PEMERKUATAN PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA UNTUK HAKIM SELURUH INDONESIA Holiday Resort Lombok, 28 - 31 Mei 2012
MAKALAH
TRANSPRANSI DAN AKUNTABILITAS KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA Oleh: Imam Anshori Saleh, SH., M.Hum Wakil Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia
TRANSPRANSI DAN AKUNTABILITAS KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA1 Oleh: Imam Anshori Saleh, SH., M.Hum. 2 Paham negara hukum sesungguhnya berakar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Dalam perspektif Magnis Suseno,3 ada dua unsur dalam negara hukum: pertama, bahwa hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan, melainkan berdasarkan suatu norma objektif yang juga mengikat pihak yang memerintah. Kedua, norma yang obyektif itu, hukum, memenuhi syarat bukan hanya secara formal, melainkan dapat dipertahankan berhadapan dengan idea hukum. Hukum menjadi landasan segenap tindakan negara, dan hukum itu sendiri harus baik dan adil. Baik karena sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat dari hukum, dan adil karena maksud dasar segenap hukum adalah keadilan. Salah satu syarat penting bagi tegak dan kokohnya negara hukum adalah kekuasaan kehakiman yang merdeka. Tidak adanya kemandirian kekuasaan kehakiman terutama karena pengaruh kekuasaan pemerintah (eksekutif), akan membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian hak asasi manusia oleh penguasa.4 Kekuasaan kehakiman yang merdeka dengan demikian menjadi instrumen penting bagi demokrasi. Seperti proposisi berikut ini: ..Independence judiciary is a fundamental requirement for democracy. Within this understanding is the nation that judicial independence must first exist in relation to the executive and in relation to the parties. It must also almost involve independence in relation to the legislative power, as well as in relation to political, economic, or social pressure group…5 Begitu tingginya tingkat urgensi kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagai instrumen utama the rule of law, maka jaminan proteksi terhadapnya perlu ditegaskan. Alexander Hamilton dalam the Federalist Papers No. 78 telah mengingatkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan 1
Disampaikan pada Pelatihan Hakim dengan tema “Transparansi dan Akuntabilitas Kekuasaan Kehakiman
dalam Konteks Keindonesiaan”, Mataram, 28 Mei 2012. 2
Wakil Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia. Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,Gramedia, Jakarta, 1987. hal. 298. 4 Ibid, hal.301 5 E.C.S Wade dan G. Godfrey Philips, Constitutional Law: An Outline of The Lawa and Practice of The Constitution, Including Central and Local Government, the Citizen and the State and Administrative Law,7th edition, London: Longmans, 1965. 3
1
cabang kekuasaan yang paling lemah, oleh karena itu diperlukan perlindungan melalui konstitusi atau undang-undang dasar.6 Terutama di negara-negara yang digolongkan ke dalam emerging democratic countries atau yang acapkali disebut sebagai negara-negara transisi.7 Tiga ciri bagi pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang independen menurut Alexis de Tocqueville adalah, Pertama, kekuasaan kehakiman di semua negara merupakan pelaksana fungsi peradilan, dimana pengadilan hanya bekerja apabila ada pelanggaran hukum atau hak warga negara tanpa ada suatu kekuasaan lainnya dapat melakukan intervensi. Kedua, fungsi peradilan hanya berlangsung apabila terjadi kasus pelanggaran hukum yang khusus. Hakim bahkan dikatakan masih dalam koridor pelaksanaan tugasnya, jika ia dalam memutuskan perkara menolak menerapkan prinsip yang berlaku umum. Namun, jika hakim menolak menaati prinsipprinsip yang berlaku umum dimana ia tidak dalam kondisi memeriksa perkara maka ia dapat dihukum