KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UUD 1945 Oleh : Hariyanto H. Abstraksi Landasan peradilan dalam Islam (landasan hukum lembaga yudikatif) lebih kurang sama dengan ketentuan-ketentuan yang dimuat pada pasal 24 sampai dengan 24C UUD 1945 yang telah diamandemen jo pasal 1 UU No.48 tahun 2009 jo pasal No.49 tahun 2009 semakna, bahwa kekuasaan kehakiman itu merupakan kekuasaan negara sebagai mana amanat konstitusi yang dalam hukum Islam kekuasaan kehakiman itu (wilayat Al-Qadha’) sebagai kewajiban Syar’i bagi penguasa atau imam. Keduanya baik kekuasaan kehakiman dalam UUD 145 yang telah diamandemen wilayatul qadla keberadaannya diatur oleh aturan-aturan dasar negara ( konstitusi / Syar’i ). Adapun kekuasaan kehakiman itu bebas dari pengaruh manapun baik eksekutif maupun legislatif dan pihak manapun ; Hal ini telah dijalankan oleh para hakim Islam baik pada masa Rasulullah maupun pada masa Khulafaurrasyidin dan masa-masa selanjutnya, dimana hakim-hakim pada masa itu dengan keyakinan keimanan yang sangat tinggi dan pemahaman akan ayat-ayat Allah dan hadis-hadis Rasul mereka tidak terpengaruh dengan apapun dan siapapun dalam memutus suatu perkara kecuali berpedoman kepada kebenaran Allah dan RasulNya. Kata Kunci: hukum Islam, Kehakiman, Pengadilan A.
Pendahuluan
Berbicara tentang kekuasaan kehakiman kita tidak dapat menghindar dari pembahasan tentang kekuasaan negara, karena kekuasaan kehakim,an itu merupakan bagian dari kekuasan negara. Oleh karena itu pada bagian awal ini akan dibicarakan dahulu mengenai kekuasaan negara. Adapun yang dimaksud dengan negara sebagaimana telah didefinisikan oleh Prof. G Pringgodigdo SH194 Negara adalah suatu organisasi kekuasaan atau organisasi kewibawaan yang harus memenuhi persyaratan unsur-unsur tertentu yaitu ; Memiliki pemerintahan yang berdaulat, Memiliki wilayah tertentu dan memiliki rakyat tertentu yang hidup teratur sehingga merupakan suatu bangsa. Dari definisi di atas dapat dijelaskan bahwa negara itu merupakan organisasi kekuasaan yang memiliki unsur-unsur pemerintahan yang berdaulat, wilayah tertentu dan rakyat tertentu sebagai suatu bangsa. Hilangnya salah satu unsur dari
Penulis adalah Dosen Tetap pada Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung 194 Kansil CST, dan Christine ST Kansil , Hukum Tatat Negara RI , Penerbit Rineka cipta Jakarta, edisiRevisi, 2008. Hal 3
tiga unsur tersebut di atas , maka organisasi sebesar apapun tidak dapat dikatakan sebagai suatu negara. B.
Kekuasaan Negara Kekuasaan Negara itu berbeda dengan kekuasaan organisasi selain negara, karena menurut Max Weber195 kekuasaan Negara itu merupakan kekuasaan yang luar biasa karena negara itu memiliki monopoli dalam menggunakan kekuasan fisik berupa penangkapan, penahanan, mengadili kemudian memasukkan orang kedalam penjara. Kekuaan Negara dengan kekerasan dalam menyelesaikan suatu pemberontakan , suatu kejahatan dan mengadakan milisi dan lain-lain. Dengan adanya sutu kekuasaan yang kuat dan besar yang memiliki wilayah dan rakyat , maka Kekuasan Negara itu perlu didistribusikan/dibagikan kepada organ organ Negara itu sendiri. Pendistribusian atau pemisahan kekuasan Negara modern dewasai ini banyak yang mengacu pada teori yang dikekmukan oleh John Locke yang kemudian disempurnakan oleh Montesqueiu196 yaitu - Kekuasan legislative, kekuasan untuk membuat undang-undang - Kekuasan eksekutif, kekuasan untuk menjalankan undanmg-undang - Kekuasan yudikatif, kekuasan untuk mempertahankan undang-undang. Pendistribusian atau pemisahan kekuasan Negara kepada organ organ negara di dunia ini ada yang melaksanakannya dengan ketat seperti Amerika serikat dan ada yang melaksanakannnya secara konservatif 197 , termasuk kedalam kelompok ini adalah Negara Republik Indonesia.198 Negara republik Indonesia juga menganut system pemisahan kekuasaan negara , dimana kekuasaan negara itu didistribusikan oleh konstitusi negara Republik Indonesia yang telah diamandemen kepada lembaga-lembaga negara sebagai organ negara yaitu - Lembaga legislatif yang mempunyai 3 tugas pokok yaitu membuat undang-undang, menetapkan APBN dan mengawasi pelaksanaan undangundang yang dijalankan oleh eksekutif (pasal 19, 20 dan 20A UUD 1945). - Lembaga ekesutif, yaitu lembaga yang menjalankan udang-undang yang telah ditetapkan oleh legislative (pasal 4 UUD 1945). - Lembaga yudikatif yaitu lembaga yang mempertahankan undang-undang. Apabila terjadi pelanggaran maka lembaga yudikatif akan menegakan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut. Menurut konstitusi Negara Republik Indonesia yang telah diamandemen kekuasaan yudikatif
