usahatani per hektar untuk masing-masing aktivitas (kelompok komoditas) menggunakan rata-rata terbobot (weighted average) dimana pembobotnya adalah skala pengusahaan komoditas yang bersangkutan. Hasil estimasi tertera pada Lampiran 7.
98 4.2.4.4. Tenaga Kerja Kebutuhan tenaga kerja untuk usahatani adalah total tenaga kerja yangt dibutuhkan sejak penyiapan lahan sampai dengan panen. Tenaga kerja dipilah menjadi dua: (1) tenaga kerja mekanis, dan (2) tenaga kerja manusia. Penggunaan tenaga kerja mekanis terutama adalah untuk pengolahan tanah. Pada umumnya yang digunakan adalah traktor roda dua, bukan traktor roda empat karena petakan sawah pada umumnya kecil-kecil. Penggunaan tenaga kerja ternak sangat kecil (kurang dari 4 %) sehingga dalam penelitian ini dikelompokkan dalam tenaga kerja manusia dengan cara mengkonversinya ke tenaga kerja manusia. Basis konversi adalah ongkos tenaga kerja yang dikeluarkan untuk tenaga kerja ternak. Lazimnya tenaga kerja manusia dalam usahatani ada tiga kategori: (1) pria, (2) wanita, dan (3) anak-anak. Tenaga kerja kategori (3) tidak diperhitungkan karena dalam pasar tenaga kerja tidak ada (tidak ada upah untuk tenaga kerja anak-anak). Satuan untuk tenaga kerja manusia adalah dalam setara pria (HOKP). Dengan asumsi tingkat upah mencerminkan produktivitasnya, maka konversi Hari Orang Kerja Wanita (HOKW) maupun Hari Kerja Ternak ke HOKP menggunakan perbandingan tingkat upah. Tingkat upah yang digunakan adalah dalam nilai upah per jam kerja, dimana didalam upah tersebut tercakup pula upah yang berbentuk natura (makanan, minuman, rokok/tembakau). Bawon, yakni upah panen padi dikonversikan dalam rupiah berdasarkan harga gabah kering panen karena bawon diberikan dalam bentuk gabah kering panen. Hasil estimasi kebutuhan tenaga kerja masing-masing peubah keputusan (aktivitas) tertera pada Lampiran 8. 4.3. Spesifikasi Model Bentuk umum model valuasi yang digunakan dalam penelitian ini dapat dipresentasikan secara matematis sebagai berikut. Misalkan xi , yi , dan z i masing-masing melambangkan aktivitas yakni pengusahaan komoditas pertanian di lahan sawah irigasi teknis di Sub DAS Brantas Hulu, Sub DAS Brantas Tengah, dan Sub DAS Brantas Hilir. Dimensi yang tercakup dalam definisi aktivitas adalah jenis komoditas dan periode pengusahaan. Jadi pengusahaan komoditas
99 yang sama didefinisikan sebagai aktivitas
yang berbeda jika periode
pengusahaannya berbeda. Selanjutnya, misalkan:
Xi , Yi , Zi
: keuntungan bersih per hektar dari aktivitas xi , yi , z i
S Xj , S Yj , S Zj
: lahan yang tersedia di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub DAS Hilir pada musim tanam ke – j. Berdasarkan kondisi empiris di lapangan, dalam satu tahun kalender pertanian terdapat empat musim tanam (MT) yaitu MT I (MH), MT II (MK-1), dan MT III (MK-2).
Xit , Yit , Zit
: kebutuhan air irigasi per hektar xi , yi , z i pada waktu t
W Xt( I ) , WYt( I ) , WZt( I )
: maksimum air irigasi yang tersedia di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub DAS Hilir pada waktu t
W Xt( II ) , WYt( II ) , WZt( II )
: jatah air irigasi sesuai kebutuhan minimum di masingmasing Sub DAS pada waktu t
TXYt , TYZt
: air irigasi yang ditransfer dari Sub DAS Hulu ke Sub DAS Tengah dan dari Sub DAS Tengah ke Sub DAS Hilir
c XYt , cYZt
: efisiensi penyaluran air irigasi dari Hulu ke Tengah dan dari Tengah ke Hilir pada waktu t
v Xi , vYi , v Zi
: kebutuhan modal tunai per hektar xi , yi , z i
V X , VY , VZ
: modal tunai yang tersedia di Hulu, Tengah, dan Hilir
a Xij , aYij , a Zij
: kebutuhan tenaga kerja mekanis per hektar xi , yi , z i pada musim j
A XYZ j
: total tenaga kerja mekanis yang tersedia pada musim j
bXij , bYij , bZij
: kebutuhan tenaga kerja manusia per hektar xi , yi , z i
B XYZ j
: total tenaga kerja manusia yang tersedia pada musim j
Maka bentuk umum dari model dapat dipresentasikan secara matematis sebagai berikut:
Maks F ( Xi , Yi , Zi ; xi , y i , z i ) xi , y i , zi
(1)
dengan kendala: g X j ( xi ) S X j
(2)
g Y j ( yi ) S Y j
(3)
100 g Z j ( zi ) S Z j
(4)
h Xt ( Xit ; xit ; TXYt ) W Xt( I )
(5)
j Xt ( Xit ; xit ) W Xt( II )
(6)
kYt ( Yit , yit , c XYt , TXYt , TYZt ) WYt( I )
(7)
lYt ( Yit , yit ) WYt( II )
(8)
p Zt ( Zit , z it , cYZt , TYZt ) WYt( I )
(9)
qYt ( ZYit , zit ) WYt( II )
(10)
rX (v Xi , xi ) V X
(11)
rY (vYi , yi ) VY
(12)
rZ (v Zi , zi ) VZ
(13)
s A j (a Xi , aYi , a Zi ; xi , yi , zi ) AXYZ j
(14)
s B j (bXi , bYi , bZi ; xi , yi , z i ) BXYZ j
(15)
xi 0
(16)
yi 0
(17)
zi 0
(18)
Dalam bentuk fungsi Lagrange:
L(x, y, z, λ) F ( x, y , z ) λgX (S X g X (x))
λgY (S Y g Y (y)) λgZ (S Y g Z (z)) λhXt (WXt( I ) h Xt (x it , TXYt ))
λjXt (WXt( II ) jXt (x it )) λkYt (WYt( I ) k Yt (y it , c XYt , TXYt , TYZt )) ( II ) λlYt (WYt l Yt (y it ))
λpZt (WZt( I ) p Zt (z it , c YZt , TYZt )) ( II ) λqZt (WYt q Zt (z it ))
λrX (VX rX (x i )) λrY (VY rY (y i )) λrZ (VZ rZ (z i )) λSA (A XYZ s A (x i , y i , z i )) λSB (B XYZ s B (x i , y i , z i ))
(19)
101 Dalam fungsi Lagrange tersebut x, y , z, λ masing-masing adalah vektor aktivitas xi , yi , z i ; sedangkan λ adalah penganda Lagrange (Lagrange multiplier). Semua konstanta dan fungsi yang tertulis pada persamaan (19) adalah vektor fungsi-fungsi kendala sebagaimana tertulis pada persamaan (2) sampai dengan (18) tersebut di atas. Kondisi derajat pertama (fisrt order condition - FOC) untuk maksimisasi harus memenuhi
Kuhn-Tucker conditions (Intriligator, 1971; Chiang, 1974).
