1
ISLAM DAN KEKUASAAN1 Oleh: Dr. H. Rahmat Hidayat, SE, MT2
Pendahuluan Satu hal penting dan strategis bagi kehidupan kita-manusia adalah masalah kekuasan (kepemimpinan). Ibnu Taimiyah (1263-1328) mengatakan, bahwa mengatur segala urusan masyarakat merupakan salah satu hal yang sangat penting, strategis dan diperlukan (wajibat) menurut agama, dan hal-ihwal agama (al-ahwal ad-diniyah) tidak bisa dibangun dan dilaksanakan tanpa itu.
Imam Ghazali menggambarkan hubungan Agama dan kekuasan sebagai berikut:
Untuk menyempurnakan segala urusannya manusia memerlukan pemimpin yang mengatur segala kebutuhannya melalui organisasi masyarakat yang baik (ijtima’). Oleh karena itu, maka keberadaan pemerintah merupakan keniscayaan untuk membentuk masyarakat sejahtera. Islam sebagai agama yang kaffah (lengkap) telah memberikan panduan tentang kekuasan (kepemimpinan) itu. Banyak sekali ayat Al-Qur’an dan hadist Nabi yang menjelaskan masalah tersebut, diantaranya firman Allah SWT dalam Q.S. Ali-Imran (3): 26 :
1
Materi Ceramah Kuliah Subuh di Masjid Adzik Perumahan Pesona Kayangan Depok, Ahad 13 April 2014. Bekerja di Kemenpera, Dosen pascasarjana UIN Syarif Hidatullah-Jakarta dan IEF Universitas Trisakti, anggota Pleno DSN-MUI dan Dewan Pakar ICMI 2
2
“Katakanlah wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki”. Kemudian firman Allah SWT dalam Q.S. Al-An’aam (6): 165:
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat untuk mengujimu tentang apa yang diberikanNya kepadamu”. Demikian pula sabda Rasulullah SAW
“Bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan kelak akan diminta pertanggung jawaban tentang kepemimpinan kalian”(H.R. Muslim).
Hakikat dan Fungsi Kekuasaan Berdasarkan Al-Qur’an dan hadist diatas, maka kekuasaan itu pada hakikatnya adalah milik Allah yang diberikan kepada orang yang dikehendakiNya. Dengan demikian, maka kekuasaan yang dimiliki manusia tidak mutlak karena merupakan titipan/amanah dan sekaligus ujian dari-Nya. Sebagai titipan/amanah, maka akan dimintakan pertanggung jawaban atas pelaksanaan amanah tersebut. Adapun sebagai ujian, Allah ingin mengujinya dengan kekuasaan itu. Apakah sesorang akan lulus atau tidak dengan ujian tersebut. Lulus tidaknya dalam ujian tersebut
akan
tergantung
sejauh
mana
seseorng
dapat
menggunakan
kekuasaan/kepemimpinan tersebut, apakah untuk kebaikan/maslahah atau justru sebaliknya.
3
Sebenarnya kekuasaan itu netral tergantung orang yang berkuasa, apakah ia dijadikan sebagai media untuk beribadah, beramal baik serta mendapatkan ridho Allah atau sebaliknya dipergunakan untuk berbuat aniaya, menjauhkan diri dari Allah serta mendapatkan murkaNya. Amanat-kekuasaan itu sangat berat tapi mulia. Oleh
karena
itu,
Rasulullah
SAW
memberikan
apresiasi
kepada
para
penguasa/pemimpin yang dapat menggunakan kekuasaan/kepemimpinan itu untuk menegakkan kebaikan-keadilan. Beliau bersabda, bahwa pemimpin yang adil itu kelak akan mendapatkan perlindungan dari Allah (H.R. Bukhari-Muslim), menjadi ahli surga (H.R. Muslim) dan doanya tidak akan ditolak oleh Allah SWT (H.R. Attirmizi). Menurut Imam Al-Mawardi (991-1058), bahwa sebab timbulnya kekuasaan merupakan kontrak sosial atau perjanjian atas dasar suka rela antara Ahlul-Halli wal ‘Aqdi (Ahlu al-hiyar atau para pemilih) dengan pemimpin (Kepala Negara/Kepala Pemerintahan) yang dipilih. Sebagai konsekuensi dari kontrak sosial tersebut, maka melahirkan kewajiban dan hak bagi kedua belah pihak atas dasar timbal balik. Oleh karena itu, pemimpin selain berhak untuk ditaati oleh rakyat dan menuntut loyalitas penuh dari mereka [Q.S. Annisa (4): 59], sebaliknya pemimpin mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi terhadap rakyatnya. Namun demikian, ketaatan rakyat terhadap pemimpin bersyarat, yaitu sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Allah SWT. Jika demikian, maka kewajibaan taat menjadi gugur (H.R. Bukhari-Muslim). Imam As-Sayuthi mengatakan, bahwa untuk dapat memenuhi kewajibannya terhadap rakyat yang dipimpinnya, maka kekuasaan/kepemimpinan harus didekasikan untuk kebaikan (maslahah) bagi rakyat yang dipimpinnya.
