IMPEACHMENT PRESIDEN MENURUT UUD 1945 HASIL AMANDEMEN DALAM TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM
OLEH: IRWANTO 103045228184
KONSENTRASI SIYASAH SYAR'IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH DAN SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429H/2008M
IMPEACHMENT PRESIDEN MENURUT UUD 1945 HASIL AMANDEMEN DALAM TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh:
IRWANTO NIM : 103045228184
Di Bawah Bimbingan :
Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag NIP. 150275509
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429H / 2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “Impeachment Presiden Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen dalam Tinjauan Ketatanegaraan Islam” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Kamis, 12 Desember 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah. Jakarta, 12 Desember 2008. Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M. NIP. 150 210 422
Panitia Ujian : 1. Ketua
: Asmawi, M.Ag. NIP. 150 282 394
( ………….…… )
2. Sekretaris
: Sri Hidayati, M.Ag NIP. 150 282 403
( …………….… )
3. Pembimbing
: Dr.H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag NIP. 150 275 509
( …………….… )
4. Penguji I
: Dedy Nursyamsi, S.H, M.Hum NIP. 150 264 001
( …………….… )
5. Penguji II
: Sri Hidayati, M.Ag NIP. 150 282 403
( …………….… )
ـ ا ا ا KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT atas berbagai karunia dan anugerah yang diberikan kepada segenap hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh dengan ikhlas mengharapkan ridha-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada hamba pilihan-Nya yang membawa risalah kebenaran, pemimpin bagi pembawa cahaya keridhaan-Nya yang abadi, yaitu Sayyidina Muhammad SAW, sebaik-baik makhluk dan dipenuhinya dengan akhlak yang sempurna. Penulis bersyukur telah menyelesaikan skripsi yang diajukan sebagai salah satu syarat dalam menempuh gelar Sarjana Hukum Islam di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul “IMPEACHMENT PRESIDEN MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945 HASIL AMANDEMEN DALAM TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM”. Penulis menyadari dengan kerendahan hati bahwa dalam setiap tahap penyusunan skripsi ini begitu banyak bantuan, bimbingan, dorongan serta perhatian yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak/Ibu:
1. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum, Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA.,MM. 2. Ketua Program Studi Jinayah dan Siyasah, Asmawi, M.Ag., dan Sekretaris Program Studi Jinayah dan Siyasah, Sri Hidayati, M.Ag., beserta staff dan seluruh dosen yang telah memberi ilmu, membimbing dan mengarahkan penulis sejak masa perkuliahan hingga berakhirnya skripsi ini. 3. Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag. Selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan ilmunya dan bimbingannya serta do’anya dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Pimpinan Perpustakaan, baik Pimpinan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah yang telah memberikan fasilitas pada Penulis untuk mengadakan studi kepustakaan. 5. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama masa kuliah. 6. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Sugiono dan Ibunda tercinta Emma. Serta keluarga
yang
telah
mendukung
penulis dengan sepenuh hati dalam
menyelesaikan skripsi ini. 7. Syaikh kyai H. Sa’adih dan H. Syahrulloh selaku guru spiritual penulis. Dan guruguru penulis lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan namun tidak mengurangi rasa ta’dzim dan mahabbah penulis kepada beliau-beliau. 8. Teman-teman Siyasah Syar’iyyah angkatan 2003, Ahmad Syaifudin dan family (terima kasih banyak untuk semuanya karena telah bersedia meluangkan
waktunya), Ahmad Nazir Al Batawie, Qosim Al Batawie (makasih atas bimbingan belajar kitabnya sehingga saya dapat lulus ujian komprehensif), Iiz, Iswara , Abd. Nawi , Ana Prawati, dan Rory Artha (Owie) yang mau disibukkan oleh penulis meskipun sedang kerja. Yang selalu mendukung dan memberi semangat kepada penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini. 9. Sang kekasih dan pujaan hati Marissa Putriana K (X), yang selalu menemani penulis saat susah ataupun senang, yang tidak lelah-lelahnya memberikan perhatian dan perhatian, juga bantuan baik materil maupun spiritual kepada penulis untuk selalu menyelesaikan skripsi penulis. Juga keluarganya yang selalu memberikan motivasi kepada penulis untuk dapat menyelesaikannya, agar bisa cepat-cepat kerja. 10. Teman-teman penulis lainnya yang selalu memberikan motivasi kepada penulis. Kakaku Syauqi (A.oki), terima kasih atas bimbingan dan doanya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, Guruh, Dayat, Hasbih, Heru, Djamal, serta Imam, yang membantu penulis ketika kesulitan. Semoga bantuan, bimbingan, dorongan serta perhatian yang diberikan oleh mereka mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis pribadi dan pembaca pada umumnya. Amîn. Jakarta, 26 November 2008
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
iii
KATA PENGANTAR
iv
DAFTAR ISI
v
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
9
D. Review Studi Terdahulu
10
E. Metode Penelitian
13
F. Sistematika Penulisan
15
IMPEACHMENT DALAM PERSPEKTIF POLITIK ISLAM A. Impeachment Menurut Perspektif Politik Islam
16
B. Alasan-alasan Terjadinya Impeachment dalam Islam
18
C. Institusi yang Berwenang Melakukan Impeachment dalam Islam
24
D. Mekanisme Impeachment Menurut Perspektif Politik Islam
39
LEMBAGA
KEPRESIDENAN
NEGARA
KESATUAN
REPUBLIK INDONESIA (NKRI) A. Pemerintahan Presidentil
47
BAB IV
B. Presiden dan Wakil Presiden
53
C. Syarat Presiden dan Wakil Presiden
59
D. Kewenangan Presiden
63
ANALISIS
PROSES
IMPEACHMENT
PRESIDEN
MENURUT UUD 1945 HASIL AMANDEMEN DAN DALAM PERSPEKTIF POLITIK ISLAM A. Mekanisme Impeachment Presiden dalam Ketentuan UUD 1945 Hasil Amandemen
65
B. Alasan-alasan Impeachment Presiden Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen
BAB V
76
C. Proses Pembuktian di MK
86
D. Proses Impeachment di MPR
89
E. Analisis
92
PENUTUP A. Kesimpulan
97
B. Saran
101
DAFTAR PUSTAKA
103