Dengan demikian: J T g X j h F L gX j hXt Xt xi xi j 1 xi xi t 1 T T T k l j Xt jXt kYt Yt lYt Yt xi xi xi t 1 t 1 t 1
T
pZt t 1 J
SAj j 1
n
i 1
(20)
T J g X j F h hXt Xt gX j xi xi i 1 x i t 1 j 1 T T T j Xt k l jXt kYt Yt lYt Yt xi xi xi t 1 t 1 t 1 R T T p Zt q r pZt qZt Zt rX X xi xi xi r 1 t 1 t 1
L xi xi
n
J
s Aj
j 1
xi
SAj xi 0 ,
T R p Zt q r qZt Zt rX X xi xi xi t 1 r 1 J s Aj s Bj SBj 0 , i = 1, 2, … , n xi xi j 1
J
SBj j 1
s Bj xi 0 xi
i = 1, 2, … , n
J T g Y j h Xt F L gY j hXt yi y i j 1 yi yi t 1 T T T j Xt k l jXt kYt Yt lYt Yt yi y i t 1 yi t 1 t 1 R T T p Zt q Zt r pZt qZt rY Y yi yi yi r 1 t 1 t 1 J J s s SAj Aj SBj Bj 0 , i = 1, 2, … , n yi yi j 1 j 1
(21) (22)
(23)
102 n
L
y i 1
yi
i
F
n
i
T
jXt t 1 T
pZt t 1
j 1
i
gY j
yi
T
hXt t 1
h Xt yi
j Xt k l kYt Yt lYt Yt yi y i t 1 yi t 1 R T p Zt q Zt r qZt rY Y yi yi yi r 1 t 1 T
T
J
s Aj
j 1
yi
SAj
gY j
J
y
J
SBj j 1
s Bj yi 0 y i
(24)
yi 0 , i = 1, 2, … , n
(25)
J T g Z j L h Xt F gZ j hXt zi z i zi zi j 1 t 1 T T T k l j Xt jXt kYt Yt lYt Yt z i zi zi t 1 t 1 t 1 R T T p Zt q Zt r pZt qZt rZ Z zi zi zi r 1 t 1 t 1 J J s s SAj Aj SBj Bj 0 , i = 1, 2, … , n zi zi j 1 j 1 n
L
z i 1
zi
i
n
F
i 1
T
jXt t 1 T
pZt t 1
zi 0 ,
j 1
i
gZ j
z i
T
hXt t 1
T k l j Xt kYt Yt lYt Yt z i zi zi t 1 t 1 R T p Zt q Zt r qZt rZ Z zi zi zi r 1 t 1
s Aj
j 1
zi
J
SBj j 1
s Bj zi 0 z i
i = 1, 2, … , n
J
j 1
gX j
L gX j
gX j 0 ,
S
(29)
J
j 1
gX j
j = 1, 2, …, J
L SY j g Y j () 0 gY j
(27) (28)
L S X j g X j () 0 gX j
h Xt zi
T
J
SAj
g Z j
J
z
(26)
Xj
g Xj () 0
(30) (31) (32)
103 J
gY j j 1
L gY j
gY j 0 ,
S J
j 1
gY j
Yj
g Yj () 0
j = 1, 2, …, J
(34)
L S Z j g Z j () 0 gZ j J
gZ j j 1
(35)
J L gZ j S Zj g Zj () 0 gZ j j 1
gZ j 0 ,
j = 1, 2, …, J
hX t t 1
L hX t
hX t 0 ,
(38)
W T
t 1
hX t
(36) (37)
L W Xt( I ) hX t () 0 hX t T
(33)
(I ) Xt
hX t () 0
(39)
t = 1, 2, …, T
(40)
L W Xt( II ) j X t () 0 jX t
(41)
T
jX t t 1
L jX t
jX t 0 ,
W T
t 1
jX t
( II ) Xt
j X t () 0
t = 1, 2, …, T
(43)
L WYt( I ) kYt () 0 kY t T
kY t t 1
(44)
T L kY t WYt( I ) kYt () 0 kY t t 1
kY t 0 ,
t = 1, 2, …, T
lY t t 1
L lY t
lY t 0 ,
(47)
W T
t 1
lY t
(45) (46)
L WYt( II ) lY t () 0 lY t T
(42)
( II ) Yt
lYt () 0
(48)
t = 1, 2, …, T
(49)
L WZt( I ) p Zt () 0 pZ t
(50)
104 T
pZ t t 1
L pZ t
pZ t 0 ,
W T
(I ) Zt
pZ t
t 1
pZt () 0
t = 1, 2, …, T
(52)
L WZt( II ) q Zt () 0 qZ t T
qZ t t 1
L qZ t
lY t 0 ,
(53)
W T
t 1
qZ t
( II ) Zt
q Zt () 0
t = 1, 2, …, T
(54) (55)
L V X rX () 0 rX
rX
(51)
(56)
L rX (V X rX () 0 rX
(57)
rX 0
(58)
L VY rY () 0 rY
(59)
rY
L rY (VY rY () 0 rY
(60)
rY 0
(61)
L VZ rZ () 0 rZ
(62)
rZ
L rZ (VZ rZ () 0 rZ
(63)
rZ 0
(64)
L AXYZ j s A j () 0 SA j
(65)
J
j 1
SA j
L SA j
SA j 0 ,
A J
j 1
SA j
XYZ j
s A j () 0
(66)
j = 1, 2, …, J
(67)
L B XYZ j s B j () 0 SB j
(68)
105 J
SB j j 1
L SB j
SB j 0 ,
B J
j 1
SB j
XYZ j
s B j () 0
j = 1, 2, …, J
(69) (70)
Seluruh variabel, fungsi, dan turunannya dievaluasi pada titik optimal
(x * , y * , z * , λ* ) . Mengingat bahwa solusi atas persamaan (20) sampai dengan (70) harus terjadi secara simultan maka secara intuitif dapat dimengerti bahwa nilai suatu aktivitas maupun suatu pengganda Lagrange dipengaruhi oleh aktivitas lain ataupun sumberdaya lain sesuai dengan sifat hubungan antar aktivitas dan atau antar kendala sumberdaya. Sebagai contoh, harga bayangan air irigasi pada suatu bulan tertentu di Sub DAS Brantas Hilir ( pZ t ) bukan hanya dipengaruhi oleh ketersediaan air irigasi di Sub DAS tersebut pada bulan yang bersangkutan; tetapi dipengaruhi pula oleh ketebutuhan dan ketersediaan air irigasi pada bulan yang lain, baik di Sub DAS itu sendiri maupun di Sub DAS Tengah (akibat adanya transfer air irigasi dari Sub DAS Tengah). Di sisi lain mengingat ketersediaan air irigasi di Sub DAS Tengah juga dipengaruhi oleh air irigasi yang dapat ditransfer dari Sub DAS Hulu maka secara tidak langsung harga bayangan air irigasi di Sub DAS Hilir tersebut juga dipengaruhi oleh kebutuhan dan pasokan air irigasi di Sub DAS Hulu. Selain dipengaruhi oleh kendala air irigasi, harga bayangan air irigasi tersebut juga dipengaruhi oleh kendala sumberdaya lainnya (lahan, modal, dan tenaga kerja) karena nilai aktivitas-aktivitas xi, yi, maupun zi dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya secara keseluruhan; dimana nilai suatu aktivitas juga tergantung satu sama lain karena fungsi tujuan adalah memaksimumkan xi, yi, maupun zi secara bersamaan. Kondisi derajat kedua (second order condition – SOC) adalah bahwa matrix Hessian derivasi partial kedua L (fungsi Lagrange) terhadap setiap instrumennya yang dievaluasi pada ( x * , y * , z * , λ* ) harus definit negatif atau semidefinit negatif. Matrix Hessian tersebut tidak disertakan dalam tulisan ini. Pengganda Lagrange (vektor λ) mempunyai makna yang penting. Nilai λ pada solusi optimal merupakan sensitivitas nilai optimal fungsi tujuan
F * F (x* , y * , z * ) terhadap perubahan ketersediaan sumberdaya (sisi kanan
106 fungsi kendala) yang tak lain adalah harga bayangan (shadow price) sumberdaya. Metode pembuktiannya dapat diikuti dalam Intriligator (1971) halaman 28 – 39. Kondisi derajat pertama maupun kondisi derajat kedua seperti dibahas di atas berlaku pada optimasi fungsi linier maupun non linier. Dengan beberapa keterbatasannya, model yang digunakan dalam penelitian ini adalah linier, baik fungsi tujuan maupun kendala. Asumsi dalam pemodelan adalah: 1.
