PERGESERAN FUNGSI YUDIKATIF DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA Oleh : Muhammad Hoiru Nail Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Jember Abstrak Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi . Dengan konsekuensi itu juga MK berfungsi sebagai penafsir final konstitusi. Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman juga diberikan kewenangan untuk melakukan uji materiil terhadap peraturan perUndang-undangan dibawah Undang-undang terhadap Undangundang di Indonesia. Rumusan masalah dalam tulisan tesis ini terdapat tiga rumusan masalah. Pertama Apakah MK telah melakukan Pergeseran Fungsi Yudikatif dengan Putusan Mahkamah Konstuisi Nomor 102/PUUVII/2009, kedua Apakah MK telah melakukan Perubahan Konstitusi terhadap Pasal 24 C Ayat (1) dengan Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013, dan ketiga Apakah MA melalui Perma Nomor 1 Tahun 2011 telah melakukan pergeseran fungsi Yudikatif. Mahkamah Konstitusi dalam dalam melaksanakan kewenagannya melakukan pengujian Undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 tersebut menurut pasal 24C Ayat (1) adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Putusan MK Nomor 34/PUUXI/2013 telah meniadaan sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang semula sifat putusannya bersifat final menjadi tidak final lagi. Oleh karenanya perubahan konstitusi telah berubah terhadap ketentuan Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 tersebut. Mahkamah Agung yang memperoleh kewenangan melakukan pengujian terhadap peraturan perUndang-undangan dibawah Undang-undang terhadap Undang-undang melalui amanah Pasal 24A Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Namun Mahkamah Agung melalui Perma Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materill telah merubah ketentuan tersebut dan melebarkan kewenangannya menjadi tidak hanya pengujian Undang-undang, namun frasa yang digunakan adalah peraturan tingkat lebih tinggi. Abstract The Constitutional Court has the authority of the Constitutional Court authority to hear at the first and last decision is final for a law against the Constitution, rule on the dispute the authority of state institutions whose authorities are granted by the Constitution, dissolution of political parties, and to decide disputes concerning election results. The existence of the Constitutional Court as the guardian of the constitution (the guardian of the constitution).With the consequence that the Court also serves as the final interpreter of the Constitution (the final interpreter of the constitution). The Supreme Court as judicial power is also given the authority to conduct judicial review of laws and regulations under the law against the law in Indonesia. Formulation of the problem in writing this thesis there are three problem formulation. First Does the Court have done Shifting Function Judiciary with Court Decision Konstuisi Number 102 / PUU-VII / 2009, both Does the Court have done Amendment of the Constitution of Article 24 C Paragraph (1) by the Constitutional Court Decision No. 34 / PUU-XI / 2013, and the third Is MA through Perma No. 1 of 2011 has been to shift the function of Judiciary in indonesia. The Constitutional Court in authority testing in implementing the law against the Constitution NRI Year 1945 according to Article 24C Paragraph (1) is to hear at the first and last decision is final. Constitutional Court Decision No. 34 / PUU-XI / 2013 wasmeniadaan the nature of the decision of the Constitutional Court that the original nature of the final decision becomes final again. Therefore, changes in the constitution has been changed to the provision of Article 24C of the 1945 Constitution NRI. Supreme Court to obtain authority to conduct testing of the laws and regulations under the laws of the statute through the mandate of Article 24A Paragraph (1) NRI Constitution of 1945. However, the Supreme Court through the Supreme Court Regulation No. 1 Year 2011 on Judicial Materill has changed that provision and widen its authority to be not only a judicial review, but the phrase used is a higher-level regulation. To look into the matter will be discussed in depth with some theories that developed in the jurisprudence.
47
PENDAHULUAN
tulisan ini disebut MK). MK sebagai salah
Reformasi yang diawali tahun 1998
satu pelaku kekuasaan kehakiman selain
telah menghasilkan antara lain perubahan
Mahkamah Agung (Selanjutnya dalam tulian
UUD Negara Republik Indonesia 1945
ini akan ditulis MA). Kekuasaan kehakiman
(selanjutnya dalam tulisan ini disebut UUD
adalah kekuasaan yang merdeka untuk
NRI 1945) yang menyempurnakan peraturan-
menyelenggarakan
peraturan dasar tentang tatanan negara,
menegakkan hukum dan keadilan. Dengan
pembagian kekuasaan, penambahan lembaga
demikian MK merupakan lembaga peradilan,
negara yang diharapkan dapat mewujudkan
sebagai cabang kekuasaaan Yudikatif yang
prinsip checks and balances antara lembaga-
mengadili perkara tertentu yang menjadi
lembaga
kewenangannya yang diberikan berdasarkan
negara
dengan
mekanisme
hubungan yang serasi dan harmonis. Terlepas
peradilan
guna
ketentuan UUD NRI Tahun 1945.
untuk
MK (constitutional court) merupakan
mencapai keharmonisan hubungan antar
fenomena abad ke 20 karena memang
lembaga negara, upaya pengaturan yang
lembaga ini lahir untuk pertama kalinya
dirumuskan di dalam UUD NRI Tahun 1945
terjadi pada 1920 di Austria. Selanjutnya
setelah perubahan harus diakui sebagai suatu
lembaga sejenis didirikan di negara-negara
bentuk kemajuan.
yang tengah mengalami masa transisi dari
dari
masih
adanya
kelemahan
Perubahan UUD NRI Tahun 1945 membawa
implikasi
yang
sangat
luas
otoritarianisme ke arah demokrasi seperti negara-negara
di
Afrika,
Eropa
Timur
terhadap semua lembaga negara. Pada salah
pecahan Uni Soviet atau bekas negara
satu sisi, ada lembaga negara yang mendapat
komunis, dan Asia. Pembentukan lembaga
kewenangan
dengan
ini merupakan perwujudan pakar hukum
bertambahnya kewenangan secara signifikan
Austria Hans Kelsen yang memandang
di dalam konstitusi. Sementara di sisi lain,
penting adanya suatu pengadilan yang khusus
ada pula lembaga negara yang mengalami
melakukan
pengurangan
Undang-undang yang bertentangan dengan
baru
yaitu
kewenangan
dibandingkan
pengujian
tehadap
produk
konstitusi (UUD NRI Tahun 1945).1
sebelum perubahan. Perubahan yang paling mendasar dari perubahan UUD NRI Tahun 1945 adalah perubahan ketiga yang merupakan gambaran timbulnya
lembaga
negara
baru
yakni
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya dalam
1
Patrialis Akbar, Implikasi Pembatalan UU Oleh MK Terhadap Perundang-undangan Di Indonesia, disampaikan pada kegiatan Seminar Nasional dan Pertemuan Koordinasi antara Asosiasi Pengajar Hukum Acara MK dan Hanns Seidel Foundation Indonesia, 23 Juli 2010 di Yogyakarta, Hlm. 1
48
Pergeseran dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah
pergesekan; peralihan;
memiliki lima kewenangan konstitusional, yaitu:
pemindahan; pergantian;2 dalam konteks tulisan ini bahwa telah terjadi peralihan atau pemindahan dari kekuasaan atau cabang kekuasaan kahakiman kepada kekuasaan pembentuk Undang-undang. Namun dalam kontek tulisan ini yang dimaksud pergeseran bukan berarti bergeser atau berpindah dari tempat asal/semula ke tempat yang baru dengan meninggalkan tempat yang asal/ semula. Peralihan atau pemindahan ini ditandai
dengan
tidak
berpindahnya
kekuasaan awal atau semula namun juga beralih dan berpindah yang mengakibatkan
a. Menguji Undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945; b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya oleh UUD NRI Tahun 1945; c. Memutus pembubaran partai politik; d. Memutus perselisihan hasil pemilihan umum; dan e. Memutus pendapat DPR mengenai dugaan adanya
yudisial
yang semula
bergeser kepada kekuasaan legislatif. Oleh karena pergeseran tersebut maka terjadi kewenangan
atau
tindakan
diluar kekuasaan kehakiman, dalam hal ini adalah kekuasaan membuat aturan yang
Perubahan UUD 1945 (Tahun 19992002) telah membawa perubahan besar pada sistem ketatanegaraan dan perkembangan di
kehadiran lingkungan
Indonesia, MK
Presiden
NRI Tahun 1945.
