45
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan daerah tersebut dilakukan secara purposive berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan (2009) yang menyebutkan bahwa produksi rumput laut terbesar di Sulawesi Selatan adalah Kabupaten Takalar dengan produksi berasal dari Kepulauan Tanakeke yang berorientasi ekspor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni – September 2011. 4.2. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, baik data yang bersifat kualitatif maupun data yang bersifat kuantitatif. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan petani rumput laut serta beberapa narasumber yang terkait dengan bidang ini, pedagang perantara/pengumpul dan eksportir dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur (kuesioner) dan pengamatan langsung di lapangan.
Data sekunder
diperoleh dari literature-literatur yang relevan seperti buku, internet, Badan Pusat Statistik, Kementrian Kelautan dan Perikanan, Dinas Perikanan dan Kelautan Sulawesi Selatan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Balai Pengembangan Budidaya Rumput Laut Kabupaten Takalar, Bank Indonesia, perpustakaan IPB, serta instansi lain yang dapat membantu dan mendukung untuk ketersediaan data yang akan digunakan pada penelitian ini. 4.3. Metode Penentuan Sampel Petani yang dijadikan sebagai sampel dalam penelitian ini adalah petani yang membudidayakan rumput laut jenis Eucheuma cottoni di Kepulauan Tanakeke. Jumlah petani rumput laut yang membudidayakan jenis Eucheuma cottoni di Kepulauan Tanakeke secara keseluruhan berjumlah 538 orang yang tersebar di dua desa yaitu Desa Maccinibaji dan Mattirobaji, sehingga dari jumlah tersebut ditetapkan 93 sampel secara proporsional yang diambil dengan metode
46
acak sederhana (Simple Random Sampling).
Sedangkan pengambilan sampel
pedagang pengumpul ditentukan secara purposive
berdasarkan lembaga
pemasaran yang ada di Kepulauan Tanakeke sebanyak 4 orang dan 3 orang eksportir. 4.4. Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode analisis Policy Analysis Matrix (PAM) dengan pertimbangan bahwa dengan metode ini dapat menjawab tujuan yang ingin dicapai yaitu dapat diketahui keuntungan finansial dan ekonomi, daya saing melalui keunggulan komparatif dan kompetitif serta dampak kebijakan pemerintah terhadap keuntungan dan daya saing rumput laut di Kepulauan Tanakeke. Adapun tahapan yang dilakukan dalam penyusunan PAM ini antara lain : 1. Penentuan komponen fisik baik faktor input maupun faktor output secara lengkap dari aktivitas ekonomi rumput laut. 2. Mengklasifikasikan seluruh biaya ke dalam komponen domestik yaitu input yang dihasilkan di pasar domestik dan tidak diperdagangkan secara internasional dan komponen asing yaitu input yang dapat diperdagangkan di pasar internasional baik diekspor maupun diimpor. 3. Penentuan harga privat dan penafsiran harga bayangan (sosial) atas inputoutput. 4. Penyusunan budget privat dan budget sosial yang kemudian dipiosahkan ke dalam biaya input asing dan domestik privat, biaya input asing dan domestik sosial. Asumsi yang digunakan dalam analisis PAM adalah : 1. Harga yang terjadi dalam usahatani rumput laut merupakan harga rata-rata pada tingkat petani. 2. Harga pasar adalah harga yang benar-benar diterima petani yang telah dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah atau distorsi pasar. 3. Harga bayangan adalah harga pada kondisi pasar persaingan sempurna yang mewakili biaya imbangan sosial yang sesungguhnya. Pada kondisi tradable, harga bayangan adalah harga yang terjadi di pasar dunia.
47
4. Output bersifat tradable sedangkan input dapat dipisah berdasarkan faktor asing dan faktor domestik. 5. Eksternalitas dianggap sama dengan nol. 6. Nilai tukar resmi adalah nilai tukar rata-rata yang berlaku pada tahun 2010 yakni sebesar Rp. 9 062.12 per US Dollar. Matriks Analisis Kebijakan yang digunakan adalah model PAM yang dikembangkan oleh Monke and Pearson (1989) sebagai berikut : Biaya (Cost) Uraian
Penerimaan
Harga Privat
A
Harga Sosial
E
F
G
H
J
K
L
Dampak Kebijakan dan I Distorsi Pasar Sumber : Monke and Pearson, (1989) 4.4.1. 1.