Diasumsikan, harga-harga masukan dan keluaran bersifat given dalam arti kuantitas masukan yang digunakan ataupun keluaran yang dihasilkan tidak mempengaruhi tingkat harga. Jadi harga harga bersifat eksogen.
2.
Diasumsikan bahwa pengusahaan suatu komoditas bersifat tuntas, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk satu siklus produksi adalah sama dengan umur tanaman sampai panen selesai ditambah waktu yang dibutuhkan untuk penyiapan lahan dalam rangka pengusahaan komoditas tersebut.
3.
Diasumsikan tidak terjadi pola tanam tumpang-gilir yaitu melakukan pengusahaan komoditas tertentu dalam hamparan yang sama selagi pengusahaan komoditas pada musim tersebut belum dipanen.
4.
Diasumsikan bahwa teknologi yang diterapkan untuk satu jenis aktivitas yang sama adalah tetap.
5.
Terkecuali untuk aktivitas yang merepresentasikan pola tanam tumpangsari yang dominan sehingga dalam model disebutkan secara eksplisit, diasumsikan bahwa pola tanam lainnya adalah monokultur.
6.
Diasumsikan bahwa ketersediaan faktor-faktor produksi ataupun sumberdaya lain di luar sumberdaya yang diperhitungkan dalam model adalah tidak menjadi pembatas.
7.
Asumsi-asumsi yang melandasi aplikasi programa linear seperti linearitas, proporsionalitas, aditivitas, divisibilitas, deterministik.
Dengan demikian bentuk spesifik model yang digunakan dalam penelitian ini dapat dipresentasikan sebagai berikut:
Maks dengan kendala:
n
n
n
i 1
i 1
i 1
i xi i y i i z i
(1)
107
1. Kendala lahan (per Sub DAS per musim): m
x i 1
ij
SX j ,
i 1
xij 0
ij 1
m
y i 1
ij
(3)
i l
SY j , j = MH, MK-1, MK2
k
p
i 1
i l
yij1 yij 0 m
z i 1
(2)
p
k
x
j = MH, MK-1, MK2
ij
SZ j ,
k
p
i 1
i l
(4)
(5)
j = MH, MK-1, MK2
zij 1 zij 0
(6)
(7)
2. Kendala air irigasi (per sub DAS, per bulan, dan ada transfer dari Sub DAS Hulu ke Sub DAS Tengah serta dari Sub DAS Tengah ke Sub DAS Hilir): n
i 1
Xit
n
i 1
i 1
(8)
Xit
xit w1t
Yit
yit TYXt TYZt W2t
n
xit TXYt W1t
t = Okt, Nov, … Sep
TYXt c XYt TXYt n
i 1
Yit
yit w2t
Zit
z it TZYt W3t
n
i 1
n
i 1
Zit
z it w3t
(10) (11)
t = Okt, Nov, … Sep
(12)
(13)
TZYt cYZt TYZt
(9)
(14) t = Okt, Nov, … Sep
(15)
108 3. Kendala modal tunai usahatani (per Sub DAS per tahun): n
v x
i i
VX
(16)
v y
i
VY
(17)
i i
VZ
(18)
i 1 n
i 1
i
n
v z i 1
4. Kendala tenaga kerja (per musim j = MH, MK-1, MK2): (a). Tenaga kerja mekanis: m
a i 1
m
m
i 1
i 1
Xij xij aYij y ij a Zij zij AXYZ j
(19)
(b). Tenaga kerja manusiaa: m
m
m
i 1
i 1
i 1
bXij xij bYij yij bZij zij BXYZ j
(20)
5. Kendala historis pola tanam (per Sub DAS per musim): m
m
i 1
h 1
xij( P ) hj( AqpX ) xhj(Q ) 0 m
m
x i 1
(P) ij
m
i 1
(22)
h 1
(P) ij
hj( AqpY ) y hj( Q ) 0
(23)
h 1 m
y ij( P ) hj( BqpY ) y hj( Q ) 0
(24)
h 1
m
z i 1
hj( BqpX ) x hj( Q ) 0 m
m
y i 1
(21)
m
(P ) ij
hj( AqpZ ) z hj( Q ) 0
(25)
h 1
m
m
i 1
h 1
zij( P ) hj( BqpZ ) z hj(Q ) 0
(26)
Dalam hal ini, P dan Q masing-masing menunjukkan kelompok komoditas padi, palawija/hortikultur-1, dan palawija/hortikultur-2, dan tebu. Khusus untuk tebu tidak per musim tetapi per tahun, dan pembandingnya adalah komoditas utama di lahan sawah yaitu padi.
109 Koefisien hj( Aqp...) menunjukkan rasio
luas tanam maksimum xh dari
kelompok komoditas Q terhadap luas tanam xi dari kelompok komoditas P pada musim j. Sedangkan hj( Bqp...) menunjukkan rasio luas tanam minimum xh dari kelompok komoditas Q terhadap luas tanam xi dari kelompok komoditas P pada musim j. Sebagaimana sebelumnya X, Y, dan Z masing-masing melambangkan Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub DAS Hilir. 6. Kendala non negatif:
xi 0,
yi 0,
zi 0
(27)
Keterangan tentang notasi dapat dilihat pada halaman 95 serta beberapa keterangan khusus yang langsung tertulis di bawah presentasi model. Secara keseluruhan terdapat 147 kendala yang tercakup dalam model yang terdiri atas kendala lahan (48), kendala air irigasi (66), kendala modal (3), kendala tenaga kerja (6), dan kendala historis pola tanam sebagai apriori judgement (24). Model operasional (siap untuk komputasi) tertera pada Lampiran 9. Dalam model tersebut sejumlah persamaan yang kurang bermakna tidak disertakan. Sebagai contoh dalam persamaan kendala air irigasi, transfer air irigasi dari Sub DAS Hulu ke Sub DAS Tengah maupun dari Sub DAS Tengah ke Sub DAS Hilir yang diperhitungkan hanya untuk Bulan-bulan Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, dan November. Untuk bulan-bulan lainnya tidak disertakan karena tidak bermakna mengingat pada periode tersebut air irigasi yang tersedia di setiap Sub DAS berlimpah sehingga transfer air dari lokasi yang berada di hulu ke arah hilir tidak mempengaruhi harga bayangan air irigasi. Perangkat lunak yang digunakan untuk mengeksekusi model adalah Lindo for Window. Pertimbangan utamanya adalah bahasa pemrograman maupun tampilan hasil komputasinya sangat komunikatif. Solusi optimal menghasilkan beberapa informasi penting, terutama adalah pola tanam optimal dan harga sumberdaya (harga bayangan). Sesuai dengan tujuan penelitian, analisis akan difokuskan pada harga bayangan air irigasi. Oleh karena pasokan air irigasi dirinci per bulan, maka dapat dihasilkan harga bayangan air irigasi per bulan.