kan produk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden maka produk hukum tersebut merupakan produk politik yang boleh
jadi
merupakan
kristalisasi
dari
kompromi yang dapat dicapai oleh DPR dan Presiden.
Dengan
demikian
ada
kemungkinan sebuah Undang-undang hanya memenuhi kepentingan dan pertimbangan
bersifat regeling.
hukum
oleh
Mengingat Undang-undang merupa-
hanya menjalankan kekuasaan kehakiman
penambahan
pelanggaran
dan/atau Wakil Presiden menurut UUD
semakin bertambahnya keadaan semula. Kekuasaan
diberikan
sejak
kekuasaan
terutama Tahun
dengan 2003
kehakiman
di
yang
politik DPR dan Presiden saja atau hanya memenuhi kepentingan kekuatan politik mayoritas di DPR dan Presiden. Adapun nilai dan isi konstitusi sebagai acuan utama pembentukan Undang-undang mungkin tidak menjadi hal utama. Akibatnya adalah terbuka kemungkinan rumusan Undang-undang itu tidak
sesuai
atau
bahkan
melanggar
2
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, 2008. Hlm 483
konstitusi dan bahkan melanggar hak asasi 49
manusia. Apabila hal ini terjadi pada suatu
ikiut berpartipasi dalam pemilihan umum
Undang-undang maka pihak yang merasa
tersebut pada warga negara yang sudah
dirugikan atas keberadaan Undang-undang
terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap atau
tersebut (baik norma didalamya maupun
Daftar Pemilih Tambahan, akan tetapi pada
keseluruhan) dapat mengajukan pengujian
saat itu masih ada warga Negara yang belum
konstitusionalitas Undang-undang tersebut ke
terdaftar dalam DPT telah dirugikan atas
MK. Selanjutnya MK yang akan menentukan
keberlakuan Pasal dalam Undang-undang
dan memutuskan apakah Undang-undang
tersebut. Sehingga jika tidak dilakukan
tersebut melanggar konstitusi apa tidak, dan
judicial review terhadap Pasal tersebut maka
apabila dinyatakan melanggar konstitusi
warga Negara yang belum terdaftar di Daftar
maka
akan
Pemilih Tetap dan Daftar Pemilih Tambahan
kekuatan
tidak bisa menggunakan hak politiknya untuk
Undang-undang
dinyatakan
tidak
tersebut
mempunyai
berlaku.3
ikut memilih presiden dan wakil presiden.
Pelaksanaan
tugas
yang
berbeda
antara DPR dan MK inilah yang kemudian
Sehingga
satu
satunya
cara
adalah
pengajuaan judicial review terhadap Pasal 28
sering disebut dengan rumusan DPR sebagai
dan Pasal 111 Undang-undang Nomor 42
positive legislature dalam arti membentuk
Tahun 2008
Undang-undang dan MK sebagai negative
Presiden dan Wakil Presiden. Putusan
legislature dalam pengertian membatalkan
tentang pemilihan Umum
MK
Nomor
102/PUU-
Undang-undang. 4 Positive Legislature adalah
VII/2009 tentang pengujian Undang-undang
suatu kewenangan untuk membentuk suatu
Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan
PerUndang-undangan sedangkan negative
Umum
legislature adalah kewenangan tidak dapat
setidaknya
penulis
menbentuk peraturan PerUndang-undangan
terindikasi
MK telah melampaui
melainkan
kewenangannya. MK selain sebagai negative
hanya
melakukan
penafsiran
terhadap PerUndang-undangan saja.
Presiden
dan
Wakil
menganggap
Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008
bahwa batas
legislature ternyata juga menjadi positif legislature dengan melakukan
Berdasarkan Pasal 28 dan Pasal 111
Presiden
penafsiran
(penambahan norma) terhadap Pasal yang telah diuji di dalam putusannya.
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden hanya memberikan hak untuk 3
Ibid, Hlm 3 Patrialis Akbar, Implikasi Pembatalan…. op cit. Hlm 3 4
1. Selain Warga Negara Indonesia yang terdaftar dalam DPT, Warga Negara Indonesia yang belum terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukan Kartu Tanda 50
2.
3.
4.
5.
Penduduk (KTP) yang masih berlaku atau Paspor yang masih berlaku bagi Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri; Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP harus dilengkapi dengan Kartu Keluarga (KK) atau nama sejenisnya; Penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP yang masih berlaku hanya dapat digunakan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berada di RT/RW atau nama sejenisnya sesuai dengan alamat yang tertera di dalam KTP-nya; Warga Negara Indonesia sebagaimana disebutkan dalam angka 3 di atas, sebelum menggunakan hak pilihnya, terlebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat; Warga Negara Indonesia yang akan menggunakan hak pilihnya dengan KTP atau Paspor dilakukan pada 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS atau TPS Luar Negeri setempat.5
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;6 Dua isu besar tentang MK tidak lagi sebagai negative legislator namun juga sebagai
5
Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009
legislator
ini
serta
perubahan konstitusi atau perubahan UUD NRI Tahun 1945 ini oleh MK telah terjadi suatu Pergesaran Fungsi. Fungsi Yudikatif yang semula hanya menyelengarakan suatu kekuasaan
kehakiman
“Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk
menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan” fungsi.
telah mengalami pergeseran Pergeseran
fungsi
tersebut
dilakukan oleh MK Republik Indonesia dengan
Menyatakan: 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon: 1.1. Pasal 268 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 1.2. Pasal 268 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
positif
putusan
putusan
yang
telah
dikeluarkannya tersebut. Kekuasaan Yudikatif di Indonesia dilaksanakan
oleh
MA
beserta
badan
peradilan dibawahnya dan oleh sebuah MK yang merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena Konstitusi memberikan kewenangan kepada MA salah satunya fungsi mengatur yang berkaitan dengan kelancaran tehnis peradilan. MA dapat membuat aturan yang mengatur penyelenggaran tehnis peradilan jika dianggap perlu karena Undang-undang tidak mengaturnya secara spesifik. 6
Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013
51
MA adalah badan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman
dalam
sayangnya peraturan yang dibentuk oleh MA
pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh
ini dengan Perma Nomor 1 Tahun 2011
kekuasaan
pengaruh-
tentang Hak Uji Materiil telah melampaui
pengaruh lainnya. Dalam kontek demikian
batas kewenagannya dan melebihi aturan
MA memiliki posisi strategis terutama
aturan yang bersifat tehnis beracara di MA.
