BAB IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1.
Kondisi Geografi dan Klimatologi Secara umum Pulau Jawa terletak antara 5° 40’ LS sampai 8° 50’ LS dan
105° 10’ BT sampai 114° 40’ BT sehingga sangat dipengaruhi oleh posisi semu matahari yang berpindah antara 23,5° LU sampai ke 23,5° LS sepanjang tahun yang berakibat timbulnya aktivitas moonson (muson). Secara geografis, Pulau Jawa di sebelah utara dibatasi oleh Laut Jawa, sebelah selatan dibatasi oleh Samudera Hindia, sebelah barat dibatasi oleh Selat Sunda dan sebelah timur dibatasi oleh Selat Bali. Pada sisi selatan pulau ini didominasi bentukan pegunungan dan penampakan fisiografis gunung gamping yang memanjang hingga ke Pulau Bali. Di sisi utara didominasi bentukan alluvial dan marine (daerah pantai) dengan kondisi kelerengan dari sedang hingga landai. Di Pulau Jawa terdapat dua musim yaitu musim kemarau dan penghujan. Pada bulan Juni sampai September arus angin berasal dari Australia dan tidak banyak mengandung uap air sehingga mengakibatkan musim kemarau. Sebaliknya pada bulan Desember sampai dengan Maret arus angin banyak mengandung uap air yang berasal dari Asia dan Samudra Pasifik, sehingga mengakibatkan musim penghujan. Keadaan seperti ini berganti setiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April-Mei dan OktoberNovember. Rata-rata curah hujan pada musim penghujan dan musim kemarau bergantung pada bulan dan letak stasiun pengamat, berkisar antara 0 – 800 mm per bulan untuk masing-masing bulan kering dan bulan basah. Besarnya curah hujan tahunan di sepanjang Pulau Jawa-Madura dapat dilihat pada Gambar 13. Kecepatan angin berkisar antara 1,6 knot sampai 23,3 knot. Suhu rata-rata maksimum berkisar antara 27,7oC sampai 34,6oC, sedangkan suhu udara minimum berkisar antara 15,3 oC sampai dengan 30,8oC.
57
Gambar 13. Curah hujan tahunan Pulau Jawa (Sumber: Bappenas, 2005) 4.2. Kondisi Hidrologi Pulau Jawa-Madura terbagi dalam 15 wilayah sungai (WS) yang terdiri dari 14 WS tersebar di Pulau Jawa dan 1 WS yang meliputi seluruh wilayah Pulau Madura. Pada saat ini Pulau Jawa-Madura dihuni oleh kurang lebih 60 persen dari total penduduk Indonesia. Pulau Jawa-Madura sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, penduduk dan pemerintahan Indonesia mengalami pembangunan yang pesat di berbagai sektor. Tuntutan penduduk akan penggunaan sumberdaya air juga terus berkembang,
sehingga terjadi
peningkatan persaingan penggunaan air antar sektor (domestik, perkotaan, industri dan irigasi) di berbagai wilayah administrasi maupun wilayah sungai. Sejalan dengan dinamika pembangunan tersebut, maka terjadi dari perubahan tata ruang, lahan, pola hidup dan pola perekonomian. Perubahan tersebut berpengaruh pula terhadap sumber daya air yang apabila tidak disertai dengan perencanaan, pengelolaan dan pengaturan sumber daya air yang mantap, diperkirakan kesenjangan antara ketersediaan air dan kebutuhan air untuk berbagai keperluan akan semakin meningkat Pembagian wilayah sungai di Pulau Jawa-Madura adalah sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11A/PRT/M/2006 yang membagi wilayah Indonesia menjadi 89 WS. Wilayah Pulau Jawa-Madura sendiri dibagi dalam 15 wilayah sungai. Penetapan WS ini didasarkan pada 4 (empat) pola yaitu:
58
1. Dua DAS atau lebih dalam satu pulau. 2. Semua DAS dalam satu pulau. 3. Dua DAS atau lebih di satu pulau ditambah semua DAS di satu atau lebih pulau yang lain. 4. Semua DAS dalam beberapa pulau. Daftar pembagian wilayah sungai di Pulau Jawa-Madura dapat dilihat pada Tabel 16 dan Gambar 14. Tabel 16. Pembagian wilayah sungai (WS) di Pulau Jawa No 1
Provinsi Banten
Nama WS Ciujung-Ciliman CisadaneCiliwung
3
Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta Jawa Barat
4
Jawa Barat
Citarum
5
Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Barat
Cimanuk
Citanduy
8
Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Tengah
9
Jawa Tengah
Serayu
10
Jawa Tengah
Jratun Seluna
11
Jawa Tengah DIY Jawa Tengah Jawa Timur
Progo-Opak-Oyo
13
Jawa Timur
K. Brantas
14
Jawa Timur
15
Jawa Timur
WS PekalenSampean Madura
2
6 7
12
CisadeaCikuningan
Ciwulan
Pemali Comal
Bengawan Solo
Nama Sungai yang Berada dalam WS S. Cisekat, S. Ciliman, S. Cibungur, S. Cipunegara, S. Cidanau, S. Cibanten, S. Ciujung, S. Cidurian S. Cisadane, S. Cimanedu, S. Ciliwung, K. Bekasi, S. Cikarang S. Cilangkap, S. Cilangkanan, S. Cihara, S. Cibareng, S. Citarik, S. Ciletuh, S. Cikarang, S. Cibuni, S. Cisokan, S. Cisilih, S. Cisadeg S. Cikuningan, S. Citarum, S. Cilamaya, S. Ciasem, S. Cipunegara, S. Cilalanang, S. Cibeet, K. Pengandungan, K. Cipucung, K. Ciangan, K. Lemahabang S. Cipanas, S. Cimanuk, S. Ciwaringin, S. Cikondang, S. Kasuncang, S. Cisanggarung, S. Babakan S. Cimaragon, S. Cilaki, S. Cisanggiri, S. Ciwulan, S. Cipungun S. Citanduy, S. Cibeureum, S. Cimeneng, S. Cihaur, S. Cikonde S. Pemali, S. Bebek, S. Cacaban, S. Waluh, S. Comal, S. Sengkang, S. Sambong S. Serayu, S. Bengawan, S. Ijo, S. Lukulo, S. Cakrayasan K. Bodri, K. Anyar, K. Klampok, S. Tuntang, S. Serang, S. Jragung, S. Lusi, S. Juana, S. Randuguntini, K. Semarang, K. Garang K. Progo, K. Code, K. Opak, K. Oyo, S. Bogowonto B. Solo, S. Grindulu, S. Lorong, S. Lamong, S. Semawon, S. Wungu, S. Semawun, K. Geneng, S. Sondang K. Brantas, K. Santun, K. Punyu, K. Barigo, K. Putih, K. Widas, K. Konto K. Pekalen, K. Sampean K. Rangkah, K. Ubak, K. Tamberu, K. Sumberabat, K. Semajid, K. Sampang, K.Keteleng, K. Baliga, K. Sasak, K. Pasian
Sumber: Permen PU No. 11A/PRT/M/2006
59
Gambar 14. Pembagian WS di Jawa dan Madura (Sumber: Dep.PU, 2007)
4.3. Kondisi Umum Delapan DAS di Jawa 4.3.1. DAS Ciujung Sungai Ciujung merupakan sungai terbesar di Provinsi Banten. DAS Ciujung terletak di dua provinsi yaitu Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat. Provinsi Banten meliputi
Kabupaten Lebak, Pandeglang dan Serang, dan
Provinsi Jawa Barat meliputi Kabupaten Bogor. Luas DAS kurang lebih 1.935 km2 dengan jumlah penduduk kurang lebih 2,8 juta jiwa dengan kepadatan penduduk kurang lebih 1.355 jiwa/km2. Sungai Ciujung memiliki beberapa anak sungai yaitu Sungai Ciujung Hulu, Cisemeut, Ciminyak, Cikeuyeup, Cimaur, Ciberang, Ciasem, dan Cipari. Di bagian hulu terdapat 3 anak sungai yang cukup besar yaitu Sungai Ciberang dengan hulu di Gunung Halimun (1.929 m), Ciminyak dengan hulu di Gunung Endut (1.297 m), dan Ciujung Hulu yang memiliki hulu di pegunungan sebelah barat dari Gunung Halimun. Sungai Ciujung mengalir dari selatan ke utara hingga bermuara di Laut Jawa. Di bagian hilir, sungainya terbagi menjadi 2 yang mengalir ke Tanjung Pontang dan Teluk Banten. Curah hujan rata-rata tahunan kurang lebih 2.650 mm/tahun dan debit rata-rata tahunan di stasiun Kragilan (1.623 km2) mencapai 90,27 m3/detik. Penggunaan lahan di DAS Ciujung berdasarkan analisis citra Landsat tahun 2001, penggunaan lahan yang ada didominasi oleh pertanian lahan kering yang mencapai kurang lebih 53,64%. Jenis penggunaan lahan lainnya adalah