110 Fungsi permintaan normatif air irigasi dapat diperoleh dari analisis pasca optimal (post optimality analysis) perubahan pasokan air irigasi (Young, 1996). Sudah barang tentu, mengingat bahwa hasil post optimality analysis itu berupa inverse demand function (Tsur et al, 2002) maka bentuk fungsi permintaan tersebut dapat diperoleh dari inversinya. Dalam analisis pasca optimal, skenario perubahan ketersediaan air irigasi yang dipergunakan adalah proporsional. Dengan demikian misalkan skenario perubahan adalah satu persen maka perubahan tersebut berlaku untuk Bulan Januari – Desember. Untuk memformulasikan iuran irigasi berbasis komoditas, harga bayangan air irigasi yang akan digunakan adalah hasil dari solusi optimal yang diperoleh dari ketersediaan air irigasi pada kondisi normal. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kondisi normal adalah rata-rata dari data sepuluh tahun terakhir. 4.4. Formulasi Iuran Irigasi Berbasis Komoditas Iuran irigasi berbasis komoditas adalah sistem pungutan (tarif) air irigasi dimana komponen utamanya dihitung berdasarkan harga bayangan dan volume air irigasi yang digunakan dalam usahatani. Sebagaimana dinyatakan di muka, Iuran Irigasi Berbasis Komoditas terdiri dari dua komponen yaitu: (1) komponen utama, dan (2) komponen penunjang. Formulanya adalah sebagai berikut: t
PW ij CW ( wT AijT ) T 1
Komponen penunjang
Komponen pokok
dimana: PWij
CW
= Nilai iuran irigasi berbasis komoditas untuk kelompok komoditas-i yang diusahakan pada periode-j. = biaya irigasi dari komponen penunjang yang nilai per hektarnya tetap; ditentukan berdasarkan hasil kesepakatan kelompok (P3A).
wT
= harga bayangan air irigasi pada bulan T
AijT
= air irigasi yang digunakan pada bulan T dalam usahatani kelompok komoditas-i yang diusahakan pada periode-j
t
= periode pengusahaan untuk satu siklus produksi (unit waktu adalah bulan)
111 Dari formula tersebut tampak bahwa: (1) semakin langka air irigasi semakin besar biaya irigasi karena harga bayangannya semakin tinggi, dan (2) biaya irigasi untuk usahatani komoditas yang banyak mengkonsumsi air (padi) adalah lebih besar daripada komoditas yang membutuhkan air yang lebih sedikit. Implementasi dari sistem iuran tersebut membutuhkan penyederhanaan agar lebih praktis. Penyederhanaan yang dapat dijadikan alternatif adalah: 1.
Periode pengusahaan tidak dirinci per bulan tetapi per musim tanam dengan melakukan beberapa skenario pembobotan untuk masing-masing bulan.
2.
Penggunaan sistem indeks berdasarkan perbandingan nilai penggunaan air antar kelompok jenis komoditas dan waktu pengusahaan. Besaran nominal untuk masing-masing kelompok komoditas tergantung pada nilai nominal yang ditentukan untuk indeks basis berdasarkan kesepakatan petani.
3.
Kombinasi dari kedua modifikasi tersebut di atas.
4.5. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prospek Penerapan 4.5.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pilihan Pola Tanam Berdasarkan analisis pendahuluan diketahui bahwa indeks diversitas antar petani secara relatif adalah homogen (Lampiran 11). Oleh karena itu pola tanam cukup dipilah menurut dimensi kualitatif saja. Berdasarkan sudut pandang itu, pola tanam dipilah menjadi 3 kategori yaitu: 1. Pola tanam kategori 1 ( i = 1 )
: monokultur padi
2. Pola tanam kategori 2 ( i = 2 )
: diversifikasi kategori-1 (divs_1), yaitu selain menanam padi mengusahakan pula komoditas pertanian bukan padi yang tidak termasuk kelompok komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi (kedele, kacang tanah, jagung non hibrida, dan sebagainya
3. Pola tanam kategori 2 ( i = 3 )
: diversifikasi kategori-2 (divs_2), yaitu selain menanam padi mengusahakan pula komoditas pertanian bukan padi yang bernilai ekonomi tinggi (bawang merah, semangka, melon, cabai, jagung hibrida, tembakau, dan lain sebagainya)
112 Dengan mengasumsikan kategori 1 sebagai basis pilihan, faktor-faktor yang mempengaruhinya probabilitas untuk memilih kategori (i) adalah: 1 15 15 (2) 1 exp exp x x n n( 3 ) n n n 1 n 1 15 x n n( 2 ) exp n 1 15 Pr( y i ) 15 (2) 1 exp exp x x n n( 3 ) n n n 1 n 1 15 exp x n n( 3 ) n 1 15 15 (2) 1 exp exp x x n n( 3 ) n n n 1 n 1
untuk i 1
untuk i 2
untuk i 3
dimana: x1 = tingkat efisiensi teknis (te) yang dicapai petani dalam usahatani padi x2 = jumlah persil lahan sawah garapan x3 = luas lahan sawah garapan (hektar) x4 = pangsa luas garapan yang statusnya bukan milik x5 = jumlah tenaga kerja yang bekerja/membantu kerja dalam usahatani x6 = umur kepala keluarga (tahun) x7 = pendidikan kepala keluarga (diproksi dari tahun tempuh sekolah) x8 = rasio total pendapatan terhadap total pengeluaran rumah tangga x9 = pangsa pendapatan dari usahatani di lahan sawah terhadap total pendapatan rumah tangga x10 = jarak lahan garapan dari pintu tertier x11 = aksesibilitas lahan garapan terhadap saluran kwarter x12 = pangsa lahan sawah yang pada musim kemarau kekurangan air x13 = jumlah hari mengalami kekeringan (proksi dari intensitas kekeringan) x14 = nilai pajak lahan (proksi dari kualitas lahan) x15 = peubah boneka pemilikan pompa irigasi (0 = tidak memiliki, 1= memiliki)
113 4.5.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Parsisipasi Petani Dalam Pembayaran Iuran Irigasi Secara garis besar iuran irigasi yang ditanggung oleh petani terdiri atas dua komponen yaitu: 1. Iuran Pelayanan Air Irigasi (IPAIR) yaitu biaya irigasi yang dibebankan kepada petani (P3A) yang sistemnya ditentukan oleh pemerintah. Dana IPAIR ditujukan untuk menambah dana operasi dan pemeliharaan irigasi. Pengelolaan IPAIR dikoordinasikan oleh Pemerintah (Dinas Pengairan). Pada tahun 1999/2000 (waktu penelitian) tarif IPAIR sekitar Rp. 22 000/Ha/Th dan berkisar antara Rp. 18 000/Ha – Rp. 25 000/Ha per tahun. 2. Iuran P3A yaitu iuran irigasi yang ditentukan oleh organisasi P3A. Pada tahun 1999/2000, rata-rata Iuran P3A adalah sekitar Rp. 35 000/hektar/tahun. Dalam praktek, biaya irigasi yang dikeluarkan petani tidak hanya terdiri dari dua komponen tersebut karena ada komponen lain yang sifatnya insidentil yaitu: "biaya irigasi pompa" dan biaya irigasi "informal". Dalam penelitian ini, tingkat partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi dievaluasi berdasarkan kepatuhannya dalam membayar IPAIR dan Iuran HIPPA. Sebagaimana dijelaskan di muka, ada empat varian yang berdasarkan besaran maupun kaitannya dengan kualitas pelayanan irigasi yang dapat dinikmati petani dapat diasumsikan bersifat berjenjang (kategori 4 > 3 > 2 > 1): 1.
Kategori 1: Tidak membayar IPAIR maupun Iuran HIPPA
2.
Kategori 2: Membayar IPAIR tetapi tidak membayar Iuran HIPPA
3.
Kategori 3: Tidak membayar IPAIR tetapi membayar Iuran HIPPA
4.
Kategori 4: Membayar IPAIR maupun Iuran HIPPA Model yang digunakan dalam analisis adalah Ordered Logistic Regression
(ologit) yang dapat dipresentasikan sebagai:
Pr( y j i ) Pr i 1 x j β u i 1 1 ; 17 17 1 exp i x n n 1 exp i 1 x n n n 1 n 1 0 dan k
114 dimana: x1 = indeks diversifikasi usahatani (E) x2 = jumlah persil lahan sawah garapan x3 = luas lahan sawah garapan (hektar) x4 = pangsa luas garapan yang statusnya bukan milik x5 = umur kepala keluarga x6 = pendidikan kepala keluarga (diproksi dari tahun tempuh sekolah) x7 = pendapatan per kapita per tahun x8 = kontribusi usahatani padi terhadap total pendapatan usahatani sawah x9 = kontribusi pendapatan dari luar pertanian x10 = jarak lahan garapan dari pintu tertier x11 = aksesibilitas lahan garapan terhadap saluran kwarter x12 = pangsa lahan sawah yang pada musim kemarau kekurangan air x13 = jumlah hari mengalami kekeringan (proksi dari intensitas kekeringan) x14 = nilai pajak lahan (proksi dari kualitas lahan) x15 = indeks tanam (total luas garapan dibagi total luas baku lahan) x16 = peubah boneka pemilikan pompa irigasi (0 = tidak memiliki, 1=memiliki) x17 = kinerja Pengurus HIPPA (1=sangat buruk, 2=buruk, 3=sedang, 4=baik, 5=sangat baik).
