NEGARA HUKUM, KEKUASAAN KEHAKIMAN: UPAYA MEMBANGUN AKUNTABILITAS KEKUASAAN KEHAKIMAN1 DR Bambang Widjojanto2 I.
PENDAHULUAN Tidak ada negara hukum yang tidak memiliki lembaga kekuasaan kehakiman. Bahkan, kualitas suatu kekuasaan kehakiman dijadikan salah satu indikator untuk menentukan seberapa demokratisnya suatu negara hukum. Suatu Negara disebut sebagai negara hukum yang demokratis bilamana memiliki Kekuasaan kehakiman yang tidak saja independen tetapi juga memiliki akuntabilitas sehingga dapat menjalankan peradilan yang bersih, dipercaya oleh masyarakat dan menjadi kekuasaaan kehakiman yang berwibawa. Untuk mewujudkan, memastikan dan menjamin adanya kekuasaan kehakiman yang independen dan akuntabel maka diperlukan mekanisme pengawasan yang bersifat internal dan eksternal di dalam sistem kekuasaan kehakiman dimaksud. Pengawasan internal dan eksternal tersebut seyogianya menjadi komplemen satu dan lainnya, terintegrasi, dan sinergis sehingga dapat mewujudkan tugas dan fungsi dari kekuasaan kehakiman. II. NEGARA HUKUM DAN KEKUASAAN KEHAKIMAN Di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia dikemukakan dengan sangat eksplisit bahwa Indonesia adalah negara hukum. Bila negara hukum dikaitkan dengan teori kedaulatan hukum, maka supremasi dari suatu negara tidak terletak pada negara itu tetapi hukum. Kedaulatan hukum menempatkan negara harus tunduk dihadapannya hukum, kedaulatan negara tunduk dan mengabdi pada kedaulatan hukum karena hukum yang akan mengatur orde ketertiban masyarakat dan juga mengatur hubungan antara masyarakat dan negara. Pada konteks itu, kekuasaan politik yang dimiliki oleh otoritas negara juga harus tunduk dihadapan kedaulatan hukum. Konstitusi Indonesia juga menyatakan secara eksplisit bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan melalui Undang Undang Dasar.3 Bilamana 1
Disampaikan pada PELATIHAN HAK ASASI MANUSIA UNTUK JEJARING KOMISI YUDISIAL RI, diselenggarakan oleh Puham UII, bekerjasama dengan Komisi Yudisial RI dan NCHR, di Bandung, 30 Juni – 3 Juli 2010. Makalah ini pernah diajukan sebagai Artikel Opini di dalam Bunga Rampai Komisi Yudisial Tahun 2010. 2 Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Senior Partners WSA Law Office, dan Legal Advisor Partnership for Governance Reform; 3 Pasal 1 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945
1
kedaulatan hukum tersebut di atas diletakkan dan berpijak pada kedaulatan rakyat, maka kedaulatan hukum bukanlah ditujukan semata‐mata untuk kepentingan hukum itu sendiri, tetapi justru harus ditujukan dan berpihak bagi kepentingan masyarakat. Berkenaan dengan hal tersebut maka suatu negara hukum harus ditujukan dan berpihak bagi kepentingan masyarakat. Pada alenia ke IV, Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) Tahun 1945 telah secara tegas dikemukakan, pembentukan Pemerintahan Negara Indonesia dimaksudkan untuk: “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…”. Ini artinya, kedaulatan hukum berpijak pada aspirasi dan kepentingan dari rakyat, hukum tidak dapat bertindak sewenang‐wenang dihadapan kepentingan rakyat. Hal tersebut juga dimaknai, pembentukan dan penyelenggaraan pemerintahan yang diatur di dalam suatu negara hukum tidak dapat mengingkari aspirasi rakyat, melanggar hak‐ hak dasar dari warga negaranya, dan/atau bertindak sewenang‐wenang sehingga mengingkari kepentingan rakyat. Kata kunci dari alenia konstitusi seperti tersebut di atas justru ditujukan tidak hanya sekedar melindungi kepentingan rakyat, tetapi negara hukum dimaksud ditujukan untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Salah satu instrumen penting di dalam suatu negara hukum adalah adanya kekuasaan kehakiman yang independen untuk menyelenggarakan peradilan guna mewujudkan kepastian hukum dan keadilan.4 Berbagai konvensi Internasional, seperti: Universal Declaration of Human Rights 5, International Covenant Civil and Political Rights 6, International Bar Association Code of Minimum Standard of Judicial Independence , Beijing Statement of Independence of Judiciary in the Law Asia Region juga menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan salah satu komponen utama dalam suatu Negara hukum. Konvensi dimaksud bahkan juga mengemukakan lebih tegas, kekuasaan kehakiman yang dimaksud konvensi adalah kekuasaan kehakiman yang independen, tidak memihak dan kompeten. Keberadaan kekuasaan kehakiman di dalam suatu negara hukum juga dikemukakan oleh Purwoto Gandasubrata, mantan Ketua Mahkamah Agung kedelapan, periode 1992‐ 1994 yang dengan sangat tegas mengemukakan bahwa ” ...konsekwensi ... sebagai negara hukum, maka merupakan suatu conditio sine qua non manakala di negara kita harus ada suatu kekuasaan kehakiman atau badan peradilan yang merdeka dan berwibawa yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum,
4
Pasal 24 ayat (1) Undang Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. 5 Article 10 Universal Declaration of Human Rights. 6 Article 14 International Covenant Civil and Political Rights.