195
Ibid Ibid 197 Ibid hal 77 198 Menurut Ismail Sunni pemisahan kekuasaan Negara dalam arti matrial yaitu pelaksanaan fungsi Negara disebut separation of power dan pemisahan dalam arti formal disebut division of power. 196
-
ini dilaksanakan oleh 2 lembaga yaitu Mahkamah Agung RI dan Mahkamah Konstitusi RI (pasal 24 dan 24C UUD 1945). Lembaga auditif, lembaga ini bertugas sebagai auditor negara. Yaitu mengaudit penggunaan uang negara yang ditetapkan oleh APBN. Sebenarnya tugas dari lembaga auditor ini merupakan bagian dari tugas lembaga legislative dalam bidang pengawasan. Lembaga auditif dimaksud adalah BPK (pasal 23E, 23F, 23G UUD 1945).
Lembaga Yudikatif Dalam konstitusi Negara Republik Indonesia yang telah diamandemen mengenai kekuasaan kehakiman ini diatur dalam bab dan pasal tersendiri yaitu Bab IX Pasal 24, 24A, 24B dan Pasal 24C. Pasal 24 UUD 1945 yang telah diamandemen menyatakan bahwa kekauasaan kehakiman itu merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Apakah yang dimaksud dari kata-kata kekuasaan yang merdeka ? Untuk memahami kata-kata kekuasaan yang merdeka yang termuat dalam pasal 24 UUD 1945 tersebut kita harus melihat penjabarannya pada pasal 1 UU No. 48 tahun 2009 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan yang merdeka itu adalah kekuasaan negara. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian pertama diatas bahwa menurut UUD 1945 yang telah diamandemen bahwa kekuasaan negara itu didistribusikan pada organ-organ negara itu sendiri sebagaimana telah ditentukan oleh konstitusi yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dalam hal kekuasaan kehakiman UUD 1945 yang telah diamandemen mendistribusikan kekuasaan itu kepada lembaga yudikatif. Kekuasaan negara yang ada pada lembaga yudikatif itu sifatnya merdeka. Merdeka disini maksudnya adalah bahwa kekuasaan kehakiman itu dalam menjalankan tugasnya dia hanya tunduk dan patuh pada ketentuan undang-undang. Kekuasaan kehakiman itu tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan yang lain dalam menjalankan tugasnya. Kata-kata kekuasaan yang merdeka ini juga disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 5 tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung RI yang berbunyi Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Pada Pasal 2 Undang-Undang No. 5 tahun 2004 ini memakai kata Terlepas. Sekalipun tidak menggunakan kata merdeka tetapi kata terlepas maknanya sama dengan kata merdeka, bahwa Mahkamah Agung dengan jajarannya yaitu peradilan-peradilan yang ada dibwahnya yaitu Peradilan Umum, PeradilanAagama dan Peradilan Tata Usaha Negara serta Peradilan Militer dalam menjalankan tugas tidak dipengaruhi dan tidak boleh dipengaruhi oleh lembaga
manapun dan siapapun. Kemudian pada Undang-Undang No. 50 tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, memang tidak ada pasal-pasal yang menyebutkan katakata kekuasaan yang merdeka atau terlepas dari pengaruh…, akan tetapi perlu diingat bahwa peradilan agama dan peradilan-peradilan yang lain berada dibawah jajaran Mahkamah Agung sebagai lembaga Yudikatif yang bertugas melaksanakan kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu sekalipun tidak disebutkan kata-kata kekuasaan yang merdeka atau kata-kata terlepas dari…, perlu dipahami bahwa dengan sendirinya lembaga-lembaga peradilan itu merupakan bagian dari lembaga yudikatif yang dalam melaksanakan tugasnya mereka terlepas dari pengaruh lembaga eksekutif dan legislatif dan dari pihak manapun juga. C.