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai negara Hukum yang mengidealkan prinsip supremasi hukum, Indonesia telah mengalami perubahan konstitusi dan juga perubahan dalam sistem ketatanegaraan, seperti perubahan atas Undang-Undang Dasar 1945. Setelah diselenggarakannya pemilihan umum pada tahun 1999, dibentuklah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan komposisi keanggotaan tidak ada partai politik yang menguasai mayoritas mutlak kursi dalam MPR. Dalam sidangnya diadakan pada bulan oktober 1999 untuk pertama kali, MPR menggunakan pasal 37 UUD 1945 untuk mengubah UUD 1945. Dalam kepustakaan teori konstitusi hal itu disebut sebagai formal amandement. Ternyata, setelah tahun 1999 MPR masih melakukan perubahan terhadap UUD 1945, hal itu dilakukan berturut-turut pada bulan Agustus 2000, pada November 2001, dan selanjutnya pada Agustus 2002. Dalam perubahan Undang-Undang Dasar yang dilakukan selama empat kali berturut-turut itu telah terjadi perubahan terhadap sistem ketatanegaraannya.1 Dalam bahasa Inggris, to amend the Constitution artinya mengubah Undang Undang Dasar dan Constitutional Amandement artinya perubahan Undang-Undang Dasar mempunyai makna yang berbeda. Dengan demikian kata
1
Firmansyah Arifin dkk, Hukum dan Kuasa Konstitusi, (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2004), h. 15
mengubah dan perubahan yang berasal dari kata dasar “ubah” sama dengan to amend atau amandement, dan pemakaian kata yang lebih tepat adalah amandement. Lebih lanjut kata “amandement” itu diserap atau diIndonesiakan menjadi “amandemen”, dan kata mengubah berarti menjadikan lain atau menjadi lain dari, sedangkan kata perubahan berarti berubahnya sesuatu (dari asalnya). Dengan demikian apabila kita menyebut kata perubahan berarti sama dengan “amandemen”, tetapi dalam Bahasa Indonesia resmi yang dipergunakan adalah kata “perubahan”2 Salah satu persoalan penting setelah terjadinya empat kali perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah adanya ketentuan yang secara eksplisit mengatur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Alasan pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden disebutkan secara limitatif dalam konstitusi, yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden. Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 7A dan 7B perubahan ketiga UUD 1945.3
2
Sri Soemantri, Prosedur Dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1987), Cet.4, h. 133-134. 3
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002), h. 42-43 dan 61-62
Sebelum terjadinya perubahan terhadap UUD 1945, Presiden dan / atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dengan alasan-alasan yang bersifat politik, bukan yuridis. Hal ini tidak lazim diterapkan di negara dengan sistem pemerintahan presidensial. Oleh karena itu, Perubahan ketiga UUD 1945 memuat ketentuan pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang semata-mata didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat yuridis dan hanya mengacu pada ketentuan normatif-limitatif yang disebutkan di dalam konstitusi. Selain itu, proses pemberhentian tersebut hanya dapat dilakukan setelah didahului adanya proses konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden. Adanya kemungkinan pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR inilah yang secara teknis ketatanegaraan disebut dengan istilah Impeachment. Apabila menelusuri perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia hampir setengah abad di bawah UUD 1945, terlihat bahwa persoalan yang mendasar tidak hanya terletak pada tidak lugasnya UUD 1945, akan tetapi lebih kepada kelemahan-kelemahan elementer yang terdapat dalam UUD 1945 itu sendiri. Kasus ketatanegaraan yang diawali dengan kejatuhan presiden Soeharto di tengah
masa jabatannya pada awal reformasi 1998 yang diikuti krisis dalam berbagai sektor kehidupan terutama hukum dan moral, memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan secara mendasar terhadap UUD 1945. Salah satu penyebab krisis ketatanegaraan antara lain terletak pada ketidakmampuan penyelenggara negara. Seperti penyelewengan kekuasaan eksekutif yang cenderung otoriter dan berujung pada praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Oleh karena itu di era reformasi agenda tuntutan perubahan UUD 1945 menjadi suatu kebutuhan yang mendesak untuk dilaksanakan. 4 Sesuai dengan sistem presidensial, keberadaan institusi, fungsi, tugas Presiden dalam menjalankan pemerintahan tegas diatur dalam UUD dan perundang-undangan, termasuk calon Presiden dan/ atau Wakil Presiden dipilih oleh rakyat dalam satu paket pun diatur di dalamnya. Karena kedua jabatan itu dipandang sebagai satu kesatuan institusi sehingga untuk menjatuhkan Presiden di masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan pelanggaran hukum. Satusatunya jalan untuk membatasi agar institusi kepresidenan tidak larut dalam persoalan-persoalan pribadi atau kelompok, diperlukan pengaturan institusi kepresidenan dan sikap tindak Presiden yang diikat dengan norma-norma hukum yang tegas. Implementasi hukum membutuhkan adanya suatu kekuasaan terutama agar hukum tidak berarti hanya serangkaian aturan atau kaidah moral atau berlaku
4
Bambang Wijoyanto, Konstitusi Baru Melalui Komisi Independen, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), h. Xii
sebaliknya. Kekuasaan juga membutuhkan hukum paling tidak untuk dua kondisi;5 1) Adalah guna memberikan legitimasi terhadap penyelewengannya di dalam kehidupan masyarakat. Berdasar kepada kaidah-kaidah hukum, otoritas kekuasaan ataupun kewenangan yang dianggap dan diakui sah oleh masyarakat yang dikuasainya. 2) Bahwa hukum dibutuhkan agar kekuasaan tersebut dapat menjelma dan berkembang tidak sewenang-wenang. Sikap tindak pejabat administrasi negara dalam menjalankan kekuasaan dapat berupa sikap tindak yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan sikap tindak yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sikap tindak presiden yang bertentangan dengan perundang-undangan dapat berupa: 1) Sikap tindak yang melebihi kekuasaan (exess de pouvier). 2) Sikap tindak menyalahgunakan kekuasaan (deternemount depouvier). 3) Sikap tindak bertentangan dengan hukum perdata (onrecmatigedaad). 4) Sikap tindak yang bertentangan dengan hukum pidana.