4.5.3. Identifikasi Faktor-faktor Strategis Secara umum sasaran penerapan sistem iuran irigasi berbasis komoditas adalah: (1) peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi yang termanifestasikan melalui peningkatan produktivitas air irigasi, dan (2) peningkatan kapasitas P3A dalam mengakumulasikan dana untuk membiayai operasi dan pemeliharaan irigasi secara mandiri. Hal ini dapat dicapai jika sistem iuran tersebut mampu meningkatkan partisipasi petani dalam menerapkan pola tanam diversifikasi dan pada saat yang sama berhasil mendorong perbaikan kualitas partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi. Dalam penelitian ini, faktor-faktor yang mempengaruhi probabilitas petani untuk mengambil keputusan yang sesuai dengan kondisi itu disebut faktor-faktor strategis karena sangat bermanfaat dalam perumusan kebijakan yang terkait dengan strategi penerapan.
115 Untuk memperoleh opsi-opsi kebijakan yang cakupan implementasinya lebih luas dan efektif maka kategorisasi pilihan perlu dikondisikan agar sifatnya berjenjang. Oleh karena itu dalam identifikasi faktor-faktor tersebut, partisipasi petani dalam penerapan pola tanam hanya dipilah menjadi dua macam yaitu: (1) monokultur, dan (2) diversifikasi. Dengan justifikasi yang sama, kualitas partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi juga dipilah menjadi dua kategori yaitu: (1) baik, dan (2) tidak baik. Paduan dari kedua aspek tersebut menghasilkan empat kategori pilihan sebagai berikut: 1. Kategori 1 (P_1) : pola tanam adalah monokultur padi dan kualitas partisipasi dalam membayar iuran irigasi adalah tidak baik 2. Kategori 2 (P_2) : pola tanam monokultur adalah padi dan kualitas partisipasi dalam membayar iuran irigasi adalah baik 3. Kategori 3 (P_3) : pola tanam adalah berdiversifikasi dan kualitas partisipasi dalam membayar iuran irigasi adalah tidak baik 4. Kategori 4 (P_4) : pola tanam adalah berdiversifikasi dan kualitas partisipasi dalam membayar iuran irigasi adalah baik Mengacu pada sasaran yang ingin dicapai maka pilihan yang paling diharapkan adalah P_4, sedangkan yang terburuk adalah P_1. Selanjutnya dengan alasan bahwa yang diutamakan adalah perubahan pola tanam yang mengarah pada diversifikasi maka P_3 lebih diinginkan daripada P_2. Dengan demikian jenjang keempat kategori pilihan tersebut jika diurutkan dari yang tertinggi (paling diinginkan) ke yang terendah adalah P_4 > P_3 > P_2 > P_1. Selanjutnya, sebagaimana dijelaskan di atas (Sub Bab 4.5.2) pendekatan yang sesuai untuk menganalisis persoalan seperti ini dapat menggunakan model ologit. Model yang digunakan adalah:
Pr( y j i ) Pr i 1 x j β u i 1 1 11 11 1 exp i x n n 1 exp i 1 x n n n 1 n 1 0 dan k
116 dimana: x1 = Fragmentasi lahan sawah, diproksi dari jumlah persil garapan x2 = Luas sawah garapan (hektar) x3 = Proporsi luas garapan yang berstatus bukan milik x4 = Jumlah tenaga kerja yang bekerja/membantu bekerja di pertanian x5 = Kemampuan permodalan, diproksi dengan ratio antara total pendapatan terhadap total pengeluaran rumah tangga x6 = Peranan sawah dalam ekonomi rumah tangga, diproksi dari pangsa pendapatan yang diperoleh dari usahatani di lahan sawah x7 = Intensitas tanam x8 = Kelangkaan air irigasi, diproksi dari hasil perkalian antara rasio luas sawah garapan yang mengalami kekeringan dengan durasi (hari) lahan tersebut mengalami kekeringan x9 = Kelas lahan sawah, diproksi dari nilai pajak lahan sawah garapan x10 = Peubah boneka pemilikan pompa irigasi, (0= tidak memiliki, 0 = memiliki) x11 = Kinerja Pengurus HIPPA (1=sangat buruk, 2=buruk, 3=sedang, 4=baik, 5=sangat baik)
4.5.4. Pemilihan Variabel Penjelas. Sasaran akhir dari serangkaian analisis ini adalah untuk menemukan variabel-variabel kunci yang dibutuhkan untuk merumuskan strategi penerapan dari sistem pembayaran iuran irigasi berbasis komoditas. Oleh karena itu, pemilihan variabel-variabel penjelas (explanatory variable) yang mempengaruhi probabilitas petani dalam konteks pemilihan pola usahatani (monokultur versus berdiversifikasi)
maupun dalam konteks partisipasi pembayaran iuran irigasi
harus dikaitkan dengan kebutuhan untuk perumusan strategi tersebut di atas. Secara teoritis sangat banyak variabel yang harus dipertimbangkan dalam merumuskan strategi penerapan sistem iuran irigasi berbasis komoditas baik yang mencakup aspek teknis maupun sosial ekonomi. Aspek teknis mencakup variabelvariabel yang menentukan kelayakan teknis penerapan, misalnya: teknik distribusi air, teknik pengukuran luas pengusahaan suatu komoditas tertentu, dan sebagainya. Penelitian ini difokuskan pada aspek sosial ekonomi.
117 Dalam aspek sosial ekonomi, himpunan variabel penjelas mencakup variabel yang sifatnya eksternal maupun internal. Aspek sosial ekonomi yang sifatnya eksternal misalnya kebijaksanaan pemerintah di bidang harga masukan dan keluaran usahatani, kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pengembangan irigasi, dan lain sebagainya. Aspek yang sifatnya internal (berada dalam kendali petani) seringkali terkait karakteristik intrinsik petani. Secara hipotetis, faktorfaktor yang mempengaruhi perilaku petani dalam pengambilan keputusan dalam penerapan pola tanam dan partisipasi dalam pembayaran iuran irigasi adalah: 1.
kapabilitas managerial usahatani
2.
keuntungan usahatani di lahan sawah per unit luas garapan per tahun.
