12
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Cagar Alam Sukawayana, Desa Cikakak, Kecamatan
Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Waktu
penelitian dibagi dua, yaitu pengambilan data lapang selama bulan Juni 2009, dan pengolahan data lapang selama bulan Juli 2009. 4.2. Alat dan Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah alkohol 70%, sampel daun, karung plastik, tali plastik, kamera digital, kertas koran, parang, penggaris, pita ukur diameter, kompas, field guide tumbuhan, thermohygrometer, hagameter, tally sheet, sasak, global positioning system (GPS), fluxmeter, dan alat tulis. 4.3. Batasan Penelitian Lingkup penelitian adalah mengkaji aspek ekologi rotan beula di CA Sukawayana, Sukabumi melalui data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui kajian terhadap: 1. Faktor biotik: jumlah individu tiap rumpun rotan beula, diameter batang rotan beula, jumlah spesies dan jumlah individu satwaliar, data vegetasi lain yang ada lokasi pengamatan, dan aktivitas masyarakat sekitar CAS terhadap kelestarian CAS pada umumnya dan terhadap rotan beula pada khususnya. 2. Faktor fisik: suhu, kelembaban udara relatif, intensitas cahaya, arah lereng, kelerengan, kedalaman serasah, pH tanah dan kondisi tanah. Data sekunder yang dikumpulkan yaitu hasil wawancara secara langsung terhadap masyarakat sekitar CAS atau data dari literatur-literatur yang relevan.
13 4.4. Metode Pengambilan Data 4.4.1. Penetapan Plot Contoh Plot-plot contoh ditetapkan secara terarah dengan metode purposive sampling. Pengukurannya dilakukan di tempat-tempat yang terdapat individu atau rumpun rotan beula. 4.4.2. Bentuk dan Ukuran Plot Contoh Plot contoh yang dibuat di lapangan berbentuk lingkaran dengan luas tiap bagiannya adalah A = 0,001 ha (jari-jari, r1 =1,784 meter), B = 0,01 ha (jari-jari, r2 = 5,7 meter), dan C = 0,1 ha (jari-jari, r3 = 17,84 meter). Bentuk dan ukuran plot contoh seperti disajikan pada Gambar 2 dan Tabel 3.
Gambar 2 Bentuk plot contoh lingkaran yang digunakan untuk mengetahui struktur dan komposisi spesies vegetasi habitat rotan beula.
Tabel 3. Kriteria tingkat pertumbuhan dalam analisis vegetasi Tingkat Pertumbuhan
Kriteria Vegetasi
Pohon (Tree), Tiang (Pole) dan liana Pancang (Sapling) dan semak Semai (Seedling) dan tumbuhan bawah
Diameter batang setinggi dada 20 cm atau lebih. Diameter batang setinggi dada dengan 10 cm < Ø < 20 cm Permudaan dengan tinggi > 1,5 cm sampai anakan berdiameter batang < 10 cm. Permudaan dari kecambah sampai tinggi < 150 cm/tumbuhan yang ketika dewasa tidak akan setara atau di bawah tinggi pohon.
Sumber: Soerianegara & Indrawan (1998).