60
sawah (16,7%), hutan (11,67%), permukiman (11,14%), perkebunan (5,23%), dan lainnya (1,62%) (Gambar 15). Permasalahan utama yang terdapat di DAS Ciujung adalah: a) banjir di sepanjang bantaran sungai dari Rangkasbitung hingga muara sungai; b) pencemaran sungai akibat pembuangan
limbah
domestik, pertanian, industri khususnya di bagian utara dari jalan tol JakartaMerak; dan c) kekurangan penyediaan air bersih di bagian hilir. Dalam pengelolaan DAS Ciujung, guna mengatasi permasalahan keairan maka direncanakan akan dibangun beberapa bangunan keairan, seperti waduk, cekdam, saluran irigasi dan sebagainya, sebagai misal waduk Karian, Waduk Tanjung, Waduk Cilawang, Waduk Pasir Kopo dan sebagainya. Rencana lokasi pembangunan Waduk Karian terletak di sebelah hulu Sungai Ciujung (dengan daerah tangkapan hujan seluas 1.858 km2). Fungsi utama Waduk Karian adalah sebagai penyedia air rumah tangga, perkotaan dan industri untuk wilayah Serang dan Jabotabek dengan menggunakan saluran Karian-Tanjung-Serpong (KTS). Fungsi tambahan adalah sebagai penyedia air irigasi untuk kebutuhan daerah irigasi Ciujung (sebelum pembangunan Waduk Pasirkopo) dan pengendali banjir Ciujung antara Rangkasbitung dan Bendung Pamarayan. Tinggi waduk 60,5 meter, volume tampung efektif 219 juta m3, dan mampu membangkitkan listrik 5,2 MW (Nippon Koei, 1995; JWRMS, 1994). Waduk Pasirkopo direncanakan akan difungsikan untuk mengambil alih fungsi Waduk Karian untuk menyuplai air irigasi ke daerah irigasi Ciujung. Menurut studi JWRMS (1994) Waduk Pasirkopo akan dapat diselesaikan tahun 2019 dengan debit tambahan sebesar 7 m3/detik. Menurut studi yang dilaksanakan oleh Nippon Koei (1995), jadwal rencana pembangunan Waduk Pasirkopo akan selesai pada tahun 2010 dengan debit tambahan sebesar 8,2 m3/detik.
61
Gambar 15. Kondisi tutupan lahan berdasarkan citra Landsat tahun 2001 di DAS Ciujung 4.3.2. DAS Cisadane Secara geografis DAS Cisadane terletak diantara 6 o02’ – 6o54’ LS dan 106o17’ – 107o00’ BT. Jumlah penduduk di DAS Cisadane diperkirakan mencapai 3,6 jiwa dengan kepadatan penduduk kurang lebih 2.269 jiwa/km2. DAS Cisadane dibatasi oleh sub DAS Cimanceuri di sebelah barat dan DAS Ciliwung di sebelah timur. Sungai Cisadane berhulu di Gunung Salak dengan ketinggian 3.019 m dari permukaan laut. Sungai ini mengalir dari arah selatan ke utara, melalui dua provinsi yaitu Banten dan DKI Jakarta, tepatnya melewati Kabupaten Bogor (Kecamatan Nanggung, Caringin, Cijeruk, Ciomas, Ciampea, Rumpin dan Cilangkap), Kabupaten Tangerang dan wilayah DKI Jakarta. Panjang Sungai Cisadane dari hulu hingga Mauk (Kabupaten Tangerang) adalah 137,8 km, dengan rata-rata kemiringan dari hulu (3.019 m dpal) sampai Mauk (2 m dpal) adalah 21,9%. Dari hulu sampai Bogor, Sungai Cisadane mengalir dengan kemiringan lebih dari 10% sepanjang 42 km. Selanjutnya dari Bogor hingga Serpong melandai dengan kemiringan 3,6% sepanjang 44,5 km dan akhirnya mengalir dengan kemiringan kurang dari 2,2% sepanjang 51,3 km sampai ke Mauk (Puslitbang Air, 2006).
62
DAS Cisadane berbentuk radial dan mempunyai tipe banjir yang besar di dekat pertemuan anak-anak sungainya, sedangkan di bagian tengah dan hilir berbentuk paralel, dimana banjir terjadi di sebelah hilir dan titik pertemuan sungai. Di bagian hulu mempunyai ciri sungai pegunungan yang berarus deras, tebing curam dengan dasar batuan pasir dan berkerikil dan alur sungai berkelakkelok, yang mempunyai hidrograf aliran dengan puncak-puncak yang tajam waktu menaik (rising stage) dan menurun (falling stage) yang cepat. Di bagian tengah, banyak terdapat galian pasir dan kerikil di sepanjang Sungai Cisadane yang menyebabkan arus air yang deras menggerus tebing sungai di berbagai kelokan sehingga memperlebar badan sungai. Di bagian hilir dengan topografi atas (0-2%), aliran sungai melambat tetapi dengan volume air yang menurun tajam (Cikokol-Tangerang) sebagai akibat konversi lahan pertanian menjadi industri dan permukiman yang terpusat di bagian tengah DAS Cisadane sehingga pemanfaatan air meningkat bagi berbagai kegiatan tersebut (Arwindrasti, 1997). Luas DAS Cisadane dari hulu hingga Teluk Naga kurang lebih 155.975 ha. DAS ini dibagi menjadi 3 bagian yaitu: a) DAS Cisadane hulu seluas 85.555 ha, b) DAS Cisadane tengah seluas 48.205 ha, c) DAS Cisadane hilir seluas 22.215 ha. Iklim di DAS Cisadane berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson (1950) termasuk tipe iklim B, sedangkan berdasarkan klasifikasi Koppen (1955) tergolong tipe iklim Afa (iklim hujan tropis). Pola musiman dipengaruhi oleh perubahan-perubahan angin monsoon yang menyebar terjadinya musim hujan (November sampai Mei) dan musim kemarau (Juni sampai Oktober). Berdasarkan Peta Tanah tinjau skala 1 : 250.000, jenis tanah di DAS Cisadane hulu didominasi oleh tanah andosol dengan bahan induk dari abu vulkan intermedier hingga basis. Pada bagian tengah didomnasi oleh tanah-tanah yang telah berkembang lanjut seperti latosol dan lateritik dengan bahan nduk tuf vulkan intermedier yang berasal dari Gunung Salak. Di bagian hilir penyebaran jenis tanah didominasi oleh tanah-tanah aluvial dengan bahan induk endapan liat hingga pasir. Hal ini didukung oleh fisiografi berupa dataran sehingga sebagian besar tanah yang terbawa oleh sungai akan diendapkan. Jenis tanah yang
63
terbentuk meliputi aluvial coklat kekelabuan, aluvial kelabu dan aluvial hidromorf (Puslittanak, 2001). Berdasarkan interpretasi citra satelit Landsat tahun 2001, jumlah luas lahan hutan, perkebunan dan hutan mangrove adalah 27.974,31 ha (17,97%) dari luas DAS Cisadane. Pertanian lahan kering merupakan jenis penggunaan lahan terbesar yaitu 66.122,11 ha (42,48%), sedangkan sawah 17%, permukiman 15,7%, dan semak belukar 0,11% (Gambar 16). Dalam interpretasi tersebut tutupan awan mencapai 6,66% sehingga tidak diketahui jenis penggunaan lahan sesungguhnya dari lahan yang tertutup awan tersebut.