5
Jimly Ashiddiqie dkk, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, (Jakarta: Pusat Studi HTN FHUI, 2002), h. 13
Setelah perubahan UUD 1945 berdasarkan ketentuan pasal 7A pada prinsipnya menegaskan bahwa presiden dapat dimintai pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban presiden yang berujung dapat memberhentikan Presiden jika dalam masa jabatannya karena sikap tindak Presiden yang bertentangan dengan hukum (pidana) secara rinci diatur dalam pasal 7A UUD 1945.6 Perbuatan melanggar hukum atau bertentangan dengan hukum dapat saja dilakukan Presiden apabila Presiden melakukan pelanggaran yang telah ditetapkan dalam UUD maupun peraturan perundang-undangan lain, karena tidak jelasnya batasan-batasan kekuasaan yang dimiliki oleh Presiden. Jika terjadi demikian maka Presiden dapat saja dikatakan sudah melakukan pelanggaran terhadap jiwa dan semangat UUD 1945, yang merupakan salah satu butir haluan penyelenggaraan negara yang ditentukan dalam UUD 1945. Dalam Islam, pemimpin bukanlah penguasa yang terjaga dari kesalahan. Tapi dia adalah manusia biasa yang boleh salah dan benar, boleh adil dan pilih kasih. Menjadi hak kaum Muslimin untuk meluruskan pemimpin yang berbuat salah dan meluruskan penyimpangannya.7
6
Jimly Ashiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, (Yogyakarta: FH. UII, 2003), h. 10 7
Yusuf Al-Qardawy, Fiqh Daulah dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, Terjemahan Kathur Suhardi, dari Min Fiqhid-Daulah Fil-Islam, (Kuala Lumpur: Pustaka Syuhada, 2001), Cet II, h. 224
Menurut Al-Mawardi, yang menyebabkan rakyat wajib mentaati dan membela kepala negara adalah selama tidak berubah keadaannya. Yang dimaksud dengan berubah keadaannya adalah kepala negara yang cacat keadilannya, dan sesuatu menimpa fisiknya sehingga tidak mampu menjalankan pemerintahan. 8 Ulil amri ditaati karena ia menaati Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa di antara ulil amri itu menyuruh dengan apa yang sesuai dengan yang diturunkan Allah dan Rasul-Nya, wajiblah umat menaatinya. Tetapi barang siapa yang menyuruh (memerintah) dengan menyalahi apa yang dibawa oleh Rasul, perintah itu tidak boleh didengar dan ditaati. Sebab, ketentuan sunnah telah mengatur tentang batasbatas ketaatan terhadap ulil amri dan melarang rakyat untuk menaatinya, jika ulil amri menyalahi hukum yang telah diatur oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Hadits itu antara lain adalah: " اء ا ا وا:و ا ر ا ا ا و ل 9
( ﻡ- )روا، $ % ن اﻡ (' & و،'( ﻡ+ ان ی% ا- وآ/0ا
Artinya: “Dari Ibnu’Umar ra. Dari Nabi SAW., beliau bersabda: “Seorang muslim wajib mendengar dan taat baik dalam hal yang disukainya maupun hal yang dibencinya kecuali bila ia diperintah untuk mengerjakan maksiat. Apabila ia diperintah untuk mengerjakan maksiat maka ia tidak wajib untuk mendengar dan taat”. (H.R. Muslim)
8
Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran Sejarah Dan Pemikiran, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999), h. 261-262 9
Syekh al-Islam Muhyiddin Abi Zakariya, Terjemahan kitab Riyadhus Shalihin I, oleh Muslich Shabir, (Jakarta: PT. Karya Toha Putra, 2004), h. 340
Oleh karenanya, pemimpin yang tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagai pemimpin kepala negara haruslah diberhentikan. Berdasarkan latar belakang tersebut, dalam skripsi ini penulis merasa tertarik untuk mengangkatnya menjadi sebuah skripsi yang berjudul: “IMPEACHMENT PRESIDEN MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945 HASIL AMANDEMEN DALAM TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Untuk memudahkan pembatasan masalah dan focus kajian skripsi ini, penulis akan membatasi masalah dan merumuskan permasalahan. Pembatasan permasalahan merupakan hal yang penting untuk menghindari dari melebar dan meluasnya obyek
kajian,
sedang
perumusan
masalah
ditujukan
untuk
mengarahkan alur bahasa dan menjawab berbagai permasalahan sebagai suatu substansi dari skripsi ini. Berdasarkan atas pemaparan latar belakang skripsi ini, penulis membatasi permasalahan pada mekanisme impeachment Presiden yang terdapat di UUD 1945 hasil amandemen, dan kemudian ditelaah secara komparatif menurut hukum Islam. Dari pembatasan masalah di atas, secara lebih rinci perumusan masalah dalam skripsi ini lebih mengkhususkan pada beberapa pembahasan sebagai berikut:
1. Bagaimana impeachment
alasan-alasan Presiden
impeachment
menurut
UUD
Presiden 1945
dan
dan
mekanisme
menurut
tinjauan
ketatanegaraan Islam? 2. Bagaimana pandangan menurut ketatanegaraan Islam terhadap alasan dan mekanisme impeachment Presiden menurut Undang-Undang Dasar 1945 dengan ketatanegaraan Islam?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui apa saja alasan-alasan impeachment Presiden dan mekanisme impeachment Presiden menurut UUD 1945 dan tinjauan ketatanegaraan Islam. 2. Untuk mengetahui tentang pandangan menurut system ketatanegaraan Islam terhadap alasan dan mekanisme impeachment Presiden menurut UUD 1945 dan dalam tinjauan ketatanegaraan Islam. Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai tambahan tentang ilmu pengetahuan dan wawasan tentang impeachment pada umumnya. Manfaat praktis bagi penulis, pembaca, serta masyarakat pada umumnya, adalah mengetahui apa pengertian impeachment dalam ilmu hukum, dan menurut UUD 1945. Secara akademis dapat bermanfaat bagi para fakultas akademisi Fakultas Syariah dan Hukum pada umumnya dan bagi program studi Jinayah Siyasah
Syar’iyyah khususnya, sebagai tambahan referensi tentang studi komparatif mengenai impeachment baik dalam UUD 1945 dan dalam Hukum Islam.
D. Review Studi Terdahulu Dari literatur yang telah penulis telaah, terdapat beberapa karya tulis yang dijadikan acuan awal oleh penulis, dan untuk menjaga keaslian judul yang akan penulis ajukan dalam skripsi ini perlu kiranya penulis uraikan juga beberapa buku atau karangan yang berkaitan atau mengkaji isu seperti ini. Skripsi dengan Judul: Implementasi Syura Pada Masa Al-khulafa AlRasyidun Dan Relevansinya Pada Masa Kini. Oleh Kholik, program studi Siyasah Syar’iyyah Jurusan Jinayah Siyasah Tahun 2006. bertolak pada substansi musyawarah yang diimplementasikan pada masa kepemimpinan dan khalifah pertama dan artikulasi yang dihadirkan melalui pemikiran dan pandangan ulama ahli hukum islam pada masa kini dan tentunya perkembangan konsep musyawarah yang diterapkan saat ini. Skripsi dengan Judul: Al-Sultah Al-Tasyri’iyyah di Indonesia: Studi Terhadap Lembaga Negara Pasca Amandemen UUD’1945. Oleh Ihdi Karim Makin Ara Program Studi Siyasah Syar’iyyah, Jurusan Jinayah Siyasah Tahun 2004, memberikan deskripsi mengenai studi lembaga-lembaga negara di Indonesia (Pasca amandemen 1945) dalam klasifikasi Al-Sultah Al-Tasyri’iyyah. Secara spesifik skripsi ini mengulas keberadaan, kedudukan dan peranan serta hubungan antar lembaga satu dengan lembaga yang lain.