Ukuran Plot (ha) 0,1 0,1 0,01 0,001
14 4.4.3. Komposisi Rotan Beula Data yang dikumpulkan dari setiap plot contoh yang berukuran 0,1 ha dan terdapat rotan beula di dalamnya adalah berdasarkan pencacahan kondisi populasi individunya yaitu jumlah individu anakan (tinggi < 1 meter), muda (tinggi 1-2 meter), dan tua (tinggi > 2 meter) rotan beula pada setiap rumpun. 4.4.4. Komposisi Vegetasi Analisis vegetasi dilakukan terhadap tumbuhan lain, yang ada di sekitar rumpun rotan beula. Hasil analisis vegetasi tersebut diperlukan untuk mengetahui struktur dan komposisi spesies vegetasi habitat rotan beula. Data yang dikumpulkan adalah nama spesies, diameter setinggi dada, dan jumlah individu, frekuensi perjumpaan jenis dan tinggi total pohon. 4.4.5. Jenis Satwaliar Pengamatan bertujuan untuk mengetahui jumlah dan jenis satwa yang berinteraksi dengan rotan beula. Pelaksanaannya dilakukan dengan cara pengamatan secara langsung aktivitas atau melalui jejak yang ditinggalkan satwa dan berpengaruh terhadap perkembangan serta penyebaran rotan beula di tempat tumbuhnya. Adapun parameter yang diamati meliputi jenis satwa, jumlah satwa dan aktivitasnya. Metode yang digunakan adalah penghitungan konsentrasi (concentration count) dengan lama pengamatan 10 menit. Metode penghitungan konsentrasi menurut Alikodra (1980) diacu dalam Fachrul (2007) yaitu metode yang dilakukan untuk inventarisasi spesies satwa dengan anggapan satwa tersebut dapat berkumpul pada saat tertentu. 4.4.6. Aktivitas Manusia Aktivitas manusia yang diamati di lapangan yaitu aktivitas manusia secara langsung atau yang tidak langsung berpengaruh terhadap keberadaan rotan beula. Parameter yang diambil dari. data ini yaitu jejak-jejak manusia baik bekas melukai, memanen dan lain-lain. Adapun informasi yang dikumpulkan dari masyarakat sekitar CA Sukawayana terkait rotan beula yaitu cara pemungutan, waktu pemungutan,
15 jumlah yang dipungut, penggunaan rotan beula setelah dipungut dan skala komersialnya jika ternyata rotan tersebut dijualbelikan. 4.4.7. Kemiringan Tempat (Kelerengan) Pengukuran kemiringan tempat (kelerengan) menggunakan clinometer pada setiap plot contoh. Besar kelerengan dinyatakan dalam persen (%). Kelerengan maksimal yaitu 100% (450). 4.4.8. Arah Kelerengan Pengukuran arah kelerengan menggunakan kompas pada setiap plot contoh. Parameter ini diukur untuk mengetahui kebutuhan dan sifat rotan beula terhadap sinar matahari. Besaran arah kelerengan dinyatakan dalam derajat (0). 4.4.9. Kondisi Tanah Data mengenai kondisi tanah yang akan diambil dari lokasi penelitian yaitu unsur kimia tanah, kandungan pH tanah, jenis tanah, struktur tanah dan tekstur tanah. 4.4.9.1. Unsur Kimia Tanah Khusus mengenai kimia tanah yang berhubungan dengan pertumbuhan suatu vegetasi, O’Hare (1994) menyatakan bahwa dari 92 bahan kimia dasar yang terdapat di alam, kurang dari 20 bahan kimia tersebut merupakan bahan yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan tanaman dan dari jumlah tersebut diklasifikasikan lagi sesuai jumlah yang dibutuhkan oleh tumbuhan. Unsur kimia tanah yang dibutuhkan oleh tumbuhan diantaranya terdiri dari unsur hara makro tanah, unsur hara mikro tanah, dan unsur kimia lainnya. Novizan (2002) menyatakan bahwa unsur hara yang diserap oleh tumbuhan dari dalam tanah terdiri dari tiga belas (13) unsur mineral, atau sering disebut unsur hara esensial (Unsur hara makro: nitrogen [N], phosphor [P], kalium [K], kalsium [Ca], magnesium [Mg], dan sulfur [S]; Unsur hara mikro: besi [F], seng [Zn], tembaga [Cu], mangan [Mn], boron [B], molibdenum [Mo], dan khlor [Cl]). Unsur hara makro adalah unsur hara yang diperlukan tanaman dalam jumlah besar (Novizan 2002). Unsur hara tanah yang akan diambil dari lapangan dan diuji di
