KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945 PASCA REFORMASI (Tinjauan Hukum Ketatanegaraan Islam)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh : FITRI AMALIA NIM : 102045225160
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM PROGRAM STUDY JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429H/2008M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar stata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang telah saya gunakan dalam skripsi ini telah saya cantumkan sesuai ketentuan yang telah berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Srarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi dari Allah SWT dan sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 21 juli 2010
Fitri Amalia
KATA PENGANTAR
Pujian yang tak pernah luntur syukur yang tak pernah pupus kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam terus berlanjut untuk junjungan Nabi Muhammad SAW, pembawa risalah Islam serta pengibar panji-panji kebenaran sehingga menjadi pedoman dalam berbagai aspek kehidupan umatnya. Selanjutnya dalam penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan, baik moril maupun materiil serta dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada samua pihak yang telah memberikan kotribusi dan khususnya kepada: 1.
Prof. Dr. Komarudin Hidayat, M A., selaku Rektor yang mendapat amanah ilmiah dari Universitas Islam Negari Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Bapak Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Selaku Dekan Fakultas Syari’ah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Bapak
Bapak Dr. Asmawi, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Jinayah
Siyasah, Fakultas Syari’ah Uin Syarif Hidayatullah Jakarta. 4.
Ibu Sri Hidayati, M.Ag. tercinta selaku sekretaris jurusan dan pembimbing penulis yang telah membantu dan membina penulis dalam menyelesaikan skripsi ini hingga mencapai sarjana.
5.
Bapak Drs Abu Thamrin, SH, M. Hum. Selaku pembimbing skrisi penulis.
i
6.
Segenap pengelola perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum.
7.
Yang paling utama ucapan terima kasih penulis haturkan kepada kedua orang tua penulis; Papah H. Bisri Nasrullah dan mamah Hj. Tuti Mutmainnah dan kedua kakak penulis; M. Ilham Bisri., S.T dan M. Hakiki Bisri., S. Kom yang tidak pernah bosan memberikan do’a dan kasih sayang yang tulus baik yang bersifat materil ataupun moril terhadap karir akademis penulis serta memberikan motivasi kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
8.
Yang tercinta suami penulis; Iqbal Zamzamy dan Ananda Dhya Alina Zahwa yang telah setia mendampingi dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9.
Sahabat-sahabat penulis; Julimah, Kiki GP, Lukman Hakim, Muhammad Yusuf, Eki, Hadi, Fatur yang mempunyai peran yang sangat berarti yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Dengan hamparan kedua tangan disertai ketulusan, penulis mendoakan semoga bantuan, dukungan, bimbingan dan perhatian yang telah diberikan oleh semua pihak akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT disertai limpahkan rahmat, hidayah serta berkah-Nya. Amin Ya Rabbal Alamin. Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sepenuhnya dapat menentramkan kegelisahan intelektual serta menyirami dahaga ilmiah, untuk itu penulis sangat berlapang dada menerima masukan-masukan apalagi kritik
ii
konstruktif. Semoga skripsi dihadapan anda ini dapat memberikan kontribusi positif, memperluas wawasan keilmuan serta menambah khazanah perpustakaan.
Jakarta, Oktober 2010 Syawal 1431 H
iii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................................. i DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1 B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ....................................... 7 C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ................................................. 8 D. Metode Penelitian...................................................................... 8 1. Jenis dan Sifat Data ............................................................... 9 2. Teknik Pengumpulan Data .................................................. 10 3. Teknik Analisis Data ........................................................... 10 E. Review Study Terdahulu ........................................................ 11 F. Sistematika Pembahasan ......................................................... 13
BAB II
MAJELIS
PERMUSYAWARATAN
RAKYAT
SEBAGAI
LEMBAGA NEGARA DALAM UUD 1945 A. Konsep Lembaga Negara dalam UUD 1945 ........................... 15 B. Konsep Lembaga Perwakilan di Negara Modern .................... 17 1. Teori Kedaulatan ................................................................. 18 2. Sistem Lembaga Perwakilan Rakyat................................... 20 C. Tugas dan Kewenangan Lembaga MPR dalam UUD 1945 ............................................................................... 26 BAB III
LEMBAGA
PERMUSYAWARATAN
HUKUM KETATANEGARAAN ISLAM
iv
RAKYAT
DALAM
A. Kedaulatan Rakyat dalam Hukum Tata Negara Islam ............ 34 B. Konsep Syura dan Demokrasi dalam Hukum Tata Negara Islam ........................................................................... 41 C. Majelis Syura sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat............... 46 BAB IV
KEKUASAAN MPR RI PADA MASA DALAM UUD 1945 PASCA
REFORMASI
DITINJAU
DALAM
HUKUM
KETATANEGARAAN ISLAM A. Konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasca Reformasi (1999–2004) .......................................................... 51 B. Tugas dan Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat di Era Reformasi ditinjau dari Hukum Tata Negara Islam ................................................................... 59 C. Analisa Perbandingan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dengan Majelis Syura dalam Hukum Ketatanegaraan Islam ........................... 68 1. Dari Segi Perkembangannya ............................................... 69 2. Dari Segi Keanggotaan ....................................................... 69 3. Dari Segi Tugas dan Peranannya. ....................................... 69 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................. 72 B. Saran ........................................................................................ 74
DAFTAR PUSTAKA
v
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................................. i DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1 B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ....................................... 7 C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ................................................. 8 D. Metode Penelitian...................................................................... 9 E. Review Study Terdahulu ........................................................ 11 F. Sistematika Pembahasan ......................................................... 14
BAB II
MAJELIS
PERMUSYAWARATAN
RAKYAT
SEBAGAI
LEMBAGA NEGARA DALAM UUD 1945 A. Konsep Lembaga Negara dalam UUD 1945 ........................... 16 B. Konsep Lembaga Perwakilan di Negara Modern .................... 18 1. Teori Kedaulatan ................................................................. 19 2. Sistem Lembaga Perwakilan Rakyat................................... 21 C. Tugas dan Kewenangan Lembaga MPR dalam UUD 1945 ............................................................................... 27 BAB III
LEMBAGA
PERMUSYAWARATAN
RAKYAT
DALAM
HUKUM KETATANEGARAAN ISLAM A. Kedaulatan Rakyat dalam Hukum Tata Negara Islam ............ 35 B. Konsep Syura dan Demokrasi dalam Hukum Tata Negara Islam ........................................................................... 42
C. Majelis Syura sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat............... 47 BAB IV
KEKUASAAN MPR RI PADA MASA DALAM UUD 1945 PASCA
REFORMASI
DITINJAU
DALAM
HUKUM
KETATANEGARAAN ISLAM A. Konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasca Reformasi (1999–2004) .......................................................... 54 B. Tugas dan Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat di Era Reformasi ditinjau dari Hukum Tata Negara Islam ................................................................... 62 C. Analisa Perbandingan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dengan Majelis Syura dalam Hukum Ketatanegaraan Islam ........................... 63 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................. 76 B. Saran ........................................................................................ 78
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah. Sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara pada Republik Indonesia dimulai pada tahun 1945. Pada tahun itulah berdiri negara Republik Indonesia sebagai suatu kumpulan besar manusia, yang sehat jiwanya dan berkobarkobar hatinya, menimbulkan kesadaran batin yang disebut bangsa. Persatuan Indonesia merupakan ide besar yang merupakan cita-cita hukum dan cita-cita moral bangsa Indonesia. Persatuan Indonesia telah menjiwai proses penetapan bentuk negara. Bentuk negara yang telah dipilih harus memungkinkan terwujud dan terjaminnya persatuan Indonesia. Berdirinya Negara ini tidak hanya ditandai dengan adanya proklamasi dan berkeinginan untuk bersatu bersama, akan tetapi yang lebih penting adalah adanya Undang-undang Dasar 1945 yang merumuskan berbagai macam masalah kenegaraan. Atas dasar Undang-undang Dasar 1945 berbagai struktur dan unsur negara mulai ada walaupun secara jelas pada masa itu belum ada lembaga-lembaga yang diamanatkan oleh Undang-undang Dasar, namun hal ini dapat diatasi dengan adanya Aturan tambahan dan Aturan peralihan dalam Undang-undang Dasar 1945. 1 Setelah Undang-undang Dasar 1945 berlangsung selama 4 tahun, diganti dengan konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) pada tahun 1949, 1
Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1984)
h. 17
1
2
kemudian diganti lagi dengan UUDS (Undang-undang Dasar Sementara) pada tahun 1950. Pada masa UUDS 1950 terselenggara pemilihan umum pada tahun 1955 untuk memenuhi amanat masyarakat dalam Undang-undang Dasar. Hasil pemilihan umum tersebut melahirkan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) sebagai suatu lembaga perwakilan rakyat, dan terbentuk konstituante yang bertugas membuat Undang-undang Dasar. Setelah bersidang selama beberapa tahun konstituante dibubarkan oleh Presiden Soekarno secara sepihak. Setelah itu dimulailah periode kembali ke Undang-undang Dasar 1945 ditandai dengan Dekrit Presiden tahun 1959. Setelah tahun 1998 maka dimulai masa reformasi yang diakibatkan oleh berbagai krisis yang kemudian melahirkan gerakan reformasi yang menginginkan suatu perubahan di Indonesia. Suatu zaman perubahan yang dinamakan “reformasi”, menandai berakhirnya orde baru, dengan digantikan dengan orde reformasi atau zaman reformasi. Pada saat itu terjadi perubahan Undang-undang Dasar yang sangat dinantikan oleh masyarakat Indonesia. Setelah tahun 1998 dimulai tuntutan-tuntutan akan perubahan mendasar di Republik Indonesia. Yang terpenting adalah dua tuntutan masyarakat pada saat itu adalah Supremasi Hukum dan Amandemen (perubahan Undangundang Dasar 1945). Pada tahun 1999 terjadi perubahan I Undang-undang Dasar 1945 yang mengatur beberapa hal penting seperti pembatasan jabatan presiden. Pada tahun 2000 terjadi perubahan ke II Undang-undang Dasar 1945 yang mengatur Hak Asasi Manusia. Pada Perubahan I dan II terjadi beberapa perubahan yang
3
mendasar dalam Undang-undang Dasar 1945. Pada perubahan Undangundang Dasar 1945 sampai tahun 2000 terdapat beberapa reduksi kekuasaan lembaga eksekutif seperti dalam pembatasan kekuasaan Presiden. Dalam banyak hal, presiden tidak lagi memegang kekuasaan legislatif dan presiden harus memperhatikan pendapat DPR ataupun MA (Mahkamah Agung) jika berkaitan dengan hukum. 2 Sampai dengan perubahan ke II belum ada kritik yang tajam terhadap perubahan yang terjadi terhadap Undang-undang Dasar 1945 dari mayoritas ahli hukum Tata Negara. Setelah perubahan III terjadi perubahan mendasar terhadap Undangundang Dasar 1945. Secara garis besar dapat disimpulkan perubahan III Undang-Undang Dasar 1945 meliputi : 1. Akan adanya pemilihan Presiden dan wakil Presiden langsung. Hal ini berakibat besar terhadap tugas MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). 2. Adanya Penghapusan Utusan golongan dalam MPR dan dilembagakannya utusan daerah menjadi DPD (Dewan Perwakilan Daerah) sehingga komposisi MPR berubah secara total. Setelah perubahan III Undang-undang Dasar 1945 berlaku, maka banyak kekurangan-kekurangan yang ada dalam Undang-undang Dasar. Proses perubahan Undang-undang Dasar 1945 menjadi salah satu sebab banyaknya kekurangan yang terjadi karena ada beberapa hal yang belum diatur dengan jelas sehingga menimbulkan masalah secara teknis hukum. Hal ini dikritisi oleh sebagian besar praktisi hukum terutama Hukum Tata Negara. Didit Hariadi Estiko, Amandemen UUD 1945 dan Implikasinya Terhadap Pembangunan Sistem Hukum, ( Jakarta: Tim Hukum Pusat Pengkajian Dan Pelayanan Informasi Sekretaris Jenderal, 2001), h. 33 2
4
Ketika memasuki proses perubahan IV perubahan yang kurang, coba diperbaiki. Perubahan IV menjadi suatu keharusan yang mau tidak mau harus ada. Karena dengan adanya pemilihan presiden langsung, maka presiden langsung bertanggung jawab kepada pemilihnya dan tidak ada lagi tugas membuat GBHN (Garis Besar Haluan Negara) yang dilakukan oleh MPR. Perubahan III dan IV Undang-undang Dasar 1945 telah mengubah status dan peran MPR. MPR berubah dari lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang disebutkan secara eksplisit dalam Undang-undang Dasar 1945 menjadi lembaga negara. Setelah adanya perubahan Undang-undang Dasar 1945 maka berakhirlah kekuasaan MPR sebagai lembaga pemegang kedaulatan rakyat dan berakhir juga kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara dalam struktur kelembagaan negara di Indonesia. Hukum tata negara Indonesia menghadapi suatu masa perubahan besar dalam tugas dan wewenang lembaga negara. Sangat penting untuk diselidiki bagaimanakah nantinya lembaga negara melakukan tugas dan wewenangnya dan bagaimana menjalankannya. Sebelum Perubahan Undang-undang Dasar 1945, kedudukan MPR adalah sebagai lembaga pemegang kedulatan rakyat. Dalam kekuasaan MPR, seluruh aturan ketatanegaraan dirancang dan diawasi dalam menjalankan kekuasaan ini MPR bertindak seakan tidak pernah salah karena terkait dengan sistem ketatanegaraan, perekrutan anggota dan sistem pengambilan keputusan MPR.
5
Adapun dalam Hukum Tata Negara Islam, berbicara mengenai lembaga perwakilan
sendiri musyawarah termasuk bagian dari menjalankan
pemerintahan menurut hukum Tata Negara Islam yang merupakan suatu perbuatan yang dibenarkan syariat, oleh karena itu segala sesuatu yang terkait dengannya menyangkut tujuan, cara, dan sistem harus terkait dengan hukum syar’i. karena Representasi permusyawaratan Majelis Syuraterhadap pendapat masyarakat dibangun dengan dasar akad perwakilan masyarakat pemilih. Musyawarah dalam Islam adalah syari’at yang dipancarkan dari akidah Islam. Taqiyudin berkata: ”Musyawarah adalah pengambilan keputusan secara mutlak, sebagai pengambilan pendapat maka bisa ditetapkan berdasarkan dalil Al-qur’an dan Hadist. Allah berfirman, “Dan terhadap urusan mereka hendaknya dimusyawarahkan sesama mereka” (QS. Assyuro’ Ayat 38). Dari Abu Huroiroh ra telah berkata: “Aku tidak melihat seorangpun yang banyak musyawarahnya dibandingkan Rasulullah SAW terhadap sahabatnya”. 3 ”
☺ :Artinya Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka. Adapun yang dikehendaki dari keberadaan lembaga permusyawaratan negara atau Majelis Syuradalam Islam adalah representasi manusia, maka keberadaaan Majelis Syuraadalah harus merepresentasikan pendapat warga Alamsjah Ratu Perwiranegara, Islam dan Pembangunan Politik Indonesia, (Jakarta : CV Haji Masagung, 1987), h. 211 3
6
negara, sebagaimana pemilihan para pemimpin kaum yang merupakan represetasi komunitas sebagaimana yang tercermin dalam pemilihan para pemimpin kaum Muhajirin dan Anshor, yang masing-masing adalah separuhnya. Ini menyangkut keberadaan individu dan jamaah yang tidak dikenal, tidak mungkin ada perwakilannya kecuali melalui pemilihan. Oleh karena itu pemilihan anggota majelis umat adalah suatu keharusan. Jadi, keanggotaan Majelis Syuraditentukan melalui pemilihan umum dan bukan melalui penunjukan. Ketentuan ini berlaku karena mereka adalah wakil dari pendapat warga Negara. Wakil tentu harus dipilih dari yang diwakilinya dan tidak ditunjuk secara mutlak. Keanggotaan Majelis Syuraharus mencerminkan kesetaraan dengan manusia secara individu dan kelompok dalam pendapatnya. Untuk mengetahui kesetaraan dalam wilayah luas dan kaum yang tidak dikenal, tidak mungkin dapat diketahui kecuali dengan pemilihan langsung oleh yang mewakilinya. Hal ini merujuk pada perbuatan Rasul bahwa tidak dilakukan penunjukan berdasarkan perkiraan, kecukupan jumlah ataupun kepribadian, melainkan pemilihannya didasarkan atas 2 (dua) asas, yaitu: 1.
Bahwa para wakil itu adalah para pemimpin kelompoknya dengan memperhatikan perkiraan jumlah kecukupannya.
2.
Mereka adalah representasi dari Muhajirin dan Anshor, masing-masing adalah separuhnya. 4
4
Ibid, h. 21.