Pandangan Islam Sebagai perbandingan kajian dalam perspektif hukum Islam bahwa kekuasaan kehakiman itu (wilayat al qadla’) inheren dengan ajaran agama itu sendiri. Hal ini dapat dibaca dan dipahami dari dalil-dalil yang ada baik yang bersumber dari Al-Qur’an maupun Hadits, yang menegaskan bahwa bagaimana semestinya ummat Islam itu menyelesaikan persengketaan diantara mereka. 1. Surat An-nisa ayat 65
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. 2. Al-Maidah ayat 48
Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan. 3. An-Nisa ayat 105
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat Dari Hadist . ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل ﻟﻮ ﯾﻌﻄﻰ اﻟﻨﺎس ﺑﺪﻋﻮاھﻢ ﻻدﻋﻰ ﻧﺎس
ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس ان اﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠ ﺎ
دﻣﺎء رﺟﺎل واﻣﻮاﻟﮭﻢ وﻟﻜﻦ اﻟﯿﻤﯿﻦ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺪﻋﻰ ﻋﻠﯿﮫ وﻓﻰ ﺑﯿﮭﻘﻰ اﻟﺒﯿﻨﺔ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺪﻋﻰ واﻟﯿﻤﯿﻦ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ اﻧﻜﺮ Artinya : Dari Ibnu Abbas r.a berkata bahwa Rasulullah Saw. Bersabda, sekiranya diberikan kepada manusia apa saja yang digugatnya, tentulah manusia itu akan menuntut halalnya darah seseorang dan harta mereka. Akan tetapi Sumpah itu dibebankan kepada tergugat, dan pada riwayat Baihaqy keterangan (baiyinah) itu dimintakan kepada si penggugat dan sumpah itu dibebankan kepada tergugat. HR Muslim. 199 2.
َﺎﺷ ٍﻢ ﻋَﻦْ ا ْﺑ ِﻦ ﺑُ َﺮﯾْ َﺪةَ ﻋَﻦْ أَﺑِﯿ ِﮫ َﺣ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ ُﻣ َﺤ ﱠﻤ ُﺪ ﺑْﻦُ َﺣﺴﱠﺎنَ اﻟ ﱠ ِ ﺴ ْﻤﺘِ ﱡﻲ َﺣ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ َﺧﻠَﻒُ ﺑْﻦُ َﺧﻠِﯿﻔَﺔَ ﻋَﻦْ أَﺑِﻲ ھ ﺻﻠﱠﻰ ﱠ ﺎر ﻓَﺄ َ ﱠﻣﺎ اﻟﱠ ِﺬي َ ُﷲ َ ُ ﺎل ا ْﻟﻘ َ ﻋﻠَﯿْ ِﮫ َو َ ﻲ ﻋَﻦْ اﻟﻨﱠ ِﺒ ﱢ ِ ﺎن ﻓِﻲ اﻟﻨ ﱠ ِ َﻀﺎة ُ ﺛَ َﻼﺛَﺔٌ َوا ِﺣ ٌﺪ ﻓِﻲ ا ْﻟ َﺠﻨﱠ ِﺔ َوا ْﺛﻨ َ َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ ﻖ ﻓَ َﺠﺎ َر ِﻓﻲ ا ْﻟ ُﺤ ْﻜ ِﻢ ﻓَ ُﮭ َﻮ ِﻓﻲ اﻟﻨﱠﺎ ِر ﻀﻰ ِﺑ ِﮫ َو َر ُﺟ ٌﻞ َﻋﺮَفَ ا ْﻟ َﺤ ﱠ ِﻓﻲ اﻟْ َﺠﻨﱠ ِﺔ ﻓَ َﺮ ُﺟ ٌﻞ َﻋﺮَفَ اﻟْ َﺤ ﱠ َ َﻖ ﻓَﻘ َ َﻲ ٍء ﻓِﯿ ِﮫ ﯾَ ْﻌﻨِﻲ َﺣ ِﺪ ﯾﺚ َ َ ﺎل أَﺑُﻮ دَا ُود َوھ ََﺬا أ َ ََو َر ُﺟ ٌﻞ ﻗ ْ ﺻ ﱡﺢ ﺷ َ َﺎر ﻗ ِ ﺎس َﻋﻠَﻰ َﺟ ْﮭ ٍﻞ ﻓَ ُﮭ َﻮ ﻓِﻲ اﻟﻨ ﱠ ِ ﻀﻰ ﻟِﻠﻨﱠ ٌﻀﺎةُ ﺛَ َﻼﺛَﺔ َ ُ ا ْﺑ ِﻦ ﺑُ َﺮ ْﯾﺪَة َ ا ْﻟﻘ Hakim itu ada tiga; satu orang di Surga & dua orang berada di Neraka. Yang berada di surga adl seorang laki-laki yg mengetahui kebenaran lalu menghukumi dengannya, seorang laki-laki yg mengetahui kebenaran lalu berlaku lalim dalam berhukum maka ia berada di Neraka, & orang yg memberikan keputusan untuk manusia di atas kebodohan maka ia berada di Neraka. Abu Daud berkata, Hadits ini adl yg paling shahih dalam hal tersebut, yaitu Hadits Ibnu Buraidah yg mengatakan; Hakim ada tiga…. [HR. Abudaud No.3102].. 