16 laboratorium yaitu unsur hara makro karena dibutuhkan dalam jumlah besar oleh tumbuhan. Kandungan unsur kimia tanah lainnya yang akan diambil dari lapangan yaitu kandungan unsur natrium (Na). Kandungan unsur natrium diambil dari lapangan karena lokasi penelitian termasuk daerah yang dekat dengan pantai. Novizan (2002) menyatakan di daerah kering atau di daerah dekat pantai, pH tanah dapat mencapai di atas sembilan (9) karena banyak mengandung garam natrium (Na). Analisis sampel tanah utuk mengetahui kandungan kimianya dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Sampel tanah diambil dari lobang yang dibuat dengan kedalaman 0-25 cm pada setiap plot contoh. 4.4.9.2. Kandungan pH Tanah Kodisi tanah terkait pH yang dikandungnya, Novizan (2002) menyatakan bahwa terdapat tiga alasan pH tanah penting diketahui, yaitu 1) pH tanah dapat menentukan mudah atau tidaknya ion-ion unsur hara diserap oleh tanaman, 2) derajat keasaman tanah atau pH tanah juga menunjukkan keberadaan unsur-unsur yang bersifat racun bagi tanaman, dan 3) pH tanah sangat mempengaruhi mikroorganisme yang ada dalam tanah. 4.4.9.3. Kedalaman Serasah Data kedalaman diambil dari lokasi penelitian karena berhubungan dengan ketebalan bahan organik. Ketebalan bahan organik sangat menentukan kemampuan tanah organik dalam menyokong pertumbuhan tanaman (Abdullah 2003). Pengukuran kedalaman serasah dimulai dari permukaan tanah sampai bahan mineral tanah dengan menggunakan penggaris. 4.4.9.4. Jenis, Tekstur, dan Struktur Tanah Jenis, tekstur dan struktur tanah akan diuji di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas
17 Pertanian Institut Pertanian Bogor. Sampel tanah akan diambil dari setiap plot contoh yang ada di lokasi penelitian. 4.4.10. Suhu Udara Suhu adalah derajat panas atau dingin yang diukur berdasar skala tertentu dengan menggunakan termometer (Kartasapoetra 2006). Pengamatan suhu atau temperatur udara dilakukan dengan mengukur suhu lingkungan sekitar rumpun rotan beula menggunakan thermohygrometer. Pencatatan suhu udara dilakukan pada plot-plot yang dibuat. Pengukuran dilakukan pada pagi hari (pukul 06.30 WIB), siang hari (pukul 13.00 WIB), dan sore hari (pukul 17.30 WIB). Perhitungan suhu udara harian menggunakan rumus (Handoko, 1993): T-harian =
[2 (t pagi) + (t siang) + (t sore)] 4
4.4.11. Kelembaban Udara Relatif Wisnubroto (1983) menyatakan bahwa kelembaban udara relatif adalah perbandingan antara uap air yang betul-betul ada di udara dengan jumlah uap air dalam udara tersebut, sehingga jika pada temperatur dan tekanan yang sama udara tersebut jenuh dengan uap air. Kelembaban udara relatif diukur dengan thermohygrometer. Pengukuran dilakukan pada pagi hari (pukul 06.30 WIB), siang hari (pukul 13.00 WIB) dan sore hari (pukul 17.30 WIB) hari. Perhitungan kelembaban udara (RH) harian menggunakan rumus (Handoko, 1993): RH-harian =