3.
kemampuan permodalan untuk usahatani
4.
penguasaan lahan untuk usahatani
5.
kontribusi usahatani di lahan sawah terhadap ekonomi rumah tangga
6.
kontribusi pendapatan di luar pertanian terhadap ekonomi tumah tangga
7.
karakteristik rumah tangga petani Selain faktor-faktor tersebut di atas, terdapat pula faktor-faktor lain yang
mempengaruhi katersediaan air irigasi di lahan petani (jarak dari pintu terhadap pintu tertier, akses terhadap saluran kwarter, luas persil lahan garapan yang sering kekurangan air, intensitas kekeringan), kualitas lahan, penguasaan peralatan yang dibutuhkan untuk mengatasi kekurangan air, dan kinerja organisasi yang menjadi wadah petani dalam pengelolaan irigasi (Organisasi P3A – di Jawa Timur disebut Himpunan Petani Pemakai Air yang disingkat HIPPA). Faktor-faktor ini tidak sepenuhnya berada dalam kendali petani tetapi mempengaruhi keputusan petani dalam usahatani; dan karenanya diinkorporasikan dalam model. 4.5.4.1. Kapabilitas managerial petani dalam usahatani padi Kapabilitas managerial adalah
suatu
konsep
yang merefleksikan
kemampuan seseorang atau lembaga dalam mengorganisasikan informasi, pengetahuan,
teknologi,
dan
sumberdaya
yang
dapat
dikendalikannya
(internalized) dalam rangka mencapai tujuan. Dengan asumsi petani bertujuan memaksimumkan keuntungan maka pengambilan keputusan petani mencakup aspek-aspek: (1) apa yang akan diusahakan, (2) seberapa banyak, (3) kapan, (4)
118 dimana (5) dengan cara apa, dan (6) akan dijual kapan dan dalam bentuk apa serta dimana. Aspek (1) sampai dengan (4) lazimnya menentukan pola tanam, aspek (5) berkaitan dengan teknik budidaya (pra panen dan pasca panen), sedangkan aspek (6) berkaitan dengan masalah pemasaran produk yang dihasilkannya. Perolehan keuntungan maksimum berkaitan erat dengan efisiensi dalam berproduksi. Proses produksi tidak efisien karena dua hal berikut. Pertama, karena secara teknis tidak efisien. Ini terjadi karena ketidak berhasilan mewujudkan produktivitas maksimal; artinya per unit paket masukan (input bundle) tidak dapat menghasilkan produksi maksimal. Kedua, secara alokatif tidak efisien karena pada tingkat harga-harga masukan dan keluaran tertentu, proporsi penggunaan masukan tidak optimum. Ini terjadi karena produk penerimaan marginal (marginal revenue product) tidak sama dengan biaya marginal (marginal cost) masukan yang digunakan. Efisiensi ekonomi mencakup efisiensi teknis maupun efisiensi alokatif. Sebagai individu, petani adalah price taker pasar masukan maupun keluaran usahatani sehingga cara petani untuk memaksimumkan keuntungan adalah melalui peningkatan efisiensi teknis dalam usahataninya. Dengan demikian tingkat efisiensi teknis dapat digunakan sebagai proksi kapabilitas managerial. Metode estimasi tingkat efisiensi teknis (TE) yang banyak digunakan adalah pendekatan stochastic production frontier (SPF). Metode ini diperkenalkan oleh Aigner, Lovell and Schmidt (1977) maupun Meeusen dan van den Broek (1977). Pengembangan berikutnya banyak dilakukan antara lain oleh Greene (1993) dan Coelli (1996). Elaborasi pengaruh risiko dalam pemodelan dan estimasinya dapat disimak misalnya pada Kumbhakar (2002). Estimasi TE dengan model SPF yang digunakan dalam penelitian ini dapat disimak pada Lampiran 10. Kapabilitas managerial dalam usahatani padi dapat berpengaruh positif maupun berpengaruh negatif terhadap peluang berdiversifikasi. Pengaruh positif terjadi jika kapabilitas managerial dalam usahatani yang dicapainya merupakan landasan untuk mengembangkan kapabilitas managerialnya dalam usahatani secara umum. Sebaliknya, berpengaruh negatif terhadap peluang berdiversifikasi apabila tingkat pencapaian kapabilitas managerial dalam usahatani padi merupakan wujud dari dari upaya spesialisasi dalam usahatani padi.
119 4.5.4.2. Keuntungan usahatani di lahan sawah per unit luas garapan per tahun Keuntungan usahatani padi merupakan salah satu tolok ukur dari tingkat keberhasilan petani dalam mengelola usahatani dalam mencapai tujuannya untuk memaksimalkan pendapatan yang diperoleh dari usahatani padi. Jika petani hanya mengusahakan komoditas padi maka secara teoritis ada korelasi yang kuat antara tingkat efisiensi teknis (TE) tersebut di atas dengan keuntungan usahatani. Akan tetapi secara empiris sangat banyak petani yang tidak hanya berusahatani padi tetapi juga komoditas lainnya. Dalam satu tahun keuntungan yang diperoleh petani bukan hanya berasal dari usahatani padi tetapi juga usahatani komoditas yang lain; dan merupakan hasil penjumlahan dari 2, 3, atau bahkan 4 siklus usahatani, tergantung pada intensitas tanam yang diterapkan petani. Secara tunai, keuntungan usahatani per unit luas garapan per tahun adalah sama dengan total penerimaan yang diperoleh dari usahatani itu selama satu tahun dikurangi dengan total biaya tunai usahatani yang dikeluarkan untuk usahatani tersebut. Dalam batas-batas tertentu total keuntungan usahatani per luas garapan per tahun dapat dipandang sebagai produktivitas usahatani (komposit) lahan sawah. Oleh karena itu diduga berpengaruh positif terhadap probabilitas petani untuk berdiversifikasi; dan merupakan berpengaruh positif pula terhadap tingkat partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi. 4.5.4.3. Kemampuan permodalan petani Modal yang dibutuhkan petani untuk melakukan usahatani berasal dari modal sendiri maupun pinjaman. Secara empiris akses petani terhadap sumber modal dari lembaga perkreditan (terutama lembaga perkreditan formal) sangat rendah sehingga sebagian besar petani mengandalkan modal sendiri (swadana). Pendapatan rumah tangga petani bukan hanya berasal dari usahatani di lahan sawah tetapi juga dari usahatani di lahan lainnya, dari usaha ternak, dari berburuh tani, kegiatan ekonomi di luar pertanian, bahkan juga dari pendapatan yang diperoleh tanpa mencurahkan tenaga kerja (kiriman dari anggota keluarganya yang bekerja di di kota, dari pensiun, dan sebagainya).
120 Sebagian dari pendapatan tersebut dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, dan sebagian lainnya dialokasikan untuk usahatani. Dengan asumsi bahwa ketersediaan modal untuk usahatani berbanding lurus dengan surplus pendapatan, maka kemampuan permodalan petani dapat diproksi dari rasio total pendapatan terhadap total pengeluaran. Kemampuan permodalan usahatani diduga berpengaruh positif terhadap probabilitas berdiversifikasi pada komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi, tetapi berpengaruh negatif untuk berdiversifikasi pada komoditas pertanian yang tidak bernilai ekonomi tinggi. Variabel ini diduga juga berpengaruh positif terhadap partisipasi petani dalam pembayaran iuran irigasi. 4.5.4.4. Penguasaan lahan usahatani Terdapat tiga variabel penting yang tercakup dalam konteks penguasaan lahan yang diduga berpengaruh terhadap pola usahatani maupun partisipasi dalam pembayaran iuran irigasi. Ketiga variabel tersebut adalah: (1) luas garapan, (2) status garapan (milik versus bukan milik), dan (3) jumlah persil lahan garapan. Diduga luas garapan merupakan faktor positif terhadap probabilitas petani memilih pola tanam berdiversifikasi maupun maupun probabilitasnya untuk berpartisipasi aktif dalam iuran irigasi. Jumlah persil lahan garapan diduga merupakan faktor negatif terhadap probabilitas terhadap kedua hal tersebut di atas. Petani dengan status garapan milik diduga cenderung memilih pola tanam berdiversifikasi. Variabel ini diduga merupakan faktor positif pula untuk mendorong partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi. Konfigurasi lahan garapan berpengaruh terhadap efisiensi penggunaan tenaga kerja maupun efektivitas kontrol dalam pengelolaan usahatani. Secara teoritis, pengelolaan usahatani pada hamparan lahan garapan yang terkonsolidasi (tidak terpencar-pencar) relatif lebih mudah. Oleh karena itu, diduga semakin banyak jumlah persil sawah garapan semakin rendah probabilitas petani untuk memilih pola tanam berdiversifikasi. Variabel ini diduga juga berpengaruh negatif terhadap partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi.