Gambar 16. Kondisi tutupan lahan berdasarkan citra Landsat tahun 2001 di DAS Cisadane 4.3.3. DAS Citarum Sungai Citarum merupakan salah satu sungai yang panjang di Pulau Jawa, dengan panjang 269 km dan mempunyai DAS seluas 6.080 km2. Sungai Citarum terletak di Provinsi Jawa Barat. Sungai ini bermata air di Gunung Wayang (1.700 m) dan sebelum mengalir ke Laut Jawa terlebih dahulu melintasi bagian tengah Pulau Jawa bagian barat.
64
Penduduk yang tinggal di DAS Citarum cukup besar, khususnya yang terkonsentrasi di bagian hulu yaitu di daerah Bandung dan kurang lebih. Jumlah penduduk di DAS Citarum kurang lebih 11 juta jiwa atau kepadatan penduduk kurang lebih 1.809 jiwa per km2 pada tahun 2005. Curah hujan tahunan rata-rata di DAS Citarum sebesar 2.300 mm. Berdasarkan peta isohyet hujan, pusat hujan berada di sekitar Gunung Tangkuban Perahu (4.500 mm/tahun), sekitar Cariu-Jonggol (4.000 mm/tahun) dan Gunung Patuha (3.500 mm/tahun). Di sekitar Bandung hingga Cianjur hujan kurang lebih 2.500 mm/tahun. Di DAS Citarum terdapat beberapa anak-anak sungai yaitu Sungai Citarik (265 km2, 32 km), Sungai Cisangkuy (286 km2, 32 km), Sungai Cisokan (964 km2, 79 km), dan Sungai Cipamingkis (1.887 km2, 53 km). Untuk memantau debit Sungai Citarum, maka dilakukan pengukuran debit. Jumlah stasiun pengukuran debit di DAS Citarum kurang lebih 74 stasiun yang tersebar merata dengan durasi pengamatan yang bervariasi. Dari stasiun hidrometri tersebut, banyak stasiun yang kondisinya rusak dan tidak beroperasi lagi karena kerusakan alat, lokasi dipindah atau ditiadakan sehingga tidak memiliki kontinuitas data yang baik. Di DAS Citarum telah dibangun 3 buah bendungan yaitu: Saguling, Cirata dan Jatiluhur sejak tahun 1963 hingga 1988. Manfaat dari ketiga bendungan besar tersebut adalah untuk penyediaan air bagi kebutuhan PLTA, pertanian, industri, perikanan, domestik, pengendali banjir dan sebagainya (Tabel 17). Pada tahun 1963 bersamaan dengan pembangunan bendungan Jatiluhur, dibangun saluran pemindah aliran antar DAS yang menghubungkan Sungai Citarum ke Ciliwung melalui saluran Tarum Barat (70 km) dan dari Sungai Citarum ke sungai Cilalanang melalui saluran Tarum Timur (40 km) dengan kapasitas maksimum masing-masing saluran 30 m3/detik. Fungsi utama dari kedua saluran pemidah tersebut adalah penyediaan air baku untuk air minum masyarakat Jakarta, irigasi dan industri.
65
Tabel 17. Profil bendungan di DAS Citarum No
1 2 3
Bendungan
Saguling Cirata Jatiluhur
Luas DAS (km2) 2.283 4.119 4.500
Kapasitas Bruto (106 m3) 982 2.165 3.000
Kapasitas Efektif (106 m3) 609 709 1.825
Kegunaan
PLTA (700 MW) PLTA (500 MW) PLTA (150 MW), pertanian (24.000 ha), industri (45,75 juta m3), perikanan (43,3 juta m3), domestik 400,5 juta m3)
Selesai Dibangun 1986 1988 1963
Sumber: Departemen PU, 2001 Dalam pembagian kawasan hulu, tengah dan hilir dari DAS Citarum telah disepakati yaitu penggal sungai di atas Bandung yang terletak di daerah pegunungan antara Gunung Tangkuban Perahu di sebelah utara dan Gunung Patuha di sebelah selatan ditetapkan sebagai bagian hulu Sungai Citarum. Penggal antara Bandung dan Jatiluhur sebagai bagian tengah dan di bawah Jatiluhur sebagai bagian hilir. Formasi geologinya yang utama terdiri dari produk vulkanik Kuarter tua dengan fasies endapan Miocene, granit, granodiorit, alluvium, fasies vulkanik Pleistosen dan fasies batugamping Miosen. Permasalahan yang berhubungan dengan aliran air di daerah ini adalah kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim penghujan. Pada banjir dengan kala ulang 5 tahunan, kurang lebih seluas 22,5 km2 di daerah Bandung Selatan akan tergenang banjir. Berdasarkan data penggunaan lahan tahun 1983, di DAS Citarum terdapat hutan (20%), sawah (26,25%), lahan pertanian (24,75%) dan lain-lain (29%) (Departemen PU, 2001). Kondisi penggunaan lahan tahun 2001 telah berubah yakni hutan menjadi kurang lebih (13,24%), sawah (12,95%), lahan pertanian (53,24%) dan permukiman (9,45%), perkebunan (0,72%), dan semak belukar (0,44%) (Baplan Dephut, 2002). Gambaran mengenai kondisi tutupan lahan di DAS Citarum disajikan pada Gambar 17.
66
Gambar 17. Kondisi tutupan lahan berdasarkan citra Landsat tahun 2001 di DAS Citarum Perubahan tutupan lahan di Citarum Hulu dari tahun 1983-2002 memperlihatkan bahwa perubahan hutan berkurang 54 persen, pertanian menurun 55 persen, permukiman/perkotaan meningkat 233 persen, serta industri meningkat 868 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan DAS Citarum telah terjadi dimulai dari daerah hulunya. Indikasi kerusakan ini dapat dirasakan dengan semakin menurunnya rata-rata debit minimum di Stasiun Nanjung dari 6,35 m3/detik di tahun 1951 menjadi 5,70 m3/detik pada tahun 1998. Di sisi lain nilai rata-rata debit maksimum meningkat dari 217,6 m3/detik (1951) menjadi 285,8 m3/detik (1998). Kerusakan DAS Citarum hulu ini diindikasikan pula oleh menurunnya nilai indeks konservasi dari 0,7 di tahun 1950 menjadi 0,4 pada tahun 2000 (Wangsaatmaja, 2001). Meskipun di DAS Citarum sudah terdapat tiga waduk besar, namun dalam pembangunan pengelolaan sungai, khususnya untuk mendukung sektor pertanian, saat ini telah dikaji kemungkinan pengembangan infrastruktur keairan di DAS Citarum. Sejumlah pembangunan waduk dan irigasi potensial yang telah dikaji pada tingkat pra-kelayakan, antara lain: a) Waduk Talagaherang dan daerah irigasinya; b) Waduk Maya dan daerah irigasinya; c) Waduk Bodas dan
67
daerah irigasinya; d) Dam pada Sungai Cilame dan Cipunagara, yang bersamasama akan membentuk satu waduk, dipadukan dengan Waduk Sadawarna dan sebagian dari Waduk Cibeber; e) Waduk Cipunagara dan bendungan pengatur di Sadawarna, yang digabungkan dengan Daerah Irigasi Sadawarna dan sebagian Daerah Irigasi Cibeber; f) Waduk Cibeber, dengan saluran penghubung antara Sungai Cipunagara dan Cibeber serta Daerah Irigasi Cibeber; g) Waduk Kandung dan daerah irigasinya; dan h) Waduk Sukawana terletak di daerah Cimahi. Pelaksanaan untuk Waduk Sukawana diharapkan dapat menghasilkan debit sebesar 0,17 m3/detik (IWACO, 2002).