Pemerintah
yang
yang diberikan Undang-undang.”7 Namun
dan
bidang hukum dan ketatanegaraan yang di
Pasal 1 Ayat (1) Perma Nomor 1
format: (1) menyelenggarakan peradilan
Tahun 2011 menyatakan “Hak uji materiil
guna menegakkan hukum dan keadilan; (2)
adalah hak Mahkamah Agung untuk menilai
mengadili pada tingkat kasasi; (3) menguji
Materi peraturan PerUndang-undangan di
peraturan
dibawah
bawah Undang-undang terhadap peraturan
Undang-undang dan (4) berbagai kekuasaan
PerUndang-undangan tingkat lebih tinggi”.8
atau kewenangan lain yang diberikan lain
Pasal tersebut secara gramatikal terindikasi
oleh Undang-undang. Fungsi pengaturan
telah melampaui batas kewenangan MA yang
yang
tersebut
telah diberikan oleh UUD NRI 1945 karena
untuk
pengujiannya tidak semua didasarkan pada
menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung
Undang-undang, melainkan pada peraturan
(Perma) guna memperlancar penyelenggaran
PerUndang-undangan tingkat lebih tinggi.
peradilan yang kerap sekali dalam Undang-
Dengan
undang MA yang belum lengkap ataupun
mengambil semua kewenangan pengujian
karena Undang-undang itu sendiri belum
yang tidak diatur dalam UUD NRI Tahun
mengatur secara rinci.
1945 namun diatur dengan Perma Nomor 1
PerUndang-undangan
dimiliki
menimbulkan
MA
oleh suatu
telah
MA kewenagan
mengeluarkan
Perma
ketentuan
ini
MA
berusaha
Tahun 2011.
Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji
Perma Nomor 1 tahun 2011 ini juga
Materiil. Perma ini mengatur bagaimana
telah terdapat indikasi melakukan pergeseran
warga
pedoman
fungsi Yudikatif dengan Pasal 6 ayat (2)
review
yang menyatakan “Mahkamah Agung dalam
terhadap
Putusannya menyatakan bahwa peraturan
Negara
bagaimana peraturan
mendapatkan
melakukan
judicial
PerUndang-undangan
Undang-undang.
“Mahkmamah
Agung
berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan
PerUndang-undangan
yang
dimohonkan
keberatan tersebut sebagai tidak sah atau
PerUndang-undangan 7
dibawah Undang-undang terhadap Undangundang, dan mempunyai wewenang lainnya
Pasal 24A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 8 Pasal 1 Ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil
52
tidak
berlaku
memerintahkan bersangkutan
untuk
umum,
serta
PEMBAHASAN
kepada
instansi
yang
Dua
segera
pencabutannya”.9
hari
menjelang
pemilihan
presiden (pilpres), Mahkamah Konstitusi
Dengan kata lain ketentuan Pasal ini dapat
(MK)
menyatakan peraturan perUndang-undangan
mengubah secara drastis ketentuan bagi para
yang
secara
pemilih. Salah satu putusan penting itu
keseluruhan (bukan pada Pasal, Ayat muatan
menyebutkan, warga yang tak terdaftar
yang bertentangan dengan Undang-undang).
dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) pilpres
Permasalahan lain yang terdapat dalam
bisa tetap menggunakan hak pilihnya dengan
Perma Nomor 1 Tahun 2011 ini juga tidak
memakai KTP atau paspor.
diuji
dapat
dibatalkan
adanya pengaturan terkait beracara di MA terkait Hak Uji Formil. Dalam ketentuan ini hanya ketentuan terkait materiil saja yang diatur dalam beracara di MA. Peraturan perundang undangan yang disusun di negara Indonesia haruslah berdasarkan tata dan cara yag ditentukan yakni Undang Undang Nomor 12
tahun
Peraturan
2011
tentang
Pembentukan
PerUndang-undangan
mengamanatkan
semua
yang peraturan
PerUndang-undangan harus sesuai dengan pembentukan
pembentukan
peraturan
perundang undangan (mencakup tahapan perencanaan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan). Atas latar belakang tersebut maka permasalahan yang akan dibahas adalah apakah MK dan MA melakukan pergeseran fungsi yudikatif. Dan apakah MK dan MA telah
melakukan
perubahan
membuat
putusan
yang
akan
Sebelumnya, berdasar ketentuan UU Pilpres No 42 Tahun 2008, pemilih pilpres adalah warga yang namanya terdata dalam DPT. Hal itu tercantum dalam pasal 28 dan pasal 111 ayat 1. Pasal 28 menyatakan, warga yang ingin menggunakan hak pilih harus terdaftar sebagai pemilih. Berdasar pasal 111 ayat 1 huruf a, pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara adalah yang terdaftar dalam DPT tiap TPS. Atau, ketentuan pasal 111 ayat 1 huruf b, yakni yang terdaftar di DPT tambahan. Dua pasal itulah yang dibatalkan MK dalam sidang kemarin sore. Selanjutnya, pemilih yang namanya tak terdaftar dalam DPT boleh menggunakan KTP dan paspor. ''Bahwa hak pilih seseorang adalah hak konstitusional yang tidak bisa dilanggar ketentuan administratif,'' kata Ketua MK Mahfud M.D. dalam pembacaan putusan di ruang sidang utama MK, Jakarta, kemarin. Permohonan Uji Materiil Pasal pembatasan hak pemilih itu diajukan oleh Refli Harun, peneliti Centre for Electoral Reform, dan Maheswara Prabandono, advokat. Keduanya memposisikan warga yang tidak terdaftar sebagai pemilih dalam pemilu Legislatif 9 April 2009.10
terhadap 10
konstitusi.? 9
Pasal 6 Ayat (2) Perma Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil
Berita karawang post, http://www.karawangnews.com/2009/07/warga-yangtak-terdaftar-dalam-dpt.html terakhir diakses 15 Februari 2015
53
Undang-undang Nomor 42 Tahun
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan
2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
DPRD tanggal 9 April 2009 para Pemohon
Wakil Presiden telah menentukan syarat bagi
tidak dapat memilih karena tidak tercantum
warga Negara Indonesia yang dapat memilih
dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Hal ini
dan
Pemilu
dikarenakan ketentuan Pasal 20 Undang-
Presiden dan Wakil Presiden. Adapun syarat
undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
yang diamanatkan oleh Undang-undang ini
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan
bagi warga negaranya yakni harus memenuhi
DPRD
2 syarat seperti yang terdapat pada Bab VI
menggunakan hak memilih, warga negara
(Penyusunan daftar Pemilih) Pasal 27 Ayat
Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih”.12
ikut
berpartisipasi
dalam
(1) dan (2). -
Pasal 27 Ayat (1) “ Warga Negara
Untuk memilih,
berbunyi,
dapat
Warga
“Untuk
dapat
menggunakan Negara
hak
Indonesia
Indonesia yang pada saat pemungutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 harus
suara telah genap berumur 17 (tujuh
terdaftar sebagai Pemilih.” Undang-undang
belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. -
yang
Pasal 27 Ayat (2) “ Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) didaftar oleh penyelenggara
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden juga memuat ketentuan Pasal 111 Ayat (1) yang berbunyi, “pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di TPS meliputi: a pemilih yang
