IV. KONDISI FISKAL PEMERINTAH DAERAH
4.1. Kondisi Penerimaan Pemerintah Daerah
Berdasarkan
Undang-Undang
No.
25
Tahun
1999,
penerimaan
pemerintah daerah terdiri atas: (1) pendapatan asli daerah, (2) dana perimbangan, (3) pinjaman daerah, dan (4) lain-lain penerimaan yang sah. Komponen terpenting dari penerimaan daerah berasal dari pendapatan asli daerah
dan dana
perimbangan. Pendapatan asli daerah menggambarkan kemampuan daerah untuk memperoleh pendapatan sendiri, sedangkan dana perimbangan merupakan dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah guna menambah kemampuan daerah untuk membiayai pengeluarannya. Tabel 9.
Perkembangan Kontribusi Komponen Pembentuk Penerimaan Daerah Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1996, Tahun 1995-2005
Komponen Dana Perimbangan PAD Dana Perimbangan (Juta Rp) (%) (Juta Rp) (%) 1995 268 799.28 10 764.61 4.00 241 159.74 89.72 1996 264 542.38 11 817.98 4.47 240 950.67 91.08 1997 256 649.64 11 614.14 4.53 231 680.75 90.27 1998 252 302.76 7 433.98 2.95 238 977.77 94.72 1999 272 895.43 8 308.50 3.04 251 842.35 92.29 2000 272 037.55 17 125.91 6.30 245 685.22 90.31 Setelah Desentralisasi Fiskal 2001 641 877.01 72 436.99 11.29 543 753.68 84.71 2002 640 040.22 42 998.81 6.72 528 762.32 82.61 2003 920 104.06 41 997.92 4.56 749 164.32 81.42 2004 967 845.80 42 470.59 4.39 770 669.84 79.63 2005 1 018 351.12 50 838.69 4.99 823 251.04 80.84 Rata-rata 5.20 87.06 Sumber: Badan Pusat Statistik (Berbagai Tahun) Tahun
Penerimaan (Juta Rp)
Tabel 9 dan Tabel 10 menjelaskan bahwa pendapatan asli daerah masih memberikan kontribusi yang sangat kecil terhadap penerimaan daerah baik
54
sebelum maupun sesudah desentralisasi fiskal yaitu sebesar 5.20 persen/tahun. Rendahnya kontribusi pendapatan asli daerah
mengindikasikan rendahnya
kemampuan daerah untuk memperoleh pendapatan sendiri. Kontribusi terbesar pendapatan asli daerah
terhadap penerimaan daerah terjadi pada awal
desentralisasi fiskal yaitu tahun 2001 sebesar 11.29 persen. Kontribusi tahun berikutnya mengalami penurunan. Penurunan tersebut lebih dikarenakan menurunnya sumber-sumber penerimaan pendapatan asli daerah terutama yang berasal dari retribusi dan pendapatan asli daerah lainnya. Tabel 10. Perkembangan Pertumbuhan Komponen Pembentuk Penerimaan Daerah Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1996, Tahun 1995-2005 Komponen Dana Perimbangan PAD Dana Perimbangan Nominal Tumbuh Nominal Tumbuh (Juta Rp) (%) (Juta Rp) (%) 1995 10 764.61 241 159.74 1996 11 817.98 9.79 240 950.67 -0.09 1997 11 614.14 -1.72 231 680.75 -3.85 1998 7 433.98 -35.99 238 977.77 3.15 1999 8 308.50 11.76 251 842.35 5.38 2000 17 125.91 106.13 245 685.22 -2.44 Setelah Desentralisasi Fiskal 2001 72 436.99 322.97 543 753.68 121.32 2002 42 998.81 -40.64 528 762.32 -2.76 2003 41 997.92 -2.33 749 164.32 41.68 2004 42 470.59 1.13 770 669.84 2.87 2005 50 838.69 19.70 823 251.04 6.82 Sumber: Badan Pusat Statistik (Berbagai Tahun) Tahun
Berdasarkan pertumbuhannya, pendapatan asli daerah meningkat sangat tinggi yaitu sebesar 322.97 persen pada awal desentralisasi fiskal. Pada tahun 2002 dan 2003 pertumbuhan pendapatan asli daerah mengalami penurunan yaitu masing-masing sebesar 40.64 persen dan 2.33 persen, tetapi dengan nominal yang masih lebih besar dibanding dengan sebelum desentralisasi fiskal. Pada tahun
55