2
kepastian/keadilan hukum, apabila terjadi pelanggaran atau sengketa hukum di dalam masyarakat”.7 Ada beberapa hal penting yang tersebut di dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang Undang Dasar Tahun 1945 berkenaan dengan Kekuasaan Kehakiman, yaitu sebagai berikut: kesatu, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dalam menjalankan peradilan; kedua, tujuan dari penyelenggaran kekuasaan kehakiman adalan untuk menegakkan hukum dan keadilan; dan ketiga, pelaksanaan kekuakasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya, serta Mahkamah Konstitusi Pada konteks Indonesia, ada periode sejarah penegakkan hukum yang memperlihatkan bahwa kekuasaan kehakiman belum dapat dikualifikasi sebagai independen. Indikasi atas hal itu dapat dikemukakan dari berbagai hal sebagai berikut, yaitu: 1. Di era kolonialisme, hakim pada hoogerechtsthof dan Raad van Justitie adalah pegawai yang terpisah dari pemerintahan, sedangkan ketua Landraad di Jawa dan Madura dan di sebagian luar Jawa dan Madura adalah pegawai pemerintahan yang biasanya berada di bawah Departemen Kehakiman. 2. Pada jaman Orde Lama, kekuasaan kehakiman ditempatkan sebagai alat revolusi hukum untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, Pasal 19 Undang Undang No. 19 Tahun 1964 menyatakan ”Demi kepentingan revolusi, kehormatan Negara dan Bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, Presiden dapat turut atau campur‐tangan dalam soal‐soal pengadilan”. Begitupun halnya dengan otoritas dari lembaga penegakan hukum lainnya;8 3. Pada era Orde Lama ini, Presiden menempatkan Ketua Mahkamah Agung sebagai Menteri Kabinet dengan 3 (tiga) jabatan, yaitu: Menteri Penasihat Hukum Presiden, Menteri Kehakiman dan Menteri yang menjabat dan merangkap juga sebagai Ketua Mahkamah Agung.9 4. Pada Orde Baru, Presiden tidak lagi menempatkan Ketua Mahkamah Agung dibawah kekuasaan Presiden tetapi syarat‐syarat seorang hakim untuk dapat diangkat dan diberhentikan diatur di dalam Undang Undang dan di dalam perundangan dimaksud ada kewenangan Presiden untuk menentukan hakim dimaksud.10 7
Purwoto Gandasubrata, Renungan Hukum, Ikatan Hakim Indonesia, Maret 1998, hal. 65. 8 Pasal 14 ayat (2) Undang Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman menyatakan “Untuk menegakkan hukum sebagai alat revolusi dan/atau untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, Penuntut Umum berhak meminta … mengenai perkara-perkara kejahatan tertentu yang ditetapkan di dalam Undang-undang”. 9 Philippus M Hadjon, Lembaga Tertinggi dan Lembaga –lembaga Tinggi Negara sesuai Undang Undang Dasar 1945: Suatu Analisa Hukum dan Kenegaraan, PT Bina Ilmu, 1992, Surabaya, halaman 69. 10 Pasal 8 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan sebagai berikut: (1) Hakim Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara dari daftar nama calon yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat; (2) Daftar nama calon sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden selaku Kepala Negara setelah Dewan Perwakilan Rakyat mendengar pendapat Mahkamah Agung dan Pemerintah; dan (3)
3
Uraian seperti tersebut di atas menjelaskan dan memperlihatkan bahwa kekuasaan atau kepentingan eksekutif mempunyai intensi untuk melakukan intervensi pada kepentingan kekuasaan kehakiman. Intervensi dimaksud menyebabkan kekuasaan kehakiman tidak sepenuhnya independen dihadapan kekuasaan. Pada kondisi sedemkian maka tidaklah dapat diharapkan, kekuasaan kehakiman dapat menjalankan kekuasaannya secara merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan. Lebih‐lebih di dalam kenyataannya, intervensi dari kekuasaan tersebut tidak hanya dilakukan melalui proses rekruitmen, promosi, demosi, dan mutasi saja11 tetapi juga melalui kontrol organisasi dan administratif 12serta ”politik anggaran”.13 Berdasarkan kondisi perundangan di atas dan disertai faktor sosial politik yang melingkupi sistem kekuasaan yang ada, maka dapatlah dikemukakan bahwa Negara Hukum pada saat itu barulah berupa ketentuan teks yang bersifat tekstual karena tidak didukung oleh sistem kekuasaan kehakiman yang independen. Kondisi ideal sebagai sebuah negara hukum belum dapat dicapai. Hal ini mendapatkan konfirmasi melalui pernyataan yang dikemukakan oleh Ketua Mahkamah Agung di dalam suatu pernyataannya mengemukakan bahwa ”pada masa lalu, Mahkamah Agung tidak terlepas dari intervensi institusi negara lainnya”.14 Problem independensi ini merupakan salah satu masalah yang sangat fundamental dan mendapatkan sorotan yang sangat serius. Itu sebabnya, pada era reformasi persoalan independensi ini dirumuskan secara spesifik di dalam konstitusi maupun perundangan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Secara