Dalam buku Hukum dan Kuasa Konstitusi karya Arifin Firmansyah dkk, dijelaskan
tentang
keberadaan
Mahkamah
Konstitusi
dalam
sistem
ketatanegaraan, hukum acara, kewenangannya, dan buku ini juga merupakan kumpulan dari kegiatan seminar yang diambil dari kegiatan seminar dan diskusi public tentang RUU Mahkamah Konstitusi yang diselenggarakan oleh KRHN (Konsorsium Reformasi Hukum Nasional ). Dalam buku Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer, dijelaskan tentang gagasan dan pemikiran Jimly Assyiddiqie dalam konstitusi dan ketatanegaraan Indonesia kontemporer, konstitusi dan konstitusionalisme, negara, demokrasi dan lembaga politik, seputar amandemen UUD 1945. Buku ini mendokumentasikan
perkembangan
pemikiran
tentang
konstitusi
dan
ketatanegaraan pasca perubahan UUD 1945 yang kemudian diharapkan dapat berkembangnya pemikiran mengenai hukum, konstitusi, dan ketatanegaraan Indonesia. Dalam buku Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, membahas tentang hukum tata negara dan kepemimpinan agama. Imamah (kepemimpinan negara) adalah dasar bagi terselenggaranya dengan baik ajaranajaran agama dan pangkal bagi terwujudnya kemaslahatan umat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi aman dan sejahtera.
Dalam buku Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, yang ditulis oleh Ridwan HR, SH., M.hum. Berisikan tentang sejarah pemerintahan Islam dari periode khilafah nubuwah dilanjutkan khilafah rasyidah, sert atentang prinsip-prisnsip siyasah dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Dalam buku Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman, yang ditulis oleh M. Hasbi Amiruddin. Bahwa buku ini berisi tentang pemikiran ataupun gagasan Fazlur Rahman mengenai konsep negara Islam Dalam skripsi tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Menurut UU No. 23 tahun 2003 dalam Perspektif Politik Islam yang ditulis oleh Sugiyono. Skripsi ini membahas tentang bagaimana konsep PEMILU untuk memilih khalifah (Presiden) menurut UU RI No. 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam perspektif politik Islam. Secara umum dan komprehensif tinjauan review dan pustaka diatas telah banyak menyinggung mengenai penerapan konsep pengangkatan atau pemilihan presiden atau khalifah serta membahas lebih sedikit tentang pemberhentian presiden. Akan tetapi, belum terdapat suatu kajian perbandingan yang spesifik mengenai mekanisme impeachment presiden, baik menurut UUD 1945 maupun menurut sistem ketatanegaraan Islam. Atas dasar itu, penulis berinisiatif untuk meninjau lebih dalam mengenai mekanisme impeachment dalam sistem ketatanegaraan Islam dengan UUD 1945 yang merupakan perbedaan spesifik dibanding karya tulis yang telah ada.
Mengenai pedoman penulisan skripsi ini, penulis menggunakan “Buku Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah & Hukum. 10 Penggunaan dari berbagai macam tinjauan pustaka ini untuk menjadi acuan dalam melaksanakan penulisan agar dapat mencapai tujuannya. Dengan adanya patokan diharapkan dapat membuat penulis dapat lebih mudah dalam melaksanakan penulisan skripsi.
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian dengan cara mengumpulkan bahan-bahan yang berasal dari buku-buku, artikel-artikel, makalah, majalah, koran serta bahan-bahan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diangkat. 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan, yaitu dengan membaca buku atau literatur yang relevan dengan topik masalah dalam penelitian ini.
10
Tim Penyusun, Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2007.
3. Sumber Data a. Data Primer, yaitu buku-buku yang berkaitan dengan bahan penulisan antara lain UUD 1945, UU No.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan buku-buku lain yang berkaitan dengan bahasan penulisan. b. Data Sekunder yang Penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu artikel-artikel dan makalah-makalah yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. 4. Teknik Analisis Data Pada tahap analisis data, data diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian. Adapun data-data tersebut dianalisis dengan metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode menganalisis dan menjelaskan suatu permasalahan dengan memberikan suatu gambaran secara jelas hingga menemukan jawaban yang diharapkan. 5. Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulisan mengacu pada buku "Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007".
F. Sistematika Penulisan Bab I:
Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian dan teknik penulisan, sistematika penulisan.
Bab II:
Tinjauan umum tentang pengertian impeachment dalam perspektif politik Islam, alasan-alasan terjadinya impeachment dalam Islam, institusi yang berwenang melakukan impeachment dalam Islam mekanisme impeachment menurut perspektif politik Islam.
Bab III:
Lembaga Kepresidenan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), terdiri dari, pemerintahan presidentil, Presiden dan Wakil Presiden, syarat-syarat Presiden dan Wakil Presiden, kewenangan Presiden.
Bab IV:
Analisis proses impeachment menurut UUD 1945 hasil amandemen yang mencakup mekanisme dan alasan-alasan impeachment menurut ketentuan UUD 1945 hasil amandemen, proses pembuktian MK, dan MPR, serta analisis.
Bab V:
Penutup, berisikan tentang kesimpulan dan saran.