4.3.4. DAS Cimanuk Sungai Cimanuk terletak di Provinsi Jawa Barat dengan panjang sungai utama kurang lebih 230 km. Luas DAS Cimanuk kurang lebih 3.600 km2 atau kurang lebih 2,75% dari luas Pulau Jawa. Mata air sungai Cimanuk berasal dari lereng Gunung Papandayan (2.622 m) dan Mandalagiri (1.813 m) yang kemudian mengalir sepanjang Sungai Cimanuk hingga bermuara ke Laut Jawa. DAS Cimanuk hulu merupakan dataran tinggi kurang lebih 700 m, yang dikelilingi oleh 12 pegunungan, dimana beberapa diantaranya terdapat gunung api aktif dengan puncak tertinggi dari 2.000 – 3.000 m. Pada DAS bagian tengah merupakan plateau yang lebih rendah yang berada di bagian tengah Sungai Cimanuk dengan dua anak sungai yaitu Sungai Cilutung dan Cipeles. Pada bagian hilir merupakan dataran rendah hingga dataran pantai di bawah ketinggian 50 m. Masalah utama dari bagian hilir ini adalah banjir saat musim penghujan. Jumlah penduduk yang tinggal di DAS Cimanuk pada tahun 1995 kurang lebih 3,08 juta jiwa, namun pada tahun 2005 bertambah menjadi 4,4 juta jiwa dengan kepadatan penduduk kurang lebih 1.222 jiwa/km2. Sebagian besar penduduk yang tinggal di DAS Cimanuk bermatapencaharian yang berkaitan dengan pertanian. Hal ini tercermin dari besarnya prosentase penggunaan lahan pertanian lahan kering yang mencapai 47,96% dari luas DAS Cimanuk. Berdasarkan interpretasi citra satelit Landsat tahun 2001, jenis penggunaan
68
lahan hutan (19,09%), sawah (18,47%), permukiman (5,38%), tambak (4,2%), semak belukar (2,06%) dan perkebunan (0,31%) (Gambar 18).
Gambar 18. Kondisi tutupan lahan berdasarkan citra Landsat tahun 2001 di DAS Cimanuk Intensifnya pengolahan lahan untuk pertanian, khususnya yang berada di dataran tinggi tanpa diikuti dengan konservasi tanah telah menyebabkan erosi di DAS Cimanuk. Sedimen lapang di DAS Cimanuk diperkirakan 6.350 ton/km2/tahun
(Kusmandari and
Mitchell,
1997).
Kondisi demikian
menyebabkan rata-rata volume tahunan sedimen yang terdeposisi di muara Sungai Cimanuk kurang lebih 12,7 x 106 m3/tahun. Hal ini berarti 60 kali lebih besar daripada sedimentasi di Sungai Gangga/Brahmaputra dan Sungai Herbert (Wolanski and Spagnol, 2000). Rata-rata curah hujan tahunan di DAS Cimanuk kurang lebih 2.195 mm dan debit tahunan kurang lebih 63,6 m3/detik atau 4,3 m3/detik/100 km2) di Stasiun Eretan (1.460 km2). Debit Sungai Cimanuk mempunyai karakteristik musim, dengan rata-rata debit bulanan di hilir berkisar antara 260 m3/detik pada musim hujan hingga 20 m3/detik pada saat musim kemarau. Kondisi demikian berpengaruh terhadap luasan irigasi sawah yaitu kurang lebih 118.000 ha dapat
69
diairi, sedangkan pada musim kemarau hanya kurang lebih 50.000 ha yang dapat memperoleh air secara penuh (Pawitan et al., 2000). Oleh karena itu pada tahun 1979 telah disusun studi mengenai The Cimanuk Basin Development Project (SMEC, 1979), yang diantaranya berisi mengenai pengelolaan sungai Cimanuk dalam kaitannya dengan penyediaan air dan mitigasi banjir di bagian hilir. Studi kelayakan mengenai Waduk Jatigede dan fasilitas PLTA juga telah dilakukan sejak tahun 1977. Waduk Jatigede terletak di Kabupaten Garut. Berdasarkan hasil evaluasi dari Lower Cimanuk Flood Control Project (SMEC 1983), Waduk Jatigede memiliki potensi paling baik untuk dikembangkan, karena memiliki nilai economics internal rate of return (EIRR) lebih tinggi (20,34%) dan harga tampungan per m3 rendah (Rp. 650 per m3). Volume tampungan Waduk Jatigede adalah 797 juta m3. Manfaat yang diperoleh dari pengembangan Waduk Jatigede adalah pengairan irigasi seluas 68.280 ha, potensi listrik dan penyediaan air baku untuk 79.683 jiwa. Biaya konstruksi untuk pengembangan Waduk Jatigede adalah 517,9 juta US $ (Kurs Rp. 8.500 per US $, tahun 2003). Selain itu sesuai dengan studi The Cimanuk Basin Development Project (SMEC, 1979), pembangunan waduk-waduk lainnya diperlukan untuk pengelolaan sumber daya air di DAS Cimanuk. Pembangunan waduk yang telah dilakukan studi antara lain:
Waduk Cipasang yang berdasarkan hasil evaluasi dari Lower Cimanuk Flood Control Project (SMEC, 1983) memiliki potensi yang cukup baik untuk dikembangkan karena memiliki nilai EIRR lebih tinggi (17,65 %). Waduk Cipasang terletak di Kabupaten Garut, dengan volume tampungan sebesar 395 juta m3. Manfaat yang diperoleh dari pengembangan Waduk Cipasang adalah pengairan irigasi seluas 18.960 ha dan penyediaan air baku untuk 22.126 jiwa. Biaya konstruksi untuk pengembangan Waduk Cipasang adalah 401,9 juta US $ (Kurs Rp. 8.500 per US $, tahun 2003).
Waduk Kadumalik terletak di Kabupaten Majalengka. Waduk Kadumalik adalah waduk yang memiliki biaya pembangunan konstruksi yang lebih murah yaitu sebesar 164,8 juta US $ (Kurs Rp. 8.500 per US $, tahun 2003) memiliki nilai yang positif bila dibanding dengan pembangunan waduk
70
lainnya. Waduk Kadumalik dapat mengairi 20.000 Ha lahan irigasi pada saat musim kemarau. Jika pembuatan Waduk Jatigede ditunda, maka Waduk Kadumalik dengan ketinggian 294 meter dapat menjadi alternatif cadangan utama pembuatan waduk pertama di DAS Cimanuk karena biaya pembangunannya yang lebih murah.
Waduk Pasirkuda terletak di Kabupaten Majalengka dengan volume tampungan sebesar 2,4 juta m3. Nilai ekonomi proyek IRR pengembangan Waduk Pasirkuda adalah 6,07% dan biaya konstruksi untuk pengembangan adalah 72,2 juta US $ (Kurs Rp. 8.500 per US $, tahun 2003).
Waduk Cipeles memiliki volume tampungan sebesar 175 juta m3. Manfaat yang diperoleh dari pengembangan Waduk Cipeles adalah pengairan irigasi seluas 12.000 ha dan penyediaan air baku untuk 14.004 jiwa. Nilai ekonomi proyek IRR pengembangan Waduk Cipeles adalah 6,57% dan biaya konstruksi untuk pengembangan adalah 104,8 juta US $ (Kurs Rp. 8.500 per US $, tahun 2003).
