ISSN. 135 - 665 - 82 - 47
JIAH Jurnal Ilmu Agama dan Humaniora
Vol. 1 No. 02 Oktober 2012 - Maret 2013 Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
i
JIAH
JURNAL PENELITIAN ILMU AGAMA DAN HUMANIORA
Susunan Pengelola Jurnal Penelitian Ilmu Agama dan Humaniora Penanggung Jawab: Ketua Lembaga Penelitian IAIN Surakarta Ketua Penyunting: Imam Mujahid Penyunting Pelaksana: Sidik, Budi Santoso, Taufik Wijaya, Susilo Surakhman Penyunting Ahli: Usman Abu Bakar (IAIN Surakarta), Sutrisno (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), Kamaruzzaman Yusoff (Universitas Kebangsaan Malaysia), Anas Saidi (LIPI), Mardjoko Idris (Lemlit UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) Tata Usaha: Widaya, Arabella Zulfa Laila.
Penerbit: Lembaga Penelitian IAIN Surakarta Jl. Pandawa Pucangan Kartasura Sukoharjo Jawa Tengah Telp. (0271) 782404/781516 Fax. (0271) 782774 e-mail:
[email protected] JIAH, ISSN 135-665-82-47, diterbitkan dua kali dalam setahun oleh Lembaga Penelitian IAIN Surakarta, berdasarkan Keputusan Rektor IAIN Surakarta Nomor 498 Tahun 2012 tanggal 29 Juli 2012. Desain Cover: Tri Asih Munaji Lay Out: Maridi
ii
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
Vol. 1 No. 02 Oktober 2012 - Maret 2013
JIAH
ISSN. 135-665-82-47
JURNAL PENELITIAN ILMU AGAMA DAN HUMANIORA
Daftar Isi Achmad Nur Islam Komunikatif Berwajah Indonesia (Panduan Praktis Warga Negara dan Umat Beragama di Ruang Publik)
1 - 18
Mukhibat Akulturasi Islam dan Budaya Lokal
19 - 36
Supa’at Eksistensi Madrasah Para Era Otonomi Daerah
37 - 54
Ahmad Munir Konversi Agama (Studi Kasus Converts di Desa Klepu Kecamatan Sooko Kabupaten Ponorogo)
55 - 72
Muh. Hizbul Muflihin Manajemen Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)
73 - 88
Nurul Kamilati Diklat Teknis Guru IPA Berbasis Lesson Study
89 - 100
Nuryana Implementasi Pendidikan Karakter Pada Pondok 101 - 130 Pesantren (Studi Kasus di Pondok Pesantren Al Mau’unah Desa Kepuh K ecamatan Palimanan Kabupaten Cirebon) Sofyan Hadi 131 - 158 The Effort of PP. Darus Sholah and PP. Darul Arifin Jember Students in Stemming Radicalism Ideology of Islam
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
iii
Pedoman Transliterasi Pengalihan huruf Arab-Indonesia dalam naskah ini didasarkan atas Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, tanggal 22 Januari 1988, No. 158/ 1987 dan 0543.b/U/1987, sebagaimana yang tertera dalam buku Pedoman Transliterasi Bahasa Arab (A Guide to Arabic Transliteration), INIS Fellow 1992. a. Konsonan-Konsonan (Consonants)
b. Vokal Pendek (Short Vowels)
c.
Vokal Panjang (Long Vowels) ﺍ....
d. Diftong (Diphtongs)
e.
Pembauran Kata Sandang Tertentu (Assimilation of the definite Article)
iv
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
ISLAM KOMUNIKATIF BERWAJAH INDONESIA Panduan Praktis Warga Negara dan Umat Beragama di Ruang Publik
Achmad Nur Dosen STAINH Situbondo Abstract This paper is a practical guide for citizens and religious communities in public spheres. Variety of social problems is the excess of the social discrimination conducted by citizens and religious communities. Those who describe themselves as citizens do not care about the existence of religious communities, on the contrary, those who claim to be religious people also have no tolerance for citizens. Ironically, such arrogance tends to result in a destructive conflict, which often times be vested in the defense of the faith and opponents of the state. To minimize the occurrence of such discrimination, this paper offers a concept of communicative action refers to the discourse ethics of Jurgen Habermas. Based on these concepts, an Indonesian citizen could perform the obligation of the state, and religious people are free to practice their religion. In this regard, Indonesia has the strength and pride to realize the goal of the state and religious obligations without bloodshed and tears.
Key words: Islam, Communication, Public Room Abstrak Tulisan ini merupakan suatu panduan praktis bagi warga negara dan umat beragama di ruang publik. Beragam permasalahan sosial merupakan ekses dari berbagai diskriminasi sosial yang dilakukan oleh warga negara dan umat beragama. Mereka yang mengaku dirinya sebagai warga negara tidak peduli dengan keberadaan umat beragama, sebaliknya, mereka yang mengaku sebagai umat beragama juga tidak memiliki toleransi terhadap warga negara. Ironisnya, arogansi demikian cenderung melahirkan terjadinya konflik yang merusak, yang acap kali diatasnamakan membela agama dan penentang negara. Untuk meminimalisasi terjadinya diskriminasi
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
1
tersebut, tulisan ini menawarkan konsep tindakan komunikatif yang mengacu pada etika wacana dari Jurgen Habermas. Berdasarkan konsep tersebut, warga negara Indonesia bisa melaksanakan kewajiban dari negara, dan umat beragama bebas menjalankan ajaran agamanya. Dalam hal ini, Indonesia memiliki kekuatan dan kebanggaan untuk mewujudkan tujuan negara dan kewajiban agama tanpa pertumpahan darah dan tetesan air mata
Kata Kunci : Islam, Komunikasi, Ruang Publik
Pendahuluan Islam merupakan agama Tuhan yang disebarkan melalui proses interaksi dengan kebudayaan dan problem sosial masyarakat. Pada awalnya, Islam lahir di dunia Arab sebagai pijakan hidup masyarakat Arab dalam berperilaku. Oleh karena konteks sosial-budayanya adalah masyarakat Arab, maka nilai-nilai Islam yang berbentuk aturan disesuaikan dengan kapasitas dan kondisi masyarakat Arab. Dari proses dialog inilah Islam berkembang dan besar menjadi agama manusia dari masa kemasa, negara ke negara, hingga nilai-nilai Islam bisa dihirup dan dinikmati oleh bangsa Hindia Belanda yang pasca kemerdekaan disebut sebagai Indonesia. Seiring dengan perkembangan pengetahuan yang menggerakkan ruh kebudayaan manusia, Islam di Indonesia juga bergerak mengikuti tradisi keilmuan yang berkembang. Islam pada mulanya masuk ke-Nusantara pada abad ke-13 dengan semangat kebudayaan (Tsaqofah) dan tradisi (Turats) yang dibawa oleh para pedagang dari negeri Gujarat. Melalui semangat inilah Islam kemudian berkembang ke pulau Jawa dengan strategi dakwah yang adaptif terhadap kebutuhan dan kondisi sosial masyarakat Jawa. Atas dasar itulah Islam Indonesia pada awal penyebarannya masih satu warna yaitu Islam yang dipahami dan dibawa oleh para Wali Songo. Dewasa ini, Islam Indonesia bukan lagi satu warna melainkan multi warna (warna-warni). Menurut amatan penulis, ada dua corak pemahaman ke-Islaman yang saat ini mewarnai bumi pertiwi yaitu kontekstualis dan tekstualis. Corak yang pertama memahami Islam secara dialogis dengan budaya lokal bangsa Indonesia. Misalnya: Nurkholis Majid dengan konsep 2
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
sekularisasi Islam, Gus Dur dengan konsep pribumisasi Islam, Dawam Raharjo dkk dengan konsep pluralisme Islam. Dari kawula muda, diwarnai oleh Ulil Absar dkk dengan JIL, dan juga diramaikan oleh kawan-kawan Jogja dengan beberapa pemikiran ke-Islaman yang terangkum dalam Madzhab Jogja. Corak yang bersifat tekstualis memahami Islam secara tekstual berdasar makna dasar sebuah teks asasi Islam (Al-Qur’an-Sunnnah) tanpa ada dialektika dengan budaya lokal. Kelompok ini diwarnai oleh HTI gerakan transnasional yang berteriak dan mengusung konsep Khilafah Islamiah. Disusul dengan kelahiran FPI yang juga berteriak tentang tegaknya syariat Islam di Indonesia dengan percikan-percikan kekerasan bahkan ker usakan. Secara individual, pemahaman tekstual ini dikembangkan oleh Adian Husaini dengan kritik tajam terhadap metode hermeneutik, Hartono Ahmad Jais yang popular dengan buku: ada pemurtadan di IAIN. Keragaman pemahaman ke-Islaman di Indonesia sebagaimana data di atas, menyiratkan bahwa Islam bersifat umum dan abstrak sehinggga butuh pemahaman dan kreasi manusia untuk mengkongkritkan pesanpesan ke-Islaman agar bisa berfungsi sebagai landasan hidup bagi manusia. Tanpa mengurangi sikap apresiatif terhadap dua corak pemikiran di atas, ditengarai bahwa sampai saat ini konsep Islam warna-warni hanya bersifat wacanis belum beroperasi pada wilayah praktis dan menyentuh lapisan problem kehidupan masyarakat. Di altar lain, wacana tersebut dapat memperparah kebingungan masyarakat bahkan membuat masyarakat resah dalam memahami dan menjalankan ajaran-ajaran Islam. Konsep Islam Indonesia yang dirumuskan oleh pemikir di atas juga tidak memberikan sebuah peta atau rumusan praktis yang jelas dan mudah untuk dilakukan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Konsep Islam kaffah yang dipertahankan oleh kelompok pemikir di atas bukan malah menyelesaikan problem bangsa malah melahirkan masalah baru dengan tidak mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan bagi kelompok agama lain. Berdasar potret keberagamaan di atas, lahirlah ketertarikan akademik yang menunjukkan bahwa pemahaman ke-Islaman memiliki dua dimensi yaitu dimensi privat atau individual dan dimensi publik atau sosial. Kegelisahannya adalah dua dimensi tersebut dalam pertarungan wacana Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
3
ke-Islaman di Indonesia belum ada rumusan yang jelas sehingga kerap kali terjadi pemaksaan sikap privasi keagaman terhadap publik, dan pengkaburan atau politisasi publik terhadap agama. Pertanyaannya adalah bagaimana rumusan pola interaksi keberagamaan masyarakat Indonesia yang bersifat privasi dan publik. Untuk menjawab pertanyaan di atas akan digunakan teori diskursus Jurgen Habermas yang beraksentuasi pada pola tindakan komunikatif dan sikap deliberative di ruang publik. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan pola pemahaman baru dalam memahami dan mengamalkan nilai Islam diruang publik tanpa mencederai nilai kesatuan bangsa Indonesia.
Posisi Agama dalam Pergumulan Sosial Dalam tatapan sosial, agama merupakan sebuah sistem yang berupa aturan yang dirancang dan dirumuskan oleh Tuhan untuk dijadikan pijakan oleh makhluk sosial. Oleh karena merupakan sistem, maka agama dibuat sesuai dengan kebutuhan manusia, bukan kebutuhan Tuhan. Dikatakan demikian, karena turunnya perintah Tuhan berawal dari pergulatan sosial masyarakat dalam mengarungi kehidupan. Realitas keagamaan di atas kemudian direspon oleh para pakar sosial sehinggga melahirkan beberapa tesis tentang agama. E.B. Tylor menyebut agama sebagai bentuk kepercayaan terhadap wujud spiritual. Radcliffe Brown seorang antropolog menyebut agama sebagai ekspresi bentuk ketergantungan pada kekuatan di luar diri, atau akrab disebut sebagai kekuatan moral atau spiritual. Pernyataan tersebut, dipertegas relasi sosialnya oleh sosiolog kontemporer Amerika yang bernama Yinger dengan menyebut agama sebagai sistem kepercayaan dan peribadatan yang digunakan oleh pelbagai bangsa dalam mengatasi problem sosial. 1 1
Beberapa tesis tentang agama diatas menyiratkan bahwa didalam agama, terdapat sebuah perasaan manusia yang lahir sebagai wujud kekagumannya terhadap kekuatan yang tidak dimiliki dalam dirinya. Kekuatan ini yang dinamakan nilai nilai ketuhanaan. Namun kekuataan tersebut tidak bisa dirasakan oleh manusia, tatkala manusia tidak pernaha merasakan kehidupan dunia atau sosial. Dari perbedaan perasaan inilah timbuk sebuh kekaguman dan pengakuan terhadap kekuatan luar. Lihat, Sulthon Fatoni, Peradaban Islam: Desain Awal Peradaban, Konsolidasi Teologi, Konstruksi Pemikiran dan Pencarian Madrasah, (Jakarta: eLsas, 2007), hal. 124
4
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
Konsep tersebut diklasifikasi oleh Emile Durkheim, bahwa agama merupakan fakta sosial yang didalamnya terdiri dari dua dimensi yaitu dimensi profan dan sakral2. Profanitas agama bermuara pada unsur konkritisitas yang meliputi tata kehidupan dunia. Misalnya, mencari nafkah, mencari pengetahuan, menata kehidupan keluarga dan berkomunikasi dengan tetangga. Adapun sakralitas agama oleh Durkheim disebut sebagai totemisme yaitu praktik ritualitas keagamaan yang berorientasi pada pencarian sesuatu yang abstrak. Unsur dualitas inilah yang oleh Durkheim disebut sebagai dasar agama. Artinya keberagamaan manusia lahir dari kepekaan spritual yang tumbuh melalui semangat pencarian melalui ritual. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa manusia memeluk agama bukan karena paksaan hidup melainkan sebuah kesadaran akan pentingnya hidup dan getaran jiwa akan sesuatu yang sakral. Kesadaran yang dimaksud bukan kesadaran individu melainkan kesadaran sosial, karena berinteraksi dengan kehidupan sosial. Max Weber dengan sosiologi agamanya juga melihat agama sebagai aturan yang lahir dari pergumulan sosial masyarakat akan kejadian-kejadian di dunia. Menurutnya, agama pada awalnya lahir dari pengalaman subjektif, dan ide-ide individu akan sifat-sifat religius. Melalui sifat keagamaan ini, manusia yang pada mulanya tidak kenal agama menjadi tahu akan agama yang terpancar atau terepresentasi dalam nilai-nilai religiusitas. Selain itu, kelahiran agama oleh Weber juga ditengarai dari adanya kekuatan tokoh agama atau dinamakan sebagai charisma yang mempengaruhi masyarakat dalam meyakini dan menjalankan titah agama.3 2
3
Konsep Durkheim tentang agama ingin menunjukkan bahwa agama merupakan kekuatan yang lahir dari kekuatan bawah yaitu seorang hamba akan pencarian jati diri. Ini berawal dari teori fakta sosial yang melihat manusia hidup dalam keterpaksaan sosial. Keterpaksaan yang dimaksud adalah kebiasaan yang dilakukan oleh individu sehingga menjadi sebuah keyakinan, bahkan membentuk sebuah tradisi kehidupan. Lebih jelas baca KJ. Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu Masyarakat dalam Cakrawala Sosiologi, (Jakarta: PT Gramedia, 1993), hal. 157-159. Sosiologi weber mengagambarkan bahwa pengalaman dan karisma merupakan subjek dominan dalam mempengaruhi kehidupana beragama. Artinya, agama memiliki dimensi intelektualitas dan spritualitas. Lihat Max Weber, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Ircisod, 2002), hal:1-3
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
5
Sebagai bentuk perkembangan pengalaman keagamaan manusia, agama bukan hanya merupakan bentuk pengalaman kehidupan individu melainkan agama juga menjelma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pernyataan ini diperkuat oleh soiolog ternama Jean Jacques Roesseau yang dikenal dengan teori kontak sosial. Menurutnya ada tiga jenis agama4: pertama, agama manusia yaitu agama individual yang hanya menekankan pada pemujaan Tuhan Yang Maha Mulia yang berada dalam hatinya dan kewajiban moral yang abadi tanpa harus terbayangi atau terbebani oleh kuil, altar dan ritus. Kedua, agama warga yaitu agama sosial yang dianut oleh masyarakat dari bangsanya. Jenis ini, perilaku keagamaan juga melibatkan unsur ritualitas, tempat ibadah yang sudah diatur oleh undang-undang. Ketiga, agama yang tidak ada nama, namun mengandung makna yang oleh Roesseau disebut sebagai agama aneh memberikan kepada manusia dua undang-undang, dua tanah air, memaksakan dua kewajiban yang bertentangan dan menghalangi mereka menjadi orang saleh dan juga warga negara. Ketiga jenis agama tersebut oleh Roesseau dinilai memiliki kekurangan karena ditengarai menghancurkan kesatuan sosial. Selanjutnya ditawarkannya agama sipil tidak begitu jelas bentuknya. Namun yang diidamkannya adalah sebuah bentuk agama yang memberikan inspirasi kepada rakyatnya untuk membela negara sebagaimana membela agamanya. Agama yang dinginkannya harus mampu menjadi perajut perpecahan, dan mampu mempersatukan rakyat dalam perasaan kebersamaan sosial. Agama sipil yang ditawarkan dan didambakan oleh Roesseau tersebut sebenarnya sudah pernah ada di masa Rasulullah, yaitu di Madinah. Setelah tiga belas tahun mengemban misi la ilaha ilallah di Makkah, Nabi Muhammad hijrah ke kota Yatsrib. Masyarakat di kota tersebut sangat beragam dan telah mengenal pluralisme. Suku dominan yang menempati 4
6
Konsep tersebut berkaitan dengan potret relasi agama dan Negara yang pada dasarnya agama juga ikut andil dalam kehidupan beragama. Namun yang menjadi persoalan adalah bagaimana rumusan praktis atau aturan main dari penerapan nilai nilai agama dalam kehidupan bernegara dan penerapan nilai nilai Negara dalam kehidupan beragama. Lihat, Jean Jeacques Roesseau, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip Hukum Politik, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), hal.127.
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
kota Yatsrib adalah suku Aus, Khazraj Qainuqa, Quraidlah, dan bani Nadhir. Adapun penduduk kota itu menganut beberapa agama yaitu Islam, Yahudi dan sebagian kecil Kristen Najran. Di kota itulah Nabi merintis dan menanamkan prinsip Tamaddun (civilization) yaitu peradaban yang mengenal etika kebaragamaan, etika kebangsaan, dan etika kemanusian5. Melalui prinsip inilah Nabi berhasil membentuk tatanan masyarakat yang mutamaddin yaitu yang berperadaban dan mengerti tentang peradaban. Oleh karena itu, kemudian kota tersebut dikenal sebagai kota Madinah, yaitu kota yang menjunjung tinggi nilai-nilai universalitas, keadilan, kebebasan, perlindungan hak manusia dan persamaan di depan hukum. Di kota Madinah Nabi menegakkan keadilan dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Sikap penghargaan terhadap non-Muslim ditunjukkan oleh kemarahan Nabi terhadap sikap Muslim yang membunuh non-Muslim sembari mengeluarkan pernyataan: manqotala dzimmian faana khosmuh (barang siapa yang membunuh orang kafir maka berhadapan dengan aku). Potret sejarah kepemimpinan inilah, yang membuat Roesseau kagum dan memuji Nabi Muhammad SAW dengan mengatakan bahwa Nabi Muhammad memiliki pandangan yang sangat sehat dan mampu membangun sistem politik dengan baik dan membangun tata pemerintahan dengan prinsip keadilan dan kebersamaan6. Berdasar analisis di atas, tampak jelas bahwa agama, termasuk juga Islam, hadir sebagai sebuah aturan untuk manusia dengan mengedepankan nilai keserasian dan keseimbangan antara wilayah individu dan sosial serta antara warga negara dan umat agama. Dengan demikian agama dan negara mampu menciptakan kedamaian, menjadi penyejuk jiwa dan kehidupan bukan menjadi bara api yang mampu membakar semangat perlawanan, dan kekerasan.
5
6
Berubahnya kota yatsrib menjadi madinah menunjukkan bahwa nabi berhasil membentuk sebuah tatanan Islami dari aspek tsaqofah wal hadharoh yaitu budaya dan peradaban. Inilah yang akhir akhir ini akrab disebut sebagai agama madani atau agama sipil. Lihat Said Aqil Siroj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi, (Jakarta: Khas, 2009), hal. 27. Jean Jeacques Roesseau, Op.Cit, 2010, hal. 126
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
7
Impian keseimbangan pola interaksi agama di ruang publik, yang di dambakan oleh para sosiolog, masih belum sepenuhnya hadir di Indonesia, melainkan hanya sebatas himbauan yang bersifat teoritis dan wacanis. Penulis berada dalam satu prinsip kebersamaan dalam beragama dan bernegara, yaitu beragama dan bernegara dengan menggunakan etika sosial kemanusiaan. Untuk merealisasikan prinsip tersebut, tentunya butuh perangkat atau kerangka sebagai sebuah landasan dan panduan praktis dalam beragama dan bernegara di ruang publik. Kerangka yang dimaksud adalah teori diskursus Habermas.
Pola Keterlibatan Masyarakat di Ruang Publik: Sebuah Kerangka Teori Sebagai generasi Madzhab Kritis, Hubermas membuat terobosan baru dalam mengembangkan dan membangun teori kritis para pendahulunya melalui jalan dialog dengan menekankan pada paradigma komunikatif. Paradigma tersebut tergambar dalam teori diskursus yang di dalamnya berisi tindakan komunikatif dan pola perayaan kebebasan masyarakat di ruang publik. Teori diskursus yang dikembangkan Habermas bukanlah usaha baru untuk menilai masyarakat modern, melainkan memediasi kehidupan manusia sebagai kesatuan menuju tujuan tunggal. Aksentuasi teori ini bukan sebuah tujuan masyarakat, melainkan sebagai sebuah cara atau prosedur mencapai tujuan. Teori ini menekankan pada praksis komunikasi dan radikalisasi prosedur komunikasi politis untuk mencapai konsensus dasar yang memperkokoh integritas masyarakat dan negara. Dengan demikian, teori diskursus berorientasi pada prosedur komunikasi yang dirancang sebagai bentuk katalisator terhadap beberapa argumentasi masyarakat di ruang publik. Prosedur komunikasi Habermas melibatkan pola tindakan komunikatif dan tindakan strategis. Tindakan komunikatif merupakan pola komunikasi rasional yang berorientasi pada pencapaiaan konsensus. Mekanisme komunikasi ini bertujuan mencapai persetujuan secara intersubjektif. Konsensus diperoleh berdasar interaksi antar manusia dengan mengutamakan prinsip negosiasi, bukan dominasi. Sementara, tindakan strategis lebih berorientasi pada keberhasilan sebagai bentuk tindakan mempengaruhi. 8
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
Tindakan ini menjadikan bahasa bukan sebagai medium pemahaman melainkan sebagai sebuah alat memaksakan kehendak dan mengedepankan jalur dominasi, sehingga acapkali melahirkan kekerasan7. Dari dua tindakan tersebut, Habermas lebih mengapresiasi tindakan komunikatif menuju konsensus daripada tindakan strategis ke arah mekanisme koordinasi sosial. Sebagai bentuk usaha rasional, tindakan komunikatif memiliki beberapa klaim validitas8 sebagai dasar komunikasi. Klaim tersebut terdiri: dari pertama klaim kebenaran yaitu sebuah argumentasi yang bersifat objektif alamiah. Artinya bisa dibuktikan secara empiris. Klaim ini dalam bahasa Habermas disebut sebagai penampilan manusia secara ekspresif. Kedua, klaim kejujuran yaitu sebuah argumen yang bersifat subjektif sesuai dengan apa yang dirasakan dan dipikirkan. Habermas menyebutnya sebagai bentuk ekspresif-evaluatif. Ketiga, klaim ketepatan yaitu sebuah klaim yang bersifat intersubjektif. Klaim ini berdasar pada sebuah kesepakatan bersama. Habermas menyebutnya sebagai tindakan normatif. Setelah klaim validitas tercipta dalam tindakan komunikatif, maka teori diskursus juga mempertimbangkan sebuah deliberasi dalam ruang publik. Pertimbangan ini diatur oleh Habermas dalam prosedur diskursus yang meliputi beberapa tahapan dan kesepakatan9: (a) semua subjek yang mampu berbicara dan bertindak boleh ikut dalam diskursus. (b) setiap 7
8
9
Melalui teori diskursus Habermas ingin mengatakan bahwa paradigma komunikasi merupakan jembatan untuk mencairkan suasana komunikasi yang kerapkali di dominasi oleh penguasa dan pemilik modal. Dengan katalain, teori tindakan komunikatif, memposisikan manusia sebagai makhluk sosial yang berhak hidup di ruang publik tanpa diskriminasi. Agar mempermudah memahami pemikiran Hubermas yang sangat berlian, baca. F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberative: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Hubermas, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hal. 24-36 Klaim validitas tersebut merupakan kata kunci dalam melihat tindakan yang berbasis komunikasi. Apakah argumen yang disampaikan bersifat objektif, subjektif atau intersubjektif. Setelah komunikator dan komunikan sama mengetahui klaim tersebut maka pesan yang disampaikan akan mudah diterima karena bersifat rasional sesuai dengan jenis klaim. Lihat, ibid, 2009, hal. 36-37. Untuk lebih lengkapnya baca, Jurgen Hubermas, Teori Tindakan Komunikatif: Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009), hal. 22-23. F. Budi Hardiman, ibid, 2009, hal. 48.
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
9
orang berhak mempermasalahkan setiap pendapat. (c) peserta dipersilahkan untuk mengungkapkan sikap, kepentingan, dan kebutuhannya. (d) tidak seorang pembicarapun boleh dihalangi untuk melaksanakan haknya yang sudah ditentukan dalam poin (a), (b), dan (c). Beberapa prosedur tersebut dapat dirampingkan ke dalam satu pernyataan bahwa diskursus harus bersifat inklusif, egaliter, dan bebas dominasi. Melalui prosedur di atas tampak jelas bahwa komunikasi yang pada awalnya bersifat individu harus dapat di akui di ruang publik. Menurut Habermas, ruang publik merupakan forum atau arena mediasi antara masyarakat dan negara, rakyat dan pemerintah. Di ruang inilah masyarakat bisa melakukan kritik terhadap negara, dan pemerintah bisa juga melakukan koreksi dan teguran rasional pada rakyat. Dengan demikian ruang publik bersifat independen tanpa ada dominasi kekuasaan. Karakter atau prinsip utama dalam ruang publik tetap mengacu pada tindakan komunikatif-rasional dan prosedur diskursus. Dalam konteks ini, Habermas juga berbicara tentang peran agama di ruang publik. Menurutnya kita sekarang berada dalam masyarakat pasca-sekular, di mana warga beriman memiliki hak komunikasi yang sama dengan warga sekular. Sebagai bahan acuan dalam memposisikan agama di ruang publik, Habermas membuat batasan normatif kepada kelompok agama, kelompok sekular, negara dan mayoritas agama. Pertama, diperlukan penerjemahan konstribusi kelompok agama dari bahasa religius partikular ke dalam bahasa yang dapat diterima oleh publik. Dalam konteks ini Habermas menyebut pentingnya sikap epistemis para warga religius untuk memungkinkan deliberasi publik. Artinya, bukan mendialogkan isi doktrin religius-ekslusif, melainkan mengambil isi rasional-inklusif alam iman yang bersentuhan dengan persoalan keadilan secara universal. Kedua, di sisi lain warga sekular juga harus dapat berempati dan menghargai perbedaan di ruang publik. Ketiga, sikap negara dalam deliberasi harus sebagai neraca yang seimbang. Negara tidak boleh berpihak pada kelompok manapun, dan tidak boleh membatasi kebebasan warga negara dan umat agama dalam berkomunikasi dengan khalayak di ruang publik. Keempat, kelompok mayoritas dalam demokrasi tidak boleh mengabaikan atau membungkam potensi kebenaran argumentasi yang berasal dari pihak minoritas. 10
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
Dari keempat batas normatif di atas, Habermas secara implisit ingin memfungsikan semua elemen sosial yang terdiri dari umat agama, warga negara, pemerintah, tokoh agama, tokoh sosial dan segala elemen yang terlibat dalam dialog publik. Dengan kata lain, manusia berhak bebas dalam publik, namun kebebasan tersebut harus dilakukan dengan etika diskursus. umat agama manapun berhak atau bebas berekspresi di ruang publik dengan tidak mengabaikan prinsip dan prosedur atau norma komunikasi. Sebaliknya, warga negara berhak menjalankan kewajibannya tanpa merusak nilai keagamaan.
Islam Komunikatif Berwajah Indonesia: Sebuah Panduan Kebaragamaan Berdasar pada kerangka teori di atas, dapat disederhanakan bahwa teori diskursus Habermas bermuara pada kekuatan komunikasi rasional yang komunikatif dengan melibatkan relasi antar umat beragama dengan warga negara. Artinya, sebagai umat beragama mereka bisa menjalankan pesan keagamaannya tanpa meninggalkan kewajiban sebagai warga negara. Ketika diterapkan dalam konteks keberagamaan Indonesia yang plural terdiri dari beberapa agama, maka teori tersebut sangat relevan. Penulis mencoba meramu ulang teori diskursus Habermas k edalam realitas keberagamaan Indonesia yang berupa skema komunikasi. Sistem
Mayoritas Negara
Komunikatif,integratif
Validitas
Komunikatif integratif
Klaim
Pemerintah
warga negara
Ruang publik : opini, publik,ibadah publik, mayoritas, dan minoritas
Klaim validitas
Agama
Labenswelt
Sumber ajaran
umat agama
Minoritas
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
11
Skema di atas menggambarkan realitas ke-Indonesiaan yang terdiri dari sistem negara dan sistem agama yang beragam atau plural. Dalam konteks negara ditunjukkan dengan adanya pluralitas etnik, ras, dan budaya. Dalam agama ditunjukkan dengan adanya beragam agama (Islam, Kristen/protestan/katolik, Budha, Hindu, aliran kepercayaan). Sebagai warga negara dan umat beragama tentunya memiliki aktivitas yang berbeda-beda, Habermas menyebutnya dunia kehidupan (labenswelt). Aktivitas tersebut diberikan kebebasan atau jaminan ketika memasuki ruang publik. Jaminan yang dimaksud adalah diakui, diterima, dan direspon sesuai dengan aturan atau norma yang telah ada. Sebagai warga negara, bangsa Indonesia memiliki kewajiban untuk menjalankan fungsi dan tugasnya yaitu mentaati aturan negara, mengontrol dan menjaga stabilitas negara. Pada posisi inilah rakyat menjadi satu kekuatan yang tidak bisa dikalahkan dan dilemahkan dalam memajukan sebuah negara. Dikatakan demikian karena di ruang publik perbedaan ras, etnik, dan budaya tidak dipermasalahkan dan diberikan kebebasan bersuara dengan satu tujuan yaitu negara Indonesia. Sebagai umat beragama, masyarakat Indonesia memiliki kewajiban untuk menjalankan titah agamanya sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan yang dianutnya. Oleh karena beraneka agama, maka diberlakukan pemetaan internal antara wilayah individu, dan sosial. Pemetaan yang dimaksud terkait dengan aplikasi keyakinan yang berupa pelaksanaan ajaran agama atau ibadah ritual. Tindakan yang mengarah pada wilayah privasi agama diharapkan tidak diperdebatkan, karena masing-masing agama memiliki rahasia dan nilai metafisik yang berbeda. Ketika perbedaan ini diperdebatkan, maka akan muncul perbedaan yang mengarah pada konflik agama. Penekanan dalam rumusan ini adalah umat beragama bersamasama berbicara tentang keselamatan hidup para umat dan warga dengan mendialogkan persoalan kemanusiaan guna mencapai tujuan prioritas yaitu kemaslahatan manusia. Sesuai dengan realitas keagamaan di Indonesia, ada agama mayoritas dan agama minoritas, dan Islam sebagai agama mayoritas. Walaupun Islam sebagai agama mayoritas, nilai tindakan komunikatif-integratif harus dilakukan tanpa adanya diskriminasi terhadap agama minoritas. Agama 12
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
mayoritas memiliki hak berpendapat dan menyebarkan pesan keagamaannya setara dengan agama minoritas di ruang publik. Kendati demikian, teori diskursus memiliki landasan atau aturan main dalam tindakan komunikasi rasional yang berupa klaim validitas yang terdiri dari klaim kebenaran yang bersifat objektif, klaim kejujuran yang bersifat subjektif, dan klaim ketepatan yang bersifat normatif-intersubjektif. Tiga klaim inilah yang mampu memediasi dialog yang melahirkan pesan untuk publik. Guna meperkuat keyakinan kita tentang tindakan komunikatif dengan landasan klaim validitas, maka dalam tulisan ini akan disajikan beberapa model dialog atau komunikasi agama yang dirumuskan oleh Paul Knitter10. Pertama, Model Penggantian yaitu bentuk komunikasi yang menekankan pada satu kekuatan tunggal yaitu agama yang dianutnya. Dalam konteks ini, berlaku klaim kejujuran yang bersifat subjektif. Umat Islam berhak dan boleh mengatakan bahwa agama yang benar adalah Islam, umat Kristen juga berhak membenarkan agamanya, demikian juga umat agama yang lain. Namun demikian, tidak boleh ada klaim kesalahan yang ditujukan pada agama lain. Kedua, Model Pemenuhan yang berorientasi pada keseimbangan antara universalitas dan partikularitas kecintaan pada Tuhan. Konsep ini membuka pintu untuk melakukan dialog atau komunikasi antar agama, guna menemukan kebenaran yang juga ada dalam agama lain. Ketiga, Model Mutualitas yaitu menekankan pada universalitas cinta dan kehadiran Tuhan dalam agama lain. Model ini meyakini bahwa Tuhan memiliki ajaran yang bersifat universal yang ada dalam setiap agama. Keempat, Model Penerimaan yang menekankan pada penerimaan atas keberagaman tradisi religius. Penerimaan dalam konteks ini tidak harus mengikuti, melainkan mengakui dan menghargai keberadaan sebagai sebuah tradisi agama di ruang publik. Keempat model Knitter tersebut menggambarkan bahwa dialog atau komunikasi sangat diprioritaskan guna mencari sebuah nilai universal yang ada dalam setiap agama. Nilai universal tersebut adalah kemaslahatan, keselamatan, dan kebahagiaan manusia di hadapan Tuhan, negara, dan bangsa. 10
Mega Hidayati, Jurang Diantara Kita: Tentang Keterbatasan Manusia dan Problem Dialog dalam Masyarakat Multicultural, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hal. 106-128.
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
13
Berdasar analisis di atas, jelas bahwa paradigma komunikasi dan ruang publik dengan klaim validitas mampu menjembatani cara penyampaiaan pesan keagamaan dan pesan kemanusiaan tanpa harus mengecewakan atau mendeskrinasikan penerima pesan. Selain itu ruang publik menjadi muara atau lautan tempat berkumpulnya beberapa pendapat, kepentingan, dan kekuasaan menjadi satu warna yaitu warga negara dan umat agama. Dengan demikian, Islam berwajah Indonesia adalah penerapan nilai Islam yang mampu memberikan keselamatan, ketenangan dan pencerahan bagi umat Islam, agama lain, serta negara. Islam Indonesia tetap kritis terhadap segala bentuk kebijakan negara dengan tidak mencederai nilai dasar negara. Umat Islam Indonesia mampu membedakan dan menjalankan dua peran yang berbeda yaitu umat beragama dan warga negara. Islam Indonesia memiliki kewajiban untuk menjaga dan mengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk menjalankan amanah atas warisan para pejuang kemerdekaan. Islam Indonesia tidak memposisikan agama lain di ruang publik sebagai agama minoritas melainkan sebagai mitra kerja dalam merealisasikan nilai universalitas Tuhan yang berupa keselamatan manusia. Tesis di atas senada dengan semangat multikulturalisme Ibnu Rusdy yang berupa kiat atau strategi dalam memahami agama, di antaranya: pertama, semangat toleransi terhadap orang yang berbeda pendapat, berbeda budaya, dan paham keagamaan. Semangat ini mendorong kita untuk menjadi Muslim progresif dengan melakukan semangat ijtihad, serta mengakui keanekargaman sosial, agama, dan budaya sebagai produk ijtihad dengan kata lain “berikan kepada Tuhan apa yang menjadi kehendak Tuhan, dan berikan kepada kaisar apa yang menjadi kehendak kaisar”. Kedua, tradisi kritik, dan kebebasan kritik. Ibnu Rusdy memperkenalkan pentingnya filsafat sebagai alat memahami agama. Menurutnya, tanpa filsafat manusia akan mengalami kelesuan berpikir dan keloyoan tradisi kritik. Pernyataan ini mengandung makna bahwa dalam memahami dan menyikapi segala sesuatu diperlukan sikap kritis terhadap orang lain agar tidak terperangkap oleh kepentingan ideologi kelompok. Untuk menciptakan sikap kritis diperlukan tradisi berpikir dalam menangkap dan memahami kenyataan. 14
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
Keempat, kritis atas kekuasaan. Dalam konteks ini, kritik kekuasaan bukan berarti kita menolak terhadap negara, melainkan memberikan kontribusi yang mencerahkan berupa pemikiran dan keterlibatan langsung dalam menjalankan tugas warga negara. Dengan adanya panduan komunikasi praktis yang diinspirasi oleh teori diskursus Habermas, minimal warga negara Indonesia dan umat beragama mengerti tentang beberapa prinsip dalam dunia kehidupan: pertama, prinsip Syura, yaitu sebuah musyawarah atau konsensus yang didapat melalui usaha negosiasi dan komunikasi di ruang publik. Dalam terminologi politik, prinsip ini disebut sebagai demokrasi. Kedua, prinsip persamaan didepan hukum (al-musyawah amamal qonun). Prinsip ini tidak melihat kelas dan stratifikasi sosial, agama, ras, etnik, dan budaya melainkan melihat apa yang dilakukan dan didasarkan pada hukum yang berlaku. Pejabat yang bersalah di adili di hadapan hukum, begitu juga pada rakyat yang membuat kesalahan harus di adili sesuai ketentuan hukum. Ketiga, prinsip menjunjung tinggi hak asasi manusia (al muhafadlah ala karomatil insan). Realitas yang menimpa bangsa kita adalah penghinaan hak asasi manusia dengan bentuk penindasan, dan kekerasan. Keempat, kebebasan dan kemerdekaan beraqidah, berpikir, dan berargumen (hurriyah al aqidah, wal fikr wal qoul ). Di sinilah komunikasi berfungi dan ruang publik menjadi media bertemunya aqidah, pemikiran, dan pendapat yang beraneka ragam. Kelima, prinsip kontrol dari rakyat terhadap pemerintah dan akuntabilitas pemerintah terhadap rakyat (roqobatul ummah wamasuliyatul hakim ). Masyarakat sebagai agent of control and change betulbetul diwujudkan. Dengan demikian, Islam komunikatif bisa menjelma menjadi penyelamat dengan dua identitas yaitu warga negara dan umat beragama. Indonesia sebagai negara akan memiliki kekuatan dan aman karena warga negaranya merasa memilikinya. Agama-agama di Indonesia akan membawa perdamaain, khususnya Islam sebagai agama mayoritas mampu hidup berdampingan dengan agama lain dan berkomunikasi untuk menciptakan keharmonisan.
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
15
Penutup Pada prinsipnya bentuk agama publik yang dalam tulisan ini disebut sebagai Islam komunikatif berwajah Indonesia menampilkan wajah Islam yang damai, rasional, komunikatif, negosiatif, dan berhubungan dengan negara, agama, dan bentuk kehidupan yang lain, serta memiliki landasan yang jelas dalam menyampaikan pesan agama di hadapan publik. Wajah Islam ini ramah lingkungan, menghargai semua pendapat, menerima semua kalangan, berpijak pada nilai universalitas, kemanusiaan, perubahan, dan pencerahan umat.