BAB II IMPEACHMENT DALAM PERPEKTIF POLITIK ISLAM
Sebelum membahas lebih dalam tentang impeachment dalam Islam, perlu diketahui bahwa, Impeachment berasal dari kata impeach yang dalam bahasa Inggris sinonim dengan kata accuse atau charge yang berarti menuduh atau mendakwa. Impeachment merupakan sarana yang memberikan kemungkinan dilakukannya pemberhentian seorang Presiden atau Pejabat Tinggi Negara (a public official) dari jabatannya itu berakhir.11 Impeachment adalah tindakan politik dengan hukuman berhenti dari jabatan dan kemungkinan larangan untuk memegang suatu jabatan, bukan hukuman pidana (criminal conviction) atau pengenaan ganti kerugian perdata.12
A. Impeachment Dalam Perspektif Politik Islam Impeachment dalam Islam dapat diartikan di dalam pengertian al-khalla’ (pencopotan); adalah mencabut, memecat, menelanjangi, menyingkirkan. Ibnu Manzur mengatakan, kata mencopotnya sama pengertiannya dengan mencabutnya; hanya saja di dalam istilah pemecatan terkandung makna “penangguhan atau
11
Achmad Roestandi., Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), Cet I, h. 168 12
Iwan Permadi, Jurnal Konstiusi, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2007), Volume 4 No.3, h. 131
proses secara perlahan”. Dengan demikian, istilah al-khalla’ (“pencopotan”) ini erat kaitannya dengan an-nakstu (“pelanggaran”). Jadi istilah pelanggaran dan pemecatan terkandung pengertian “tipu daya muslihat”. Dan di dalam syara’ atau hukum, istilah tersebut tidak diperkenankan.13 Di dalam shahih Muslim, Abu Hurairah ra meriwayatkan sebuah hadits Bahwa Rasulullah SAW bersabda:
ٌ ُDَ ر:ٌََِْا بٌ اAَ ََُِْْْ و8َیُ@َآ%ََیَْ>ُُإَِِْْ و%َْ مَ اْ=َِ ﻡَِ و:ََُُُ ا ی8َ7َُی% ََ&َ ث4 َLْ(َ ٍَ(ِْ ِ ً&ُDَُ ٌ َ یََ رDَ وَر,ِ ِْ Iَ&َةِ یََْ(ُُ ﻡَِ اِْ اGِْ ٍْ ِ ﻡَءEَ َ&َ َ ٌ ُDَ وَر,َRِ ََِْ ذP َ&َ َ:ُ وَه,ََ ILَ'َ َAَ وَآ,َ@َ7ِ ََ ﻡAَ0َ% َ َُ ِ اNََMَِْ'َ(ْا ِNَ وَاِنْ َْ یُ(ُِْ ﻡَِْ َْ ی,"َُِ ﻡَِْ و- ََِْ نْ اTَ ,َُْ ﻥLُ I%َِیُ َ یِ(ُُ ا% ًیََ اِﻡَ م 14
( ﻡ- )روا
Artinya: “Ada tiga orang yang tidak akan berjumpa dan berbicara kepada Allah di hari kiamat kelak, tidak disucikan dan bagi mereka siksa yang amat pedih, yaitu: orang yang tidak mau memberi minum orang dalam perjalanan (musafir) padahal ia kelebihan air, orang yang membai’at seorang pemimpin karena pertimbangan duniawi semata (hanya dilaksanakannya jika menguntungkan dirinya); orang yang berjual beli suatu barang sesudah Asar, lalu ia bersumpah demi Allah, sungguh barang itu telah ditawar sekian dan sekian, lalu ia dibenarkan (oleh pembeli) maka ia (pembeli) mengambil (membeli)-nya sedangkan ia (yang bersumpah) tidak di tawar senilai itu pada barangnya”. (H.R. Muslim)
13
Yahya Ismail, Hubungan Penguasa dan Rakyat dalam Prespektif Sunnah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm.191-192 14
109
Muslim An-Naisabury, Shahih Muslim , (Beirut: Darul Fikri, 1978), Cet III, Bab Iman, h.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, al-khalla (pencopotan) dapat dikatakan dengan pemecatan atau bisa disebut juga dengan pemakzulan, namun di dalam ketatanegaraan Indonesia lebih dikenal dengan sebutan pemberhentian.15 Yang dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia terdapat tiga Presiden (Soekarno, Soeharto, Abdurrahman Wahid) yang berhenti sebelum masa jabatannya berakhir. Soekarno dan Abdurrahman Wahid karena melanggar konstitusi, sedangkan Soeharto mundur secara sepihak, karena mendapat tekanan dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia (people power).16
B. Alasan-alasan Terjadinya Impeachment dalam Perspektif Politik Islam Jika seseorang menduduki kepemimpinan negara Islam tidak berarti bahwa ia tetap akan menjadi kepala negara tanpa ada yang boleh menggangu gugat, apapun yang terjadi, dan apapun yang ia taklukan meskipun bertentangan dengan syariah Islam.17 Khalifah secara otomatis akan diberhentikan, manakala terjadi perubahan keadaan di dalam dirinya dengan perubahan yang langsung mengeluarkan dari jabatan khilafah.
15
Yahya Ismail, Hubungan Penguasa dan Rakyat dalam Prespektif Sunnah, h. 193
16
Iwan Permadi, Jurnal Konstiusi, h. 131
17
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, Terjemah dari Musthalah Maufur, Kitab an-Nizham as-Siyasi fil-Islam, (Jakarta: Robbani Press, 1999), h. 174
Khalifah juga wajib diberhentikan apabila terjadi perubahan keadaan dalam dirinya walaupun perubahan tersebut tidak langsung mengeluarkannya dari jabatan khilafah, namun menurut syara’ dia tidak boleh melanjutkan jabatannya18. Para Yuris Muslim menyebutkan bahwa integritas pribadi (al-adalah) yang rusak dan cacat fisik, merupakan alasan yang sah diberhentikannya kepala negara. Alasan lain berhentinya seorang khalifah adalah karena meninggal dunia, pengunduran diri, tertawan musuh, murtad, hilang akal karena pikun atau gila. Abdul Qadim Zallum membuat dua klasifikasi pemberhentian khalifah: 1. Perubahan keadaan yang secara otomatis mengeluarkan khalifah dari jabatannya, yaitu terdiri dari; a) Kalau khalifah murtad dari Islam19: Apabila imam keluar dari agama Islam riddah (seperti jika ia secara terus terang mengeluarkan kata-kata kufur atau mengingkari salah satu prinsip agama Islam, atau mendustakan Al-Qur’an atau menafsirkan ayat Al-Qur’an menurut seleranya sendiri dan bertentangan dengan maksud yang disepakati, atau melakukan perbuatan yang jelas-jelas menunjukkan kekufuran maka dengan sendirinya
keabsahan imamah-nya
telah
gugur.20
Karena
Islam
18
Taqqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam; doktrin sejarah dan realitas empirik; Terjemah dari Moh. Mahfud Wachid, Kitab Nidhamul Hukmi fil Islam, Cet I, (Bangil: AlIzzah, 1996), h. 135 19
Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, (Yogyakarta: FH UII Press, 2007), h. 275 20
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, h. 176
merupakan hal salah satu syarat pengangkatan khilafah. Bahkan ini merupakan syarat yang pertama kali dan syarat untuk bisa terus menjadi khilafah. Siapa saja yang murtad dari Islam, dan menjadi kafir, maka wajib dibunuh kalau dia tidak kembali dari kemurtadannya. Karena orang kafir itu tidak boleh menjadi penguasa atas kaum muslimin. Demikian orang kafir tidak diperbolehkan untuk memiliki jalan untuk menguasai orang-orang mukmin. Hal sesuai dengan firman Allah SWT sebagai berikut: Pertama, Firman Allah SWT:
& "#$% ⌧ ! ⌧ ./0%
#-
)*+,
' (
7689 - 23456 ⌧ 1+ :;<)=)>"#$% :J
)*+,
/BC☺-+ H
G
' ( :?@6A
EB% F☺:
Q.☺58R1: P KLMN O 23456 H ST./:UJ #+ Z⌧?L.[ EB% -Y V@ (١٤١ :٤ /) ا ء Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu?" dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka
Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”. Kedua, Firman Allah SWT: ' (N% Q\]^+_`5 ' /?+,+ gh!i V
' /?+,
Ve_+f,+
bF[c3
jkCl5B
&
V@e1
jkN
@+m83
1
'
)*B% ,)⌧&
RbF[c3 +
Y?: + & B% / p3."