4.3.5. DAS Citanduy Berdasarkan morfologinya, DAS Citanduy sebagian merupakan wilayah depresi Jawa Barat dan sebagian lagi merupakan wilayah dataran rendah yang masuk ke dalam wilayah Lembah Citanduy (Sandy, 1983 dalam Astuti, 1999). Aliran Citanduy berasal dari Gunung Cakrabuana di Provinsi Jawa Barat, dan bermuara di Laguna Segara Anakan yang berada di wilayah administrasi Provinsi Jawa Tengah. Citanduy merupakan sungai utama yang memiliki empat anak sungai: Cimuntur, Cijolang, Cikawung dan Ciseel. Total luas DAS Citanduy kurang lebih 3.460 km2. Luas masing-masing sub DAS yang ada adalah sub DAS Citanduy Hulu 16,15%, sub DAS Cimuntur 14,59%, sub DAS Cijolang 13,89%, sub DAS Cikawung 14,17%, dan sub DAS Ciseel 21,83%. DAS Citanduy berada di tujuh kabupaten dan dua kota, yaitu: Kabupaten Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Kota Tasikmalaya dan Kota Banjar di Provinsi Jawa Barat; serta Cilacap, dan Brebes di Provinsi Jawa Tengah. Sungai Citanduy bermuara di Laguna Segara Anakan.
71
Dari tahun ke tahun, sub DAS Ciseel yang terdapat di bagian hilir dari DAS Citanduy mengalami peningkatan luas karena adanya sedimentasi di Laguna Segara Anakan dan membentuk daratan baru. Antara tahun 1985 hingga 2003 di Laguna Segara Anakan terjadi penyusutan genangan 2293 hektar (Gambar 19).
Gambar 19. Penyusutan luas perairan Laguna Segara Anakan di sekitar muara Citanduy dari tahun 1985 – 2003 (Sumber: Astisiasari, 2008) DAS Citanduy memiliki sembilan jenis tanah dengan pengklasifikasian berdasarkan pada klasifikasi Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat - Bogor. Sembilan jenis tanah di DA Citanduy tersebut adalah: aluvial, andosol, gleisol, grumosol, latosol, litosol, organosol, podsolik, dan regosol. Latosol merupakan jenis tanah terluas yang terdapat di semua sub DAS; sedangkan litosol dengan luas sebesar 2,26 Ha merupakan jenis tanah dengan luas terkecil. Berdasarkan kelas erodibilitas atau koefisien kepekaan erosi dari Bapedal (2001) yang dimodifikasi, jenis tanah yang terdapat di DAS Citanduy terdapat dua kelompok yaitu erodibilitas tinggi: (litosol, organosol, regosol, andosol, podsolik, grumosol) dan erodibilitas rendah: (aluvial, gleisol, dan latosol). Klasifikasi kelas tersebut dan fakta yang dimiliki, maka berdasarkan variabel jenis tanah, DAS Citanduy memiliki kepekaan tanah terhadap erosi yang tergolong rendah. Jenis tanah dengan erodibilitas rendah seperti aluvial, gleisol, dan latosol menutup 71,82% DAS Citanduy, yang membentang mulai dari sub DAS bagian
72
hulu hingga sub DAS bagian hilir. Tanah lainnya adalah jenis tanah dengan erodibilitas tinggi yang menutup wilayah penelitian sebesar 28,18% dengan letak yang tersebar-sebar. Perubahan penggunaan lahan di DAS Citanduy terus berlangsung meski upaya konservasi tanah dan air serta pengelolaan DAS sudah sejak lama dilakukan. Hutan sebagai jenis penggunaan tanah yang sangat berpengaruh terhadap kualitas DAS dan penting bagi konservasi tanah dan air, hanya memiliki luasan total ± 9 – 10% dari luas total DAS. Dalam kurun waktu 12 tahun yaitu 1994 hingga 2006, perubahan luas terbesar terjadi pada hutan yang luasannya berkurang sebesar 4.039,98 Ha. Pertambahan luas terbesar terjadi pada penggunaan tanah tegalan/ladang yang luasannya bertambah sebesar 2.707,59 Ha (Astisiasari, 2008). Hasil penelitian Dharmawan et al., (2004) justru menunjukkan adanya peningkatan hutan. Berdasarkan data satelit Landsat tahun 1991 dan 2003 serta pengecekan lapang pada bulan Mei 2004. Selama 12 tahun periode analisis, hutan alam mengalami peningkatan sebesar 5.043 ha (1%), terutama terjadi di DAS Citanduy hulu. Hutan tanaman mengalami penurunan yang cukup tajam sebesar 31.900 ha (6,73%), yang terjadi di semua sub DAS (Gambar 20). Sedangkan kebun campuran mengalami peningkatan sebesar 34.157 ha (7,2%), terutama di Sub DAS di bagian hulu (SubDAS Cimuntur, Citanduy Hulu, Cijolang). Dari trend perubahan lahan periode 1991 - 2003, ada kecenderungan peningkatan areal hutan alam, konversi hutan tanaman menjadi peruntukan lain dan ada peningkatan areal kebun campuran. Bila dilihat dari fungsi penutupan lahan untuk mencegah erosi dan aliran permukaan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk lahan masyarakat (kebun campuran), menunjukkan adanya proses menuju perbaikan, sedangkan untuk lahan milik pemerintah atau Perhutani (hutan tanaman) menunjukkan penurunan, karena angka konversi hutan tanaman menjadi peruntukan yang lain yang cukup besar. Adanya perbedaan hasil penelitian tersebut disebabkan luas daerah kajian yang digunakan berbeda. Dalam penelitian Astisiasari (2008) penelitian hanya dilakukan di DAS Citanduy, sedangkan Dharmawan et al., (2004), sub DAS
73
Segara Anakan dan Pulau Nusa Kambangan dimasukkan ke dalam DAS Citanduy sehingga daerah studinya lebih luas.
Gambar 20. Perbandingan tutupan lahan dari citra Landsat tahun 1991 dan 2003 di DAS Citanduy (Sumber: Dharmawan et al., 2004) Berdasarkan Surat Keputusan 419/Kpts – 11/1999 dan 435/Kpts – 11/1999, kawasan hutan yang terdapat di DAS Citanduy adalah sebagai berikut: a). Hutan lindung; seluas 6.126,11 Ha berfungsi melindungi tanah dan air, terdapat di barat sub DAS Citanduy Hulu (5.657,32 Ha), utara sub DAS Cijolang (437,73 Ha), dan barat-laut sub DAS Cikawung (31,07 Ha) b). Hutan suaka alam dan wisata; seluas 44.295,29 Ha, berfungsi untuk melindungi satwa langka. Hutan ini terdapat di semua sub DAS yang ada,
74
dengan luasan terbesar terdapat di sub DAS Cikawung (8.486,65 Ha) dan terkecil di sub DAS Citanduy Hulu (1834,41 Ha) c). Hutan produksi terbatas, yang dapat diambil hasilnya memiliki luas 30.469,67 Ha, terdapat di beberapa sub DAS. d). Suaka margasatwa; seluas 5.131,91 Ha terdapat di sub DAS Citanduy Hulu (3.086,95 Ha) dan sub DAS Cimuntur (2.044,97 Ha) e). Taman wisata alam; seluas 52,61 Ha, terdapat di bagian timur sub DAS Citanduy Hulu. Jumlah penduduk yang tinggal di DAS Citanduy kurang lebih 2,75 juta jiwa dengan kepadatan penduduk 764 jiwa/km2 (Dharmawan et al., 2004). Kepemilikan lahan di DAS Citanduy sangat rendah, yaitu 0,3 ha/orang untuk lahan sawah, dan 0,5 Ha/orang untuk lahan kering. Keadaan ini menyebabkan petani tak mampu mencukupi kebutuhan, walau telah melakukan pola tanam intensif. Di sisi lain, pengelolaan lahan pertanian meningkat akibat masih ada masyarakat yang bertahan dengan ketersediaan lahan yang sedikit. Hal ini menyebabkan terjadinya pembukaan hutan, mangrove, menjadi lahan pertanian, mulai dari sawah, kebun campuran, hingga pertanian lahan kering. Kondisi demikian sangat berpengaruh terhadap erosi dan angkutan sedimen. Intensitas erosi berkisar antara 1,1 – 2,9 mm/tahun dan angkutan sedimen pada Sungai Citanduy berkisar antara 0,73 – 9,49 juta ton/tahun. Intensitas erosi dan angkutan sedimen terbesar di Citanduy Hulu yaitu mencapai 2,9 mm/tahun dan 9,49 juta ton/tahun (BPKSA, 2005). Sedangkan menurut studi Engineering Consultant Incorporation (ECI) tahun 1994, Sungai Citanduy membawa partikel sedimen sebesar 5.770.000 m3/tahun yang dialirkan menuju Laguna Segara Anakan. Material yang diendapkan di Laguna Segara Anakan terdiri dari material lempung, lanau dan pasir. Lempung merupakan fraksi terbanyak yang dibawa sungai-sungai, yaitu sebesar 65 – 95%, lanau 2 – 34%, dan pasir sebesar 1 – 24%.