Faktor Domestik C
Keuntungan
Tradable Input B
D
Analisis Indikator Matriks Kebijakan
Analisis Keuntungan a.
Analisis Keuntungan Privat (Private Profitability) Keuntungan Privat adalah selisih antara penerimaan dengan total biaya pada tingkat harga privat Keuntungan Privat (D) = A – (B + C) Dimana : D = Keuntungan Privat (Rp) A = Penerimaan/Pendapatan Privat (Rp) B = Biaya Input Tradable Privat (Rp) C = Biaya Faktor Domestik Privat (Rp) Apabila D > 0 maka usahatani rumput laut memperoleh profit di atas normal yang mempunyai implikasi bahwa rumput laut mampu berekspansi, kecuali apabila sumberdaya terbatas atau adanya komoditi alternatif yang lebih menguntungkan.
48
Apabila D < 0 maka usahatani rumput laut memperoleh profit yang negatif atau tidak menguntungkan b. Analisis Keuntungan Sosial (Social Profitability) Keuntungan Sosial adalah selisih antara penerimaan dengan total biaya pada tingkat harga sosial. Keuntungan Sosial (H) = E – (F + G) Dimana : H = Keuntungan Sosial (Rp) E = Penerimaan/Pendapatan Sosial (Rp) F = Biaya Input Tradable Sosial (Rp) G = Biaya Faktor Domestik Sosial (Rp) Apabila H > 0 dan nilainya makin besar, berarti usahatani rumput laut makin efesien dan mempunyai keunggulan komparatif yang tinggi. Apabila H < 0 dan nilainya makin kecil berarti usahatani rumput laut tidak efesien. 2.
Analisis Keunggulan Kompetitif dan Komparatif a.
Rasio Biaya Privat (Private Cost Ratio) Private Cost Ratio (PCR) adalah ratio antara Biaya domestik terhadap nilai tambah (nilai tambah adalah selisih antara penerimaan dengan biaya tradable) pada tingkat harga privat PCR = C / (A – B) Dimana : C = Biaya domestik pada tingkat harga privat A = Penerimaan pada tingkat harga privat B = Biaya tradable pada tingkat harga privat Apabila nilai PCR < 1 dan makin kecil, berarti usahatani rumput laut mampu membiayai faktor domestiknya pada harga privat (memiliki keunggulan kompetitif). Apabila PCR > 1 dan makin besar berarti usahatani rumput laut tidak memiliki keunggulan kompetitif.
b. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (Domestic Resource Cost Ratio)
49
Domestic Resource Cost Ratio (DRC) adalah ratio antara biaya domestik terhadap nilai tambah pada tingkat harga sosial. DRC = G / (E – F) Dimana : G = Biaya domestik pada tingkat harga sosial E = Penerimaan pada tingkat harga sosial F = Biaya tradable pada tingkat harga sosial Apabila DRC < 1 maka usahatani rumput laut mampu menghemat sumberdaya domestik yang digunakan untuk menghasilkan satu unit devisa (memiliki keunggulan komparatif). Apabila DRC > 1 maka usahatani runmput laut tidak memiliki keunggulan komparatif. 3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah a. Output Transfer Transfer Output (Output Transfer) adalah selisih antara penerimaan pada tingkat harga privat dengan penerimaan pada tingkat harga sosial. Transfer Output (I) = A - E Dimana : A = Penerimaan pada tingkat harga privat E = Penerimaan pada tingkat harga sosial Apabila nilai I > 0 menunjukkan adanya transfer (insentif) dari konsumen terhadap petani rumput laut.