7
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk memilih dan menetapkan judul tentang “Kekuasaan MPR RI Dalam UUD 1945 Pasca Reformasi (Tinjauan Hukum Ketatanegaraan Islam)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah. Berdasarkan atas latar belakang di atas, maka dianggap perlu untuk diadakannya pembatasan masalah yang akan dianalisa dengan maksud agar pembahasan skripsi ini akan lebih sistematis dan terarah. Untuk itu, masalah yang akan diteliti adalah lembaga MPR sebagai perwakilan rakyat di Indonesia, dibatasi dengan hal kekuasaan MPR mengenai tugas dan wewenang MPR periode 1999 sampai dengan 2004, yaitu pada masa reformasi dalam hal mengangkat dan memberhentikan presiden atau wakil presiden, selanjutnya menetapkan dan merubah Undang-Undang Dasar 1945 beserta perubahan-perubahannya yang ditinjau dari lembaga permusyawaratan rakyat dalam sistem pemerintahan Islam. Untuk mempermudah dan memperjelas jawaban dari masalah pokoknya, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat di Era Reformasi? 2. Bagaimana kedudukan Majelis Syuradalam Hukum Ketatanegaraan Islam? 3. Bagaimana tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat pada masa Reformasi ditinjau dari Hukum Ketatanegaraan Islam?
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian. Sedangkan yang menjadi tujuan dan manfaat penelitian ini dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bagaimana konsep lembaga negara MPR di Era Reformasi. 2. Untuk mengetahui kedudukan Majelis Syuradalam Hukum Ketatanegaraan Islam. 3. Untuk mengetahui tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat pada masa Reformasi ditinjau dari Hukum Ketatanegaraan Islam. Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah: 1. Memberikan wacana solutif dalam penanganan pengambilan keputusan dalam pengangkatan dan pemberhentian presiden dan penetapan dan perubahan Undang-undang Dasar 1945 sebagai basis pengetahuan Hukum mahasiswa syari’ah dan masyarakat umum yang konsen di bidang ini. 2. Menambah khazanah intelektual bagi individu atau kelompok untuk mendapatkan akses informasi yang komprehensif tentang pangambilan keputusan MPR RI yang sesuai untuk kesejahteraan rakyat. 3. Penambahan literatur kepustakaan.
D. Metode Penelitian. Untuk mengumpulkan data dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut:
9
1. Jenis dan Sifat Data Metode yang penulis gunakan pada dasarnya adalah metode deskriptif, yang bertujuan menjelaskan secara sistematis fakta secara cermat, yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala kelompok tertentu atau untuk menentukan suatu frekuensi atau penyebaran suatu gejala dan gejala lain dalam masyarakat. Dengan pengertian lain, data kualitatif yakni deskripsi berupa kata-kata, ungkapan, norma atau aturan yang diteliti. Cara ini bertujuan untuk mendeskripsikan Majelis Permusyawaratan yang ditinjau dari Hukum ketatanegaraan Islam dan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang ada di Indonesia. Sedangkan sifat dalam penelitian ini termasuk dalam penelitian yang bersifat deskriptif analitis yakni penelitian yang menggambarkan data dan informasi di lapangan berdasarkan fakta yang diperoleh secara mendalam. Adapun jenis data yang akan dikumpulkan dalam penlitian ini adalah jenis kualitatif yakni berupa kata-kata, norma atau aturan-aturan dari fenomena yang diteliti. Oleh karena itu berupaya mengupas dan mencermati secara ilmiah dan kualitatif mengenai kekuasan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang ditinjau dari hukum tata Negara islam pada masa reformasi. Sedangkan sifat dan data dalam penelitian ini untuk menggambarkan data dan informasi di lapangan berdasarkan fakta yang diperoleh.
10
2. Teknik Pengumpulan Data Sedangkan teknik penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini dengan Study Dokumentasi yaitu dengan mengumpulkan datadata dari buku-buku yang berkaitan dengan skripsi ini dengan meminjam dari perpustakaan atau membeli dan mengumpulkan artikel-artikel yang berkaitan dengan masalah kedudukan MPR tersebut di website. Adapun bahan pustaka yang penulis gunakan meliputi: 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunya kekuatan mengikat antara lain: Undang-Undang Dasar 1945 Naskah Asli dan Perubahannya. 2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum primer seperti buku-buku, artikel website, dan makalah-makalah yang berhubungan dengan topik penulisan ini. 3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan petunjuk terhadap bahan lainnya seperti kamus hukum dan kamus bahasa. 3. Teknik Analisis Data Teknik analisis yang dipakai dalam skiripsi ini adalah teknik analisis kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data dan kemudian diambil deskripsi beberapa ungkapan fenomena yang diteliti. Disini penulis berupaya mencermat dan mengumpulkan mengenai permasalaham yang ada.
11
Penulisan skripsi ini berpedoman kepada buku “pedoman penulisan skripsi” Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum tahun 2007.
E. Review Study Terdahulu. Sejumlah penelitian dengan pembahasan mengenai kekuasaan MPR RI telah banyak dilakukan, baik yang mengkaji secara spesifik ataupun secara umum. Pembahasan bersumber dari buku-buku dan skripsi terdahulu , selain itu beberapa makalah yang berkaitan dengan bahasan penelitian. Berikut ini merupakan paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian tersebut: Pertama, karya Imam Al-Mawardi tentang “ Al-Ahkam As-Shulthaniyah; Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam”. Didalam buku tersebut berisi tentang kajian hukum tata negara dan kepemimpinan menurut sudut pandang islam yang menitik beratkan kepada hal tentang Ahl al-Hall wa al-aqd. Kedua, karya Munawir Sjadzali tentang proses pengangkatan empat alKhulafa al-Rasyidin pada buku yang berjudul “ Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran”. Yang menjelaskan proses pengangkatan kepala negara dan metode-metodenya. Ketiga, karya Dr. Suyuthi Pulungan, M.A. yang berjudul “ Fiqh Siyasah; Ajaran Sejarah dan Pemikiran”. Yang didalamnya membahas tentang hukum politik menurut Islam baik dari ajaran, sejarah dan pemikirannya.
12
Keempat, buku yang berjudul “Fiqh Politik Islam” karya Farid Abdul Khaliq”. Yang didalamnya membahas konsep politik islam yang menyangkut tentang prinsip-prinsip yang terdapat pada lembaga perwakilan rakyat (Ahlul Halli Wal Aqdi) dan segala kewajiban dalam bermasyarakat dan bernegara. Kelima, buku yang berjudul “Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia; Pasca Reformasi” karya Prof. Dr. jimly Asshiddiqie, S. H. yang menjelaskan tentang berbagai persoalan hukum tata negara Indonesia dengan perspektif baru setelah reformasi. Keenam, buku karya Drs. Muhammad Iqbal yang berjudul,” Fiqh Siyasah; Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam”yang membahas tentang masalah politik dan kenegaraan dalam Islam secara komprehensif. Ketujuh, karya Moh. Mahfud MD tentang “ Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi”. Di dalam buku ini menjelaskan tentang segala hal yang membahas tentang permasalahan yang terjadi pasca amandemen Undang-undang 1945 dalam hal hukum tatanegara di Indonesia. Kedelapan, skripsi Kholik tahun 2002 , fakultas Syariah dan Hukum yang berjudul, “ Implementasi Syuro Pada Masa Al-Khulafaul Rasyidin dan Relevansinya Pada Masa Kini”. Pada skripsi ini dibahas mengenai definisi syura’, implementasi syuro pada masa Al-Khulafaul Rasyidin dan pendangan para pemikir muslim tentang konsep syuro itu pada masa kini. Kesembilan,skripsi yang diulis oleh Herni Lestari fakultas Syariah dan Hukum tahun 2005, yang berjudul “Kedaulatan Rakyat Dalam Perspektif Politik Islam dan Politik Indonesia”, didalamnya dibahas mengenai kosep
13
kedaulatan rakyat dalam politik islam dan politik Indonesia melalui analisa komparatif, selain itu menunjukan adanya sksistensi lembaga-lembaga perwakilan sebagai pelaksana operasional kedaulatan rakyat baik di Indonesia maupun dalam politik pemerintahan islam. Secara umum tinjauan review pustaka di atas telah banyak membahas tentang konsep perwakilan dari berbagai versi dan pengembangannya. Akan tetapi, belum terdapat suatu kajian yang membahas tentang kajian tentang eksistensi kekuasaan MPR di Indonesia yang diterapkan pada masa reformasi yang telah banyak berubah seiring adanya beberapa perubahan Undangundang Dasar 1945 (Amandemen UUD 1945) yang kemudian ditinjau dengan hukum tata negara Islam. Atas dasar itu, penulis berinisiatif untuk meninjau lebih dalam mengenai konsep kekuasaan MPR di Indonesia pada masa reformasi dan tinjauan Hukum Tata Negara Islamnya.
F. Sistematika Pembahasan. Pembahasan skripsi ini terdiri dari lima bab yang disusun secara sistematis, sebagai berikut: Bab I:
Berisi pendahuluan yang terdiri dari lima pokok bahasan yaitu latar belakang masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian dan teknik penulisan, review studi terdahulu dan sistematika pembahasan.
14
Bab II :
Berisi tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga negara dalam UUD 1945, yang menjelaskan tentang konsep Lembaga negara dalam UUD 1945, konsep lembaga perwakilan di negara modern dan fungsi dan kewenangan lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam UUD 1945..
Bab III:
Berisi tentang lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam hukum ketatanegaraan islam yang menjelaskan kedaulatan rakyat dalam hukum ketatanegaraan islam, konsep syura dan demokrasi dalam hukum ketatanegaraan Islam dan Majelis Syurasebagai lembaga perwakilan rakyat.
Bab IV:
Dalam bab ini saya membahas kekuasaan MPR RI dalam UUD 1945 pasca Reformasi ditinjau dalam hukum ketatanegaraan Islam yang terdiri dari; konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat pasca Reformasi
(1999-2004),
Tugas
Permusyawaratan Rakyat di Tata
Negara
Islam
dan
dan
wewenang
Majelis
Era Reformasi ditinjau dari Hukum analisa
perbandingan
Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dengan Majelis Syura dalam Hukum Ketatanegaraan Islam. Bab V:
Berisi penutup terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
15
BAB II MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEBAGAI LEMBAGA NEGARA DALAM UUD 1945
A. Konsep Lembaga Negara dalam UUD 1945. Berbicara mengenai lembaga negara berarti berbicara mengenai alat kelengkapan yang ada dalam sebuah negara. Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat yang fungsi, tugas dan kewenangannya diatur secara tegas dalam UUD. Secara keseluruhan UUD 1945 sebelum perubahan mengenal enam lembaga tinggi/tertinggi negara, yaitu MPR sebagai tertinggi negara, dan DPR, Presiden, MA, BPK, dan DPA sebagai lembaga tinggi negara. Namun setelah perubahan, lembaga negara berdasarkan UUD adalah MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK, tanpa mengenal istilah lembaga tinggi atau lembaga tertinggi negara. Republik Indonesia merupakan salah satu negara kesatuan yang sangat luas wilayahnya dan sangat besar jumlah penduduknya. Karena itu UUD 1945 yang sejak semula menganut prinsip ”semua harus terwakili”, melembagakan ketiga prinsip perwakilan politik, perwakilan teritorial dan perwakilan fungsional sekaligus dalam keanggotaan lembaga permusyawaratan rakyat di MPR. Itu sebabnya maka pasal 2 ayat 1 UUD 1945 yang lama berbunyi : ” MPR terdiri dari anggota-anggota DPR, ditambah dengan itutusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang”
15
16
Ketiga metode perwakilan tersebut, yaitu perwakilan politik (political repesentation),
perwakilan
teritorial
(teritorial
representation),
atau
perwakilan daerah (regional representation), dan perwakilan fungsional (functional representation) sama-sama tercermin dalam keanggotaan MPR RI. Adanya lembaga MPR yang terdiri di samping DPR, tidak menyebabkan struktur parlemen Indonesia disebut sebagai parlemen dua kamar atau bikameral, karena MPR sendiri tidak menjalankan fungsi legislasi dalam arti terlibat dalam proses pembentukan undang-undang. namun dikatakan sebagai parlemen unikameral murni juga kurang tepat karena mengingat keberadaan MPR itu sendiri merupakan lembaga tersendiri di luar dan bahkan berada di atas DPR, karena itu sebenarnya sistem yang dianut oleh UUD 1945 sebelum perubahan itu dapat juga disebut sebagai ”quasi monokameral’ atau semiunikameral. Namun, sekarang dengan Perubahan keempat (2002), Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 itu diubah menjadi; ” MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang” Dalam keanggotaan MPR tidak ada lagi unsur utusan golongan fungsional.yang ada hanya keanggotaan yang mencerminkan perwakilan politik dan perwakilan daerah daerah. Dari segi perkembangannya, perwakilan politik itu diwujudkan dalam keanggotaan DPR dan perwakilan teritorial atau perwakilan daerah diwujudkan dalam keanggotaan DPD. Untuk melestarikan ide perwakilan fungsional, perwujudannya hanya dapat dilembagakan melalui sistem
17
keanggotaan perwakilan rakyat dan DPD, misalnya, dengan memberikan jatah tertentu, seperti kepada golongan perempuan. Ide semacam ini, dianggap penting sebagai perlakuan khusus yang bersifat positif untuk membantu agar kelompok tertentu dalam masyarakat yang tergolong sangat tertinggal peranannya dalam sistem representasi politik yang bersifat formal. 5
B. Konsep Lembaga Perwakilan di Negara Modern. Untuk membahas lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia maka harus dijelaskan bagaimana konsep lembaga perwakilan sehingga dapat mengatasnamakan rakyat. Lembaga perwakilan atau yang lebih sering disebut representative institution adalah lembaga yang mewakili rakyat dalam melakukan fungsi pengawasan dan fungsi legalisasi Konsep lembaga perwakilan tidak terlepas dari tujuan suatu Negara, yakni mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi warga negaranya. Menurut ilmuwan islam Ibnu Khaldun bahwa adanya organisasi kemasyarakatan (ijtima’I wal insani) merupakan suatu keharusan. Para filosof dan ahli hukum telah melahirkan kenyataan ini dengan perkataan mereka “manusia adalah bersifat politis menurut tabiatnya (al insanu madaniyyun’biath-thab’i). ini berarti ia memerlukan suatu organisasi kemasyarakatan yang menurut para filosof dinamakan “kota”, dan itulah yang dimaksud dengan peradaban. Jadi,
5
Jimly Asshidiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah, (Jakarta, UI Press, 1996), h.157
18
di dalam pandangan ahli agamapun pembentukan suatu organisasi kemasyarakatan untuk mengatur masyarakat merupakan suatu keharusan. 1. Teori Kedaulatan Setelah adanya negara di zaman modern, maka merumuskan kembali kedaulatan menjadi suatu yang sangat penting. Menurut Harold J. Laski bahwa: “the modern state is a sovereign state. It is, therefore, independent in the face of other communities. It may infuse its will towards them with a substance wich need not be affected by the will of any external power. It is, moreover, internally supreme over the territory that it control”. Terjemahan bebas: Negara modern adalah Negara yang mempunyai kedaulatan. Hal ini untuk independent dalam menghadapi komunitas lain. Dan akan mempengaruhi subtansi yng akan diperlukan dalam kekusaan internal adan kekuasaan eksternal. Hal ini lebih jauh meruakan kekusaan yang trtinggi atas wilayahnya. Jelas disini dijelaskan bahwa kedaulatan sangatlah penting bagi Negara yang independent atau merdeka dalam menjalankan kehendak rakyat yang dipimpinnya. Sehingga kedaulatan merupakan hal yang mempengaruhi seluruh kehidupan bernegara. Adapun teori kedaulatan ada 5, yaitu: b.
Kedaulatan Tuhan; Kedaulatan Tuhan adalah dimana kekuasaan tertingi ada pada Tuhan, jadi didasarkan pada agama atau kepercayaannya.
c. Kedaulatan Raja. Kedaulatan raja adalah kekuasaan yang tertinggi ada pada raja, hal ini dapat digabungkan dengan teori pembenaran Negara yang menimbulkan kekuasaan mutlak pada raja/satu penguasa.
19
d.
Kedaulatan Rakyat. Menurut teori ini rakyatlah yang berdaulat dan mewakilkan ata menyerahkan kekuasaannya kepada Negara atau pemerintah. Apabila pemerintah melaksanakan tugasnya tidak sesuai dengan kehendak rakyat maka rakyatlah yang berhak untuk mengganti pemerintah tersebut.
e.