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap pada
dalam daftar pemilih. 11
TPS yang bersangkutan; dan b Pemilih yang
Bahwa Pemohon I (Refly Harun) dan
terdaftar pada Daftar Pemilih Tambahan.”13
Pemohon II (Maheswara Prabandono) adalah
Mahkamah berpendapat bahwa hak-
perorangan warga negara yang telah berusia
hak
Warga
Negara
17 tahun dan sudah kawin. Berdasarkan
sebagiamana
ketentuan UU 42/2008, kedua pemohon
ditetapkan sebagai hak asasi manusia dan hak
memiliki hak memilih dalam pemilihan
konstitusional Warga Negara (constitusional
diuraikan
untuk diatas
memilih telah
umum presiden dan wakil presiden [vide 12
Pasal 27 Ayat (1) UU 42/2008]. Bahwa pada 11
Lihat Pasal 27 Ayat (1),(2) UndangUndang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada 14 November 2008, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924
Lihat Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 registrasi Nomor 102/PUUVII/2009 13 Pasal 111 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada 14 November 2008, lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924
54
ight of the citizen), sehingga oleh karenanya hak konstitusional tersebut di atas tidak boleh dihambat
oleh dihalangi oleh berbagai
ketentuan dan prosedur administrastif apapun yang mempersulit Warga Negara untuk menggunakan hak pilihnya. 14 Amar
putusan
MK
menyatakan
mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian, menyatakan Pasal 28 dan
berada di RT/RW atau nama sejenisnya sesuai dengan alamat yang tertera di dalam KTP-nya; 4. Warga Negara Indonesia sebagaimana disebutkan dalam angka 3 di atas, sebelum menggunakan hak pilihnya, terlebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat; 5. Warga Negara Indonesia yang akan menggunakan hak pilihnya dengan KTP atau Paspor dilakukan pada 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS atau TPS Luar Negeri setempat.15
Pasal 111 Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Tahun 2008 Tahun 176, Tambahan Lembaran Nomor
Negara 4924)
Republik adalah
Indonesia
konstitusional
sepanjang diartikan mencakup Warga Negara yang tidak terdaftar dalam DPT. Amar putusan MK dalam Putusan Perkara Nomor 102/PUU-VII/2009. 1. Selain Warga Negara Indonesia yang terdaftar dalam DPT, Warga Negara Indonesia yang belum terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku atau Paspor yang masih berlaku bagi Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri; 2. Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP harus dilengkapi dengan Kartu Keluarga (KK) atau nama sejenisnya; 3. Penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP yang masih berlaku hanya dapat digunakan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang 14
Sekretariat Mahkamah Konstitusi, Mengawal Demokrasi Menegakkan Keadilan Substantif, Laporan Tahunan 2009, Jakarta, Hlm 127
Dalam bernegara terdapat beberapa lembaga Negara yang oleh sebuah Konstitusi telah diberikan kewenangan masing masing lembaga Negara untuk menjalankan tugas dan fungsinya. Ada lembaga Negara yang diberikan kewenangan untuk membentuk Undang-undang (Legislatif/DPR dan Eksekutif/Presiden). 16 Lembaga Negara yang menjalankan
Undang-undang
(Eksekutif/
17
Presiden). Lembaga Negara yang menegakkan Undang-undang/menyatakan Undangundang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 atau Konstitusi(MK).18 Pembagian kekuasaan secara vertikal ini berasal dari konstitusi atau UUD NRI Tahun 1945. Hukum tertinggi tersebut selanjutnya kepada
membagi-bagian
cabang-cabang
kekuasaan
kekuasaan
yang
15
Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009 Lihat Pasal 5 Ayat (1),(2) dan Pasal 20 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 17 LihatPasal 4 Undang-Undang Dasar Negara Repiblik Indonesia Tahun 1945 18 Lihat Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 16
55
disebutkan dalam UUD NRI Tahun 1945.
Putusan
MK
Nomor
102/PUU-
Kekuasaan membentuk Undang-undang tidak
VII/2009 pengajuan pengujian Pasal 28 dan
hanya dimonopili oleh kekuasaan legislatif,
Pasal 111 Undang-undang Nomor 42 Tahun
melainkan juga diberikan kepada kepada
2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil
“setiap
Presiden jika dilihat dari amar putusannya
rancangan Undang-undang dibahas oleh
yang telah dijelaskan tadi termasuk dalam
Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden
kategori
untuk mendapat persetujuan bersama.”19
Konstitusional
Artinya bahwa setiap rancangan Undang-
Constitusional). Namun penulis anggap itu
undang tersebut harus dibahas bersama
melebihi
presiden untuk mendapatkan persetujuan
dikaitkan dari teori Trias Politika seharusnya
bersama (presiden berada pada cabang
Amar Putusan MK tersebut rumusannya
kekuaan eksekutif
menjadi
eksekutif.
Pasal
20
Ayat
yang
(1)
ikut
diberikan
putusan
MK
yang
Bersyarat
tafsir
(Conditionally
konstitusinal
bagian
atau
bersyarat,
kewenangan
Legislatif
oleh UUD NRI Tahun 1945. Serta dalam
menjadi tugas DPR dan Presiden). Putusan
keadaan
MK Nomor 102/PUU-VII/2009
presdien
diberikan
konstitusi
dari
pembagian kekuasaan dalam konteks vertikal
memaksa
(dalam
bersifat
Indonesia
tentang
pembagian kekuasaan untuk bertindak selaku
pengajuan pengujian Pasal 28 dan Pasal 111
pemegang kekuaaan legislatif,
Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008
“Dalam
hal
yang
tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
menetapkan
memuat rumusan yang bersifat mengatur
peraturan pemerintah sebagai pengganti
yang hal tersebut bukan ranah dari MK. MK
Undang-undang.”20
hanya bisa menyatakan suatu ketentuan Pasal
memaksa,
ihwal
Pasal 22
Presiden
kegentingan berhak
Namun untuk kekuasaan Yudikatif,
Ayat atau Muatan dalam Undang-undang
yang dalam hal ini dijalankan oleh dua
tidak
lembaga kekuasaan kehakiman (MA dan
menyatakan bertentangan dengan UUD NRI
MA). Kedua lembaga tersebut dalam kontek
Tahun 1945. Dalam hal putusan yang bersifat
pembagian kekuasaan atau distribution of
konstitusional bersyaratpun putusan MK
power, konstitusi atau UUD NRI Tahun 1945
Nomor
tidak
pengujian Pasal 28 dan Pasal 111 Undang-
memberikan
kewenanagn
untuk
bertindak di ranah legislatif.
memiliki
kekuatan
hukum
102/PUU-VII/2009
serta
pengajuan
undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak
19
Pasal 20 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 20 Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dapat
dimasukkan
dalam
rumusan
56
konstiotusinal
bersyarat
(Conditionally
Constitusional).