tekstual, Undang Undang Dasar sebelum amandemen mengatur kekuasaan kehakiman dengan menyatakan ”kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara di antara Hakim Agung yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan rakyat 11 Penjelasan UU No. 14 Tahun 1970 menyatakan bahwa untuk memperoleh Hakim diperlukan ada kerja sama serta konsultasi antara Mahkamah Agung dan Pemerintah, khususnya dalam bidang pengangkatan, pemberhentian, pemindahan, kenaikan pangkat ataupun tindakan/hukuman administratif, terhadap Hakimhakim Pengadilan Umum. 12 Pasal 7 ayat (3) UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketenuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa “, Peradilan-peradilan tersebut … teknis ada di bawah pimpinan Mahkamah Agung, tetapi organisatoris, administratif dan finansiil ada di bawah kekuasaan Departemen Kehakiman, Departemen Agama dan Departemen-departemen dalam lingkungan Angkatan Bersenjata. Seda ngkan pada Pasal 11 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 menyatakan “Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut pasal 10 ayat (1) organisatoris, administratif dan finansil ada dibawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan”. 13 Penjelasan Pasal 11 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1970 menyatakan “….organisasi, administrasi dan keuangan tersebut terpisah dari administrasi dan keuangan Departemental, walaupun demikian penentuan organisasi, administrasi dan keuangan Sekretariat Mahkamah Agung itu dilakukan oleh Pemerintah dengan bahan-bahan yang disampaikan oleh Mahkamah Agung”. 14 Prof. DR. Bagir Manan, Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung, Mahkamah Agung RI, Tahun 2003
4
Agung dan lain‐lain Badan Kehakiman menurut Undang‐undang”; sedangkan, ”syarat‐syarat untuk menjadi menjadi hakim agung dan diberhentikan diatur dengan Undang‐undang”.15 Rumusan teks dimaksud tidak secara eksplisit menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dalam menjalankan peradilan. Itu sebabnya, tidak ada jaminan tidak adanya intervensi dari kekuasaan eksekutif atas institusi yudikatif. Salah satu indikasinya, potensi intervensi dimaksud dapat dilakukan melalui proses pengangkatan dan pemberhentian hakim sebagaimana diatur di dalam Pasal 31 UU No. 14 Tahu 1970. Undang Undang Dasar pasca amandemen lebih tegas mengatur kekuasaan kehakiman dengan menyatakan ”kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Konstitusi dimaksud juga merumuskan secara tegas, siapa saja lembaga yang ,menjadi penyelenggara dan bagian dari kekuasaan kehakiman, merumuskan tugas dan wewenangnya serta hal lain yang berkaitan dengan pengangkatan dan syarat menjadi Hakim Konstitusi dan anggota Komisi Yudisial.16 Selain masalah independensi, Mahkamah Agung juga menghadapi masalah lainnya yang cukup serius. Mahkamah Agung juga mendapatkan sorotan yang sangat tajam berkaitan dengan integritas, kualitas dan kinerja sebagian hakim dan hakim agung serta pegawai yang bekerja di Mahkamah Agung. Hal sedeimikian mendapatkan konfirmasi dari Ketua Mahkamah Agung yang menyatakan ”... adanya kritik bahwa proses berperkara di Mahkamah Agung memakan waktu yang cukup lama sehingga menyebabkan keadilan bagi para pencari keadilan tertunda ...”. Kritik lainnya yang juga kerap diajukan berkaitan dengan tidak jalannya fungsi pengawasan dan pembinaan di dalam tubuh mahkamah. III. KEKUASAAN KEHAKIMAN: DARI INDEPENDENSI KE AKUNTABILITAS; Purwoto S Gandasubrata, Mantan Ketua Mahkamah Agung tahun 1992‐1994 telah membuat pernyataan agar para juris, baik di bidang legislatif, eksekutif dan judikatif dan pemberian jasa hukum harus berperan postif‐konstruktif untuk menegakkan hukum yang berkeadilan. Kala itu, Purwoto mengemukakan pertama kali istilah ”mafia peradilan” dalam kerangka dan mengaitkan agar para juris jangan berperan negatif‐destruktif menyalahgunakan hukum sehingga memunculkan tuduhan adanya mafia peradilan, penyelewengan hukum, kolusi hukum dan adanya penasihat hukum yang pinter‐busuk (Advocaat in Kwade Zaken).17 15
Pasal 24 dan Pasal 25 Und.ang Undang Dasar 1945 sebelum di amandemen. Lihat Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B dan Pasal 24C Undang Undang Dasar 1945; 17 Purwoto Gandasubrata, Makalahnya Menegakkan Kewibawaan Peradilan Yang Bersih dan Mandiri, Op. Cit., hal. 65. 16
5