Daftar Pustaka Achmad Nur. 2010. Dibalik Dakwah Kontemporer. Yogyakarta: Bassan Publishing. F. Budi Hardiman. 2009. Demokrasi Deliberative: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, Yogyakarta: Kanisius. Habermas, Jurgen. 2009. Teori Tindakan Komunikatif : Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat(I). Yogyakarta: Kreasi Wacana. ________. 2009. Teori Tindakan Komunikatif : Kritik Atas Rasio Fungsionalis (II), Yogyakarta, Kreasi Wacana. ________. 2010. Ruang Publik: Sebuah Kajian tentang Masyarakat Borjuis, Yogyakarta: Kreasi Wacana. Mega Hidayati. 2008. Jurang Diantara Kita: Tentang Keterbatasan Manusia dan Problem Dialog dalam Masyarakat Multicultural. Yogyakarta: Kanisius. Roesseau, Jean Jeacques. 2010. Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip Hukum Politik. Jakart: Dian Rakyat. Said Aqil Siroj. 2009. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi. Jakarta: Khas.
16
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
Sulthon Fatoni. 2007. Peradaban Islam: Desain Awal Peradaban, Konsolidasi Teologi, Konstruk Pemikiran dan Pencarian Madrasah. Jakarta: Elsas. Veeger, KJ. 1993. Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu Masyarakat dalam Cakrawala Sosiolog. Jakarta: PT Gramedia. Weber, Max. 2002. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Ircisod.
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
17
18
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL Mukhibat Jurusan Tarbiyah STAIN Ponorogo Jalan Pramuka No. 156 Ponorogo Abstract The purpose of this study is to reveal manner, meaning and function ruwatan and the acculturation of values between Islam and Javanese culture. In addition, this study also want to proof that the spread of Islam by walis did not change the basic traditions of Javanese beliefs. This study is an anthropological field research and the data analized qualitatively. The data was collected through participatory observation, interview and documentation. The data analized by the causality (cause and effect), the correlation (relationship of mutual influence) and the linear relationship (the effect of the data to other data). The study found that Muslims in Magetan call ruwatan as tolak balak, and is defined as: first, a medium to fortify (mageri) humans from potential disasters. Second, a prerequisite if people would do a wedding celebration or circumcisions.Third, a charity towards others. In Islamic theological perspective, it was found that: first, ruwatan in its original form contained idolatrous elements and it must be eliminated. Second, ruwatan by reading verses of surahs of al-Qur’an is allowed. The form of acculturation between Islam and Javanese in ruwatan seen in: First, the readings in the pageran namely: the 30-juz of al-Qur’an, surah al-Falaq, surah an-Naas, hauqalah, shalawat munjiyat, and ayat-kursi, each 1000 times. Second, the offerings changed to dole salvation (sedekah selamatan). Third, ruwatan procedures has shifted from the original, turns into pengajian (tolak balak).
Key Words : Ruwatan, Acculturation, Javanese Culture, Islam.
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap ragam, makna dan fungsi ruwatan dan nilai-nilai akulturasi antara Islam dan budaya Jawa. Selain itu penelitian ini juga bermaksud membuktikan bahwa proses penyebaran Islam oleh para wali tidak mengubah dasar tradisi keyakinan masyarakat Jawa sebelumnya.
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
19
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan, dengan pendekatan antropologis dan analisis data bersifat kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi partisipasi, interview guide dan dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan cara menghubungkan data sehingga akan diketahui adanya relasi kausalitas (hubungan sebab akibat), korelasi (hubungan saling mempengaruhi) dan relasi linier (adanya pengaruh data yang satu terhadap data yang lain). Hasil penelitian menemukan bahwa ruwatan bagi muslim Magetan berganti nama “tolak balak”yang diartikan sebagai: pertama, media untuk membentengi (mageri) manusia dari berbagai kemungkinan bencana. Kedua,sebagai prasyarat apabila manusia akan melakukan hajatan pernikahan atau khitanan. Ketiga,sedekah terhadap sesama. Ruwatan dilihat dari perspektif teologis Islam, ditemukan bahwa: pertama, ruwatan dalam bentuknya yang asli terdapat unsur kemusrikan dan memerlukan biaya yang mahal maka harus dihilangkan. Kedua, ruwatan dengan bacaan-bacaan ayat-ayat/surat-surat al-Qur`an adalah diperbolehkan. Adapun bentuk akulturasi Islam dengan budaya Jawa pada ruwatan terlihat dalam: pertama, bacaan-bacaan dalam prosesi pageran yaitu al-Qur`an 30 Juz, surat al Falaq, an Nas, hauqalah, shalawat munjiyat, dan ayat kursi, masing-masing 1000 kali. Kedua, adanya sesaji berubah menjadi sedekah slamatan, ketiga, tata cara ruwatan sudah bergeser dari aslinya menjadi pengajian (tolak balak).
Kata Kunci: Ruwatan, Akulturasi, Budaya Jawa, Islam.
Pendahuluan Ruwatan adalah upacara yang dilakukan seseorang untuk membebaskan sukerto dari nasib buruk dan ancaman malapetaka. Sukerto atau sesuker (rereged) adalah kelemahan tertentu yang dipercaya dapat mengundang datangnya malapetaka yang mengancam keberadaan dan kebahagiaan. Ruwatan merupakan peninggalan salah satu sisi kehidupan masyarakat Jawa yang diadatkan (menjadi tradisi) karena di anggap sakral. Kata ruwat sudah lama hidup dan ditemukan dalam karya sastra Jawa kuno, misalnya dalam kitab Ramayana yang ditulis pada jaman Mataram kuno, sekitar abad kesepuluh, ruwat artinya “lepas”.1
1
Mardiwarsito, Kamus Jawa Kuno-Indonesia, (Ende Flores: Nusa Indah, 1978), hal. 227.
20
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
Penyandang sukerto dapat dikelompokkan menjadi beberapa golongan: Pertama, penyandang sukerto karena cacat bawaan, seperti cacat tubuh, kekhususan waktu kelahiran, kekhususan saudara, Kedua, golongan penyandang sukerto karena kelalaian perbuatan, seperti orang yang membuka jendela lebar-lebar pada waktu senja kala, orang yang membuat lumbung tanpa dasar, orang yang menyapu di waktu malam. Ketiga, golongan penyandang sukerto karena kecelakaan dalam pekerjaan, seperti: memecahkan pipisan, mematahkan gandhik, dan merobohkan dandang pada waktu menanak nasi.2 Orang yang termasuk pada salah satu dari tiga golongan di atas harus dihilangkan melalui cara diruwat dengan menggelar pementasan wayang, seperti yang diyakini oleh masyarakat Jawa dan jika tidak maka ia akan menjadi mangsanya Bathara Kala.3 Berbeda dengan masa lalu, ruwatan di Magetan tidak lagi dengan pementasan wayang4, akan tetapi praktek ruwatan telah bergeser pemaknaan dan prakteknya dengan bacaan-bacaan al-Qur‘an dan surat-surat pendek, serta shalawat, sehingga ruwatan yang pada awalnya berbau “musyrik”, setelah terjadi akulturasi dengan ajaran Islam, menjadi bernafaskan Islam. Hal yang menunjukan telah terjadi akulturasi adalah: pertama, r uwatan sukerto yang pada aslinya menggunakan media wayang kulit dengan mengambil tema Murwakala 2
3 4
R. Harmanto Bratasiswara, “Sukerto”, Bauwarna, Adat Tata Cara Jawa, (Jakarta: Yayasan Suryasumirat, 2000), 636. Ibid, 467. Kyai Abd Shomad (almarhum) adalah orang pertama mengganti tradisi ruwat dengan bacaan surat-surat pendek dengan anggota 40 santri dengan mengganti nama ruwatan menjadi “pager-pager atau tolak balak”. Ruwat dengan secara Islami ini dimulai sekitar tahun 90-an walaupun awalnya banyak yang menentang, akan tetapi dengan keteguhan semangat memberantas unsur-unsur syirik. beliau tetap menjalankannya dan sekarang ini sudah hampir 80 persen masyarakat muslim di Magetan Lereng Timur Gunung Lawu mengikutinya. Hal yang menarik dari usaha Kyai Abd Shomad adalah pada tahun 1998, tepatnya menjelang Pemilu pertama setelah era reformasi, kader salah satu partai yang ada pada waktu berkampanye dengan berjanji kalau partainya menang nanti kegiatan ruwatan seperti yang dilakukan leluhur akan dijalankan lagi. Pada saat inilah sempat muncul ketegangan bukan saja antar partai politik tetapi antara tokoh-tokoh agama Islam dengan tokoh-tokoh masyarakat (kaum abangan), wawancara dengan KH Sjaeun (teman seperjuangan Kya Abd Shomad) tanggal 10 April 2012.
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
21
sebagai media menghilangkan sial (sukerto), diganti dengan bacaan suratsurat pendek (Falaq, Binnas, Qulhu, Ayat Kursi) dan membaca al-Qur‘an 30 Juz, kedua, Pemegang otoritas meruwat, yang pada konsep awalnya adalah seorang dalang, telah digantikan seorang kyai yang memiliki ijazah dari gurunya, ketiga, istilah ruwatan sendiri telah mengalami perubahan nama, menjadi tolak balak atau pageran,5 Jadi konsep dasarnya tetap sama, yaitu menghilangkan dan menolak bala’ (sial) tetapi dengan istilah yang berbeda. Pergeseran makna maupun praktek dalam ruwatan di masyarakat muslim Magetan merupakan hal yang menarik untuk diteliti, terutama untuk mengungkap fungsi dan makna ruwatan bagi masyarakat muslim Magetan dan nilai-nilai akulturasi antara Islam dan budaya Jawa dalam praktek ruwatan tersebut. Dan sekalgius membuktikan tesis bahwa Islam tidak akan mampu menembus belahan dunia, jika tidak melakukan akomodasi budaya terhadap masyarakat di mana Islam hadir sebagai nilai baru. Untuk mengungkap-hal-hal di atas, maka jenis penelitian yang paling cocok adalah field research dengan pendekatan antropologis dan analisis data bersifat kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi partisipasi, interview guide dan dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan cara menghubungkan data sehingga akan diketahui adanya relasi kausalitas (hubungan sebab akibat), korelasi (hubungan saling mempengaruhi) dan relasi linier (adanya pengaruh data yang satu terhadap data yang lain).
Pembahasan 1. Islam Dan Tradisi Lokal a. Interaksi Islam dengan Budaya Lokal Berbeda dengan agama-agama lain, Islam masuk Indonesia dengan cara begitu elastis. Baik itu yang berhubungan dengan 5
Beberapa pesantren dan jama’ah pengajian di Magetan, khususnya Poncol, sering mengadakan ruwatan santri. Seperti yang terjadi di Desa Janggan, ruwatan santri dilakukan oleh jama’ah pengajian remaja dan bapak-bapak dengan membaca Surat Ikhlas, Falaq, Binas, seribu kali dilanjutkan dengan khataman al-Qur‘an 30 Juz. dengan tujuan untuk menolak bala’. Ruwatan ini dipimpin oleh seorang kyai atau ustadz. Wawancara dengan Muljono S.PdI, anggota jama’ah ruwatan, 10 April 2012.
22
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
pengenalan simbol-simbol Islami (misalnya bentuk bangunan peribadatan) atau ritus-ritus keagamaan (untuk memahami nilai-nilai Islam). Islam adalah agama yang universal dan kosmopolit. Islam senantiasa terbuka terhadap pemikiran dan tradisi di luarnya, bahkan tak jarang memberikan apresiasi yang sangat bagus, dengan mengadopsinya menjadi bagian yang sah dari Islam itu sendiri. Hal tersebut dapat dilihat pada masjid-masjid pertama yang dibangun di Jawa bentuknya menyerupai arsitektur lokal-warisan dari Hindu. Sehingga jelas Islam lebih toleran terhadap warna/corak budaya lokal. Tidak seperti, misalnya Budha yang masuk “membawa stupa”, atau bangunan gereja Kristen yang arsitekturnya ala Barat. Dengan demikian, Islam tidak memindahkan simbol-simbol budaya yang ada di Timur Tengah (Arab), tempat lahirnya agama Islam. Pada masa awal Islam misalnya, Rasulullah SAW berkhotbah hanya dinaungi sebuah pelepah kurma. Kemudian tatkala kuantitas kaum muslimin mulai bertambah banyak, dipanggillah seorang tukang kayu Romawi. Ia membuatkan untuk Nabi sebuah mimbar dengan tiga tingkatan yang dipergunakan untuk khotbah Jum’at dan munasabah-munasabah lainnya. Kemudian dalam perang Ahzab, rasul menerima saran Salman Al Farisy untuk membuat parit (Khandaq) di sekitar Madinah. Metode ini adalah salah satu metode pertahanan ala Persi. Para sahabat juga meniru adminsitrasi dan keuangan dari Persi, Romawi dan lainnya. Mereka tidak berkeberatanm dengan hal itu selama menciptakan kemaslahatan dan tidak bertentangan dengan nash. Islam sebagai agama yang universal yang melintasi ruang dan zaman, kadangkala bertemu dengan tradisi lokal yang berbeda-beda. Ketika Islam bertemu dengan tradisi lokal, wajah Islam berbeda dari tempat satu dengan lainnya. Menyikapi masalah ini ada dua hal yang penting disadari. Pertama, Islam itu sendiri sebenarnya lahir sebagai produk lokal yang kemudian diuniversalisasikan dan ditransendensi, sehingga kemudian menjadi Islam universal. Dalam konteks Arab, yang dimaksud dengan Islam sebagai produk lokal adalah Islam yang lahir di Arab, tepatnya daerah Hijaz, dalam situasi Arab dan pada waktu itu ditujukan sebagai jawaban terhadap persoalan-persoalan Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
23
yang berkembang di sana. Islam Arab tersebut terus berkembang ketika bertemu dengan budaya dan peradaban Persia dan Yunani, sehingga kemudian Islam mengalami proses dinamisasi kebudayaan dan peradaban. Kedua, Islam yang hadir di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan tradisi atau budaya Indonesia. Sama seperti Islam di Arab saudi, Arabisme dan Islamisme bergumul sedemikian rupa di kawasan Timur Tengah sehingga kadang-kadang orang sulit membedakan mana yang nilai Islam dan mana yang simbol budaya Arab. Nabi Muhammad saw, tentu saja dengan bimbingan Allah (mawa yanthiqu ‘anil hawa, in hua illa wahyu yuha), dengan cukup cerdik (fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat Arab pada saat itu. Sehingga beliau dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk mengembangkan Islam. Sebagai salah satu contoh misalnya, ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah, masyarakat Madinah di sana menyambut dengan iringan gendang dan tetabuhan sambil menyanyikan thala’albadru alaina dan seterusnya Ketiga, sejarah penyebaran Islam di Jawa. Dominasi ajaran Hindu Budha yang menempatkan budaya pada proporsi yang cukup besar dalam ajaran mereka, menjadikan para generasi awal pendakwah Islam di Jawa menggunakan strategi kebudayaan untuk menyebarluaskan ajaran Islam. Tradisi wayang kulit adalah contoh populer yang sering dihadirkan. Dalam tradisi Jawa, konon wayang kulit juga sering disebut sebagai ringgit yang diderivasi dari ungkapan Sunan Giri sing nganggit (Sunan Giri yang menciptakan). Artinya, tradisi wayang kulit sebagai media dakwah yang lebih sering dilekatkan dengan sosok Sunan Kalijaga itu, sebenarnya tidak lepas dari proses kreatif sunansunan lainnya, yang itu juga bermakna bahwa proses penyebaran Islam tidak dengan sendirinya mematikan sensitivitas terhadap kebudayaan. Melihat pola hubungan antara agama universal dan tradisi lokal, setidaknya ada hal yang bisa dikemukakan. Pertama, agama universal (semisal Islam dan Kristen) memang sangggup memberikan lompatan kesadaran yang semula terpasung pada wilayah lokal 24
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
menuju kesadaran universal, 6 namun tidak dapat memberikan petunjuk menghadapi persoalan-persoalan lokal. Kesejarahan agama universal yang terkait dengan kelokalannya masing-masing membuat agama universal pada beberapa sisi tetap menjadi milik wilayah asalnya masing-masing. Kedua, tradisi lokal tidak pernah sepenuhnya bisa dilenyapkan. Ada bagian-bagian dari tradisi lokal (ikon atau konsep) yang terus bertahan dipelihara dan tidak tergantikan oleh ajaran universal. b. Simbol Budaya dan Nilai Agama Sebagai sebuah kenyatan sejarah, begitu kata Kuntowijioyo, agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat. Manusia adalah makhluk yang selalu berhubungan dengan simbol, sehingga Ernest Cassirer menyebut manusia sebagai animal symbolicum, hewan yang bersimbol. Manusia tidak saja menemui simbol-simbol dalam kehidupan sehari-hari, tetapi bahkan menciptakan simbol-simbol sebagai sarana berinteraksi dengan sesuatu yang ada di luar dirinya. 7 Simbol adalah tanda yang 6
7
Menurut Bob Heffner dalam “Antropologi Konversi”, perpindahan agama merupakan salahs atu jalan bagi suatu bangsa untuk menjadi suatu peradaban besar. Sebagai contoh kata Heffner, seseorang yang mula-mula adalah anggota dari suku terasing di pedalaman, kemudian dia memeluk agama Kristen atau Islam, maka orang itu seperti meloncat dari suatu lingkaran kebudayaan yang sempit dan masuk ke dalam ‘gerbong’ peradaban besar yang pengaruhnya melintas batas nasionalitas. Lihat Ulil Abshar-Abdalla, ‘Menimbang Islam Pribumi,” dalam Tashwirul Afkar Edisi No. 14 Tahun 2003, hal. 129 Budiono Heru Satoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta: PT. Hanindita, 1997), hal. 20.
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
25
menyatakan sesuatu hal pada yang melihatnya atau mendengarnya, atau tanda yang jika kelihatan oleh seseorang segera menyebabkan terbayangnya sesuatu hal dalam kesadaran seseorang tersebut. 8 Bentuk simbol dapat berupa bahasa, gerak tubuh, suara atau bunyi, warna dan rupa.9 Upaya menjadikan sesuatu sebagai simbol juga terdapat dalam agama. Hasan Shadily membagi bentuk-bentuk simbol agama kedalam dua kelompok, yaitu simbol dalam bentuk benda dan simbol dalam bentuk perbuatan. Simbol dalam bentuk benda misalnya candi, patung, kayu salib, bulan bintang, gereja, masjid, pura, dan sebagainya. Sedangkan simbol dalam bentuk perbuatan misalnya tatacara keagamaan, upacara ritual dan sebagainya.10 Simbol, baik yang berupa benda maupun perbuatan, merupakan alat yang digunakan manusia berhubungan dengan Yang Suci (Tuhan). Mereka mengungkapkan pikiran, isi hati dan perasaannya kepada Tuhan menurut pola-pola tertentu dan lambang-lambang tertentu.11 Menurut Hendro Puspito, dalam dunia simbol ada dua hal yang perlu diketahui. Pertama, sesuatu yang bersifat rohaniyah yang hendak dijelaskan. Kedua, benda atau lambang yang dipakai untuk dijelaskan. Hakekat rohaniah yang hendak dijelaskan tidak dapat dilihat, didengar atau diraba. Benda yang dipakai untuk menjelaskan harus dapat ditangkap dengan panca indra. Benda tidak hanya berfungsi untuk mengartikan yang sakral itu, tetapi juga untuk menghadirkannya. 12 Ruwatan adalah simbol yang berupa perbuatan, Di dalam simbol perbuatan itu ada simbol-simbol yang berupa benda yang mempunyai makna yang akan selalu bergeser dari satu individu ke individu lainnya, tergantung tingkat pengetahuan yang dimilikinya.
8
Ensiklopedia Indonesia, N-Z (Bandung’s Graven Hage, W. Van Hoeve, t.t), hal. 1250. Budiono Heru Satoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa, hal. 14. 10 Hasan Shadily, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, (Jakarta: PT. Pembangunan, 1963), 279. 11 D. Hendropuspito, OC, Sosiologi Agama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), hal. 111. 12 Ibid, hal. 112 9
26
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
2. Terminologi Ruwatan Ruwatan dalam terminologi Jawa berasal dari kata ruwat artinya “lepas” atau “luar” diluarkan atau dibebaskan dari sesuatu.13 Ruwatan merupakan peninggalan salah satu sisi kehidupan masyarakat Jawa yang diadatkan (menjadi tradisi) karena dianggap sakral. Ruwatan merupakan suatu upacara untuk mensucikan kembali para penyandang “sukerta” supaya menjadi bersih seperti keadaan semula, terbebas dari ancaman “malapetaka”. Oleh karenanya, ruwatan merupakan upacara adat yang bersifat sakral, baik mengenai niat, tujuan, bentuk upacara, perlengkapan upacara, maupun tata laku pelaksanaannya.14 Ruwatan terkait dengan mitos atau kepercayaan bahwa manusia dalam realitas dan situasi tertentu dianggap sebagai orang yang berada dalam kesialan hidup, bahaya, dan balak yang dalam bahasa Jawa disebut sebagai orang yang “nyandang sukerto”. Dalam mitisnya, orang yang menyandang sukerto agar terhindar dari kesialan hidup dan marabahaya, harus diruwat. Dengan demikian upacara ruwatan adalah upacara sakral dalam komunitas Jawa untuk membebaskan dari atau menolak malapetaka.15 Prosesi ruwatan biasanya terbagi pada tiga tahap, pertama, Tahap pendahuluan, peserta ruwatan penyandang sukerto ruwatan dengan berpakaian putih-putih. Peserta upacara sungkem kepada kedua orang tuanya mohon doa restu dan bersemedi yang intinya memohon ijin kepada Tuhan Yang Maha Esa akan memulai acara ruwatan. Tahapan kedua adalah pementasan wayang, dengan lakon murwakala, Tahap ketiga, adalah penutupan. Setelah pementasan wayang selesai dalang kemudian menyiramkan air kembang yang disebut banyu sangga dari sendang paruwatan ke kepala sukerto disertai mantra dan doa. Selanjutnya, dalang memotong ujung rambut sukerto disertai mantra dan doa. Terakhir peserta
13
Kata angruwat atau rumuwat artinya membebaskan, exercise, misalnya membebaskan seseorang dari roh jahat. Sering juga berarti “membebaskan, melepaskan, menyelamatkan”, Kata rinuwat artinya “dibebaskan, dilepaskan, diselamatkan”, Mardiwarsito, Kamus Jawa Kuno-Indonesia, (Ende Flores: Nusa Indah, 1978), hal. 227. 14 Zetmulder, Kalangwan, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1983), Old Javanese Engglih Dictionary, (Shamanisme-Gravenhage-Martinus Nijhoff, 1982), hal. 78. 15 Imam Bukhori (dalang peruwat), wawancara tanggal 3 Agustus 2012
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
27
ruwatan diminta berganti pakaian, pakaian putih-putih yang dikenakannya beserta potongan rambut diserahkan kepada pemuka adat (sesupuh) untuk dilarung/dilabuh di laut lepas.16 3. Sejarah Lahirnya Ruwatan Adanya kisah Murwakala dalam lakon wayang jika dikaitkan dengan tradisi ruwatan dapat dilihat dalam dua kemungkinan. Pertama, kisah ini menunjukkan bahwa tradisi ruwatan yang menjadikan Bathara Kala sebagai dasar mitologinya, sesungguhnya berasal dari kisah pewayangan yang nota bene fiktif. Dengan dasar ini tradisi ruwatan Murwakala berasal dari kisah fiktif yang kemudian melegenda dan merasuk dalam alam kesadaran manusia dan mempengaruhi struktur berfikir dan bersikap masyarakat Jawa dalam dunia nyata. Kedua, Bathara Kala adalah penamaan dari sistem teologi masyarakat Jawa Kuno sebagai dewa jahat, yang oleh pujangga Jawa diberi nama Bathara Kala dan dibuatkan kisahnya dalam lakon wayang. Nama Bathara Kala baru dikenal sejak kisah murwakala dibuat, tetapi kepercayaan terhadap adanya dewa jahat dan nasib sial pada seseorang dapat hilang setelah upacara ruwatan sudah ada sejak sebelum kisah tersebut muncul. 4. Jenis-Jenis Ruwatan Penelitian M Roy Purwanto 17 tentang jenis-jenis ruwatan yang dipraktekkan di masyarakat Jawa adalah: Pertama, ruwatan bumi, yakni upacara ruwatan untuk membersihkan tanah pekarangan yang dianggap sangar. Ruwatan ini, dalam bentuk sesaji, kenduri, wayangan dan sebagainya. Kedua, ruwatan desa, yakni dilakukan dalam berbagai bentuk seperti sesaji, kenduri, bersih desa, wayangan dan sebagainya. Ketiga, ruwatan gembel, yakni upacara pangkas rambut gembel (gimbal) yang disertai dengan sesaji seperlunya. Ruwatan ini dilakukan untuk anak-anak penyandang sukerto karena berambut gimbal di daerah Nganjuk, Wonosobo dan Banjarnegara. Keempat, ruwatan miskin, yakni upacara
16
17
Prosesi ruwatan sesungguhnya tidak selalu memiliki cara yang sama. Masing-masing jenis ruwatan memiliki tata cara pelaksanaan yang berbeda-beda. Baca Muhammad Roy Purwanto, Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa, (Yogyakarta: STIQ An Nur Yogyakarta, 2007), hal. 73.
28
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
ruwatan yang dilakukan untuk orang-orang miskin yang menyandang sukerto. Kelima, ruwatan massal, yakni upacara ruwatan yang dilakukan secara bersama-sama bagi penyandang sukerto yang berlainan. Meskipun jenis sukerto yang berbeda-beda, namun prosesi ruwatan biasanya dilakukan dengan cara sama seperti yang dilakukan Pepadi Ponorogo dan Nganjuk. Keenam, ruwatan murwakala, yakni upacara meruwat sukerto dengan cara mempergelarkan wayang kulit dengan lakon murwakala sebagaimana dijelaskan di atas. Pada perkembangannya, kini ruwatan telah mengalami banyak perubahan bentuk, lebih ringkas dan sederhana. Ada beberapa hal yang dapat dilihat sebagai bentuk ruwatan pada perkembangannya dewasa ini. Pertama, ruwatan yang dilakukan secara periodik, yaitu pada masa-masa tertentu, seperti pada bulan-bulan yang dianggap sakral, misalnya bulan Sura (Muharram) seperti di Nganjuk. Kedua, ruwatan yang dilakukan satu kali seumur hidup, yaitu biasanya dilakukan bersama-sama pada saat sukerta menginjak kedewasaan (khitan) atau pada saat perkawinan. Ketiga, ruwatan bioenergi di Yogyakarta. Ruwatan yang terakhir ini ditawarkan sepanjang masa, kapanpun, dan dikemas dengan istilah-istilah ilmiah (modern) sehigga kesan takhayul dan mistis dari ruwatan menjadi berkurang, atau setidaknya dipahami dalam makna yang lain. 5. Makna Dan Fungsi Ruwatan Bagi Masyarakat Muslim Magetan Masyarakat Magetan memiliki karakteristik yang disandarkan kepada nilai agama dalam hal ini Islam yang menjadi patokan utama dalam setiap perbuatan. Demikian pula dengan kegiatan slametan (ruwatan) ini pun tidak lepas dari unsur keagamaan. Karakteristik masyarakat Magetan yang bersandar kepada nilai-nilai Islam inilah yang menjadi landasan ritual ruwatan sehingga tetap dapat dibedakan sampai sekarang. Jika diurai lebih jauh akan terlihat adanya sebuah motivasi dari masyarakat Magetan dalam melakukan ritual slametan (ruwatan), yaitu motivasi beragama dan motivasi mempertahankan (nguri-uri) tradisi. Pemaknaan ruwatan dari aspek sosial yang agak berbeda diberikan oleh peruwat lain, yaitu Ahmad Sukemi, Menurutnya, tradisi ruwatan sesungguhnya mendidik untuk seseorang memiliki jiwa sosial yang tinggi. Inti ajaran ruwatan menurutnya adalah upaya mendekatkan diri kepada Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
29
Tuhan dan memperbaiki hubungan kepada sesama dengan cara bersedekah. Upacara itu adalah untuk mengingatkan mereka agar selalu ingat dan mengeluarkan sebagian rizkinya kepada masyarakat sekitar yang hidupnya kurang beruntung. Prinsipnya jangan sampai ada yang mubazir dalam pelaksanaannya”. Jadi, ruwatan memiliki makna yang sangat tinggi dari aspek sosial karena berisi ajaran untuk bersedekah (shadaqah). 18 Ruwatan dilihat dari perspektif teologis, peneliti menemukan beberapa pendapat yang menarik; pertama, pendapat yang menilai bahwa ruwatan sekarang sudah terislamisasi, karena ruwatan dalam bentuknya yang asli mempunyai nilai-nilai kemusyrikan (syirik), sehingga harus dihapus dan dihilangkan. Menurut golongan ini, peruwat dan orang yang diruwat adalah pelaku dosa besar, karena berbuat syirik, takhayul, bid’ah dan khurafat. Kepercayaan adanya Bhatara Kala, Sukerto, dan sesaji dianggap merupakan sumber kemusyrikan. Kedua, kelompok masyarakat yang menganggap bahwa ruwatan yang sudah diisi dengan nilai-nilai keislaman, seperti sedekah, pengajian, shalawatan, dzikiran, dan khataman adalah perbuatan Islami. Artinya, meskipun namanya ruwatan, tetapi karena substansinya adalah dzikir, shalawatan 19, pengajian, sedekahan, dan khataman, maka termasuk perbuatan Islami dan diperbolehkan, tidak ada unsur syirik, khurafat, dan takhayulnya. Sedangkan ruwatan dalam bentuk aslinya, yang masih mempercayai adanya Bhatara Kala dan sukerto bagi orang-orang tertentu tetap dianggap sebagai kemusyrikan. Ketiga, Kelompok yang menganggap bahwa ruwatan dalam bentuk aslinya yang masih mementas wayang dengan judul Bhatara Kala sebagai bagian dari kekayaan budaya Jawa yang harus dilestarikan. Adanya kepercayaan terhadap Bhatara Kala dan sukerto bagi orang-orang tertentu, adalah cara sesepuh Jawa dahulu untuk mendidik masyarakat menjadi lebih baik dan beradab, tidak dianggap sebagai khurafat, bidah, syirik, dan takhayul. Beberapa pendapat tentang ruwatan inilah yang peneliti temui beredar dalam masyarakat Muslim Magetan.
18 19
Ahmad Sukemi, (peruwat), Wawancara, 15 Agustus 2012. Shalawat yang dibaca adalah sholawat Munjiyah sebanyak 1000 kali.
30
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
6. Akulturas1 Islam dalam Tradisi Ruwatan Penyebaran Islam di tanah Jawa dilakukan oleh tokoh-tokoh yang dalam sejarah dikenal sebagai Wali Sanga. Istilah Wali Sanga dipergunakan pertama kali oleh Sunan Giri II. la mempergunakan dalam judul kitab karangannya dengan nama “Serat Wali Sanga”. Di dalamnya diuraikan peri hidup dan hal ihwal kehidupan wali-wali penyiar agama Islam di Jawa yang jumlahnya 8 orang, bukan 9 orang. Delapan orang wali yang disebut dalam serat tersebut adalah: (1) Sunan Ngampel; (2) Sunan Gunung Jati; (3) Sunan Ngudung; (4) Sunan Giri Gajah; (5) Sunan Makhdum di Bonang; (6) Sunan Ngalim di Majagung; (7) Sunan Mahmud di Drajat; dan (8) Sunan Kalijaga. Yang terakhir ini disebut sebagai wali pamungkas dan memiliki derajat di atas para wali-wali semua. Di luar wali-wali tersebut, masih banyak wali-wali lain yang disebut dengan wali nukiba yang jumlahnya ribuan, terdapat di mana-mana. Dengan berbagai metode, para tokoh dakwah di Jawa yang disebut sebagai Wali Sanga telah melakukan Islamisasi besar-besaran tanpa gejolak yang berarti, bahkan para wali telah berhasil melakukan harmonisasi antara ajaran Islam dan budaya besar20. Tradisi dan kepercayaan lama tidak dihapuskan secara radikal dan frontal, tetapi yang mereka hilangkan hanyalah hal-hal yang jelas bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam kemudian diganti, di sinilah terjadi akulturasi dan sinkretisasi antara tradisi dan kepercayaan lokal di satu pihak, dengan ajaran dan kebudayaan Islam di pihak lain, KH.Sjaun, dalarn berbagai kesempatan mengumpamakan dengan sebuah botol kosong yang berisi minuman keras, isinya dibuang dan diganti dengan air tawar yang menyegarkan. Meski secara lahir masih tampak tradisi khas Jawa, tetapi isi dari tradisi tersebut telah disesuaikan dengan ajaran-ajaran pokok agama Islam21. Di antara beberapa tradisi jawa yang mengalami akulturasi dengan Islam adalah ruwatan. Bagi masyarakat Jawa, khususnya Magetan, ruwatan merupakan tradisi yang sudah membudaya. Ruwatan bukan hanya dilakukan oleh orang-orang ‘kejawen`, tetapi juga dilakukan oleh masyarakat Muslim Magetan, bahkan banyak dari kalangan santri. Pada 20
Mark R Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, (Yogyakarta: LKiS, 2000), hal. 341. 21 KH. Sjaeun (tokoh agama), wawancara, 10 April 2012
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
31
praktek-praktek ruwatan dalam masyarakat Magetan, ada beberapa hal yang menunjukan adanya akulturasi antara Islam dengan budaya Jawa. Hal itu ditunjukan dengan beberapa hal sebagai berikut: Penggunaan kain putih (mori) yang dipakai oleh peserta ruwatan, menurut Peruwat Muslim terpengaruh tradisi Islam. Dalam Islam, kainputih adalah jenis kain sangat dekat dengan laku ibadah. Dalam laporan kehidupan Rasulullah, kain putih adalah kain yang disukai oleh Nabi Muhammad. Pakaian ihram untuk umat Islam yang menunaikan ibadah haji atau umrah juga kain putih. Kain kafan yang dipakai untuk mengkafani jenazah juga kain putih. Rasulullah SAW bersabda: “Pakailah pakaian putih kerana itu lebih baik, dun kafankan mayat kamu dengannya (kain putih).” (anNasa’i dan al-Hakim). Dalam bahasa lain dapat dinyatakan bahwa kain putih seakan pakaian kebesaran Islam. Pemakaian kain putih tersebut bisa dimaknai sebagai simbol kesucian, yaitu bahwa penyandang sukerta dengan berpakaian putih diharapkan hidupnya bersih dari gangguan makhluk jahat. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat Jawa memiliki kepercayaan terhadap adanya roh-roh aktif yang dapat mencelakakan hidupnya. Lebih jauh menurut Imam Bukhori, pakaian itu sebagai simbol untuk mengingatkan penyandang sukerta, sehingga mendorong yang bersangkutan untuk semakin dekat dengan Tuhan.22 Selanjutnya, menurut Mulyono, S.PdI, pelaksanaan ruwatan yang sekarang pageran yang dilakukan oleh beberapa golongan orang karena menyandang sukerto (bahaya) itu sebenarnya tidak ada, karena semua kejadian (baik menyenangkan maupun yang menyedihkan) yang menimpa manusia adalah dari Allah untuk itu manusia harus selalu menerima dengan lapang dada dengan tetap memberi (bersedekah) kepada orang lain dalam keadaan sedang senang maupun gembira. karena dengan sedekah, maka Allah akan menjauhkan pelakunya dari mara bahaya. Dengan adanya pageran, maka “sesepuh jawa” dahulu, ingin mengajak kepada masyarakat agar rajin bersedekah. Hal ini karena sulit sekali bagi setiap orang untuk menghindari sukerto yang berjumlah lebih dari enam
22
Imam Bukhori, Wawancara, 3 September 2012.
32
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
puluh macam tersebut. Oleh karena orang ‘pasti’ mempunyai sukerto, maka harus diruwat (bersedekah)23. Selanjutnya, pelaksanaan ruwatan yang menggunakan pementasan wayang dengan lakon murwakala tersebut harus dimaknai sebagai ungkapan rasa syukur kepada. Tuhan. Misalnya, anak semata wayang (ontang-anting) dianggap sukerto sehingga harus diruwat. Maka ruwatan yang dilakukan dimaknai sebagai rasa syukur kepada Allah karena telah diberi anak, meskipun hanya satu, sementara banyak orang yang tidak dikaruniai anak.24 Orang memecahkan dandang misalnya harus diruwat, ini merupakan ekspresi rasa syukur kepada Allah, karena dia masih diberi rizki oleh Allah sehingga mampu untuk menanak nasi.25 Adanya bacaan-bacaan al-Qur‘an dan shalawat jelas mengindikasikan bahwa praktek ruwatan yang dilakukan. masyarakat Jawa pada saat ini terdapat alat-alat Islam di dalamnya. Nilai-nalai yang terkandung di dalamnya adalah pengatasnamaan Tuhan dalam setiap aktivitas yang dilakukan. Di samping itu, dengan bacaan-bacaan yang diucapkan peruwat menandakan adanya pengakuan keesaan Allah dan. kerasulan Muhammad, meskipun dalam praktek ruwatan yang dilakukan adalah khas budaya Jawa. Shadaqah. Orang yang diruwat sebelum melakukan ruwatan diwajibkan untuk bersedekah. Praktek sedekah biasanya dilakukan dengan mengumpulkan para tetangga dalam bentuk kenduri, dan sepulang dari kenduri tersebut masing-masing membawa berkat (nasi, sayur dan aneka lauk) yang telah diracik sedemikian rupa sebagai bentuk sedekah dari pemilik hajat. Praktek kenduri di kota-kota yang memiliki keterbatasan tempat, biasanya tidak selalu mengundang pada tetangga dalam bentuk kenduri, namun sedekah yang telah diracik oleh pemilik hajat diantarkan satu per satu ke para tetangga.
23
Muljono, S.PdI (anggota senior peruwat), wawancara, 30 September 2012. K. Ahmad Salam, Wawancara , 23 Agustus, 2012. 25 Ibid. 24
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
33
Penutup Bagi masyarakat Muslim Magetan, ruwatan diganti dengan istilah tolak balak (pageran) diartikan sebagai; Pertama, media untuk membentengi diri berbagai hambatan yang akan mempersulit kehidupannya di masamasa yang akan datang. Ruwatan merupakan bagian dari tradisi slametan, hanya saja momentum pelaksanaannya berbeda dengan slameten biasa. Kedua, ruwatan yang paling banyak dilakukan adalah menjelang pernikahan seseorang, sementara jenis ruwatan yang lainnya adalah bersih desa yang dilakukan pada setiap malam sepeluh Muharam bersamaan dengan kegiatan Yatiman, ketiga, ruwatan berarti sedekah kepada sesame, sebagai ungkapan rasa syukur atas karunia Allah swt.
Daftar Pustaka A. Hasjmi. 1989. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Kumpulan Prasarana pada Seminar di Aceh. Cetakan Kedua. Bandung: PT. Al Ma’arif. Abdul Djamil, dkk. 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa. Editor H.M. Darori Amin. Yogyakarta: Gama Media. Abdurrahman Wahid. 2001. Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan. Jakarta: Desantara. Ahmad Irfandi. 2004. Tradisi Ruwatan Santri di Bedingin, Kelurahan Tirtomoyo, Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri, Skripsi, Yogyakarta: Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga. Amsal Bahtiar. 1997. Filsafat Agama I. Jakarta: Logic Wacana Ilmu, Azyumardi Azra dan Irwan Abdullah. 2002. “Islam dan Akomodasi Kultural”. Dalam Taufik Abdullah. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru. Van Hoeve. Budiono Heru Satoto. 1997. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Magetan: PT. Hanindita.