4.3.6. DAS Serayu DAS Serayu terletak di bagian selatan Jawa Tengah. Di sebelah utara dibatasi oleh rangkaian fisiografi Gunungapi Slamet dengan puncak setinggi
75
3.420 meter dpal, ke arah barat menyusuri batas administrasi Kabupaten Wonosobo, Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas dan Cilacap. Di sebelah timur dibatasi oleh rangkaian Gunungapi Sumbing (3.246 meter di atas permukaan air laut) dan Gunungapi Sundoro (3.136 meter dpal), di bagian utara dibatasi oleh kompleks
Pegunungan
Beser,
kompleks
Pegunungan
Rogojembangan,
Gunungapi Slamet, bagian selatan dibatasi oleh Pegunungan Serayu Selatan. Di daerah Banyumas sungai Serayu ke arah selatan menerobos Pegunungan Serayu Selatan secara struktural dan bermuara di Teluk Penyu di Samudera Hindia. Di sebelah barat dibatasi oleh perbukitan yang melintang selatan-utara sepanjang perbatasan Kabupaten Banyumas dan Cilacap dengan puncak tertingginya ialah Gunung Biana (447 meter dpal). DAS Serayu mempunyai luas 3.383 km2 dan secara geografis terletak pada koordinat 07°05' - 07°4' LS dan 108°56' - 110°05' BT. DAS Serayu meliputi 5 (lima) wilayah administrasi, mulai dari hulu ke hilir adalah: sebagian Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, dan sebagian Kabupaten Cilacap. Jumlah penduduk di DAS Serayu kurang lebih 3,3 juta jiwa pada tahun 2000 dengan kepadatan penduduk rata-rata 975 jiwa per km2 (Bappedalda Jateng dan UGM, 2003). Curah hujan tahunan di DAS Serayu bervariasi dari 1.821 mm/tahun (Klampok) sampai 4.477 mm/th (Pringombo). Curah hujan tinggi (>3.000 mm/th) banyak dijumpai di wilayah Gunungapi Slamet, Sumbing, dan Sindoro. Di kompleks Pegunungan Dieng, Rogojembangan berkisar antara 2.500 sampai 3.000 mm/tahun. Sebaran dari curah hujan tahunan di DAS Serayu disajikan pada Gambar 21. Geologi di DAS Serayu tersusun atas formasi-formasi batuan berumur pre-Tersier hingga kuarter berupa hasil letusan gunungapi dan endapan aluvial. Batuan-batuan tua yang tersingkap di DAS Serayu umumnya merupakan fasies laut dangkal berukuran lempung hingga boulder. Peralihan antara satu formasi batuan ke formasi batuan yang lain umumnya terjadi secara tidak selaras. Batuanbatuan berumur tersier dan pre-tersier beberapa tempat ada yang diterobos oleh batuan intrusi dioritis dan beberapa tempat ditumpangi oleh endapan gunungapi muda baik yang berasal dari Gunungapi Slamet, Sumbing, Sindoro, atau
76
gunungapi-gunungapi lain yang ada di DAS Serayu. Material gunungapi yang menutupi formasi-formasi batuan yang lebih tua berada dengan ketebalan yang bervariasi mulai dari kurang dari 1 meter seperti di beberapa tempat di Dermakradenan hingga lebih dari 10 meter di Batuanten di daerah dekat Ajibarang.
Gambar 21. Peta isohyet curah hujan tahunan di DAS Serayu (Sumber: Bapedalda Jateng dan UGM, 2003) Satuan-satuan
tanah
yang
ada
di
DAS
Serayu
menurut
Mangunsukardjo (1984) adalah kelompok aluvial, regosol, litosol, andosol, latosol, grumusol, dan podsolik. Sungai Serayu berhulu di kompleks perbukitan Dieng; dan mempunyai tujuh anak cabang sungai, yaitu: Sungai Begaluh, Tulis, Merawu, Klawing (dengan anak cabang: Sungai Gintung, Pekacangan, dan Pelus), Banjaran, Sapi dan Tajum. Sungai utama mengalir dari daerah Dieng ke arah selatan melewati Laksono, Banjarnegara yang masuk ke Waduk Sudirman, Wanadadi, Mandinaga, Purworejo, hingga Banyumas. Aliran air yang telah lewat dari Banyumas, alirannya berbelok ke arah selatan melalui Rawalo, Maos dan bermuara di Samudera Hindia, di sebelah timur Kota Cilacap (Gambar 22).
77
Gambar 22. Peta pembagian sub DAS di DAS Serayu (Sumber: Bappedalda Jateng dan UGM, 2003) Angka debit aliran spesifik di beberapa sungai di DAS Serayu disajikan dalam Tabel 18 memperhatikan angka debit aliran rata-rata dari stasiun aliran yang ada, nampak bahwa kondisi aliran termasuk kategori baik (angka debit aliran rata-rata lebih
besar dari 0,04 m 3 /detik/km 2 ). Debit aliran
ekstrim adalah debit aliran puncak maupun debit aliran minimum. Debit puncak spesifik, dikatakan jelek bila debit puncak spesifik lebih besar 1,25 m 3/detik/km2 ; baik bila angkanya antara 0,85 sampai dengan kurang dari 1,25 m 3/detik/km2 ; dan sangat baik bila angkanya kurang dari 0,87 m 3 /detik/km 2 . Debit aliran minimum bila angkanya kurang dari 0,035 m 3 /detik/km 2 dikatakan jelek. Tabel 18. Karakteristik debit spesifik sungai-sungai di DAS Serayu No
Sungai
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Begaluh Merawu Klawing (Sliga) Klawing Serayu Banjaran Tajum Serayu Serayu (Rawalo)
Luas (km2) 223,1 276,2 581,0 31,3 723,3 44,5 247,5 2.631,3 3.096,0
Debit Rerata (m3/dt/km2) 0,08 0,05 0,12 0,14 0,08 0,11 0,08 0,09 0,09
Q Min (m3/dt/km2) 0,03 0,01 0,02 0,03 0,01 0,01 0,01 0,02 0,03
Q Mak (m3/dt/km2) 25,2 109,0 71,4 38,7 139,9 40,5 156,1 25,1 18,1
Sumber: Bappedalda Jateng dan UGM, 2003
78
Berdasarkan data aliran yang ada, angka debit minimum spesifik termasuk kategori jelek (>0,035 m3/detik/km2). Kondisi tersebut disebabkan oleh pemanfaatan aliran pada waktu musim kemarau untuk pengairan sangat intensif, sehingga debit aliran yang terukur menjadi kecil. Ditinjau dari debit puncak spesifik dan rasio debit puncak dengan debit minimum, sungai-sungai yang perlu mendapat perhatian antara lain Sungai Merawu, Klawing, Tajum, dan Sungai Banjaran. Persentase lahan hutan di DAS Serayu sebesar 11,68% dari luas DAS dan sawah sebesar 12,08%, tubuh perairan sebesar 0,54%; penggunaan lahan ini mempunyai peran terhadap tata air DAS yang baik. Penggunaan lahan yang kurang baik terhadap tata air adalah belukar, permukiman, kota dan tegalan dengan total luas sebesar 74,24% dari total DAS. Berdasarkan luasan tersebut, aspek aliran langsung termasuk kurang menguntungkan. Lahan sawah banyak dijumpai di Kabupaten Banyumas, Purbalingga dan Banjarnegara; daerah ini banyak membutuhkan air untuk irigasi. Berdasarkan prosentase jenis penggunaan lahan di DAS Serayu, persentase hutan yang ada saat ini yaitu 11,68% masih dirasakan kurang karena luas kawasan hutan yang ideal adalah minimal 30% dari luas DAS. Intensifnya pengolahan lahan pertanian di pegunungan menyebabkan tingkat erosi di DAS Serayu sudah melebihi batas ambang batas 2 mm/tahun. Erosi tanah di sub DAS Merawu kurang lebih 5-14 mm/tahun karena adanya pertanian tanaman kentang di Pegunungan Dieng, sedangkan erosi tanah di DAS Serayu rata-rata mencapai 4,17 mm/tahun. Kondisi demikian meningkatkan sedimentasi Waduk Jenderal Sudirman (Mrica) dan mengurangi umur waduk tersebut. Berdasarkan analisis batimetri, pengukuran sedimentasi yang mengendap di waduk pada 1988 - 2004, total endapan 67,1 juta m3 atau rata-rata per tahun kurang lebih 4,19 juta m3/tahun Padahal batas maksimal yang bisa ditolerir adalah 30,60 m3/tahun. Hal ini menyebabkan berkurangnya umur waduk dan kemampuan produksi PLTA sebesar 180,93 MW per tahun. Diperkirakan umur bendungan tidak akan berfungsi pada tahun 2025. Di DAS Serayu telah terdapat sistem irigasi yang intensif, yaitu dengan dibuatnya beberapa bendung dan stasiun pompa air permanen di beberapa
79
tempat, antara lain: Bendung Singomerto, Bendung Banjar Cahyana, Bendung Panaruban, Bendung Tajum, Stasiun Pompa Air Gambarsari, dan Stasiun Air Pasanggrahan. Di samping bendung-bendung dan pompa air permanen juga banyak dibuat bendung-bendung kecil tidak permanen untuk keperluan irigasi desa atau sederhana.