Kedaulatan Negara. Menurut teori ini, Negara dianggap mempunyai hak yang tidak terbatas terhadap warga negaranya. Warga Negara dapat dikerahkan untuk kepantingan Negara. Mereka harus taat kepada perauran Negara tidak karena adanya suatu perjanjian namun karena kehendak Negara tersebut.
e. Kedaulatan hukum. Teori ini menunjukan kekuasaan tertinggi pada hukum yang ditetapkan. Dalam hal ini dituntut adanya kesadaran hukum pada setiap orang. Menurut teori ini, hukum adalah pernyataan penilaian yang ada dari kesadaran hukum manusia. Dan hukum merupakan sumber kedaulatan. Setelah berkembangnya ide demokrasi yang telah dimulai sejak abad ke 19 maka konsep pemerintahan demokrasi menjadi suatu isu global dalam dunia sehingga mayoritas Negara menggunakan demokrasi sebagai system politik pada Negara mereka.
20
Berpijak pada hal tersebut maka konsep lembaga perwakilan berkembang dan terbagi dalam berbagai system. Adapun konsep dasar dalam lembaga perwakilan atau parlemen adalah system demokrasi perwakilan dimana kedaulatan rakyat yang tercantum dalam undang-undang dasar, kemudian dipecah menjadi beberapa kekuasaan yang ada dan yang dipakai dalam teori kedaulatan adalah kekuasaan di bidang pengawasan dan pembuatan undang-undang. 2. Sistem Lembaga Perwakilan Rakyat. Lembaga perwakilan atau yang lebih dikenal sebagai parlemen dibagi ke dalam berbagai sistem yaitu: a. Sistem Satu Kamar; Sistem satu kamar adalah sistem parlemen yang berdasar pada satu lembaga legislatif tertinggi dalam struktur Negara. Lembaga ini menjalankan fungsi legislatif dan pengawasan terhadap pemerintah dan juga membuat undang-undang. Isi aturan mengenai fungsi dan tugas parlemen unicameral ini beragam dan bervariasi dari suatu negara ke negara lain, akan tetapi pada pokoknya serupa secara kelambagaan fungsi legislatif tertinggi diletakkan sebagai tanggung jawab satu badan tertinggi yang dipilih oleh rakyat. b. Sistem dua kamar; Adapun sistem dua kamar adalah system yang sistem parlemennya terbagi atas dua lembaga legislatif dalam suatu struktur
21
negara dan dalam menjalankan tugasnya kedua lembaga ini mempunyai tugas-tugas tertentu. Pada prinsipnya kedua kamar majelis dalam sistem bicameral ini memiliki kedudukan yang sederajat. Satu sama lain tidak saling membawahi baik secara politik maupun secara legislatif. Segala keputusan tidak dapat ditetapkan tanpa persetujuan bersama. c. Sistem tiga kamar (tricameral); Sistem tiga kamar adalah siitem yang sistem parlemennya tebagi atas tiga lembaga legislatif atau lembaga perwakilan dalam suatu struktur negara. Konsep lembaga perwakilan di Indonesia jika dipecah-pecah akan terbagi kedalam beberapa periodesasi menurut Undang-Undang Dasar yang dipakai dalam Negara Indonesia ,yaitu: 6 1. UUD 1945, yang berlaku pada tahun 1945 sampai dengan tahun 1949. 2. Konstitusi RIS 1949, yang berlaku antara tahun 1949 sampai dengan tahun 1950. 3. UUDS 1950, yang berlaku pada tahun 1950 sampai dengan 1959. 4. kembali ke UUD 1945, yang berlaku sejak dekrit presiden pada tahun 1959 sampai dengan sekarang. Perkembangan konsep lembaga perwakilan di Indonesia dimulai sejak tahun 1945. tidak ada ketentuan secara tegas bahwa MPR termasuk lembaga perwakilan atau tidak. Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori Hukum Dan Konstitusi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), h.75. 6
22
Secara filosofis MPR merupakan perwujudan seluruh rakyat di Indonesia, dan MPR secara yuridis menurut pasal 2 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi; ”kedaulatan ada di tangan rakyat dan menjalankan secara sepenuhnya oleh MPR”, berarti yang merupakan penjelmaan rakyat di Indonesia adalah MPR, sehingga lembaga MPR termasuk ke dalam penjelmaan perwakilan rakyat sepenuhnya dan mempunyai kekuasaan di segala fungsi. Jika dilihat dari penjelasan di atas MPR memiliki dua macam fungsi, yaitu: 1. Fungsi Legislatif, yang lahir dari kekuasaan-kekuasaan menetapkan Undang-undang Dasar, mengubah Undang-undang dasar dan kekuasaan menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. 2. Fungsi non Legislatif, yang lahir melalui kekuasaaan memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden. Untuk menjamin agar majelis ini benar-benar menjadi penjelmaan seluruh rakyat. Maka ditentukan bahwa keanggotaannya meliputi: 1.
Seluruh wakil rakyat yang terpilih melalui DPR.
2.
Utusan Golongan yang ada dalam masyarakat menurut ketentuan peundang-undangan yang berlaku.
3.
Utusan daerah seluruh Indonesia menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 7 Sebelum dilakukan perubahan UUD 1945 maka MPR mempunyai
kewenangan menjalankan kedaulatan rakyat yang penuh. Tidak ada suatu Jimly Asshidiqie, Pergumulan Peran Pemerintah Dan Parlemen Dalam Sejarah, (Jakarta, UI Press, 1996), h.50 7
23
lembaga negarapun di Indonesia yang diberikan kewenangan sebesar ini sehingga MPR menjadi lembaga yang sangat kuat. Konsep lembaga MPR sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945 harus dilihat dari apa yang diinginkan oleh para pendiri bangsa ini yang merumuskan Undang-Undang Dasar 1945 (Founding Fathers). Sebelum Indonesia diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 telah ada lembaga yang dibentuk oleh Jepang yaitu BPUPKI (Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan merupakan badan yang menyelidiki usaha persiapan kemerdekaan di Indonesia. Walaupun pada akhirnya BPUPKI merumuskan Undang-Undang Dasar. Konstitusi atau Undang-undang Dasar adalah hukum tertinggi dan tertulis yang mengatur tentang mekanisme penyelenggaraan negara, sebagai kumpulan aturan pembagian kekuasaan negara dan membatasi kekuasaan pemerintah sehingga tidak sewenang-wenang. Merumuskan rancangan konstitusi tentu merupakan pekerjaan asing bagi mereka. Sulit mencari untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali diantara mereka yang berpengalaman dalam merancang suatu sistem kekuasaan negara, susunan badan-badan negara, dasar ideologi negara, hak asasi manusia sebagaimana umumnya sebuah konstitusi. Dengan demikian, mudah diduga para anggota BPUPKI akan terinspirasi, terpengaruh atau bahkan mengadopsi langsung gagasan atau praktek bernegara yang pernah atau sedang berlaku dari bangsa lain yang dirumuskan dalam konstitusinya dan tujuan legal dari konstitusi bukan hanya suatu pemerintahan perwakilan yang terbatas tetapi
24
juga yang bersifat umum dengan pelaksanaan pengadilan kebebasan individu, seperti apa yang kita sebut pemerintahan berdasarkan hukum (hal ini diungkapkan oleh Montesquieu ) dan
para founding fathers kemudian
membuat beberapa lembaga negara yang fungsinya mengawasi lembaga negara yang lain. Konsep perwakilan di Indonesia sulit untuk dikategorikan sistem perwakilan satu kamar, dua kamar ataupun tiga kamar. Apabila dicari kemiripannya maka akan mirip dengan sistem parlemen satu kamar. Walaupun demikian lembaga perwakilan di Indonesia haruslah dilihat sebagai suatu hal yang khas dari sistem ketatanegaraan di Indonesia. Menurut Profesor Jimly Asshiddiqie bahwa kategori sistem parlemen di Indonesia adalah sistem campuran. Kesulitan untuk mengkategorikan hal ini mungkin karena Indonesia adalah negara yang baru ada dan konsep lembaga negara Indonesia berdasarkan keinginan founding fathers untuk membuat hal yang berbeda dalam struktur lembaga negara. Walaupun para pembuat Undang-undang Dasarnya belajar ke negara lain sehingga akan ada proses peniruan dengan negara lain. Setelah dilakukan Perubahan Undang-undang Dasar 1945. Konsep MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat yang merupakan kekuasaan tertinggi dalam negara dihapus dengan Perubahan ke 4 Undang-Undang Dasar. MPR tidak lagi memegang kekuasaan tertinggi dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. MPR tetap tidak bisa dikategorikan sebagai lembaga legislatif
25
karena MPR tidak membuat peraturan perundang-undangan. Tetapi MPR masih bisa dikategorikan sebagai lembaga perwakilan rakyat. Karena susunan anggota MPR yang ada dalam Undang- Undang Dasar 1945 menurut pasal 2 UUD 1945 setelah Perubahan Keempat adalah: (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. 8 Jika dilihat dari komposisi anggota MPR maka MPR dapat digolongkan sebagai lembaga parlemen dan masih ada kewenangan membuat Undangundang Dasar, memberhentikan presiden, maka MPR dianggap institusi demokrasi perwakilan. Representasi kepentingan rakyat secara nasional dalam lembaga DPR yang dipilih melalui partai politik dalam pemilihan umum. Hal ini merupakan suatu tuntutan negara demokratis. Representasi Dewan Perwakilan Daerah sebagai suatu lembaga perwakilan rakyat didaerah dipahami diantaranya karena: 1.
Secara sosiologis ikatan masyarakat dengan propinsi jauh lebih kuat dibandingkan kabupaten.
2.
Secara teknis pelaksanaan juga jauh lebih mudah karena sudah ada pembagian wilayah administratif yang jelas.
3.
Pemilihan berbasis propinsi lebih representatif mewakili semua daerah dibandingkan dengan basis kabupaten, mengingat jumlah kabupaten yang ada di pulau jawa tidak seimbang dengan daerah diluar pulau jawa.
Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, (Jakarta: UI, PSHTN, 2007), h.3 8
26
Jika demikian maka sistem parlemen di Indonesia adalah
sistem
trikameral. Hal ini diungkapkan oleh Prof.Jimly Asshiddiqie pada seminar yang dilaksanakan di Bali 9 . Dengan alasan bahwa unsur keanggotaan MPR yang berubah, kewenangan tertinggi yang dicabut, diadopsinya prinsip pemisahan kekuasaan, diadopsinya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung.
C. Tugas dan Kewenangan Lembaga MPR dalam UUD 1945. Dalam
menjelaskan
Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
Republik
Indonesia haruslah dilihat tugas dan wewenang yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga pembahasan akan lebih tajam dan mengkerucut, dan fungsi dan wewenang ini akan dibagi kedalam dua periode Undang-Undang Dasar 1945. Periode tersebut adalah
sebelum perubahan
Undang-Undang Dasar dan setelah Perubahan Undang-Undang Dasar. 1. Tugas dan Wewenang MPR RI Sebelum Perubahan UUD 1945 MPR sebagai suatu lembaga negara merupakan badan yang merupakan pelaksana kedaulatan rakyat di Republik Indonesia sebelum diadakan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Setelah diadakan perubahan maka terjadilah perubahan pada Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. MPR sebagai lembaga penjelamaan seluruh rakyat Indonesia, dan lembaga tertinggi negara menjadi lembaga negara yang sama kedudukannya dengan negara lain. Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD 1945, disampaikan dalam Seminar yang dilakukan oleh BPHN dan DEPKEH dan HAM RI, Juli, 2003, h.8-9 9
27
Sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 tugas dan wewenang MPR dicantumkan dalam UUD 1945 dan juga TAP MPR. Sedangkan setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 maka tidak ada lagi pengaturan tugas dan wewenang yang diatur dalam Ketetapan MPR. Setelah satu tahun berjalan disahkanlah undang-undang tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD baru dijelaskan tugas dan wewenang MPR. Adapun
Fungsi
Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
sebelum
Perubahan UUD 1945 ada didalam pasal 3 dan pasal 6 UUD 1945 serta pasal 3 Ketetapan MPR No. 1/MPR/ 1983, dan dinyatakan sebagai berikut: 1.
menetapkan Undang Undang Dasar
2.
menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara.
3.
memilih (dan mengangkat) presiden dan wakil Presiden. 10 Dalam tugas MPR ini dapat dipelajari bahwa tugas MPR sebagai
suatu lembaga negara meliputi tiga. Tugas ini tercantum dalam UndangUndang Dasar 1945.
Sebagai lembaga pemegang kedaulatan Rakyat
dalam UUD 1945 maka MPR mempunyai tugas yang besar yaitu membuat Undang-Undang Dasar. Dan tugas inilah yang pada masa sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 belum pernah dilaksanakan oleh Majelis Permusyawatan Rakyat.
Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, (Bandung; PT. Citra Aditya Bakti), h.84 10
28
Sedangkan wewenang MPR menurut Prof Sri Soemantri bahwa jika diteliti dalam UUD 1945 maka Undang Undang Dasar 1945 hanya mengatur satu wewenang saja, yaitu dalam pasal 37. Dan setelah adanya ketetapan MPR No. 1/MPR/1983 dapat kita lihat bahwa wewenang MPR tidak hanya itu saja. Dalam pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR No 1/MPR/1983 kewenangan MPR ada sembilan, yaitu 11 : 1. Membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara yang lain, termasuk penetapan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden/Mandataris. 2. Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap putusanputusan Majelis. 3. Menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden Wakil Presiden. 4. Meminta pertanggungjawaban dari Presiden/ Mandataris mengenai pelaksanaan
Garis-Garis
Besar
Haluan
Negara
dan
menilai
pertanggungjawaban tersebut. 5. Mencabut mandat dan memberhentikan Presiden dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya apabila Presiden/mandataris sungguhsungguh melanggar Haluan Negara dan/atau Undang-Undang Dasar. 6. Mengubah undang-Undang Dasar. 7. Menetapkan Peraturan Tata Tertib Majelis. 8. Menetapkan Pimpinan Majelis yang dipilih dari dan oleh anggota.
11
Ibid, h. 95
29
9. Mengambil/memberi keputusan terhadap anggota yang melanggar sumpah/janji anggota. Ada satu kewenangan yang sudah dicantumkan dalam UndangUndang Dasar 1945 akan tetapi lebih sering disebut dengan kekuasaan atau kedaulatan. Dalam pasal 1 ayat 3 disebutkan bahwa ”Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” 12 . Kekuasaan dalam bahasa Inggris disebut Power merupakan Great Authority,
atau dapat diartikan sebagai
kewenangan yang sangat besar/terbesar. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa Undang-Undang Dasar di negara lain seperti Cina, Venezuela dan Amerika Serikat yang menggunakan kata power sebagai kewenangan lembaga negaranya. 2. Tugas Dan Wewenang MPR Yang Diatur Dalam UUD Sesudah Perubahan UUD1945. Tugas dan wewenang Majelis Permusyaratan Rakyat tidaklah banyak berkurang setelah perubahan UUD, akan tetapi dampaknya sangat besar terhadap lembaga MPR. Karena
Majelis Permusyawaratan Rakyat
kedudukannya sama dengan dengan lembaga negara yang lain 13 . Hal yang sangat mendasar adalah dicabutnya kewenangan MPR dalam hal melaksanakan kedaulatan rakyat dan dicabutnya tugas untuk
12
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945
13
Risalah Sidang MPR RI pada tahun 2001.
30
memilih
Presiden
dan
Wakil
Presiden.
Sehingga
Majelis
Permusyawaratan Rakyat tidaklah lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Dalam Perubahan UUD 1945, tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat berubah. Dengan berubahnya konsep lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat maka berubah pula beberapa tugas dan wewenangnya. Tugas MPR setelah Amandemen UUD 1945 adalah 1. Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/ atau Wakil Presiden (Pasal 3 ayat 2 Perubahan III UUD 1945), yakni tugas Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hal ini adalah tugas formal atau upacara yang harus dilakukan jika telah dipilih Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum. Tugas MPR ini merupakan konsekuensi dari Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang mewajibkan Pemilihan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat. Melantik bukanlah wewenang dari MPR karena jika telah dipilih Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum, maka kewajiban dari MPR adalah melantik Presiden dan Wakil Presiden RI. Seharusnya dijelaskan secara tegas mengenai kewajiban ini sehingga tidak menimbulkan beberapa interprestasi yang menyimpang seperti jika Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak mau melantik Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih dalam pemilihan langsung oleh rakyat maka konsekuensinya bagaimana, apakah sah atau tidak Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan jika tidak ada yang mengesahkan maka Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan cacat
31
hukum karena belum dilantik oleh lembaga yang berwenang yang diberi
kekuasaan
untuk
melantik.