[2 (RH pagi) + (RH siang) + (RH sore)] 4
4.4.12. Intensitas Cahaya Intensitas cahaya atau intensitas radiasi matahari merupakan absorpsi energi matahari dalam satuan per cm2/menit (Kartasapoetra 2006). Pengukuran intensitas cahaya dilakukan dengan menggunakan fluxmeter. Pengukuran dilakukan pada pagi hari (pukul 06.30 WIB), siang hari (pukul 13.00 WIB), dan
18 sore hari (pukul 17.30 WIB). Pengukuran intensitas cahaya dilakukan pada tiap plot contoh. Intensitas cahaya =
[2 (Cahaya pagi) + (Cahaya siang) + (Cahaya sore)] 4
4.5. Pengolahan dan Analisis Data 4.5.1. Struktur dan Komposisi Spesies Vegetasi di Habitat Rotan Beula Struktur dan komposisi spesies vegetasi dianalisis dengan menggunakan indeks nilai penting (INP). INP untuk tingkat pohon dan tiang merupakan penjumlahan kerapatan relatif (KR), dominasi relatif (DR), dan frekuensi relatif (FR), sedangkan penghitungan INP untuk tingkat pancang dan semai merupakan penjumlahan dari KR dan FR. Besaran-besaran tersebut diperoleh dari pengukuran yang dilakukan dan menggunakan penghitungan sebagai berikut (Soerianegara & Indrawan, 1998): Kerapatan suatu spesies (K) =
Jumlah individu suatu spesies Luas petak kajian
Frekuensi suatu spesies (F) =
Jumlah petak ditemukan suatu spesies Jumlah seluruh petak
Dominansi suatu spesies (D) =
Luas bidang dasar suatu spesies Luas petak kajian
Kerapatan relatif suatu spesies (KR) =
Kerapatan suatu spesies Kerapatan seluruh spesies
x100%
Frekuensi relatif suatu spesies (FR) =
Frekuensi suatu spesies Frekuensi seluruh spesies
x100%
Dominansi relatif suatu spesies (DR) =
Dominansi suatu spesies Dominansi seluruh spesies
x100%
Indeks Nilai Penting (INP) untuk tumbuhan bawah, semai, dan pancang: INP = KR + FR Indeks Nilai Penting (INP) untuk tingkat tiang dan pohon: INP = KR + FR + DR
19 4.5.2. Keanekaragaman Spesies Tumbuhan Penentuan keanekaragaman spesies tumbuhan dapat dilakukan dengan cara menggunakan pendekatan terhadap indeks keragaman (Shannon-Wiener Index), indeks kekayaan (Margalef Index), dan indeks kemerataan (Eveness Index) (Ludwig 1988). 4.5.2.1. Keanekaragaman Spesies Indeks yang digunakan untuk menentukan keanekaragaman spesies tumbuhan adalah indeks Shannon-Wieners, dengan formula sebagai berikut (Ludwig 1988):
H ' = −∑ Pi. ln Pi ;
Pi =
INP spesies ke-i Jumlah total INP
Keterangan: H’ = Indeks Keanekaragaman Spesies Pi = Proporsi Nilai Penting Ln = Logaritma Natural 4.5.2.2. Kekayaan Spesies Tumbuhan (Species Richness) Kekayaan spesies dalam plot-plot pengamatan dapat menggunakan pendekatan dengan Indeks Diversitas Margalef (1958). Indek Diversitas Margalef (1958) dirumuskan sebagai berikut (Magurran 1988):
DMg =
S −1 ln n
Keterangan: DMg = Indeks Kekayaan Margalef S = Jumlah Spesies n = Jumlah Individu
20 4.5.2.3. Indeks Kemerataan (Eveness) Derajat kemerataan kelimpahan individu antara setiap spesies dapat ditentukan dengan menggunakan indeks kemerataan spesies tumbuhan (Magurran, 1988). Indeks kemerataan spesies tumbuhan dirumuskan sebagai berikut (Ludwig 1988):
E1 =
H' ln(S )