34
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
C. A. Qadir. 2002. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor. Djoko Suryo. “Tradisi Santri dalam Historiografi Jawa”, Makalah. Disampaikan pada Seminar “Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa, 31 Nopember 2000. Geertz, Clifford. 1976. The Religion of Java. Chicago & London: University of Chicago Press. H. J. Benda. 1983. The Crescent and the Rising Sun, Indonesian Islam under the Japanese Occupation 1942 – 1945. Leiden: KITLV. Hasan Shadily. 1963. Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: PT. Pembangunan. Hasyim Amir. 1994. Nilai-Nilai Etis dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Inajati Adrisijanti Romli. 1991. “Makam-Makam Kesultanan dan Para Wali Penyebar Islam di Pulau Jawa”, dalam Aspek-Aspek Arkeologi Indonesia, No. 12. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. ________. 1997 “Islam dan Kebudayaan Jawa”, dalam Cinandi, Yogyakarta: Panitia Lustrum VII Jurusan Arkeologi UGM. Khaldun, Ibnu. 1989. Muqaddimah Ibnu Khaldun. Beirut: Dar al-Fikr. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan. M. Imaduddin, dkk. “Islam Pribumi: Mencari Wajah Islam Indonesia, Majalah Tashwirul Afkar Edisi No. 14 Tahun 2003. Majid Fakhry. 2001. Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis. Bandung: Mizan. Mardiwarsito. 1978. Kamus Jawa Kuno-Indonesia, Ende Flores: Nusa Indah.
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
35
OC. D. Hendropuspito. 1994. Sosiologi Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia. R. Harmanto Bratasiswara. 2000. Sukerto: Bauwarna, Adat Tata Cara Jawa. Jakarta: Yayasan Sulasumirat. Simuh, 1999. Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa. Yogyakarta: Bentang Budaya. ________. 2004. “Interaksi Islam dan Budaya Jawa”, dalam Anasom [Ed.], Merumuskan Kembali Interelasi Islam – Jawa. Yogyakarta: Gams Media. Woodward, Mark R. 2000. Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan. Yogyakarta: LKiS.
36
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
EKSISTENSI MADRASAH PADA ERA OTONOMI DAERAH Supa’at Dosen tetap pada Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus Abstract One of the main results of the reform is the democratization of the political system and government. As one of the pillars of democracy, a decentralized governance system must be implemented. Education is one of the sectors that the authority of the local government. However, there are exceptions associated with madrasah. As an educational institution, the school still handled by central government through the Ministry of Religious Affairs, whose main duty is taking care of religious affairs. This research attempted to analyze the implications of regional autonomy and decentralization of the madrasah education, by taking the madrasah management settings (especially Madrasah Aliyah) located in Kudus. The data was collected through observation, in-depth interviews, and document analysis. Institutionally, madrasahs “governed” by two ministries, namely the Ministry of Religious Affairs and the Ministry of Education and Culture. Administratively, madrasahs is under the auspices of the Ministry of Religious Affairs, but subject to all the regulations of the Ministry of Education and Culture. This fact is the starting point for the emergence of dilemmas and problems at the implementation level, especially with regard to budgetary resources. In addition, not all local governments have the same understanding of the policy regarding madrasahs. There are many policies of local governments, which pay less attention to the existence of madrasah, both in terms of institutional development, workforce, budget, and facilities and infrastructure. In fact, on some level, the local government is perceived as unfair and discriminatory .
Key Words : Islamic School, Islamic Education, Regional Otonomy, Education Policy Abstrak Salah satu hasil utama reformasi adalah demokratisasi dalam sistem politik dan pemerintahan.Sebagai salah satu pilar demokrasi sistem
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
37
pemerintahan otonomi dan desentralisasi menjadi keniscayaan untuk dilaksanakan.Pendidikan adalah salah satu bidang atau sektor yang diurus dan menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah.Namun, terdapat pengecualian terkait dengan madrasah.Sebagai lembaga pendidikan madrasah tetap ditangani oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Agama, yang nota bene tugas pokoknya adalah mengurus bidang keagamaan. Penelitian ini mencoba menganalisis sejauhmana implikasi kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan terhadap madrasah dengan mengambil lokasi dan seting pengelolaan madrasah (khususnya Madrasah Aliyah) di Kabupaten Kudus. Data penelitian (kualitatif) ini dikumpulkan melalui metode observasi, wawancara mendalam, dan analisis dokumen. Secara kelembagaan, madrasah “diatur” oleh dua kementerian, karena meskipun secara administratif di bawah naungan Kementrian Agama, namun madrasah tunduk pada semua regulasi yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kenyataan demikian meaupakan titik awal timbulnya dilema dan masalah pada tingkat implementasi, terutama yang menyangkut masalah-masalah teknis di lapangan yang berkaitan dengan sumber anggaran melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Selain itu, tidak semua pemerintah daerah memiliki terjemah yang sama dalam implementasi kebijakanperihal madrasah. Di beberapa daerah masih banyak kebijakan yang belum memperhatikan eksistensi madrasah, baik dalam hal pembinaan kelembagaan, ketenagaan, anggaran, maupun sarana dan prasarana. Bahkan pada tingkatan tertentu perlakuan pemerintah daerah dipersepsi oleh para pengelola madrasah sebagai tidak adil dan diskriminatif.
Kata Kunci : Madrasah, Pendidikan Islam, Otonomi Daerah, Kebijakan Pendidikan.
Pendahuluan Babak baru yang krusial dan dilematis dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara adalah perubahan politik dan sistem pemerintahan pada era reformasi. Meskipun tidak berkait langsung dengan madrasah, perubahan politik yang terjadi pada tahun 1998 tersebut berdampak pada pengelolaan madrasah. Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah 38
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
menghadapkan madrasah pada persoalan yang pelik dan dilematis. Menurut undang-undang tersebut, hanya ada lima urusan yang tetap diurus pemerintah pusat: keuangan/monoter, pertahanan, hukum, kebijakan luar negeri, dan agama, selebihnya, termasuk pendidikan, adalah menjadi tanggung jawab dan urusan pemerintah daerah (kabupaten/kota). Bila dilihat sebagai lembaga pendidikan maka pengelolaan madrasah, terutama dari sudut pembiayaan harus secara eksplisit dan difinitif masuk butir anggaran pendidikan di bawah koordinasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Bila dilihat sebagai lembaga keagamaan maka ia tidak diotonomikan, karena urusan agama adalah bidang yang tidak diotonomikan dan tetap menjadi urusan pemerintah pusat, yaitu Kementerian Agama. Meskipun dua tafsir tersebut terus bergulir, namun faktanya sampai saat ini urusan madrasah tetap di bawah Kementerian Agama. Terlepas dari ragam persepsi tersebut, menurut Azyumardi Azra dan Jamhari (Burhanuddin & Afrianty, [Eds.], 2004:1), lahirnya undangundang otonomi daerah tersebut merupakan tantangan dan sekaligus peluang bagi madrasah. Sebagai peluang, karena dalam tiga dasawarsa terakhir ini ada peningkatan “new attachment” kepada Islam di kalangan masyarakat muslim. Namun fakta itu juga menjadi tantangan karena kemudian muncul harapan di kalangan masyarakat muslim tersebut untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas bagi anak-anak mereka. Pada kenyataanya sebagian besar pendidikan Islam, khususnya madrasah belum mampu memenuhi harapan tersebut karena berbagai keterbatasan yang dihadapinya. Di samping keterbatasan sumberdaya manusia problem lain yang dihadapi oleh madrasah adalah keterbatasan wawasan dan keterampilan untuk mengelola berbagai program inovasi. Salah satu kendala pokoknya, menurut Azyumardi Azra (1999), adalah belum tuntasnya reposisi lembaga pendidikan madrasah dalam konteks otonomi pendidikan. Kondisi inilah yang pada tingkat tertentu ‘membingungkan’ sebagian birokrat pendidikan madrasah di daerah. Sebagaimana disebutkan pada pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun. 1999: “...bidang pendidikan dan kebudayaan merupakan salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah Kabupaten”. Dengan mengacu pada pasal 8 ayat (1), maka penyerahan kewenangan Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
39
dari pemerintah pusat kepada daerah dalam rangka desentralisasi ini memiliki konsekwensi logis berupa penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan. Urusan “agama” adalah termasuk bidang yang tidak diotonomikan. Lantas bagaimana dengan madrasah yang saat ini masih diurus oleh Kementerian Agama? Secara sederhana bila dipahami dari sudut tugas pokok Kementerian Agama, maka madrasah dapat dikatakan sebagai sebuah aktivitas keagamaan seperti urusan haji, majlis ta’lim dan lain sebagainya. Dari sudut ini membawa konsekuensi madrasah tidak bisa dikategorikan sebagai lembaga pendidikan, padahal senyatanya madrasah dilihat dari sudut manapun adalah lembaga pendidikan. Kerancuan ini kemudian berimbas pada pembiayaan pendidikan, karena alokasi dana dari APBN untuk madrasah adalah bersumber dari “anggaran sektor agama”. Hal ini berbeda dengan pembiayaan pendidikan untuk sekolah yang bersumber dari APBN dan APBD dalam format “anggaran sektor pendidikan”. Cara pandang yang tidak proporsional terhadap madrasah inilah yang perlu diluruskan dalam konteks otomoni daerah. Cara pandang yang cenderung menafikan keragaman ini sesungguhnya berlawanan dengan semangat dan esensi demokrasi dan otonomi. Bukankah peserta didik yang belajar di madrasah adalah juga anak bangsa yang memiliki hak yang sama untuk memperoleh pelayanan pendidikan dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Otonomi Daerah Sejalan dengan semangat reformasi dan tuntutan demokratisasi, pada tahun 1999 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang pemerintahan daerah, yang kemudian disusul dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, tentang perimbangan keuangan daerah dan pusat. Dalam undang-undang ini selain masalah/bidang keamanan/ pertahanan, politik luar negeri, agama, peradilan, dan keuangan/monoter/fiskal pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah kabupaten/ kota. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan 40
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Disamping pengertian normatif regulatif tersebut, banyak pengertian otonomi (otonomi daerah) disampaikan oleh para ahli yang substansinya dapat dikelompokkan dalam tiga unsur: (1) adanya kewenangan atau kebebasan pemerintah daerah untuk mengurus atau mengatur sendiri daerahnya, (2) kebebasan atau kewenangan tersebut, merupakan pemberian dari pemerintah pusat dan karenanya harus tunduk pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau secara nasional, (3) kebebasan atau kewenangan yang diberikan tersebut bertujuan untuk kemudahan pemanfaatan potensi lokal dalam rangka mensejahterakan masyarakat. Dalam perkembangannya, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mengalami revisi/perubahan setelah mendapat kritik dan masukan serta judicial review. Sebagai koreksi dan penyempurnaan keluarlah UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan yang sama terjadi pada tahun 2008, yaitu perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008). Semua perubahan tersebut bertujuan untuk menyesuaikan dengan dinamika bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia. Tidak tertutup kemungkinan perubahan yang sama akan terjadi di masa yang akan datang dengan pertimbangan dan alasan yang sama. Secara konseptual, pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dilandasi oleh tiga tujuan utama, yaitu tujuan politik, tujuan administratif dan tujuan ekonomi. Secara politik otonomi daerah bertujuan untuk mewujudkan demokratisasi politik melalui partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Secara administratif, bertujuan membagi urusan pemerintahan antara pusat dan daerah, termasuk sumber keuangan, serta pembaharuan manajemen birokrasi pemerintahan di daerah. Sedangkan dari sisi ekonomi, otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia sebagai indikator peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keterlaksanaan dan keberhasilan otonomi daerah, antara lain: (1) Faktor manusia, yang meliputi kepala daerah beserta jajaran dan pegawai, seluruh anggota lembaga legislatif dan partisipasi masyarakatnya. (2) Faktor keuangan Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
41
daerah, baik itu dana perimbangan dan pendapatan asli daerah, yang akan mendukung pelaksanaan pogram dan kegiatan pembangunan daerah. (3) Faktor manajemen organisasi atau birokrasi yang ditata secara efektif dan efisien sesuai dengan kebutuhan pelayanan dan pengembangan daerah. Meskipun banyak hal yang terjadi dan berubah dengan pelaksanaan otonomi daerah ini, beberapa paparan di atas hanyalah sekedar contoh. Sesuai tema dan fokus penelitian ini, yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah implikasi otonomi daerah terhadap pengelolaan madrasah, khususnya madrasah Aliyah di Kabupaten Kudus.
Eksistensi Madrasah dalam Sistem Pendidikan Nasional Eksistensi madrasah sebagai lembaga pendidikan merupakan bagian tak terpisahkan dari dakwah Islam. Dengan kata lain eksistensi madrasah merupakan pengejawantahan dari kesadaran spiritual religius masyarakat muslim akan pentingnya pendidikan (menuntut ilmu). Sebagian besar proses pendirian madrasah dilakukan oleh masyarakat secara swadaya. Maka madrasah tidak dapat digantikan dengan lembaga pendidikan lainnya, karena madrasah mempunyai visi, misi, dan karakteristik yang sangat khas di dalam masyarakat dan bangsa Indonesia. Secara historis, keberadaan madrasah tidak bisa terlepas dari dinamika sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Lahirnya madrasah merupakan akumulasi antara tuntutan zaman (modernisasi) dan ideologi keagamaan (tradisionalisme). Secara epistimologis, tradisi keilmuan madrasah mengacu pada dua basis keilmuan. Pertama, tradisi keilmuan pesantren yang lebih bersifat tradisional dan konservatif serta penuh dengan nilainilai agama yang sakral. Kedua, tradisi keilmuan modern yang penuh dengan muatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam konteks nasional, pendidikan Islam merupakan sub-sistem dari pendidikan nasional. Menyatunya madrasah dalam sistem pendidikan nasional bukan merupakan integrasi dalam arti penyelenggaraan dan pengelolaan madrasah oleh Kementerian Pendidikan Nasional, tetapi lebih pada pengakuan yang lebih mantap bahwa madrasah adalah bagian dari sistem pendidikan nasional walaupun pengelolaannya dilimpahkan pada Kementerian Agama. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989, di satu sisi dilihat sebagai memperkuat posisi madrasah terhadap sekolah, 42
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
namun disisi lain dianggap memperlemah posisi madrasah yang fokus utamanya adalah pendidikan agama dan pengetahuan umum sebagai tambahan. Posisi ini diperkuat pada era Otonomi Daerah melalui UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang secara yuridis juga mengakui eksistensi madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Secara yuridis formal, persoalan madrasah dengan status sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam sudah terselesaikan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang diakui sama dengan sekolah. Namun secara de facto sebagian besar madrasah berlokasi di pedesaan, mayoritas siswanya dari kalangan keluarga “kurang mampu”. Oleh karena itu, madrasah mengalami sejumlah kendala yang cukup berat dalam menjalankan proses pembelajaran, seperti sarana dan prasarana yang minim, kurangnya buku-buku dan fasilitas penunjang pembelajaran lainnya, serta kurangnya tenaga guru baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Berdasarkan data yang penulis kumpulkan, secara umum lembaga pendidikan madrasah di Kudus menghadapi beberapa problem yang seolah unsolved problem, khususnya madrasah swasta, yaitu: 1.
Problem Manajemen Berdasarkan pengamatan penulis dan wawancara terhadap beberapa pihak yang terlibat langsung dalam pengelolaan madrasah, teridentifikasi beberapa problem manajerial yang dihadapi madrasah, yaitu : Pertama, bidang sumber daya manusia (tenaga kependidikan). Masalah yang dihadapi adalah masih banyaknya tenaga pendidik atau guru yang kurang sesuai dengan kompetensi (miss-match and underqualified) dan berperan ganda. Merujuk data yang dikeluarkan dari Kementerian Agama RI (2008), data nasional guru Miss-match dan underqualified terdiri dari 21,7% PNS dan 78,3% non-PNS, 66,5% “guru agama” dan 33,5% “guru umum”. Kedua, bidang kurikulum. Sebagai sekolah umum madrasah harus sama dengan sekolah, dan ciri khas Islam mengharuskan madrasah harus memberikan mata pelajaran agama (PAI) yang lebih luas dan mendalam dibandingkan dengan sekolah. Fakta inilah yang menyebabkan, terutama Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
43
di madrasah swasta, terjadi dilema yang sulit yang berujung pada disorientasi kurikulum dan pembelajarannya. Ketiga, bidang sarana dan prasarana. Keterbatasan finansial merupakan kendala utama bagi upaya pengembangan proses pendidikan berkualitas di madrasah. Terutama berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pendidikan. Seperti terbatasnya fasilitas belajar mengajar, buku-buku teks, alat peraga, ruang praktikum, dan sebagainya. Lebih tragis lagi kalau kita melihat anggaran pendidikan untuk madrasah yang hanya berasal dari anggaran keagamaan, berbeda dengan sekolah umum di bawah naungan Kementerian Pendidikan Nasional. Keempat, masalah Networking (pengembangan jaringan). Sementara ini jaringan yang dikembangkan madrasah kebanyakan masih terbatas pada pelibatan peran masyarakat dalam skala lokal, misalnya yayasan dan wali murid. 2. Problem Konseptual-Teoritis dan Operasional-Praktis Pendidikan Islam di Indonesia senantiasa dihadapkan pada persoalan yang kompleks, mulai dari konseptual-teoritis sampai dengan operasionalpraktis. Menurut Azra (2002), beberapa fenomena yang menyebabkan pendidikan Islam selalu dalam posisi tersingkirkan, antara lain: (1) Pendidikan Islam sering terlambat merumuskan diri untuk merespon perubahan dan kecenderungan perkembangan masyarakat, sekarang dan masa datang. (2) Sistem pendidikan Islam kebanyakan masih cenderung berorientasi pada bidang-bidang humaniora dan ilmu-ilmu sosial ketimbang ilmu-ilmu eksakta. (3) usaha pembaharuan dan peningkatan sistem pendidikan Islam sering bersifat sepotong-sepotong atau tidak komprehensif, dilakukan “seadanya”, sehingga tidak terjadi perubahan secara esensial didalamnya. (4) Sistem pendidikan Islam cenderung berorientasi ke masa silam ketimbang ke masa depan. (5) Sebagian besar sistem pendidikan Islam belum dikelola secara professional baik dalam perencanaan, penyiapan tenaga pengajar, kurikulum, maupun pelaksanaan pendidikannya. Senada dengan pendapat di atas, Mas’ud (2002) menyampaikan beberapa kelemahan pendidikan Islam secara umum adalah: (1) Dunia pendidikan Islam kini terjangkiti penyakit simtom dikotomik, dan masalah 44
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
spirit of inquiry. (2) Kurang berkembangnya konsep humanisme religius dalam dunia pendidikan Islam, yakni adanya tendensi pendidikan Islam yang lebih berorientasi pada konsep “Abdullah” daripada “khalifatullah” dan “hablun minallah” daripada “hablun minannas”. (3) Adanya orientasi pendidikan yang timpang, sehingga melahirkan masalah-masalah besar dalam dunia pendidikan Islam, dari persoalan filosofis sampai ke metodologis, bahkan sampai ke tradisi pembelajaran. 3. Problem Kebijakan dan Politik Pendidikan Menurut pandangan Tilaar (2004), hal ini disebabkan antara lain: (1) Pendidikan di madrasah yang sementara ini seakan-akan tersisih dari mainstream pendidikan nasional namun berkenaan dengan pendidikan anak bangsa. (2) madrasah sebagai pendatang baru dalam system pendidikan nasional relatif menghadapi berbagai masalah dan kendala di dalam hal mutu, manajemen, termasuk masalah kurikulumnya. Namun demikian madrasah mempunyai potensi atau nilai-nilai positif budaya bangsa. Secara yuridis, madrasah telah diakui sebagai sub sistem pendidikan nasional sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, namun demikian posisi ini menimbulkan beberapa konsekuensi antara lain adalah dimulainya suatu pola pembinaan yang mengikuti satu ukuran yang mengacu kepada sekolah-sekolah pemerintah. Padahal secara struktural madrasah sebagai sekolah yang bercirikan khas agama Islam berada di bawah naungan Kementerian Agama. Dengan demikian terjadi dualisme dalam pembinaan pendidikan antara sekolah (madrasah) yang berada di bawah Kementerian Agama dengan sekolah yang berada dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dualisme ini berimplikasi pada munculnya kebijakan-kebijakan yang kurang menguntungkan sekolah-sekolah yang berada di bawah Kementerian Agama. Posisi madrasah selama ini seringkali diperlakukan kurang adil, pada satu sisi madrasah dituntut menghasilkan lulusan yang sama dengan sekolah umum akan tetapi kurang memperoleh dukungan finansial yang memadai, lebih-lebih lagi bagi madrasah swasta yang pada umumnya sebagai penyangga finansial kehidupan madrasah adalah wali murid. Dari Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
45
segi anggaran, perolehan anggaran untuk operasional pendidikan terdapat perbedaan antara lembaga-lembaga pendidikan di bawah naungan Kementerian Agama dengan sekolah-sekolah di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebagai akibat perbedaan anggaran tersebut maka terjadi pula perbedaan dalam pengadaan sarana fisik serta kegiatan pendidikan yang bersifat non fisik lainnya. Salah satu “kekeliruan” kebijakan pendidikan yang berpengaruh terhadap rendahnya kinerja pendidikan Indonesia adalah kurang diperhitungkannya madrasah dalam sistem pendidikan nasional. Kalau kita berbicara mengenai peningkatan mutu pendidikan dan masalahmasalah kependidikan lainnya seolah-olah semuanya ditentukan oleh sekolah.
Madrasah dalam Konteks Otonomi Daerah Madrasah sebagai lembaga pendidikan tidak termasuk yang diotonomikan sebagaimana sekolah, namun dengan catatan segala sesuatu yang terkait dengan sistem kependidikannya madrasah tunduk dan mengikuti regulasi yang diatur oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kementerian Agama hanya mengatur aspek administratif (ketenagaan dan pembiayaan) dan pembinaan ke-madrasah-annya. Hal ini berarti pembiayaan madrasah bersumber dari APBN Sektor Agama, berbeda dengan pembiayaan pendidikan untuk sekolah yang bersumber dari APBN dan/atau APBD Sektor Pendidikan. Pada titik inilah kemudian dalam implementasi otonomi pendidikan menimbulkan dilema atau masalah untuk madrasah. Di samping jumlahnya yang lebih kecil dari APBN, pada kenyataannya tidak semua pemerintah kabupaten/kota mengalokasikan anggaran pendidikan secara permanen untuk madrasah, dengan alasan madrasah dikelola oleh institusi vertikal. Selain untuk meningkatkan relevansi pendidikan, otonomi pendidikan juga bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan pemerataan kualitas pendidikan. Namun kenyataan dalam beberapa kasus, otonomi pendidikan justru menimbulan masalah baru untuk madrasah. Otonomi pendidikan membuat madrasah menjadi semakin terpinggirkan dari arus kebijakan pemerintah kabupaten. Hal ini dapat dilihat dari perhatian dalam bentuk alokasi anggaran untuk pendidikan. Berdasarkan data yang penulis 46
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
peroleh dari BAPEDA Kabupaten Kudus, memang ada alokasi anggaran untuk membantu madrasah, namun alokasi anggarannya diambilkan dari anggaran Bantuan Sosial, karena alokasi anggaran APBD untuk sektor pendidikan hanya diperuntukkan sekolah. Alasan lain adalah karena madrasah dikelola oleh instansi vertikal Kementerian Agama, sehingga anggarannya dari pemerintah pusat. Dari fakta inilah kemudian para pengelola MA swasta merasa diperlakukan tidak adil atau diskriminatif. Peserta didik di MA sebagai sesama warga negara merasa mendapatkan perlakukan diskriminatif, karena hak-hak yang seharusnya mereka peroleh menjadi hilang hanya karena mereka belajar di MA. Keadaan ini secara historis ada kemiripan dengan apa yang dialami lembaga pendidikan Islam (madrasah dan pesantren) pada era penjajahan. Kendala utama untuk merealisasikan aspirasi tersebut, seperti dijelaskan oleh Drs. Abdul Hamid, M.Pd. (Kepala Dinas Kabupaten Kudus: 05/06/2008), karena ada regulasi yang mengatur larangan untuk mengalokasikan APBD untuk institusi vertikal, termasuk madrasah. Larangan tersebut tertera Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 903/2429/SJ tertanggal 12 September 2005 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun 2006. Surat Edaran tersebut dibaca oleh para pengelola madrasah dan umat Islam sebagai kebijakan yang tidak memahami eksistensi dan realitas madrasah. Bahkan secara nasional, termasuk Menteri Agama sendiri, anggota DPR, dan tokoh-tokoh Islam (organisasi Islam) menolak dan mengkritik keras Surat Edaran tersebut, bahkan kebijakan bisa dinilai sebagai kebijakan yang anti madrasah dan pesantren. Reaksi ini dapat dimengerti karena senyatanya madrasah (terlebih yang swasta) keadaannya sangat membutuhkan bantuan dana untuk meningkatkan kualitas pembelajarannya.
Reposisi Madrasah - Wacana Solutif. Terkait dengan berbagai problem, kendala, dan dilema sebagaimana dipaparkan di atas munculah wacana pengelolaan “satu atap” terhadap madrasah, yaitusepenuhnya dibawah pengelolaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi satu dengan sekolah. Tarik ulur reposisi pengelolaan madrasah dalam satu atap masih sekedar wacana, Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
47
walaupun di beberapa daerah sudah mulai mengapresiasi melalui peraturan-peraturan daerah dan kebijakan-kebijakan dalam penyelenggaraan pendidikan. Namun secara umum dalam implementasi kebijakan pendidikan masih dijumpai adanya diskriminasi terhadap madrasah. Hal yang masih dipertimbangkan adalah implikasi plus dan minus jika madrasah direposisikan satu atap di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sisi positif antara lain: (1) Terwujudnya persamaan hak dan kewajiban pendidikan anak bangsa. (2) Madrasah tidak lagi dianaktirikan oleh pemerintah daerah. (3) Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan bagi rakyat miskin, mengingat madrasah mayoritas berlatarbelakang ekonomi menengah ke bawah. Adapun sisi negatif antara lain: (1) madrasah akan kehilangan jadidiri ke-madrasahannya, (2) tidak semua pemerintah daerah bisa menerima kehadiran madrasah, khususnya di daerah-daerah yang mayoritas non muslim, (3) kekhawatiran madrasah akan kehilangan ciri khasnya (kurikulum pendidikan agama), (4) ketidaksiapan madrasah untuk menerima pembaharuan-pembaharuan, baik secara institusional maupun manajerial. Alternatif solusi yang mungkin bisa dipertimbangkan lebih lanjut antara lain: (1) APBN & APBD harus mampu mengalokasikan anggaran untuk pendidikan sebesar 20% non gaji, dan seluruh penyelenggaraan pendidikan baik di bawah Kemendikbud maupun Kemenag dialokasikan secara proporsional. Artinya seluruh penyelenggaraan pendidikan baik dari sisi ketenagaan, pembinaan kelembagaan maupun anggaran bisa memenuhi kebutuhan riil pendidikan. Meskipun dalam nimplementasinya mungkin masih didapati kebijakan-kebijakan yang diskriminatif. (2) Madrasah tetap di bawah naungan Depag tidak dilepaskan secara total, namun ada beberapa kewenangan yang dilimpahkan kepada daerah dengan konsekuensi adanya pembagian urusan mengenai wewenang yang jelas antara Kementerian Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam mengelola pendidikan madrasah, khususnya yang menyangkut persoalan tenaga kependidikan dan kurikulum. (3) Urusan kelembagaan menjadi tanggung jawab Depag, sedang urusan kurikulum dan ketenagaan dilimpahkan ke pemda. Ada beberapa cara yang perlu dipertimbangkan dalam memecahkan problema besar kemadrasahan. Supriyoko (2007) melihat paling tidak 48
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
ada dua cara yaitu cara konvensional dan cara modern. Cara konvensional adalah menyampaikan “ilmu umum” yang porsinya sama dengan yang diberikan di sekolah, kemudian ditambah dengan “ilmu agama”. Cara ini bagus akan tetapi hanya efektif dijalankan oleh madrasah dengan siswa yang di asrama alias dipondokkan. Madrasah yang eksistensinya di tengah pesantren biasanya bisa menjalankan cara ini secara produktif; namun pada madrasah nonpesantren yang siswanya tidak menginap, cara ini sangat berat untuk dijalankan. Cara modern yang bisa dijalankan adalah membenahi metode pembelajaran, meningkatkan mutu guru, atau melengkapi sarana dan fasilitas belajarnya. Ketiga pembenahan ini bisa dilakukan secara sendirisendiri tetapi lebih produktif dijalankan secara terintegrasi. Selain itu, dapat pula dilakukan perpaduan cara konvensional dan cara modern tersebut secara produktif. Bagaimanapun juga, pembaharuan-pembaharuan yang akan dilakukan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan Islam (madrasah) harus tetap mempertimbangkan aspek realitas struktural dan kultural yang terjadi. Menurut A. Malik Fajar (2006), kebijakan-kebijakan mengembangkan madrasah perlu mengakomodasikan tiga kepentingan, yaitu: (1) kebijakan itu harus memberi ruang tumbuh yang wajar bagi aspirasi umat Islam, yakni menjadikan madrasah sebagai wahana untuk membina ruh atau praktek hidup Islami. (2) Kebijakan itu memperjelas dan memperkukuh madrasah sebagai ajang membina warga negara yang cerdas, berpengetahuan, berkepribadian, serta produktif sederajat dengan sistem sekolah. (3) Kebijakan itu harus bisa menjadikan madrasah mampu merespon tuntutan-tuntutan masa depan. Oleh karena itu madrasah harus mulai berbenah diri untuk memperbaiki manajemen melalui berbagai upaya alternatif untuk mengatasi berbagai problematika baik secara internal maupun eksternal. Kemajuan madrasah sangat bergantung pada kemampuan dan kesadaran masyarakat setempat. Di sinilah diperlukan kepandaian penyelenggara madrasah untuk menjalin kerja sama dengan tokoh-tokoh masyarakat sekitar. Harus ada upaya untuk menumbuhkan merasa memiliki masyarakat, sehingga dengan sukarela ikut berpartisipasi membesarkan madrasah. Dewasa ini persaingan antarsekolah cukup ketat, sehingga Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
49
sekolah atau madrasah yang tidak dikelola dengan baik akan kehilangan kepercayaan masyarakat.
Kesimpulan Dari paparan dan analisis data di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Secara yuridis for mal eksistensi madrasah sebagai lembaga pendidikan kuat dan kokoh dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Regulasi ini tidak hanya menjadikan madrasah setara dengan sekolah, bahkan memiliki nilai lebih. 2. Madrasah sebagai lembaga pendidikan memiliki kararkter khusus, karena kelahirannya menjadi bagian tak terpisahkan dari da’wah Islam. Kelahiran madrasah adalah menjadi simbul dan indikator keberagamaan umat, dan menjadi bagian tak terpisahkan dari semangat spiritual religus. 3. Mayoritas (85%) lembaga pendidikan madrasah adalah swasta dan berada di pedesaan. Pada satu sisi lembaga pendidikan ini benarbenar berada di tengah-tengan masyarakat, pada sisi lain lembaga pendidikan ini lemah secara finansial karena peserta didik yang belajar di madrasah mayoritas adalah berasal dari kalangan ekonomi menegah ke bawah. 4. Dalam merespon perkembangan zaman, madrasah sebagai lembaga pendidikan menghadapi beragam permasalahan, antara lain: (a) problem manajemen, (b) problem konseptual teoritis dan operasional praktis, (c) problem kebijakan dan politik pendidikan. 5. Bagi lembaga pendidikan madrasah, implimentasi otonomi daerah sesungguhnya bukan merupakan hal baru, karena selama ini madrasah sebagai lembaga pendidikan dikenal sebagai lembaga pendidikan yang mandiri dan otonom. Persoalanya lebih pada persepsi atas realitas bahwa lembaga pendidikan diperlakukan diskriminatif dan tidak fair terkait dengan alokasi APBD. Karena dianggap menjadi wilayah dan urusan vertikal (Pemerintah Pusat). Selama ini yang diterima oleh madrasah adalah bantuan dari APBD melalui pos anggaran “bantuan sosial” dengan jumlah kecil dan tidak tetap. Bantuan/alokasi dana 50
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
untuk madrasah dari APBD sesungguhnya diharapkan oleh pengelola madrasah swasta dalam rangka ikut meningkatkan kualitas proses dan hasil pendidikan di madrasah. 6. Perlu ditemukan alternatif solutif dengan pertimbangan utama adalah demi kepentingan mencerdaskan anak bangsa dan menghindari terjadinya diskriminasi. Oleh karena itu perlu dibuat kesepahaman yang dituangkan dalam bentuk “Keputusan Bersama” antara Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Keuangan, sebagai acuan para pelaksana di lapangan. Karena salah satu penyebab timbulnya diskriminasi tersebut antara lain karena adanya tafsir yang berbeda terhadap regulasi kependidikan dan regulasi keuangan yang ada.
Daftar Pustaka A. Ludjito. 1996. Pendekatan Integralistik Pendidikan Agama pada Sekolah di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. A. Mas’ud. 2002. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Gama Media. Azyumardi Azra. 2002. Paradigma Baru Penddikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ________. 2003. Surau: Pendidikan Islam tradisional dalam Transisi dan Modernisasi. Jakarta: Logos. Departemen Agama RI. 2003. Kebijakan Strategis Ditjen Kelembagaan Agama Islam Tahun 2003-2005. Jakarta: Ditjen Kelembagaan Agama Islam Kementerian Agama RI. ________. 2004. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara Bekerjasama dengan Dirjen Bagais Departemen Agama RI. ________. 2004. Panduan kurikulum 1994 Madrasah. Jakarta: Depag RI. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi II. Jakarta: Balai Pustaka. Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
51
Dornseif, A. 1996. School Based Management Alexandria. Virginia: Assosiation for Supervision and Curriculum Development. H. Yuwono. 2002. Harian Kompas 24 April 2002. H.A.R Tilaar. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural. Magelang: Indonesia Tera. ________. 2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta. H.P. Dauly. 2004. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Prenada Media. Hornby, AS. 1987. Oxford Learner’s Dictionary of Current English. Walton Street Oxford: Oxford University Press. I. Suprayogo. 2007. Quo Vadis Madrasah: Gagasan, Aksi & Solusi Pembangunan Madrasah. Yogyakarta: Hikayat Publishing. J. Burhanudin & Dina A. (Eds). 2006. Mencetak Muslim Modern: Peta Pendidikan Islam Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. K. Baker. 1989. Change is Out Ally: Education and Training. Oxford: Pergamon Press. Kemmerer, F. (t.t). Desentralization of Schooling in Developing Nation, dalam Ensiclopedia of Education. (t.p). Keputusan Menteri Agama RI Nomor 370 Tahun 1993 tentang Madrasah Aliyah. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 372 Tahun 1993 tentang Kurikulum Pendidikan Dasar Berciri Khas Agama Islam. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 373 Tahun 1993 tentang Kurikulum Madrasah Aliyah. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 0489/O/ Tahun 1992 tentang Sekolah Menengah Umum. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana Sekolah/Madrasah Pendidikan Umum. 52
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
M. Syaifuddin. 2006. Kebijakan Pemerintah tentang Yayasan dan Eksistensi Madrasah Swasta di Indonesia: Antara Solusi dan Permasalahannya, dalam Jurnal Ilmiah Keislaman Al Fikra, Vol. 5 No. 1 Januari-Juni 2006. Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS. ________. 1999. Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam. Jakarta: Logos. Masyhuri AM, dkk. 2001. Problematika Madrasah, Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam Depag RI. Muchsin. 2007. Politik Hukum Dalam Pendidikan Nasional. Surabaya: Pascasarjana UNSURI. Peraturan Pemerintahan RI Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Peraturan Pemerintahan RI Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi. Peraturan Pemerintahan RI Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Peraturan Pemerintahan RI Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar. Peraturan Pemerintahan RI Nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah Supriyoko. 2007. Hakikat Politik Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Pustaka Fahima. ________. 2008. Problema Besar Madrasah. Harian Republika. 18 Maret 2008. Suwito & Fauzan (Eds.). 2004. Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara: Studi Perkembangan Sejarah dari Abad 20M. Bandung: Angkasa. Suyanto. 2004. Persoalan Pendidikan Indonesia dalam Era Otonomi Daerah, dalam Edy Suandi Hamid dan Sobirin Malian (Ed), Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
53
Memperkokoh Otonomi Daerah; Kebijakan, Evaluasi, dan Saran. Yogyakarta: UII Press, 2004. U. Abu Bakar dan Surohim. 2005. Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam, Respon Kreatif terhadap Undang-Undang Sisdiknas. Yogyakarta: Safiria Insania Press Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945. Undang-Undang RI Nomor 02 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pemerintah Daerah. Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah. Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan Daerah dan Pusat. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah. Webster’s New Dictionary and Thesaurus. 1990. New Lanark - Scotland: Geddes & Y. Hasyim. 2002. Eksistensi Madrasah di Tengah Polemik Pembaharuan Pendidikan, dalam Majalah Rindang. Kanwil Depag Jawa Tengah, No. 3 Th. XXVIII, Oktober.
54
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
KONVERSI AGAMA (Studi Kasus Converts di Desa Klepu Kecamatan Sooko Kabupaten Ponorogo)
Ahmad Munir Abstract Religious attitude is often seen as the pinnacle of faith. Human belief does not stand alone, but are encouraged by reason, logic, and mind. So humans decide the the opinion that further believed. From this concept, religious belief system is a blunt that has no end and no angle. There are a lot of beliefers who convert or migrate to other belief system. There are thirteen Klepu citizens did so. This study aimed to reveal people’s view of religious attitudes, arguments and conversion. It is concluded that the religious attitude of the people of Klepu relatively pluralistic, dynamic, and harmonious. While religion is understood as a belief, a way to achieve safety, as well as social identity that must be fought. The results showed that religious conversion is influenced by social, psychological, economic, and educational factors. While the arguments of religious conversion are to maintain the integrity of family life, to cultivate peace of mind, to do penance, to rationalize worship system and to mantain self-confidence.
Keywords: Conversion, Converts, Religious and Social Disintegration. Abstrak Sikap keberagamaan sering dipandang sebagai puncak keyakinan. Keyakinan manusia tidak berdiri sendiri, tetapi didorong oleh potensi akal budi, logika dan pikirannya. Sehingga ia menjatuhkan pandangan yang selanjutnya diyakini. Dari konsep ini, berarti keagamaan adalah sistem keyakinan, dan keyakinan adalah tumpul yang sudah tidak berujung dan tak bersudut. Fenomena yang ada ternyata banyak agamawan yang mengalami migrasi keyakinan.13 orang warga Klepu melakukan migrasi keyakinan. Penelitian akan mengungkap pandangan masyarakat terhadap sikap beragama, argumentasi dan faktor tindakan konversi agama. Penelitian ini
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
55
merumuskan kesimpulan bahwa sikap keberahgamaan masyarakat Desa Klepu tergolong pluralis, dinamis, dan harmonis. Sementara agama dipahami sebagai Keyakinan, jalan untuk mencapai keselamatan, serta sebagai identitas soaial yang harus diperjuangkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konversi agama dipengaruhi oleh faktor pergaulan, pernikahan, kesadaran, kejiwaan, ekonomi, kurangnya wawasan, kegamaan dan faktor situasi sosial. Sementara argumen konversi agama untuk menjaga keutuhan kehidupan keluarga, untuk memupuk ketenangan jiwa, penebusan dosa, rasionalitas sistem peribadatan serta sugesti kepercayaan diri.