Dan
apakah
Majelis
Permusyawaratan Rakyat melanggar Undang-Undang Dasar jika tidak mau melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih. 2. Melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003 (pasal I Aturan Tambahan Perubahan ke IV UUD 1945), yakni tugas MPR melakukan peninjauan materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan MPR merupakan tugas sementara yang dibebankan kepada MPR oleh Undang-Undang Dasar. Pasal I Aturan Tambahan menyatakan bahwa MPR harus “melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan
rakyat
Sementara
dan
Ketetapan
Majelis
Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003 14 ”. Sementara disini terletak pada
kalimat
akan
diambil
putusan
pada
sidang
Majelis
Permusyawaratan Rakyat tahun 2003, jika telah diambil putusannya maka tugas ini berakhir dengan sendirinya. Dalam Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 maka dapat disimpulkan tugas Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak dijelaskan secara
14
jelas. Apakah ketentuan tersebut tugas atau bukan tapi secara
Indonesia, Perubahan Keempat UUD 1945
32
definitif, tugas adalah kewajiban atau sesuatu yang wajib dikerjakan atau ditentukan untuk dilakukan. Sedangkan wewenang Presiden RI dalam UUD 1945 maka bisa disimpulkan sebagai berikut: 1. Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
berwenang
mengubah
dan
menetapkan Undang-Undang Dasar 1945. (Pasal 3 ayat 1 Perubahan Ke III UUD 1945. 2. Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD (Pasal 3 ayat 3 Perubahan ke III UUD 1945). 3. Memilih Presiden atau Wakil Presiden pengganti sampai terpilihnya Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana mestinya. ( Pasal 8 ayat 3 Perubahan Keempat). 15 Secara kedudukan maka MPR telah sama dengan lembaga negara yang lain. Tidak ada lagi lembaga tertinggi Negara dan lembaga tinggi Negara. Sehingga dalam sistem Ketatanegaraan tidak ada lagi lembaga Negara yang lebih tinggi dari yang lain. Menurut
Dr.
Maria
Farida,
semua
lembaga
negara
yang
mengeluarkan produk peraturan perundang-undangan maka kedudukannya lebih tinggi dari yang lain. Dan Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga Negara yang mengeluarkan peraturan yang lebih
Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, disampaikan dalam Simposium Nasional yang diadakan oleh BPHN dan DEPKEH HAM , (Bali, Juli 2003), h.9 15
33
tinggi. Sehingga Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah lembaga Negara yang lebih tinggi dari lembaga Negara yang lain. Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
Republik
Indonesia
tetap
mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Dasar. Hal ini berarti secara Ilmu Perundang-undangan lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat lebih tinggi dari lembaga Negara yang lain.
34
BAB III LEMBAGA PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM HUKUM KETATANEGARAAN ISLAM
A. Kedaulatan Rakyat Dalam Hukum Tata Negara Islam Istilah ‘kedaulatan’ dalam Islam merujuk kepada kata “daulah” yang berasal dari kata dasar dāla-yadūlu-daulah yang bersifat bergilir, beredar dan berputar. 16 Kelompok sosial yang menetap pada suatu wilayah tertentu dan diorganisir oleh suatu pemerintahan yang mengatur kepentingan dan kemaslahatan mereka. Kadang-kadang muncul kata “riyāsah” dipakai juga untuk istilah negara, tetapi kata ini (riyāsah) hanyalah turunan dari kata “rā`is”, yang berarti ‘kepala suku’. 17 Daulah dapat diartikan negara, pemerintahan, kerajaan, atau dinasti. Dalam Al-qur’an terdapat dua ayat yang menggunakan kata “daulah”, misalnya dalam makna ‘pergantian’ atau giliran yang terjadi dalam kehidupan manusia. 18 Kata ini tercantum dalam surah Ali Imran [3] ayat 140 yang berbunyi:
H. A. Hafidz Dasuki, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), jilid. I, h. 262. 17 Qamaruddin Khan, Tentang Teori Politik Islam, alih bahasa: Taufik Adnan Amal, (Bandung: Mizan, 1987), h. 6. 18 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, alih bahasa : Ihsan Ali Fauzi, (Jakarta: Gramedia, 1994), h. 49-50. 16
35
… Artinya: “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)…” (QS. Ali Imran/3 : 140)
Sedangkan dalam bentuk “daulatan”, kata ini muncul dalam Al-qur’an (QS. Al-Hasyr [59]: 7) dengan pengertian beredar, sesuatu yang digunakan secara bersama, pemilikan atas sesuatu yang penggunaannya dilakukan secara bergilir antar beberapa orang. 19 Sebagaimana yang dijelaskan: 34
☺ ☺ … Artinya: “Apa saja harta rampasan fa’i yang diberikan Allah kepada Rasulnya (yang berasal) dari penduduk beberapa negeri adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan untuk orangorang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu ” (QS. Al-Hasyr/59: 7) Istilah daulah dalam ayat di atas dipakai secara figuratif untuk melukiskan peredaran dan pergantian tangan dari kekayaan. Namun istilah tersebut kemudian berkembang untuk menyatakan kekuasaan politik karena kekuasaan politik selalu berpindah tangan. Maka apa yang dikatakan Ibnu alMuqaffa’ (w. 140 H / 757 M), “al-dunya’ duwal”, adalah bahwa dunia ini
19
Ibid.,
36
penuh dengan pasang-naik dan pasang surut yang menimpa nasib seseorang. 20 Hal tersebut diungkapkannya melalui sebuah tulisan yang berisi nasihat kepada khalifah, agar mensistematisir hukum dan melakukan ijtihadnya sendiri dengan Al-qur’an dan Sunnah. Ibnu al-Muqaffa’ barangkali adalah orang pertama yang mendukung legislasi oleh negara. 21 Berdasarkan ayat di atas, kata daulah bergeser dan digunakan sebagai istilah politik setelah difiguratifkan untuk menandai kekuasaan negara. Selain itu, hal ini juga dilandasi paradigma pemikiran ulama fiqh siyasah yang merumuskan pembidangan siyasah menjadi empat, yaitu: (1) fiqh siyasah dusturiyah, yang mencakup pembahasan masalah-masalah imamah, hak dan kewajibannya, rakyat status dan hak-haknya, bai’at, waliyul ahdi, perwakilan, ahl al-hal wa al-‘aqd, dan wazarah; (2) fiqh siyasah maliyah, yang meliputi pembahasan sumber-sumber perbendaharaan negara, pajak, baitul mal, serta fungsinya; (3) fiqh siyasah dauliyah, meliputi persoalan internasional, teritorial, nasionalisme dalam fiqh Islam, pembagian dunia menurut hukum fiqh Islam, dst; (4) fiqh siyasah harbiyah, yang mencakup bahasan tentang peperangan dalam Islam, tawanan perang, harta rampasan perang, dan perdamaian. 22 Pembidangan fiqh siyasah maliyah memperlihatkan adanya hubungan antara politik dan ekonomi. Sebagaimana diketahui bahwa politik selalu menandai kewenangan yang dimiliki oleh negara. Negara dituntut untuk 20 21
Ibid., Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa: Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1994),
h.149 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), Cet. Ke-IV, h. 40-41 22
37
memenuhi segala kebutuhan dan mensejahterakan rakyat. Pemerintah dengan segala kewenangannya bertugas mengatur pemasukan dan pengeluaran negara serta distribusi keuangan untuk rakyat. Kiranya, pembidangan fiqh siyasah maliyah inilah yang menjadi tolak ukur pergeseran makna. Karena kata ‘daulah’ tidak memiliki pengertian yang seragam dalam konteks kebahasaannya, maka Dien Syamsuddin keberatan memberikan makna kepada kata daulah sebagai “negara” atau “kedaulatan”. Dien menegaskan: “Apakah konsep ‘daulah’ sebagai negara mempunyai landasan teologis dalam Al-qur’an? Al-qur’an menyebut kata ‘daulah’ (tepatnya ‘dulah’) dan bentuk kata kerjanya ‘nudawilu’ sebanyak dua kali, yaitu masing-masing di QS. Al-Hasyr/59: 7 dan QS. Ali Imran/3: 140. Baik pada ayat pertama maupun ayat kedua, kedua kata yang berhubungan dengan kata daulah menunjukkan arti ‘peredaran’ atau ‘giliran’. Oleh karena itu sulit untuk menghubungkan kedua kata itu dengan konsepsi tentang negara atau pemerintahan. Karenanya, jawaban terhadap pertanyaan di atas adalah negatif: tidak terdapat dalam Al-qur’an rujukan dan sandaran jelas untuk kata daulah dalam pengertian ‘negara’ atau ‘pemerintahan’”. 23 Adapun kata daulah dalam arti dinasti belum dipergunakan pada praIslam, karena tidak ditemukan adanya indikasi penggunaan kata tersebut. Sedangkan istilah kesukuan “al-banu” terus digunakan dalam Islam. Pada masa Abbasiyah, kata daulah diartikan dengan kemenangan, giliran untuk meneruskan kekuasaan, dan dinasti. 24 Berdasarkan uraian di atas mungkin dapat menjelaskan bahwa kata daulah tidak memiliki akar teologis dalam Al-qur’an dan konsep daulah untuk menunjukkan pengertian negara, pemerintahan dan dinasti tidaklah secara M. Dien Syamsuddin, “Sistem Kenegaraan Modern Republik dan Kekhilafahan Islam Klasik”, Makalah pada KKA Paramadina, dipresentasikan pada 16 Desember 1997. 24 Hafidz Dasuki, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), jilid. I, h. 262 23
38
serta merta lahir, tapi mengalami transformasi konseptual yang panjang dalam sejarah. Kedaulatan selalu menandai otoritas atau pemerintahan tertinggi berdasarkan hukum. Kedaulatan telah didefinisikan sebagai “kekuasaan tertinggi di mana rakyat diperintah dan bahwa seseorang atau sekelompok orang dalam suatu negara, secara politik tidak ada yang lebih tinggi. Di kalangan para sarjana muslim terjadi perkembangan penafsiran mengenai konsep kekuasaan ini. Pendapat pertama melihat kedaulatan dengan penekanan pada konsep kekuasaan hukum. Sedang pendapat kedua cenderung pada konsep Islam mengenai divine democracy (demokrasi suci). Karena itu, Tahir Azhari, misalnya, mengatakan bahwa predikat yang tepat untuk negara dalam Islam ialah “nomokrasi Islam”. 25 Abdul A’la Maududi menggunakan istilah divine democracy atau theo-democracy untuk menyebut negara dalam Islam. 26 Dalam QS. Al-Hadid [57] : 5, Allah Swt. berfirman:
☺
Artinya: “Milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi, dan hanya kepada Allah segala urusan dikembalikan”. (QS. Al-Hadid/ 57:5)
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan UUD 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta: UI-Press, 1995), Cet. ke-1, h.93 26 Abdul A’la Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, (terj.), (Bandung: Mizan, 1998), Cet.ke-4, h. 160. 25
39
Menurut Isma’il Sunny, kedaulatan yang hakiki berada pada Tuhan, sementara otomatis rakyat adalah kepercayaan suci yang harus berada dalam batas-batas kehendak Tuhan. Menurutnya, kedaulatan rakyat pada dasarnya merupakan penerapan kedaulatan Tuhan oleh semua rakyat atas hamba-Nya, dimana implementasi aturan-aturan Tuhan dalam kehidupan sosial dan politik diimplementasikan oleh rakyat melalui para wakil mereka. 27 Adapun pembatasan kedaulatan rakyat dalam Islam adalah memandang bahwa kedaulatan rakyat sebagai sesuatu yang mutlak, karena Islam adalah paradigma moral bagi sistem demokrasi masyarakat muslim. Oleh karenanya, demokrasi harus dilaksanakan dalam kerangka paradigma moral ini. Segala sesuatu yang dianggap benar oleh manusia adalah belum tentu benar di mata Allah. 28 Dalam konteks kenegaraan, pelaksanaan kedaulatan Tuhan terwujudkan dalam bentuk pendelegasian wewenang dan kekuasaan dari Tuhan kepada hambanya yang terpilih menjadi pemimpin. Manusia secara umum telah diangkat sebagai khalifah di muka bumi yang berkewajiban mengatur bumi berdasarkan ketentuan-ketentuan syar’i. Sebagaimana firman Allah dalam penggalan surat Al-qur’an surat Al-Baqarah [2]:ayat 30 yang berbunyi:
⌧
…
Artinya: “...Sesungguhnya Aku (Allah) akan menjadikan seseorang Khalifah di muka bumi...” (QS. Al-Baqarah/2 : 30) 27
Isma’il Sunny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Aksara Baru, 1987), Cet.
Ke-6, h.7. Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), Cet. Ke-1, h. 86. 28
40
Ayat tersebut menginformasikan tentang unsur-unsur kekhalifahan sekaligus kewajiban sang khalifah. Unsur-unsur tersebut adalah (1) bumi atau wilayah; (2) khalifah (yang diberi kekuasaan politik atau mandataris); (3) hubungan antara pemilik kekuasaan dengan wilayah dan hubungannya dengan pemberi kekuasaan (Allah Swt). 29 Adapun hubungan antara penguasa dan rakyat dalam Islam adalah adanya pelimpahan kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada khalifah, yang berhubungan erat dengan legitimasi kekuasaan negara. Memang benar, kedaulatan pembuat hukum hanya milik Allah semata, tetapi bukan berarti Allah-lah yang mengangkat para ulama dan penguasa, lalu mereka bisa berkuasa atas nama Tuhan. Tapi yang dimaksudkan adalah dalam penetapan hukum semata. Sedangkan sandaran kekuasaan secara pemerintahan tetapi kembali kepada rakyat atau umat. Perlu digaris bawahi bahwa kedaulatan rakyat dalam Islam berbeda dengan konsep rakyat yang melahirkan sistem yang absolut. Bagaimanapun juga dalam Islam, seluruh kekuasaan dan otoritas adalah milik Tuhan. Dan manusia hanya dianugerahi kekuasaan yang menjadi suatu kepercayaan. Setiap orang yang menerima kekuasaan harus tunduk kepada sang pemberi kekuasaan. Jadi, ketika kita berbicara tentang kedaulatan rakyat dalam Islam berkaitan erat dengan kedaulatan Tuhan, karena merupakan bagian integral. Kedaulatan rakyat tidak akan terwujud tanpa membatasi M. Quraish Shihab, Wawasan Al-qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1997), Cet. Ke-5. h. 424. 29
41
kekuasaan negara dengan undang-undang (konstitusi) dan konstitusi tertinggi berada di tangan Allah.