atas dasar pelanggaran tersebut. Ketiga, adalah kekuasaan kehakiman yang berfungsi jika diperlukan dalam hal adanya sengketa yang diatur dalam hukum.8 Menilik dari tiga ciri di atas maka independensi kekuasaan kehakiman menjadi keniscayaan. Independensi peradilan dapat diuji melalui dua hal, yaitu ketidakberpihakan (impartiality) dan keterputusan relasi dengan para aktor politik (political insularity). Imparsialitas hakim terlihat pada gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusannya pada hukum dan faktafakta di persidangan, bukan atas dasar keterkaitan dengan salah satu pihak yang berperkara. Imparsialitas hakim memang bukan sesuatu yang mudah dideteksi, dimana hal itu hanya dapat dilacak dari prilakunya selama menjadi hakim vis-a-vis keterkaitannya dengan pihak berperkara dalam konteks hubungan sosial ataupun hubungan politik. Filsuf Jeremy Bentham memiliki pendapat yang lebih tajam tentang imparsialitas hakim, yaitu; ” where is the cause of in which any the slightest departure from the rule of impartiality is, in the eye of justice and reason, anything else than criminal on the part of the judge?.9
Begitu tingginya tingkat urgensi
kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagai instrumen utama the rule of law, maka jaminan proteksi terhadapnya perlu ditegaskan. 6
Alexander Hamilton, James Madison, John Day, The Federalist Paper (1961), 456-466. dalam Susi Dwi Harijanti, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka: Tinjauan Teori dan Praktek di Indonesia” dalam M. Fajrul Falaakh, “Gagasan Amandemen Ulang UUD 1945 Suatu Rekomendasi”, KRHN, Jakarta 2008. hal 36 7 Luu Tie Dung, Judicial Independence in Transitional Countries’, paper (2003), 6. ibid. hal 37 8 M. Asrun, Krisis Peradilan di Bawah Mahkamah Agung, ELSAM, Jakarta, 2004, hal. 51-52. 9 Dalam Moh. Asrun, opcit hlm 53
2
Jaminan Independensi Jaminan mengenai independensi kekuasaan kehakiman di Indonesia awalnya tertuang dalam Penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 sebelum perubahan yang berbunyi: ”kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim” Yang dimaksud pada frasa ’pemerintah’ dalam penjelasan diatas dapat dipahami dalam arti luas, yaitu mencakup pengertian cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif sekaligus, mengingat UUD 1945 sebelum perubahan tidak menganut paham pemisahan kekuasaan, terutama antara fungsi eksekutif dan legislatif. Namun meskipun tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan, cabang kekuasaan kehakiman tetap dinyatakan bebas dan merdeka dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Karena itu cabang kekuasaan kehakiman sejak semula memang diperlakukan khusus sebagai cabang kekuasaan yang terpisah dan tersendiri. Inilah salah satu ciri penting prinsip negara hukum yang hendak dibangun berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.10 Sayangnya dalam praktik, dari rezim ke rezim, independensi kekuasaan kehakiman selalu tidak imun dari distorsi rezim yang berkuasa. Di Era Orde Lama misalnya, Soekarno melalui dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945 menggantikan UUDS 1950, mengebiri asas-asas hukum yang demokratis. Pada saat itu terjadi sentralisasi dan hegemoni kekuasaan di tangan pemimpin besar revolusi. Akibatnya demokratische rechtsstaat/constitutional government seperti trias politica, checks and balances, kontrol parlemen meskipun sederhana dihapuskan sama sekali. Polri berdiri sendiri sebagai suatu institusi dan Kapolri menjadi menteri langsung dibawah Presiden. Sementara Kejaksaan menjadi departemen di bawah Jaksa Agung yang juga menjadi menteri langsung di bawah presiden. Lebih parah lagi, Ketua Mahkamah Agung yang seharusnya bebas dan mandiri sebagai
10
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, hlm 511-512.