Kata Kunci : Konversi, Converts, Agama dan Disintegrasi Sosial.
Pendahuluan Hadirnya agama dalam kehidupan, tidaklah bersifat statis dan konstan. Suatu saat agama disanjung dan dibela, dan suatu saat agama dibenci dan dicaci. Agama hadir menawarkan sebagai tali konsultasi antara manusia dengan Tuhan. Dan dari pihak manusia agama diyakini sebagai jalan keselamatan menuju kehidupan yang abadi.Dalam pandangan muslim, agama dipandang sebagai rahmat yang datang dari Allah. Dalam artian orang yang beragama Islam berarti dia adalah orang yang sedang diberkahi, dirahmati dan dikasihi oleh Allah. Dari keyakinan yang kuat dan teguh terhadap agama, sampai sampai membias pada cara pandang manusia yang beragama terhadap manusia lain yang tidak beragama dan mungkin hanya beda agama. Bias pandang tersebut sampai terjadi penglompokan sosial berdasarkan agama. Dari bias pengelompokan sosial tersebut, akhirnya berkembang menjadi kekuatan ideologis yang bisa jadi akan mewarnai perilaku politik kehidupan dan bersosial. Dari sini muncul juga fanatik, simpatik dan kepedulian sosial yang didasarkan pada agama. Bias ini kadang kadang termenej oleh suatu kepentingan bagi keleompok tertentu yang akhirnya mendatangkan konflik dan ketegangan antar ummat beragama. Keberagamaan seseorang sering dipandang sebagai puncak dari pengalaman batin dan keyakinan. Pengalaman batin dan keyakinan manusia tidak berdiri sendiri, tetapi didorong oleh potensi akal budi, logika dan pikirannya. Sehingga ia menjatuhkan pandangan yang 56
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
selanjutnya diyakini. Dari konsep ini, berarti keagamaan adalah sistem keyakinan, dan keyakinan adalah tumpul yang sudah tidak berujung dan tak bersudut. Akan tetapi fenomena yang ada ternyata tidak demikian. Banyak agamawan yang mengalami perpindahan, mulai keyakinan inter agama dan keyakinan antar agama yang dikenal dengan istilah konversi agama atau keyakinan. Pluralitas keberagamaan masyarakat Klepu secara teoritik bisa dipandang terjadi secara alami, dan bisa juga terjadi karena faktor perubahan. Faktor alami artinya daerah tersebut sejak beberapa waktu telah terjadi pluralitas dan assimilasi keyakinan. Sementara faktor perubahan dalam artian muncul dan tumbuhnya kepercayaan yang baru karena sebuah upaya baik secara sistemik maupun secara struktur diupayakan.Kalau agama dipandang sebuah hasil pengalaman jiwa dan pengembaraan spiritual yang berakhir dengan kebulatan keyakinan, fakta sederhana menunjukkan bahwa di masyarakat Klepu terjadi perubahan dan migrasi keyakinan. Menurut data sementara, di salah satu dukuh di desa Klepu akhir akhir ini terjadi koversi agama dan keyakinan secara signifikan. Setidaknya terdapat 13 orang yang pindah dari keyakinan Katolik kepada keyakinan Islam. Sebelum kejadian ini, beberapa bulan sebelumnya juga terjadi konversi agama secara signifikan dari Islam ke Katolik di desa Suru kecamatan Sooko yang berjumlah 23 orang. Konversi agama yang terjadi di desa Klepu tidak terjadi sekali atau terjadi hanya dalam satu peristiwa perpindahan. Akan tetapi telah terjadi lebih dari satu kali. Ada yang berasal dari kejawen, kemudian berpindah ke ajaran katolik, kemudian pindah lagi ke ajaran Islam, dan ada yang berasal dari pengikut Islam, kemudian berpindah ke ajaran Katolik, kemudian kembali lagi ke ajaran Islam.Dari latar belakang di atas, terdapat kesenjangan secara teoritik dan akademik yang berkaitan dengan sikap keberagamaan masyarakat desa Klepu, yaitu ketidak konsisten dalam berkeyakinan. Penelitian ini akan mengkaji masalah tersebut sekaligus menghadirkan data dan fakta lapangan melalui penelitian ilmiah
Makna Agama Dalam paparan teoritis ini, pembahasan tentang agama agama dan definisinya, tidak dimasukkan dalam ranah pengertian agama dalam Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
57
wilayah sesuatu yang bersumber dari wahyu. Wahyu hanya berbicara tentang perilaku manusia yang seharusnya dilakukan sesuai dengan petunjuk sang penciptanya. Institusi yang mengatasnamakan sumber petunjuk itulah yang dipahami sebagai agama.Dalam konteks ini, agama dipahami bukan dalam definisi wahyu. Akan tetapi pemahaman dan pengalaman masyarakat tentang hakekat agama itu sendiri. Dalam konteks ini, pemahaman agama adalah pengalaman masyarakat terhadap hal hal yang dipandang suci yang direkomendasikan oleh pengalaman spiritual mereka. Dalam pandangan sosiologi, agama merupakan sstem sosial yang didefinisikan oleh para penganutnya yang bersumber dan berporos dari kekuatan non-empiris yang dipercayai dan didayagunakan untuk menggapai keselamatan baik untuk individu maupun untuk masyarakat luas. Dalam pengertian ini agama merupakan sistem sosial yang dirumuskan dari fenomena fenomena sosial yang disemangati oleh tekanan dari luar diri manusia untuk memberikan kepastian akan tercapainya keinginan yang ingin dicapai, yaitu keselamatan. 1. Dimensi Agama a. Religious believe (the ideological/doctrine commitment). Dimensi ini sebagai parameter untuk mengukur seberapa jauh seseorang mempercayai doktrin-doktrin agamanya, misalnya tentang keberadaan dan sifat-sifat Tuhan, ajaran-ajaran dan takdirNya. Kepercayaan kepada Tuhan dan sifat-sifat-Nya merupakan inti pokok dari adanya rasa agama. b. Religious practice (the ritualistic commitment). Dimensi ini untuk mengukur seberapa jauh seseorang melaksanan kewajiban peribadatan agamanya, misalnya tentang salat, puasa, dan ibadah wajib lainnya. Khusus untuk pengukuran dimensi ini difokuskan pada pelaksanaan rukun Islam, sementara pelaksanaan ibadah sunnah dapat dimasukkan untuk pengukuran dimensi lain, yaitu religious feeling. c. Religious feeling (the experiental/emotion commitment).Dimensi ini untuk mengukur seberapa dalam rasa kebertuhanan seseorang. Dimensi ini bisa disebut sebagai esensi keberagamaan seseorang. Karena dimensi ini mengukur kedekatannya dengan Tuhan. 58
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
d.
e.
f.
Pengukuran pada dimensi ini dapat menguatkan pengukuran pada dimensi ibadah. Religious knowledge (the intelektual commitment). Dimensi ini untuk mengukur intelektualitas keberagamaan seseorang. Dimensi ini mengukur tentang seberapa pengetahuan keberagamaan seseorang, dan seberapa tinggi motivasi dalam mencari pengetahuan tentang agamanya. Dimensi ini juga mengukur sifat dari intelektualitas keagamaan seseorang, apakah bersifat tertutup ataukah terbuka. Religious effects (the concequqntial/ethics commitment). Dimensi ini untuk mengukur tentang pengaruh ajaran agama terhadap perilaku sehari-hari yang tidak terkait dengan perilaku ritual, yaitu perilaku yang mengekspresikan kesadaran moral seseorang. Bagi orang Islam pengukuran dimensi etika dapat diarahkan pada ketaatannya terhadap ajaran halal dan haram, serta hubungan dengan orang lain. Community (social commitment). Dimensi ini untuk mengukur sejauh mana seorang pemeluk agama terlibat secara sosial pada komunitas agamanya. Dimensi ini dalam Islam dapat disebut sebagai pengukuran terhadap kesalehan sosial. Dimensi kesalehan sosial dapat digunakan untuk mengukur konteribusi seseorang bagi kegiatan-kegiatan sosial keagamaan, baik berwujud tenaga, pemikiran, maupun harta.
2. Agama dan Kehidupan Sikap yang paling menonjol dalam kehidupan beragama adalah keyakinan terhadap adanya kekuatan gaib, atau supernatural yang berpengaruh terhadap kehidupan. Di samping itu, sikap beragama juga dapat menimbulkan sikap mental tertentu, seperti rasa takut, rasa optimis, pasrah, dan lainnya dari individu dan masyarakat yang mempercayainya. Karenanya, keinginan, petunjuk, dan ketentuan kekuatan gaib harus dipatuhi. Kepercayaan dalam beragama yang bertolak dari kekuatan gaib, kadang kadang juga tampak aneh, tidak alamiah dan tidak rasional dalam pandangan individu dan masyarakat modern. Hal ini karena masyarakat modern terlalu dipengaruhi oleh pandangan bahwa sesuatu diyakini ada kalau konkret, rasional, alamiah atau terbukti secara empirik dan ilmiah. Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
59
Sikap pasrah dan percaya terhadap sesuatu yang dianggap dan diyakini sebagai yang suci juga ciri khas kehidupan beragama. Adanya aturan terhadap individu dalam kehidupan bermasyarakat, berhubungan dengan alam lingkungannya, atau dalam berhubungan dengan Tuhan juga ditemukan di setiap masyarakat, di mana dan kapan pun. Adanya aturan kehidupan yang dipercayai berasal dari Tuhan juga termasuk ciri kehidupan beragama. Ekspresi religius ditemukan dalam budaya material, perilaku manusia, nilai, moral, sistem keluarga, ekonomi, hukum, politik, pengobatan, sains, teknologi, seni, pembe rontakan, perang, dan lain sebagainya. Tidak ada aspek kebudayaan lain dari agama yang lebih lugs pengaruh dan implikasinya dalam kehidupan manusia. Aspek budaya atau kultural dinilai sangat penting oleh ahli antropologi dan budayawan yang berpandangan agama sebagai yang membentuk dan mewarnai suatu kebudayaan. Sikap beragama, baik sebagai sistem sosial budaya atau sebagai subsistem yang universal dan berbagai tipe penampilan beserta penghayatannya di kalangan kelompok-kelompok masyarakat, menjadikannya sangat penting dipahami oleh setiap individu dan lembaga yang berurusan dengan masyarakat. Orang tua penting memahami kehidupan beragama anak-anak dan tidak mempercayakan saja kepada lembaga pendidikan yang mereka masuki. Pemahaman itu penting supaya kehidupan beragama mereka tidak tergelincir kepada kecenderungan penghayatan agama yang mengorbankan orang lain. Realitas kehidupan umat beragama di zaman modern ini, menjadi menciut dalam aspek kecil dari kehidupan sehari-hari, yaitu yang berhubungan dengan yang gaib dan ritual saja. Kehidupan beragama umat Islam dewasa ini menjadi subsistem sosial budayanya. Fenomena penciutan kehidupan beragama ini karena pengaruh budaya modernism dan sekularisme. Namun demikian, meskipun pengaruh modernisme dan sekularisme demikian kuat, ia juga menimbulkan gerakan dalam rangka melawan dominasi modernisme dan sekularisme, seperti aliran skripturalis dan gerakan teror.
60
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
3. Kritik Terhadap Perilaku Keagamaan Sigmund Freud dan Karl Marx bertesis bahwa manusia membutuhkan agama atau agama disapa oleh manusia ketika manusia sedang dalam kondisi yang tak terkendalikan kelemahannya atau ketika manusia sedang mengalami kesusahan, kesulitan yang sudah tidak teratasi oleh kemampuan dan usaha dirinya. Lebih dari itu, Tuhan hanyalah merupakan produk khayalan manusia ketika harapan dan kekuatan dari dirinya tak kunjung datang.Tesis kedua tokoh tersebut tidak berangkat dari dalil dan ajaran kitab yang disucikan oleh agama apapun. Tesis tersebut berangkat dari hasil pengamatan dan penelitian empiri terhadap perilaku kaum agamawan yang secara psikologis merasa tertindas dan depresi. Menurut pengalaman Marx, ketika manusia sedang menghadapi problem kehidupan yang harus diselesaikan dan dicarikan solusi, para agamawan datang dan hanya menawarkan problem baru. Yaitu tawaran untuk memikirkan sesuatu yang diluar apa yang sedang dihadapi dan dirasakan, yaitu berpikir dalam dunia ketuhanan. Dalam pandangan Marx yang empiri, realitas ini tidak menjadikan masalah dan problem kemanusiaan teratasi, tetapi justeru menghadirkan problem baru yang sebelumnya tidak diundang. Dalam realitas tersebut, Marx tidak berpikir terhadap Tuhan yang dipandang sebagai yang ghaib dan di luar realitas empiri. Akan tetapi Marx hanya berpikir yang empiri dan reality. Dalam pandangan filosofi, Marx ingin mengemukakan kritik terhadap praktik keagamaan yang bersifat eskapis yaitu menjadikan agama sebagai tempat pelarian dari pergulatan sosial yang memerlukan solusi dan tindakan konkret. Praktik keagamaan yang demikian dianggap sebagai opium yang hanya diharap untuk melupakan penderitaan secara sesaat, sementara penyakit dan akar masalah beum tertangani secara konkrit. 4. Agama dan Aktualisasi Kebebasan Berangkat dari tesis Marx, timbul pertanyaan, “salahkah mencari dan kembali kepada Tuhan (agama) di saat jiwa manusia sedang mengalami dan menghadapi probem? Secara logika tentu saja tidak. Karena Tuhan tidak pernah membuat suatu aturan dan birokrasi, baik yang menyangkut ruang, waktu status dan kondisi psikologi manusia. Siapa pun, apa pun, di mana Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
61
pun dan dalam kondisi apa pun, manusia dapat menjumpai Tuhan untuk mengadukan segala problem dan persoalan yang sedang dihadapinya. Manusia bebas untuk berkomunikasi dan mendekati Tuhan dalam situasi dan kondisi apapun, sebagaimana manusia bebas untuk berpaling dan mengubur esensi dan eksistensi Tuhan dari diri manusia dalam kehidupan. Ketika manusia sedang menjatuhkan pilihan jiwanya terhadap salah satu dari sistem keyakinan, berarti manusia telah menjalakan hak kebebasannya untuk menerima konsep dari suatu keyakinan. Meskipun dalam waktu yang sama ketika manusia menolak konsep kehadiran tuhan yang ditawarkan oleh sebuah konsep keyakinan, juga bagian dari ekspresi aktualisasi kebebasan asasinya. Dalam hal ini, orang yang sedang mencari dan menerima suatu konsep keyakinan, berarti dia telah mengaktualisasikan kemerdekaannya yang paling tinggi, dan tengah membebaskan dari dominasi egonya untuk bercitra ilahi. Peneguhan dan penghayatan iman bagian dari pembebasan diri. Karena pilihan untuk mencintai dan pasrah kepada Tuhan sebagai sumber kebaikan dan pilihan bebas dari sebuah perjalanan dan pengembaraan spiritual jiwa. Kebebasan ini tidak ada seorang pun yang melarang dan menghalangi. Ketika manusia berdialog dengan Tuhan, pada hakekatnya manusia berdialog dengan dirinya sendiri sesuai dengan kondisi jiwa masing masing. Karya dan kehendak Tuhan hanya akan berlabuh pada manusia yang mau dan sedang membuka pintu jiwanya. Oleh karenanya, ketika manusia sedang dan dalam bergelimang dengan dosa, semestinya manusia diikuti dengan rasa ingin menghapuskannya. Dalam konteks demikian, agama idealnya tidak dipahami hanya sebagai himpunan dogma tentang surga dan neraka. Jika hal itu terjadi, maka ritual agama akan bergeser menjadi magi, yaitu upaya untuk memperoleh tambahan kekuatan supra natural untuk memuaskan ego duniawinya, bukan sikap kepasrahan kepada Tuhan dan alam lingkungannya. 5. Kesadaran Baru dalam Beragama Perkembangan dunia teknologi dan informasi, agama akan terjebak dalam lingkaran komoditas bisnis, yang sering dipandang dengan menggunakan logika bisnis, yaitu laba rugi. Dalam hal ini, setidaknya agama harus menyesuaikan dengan hukum alam marketing. Kalau tidak, 62
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
bias jadi agama tidak sekadar ditinggalkan, tetapi tak terketahui rimbanya oleh manusia. Di zaman modern ini, banyak mas media yang menyampaikan informasi agama dengan berbagai model secara kompetitif. Ini belum ditambah dengan pusat pusat kajian agama, baik formal akademikal maupun non formal. Ini menunjukkan bahwa tawaran moral agama dan informasi tentang agama tidak lagi bersifat eksklusif yang hanya dimiliki dan disodorkan pada kelompok dan status status tertentu. Dalam hal ini, seseorang mungkin dapat mempertahankan bangun teologi yang dianutnya pada masa lalu. Tetapi juga terbuaka peluang untuk menerima perubahan konsep keyakinan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik secara internal jiwa dan kondisi sikologis yang bersangkutan, maupun secara eksternal, yaitu alam dan lingkungan kehidupannya. Dalam konteks ini, konversi agama dan keyakinan menjadi sesuatu yang lazim. Sebelum manusia bersentuhan dengan konsep keyakinan, terlebih dahulu manusia telah dibekali dengan daya dan kemampuan nalar. Salah satu fungsi nalar adalah untuk merombak segala hal yang menghalangi kerja nalarnya. Perubahan dan perombakan nalar manusia tidak pernah mencapai garis limit. Sehubungan dengan realitas di atas, maka akan tidak terlalu heran terhadap peristiva konversi agama. Agama yang dipromosikan dengan sikap ego, eksklusif dan cenderung hanya menonjolkan perbedaannya dengan institusi agama lain secara teologis, kurang diterima oleh ummat. Karena penonjolan aspek justivikasi kebenaran teologis rawan dengan muatan politis, dan rawan dengan benturan kepentingan. Dan pada gilirannya pada masa yang akan datang agama akan menghindarkan doktrinnya terhadap faham absolutism yang oleh Hossein Nasr disebut dengan relatively absolute. Hal ini karena setiap agama mesti memiliki konsep keilahiyatan, yang jika aspek ini yang ditonjolkan akan riskan terhadap benturan sesama institusi agama yang sama sama memiliki misi suci. 6. Agama dan Artikulasi Nilai Kemanusiaan Agama diwahyukan oleh Tuhan ke bumi untuk kebaikan, keteraturan dan kesejahteraan manusia. Dengan ajaran agama manusia mendapatkan pedoman dan pegangan yang pasti dan benar. Dalam konteks ini, agama untuk kepentingan manusia, bukan manusia untuk kepentingan agama. Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
63
Agama berposisi sebagai jalan (manhaj, shirat, thariqah) menuju pada sesuatu yang dicita citakan, bukan tujuan itu sendiri.Ketika ajaran agama telah dibungkus menjadi paket paket informasi ilmiah, sejatinya telah terjadi objektifikasi dan rasionalisasi dalam dunia agama, dan dalam waktu yang sama ruh dan spirit agama akan tergerus oleh formalisasi tersebut. Akan terjadi seorang menjadi professor yang ahli di bidang ilmu agama, tetapi tidak harus religious. Kemudahan informasi dan literatur keagamaan, akan memberikan peluang lebar orang menjadikan agama sebagai objek profesi yang kompetitif. Orang yang merespon agama dengan menekuni spiritualitasnya, akan cenderung bersikap apresiatif terhadap nilai nilai luhur keagamaan. Meskipun nilai nilai luhur itu berada di dunia lain. Sebaliknya, ia akan merasa terganggu dengan upaya upaya yang bersifat formalitas yang berlebih lebihan. Karena hal itu akan memasung perkembangan nilai moral dan spiritual keagamaan. Namun pergeseran makna ini bagi masyarakat memang belum dirasakan secara serius. 7. Tipologi Respon Keberagamaan. Perspektif realitas dan teoritik, antara ilmu, keyakinan dan perilaku mungkin bisa jadi tidak memiliki hubungan. Tetapi dalam praktik keduanya melarut dalam praktik kehidupan. Dalam perspektif Islam, Islam tidak sekadar agama yang bersifat kognitik dan teoritik, tetapi Islam merupakan doktrin kehidupan itu sendiri. Ada tiga tipe kecenderungan respon agamawan terhadap ajaran agama: a. Tipe mistikal b. Profetik-Ideologikal c. Humanis Fungsional 8. Konversi Agama Istilah konversi agama merupakan naturalisasi istilah dari suatu bahasa keadaan kepada bahasa lisan. Dalam artian bahwa istilah tersebut menunjuk pada perubahan dari suatu keyakinan kepada keyakinan lain baik dalam internal agama maupun eksternal agama. Dalam hal ini, konversi agama (religious conversion) secara umum dapat di artikan dengan berubah dalam berkeyakinan agama atau masuk ke dalam suatu agama 64
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
dengan meninggalkan agama dan keyakinan sebelumnya. Konversi agama merupakan istilah yang pada umumnya diberikan untuk proses yang menjurus kepada penerimaan suatu sikap keagamaan, proses itu bisa terjadi secara berangsur-angsur atau secara tiba-tiba. Pengertian konversi agama menurut etimologi; konversi berasal dari kata latin “conversio” yang berarti tobat pindah, berubah (agama). Selanjutnya kata tersebut dipakai dalam kata Inggris “conversion” yang mengandung pengertian: berubah dari suatu keadaan, atau dari suatu agama ke agama lain (change from one state, or from one religion, to another). Berdasarkan arti kata-kata tersebut dapat di simpulkan bahwa konversi agama mengandung pengertian: bertobat, berubah agama, berbalik pendirian (berlawanan arah) terhadap ajaran agama atau masuk ke dalam agama. Dari beberapa definisi di atas dapat disederhanakan dengan merumuskan suatu definisi bahwa yang dimaksud dengan konversi agama ialah: perobahan pandangan seseorang atau sekelompok tentang agama yang dianutnya, atau perpindahan keyakinan dari agama yang dianutnya kepada agama yang lain. 9. Faktor-Faktor Penyebab Konversi Agama Ada dua unsur yang mempengaruhi konversi agama, yaitu unsur internal dan unsur eksternal. Unsur internal dari dalam diri (endogenos origin), yaitu proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang atau kelompok. Konversi yang terjadi dalam batin ini membentuk suatu kesadaran untuk mengadakan suatu transformasi disebabkan oleh krisis yang terjadi dan keputusan yang di ambil seseorang berdasarkan pertimbangan pribadi. Unsur eksternal yang berasal dari luar (exogenous origin), yaitu proses perubahan yang berasal dari luar diri atau kelompok sehingga mampu menguasai kesadaran orang atau kelompok yang bersangkutan. Kekuatan yang berasal dari luar ini kemudian menekan pengaruhnya terhadap kesadaran mungkin berupa tekanan batin, sehingga memerlukan penyelesaian oleh yang bersangkutan. Di samping faktor di atas, konversi agama juga didorong oleh beberapa faktor sesuai dengan perspektif pandang keahlian masing masing: Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
65
a. Petunjuk ilahi b. Pengaruh sosial. Pengaruh sosial yang mendorong terjadinya konversi karena berbagai faktor antara lain: 1) Pengaruh hubungan antara pribadi baik pergaulan yang bersifat keagamaan maupun non agama (kesenian, ilmu pengetahuan, ataupun bidang keagamaan yang lain). 2) Pengaruh kebiasaan yang rutin. Pengar uh ini dapat mendorong seseorang atau kelompok untuk berubah kepercayaan jka dilakukan secara rutin hingga terbiasa. Misal, menghadiri upacara keagamaan. 3) Pengaruh anjuran atau propaganda dari orang-orang yang dekat, misalnya: karib, keluarga, famili dan sebagainya. 4) Pengaruh pemimpin keagamaan. Hubungan yang baik dengan pemimpin agama merupakan salah satu pendorong konversi agama. 5) Pengar uh perkumpulan yang berdasarkan hobi. Perkumpulan yang dimaksud seseorang berdasarkan hobinya dapat pula menjadi pendorong terjadinya konversi agama. 6) Pengaruh kekuasaan pemimpin yang berdasarkan kekuatan hukum. Misal, kepala Negara, raja. 7) Pengaruh-pengaruh tersebut secara garis besarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu pengaruh yang mendorong secara pesuasif (secara halus) dan pengaruh yang bersifat koersif (memaksa). c. Faktor psikologis yang ditimbulkan oleh faktor intern maupun faktor ekstern 10. Pandangan Masyarakat Klepu Tentang Agama Agama dalam konteks kehidupan masyarakat, lebih menonjol sebagai sstem sosial yang didefinisikan oleh para penganutnya yang bersumber dan berporos dari kekuatan non-empiris yang dipercayai dan didayagunakan untuk menggapai keselamatan baik untuk individu maupun untuk masyarakat luas. Definisi dan pemaknaan agama tersebut, dipengaruhi oleh kondisi internal, seperti pendidikan, kualitas kehidupan batin, suasana keluarga 66
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
dan karir kehidupannya. Sementara kondisi eksternal masyarakat yang mempengaruhi pemahaman dan cara pandang terhadap agama adalah kondisi sosial masyarakat itu sendiri, seperi keamanan, kesejahteraan, tata hubungan masyarakat serta kondisi alam lingkungan. Ada beberapa makna yang diungkapkan oleh masyarakat desa Klepu tentang agama di antaranya adalah: a. Keyakinan yang Harus dipegangi dan diperjuangkan b. Aturan Tuhan Yang Harus Dipegangi c. Jalan dan Pintu Untuk Mencapai Keselamatan Akhirat d. Agama: Pegangan Hidup e. Sebagai Identitas Sosial 11. Faktor Faktor Konversi Agama Di Desa Klepu Konversi agama dalam penelitian ini adalah perubahan dari suatu keyakinan kepada keyakinan lain khususnya antar keyakinan agama. Dalam hal ini, konversi agama suatu perubahan dalam berkeyakinan atau masuk ke dalam suatu keyakinan baru dengan meninggalkan keyakinan yang sebelumnya. Fenomena migrasi keyakinan terjadi di kalangan agamawan, yang berlatar belakang faktor yang bermacam macam di antaranya adalah: a. Faktor Pergaulan b. Faktor Pernikahan c. Faktor Kesadaran (Petunjuk) d. Faktor Jiwa e. Faktor Ekonomi f. Faktor Kurangnya Wawasan g. Faktor Situasi Sosial 12. Argumentasi Konversi Agama Masyarakat Desa Klepu Sikap pasrah dan percaya terhadap sesuatu yang diyakini suci atau sakral merupakan ciri khas kehidupan beragama. Adanya aturan kehidupan yang dipercayai berasal dari Tuhan juga termasuk ciri kehidupan beragama. Ketika agama diposisikan sebagai keyakinan yang paling tinggi, dan dari keyakinan beragama juga diyakini akan menimbulkan sikap dan pengaruh terhadap kehidupan yang lain secara Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
67
positif, muncul pertanyaan, apa argumentasi logis yang melatarbelakangi seseorang dalam melakukan tindakan konversi agama? Dengan asumsi bahwa jika konversi agama tidak didasarkan pada argumentasi yang logis, maka tindakan konversi agama sesungguhnya telah mencederai sistem keyakinan dibakukan oleh setiap institusi agama. Diantara argumen yang melandasi konversi agama adalah: a. Menjaga Keutuhan Kehidupan Keluarga. b. Konversi Agama Bukan Berarti Disintegrasi Hubungan Sosial. c. Memupuk Ketenangan Batin dan Kedamaian Jiwa. d. Penebusan Dosa Masa Lalu. e. Rasionalisasi Sistem Peribadatan. f. Syahadat Sebagai Sugesti Kepercayaan Diri Dalam Beragama.
Kesimpulan Pandangan masyarakat desa Klepu terhadap sikap keberagamaan tergolong pluralis yang memberikan ruang setiap keyakinan, dinamis dimana ajaran dan keyakinan terhadap agama sebagai motivasi dan doktrin yang dipegangi, serta harmonis dimana keragaman dan dinamika yang ada mampu menumbuhkan keharmonian dalam beragama dan kehidupan bermasyarakat. Masyarakat desa Klepu juga memandang bahwa agama dipahami sebagai keyakinan dan aturan Tuhan yang harus dipegangi dan diperjuangkan, sebagai jalan untuk mencapai keselamatan dan pegangan hidup, sekaligussebagai identitas soaial. Faktor faktor konversi agama di desa Klepu adalah pergaulan, pernikahan, kesadaran, faktor jiwa, faktor ekonomi, faktor kurangnya wawasan keagamaan dan faktor situasi sosial. Faktor faktor tersebut, berkelindan antara satu dengan yang lain. Faktor yang mereka alami saat konversi ini, bisa jadi merupakan kilas balik dari ketegangan masa lalu yang mereka alami. Namun perlu disadari bahwa faktor faktor tersebut tetap tidak dapat dipisahkan dari upaya dan pengaruh institusi agama masing masing. Argumentasi yang melatarbelakangi konversi agama masyarakat desa Klepu untuk menjaga keutuhan kehidupan keluarga, bukan berarti 68
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
disintegrasi hubungan sosial, untuk memupuk ketenangan batin dan kedamaian jiwa, sebagai penebusan dosa masa lalu, rasionalisasi sistem peribadatan, dan sugesti kepercayaan diri. Argument argumen tersebut menunjukkan bahwa kesadaran akan pengalaman kehidupan, menjadikan mereka mengevaluasi sikap batin dan keyakinan yang selama ini mereka pegangi.
Daftar Pustaka A. Abdullah, dkk. 2006. Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Multidispliner. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, AS, Mattew B. Miles & Michel Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Terj. Rohendi Rohidi. Jakarta: UI Press. Atang Abdul Hakim & Jaih Mubarok. 2002. Metodologi Studi Agama. Bandung: Remaja Rosda Karya. Beilharz, Peter. 2003. Teori Sosial.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Boisard, Marcel A. 1980. Humanisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Budhy Munawar Rachman. 2001. Islam Pluralis. Jakarta: Paramadina. Bustanuddin Agus. 2006. Agama Dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, Connoly, Pitter (ed). 2002. Approacher to the Study of Relegion. Terj. LKiS. Yogyakarta: LKiS. Cremers, A, 1995. Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan: Menurut James W. Fowler, Sebuah Gagasan Baru dalam Psikologi Agama. Yogyakarta: Kanisius. D. Hendropuspito. 1983. Sosiologi Agama, Yogyakarta: Kanisius. Dadang Kahmad. 2002. Sosiologi Agama Cet. Ke-2. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
69
From Erich. 2002. Konsep Manusia Menurut Marx. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Frondizi, Risieri. 2001. Pengantar Filsafat Nilai. Terj. Cuk Ananta Wijaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Geertz,Clifford. 2003. Kebudayaan dan Agama. Jakarta: Kanisius. Khaldûn, ‘Abd al-Rahmân Ibn. 1993. Muqaddimah ibn Khaldûn. Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Komaruddin Hidayat. 2010. Psikologi Beragama. Jakarta: Hikmah. ________. 1998. Tragedi Raja Midas: Moralitas Agama dan Krisis Modernisme. Jakarta: Paramadina, ________. 2003. Wahyu di Langit Wahyu di Bumi. Jakarta: Paramadina. Lexy J. Moleong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Litle, David, Kelsay, John, Abdul Aziz A. Schedina. 1997. Kebebasan Agama dan Hak hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Malefijt, Anne Marie de Wall. 1968. Religion and Culture. New York and London: The Macmillan Company. Nasr, Seyyed Hossein. 1989. Knowledge and the Sacred. New York: State University of New York Press, Norbeck, Edward. 1974. Religion in Human Life. New York: Holt Rinehart and Winston Inc. Ramayulis. 2002. Pengantar Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo. Ridlâ, Muhammad Rasyîd. (t.t). Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm. Beirut: Dâr alFikr. Ritzer, George, Douglas J: Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media.
70
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
Suharsimi Arikunto. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Suseno & Franz Magnis. 1999. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia. Thouless. 2000. Pengantar Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Zakiyah Daradjat. 2005. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang. Ziauddin Ahmad. 1998. Al-Qur’an, Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
71
72
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
MANAJEMEN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) Muh. Hizbul Muflihin STAIN Purwokerto Abstract Education is not just a transfer of knowledge, but is also a transfer of value. Students are the center of the educational process. Management is the key for making the educational process run well. In Islamic teaching, educational management is necessary to ensure that the purpose of education achieved. This process begins with the preparation, followed by the process of teaching, and finally followed by the evaluation. This paper attempts to describe the application of educational management in the teaching of Islam in Indonesia.