Sehingga petani rumput laut menerima
harga lebih tinggi dari harga yang seharusnya. Apabila I < 0 atau negatif menunjukkan bahwa ada transfer sumberdaya dari petani ke konsumen sehingga harga yang diterima petani lebih murah. b. Nominal Protection Coefficient on Tradable Output (NPCO) Nominal Protection Coefficient on Tradable Output (NPCO) adalah rasio antara penerimaan pada tingkat harga privat dengan penerimaan pada tingkat harga sosial. NPCO = A / E
50
Apabila NPCO > 1 berarti kebijakan bersifat protektif terhadap output atau pemerintah menaikkan harga output di pasar domestik di atas harga efesiennya (harga dunia). Apabila NPCO < 1 berarti kebijakan pemerintah bersifat disprotektif terhadap output yang menyebabkan harga output di pasar domestik lebih murah disbanding harga dunia. c. Transfer Input (TI) Transfer Input (TI) adalah selisih antara biaya tradable pada tingkat harga privat dengan biaya tradable pada tingkat harga sosial TI (J) = B – F Dimana : B = Biaya tradable pada tingkat harga privat F = Biaya tradable pada tingkat harga sosial Apabila TI > 0, menunjukkan besarnya transfer (insentif) dari petani rumput laut kepada produsen input tradable. Apabila TI < 0 menunjukkan besarnya transfer dari produsen input tradable kepada petani sehingga harga input yang diperoleh lebih murah. d. Nominal Protection Coefficient on Tradable Input (NPCI) Nominal Protection Coefficient on Tradable Input (NPCI) adalah rasio antara biaya tradable pada tingkat harga privat denga biaya tradable pada tingkat harga sosial. NPCI = B / F Apabila NPCI < 1 berarti pemerintah menurunkan harga input tradable di pasar domestik di bawah harga efesiennya sehingga petani membeli input tradable lebih murah.
Demikian pula sebaliknya apabila NPCI > 1
berarti pemerintah menaikkan harga input tradable di pasar domestik di atas harga efesiensinya. Sehingga petani rumput laut membeli harga input tradable lebih mahal. e. Transfer Faktor (TF) Transfer Faktor (TF) adalah selisih antara biaya domestik pada tingkat harga privat dengan biaya domestik pada tingkat harga sosial. TF (K) = C – G
51
Dimana : C = Biaya domestik pada tingkat harga rpivat G = Biaya domestik pada tingkat harga sosial Apabila TF > 0 berarti ada kebijakan pemerintah yang melindungi produsen faktor domestik pemberian subsidi positif. Apabila TF < 0 atau negatif berarti ada kebijakan pemerintah yang berpihak kepada petani rumput laut. f. Efective Protection Coefficient (EPC) Efective Protection Coefficient (EPC) adalah rasio antara nilai tanbah pada tingkat harga privat dengan nilkai tanmbah pada tingkat harga sosial. EPC = (A – B) / (E – F) Dimana : (A – B) = Nilai tambah pada tingkat harga privat atau selisih antar penerimaan dengan biaya tradable pada tingkat harga privat (E – F) = Nilai tambah pada tingkat harga sosial atau selisih antar penerimaan dengan biaya tradable pada tingkat harga sosial Apabila EPC > 1, berarti pemerintah menaikkan harga output atau input yang diperdagangkan di atas harga efesiensinya. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah melindungi petani rumput laut berjalan secara efektif. Demikian pula sebaliknya jika EPC < 1 berarti kebijakan pemerintah tidak berjalan efektif. g. Transfer Bersih (TB) Transfer Bersih
(TB) adalah selisih antara keuntungan bersih pada
tingkat harga privat dengan keuntungan bersih pada tingkat harga sosial. TB (L) = D – H Dimana : D = Keuntungan Privat atau financial H = Keuntungan Sosial atau ekonomi
52
Apabila TB > 0, menunjukkan tambahan surplus petani rumput laut yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output, demikian pula sebaliknya jika TB < 0 menunjukkan penurunan surplus petani rumput laut yang disebabkan oleh penerapan kebijakan pemerintah terhadap input-output. h. Koefisien Keuntungan (Profitability Coefficient, PC) Profitability Coefficient (PC) adalah rasio antara keuntungan pada tingkat harga privat dengan keuntungan pada tingkat harga sosial. PC = D / H Apabila PC > 1, berarti secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberi insentif pada petani rumput laut. Akan tetapi jika PC < 1, maka kebijakan pemerintah membuat keuntungan yang diterima petani rumput laut lebih kecil dibandingkan tanpa ada kebijakan. i. Rasio Subsidi Bagi Produsen (Subsidy Ratio to Producer, SRP) Subsidy Ratio to Producer (SRP) adalah rasio antara transfer bersih dengan penerimaan pada tingkat harga sosial. SRP = L / E Dimana : L = Transfer Bersih E = Penerimaan pada tingkat harga sosial Apabila SRP < 0 atau bernilai negatif menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan petani mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari biaya sosial untuk berproduksi dan sebaliknya jika SRP > 0 atau positif berarti petani mengeluarkan biaya produksi lebih kecil dari opportunity cost. 4.4.2.