3
kekuasaan yudikatif, juga dijadikan menteri ketua Mahkamah Agung yang langsung di bawah presiden.11 Di Era reformasi, upaya untuk menegaskan independensi kekuasaan kehakiman semakin dirasa penting, karena itu pada tahun 2001, melalui perubahan ketiga UUD 1945 ditegaskan pentingnya jaminan independensi kekuasaan kehakiman. Bila sebelumnya hanya diatur pada bagian Penjelasan, maka pasca perubahan UUD 1945, telah diatur dalam batang tubuh, yaitu pada pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menggariskan: ”Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Selain itu melalui perubahan UUD 1945 juga ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Meskipun independensi kekuasaan kehakiman telah dijamin konstitusi, namun UUD 1945 yang berlaku sekarang menurut Susi Dwi Harjanti dinilai hanya memberikan proteksi minimalis terhadap tegaknya independensi kekuasaan kehakiman. Buktinya, hanya satu pasal UUD 1945 (Pasal 24 ayat (1)) yang menyinggung tentang independensi kekuasaan kehakiman.12 Hal itu berbeda dengan Konstitusi Filipina yang memberikan proteksi maksimal atau bahkan cenderung eksklusif terhadap independensi kekuasaan kehakiman. Misalnya terkait dengan anggaran, Konstitusi Filipina menegaskan bahwa anggaran pengadilan harus dijamin oleh negara. Anggaran pengadilan bahkan tidak boleh berkurang setiap tahunnya, meskipun keuangan negara sedang mengalami defisit. Ketentuan tersebut tertuang dalam Konstitusi Filiphina yang dalam Section 3 menyebutkan: The Judiciary shall enjoy fiscal autonomy. Appropriations for the Judiciary may not be reduced by the legislature below the amount appropriated for the previous year and, after approval, shall be automatically and regularly released.13
11
Lihat Adnan Buyung Nasution,Peranan Serta Profesi Hukum dan Masyarakat dalam Mendorong Peradilan yang Berkeadilan, makalah pada symposium Dewan Guru Besar UI Hukum dan Keadilan di Indonesia, Jakarta, 22 Februari 2010. 12 Susi Dwi Harijanti, “Proteksi terhadap jaminan kekuasaan kehakiman masih minim”, dalam www.ptababel.net 13 http://www.chanrobles.com/article8.htm
4
(Lembaga peradilan mempunyai otonomi fiskal. Alokasi untuk lembaga peradilan tidak dapat dikurangi oleh badan legislatif di bawah jumlah yang disesuaikan untuk tahun sebelumnya dan, setelah persetujuan, akan dirilis secara otomatis dan teratur.) Idealnya konstitusi mengatur lebih rinci jaminan terhadap independesi kekuasaan kehakiman. Proteksi bisa diwujudkan dalam bentuk jaminan masa jabatan, usia pensiun, anggaran pengadilan, prosedur pendisiplinan, mutasi-promosi ataupun gaji hakim.14 KY untuk Transparansi dan Akuntabilitas Kekuasaan Kehakiman Menjadi sebuah pertanyaan apakah independensi kekuasaan kehakiman memang harus mandiri dan merdeka dalam arti sebebas-bebasnya tanpa ada batas secara absolut?. Pada prinsipnya setiap kekuasaan atau kewenangan di dunia ini tidak tak-terbatas, atau tanpa batas, kecuali kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Kekuasaan kehakiman, yang dikatakan independen atau mandiri itu pada hakikatnya diikat dan dibatasi oleh rambu-rambu tertentu, sehingga dalam konferensi International Commission of Jurists dikatakan bahwa : "Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrary manner”.15 (Kemerdekaan tidak berarti bahwa hakim berhak untuk bertindak secara sewenang-wenang) Batasan atau rambu-rambu yang harus diingat dan diperhatikan dalam implementasi kebebasan itu adalah terutama aturan-aturan hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural maupun substansial/materiil, itu sendiri sudah merupakan batasan bagi Kekuasaan “Kehakiman agar dalam melakukan independensinya tidak melanggar hukum, dan bertindak sewenang-wenang. Hakim adalah "subordinated” pada Hukum dan tidak dapat bertindak "contra legem".16 Selanjutnya, harus disadari bahwa kebebasan dan independensi tersebut diikat pula dengan pertanggunganjawaban atau akuntabilitas, yang kedua-duanya (independensi dan akuntabilitas) pada dasarnya merupakan dua sisi dari sekeping mata uang yang saling melekat. Tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab. Dengan perkataan lain dapat dipahami
14
Ibid Paulus Efendy Lotulung, Penegakan Hukum dalam era Pembangunan Berkelanjutan, makalah disampaikan pada seminar hukum nasional ke VIII, yang diselenggrakan di Denpasar, Juli 2003. 16 Ibid 15
5