B. Konsep Syura dan Demokrasi Dalam Hukum Tata Negara Islam Istilah ‘syūrā’ berasal dari kata kerja syāwara-yusyāwiru yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu. Bentukbentuk lain yang berasal dari kata kerja syāwara adalah asyūra (memberi isyarat), tasyāwara (berunding, saling bertukar pendapat, musyawarah), syāwir (meminta pendapat dan musyawarah), dan mustasyir (meminta pendapat orang lain). 30 Kemudian kata syūrā ini diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata musyawarah atau musyawarat yang secara semantis bermakna menyimpulkan pendapat berdasarkan pandangan antar kelompok. 31 Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata musyawarah hanya diartikan dengan perundingan atau perembukan. 32 Dalam surat Ali Imran [3];ayat 159:
☺
☺
⌧
⌧
⌧ ⌧ ☺
Kafrawi Ridwan, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), Cet. Ke-3, Jilid V, h. 18 31 Hafidz Dasuki, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), jilid. I, h. 1263. 32 JS. Badudu dan Sutan M. Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), h. 925. 30
42
Artinya: “Maka berkat rahmat Allah, engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka urusan itu. Kemudian apabila engkau membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah maha mencintai orang yang bertawakkal” (QS. Ali Imran/3: 159) Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Tabari menafsirkan bahwa sesungguhnya Allah Swt. menyuruh Nabi Saw. untuk bermusyawarah dengan umatnya tentang urusan yang akan dijalankan supaya mereka tahu hakikat urusan tersebut dan agar mereka mengikuti letaknya. Namun kewajiban untuk melaksanakan musyawarah bukan hanya dibebankan kepada Nabi saja, melainkan juga kepada tiap orang mukmin, sekalipun perintah ayat tersebut ditujukan kepada Nabi Saw. Artinya, perintah yang terkandung dalam ayat tersebut juga berlaku umum. 33 Sebenarnya praktek musyawarah dalam pengambilan keputusan telah dikenal dan membudaya di masyarakat Arab sebelum kenabian Muhammad Saw, dalam menghadapi setiap persoalan yang menyangkut orang banyak, mereka biasanya menghimpun para pemuka kabilah untuk bermusyawarah bagi penyelesaiannya. Praktek musyawarah ini terus dilestarikan dan dikembangkan oleh Islam dan dilaksanakan baik oleh Nabi Saw maupun para sahabatnya. 34 Namun, banyak kalangan di antaranya Munawir Syadzali mengungkapkan bahwa pengalaman empirik demokrasi dalam Islam sangatlah Kafrawi Ridwan, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), Cet. Ke-3, Jilid V, h. 18 34 Ibid 33
43
terbatas, baik itu ketika masa pemerintahan Nabi Saw ataupun masa pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidin. 35 Lalu bagaimanakah Nabi Saw mempraktekkan demokrasi atau musyawarah (istilah dasar ketika itu lepas dari kontroversi setuju atau tidak) dalam menjalankan roda pemerintahannya? Sebagaimana diketahui bahwa Nabi Saw dalam memutuskan perkara selalu berpedoman pada wahyu Allah Swt (Al-qur’an), tetapi sering pula mendapatkan perkara-perkara yang belum ada petunjuknya dalam Al-qur’an, sehingga beliau mengajak sahabat-sahabatnya untuk bermusyawarah. Dalam hal ini Thaha Husein mengungkapkan sebagai berikut: “Adapun bila beliau (Nabi Swt) bermusyawarah dengan mereka (para sahabat) dalam suatu perkara yang tidak disebutkan dalam Al-qur’an dan Nabi sendiri tidak dapat peintah langsung dari atas (Allah Swt), maka hak para sahabat untuk memberikan pendapat dan mengajukan usul di luar hal yang Nabi sendiri telah pasti akan melakukannya. Contohnya adalah ketika Nabi menempatkan (pasukan) sahabat pada suatu posisi pada saat terjadi perang Badar, kemudian al-Hubab Ibn al-Mundzir ibn al-Jamuh (seorang sahabat) bertanya: ‘Apakah ini perintah yang diturunkan oleh Allah Swt kepada Engkau atau pendapat dan musyawarah?’ Nabi menjawab: ‘Ini hanyalah pendapat dan musyawarah’. Maka dia (al-Hubab) menyarankan kepada Nabi Saw posisi lain yang lebih cocok untuk kaum muslimin dan Nabi pun menerima saran itu.” 36 Sejarah
lainnya
yang
membuktikan
bahwa
beliau
seringkali
bermusyawarah dalam suatu urusan dan memiliki makna yang sangat signifikan adalah dalam menggagas Piagam Madinah. Piagam ini merupakan perjanjian antara Nabi Saw, sebagai pemimpin umat Islam dengan masyarakat Madinah yang nota bene multi etnis dan agama. Mereka sepakat untuk
Affan Gaffar, “Islam dan Demokrasi: Pengalaman Empirik yang Terbatas”, dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Munawir Syadzali, (Jakarta: Paramadina, 1995), Cet. Ke1, h. 351. 36 Ibid., h. 352 35
44
menjunjung tinggi musyawarah dalam artian menyelesaikan segala urusan di antara mereka dengan bermusyawarah. Begitu pula dengan masalah tawanan perang setelah terjadinya perang Badar, Nabi Saw juga bermusyawarah dengan para sahabat. Dalam musyawarah ini muncul dua pendapat yang saling bertentangan. Abu Bakar berpendapat agar Nabi mengambil tebusan tunai dari mereka lalu melepaskannya. Sedangkan Umar ibn al-Khattab berpendapat agar semua tawanan dibunuh walau ada tali persaudaraan di antara mereka dengan para sahabat Nabi. Nabi pun memberi kebebasan kepada para sahabat untuk memilih salah satu di antara kedua pendapat di atas. Akhirnya, kaum muslimin lebih memilih pendapat Abu Bakar dibandingkan pendapat Umar. 37 Beberapa contoh musyawarah tersebut tampak membuktikan bahwa Nabi Saw selalu mengajak para sahabat bermusyawarah untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial politik yang dihadapi dan beliau mentolerir adanya perbedaan pendapat di antara mereka. Namun demikian, keputusan harus ada yang menjadi kesepakatan bersama. Sedangkan mekanisme pengambilan keputusan terkadang beliau mengikuti pendapat minoritas seperti dalam bermusyawarah sebelum menghadapi perang Badar. Terkadang beliau juga mengambil keputusan menurut pendapat beliau sendiri tanpa menggubris pendapat para sahabatnya. Seperti dalam perjanjian Hudaibiyah, beliau tetap pada keputusannya.
J. Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 91-92. 37
45
Dengan demikian praktek musyawarah Nabi Saw, tidak memiliki bentuk dan sistem serta mekanisme pengambilan keputusan tertentu. Kenyataan ini mengandung arti baik Al-qur’an maupun Sunnah Nabi Saw memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk menentukan bentuk dan sistem musyawarah serta mekanismenya sesuai dengan tuntutan zaman dan kebutuhan mereka. Yang penting dalam pelaksnan musyawarah itu pengambilan keputusannya tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip ajaran Islam, yaitu kebebasan, persamaan, dan keadilan. Pendapat yang dijadikan keputusan bukan melihat kepada siapa yang mengemukakan pendapat itu, melainkan bagaimana kualitas pendapat dan dampaknya bagi kemaslahatan umat; bukan kemaslahatan yang bermusyawarah. 38 Artinya, syura merupakan suatu sarana dan cara memberi kesempatan kepada anggota masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi dalam membuat keputusan yang sifatnya mengikat, baik dalam bentuk peraturan-peraturan hukum, maupun kebijakan politik. Setiap orang yang ikut bermusyawarah akan berusaha menyatakan pendapat yang baik, sehingga diperoleh pendapat yang dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Dalam masyarakat modern yang ditandai dengan munculnya lembagalembaga politik, pemerintah dan masyarakat, maka lembaga-lembaga ini menjadi subjek musyawarah. Para pemimpinnya dibebani kewajiban mengadakan musyawarah dengan melibatkan para anggotanya atau rakyat untuk menghadapi masalah yang mereka hadapi. J. Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 95. 38
46
Jadi, konsep syura pada mulanya adalah konsultasi yang tidak mengikat, sedang model demokrasi melalu pemilihan umum dengan melibatkan semua penduduk untuk memilih wakil-wakil mereka merupakan sesuatu yang tak terpikirkan kala itu. Namun di sisi lain, konsep syura itu terbuka untuk dipikirkan, yakni dapat dikembangkan penafsirannya menjadi konsep demokrasi
sekarang,
sesuai
dengan
kebutuhan
masyarakat
muslim
kontemporer. Dengan kata lain, demokrasi adalah arah yang dituju ke masa depan.
C. Majelis Syurasebagai Lembaga Perwakilan Rakyat Secara historis, lembaga perwakilan rakyat pada massa Khulafa’ alRasyidin berfungsi sebagai lembaga musyawarah untuk menentukan kebijakan hukum dan politik. Selain itu pula berfungsi sebagai lembaga pemilihan khalifah. Nama lembaga ini pada masa Khulafa al-Rasyidin disebut Majelis Syura. 39 Majelis Syuraberarti majlis permusyawaratan atau badan legislatif. 40 Abul A’la al-Maududi menyebutnya dengan nama ahl al-hall wa al-‘aqd dan al-Mawardi menyebutnya ahl al-ikhtiar (orang yang berhak memilih). 41 Menurut Dr. Abdul Karim Zaidan, Majelis Syuraialah orang-orang yang berkecimpung langsung dengan rakyat yang telah memberikan kepercayaan kepada mereka. Mereka menyetujui pendapat wakil-wakil itu karena ikhlas,
Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), Cet. Ke-1, h. 166 40 Kafrawi Ridwan, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), Cet. Ke-3, Jilid V, h. 18. 41 Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah: Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam, alih bahasa: Fadhli Bachri, (Jakarta: Darul Falah, 2000), h. 3. 39
47
konsekuen, takwa, adil, dan kecemerlangan pikiran serta kegigihan mereka di dalam memperjuangkan kepentingan rakyatnya. Inilah yang dimaksudkan oleh al-Mawardi dengan pendapatnya: “Jika tidak ada seseorang yang mengendalikan pemerintahan, lahirlah dua golongan dari masyarakat. Yang pertama, golongan ahl al-ikhtiar untuk memilih seorang imam, dan kedua, ahl al-imamah yaitu orang-orang yang dapat diangkat menjadi kepala negara. Atas dua golongan inilah dibebani dosa, apabila mereka menunda-nunda mengangkat kepala negara.”42
Menurut
Al-Mawardi
ada
beberapa
syarat
untuk
mencapai
keseimbangan dalam segi politik Negara ideal menurut Islam: 43 1. Agama yang hayati; 2. Penguasa yang berwibawa; 3. Keadilan yang menyeluruh; 4. Sistem Pemerintahan; 5. Imamah (Kepemimpinan); 6. Cara pemilihan atau seleksi imam. Al-Mawardi merumuskan beberapa syarat yang harus dimiliki majelis syura, yaitu adil dengan segala syarat-syaratnya, ilmu yang membuatnya mampu mengetahui siapa yang berhak menjadi imam (khalifah) sesuai dengan kriteria-kriteria yang legal, dan memiliki wawasan serta sikap bijaksana. 44 Dengan kualifikasi ini, diharapkan golongan Majelis Syuradapat menentukan
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Islam dan Politik Bernegara, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002), Cet. Ke-1, h. 89-90. 43 Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 63. 44 Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah: Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam, alih bahasa: Fadhli Bachri, (Jakarta: Darul Falah, 2000), h. 3. 42
48
siapa yang pantas menjadi kepala negara dan mampu memegang jabatan untuk mengelola urusan negara dan rakyat. Dengan memperhatikan syarat-syarat di atas maka jelaslah bahwa dewan ini bukanlah lembaga ijtihad yang dimaksudkan oleh ilmu ushul, karena pribadi-pribadi yang menjadi anggota Majelis Syuratidak harus mempunyai ilmu, terkecuali sekedar memungkinkan mengetahui keadaan-keadaan masyarakat dan perkembangan-perkembangan politik yang dengan demikian dapat memilih mana yang baik dan yang lebih maslahat dari orang-orang yang dicalonkan untuk menjadi kepala negara. Sedang Majelis Syurayang dimaksudkan ilmu ushul, ialah para mujtahid yang secara penuh memenuhi syarat-syarat ijtihad. Pemikiran ulama fiqih siyasah merumuskan istilah Majelis Syurayang didasarkan pada sistem pemilihan empat khalifah pertama yang dilaksanakan oleh para tokoh sahabat yang mewakili dua golongan, Anshar dan Muhajirin. Mereka ini dianggap oleh ulama fiqih siyasah sebagai Majelis Syurayang bertindak sebagai wakil umat. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah keanggotaan dewan syura sehingga pengangkatan khalifah oleh mereka dianggap sah. Abu Bakar al-Asham berpendapat, bahwasanya imamah itu, barulah dapat dipandang sah, apabila seluruh umatnya mengakuinya. Pendapat ini diambil juga oleh Hisyam al-Fuathy yang mengatakan bahwasanya
49
pengangkatan imamah di waktu terjadi kekacauan dan pendapat yang simpang siur, tidak dapat dipandang sah. 45 Al-Qalanisy berpendapat bahwasanya imamah itu sah dilaksanakan oleh ulama-ulama yang berada di tempat kepala negara, tanpa disyaratkan bilangan tertentu. 46 Al-Mawardi menetapkan bahwasanya sekurang-kurangnya lima orang yang kesemuanya melakukan akad atau dilakukan oleh salah seorang dengan persetujuan yang empat lagi. Sedangkan para ulama Kuffah berpendapat bahwa sekurang-kurangnya tiga orang dan salah seorang melaksanakan pengangkatan dengan persetujuan dua orang yang lain, agar seorang bertindak sebagai hakim dan dua orang bertindak sebagai saksi. 47 Walaupun
ulama-ulama
Islam
berbeda-beda
kecenderungan
berpendapatnya, namun mereka semua menetapkan bahwa pemilihan kepala negara, haruslah dengan mubaya’ah yang benar dan bebas, serta haruslah pemilihan itu mendapatkan persetujuan umum di samping harus menentukan kepala negara dengan permusyawaratan. Majelis Syura merupakan dewan yang merupakan representasi umat.. Seperti yang dicetuskan oleh para pemikir ketatanegaraan Islam adalah terdiri dari berbagai kelompok sosial yang memiliki profesi dan keahlian yang berbeda. Baik dari birokrat pemerintahan maupun bukan, yang lazim disebut pemimpin formal dan informal. Tidak setiap pemimpin dari pemuka profesi
Ibid. Ibid., h. 93. 47 Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah: Prinsi-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam, alih bahasa: Fadhli Bachri, (Jakarta: Darul Falah, 2000), h. 5. 45 46
50
dan keahlian otomatis menjadi anggota Majelis Syura. Sebab, setiap anggota dewan ini perlu memenuhi kualifikasi tertentu. Hubungan antara Majelis Syura dan rakyat tampak dalam fungsi mereka sebagai wakil rakyat dalam melaksanakan haknya untuk memilih kepala negara. Karena mereka merupakan wakil rakyat dalam melaksanakan hak pilihnya, maka pilihan mereka adalah pilihan rakyat itu sendiri. Tetapi bagaimana perwakilan tersebut terjadi, apakah mereka dipilih oleh rakyat atau ditunjuk oleh khalifah, tidak ada informasi yang menjelaskannya. Dewan ini juga bertindak sebagai perantara antara umat dan khalifah dalam mengkokohkan tiang-tiang hukum Islam, menerapkan keadilan, menghidupkan ruh Islam di berbagai tempat, dan memuliakan khalifah dan Majelis Syura dalam menjaga kemungkinan penyimpangan dari jalan Islam yang lurus, atau bersenang-senang dengan kedudukannya. Adapun tugas Majelis Syura adalah mempunyai hak pilih, yaitu memilih presiden. Selain itu, menurut Rasyid Ridla, adalah menjatuhkan khalifah jika terdapat hal yang mengharuskan dipecat. Al-Mawardi juga berpendapat, jika kepala negara melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan agama, rakyat dan Majelis
Syura berhak menyampaikan mosi tidak percaya
kepadanya. 48 Sejauh ini belum ditemukan penjelasan tentang hak lain Majelis Syura seperti pembatasan kekuatan khalifah, mekanisme pembentukan majelis itu, dan hak kontrol. Apalagi Majelis Syura sekalipun mereka mewakili rakyat, J. Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 71. 48
51
menurut Rasyid Ridla tidak identik dengan parlemen di zaman modern yang memiliki kekuasaan legislatif, dan berhak membatasi kekuasaan kepala negara melalui undang-undang. 49 Dengan demikian, kedudukan Majelis Syura dalam suatu negara Islam adalah sebagai wakil dari rakyat. Rakyat mengamanatkan hak pilihnya kepada lembaga ini untuk memilih kepala negara.
BAB IV KEKUASAAN MPR RI PADA MASA DALAM UUD 1945 PASCA REFORMASI DITINJAU DALAM HUKUM KETATANEGARAAN ISLAM
A. Konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat di Era Reformasi (1999-2004). Pada tahun 1998 telah terjadi peristiwa yang mengubah tatanan ketatanegaraan Republik Indonesia dengan mundurnya Presiden Soeharto menurut pasal 8 UUD 1945. Walaupun ada yang beranggapan pergantian tersebut tidak sesuai dengan bunyi pasal 8 UUD 1945. Walaupun pada akhirnya dianggap sah pengunduran diri tersebut. Setelah itu terjadilah Pemilihan Umum tahun 1999 yang diikuti oleh 48 partai politik akhirnya terbentuklah anggota DPRD, DPR dan anggota MPR baru. Dan pada Sidang Tahunan 1999 maka UUD 1945 diubah dengan
49
Ibid., h. 71-72.
52
Perubahan I UUD 1945 terutama pasal mengenai masa jabatan presiden, sehingga diharapkan tidak terjadi hal-hal yang ada dimasa lalu mengenai jabatan Presiden RI 50 . Dan juga mengenai beberapa kewenangan Presiden yang dialihkan dan dibantu oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Kemudian pada tahun 2000, Undang-Undang Dasar 1945 kembali diubah. Perubahan Undang-Undang Dasar ini lebih menekankan pada Hak Azasi Manusia, yang menjadi konsentrasi pembahasan untuk dimuat pada saat itu 51 . Tahun 2001 kembali terjadi perubahan Undang-Undang Dasar melalui Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat. Perubahan
III Undang-Undang
Dasar 1945 pun disahkan dengan menekankan pada perubahan kedaulatan 51 rakyat. Dalam UUD 1945 sebelum Perubahan UUD 1945 dinyatakan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat diubah menjadi kedaulatan ada ditangan rakyat dan dijalankan oleh Undang-Undang Dasar. Perubahan ini sangatlah penting karena, perubahan inilah yang menjadi dasar untuk mereduksi kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dan perubahan ini menjadi pijakan untuk Perubahan IV UUD 1945. Menurut Rosseau dalam Kontrak Sosial maka perjanjian yang dibentuk oleh penguasa dan rakyat yang dikuasai, bertujuan untuk melindungi kepentingan individu dalam masyarakat. Dan untuk menjaga kepentingan Harun Al Rasyid, Pengisian Jabatan Presiden, (Jakarta; PT Pustaka Utama Grafiti, 1999), h.141 50
51
Indonesia, Perubahan II Undang-Undang Dasar 1945
53
masyarakat dengan individu sehingga tidak terjadi benturan antara hak antara individu juga dengan masyarakat 52 . Perjanjian ini bertujuan juga untuk membatasi kekuasaan penguasa dalam menjalankan tugas dan perjanjian tersebut. Dengan semakin berkembangnya peradaban maka bentuk perjanjian sosial pun menjadi lebih rapi. Kemudian hal ini dikenal sebagai Konstitusi. Biasanya pelaksanaan kedaulatan rakyat secara representatif dalam konstitusi disebut sebagai lembaga perwakilan. Dengan demikian sebagai Konstitusi yang baik seharusnya UndangUndang Dasar 1945 sesuai dengan karakteristik yang disebut diatas. Perubahaan Undang-Undang Dasar 1945, bertujuan untuk mencapai karakteristik perjanjian sosial antara negara dengan masyarakat. Dan perubahan tersebut membawa dampak yang sangat besar bagi Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga perwakilan. Penyelenggaraan kedaulatan rakyat sebelum perubahan UUD 1945 melalui sistem MPR dengan prinsip terwakili telah menimbulkan kekuasaan bagi presiden yang demikian besar dalam segala hal termasuk pembentukan MPR. Periode orde lama (1959-1965), seluruh anggota MPR(S) dipilih dan diangkat langsung oleh Presiden.