.no;
G
239"!.
(٥٩ :٤ / ) ا ءZ⌧+_ F#q>Cr+,+ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. Maka kata minkum (dari kamu sekalian) bersamaan dengan kata ulil amri tersebut merupakan pernyataan yang tegas, tentang adanya syarat Islam bagi seorang waliyul amri, selama ia masih menjadi waliyul amri. Kalau dia telah menjadi kafir, maka dia tidak lagi menjadi bagian dari kita (kaum muslimin). Dengan demikian sifat yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an bagi seorang waliyul amri, yaitu harus Islam itu telah hilang. Karena itu, khalifah akan dikeluarkan dari jabatan khilafah karena kemurtadannya dan dia tidak
akan kembali menjadi khalifah kaum muslimin sehingga hukum menta’atinya menjadi tidak wajib. b) Kalau khalifah gila total (parah) yang tidak bisa disembuhkan21/ hilang akal; apabila imam kehilangan akal atau terganggu mentalnya sehingga membuatnya gila dalam waktu pendek atau lama maka imam dalam hal ini keluar dari imamah dan berhak diberhentikan. 22 Hal itu, karena memang akal merupakan salah satu syarat pengangkatan jabatan khilafah, disamping hal itu juga merupakan syarat keberlangsungan akad (syurt istimrar) hal ini berdasarkan sabda Rasullulah SAW: Artinya: “Telah diangkat pena itu atas tiga orang: …Orang gila, hingga sembuh.” Dalam riwayat lain: “Orang gila, yang kesadarannya, hingga sembuh”. Siapa saja yang diangkat pena atasnya, maka dia tidak sah untuk mengurusi urusannya sendiri, maka tentu dia juga tidak boleh tetap menjadi khalifah yang mengurusi urusan orang-orang. Dan hal itu merupakan sesuatu yang lebih jelas — karena mengurusi urusannya sendiri saja tidak boleh, apalagi mengurusi urusan orang lain. 23
21
Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 275
22
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, h. 174
23
Taqqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, h. 136
c) Kalau khalifah ditawan musuh yang kuat24, yaitu jatuh di bawah kekuasaan dan cengkraman musuh, ia digerakkan olehnya semaunya sehingga tidak bisa mengatur lagi urusan kaum muslimin sebagaimana yang dikehendaki. 25 2. Perubahan keadaan khalifah yang tidak secara otomatis mengeluarkannya dari jabatan khalifah namun dia tidak boleh mempertahankan jabatannya yaitu terdiri dari: a) Khalifah telah kehilangan ‘adalah-nya, yaitu telah melakukan kefasikan terang-terangan. Hal itu karena memang ‘adalah merupakan salah satu syarat keberlangsungan akad pengangkatan khilafah. Karena ketika Allah SWT telah mensyaratkan ‘adalah (adil) pada saksi, maka syarat tersebut justru lebih utama bagi keberkangsungan akad pengangkatan jabatan khalifah.26 b) Khalifah berubah bentuk kelaminnya menjadi perempuan atau waria. 27 Hal itu karena salah satu syarat akad pengangkatan jabatan khilafah, bahkan menjadi syarat keberlansungan akadnya adalah laki-laki. Karena adanya sabda Rasulullah SAW:
24
Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 275
25
Taqqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, h. 139
26
Ibid, h. 137
27
Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 275
Artinya: “Tidak akan pernah suatu kaum yang menyerahkan urusan kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita”.28 c) Khalifah menjadi gila namun tidak parah, terkadang sembuh terkadang gila. d) Khalifah tidak lagi dapat melaksanakan tugas-tugas sebagai khalifah karena suatu sebab, baik karena cacat anggota tubuhnya atau karena sakit keras yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya. e) Adanya tekanan yang menyebabkan khalifah tidak mampu lagi menangani urusan kaum Muslimin menurut pikirannya sendiri, yang sesuai dengan hukum syara’. 29
C. Institusi Yang Berwenang Melakukan Impeachment dalam Perspektif Politik Islam Dalam hal ini, Islam tidak menentukan institusi mana yang berwenang melakukan impeachment (pemberhentian) Presiden. Namun menurut pendapat Abdul Rashid Moten, institusi yang berwenang melakukan impeachment Presiden ada 3:
28
Taqqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, h. 139
29
Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 275
1. Mahkamah Mazhalim Mahkamah Mazhalim adalah lembaga peradilan yang dimaksud untuk merealisir keadilan di tengah kehidupan masyarakat, yang fungsinya untuk menegakkan hukum di wilayah kekuasaan negara, atau sebagai media untuk mengimplementasikan ajaran Islam di bidang penegakkan dan perlindungan hukum. Di dalam Al-Quran disebutkan beberapa ayat yang mengatur tentang keadilan dan penegakkan dan perlindungan hukum, di antaranya; ' +m8⌧/ +, 3%_ 0 1 .U6 t+, 00B
V@e1 E
s5B5%!i
*!C☺.r
;1+
0 1 G RbC^./: ' F☺:+% +,
4wr
K/
v/-
) B39 ☺/?4⌧x ⌧ 0 1 (٥٨ :٤ /ا ء Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat”.