Mantan Ketua MA dimaksud menegasikan sinyalmen adanya mafia peradilan di dunia peradilan, kendati juga mengakui, kala itu ada peristiwa yang disebut sebagai noda‐ noda hitam di bidang penegakkan hukum dan peradilan dengan menunjuk kasus Marsinah, Waduk Nipah, kasus Penghinaan oleh Mahasiswa, dan Kasus Kredit Golden Key di Bapindo. Belum lama ini, Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum18 mempublikasikan suatu dokumen yang berisikan modus operandi bekerjanya mafia hukum. Kata kunci ”mafia hukum” di dalam dokumen dimaksud digunakan sebagai justifikasi bahwa kejahatan yang disebut mafia tidak hanya terjadi diberbagai tempat dan dilakukan oleh banyak pihak serta tidak hanya berada di dunia peradilan semata. Namun demikian, pada dokumen dimaksud dipetakan sekitar 79 (tujuh puluh sembilan) pola kejahatan dan sekitar 136 modus operandi kejahatan yang khusus terjadi di dunia peradilan.19 Tentu saja, tidak hanya menyangkut, tindak kejahatan yang diduga dikalangan hakim semata., tetapi juga yang dilakukan para penegak hukum lainnya. Fakta yang tidak terbantahkan, inilah kali pertama, negara melalui pemerintah mengeluarkan suatu dokumen resmi yang dihasilkan dari suatu assessment yang merinci tahap kejahatan, pola dan modus operandi serta pelaku kejahatan di lingkungan peradilan. Pada sisi yang lain, dokumen ini juga dapat dimaknai sebagai justifikasi pemerintah atau setidaknya Satuan Tugas yang dibentuk secara resmi oleh pemerintah, atas fakta adanya suatu kejahatan yang bekerja secara ”masif, sistematis, dan terstruktur” di lembaga hukum, termasuk di institusi peradilan; dan sekaligus menolak berbagai pernyataan dari kalangan penegekan hukum yang sejak semula selalu menolak adanya kejahatan yang telah bekerja secara meluas, melibatkan banyak kalangan dengan modus kejahatan yang sebagiannya sangat tradisional. Pada konteks kejahatan di dunia peradilan, dokumen dimaksud telah mengidentifikasi dan memetakan potensi kejahatan sesuai dengan tahapan perkara, mulai dari tahapan: pendaftaran perkara, persidangan, pembuatan putusan/ penetapan, pasca putusan, hingga eksekusi putusan, baik di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi hingga Mahkamah Agung. Dokumen juga mengidentifikasi para pelaku yang potensial terlibat di dalam kejahatan mafia hukum, yaitu: meliputi: petugas registerasi perkara, pantera, panitera pengganti, hakim, ketua pengadilan, jaksa, advokat, para piahk, dan terdakwa serta para calo.
18
Satuan Tugas (Satgas) Mafia Hukum dibentuk oleh Presiden melalui Keputusan Presiden No. 37 Tahun 2010. Tujuan pembentukan Satgas adalah untuk mempercepat pemberantasan praktik mafia hukum yang semakin lama dianggap semakin mengkuatirkan dan merusak upaya penegakkan hukum di Indonesia. 19 Satuan Tugas Mafia Hukum, Mafia Hukum: Modus Operandi, Akar Permasalahan dan Strategi Penanggulangan, Mei 2010
6
Salah satu bagian penting yang berhasil di identifikasi dalam kaitan dengan modus operandi kejahatan pada tahapan pembuatan putusan dan penetapan, dokumen tersebut menyatakan sebagai berikut: 1. kesatu, pola kejahatan dapat berupa negosiasi putusan/penetapan, permintaan uang lelah atau uang terima kasih dan penipuan; 2. kedua, hakim atau melalui perantara meminta uang pada salah satu pihak dengan imbalan berupa putusan perkara yang menguntungkan salah satu pihak/ terdakwa/ korban, mengatur besaran ganti rugi, memutus perkara tidak dapat diterima; 3. Hakim menunda‐nunda pembacaan putusan, dilelangnya amar putusan (baik dilakukan sendiri maupun dengan perantara),dilakukannya negosiasi putusan , dan adanya permintaan uang lelah atau terim kasih; 4. salah satu pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung di dalam persidangan meminta uang dalam jumlah tertentu kepada korban (terdakwa atau pihak berpekara) dengan cara menipu dan mengatasnamakan kepentingan hakim;20 Uraian di atas menjadi menarik untuk dikaji lebih teliti karena ternyata, problem kekuasaan kehakiman tidak semata‐mata masalah intervensi kekuasaan eksekutif pada kekuasaan kehakiman sebagaimana banyak dielaborasi pada bagian sebelumnya. Uraian di atas memperlihatkan dengan sangat jelas, ada problem integritas dan profesionalitas di sebagian kalangan hakim pada tugas pokok dan kewenangan yang menjadi ”core bussines” dari kekuasaan kehakiman; serta adanya ”intervensi” dari kalangan lingkup kekuasaan kehakiman dan maupun dari kalangan non pemerintahan. Intervensi dari pihak ketiga yang bukan berasal dari kalangan pemerintahan dengan kekuatan kapitalnya dapat dipastikan berkaitan dengan: pertimbangan hukum, alasan‐alasan yang menjadi dasar justifikasi untuk membuktikan adanya suatu peristiwa hukum atau terpenuhi‐tidaknya unsur di dalam pasal dakwaan/ tuntutan, jumlah ganti kerugian dan siapa yang bertanggung jawab. Pendeknya sangat berkaitan erat dengan hal ichwal putusan dan dapat dipastikan dampaknya akan sangat merugikan justisiabel atau pencari keadilan dan lembaga penegakan hukum itu sendiri. Putusan Hakim, khususnya bagian pertimbangan hukum dan amar putusan adalah ”mahkotanya” pengadilan karena itulah bagian yang paling esensial dan subtil dari sebuah putusan. Kehormatan, martabat dan kewibawaan hakim dan peradilan tergantung dari, apakah suatu putusan, khususnya bagian pertimbangan hukum dan amar putusannya telah didasarkan dan diputus berdasarkan peristiwa, fakta, doktrin, teori dan filsafat hukum serta rechts idee yang berpucuk pada hukum, keadilan dalam perspektif hak asasi dan kepentingan publik.