200 Dari dalil-dalil tersebut diatas dapat dipahami bahwa Allah SWT memerintahkan kepada Rasulullah untuk menyelesaikan persengketaan diantara
199
Imam Muslim, shaheh Muslim ( Alih Bahasa H.ais Latif dan H A Razak ) Diterbitkan Oleh keluarga H Rais Latif, 2003, hal. 662 200 Hasbi As Shiddieqy, Sejarah Peradilan Islam, Penerbit, Bulan Bintang Jakarta, 1970, hal. 39
ummat manusia dengan berpedoman kepada ketentuan-ketentuan Allah yaitu AlQur’an Al Karim Dengan demikian pada masa Rasulullah kekuasaan-kekuasaan negara itu masih menyatu dalam diri Rasulullah ; Pertama, sebagai lembaga legislatif; Rasulullah mengeluarkan suatu perundang-undangan yaitu berupa menerima wahyu dari Allah (Syara’) dan disampaikan kepada ummat manusia. Wahyuwahyu yang diterima itu dijelaskan melalui penjelasan-penjelasan Rasulullah yang kita kenal sekarang sebagai sunnah Rasul (hadits). Kedua, Rasulullah sebagai kepala pemerintahan (eksekutif) Rasulullah melaksanakan tugas-tugas kenabian baik yang berkenaan dengan dakwah Islam maupun yang berkaitan dengan kepemimpinan ummat. Dalam hal ini Rasulullah selalu berpedoman kepada wahyu Allah (Al-Qur’anAl Karim ). Ketiga, Rasulullah sebagai kepala lembaga yudikatif, Rasulullah menyelesaikan persengketaan-persengketaan diantara ummat manusia dengan memberikan hukum tentang persengketaan itu yang bersumber dari Al-Qur’an AlKarim. Dilihat dari ketiga fungsi tersebut Rasulullah sebagaimana termaktub dalam piagam Madinah 201 memang memiliki kekuasaan kenegaraan tersebut diatas. Dari dalil-dalil tersebut diatas, juga khalifah Umar bin Khattab202 pada waktu menjabat khalifah mengeluarkan surat edaran kepada para hakim yang kemudian dikenal dengan Risalat al-Qadha’ Umar bin Khattab yang diantara lain isinya : 1. Menegakan lembaga peradilan itu suatu kewajiban bagi penguasa (imam), karena menegakan peradilan itu merupakan sunnah Rasul yang harus diikuti. 2. Seorang hakim yang diangkat oleh imam (penguasa) harus menyelesaikan persengketaan203 berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah dalam rangka menegakan hukum Allah. D.