' N%
9 )>R1: V@
+
Q\]^+_`5
E%oc y
' -
.^Q\K
<:.^o:
++,
9>K4-+,
J?N⌧{ z 1 G E3:!i + .☺\| GV@e ++, H B3R1
+,
lM}~
' /n!
++,
S⌧
'
++, ' 46 1+ G ' ^ / ⌧
0
' K23 //
(١٣٥:٤/ ) ا ءB3L." /6.☺ / .☺ Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benarbenar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”.
.☺
AB O
Cn
v
S+
+,
Cr H
/t⌧? @ +
< +,+ bl-+,
/t t+,
bl-+, % / # ]B!:4 '
'
.n:?1
H
+, H F^23 v`-+, @6 A
\|-/;
00B
/n
"#
%$\"O9
B3⌧
0 1+
(٤٩ :٥/ ةL\ ) اK19>5⌧4 Artinya: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah diturunkan Allah),
Maka
Ketahuilah
bahwa
Sesungguhnya
Allah
menghendaki
akan
menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”. Dalam ayat-ayat Al-Qur’an ini tidak ditentukan bahwa keadilan dan perlindungan hukum itu harus dilakukan dengan sistem kelembagaan atau individu yang diserahi kekuasaan tertentu. Dalam perspektif hukum Islam, sesungguhnya yang penting bukan saja bagaimana keadilan dan perlindungan hukum itu diwujudkan di tengah kehidupan masyarakat, tetapi apakah keadilan dan perlindungan hukum itu dapat direalisir dalam kehidupan manusia secara efektif dan efisien. Mahkamah mazhalim merupakan lembaga yang bertugas memberikan penerangan dan pembinaan hukum, menegakkan hukum, dan memutuskan perkara. Dalam pelaksanaannya, lembaga ini dijalankan oleh tiga pelaksana peradilan, yakni; Hakim, (" =)ا, yang bertugas memberi penerangan dan pembinaan hukum, menyelesaikan sengketa, perselisihan dan persoalan wakaf. Muhtasib, yakni pelaksana hisbah atau yang bertugas melaksanakan amar ma’ruf nahy munkar,
menegakkan
pelanggaran
hak-hak
ketertiban, tetangga,
mencegah dan
terjadinya
menghukum
pelanggaran-
orang-orang
yang
mempermainkan syariat Islam. Qadhi Mazhalim ( >) " ا, yang bertugas
menyelesaikan perkara yang tidak dapat diputus oleh Qadhi dan Muhtasib atau menyelesaikan perkara banding.30 Oleh karena itu, apabila kepala negara tidak memenuhi syarat sebagai kepala negara dan telah memiliki kriteria akan adanya alasan-alasan yang dapat memberhentikannya maka institusi atau lembaga yang berhak memberhentikannya adalah Mahkamah Mazhalim. Mahkamah Mazhalimlah yang paling berhak menentukan keputusan (memvonis berhenti dan tidaknya), kalau memang keadaan khalifah telah mengalami perubahan yang bisa mengeluarkannya dari jabatan khilafah. Dia juga yang memiliki wewenang untuk memberhentikan atau memberi peringatan kepadanya. Hal itu dilakukan kalau terjadi salah satu dari beberapa hal yang menyebabkan diberhentikannya Khalifah, sementara dalam hal ini yang berhak memberhentikannya adalah Mahkamah Mazhalim. Beberapa hal itu harus dihilangkan, dimana dia merupakan hal-hal yang harus ditetapkan, dan untuk menetapkannya harus diputuskan oleh seorang qadli. Begitu pula wewenang qadli mazhalim untuk memberhentikan khalifah itu adalah wewenang menjatuhkan vonis untuk menghilangkan kedzaliman. Sebab kalau salah satu kondisi yang bisa menjadikan seorang khalifah diberhentikan atau kondisi yang menjadikannya wajib diberhentikan
30
Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 286-287
itu ada, maka kalau kondisi itu tetap ada itu merupakan suatu kedzaliman. Karena Mahkamah Mazhalimlah yang bertugas memberhentikannya (agar kedzaliman itu hilang). Karena itu sesungguhnya vonis Mahkamah Mazhalim untuk
memberhentikan
khalifah
tersebut
hanyalah
vonis
untuk
menghilangkan kedzaliman. Oleh karena itu, Mahkamah Mazhalim memiliki wewenang untuk memutuskan apapun bentuk kedzaliman itu.31 Karena Mahkamah Mazhalimlah yang berhak memutuskan hilangnya kedzaliman-kedzaliman tersebut, dimana qadhi mazhalimlah memiliki wewenang untuk menetapkan kedzaliman serta keputusan terhadapnya, maka Mahkamah Mazhalimlah yang juga berhak menentukan kalau salah satu keadaan tersebut telah terjadi atau tidak. Termasuk dialah yang berhak menentukan pemberhentian Khalifah. Hanya saja, kalau Khalifah mengalami salah satu keadaan ini, lalu dia mengundurkan diri, maka masalahnya selesai. Sedangkan kalau kaum muslimin berpendapat, bahwa dia wajib diberhentikan karena keadaan itu telah terjadi, maka keputusannya harus dikembalikan kepada qadli. Berdasarkan firman dari Allah: ' (N%
' /?+,+ gh!i V
31
Q\]^+_`5
' /?+,
Ve_+f,+
bF[c3
jkCl5B
Taqqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, h. 269
'
)*B%
&
V@e1
B% / G
239"!.