Keywords: Education Management, Islamic Religion Education Abstrak Pendidikan tidak sekedar mentransfer pengetahuan, tetapi juga mentransfer nilai. Mahasiswa merupakan pusat dari proses pendidikan. Manajemen adalah kunci untuk membuat proses pendidikan berjalan dengan baik. Dalam pengajaran Islam, manajemen pendidikan juga diperlukan untuk memastikan bahwa tujuan utama pendidikan tercapai. Proses ini dimulai dengan persiapan, dilanjutkan dengan proses pengajaran dan akhirnya evaluasi. Tulisan ini mencoba mendeskripsikan penerapan manajemen pendidikan pada pengajaran Islam di Indonesia
Kaca Kunci: Manajemen Pendidikan, Pendidikan Agama Islam
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
73
Pendahuluan Seiring dengan perkambangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), masalah pendidikan kini terus mengalami orientasi dalam pengelolaannya, dimana hal ini dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan peserta didik untuk masa yang akan datang (yang tidak bisa dipastikan kondisinya). Pendidikan yang kini sedang dan akan terus berlangsung, secara umum dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu pendidikan umum, pendidikan kejuruan dan pendidikan keagamaan. Pada semua jenis pendidikan di atas, terdapat satu mata pelajaran yang tidak boleh ditinggalkan mulai dari jenjang sekolah dasar sampai perguruan tinggi, yaitu pendidikan agama. Suatu pendidikan, dirasa efektif kalau benar-benar apa yang disampaikan kepada siswa dapat membuahkan hasil (walaupun hasilnya tidak dapat dinikmati seketika pada saat anak lulus sekolah) sebagimana yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Masalah pendidikan, sampai dengan awal abad ke XX masih banyak menekankan pada aspek transfer of knowledge baik ilmu pengetahuan maupun teknologi. Dimana konsep ini ditandai dengan adanya keinginan yang kuat dari para pendidik untuk dapat menjadikan anak menguasai materi-materi yang dibelajarkan kepadanya. Sebagai ukurannya adalah, apabila anak dapat memperoleh nilai yang tinggi ketika mengerjakan tes, maka sama artinya bahwa anak telah menguasai materi yang telah diajarkan (celakanya guru juga merasa bahwa dia telah telah berhasil melaksanakan pendidikan, padahal substansi dari pendidikan yang ada justeru malah terabaikan). Dari kondisi inilah kemudian muncul suatu ide atau gagasan, bagaimana menjadikan pendidikan bagi anak-anak bangsa menjadi mampu benar-benar memberi “pendidikan” yang kelak mampu membentengi diri anak dari berbagai fenomena kehidupan dimasa yang akan datang (di sinilah mulai muncul arti pentingnya pendidikan yang mengarah pada pembelajaran jiwa anak. Pembelajaran adalah proses dehumanisasi siswa dalam suatu proses pendidikan. Pembelajaran dipandang efektif kalau mampu membawa anak, bukan saja pintar akan tetapi juga memiliki kepekaan sosial dan kekuatan moral dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu di sini diperlukan adanya pengelolaan pembelajaran yang dipersiapkan dengan baik, sistemik dan komprehensif yang disebut 74
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
dengan manajemen. Manajemen atau pengelolaan dalam pembelajaran adalah merupakan kunci efektif tidaknya sebuah pelaksanaan program dan kegiatan pencapaian tujuan pendidikan. Tulisan ini akan membahas bagaimana pengelolaan dalam pembelajaran agama sehingga mampu mencapai tujuan yang tidak hanya mewujudkan transfer of knowledge (transfer ilmu pengetahuan), akan tetapi juga menularkan nilai-nilai kepada anak/peserta didik (transfer of value). A. Realitas Pendidikan Agama Pendidikan agama Islam adalah merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib diajarkan di sekolah-sekolah (bahkan sampai dengan di perguruan tinggi) semenjak didirikannya Departemen Agama. Pendidikan agama Islam (PAI) dalam konsep struktur kurikulum mempunyai durasi waktu sebanyak 2 jam pelajaran setara dengan 70 menit. Waktu yang disediakan untuk pembelajaran PAI yang hanya 70 menit/minggunya terasa sangat kurang mencukupi jika dibanbing dengan muatan materi yang dibelajarkan kepada siswa yang bukan saja berisi keilmuan akan tetapi juga ada aspek pembiasaan dalam pendidikan karakter. Secara sederhana Pendidikan Agama Islam dapat dimaknai sebagai usaha sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani ajaran agama Islam, dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya kerukunan antar umat beragama hingga terwujud persatuan dan kesatuan bangsa (Abdul Majid dan Dian Andayani, 2005: 130). Akhmad Tafsir bahwa Pendidikan Agama Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain agar berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam (Akhmad Tafsir, 2004: 32). Dua definisi di atas dengan jelas memberi pemahaman, bahwa pendidikan agama bukan hanya sekedar memindahkan pengetahuan dan atau sekedar menyampaikan informasi-informasi tentang ajaran agama Islam, akan tetapi mengandung makna memberi pemahaman dan bekal kepribadian agar mampu mengamalkan ajaran agamanya dengan baik, sehingga terhindar dari larangan ajaran agamanya. Pendidikan Agama Islam di sekolah bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
75
sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketaqwaannya, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi (Abdul Majid dan Dian Andayani, 2005: 135). Pendidikan agama di sekolah-sekolah, kedepan semakin mendapat tantangan yang cukup berat, bukan dari sisi waktu yang hanya disediakan sebanyak 2 jam pelajaran, akan tetapi ada pada hasil uji publik. Pendidikan agama yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai bagian dari mata pelajaran di sekolah-sekolah, diharapkan dapat memberi bekal kepada para generasi muda Indonesia untuk mampu menjadi warga negara yang memiliki integritas diri yang kuat terhadap negara, serta menjadi seorang warga negara yang taat beribadah, sehingga mampu berkontribusi terhadap pembangunan manusia Indonesia secara baik dan beradab. Tantangan pendidikan agama yang dimungkinkan akan terus berlangsung yaitu munculnya dampak dari adanya kemajuan teknologi digital. Betapa tidak kemajuan teknologi dengan jaringan software-nya kini telah menembus semua sisi kehidupan manusia yang dapat dengan mudah diakses oleh semua kalangan (tak terkecuali isi-isi pesan yang berbau pornografi, pornoaksi dan gambar-gambar vulgar lain, yang sebenarnya hal ini pada waktunya belum layak disuguhkan kepada anak-anak yang belum cukup umur/para pelajar). B. Manajemen Pembelajaran Agama Islam Pembelajaran adalah istilah pelaksanaan pendidikan yang bersifat manusiawi, oleh karena konsep yang mendasarinya adalah membantu perkembangan peserta didik sesuai dengan kondisi dan kodrat yang dimilikinya. Secara sederhana pembelajaran dapat diartikan sebagai proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik (E. Mulyasa, 2005: 173). Menurut Sisdiknas pembelajaran adalah proses interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada sebuah lingkungan belajar (2003: 11). Sedangkan menurut Oemar Hamalik pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun yang meliputi unsur-usur manusiawi, material, fasilitator, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi dalam mencapai tujuan pembelajaran (2001: 57). 76
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
Menurut I Nyoman Sujana Dedeng seperti dikutip oleh Hamzah B. Uno (2006: 2) pembelajaran adalah upaya untuk membelajarkan peserta didik. Dalam pengertian ini secara implisit dalam pengajaran terdapat kegiatan memilih, menetapkan, mengembangkan metode untuk mencapai hasil pengajaran yang diinginkan. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah suatu proses interaksi (yang sudah didesain oleh guru) antara guru dan peserta didik dengan memanfaatkan sumber belajar di suatu lingkungan pembelajaran. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan pembelajaran, diantaranya: 1. Guru sebagai pendidik melakukan rekayasa pembelajaran, rekayasa tersebut dilakukan berdasarkan kurikulum yang berlaku; 2. Peserta didik sebagai pembelajar disekolah memiliki kepribadian, pengalaman dan tujuan. Ia mengalami perkembangan jiwa sesuai azas emansipasi diri menuju keutuhan dan kemandirian; 3. Guru menyusun desain intruksional untuk membelajarkan peserta didik; 4. Guru menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar; 5. Guru bertindak mengajar di kelas dengan maksud membelajarkan peserta didik. Dalam tindakan tersebut, guru menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar; 6. Peserta didik bertindak belajar artinya, mengalami proses dan meningkatkan kemampuan mentalnya; Dengan berakhirnya suatu proses belajar, maka peserta didik memperoleh suatu hasil belajar. Hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tidak mengajar. Dari sisi guru tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar. Dari sisi peserta didik hasil belajar merupakan berakhirnya pengalaman dan puncak proses belajar (Dimyati dan Mujiono (1994: 3). Sebagaimana telah dimaklumi bahwa proses pembelajaran melibatkan beberapa komponen, yaitu materi/kurikulum, metode/strategi, media/ sarana, tujuan/target yang dirancang, dipilih dan ditetapkan oleh guru, kemudian diaplikasikan secara simultan dan sebuah proses interaksi dirinya dengan siswa. Pembelajaran sendiri adalah merupakan sebuah Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
77
proses yang bersifat kompleks, yaitu melibatkan aspek konasi, audisi, visi, motivasi, serta aspek motorik. Antara satu indera dan bagian satu dengan bagian yang lain, saling berkaitan dan saling mendukung pada saat proses pembelajaran berlangsung. Proses pembelajaran mempunyai tujuan berjenjang yang bersifat abstrak, maya dan semu, namun bukan berarti bahwa tujuan itu tidak dapat diwujudkan. Pendidikan agama Islam yang juga merupakan sebuah proses pendidikan akal, pendidikan hati, pendidikan perilaku dan pendidikan jiwa memerlukan adanya upaya pencapaian secara sungguh-sungguh dan tertata secara sistemik. Di sini peran guru dalam memanaj pembelajaran PAI sangat dibutuhkan sekali. Pendidikan yang kini terus mengalami orientasi dalam pemenuhan kebutuhan peserta didik, dirasa efektif kalau benar-benar apa yang disampaikan kepada siswa dapat membuahkan hasil (walaupun hasilnya tidak dapat dinikmati seketika pada saat anak lulus sekolah). Untuk mendukung keterlaksanaan pembelajaran yang efektif dimaksud, masalah pengelolaan pembelajaran dengan baik mutlak diperlukan adanya Manajemen atau pengelolaan dalam pembelajaran adalah merupakan kunci efektif tidaknya sebuah pelaksanaan program dan kegiatan pencapaian tujuan pendidikan. Makna manajemen sendiri banyak dikemukakan oleh para ahli, menurut Husaini Usman (2006: 3) kata manajemen berasal dari bahasa latin, yaitu dari asal kata manus (tangan) dan agree (melakukan). Kata-kata tersebut jika digabungkan menjadi managere yang artinya menangani. Kemudian managere diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dalam bentuk kata kerja to managere, dengan kata benda management dan manager yang lebih menekankan pada seseorang yang melakukan kegiatan manajemen. Dari penjelasan-penjelasan di atas sehingga dapat diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi manajemen atau pengelolaan. Menurut Stoner sebagaimana dikutip oleh T. Hani Handoko (2003: 8) bahwa manajemen berarti proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. George R. Terry sebagaimana dikutip Rosady Ruslan (2003: 1) mendefinisikan manajemen sebagai berikut: “...sebuah proses yang khas 78
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
dan terdiri dari tindakan-tindakan seperti perencanaan, pengorganisasian, pengaktifan dan pengawasan yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah di tetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya” Nanang Fatah menjelaskan bahwa manajemen yang sering diartikan sebagai ilmu, kiat dan profesi. Dikatakan sebagai ilmu oleh Lutter Gulick karena manajemen dipandang sebagai suatu pengetahuan yang bekerja secara sistematik berusaha memahami mengapa dan bagaimana orang bekerja sama. Dikatakan kiat oleh Follet karena manajemen mencapai sasaran melalui cara-cara dengan mengatur orang lain menjalankan tugas. Dipandang sebagai profesi karena manajemen dilandasi oleh keahlian khusus untuk mencapai suatu prestasi manajer, dan para profesional dituntut oleh para kode etik (Nanang Fatah, 2004: 1). Ibrahim Bafadal (2003: 50) menyatakan bahwa tujuan manajemen diantaranya: 1. Efektifitas. Tujuan manajemen diupayakan dalam rangka mencapai efektifitas suatu program kerja. Dikatakan efektifitas apabila program kerja tersebut dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. 2. Efisiensi. Manajemen itu dilakukan dalam rangka mencapai efisiensi dalam pelaksanaan setiap program. Efisiensi merupakan suatu konsepsi perbandingan antara pelaksanaan serta program dengan hasil akhir yang diraih atau dicapai. Sedang menurut T. Hani Handoko (2003: 6) tujuan manajemen diantaranya: 1. Untuk mencapai tujuan organisasi; 2. Untuk menjaga keseimbangan antara tujuan-tujuan, sasaran-sasaran dan kegiatan-kegiatan yang saling bertentangan dari pihak-pihak yang berkepentingan dalam organisasi; 3. Untuk mencapai efisiensi dan efektifitas. Menilik makna manajemen adalah proses merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi suatu program yang disusun secara cermat, sistematis dan komprehensip untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang telah ditetapkan, maka proses mengelola pembelajaran perlu dilakukan secara cermat. Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
79
C. Aspek Perkembangan Anak Dalam Pembelajaran PAI Pendidikan di seluruh dunia dibuat bertahap sesuai dengan kapasitas, kemampuan dan usia manusia. Pada dasarnya, pendidikan pada anak dimulai oleh orang tuanya sejak dalam kandungan sampai pada usia masuk sekolah. Memasuki usia sekolah, peran orang tua digantikan oleh peran guru, yang kemudian menjadi sangat penting dalam setiap tahap pertumbuhannya. Siswa dipandang sebagai makhluk Tuhan dengan segala fitrahnya, sebagai makhluk individu dan sosial. Setiap siswa memiliki perbedaan minat, kemampuan, kesenangan, pengalaman, dan cara belajar. Siswa tertentu mungkin lebih mudah belajar dengan cara mendengar dan membaca, siswa lain dengan cara melihat, dan siswa yang lainnya dengan cara melakukan langsung (learning by doing). Maka dari itu, kegiatan pembelajaran, organisasi kelas, materi pembelajaran, waktu belajar, alat belajar, dan cara penilaian perlu disesuaikan dengan karakteristik siswa. Kegiatan pembelajaran menempatkan siswa sebagai subyek belajkar dan mendorong mereka untuk mengembangkan segenap bakat dan potensinya secara optimal. Secara umum cara belajar siswa dapat dikategorikan kedalam empat hal, yakni: 1. Cara belajar somatik, pola pembelajaran yang menekankan pada aspek-aspek tubuh atau belajar dengan melakukan. 2. Cara belajar auditif, cara belajar yang lebih menekankan pada aspek pendengaran. 3. Cara belajar visual, cara belajar yang lebih menekankan pada aspek penglihatan. 4. Cara belajar intelektual, cara belajaryang lebih menekankan pada aspek penalaran atau logika.(Nazarudin, 2007 : 21) Di sisi lain setiap siswa mempunyai berbagai kecerdasan yang dapat dioptimalkan melalui kegiatan pembelajaran: 1. Linguistik/bahasa, kemampuan untuk menggunakan dan mengolah kata-kata secara oral maupun tertulis. Misalnya: pendongeng, politisi, sastrawan, wartawan, penulis drama. 2. Logika matematika, kemampuan yang lebih berkaitan dengan penggunaan bilangan dan logika secara efektif serta melakukan 80
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
penalaran yang benar. Misalnya: ahli matematika, akuntan, ahli statistik, ahli fisika, ilmuan programer komputer. 3. Gerak, kemampuan dalam menggunakan tubuh atau gerak tubuh untuk mengekspresikan gagasan dan perasaan serta ketrampilan tangan untuk menciptakan atau mengubah sesuatu. Misalnya: penari, aktor, atlet, pemain pantomim, pengrajin, pemahat,ahli mekanik, dokter bedah. 4. Spasial, kemampuan untuk menangkap dunia ruang visual secara tepat, menggambarkan sesuatu ke dalam pikiran dan mampu mengubahnya dalam bentuk nyata dengan baik. Misalnya: dekorator, desainer, interior, arsitek, pelukis, dan seniman. 5. Musik, kemampuan mengembangkan, mengekspresikan dan menikmati bentuk-bentuk musik dan suara. Misalnya penikmat musik, komposer, penyanyi. 6. Intrapersonal, kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan akan diri sendiri dan kemampuan untuk bertindak secara adaptif berdasarkan pengenalan diri itu (cerdas diri). Misalnya seperti para pembimbing rohani. 7. Interpersonal, kemampuan untuk mengerti dan menjadi peka terhadap perasaan, motivasi, watak,, dan tempramen orang lain. Misalnya: seperti Mahatma Gandhi tokoh penggerak kedamaian dan kebebasan india, RA. Kartini tokoh emansipasi wanita. 8. Naturalis/lingkungan, kemampuan orang untuk dapat mengerti flora dan fauna dengan baik Dengan delapan jenis kecerdasan tersebut, proses pembelajaran hendaknya dirancang sedemikian rupa sehingga memungkinkan setiap potensi kecerdasan yang dimiliki oles siswa tersebut berkembang dengan baik. Dalam kegiatan pembelajaran PAI, misalnya dalam materi Larangan Kikir, siswa diminta untuk mencari dan menuliskan ayat dan hadits tentang larangan berbuat kerusakan di bumi, menerjemahkan ayat dan hadits, menyimpulkan isi kandungan atau atau hadits, memberikan contohcontoh perbuatan merusak alam, mendiskusikan kandungan ayat dan hadits, menuliskan pengalaman atau perasaan pribadi ketika melihat kerusakan lingkungan akibat perbuatan manusia. Dalam praktiknya, tidak semua materi pelajaran har us sekaligus memenuhi tuntutan mengembangkan semua jenis keerdasa itu, tetapi bisa secara bertahap. Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
81
Kedelapan hal tersebut merupakan dasar yang dapat dipakai dalam merencanakan, mengimplmentasikan dan mengevaluasi pendidikan berbasis kebutuhan lingkungan anak. Dalam kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam ada enam pendekatan yang dapat digunakan, yaitu: 1. Pendekatan rasional, yaitu pendekatan yang menekankan pada aspek penalaran, dapat berbentuk proses berpikir induktif dan atau deduktif. 2. Pendekatan emosional, yaitu upaya menggugah perasaan (emosi) siswa dalam menghayati perilaku yang sesuai dengan ajaran agama dan budaya bangsa. 3. Pendekatan pengalaman, yakni memberikan kesempatan pada siswa untuk mempraktekkan dan merasakan hasil-sail pengalaman ibadah dalam menghadapi tugas-tugas dan masalh dalam kehidupan. 4. Pendekatan pembiasaan, yaitu memberikan kesempatan pada siswa untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan ajaran Islam dan budaya bangsa dalam menghadapi persoalan kehidupan. 5. Pendekatan fungsional, yaitu menyajikan materi pokok dari segi manfaatnya bagi siswa dalam kehidupan sehari-hari dalam arti luas. 6. Pendekatan keteladanan, yaitu menjadikan figur guru, petugas sekolah lainnya, orang tua serta anggota masyarakat sebagai cermin bagi siswa. D. Langkah-langkah Manajemen Pembelajaran Pendidikan Agama Islam 1. Perencanaan Pembelajaran Perencanaan mempunyai peran untuk menentukan tujuan dan prosedur mencapai tujuan, memperjelas bagi para anggota organisasi melakukan berbagai kegiatan sesuai tujuan dan prosedur, memantau dan mengukur keberhasilan organisasi serta mengatasi bila ada kekeliruan. Perencanaan adalah proses penentuan tujuan dan pedoman pelaksanaan dengan memilih yang terbaik dari alternatif-alternatif yang ada (Malayu SP. Hasibuan, 2001: 40).Menurut Soekanto Reksohadiprodjo sebagaimana dikutip oleh Sunhaji (2008: 19-20) menjelaskan bahwa perencanaan adalah pemilihan berbagai alternatif tujuan, strategi, kebijaksanaan, taktik, prosedur, dan program-program. 82
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
Langkah membuat perencanaan pembelajaran : a.
Pengembangan Silabus Pengembangan silabus ini dimaksudkan untuk lebih membantu guru dalam mengusahakan ketercapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah ditetapkan. Pengembangan silabus ini lebih menekankan pada upaya pembuatan rencana kegiatan pembelajaran yang memungkinkan tercapainya SK dan KD dimaksud. Jadi di sini guru dituntut mampu merencanakan dan menganalisis berbagai bentuk kegiatan pembelajaran dari segi isi, dengan berdasarkan pada pokok-pokok materi pembelajaran yang ada, kemudian ditentukan/dibuat indikator-indikator yang tepat untuk mendukung ketercapaian kompetensi siswa yang telah ditetapkan. Pengembangan silabus berkiblat pada pokok-pokok materi yang ada pada setiap KD dan SK. Apa sebenarnya silabus itu ?. Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi dan kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar. Walaupun dalam pengembangan silabus ini guru lebih berkiblat pada materi pembelajaran yang telah ditetapkan dalam kurikulum, dan memiliki kebebasan dalam melakukan analisis isi dalam mengembangkannya, bukan berarti tidak ada prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam pengembangan silabus tersebut. Prinsip pengembangan silabus itu ialah : ilmiah, relevan, sistematis, konsisten, memadai, aktual dan kontekstual, fleksibel, menyeluruh. b. Analisis Alokasi Waktu c. Program Tahunan dan Program Semester d. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) 2. Pelaksanaan Pembelajaran Pelaksanaan pembelajaran dalam kelas merupakan tugas utama dari seorang guru. Jadi tidak salah jikalau guru lebih memfokuskan perhatian lebih dalam pembelajaran karena sebagian tugas guru digunakan untuk Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
83
dapat melaksanakan proses belajar mengajar. Nana Sudjana (2005: 147) secara umum menyatakan ada tiga tahapan dalam pelaksanaan pembelajaran yaitu: tahap pemula; tahap Intruksional, dan tahap penilaian tindak lanjut Dalam pelaksanaan pembelajaran ada beberapa kegiatan yang harus dilakukan. a. Persiapan pelaksanaan pembelajaran (Persiapan di kelas) yang meliputi : menyiapkan bahan pengajaran, menyiapkan media pengajaran, menyiapkan peralatan pengajaran. b. Membuka pelajaran terdiri dari: mengucapkan salam pembuka, memimpin do’a, mengabsen peserta didik; menyampaikan informasi, memotifasi peserta didik, melaksanaan pembelajaran, terdiri dari : 1) Tahap 1: Review 2) Tahap II: Overview 3) Tahap III: Presentasi 4) Tahap IV: Exercise 5) Tahap V: Summary 3. Evaluasi Pembelajaran Evaluasi merupakan kegiatan utama yang tidak dapat ditinggalkan. Begitu juga proses evaluasi pada kegiatan belajar mengajar hampir terjadi disetiap saat, tetapi tingkat formalitasnya berbeda-beda. Evaluasi bertujuan erat dengan tujuan instruksional, analisis kebutuhan, dan proses belajar mengajar. Menurut Ronald A Berk dalam Sudjarwo (1989: 235) mendefinisikan evaluasi pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan dalam rangka menyiapkan informasi yang diperlukan untuk pembuatan keputusan. Disini terlihat bahwa evaluasi dan pembuatan keputusan adalah dua kegiatan yang berbeda tetapi saling terkait. Menurut Ralph Tyler dalam Farida Yusuf (2000: 3) mendefinisikan evaluasi adalah proses yang menentukan sampai sejauh mana tujuan pendidikan dapat dicapai. Dalam undang-undang Sisdiknas tahun 2003 pasal 58 ayat 1 menjelaskan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Sukardi (2008: 8) menjelaskan bahwa syarat yang harus dimiliki guna melakukan evaluasi yang baik diperlukan syarat seperti: valid, andal, 84
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
objektif, seimbang, membedakan, norma, fair, dan praktis. Sedangkan evaluasi diadakan dengan tujuan: a. Menilai ketercapaian (attainment) tujuan; b. Mengukur macam-macam aspek belajar yang bervariasi; c. Sebagai sarana (means) untuk mengetahui apa yang peserta didik telah ketahui; d. Memotifasi belajar peserta didik; e. Menyediakan informasi untuk tujuan bimbingan dan konseling; f. Menjadikan hasil evaluasi sebagai dasar perubahan kurikulum. Sementara itu tahapan-tahapan dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran menurut Oemar Hamalik (2008: 163) adalah sebagai berikut: a. Tahap persiapan Tahap persiapan ini adalah tahap meyusun kisi-kisi (bive print), dalam penyusunan kisi-kisi ada langkah-langkah yang perlu ditempuh adalah: 1) Menentukan ruang lingkup materi pelajaran yang akan diujikan berdasakan pokok bahasan yang telah di tetapkan GBPP; 2) Merumuskan tujuan pembelajaran dengan tujuan pembelajaran dalam GBPP; 3) Menetapkan jumlah atau butir soal berdasarkan topik dan aspek tujuan atau ranah yang tersusun dan tersebar secara proporsional; 4) Mengidentifikasi bentuk-betuk soal, berupa tes objektif (Pilgan) atau bentuk essay. Perlu dipahami bahwa dalam membuat kisi-kisi soal, guru perlu mempertimbangkan tingkat kesukaran (dificulty index), ketercakupan materi yang diujikan dan bentuk soal yang dipilih. Dengan demikian dalam kisi-kisi terdapat kejelasan persentase keterwakilan materi yang akan diteskan, dan ada keterwakilan secara komposisif soal dengan tingkat kesukaran tertentu, penggunaan variasi jenis soal, sesuai dengan kompetensi dan tingkat kesukarannya. b. Tahap penyusunan alat ukur Alat ukur atau yang sering disebut dengan evaluasi dibagi menjadi dua jenis yaitu: Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
85
1) Penilaian dengan tes Penilaian dengan tes dapat dilaksanakan dengan tes lisan dan tes tertulis. Bentuk penilaian dengan tes banyak dilakukan oleh guru, karena penting untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran. Tujuan penilaian dengan tes antara lain: a) Untuk megukur kemampuan peserta didik di sekolah atau prestasi belajar; b) Mental tes atau tes intelegensi untuk mengukur intelegensi seseorang; c) Aptitude test untuk mengetahui bakat seseorang. 2) Penilaian bukan tes Bentuk-bentuk penilaian bukan tes bisa dilakukan dengan: a) Cek list; b) Rating scale; c) Kartu partisipasi harian; d) Laporan lisan dan tulisan; e) Kartu angka.
Penutup Dari pembahasan diatas, pengeloaan dalam pendidikan merupakan sebuah keniscayaan agar tujuan pendidikan dapat terarah dan terukur dengan baik. Dalam aplikasi pembelajaran Pendidikan Agama Islam, peran pengelolaan pembelajaran dari tahap perencanaan merupakan hal penting untuk mengarahkan isi pendidikan kearah isi yang tidak hanya berorientasi pada transfer ilmu akan tetapi transfer nilai (value). Tahap selanjutnya adalah tahap pelaksanaan dan terakhir adalah tahap evalusi. Tahap-tahap tersebut mer upakan satu kesatuan penting untuk mewujudkan pendidikan yang holistic.
Daftar Pustaka Abdul Madjid dan Dian Andayani. 2008. Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Standar Kompetensi Guru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
86
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
Akhmad Tafsir. 2004. Ilmu Pendidikan Islam dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya. Dimyati dan Mujiono. 1994. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta Farida Yusuf. 2000. Evaluasi Program. Jakarta: Rineka Cipta Hamzah B. Uno. 2008. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara Husaini Usman. 2006. Manajemen Teori dan Desain Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara Ibrahim Bafadal. 2003. Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar. Jakarta: Bumi Aksara Made Pidarta. 1997. Landasan Kependidikan (Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia). Jakarta: Rineka Cipta. Masnur Muslich. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Dasar Pemahaman dan Pengembangan. Jakarta: Bumi Aksara Mulyasa. 2004. Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: P.T Remaja Rosdakarya Nazarudin. 2007. Manajemen Pembelajaran. Yogyakarta: Teras. Nana Sudjana. 1998. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Nanang Fatah. 2000. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya Oemar Hamalik. 1995. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara Oemar Hamalik. 2002. Perencanaan Pengajaran berdasarkan Pendekatan Sistem, Jakarta: Bumi Aksara Rosadi Ruslan. 2004, Metode Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada Sunhaji. 2008. Manajemen Madrasah, Purwokerto: STAIN Purwokerto Press
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
87
Suwardi. 2007. Manajemen Pembelajaran Menciptakan Guru Kreatif dan Berkompetensi, Surabaya: Temprina Media Grafika Syaiful Bahri Djamarah dan Irwan Nasution. 2005, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: PT. Rineka Cipta T. Hani Handoko. 2001. Manejemen Edisi 2, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta Wina Sanjaya. 2008. Strategi Pembelajaran, Jakarta: Kencana Wina Sanjaya. 2010. Perencanan dan Desain Sistem Pembelajaran, Cetakan ketiga, Jakarta: Kencana P.radana.
88
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
DIKLAT TEKNIS GURU IPA BERBASIS LESSON STUDY Nurul Kamilati Abstract This study aimed to explore the importance of Lesson Study at the school, especially in science learning process. Furthermore, this study makes the scenario when the science lesson study will be developed in technical education and training. To overcome the problem, the study carried out document. The conclusion is: (1) Lesson Study can be applied in science and technical education training for teachers to improve the professionalism of teachers. Lesson Study can be combined with training. Lesson Study only need 5 days to be implemented in training. (2) Lesson Study in the science and technical education training for teachers has three steps: planning, implementation, and reflection. (3) Lesson Study improves the quality of science teaching. This is due to the sharing of experience and knowledge among teachers. In addition, there are some useful suggestions from experts in the field of education and practical training in order to improve the quality of teachers. Additionally, Lesson Study is an effective way to get a true learning science, which is important to establish the scientific student. (4) Quality of technical education and training for theacher can be improved through Lesson Study, because lesson study activities integrate some core lessons and training that are needed, simultaneously, instead of one by one.
Key words: Lesson study, science teachers, technical education and training Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pentingnya Lesson Study yang dilaksanakan di sekolah, terutama dalam proses pembelajaran sains. Selanjutnya, studi ini membuat skenario ketika lesson study ilmu akan dikembangkan dalam pendidikan teknis dan pelatihan. Untuk mengatasi masalah itu, dilaksanakan studi dokumen. Kesimpulannya adalah: (1) Lesson Study dapat diterapkan dalam ilmu pendidikan teknis dan pelatihan terhadap guru untuk meningkatkan profesionalitas guru. Lesson Study bisa dicoba dikombinasikan dengan pelatihan. Lesson Study hanya perlu 5 hari untuk diimplementasikan dalam pelatihan. (2) Lesson
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
89
Study dalam ilmu pendidikan teknis dan pelatihan bagi guru memiliki tiga langkah: perencanaan, pelaksanaan, dan refleksi. (3) Lesson Study dapat meningkatkan kualitas dari pembelajaran IPA. Hal tersebut terjadi karena adanya berbagi pengalaman dan pengetahuan antar guru. Selain itu, ada beberapa saran bermanfaat dari para pakar di bidang pendidikan dan pendidikan praktis dalam rangka meningkatkan kualitas dari guru sains. Selain itu, Lesson Study adalah cara yang efektif untuk mendapatkan ilmu pembelajaran yang benar, yang penting untuk membangun siswa yang ilmiah. (4) Kualitas guru ilmu pendidikan teknis dan pelatihan guru dapat ditingkatkan melalui Lesson Study, karena kegiatan lesson study mengintegrasikan beberapa inti pelajaran dan pelatihan yang dibutuhkan, pada saat yang sama, bukannya satu per satu
Kata Kunci: Lesson Study, Pengetahuan Guru, Teknik Pengajaran dan Pelatihan
Pendahuluan Guru adalah salah satu komponen pendidikan yang sangat menentukan kualitas pendidikan bangsa. Selama ini telah dilakukan Pendidikan dan Pelatihan Guru (Diklat Teknis Guru) sebagai salah satu upaya peningkatan kualitas guru di samping workshop, lokakarya, seminar. Namun hasilnya belum menunjukkan perubahan perbaikan yang diharapkan. Lembaga Kediklatan merupakan salah satu institusi yang diberi tanggungjawab untuk meningkatkan kemampuan guru pegawai negeri sipil (PNS). Landasan keberadaan lembaga diklat, sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Diklat Jabatan PNS yang menyebutkan bahwa Diklat merupakan bagian integral dari sistem pembinaan PNS. Diklat guru adalah kegiatan strategis untuk meningkatkan pengabdian, mutu, keahlian, kemampuan, dan keterampilan. Dengan demikian, Diklat merupakan kebutuhan essensial sebagai upaya pembinaan PNS agar berdaya guna dalam partisipasi pembangunan bangsa khususnya dalam bidang pendidikan. Berdasarkan pengamatan penulis, ada dua hal yang menyebabkan Diklat belum dapat memberikan dampak besar bagi peningkatan mutu guru. Pertama, Diklat tidak berbasis masalah nyata dalam kelas (unrealistic 90
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
class problem). Materi yang sama disampaikan kepada semua guru yang berasal dari daerah yang berbeda. Kedua, implementasi hasil diklat yang belum sepenuhnya. Hasil Diklat baru dalam tataran pengetahuan, tidak diterapkan dalam pembelajaran di kelas. Hal ini bisa disebabkan oleh kandungan (content) materi Diklat yang terlalu berorientasi pada teori sehingga tidak aplikatif. Lesson study ditawarkan sebagai alternatif membentuk guru yang profesional yang mampu meningkatkan kualitas pembelajarannya di kelas. Dengan Lesson study pembentukan guru profesional yang memenuhi kriteria kemampuan profesional, upaya profesional, dan kesesuaian antara keahlian dan pekerjaannya dapat terwujud. Menurut Wardiman (1996), kemampuan profesional meliputi kemampuan intelegensia, sikap, dan prestasi kerjanya. Upaya profesional adalah upaya seorang guru untuk mentransformasikan kemampuan profesional yang dimilikinya ke dalam tindakan mendidik dan mengajar secara nyata. Dan agar terdapat kesesuaian antara keahlian dan pekerjaannya maka guru harus menguasai keahliannya baik dalam disiplin ilmu pengetahuan maupun metodologi pembelajarannya. Di Indonesia, beberapa kabupaten telah mengadopsi Lesson study yakni: Bantul, Pasuruan, dan Sumedang atas kerjasama dengan lembaga SISTTEMS JICA Jepang. Hasil workshop evaluasi pelaksanaan Lesson study di tiga kabupaten tersebut menunjukkan semua peserta (guru) sepakat bahwa Lesson study sangat bermanfaat bagi peningkatan kualitas mengajar guru, mereka menjadi lebih siap dan percaya diri ketika melaksanakan kegiatan pembelajaran. Tulisan ini akan membahas beberapa hal sebagai berikut: definisi lesson studi, tahapan melaksanakan lesson studi serta tawaran pelaksanaan lesson study dalam diklat teknis guru IPA, sehingga pelaksanaan lesson study dapat meningkatkan kualitas pembelajaran IPA.
Pembahasan 1.
Lesson Study Lesson study adalah suatu model pembinaan guru yang pertama kali dikembangkan di Jepang (Bhs. Jepang: jugyokenkyu). Lesson study Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
91
merupakan model pembinaan guru melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berdasarkan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun learning community (Lewis, 2002). Dalam kegiatan lesson study dapat memilih dan menerapkan berbagai metode dan strategi pembelajaran yang disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan permasalahan yang dihadapi oleh guru. Lesson study bertujuan meningkatkan kompetensi guru dan kualitas pembelajaran yang akhirnya meningkatkan prestasi belajar siswa. Lesson study yang diprogram dengan baik akan membentuk guru menjadi lebih profesional dan kreatif. Ini sejalan dengan pendapat Fernandes dan Yoshida (2004) yang mendefinisikan Lesson study sebagai studi untuk analisis atas suatu praktik pembelajaran yang dilaksanakan dalam bentuk pembelajaran berbasis riset untuk menemukan inovasi pembelajaran tertentu. 2. Tahap Lesson Study Secara garis besar, terdapat 3 tahap lesson study, yaitu: Plan (Merencanakan), Do (Melaksanakan), dan See (Merefleksi) (Saito, 2005). Pertama, Tahap Pelaksanaan. Terdapat tiga kegiatan dalam tahap ini, yaitu: (1) membentuk kelompok lesson study. Pembentukan kelompok berkaitan dengan penetapan anggota yang dilibatkan dan kesepakatan penetapan aturan kelompok. Selain guru, anggota kelompok dapat kepala madrasah, pengawas, pejabat, pemerhati, dan pakar pendidikan. (2) memfokuskan lesson study. Pada tahap ini, ditetapkan masalah yang akan dijadikan fokus lesson study berdasarkan adanya kesenjangan antara kondisi aktual dan kondisi yang diharapkan. Juga diperlukan musyawarah dalam menetapkan matapelajaran dan topik/ materi pembelajaran dengan mempertimbangkan minat guru dan atau kebutuhan siswa/ guru. dan (3) merencanakan pembelajaran. Perencanaan pembelajaran diawali dengan melakukan analisis permasalahan, antara lain: content pelajaran, cara menjelaskan konsep, penggunaan media yang efektif namun efisien, urutan penyampaian materi yang holistik. Permasalahan tersebut dituangkan kedalam lesson plan (rencana pembelajaran) lengkap dengan media pembelajaran, lembar kerja siswa, dan alat evaluasinya. Selain itu, dalam tahap perencanaan ini ditetapkan guru yang akan mengajar/ melaksanakan pembelajaran, madrasah tuan rumah, pengamat lesson study 92
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
yang berasal dari praktisi pendidikan dan pakar (selain widyaiswara dapat dosen, mahasiswa pendidikan, pejabat tingkat propinsi/kabupaten/kota yang menangani bidang pendidikan, kepala madrasah, komite sekolah, dan lain-lain). Kedua, Tahap Pelaksanaan, dilaksanakan pembelajaran berupa penerapan rencana pembelajaran yang telah dibuat untuk pengujian efektivitasnya. Untuk mengatur tertibnya lesson study dapat ditunjuk kepala madrasah tuan rumah sebagai pemandu kegiatan. Pengamat yang telah ditunjuk melaksanakan tugasnya yang berfokus dalam mengamati interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan sumber belajar, siswa dengan media belajar, siswa dengan guru, dan siswa dengan lingkungan. Semua hasil pengamatan ditulis dalam lembar pengamatan/ observasi. Untuk mendokumentasikan proses pelaksanaan pembelajaran dapat menggunakan tape, kamera, handycam, dan observasi naratif yang sangat berguna dalam tahap refleksi. Ketiga, Tahap Refleksi. Refleksi ini hendaknya memuat: (1) refleksi dari guru pelaksana pembelajaran; (2) tanggapan umum dari pengamat; (3) presentasi dan diskusi tentang hasil pengolahan data dari pengamat; dan (4) tanggapan dan saran dari ahli/ pakar. Refleksi dilakukan segera setelah pelaksanaan lesson study. Berdasarkan hasil diskusi selama refleksi dapat dijadikan dasar menyusun rencana pembelajaran berikutnya yang lebih baik dan mampu mengantisipasi berbagai permasalahan yang muncul. 3. Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) IPA (sains) adalah ilmu yang mendasarkan pada kegiatan nyata tentang alam. Dengan demikian, pembelajaran IPA harus membawa siswa dalam berbagai kegiatan yang melibatkan berbagai pengalaman siswa mengeksplorasi alam. Mengutip Jenkins & Whitfield (1974) yang menyatakan bahwa: “Science is a way of exploring the universe”. Pengalaman sangat memegang peranan penting dalam belajar. Piaget mengemukakan bahwa bukanlah belajar bila tanpa adanya kegiatan yang memberikan pengalaman kepada siswa. Untuk melakukan ini, maka diperlukan keterampilan melakukan kegiatan IPA. Guru yang profesional adalah guru yang memiliki kompetensi akademik dan mampu membelajarkan siswa sesuai dengan konsep keilmuan yang dimilikinya tersebut. Dengan kata lain, guru harus memiliki keterampilan melakukan kegiatan IPA. Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
93
Kemampuan keterampilan yang harus dimiliki seorang guru IPA, antara lain: keterampilan dasar dan keterampilan terpadu. Keterampilan dasar meliputi: kegiatan observasi, klasifikasi, pengukuran, komunikasi, inferensi, dan prediksi. Sedangkan keterampilan terpadu meliputi: kegiatan merumuskan hipotesis, mengontrol variabel, merumuskan masalah, dan interpretasi data (Collette, 1994). Beberapa kegiatan IPA kadang berlangsung di laboratorium, sehingga guru IPA juga harus memiliki keterampilan laboratorik. Menurut Sund & Trowbridge (1982), terdapat lima macam keterampilan laboratorik:keterampilan meraih, keterampilan pengorganisasian, keterampilan kreatif, keterampilan manipulatif, dan keterampilan komunikasi. Penguasaan keterampilan-keterampilan di atas diperlukan agar kegiatan eksplorasi siswa terhadap alam benar-benar berlangsung utuh. IPA tidak hanya dipandang sebagai produk, melainkan juga sebagai proses (sikap dan berpikir ilmiah) benar-benar dapat dimiliki siswa. Untuk mencapai hal di atas, maka diperlukan penekanan pembelajaran IPA agar tidak salah arah. Djohar (1989 : 17) dalam Pidato Pengukuhan Guru Besarnya mengemukakan dimensi penting bekaitan dengan tekanan belajar IPA, yaitu: a. Pengembangan sikap dalam pendidikan IPA adalah tekanan utama di semua tingkatan pendidikan. b. Keterampilan metodologi IPA harus telah dikembangkan sedini mungkin. c. Aspek pengetahuan semakin dikembangkan pada tingkat pendidikan yang semakin lanjut dengan tetap memfungsikan keterampilan metodologi IPA dalam proses belajarnya. d. Dalam merancang organisasi belajar IPA, proses yang melibatkan kegiatan belajar siswa menempati peran yang sangat penting. 4. Tawaran Penerapan Lesson Study dalam Diklat Teknis Guru IPA Selama ini ketiga tahap lesson study, yaitu: perencanaan, pelaksanaan, dan refleksi sebenarnya telah dilaksanakan dalam diklat teknis guru namun belum direalisasikan dalam pembelajaran nyata di kelas yang melibatkan siswa. Dalam diklat teknis guru telah dilakukan perencanaan pembelajaran dengan menyusun silabus dan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), 94
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
praktek mengajar mata diklat tertentu (praktek penerapan strategi dan model pembelajaran dan praktek perencanaan dan penerapan media dalam pembelajaran), dan refleksi pembelajaran oleh peserta diklat dengan dipandu widyaiswara. Yang tidak terdapat dalam diklat selama ini adalah suasana pembelajaran di kelas nyata yang justeru sangat diperlukan bagi keperluan recheck kebenaran dan ketepatan perencanaan program pembelajaran. Kita menyadari bahwa pembelajaran di kelas merupakan suatu fakta senantiasa berkembang dinamis yang kadang-kadang tidak terduga. Demi mencapai keberhasilannya diperlukan sharing pengetahuan dan pengalaman yang sangat dimungkinkan dilakukan dalam pembentukan komunitas belajar guru melalui lesson study dalam bimbingan para pakar dan praktisi. Berikut ini adalah usulan jadual pelaksanaan lesson study yang terintegrasi dengan pelaksanaan diklat yang telah berlangsung selama ini: No 1.
2.
3.
4.
5.
Jumlah Jam Tahap/ fase Kegiatan Pelajaran Lesson Study Teori Praktik Perencanaan 1 1 Pembentukan kelompok lesson study Perencanaan 1 5 perangkat Observasi Perencanaan 4 12 perangkat pembelajaran Pelaksanaan lesson 2 4 study
Refleksi pelaksanaan lesson study per kelompok 6. Laporan lesson study paripurna/ kelas Jumlah Jam Pelajaran
Jumlah Jam Pelajaran 2
Keterangan
6
16
5
2
6
8
-
4
4
10
32
42
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
Diperlukan waktu sehari termasuk untuk perjalanan ke madrasah
95
Jika 1 jam pelajaran adalah 45 menit, tiap hari 8-10 jam pelajaran, maka 42 jam pelajaran memerlukan 5 hari diklat untuk lesson study. Tidak diperlukan waktu khusus untuk menyampaikan mata diklat yang terkait dengan pembelajaran (silabus dan RPP, model-model pembelajaran, media pembelajaran, dan penilaian kelas) karena telah termasuk dalam perencanaan lesson study. Pada diklat selama ini diperlukan waktu khusus untuk mata diklat-mata diklat tersebut. Penyampaian materi yang terpisah seringkali menyulitkan ketika diimplementasikan dalam pembelajaran. Denngan diklat berbasis lesson study hanya diperlukan waktu maksimal 5 hari, peserta diklat telah dapat belajar teori dan mempraktikannya dalam kelas nyata. Waktu diklat yang lain di luar 5 hari dapat digunakan untuk penyampaian materi pokok (UUD, kebijakan, dan lain-lain), materi penunjang, dan memperdalam materi inti bidang studi. 5. Peningkatan Kualitas Pembelajaran IPA Melalui Lesson Study Pembelajaran IPA memerlukan berbagai keterampilan bagi guru antara lain keterampilan dasar, keterampilan terpadu, dan keterampilan laboratorik. Keterampilan di atas tidak saja melibatkan kemampuan akademik seorang guru secara konseptual, namun lebih banyak kepada aspek penampilan (unjuk kerja) guru di depan kelas. Hal ini jelas tidak mudah. Dengan lesson study, terjadi proses sharing yang saling menguntungkan antar gur u menuju kepada perbaikan kualitas pembelajaran IPA. Selain itu terjadi pembelajaran dan hubungan timbal balik masyarakat belajar antar guru. Diskusi yang terjadi sangat terbantu dengan kehadiran para pakar pendidikan dalam bidang IPA. Selain itu, dengan lesson study akan segera terjadi koreksi bila terjadi salah penekanan dalam pembelajaran IPA. Pembelajaran IPA harus mengedepankan pengembangan sikap, keterampilan IPA, pemahaman konsep IPA, dan pembelajaran student-centered. Bila terjadi penekanan pembelajaran yang melenceng akan segera dilakukan pelurusan. Strategi dan model pembelajaran IPA serta media yang digunakan juga memiliki karakteristik berbeda dengan mata pelajaran lain karena karakteristik IPA yang berbeda dengan mata pelajaran lain. Dengan lesson study semakin memperkuat pemahaman dan implementasi setiap guru IPA dalam pembelajaran. 96
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
Lesson study yang diterapkan dalam diklat diharapkan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran IPA karena mampu meningkatkan keterampilan guru IPA, mengarahkan pembelajaran IPA sesuai dengan penekanan IPA yang benar, membantu guru memilih dan menentukan model dan media yang tepat. 6. Peningkatan Kualitas Diklat Teknis Guru IPA Melalui Lesson Study Dengan lesson study, kualitas diklat tekhnis guru diperkirakan akan meningkat karena peserta dapat langsung praktek mengajar yang diawali dengan perencanaan yang dilakukan secara berkelompok. Bekerja dalam kelompok akan memberikan keuntungan dalam sharing pengetahuan dan pengalaman antar peserta diklat dalam membuat perangkat perencanaan yang diperlukan. Perencanaan yang dibuat dipraktekkan dalam situasi nyata pembelajaran di kelas akan memberikan umpan balik yang hasilnya segera dapat dilakukan refleksi dan evaluasi secara bersama dengan masukan dari para pakar pendidikan (termasuk widyaiswara). Guru segera menemukan jawaban atas tingkat akurasi perencanaan yang telah dibuat. Jika terdapat permasalahan di lapangan para pakar siap memberikan pandangan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki. Pelaksanaan lesson study di diklat ini hanya merupakan pancingan bagi guru peserta diklat. Sekembali ke madrasah masing-masing mereka dapat melakukan lesson study bersama kolega guru serumpun se- madrasah atau pun lain madrasah dalam satu wilayah. Bila lesson study telah dibiasakan, lalu menjasi kebiasaan dan budaya, maka kualitas pembelajaran di madrasah kita dapat segera meningkat.