20
Lihat Lampiran 2, Matriks Modus Operandi lengkap Mafia Hukum di Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan.
7
Pada titik inilah, prinsip akuntabilitas mendapatkan relevansi dan dasar justifikasi. Hakim dan peradilan seyogianya tidak dapat lagi semata‐mata berlindung dibalik prinsip independensi untuk melindungi martabat dan kehormatannya dari potensi intervensi. Koin kepastian hukum dan keadilan seharusnya menjadi komplementer satu dan lainnya untuk menjamin dan memastikan agar kekuasaan kehakiman yang menyelenggarakan peradilan guina menegakkan hukum dan keadilan secara sungguh‐ sungguh dilaksanakan secara amanah. Keberadaan prinsip akuntabilitas menjadi isu utama yang sangat penting sebagai mekanisme check and balances atas prinsip independensi yang dimiliki mahkamah dan peradilan dibawahnya yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. Prinsip akuntabilitas ini menjadi urgen untuk diterapkan, karena independensi tidak dapat lagi sepenuh‐penuhnya ditegakkan secara absolut karena kekuasaan kehakiman dapat menjadi uncontrollable sehingga potensial digunakan untuk melindungi perilaku koruptif dari sebagian hakim dan/atau pihak ketiga lainnya yang ”berlindung” dibalik prinsip independensi. Prinsip akuntabilitas adalah salah satu prinsip yang biasa dikenal di dalam system good governance yang konsepnya dapat saja diambil untuk membangun sistem kerja dari institusi judisial menjadi good governance within judiciary system. sehingga fungsi judisial dapat berjalan secara efektif dan efisien serta menuju kearah yang lebih baik. Secara umum, penegakkan prinsip akuntabilitas dapat dilakukan bilamana terjadi kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban dari setiap organ di dalam lembaga kekuasaan kehakiman sehingga pengelolaan kekuasaan kehakiman dapat berjalan secara efektif”. Pada konteks itu, ada kesesuaian antara pengelolaan kewenangan yang didasarkan tugas dan fungsi kekuasaan kehakiman dengan peraturan perundang‐undangan yang berlaku dan prinsip‐prinsip pengelolaan judisial yang baik dan sehat. Salah satu prinsip penting dalam menerapkan pengelolaan judisial yang baik adalah adanya sistem pengawasan yang baik yang memuat: rincian atas hal‐hal penting yang perlu diawasi untuk menjaga martabat dan kehormatan kekuasaan kehakiman, adanya kode etik dan perilaku yang applicable, tersedianya tata cara dan mekanisme pengawasan yang utuh dan solid, tersedianya orang‐orang yang memiliki profesionalitas dan integritas dalam melakukan pengawasan. IV. PENGAWASAN DALAM RANGKA MEWUJUDKAN AKUNTABILITAS KEKUASAAN KEHAKIMAN;
8
Di dalam tulisan yang membahas soal krisis yang terjadi didalam pemerintahan disebutkan ada 3 [tiga] yang menjadi faktor penyebab krisis pemerintahan, yaitu: pertama, rendahnya kompetensi dan integritas pejabat di lingkungan birokrasi pemerintahan sehingga birokrasi menjadi tidak efektif dan efisien; kedua, di sub‐ ordinasikannya: institusi hukum, lembaga pelayanan publik dan birokrasi oleh kepentingan elit kekuasaan dan pejabat pemerintahan di berbagai tingkatan sehingga tidak ada kepastian hukum, biaya pelayanan menjadi tinggi dan bersifat diskriminatif; ketiga, adanya sikap dan perlaku koruptif dan kolusif yang berkembang di dalam lingkungan aparatur dan birokrasi institusi di dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. 21 Uraian di atas hendak menunjuk pada beberapa hal, yaitu tidak adanya profesionalitas, integritas, independensi dan akuntabilitas. Bila sinyelamen di atas diletakkan di dalam sektor judisial dalam kaitannya dengan peningkatan kapasitas pengawasan, maka berbagai hal yang terdapat di dalam lingkungan birokrasi, juga potensial terjadi di dalam lembaga judisial. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk membangun sitem pengawasan yang akuntabel. Pada tahap yang pertama perlu didorong suatu keterbukaan dalam menjalankan dan mengemukakan informasi yang bersifat material dan relevan (disclosure) mengenai lembaga dalam melaksankaan tugas dan wewenangnya. Informasi dimaksud haruslah juga bersifat akurat dan aktual mengenai kinerja dari institusi kepada justisiabel. Pada konteks ini, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dapat secara bersama merumuskan sistem keterbukaan yang lebih luas lagi pada setiap penggunaan kewenangan dan pelaksanaan program yang dilakukan oleh lembaga judisial. Lebih jauh dari itu, Komisi Yudisial dapat membangun ”base line” data dalam bentuk komputerisasi atas berbagai hal lain yang relevan dengan tugas dan wewenangnya dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Pada tahap yang kedua, upaya‐upaya untuk memastikan adanya independensi perlu terus dilakukan. Independensi tetap menjadi salah satu prinsip yang sangat penting karena harus dimaknai sebagai keadaan dimana kekuasaan kehakiman tidak hanya dibebaskan dari intervensi kekuasaan saja, tetapi juga semua faktor, pengaruh atau tekanan pihak lainnya yang bertentangan dengan intergitas dan kredibilitas kekuasaan kehakiman yang baik. Pendeknya, institusi seyogianya tidak mendapatkan tekanan di
21
Bambang Widjojanto, Disertasi, Pencegahan Korupsi melalui Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Dalam Badan Usaha Negara Dihubungkan dengan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003, belum dipublikasikan, Hal. 197.
9
dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dari dalam maupun luar institusi, baik berupa faktor kapital dan non kapital. Selain masalah transparansi dan independensi, ada syarat penting lainnya untuk mewujudkan tanggungjawab institusi, yaitu adanya indikator dan parameter yang terukur serta mekanisme yang jelas untuk mengukur kinerja lembaga dan apartur yang bekerja pada institusi kekuasaan kehakiman dimaksud. Untuk mewujudkan akuntabilitas yang baik, biasanya, ada suatu program atau didahului dengan suatu proyek yang diarahkan pada pelaksanaan atau aktulalisasi dari prinsip transparansi; atau bisa juga terjadi, atau setidaknya kedua transparansi dan akuntabilitas diterapkan secara bersamaan, karena tidak akan ada akuntabiltas tanpa adanya transparansi. Kedua prinsip dimaksud dapat diletakkan sebagai bagian untuk membangun sistem saling imbang dan saling kontrol (check and balances). Pada konteks pengawasan, penerapan sistem dimaksud secara konsisten dapat menjadi bagian dari upaya pencegahan korupsi karena penggunaan suatu kewenangan senantiasa harus dilakukan secara transparan sehingga dapat lebih mudah dideteksi dan diantisipasi jika digunakan tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian kewenangan tersebut. Akuntabilitas pengawasan dapat dilakukan bilamana penggunaan kewenangan dapat lebih terukur serta semua kewenangan yang melekat pada tugas pokok kekuasaan kehakiman dilakukan secara transparan. Di dalam perundangan di Indonesia, khususnya pada konsideran menimbang huruf b dan Pasal 20 Undang‐Undang RI No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial22 telah dikemukakan secara limitatif, komisi mempunyai peran penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim serta dalam melaksanakan kewenangannya. Komisi Yudisial mempunyai tugas untuk melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim. Pengawasan dimaksud juga dapat dikualifikasi sebagai bagian dari tindak pencegahan tindak pidana korupsi terhadap oknum hakim. Pelaksanaan dari aturan tersebut masih mengalami kendala karena Undang‐Undang Komisi Yudisial Baru hasil revisi belum diundangankan sehingga pasal di dalam perundangan belum cukup mengatur serta menetapkan secara tegas mekanisme pemeriksaan dan penerapan sanksi serta bila terjadi pengingkaran atas pelaksanaan kewenangan komisi, baik oleh hakim maupun lembaga pengadilan. Di dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan adanya pengawasan internal dan pengawasan eksternal. Pasal 39 ayat (1) UU a quo
22
Undang Undang RI No.20 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
10
menyatakan “Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung”; sedangkan berkenaan dengan pengawasan internal UU a quo menyatakan “Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung”.23 Berkenaan dengan pengawasan UU a quo menyatakan sebagai berikut ”Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dilakukan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial” dan ”Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim”.24 Pasal lain yang berkaitan dengan pengawasan eksternal menyatakan ”Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim”.25 Bilamana dilakukan kajian teks dan gramatikal atas beberapa pasal di atas yang berkaitan dengan pengawasan maka dapatlah dikemukakan hal‐hal sebagai berikut: 1. Pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman, khususnya terhadap aparatur hakim yang menyelenggarakan peradilan di lembaga Mahkamah Agung meliputi pengawasan internal dan eksternal; 2. Ada frasa kata yang berkaitan dengan pengawasan, yaitu “pengawasan tertinggi”, “pengawasan internal” dan “pengawasan eksternal”: 3. Pengawasan tertinggi menunjuk pada lingkup pengawasan, yaitu: terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung; 4. Pengawasan internal menunjuk pada subyek yang diawasi yaitu tingkah laku hakim dan dilakukan oleh Mahkamah Agung; 5. Pengawasan eksternal ditujukan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dan dilakukan oleh Komisi Yudisial; 6. Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim”. Ada beberapa hal lain yang perlu dielaborasi lebih jauh berkaitan dengan obyek dan lingkup pengawasan, yaitu misalnya: Kesatu, pengawasan internal dimaksudkan untuk mengawasi tingkah laku hakim dan pengawasan internal ditujukan untuk mengawasi perilaku hakim. Apakah frasa kata ”tingkah laku” dan ”perilaku” pada maksud yang sama?, lalu apa yang 23
Pasal 39 ayat (3) Undang Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) Undang Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 25 Pasal 42 Undang Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 24
11
membedakannya selain pihak yang mengawasi, yaitu Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial?. Apakah pengawasan yang berkaitan dengan frasa kata ”tingkah laku” mempunyai kaitan dengan penyelenggaraan peradilan?. Kedua, ”core business” dari kekuasaan kehakiman adalah menyelenggarakan peradilan dan ”core business” dari Komisi Yudisial adalah menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Ada 2 (dua) pertanyaan dapat diajukan, yaitu: 1. Apakah dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat hanya berkenaan dengan perilaku hakim saja? Ataukah 2. Penegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim juga berkaitan dengan penyelenggaraan peradilan?. Bilamana pertanyaan diatas dikaitkan dengan pola dan modus operandi mafia peradilan yang merupakan bagian dari mafia hukum sebagaimana telah dirumuskan pada bagian terdahulu, siapa yang mempunyai legal standing untuk melakukan pengawasan?. De facto, sebagian besarnya tindakan dari pola dan modus operandi kejahatan berkaitan dengan penyelenggaran peradilan serta sikap, perilaku dan tindakan dari ”mafioso” tersebut, justru telah dan dipastikan sudah ”menista” kehormatan dan keluhuran martabat hakim serta merupakan perilaku yang tidak dapat ditolerir. MA memang menjadi Pengawas Tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan karena upaya hukum dalam proses persidangan memang berpucuk di MA, tetapi apakah bila terjadi tindakan seperti dirumuskan dalam pola dan modus operandi kejahatan di atas maka pengawasan atas masalah tersebut menjadi kewajiban dari MA semata. Bila dilihat aspek historikal‐sosiologis mengenai kemampuan pengawasan internal untuk menangani dan mengatasi problem sistem dan struktural sebagaimana dirumuskan dalam pola dan modus operandi kejahatan yang dilakukan mafia peradilan, Mahkamah dipandang atau setidaknya hingga saat dianggap tidak mempunyai kemampuan yang sangat signifikan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Itu sebabnya, rakyat melalui para wakilnya di dalam amandemen konstitusi melakukan dua hal sekaligus, yaitu: kesatu, menyatakan secara eksplisit kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam menyelenggarakan peradilan; dan kedua, dibentuklah instrumen yang bernama Komisi Yudisial dengan menyebutkan secara eksplisit kewenangannya yang salah satunya adalah menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim. Kosa kata ”menjaga” dalam kewenangan Komisi Yusidisal sebagaimana tersebut dalam konstitusi dapat dimaknai sebagai upaya‐upaya yang bersifat preventif; dan frasa kata ”menegakkan” dapat ditasirkan sebagai upaya yang bersifat represif. ”kosa kata
12
”kehormatan dan keluhuran martabat” bukan sekedar perilaku hakim semata tetapi sikap, tindakan dan perilaku dari hakim di dalam menyelenggarakan peradilan. Bilamana untuk kepentingan mutasi termasuk demosi maka Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi. Ketentuan dimaksud dapat dimaknai dua hal, yaitu: kesatu, komisi mempunyai kewenangan terbatas, jika untuk kepentingan mutasi maka dapat melakukan kajian atas putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tetapi tidak bagi putusan yang belum memperoleh kekuatan hukum; kedua, komisi dapat melakukan kajian atas putusan pengadilan, baik putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap maupun tidak, bila tidak berkaitan dengan rekomendasi untuk kepentingan mutasi. Seluruh uraian yang berkaitan dengan pengawasan seperti tersebut di dalam UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagiannya masih ada yang perlu ”diperdebatkan” karena dapat ditafsirkan lebih dari satu pengertian sehingga perlu diatur dan dirumuskan serta disepakati bersama agar dapat menjadi bagian penting dalam membangun akuntabilitas kekuasaan kehakiman.