Metode Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing Menurut Monke dan Pearson (1989) ada dua pendekatan yang digunakan
untuk mengalokasikan biaya ke dalam komponen domestik dan asing yaitu pendekatan total (Total Approach) dan pendekatan langsung (Direct Approach). Pendekatan total mengasumsikan setiap biaya input tradable dibagi ke dalam komponen biaya domestik dan asing dan penambahan input tradable dapat
53
dipenuhi dari poduksi domestik jika input tersebut mempunyai kemungkinan untuk
diproduksi
di dalam negeri.
Sedangkan pendekatan langsung
mengasumsikan seluruh biaya input yang dapat diperdagangkan (input tradable) baik impor maupun produksi dalam negeri dinilai sebagai komponen biaya asing dan dapat dipergunakan apabila tambahan permintaan input tradable tersebut dapat dipenuhi dari perdagangan internasional.
Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan total karena dianggap tepat untuk digunakan dalam menganalisis dapak kebijakan dan memperkirakan biaya ekonomi
(biaya
sosial)
dalam
analisis
keunggulan
komparatif
dengan
mengalokasikan biaya ke dalam komponen asing (tradable) dan domestik (non tradable). Penentuan komponen biaya asing dan domestik dapat dilihat pada Lampiran 8. 4.4.3. Penentuan Harga Bayangan Penentuan harga pada input dan output yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua tingkat harga yaitu harga pasar (harga privat atau harga aktual) dan harga bayangan (harga sosial atau harga ekonomi).
Harga pasar adalah
tingkat harga yang diterima petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke dalam penjualan hasil produksinya atau tingkat harga yang dibayar dalam pembelian faktor produksi. Menurut Gittinger (1986), perhitungan harga bayangan dapat dilakukan dengan mengeluarkan distorsi akibat adanya kebijakan pemerintah seperti subsidi, pajak, penentuan upah minimum, harga pembelian pemerintah dan lain-lain. Harga bayangan dalam penelitian ini adalah harga bayangan output (hasil rumput laut kering) dan harga bayangan input seperti tali rafia, solar, tenaga kerja, peralatan dan nilai tukar rupiah.
Komoditas yang tradable, harga bayangan
output usahatani rumput laut yang merupakan komoditi ekspor didekati dengan harga FOB (Free on Board) yaitu harga di pelabuhan ekspor dalam penelitian ini adalah pelabuhan Soekarno-Hatta di Makassar.
54
4.4.3.1. Harga Bayangan Output Komoditi rumput laut yang dihasilkan oleh petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke merupakan komoditi ekspor sehingga harga bayangan output yang digunakan adalah harga FOB (Free on Board) di pelabuhan ekspor (pelabuhan acuan yaitu pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar) yang dikonversi dengan SER (Shadow Exchange Rate) dikurangi dengan biaya tataniaga (transportasi dan penanganan) dari pelabuhan ke Kepulauan Tanakeke, sehingga dihasilkan harga paritas ekspor di tingkat petani. Komoditi rumput laut kering yang dihasilkan di Kepulauan Tanakeke merupakan komoditi yang berorientasi ekspor.
Penentuan FOB dapat dihitung
dari harga CIF rumput laut di negara pengimpor dikurangi dengan biaya asuransi dan pengapalan (Insurance and Freight). Diketahui bahwa harga CIF rumput laut di pasar internasional China adalah sebesar 1 287 US Dollar per Ton. Biaya asuransi dan pengapalan (Insurance and Freight) rumput laut dari China ke Indonesia ditentukan dari besarnya pajak yang harus dikeluarkan berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal Pajak yaitu 10 persen dari harga CIF untuk komoditas yang berasal dari Asia yang Non-Asean adalah sebesar 128 US Dollar per Ton, sehingga harga FOB rumput laut di Indonesia adalah sebesar 1 159 US Dollar per Ton.
Nilai tersebut kemudian dikonversikan dengan nilai tukar
bayangan (SER) sebesar Rp 9 062.12 per US Dollar. Hasil tersebut kemudian dikurangi dengan biaya transportasi dan bongkar muat di Pelabuhan Makassar, sehingga didapatkan harga paritas ekspor tingkat pedagang besar sebesar Rp 9 461 per Kilogram. Terakhir biaya tersebut dikurangi dengan biaya distribusi ke tingkat petani sebesar Rp 1 810 per Kilogram, sehingga diperoleh harga paritas ekspor di tingkat petani sebesar Rp 7 651 per Kilogram.