Kesimpulan Implementasi lesson study IPA dalam diklat teknis guru sangat mungkin diterapkan untuk membentuk guru yang lebih profesional. Lesson study dapat dicoba dan dipadukan dengan diklat yang selama ini telah berlangsung. Tidak diperlukan menyampaikan mata diklat yang berhubungan langsung dnegan tugas pokok dan fungsi guru secara terpisah melainkan disampaikan sebagai bagian dari tahap lesson study yaitu Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
97
tahap perencanaan. Waktu penyampaian materi teori dan praktik pada diklat berbasis lesson study hanya memerlukan waktu maksimal 5 hari. Sisa wkatu yang lain digunakan untuk materi selain materi tugas pokok dan fungsi guru. Kualitas pembelajaran IPA dapat meningkat dengan lesson study karena terjadi berbagi pengalaman dan pengetahuan antar guru, masukan dari pakar pendidikann dan praktisi pendidikan yang sangat membantu bagi peningkatan kualitas keterampilan guru IPA. Kualitas diklat teknis guru IPA dapat meningkat melalui lesson study karena kegiatan lesson study telah mengintegrasikan beberapa mata diklat inti sekaligus dalam waktu yang relatif sama bila mata-mata diklat tersebut disampaikan secara terpisah. Pemahaman guru terhadap substansi materi lebih baik karena guru langsung dihadapkan pada masalah nyata di kelas dan segera dilakukan pemecahan masalah.
Saran Penyelenggara diklat perlu menjalin kerjasama dengan pihak-pihak terkait dalam pelaksanaan diklat berbasis lesson study, antara lain: madrasah tuan rumah, para praktisi/ pakar pendidikan, dan pejabat-pejabat di bidang pendidikan.
Daftar Pustaka Collette. 1994. Science Teaching in the Secondary School. Boston: Allyn and Bacon Inc. Djohar. 1989. Dimensi Pendidikan Sains Menyongsong Tahun 2000: Pidato Pengukuhan sebagai Gur u Besar dalam Bidang Pendidikan Sains padaFakultas Pendidikan MIPA IKIP Yogyakarta. Fernandes, Clea and Yoshida, Makota. 2004. Lesson Study: A Japanese Approach Improving Mathematics Teaching and Learning. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers. Jenkins, E. & Whitfield R. 1974. Reading in Science Education. London: Mc. Graw-Hill. 98
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
Lewis, Chatherine C. 2002. Lesson Study: A Handbook of Teacher Led Instructional Change. Philadelphia: Reserach for Better Schools Inc. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 Tentang Diklat Jabatan PNS. Saito, E., Imansyah, H. dan Ibrohim. 2005. Penerapan Studi Pembelajaran di Indonesia: Studi Kasus dari IMSTEP. Jurnal Pendidikan ‘Mimbar Pendidikan’, No. 3 Th. XXIV: 24 – 32. Sukirman. 2006. “Peningkatan Keprofesionalan Guru Melalui Lesson Study”, Makalah Pelatihan Lesson Study bagi Guru Berprestasi dan Pengurus MGMP MIPA SMP Seluruh Indonesia. Direktorat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional Fakultas MIPA UNY Yogyakarta.
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
99
100
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER PADA PONDOK PESANTREN (Studi Kasus di Pondok Pesantren Al Ma’unah Desa Kepuh Kecamatan Palimanan Kabupaten Cirebon) Nuryana Abstract This study departs from earlier study of the Pondok Pesantren Al Ma’unah Village billowing palimanan Cirebon District, which tend to apply the teachings in the form of the study of the classics. In line with madrasah’s educational mission, that is intended to form a pious muslim personality (shalih/shalihah), the effort to implement character education in schools needs to be studied. Therefore, this study aimed to gain understanding and to expose the nature of the education system and teaching related to the efforts to establish the character of the students. To answer the questions, this study used a qualitative approach. Subjects in this study were comprised of 1 kyai, 5 ustadzes (teachers), 10 santris (students), 3 community and religious leaders and the head of the village. The data gathered through observation and document study. Character or moral education in Al-Ma’unah carried through teaching books related to morals or character. Morals or character to be fostered through habituation, commands, prohibitions and penalties
Keywords: Character Education, Pondok Pesantren Abstrak Penelitian ini berangkat dari studi awal terhadap Pondok Pesantren Al Ma’unah Desa Kepuh Kecamatan Palimanan Kabupaten Cirebon, bahwa dalam pengajaran, cenderung menerapkan pengajaran kajian terhadap kitab-kitab klasik. Sejalan dengan misi besar pendidikan pesantren untuk membentuk muslim yang berkepribadian atau pribadi muslim yang shaleh dan shalehah, kiranya upaya pendidikan pesantren dengan berbasis karakter perlu dilihat implementasinya. Oleh karena itu, penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman dan mencoba memaparkannya secara alamiah tentang sistem pendidikan dan pengajaran terkait dengan upaya pembentukan karakter santri. Untuk menjawab pertanyaan yang ada, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Subjek dalam penelitian ini adalah terdiri dari 1 orang
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
101
kyai, 5 orang ustadz, 10 santri 3 orang tokoh masyarakat/tokoh agama dan Kepala Desa. Data diambil melalui metode observasi dan studi dokumen. Konsep pendidikan dan pengajaran di pesantren Al Ma’unah dengan berbasis karakter atau akhlak, melalui pengajaran kitab-kitab yang terkait dengan muatan materi akhlak atau karakter. Pembinaan akhlak atau karakternya melalui pembiasaan, perintah, larangan dan hukuman
Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Pondok Pesantren
Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Berbicara tentang isu pendidikan bangsa, sampai hari ini masih menarik untuk terus diperbincangkan. Mulai dari persoalan pendidikan yang bersifat teknis-praktis di lapangan maupun pesoalan-persoalan yang bersifat non teknis berupa paradigma, arah dan kebijakan, sampai saat ini masih menyelimuti gerak roda pendidikan kita. Persoalan pendidikan yang bersifat teknis-praktis di lapangan misalnya terlihat pada upaya pelaksanaan pendidikan yang dinilai masih jauh dari harapan. Pendidikan dilaksanakan tetapi belum mampu mengubah perilaku kehidupan masyarakat menjadi lebih baik dan membanggakan. Bahkan, masyarakat tampak begitu rentan dengan berbagai krisis yang menghampirinya, akibat rendahnya ilmu pengetahuan, wawasan dan kesadaran (Suyanto dan Hisyam, 2003:196). Begitupun pada kalangan generasi muda misalnya, maraknya tawuran diantara pelajar, pergaulan bebas di kalangan remaja, terlibat dalam penggunaan obat-obat terlarang, tidak patuh dan tidak memiliki rasa hormat pada guru dan orang tua, cenderung mudah meninggalkan perintah-perintah agama seperti; shalat, puasa, mengaji dan lain-lain adalah membuktikan bahwa upaya pendidikan moral di negeri ini belum berhasil (Khoe Yao Tung, 2002:52). Bahkan pendidikan agama Islam sekalipun, sebagai media transformasi keilmuan yang menaruh perhatian besar pada aspek pembentukan budi pekerti atau akhlak siswa disinyalir masih belum juga mampu menjawab persoalan-persoalan tersebut. 102
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional yang sejak lama diharapkan dapat menjadi agent of change bagi kehidupan masyarakat juga masih dipertanyakan eksistensinya. Pondok pesantren diorientasikan untuk pembentukan akhlak atau budi pekerti bagi kalangan santri atau masyarakat. Akan tetapi, sebagaimana penuturan Abdurahman Wahid (1998:59) bahwa kemampuan pesantren untuk tetap dapat mempertahankan identitas dirinya yang bersifat subkuturil sedang diuji. Bahkan, masih menjadi pertanyaan besar mampu atau tidaknya pesantren menyerap perubahan demi perubahan kulturil yang sedang dan akan berlangsung di masyarakat, minimal dengan tidak kehilangan tata nilai yang telah dimilikinya selama ini. Di tengah suasana kemasyarakatan di mana kata-kata kejujuran, kesungguhan, kepatuhan dan kesederhanaan tengah mengalami pemutar balikan pengertian secara sinis, niscaya merupakan tragedi bagi pesantren bila harus mengalami pemutar balikan tata nilai yang telah dimilikinya selama ini. Dalam sejarah, pesantren tempat di mana para santri belajar, dicatat bahwa sejak lama sebetulnya telah mampu menghantarkan anak-anak bangsa menjadi pribadi yang kuat, mandiri, tawadhu, santun, sederhana, dan berilmu pengetahuan, meskipun dominan pada ilmu-ilmu agama. Pesantren dianggap telah mampu menjadi media transformasi keilmuan yang dapat membentuk diri pribadi santri yang berkarakter baik. Nyaris dalam berbagai kehidupan social kemasyarakatan, pesantren telah memainkan peranan yang sangat penting, terutama sebagai media transfer of value. Melalui pengajaran yang diberikan, pesantren berupaya menginternalisasikan nilai-nilai agama pada setiap kehidupan individu santri. Namun demikian, seiring dengan pesatnya arus perkembangan zaman, di abad modern sekarang ini di mana arus globalisasi dan informasi yang begitu pesat tampak telah memberi warna tersendiri bagi perkembangan pendidikan di Indonesia, termasuk pesantren. Dengan gempuran budaya asing yang begitu dahsyat, sedikit banyak telah membawa dampak bagi upaya penanaman nilai-nilai agama pada diri santri. Itu sebabnya, upaya pendidikan di Indonesia termasuk pesantren, pada aspek pendidikan karakter sampai hari ini mengalami tantangan yang begitu berat. Bahkan dalam realitas, pendidikan pesantren disinyalir Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
103
masih belum berhasil dalam membentuk budi pekerti atau akhlak siswa secara optimal. Menurut Suyata (1998:73), kekurangoptimalan pesantren dalam membentuk karakter santri boleh jadi disebabkan banyak factor, salahsatunya ialah pada belum optimalnya upaya penerapan dan pengembangan metode dalam kegiatan pendidikan atau pengajaran. Para kyai dan ustadz misalnya, dalam kegiatan belajar mengajar cenderung lebih teraksentuasi pada pengembangan metode rout learning dan lebih bersifat tekstual. Dalam pengajaran, para kyai dan ustadz diduga masih kurang memperhatikan aspek-aspek lain yang mampu mengembangkan daya pikir siswa yang kritis, kreatif, inovatif, mandiri dan berkepribadian (Dawam Raharjo, 1993:8). Pengajaran pesantren, seolah hanya bermuara pada satu titik, yakni ranah kognitif dengan target kemampuan dapat membaca dan memahamai kitab-kitab klasik secara tekstual. Padahal, dalam pendidikan agama Islam begitu sarat dengan nilai-nilai yang relevan dengan aturan kehidupan baik bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Berdasarkan studi awal yang peneliti lakukan pada Pondok Pesantren Al Ma’unah Desa Kepuh Kecamatan Palimanan Kabupaten Cirebon, diketahui bahwa dalam pengajaran, kyai dan para ustadz cenderung masih menerapkan materi-materi pengajaran pesantren yang mengkaji kitabkitab klasik sebagaimana pesantren di Indoenesia pada umumnya. Kurikulum yang dibangun tentunya tidak saja materi-materi pengajaran yang bersifat konvensional, tetapi juga materi-materi pengajaran kekinian seperti tentang wawasan keterampilan dan keilmuan lainnya. Namun demikian, sejalan dengan misi besar pendidikan pesantren untuk membentuk muslim yang berkepribadian atau pribadi muslim yang shaleh dan shalehah, kiranya upaya pendidikan peantren dengan berbasis karakter perlu dilihat implementasinya. Bagaimananakah upaya pesantren dalam mengembangkan sistem pendidikan dan pengajaran yang relevan dengan upaya pembinaan karakter santri? Oleh karena itu, atas dasar kenyataan tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dan kajian secara mendalam guna mengatahui bagaimana “Implementasi Pendidikan Karakter pada Pondok Pesantren Al Ma’unah di Desa Kepuh Kecamatan Palimanan Kabupaten Cirebon”. Isu ini penting untuk diteliti, mengingat pondok pesantren 104
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
sebagai lembaga pendidikan yang konsen pada pengembangan tata nilai, perlu untuk diproyeksikan dengan sistem pengajaran yang berbasis karakter. B. Identifikasi Masalah Atas dasar uraian pada latar belakang masalah di atas, penelitian ini mencoba mengamati secara langsung proses pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren Al Ma’unah Desa Kepuh Kecamatan Palimanan Kabupaten Cirebon. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman dan mencoba memaparkannya secara alamiah tentang system pendidikan dan pengajaran yang berlangsung, terutama dikaitkan dengan konsistensi pada upaya pembentukan karakter santri. Sehubungan dengan itu, maka hal-hal yang dapat dipermasalahkan ialah: 1. Bagaimana pemahaman warga pesantren terhadap upaya pendidikan dan pengajaran berbasis karakter? 2. Apakah pesantren masih konsisten dalam pendidikan dan pengajaran dengan berorientasi pada upaya penanaman nilai-nilai karakter? 3. Bagaimana keterlibatan kyai dan ustadz dalam upaya pembentukan karakter santri? 4. Bagaimana keterlibatan santri terhadap program pembentukan karakter di ligkungan pondok pesantren? 5. Bagaimana proses pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren Al Ma’unah dengan berbasis karakter? 6. Bagaimana bentuk upaya penanaman nilai-nilai karakter pada kalangan santri di pesantren Al Ma’unah? 7. Faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menghambat terhadap pelaksanaan pendidikan dan pengajaran pesantren dengan berbasis karakter? C. Fokus Penelitian Mengacu pada identifikasi masalah di atas, penelitian ini difokuskan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan bagaimana konsep pendidikan dan pengajaran yang dikembangkan pondok pesantren Al Ma’unah dengan berbasisi karakter meliputi; visi dan misi, materi, metode dan program secara keseluruahn yang dikembangkan pesantren. Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
105
Kemudian bagaimana pelaksanaan pendidikan dan pengajarannya serta kendala apa saja yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan pesantren berbasis karakter di pondok pesantren Al Ma’unah Desa Kepuh Kecamatan Palimanan Kabupaten Cirebon. D. Tujuan Penelitian Berdasarkan focus masalah sebagaimana di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan konsep pendidikan pesantren berbasis karakter di pondok pesantren Al Ma’unah. 2. Mengkaji bentuk pelaksanaan pendidikan pesantren berbasis karakter di pondok pesantren Al ma’unah. 3. Menjelaskan apa saja kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan pesantren berbasis karakter di pondok pesantren Al Ma’unah. E. Manfaat Penelitian Hasil temuan dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pihak-pihak sebagai berikut: 1. Pengembangan dunia ilmu pengetahuan terutama pada bidang pendidikan dan pengajaran pesantren dengan berbasis karakter 2. Pondok pesantren; agar lebih mengetahui bagaimana konsistensi sistem pengajaran berbasis karakter yang dikembangkan 3. Masyarakat Desa Kepuh; agar lebih mengetahui bagaimana kensep dan pengembangan pembelajaran berbasis karakter pada pondok pesantren Al Ma’unah. 4. Aparat terkait meliputi Kuwu, Camat dan Bupati yang berhubungan dengan pemberdayaan pesantren sehingga dapat mengakomodir apa yang menjadi kepentingan dan kebutuhan pondok pesantren dan masyarakat.
Kajian Teori A. Konsep Pondok Pesantren Istilah pesantren, menurut Soegarda Poerbakawatja (dalam Haidar Putra Daulay, 2004:26) berasal dari kata santri, dengan mendapat awalan pe-dan akhiran an, berarti tempat tinggal santri. Menurutnya bahwa 106
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
pesantren berasal dari kata santri yaitu seseorang yang belajar agama Islam, sehingga dengan demikian pesantren mempunyai arti, tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam. Ada juga yang mengartikan pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bersifat “tradisional” untuk mendalami ilmu tentang agama Islam dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian. B. Tipologi Pesantren Menurut Mas’ud dkk, (2002:149-150) ada beberapa tipologi atau model pondok pesantren yaitu : 1. Pesantren yang mempertahankan kemurnian identitas aslinya sebagai tempat mendalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. 2. Pesantren yang memasukkan materi-materi umum dalam pengajarannya, namun dengan kurikulum yang disusun sendiri menurut kebutuhan dan tidak mengikuti kurikulum yang ditetapkan pemerintah secara nasional sehingga ijazah yang dikeluarkan tidak mendapatkan pengakuan dari pemerintah sebagai ijazah formal. 3. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan umum di dalamnya, baik berbentuk madrasah (sekolah umum berciri khas Islam di dalam naungan Kemenag) maupun sekolah (sekolah umum di bawah DEPDIKNAS) dalam berbagai jenjangnya, bahkan ada yang sampai Perguruan Tinggi yang tidak hanya meliputi fakultas-fakultas keagamaan meliankan juga fakultas-fakultas umum. Pesantren Tebu Ireng di Jombang Jawa Timur adalah contohnya. 4. Pesantren yang merupakan asrama pelajar Islam di mana para santrinya belajar di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi di luarnya. Pendidikan agama di pesantren model ini diberikan di luar jam-jam sekolah sehingga bisa diikuti oleh semua santrinya. Diperkirakan pesantren model inilah yang terbanyak jumlahnya. C. Sistem Pendidikan Pesantren Menurut Zamaksari Dhofier (1998:17) bahwa unsure-unsur pesantren paling tidak meliputi; pondok, masjid, santri, pengajaran kitabkitab klasik atau ilmu-ilmu agama dan kyai. Adapun dilihat dari pola pengajarannya sebagaimana pendapat Haidar Putra Daulay (2004:27-30) Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
107
terdiri dari; pola I, yaitu pesantren yang masih terikat kuat dengan sistem pendidikan Islam sebelum zaman pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Ciri-ciri dari pesantren pola 1 adalah; Pertama, pengkajian kitab-kitab klasik. Kedua, dengan menggunakan metode sorogan, wetonan, dan hafalan di dalam berlangsungnya proses belajar mengajar. Ketiga, tidak memakai sistem klasikal. Pengetahuan sesorang diukur dari sejumlah kitab yang telah pernah dipelajarinya dan kepada ulama mana ia berguru. Keempat, tujuan pendidikan adalah untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual, dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkahlaku yang jujur dan bermoral serta menyiapkan para santri untuk hidup dan bersih hati. Pola II, yaitu pesantren sebagai kelanjutan dari pola I. Jika Pola I inti pelajaran adalah pengkajian kitab-kitab klasik dengan menggunakan metode sorogan, wetonan, dan hafalan. Sedangkan, pada pesantren Pola II lebih luas dari itu. Pada pesantren Pola II inti pelajaran tetap menggunakan kitab-kitab klasik yang diajarkan dalam bentuk klasikal dan nonklasikal. Pola III, yaitu pesantren yang di dalamnya program keilmuan telah diupayakan menyeimbangkan antara ilmu agama dan umum. Ditanamkan sikap positif terhadap kedua jenis ilmu itu kepada santri. Selain itu, ciri Pola III ini adalah adanya upaya penanaman berbagai aspek pendidikan seperti; kemasyarakatan, keterampilan, kesenian. Kejasmanian, kepramukaan dan pengembangan masyarakat. Pola IV, yaitu pesantren yang mengutamakan pengajaran ilmu-ilmu keterampilan di samping ilmu-ilmu agama sebagai mata pelajaran pokok. Pesantren ini mendidik para santrinya untuk memahami dan dapat melaksanakan berbagai keterampilan guna dijadikan bekal hidupnya. Dengan demikian, kegiatan pendidikannya meliputi kegiatan kelas, praktik di laboratorium, bengkel, kebun atau lapangan. Pola V, yaitu pesantren yang mengasuh beraneka ragam lembaga pendidikan yang tergolong formal dan nonformal. Pesantren ini juga dapat dikatakan sebagai pesantren yang lebih lengkap dari pesantren yang telah disebutkan di atas. Kelengkapannya itu, ditinjau dari segi keanekaragaman bentuk pendidikan yang dikelolanya.
108
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
D. Pendidikan Karakter dalam Islam Istilah karakter sebagaimana didefinisikan oleh Ryan dan Bohlin (dalam Majid & Andayani, 2012:11) bahwa secara therminologi mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), , mencintai kebaikan (loving the good) dan melakukan kebaikan (doing the good). Dalam pendidikan karakter, kebaikan itu seringkali dirangkum dalam sederet sifat-sifat baik. Dengan demikian, maka pendidikan karakter adalah sebuah upaya untuk membimbing perilaku manusia menuju standar-standar baku. Dalam Islam tidak ada disiplin ilmu yang terpisah dari etika-etika Islam. Dan pentingnya komparasi antara akal dan wahyu dalam menentukan nilai-nilai moral terbuka untuk diperdebatkan. Bagi kebanyakan muslim segala yang dianggap halal dan haram dalam Islam dipahami sebagai keputusan Allah tentang benar dan baik. Dalam Islam terdapat tiga nilai utama, yaitu akhlak, adab dan keteladanan. Akhlak merujuk kepada tugas dan tanggung jawab selain syari’ah dan ajaran Islam secara umum. Sedangkan term adab merujuk kepada sikap yang dihubungkan dengan tingkahlaku yang baik. Dan keteladanan merujuk kepada kualitas karakter yang ditampilkan oleh seorang muslim yang baik, mengikuti keteladanan nabi Muhammad SAW. Ketiga nilai inilah yang menjadi pilar pendidikan karakter dalam Islam. E. Akhlak atau Karakter Pesantren Kata “akhlak” dalam bahasa Indonesia lebih dimaknai sebagai budi pekerti, sopan santun atau kesusilaan. Dalam bahasa Inggris, kata “akhlak” diidentikan dengan kata “moral” atau “ethic” yang berarti adat kebiasaan. Namun demikian, akhlak di pesantren dilihat dari kedudukannya sebagaimana penuturan Tamyiz Burhanudin (2001:42), paling tidak meliputi; (1) akhlak sebagai amalan utama disbanding lainnya (2) Akhlak sebagai media untuk menerima nur dan ilmu Allah dan (3) akhlak sebagai sarana mencapai ilmu manfa’at. Di lihat dari prinsip pengajarannya, pesantren lebih menitikberatkan pada prinsip ibadah, amar ma’ruf nahi munkar, mengagungkan ilmu, pengamalan, hubungan orang tua-anak, estafet, kolektifitas, kemandirian dan kesederhanaan. Adapun metode pendidikan akhlak setidaknya dapat Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
109
lakukan melalui; (1) metode keteladanan, (2) latihan dan pembiasaan, (3) mengambil pelajaran (ibrah), (4) nasehat (mauidzah) (5) kedisiplinan (6) pujian dan hukuman (targhib wa tahdzib). F. Hasil Penelitian yang Relevan Studi Sujari (2007) menemukan bahwa dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia, pendidikan pondok pesantren tradisional merupakan bagian tak terpisahkan dari pendidikan nasional yang memberikan pencerahan bagi peserta didik secara integral, baik kognitif (knowlagde), afektif (attucude) maupun psikomotorik (skill). Sedangkan Patoni (2007) menyebutkan bahwa selain mempertahankan kitab-kitab Islam klasik sebagai upaya pelestarian khazanah yang lama, pondok pesantren juga lebih progresif memasukan pelajaran-pelajaran umum. Pada pondok pesantren Tebuireng telah dikembangkan pembahar uan terhadap kurikulum dan sistem pengajarannya. Sementara itu, Ali Saefullah (1995) dalam mengkaji tentang pondok modern Gontor Darussalam menunjukan bahwa meskipun telah modern dalam sistem pendidikan dan pengajarannya, lembaga ini tetap mempertahankan ideologi pendidikan pondok, dengan harapan dapat dikembangkan nilai-nilai positif yang tersimpul di dalamnya dan dipertahankan kontinuitas sejarah dengan lembaga pendidikan pondok pesantren tradisional. Adapun Saleh Widodo (11995) dalam meneliti pesantren Darul Falah berkesimpulan bahwa pergaulan antara santri, ustadz dan karyawan cukup erat, karena mereka hidup dalam satu perkampungan. Saling berkunjung di antara mereka merupakan hal yang umum dilakukan. Pergaulan seperti itu bisa memberikan pengaruh terhadap hasil pendidikan yang ditujukan pada pembentukan pribadi yang bisa menjadi Pembina perubahan.
Metode Penelitian A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pondok Pesantren Al Ma’unah Desa Kepuh Kecamatan Palimanan Kabupaten Cirebon, dengan waktu pelaksanaan selama dua bulan yaitu, awal bulan Mei 2012 sampai dengan akhir bulan Juli 2012 110
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kualitatif. Karakteristik penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Biklen (1982:18), antara lain; 1) penelitian kualitatif bersifat deskriptif, artinya data terurai dalam bentuk kata-kata; 2) peneliti merupakan instrument kunci; 3) analisa data cenderung secara induktif, dan 4) “makna” merupakan suatu yang esensial bagi pendekatan kualitatif. Bentuk deskriptif kualitatif yakni berusaha mendeskripsi dan menginterpretasi apa yang ada, kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang sedang tumbuh, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi atau kecenderungan yang sedang berkembang (Robert, 1994:15). Berkaitan dengan itu penelitian ini dimaksudkan bukan untuk mengkaji hipotesis tetapi hanya menggambarkan “apa adanya” tentang suatu variable, gejala atau keadaan, karena penelitian deskripsi berupaya mencermati sedetail mungkin individu atau fenomena, gejala sebuah kelompok dan sebagainya atau sebuah unit secara mendalam (Lexy J. Moleong, 2004:18). Pendekatan deskriptif dalam penelitian ini bertujuan untuk mempertahankan keutuhan dari objek, artinya data yang dikumpulkan dipelajari sebagai suatu keseluruhan yang berintegrasi. Dalam hal ini akan berfokus pada kajian tentang konsistensi system pengajaran di pesantren dengan berbasis karakter di pondok pesantren Al Ma’unah Desa Kepuh Kecamatan Palimanan Kabupaten Cirebon. Subjek dalam penelitian ini adalah terdiri dari 1 orang kyai, 5 orang ustadz, 10 santri 3 orang tokoh masyarakat/tokoh agama dan Kepala Desa. Dengan demikian, jumlah total dari keseluruhan responden berjumlah 19 orang. Pertimbangan yang mendasari diambilnya responden sebagaimana dikemukakan di atas adalah pertimbangan waktu dan biaya penelitian, serta karakteristik responden yang relative homogen, sehingga jumlah ini dianggap cukup representative dalam memberikan informasi yang diperlukan. Responden yang dipilih dalam penelitian ini berdasarkan teknik purposive sampling, di mana sampel diambil bukan tergantung pada populasi, melainkan sesuai dengan tujuan penelitian. Sebagaimana dikemukakan oleh Moleong (1998:81) bahwa penggunaan teknik Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
111
purposive sampling adalah peneliti cenderung memiliki informasi yang dianggap tahu dan dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap serta mengetahui masalahnya secara mendalam. B. Teknik Pengumpulan Data Berdasarkan metode penelitian yang telah diuraikan di atas, maka teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Observasi Observasi ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai lokasi penelitian, karakteristik informan, dan bentuk konsistensi tanggung jawab pendidikan agama dalam keluarga di lokasi penelitian 2. Studi Dokumentasi Studi dokumentasi, ini dilakukan untuk memperoleh data tentang kondisi objektif dari lokasi penelitian, meliputi keadaan geografis, keadaan informan dan lain sebagainya. C. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data Untuk menetapkan keabsahan data agar diperoleh temuan dan interpretasi yang absah atau memenuhi taraf kepercayaan yang tinggi diperlukan teknik-teknik pemeriksaan keabsahan data. Tiga cara dikemukakan oleh Cuba dalam Moloeng, yaitu; 1) memperpanjang waktu tinggal 2) Observasi dengan tekun, dan 3) menguji secara triangulasi (Noeng Muhajir, 1992:153) atau dapat juga ditambah dengan teknikteknik seperti pembahasan syarat, kecukupan refresial dan sebagainya. Dalam penelitian ini, selalu melakukan observasi mendalam secara tekun sekaligus memperpanjang kebersamaan dalam berbagai kesempatan, gejala dan penggunaan triangulasi (khususnya triangulasi sumber dan triangulasi penyidik). Dengan trianggulasi sumber peneliti membandingkan dan mengecek balik derajat keabsahan data-data atau informasi yang peneliti peroleh melalui waktu dan alat yang berbeda, sedangkan dengan triangulasi penyidik, peneliti dapat bekerjasama dengan pengamat lain atau peneliti lain atau ahli dalam masalah tersebut, sehingga dapat membuat mengurangi kemencengan dalam pengumoulan data. 112
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
D. Tenik Analisa Data Analisa data adalah suatu proses melihat secara mendalam dan menata secara sistematis catatan-catatan hasil observasi, wawancara dan lain-lain, catatan lapangan, juga bahan-bahan lain untuk meningkatkan pemehaman peneliti tentang apa yang diteliti dan dapat menyajikan kepada orang lain (Bogdan dan Biklen, 1982:28). Analisa data dalam penelitian ini dilakukan selama dan setelah pengumpulan data. Hal ini dilakukan terus sampai dengan akhir penelitian, yakni sampai dengan tahap penyusunan laporan.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada bagian ini disajikan hasil penelitian dan pembahasan. Hasil penelitian menyajikan deskripsi lokasi penelitian dan profil pondok pesantren Al Ma’unah Desa Kepuh Kecamatan Palimanan Kabupaten Cirebon. Sedangkan pembahasan menyajikan hasil penelitian terutama terkait dengan konsistensi pesantren dalam penerapan pendidikan dan pengajaran berbasis karakter. A. Sejarah Pondok Pesantren Al Ma’unah Secara geografis, pondok pesantren Al Ma’unah terletak di Desa Kepuh Blok Sembung Kecamatan Palimanan Kabupaten Cirebon. Sebelah barat dibatasi dengan jalan baru blok pedut yang menghubungkan desa Kepuh dengan Panongan, sebelah utara dibatasi dengan makam penduduk blok Sembung, sebelah selatan berbatasan dengan tanah perkebunan masyarakat dan sebelah timur berbatasan dengan pemukiman penduduk blok sembung. Pondok pesantren Al Ma’unah meskipun posisinya berada sekitar 100 meter ke dalam dari Jln. By Pass Ki Ageng Tepak Palimanan Keramat - Cirebon, secara geografis termasuk strategis karena mudah untuk dijangkau dari berbagai arah kendaraan baik roda dua, tiga ataupun empat. Dengan posisi yang strategis itu, sehingga tidak sedikit santri yang belajar di pondok Al Ma’unah berasal dari berberbagai daerah seperti Jakarta, Karawang, Bekasi, Tegal, Brebes, Indramayu Kuningan, Majalengka bahkan dari Palembang, Lampung termasuk masyarakat sekitar terdekat di Kota atau Kabupaten Cirebon..