berikutnya, yaitu tahun 2004 dan 2005 pertumbuhan pendapatan asli daerah mulai mengalami peningkatan kembali masing-masing sebesar 1.13 persen dan 19.70 persen. Peningkatan pendapatan asli daerah tahun 2004 dan 2005 tersebut akibat membaiknya penerimaan pajak daerah dan retribusi. Komponen penerimaan lain yang akan dibahas adalah dana perimbangan. Dana perimbangan merupakan komponen utama pembentuk penerimaan daerah, dengan rata-rata kontribusi 87.06 persen/tahun. Besarnya kontribusi dana perimbangan ini mengindikasikan masih besarnya ketergantungan daerah terhadap dana transfer dari pemerintah pusat. Berdasarkan pertumbuhannya, dana perimbangan mengalami peningkatan yang tinggi pada awal desentralisasi fiskal yaitu sebesar 121.32 persen. Pada tahun 2002, pertumbuhan dana perimbangan mengalami penurunan sebesar 2.76 persen. Penurunan pertumbuhan dana perimbangan tersebut akibat dari berkurangnya penerimaan dari bagi hasil pajak dan dana alokasi umum, tetapi pada tahun berikutnya, dana perimbangan kembali mengalami pertumbuhan yang positif. Komponen pendapatan asli daerah
terdiri dari: (1) pajak daerah, (2)
retribusi daerah, (3) laba badan usaha milik daerah (BUMD), dan (4) pendapatan asli daerah lainnya. Perkembangan pendapatan asli daerah seperti digambarkan pada Tabel 11 dan Tabel 12 menunjukkan bahwa pada awal desentralisasi fiskal, hampir semua komponen pembentuk pendapatan asli daerah peningkatan, kecuali laba badan usaha milik daerah.
mengalami
56
Tabel 11. Perkembangan Kontribusi Komponen Pembentuk Pendapatan Asli Daerah Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1996, Tahun 1995-2005 Komponen Pembentuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun PAD Pajak Daerah Retribusi Laba BUMD (Juta Rp.) (%) (Juta Rp.) (%) (Juta Rp.) (%) 1995 10 764.61 2 698.26 25.07 4 003.83 37.19 1 099.47 10.21 1996 11 817.98 2 976.26 25.18 5 521.91 46.72 1 508.19 12.76 1997 11 614.14 2 971.40 25.58 5 555.72 47.84 1 272.23 10.95 1998 7 433.98 2 925.58 39.35 3 044.01 40.95 581.50 7.82 1999 8 308.50 2 681.53 32.27 2 790.34 33.58 1 593.63 19.18 2000 17 125.91 2 788.66 16.28 4 034.75 23.56 682.49 3.99 Setelah Desentralisasi Fiskal 2001 72 436.99 4 173.08 5.76 24 386.93 33.67 909.80 1.26 2002 42 998.81 3 995.93 9.29 5 347.61 12.44 1 118.85 2.60 2003 41 997.92 5 314.25 12.65 11 718.12 27.90 1 268.64 3.02 2004 42 470.59 7 386.28 17.39 15 310.77 36.05 836.41 1.97 2005 50 838.69 6 883.19 13.54 15 257.86 30.01 1 402.02 2.76 Rata-rata 20.22 33.63 6.96 Sumber: Badan Pusat Statistik (Berbagai Tahun)
PAD Lain (Juta Rp.) (%) 2 963.05 27.53 1 811.63 15.33 1 814.80 15.63 882.89 11.88 1 243.01 14.96 9 620.01 56.17
42 967.17 32 536.43 23 696.91 18 937.12 27 295.62
59.32 75.67 56.42 44.59 53.69 39.20
57
Tabel 12. Perkembangan Pertumbuhan Komponen Pembentuk Pendapatan Asli Daerah Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1996, Tahun 1995-2005 Komponen Pembentuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pajak Daerah Retribusi Laba BUMD Tahun Nominal Tumbuh Nominal Tumbuh Nominal Tumbuh (Juta Rp.) (%) (Juta Rp.) (%) (Juta Rp.) (%) 1995 2 698.26 4 003.83 1 099.47 1996 2 976.26 10.30 5 521.91 37.92 1 508.19 37.17 1997 2 971.40 -0.16 5 555.72 0.61 1 272.23 -15.65 1998 2 925.58 -1.54 3 044.01 -45.21 581.50 -54.29 1999 2 681.53 -8.34 2 790.34 -8.33 1 593.63 174.05 2000 2 788.66 4.00 4 034.75 44.60 682.49 -57.17 Setelah Desentralisasi Fiskal 2001 4 173.08 49.64 24 386.93 504.42 909.80 33.31 2002 3 995.93 -4.25 5 347.61 -78.07 1 118.85 22.98 2003 5 314.25 32.99 11 718.12 119.13 1 268.64 13.39 2004 7 386.28 38.99 15 310.77 30.66 836.41 -34.07 2005 6 883.19 -6.81 15 257.86 -0.35 1 402.02 67.62 Sumber: Badan Pusat Statistik (Berbagai Tahun)
PAD Lain Nominal Tumbuh (Juta Rp.) (%) 2 963.05 1 811.63 -38.86 1 814.80 0.18 882.89 -51.35 1 243.01 40.79 9 620.01 673.93