4.3.7. DAS Bengawan Solo Bengawan Solo merupakan sungai yang terpanjang di Pulau Jawa yaitu kurang lebih 600 km dengan luas DAS kurang lebih 16.100 km2 atau kurang lebih 12,3% dari luas Pulau Jawa. Sungai ini mengalir melintasi Provinsi Jawa Tengah (delapan kabupaten, satu kota) dan Jawa Timur (sembilan kabupaten, dua kota) dengan melalui beberapa rangkaian pegunungan seperti: Pegunungan Kapur, Kendeng, Merapi, Merbabu, Lawu dan Wilis. Jumlah penduduk di DAS Bengawan Solo terus bertambah. Pada tahun 1980 kurang lebih 13,45 juta jiwa, tahun 1990 meningkat menjadi 14,67 juta jiwa, tahun 1998 menjadi 15,37 juta jiwa dan tahun 2005 menjadi 17,5 juta jiwa dengan kepadatan penduduk 1.087 jiwa per km. Lembah Bengawan Solo Hulu (6.072 km2) dan Kali Madiun (anak sungai dengan luas DAS 3.755 km2) merupakan lembah yang sangat luas dan berada di atas dataran alluvial. Bengawan Solo Hilir melintasi bukit-bukit Tertiary dan Kuarter dan rangkaian pegunungan Kendeng. Bukit Tertiary terdiri dari batuan tufa, lanau, lempung dan batugamping Miosen. DAS Bengawan Solo beriklim tropis yang ditandai dengan curah hujan yang tinggi pada musim hujan dan curah hujan rendah pada musim kemarau dengan curah hujan tahunan rata-rata sebesar 2.100 mm. Kurang lebih 80% curah hujan tahunan terjadi pada bulan November hingga April. Rata-rata evaporasi kurang lebih 4,3 mm/hari. Secara keruangan curah hujan terkonsentrasi di bagian hulu yaitu di sekitar Gunung Lawu dan Gunung Merapi dengan curah hujan tahunan kurang lebih 3.000 mm/tahun. Di bagian tengah curah hujan tahunan kurang lebih 2.000 mm/tahun dan di bagian hilir kurang lebih 1.500 mm/tahun. Adapun batas DAS Bengawan Solo dapat dilihat pada Gambar 23,
80
Gambar 23. Peta batas DAS Bengawan Solo (Sumber: PJT I) Untuk pemantauan debit sungai terpasang 120 stasiun yang tersebar merata di sepanjang Sungai Bengawan Solo, dimana 42 berupa AWLR dan 78 berupa papan duga muka air. Karakteristik aliran dari beberapa stasiun pengamatan hidrologi di Sungai Bengawan Solo disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Karakteristik aliran Sungai Bengawan Solo No
Stasiun
Luas DAS (km2) 3.220 9.880 10.078 12.804 14.247
Qr 1) (m3/dt)
Qmax 2) (m3/dt)
Qr max
Qr min 4) (m3/dt)
3)
(m3/dt) 762 1.809 1.421 1.879 1.731
1 Jurug 101,1 2.200 2 Napel 273,8 3.196 3 Karangnongko 212,0 1.587 4 Bojonegoro 346,1 2.510 5 Babat 418,6 2.207 Sumber: LIPI, 2004 Keterangan: 1) Debit tahunan rata-rata; 2) Debit maksimum; minimum rata-rata
3)
10,8 14,1 12,6 19,0 26,2
Qr/A (m3/dt/100 km2) 3,42 2,77 2,10 2,83 2,84
Qmax/A (m3/dt/100 km2) 68,3 32,3 15,7 19,6 15,5
Debit maksimum rata-rata; 4) Debit
Dalam pengelolaan sumber daya air, di DAS Bengawan Solo telah dibangun tujuh bendungan dengan kapasitas yang bervariasi. Tujuh bendungan tersebut adalah bendungan Wonogiri (Gajah Mungkur), Parangjoho, Nawangan, Song Putri, Gondang, Pacal dan Prijetan dengan kapasitas total mencapai 828 x 10 6 m3.
Bendungan Wonogiri merupakan bendungan terbesar di DAS
81
Bengawan Solo dengan kapasitas tampung 730 x 10 6 m3 yang selesai dibangun pada tahun 1981. Bendungan tersebut berfungsi sebagai suplesi air irigasi untuk 23.200 ha, PLTA 12,4 MW dan pengendali banjir dengan kemampuan mampu mereduksi debit banjir dari 4.000 m3/detik menjadi 400 m3/detik. Berdasarkan analisis citra satelit Landsat tahun 2001, tutupan lahan di DAS Bengawan Solo didominasi oleh pertanian lahan kering (43,78%), sawah (18,97%), hutan (13,57%), permukiman (10,84%), semak belukar (5,06%), tanah terbuka (4,18%), perkebunan (1,55%) dan tambak/rawa (1,49%) (Gambar 24). Lahan pertanian banyak diusahakan di daerah pegunungan hingga lereng yang cukup terjal. Kondisi demikian menyebabkan tingkat erosi tanah, khususnya di bagian hulu cukup besar. Erosi tanah di DAS Bengawan Solo Hulu mencapai 3,14 mm/tahun dan sedimen lapang mencapai 250 – 1000 ton/ha/tahun. Berdasarkan data sounding, sedimentasi di Bendungan Wonogiri mencapai 5,9 juta m3/tahun antara tahun 1980-1993 dan 3,1 juta m3/tahun atau 3.192.000 ton/tahun antara tahun 1993 – 2005 (JICA, 2006). Besarnya tingkat sedimentasi tersebut menyebabkan kapasitas bendungan berkurang.