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
113
Berdasarkan historis, sebagaimana penuturan pengasuh pondok pesantren Al Ma’unah yakni K.H. Bahrudin Yusuf (55 th) (Wawancara tgl. 11 Oktober 2012), bahwa cikal bakal berdirinya pondok pesantren Al Ma’unah adalah pertamakali didirikannya pondok pesantren di Blok Sembung Desa Kepuh oleh Kyai Hammad pada sekitar tahun 1700 Masehi yang lalu, dengan jumlah santri sekitar 30 orang. Apa yang dilakukan Kyai Hammad pada dasarnya merupakan kelanjutan dari Syekh Pasir Raga Depok yang masih ada keterkaitan dengan silsilah dari Syekh Syarif Hidayatullah Cirebon. Namun demikian, setelah masa Kyai Hammad, pondok pesantren tersebut yang belum jelas namanya mengalami kevakuman hingga dua periode. Pada peridoe ketiga, pesantren tersebut dilanjutkan oleh Kyai Nurhamam kemudian Kyai Juned sampai tahun 1930-an. Setelah itu dilanjutkan oleh Kyai Abdurrahim pada tahun 1974, terus dilanjutkan oleh putra kyai Muhammad tahun 2002. Kondisi pesantren tersebut relatif masih belum berkembang, sampai pada akhirnya setelah Kyai Muhammad wafat tahun 2003, terus dikembangkan menjadi pesantren Kedungdampul blok Sembung. Suatu ketika seorang dermawan bernama H. Samaun bin H, Mansur dari Balerante, melalui seorang tokoh masyarakat dan sekaligus Nyai yaitu Hj. Ipah menawarkan pada KH. Bahrudin Yusuf untuk kesediaannya memelihara tanah milik H. Sama’un yang ketika itu masih berupa jurang. Dengan tawaran itu, K.H. Bahrudin Yusuf menerima dengan ikhlas tanah itu sebagai bentuk wakaf dari H. Sama’un. Itulah kemudian, pada tahun 2004 di atas tanah itu dirintis oleh KH. Bahrudin untuk dibangun pondok pesantren dan madrasah sebagai perluasan dari pondok pesantren sebelumnya. Sebagai bentuk penghormatan kepada yang wakaf, maka nama H. Sama’un diabadikan menjadi nama pondok pesantren yaitu Al Ma’unah. Jadi, nama Al Ma’unah diambil dari nama orang yang wakaf tanah yaitu H. Sama’un atau H. Ma’un menjadi Al Ma’un dan dilajutkan Al Ma’unah. Pada tahun 2004 pula pondok pesantren Al Ma’unah mulai dipadukan dengan pendidikan formal mulai dari TK , Madrasah Diniyah, Tsanawiyah dan Aliyah. Sementara itu, materi yang diajarkan meliputi antara lain; dasar huruf-huruf Arab, meyuarakan huruf Arab , Tata bahasa Arab, 114
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
Shorof, Sastra Arab,, Ushul Fiqih, Materi-materi akhlak, dan lain-lain. Adapun metode yang dikembangkan yaitu; hafalan, musyawaraoh, sorogan, bandongan, dan praktek langsung dengan mengalami. Dilihat dari struktur kepengurusan pondok pesantren Al Ma’unah, maka secara organisatoris tergambar sebagaimana terlampir. B. Konsep Pondok Pesantren Al Ma’unah dalam Mendidik dan Mengajar Santri Berbasis Karakter Istilah karakter yang diidentikan dengan akhlak ataupun moral, bagi kalangan pesantren sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru. Sejak dahulu ketika pertamakali pesantren dirintis oleh para wali di Indonesia hingga sekarang, orientasi pendidikan dan pengajaran pesantren diarahkan kepada upaya pembentukan akhlak, etika, moral atau sekarang yang sedang hangat diperbincangkan ialah pembentukan karakter. Namun demikian, seiring dengan arus perkembangan zaman, pola dan system pendidikan pesantren dari waktu ke waktu terus mengalami perkembangan, perubahan dan pergeseran. Mulai dari model pesantren bercorak salaf hingga khalaf, bahkan sekarang pesantren terus mengalami perkembangan yang semakin luas dan kompleks. Perubahan dan perkembangan terjadi dalam berbagai hal mulai dari kurikulum, pengelolaan, materi, metode, media dan lainnya. Sehingga dengan demikian, dimungkinkan berdampak pula pada bagaimana konsistensi pesantren dalam mengembangkan pendidikan dan pengajaran berbasis akhlak atau karakter. Pada bagian ini, sebelum dibahas tentang bagaimana pelaksanaan pendidikan pesantren dengan berbasis karakter, terlebih dahulu dibahas tentang konsep pendidikan berbasis karakter di pondok pesantren Al Ma’unah Desa Kepuh Kec. Palimanan Kabupaten Cirebon. Ketika peneliti berkunjung ke kediaman pengasuh pondok pesantren Al Ma’unah, sore itu hari Sabtu tanggal 15-9-2012 pkl. 15.00 Wib. Peneliti berkesempatan untuk mewawancara K.H. Bahrudin Yusuf (55 Thn) seputar konsep pendidikan dan pengajaran pondok pesantren Al Ma’unah. Punten… menawi kula kirang sopan… (Bahasa Jawa; maksudnya ma’af bila Saya kurang sopan) tutur peneliti. Niiki kang Bach…ari selerese konsep pesantren puniki dalam mendidik lan ngajar santri ingkang berdasar akhlak atanapi Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
115
karakter niku kados pundi nggih? (Maksudnya; Ini kang Bach atau Kyai sesungguhnya persoalan konsep pendidikan dan pengajaran yang berbasis akhlak atau karakter di pondok ini seperti apa?). Bhrd menjawab:”… pertami menurut kula teng riki ya konsepe ndidik lan ngajar niku kepripun saged mbakta santri menuju kersane gusti Allah Ta’ala. Ya temtose saged dijabaraken secara luas…kaping kalie pripun saged mbentuk akhlak atanapi capene karakter santri ing dalem segala perilaku kehidupan…(Maksudnya: pertama, menurut saya (Bhrd) di pondok ini, konsep mendidik dan mengajar itu bagaimana bisa membawa santri menuju Allah SWT… Ya tentunya bisa dijabarkan secara luas. Kedua, bagaimana bisa membentuk akhlak atau karakter santri dalam segala hal perilaku kehidupan). Di pondok pesantren Al Ma’unah, menurut penuturan Pengasuh (Bhrd) bahwa konsep terpenting dalam mendidik dan mengajar santri ialah bagaimana berupaya dalam membawa santri agar kenal dan dekat dengan Tuhannya. Untuk dapat kenal dan dekat dengan Tuhannya, maka para kyai dan ustadz dituntut agar dapat menjadi mediator atau fasilitator. Sementara itu, seberapa besar kedekatan santri dengan Tuhannya tercermin pada bagaimana akhlak atau karakter yang muncul baik terhadap Tuhan maupun sesamanya. Dalam kehidupan, yang menjadi standar pembentukan akhlak atau karakter di pondok pesantren Al Ma’unah menurut Bhrd ialah mengacu pada akhlak atau karakter sebagaimana yang pernah ditunjukan oleh para nabi, sahabat, ulama hingga sekarang para kyai dan para ustadz. Perilakuperilaku positif tersebut kiranya menjadi standar contoh dan sekaligus inspirasi bagi para santri dalam berperilaku. Sementara itu, terkait dengan konsep pendidikan dan pengajaran pesantren berbasis karakter atau akhlak, seorang ustadz yakni Ust. Agus (38 th) yang selanjutnya disebut Ags dalam kesempatan lain menegaskan bahwa pondok pesantren itu adalah bengkelnya akhlak. Dengan demikian, dalam pendidikan dan pengajaran sangat mungkin berkait dengan materi atau muatan akhlak atau karakter. Menurutnya, ketika di rumah para orang tua tidak sepenuhnya dapat membentuk dan menjaga anak-anaknya untuk berakhlak atau berkarakter, maka di pondok pesantrenlah para santri ditanamkan untuk menjunjung tinggi akhlak. etika, moral atau yang sekarang disebut dengan karakter. 116
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
Secara substansial materi pengajaran yang terkait dengan akhlak atau karakter secara spesifik sebetulnya tidak dibahas dalam suatu kitab, akan tetapi secara implicit tersebar dalam berbagai pembahasan kitab. Menurut ustad Mudrik (30 th), selanjutnya disebut Mdrk menerangkan bahwa kitab yang dipelajari terkait dengan materi akhlak atau karakter antara lain; Ihya Ulumuddin, Ta’lim Muta’alim, Taisaril Khalaq, Adabun Nabawi, Hikam, Wasaya, dan lainnya, termasuk kegiatan dzikir yang secara berjama’ah diwudawamakan. Adapun dilihat dari metode pendidikan dan pengajarannya, sebagaimana penuturan Bhrd bahwa di pondok pesantren Al Ma’unah, materi disampaikan melalui metode sorogan, bandongan, hafalan, musyawarah, kerja bhakti dan tadabur alam. Sedangkan dalam rangka pendidikan dan pembinaan karakter atau akhlak didekati dengan metode pembiasaan, perintah, larangan, hukuman, teladan, praktek langsung dan kisah. Menurutnya metode tersebut tidak tertulis, tetapi secara aplikatif tercermin dalam berbagai kegiatan pondok pesantren. C. Konsistensi Pelaksanaan Pendidikan Pesantren Berbasis Karakter Pada hari Rabu siang, 17-10-2012 sekitar pkl. 13.00. Wib. Peneliti kembali mewawancarai Ust. Agus. Di kediamannya pondok pesantren Al Ma’unah, Ags mengatakan bahwa:”sampe seniki pondok pesantren Al Ma’unah boten nyukani materi khusus tentang moral atanapi karakter, namung perilaku sedinten-dinten niku diarahaken dateng pembentukan akhlak atanapi cape disebute karakter, mulai sing awit cara berpakaian, dahar, belajar, tilem lan sanese diawasi lan dikontrol”. (Maksudnya: hingga sekarang pesantren tidak memberikan materi khusus tentang moral, tetapi perilaku sehari-sehari diarahkan pada pembentukan karakter. Mulai dari mandi, berpakaian, sarapan, belajar sampe tidur dan lainnya diawasi dan dikontrol). Hal senada sebagaimana diungkapkan oleh Ust. Mudrik (28 th) bahwa para ustadz dalam mendidik santri tidak memberikan arahan secara detail, tentang apa, kenapa dan untuk apa? Akan tetapi langsung santri diarahkan untuk berbuat atau melakukan. Sehingga dengan demikian semua proses pendidikan yang dilakukan dan ditanamkan bersifat praktis. Menurut Mdrk, ketika santri diharuskan untuk berkopiah dan bersarung, Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
117
maka tidak pernah dibahas atau dikaji, bahkan ditanyakan oleh santri kenapa dan agar apa harus berkopiah dan bersarung. Demikian dibenarkan oleh seorang santri, yakni Anam (18 th). Menurut Anm para santri memakai sarung dan kopiah merasa bahwa itu selain merupakan kebiasaan di pondok pesantren juga bagian dari tata krama kesopanan santri. Para santri merasa tidak pernah dijelaskan oleh kyai atau ustadz. Lain halnya dengan Anm, ketika ditanya Lutfi (17 th) menuturkan bahwa memakai kopiah dan sarung bukan karena disuruh kyai atau ustadz, tetapi karena mengikuti kakak-kakak tingkat yang lebih dulu. Dalam proses pembelajaran, tempat penginapan, dapur, toilet dan lainnya antara laki-laki dan perempuan secara tegas dikelompokan dan dipisah. Di lingkungan pondok, terjadinya pertemuan antara laki-laki dan perempuan di luar kegiatan formal dianggap suatu hal yang tabu. Selain malu bila berdekatan antara laki-laki dan perempuan juga para santri takut bila ditindak oleh ustadz. Sebab, sebagaimana pernyataan Amir (17 th) seorang santri putra bahwa meskipun tidak tertulis, ustadz tegas menerapkan hukuman bagi yang melanggar kode etik di pondok pesantren. Meskipun tidak terjadwal secara tertulis, para santri sudah terbiasa disiplin dengan berbagai kegiatan yang ada di pondok. Sebagaimana keterangan dari Ust. Iman (42 th) bahwa selama belajar di pondok para santri putra dan putri terpola dengan kegiatan pondok mulai dari bangun tidur pagi sampai siang, sampai tidur lagi dan bangun lagi. Menurut Ust. Imn dan santri Alf, Fth, Msr dan Anm bahwa sejak bangun tidur terus shalat subuh, para santri melaksanakan shalat subuh berjama’ah dan membaca Al Qur’an dengan cara sorogan masing-masing kelompok 3 orang dengan dibimbing oleh ustadzah Nafisah (36 th) sampai pkl 06.00. Wib. Setelah itu para santri melakukan piket, mandi dan sarapan sampai pukul 07.00. Wib. Pada pkl. 07.00 Wib para santri berangkat ke sekolah yang lokasinya masih berada sekitar komplek pondok pesantren Al Ma’unsh. Kecuali yang tidak sekolah, mereka akan belajar tafsir Al Qur’an bersama Ust. Abdul Hakim (38 Th) pada pkl. 09.00 Wib sampai pkl. 12.00. Wib. Sedangkan mereka yang besekolah, pulang dari sekolah pkl. 12.30. Wib. 118
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
Dilanjutkan dengan makan dan shalat berjama’ah pada pkl. 13.30.. kemudian para santri diberi kesempatan istirahat sampai pkl.14.30 dan setleah itu, belajar atau mengkaji kitab nahwu sharaf bersama kyai dan ustdz secara berkelompok sanpai pkl. 16.00. Wib. Pada pkl. 16.00 Wib tersebut santri melaksanakan shalat Ashar berjama’ah. Dan dilanjutkan piket sampai pkl. 17.00. Wib. Kemudian belajar bahasa Arab bersama Ust. Imron, LC dan Ust. H. Karyono sampai pkl. 17.30. Wib. Selesai itu, santri mandi dan menjelang shalat magrib berjama’ah para santri membaca asma’ul husna secara bersama-sama tetapi terbagi dalam kelompok putra di mushala dan kelompok putrid di Aula Putri. Shalat Magrib dilaksanakan secara berjama’ah putra dan putrid, kemudian setelah itu mujahadah Al Qur’an secara bersama-sama dengan bimbingan K.H. Bahrudin Yusuf, sampai masuk waktu Isya. Tiba saatnya waktu Isya para santri shalat berjama.ah dilanjutkan kemudian dengan belajar Al Qur’an bersama Ustadzah Nafisah dan Ust. H. Karyono sampai pkl. 20.00 Wib. Selanjutnay mengkaji kitab sesuai jadwal yang ditentukan bersama K.H. Bahrudin Yusuf sampai pkl. 21.00 Wib. Selesai mengkaji kitab dilanjutkan dengan musyawarah oleh para santri yang dipimpin seorang santri yang ditunjuk sampai pkl. 22.00. Wib. Seetelah itu, tepat pkl. 22.00 Wib para santri kembali ke pondok penginapan dan belajar sekaligus. Para santri bangun tidur pkl. 04.30. Wib langsung ke Aula untuk membaca Asmaul husna. Kemudian mandi dan shalat shubuh berjama’ah bersama kyai atau ustadz. Demikian seterusnya berjalan secara rutin di pondok pesantren Al Ma’unah. Menurut Ust. Ags bahwa semua program yang dilaksanakan di pondok pada dasarnya mengandung unsur pendidikan dan pengajaran. Artinya, apa yang menjadi target dalam pembinaan akhlak atau karakter sudah inklud di dalamnya. Proses pembiasaan, perintah, larangan dan hukuman terefleksikan dalam program kegiatan pesantren. Selain program yang dilaksanakan santri secara rutin, pondok pesantren Al Ma’unah juga melaksanakan kegiatan mujahadah setiap malam Jum’at pkl. 23.00 Wib sampai dengan pkl. 12.30. Wib. Menuurt Ust. Mudrik bahwa kegiatan mujahadah tersebut diikuti tidak hanya oleh kalangan santri, tetapi juga oleh kalangan masyarakat yang ada di sekitar Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
119
pondok pesantren. Beberapa orang peserta mujahadah dari kalangan masyarakat yakni Atyh (48 Th) , Symn (50 Th) dan Amn (52 Th) menyatakan bahwa ada sekitar 80-an lebih peserta mujahadah dari kalangan masyarakat. D. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan pesantren berbasis karakter di Pondok Pesantren Al Ma’unah Secara umum pendidikan dan pengajaran pesantren berbasis karakter atau akhlak di pondok pesantren Al Ma’unah berjalan sesuai dengan program yang dicanangkan. Namun demikian, seiring dengan progam kegiatan yang dikembangkan, dalam hal tertentu disinyalir masih saja terdapat kendala atau hambatan. Setidaknya kendala atau hambatan itu dapat dipetakan dalam faktor-faktor penyebab internal dan eksternal. Selengkapnya, sebagaimana dipaparkan dalam uraian berikut. 1.
Faktor Penyebab Internal Pada saat Ust. Abdul Majid (37 Th) selesai mengajar kitab sekitar pkl. 16.00 Wib. kepada peneliti menerangkan bahwa beberapa kendala dalam proses pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren Al Ma’unah yang disebabkan oleh faktor internal antara lain; motivasi belajar santri yang relatif rendah dan latar belakang kehidupan santri yang relatif heterogen atau beragam. Menurut Ust. Ags yang juga diamini oleh Ust. Mdrk, bahwa dukungan fasilitas penidikan dan pembelajaran sampai hari ini disinyalir masih belum memadai secara optimal. Meskipun secara umum apa yang menjadi kebutuhan pondok untuk tetap konsisten pelakukan pendidkan dan pengajaran berbasis karakter atau akhlak dapat dibilang sudah cukup karena telah tersedianya asrama penginapan, mushala, aula, lapangan dan lainnnya. 2. Faktor Penyebab External Kendala pondok pesantren Alma’unah dalam pendidikan dan pengajaran berbasis karakter atau akhlak, selain faktor internal sebagaimana di atas, juga disebabkan oleh faktor eksternal. Beberapa faktor dari luar yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pendidikan dan pengajaran pesantren berbasis karakter atau akhlak, antara lain; 120
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
sebagaimana pernyataan Ust. H. Kryn bahwa faktor lingkungan masyarakat yang mengitari lingkungan pondok pesantren memberi dampak tersendiri bagi perilaku dan pandangan kehidupan santri. Bagaimana corak dan warna kehidupan masyarakat baik dalam berbicara, bersikap atau bertingkahlaku akan memberi pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap sikap dan perilaku kehidupan santri. Selanjutnya, kendala lain yang membutuhkan kesiapan pondok pesantren untuk mengahadapinya ialah globalisasi dan ar us perkembangan zaman. Godaan duniawi untuk hidup maju seperti orang lain, bisa bekerja dan mendapatkan penghasilan yang besar sebagaimana orang pada umumnya merupakan tantangan tersendiri tidak saja bagi para santri, tetapi juga para ustadznya. Itulah makanya dengan pendekatan mujahadah melalui dzikir dan perenungan yang dilaksanakan di kalangan santri dengan bimbingan muassis (pengasuh pondok pesantren) diharapkan bisa membawa para santri untuk tetap lebih istiqomah dalam belajar dan mendalami ilmu agama. Dengan suatu keyakinan bahwa bila kita mencari dunia maka hanya dunia yang kita dapat, tetapi jika akherat yang kita kejar maka insya Allah tidak hanya akherat, dunia pun akan kita raih. Faktor kendala lain yang juga memberi pengaruh terhadap sikap dan perilaku santri adalah dukungan orang tua, keluarga dan lingkungan masyarakat di mana para santri tinggal. Ketika di pondok mereka merasa diawasi dan dikontrol oleh para ustadz dan sistem pondok, tetapi di rumah mereka seperti merasa bebas dan bisa untuk istirahat dari sistem pondok pesantren. E Pembahasan Berdasarkan paparan di atas, maka jelaslah bahwa persoalan pesantren sampai hari ini masih menarik untuk terus diperbincangkan. Pesantren memiliki peranan penting dalam upaya pembentukan sumber daya manusia berkualitas, yaitu sumber daya manusia yang unggul baik dalam segi perilaku sosial, moral maupun spiritual. Sejak dahulu hingga sekarang pesantren telah konsen dalam upaya penanaman nilai-nilai akhlak di kalangan santri. Bahkan pesantren telah mampu tampil menjadi agent of change di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
121
Pondok pesantren Al Ma’unah di Desa Kepuh Kecamatan Palimanan Kabupaten Cirebon merupakan salah satu pondok salaf yang di dalamnya dikembangkan jalur pendidikan formal mulai dari TK hingga Madrasah Aliyah. Berbagai program sebagaimana di lembaga-lembaga yang lain, pondok pesantren Al Ma’unah mendorong para santrinya untuk mendalami bukan saja ilmu-ilmu agama, akan tetapi juga ilmu-ilmu umum. Hal ini terlihat misalnya dengan penuangan materi-materi atau ilmu umum pada lembaga pendidikan formal mulai dari TK hingga Aliyah. Namun demikian, dalam konteks pendidikan dan pengajaran yang sifatnya kepesantrenan, sebagaimana paparan di atas bahwa pondok pesantren Al Ma’unah masih tetap konsisten pada model pembelajaran pesantren salafi dengan berorientasi pada upaya pembentukan karakter di kalangan santri. Secara realitas bagaimana konsistensi sistem pendidikan dan pengajaran dengan berbasis pada upaya pembentukan karakter tersebut terlihat misalnya pada konsep pendidikan dan pengajaran yang dikembangkan, proses pelaksanaannya serta upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Secara detail bagaimana konsistensi sistem pendidikan pesantren dengan berbasis karakter tercermin di pondok pesantren Al Ma’unah dapat diuraikan sebagaimana berikut. Pertama, pada segi konsep pendidikan dan pengajaran. Bagi pesantren Al Ma’unah, konsep pendidikan dan pengajaran merupakan suatu keniscayaan. Sebab, seperti apa konsep pendidikan dan pengajaran pesantren yang diterapkan pada dasarnya akan berdampak terhadap output yang dihasilkan. Konsep pendidikan dan pengajaran pesantren tergantung pula pada bagaimana visi dan misi yang dikembangkan. Dengan demikian, sampai sekarang visi dan misi yang masih melekat pada pesantren Al Ma’unah misalnya ialah pengembangan moral, etika, atau akhlak yang semuanya bermuara pada upaya pembentukan karakter. Sejak awal berdiri hingga sekarang, pesantren Al Ma’unah dalam mengembangkan pendidikan dan pengajaran senantiasa berorientasi pada upaya pembentukan karakter. Namun demikian, seiring dengan pesatnya arus perkembangan zaman, meskipun pondok pesantren berkembang sesuai dengan karakter, latar belakang dan kondisi program yang ada, namun dalam realitas dimungkinkan pula bahwa pondok pesantren dalam aktualisasinya berhadapan dengan derasnya gempuran arus globalisasi 122
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
dan informasi. Sehingga dengan demikian, seberapa kuat pondok pesantren Al Ma’unah dalam menjaga konsistensi pada dasarnya menjadi tolok ukur tersendiri bagi pondok pesantren apakah konsen terhadap upaya penananman nilai-nilai akhlak atau karakter pada santri-santrinya ataukah tidak. Pondok pesantren Al Ma’unah, secara historis sesungguhnya memiliki masa perkembangan yang demikian panjang. Sejak berdiri hingga aekarang pondok pesantren Al Ma’unah masih tetap berada pada pengembangan visi dan misi yang berorientasi pada upaya pembentukan karakter. Hal itu tercermin misalnya dengan suatu ungkapan kyai sebagai pengasuh bahwa:”...pondok pesantren Al Ma’unah senantiasa membawa para santrinya untuk menuju Allah SWT”. Dengan itu, maka sesungguhnya memperlihatkan bahwa pondok pesantren Al Ma’unah masih tetap konsisten terhadap penanaman nilai-nilai karakter pada santri. Demikian pula pernyataan seorang ustadz bahwa pondok pesantren Al Ma’unah merupakan “bengkel akhlak”. Maka sejatinya bahwa upaya pembentukan karakter bagi kalangan santri menjadi garda terdepan dalam upaya pengembangan program pondok pesantren. Konsistensi dan komitmen tersebut tampaknya dipahami oleh semua warga pondok pesantren meskipun tidak dituangkan dalam bentuk tulisan atau program pondok pesantren secara jelas. Muatan program upaya pembentukan karakter bagi kalangan santri pondok pesantren Al Ma’unah sebetulnya secara konsepsional telah terfleksikan baik dalam bentuk tekstual maupun kontekstual. Secara tekstual terlihat sebagaimana dalam materi-materi kitab kuning mulai dari kitab Durrah al-Nashihin, Izhah al-Nasyi-in, Bidayah al-Hidayah, Risalah al-Mu’awanah, Irsyad al-‘Ibad,Nasha-ih al-‘Ibad, al-Mizan al-Kubra hingga dengan Ihya Ulum al-Din, Ihya, Ta’lim Muta’alim, Taisaril Khalaq, Adabun Nabawi, Hikam, Wasaya dan lain-lain. Sementara secara kontekstual tercermin pada bagaimana sistem, teknik dan strategi pengajaran dan pendidikan yang dikembangkan pesantren. Selain melalui metode pembiasaan, perintah, larangan, hukuman, hadiah, kisah, keteladanan dan lainnya, juga para ustadz dan kyai di pondok pesantren Al Ma’unah cenderung membawa santri untuk belajar sambil melakukan (learning by doing). Santri diminta melakukan sesuatu semata-mata merupakan bagian dari proses pembelajaran dan pendidikan. Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
123
Kedua, pelaksanan pendidikan dan pengajaran pesantren dengan tetap konsisten pada upaya pembentukan karakter. Dalam sistem pengajaran kitab-kitab klasik yang sifatnya tekstual, muatan materi yang menekankan pada nilai-nilai karakter disampaaikan oleh kyai dan para ustadz melalui metode sorogan, bandongan, muzdakaroh dengan melakukan telah dan pemahaman terhadap kisah-kisah. Namun demikian, secara real internalisasi nilai-nilai akhlak tentang kesopanan, unggah ungguh, tata krama sebagaimana yang tertuang dalam Al Qur’an, hadits dan kitab direfleksikan langsung dalam bentuk perilaku, sikap dan perbuatan semua warga pesantren dalam kehidupan sehari-hari selama di pondok pesantren. Perilaku, sikap dan budi pekerti sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para Nabi, Rasul, Kyai dan Ustadz kirannya menjadi bahan acuan para santri dalam berpeirlaku sehari-hari ketika di pondok pesantren Al Ma’unah. Bagi para santri ditanamkan mulai sejak mereka bangun tidur, mandi, shalat, makan, bergaul, belajar, hingga tidur lagi. Bahkan dalam pengembangan dan pembentukan karakter, pondok pesantren Al Ma’unah menyelenggarakan kegiatan mujahadah berupa pengajian Al Qur’an bagi para santri yang dilaksaakan setiap ba’da Isya dengan bimbingan langsung kyai dan ustadz. Selain itu, kegiatan mujahadah dilaksanakan pula pada setiap malam Jum’at pkl. 24.00 Wib sampai dengan pkl. 01.30 yang pesertanya tidak hanya para santri, tetapi juga warga masyarakat yang berada di sekitar pondok pesantren Al Ma’unah. Kegiatan mujahadah yang diselenggarakan dengan membaca istighfar, ayat kursi, shalawat dan surat Al Qur’an pada dasarnya berupaya membawa masyarakat dan santri untuk dekat dengan Tuhannya. Melalui dzikir, do’a dan perenungan yang dilakukan diharapkan para jama’ah menjadi lebih khidmat, khausyu dan tenang jiwanya, yang dalam bahasanya kyai sebagai pembimbing ialah taththma’innul qulub. Selain hal di atas, untuk dapat membentuk karakter santri agar menjadi baik, tentunya tidak hanya cukup dengan pendidikan dan pembelajaran yang sifatnya tela’ah materi, dzikir dan do’a. Tetapi lebih dari itu melalui metode keteladanan, pembiasaan, perintah, larang dan hukuman yang semuanya diaktualisasikan secara kongkrit dan langsung. Sepanjang cara-cara tersebut dilaksanakan secara serius dan konsisten, 124
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
maka dengan sendirinya upaya internalisasi nilai-nilai akhlak sebagai upaya pembentukan karakter dapat terwujud. Secara rieal upaya-paya tersebut, terlihat misalnya pada bagaimana kyai sebagai pengasuh yang setiap mengajar materi kitab selalu menggunakan pengantar bahasa krama Cirebon. Hal tersebut dimaksudkan agar para santri dapat belajar secara langsung bagaimana berbahasa secara sopan, santun dan baik dengan siapapun. Di samping itu pula diterapkan bagaimana cara berbusana yang sopan, disiplin waktu, jujur, peduli terhadap kebersihan dan kerapihan dengan diadakan kegiatan piket ruitn, kerja bakti, baksos, hati-hati dalam bergaul, dan lain-lain yang semuanya harus ditaati dan dipatuhi. Sebab bila tidak, maka santri akan dikenai hukuman mulai dari hafalan, membersihkan yang kotor, dibotakin, hingga dipanggil orang tuanya, dan lain-lain. Ketiga, kendala pondok pesantren yang harus dihadapi. Sebagaimana paparan di atas, jelaslah bahwa di era modern sekarang ini tantangan terhadap upaya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran semakin berat dan kompleks. Terlebih tantangan terhadap upaya pembentukan karakter peserta didik. Bagi pondok pesantren Al Ma’unah tantangan yang harus dihadapi juga demikian banyak, mulai dari arus perkembangan zaman yang ditandai dengan semakin tingginya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, arus globalisasi dan informasi, dukungan biaya, sarana dan prasarana, motivasi belajar, lingkungan keluarga, masyarakat, dan lain-lain. Namun demikian, sebagaimana penuturan kyai dan ustadz di pondok pesantren Al Ma’unah bahwa apapun bentuknya kendala dan hambatan yang dihadapi bagi pondok pesantren dalam upaya membentuk karakter santri sesungguhnya tidaklak ada masalah. Sebab, sepanjang kita konsisten, stiqomah dan ikhlash untuk menanamkan nilai-nilai akhlak pada diri santri, maka dipastikan semua kendala apapun akan dapat ditaklukan. Bahkan menurutnya, justru dengan kendala-kendala yang berat itu kita akan semakin tertantang untuk dapat membuat upaya-upaya kita agar menjadi lebih berkualitas. Berdasarkan semua uraian di atas, maka dapatlah kita fahami bahwa dalam rangka pembentukan karakter santri, konsep pendidikan dan pengajaran seperti apa yang dirumuskan pesantren adalah menjadi factor Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
125
penentu bagi keberhasilan upaya pembentukan karakter. Semakin relevan dan sarat dengan nilai-nilai karakter dalam konsep yang dicanangkan, maka akan semakin baik dampaknya terhadap output pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren. Selain itu, pengembangan alat-alat pendidikan. Sebagaimana pendapat Marimba (1999) dan Ngalim Purwanto (2002) bahwa dalam upaya pembentukan karakter, metode keteladanan, pembiasaan, perintah, larangan, hukuman dan hadiah, merupakan alat pendidikan yang strategis, efektif dan efisien. Dengan pendekatan alat-alat pendidikan itu, maka dipastikan para santri yang terkondisikan dengan prinsip manut, menurut dan patuh pada kyai dan ustadz akan lebih efektif untuk menjadi pribadipribadi muslim yang baik dan membanggakan. Oleh karena itu, factor kyai dan ustadz secara personality dan profesional menjadi acuan utama para santri dalam bersikap, bertingkah laku dan belajar. Semakin berkualitas, berbobot dan khaismatik performan kyai atau ustadz, maka akan semakin baik dampaknya terhadap upaya pembentukan karakter di kalangan santri, demikian sebaliknya.
Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan sebagaimana berikut: 1. Konsep pendidikan dan pengajaran pesantren Al Ma’unah dengan berbasis karakter atau akhlak menekankan pada prinsip “membawa santri untuk dekat dan kenal dengan Tuhannya”. Melalui pengajaran kitab-kitab yang terkait dengan muatan materi akhlak atau karakter seperti; Ihya Ulumuddin, Ta’lim Muta’alim, Taisaril Khalaq, Adabun Nabawi, Hikam, Wasaya, dan lainnya, termasuk kegiatan dzikir yang secara berjama’ah diwudawamakan. Santri dididik dan dibina akhlak atau karakternya melalui pembiasaan, perintah, larangan dan hukuman. Hal demikian direfleksikan pada semua aspek kahidupan santri di pondok pesantren Al Ma’unah. 2. Apa yang menjadi konsep dalam pendidikan dan pengajaran pesantren berbasis karakter atau akhlak, di pondok pesantren Al 126
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
Ma’unah diaktualisasikan dalam berbagai bentuk kegiatan santri mulai dari bangun tidur membaca Asmaul Husna, shalat berjama’ah, belajar al Qur’an, mengkaji kitab, mujahadah, kerja bhakti, piket kebersihan, musyawarah, sampai bagaimana cara hormat kepada kyai, ustadz dan sesama teman, cara berpakaian, cara makan, cara belajar, cara bicara, dan lain-lain. Semuanya diterapkan lewat pembiasaan, perintah, larangan dan hukuman. 3. Kendala yang dihadapi dalam pelakasnaan pendidikan dan pengajaran pesantren dengan berbasis karakter atau akhlak di Ponpes Al Ma’unah ialah terbagi ke dalam faktor internal dan eksternal. Faktor penyebab internal antara lain; masih terbatasnya ketersediaan fasilitas atau sarana dan prasaana, minimnya factor pembiayaan, kekurangan sumber daya manusia, motivasi belajar santri yang relatif rendah dan latar belakang kehidupan santri yang relatif heterogen atau beragam. Sedangkan faktor ekstrenal ialah faktor lingkungan masyarakat yang mengitari lingkungan pondok pesantren. Bagaimana corak dan warna kehidupan masyarakat baik dalam berbicara, bersikap atau bertingkahlaku akan memberi pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap sikap dan perilaku kehidupan santri. Hal demikian rentan dan sulit dihindari ketika para santri berinteraksi dan berkomunikasi baik pada saat berbelanja ataupun pada moment-moment lainnya. B. Saran-saran Pondok pesantren dalam mengembangkan program pendidikan dan pengajaran dengan berbasis karakter merupakan suatu keharusan. Namun demikian, upaya untuk mendorong para santri agar berperilaku positif atau berakhlak mulia baik terhadap Allah SWT., Orang tua, Kyai, Ustazd, sesama dan mahluk selain manusia, maka sangat membutuhkan dukungan dan dorongan dari banyak pihak. Oleh karena itu, agar ke depan pondok pesantren Al Ma’unah semakin kuat dan mampu dalam menyelnggarakan pendidikan dan pengajaran dengan berbasisi karakter, maka kami sarankan hal-hal sebagai berikut: 1. Kepada para Ulama dan Tokoh Masyarakat kiranya bisa memberikan dukungan positif terhadap pengembangan pondok peantren Al Ma’unah Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
127
2. Kepada pemerintah terkait kiranya lebih aktif lagi memberi pengarahan dan memfasilitasi antara madrasah atau pesantren dengan orang tua, sehingga terjalin suatu kerjasama yang bersinergi. 3. Kepada pihak masyarakat kiranya lebih aktif lagi mengadakan konsolidasi dan kerjasama dengan pondok pesantren guna memecahkan persoalan-persoalan pendidikan bagi kepentingan anak di masa depan
Daftar Pustaka Abdul Majid dan Dian Andayani. 2012. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: Rosdakarya Abdurahman Wahid. 1995. Pesantren sebagai Subkultur. Yogyakarta: LP3ES Ahmad Zayadi dan Abdul Majid. 2005. Tadzkirah: Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berdasarkan Pendekatan Kontekstual. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Arief Rachman. 2003. Mengurai Benang Kusut Pendidikan. Jakarta: Transformasi UNJ. Armai Arief. 2002. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers. Basyirudin Usman. 2002. Metodologi Pembelajaran Agama Islam. Jakarta: Ciputat Pers. Bogdan, Robert, C., & Biklen, Sari, Knopp. 1982. Qualitative Reseacrh for Education an Introduction to Theory and Methods. London: Allyn and Bacon Inc. Dawam Rahardjo. 1995. Pesantren dan Pembaharuan. Yogyakarta: LP3ES Echols, John M. & Hassan Shadily. 1996. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia. Fatchul Mu’in. 2011. Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Arruz Media Hadari Nawawi. 1993. Pendidikan dalam Islam. Surabaya: Al Ikhlas. 128
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
Haidar Putra Daulay. 2004. Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media. Khoe Yao Tung. 2002. Simphoni Sedih Pendidikan Nasional. Jakarta: Abdi Tandur. Lickona, Thomas. 1992. Educating For Character. New York: Bantam Book. Mahmud Yunus, (t.t). Kamus Arab – Indonesia.: Jakarta: Penerbit PT. Hidakarya Agung. Moloeng, J. Lexy. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Suyanto dan Hisyam, 2001. Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III. Yogyakarta: Adicita Karyanusa. Suyata. 1995. Pesantren dan Alam Pendidikan Nasional.Yogyakarta: LP3ES Tamyiz Burhanudin. 2001. Akhlak Pesantren: Solusi Bagi Kerusakan Akhlak. Yogyakarta: ITTAQA Press. Zakiah Daradjat. 1997. Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia. Jakarta. Penerbit Bulan Bintang. Zakiah Daradjat. 2001. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara. Zamakhsyari Dhofier. 2009. Tradisi Pesantren. Yogyakarta: Newesea Press.
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
129
130
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
THE EFFORT OF PP.DARUS SHOLAH AND PP. DARUL ARIFIN JEMBER STUDENTS IN STEMMING RADICALISM IDEOLOGY OF ISLAM Sofyan Hadi STAIN JEMBER Hp. 085258777899, 08883632217, E-Mail:
[email protected] Abstract Radicalism ideology of Islam is a root of inflexible and intolerant attitude in both religion and social living whis is closed to the terrorism in the form of physic or non physic. The dessiminataion of radicalism ideology of Islam will threaten national stability and endanger unity and conciliation. According to Yusuf Qardawi (2009) Radicalism in religion is an activity whis is far from the centre. Radicalism in Arabic is hard, exclusive, narrow minded, and monopolize the truth. Radicalism ideology is closed to terrorism which is not suitable to the theory of Islam means safety, kindness, gentleness, determination, and obeying conciliation. The research focus is to answer the questions what category of radicalism ideology based on the classification of PP.Darus Sholah and PP.Darul Arifin Jember students are, what attitude are used by PP.Darus Sholah and PP.darul Arifin Jember students againt sporadic radicalism ideology phenomenon, and what effort do PP.Darus sholah and PP.Darul Arifin students in stemming radicalism ideology of Islam. The research method is using applied research where it is based on practical reason, desire to know, and has goals to do something more effective and efficient, besides it uses field research, and case study. PP.Darus Sholah and PP.Darul arifin Jember as the islamic educational institute with alussunnah waljamaah background feel unenjoyable with the big expansion of radicalism ideology of Islam which damage both the existence and religious tradition for ages. Thus, PP.Darus Sholah and PP.Darul Arifin Jember try to stem the dessimination radicalism ideology of Islam by classifying them into three categories, those are thought (understantding naqli explanation literally-formally), attitude (extrem, closed except for their community), physic-symbolic (bearding, wearing long garment
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
131
with ¾ trouser). The next way in stemming them are by some strategies, like scientific approach (empowering ahlussunnah waljama’ah ideology), tradition and culture approach (understanding Indonesia is a complex nation based on Pancasila and Bhinneka Tunggal Ika), and establishing cultural-structural network among students, ulama’, society, and even government
Key words : The students’ effort, Pesantren, dessimination, radicalism ideology of Islam. Abstrak Radikalisme ideologi Islam adalah akar kekakuan dan sikap intoleran dalam agama dan kehidupan sosial yang dekat dengan terorisme dalam bentuk fisik maupun non fisik. Persebaran radikalisme ideologi Islam mengancam stabilitas nasional dan membahayakan persatuan dan kesatuan. Radikalisme bersifat keras, eksklusif, berpikiran sempit, dan memonopoli kebenaran. Ideologi radikalisme ditutup dengan terorisme yang tidak cocok dengan Islam yang berarti berarti keselamatan, kebaikan, kelembutan, tekad, dan menaati konsiliasi . Penelitian ini merupakan studi kasus, yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan apa kategori ideologi radikalisme berdasarkan klasifikasi siswa PP. Darus Sholah dan PP. Darul Arifin Jember, apa sikap yang digunakan oleh siswa PP. Darus Sholah dan PP. Darul Arifin Jember melawan fenomena sporadis radikalisme ideologi, dan apa upaya yang dilakukan siswa PP. Darus Sholah dan PP. Darul Arifin dalam membendung radikalisme ideologi Islam. PP. Darus Sholah dan PP. Darul Arifin Jember mengelompokkan radikalisme ideologi Islam ke dalam tiga kategori, yaitu: pemikiran/ pemahaman, sikap, dan fisik-simbolik. Dalam membendung mereka dengan beberapa strategi: pendekatan ilmiah, pendekatan tradisi dan budaya, dan membangun jaringan kultural-struktural di antara siswa, ulama, masyarakat, dan pemerintah
Kata Kunci: Usaha Murid, Pesantren, Persebaran, Radikalisme Ideologi Islam
Research Background Islamic radicalism ideology is a basic point of terrorism. This movement is also called radicalism in religion because it legitimazes 132
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
harshness and terrorism in both physically and non-physically, such as physical aggression to another group who does not in the same ideology, sweeping out some places which are categorized illegal or forbidden in Islam by destroying their places rudely, or suicide bombings of civilians. Whereas non-physic terrorism is like treat of danger to some people or infidel judgment. Radical Islam is a militant, politically activist ideology whose ultimate goal is to create a worldwide community, or caliphate, of Moslem believers. The idea is simple: Islam must have power in this world. It is the true religion or the religion of God and its truth is manifest in its power. When Moslems believed, they were powerful. Their power has been lost in modern times because Islam has been abandoned by many Moslems, who have reverted to the condition that preceded God’s revelation to the Prophet Muhammad. But if Moslems now return to the original Islam, they can preserve and even restore their power. That return, to be effective, must be comprehensive; Islam provides the one and only solution to all questions in this world, from public policy to private conduct During centuries, Islamic radicalism ideology becomes an organized movement, it is formed as mass organization which requits man or young man around 17-40 years old. This idology, basically, came from other countries which has large network, big fund, and it is classified as international movement. In such organizations, Islam structures the organization’s diagnosis and critique of society and its visions for social, cultural and political change. Due to the contested nature of Islam itself, the Islamic component can assume a variety of expressions. In Indonesia, we can find these form of mass organizations such as Wahhabi, Front Pembela Islam (FPI, The Front of Defenders of Islam), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI, The Liberation Party) and Majelis Mujahidin Indonesia (MMI, The Council of Indonesian Jihad Fighters) etc. They are known as the most imperative mass organization yelled the application of Islamic country in Indonesia without notifying that Indonesia is a compex country which consits of some tribes, religions, races, and thoughts. These kind of mass organization consider that their ideology is legal because they want to bring the country and nation into Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
133
purely Islam, event they want to make Indonesia becomes Islamic country like some countries in The Middle East. In addition, these kind of mass organizations belief provides the religious and ideological underpinnings to enable militant movement to take up arms against existing governments if they deem need arises. Islamic radicalism ideology states that his ideology is the perfect one and other Islamic ideologies which are used by some groups in Indonesia, eg. Nahdatul Ulama is deviating from the truth because Nahdatul Ulama is the ideology which combines Islamic theory with the local culture of some tribes. Nahdatul Ulama still allows some activities or ceremonies which close to polytheism or unbeliever, innovations or bid’ah, and superstitions or khurafat while this ideology is antagonistic to non-muslim and prohibited many traditional Islamic forms of worship. According to their thoughts, Islam must be back to the traditional Islam or pure Islam as the period of Prophet Muhammad SAW. For moslems, al-qur’an is the highest sources of laws governing their life. This is because it is believe d to be revealed by God. There is no question about this belief among moslems. However the way the understand and interpret verses of al-qur’an can differ from one to other. Some are more rasional while other are more scriptural. They comprehended and interpreted holy Qur’an and hadist literally without considering social history in Indonesia so that their religion relationship is exclusive and rigid. This attitude caused awkward behavior and intolerant to the social living because they sometimes accuse somebody is infidel if he/she is not in the same thoughts with them, even they have understanding that it is permissible to kill someone who is closed to misleading. It seems that Indonesian justice can not solve the radicalism problem well. There were some terrorists who were arrested and imposed the death sentence but this terrorism movement still exist and increase sporadically. We often watch in television there were suicide bombings happened almost in all island in Indonesia. The Islamic students, as a spinal column of this country is one of the important factor in preventing the dissemination of Islamic radicalism ideology. The young men are the object of the radical ideology, so do the Islamic students whose ages are around 17-25. Islamic radicalism 134
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
ideology can not spread out freely if the Islamic students have good anderstanding in their religion, where from the time of Prophet Muhammad, peace and tolerance were practiced between different religious groups, with respect to distinctions in belief. Besides, there are many events in muslim history where the Prophet used to present his neighbours or friends that were not muslim with gifts, never holding a sword against them, or ever instigating a struggle or a fight. PP. Darus Sholah and PP.Darul Arifin Jember as the Islamic educational insitute that carry on ahlussunnah wal jamaah ideology felt that radicalism will endanger both the originality of ahlussunnah wal jamaah ideology and social relationship among people in different beliefs and culture. In fact, ahlussunnah wal jamaah is a flexible ideology with its strong principle, that are tolerance (tasamuh) and moderate (tawassuth) among society. Based on the above description, this research aimed to learn and to observe the effort and strategy that are used by PP.Darus Sholah and PP.Darul Arifin Jember studens in stemming Islamic radicalism ideology. Here, the researcher will focus on how PP.Darus Sholah and PP.Darul Arifin students classify what forms will be categorized as radical ideology and how to solve those problems.
Research Problem Based on the background of the above study, the problems of the study can be formulated as follows: 1. What are the characteristics of Islamic radicalism ideology based on the understanding of PP.Darus Sholah and PP.Darul Arifin Jember students? 2. What attitude is used by PP.Darus Sholah and PP.darul Arifin Jember students against sporadic radicalism ideology phenomenon? 3. What strategy do PP.Darus Sholah and PP.Darul Arifin Jember students use in stemming Islamic radicalism idiology?