121 4.5.4.5. Kontribusi usahatani di lahan sawah terhadap ekonomi rumah tangga Tidak banyak berbeda dengan petani Indonesia pada umumnya, sumber pendapatan rumah tangga petani di daerah pertanian beririgasi juga beragam. Per definisi, usahatani di lahan sawah merupakan salah satu sumber pendapatan yang selalu ada pada setiap rumah tangga petani lahan sawah. Meskipun demikian, kontribusinya beragam, tergantung dari jumlah pendapatan yang diperoleh dari usahatani di lahan sawah maupun pendapatan dari sumber lain. Secara teoritis, semakin luas lahan garapan usahataninya maka semakin besar kontribusi pendapatan yang dapat diperoleh dari lahan sawah. Diduga kontribusi pendapatan dari usahatani di lahan sawah merupakan faktor positif terhadap probabilitas petani untuk berdiversifikasi, baik diversifikasi dengan mengusahakan komoditas usahatani bernilai ekonomi tinggi maupun lainnya. Variabel ini diduga berpengaruh positif terhadap probabilitas petani untuk berpartisipasi lebih tinggi dalam membayar iuran irigasi. 4.5.4.6. Kontribusi pendapatan dari luar pertanian Kontribusi sektor luar pertanian dalam ekonomi rumah tangga petani cukup penting. Bahkan bagi sebagian besar rumah tangga yang luas garapan usahataninya sempit merupakan sumber pendapatan utama. Jika kontribusi pendapatan dari luar pertanian mencerminkan peranannya dalam ekonomi rumah tangga, maka variabel ini diduga merukapan faktor negatif terhadap probabilitas petani memilih pola tanam berdiversifikasi maupun terhadap probabilitas petani untuk berpartisipasi lebih baik dalam pembayaran iuran irigasi. 4.5.4.7. Karaktersitik rumah tangga petani Karakteristik rumah tangga petani yang diduga berpengaruh terhadap probabilitas petani dalam memilih pola tanam maupun tingkat partisipasi dalam iuran irigasi adalah: (1) jumlah anggota rumah tangga yang bekerja (termasuk yang statusnya hanya membantu) pada kegiatan usahatani di lahan sawah, (2) umur kepala keluarga rumah tangga petani, dan (3) tingkat pendidikan petani.
122 Jumlah anggota rumah tangga yang bekerja pada kegiatan usahatani diduga merupakan faktor positif. Umur kepala rumah tangga diduga merupakan faktor negatif, sedangkan tingkat pendidikan diduga merupakan faktor positif. 4.5.4.8. Akses lahan garapan terhadap saluran irigasi di blok tertier Di tingkat usahatani, akses lahan garapan terhadap saluran irigasi dimana pasokan air didistribusikan terutama ditentukan oleh posisi lahan garapan dari pintu tertier dan saluran kwarter. Sebenarnya ada faktor-faktor lain seperti kualitas saluran-saluran irigasi tersebut maupun topografi hamparan. Akan tetapi dalam penelitian ini data yang berhasil digali dengan baik adalah jarak lahan dari pintu tertier dan tingkat aksesibilitas (kualitatif) lahan terhadap saluran kwarter. Diduga semakin baik aksesibilitas lahan sawah garapan terhadap saluran irigasi semakin tinggi pula probabilitas petani untuk memilih pola tanam yang dianggap paling menguntungkan (berdiversifikasi). Jadi merupakan faktor positif. Kedua variabel tersebut diharapkan juga merupakan faktor positif terhadap tingkat partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi. 4.5.4.9. Tingkat kecukupan air irigasi Tingkat kecukupan air irigasi di suatu lahan garapan dipengaruhi oleh: (1) aksesibilitasnya terhadap saluran irigasi, (2) kondisi pasokan air irigasi di saluran tertier maupun kuarter, (3) posisi vertikal relatif lahan tersebut terhadap hamparan lahan garapan petani lain maupun permukaan air di saluran pemasok air irigasi, dan (3) sistem distribusi air irigasi. Ada dua variabel yang dapat digunakan sebagai proksi tingkat kecukupan air irigasi di lahan garapan yaitu: 1.
Luas lahan garapan yang sering mengalami kekurangan air. Ini diproksi dari luas (bagian) hamparan lahan yang pada musim kemarau-1 kebutuhan air irigasinya tidak dapat terpenuhi dari pasokan air irigasi permukaan. Diduga pangsa luas lahan cukup air irigasi merupakan faktor negatif terhadap probabilitas memilih pola tanam berdiversifikasi, tetapi merupakan faktor positif terhadap partisipasi petani dalam pembayaran iuran irigasi.
123 2.
Intensitas kekeringan. Ini diproksi dari durasi (berapa hari) lahan garapan tersebut tidak memperoleh pasokan air irigasi yang cukup sehingga petani harus menanggulanginya dengan cara lain, misalnya dengan menggunakan irigasi pompa. Diduga variabel ini merupakan faktor negatif terhadap probabilitas petani untuk berdiversifikasi, maupun partisipasi petani untuk membayar iuran irigasi yang berkualitas.
4.5.4.10. Kualitas lahan Kualitas lahan tidak hanya ditentukan oleh tingkat kecukupan air tetapi juga
kesuburannya, aksesibilitasnya terhadap prasarana transportasi dan
sebagainya. Di wilayah agraris, untuk tipe lahan yang sejenis maka kualitas lahan berkorelasi positif dengan harga lahan tersebut. Akan tetapi dalam penelitian ini data tentang harga lahan garapan tidak lengkap sebagian besar petani (hampir 50 persen) tidak dapat menaksir dengan baik harga lahan garapannya, sedangkan data harga lahan dari sistem administrasi desa tidak tersedia. Oleh karena itu, dalam penelitian ini kualitas lahan diproksi dari nilai pajak lahan tersebut. Diduga, nilai lahan merupakan faktor positif terhadap probabilitas petani dalam memilih pola tanam berdiversifikasi maupun tingkat partisipasi dalam pembayaran iuran irigasi.
4.6. Lokasi Penelitian dan Prosedur Pengambilan Contoh 4.6.1. Lokasi Penelitian Valuasi air irigasi membutuhkan data pasokan air irigasi yang terukur dengan baik dan data usahatani yang lengkap. Selain itu, aspek lain yang sangat penting dipertimbangkan adalah tingkat apresiasi petani terhadap peranan air irigasi. Apresiasi petani terhadap peranan air irigasi dapat dilihat dari pola tanam, pendayagunaan sumberdaya air untuk irigasi dan mekanisme alokasinya. Logikanya, pendekatan teori ekonomi untuk memecahkan masalah semakin relevan jika apresiasi petani terhadap sumberdaya tersebut lebih banyak berlandaskan pada pertimbangan-pertimbangan ekonomi. Berdasarkan pertimbangan itu maka lokasi penelitian adalah di Sistem Irigasi Teknis di Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas, Jawa Timur (lokasi Sub DAS contoh dapat disimak pada Lampiran 3). Sistem pemantauan pasokan air
124 irigasi sampai di pintu air tertier pada sistem irigasi teknis di lokasi ini dilakukan setiap sepuluh ("Dasarian"). Selain data debit, data lain yang dipantau adalah "data tanaman" yaitu luas tanam padi, palawija (jagung, kedele, dan sebagainya, serta tebu). Pencatatan data dilakukan oleh Aparat Seksi Cabang Pengairan dan kemudian dikumpulkan di Kantor Seksi Cabang Pengairan setempat. Luas DAS ini adalah 11800 Km2. Total lahan yang dapat diusahakan untuk pertanian (arable land) adalah 636 000 Ha. Sekitar 324 000 Ha diantaranya adalah lahan pertanian beririgasi (pesawahan) dimana 316 000 Ha diantaranya memperoleh pasokan utama air irigasi dari Sungai Brantas dan anak-anak sungainya. Dari segi ekonomi regional, kontribusi GDP wilayah yang tercakup di DAS Brantas terhadap total GDP Jawa Timur mencapai 65 persen (JICA, 1998).