Gambar 24.
Kondisi tutupan lahan berdasarkan citra Landsat tahun 2001 di DAS Bengawan Solo
82
4.3.8. DAS Brantas Sungai Brantas merupakan sungai terbesar kedua di Pulau Jawa. Panjang sungai utama mencapai kurang lebih 320 km, memiliki DAS seluas 12.000 km2 yang mencakup kurang lebih 25% luas Provinsi Jawa Timur atau kurang lebih 9,17% dari luas Pulau Jawa, dan mempunyai 39 anak sungai. Sungai ini mengalir dari lereng barat daya Gunung Arjuna dan bermuara di Selat Madura. Sungai Brantas dikelilingi oleh jajaran Gunung Kelud di bagian tengah DASnya, Gunung Semeru di bagian timur. Gunung Wilis di bagian barat dan rangkaian perbukitan di sepanjang bagian utara dan selatan. Hulu Sungai Brantas berasal dari gunung berapi Arjuno yang terbagi menjadi tiga cabang utama yang menuju pesisir. Sungai Porong dan Wonokromo merupakan cabang utama yang mengalir ke Selat Madura, sedangkan Sungai Mas mengalir ke dekat Selat Madura setelah melalui Kota Surabaya. Kurang lebih 40 km sebelum kota Surabaya, Sungai Brantas terbagi menjadi dua cabang yaitu Sungai Surabaya ke arah timur laut dan Sungai Porong ke arah tenggara. Kedua sungai ini merupakan sumber sedimen utama ke arah laut. Selama musim hujan hampir 80% air sungai yang berasal dari Sungai Brantas dibuang ke arah Sungai Porong dengan debit 600 m3/detik hingga mencapai 1.200 m3/detik pada kondisi hujan yang ekstrim (Hoekstra et al., 1989). Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya banjir di Kota Surabaya. Kira-kira 10 km sebelum Kota Surabaya, sungai Surabaya bercabang menjadi dua yaitu Kali Mas dengan volume air yang relatif kecil memasuki Kota Surabaya dan sebagian lagi menuju Sungai Wonokromo di arah Tenggara (30 km sebelah Utara Sungai Porong) mengalir ke arah Selat Madura. Disebabkan oleh beban sedimen yang besar, estuari di Sungai Porong cenderung membentuk delta. Pada musim kering, aliran cenderung diarahkan ke Kota Surabaya, dan debit ke Sungai Porong relatif rendah (Hoekstra, 1989).
83
Gambar 25. Peta DAS Brantas (Sumber : PJT I) Jumlah penduduk yang tinggal di DAS Brantas terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 1980 jumlah penduduk sebesar 12 juta jiwa, dan pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 16 juta jiwa. Laju pertumbuhan penduduk juga meningkat. Pada periode tahun 1980-1990 pertumbuhan penduduk 0,81%, tahun 1990-2000 sebesar 1,5%, dan tahun 2000-2005 kurang lebih 0,88% (BPS, 2005). Jumlah penduduk tersebut merupakan 43% penduduk Provinsi Jawa Timur dan 7% dari penduduk Indonesia. DAS Brantas beriklim tropis dengan curah hujan tahunan rata-rata sebesar 2.000 mm/tahun yang menghasilkan potensi air permukaan sebesar 12 miliar m3/tahun. Guna mengelola sumber daya air yang ada di DAS Brantas tersebut, pembangunan DAS Brantas telah dilaksanakan sejak tahun 1960 hingga sekarang, dengan hasil pembangunan berupa sejumlah prasarana sumber daya air dengan total investasi hingga akhir tahun 2005 mencapai Rp. 7,9 triliun (Trie et al., 2005). Hasil pembangunan, berupa sejumlah prasarana sumber daya air antara lain: waduk/ bendungan (Sengguruh, Sutami, Lahor, Wlingi, Selorejo, Bening
84
dan Wonorejo), bendung (Lodoyo, Mrican, Lengkong Baru, Gunungsari, Gubeng, Segawe dan Tiudan) dan bendung karet (Menturus dan Jatimlerek), terowongan, tanggul, dan lain sebagainya (Tabel 20). Manfaat yang diperoleh dengan pengelolaan pada DAS Brantas, antara lain dapat mengendalikan banjir 50 tahunan di sungai utama seluas 60.000 ha, menghasilkan energi listrik setara 1 miliar kWh/tahun, menyediakan air untuk irigasi ± 2,5 milyar m3/tahun (seluas ± 125.000 ha), menyediakan air baku untuk industri 144 juta m3/tahun (lebih dari 150 buah industri besar dan kecil) dan PDAM ± 243 juta m3/tahun. Manfaat lain adalah penyediaan sarana pariwisata, perikanan dan lain sebagainya. Untuk total nilai benefit keseluruhan Rp. 4,4 triliun/tahun. Tabel 20. Perubahan tampungan efektif waduk-waduk akibat sedimentasi di DAS Brantas No
Waduk
Luas DAS (km2)
Perubahan Tampungan Efektif (juta m3) Fungsi Tahun
Tampu ngan 50,1 253,0 29,4 28,4 105,8
Tahun Tampungan
1 Selorejo 90 I, L, B 1970 2003 41,5 2 Sutami 2.050 I, L, B, M, D 1972 2003 145,2 3 Lahor 160 I, L, B, M, D 1977 2001 25,8 4 Bening 238 I, L, B 1981 1999 22,3 5 Wonorejo 126 I, L, B, M, D 2001 2001 105,8 Sumber: Trie et al., 2005 Keterangan : I = irigasi; L = PLTA; B = pengendali banjir; M = PDAM; P = industri
(%) 83% 57% 88% 81% 100%
Tingginya jumlah penduduk menimbulkan banyak masalah terutama yang berkaitan dengan kerusakan DAS. Beberapa permasalahan yang terjadi di DAS Brantas antara lain makin berkurangnya luas hutan, ilegal logging, banjir, kekeringan, erosi, sedimentasi, pencemaran sungai dan sebagainya. Prosentase hutan di DAS Brantas sangat kecil jika dibandingkan dengan jenis penggunaan lahan lainnya. Berdasarkan interpretasi dari citra Landsat tahun 2001, distribusi penggunaan lahan di DAS Brantas adalah: sawah (42,13%), pertanian dan perkebunan (29,33%), permukiman (14,99%), hutan (8%), dan semak belukar (1,71%) (Baplan Dephut, 2001). Data dari PJT I (2003), memperlihatkan bahwa penggunaan lahan di DAS Brantas adalah sawah (39%), perkebunan (22%), permukiman (16%), lahan kering (12%) dan hutan (11%) (Gambar 26).
85
Terbatasnya hutan dan kawasan resapan air menyebabkan erosi dan sedimen di DAS Brantas cukup besar. Sedimen lapang oleh erosi sungai di Sungai Konto kurang lebih 85,2 ton/ha/tahun atau 4.736,1 m3/km2/tahun atau 4,7 mm/tahun atau
1.117.729
m3/tahun (JICA,
1998).
Kondisi demikian
menyebabkan tampungai efektif dari waduk-waduk yang ada di DAS Brantas berkurang 57% - 100%. Pada dasarnya pemerintah telah membuat arahan pengelolaan secara profesional terhadap air dan bangunan prasarana pengairan di DAS Brantas, melalui PP No. 5 Tahun 1990 yang telah diubah dengan PP No. 93 Tahun 1999. Selanjutnya Keppres No. 129 Tahun 2000 berisi tentang pembentukan Perum Jasa Tirta I sebagai BUMN yang menyelenggarakan pemanfaatan umum atas air dan sumber-sumber air yang bermutu dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak, serta melaksanakan tugas-tugas tertentu yang diberikan pemerintah
dalam
pengelolaan
DAS
(konservasi
sumber
daya
air,
pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air).
Gambar 26. Kondisi tutupan lahan berdasarkan citra Landsat tahun 2001 di DAS Brantas
86