MK
memberikan
bungkus
amar
norma putusan
baru
dengan
Konstitusional
Pasal 10 ayat 1 Undang-undang
bersyarat. Norma baru tersebut dengan
Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan
memberikan ketentuan norma baru bagi
Peraturan PerUndang-undangan juga telah
wagra Negara yang tidak terdaftar di Daftar
menyatakan materi muatan yang harus diatur
Pemilih Tetap dan Daftar Pemilih Tambahan
dengan Undang-undang berisi : pengaturan
yakni dapat menggunakan hak pilihnya
lebih lanjut dari ketentuan UUD NRI Tahun
dengan menggunakan KTP atau Paspor bagi
1945. Artinya bahwa konstitusi atau UUD
yang berada di luar negeri. Seperti yang telah
NRI Tahun telah memberikan kewenangan
dijelaskan diatas bagi pembagian kekuasaan
Dewan Perwakilan Rakyat untuk membuat
itu sudah jelas dibagi antara fungsi Legislatif,
pengaturan yang bersifat mengatur atau
Eksekutif dan Yudikatif. Dalam hal ini MK
regeling. Konstitusi atau UUD NRI telah
dalam Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009
memberikan tugas tersebut dengan jelas
tentang pengajuan pengujian Pasal 28 dan
dalam Pasal 20 Ayat (1), bukan kepada MK.
Pasal 111 Undang-undang Nomor 42 Tahun
Jika MK mengambil alih tugas tersebut maka
2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil
telah terjadi pergeseran fungsi yudikatif yang
Presiden telah mengambil alih kekuasaan
telah di lakukan oleh lembaga kekuasaan
Legislatif (kekuasaan membentuk Undang-
kehakiman yakni dilakukan oleh MK.
undang) yang ada pada Dewan Perwakilan
Dalam
konteks
tulisan
ini
yang
Rakyat. MK mengambil alih fungsi tersebut
dipermasalahkan adalah Putusan MK putusan
yang dituangkan dalam amar putusan yang
Nomor
dibungkus
102/PUU-VII/2009
tentang
pengajuan pengujian Pasal 28 dan Pasal 111
konstitusional
Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008
constitutional).
tentang
Pemilu
Presiden
bersyarat
amar
putusan
(conditionally
bukan
Menurut teori trial politika maka MK
membatalkan Pasal 28 dan Pasal 111. Namun
dalam Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009
dalam amar putusan MK tersebut MK
tentang pengajuan pengujian Pasal 28 dan
memberikan
yang
Pasal 111 Undang-undang Nomor 42 Tahun
melampaui batas atau telah melakukan
2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil
pergeseran fungsi Yudikatif. Putusan tersebut
Presiden telah melakukan pergeseran fungsi
memberikan
Yudikatif. Karena ketentuan Pasal 28 dan
tafsir
yang
dengan
konstitusional
pemaknaan
norma
baru
terhadap ketentuan Pasal 28 dan Pasal 111.
Pasal 111 merupakan pasal yang sebenarnya sudah jelas, tidak menimbulkan multi tafsir 57
pula. Terkait warga Negara yang tidak
1950, bentuk peraturan demikian tersebut
terdaftar di Daftar Pemilih Tetap dan Daftar
selalu ada, yaitu dengan sebutan Undang-
Pemilih Tambahan sebenarnya itu terkait
undang Darurat. Dasar Hukumnya adalah
kebijakan atau formulasi dari penyelenggara
keadaan hukum yang darurat yang memaksa,
Pemilihan
untuk
baik karena keadaan bahaya ataupun karena
mengisi ketentuan hukum bagi warga Negara
sebab lain yang sungguh-sungguh memaksa.
yang tidak terdaftar di Daftar Pemilih Tetap
Jika tidak benar jika dikatakan bahwa dasar
dan Daftar Pemilih Tambahan Formulasi atau
hukumnya hanya keadaan darurat menurut
pengaturannya
ketentuan keadaan bahaya yang dikaitkan
Umum.
Oleh
karena
dilakukan
oleh
Dewan
Perwakilan Rakyat menurut Teori Trial
dengan pemberlakuan
Politika, Karena sudah jelas ada pembagian
recht (hukum Negara dalam keadaan bahaya)
kekuasaan diantara 3 cabang kekuasaan.
atau
Pilihan hukum kedua yang sangat mungkin bisa dilakukan pada waktu itu adalah dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah undang(Perpu). Pengganti
Pengganti
Undang-
Peraturan
Pemerintah
Undang-undang
ini
murni
merupakan kewenangan yang dimiliki oleh seorang
Presiden.
mengeluarkan
Perpu
Presiden
dapat
dengan
alasan
subjektifitas yang melekat pada seorang Presiden. Presiden dapat mengeluarkan Perpu kapanpun ketika Presiden menganggap perlu menguarkaan produk hukum Eksekutif yang sifatnya mendesak. Mengenai Pemerintah
kedudukan
Pengganti
Peraturan
Undang-undang
memang sering dipersoalkan apakah masih akan dipertahankan. Dengan sebutan yang berbeda, baik dalam Pasal 139 Konstitusi RIS 1949 maupun dalam Pasal 96 UUDS
mengenai
keadaan staatnood-
noodverordeningsrecht
presiden. Disamping keadan bahaya itu, dapat
saja
mendesak,
terjadi misalnya
alasan-alasan untuk
yang
memelihara
keselamatan Negara dari ancaman-ancaman yang tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Sementara proses legislasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat dilaksanakan, maka presiden atas dasar keyakinannya dapat saja menetapkan Peraturan mengenai materi yang seharusnya undang
itu
dimuat dalam Undang-
dalam
bentuk
Pemerintah
Pengganti Undang-undang(Perpu).21 Presiden harus mengambil tindakan dan pilihan hukum untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang (Perpu). Pertimbangan manfaat yang lebih besar serta mengisi kekosongan aturan PerUndang-undangan menjadi bagian dasar dalam penyusunan Peraturan Pemerintah 21
Jimly Assiddiqie, Konstitusi dan Kont…. op.cit, Hlm 282
58
Pengganti
Undang-undang.