bahwa dalam konteks kebebasan hakim (independency of judiciary) haruslah diimbangi dengan pasangannya yaitu akuntabilitas peradilan (Judicial accountability).17 Pentingnya akuntabilitas sebagai penyeimbang independensi juga mendapatkan legitimasi konseptual dari International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence dalam angka 33 menyatakan bahwa: It should be recognized that judicial independence does not render the judges free from public accountability, howefer, the press and other institutions should be aware of the potential conflict between judicial independence and excessive pressure on judges.18 (Harus diakui bahwa kemerdekaan yudisial tidak menjadikan para hakim bebas dari akuntabilitas publik, bagaimanapun, pers dan lembaga lainnya harus menyadari konflik potensial antara independensi peradilan dan tekanan yang berlebihan pada hakim). Bentuk tanggung jawab dalam mekanisme akuntabilitas bisa berbagai macam, salah satu yang perlu disadari adalah "social accountability” (pertanggungjawaban pada masyarakat), karena pada dasarnya tugas badan-badan kehakiman atau peradilan adalah melaksanakan public service di bidang memberikan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan. Secara teoritis, di samping social atau public accountability tersebut dikenal pula: political accountability / legal accountability of state, dan personal accountability of the judge. 19 Sisi lain dari rambu-rambu akuntabilitas tersebut adalah adanya integritas dan sifat transparansi dalam penyelenggaraan dan proses memberikan keadilan tersebut, hal mana harus diwujudkan dalam bentuk publikasi putusan-putusan badan pengadilan serta akses publik yang lebih mudah untuk mengetahui dan membahas putusan-putusan badan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga karenanya putusan-putusan tersebut dapat menjadi obyek kajian hukum dalam komunitas hukum. Adalah suatu langkah reformasi juga dibidang peradilan, manakala dikembangkan wacana perlunya publikasi pendapat yang berbeda (publication of dissenting opinion) diantara hakim-hakim didalam proses pemutusan perkara jika tidak terdapat kesepakatan yang bulat diantara mereka. Pada hakekatnya justru melalui mekanisme "publication of dissenting opinion" 17
Ibid International Bar Association, International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence, The Jerussalem Approved Standards of the 19th IBA Biennial Conference held on Friday, 22nd October 1982, in New Delhi, India. 19 Ibid 18
6
itulah independensi hakim sebagai penegak hukum dijamin dalam menyampaikan dan mempertahankan argumentasi yuridisnya masing-masing pada waktu musyawarah putusan. Contoh dari sudah diterimanya asas ini dalam perundang-undangan kita adalah dalam UndangUndang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dan telah dipraktekkan pula di Pengadilan Niaga dalam perkara-perkara kepailitan. Konsekuensi lebih lanjut dari adanya akuntabilitas tersebut diatas, adalah adanya pengawasan atau kontrol terhadap kinerja badan-badan peradilan baik mengenai jalannya peradilan maupun termasuk perilaku para aparatnya, agar kemandirian dan kebebasan Kekuasaan Kehakiman tidak disalah gunakan sehingga dikawatirkan dapat menjadi " tirani Kekuasaan Kehakiman ". Banyak bentuk dan mekanisme pengawasan yang dapat dipikirkan dan dilaksanakan, dan salah satu bentuk adalah kontrol atau pengawasan melalui mass-media termasuk pers. Jadi dengan demikian, aspek akuntabilitas, integritas dan aspek transparansi, maupun aspek pengawasan merupakan 4 (empat) rambu-rambu yang menjadi pelengkap dari diakuinya kebebasan dan independiensi Kekuasaan Kehakiman. Dengan demikian kebebasan Hakim yang merupakan personifikasi dari kemandirian kekuasaan Kehakiman, tidaklah berada dalam ruang hampa tetapi ia dibatasi oleh rambu-rambu berikut : - Akuntabilitas - Integritas moral dan etika - Transparansi - Pengawasan (kontrol) Dalam hubungan dengan tugasnya sebagai hakim, maka independensi Hakim masih harus dilengkapi lagi dengan sikap impartialitas dan profesionalisme dalam bidangnya. Oleh karenanya kebebasan Hakim sebagai penegak hukum haruslah dikaitkan dengan : - Akuntabiltas - Integritas moral dan etika
7