Penutup Dalam menyelesaikan persengketaan itu seorang hakim tidak boleh terpengaruh oleh siapapun, kecuali keyakinannya akan kebenaran pendapatnya berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul. Kemudian seorang hakim harus 201
Dahlan Thaib dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, 2012, hal. 32-40. 202 Hasbi Ash. Shiddieqy. Ob Cit, hal 26-28. 203 Persengketaan diantara ummat manusia itu bias berupa persengketaan dalam hak dan kewajiban ( persengketaan keperdataan ) dan bias juga dalam bentuk tindak pidana berupa kejahatandan pelanggaran, yang dalam istilah hukum Islam dikenal dengan jinayah.
selalu ingat ancaman Allah yang termuat dalam hadis diatas yaitu tentang 3 golongan hakim sebagai kontrol dalam melaksanakan tugasnya. Nampak dari ayat-ayat dan hadis yang dikutip di atas sebagai landasan peradilan dalam Islam (landasan hukum lembaga yudikatif) lebih kurang sama dengan ketentuan-ketentuan yang dimuat pada pasal 24 sampai dengan 24C UUD 1945 yang telah diamandemen jo pasal 1 UU No.48 tahun 2009 jo pasal No.49 tahun 2009 semakna, bahwa kekuasaan kehakiman itu merupakan kekuasaan negara sebagai mana amanat konstitusi yang dalam hukum Islam kekuasaan kehakiman itu (wilayat Al-Qadha’) sebagai kewajiban Syar’i bagi penguasa atau imam. Keduanya baik kekuasaan kehakiman dalam UUD 145 yang telah diamandemen wilayatul qadla keberadaannya diatur oleh aturan-aturan dasar negara ( konstitusi / Syar’i ). Adapun kekuasaan kehakiman itu bebas dari pengaruh manapun baik eksekutif maupun legislatif dan pihak manapun ; Hal ini telah dijalankan oleh para hakim Islam baik pada masa Rasulullah maupun pada masa Khulafaurrasyidin dan masa-masa selanjutnya, dimana hakim-hakim pada masa itu dengan keyakinan keimanan yang sangat tinggi dan pemahaman akan ayat-ayat Allah dan hadis-hadis Rasul mereka tidak terpengaruh dengan apapun dan siapapun dalam memutus suatu perkara kecuali berpedoman kepada kebenaran Allah dan RasulNya. Kenetralan hakim ini sudah diperintahkan oleh khalifah Umar bin Khattab dalam risalat Al-Qadha’nya pada poin ketiga yaitu bahwa hakim (pengadilan) dalam memutus suatu perkara harus bersikap adil dan jujur. Seorang hakim harus menyamakan pandangannya terhadap semua manusia yang ada dalam majelis dan proses serta putusan pengadilannya. Tujuannya adalah agar orang-orang yang kaya yang punya kemampuan ekonomi dan orang-orang yang punya jabatan yang mempunyai kekuatan kekuasaan tidak mempengaruhi putusan hakim, dan dilain pihak agar orang-orang yang lemah tidak teraniaya dan berputus asa dengan keadilan seorang hakim.
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an dan Terjemahannya, penerbit PT Intermasa Jakarta 1970 Bukhari, Shaheh Bukhari (Alih Bahasa H. Zainuddin Hamidy dkk), penerbit Wijaya Jakarta 1983 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, penerbit Matba’ah Misyirah Wa Maktaba Bi Mishriy, 1965 Fathurrachman, Hadits-Hadits Tentang Peradilan, penerbit Bulan Bintang Jakarta. Hasby Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, penerbit PT AlMa’arif Bandung
-------Sejarah Peradilan Islam, penerbit Bulan Bintang Jakarta, 1970 Muslim, Shaheh Muslim (Penterjemah H. Rais Lathief dan H. A. Razak), diterbitkan oleh keluarga H. Rais Lathief tahun 2003 Muhammad Salam Madkur, Al Qadla Fil Islam, (Alih bahasa Drs. Imron AM) Penerbit PT Bina Ilmu Surabaya. H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah, penerbit Kencana Jakarta tahun 2009 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, penerbit Sinar Grafika Jakarta tahun 2011 C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, penerbit Rineka Cipta tahun 2008 Badruzzaman Siddik, Perkembangan Peradilan di Indonesia, penerbit Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung tahun 2008 Haryanto H, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, penerbit Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung tahun 2013 Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen Undang-Undang No.48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang No.49 tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung Undang-Undang No.50 tahun 2009 Tentang Peradilan Agama