42 967.17 32 536.43 23 696.91 18 937.12 27 295.62
346.64 -24.28 -27.17 -20.09 44.14
58
Pajak daerah tumbuh sebesar 49.64 persen pada tahun 2001. Pada tahun berikutnya pertumbuhan pajak daerah mengalami fluktuasi tetapi dengan nominal yang masih lebih besar dibandingkan sebelum desentralisasi fiskal. Apabila dilihat dari kontribusinya, pajak daerah mulai mengalami penurunan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah sejak menjelang desentralisasi fiskal, yaitu tahun 2000. Kemudian pada beberapa tahun berikutnya, pajak daerah selalu lebih kecil daripada sebelum tahun 2000. Pertumbuhan dan nominal dari laba badan usaha milik daerah mengalami fluktuasi baik sebelum maupun setelah desentralisasi fiskal. Laba badan usaha milik daerah memiliki kontribusi paling kecil dalam pembentukan pendapatan asli daerah, dengan rata-rata kontribusi sebesar 6.96 persen/tahun. Sama halnya dengan pajak daerah, laba badan usaha milik daerah mulai mengalami penurunan kontribusi menjelang desentralisasi fiskal dan terus berlanjut hingga beberapa tahun berikutnya. Retribusi dan pendapatan asli daerah lainnya merupakan komponen terakhir dalam pembentukan pendapatan asli daerah. Pada awal desentralisasi fiskal, retribusi dan pendapatan asli daerah lainnya merupakan komponen pendapatan asli daerah yang mengalami pertumbuhan paling tinggi, yaitu masingmasing sebesar 504.42 persen dan 346.64 persen. Pada tahun berikutnya, pertumbuhan kedua komponen pendapatan asli daerah
tersebut mengalami
fluktuasi. Khusus untuk pendapatan asli daerah lainnya, walaupun setelah tahun 2001 mengalami penurunan pertumbuhan, tetapi kontribusinya tetap dominan terhadap pembentukan pendapatan asli daerah.
59
Pajak daerah dan retribusi sebelum desentralisasi fiskal, memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pembentukan pendapatan asli daerah. Setelah desentralisasi fiskal, kontribusi kedua sumber pendapatan asli daerah tersebut mengalami penurunan sehingga
kontribusi pembentuk terbesar
pendapatan asli daerah beralih ke pendapatan asli daerah lainnya. Pajak daerah dan retribusi dirancang pemerintah sebagai tumpuan pendapatan asli daerah. Walaupun setelah desentralisasi fiskal terjadi peningkatan terhadap kedua sumber pendapatan asli daerah tersebut, tetapi kontribusinya cenderung mengalami penurunan. Pemerintah daerah tidak dapat memperbesar kontribusi pajak dan retribusinya dengan cara memungut jenis pajak dan retribusi baru karena berdampak pada semakin tingginya beban biaya produksi yang harus ditanggung pengusaha. Menurut simanjuntak (2003), sebagian dari pajak dan retribusi baru tersebut tidak efisien dan cenderung menimbulkan distorsi bagi kegiatan ekonomi sehingga mengganggu para pengusaha dan investor dalam melakukan kegiatan di daerah. Selain itu, instrumen pemungutan pajak dan retribusi baru menurut Lewis (2003) ternyata tidak terbukti menjadi pemicu dalam meningkatkan kapasitas fiskal daerah karena kontribusinya yang masih sangat kecil. Usaha
yang bisa dilakukan pemerintah daerah untuk meningkatkan
kontribusi pajak daerah adalah dengan ekstensifikasi dan menertibkan para wajib pajak agar tidak mangkir dari kewajibannya. Berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, dana perimbangan terdiri dari: (1) bagian daerah dari penerimaan pajak bumi dan bangunan, (2) bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam, (3) dana alokasi umum, dan (4) dana alokasi khusus. Tabel 13 dan Tabel 14
60