Pertimbangan
dan sesuai dengan teori Pemisahan Kekuasan
manfaat ini yang akan dituangkan dalam
(kewenanagan Eksekutif yang yang secara
bentuk
khusus dapat membuat regeling dengan cara
Peraturan
Pemerintah
Pengganti
Undang-undang akan mendapatkan kebaikan
tidak
bagi hiruk pikuk persolan hak warga Negara
Undang-undang). Kewenangan atribusi yang
untuk meggunakan hak politik atau hak
berada pada kekuasaan ekesekutif (Presiden)
untuk memilih (right to vote) yang tidak
melalui Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945 juga
dapat digunakan lantaran tidak terdaftar di
merupakan pilihan tepat tentang pengaturan
Daftar Pemilih Tetap dan Daftar Pemilih
warga Negara yang tidak terdaftar di Daftar
Tambahan dalam Pemilihan Umum presiden
Pemilih
dan Wakil Presiden tahun 2009.
Tambahan
Dalam
kontek
ini
pengajuan
seperti
Tetap
normalnya
dan
dituangkan
pembentukan
daftar
Pemilihan
dalam
Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang.
pengujian Undang-undang Nomor 42 Tahun
Pada intinya Permohonan pengujian
2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
pengujian Pasal 24 ayat (2) Undang-undang
Wakil Presiden diajukan sangat dekat sekali
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
dengan hari pemilihan umum tanggal 9 Juli
Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) Undang-
2009. Bahkan Putusan MK Nomor 102/PUU-
undang Nomor 14 Tahun 1985 juncto
VII/2009 tentang pengajuan pengujian Pasal
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 juncto
28 dan Pasal 111 Undang-undang Nomor 42
Undang-undang
Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan
tentang Mahkamah Agung dan Pasal 268
Wakil Presiden ini dikeluarkan 2 hari
ayat (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun
sebelum
1981
hari
pemungutan
beranggapan Pemerintah
suara.
pembentukan Pengganti
Jika
tentang
Acara
Pidana
menginginkan agar upaya hukum Peninjauan
Undang-undang
Kembali tidak hanya bisa hanya dilakukan satu kali.
alasan
meminta
tidak
Hukum
3 Tahun 2009
Peraturan
tersebut membutuhkan waktu yang lama, terebut
Nomor
dapat
diterima.
Pemohon pungujian tersebut agar
supaya
ketentuan
Pasal
Pembuatan Peraturan Pemerintah Pengganti
pengujian Pasal 24 ayat (2) Undang-undang
Undang-undang
kewenangan
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
sepihak presiden tanpa harus membahasanya
Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) Undang-
dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
undang Nomor 14 Tahun 1985 juncto
Waktu
merupakan
yang
tidak
terlalu
lama
tersebut merupakan pilihan hukum yang tepat
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 juncto Undang-undang
Nomor
3 Tahun 2009
tentang Mahkamah Agung dan Pasal 268 59
ayat (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun
dalam Undang-undang yang telah diuji tidak
1981 tentang Hukum Acara Pidana dapat
dapat
dilakukan lebih
dari satu kali karena
kembali. Pasal 60 “Terhadap materi muatan
pemohon prinsip sendiri (PT. Haranggajang)
ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang-
telah dirugikan akan keberlakuan Pasal yang
undang
mengatur tentang Peninjuan Kembali. Disisi
dimohonkan pengujian kembali.”.22
dilakukan
permohonan
yang telah diuji,
pengujian
tidak dapat
lain Kuasanya yakni Farhat Abbas juga
Namun, yang terjadi adalah telah
menginginkan agar pembatasan mengenai
terjadi pengujian kembali terhadap Pasal 24
seseorang
mengajukan
ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun
Peninjauan Kembali tidak hanya dibatasi
2009 tentang kekuasaan Kehakiman, pasal 66
oleh terpidana atau ahli warisnya, melainkan
Ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun
juga diberikan kepada kuasa hukumnya.
1985 juncto Undang-undang Nomor 5 Tahun
yang
Permasalahan
dapat
menjadi
2004 juncto Undang-undang Nomor 3 Tahun
konsentrasi pembahasan dalam tulisan ini
2009 tentang Mahkamah Agung serta Pasal
sebenarnya terkait ketentuan Pasal yang
268 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun
mengatur Permohonan Peninjauan Kembali
1981
hanya dapat dilakukan satu kali namun
Ketentuan Pasal 60 telah membatasi terhadap
diajukan lagi oleh pemohoan lain kepada
Pasal, Ayat, Muatan dan/ bagian dari
MK.
Undang-undang yang telah diuji tidak dapat
Permohonan
yang
materiil
terhadap
pengujian Undang-undang yang telah pernha
putusan
akan
Hukum
Acara
Pidana.
diajukan permohonan kembali.
dimohonkan atau di uji di MK dan telah dikeluarkan
tentang
Buktinya
telah terjadi
pengajuan
permohonan
Pasal 24 ayat (2) Undang-undang Nomor 48
tersebut, diajukan kembali ke MK oleh
Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman,
pemohon lain dengan waktu yang berbeda.
pasal 66 Ayat (1) Undang-undang Nomor 14
Pertanyaannya adalah apakah boleh terhadap
Tahun 1985 juncto Undang-undang Nomor 5
Pasal yang telah diuji dilakukan uji kembali
Tahun 2004 juncto Undang-undang Nomor 3
ke MK?.
Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung serta
Untuk menjawab hal tersebut dapat
Pasal 268 ayat (3) Undang-undang Nomor 8
dilihat dalam ketentuan yang mengatur
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
tentang MK, yakni Undang-undang Nomor 24
Tahun
2003
tentang
Mahkamah
Konstitusi. Pasal 60 memberikan batasan terkait Pasal, Ayat, Muatan, dan/bagian
22
Pasal 60 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi diundangkan tanggal 13 Agustus 2003, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316
60
yang diajukan oleh pemohon yang berbeda
Undang-undang Dasar, memutus sengketa
pasca
kewenangan antar lembaga Negara yang
putusan
MK
Nomor
16/PUU-
VIII/2010.
kewenangannya diberikan oleh Undang-
Pembatasan dalam pengujian Undang Undang
Undnag Dasar, memutus pembubaran partai
terhadap UUD NRI Tahun 1945
politik, dan memutus tentang pembubaran
oleh MK adalah dalam hal perkara nebis in
hasil pemilihan umum.” Penulis sengaja
idem. Nebis in idem diatur dalam Pasal 60
memberikan penulisan tebal terhadap kata
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003
pada tingkat pertama dan terakhir yang
tentang
yaitu:
putusannya bersifat final untuk menguji
“Terhadap materi muatan ayat, pasal,
Undang-undang terhadap Undang-undang
dan/atau bagian Undang-undang yang telah
Dasar, hal tersebut yang kan menjadi konen
diuji, tidak dapat dimohonkan kembali.”
perhatian pembahasan yang lebih mendalam
Akan tetapi terhadap pengaturan tersebut
nantinya.