4.6.2. Pengambilan Contoh Penarikan lokasi contoh dilakukan dengan prosedur berikut. Mula-mula DAS Brantas dibagi menjadi tiga wilayah yaitu Sub DAS Hulu (Upstream), Tengah (Middlestream) dan Hilir (Downstream). Tahap selanjutnya adalah: 1.
Menentukan wilayah irigasi (Daerah Irigasi) yang dapat mewakili kondisi irigasi di masing-masing Sub DAS.
2.
Menentukan Blok-blok Tertier contoh yang mewakili kondisi pasokan air irigasi (debit) dan pola tanam untuk masing-masing daerah irigasi tersebut.
3.
Menentukan contoh rumah tangga petani berdasarkan hasil sensus rumah tangga petani di masing-masing Blok Tertier contoh. Wilayah irigasi contoh di masing-masing Sub DAS adalah sebagai berikut.
Di Sub DAS Hulu adalah Lodoyo-Tulungagung (Lodoagung), Sub DAS Tengah adalah Mrican Kanan dan Mrican Kiri, sedangkan di Sub DAS Hilir adalah Delta Brantas (Gambar 10). Total jumlah blok tertier contoh ada 12. Jumlah di setiap Sub DAS adalah proporsional dengan luas wilayah irigasi dan populasi petani. Oleh karena itu jumlah Blok Tertier Contoh di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub DAS Hilir masing-masing adalah 3, 5, dan 4.
125
Laut Jawa
Laut Jawa Sidoarjo 28440 Ha
Malang 15801 Ha
Delta Brantas 27362 Ha
Gunung Sari dam
Kali Surabaya
Brantas Atas
Sungai Porong
12309 Ha
New Lengkong dam
Menturus 3392 Ha (Losari, Kedungsari, Wates-pinggir)
Jatimlerek 1716 Ha (Bebekan/ Keboan, Gottan, Jatimlerek) Bunder I 159 Ha
Jatikulon 619 Ha
Brantas Bawah
1407 Ha
Blobo dam
Mojoagung 23579 Ha Molek 3984 Ha
Munturus rubber dam
Pare 19772 Ha
Jombang 23595 Ha Jatimlerek rubber dam Bunder II 175 Ha
Blitar 32950 Ha
Mrican Kanan (16334 Ha )
Mojokerto 31545 Ha
Kepanjen 27216 Ha
Wlingi dam
Lodoagung
Kediri 30287 Ha
Mrican barrage Brantas Kiri Kediri (Besuk, Kedung Kudi, Pengkol) 534 Ha Nganjuk 38668 Ha
Mrican Kiri (12570 Ha)
Tulungagung 23404 Ha
Trenggalek 12373 Ha
: Lokasi pengambilan contoh Blok Tertier maupun rumah tangga petani
Gambar 10. Skema Irigasi di Daerah Irigasi Brantas dan lokasi penelitian
( 12321 Ha )
Surabaya 1469 Ha
Sungai Brantas
126 Rumah tangga petani didefinisikan sebagai rumah tangga yang mengusahakan komoditas pertanian, baik di lahan milik sendiri ataupun milik orang lain. Usahatani yang dianalisis adalah satu tahun kalender pertanian dengan referensi waktu: MT I 1999/2000 – MT III 2000. Prosedur penarikan contoh rumah tangga petani adalah sebagai berikut: 1.
Pada masing-masing blok tertier contoh dibuat kerangka contoh (sampling frame). Untuk itu keperluan itu, dilakukan sensus petani yang menggarap lahan di blok tertier contoh. Dalam sensus, data yang digali adalah identitas petani, luas garapan, lokasi lahan di blok tertier contoh, dan jenis komoditas yang diusahakannya selama satu tahun referensi waktu tersebut di atas.
2.
Pemilihan rumah tangga contoh. Ini dilakukan dengan metode acak berlapis (stratified random sampling). Dasar stratifikasi adalah luas sawah garapan dengan alasan luas garapan mempengaruhi perilaku rumah tangga petani dalam pengambilan keputusan petani dalam memilih pola tanam yang diterapkan. Batasan masing-masing strata adalah sebagai berikut: (1)
Lapis 1 (L1) : L1 Avg 12 ( StD )
(2)
Lapis 2 (L2) :
(3)
Lapis 3 (L3) :
Avg 12 (StD) L2 Avg 12 (StD) L3 Avg 12 ( StD)
dimana avg adalah rata-rata (arithmatic mean) luas garapan petani contoh, sedangkan std adalah galat bakunya. 3.
Selain stratifikasi menurut luas garapan, pemilihan rumah tangga contoh juga mempertimbangkan lokasi relatif lahan garapan petani (depan, tengah, belakang) terhadap pintu tertier yang merupakan sumber pasokan air irigasi ke hamparan sawah blok tertier contoh tersebut. Jumlah rumah tangga petani contoh di setiap blok tertier adalah 40.
Dengan demikian, jumlah rumah tangga petani contoh di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub DAS Hilir masing-masing adalah 120, 200, dan 160; sehingga untuk seluruh DAS terdapat 480 rumah tangga contoh (Tabel 9)
127 Tabel 9. Blok Tertier dan Rumah Tangga Contoh di Lokasi Penelitian Keterangan
Sub DAS Hulu
Sub DAS Tengah
Sub DAS Hilir
Sumber sadapan
Dam Wlingi
Bendung Gerak Mrican
Dam Lengkong
Wilayah irigasi contoh
Lodoyo-Tulungagung (12 321 Ha)
1. Mrican Kanan (16 334 Ha)
Delta Brantas (27 362 Ha)
Blok tertier contoh
1. RW 2.A
2. Mrican Kiri (12 570 Ha) a. Mrican Kanan (Bpp12 dan Bpp17
1. P 23
3. CD 1 Kiri
b. Mrican Kiri ( Kw 6, Kw 16, dan Kw 23).
3. Mg. 2 Kanan
Wilayah administratif
Tulungagung
Kediri dan Nganjuk
Sidoarjo
Jumlah petani contoh
120
200
160
2. NT Kanan
2. Pj. 5. LB 4. Kp. 16 Kiri
4.7. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey1. Data primer yang dikumpulkan terdiri atas: (1) data sosial ekonomi rumah tangga petani, dan (2) data usahatani dan kelembagaan pengelolaan irigasi di tingkat kelompok petani pengguna air irigasi (HIPPA). Instrumen penelitian untuk menggali data primer adalah kuesioner yang telah disempurnakan berdasarkan masukan dari hasil uji yang dilakukan pada saat survey pendahuluan. Data tersebut mencakup kondisi yang terjadi dalam satu tahun kalender pertanian (MT III 1999, MT I 2000, dan MT II 2000). Survey utama dilakukan pada Bulan Agustus - September 2000. Data sekunder dikumpulkan dari lembaga-lembaga terkait. Data pasokan air irigasi dan keadaan tanaman di lapangan diperoleh dari Cabang Seksi Pengairan dan arsip yang disimpan oleh Juru Pengairan (data "Dasarian") di lokasi penelitian terkait. Data Curah Hujan dan data-data lain yang relevan dikumpulkan dari Dinas Pengairan dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan di Kabupaten terkait. Pengumpulan data tersebut dilakukan secara bertahap selama survey pendahuluan yang dilakukan sebanyak 3 kali bersamaan dengan penentuan lokasi contoh. 1
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan sebagian data yang dikumpulkan dalam penelitian kerjasama antara Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian (PSE) – International Food Policy Research Institute (IFPRI) – Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) – Perum Jasa Tirta I (PJT I) yang berjudul "Irrigation Investment, Fiscal Policy, and Water Resource Allocation in Indonesia and Vietnam". Sebagai salah satu anggota Tim Penelitian tersebut, penulis disertasi ini merupakan kontributor utama dalam disain pengambilan contoh, pengembangan instrumen penelitian untuk pengumpulan data sosial ekonomi rumah tangga petani maupun kelompok P3A (HIPPA); dan secara penuh melakukan pengumpulan data di lapangan.