52
Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, Dan Kaitannya Dengan Kondisi Sosio Politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, , 2002), h. 912
54
Tidak jauh berbeda pula pada masa orde baru (1966-1998) dari 1000 orang jumlah anggota MPR, 600 orang dipilih dan ditentukan oleh Presiden. Hal tersbut menunjukan bahwa pada masa-masa itu MPR seakan-akan hanya menjadi alat untuk mempertahankan penguasa pemerintahan (presiden), yang mana pada masa itu kewenangan untuk memilih dan mengangkat Presiden dan/atau Wakil Presiden berada di tangan MPR. Padahal MPR itu sendiri dipilih dan diangkat oleh Presiden sendiri, sehingga siapa yang menguasai suara di MPR maka akan dapat mempertahankan kekuasaannya. Pengangkatan anggota MPR dari unsur Utusan Daerah dan unsur Utusan Golongan bagi pembentukan MPR dalam jumlah yang demikian besar juga dapat dilihat sebagai penyimpangan konstitusional, karena secara logika dalam hal kenyataan juga terlihat wakil yang diangkat akan patuh dan loyal kepada pihak yang mengangkatnya 53 , sehingga wakil tersebut tidak lagi mengemban kepentingan daerah atau golongan yang diwakilinya. Akibatnya adalah wakilwakil yang diangkat itu tidak lagi memiliki hubungan dengan yang diwakilinya. Namun terkait dengan hal itu, Presiden sendiri merupakan mandataris MPR yang harus bertanggung jawab kepadanya. Berdasarkan hal tersebut maka hubungan antara MPR dengan Presiden sangat sulit dilihat sebagai hubungan vertikal atau horizontal, jika terlepas dari MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara dan Presiden sebagai Lembaga Negara yang jelas mempunyai hubungan vertikal. Maka idealnya seluruh anggota MPR itu 53
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Ttata Negara Pasca Amandemen Konstitusi (Jakarta: LP3ES, 2007), h. 56.
55
dipilih rakyat melalui Pemilu dan disisi lain sesuai dengan ketentuan UUD 1945, keberadaan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, dianggap sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Konstruksi ini menunjukkan bahwa MPR merupakan Majelis yang mewakili kedudukan rakyat sehingga menjadikan lembaga tersebut sebagai sentral kekuasaan, yang mengatasi cabang-cabang kekuasaan lainnya. Adanya satu lembaga yang berkedudukan paling tinggi membawa konsekuensi seluruh kekuasaan lembaga-lembaga penyelenggara negara yang berada di bawahnya harus bertanggung jawab kepada MPR. Akibatnya konsep keseimbangan antara elemen-elemen penyelenggara negara atau sering disebut checks and balances system antar lembaga tinggi negara tidak dapat dijalankan. Pada sistem MPR tersebut, juga menimbulkan kekuasaan bagi Presiden yang demikian besar dalam pembentukan undang-undang (fungsi Legislasi) yang seharusnya dipegang DPR. Hal tersebut dapat dilihat dari rumusan pasal 5 ayat (1) naskah asli UUD 1945 yang berbunyi: “Presiden
memegang
kekuasaan
membentuk
undang-undang
dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Berdasarkan
rumusan
tersebut,
dapat
dilihat
bahwa
MPR
mendistribusikan kekuasaan membentuk Undang-undang kepada Presiden, atau setidaknya memberikan kewenangan yang lebih kepada Presiden dalam fungsi legislasi dari pada DPR. Karena keadaan yang demikian sehingga pengawasan dan keseimbangan antar lembaga tinggi negara sangat lemah sekali.
56
Gerakan reformasi membawa berbagai tuntutan, diantaranya adalah Amandemen UUD 1945, penghapusan doktrin dwi fungsi ABRI, penegakan hukum, HAM, dan pemberantasan KKN, serta mewujudkan kehidupan yang demokratis. Tuntutan itu muncul karena masyarakat menginginkan perubahan dalam sistem dan struktur ketatanegaraan Indonesia untuk memuwujdkan pemerintahan negara yang demokratis dengan menjamin hak asasi warga negaranya. Hasil nyata dari reformasi adalah dengan adanya perubahan UUD 1945 yang dilatar belakangi dengan adanya beberapa alasan 54 , yaitu: a) Kekuasaan tertinggi di tangan MPR b) Kekuasaan yang sangat besar pada Presiden c) Pasal-pasal yang sifatnya terlalu “luwes” sehingga dapat menimbulkan multi tafsir. d) Kewenangan pada Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan Undang-undang. e) Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi. Hal-hal
tersebut
merupakan
penyebab
mengapa
keseimbangan
dan
pengawasan terhadap lembaga penyelenggara negara dianggap sangat kurang (checks and balances system) tidak dapat berjalan sehingga harus dilakukan Perubahan UUD 1945 untuk mengatasi hal tersebut.
54
ibid
57
Tugas dan wewenang MPR RI periode 1999 sampai dengan 2004 diatur dalam Undang-undang Dasar 1945, yakni: 1. Melakukan Amandemen/ perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Dari aspek hukum sebetulnya sejak orde baru sudah ada landasan amandemen/perubahan Undang-undang Dasar 1945. di dalam pasal 37 ayat (1) UUD 1945 dijelaskan untuk mengubah Undang0undang Dasar 1945 sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR harus hadir, selanjutnya di dalam pasal 37 ayat (2) Undang0Undang Dasar 1945 dijelaskan : Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota yang hadir . Dalam melakukan amandemen UUD 1945 ada 2 aspek yang hrus diperhatikan \: a. Aspek Hukum: artinya aturan-aturan hukum menyangkut prosedur prubahan UUD 1945 yang diatur di dalam pasal 37 ayat 1 dan 2 UUD 1945. b.
Aspek politik : dari aspek politik tersebut dapat menentukan perubahan Undang-undang Dasa 1945, kekuatan politik yang menghendaki
perubahan
Undang-Undang
dasar
1945
harus
disampaikan ke MPR RI, karena MPR RI yang berwenang mengamandemen UUD 1945. Amandemen UUD 1945 dilakukan berdasarkan 5 kesepakatan dasar. Yaitu: 1. Tidak Mengubah Pembukaan UUD 1945
58
2. Tetap mempertahankan Negara kesatuan Republik Indonesia 3. Mempertegas system pemerintahan presidensiil 4. Hal yang normative dimasukkan ke pasal pasal 5. Melakukan perubahan Undang-undang Dasar 1945 dengan cara addendum. 2. Majelis Permusyawaratan Rakyat dapat melantik presiden dan wakil presiden dan hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-undang. Kewenangan ini dilakukan jika telah terpenuhi syarat untuk memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam UUD 1945 setelah Perubahan. Wewenang dilakukan melalui proses yang lama dan dilaksanakan oleh beberapa lembaga negara. Untuk memberhentikan Presiden harus melalui pendapat Dewan Perwakilan Rakyat yang telah meminta putusan dari Mahkamah Konstitusi (pasal 7B Perubahan UUD 1945). MPR RI priode 1999 - 2004 dalam kewenangannya melakukan empat kali perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan pertama diputuskan pada sidang Umum MPR 1999 yang terdiri dari delapan pasal yaitu pasal 5, 7, 9,13, 14, 17, 20 dan 21 yang mengatur tentang kekuasaan pemerintahan
negara
dan
pembatasan
masa
jabatan
presiden
serta
pemberdayaan lembaga legeslatif yaitu DPR. Perubahan kedua diputuskan pada sidang tahunan MPR tahun 2000 terdiri dari tujuh bab 25 pasal yang mengatur tentang pengaturan pemerintah
59
daerah, hak asasi manusia, wilayah negara serta pertahanan dan keamanan negara. Perubahan ketiga diputuskan pada sidang tahunan MPR 2001 terdiri dari 6 bab 23 pasal yang mengatur tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, Kekuasaan Kehakiman, dan pembentukan Mahkamah Konstitusi serta pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat - Dewan Perwakilan Daerah. Perubahan keempat diputuskan pada sidang tahunan MPR tahun 2002 terdiri dari 5 bab 17 pasal yang mengatur tentang komposisi keanggotaan MPR, putaran kedua pemilihan presiden dan wakil presiden, pengisian jabatan presiden dan wakil presiden jika berhalangan tetap secara bersamaan, eksistensi DPA, pendidikan dan keuangan perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial aturan peralihan dan aturan tambahan. Namun perubahan tersebut mendapat pertentangan keras baik dari dalam parlemen sendiri, para ahli maupun masyarakat. Dalam tulisannya H. Amin Aryoso, yang menentang kewenangan MPR RI 1999 - 2004 berpendapat bahwa MPR telah kebablasan dengan mengabaikan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia seperti kerakyatan, kegotong royongan, kebangsaan yang berdasarkan kekeluargaan dan sekarang mengutamakan individualisme 55 . Sehingga mereka menyebutnya tidak lagi UUD ’45 namun UUD 2002. karena menurut mereka namanya tetap undang-
Aryoso Amin. H/Achadi M, Krisis Konstitusi Dosa-dosa MPR RI 1999-2004 dan Tanggung Jawab/kompetensi Kepala Negara , (Yayasan Kepada Bangsaku) h.69 55
60
undang dasar 1945 namun isinya telah mengalami perubahan yang sangat mendasar 56 .
B. Tugas dan Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat di Era Reformasi ditinjau dari Hukum Tata Negara Islam. Dalam undang-undang dasar ‘45 Indonesia menganut tiga kedaulatan yakni kedaulatan Tuhan, kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. 57 seperti tertuang dalam pasal 1 ayat (2) menyatakan, “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undangundang” Ketentuan ini mencerminkan bahwa UUD 1945 menganut keduaulatan rakyat atau demokrasi yang berdasarkan undang-undang dasar. Sedangkan pasal 1 ayat (3) menegaskan: “Negara Indonesia adalah Negara hukum” Namun bersamaan dengan itu gagasan kedaulatan Tuhan juga diakui dan dianut dalam UUD 1945 yang mengakui bahwa: pertama, pembukaan UUD 1945 mengakui bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia dapat berhasil “Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa…” kedua, pembukaan UUD 1945 juga mengatakan bahwa “ kemerdekaan… Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa…” ketiga pasal 9 ayat (1) dan (2) UUD 1945 menentukan bahwa sebelum memangku jabatan setiap presiden dan/atau wakil presiden diharuskan
Jimly Asshidiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi .(Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2007), h. 115 57 Ibid, h.123. 56
61
bersumpah atau berjanji dengan menyatakan “Demi Allah”. Keempat, pasal 29 ayat (1) dan (2) menyatakan: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”, Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Undang-undang Dasar 1945 mengakui gagasan Ke-Maha Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Namun didelegasikan ke rakyat yang di atur dalam undang-undang. Menurut Isma’il Sunny, kedaulatan yang hakiki berada pada Tuhan, sementara otomatis rakyat adalah kepercayaan suci yang harus berada dalam batas-batas kehendak Tuhan. Menurutnya, kedaulatan rakyat pada dasarnya merupakan penerapan kedaulatan Tuhan oleh semua rakyat atas hamba-Nya, dimana implementasi aturan-aturan Tuhan dalam kehidupan sosial dan politik diimplementasikan oleh rakyat melalui para wakil mereka 58 Adapun pembatasan kedaulatan rakyat dalam Islam adalah memandang bahwa kedaulatan rakyat sebagai sesuatu yang mutlak, karena Islam adalah paradigma moral bagi sistem demokrasi masyarakat muslim. Oleh karenanya, demokrasi harus dilaksanakan dalam kerangka paradigma moral ini. Segala sesuatu yang dianggap benar oleh manusia adalah belum tentu benar di mata Allah.
58
Farid abdul kholiq, Fikih Politik Islam (Jakarta: Amzah, 2005), h.67.
62
Pendelegasian otoritas Tuhan tentang masalah-masalah duniawi kepada umat Islam, dan mereka menerima pendelegasian itu dalam kerangka kemaslahatan umum 59 , dapat membantu memahami maksud ayat Al-qur’an sebagai berikut:
⌧ ⌧ ⌧ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) sesuatu yang, jika diterangkan kepadamu, menusahkan kamu. Tetapi jika kamu menanyakan ketika Al-qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan apa yang sudah lalu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sebelum kamu dulu sudah ada golongan yang menanyakan hal-hal demikian, lalu mereka menjadi kafir.” (Q.S. alMaidah/5 ; 101-102) Ayat tersebut berbicara tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa hidup Rasulullah saw. Ketika untuk pertama kali umat Islam datang kepada beliau dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai masalah yang tidak
Suyuti Pulungan MA, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. (Jakarta: Rajawali pers, 2002),h. 40 59
63
dapat diselesaikan, memintanya untuk menjelaskan pandangan agama mengenai masalah ini. Rasulullah lalu meminta petunjuk Allah dan memohon agar diturunkan ayat yang akan menanggapi pertanyaan-pertanyaan dan menjawab permintaan mereka. Al-qur’an kemudian meminta mereka agar berhenti
mengajukan
pertanyaan-pertanyaan
kepada
Rasulullah
yang
memerlukan wahyu untuk menjawabnya. Menyerahkan permasalahan-permasalahan kepada umat menyebabkan mereka berkembang dan tumbuh, dan mendorong munculnya perubahan dalam masyrakat. Mengembalikan persoalan kepada langit dan menunggu wahyu yang akan meberikan sebuah titik pandang dalam sebuah masalah tertentu, hanya aanmemberikan keputusan yang konstan dan stagnan, tidak dapat membawa perkembangan dan perubahan. Majelis
permusyawaratan
ataupun
Lembaga
legislatif
sebagai
penjelmaan konsep syura di zaman modern, apakah dapat ditafsirkan sebagai demokrasi? Masalah ini menjadi ramai untuk diperdebatkan, bahkan sudah dimulai perdebatannya pada era pertengahan. Beberapa masalah yang diperdebatkan adalah : 1) apakah demokrasi Barat itu cocok dengan Islam, 2) dan apakah majlis syura (konsep modern : lembaga legislatif) sama dengan parlemen model demokrasi Barat?, 3) apakah lembaga syura (legislatif) lebih tepat diartikan sebagai dewan pertimbangan atau dewan penasehat bagi seorang penguasa atau kepala negara, 4) apakah seorang penguasa dalam pemerintahan Islam wajib memiliki suatu dewan pertimbangan, dan jika ya, apakah dewan itu ditunjuk penguasa atau dipilih rakyat, apakah bersifat
64
konsultatif saja, atau mandataris? 5) apakah partisipasi rakyat langsung dalam proses politik, misalnya dalam pemilihan kepala negara/pemerintahan diperbolehkan dalam konsep syura? 6) apakah anggota lembaga syura (legislatif) harus dipilih oleh rakyat atau cukup ditunjuk penguasa? 7) Apakah fungsi pokok lembaga syura (legislatif)? siapa yang fit and proper (layak dan patut) menjadi anggota majlis syura, apakah ada kriteria menurut syara’? Permasalahan di atas muncul karena beberapa faktor pertama, karena Al-qur’an maupun as-Sunnah tidak memberikan ketentuan rinci tentang apa bentuk kongkret syura tersebut, bagaimana proses pembentukannya dan apa fungsi dan tugasnya. mekanisme syura masuk kategori adat bukan ibadah murni seperti yang dikatakan ibnu khaldun yakni ”termasuk kemaslahatan umum yang semua pengaturannya diserahkan kepada rakyat. Hal itu tidak termasuk masalah-masalah yang berkaitan dengan ibadat atau keyakinan, tetapi termasuk dari adat” 60 . Suatu bentuk pemerintahan republik yang demokratis memang diisyaratkan dari teladan para sahabt di masa Khulafa ar-Rasyidin, tetapi teladan itu pun mengandung banyak variasi. Sesudah masa itu, bentuk pemerintahan Islam ternyata adalah kerajaan, bahkan monarkhi absolute. Kedua, adalah kenyataan, bahwa pada zaman modern sekarang ini, bentuk dan sistem kenegaraan dan pemerintahan di negara-negara Muslim, tidak semuanya republik demokratis. Sistem monarkhi masih ada di Arab Saudi, Marko, Yordania, Kuwait, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
60
Farid Abdul Khalik. Fiqih Politik Islam, (Jakarta: Amzah, 2005), h.79.