Perhitungan harga
paritas ekspor di tingkat petani dapat dilihat pada Lampiran 10. 4.4.3.2. Harga Bayangan Tenaga Kerja Menurut Pearson and Gotsch (2005), menyatakan bahwa peneliti tidak banyak menemukan divergensi yang mempengaruhi pasar tenaga kerja di Indonesia. Hal ini disebabkan karena ketentuan upah minimum tidak berlaku di
55
sektor pertanian. Menurut Gittinger (1986), tenaga kerja di pedesaan umumnya bukan merupakan tenaga ahli dan kenyataan masih adanya pengangguran. Sehingga dalam penelitian ini pengukuran harga bayangan tenaga kerja menggunakan pendekatan produk marginal dimana produk marginal sebenarnya masih dapat ditingkatkan, sehingga tingkat upah bayangan diduga lebih rendah dari upah aktual. Tingkat upah bayangan adalah tingkat upah aktual di Kepulauan Tanakeke dikali persentase penduduk yang bekerja di Kabupaten Takalar. Secara umum pengukuran harga bayangan tenaga kerja didasarkan pada formulasi sebagai berikut : HB Upah Tenaga Kerja = (100% - % pengangguran) X HA Upah Tenaga Kerja dimana : HB = Harga Bayangan HA = Harga Aktual Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Takalar (2010) dengan adanya pengangguran sebesar 8 persen, maka harga bayangan sosial adalah 92 persen dari tingkat upah yang berlaku di daerah penelitian.
Tingkat upah aktual yang berlaku adalah Rp 2 500 per HOK.
Sehingga harga bayangan tenaga kerja adalah Rp 2 300 per HOK. 4.4.3.3. Harga Bayangan Bibit Rumput Laut Harga bayangan untuk benih rumput laut didekati dengan harga aktualnya. Hal ini disebabkan karena bibit yang digunakan oleh petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke pada umumnya adalah bibit lokal, sehingga harga bayangan sama dengan harga pasarnya (harga di Kepulauan Tanakeke). 4.4.3.4. Harga Bayangan Sarana Produksi dan Peralatan Penentuan harga bayangan sarana produksi dan peralatan didasarkan pada harga border price untuk input tradable dan harga domestik untuk input non tradable. Dalam penelitian ini yang termasuk input tradable adalah tali rafia dan solar, sedangkan bibit dan peralatan yang digunakan termasuk ke dalam input non tradable.
56
Harga bayangan tali rafia merupakan harga beli di lokasi penelitian (harga pedagang pengumpul/toko saprodi setempat). Hai ini didasari asumsi bahwa border price hanya pada komponen atau bahan baku pembuatan tali rafia tersebut, sehingga sulit untuk menentukan harga bayangan border price untuk bahan baku. Selain itu, tali rafia merupakan input sarana produksi yang tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah, sehingga harga jual dilepas ke mekanisme pasar (pasar bebas). Untuk itu harga sosial (harga bayangan) sama dengan harga privatnya (harga aktualnya). Biaya tali rafia terdiri dari tradable dan non tradable, dimana sebagian bahan bakunya adalah impor, maka ditetapkan 20 persen dihitung sebagai komponen tradable dan 80 persen non tradable. Harga bayangan untuk peralatan digunakan harga pasar dengan pertimbangan tidak ada kebijakan pemerintah yang mengatur secara langsung, sehingga distorsi pasar yang terjadi persaingan sempurna.
amat kecil atau pasar mendekati pasar
Sementara dalam perhitungan analisis ekonomi dan
finansial, nilai harga yang dimasukkan adalah nilai penyusutan dari masingmasing peralatan berdasarkan umur ekonomisnya. 4.4.3.5. Harga Bayangan Nilai Tukar Rupiah Harga bayangan nilai tukar uang
adalah harga uang domestik dalam
kaitannya dengan mata uang asing yang terjadi pada pasar nilai tukar uang pada kondisi persaingan sempurna (Suryana, 1980).