Mahkamah
Konstitusi,
terdapat pengecualian, yaitu sebagaimana
Imbas dari gramatikal pada tingkat
yang diatur dalam Pasal 42 Ayat (2) PMK
pertama dan terakhir yang putusannya
Nomor
Pedoman
bersifat final untuk menguji Undang-
Beracara Dalam Perkara Pengujian UU, yang
undang terhadap Undang-undang Dasar
mengatur sebagai berikut: “Terlepas dari
adalah bahwa tidak ada peradilan lain atau
ketentuan ayat (1) di atas, permohonan
upaya hukum lagi terkait pengujian Undang-
pengujian Undang-undang terhadap muatan
undang terhadap UUD NRI Tahun 1945.
ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama
Ketika MK mengeluarkan putusan atau vonis
dengan perkara yang pernah diputus oleh
terkait pengujian Undang-undang terhadap
Mahkamah dapat dimohonkan pengujian
UUD NRI Tahun 1945 maka sejak itupula
kembali
putusan atau vonis tersebut dilakukan, tidak
06/PMK/2005
dengan
konstitusionalitas
yang
tentang
syarat-syarat menjadi
alasan
permohonan yang bersangkutan berbeda”.23 Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun
ada upaya hukum lagi yang dapat ditempuh karena hal tersebut merupakan upaya hukum yang pertama dan terakhir.
1945 menyatakan “Mahkamah Konstitusi
Ketentuan Pasal 60 ayat (1) dan
berwenang mengadili pada tingkat pertama
(2)“terhadap materi muatan ayat, pasal,
dan terakhir yang putusannya bersifat final
dan/bagian dalam Undang-undang yang
untuk menguji Undang-undang terhadap
telah
diuji,
tidak
dapat
dimohonkan
pengujian kembali.” Ayat (2) “ketentuan 23
Pasal 42 Ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat 61
dikecualikan jika materi muatan dalam
1945 dilakukan dengan cara mengadili pada
Undang-undang Dasar Negara Republik
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar
bersifat final. Jika melihat dari kontek
pengujian berbeda.”24 Merupakan ketentuan
putusan yang
yang sangat baik demi tercapainya keadilan,
ketentuan Pasal 268 ayat (3) Undang-undang
sebab jika hannya dikunci terhadap Pasal,
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
ayat, muatan dan/bagian Undang-undang
Pidana dengan 3 macam putusan yakni
yang telah diuji dan tidak dapat dimohonkan
Putusan MK Nomor 16/PUU-VIII/2010 dan
pengujian
sulit
Putusan MK Nomor 64/PUU-VIII/2010 dan
yang
yang terakhr Putusan MK Nomor 34/PUU-
kembali
mendapatkan
maka
keadilan.
akan Pasal
telah dikeluarkan terkait
membatasi tersebut akan digunakan oleh
XI/2013
orang tertentu kelompok tertentu yang
seharusnya final menjadi tidak final lagi.
memiliki kepentingan terhadap pasal, ayat,
Hal
menjadikan
tersebut
putusan
yang
dibuktikan
dengan
muatan dan/bagian Undang-undang untuk
ketentuan Pasal 268 ayat (3) Undang-undang
menguji dengan maksud supaya ketika Pasal,
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
ayat, muatan dan/bagian Undang-undang
Pidana yang semula dalam Putusan MK
telah diuji tidak bisa diuji kembali. Meskipun
dinyatakan
bisa saja Pasal, ayat, muatan dan/bagian
inkonstitusional.
Undang-undang tersebut memang benar-
dikeluarkan berdasarkan Putusan MK Nomor
benar bertantangan dengan UUD NRI Tahun
16/PUU-VIII/2010 dan Putusan MK Nomor
1945 namun terhalang karena ketentuan tidak
64/PUU-VIII/2010 adalah final menjadi tidak
dapat diuji.
final lagi dengan Putusan MK Nomor
Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
34/PUU-XI/2013 yang menyatakan Pasal
telah memberikan pengaturan yang sangat
268 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun
jelas terkait bagaimana kewenangan MK
1981
yang diberikan oleh konstitusi itu dijalankan.
inkonstitusional.
Bahwa
MK
dalam
kewenangannya tersebut
menjalankan dalam
tentang
konstitusional Artinya
Hukum
menjadi
putusan
Acara
yang
Pidana
Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013
hal ini
yang menyatakan Pasal 268 ayat (3) Undang-
pengujian Undang-undang terhadap UUD
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana inkonstitusional telah membuat
24
Lihat Pasal 60 Ayat (1) (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, diundangkan tanggal 20 Juli 2011, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226
sifat final itu menjadi tidak final serta hal tersebut secara nyata putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 telah merubah konstitusi 62
atau UUD NRI Tahun 1945. Secara implisit
control
atau
judicial
review
jika
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 telah berubah
mekanismenya dilakukan oleh pengadilan.
atau telah dirubah oleh MK.
Pada pokoknya kaidah umum yang bersifat
Dengan ketentuan pasal 60 Ayat (2)
umum dan abstrak (general and abstrack
tersebut Undang-undang Nomor 8 tahun
norm) hanya dilakukan kontrol melalui
2011 tentang perubahan atas Undang-undang
mekanisme hukum yaitu judicial review oleh
Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
pengadilan. Ada Negara yang menganut
Konstitusi tersebut sebenarnya sejak awal
sistem yang terpusat (centralised system)
sudah menggugurkan ketentuan pasal 24C
yaitu pada MA. MK atau lembaga lain yang
ayat (1) UUD NRI tahun 1945 terkait frasa
khusus. Ada pula Negara yang menganut
mengadili pada tingkat pertama dan
sistem
terakhir yang putusannya bersifat final
(decentralised system) sehingga setiap badan
dalam
Undang-undang
peradilan dapat melakukan pengujian atas
terhadap UUD NRI Tahun 1945. Jika
peraturan perUndang-undangan yang berisi
dalam Pasal 60 Ayat (2) tersebut Undang-
norma
undang Nomor 8 tahun 2011 tentang
menganut sistem yang tersentralisasi, yaitu
perubahan atas Undang-undang Nomor 24
untuk Undang-undang terpusat di MK,
tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sedangkan
telah memberikan peluang bagi MK untuk
perUndang-undangan
dapat melakukan pengujian kembali atas
undang dipusatkan ke MA.25
hal
pengujian
tersebar
umum
atau
dan
pengujian
tidak
terpusat
abstrak.