65
Seandainya telah terbentuk pemerintahan republik, maka konsep yang dipakai lebih banyak diambil dari Barat. Bahkan di negara-negara republik tertentu secara temporal terjadi praktek pemerintahan yang otoriter dan diktator. Ketiga, Di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, pada umumnya berada di tangan penguasa yang mengekang demokrasi. secara formal para penguasa di banyak negara Muslim menolak “demokrasi liberal” atau “demokrasi Barat” yang tidak atau kurang sesuai dengan kepribadian atau niali-niali yang dianut masyarakatnya. Demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi “terbatas” atau demokrasi “terpimpin” dalam satu dan lain bentuk. Dalam situasi demikian, kebebasan mengeluarkan pendapat menjadi sangat terbatas dan para ulama/cendekiawan cenderung membela pendangan resmi penguasa (Rahardjo, 2002 : 450). Menghadapi fakta-fakta historis dan fakta-fakta yang ada sekarang ini dari Sunnah Rasul, teladan Khulafa ar-Rasyidin, timbulnya kerajaan-kerajaan Islam, masih bertahannya pemerintahan-pemerintahan kerajaan di beberapa kawasan Islam, juga dengan melihat kepada negara-negara kerajaan serta situasi politik di Indonesia sendiri yang menganut system pemrintahan demokrasi presidensil 61 , dengan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, maka kebanyakan ulama dan cendekiawan Muslim cenderung berhari-hati dalam berpendapat bahwa syura – dalam arti demokrasi populis, adalah suatu ketentuan agama.
Moh. Mahfud MD. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: LP3S, 2007), h. 137. 61
66
Musyawarah merupakan ajaran islam yang telah tersurat dalam al-Qur an.
☺
☺ \
Artinya: “Sedang dalam urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka” (Q>S As Syura’ : 38) Seorang ahli tafsir Syi’ah, Syekh Abu Ali al-Fadlal, dalam kitab tafsirnya, Majma’ al Bayan fi Tafsir Al-qur’an, dalam menjelaskan asbab annuzul Q.S. asy-Syura/42 : 38, mengatakan bahwa kaum anshar telah biasa melakukan musyawarah, jauh sebelum zaman Islam, juga sebelum kedatangan Rasulullah ke Madinah. 62 Musyawarah, oleh para pemikir modern, dianggap sebagai doktrin kemasyarakatan dan kenegaraan yang pokok, tidak saja karena jelas nash-nya dalam Al-qur’an, tetapi juga karena hal ini diperkuat oleh hadist, serta merupakan sunnah atau keteladanan Nabi. Para
pemikir
politik
modern
mengacu
kepada
bentuk-bentuk
musyawarah yang telah berkembang di zaman modern, yang sudah tidak akan ditemukan secara persis contohnya pada awal perkembangan Islam. Misalnya munculnya lembaga legislatif (parlemen) yang belum ada pada zaman Rasulullah sampai zaman pertengahan. Pembentukan lembaga musyawarah, merupakan salah satu masalah yang pelaksanaannya diserahkan Tuhan kepada manusia. Dan umat Islam sendiri M. Dien Syamsuddin, Sistem Kenegaraan Modern Republik dan Kekhilafahan Islam Klasik, Makalah pada KKA Paramadina, dipresentasikan pada 16 Desember 1997. 62
67
punya
kepentingan
untuk
membentuk
seperti
itu
dalam
rangka
mengakomodasi berbagai aspirasi yang muncul dari berbagai lapisan anggota masyarakat, karena sekali lagi Tuhan telah mendelegasikan masalah-masalah keumatan untuk diselesaikan oleh umat sendiri tanpa campur tangan dari-Nya. Dan ini adalah prinsip kemurahan Allah atas manusia, sehingga manusia bisa menemukan sistem yang terbaik dan sempurna untuk membangun negara dan menjalankan pemerintahan dengan bijak. Pemikiran ketatanegaraan Islam kontemporer terpetakan dalam tiga kelompok utama, yang masing-masing berbeda nuansa dan variasi pemikiran 63 . Pertama, dalam rangka menyusun teori politik Islam, yang ditekankan bukanlah struktur “negara Islam”, melainkan substruktur dan tujuannya. Sebab, struktur negara akan berbeda-beda di satu tempat dan tempat yang lain. Ia merupakan ijtihad kaum muslimin yang dapat berubahubah. Sementara itu, subkultur dan tujuannya merupakan prinsip-prinsip umum dalam bernegara secara Islami. Kedua, Sistem kenegaraan Islam tidak dapat disebut demokrasi, karena dalam demokrasi yang berdaulat adalah rakyat, artinya rakyat pula yang berkuasa untuk membuat undang-undang dan mekalsanakan undang-undang itu. Maka al-Maududi menawarkan istilah baru yang dinamakan teodemokrasi yang artinya adalah kedaulatan rakyat yang terbatas. tercapai kesepakatan bahwa demokrasi merupakan jiwa sitem pemerintahan Islam meskipun mereka sepakat untuk menolak asumsi filosofis “demokrasi Barat”. Anjar Nugroho SB “Kekuasaan Legislatif dalam Pemikiran Politik Islam” http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/07/24/-kekuasaan-legislatif-dalam-pemikiran-politikislam/ 63
68
Ketiga, kekuasaan negara dilakukan oleh tiga lembaga atau badan hukum ; legislatif, eksekutif dan yudikatif dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Kepala negara merangkap kepala badan eksekutif atau pemerintahan yang bertanggungjawab kepada Allah dan kepada rakyat. 2. Keputusan Majlis Syura (legislatif) pada umumnya diambil atas dasar suara terbanyak, dengan catatan bahwa suara terbanyak dalam Islam tidak mencerminkan kebenaran. 3. Anggota Majlis Syura tidak dibenarkan terbagi ke dalam kelompokkelompok atau partai-partai. 4. Keanggotaan Majlis Syura terdiri dari warga nergara yang beragama Islam, dewasa dan laki-laki, yang shaleh serta cukup capable dalam menafsirkan dan menerapkan syari’at. Jika dirangkum semua pemikiran ketatanegaraan Islam kontemporer, inti dari semua tema dan gagasan yang dikemukakan adalah bagaimana membatasi kekuasaan yang di tangan penguasa dan menerapkan etika-moral Islam dalam kehidupan berpolitik secara utuh. Satu hal yang paling menonjol dalam pemikiran mereka adalah, mutlak adanya Majelis Syura sebagai implementasi kongkret dari perintah melakukan musyawarah yang terdapat dalam AlQur’an. Majelis Syura (legislatif) mempunyai kekuasaan yang independen dan bebas campur tangan penguasa atau kepala Negara 64
64
Ibid
69
C. Analisa Perbandingan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dengan Majelis Syura dalam Hukum Ketatanegaraan Islam. Secara jujur, harus dikatakan bahwa sebenarnya tugas Majelis Syuradidalam negara Islam identik dengan tugas Majelis Permusyawaratan Rakyat didalam negara sekuler, walaupun tidak secara mutlak. Seperti halnya didalam mengangkat dan menurunkan seorang imam (pemimpin), membuat undang-undang, mempelajari problematika umat dan mencari solusinya. Namun demikian, ada beberapa perbedaan mendasar antara dua lembaga tertinggi negara tersebut, sehingga banyak ulama yang menolak eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi didalam sebuah negara, dengan sistem demokrasi yang banyak dianut oleh negara-negara Islam. Adapun perbedaan sistem khilafah dengan Majelis Syura dengan sistem Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah sebagai berikut ; 1. Dari Segi Perkembangannya Sistem majlis Syura berkembang sejak adanya pemerintahan Islam pertama kali pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq Adapun sistem parlemen berkembang akibat benturan antara kekuasaan dan gereja yang terjadi di Eropa, dan mulai menjadi sistem yang mapan setelah revolusi Perancis pada tahun 1789M. 2. Dari Segi Keanggotaan A. Di dalam sistem Majelis Syura, anggotanya harus seorang muslim yang adil. Adapun dalam sistem parlemen, anggotanya tidak harus beragama
70
Islam, orang Komunis/atheis pun bisa menjadi anggota, bahkan menjadi ketua DPR/MPR , selama rakyat mendukung B.
Di dalam sistem Majelis Syura anggotanya harus seorang laki-laki. Namun dalam sistem parlemen, perempuan dibolehkan mejadi anggota didalamnya.
C. Anggota Majelis Syuraharus seorang yang berpengetahuan luas terhadap ajaran Islam, sedangkan anggota Parlemen boleh dari orang yang paling bodoh tentang masalah agama. 3. Dari Segi Tugas dan Peranannya. Tugas Majelis Syura harus sesuai denga aturan Syariah Islamiyyah. Mereka tidak boleh merubah aturan Allah dan Rasul-Nya yang sudah paten dan mapan, walau seluruh anggota dan rakyat menghendaki perubahan itu. Adapun didalam Parlemen, mereka bebas dan leluasa menentukan sebuah hukum, undang-undang, dan bahkan merubah hukum Allah selama hal itu disepakati seluruh anggota atau atas kehendak rakyat. Majelis Syura dengan suasana ukhuwwah, kekeluargaan dan kerjasama didalam kebaikan dan ketaqwaan. Keanggotaan Parlemen diwarnai rasa Ta'ashub terhadap golongan, sektarian, dan penuh dengan persaingan yang tidak sehat. Kaitannya dengan istilah "DPR/MPR", atau istilah-istilah baru lainnya, yang semuanya tidak tercantum di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau belum pernah digunakan sebelumnya oleh para ulama-ulama tsiqoh didalam kajian keilmuan mereka, maka hendaknya kita tinjau dahulu substansinya.
71
Seandainya sesuai dengan Islam, maka istilah itu kita terima (walaupun demikian, sebaiknya kita gunakan istilah syar'i yang sudah ada). Namun kalau bertentangan, dengan tegas kita menolaknya. Yang menjadi permaslahan kita sekarang, apabila 'istilah baru' tersebut mengandung dua sisi : 'kebenaran dan kebatilan'.Dalam arti yang lebih luas, bahwa istilah tersebut bersifat elastis, bisa ditafsirkan macam-macam, menurut
versi
pengamatnya.
Kalau
dia
seorang
sekuler,
maka
penafsirannyapun cenderung ke arah sekuler, sebaliknya jika pengamatnya seorang cendikiawan muslim, maka akan diembel-embeli dengan sifat-sifat ke-Islaman. Seperti istilah-istilah yang sedang ngetrend dan berkembang luas di dunia Islam yaitu : Demokrasi, Theokrasi, Monarki, Sosialisme, Kapitalisme, Nasionalisme, Parlemen, DPR/ MPR, dll yang tidak mungkin disebut satu persatu di sini. Maka, sikap seorang muslim didalam menghadapi Ma'rokatul Mushtholahat (Perang Istilah) hendaknya merujuk kepada sikap dan pendapat para ulama salaf dan tsiqoh ketika mereka menghadapai peperangan seperti ini. Kita dapatkan, mereka enggan menggunakan istilah–istilah yang diimpor dari luar Islam tersebut, selama substansinya belum jelas dan masih dipertentangkan oleh para ulama. Karena hal itu akan mengakibatkan porak porandanya pemikiran seorang muslim
di
sesungguhnya.
dalam
memahami
kontek-kontek
ajaran
Islam
yang
72
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1.
Adapun konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia adalah lembaga perwakilan rakyat yang terdiri atas: anggota 2 lembaga negara yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Perubahan UUD 1945 telah memberikan perubahan besar bagi Majelis Permusyawaratan Rakyat. Karena dasar yuridis untuk menjalankan kedaulatan rakyat telah dicabut oleh amandemen UUD 1945. Tugas dan
73
wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat
kemudian dijelaskan
dalam UUD 1945 dan Undang-undang tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD dan a Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia akhirnya hanya mempunyai 2 tugas yaitu “Melantik Presiden dan Wakil Presiden (pasal 3 UUD 1945)”. Tugas yang merupakan akibat dari ditetapkannya aturan tentang Pemilihan Presiden dan secara langsung. Apabila telah terpilih Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum maka MPR mempunyai suatu kewajiban untuk melantik Presiden dan Wakil Presiden. MPR setelah adanya Undangundang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD mempunyai tugas untuk melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya. 2.
Dalam ketatanegaraan Islam, ada banyak penyebutan untuk majelis syuro ini antara lain; ahlul hal wal ‘aqdi, ulil amri dan ummah, mengingat kedudukan dan wewenangnya berbada dalam praktek dan teori yang dijelaskan oleh para pakar hukum tata negara Islam, karena dalam tata negara Islam tidak mengenal konsep yang baku dalam majelis syuro ini semuanya diserahkan kesepakatan umat yang sesuai dengan kondisi dan waktu, karena hal itu merupakan adat bukan ibadah, yang telah dipraktekan dan disebut rinciannya dalam beragama seperti ibadah sholat.
Musyawarah memang ajaran agama dan dipraktekan oleh
pemerintahan Nabi Muhammad saw. dan Khulafa al Rasyidin, dan
74
kelembagaan syuro menjadi prasyarat untuk musyawarah dengan banyak orang dalam sekala negara, mengingat banyaknya rakyat yang memungkinkan banyaknya silang pendapat,
wilayah yang jauh satu
sama lain, dan tidak memungkinkannya rakyat berkumpul dalam satu tempat. Kewajiban untuk menegakkan ammar ma’ruf nahi munkar. Taat kepada ulil amri. Lembaga ini terdiri dari berbagai kelompok sosial yang memiliki profesi dan keahlian yang berbeda. Baik dari birokrat pemerintahan maupun bukan, yang lazim disebut pemimpin formal dan informal.Adapun tugas majelis syuro adalah mempunyai hak pilih, yaitu memilih presiden, memberhentikan presiden. Mekanisme pengangkatan pemimpin dalam pemerintahan Islam juga berbeda-beda, adakalanya dipilih oleh majelis syuro dan adakalanya melalui mandat dari pemimpin sebelumnya. 3.
MPR RI merupakan Majelis Syurayang didalamnya ada mekanisme yang kewenangnya pada dasarnya mengubah undang-undang dengan cara musyawarah dengan segala lapisan rakyat kemudian melantik presiden dan wakil presiden berdasarkan hasil pemilihan umum langsung
sebagai
bentuk
pelaksanaan
sistem presidensiil
yang
didalamnya tetap menerapkan musyawarah untuk kepentingan bersama.
B. Saran 1. Pertama, Perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan tugas dan wewenang MPR yang diatur dalam Undang-Undang Dasar dan undang-
75
undang tentang susunan dan kedudukan secara jelas. Sehingga tidak terjadi interprestasi yang dibuat oleh lembaga negara yang lain walaupun hal itu bisa diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Seharusnya Undang-Undang Dasar dan undang-undang mengaturnya dengan jelas. MPR juga harus mampu meningkatkan peran dan tanggung jawab dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenangnya. 2
Mengembangkan mekanisme checks and balances serta meningkatkan kualitas kinerja para anggota MPR.
3
Lembaga MPR RI selayaknya juga mengambil sepirit dari Majelis Syurayang dianut dalam ketatanegaraan Islam yakni kekuasaan ditangan ummat yang telah didelegasikan oleh Allah selain cheks and balances yang tertuang dalam amanat undang-undang. juga dapat memungkinkan umat untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan politik. Tidak akan pernah ada kekuasaan yang absolut dan mutlak di tangan penguasa sipil di bumi, karena yang absolut dan mutlak itu hanya kekuasaan Allah di langit.
4
MPR juga benar-benar merupakan lembaga rakyat yang bertujuan permusywaratan untuk masalah-maslah kenegaraan dan kemasyarakatan dan mencari solusi yang lebih memihak rakyat.