Salah satu pendekatan untuk
menghitung harga bayangan nilai tukar uang adalah harga bayangan harus berada pada tingkat keseimbangan nilai tukar uang. Keseimbangan nilai tukar uang dapat dihitung menggunakan Standard Conversion Factor (SCF) sebagai faktor koreksi terhadap nilai tukar resmi yang berlaku. Squire dan Van Der Tak (1982) dalam Gittinger (1986) menggunakan formula sebagai berikut :
SERt =
OERt SCFt
Dimana : SERt : Nilai Tukar Bayangan (Rp/US$) OERt : Nilai Tukar Resmi (Rp/US$) SCFt : Faktor Konversi Standar
57
Nilai faktor konversi standar yang merupakan rasio dari nilai impor dan ekspor ditambah pajaknya dapat ditentukan sebagai berikut : Xt + Mt (Xt – Txt) + (Mt + Tmt)
SCFt = Dimana : SCFt Xt Mt Txt Tmt
: Faktor konversi standar untuk tahun ke-t : Nilai ekspor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp) : Nilai impor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp) : Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor untuk tahun ke-t (Rp) : Penerimaan pemerintah dari pajak impor untuk tahun ke-t (Rp)
Harga bayangan
nilai
tukar dihitung berdasarkan metode Squire dan
Van Der Tak yaitu besarnya nilai ekspor tahun 2010 senilai Rp 1 423.505 milyar, nilai impor senilai Rp 1 223.97 milyar, pajak ekspor sebesar
Rp 8 030 milyar
dan pajak impor sebesar Rp 19 760 milyar (BPS, 2010). Sehingga diperoleh nilai SER sebesar Rp 9 062.12. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 9. Berdasarkan uraian di atas, komponen input dipisahkan antara komponen tradable dan komponen non tradable (domestik), maka metode penentuan harga bayangan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Metode Pendekatan Penentuan Harga Privat dan Sosial Usahatani Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke, 2011 No.
Uraian
Harga Privat
Harga Bayangan Sosial Harga perbatasan FOB. Harga Bayangan Rumput Laut = (FOB X SER) – Biaya transportasi dan penanganan dari pelabuhan ke tempat penelitian (Pearson et all, 2005) Sama dengan harga privat Sama dengan harga privat Sama dengan harga privat Berdasarkan konsep produk marginal (Gittenger, 1986) mempertimbangkan tingkat pengangguran 8 persen sehingga 92 persen dari upah aktual
1
Output
Harga yang berlaku di pasaran
2
Bibit
3 4
Tali Rafia Solar
Harga yang berlaku di pasaran Harga yang berlaku dipasaran Harga yang berlaku dipasaran
5
Tenaga Kerja
Tingkat upah yang berlaku di daerah penelitian
6
Biaya Peralatan
Biaya penyusutan peralatan
Sama dengan harga privat
7
Nilai Tukar
Nilai tukar yang berlaku pada saat penelitian berlangsung
Keseimbangan nilai tukar uang yang didekati dengan menggunakan SCF (Standar Conversion Factor)
58
Berdasarkan uraian di atas mengenai harga bayangan, maka nilai harga bayangan dan harga privat dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5.
No.
Justifikasi Nilai Harga Bayangan (Sosial) dan Harga Privat Usahatani Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke, 2011. Uraian
Satuan
Harga Privat
Harga Bayangan Sosial
1
Output
Rp/Kg
7 396.18
7 651
2
Bibit
Rp/Kg
3 000
3 000
3
Tali Rafia
Rp/Kg
15 000
15 000
4
Tenaga Kerja
Rp/HOK
2 500
2 300
5
2 465 813
2 465 813
6
Penyusutan Peralatan Solar
Rp/L
4 500
4 500
7
Nilai Tukar
Rp
9 022.14
9 062.12
Rp
4.5. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat bagaimana hasil analisis suatu usahatani rumput laut bila terjadi perubahan terhadap input maupun output. Perubahan ini dapat mempengaruhi penerimaan dan biaya petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke. Analisis sensitivitas pada penelitian ini dilakukan dengan mengubah besarnya produksi dan harga rumput laut.
Penetapan besarnya perubahan-
perubahan tersebut didasarkan atas asumsi-asumsi sebagai berikut : 1.
Fluktuasi harga rumput laut sebesar 16 persen per tahun ditetapkan berdasarkan kondisi fluktuasi harga yang terjadi di tempat penelitian.
2.
Perubahan besarnya produksi rumput laut sebesar 30 persen.