menunjukkan bahwa kontribusi dana alokasi umum dominan dalam membentuk penerimaan daerah dengan kontribusi rata-rata sebesar 72.34 persen/tahun. Setelah desentralisasi fiskal, kontribusi dana alokasi umum terhadap dana perimbangan mengalami kecenderungan meningkat dengan kontribusi terbesar terjadi pada tahun 2002 yaitu sebesar 80.76 persen. Berdasarkan pertumbuhannya, dana alokasi umum mengalami peningkatan yang signifikan pada awal dilaksanakannya desentralisasi fiskal, yaitu sebesar 125.06 persen. Hal ini disebabkan karena formulasi dana alokasi umum yang baru, dirancang pemerintah agar dapat mengurangi ketimpangan horizontal dan membiayai kebutuhan fiskal daerah yang semakin besar. Tabel 13. Perkembangan Kontribusi Komponen Dana Perimbangan Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1996, Tahun 1995-2005 Dana Tahun Perimbangan (Juta Rp) 1995 241 159.74 1996 240 950.67 1997 231 680.75 1998 238 977.77 1999 251 842.35 2000 245 685.22 2001 2002 2003 2004 2005
543 753.68 528 762.32 749 164.32 770 669.84 823 251.04 Rata-rata
Komponen Dana Perimbangan BHP BHBP DAU (Juta Rp) (%) (Juta Rp) (%) (Juta Rp) 73 366.81 30.42 21 042.83 8.73 146 750.10 70 622.33 29.31 21 883.03 9.08 148 445.31 68 012.26 29.36 21 381.73 9.23 142 286.76 53 732.10 22.48 15 588.64 6.52 169 657.04 43 592.35 17.31 13 835.23 5.49 194 414.76 37 566.09 15.29 15 902.92 6.47 192 216.21 Setelah Desentralisasi Fiskal 55 539.13 10.21 12 264.37 2.26 432 605.93 49 226.03 9.31 43 557.00 8.24 427 034.85 72 028.70 9.61 34 724.48 4.64 523 099.85 84 739.16 11.00 29 248.73 3.80 612 583.48 97 189.58 11.81 21 462.39 2.61 624 358.08 17.83 6.10
(%) 60.85 61.61 61.42 70.99 77.20 78.24 79.56 80.76 69.82 79.49 75.84 72.34
Sumber: Badan Pusat Statistik (Berbagai Tahun) Komponen bagi hasil selanjutnya adalah bagi hasil pajak. Kontribusi bagi hasil pajak terhadap pembentukan bagi hasil sebesar rata-rata 17.83 persen/tahun. Berbeda dengan dana aloksi umum yang mengalami peningkatan kontribusi
61
setelah desetralisasi fiskal, bagi hasil pajak cenderung mengalami penurunan kontribusi setelah desetralisasi fiskal. Walaupun mengalami penurunan kontribusi tetapi dilihat secara nominal tetap mengalami peningkatan. Berdasarkan pertumbuhannya, bagi hasil pajak mengalami peningkatan yang cukup tinggi pada awal desentralisasi fiskal yaitu sebesar 47.84 persen. Peningkatan pertumbuhan bagi hasil pajak tersebut dikarenakan setelah desentralisasi fiskal pemerintah daerah lebih serius dalam menggali sumber-sumber bagi hasil pajak, guna membiayai semakin besarnya pengeluaran yang harus dibiayai oleh pemerintah daerah. Tabel 14. Perkembangan Pertumbuhan Komponen Dana Perimbangan Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1996, Tahun 1995-2005 Komponen Dana Perimbangan BHP BHBP DAU Tahun Nominal Tumbuh Nominal Tumbuh Nominal Tumbuh (Juta Rp) (%) (Juta Rp) (%) (Juta Rp) (%) 1995 73366.81 21042.83 146750.10 1996 70622.33 -3.74 21883.03 3.99 148445.31 1.16 1997 68012.26 -3.70 21381.73 -2.29 142286.76 -4.15 1998 53732.10 -21.00 15588.64 -27.09 169657.04 19.24 1999 43592.35 -18.87 13835.23 -11.25 194414.76 14.59 2000 37566.09 -13.82 15902.92 14.95 192216.21 -1.13 Setelah Desentralisasi Fiskal 2001 55539.13 47.84 12264.37 -22.88 432605.93 125.06 2002 49226.03 -11.37 43557.00 255.15 427034.85 -1.29 2003 72028.70 46.32 34724.48 -20.28 523099.85 22.50 2004 84739.16 17.65 29248.73 -15.77 612583.48 17.11 2005 97189.58 14.69 21462.39 -26.62 624358.08 1.92 Sumber: Badan Pusat Statistik (Berbagai Tahun)
Komponen dana perimbangan yang terakhir adalah bagi hasil bukan pajak. Bagi hasil bukan pajak memberikan kontribusi paling kecil terhadap pembentukan dana perimbangan, dengan rata-rata kontribusi sebesar 6.10 persen/tahun. Sama halnya dengan bagi hasil pajak, bagi hasil bukan pajak juga mengalami penurunan