76
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Al Rasyid, Harun, Pengisian Jabatan Presiden, Grafiti, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1993 __________, Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: UI Press, 2002 __________, Himpunan Peraturan Hukum Tata Negara, UI Press, Jakarta:UI Press, 1996. Al-Qardhawy, Fiqih Daulah Dalam Perspektif Al Quran Dan Sunnah, Jakarta: Pustaka AlQautsar,1997 Arinanto, Satya, Hukum Dan Demokrasi, Jakarta: Ind Hill-Co, 1991
77
Asshiddiqie, Jimly, Pergumulan Peran Pemerintah Dan Sejarah, Jakarta:UI Press, 1996
Parlemen Dalam
____________, Gagasan Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994 ____________, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat,Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2002 ____________, Teori Dan Aliran Jakarta:Ind.Hill-Co, 1998
Penafsiran
Hukum
Tata
Negara,
Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998 _________________, Demokrasi di Indonesia Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama,1998 Busroh, Abubakar, Abudaud, Hukum Tata Negara, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1984 Burns, James; Peltason, J.W.; Cronin, Thomas, Government By The People, New Jersey: Prentice Hall, 1989. Carter, April, Otoritas Dan Demokrasi, Jakarta: CV Rajawali,1985 De Tocqueville, Alexis, Democracy In America, New York: Washington Square Press, 1965 76 Diamond, Larry, Revolusi Demokrasi Perjuangan Untuk Kebebasan Dan Pluralisme Di Negara Sedang Berkembang, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994 Dicey,AV, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution, London:Mc. Millan Education LTD, 1959 Djokosutono . Ilmu Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985 Dood, Lawrence, Coalitions in Parliamentary Government, New Jersey: Princeton University Press, 1976 Echols, John, Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997
78
Eidelberg, Paul, The Philosopy Of The American Constitution, Toronto: CollierMacmillan Canada, 1968 Garner, Bryan, Black’s Law Dictionary , sevent edition, St Paul, Minn:West Group, 1999 Hasan, Ismail, Pemilihan Umum 1987, Jakarta:PT Pradnya Paramita, 1986 Hariadi, Didit, Estiko, Amandemen UUD 1945 Dan Implikasinya Terhadap Pembangunan Sistem Hukum, Jakarta: Tim Hukum Pusat Pengkajian Dan Pelayanan Informasi Sekretaris Jendral, 2001 Hermawan, Eman, Politik Membela Yang Benar Teori Kritik Dan Nalar, Yogyakarta: KLIK dan DKN GARDA BANGSA, 2003, Hornby, AS, Oxford Advanced Learner’s Dictionary Of Current English, London: Oxford University Press, 1987 Huntington, Samuel, Benturan Antara Peradaban Dan Masa Depan Politik Dunia, Yogyakarta: CV Qalam Yogyakarta, 2003 Ibrahim, Harmaily, Majelis Permjusyawaratan Rakyat Suatu Tinjauan Dari Sudut Hukum Tata Negara, Jakarta: Sinar Bakti, 1979 Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: PT. Bina Aksara , 1984 Khaldun, Ibnu, Mukaddimah, Jakarta: Pustaka Firdaus,2000 Kusnardi, Mohammad, Ibrahim, Harmaily, Pengantar Hukum Tata Negara, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 1988 Kusumaatmaja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Bina Cipta, 1990 Laski, Harold. A Grammmar Of Politics, London: George Allen & Unwin LTD, 1938. Manan, Bagir, Konvensi Ketatanegaraan, Bandung:Armico, 1987 __________________, Teori Dan Politik Konstitusi, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2000, h. 15 Geoffrey Marshal, Parliamentary Sovereignty And The Commonwealth,Oxford: Oxford University Press, 1957
79
Meny, Yves; Knap, Andrew, Government And Politics In Western Europe, third edition, New York:Oxford University Press,1998 Mulyono, Doto, Kekuasaan MPR Tidak Mutlak, Erlangga, Jakarta, 1985 Naning, Ramdlon, Lembaga Legislatif Sebagai Pilar Demokrasi Dan Mekanisme Lembaga Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Yogyakarta: Liberty 1982 Nurtjahjo, Hendra, Perwakilan Golongan Di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara UI2002. O’Donnel, Schmitter, Whitehead, Transisi Menuju Demokrasi Kasus Eropa Selatan, Jakarta: LP3S, tanpa tahun Plato, Republik, Jakarta:Bentang, 2002 Poerwadarminta, WJS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976 Puspa, Pramadya, Yan, Kamus Hukum, Semarang:CV. Aneka Ilmu, 1977 Purbopranoto, Kuntjoro, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan Dan Peradilan Administrasi, Bandung: Alumni, 1981 Thaib, Dahlan. Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Yogyakarta: Liberty, 1989 Thaib, Dahlan; Hamidi, Jazim; Huda, Ni’matul , Teori Hukum Dan Konstitusi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999 Ranawijaya, Usep, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983 Rapar, J.H, Filsafat Politik Aristoteles, Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 1988. Redaksi Sinar Grafika, Tiga Undang-Undang Dasar: Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat 1950, Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950, Jakarta: Sinar Grafika, 2000 Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, Dan Kaitannya Dengan Kondisi Sosio Politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2002
80
Samsul Wahidin, MPR Dari Masa Kemasa, Jakarta: Bina Aksara, 1986 Sekretariat Jendral MPR RI, Proses Reformasi Konstitusional : Sidang Istimewa MPR 1998, Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, Cetakan 2, Jakarta, 2001 Shklar, Judith, Montesqieu Penggagas Trias Politica, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti,1996 Sekretariat Jendral MPR RI, Himpunan Ketetapan MPRS Dan MPR Tahun 1960 S/D 2002, Jakarta:Sekretariat Jendral MPR RI, 2002 Sjadzali, Munawir, Islam Dan Tata Negara Ajaran Sejarah Dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1993 Simorangkir, J.C.T, Hukum Dan Konstitusi Indonesia, Jakarta:CV. Masagung, 1988 Simanjuntak, Marsilam, Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur Dan Riwayatnya, Jakarta:Pustaka Utama Grafiti, 1994 Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty,1980 Soekanto,
Soerjono. 1986.
Pengantar
Penelitian
Hukum,
Jakarta:
Soekanto, Soerjono, Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1995 Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar Dan Pembentukannya. Jakarta: Kanisius, 1998 Soemantri, Sri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1989 _____________, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, CV. Rajawali, Jakarta, 1981 _____________,Prosedur Dan Sistem Perubahan Konstitusi, Cet.4, Alumni, Bandung, 1987, h.133-134 Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian 2, Jakarta:PT Pradnya Paramita, 2003 _________, Filsafat Hukum Bagian 1, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2002, h.16 Solly, Lubis. Ilmu Negara, Bandung:Mandar Maju, 1989
81
Sunny, Ismail, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Aksara Baru, 1986 ____________, Pembagian Kekuasaan Negara, Jakarta: Aksara Baru, 1985 Taimiyah, Ibnu, Pedoman Islam Bernegara, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1989 Tambunan, ASS, MPR Perkembangan Dan Pertumbuhannya Suatu Pengamatan Dan Analisis, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991 Tim IFES, Sistem Pemilu, Jakarta: IFES,UN, IDEA, 2001 Tim PSHK, Semua Harus Terwakili Studi Mengenai Reposisi MPR, DPR, dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Dan Kebijakan Indonesia, 2000 Tim Sekretariat Negara, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995 Varma, SP, Teori Politik Modern, Jakarta:CV Rajawali, 1990 Wahjono, Padmo, Ilmu Negara, Jakarta: Ind Hill-Co, 1996 Yamin, Muhammad, Proklamasi Dan Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982 Yara, Muchyar, Pengisian Jabatan Presiden Dan Wakil Presiden Di Indonesia Suatu Tinjauan Sejarah Hukum Tata Negara, Jakarta: PT.Nadhillah Ceria Indonesia, 1995 PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia, Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia, Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia, Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia, Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia, Konstitusi RIS 1949
82
MPR, Ketetapan MPR No 1 tahun 1983 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR, Ketetapan MPR No V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-Produk Yang Berupa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara MAKALAH Ashhidiqie, Jimly, Refleksi Tentang Arah Sistem Hukum Dan Kenegaraan Indonesia Pasca Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, 28 Maret 2003 Suny, Ismail, Implikasi Amandemen UUD 1945 Terhadap Sistem Hukum Nasional, disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, BPHN dan DEPKEH HAM RI, Bali, Juli, 2003, h.4 SUMBER INTERNET Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ,http://www.mpr.go.id/h/tentang/index.php, diakses pada tanggal 10 Januari 2006.
Anjar nugroho SB, Kekuasaan Legislatif Dalam Pemikiran Politik Islam, http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/07/24/kekuasaanlegislatif-dalam-pemikiran-politik-islam/
1
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Al Rasyid, Harun, Pengisian Jabatan Presiden, Grafiti, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1993 __________, Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: UI Press, 2002 __________, Himpunan Peraturan Hukum Tata Negara, UI Press, Jakarta:UI Press, 1996. Al-Qardhawy, Fiqih Daulah Dalam Perspektif Al Quran Dan Sunnah, Jakarta: Pustaka AlQautsar,1997 Arinanto, Satya, Hukum Dan Demokrasi, Jakarta: Ind Hill-Co, 1991 Asshiddiqie, Jimly, Pergumulan Peran Pemerintah Dan Parlemen Dalam Sejarah, Jakarta:UI Press, 1996 ____________, Gagasan Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994 ____________, Konsolidasi Naskah UUD 1945
Setelah Perubahan Keempat,Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2002
____________, Teori Dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, Jakarta:Ind.Hill-Co, 1998 Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998 _________________, Demokrasi di Indonesia Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama,1998
2
Busroh, Abubakar, Abudaud, Hukum Tata Negara, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1984 Burns, James; Peltason, J.W.; Cronin, Thomas, Government By The People, New Jersey: Prentice Hall, 1989. Carter, April, Otoritas Dan Demokrasi, Jakarta: CV Rajawali,1985 De Tocqueville, Alexis, Democracy In America, New York: Washington Square Press, 1965
Diamond, Larry, Revolusi Demokrasi Perjuangan Untuk Kebebasan Dan Pluralisme Di Negara Sedang Berkembang, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994 Dicey,AV, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution, London:Mc. Millan Education LTD, 1959
Djokosutono . Ilmu Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985 Dood, Lawrence, Coalitions in Parliamentary Government, New Jersey: Princeton University Press, 1976
Echols, John, Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997 Eidelberg, Paul, The Philosopy Of The American Constitution, Toronto: Collier-Macmillan Canada, 1968 Garner, Bryan, Black’s Law Dictionary , sevent edition, St Paul, Minn:West Group, 1999 Hasan, Ismail, Pemilihan Umum 1987, Jakarta:PT Pradnya Paramita, 1986 Hariadi, Didit, Estiko, Amandemen UUD 1945 Dan Implikasinya Terhadap Pembangunan Sistem Hukum, Jakarta: Tim Hukum Pusat Pengkajian Dan Pelayanan Informasi Sekretaris Jendral, 2001 Hermawan, Eman, Politik Membela Yang Benar Teori Kritik Dan Nalar, Yogyakarta: KLIK dan DKN GARDA BANGSA, 2003,
3
Hornby, AS, Oxford Advanced Learner’s Dictionary Of Current English, London: Oxford University Press, 1987 Huntington, Samuel, Benturan Antara Peradaban Dan Masa Depan Politik Dunia, Yogyakarta: CV Qalam Yogyakarta, 2003 Ibrahim, Harmaily, Majelis Permjusyawaratan Rakyat Suatu Tinjauan Dari Sudut Hukum Tata Negara, Jakarta: Sinar Bakti, 1979 Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: PT. Bina Aksara , 1984 Khaldun, Ibnu, Mukaddimah, Jakarta: Pustaka Firdaus,2000 Kusnardi, Mohammad, Ibrahim, Harmaily, Pengantar Hukum Tata Negara, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 1988 Kusumaatmaja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Bina Cipta, 1990
Laski, Harold. A Grammmar Of Politics, London: George Allen & Unwin LTD, 1938.
Manan, Bagir, Konvensi Ketatanegaraan, Bandung:Armico, 1987 __________________, Teori Dan Politik Konstitusi, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2000, h. 15 Geoffrey Marshal, Parliamentary Sovereignty And The Commonwealth,Oxford: Oxford University Press, 1957 Meny, Yves; Knap, Andrew, Government And Politics In Western Europe, third edition, New York:Oxford University Press,1998 Mulyono, Doto, Kekuasaan MPR Tidak Mutlak, Erlangga, Jakarta, 1985
4
Naning, Ramdlon, Lembaga Legislatif Sebagai Pilar Demokrasi Dan Mekanisme Lembaga Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Yogyakarta: Liberty 1982 Nurtjahjo, Hendra, Perwakilan Golongan Di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara UI2002. O’Donnel, Schmitter, Whitehead, Transisi Menuju Demokrasi Kasus Eropa Selatan, Jakarta: LP3S, tanpa tahun
Plato, Republik, Jakarta:Bentang, 2002 Poerwadarminta, WJS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976 Puspa, Pramadya, Yan, Kamus Hukum, Semarang:CV. Aneka Ilmu, 1977 Purbopranoto, Kuntjoro, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan Dan Peradilan Administrasi, Bandung: Alumni, 1981 Thaib, Dahlan. Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Yogyakarta: Liberty, 1989 Thaib, Dahlan; Hamidi, Jazim; Huda, Ni’matul , Teori Hukum Dan Konstitusi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999
Ranawijaya, Usep, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983
Rapar, J.H, Filsafat Politik Aristoteles, Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 1988. Redaksi Sinar Grafika, Tiga Undang-Undang Dasar: Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat 1950, Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950, Jakarta: Sinar Grafika, 2000
5
Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, Dan Kaitannya Dengan Kondisi Sosio Politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2002 Samsul Wahidin, MPR Dari Masa Kemasa, Jakarta: Bina Aksara, 1986 Sekretariat Jendral MPR RI, Proses Reformasi Konstitusional : Sidang Istimewa MPR 1998, Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, Cetakan 2, Jakarta, 2001
Shklar, Judith, Montesqieu Penggagas Trias Politica, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti,1996 Sekretariat Jendral MPR RI, Himpunan Ketetapan MPRS Dan MPR Tahun 1960 S/D 2002, Jakarta:Sekretariat Jendral MPR RI, 2002
Sjadzali, Munawir, Islam Dan Tata Negara Ajaran Sejarah Dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1993 Simorangkir, J.C.T, Hukum Dan Konstitusi Indonesia, Jakarta:CV. Masagung, 1988 Simanjuntak, Marsilam, Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur Dan Riwayatnya, Jakarta:Pustaka Utama Grafiti, 1994
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty,1980 Soekanto,
Soekanto,
Soerjono. 1986.
Pengantar
Penelitian
Soerjono, Mamudji, Penelitian Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1995
Hukum,
Hukum
Jakarta:
Normatif,
Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: DasarDasar Dan Pembentukannya. Jakarta: Kanisius, 1998 Soemantri, Sri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1989
6
_____________, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, CV. Rajawali, Jakarta, 1981 _____________,Prosedur Dan Sistem Perubahan Konstitusi, Cet.4, Alumni, Bandung, 1987, h.133-134 Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian 2, Jakarta:PT Pradnya Paramita, 2003 _________, Filsafat Hukum Bagian 1, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2002, h.16
Solly, Lubis. Ilmu Negara, Bandung:Mandar Maju, 1989
Sunny, Ismail, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Aksara Baru, 1986 ____________, Pembagian Kekuasaan Negara, Jakarta: Aksara Baru, 1985 Taimiyah, Ibnu, Pedoman Islam Bernegara, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1989 Tambunan, ASS, MPR Perkembangan Dan Pertumbuhannya Suatu Pengamatan Dan Analisis, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991
Tim IFES, Sistem Pemilu, Jakarta: IFES,UN, IDEA, 2001 Tim PSHK, Semua Harus Terwakili Studi Mengenai Reposisi MPR, DPR, dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Dan Kebijakan Indonesia, 2000
Tim Sekretariat Negara, Risalah Sidang Badan Penyelidik UsahaUsaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995
Varma, SP, Teori Politik Modern, Jakarta:CV Rajawali, 1990 Wahjono, Padmo, Ilmu Negara, Jakarta: Ind Hill-Co, 1996
7
Yamin, Muhammad, Proklamasi Dan Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982 Yara, Muchyar, Pengisian Jabatan Presiden Dan Wakil Presiden Di Indonesia Suatu Tinjauan Sejarah Hukum Tata Negara, Jakarta: PT.Nadhillah Ceria Indonesia, 1995 PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia, Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia, Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia, Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia, Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia, Konstitusi RIS 1949 MPR, Ketetapan MPR No 1 tahun 1983 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR, Ketetapan MPR No V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-Produk Yang Berupa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara MAKALAH
Ashhidiqie, Jimly, Refleksi Tentang Arah Sistem Hukum Dan Kenegaraan Indonesia Pasca Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, 28 Maret 2003 Suny, Ismail, Implikasi Amandemen UUD 1945 Terhadap Sistem Hukum Nasional, disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, BPHN dan DEPKEH HAM RI, Bali, Juli, 2003, h.4
SUMBER INTERNET
8
Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ,http://www.mpr.go.id/h/tentang/index.php, diakses pada tanggal 10 Januari 2006.
Anjar nugroho SB, Kekuasaan Legislatif Dalam Pemikiran Politik Islam, http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/07/24/kekuasaanlegislatif-dalam-pemikiran-politik-islam/