Untuk itu, maka kebijakan yang dibuat para penguasa/pemimpin perlu memperhatikan beberapa prinsip dasar sebagai berikut. Pertama, amar ma’ruf nahi munkar. Sejalan dengan perintah Allah (Q.S. Ali-Imran (3): 110), maka tujuan utama
4
dari negara adalah mengajak penduduknya melaksanakan kebaikan (ma’ruf) dan mencegah mereka dari perbuatan “munkar” di seluruh bidang kehidupan. Dan kesejahteraan penduduk
dan negeri hanya
bisa dicapai
melalui perintah
melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar tersebut (Ibnu Taimiyah). Kedua, tegaknya keadilan. Keadilan merupakan hal penting dan mendasar dalam Islam. Allah SWT maupun Rasulullah SWT memberikan perhatian yang serius terhadap masalah keadilan [Q.S: An-nahl (16): 90; Al-Hujurat (49) : 9]. Bahkan salah satu misi kenabian Muhammad SAW adalah menegakkan keadilan. Ketiga, tegaknya “maqashid asy-syariah”. Imam Asy Syatibi mengatakan, bahwa tujuan utama syariah adalah terciptanya kesejahteraan menyeluruh (mashlahah ‘ammah) di seluruh sendi kehidupan masyarakat. Hal tersebut akan tercipta manakala kelima aspek kebutuhan dasar manusia yang dikenal dengan
“maqashid asy- syariah” dapat terjamin
pelaksanaan dan kelestariannya. Kelima kebutuhan dasar tersebut
adalah:
terpeliharanya agama (hifzh ad-diin), terpelihara pemikiran (hifzh al-‘aql), terpelihara jiwa (hifzh an-nafs), terpelihara keturunan (hifzh an-nasl), dan terpelihara harta (hifzh al-maal). Oleh karena itu, maka prinsip-prinsip kebijakan publik yang akan dibuat dan dilaksanakan oleh penguasa/pemimpin sudah semestinya memperhatikan maqashid asy- syariah tersebut.