Research Objective In relation to the problems investigated, the objectives of the research are form as follows: Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
135
1. To know the characteristic of Islamic radicalism ideology based on the understanding of PP.Darus Sholah and PP.Darul Arifin Jember students. 2. To know the attitude used by PP.Darus Sholah and PP.darul Arifin Jember students against sporadic radicalism ideology phenomenon. 3. To know the strategy is used by PP.Darus Sholah and PP.Darul Arifin Jember students in stemming Islamic radicalism idiology dissemination
The Significance of The Research The result of this research are expected to be useful for the government, especially interelated department, other Islamic institutes, and other researchers. 1.
For interelated department It is expected to apply the result of this research as one of reference to prevent radicalism and terrorism in Indonesia. 2. Other Islamic Institutes The result of this study is expected to be able to motivate the Islamic students to learn, to classify, even to fight radical ideology so they can not get easily influenced by such terrorism ideology. 3. Other researchers The results are hopefully useful for other researchers as information or a refernce to conduct a further research with different research design.
Review of The Related Literature A. Islamic Radicalism Ideology Radicalism comes from the word radical. According to Hornby AS, radical is favouring thorough or complete political or social reform; holding extreme views (Homby, A.S, 1995: 957-958). This technical term is given to the goups which allowing violence as his part of jihad despite the jihad concept is like an attitude to hate other groups. 136
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
An ideology is a set of ideas that constitute one’s goals, expectations, and actions (Ibid; 961)). An ideology can be thought of as a comprehensive vision, as a way of looking at things (compare worldview), as in several philosophical tendencies (see political ideologies), or a set of ideas proposed by the dominant class of a society to all members of this society (a “received consciousness” or product of socialization). The main purpose behind an ideology is to offer either change in society, or adherence to a set of ideals where conformity already exists, through a normative thought process. In short, ideology is the body of doctrine, myth, belief, etc., that guides an individual, social movement, institution, class, or large group. Radical ideology is usually has signified a dogmatic political theory which is endavor to substitute secular goals and doctrines for riligious goals and doctrines; and which promises to overthrow present dominations so that the oppressed may beliberated. Ideology, in short, is a political formula that promises mankind an earthly paradise; but in cruel fact what ideology has created is a series of terrestrial hells(Russel Kirk, 1993: 45). Yusuf Qardawi stated that Radicalism in religion or “at-tatharruf ad-diiny” is an action at the sharp end or an activity which is far from the center (Yusuf Qardawi, 2009: 23). This attitude has opposite theory with Islam, where Prophet Muhammad thaught us how to life conciliatory with society both muslim and non-muslim because Islam is welfare, safe, and peaceful. The general characteristics of the radical groups are they believe that the moslem world in general and Indonesia in particular confront a ‘multidimensional crisis’, the nature of which is simultaneously economic, political, cultural and moral. Various explanations are advanced for the crisis, but two elements predominate, one ‘external’ and the other ‘internal’. The external factor is that of the ‘infidel’ (kafir) West, which uses its economic and military might to subjugate and exploit the Islamic community and the internal factor is the harm caused by moslem leaders who have deviated from the essential teachings of God as set out in the Qur’an and the Sunnah. Radical groups enjoin Muslims to return to the ‘pure’ Islam of the Qur’an, the Prophet Muhammad and his Companions Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
137
and the generations immediately following them. They argue that until now shari’a has only been carried out in a partial and unsystematic way in Indonesia, as it has been largely restricted to family and inheritance law. Most radical Muslims regard as indispensable the imposition of hudud—punishments, including stoning, scourging and amputation, prescribed in the Qur’an for particular crimes. Many radical groups see the enforcement of shari’a as inextricably linked to the creation of an Islamic state in Indonesia. They argue that only in an Islamic state can God’s law be applied in full. Other characteristics of people or group who follow Islamic radical ideology are understanding al-qur’an and hadist literally, having strong belief that Islam is the only solution how to solve several crisis around the world, never ending struggle to set up Islamic religious law with its jihad concept, the powerful resistance against other groups which are not in the same ideology, and hard refusal or intense dislike either to the local culture or western culture (Zainal Arifin, 2011: 34). In instant way, Islamic radicalism ideology is about Arabism. The legitimacy of Arabic evidence for all activities, culture, tradition, and style of life must be the same with Arabian country, a palce where Islam was born. In their opinion, the true Islam must be full with Arabic. In this ideology, jihad is the important thing. Since jihad is the main reason to be the member of these groups so we can conclude that those who are choosen must be ready to go to the battle. There are two forms of jihad, the first jihad followed a political logic of negotiation by violence aimed at pressuring states and eventually overthrowing them, the second form of jihad does not seek to negotiate or compromise but unnihilate the opposition. From that point on, violence is understood as a sacrified cloaked with meta-political significance (http://www.microconflict.eu/ publications/PWP4_SA.pdf,). Historically, Islamic radicalism ideology appeared after Khalifah Ustman bin Affan and Ali Bin Abi Thallib were accidentally killed, the the group of radical Islam was Khawarij. On the contrary, the harmony of Islam can be proved by fath Mekkah or the liberation of Mecca by all moslems under Prophet Muhammad’s leadership. Mecca became an independent city for long time by musyrik people. When moslems 138
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
celeberated the liberation of Mecca, there were some friends of Prophet Muhammad who did parade by yelling the slogan al-yaum yaumul malhamah or this day is bloodshed day, where the purpose of the slogan as the revenge to musyrik people who were brutal to the moslem but Prophet Muhammad forbade it and changed the slogan into al-yaum yaumul marhamah or this day is love and affection day. The radical phenomenon had been appeared when Prophet Muhammad alive. In hadist by Muslim there was Dzul-Khuwaishirah who made protest because Prophet Muhammad gave the possession of war in Thaif and Hunain. Because of his disappoinment, DzulKhuwashirah left and Prophet Muhammad said that one, there would be a little of his followers who read al-qur’an but they can not get the subtance of al-qur’an itself. This valid hadist then happened when Khalifah Ustman Bin Affan was accidentally killed by the extreem group the the same accident happened again where Ali Bin Abi Thallib was accidentally killed to by the extreem group. Until now, the goal of radical Islam is the same as it was 1300 years ago, the conquest of the West and the establishment of fundamentalist Islamic rule worldwide. They, the radical Islamic terrorists and those who support them, are at war with us and seek our defeat and conversion, whether we care to accept that fact or not. The rise of radicalism then happen while many Muslims adapted to the fast-paced changes common to Western industrialization and modernization, some Muslims rejected them. Instead, they created a rigid ideology imbedded in the traditional values and laws of al-qur’an. This is the phenomenon known today as Islamic fundamentalism, or Islamism. Islamism came to be seen as a struggle to return to the glorious days when Islam reigned supreme. It represents a yearning for the “pure” Islam as practiced by the prophet. Not unlike the American Amish, the movement rejects much that is innovative. Islamists, however, take the rejection of modernity a step further. They perceive those who have introduced these innovations (the West) as its enemy. Western influence, however, was unstoppable. Consequently, writes Islamic fundamentalism expert Emmanuel Sivan in his book Radical Islam, a sense of “doom and gloom” developed among religious Muslims. Some Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
139
perceived this world to be “the prison of the believers and the paradise of the unbelievers,” according to Lewis. To them, this explained why Islamic values were losing out to the secularism of the West. Others argued that Allah was angry with Muslims for straying from the righteous path and was therefore punishing them for their disobedience. According to Saiful Umam, there are some verses that are always used by the radical moslems as the basis of their thought and action, such as Those who do not judge by God’s revelations are infidels indeed, those who do not judge by God’s revelations are unjust, those who do not judge in accordance with what God has revealed are transgressors (Syaiful Umam, 2006: 13). By theses verses, radical moslems argue that all moslems have to follow exactly what God has ordained (syari’ah). Moslems should not use secular lawswhich are produced by human beings because they will inevitably contradict the syari’ah. All sentences mentioned in the verses and others found in al-qur’an, such as stoning for adulterers, cutting of the hand of the thieves, flogging for drinkers, have to be implemented by moslems. They understand the verses literally and scriptually and insist of implementing them as such. Those who reject this prescription, in their views, are not really moslems (Sayyid Qutb, 1981: 13-14). Radical moslems also invoke verses about jihad, as follows: Those who barter their life of this world for the next should fight in the way of God. And we shall bestow on him who fights in the way of God, whether he is killed or is victorious, a glorious reward. .....Those who believe fight in the way of God; and those who do not, only fight for the powers of evil; so you should fight the allies of satan. Surely the stratagem of satan is ineffective (http://www.hawaii.edu/cseas/pubs/ explore/Umam2006.pdf). By these verses, radical moslems argue that the jihad is obligatory for all moslems, not only in the defensive meaning but also an aggressive one, in order to relize the glory of Islam. The jihad is waged against who do not accept the call (dakwah) of Islam and against the unbelievers. However, sometimes jihad is also waged against those who declare themselves to be moslems, because they are regarded as not truly moslems by radicals (ibid). 140
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
B. Effort, Stemming, and Dissemination According to Hornby AS, an effort is the use of much physical or mental energy to do something or an attempt that requires a lot of energy (Homby, A.S). Effort is earnest and conscientious activity intended to do or accomplish something or the use of physical or mental energy; hard work, or notable achievement, or a series of actions advancing a principle or tending toward a particular end, or an exertion of strength or power, whether physical or mental, in performing an act or aiming at an object; more or less strenuous endeavor; struggle directed to the accomplishment of an object; as, an effort to scale a wall (http:// artikata.com/arti-57793-effort.html). Effort can be valued by the use of strategy how to do something and the attitude will be used in supporting those strategies. Stemming is to stop something which is flowing, spreading, or increasing (ibid). While dissemination is the activity to spread idea, believe etc widely (ibid). Dissemination takes on the theory of the traditional view of communication, which involves a sender and receiver. The traditional communication view point is broken down into a sender sending information, and receiver collecting the information processing it and sending information back, like a telephone line.
Research Method A. Research Design A qualitative research is largely an introductive process by which a scientist attempts to gain understanding of the patterns meanings, perceptions, beliefs, values, behaviours of a particular group of human being in relation to a research problem ( http:// addic t io n st udie s.de c.uwi.e du/D o c um e n t s/e p ide m io lo g y / qualitative%20methods%20in%20research.pdf). The qualitative research approach is proposed in this research. Acording to Bodgan&Biklen, the theoritical perspective most often assosiated with qualitative research is phenomenology. The researcher Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
141
used qualitative research rather than quatitative research because qualitative research can give more complete inform ation than quantitative research. B. Area Determination Method The area determination method of this research will be determined by using purposive method. Suharsimi Arikunto says that purposive method is a method chosen on a certain purpose or reason (Suharsimi Arikunto, 2011: 87). It means that a certain purpose is considered to determine the research area. In this research, PP.Darus Sholah and PP.Darul Arifin are chosen as the area determination method and the reason is how both of those two Islamic institutes students stem radicalism which is developing quickly in Indonesia. C. Research Subject Determination Method The subject of this research is the students around 17-25 years old in PP.Darus Sholah and PP.Darul Arifin Jember as the explanation in the research background that the target of radical mass organization is men around 17-40 years old so that the researcher chose PP.Darus Sholah and PP.Darul Arifin Jember students as the reserach subject determination method. D. Data Collection Method Data collection method plays an important role in impact evaluation by providing information useful to understand the processes behind observed research. In this research there are three datas, such as observation, interview, and documentation. According to McMillan, observation allows the researcher to take into account important contextual factors that may influence the interpretation and use of the result (McMillan,J.H, 1992: 128). The observation will be focused on the effort which include the attitude and the strategy of PP.Darus Sholah and PP.Darul Arifin Jember in stemming Islamic radicalism ideology. Djojosuroto and Sumaryati explain that there are two kinds of observation, there are; participant observations and stimulant observation. In participant observation, the observer participates in the activities of getting data. Meanwhile, in stimulant observations, the observer can stimulate his or her respondents 142
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
to give the information or data they would be taken (Djojosuroto and Sumaryati, 2000: 39-40). Interview is a form of data collection method in which questions are asked orally and the subjects’ responses are recorded (Mc. Millan,J.H, 1992: 145). In the process of interview, a list of questions related to the data needed would be prepared and used as an interview guide. Documentation is a method of collecting data to support the data from written sources such as notes, transcripts, books, news, magazines, and agenda (Suharsimi, Op.Cit: 134). In this research, documents will be used to get supporting data about the participants, the activity of PP.Darus Sholah and PP.Darul Arifin Jember students, especially in behaving and creating the strategy how to stem Islamic Radicalism ideology. E. Data Analysis Analysis data is a process of inspecting, cleaning, transforming, and modelling data with the goal of highlighting useful information, suggesting conclusion, and supporting decison making. This research use the religious phenomenological approach, that means to search, to investigate, to learn the view and the attitude of the PP.Darus Sholah and PP.Darul Arifin Jember students in stemming the dessimination of Islamic radicalism ideolog y. T he goal of phenomenological research is to describe a “lived experience” of a phenomeneon and the participant can describe their lived phenomenon experience to gather data in a phenomenological study (http:// www2.capilanou.ca/programs/psychology/students/research/ phenom.html). The first principle of analysis phenomenological data is to use an emergent strategy, to allow the method of analysis to follow the nature of the data itself. Besides, this qualitative reserach can find what strategy and what effort do the PP.Darus Sholah and PP.Darul Arifin Jember students use in stemming the dessimintaion of Islamic radicalism ideology. F. Research Systematics The research systematics of this research are introduction, review of the related literature, research methodology, research result and Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
143
discussion, and conclussion and suggestion. The introduction consists of research background which explain the general description of radical Islam, their ideology, some organizations that categorize radical, and the view of PP.Darus Sholah and PP.Darul Arifin about them, research problem which tell about what problem will the researcher observe in the research, research objective which consists the objective of the research from the research problem, and the significance of the research which describe the advantage of the research. The review of the related literature consists of Islamic Radicalism Ideology which tell the definion of radicalism, their ideology, and the briefly information about some radical organizations with their movement, and effort, stemming and dissemination which only describe the definition. The research methodology consists of research design, area determination method which explain about what kind of research approach is used by the researcher, the definition, and the reason of choosing such approach, research subject determination method is about who will be the subject of the research and why they are chosen as the subject, data collection method which explain what kind of collecting data will be used in this research such as interview, observation, and documentation, data analysis which tell about how to analyze the data taken from the collecting data where in this research the researcher use qualitative analysis which closed related with phenomenoligical cases, and the last is research systematics which explain the sequences of the research. The research result and discussion consist of historical cases of radicalism in Indonesia which describe the history of disseminating radicalism in Indonesia and the rise of the ideology until now, the History of PP.Darus Sholah Jember and PP.Darul Arifin Jember which tell the history of PP.Darus Sholah Jember and PP.Darul Arifin Jember, their leader, and their vission and mission , the Category of Radical Islam According to PP.Darus Sholah Jember and PP.Darul Arifin Jembers’ students which explain some result of interviews from some students in both islamic institutes, and The Attitude of The Students of PP.Darus Sholah and PP.Darul Arifin Against Radical Islam which contain what attitude is used by the students of PP.Darus Sholah Jember and PP.Darul Arifin Jember against radical Islam . The conclussion and suggestion consists of the whole description 144
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
in chapter four and the suggestion, and the last is Reference which contains the sourches in writing the research, both from book and internet.
Research Result and Discussion A. Historical Cases Of Radicalism in Indonesia Contemporary Indonesian radicalism is a complex mix of local and international factors, as well as religious, political and economic elements. Most radical Muslims believe that Islam has been marginalised and oppressed in Indonesia and that potent domestic and international forces are determined to deny Islam its rightful place at the centre of national life. External factors have exerted a stronger influence on Indonesian radicalism since the late 1970s. Perhaps the most important development in the context of this paper was the internationalisation of jihad that took place from the late 1970s, culminating in the anti-Soviet war in Afghanistan during the 1980s. In addition to the mujahidin factor, increasing numbers of Southeast Asian Muslims have received their education in the Middle East. They have been exposed to more puritanical and radical expressions of the faith, such as Salafi and Wahabi thinking from Saudi Arabia, Egypt and Yemen. The history of radical moslems in Indonesia closely related with Padri movement in West Sumatera where there were three revivalists who came home from pilgrimage in Mecca. In West Sumatera they tried to spread what they got in Mecca to the local moslems. Because of that, conflict between Padri and local moslems arose, and when the latter were almost completely defeated, they invited the Dutch government to help them regain sovereignty over the area. The Padri movement was finally crushed by the Dutch military campaign and by 1938 it was totally finished (Saiful Umam, Op. Cit;15). In the 20th century, there were the next generation of Islamic radicalism ideology. Those were two organizations namely Al-Irsyad or Jam’iyah al-Islah wa al-Irsyad (Union for Reformation and Guidance) by Ahmad Surkati in 1915 and the Persis or Persatuan Islam by group of merchant in Bandung in 1923. Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
145
The main purpose of al-Irsyad is to reform religious practices, then to spread the ideology, al-Irsyad built some schools in some cities in Java, so does in Jember and Bondowoso. There were many next generations of radical moslems, it was continue until Indonesian Independence day such as Negara Islam Indonesia or Indonesian Islamic State (NII) by SM.Kartosuwiryo and the Dar al Islam or the Islamic State (DI) by Kahar Muzakkar and Daud Beureu’eh (Dengel, H. 1995: 17). The Dar al-Islam movement began in 1948 as separatist movement of Islamist militias in West Java against the Republican government, which had accepted the unfavorable Renville Agreement with the Dutch. This movement attempted to establish an Islamic state in Indonesia under Shari’a (Islamic) law. During the final years of the Indonesian revolution and until the capture of its leaders in 1962, it remained a serious competitor to the Republic of Indonesia and an alternative to the essentially secular republic led by Sukarno, the first president. The history of radicalism in Indonesia shows that there are type of radicals: those who involve violence in their efforts to reach the goals, such as Padri and NII and those who mainly used educational institutions in order to change current conditions, such as al-Irsyad and Persis (Saiful Umam, Op. Cit, 28). B. The History of PP.Darus Sholah Jember and PP.Darul Arifin Jember PP.Darus Sholah is one of big Islamic institute in Jember which uses ahlussunnah waljamaa’ah ideology as its principle. It is located in Jl.Mohammad Yamin Tegal Besar Jember which is near the centre of the town. It was built in 1987 by Alm.KH.Drs.Yusuf Muhammad,LML, the smart, pious, calm person who finished his study in Medina. He was a legislator from Partai Kebangkitan Bangsa who passed away in the Lion Air accident on 2004. The vission and mission of PP.Darus Sholah is achieving the good students by understanding Islamic knowledge and technology. PP.Darus Sholah has more than 1000 students and some departments such as kindergarten, elementary school namely SD Plus Darus Sholah, Junior School namely SMP Plus and SMP Unggulan 146
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
Billingual Darus Sholah, and senior high school: Madrasah Aliyah Darus Sholah and SMA Unggulan BPPT. Besides, in supporting the education there, PP.Darus Sholah fulfill some laboratories, libraries, mosque and Islamic center, clinic, etc. There are some Islamic programs too, such as sholawatan, the study of yellow kitab, darling or darus keliling, etc. PP.Darul Arifin is also the Islamic Institute which uses ahlussunnah wal’jamaah ideology as its principle. It is located in Rambipuji, west Jember. This Islamic institute is maintained by KH.DR.Abdullah Syamsul Arifin, M.HI, the head of Tanfidziyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Jember. Nowadays, PP.Darul Arifin develop its education from elemantary scool, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, and Madrasah Aliyah. C. The Category of Radical Islam According to PP.Darus Sholah Jember and PP.Darul Arifin Jembers’ students One that plays an important role in radical Islam is the principle of jihad with broadly means struggle, fight, or war. Millitant usually use jihad to mean defensive or retaliatory warfare against actors that have allegedly harmed moslems. Based on the radical Islams’ view, the majority of moslems in Indonesia are infidel because they combine Islam with their traditions. There are some points in their ideology, such as Moslems have deviated from the true Islam and must return to pure Islam as originally practiced by Prophet Muhammad, the path to pure Islam is only through a literal and strict interpretation of holy al-qur’an and al-hadist and along with implementation of the Prophet Muhammad’s commands, moslems should interpret the original sources individually without being bound to follow the interpretation of Islamic scholars, the interpretation of alqur’an from a historical, contextual perspective is a corruption and that the majority of Islamic history and the classical jurisprudential tradition is more sophistry. There are tactis used by radical moslesm in accordance with the implementations of their jihad. Suicide bombing is the most popular tactic which is used against civillians, soldiers, and government officials of the regimes the terrorist oppose while the bombers believe that as a Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
147
martyrs because of jihad to their enemy, they will get reward from the God, that is paradise. Hijacking is the second tactic where radical Islam sometimes employs the hijacking of passengers vehicles. The most famous were the JW.Marriot attack that kille 3000 people on a single day in 2001. The next tactic is kidnappings and executions and the last is internet recruiting where in the beginning of 21th century emerged a worldwide network of hundreds of websites that inspire, train, educate and recruit young moslems to engage in jihad against America and The West, taking less prominent roles in mosques and community centers that are under secrutiny. This internet recruiting which must kept on guard by the students of PP.Darus Sholah and PP.Darul Arifin Jember because everyday internet is used by students in supporting their education. The role of internet in disseminating radical ideology must be well prevented by the students of PP.Darus Sholah and PP.Darul Arifin Jember, here some websites which support the activity of radical Islamism: http://salafy.net and http://salafy.org, http:// www.laskarjihad.or.id, Republika, Media Dakwah, Suara Hidayatullah, Salafi, and Sabili. The jihad concept is also a main theme of many Indonesian Islamic children’s books. Comic books with heroic stories of holy wars and lasykars (holy troops) “fighting the enemy in the name of Allah,” with pictures of the hero or heroine holding a saber are abundant in the children’s sections of bookstores in major Indonesian cities, including Jakarta (http://www.gloria-center.org/2011/08/radical-islamism-inindonesia-and-its-middle-eastern-connections ). Basicly the way how to interpret the category of radical Islam is the same from one student to others. Mohammad Sholeh, Sofyan Agusshofa, Farih Mahbubi, and Luthfan Nabiel (16 years old), the students of Madrasah Aliyah who has been staying in PP.Darus Sholah for 4 years described that radical Islam is the version of Islam which is too strict to follow the fundamental or basic Islam. This followers claim that their ideology is the right one and others who differ with their ideology are musyrik. Moslems in these categories often use violence as their obligatory action to fight other groups who are breaking the God’s commandments. They sometimes also judge that other groups are infidel 148
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
and will be in the hell forever (Interview, with Mohammad Sholeh, sofyan Agussofa, Farih Mahbubi, and Luthfan Nabiel on July,13rd 2012). Muhammad Sahroni (23 years old), the cartaker of PP.Darus Sholah who is devoting his life in education said that, the category of radical Islam is a group who interpret al-qur’an and hadist literally or word by word without learning the other historical stories which tell the best attitude and behaviour of Prophet Muhammad who was very sincere, polite, kind despite with non moslems. They only imitate how to empower the world only by fighting, destroying some places that they claim is a house of non-muslim, sweeping some infidel places without thinking that those actions are causing loss to others (Based on interview with Mohammad Sahroni on July 13rd 2012). Another description comes from Abdul Majid (22), he said that the category of radical moslems differ sharply on five major issues, those are the permissibelity of jihad, the scope of jihad, suicide bombing, the legetimacy of rebellion against a Moslem Government, the validity of clandestine organization. According to Suwardi, M.HI (28 years old), the young Arabic and Fiqh teacher in SMA Unggulan BPPT who also study in PP.Darus Sholah, moslems who belong to radical Islam are ones who easily claim or say that the majority moslems in Indonesia, especially Nahdatul Ulama’are infidel, musyrik, ahlun naar because they still practice bid’ah, khurafat, and tahayul. They like shouting and yelling “Allahuakbar” on the road when they do their action, such as sweeping out the places they think is a place of maksiat (Based on interview with Suwardi, MH.I on July 18rd 2012). Arif Rahman (19 years old) add that radical moslems are typically the designation is placed upon those who have committed some act of terror, e.g suicide bombing. They hate innovation because it is not the same with Arabian tradition, in fact they never feel that this is modern era, where if Islam is still traditional like in the time of Prophet Muhammad, so Islam it self will be out of date so that it get easily occupied by other nations. Arif Rahman also said if the radicals claim that innovation is forbidden why they use cars, motorcycle, and other high technologies in theirl life? Why they dont use camels and traditional tools? (Based on interview with Arif Rahman on July 15rd 2012) Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
149
Rayyis Abqori, Akhmad Balya, Abdul Mu’in, and Muhderi (18 years old), the students of PP.Darul Arifin said that radical moslems are identic with those who hate America because it is a nation with liberal democratic values and because it supports Israel. The one thing the political ideologues and religious fanatics have in common is their commitment to wage their terrorist war until Israel ceases to exist. Perhaps the major difference is that the radical Muslims are willing to commit suicide if it will kill their enemies, whereas the ideologues usually want to come out alive and to get some tangible benefit from their actions, such as an exchange of prisoners or just publicity for their cause (Based on interview with Mohammad Ali Makki on July 20rd 2012). Based on the view of the students of PP.Darus Sholah and PP.Darul Arifin, Jember the form of mass organizations which categorize radical In Indonesia are Laskar Jihad, Wahhabi, Front Pembela Islam (FPI, The Front of Defenders of Islam), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI, The Liberation Party), Hamas (Harakat al-Muqawama al-Islamiyya), and Majelis Mujahidin Indonesia (MMI, The Council of Indonesian Jihad Fighters). Wahhabism (Arabic: æåÇÈíÉý, Wahhâbiyyah) is an ultra-conservative branch of Sunni Islam(Muhammad Abduh, 2002: 234-236). It is a religious movement among fundamentalist Islamic believers, with an aspiration to return to the primordial fundamental Islamic sources Qur‘an, Hadeeth and scholarly consensus (Ijma). Wahhabism was a popular revivalist movement instigated by an eighteenth century theologian, Muhammad ibn Abd al-Wahhab (1703–1792) from Najd, Saudi Arabia. The Wahhabi subscribe to the primary doctrine of the uniqueness and unity of God (Tawhid). The first aspect is believing in God’s Lordship that He alone is the believer’s lord (Rabb). The second aspect is that once one affirms the existence of God and His Lordship, one must worship Him and Him alone. Wahhabi theology treats the Quran and Hadith as the only fundamental and authoritative texts. Commentaries and “the examples of the early Muslim community (Ummah) and the four Rightly Guided Caliphs (AD 632–661)” are used to support these texts, but are not considered independently authoritative.http:// en.wikipedia.org/wiki/Wahhabi - cite_note-WahhabiIslam-21 150
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
The Laskar Jihad was a paramilitary wing of the Sunni Communication Forum (Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jama’ah, FKAWJ) and was heavily influenced by the most puritanical form of Wahhabi-Salafism and has over 10,000 members (Abuza, Z. 2003: 3435). Many of its members had university educations and had ties with the underground Dar al-Islam network. Its charismatic leader, Ja’far Umar Thalib, had spent several years in Saudi Arabia and had been sent to Afghanistan by a Wahhabi-Salafi network to participate in jihad. The Laskar Jihad itself was established on January 30, 2000, in response to the rising number of Muslim victims in the Maluku conflict. The organization became known internationally in April 2000, when its members–along with other groups of Muslims–held a street demonstration in Jakarta calling for a jihad in the Maluku Islands. Forum Pembela Islam (The Islamic Defender Front) is on the frontline of street politics. However, unlike The Laskar Jihada and Majelis Mujahidin Indonesia, this group does not have a strong ideology. It is made up of a combination of groups and street mobs. The organization is headquartered in Jakarta and is led by Muhammad Rizieq Syihab, of Arab Hadrami descent. It also includes some other Habibs (of Arab descent). The FBI actively holds public political demonstrations and attacks bars and brothels. Following September 11 and during the U.S. invasion of Afghanistan and Iraq, the FBI threatened Americans in Indonesia, compelling many to leave the country. The Liberation Party or Hizb al-Tahrir is a branch of the Middle Eastern movement of the same name. This campus-based organization strongly rejects democracy and the political institutions of the secular nation-state as Western or non-Islamic constructs. HT’s efforts focus on the enforcement of Shari’a law and the re-establishment of Islamic Caliphate–the formation of an Islamic government for all Muslims worldwide in order to restore the “greatness and pureness of Islamic civilization.” This ideology was mainly derived from the teachings of Shaykh Taqiuddin al-Nabhani, a for mer leader of the Muslim Brotherhood. Hamas is an abbreviation of Harakat al-Muqawama al-Islamiyya, meaning the Movement of Islamic Struggle. Hamas Indonesia is a branch Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
151
of the global Hamas movement, which focuses primarily on the Palestinian issue. On its former website, Hamas defined its movement as a people’s movement whose goals were to create a conducive situation to realize the independence of Palestine people, to free them from persecution, to free their land from the colonizer Israel and to halt the Zionism project which is supported by modern imperialism. While Hamas Indonesia no longer has a website, the organization still exists. It claims that the Islamic community is one body; therefore any attack against Palestine would be considered an attack on Islam as a whole. Jihad is thus proposed to be necessary in order to defend Muslims throughout the world from any enemies, especially the Zionist enemy. The Majelis Mujahidin Indonesia (The Council of Indonesian Jihad Fighters) is a front of underground Dar al-Islam-related groups. It is headed by Irfan S. Awwas and Abu Bakar Ba’asyir of the Ngruki pesantren. The latter also founded the Usroh movement and was arrested in 1978 in connection with the Komando Jihad trials. Majelis Mujahidin Indonesia seeks to enforce the implementation of Shari’a law in Indonesia. The movement is supported by many Islamic scholars and leaders. Though unsuccessful at introducing Shari’a into the constitution, it has been actively penetrating the provincial and district levels (indirectly supported by the government’s regional autonomy policy) for the adoption of Islamic law. Majelis Mujahidin Indonesia also supported the jihad, and sent members to the Maluku Islands, though fewer than The Laskar Jihad. D. The Attitude of The Students of PP.Darus Sholah and PP.Darul Arifin Against Radical Islam In concerning with the issues of terrorism, suicide bombing, etc there are different attitude the students do against those phenomenon. Some of them do not care at all because they believe that the important thing as moslems, they have to guard their selves before thinking of others. First, they have to manage their selves to be good moslems, applying Islam vertically because everything is relative, so does ideology. One says that radical is the best ideology but others says that life in peace is the most perfect life. 152
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
According to Samsul Arifin (15 years old), the student of PP.Darul Arifin Jember, choosing ideology is a human rights. Everybody is free to choose what ideology that suitable for their life because who decide we belong to paradise residence or hell residence is only Allah. Those who are radicals must have some principle that make them radical because there is no smoke if there is no fire (Based on interview with Mohammad Samsul Arifin on July 20rd 2012. The same perseption comes from Holili, he said that not all radicalism are radical. There are a little organizations who are only their view are radical, they like to judge others are infidel, they also dress up as a terroris, like wearing long garment, ¾ trousers, and having beard but they do not do such violence. They just arranged or joined the march to protest the government role they felt unjustice. These kind of organizations are exist in Jember, but as long as they do not disturb the local society by influencing their ideology or even recruiting many more cadre to empower all islamic institutes in jember, it is still their human right (Based on interview with M. Holili on July 21rd 2012. Abdul Wafi (21 years old) the senior student of PP.Darus Sholah also said that as the follower of ahlussunnah waljama’ah, the students must have calm behaviour. It means although feeling disturbed and inconvenience with the ideology of radical Islam, the students must think briefly how to behave against this ideology. The students have to improve their knowledge and their understanding in Islam so that they can discuss with the radical moslem followers what are the differences between radical and ahlussunnah because radical largely only know a little about al’quran or hadist and those narrow knowledge that becomes their ideology without considering with others (Based on interview with Abdul Wafi on July 23rd 2012). There is a famous term that is violence must be opposed by politeness. If the majority of moslems in Indonesia use the violence against the radicals, it means there is no difference between ahlussunnah waljamaah and radical moslems. The power of muscle can be prevented by the power of brain. The students must improve their knowledge to stem the radical Islam movement. The implementing of dialogue and face to face discussion with the follower of radical moslem is the good Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
153
way. But certainly the students must have large knowledge in understanding al-qur’an and al-hadist so that they can debate or even provoke the follower of radical moslems with their large knowledge. Subur Jalal explained that the government has to be serius in stemming radicalism in Indonesia. Due to radicalism, western country claimed that Islam is terrorist in fact Islam it self is the feeling of save, peace without terror or violence (Based on interview with Subur Jalal on July 28rd 2012. From the explanation of some students above, it can be seen that the students of PP.Darus Sholah and PP.Darul Arifin Jember refuse the radical Islam but the students have the same view that in stemming radicalism, the students must have good understanding in interpreting al-qur’an and hadist. The implementation of those attitude is by cultivating internal culture such as sholawatan, yasinan, tahlilan,the study of yellow kitab or giving batsul masail which are bequathed by the ninth guardians because the ninth guardians brought Islam to Indonesia by the act of politeness without demaging the culture of Indonesia itself. E. The Strategy Of The Students of PP.Darus Sholah and PP.Darul Arifin Jember in Stemming Islamic Radicalism Dissemination The strategy of the students of PP.Darus Sholah and PP.Darul Arifin Jember in stemming Islamic radicalism idiology dissemination is basically based on the prinsiple of preventing effort by enlarging the understanding of the local culture and religious tradition from the ninth guardian. In both islamic institutions, scientifics approach is the first strategy to stem radicalism. As the follower of ahlussunnah wal jama’ah, both PP.Darus Sholah and PP.Darul Arifin proposed the understanding of ahlussunnah waljamaah approach to their students. The basic principle of ahlussunnah waljamaah is tawasut, i’tidal, tawazun, and tasamuh. There is no violence in Islam, Islam is democratic, and Islam always apply polite dialogue to those who are deviating from the truth. Besides enlarging Islamic knowledge, the students must support their brain with the strengthening of general knowledge. The follower of ahlussunnah waljamaah must be smart in both islamic and general knowledge because 154
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
Indonesia is a complex country. There are six religions in Indonesia and all of them try to be the best in knowledge and technology in order to control the country. The follower of ahlussunnah waljamaah must be innovative in technology because technology plays an important role nowadays. With technology Islam will empower the world and absolutelly the result is for the conciliation of people around the world. The second strategy is using cultural and traditional approach. This approach does not mean that it will legitimize some activities which close to syirik like sesajen, but the implementation of cultural and traditional approach are the perpetuation of some Islamic culture by the wali songo like reciding holy al-qur’an and yasin, sholawatan, the study of yellow qitab, bathsul masail which discuss all issues related with Islamism. The implementation of yasinan, sholawatan, study of yellow qitab, and bathsul masail must be well memorized by the students because those are ahlussunnah waljamaah tradition in interacting with others. The principle of implementing such activities mean the Islamic students can imitate the way how the wali songo interact with all people and spreading Islam in peaceful way. The third strategy is using obvious action if the radicalism much influenced the students by some tricts. These obvious are defided into two criterias, first is giving attention to the followers of radical who make something aroused suspicion and the second is informing to the police if the actions categorize radical. The first obvious action is adapted from how the walisongo faced the local people who were jahiliyah but they claimed that they were having supernatural power, where the walisongo imitate Prophet Muhammad who is polite, kind, and sincere to those who did not like Islam. The second obvious action is choosen when the followers of radical Islam is overacted, excessiveness, or extremity and the students can not stem it with the first obvious action.
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
155
Conclussion and Suggestion A. Conclussion Based on the result and discussion, it can be concluded: 1. The history of radical moslems in Indonesia closely related with Padri movement in West Sumatera where there were three revivalists who came home from pilgrimage in Mecca. While, based on the view of the students of PP.Darus Sholah and PP.Darul Arifin, Jember the form of mass organizations which categorize radical In Indonesia are Laskar Jihad, Wahhabi, Front Pembela Islam (FPI, The Front of Defenders of Islam), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI, The Liberation Party), Hamas (Harakat al-Muqawama al-Islamiyya), and Majelis Mujahidin Indonesia (MMI, The Council of Indonesian Jihad Fighters). 2. The category of radical Islam according to the students of PP.Darus Sholah and PP.darul Arifin Jember are those are the permissibelity of jihad, the scope of jihad, suicide bombing, the legetimacy of rebellion against a Moslem Government, the validity of clandestine organization. In addition the radical Islam is esily claimed that others who are in different ideology with them are infidel and their activities are innovations or bid’ah, and superstitions. 3. The attitude is used by the students of PP.Darus Sholah and PP.Darul Arifin Jember is respecting their ideology because it belongs to their human rights, but choosing the attitude to improve the students knowledge in Islam and technology as their basic maintenance from the radical influenced. 4. The strategy of the students of PP.Darus Sholah and PP.Darul Arifin Jember in stemming Islam radical dissemination is devided into three, there are the use of scientifics approach, the implementation of cultural and traditional approach, and the use of obvious action suc as giving attention to the followers of radical who make something aroused suspicion and the second is informing the action to the police.
156
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
B. Suggestion 1. It needs obvious action from the government against some organizations which are categorized radical, that is the intervention of the government upon their curriculum, teachers, departments, etc. 2. It needs strict and closely selection to those who study in foreign country in order that they can not influence and disseminate the ideology (radical) from the place they study. 3. The cooperating between parents and pesantren in guarding their students from the influence of radical Islam.
Reference Abduh U. 2002. Al Zaytun Gate: Investigasi Mengungkap Misteri (Al Zaytun Gate: investigation to reveal a mystery). Jakarta: LPDI-SIKAT and Al Bayyinah. Abuza Z. 2003. Militant Islam in Southeast Asia: crucible of terror. Boulder: Lynne Rienner,. Al-Chaidar. 2000. Sepak Terjang KW9 Abu Toto: Menyelewengkan NKANII Pasca Dengel H. 1995. Darul Islam dan Kartosoewirjo: ‘Angan-Angan yang Gagal’ (Darul Islam and Kartosoewirjo: ‘The failed aspiration’). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Djojosuroto and Sumaryati. 2000. Prinsip Dasar dalam Penelitian Bahasa dan Sastra Bandung:Nuansa. Hornby, A.S. 1995. Oxford Advance Learner’s Dictionary of Current English. Oxford: Oxford University Press. http://www.hawaii.edu/cseas/pubs/explore/Umam2006.pdf http://www.islamicsupremecouncil.org/understanding-islam/antiextremism/7-islamic-radicalism-its-wahhabi-roots-and-currentrepresentTtion.html Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013
157
http://www.microconflict.eu/publications/PWP4_SA.pdf http://www.microconflict.eu/publications/PWP4_SA.pdf, taken on May 2011 McMillan, J. H. 1992. Educational Research: Fundamental for The Customer. New York: Delmar Publisher. Russel Kirk. 1993. The Politics of Prudence. Intercolligiate Studies Institute S.M. Kartosoewirjo (The activities of Abu Toto’s KW9: deviating from NKA-NII post–SM Kartosoewirjo). Jakarta: Madani Press. Saiful Umam. 2006. Radical Muslims in Indonesia: Exploration in Southeast Asian Studies, Journal Vol. 6 No. 1. Sayyid Qutb. 1981. Milestones. Translated by Badrul Hasan. Karachi: International Islamic Publishers. Suharsimi Arikunto. 2011. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rhineka Cipta Yusuf Qardawi. 2009. Islam Radikal. Terjemahan Hawin Murtadho. Solo: PT Era Adicitra Intermedia. Zainal Arifin. 2011. Upaya Para Santri Mlangi Nogotirto Gamping Sleman Jogjakarta Dalam Mencegah Infiltrasi Paham Islam Radikal (Kajian Fenomenologis). Semarang: Kementerian Agama Balai Penelitian dan Pengembangan Agama (unpublished).
158
Jurnal JIAH Vol. 1 No. 02 Oktober 2012-Maret 2013