- Transparansi - Pengawasan (kontrol) - Profesionalisme dan impartialitas Dengan demikian, independensi kekuasaan kehakiman atau peradilan memang tidak boleh diartikan secara absolut.20 Karena itulah, sedari awal munculnya gagasan mengubah UUD 1945 telah mengemuka kesadaran bahwa sebagai pengimbang independensi dan untuk menjaga kewibawaan kekuasaan kehakiman, perlu diadakan pengawasan eksternal yang efektif di bidang etika kehakiman seperti di beberapa negara, yaitu dengan dibentuknya Komisi Yudisial. Dibentuknya Komisi Yudisial karena itu merupakan wujud akuntabilitas dan checks and balances dalam sistem kekuasaan kehakiman. Langkah Pembaruan Internal Peradilan merupakan tempat keadilan menjadi tumpuan bagi para pencari keadilan. Baik buruknya suatu sistem hukum di suatu negara salah satunya terlihat dari sistem peradilan yang dijalankan, dimana sistem peradilan yang dijalankan tersebut juga tidak terlepas dari proses peradilan yang dijalankan. Proses peradilan tidak terlepas dari tata kelola peradilan tersebut baik secara organisasi maupun fungsional dari aparatur pelaksana proses peradilan di peradilan tersebut. Pembaharuan terhadap tata kelola peradilan harus terus diupayakan. Selain itu, peradilan harus mengenal lebih seksama peran dan fungsi stakeholder peradilan tersebut dan memperlakukan jabatan serta kedudukan sesuai dengan fungsi dan perannya yang esensial dari masing-masing stakeholder tersebut . Semangat terhadap pembaharuan tata kelola peradilan melahirkan kebijakan satu atap pada lembaga peradilan. Kebijakan satu atap peradilan tersebut adalah usaha untuk menciptakan kekuasaan kehakiman yang merdeka, memiliki akuntabilitas, sehingga dapat menjalankan peradilan yang bersih, dan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga 20
Tidak absolutnya independensi kekuasaan kehakiman ini juga ditegaskan oleh John Ferejohn, yang menegaskan “One definitional problem is that judicial independence is a relaitive, not an absolut concept. The following definition of “dependency” highlights the relaitive nature of judicial independence: in [a] person or institution [is]…dependent…[if] unable to do its job without relying on some other institution or grup”. (Lihat dalam John Ferejohn , Independence Judges, Dependent Judiciary:Explaning Judicial Independent”, 72 Southern California Law Review 353 (1999).
8
peradilan, yang merupakan faktor yang sangat penting untuk dapat tegaknya the rule of law di suatu negara. Kebijakan satu atap pada lembaga peradilan tercantum di dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung (MA) dan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Hal yang sama dinyatakan pula dalam Pasal 10 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa badan peradilan yang berada di bawah MA meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Sebagai akibat dari adanya penyatuan atap, maka pada lembaga pemegang kekuasaan kehakiman dituntut adanya keterbukaan dan transparasi untuk menghindari adanya penyelahgunaan wewenang (abuse of power) oleh MA. Untuk mewujudkan keterbukaan dan akuntabilitas penyelenggaran peradilan, maka MA sebagai lembaga kekuasaan kehakiman kemudian membuat SK.KMA/SKN/III/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan (SK 144 tahun 2007) dan SK No. 1 – 144/KMA/SK/I/2011 (SK 144 tahun 2011). Keseriusan MA dalam melakukan penyelenggaran kekuasaan kehakiman yang trasnparan dapat dilihat di dalam konsideran SK 144 tahun 2007 yang menyebutkan bahwa “proses peradilan yang transparan merupakan salah satu syarat mewujudkan keterbukaan dan akuntabilitas penyelenggaraan peradilan.” Dengan adanya SK 144 tahun 2007 dan SK 144 tahun 2011, maka masayarakat dengan mudah memperoleh informasi yang mereka butuhkan. Apalagi di SK 144 tahun 2007 ini diatur mengenai informasi yang diumumkan pengadilan maupun informasi yang boleh diakses sendiri oleh masyarakat, yaitu: Kaitan yang erat antara masyarakat pencari keadilan dan pengadilan disebabkan antara pengadilan dan masyarakat pencari keadilan merupakan dua komponen yang tidak terpisahkan. Administrasi peradilan yang baik dan transparan akan sangat dibutuhkan agar para pencari keadilan dan pihak yang berperkara di peradilan dapat memperoleh pelayanan yang sebaikbaiknya. Administrasi peradilan yang baik dapat diwujudkan dengan adanya kemudahan akses kepada publik (public access) yang seluas-luasnya terhadap informasi di pengadilan. Dengan 9
dilaksanakannya kedua komponen di atas, maka MA yang lembaga Kekuasaan Kehakiman di Indonesia
telah
memperlihatkan
bahwa
mereka
telah
mewujudkan
transparasi
dan
akuntabilitasnya kepada publik atas tugas dan fungsi yang mereka emban. Penutup Independensi tanpa transparansi dan akuntabilitas akan berpotensi memunculkan abuse of power baru atau tyrani judicial. Independensi hakim karenanya harus dimbangi dengan akuntabilitas dan transparansi. Ketiganya menjadi syarat penting bagi tegaknya marwah hakim dan peradilan dalam memberikan keadilan bagi masyarakat. Di Indonesia, upaya itu terus dilakukan, mulai dari dibentuknya Komisi Yudisial untuk mendorong akuntabilitas peradilan dan beberapa langkah pembaruan internal yang sudah dilakukan MA. *** .
10