62
kontribusi setelah desentralisasi fiskal. Penurunan kontribusi tersebut dikarenakan peningkatan bagi hasil bukan pajak tidak mampu mengimbangi peningkatan dana alokasi umum. Berdasarkan pertumbuhannya, bagi hasil bukan pajak mengalami penurunan sebesar 22.88 persen setelah desentralisasi fiskal dilaksanakan. Penurunan tersebut disebabkan Kalimantan Tengah tidak memiliki sumber daya alam berupa minyak bumi dan gas alam. Tetapi di masa mendatang, sumbangan bagi hasil bukan pajak diharapkan akan meningkat karena Kalimantan Tengah memiliki banyak sumber daya alam lainnya seperti emas dan batu bara yang belum tereksploitasi. 4.2. Kondisi Pengeluaran Pemerintah Daerah
Menilai kondisi pengeluaran daerah dapat dilakukan dengan mengevaluasi pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan daerah. Berdasarkan Tabel 15 dan Tabel 16 diketahui bahwa alokasi untuk pengeluaran rutin terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan rata-rata alokasi sebesar 54.41 persen/tahun. Pengeluaran rutin sebagian besar dialokasikan untuk membiayai gaji pegawai daerah, oleh karena itu peningkatan yang signifikan dalam alokasi pengeluaran rutin tidak dapat dihindari karena setelah desentralisasi fiskal terjadi penyerahan pembiayaan pegawai dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Berdasarkan pertumbuhannya, pengeluaran rutin mengalami peningkatan yang cukup signifikan setelah desentralisasi fiskal yaitu sebesar 113.55 persen. Komponen
pengeluaran
daerah
berikutnya
adalah
pengeluaran
pembangunan. Pengeluaran pembangunan adalah pengeluaran yang ditujukan untuk membiayai berbagai proyek pemerintah daerah di setiap sektor. Alokasi pengeluaran pembangunan cenderung menurun, dengan rata-rata alokasi sebesar
63
45.60 persen/tahun. Menurunnya alokasi pengeluaran pembangunan dikarenakan meningkatnya pengeluaran yang dialokasikan untuk pengeluaran rutin. Meskipun pengeluaran
pembangunan
mengalami
penurunan
kontribusi,
tetapi
pertumbuhannya mengalami peningkatan. Pada awal desentralisasi fiskal, pengeluaran pembangunan tumbuh sebesar 113.55 persen. Pertumbuhan yang positif dalam pengeluaran pembangunan terus berlanjut sampai tahun 2005. Tabel 15. Perkembangan Alokasi Pengeluaran Rutin dan Pembangunan Kalimantan Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1996, Tengah Tahun 1995-2005
Tahun
1995 1996 1997 1998 1999 2000
Pengeluaran Total (Juta Rp.)
Pengeluaran Rutin (Juta Rp.)
(%)
257033.80 92428.35 35.96 250129.75 96693.10 38.66 240656.41 89958.84 37.38 234539.62 138453.40 59.03 264243.23 159603.20 60.40 247415.98 149107.39 60.27 Setelah Desentralisasi Fiskal 2001 562684.62 352749.45 62.69 2002 562705.81 350436.87 62.28 2003 726887.78 425742.92 58.57 2004 817348.87 500259.72 61.21 2005 896186.33 555941.12 62.03 Rata-rata 54.41 Sumber: Badan Pusat Statistik (Berbagai Tahun)
Pengeluaran Pembangunan (Juta Rp.)
(%)
164605.45 153436.65 150697.56 96086.22 104640.04 98308.59
64.04 61.34 62.62 40.97 39.60 39.73
209935.17 212268.94 301144.86 317089.15 340568.21
37.31 37.72 41.43 38.79 38.00 45.60
Berdasarkan hasil evaluasi kondisi fiskal pemerintah daerah secara keseluruhan, diketahui bahwa telah terjadi peningkatan yang besar pada penerimaan daerah. Peningkatan tersebut terjadi karena desentralisasi fiskal menyebabkan kontribusi dana perimbangan meningkat, walaupun di sisi lain terjadi penurunan kontribusi pendapatan asli daerah. Peningkatan penerimaan direspon oleh pemerintah daerah dengan meningkatkan pengeluaran rutin dan