Keterangan: = Nilai Eveness (0-1) E1 H’ = Indeks Keragaman Shannon-Wiener ln(S) = Logaritma natural dari Jumlah Spesies 4.5.3. Analisis Faktor-faktor Ekologi Untuk mengetahui hubungan antara rotan beula dengan faktor-faktor ekologinya dilakukan analisis regresi. Analisis regresi tersebut berguna untuk meramalkan hubungan antara peubah (variable) bebas (X) dan tidak bebas (Y). Analisis regresi tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan suatu persaman regresi. Sesuai dengan Walpole (1995) bahwa persamaan regresi merupakan matematik yang memungkinkan untuk meramalkan nilai-nilai suatu peubah terikat dari nilai-nilai satu atau lebih peubah bebas. Peubah bebas tersebut terdiri dari faktor penyusun dari kondisi biotik, fisik dan interaksi manusia. Bentuk analisis regeresi secara umum adalah:
Y = b0 + b1 X 1 + b2 X 2 + ... + b18 X 18 + ε Keterangan: Y = Kelimpahan rotan beula (Jumlah individu/hektar) b0 = Intersep b1 - b18 = Koefisien variabel regresi ε = Error = Kerapatan vegetasi tingkat pohon (Jumlah individu/1.000 m2) X1 X2 = Kerapatan vegetasi tingkat tiang (Jumlah individu/1.000 m2) X3 = Kerapatan vegetasi tingkat pancang (Jumlah individu/100 m2) = Keragaman spesies vegetasi tingkat pohon (Jumlah spesies/1.000 m2) X4 = Keragaman spesies vegetasi tingkat tiang (Jumlah spesies/1.000 m2) X5 X6 = Keragaman spesies vegetasi pancang (Jumlah spesies/100 m2)
21 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 X15 X16 X17 X18
= Kelembaban udara relatif (%) = Intensitas cahaya (Flux) = Kandungan N dalam tanah (%) = Kandungan P dalam tanah (ppm) = Kandungan K dalam tanah (me/100 gram) = Kandungan Ca dalam tanah (me/100 gram) = Kandungan Mg dalam tanah (me/100 gram) = Kandungan Na dalam tanah (me/100 gram) = Kandungan S dalam tanah (me/100 gram) = Kandungan pH tanah (1--14) = Arah kelerengan (0) = Derajat kelerengan (%) Pengujian persamaan regresi dilakukan dengan menggunakan software
statistik Minitab 14. Minitab menyediakan beberapa model regresi, diantaranya regresi berganda, dan menyediakan pula metode untuk mencari model regresi terbaik (Iriawan & Astuti 2006). Untuk mengetahui hubungan regresi yang nyata antara peubah bebas dan tidak bebas, dilakukan melalui pengujian signifikasi dengan uji F hitung melalui hipotesa: H0 = Faktor ekologis tidak berhubungan nyata H1 = Faktor ekologis berhubungan nyata Jika F hitung ≤ F0,05 maka terima H0 Jika F hitung > F0,05 maka tolak H0 Apabila H0 ditolak berarti antara peubah tidak bebas dengan peubah bebas memiliki hubungan yang nyata. Sedangkan untuk mengetahui keeratan antara kedua peubah tersebut dilihat dari nilai koefisien korelasinya (R) yang diperoleh dengan mengakarkan R2 dengan hipotesa: H0 = Korelasi antara faktor ekologi dengan rotan beula tidak berhubungan nyata H1 = Korelasi antara faktor ekologi dengan rotan beula berhubungan nyata Kriteria pengujian menggunakan F hitung. Jika F hitung ≤ F0,05 maka terima H0, sedangkan jika F hitung > F0,05 maka tolak H0. Apabila H0 ditolak berarti koefisien determinasi antara Y dengan X1, X2, ..., X18 berhubungan nyata, maka dapat diuji keberartian koefisien regresi. Uji keberartian koefisienan regresi menggunakan t hitung, dengan hipotesa:
22 H0 = Koefisien regresi faktor ekologi dengan rotan beula tidak berhubungan nyata H1 = Koefisien regresi faktor ekologi dengan rotan beula berhubungan nyata Jika t hitung ≤ t0,05, maka terima H0 Jika t hitung > t0,05, maka tolak H0 Apabila H0 ditolak berarti koefisien regresi berhubungan nyata, sehingga regresi yang diperoleh dapat dipergunakan untuk mengambil kesimpulan.