Tindak penyalahgunaan kewenangan di dalam sistem peradilan, terutama di dalam praktik suap‐menyuap juga dapat dilihat di dalam perspektif hukum ekonomi, yaitu karena adanya: penawaran (supply) dan permintaan (demand). Putusan yang menjadi obyek penyuapan melalui stakeholders di institusi pengadilan dapat diibaratkan sebagai ”komoditas”. Permintaan dimaksud, biasanya datang dari pihak pencari “keadilan”, walau tak jarang dari pihak atau kalangan pengadilan dan penawaran biasanya adalah pihak yang memiliki kewenangan atau pejabat. Tindakan pengawasan untuk mewujudkan akuntabilitas kekuasaan kehakiman juga dapat berarti suatu tindakan untuk menggunakan pendekatan pencegahan dengan cara membangun instrumen dan program sebagai suatu upaya untuk meminimalisasi demand dan sekaligus memotong supply. Permintaan (demand) akan meningkat jika bertemunya faktor ”Niat dan Kesempatan” karena pada dasarnya “penyalahgunaan kewenangan dapat terjadi jika ada kesempatan atau peluang dan niat atau keinginan dalam waktu bersamaan”26. Faktor peluang berkaitan erat dengan ada‐tidaknya sistem termasuk di dalamnya suatu mekanisme kontrol penggunaan kewenangan. Faktor keinginan lebih berkaitan dengan karakter dan integritas atau moralitas yang dimiliki seorang pejabat pemilik kewenangan. Kedua faktor tersebut bersifat komplementer satu dan lainnya, kendati faktor kesempatan biasanya menjadi salah satu pemicu utama yang mendorongnya munculnya faktor keinginan. 26
Jeremy Pope, National Integrity Systems: Sources Book, Ibid.,Hlm. iiii.
13
Pada konteks itu, penyalahgunaan kewenangan tidak akan terjadi bilamana ada kesempatan tetapi tidak ada keinginan. Hal serupa juga terjadi sebaliknya, penyalahgunaan kewenangan tidak akan terjadi bilamana ada keinginan tetapi tidak ada kesempatan. Faktor kesempatan dapat meningkat karena disebabkan adanya kelemahan pada sistem di dalam korporasi itu sendiri. Secara umum akuntabilitas kekuasaan kehakiman bermasalah bilamana terjadi: adanya kelemahan sistem pengawasan internal lembaga, tidak terkonsolidasinya sistem pengawasan internal dan eksternal, serta tidak terintegrasinya pengawasan melekat dan fungsional, tidak diakomodasinya partisipasi publik baik melalui penanganan klaim dan komplain maupun kontribusi ide dan gagasan untuk turut serta menjaga martabat dan penghormatan kekuasaan kehakiman, adanya masalah dalam karakter dan integritas dari hakim dan unsur pimpinan lembaga, dan adanya kelemahan dalam sistem dan prosedur operasional kekuasaan kehakiman. Penerapan prinsip tersebut di atas menjadi salah satu elemen untuk mengeliminasi kelemahan di dalam sistem kekuasaan kehakiman yang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kewenangan. Mahkamah dan Komisi Yudisial seyogianya merumuskan, membuat standar operasional dan mewajibkan semua organ di dalam Mahkamah untuk menjalankan prinsip‐prinsip di atas pada setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi. Kewajiban untuk menerapkan prinsip‐ prinsip tersebut ditujukan dalam kerangka: kesatu, meningkatkan kinerja kelembagaan; kedua, melindungi kepentingan stakeholders yang menjadi users lembaga kekuasaan kehakiman; ketiga, meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang‐undangan serta peningkatan penerapan atas nilai‐nilai etika dan perilaku (code of ethich and conduct) yang berlaku secara umum pada aparatur dan penyelenggara kekuasaan kehakiman. V. PENUTUP Hasil Survei PERC masih menempatkan peradilan di Indonesia sebagai terburuk di tingkat Asia dapat mengonfirmasi problem penegakan hukum di dalam sistem kekuasaan kehakiman. Hasil survei tersebut bersama‐sama dengan fakta adanya mafia peradilan sesuai hadil assessment yang dilakukan oleh Satuan Tugas Mafia Hukum serta fakta belum dipercayanya lembaga kekuasaan kehakiman juga dapat dilihat dalam perspektif positif. Kondisi dimaksud dapat dijadikan sebagai tantangan bagi kita semua untuk secara serius dan all out membantu kekuasaan kehakiman dalam menegakkan martabat dan kehormatannya. Membangun akuntabilitas kekuasaan kehakiman melalui pengawasan yang sinergis, efisien dan efektif, selain mendesakannya dilaksanakannya program tranparansi dan independensi kekuasaan kehakiman adalah suatu upaya konkrit untuk membangun kekuasaan kehakiman yang sebenar‐benarnya guna mewujudkan negara hukum yang demokratis.
14
15