Contoh Teladan Dalam Islam Sebenarnya telah banyak contoh terbaik (best practice) dalam penyelenggaraan kekuasaan/kepemimpinan dan pemerintahan dalam Islam, diantaranya yang telah dicontohkan langsung oleh Rasulullah SAW, para Khulafa Ar-Rasyidin serta khalifa lainnya. Tapi dalam tulisan ini penulis kemukan dua contoh saja, yaitu Nabi Muhammad dan Umar bin Abdul Aziz. Rasulullah SAW telah berhasil membangun masyarakat madani (civil society)sebuah contoh masyarakat ideal. Ada beberapa hal yang dilakukan Nabi dalam membangun masyarakat madani. Pertama, ketika Nabi hijrah dari kota Makkah ke
5
Madinah yang pertama dibangun oleh beliau adalah masjid. Bagi umat Islam, masjid merupakan basis utama dan terpenting dalam pembentukan masyarakat muslim. Masjid merupakan lambang “dimensi Ketuhanan” atau “spiritualitas”. Rasulullah menyadari bahwa komitmen terhadap sistem dan tatanan kehidupan sosial yang baik akan tumbuh dan berkembang dari semangat ke-Islaman (spiritualitas) yang ada di masjid. Bagi Nabi, masjid bukan hanya tempat ibadah dalam artian sempit, tetapi juga menjadi tempat mengatur strategi dakwah dan perang termasuk dalam menata kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan. Pesan yang ingin disampaikan Nabi dengan membangun “masjid” adalah bagaimana menjadikan masalah spiritualitas, keberagamaan, nilai-nilai Ke-Tuhanan dan masalah keagamaan menjadi isu penting dan staretegis bagi kehidupan kebangsaan dan Negara. Dalam kehidupan kebangsaan kita-Indonesia, sebenarnya para pendiri (founding fathers) Negara Indonesia telah menyadari akan hal tersebut, sehingga menempatkan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dalam Dasar Negara Republik Indonesia-Pancasila. Tapi sayang dalam praktiknya kemudian, aspek tersebut terdistorsi-kalah dan kurang mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya dibandingkan bidang-bidang lain. Kedua, beliau membangun, merajut dan memperkuat kohesi dan relasi sosial antara: kaum muhajirin (kaum migrant) dengan kaum anshar (penduduk asli), antar berbagai kabilah (suku) di Madinah dan antara kaum muslimin dengan non-muslim. Ketiga, menyusun Konstitusi Negara, sebagai dasar dalam mengatur hubungan, kewajiban dan hak Negara terhadap rakyat atau sebaliknya. Keempat, meletakan dasar-dasar sistem keuangan negara sesuai dangan ketentuan-ketentuan Al Qur’an. Pada masa kepemimpinan beliau, masyarakat hidup, sejahtera lahir dan batin. Kalau kita telaah secara mendalam, keberhasilan Nabi membangun masyarakat madani secara signifikan ditentukan oleh Nabi sendiri. Beliau memimpin dengan akhlak yang mulia dan keteladanan (uswatun hasanah).
6
Contoh lain yang spektakuler adalah yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz. Ketika beliau diangkat sebagai Khalifah pada tahun717-720M beliau berjanji akan memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat, sehingga tidak akan ada lagi penduduk miskin dan orang-orang terlantar di negeri yang dipimpin beliau. Untuk mewujudkan janjiannya, beliau melakukan langkah-langkah reformatif, diantaranya: (1) Menyerahkan seluruh harta kekayaan pribadinya dan diikuti keluarga; (2) Mereformasi kehidupan istana, pola hidup istana yang mewah dirubah-menjadi sederhana, semua fasilitas mewah dicabut dan barang-barang mewah milik istana dilelang dan hasilnya masuk ke kas Negara; (3) Beliau mendeklarasikan gerakan nasional penghematan total dalam praktik penyelenggaraan Negara. Struktur negara yang gemuk dirampingkan, birokrasi yang berbelit-belit, lambat, menghambat dan boros dibuat sederhana, cepat, dan murah. Pejabat yang terindikasi korupsi dibebas tugaskan (diberhentikan); (4) Mendistribusikan kekayaan Negara secara adil dan mensosialisasikan
kepada
masyarakat
semanga
kemandirin,
bisnis
serta
kewirausahaan; dan (5) Meningkatkan sumber-sumber penerimaan/pendapatan negara berupa zakat, pajak, jizyah, serta mendistribusikannya secara efisien dan efektif. Dengan langkah reformatif tersebut,
dalam kurun waktu kepemimpinan
beliau yang sangat singkat (tiga tahun), tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat, mereka hidup sejahtera, jumlah muzaki meningkat, dan tidak ada lagi fakir miskin, anak yatim, serta janda-janda tua yang terlantar dan kelaparan. Seperti halnya Rasulullah SAW, Umar bin Abdul Aziz juga memimpin dengan contoh-teladan. Oleh
karena
itu,
keberhasilan
dan
keteladanan
Nabi
dan
khalifah/pemimpin terdahulu dapat menginspirasi para pemimpin kita
para dalam
mewujudkan kepemimpinan dan pemerintahaan yang baik, amanah dan penuh keteladanan, serta memberikan maslahah agar masyarakat dapat hidup makmur, sejahtera lahir dan batin di bawah bimbingan dan ridho Allah (baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur), amin.