Indonesia
atas
peraturan
dibawah
Undang-
Pasal, ayat, muatan /bagian dari Undang-
Pasal 79 Undang-undang Nomor 3
undang yang telah diuji dapat dilakukan uji
Tahun 2009 menyatakan bahwa “Mahkamah
kembali sepanjang alasan konstitusional atau
Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal
batu uji yang digunakan berbeda maka tidak
yang
mungkin kewenangan MK yang menyatakan
penyelenggaraan peradilan apabila terdapat
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
hal-hal yang belum cukup diatur dalam
yang putusannya bersifat final dalam hal
Undang-undang
pengujian Undang-undang terhadap UUD
tersebut menyatakan bahwa apabila dalam
NRI Tahun 1945 untuk tetap mmpertahankan
jalannya peradilan terdapat kekurangan atau
frasa pertama dan terakhir serta sifat putusan
kekosongan hukum dalam satu hal , MA
MK yang bersifat final tersebut
berwenang
diperlukan
bagi
kelancaran
ini.”Penjelasan
membuat
peraturan
pasal
sebagai
Kontrol terhadap norma hukum (norm control) dinamakan legal control, judicial
25
Jimly Assiddiqie, Perihal….. op.cit. Hlm 7
63
pelengkap untuk mengisi kekurangan dan
melakukan
kekosongan tersebut.26
hukum
Hal yang menjadi dasar utama penulis mengatakan bahwa Perma Nomor 1 tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil tersebut diduga melakukan pergeseran fungsiyudiaktif sebenarnya terkait ketentuan Pasal 1 ayat 3. “permohonan
keberatan
adalah
suatu
permohonan yang berisi keberatan terhadap berlakunya suatu peraturan perUndangundangan dengan
yang suatu
diduga
bertentangan
peraturan
perUndang-
undangan tingkat lebih tinggi yang diajukan ke Mahkamah Agung untuk mendapatkan Putusan” frasa tercetak tebal tersebut yang menjadi
konsentrasi
perubahan
yang
dilakukan oleh MA. Frasa diduga bertentangan dengan suatu
peraturan
perUndang-undangan
tingkat lebih tinggi ini mengadung arti bahwa bisa saja ketentuan tersebut batu uji yang
digunakan
bukan
Undang-undang,
karena tidak disebut dengan jelas batu ujinya. Bisa saja itu dapat dibaca peraturan tingkat lebih
tinggi
Peraturan
terdebut
Daerah
misalnya
Kabupaten/Kota
antara diuji
dengan Peraturan Daerah Provinsi atau diuji dengan Peraturan Presiden. Tentu hal ini sudah melenceng dari wewenang awal yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 yang memberikan kewenangan kepada MA untuk 26
Ibid, Hlm 157
pengujian
peraturan
terhadap
produk
perUndang-undangan
dibawah Undang-undang terhadap Undangundang. Dengan
menyatakan
MA
dapat
melakukan pengujian peraturan perUndangundangan dengan peraturan tingkat lebih tinggi
merupakan
diperluas
sendiri
kewenangan oleh
MA.
yang Karena
kewenangan itu tidak didapat dari konstitusi atau UUD NRI Tahun 1945. Pasal 24A Ayat (1)
UUD
NRI
Tahun 1945
memberi
kewenangan pengujian peraturan perUndangundangan dibawah Undang-undang kepada MA untuk diuji dengan menggunakan dasar uji Undang-undang, bukan peraturan tingkat lebih tinggi. Pertanyaan selanjutnya apakah boleh suatu peraturan itu bersimpangan atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Teori Hierarki atau jenjang tata hukum (Stufenbautheorie) dari hans kelsen ini merupakan bagian dari aliran posisivisme yang hingga saat ini masih tetap relevan untuk melihat hierarki penormaan yang berlaku dalam suatu Negara khususnya di Negara Indonesia. Menurut Hans Kelsen, norma-norma (termasuk norma hukum) itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi, berlaku, bersumber, 64
dan berdasar pada norma yang lebih tinggi
Materiil ini MA telah melakukan pergeseran
lagi dan demikian seterusnya sampai pada
fungsi Yudikatif dengan memperluas sendiri
suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih
kewenangnnya
lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu
dibuatnya sendiri.
dengan
peraturan
yang
Groundnorm.(norma dasar).27 Jenjang
norma
Staatsgrundgesetz
(Aturan Dasar/Aturan Pokok Negara) dan
PENUTUP Kesimpulan
Formell Gesetz (Undang-undang ”Formal”)
MK telah
melakukan pergeseran
yang mengatur tentang kewenangan MA
fungsi yudikatif dengan putusan yang telah
dalam
melakukan
pengujian
terhadap
dikeluarkannya. Putusan Nomor 102/PUU-
perUndang-undangan
terhadap
VII/2009 karena dalam putusan tersebut MK
Undang-undang dengan jelas bahwa yang
karena didalamnya terdapat unsur aturan atau
dijadikan
regeling
Peraturan
dasar
pengujiannya
dalam
yang
sebenarnya
Undang-undang. Namun, dalam jenjang
membetuk
norma yang dituangkan dalam Perma Nomor
Perwakilan Rakyat dan Presiden. MK juga
1 Tahun 2011 tentang Hak uji Materill
telah
menyatakan
konstitusi dengan dikeluarkannya putusan
bukan
dasar
pengujiannya
Undang-undang
adalah
melainkan
MK
aturan
berada
kewenangan
melakukan
Nomor
pada
perubahan
34/PUU-XI/2013,
Dewan
terhadap
putusan
peraturan tingkat lebih tinggi. Jadi seperti
tersebut telah meniadakan dari sifat final
yang telah ditulis diatas jika frasa yang
menjadi tidak final. MA Telah melakukan
dibentuk oleh MA melalui Perma Nomor 1
pergeseran
Tahun 2011 ini menggunakan frasa Peraturan
memperluas kewenangan batu uji yang
tingkat lebih tinggi maka sudah bertentang
dijadikan dasar pengujian.
dan tidak bersumber dari jenjang norma
Saran
diatasnya yakni Staatsgrundgesetz (Aturan
MK
fungsi
yudikatif
kedepan
agar
dengan
tidak
Dasar/Aturan Pokok Negara) dan Formell
mengeluarkan putusan yang bersifat positif.
Gesetz (Undang-undang ”Formal”). Oleh
Perma Nomor 1 Tahun 2011 tentang hak uji
karenanya menurut teori hierarki peraturan
materiil perlu dilakukan perubahan terkait
perundang-undangan MA Melalui Perma
batu uji yang dapat dilakukan pengujian
Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji
perUndang-undangan
dibawah
Undang-
undang terhadap Undang-undang. 27
Hans Kelsen. 2006 General Theori of Law and State. Alih bahasa Raisul Mattaqin. Teori Umum tentang Hukum dan Negara. Nusa Media. Bandung: Hlm 179
DAFTAR PUSTAKA 65
Patrialis Akbar, Implikasi Pembatalan UU Oleh MK Terhadap PerUndang-undangan Di Indonesia, disampaikan pada kegiatan Seminar Nasional dan Pertemuan Koordinasi antara Asosiasi Pengajar Hukum Acara MK dan Hanns Seidel Foundation Indonesia, 23 Juli 2010 di Yogyakarta. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, 2008.
Sekretariat Mahkamah Konstitusi, Mengawal Demokrasi Menegakkan Keadilan Substantif, Laporan Tahunan 2009, Jakarta, Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, 2010, Jakarta ---------------------, Perihal Undang-undang, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014. Ronald S Lumbuun, Perma RI Wujud kerancuan antara Praktik Pembagian dan Pemisahan kekuasaan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undangundang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman. Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana . Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undangundang. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil. Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009. putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013
Sekretariat Mahkamah Konstitusi, Mengawal Demokrasi Menegakkan Keadilan Substantif, Laporan Tahunan 2009, Jakarta, 2009. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Administrasi Pemerintahan. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-undangan. 66