@+m83
,)⌧&
jkN 1 RbF[c3 + Y?: +
&
) Z⌧+_ F#q>Cr+,+ p3." .no; (٥٩:٤ /ا ء Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Maksudnya, kalau kalian berselisih dengan pemimpin kalian, di mana perselisihan tersebut merupakan perselisihan antara umat dengan pemimpin, maka mereka harus mengembalikannya kepada Allah dan Rasul-Nya itu berarti mereka harus mengembalikannya kepada qadli, yaitu mahkamah mazhalim. 32 2. Dewan Kepemimpinan Semua kekuasaan yang dinikmati oleh peradilan madzalim diserahkan kepada dewan hukum agung dalam konstitusi Republik Islam Iran yang disetujui oleh 98,2 % mereka yang mempunyai suara dan diimplementasikan pada tahun 1979. Meskipun konstitusi tersebut memberikan kepada dewan hukum kekuasaan untuk menentukan kasus presiden yang menyimpang dari
32
Taqqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, h. 143
ketentuan konstitusi, kekuasaan untuk menuntut impeachment presiden diserahkan diluar batas hukumnya. Kekuasaan ini diberikan ke vilayat-e-faqih, yang terdiri dari pimpinan dewan pimpinan. Pasal 5 konstitusi Iran 1979, yang mewujudkan prinsipprinsip pemerintahan Islam syi’ah, menegaskan bahwa; Selama ghaibnya wali al- asr (pemimpin zaman) (semoga Tuhan mempercepat penampakannya kembali), wilayah dan kepemimpinan umat berpindah kepada faqih yang adil (a’dil) dan bertaqwa (muttaqin) yang benarbenar menyadari keadaan masanya; berani, banyak akal, dan memiliki kecakapan administratif; diakui dan diterima sebagai pemimpin oleh mayoritas masyarakat; dalam peristiwa di mana tidak ada faqih yang diakui oleh mayoritas, pimpinan/ dewan kepemimpinan. Konstitusi tersebut memberikan terhadap vilayat al-faqih sebagaimana menurut pasal 110, kekuasaan terdiri dalam pemerintahan, menjadikan jabatan-jabatan kepresidenan terpilih dan parlemen sebagai sub-ordinasi bagi wilayat al-faqih. Berkaitan dengan kepresidenan, fungsi-fungsi dewan meliputi; a. Menandatangani keputusan yang merumuskan pemilihan presiden republik oleh masyarakat. b. Memecat presiden republik; demi kepentingan negara, karena peradilan agung menangkapnya bersalah melanggar tugas-tugas konstitusionalnya,
atau karena satu suara. Majelis permusyawaratan nasional melihat ketidak mampuan politiknya (pasal 110 ayat 4&5).33 3. Majelis Syura’ Menurut Fazlur Rahman, kata syura’ berasal dari kata kerja syawarayusyawiru yang berarti menjelaskan menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu. Bentuk lain dari kata syawara adalah tasyawara, artinya berunding, saling bertukar pendapat; syawir, yang artinya meminta pendapat atau musyawarah. Dalam konteks budaya Indonesia, syura’ dalam bentuk institusi disebut majelis syura. Syura’ mempunyai arti sangat penting dalam organisasi apapun atau jama’ah manapun. Setiap negara maju memusatkan perhatian pada asas musyawarah dan mengajak rakyatnya untuk mencapai keamanan dan ketentraman, keberhasilan, dan kebahagiaan. Sebab musyawarah adalah jalan yang benar untuk mencapai pendapat dan solusi yang lebih bijaksana baik untuk kemaslahatan individu maupun kelompok serta Negara, bahkan internasional. Maka tidak mengherankan jika Islam sebagai agama Rabbani begitu besar perhatiannya pada asas musyawarah alias syura’ sehingga salah satu surat Al-Quran ada yang dinamakan surat asy-Syuura. Surat ini berbicara tentang sifat-sifat orang mukmin yang diantaranya menjadikan kehidupan
33
Abdul Rashid Moten, Ilmu Politik Islam, (Bandung: Pustaka, 2001), h. 144-145
orang-orang mukmin berdiri diatas asas syura’, bahkan urusan mereka seluruhnya adalah musyawarah di antara mereka. Syura (musyawarah) merupakan sebuah prinsip dalam Islam yang hampir semua umat Islam mengakui urgensitasnya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Secara etimologi musyawarah mempunyai arti nasehat, konsultasi, perundingan, atau konsideran pemufakatan. Sedangkan secara terminologi berarti majelis yang dibentuk untuk mendengarkan saran dan ide sebagaimana mestinya dan terorganisir dalam urusan negara.34 Di zaman modern, para pemikir kontemporer seperti Rasyid Ridho dan lain lain, telah mendukung penggantian syura pemerintahan Islam awal dengan badan perwakilan (legislatif) rakyat yang dipilih melalui sistem pemungutan suara modern. As-Sayyid Al-Maududi secara aktual menegaskan bahwa legislatif adalah apa yang dalam terminologi fiqh lama dikenal dengan ahlul halli wal aqdi, mereka juga setuju mendudukkan eksekutif kepada kebanyakan keputusan legislatif. Mereka mendapat dukungan, dalam hal ini dari para pemikir muslim modernis semisal Fathur Rahman yang berpendapat bahwa; karena pelanggaran penting terhadap kepercayaan masyarakat, kepala pemerintahan dapat dipecat setelah nilai suara legislatif yang besar menentangnya.35
34
Sugiyono, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Menurut UU No. 23 Tahun 2003 dalam Perspektif Politik Islam, (Jakarta, 2006), h. 12-13 35
Abdul Rashid Moten, Ilmu Politik Islam, h. 145
Indikasi atas pentingnya musyawarah dalam ayat Al-Quran adalah bahwa asas ini dibarengi dengan kewajiban shalat, shadaqah (zakat), dan menjauhi perbuatan keji. Allah SWT berfirman:36 :*s <`5L⌧ n=:UJ یAوا % .
;1+
qro⌧4: +
+34:)
/t
' .=)[
+
' %+,+ l
\|3
/t3:%+,+
FU5B:.
' L97⌧{
☺%+
@MG@6 AB O K14B (٣٧-٣٨:٤٢/ رى:^) ا
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. Dan bagi orang-orang yang apabila mereka dipelakukan dengan zhalim, mereka membela diri”. Indikasi lain bahwa Al-Qur’an telah mencatat aplikasi Syura’ agar memberi manfaat bagi kehidupan empiric, dalam mencari solusi atas masalah-masalah yang mereka alami. Allah SWT dalam hal ini berfirman: "# /93
Foo: +
< E@6%⌧ < .r #/t.^5 ++, 0jRk
+,
.8 +,
C#.☺
'
8Q-Y V@+ G Qqc3 #\/)>+ 36
#FU/:
,
Musthalah Maufur, M.A., Sistem Politik Islam, (Jakarta: Robbani Press, 1999), h. 54
c:4- F `6/ S G 9+3 /Q-Y Mo+ cS7/ S G .U./)[+ 1 r
p8%
S+
.t
: V@+ G w@ .8 +,
v\
%$
.no;
e 3
#
T % 5q
.☺\@6 ..MN S⌧ ++
+,
8+,
1+
S⌧ .^5 ++, ' (/9 )>@T !C☺`6.[
;1
:?@6A
9+ O /Q-Y
..B
jk:?
0%
' (F☺@6C + ' K10 + ) p39 /6v / M4 0 +, (٢٣٣:٢/ ا =ة Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.
Nabi Muhammad sendiri disuruh oleh Al-Qur’an dalam surat AsySyura ayat 159 untuk memutuskan setelah berkonsultasi dengan pemukapemuka masyarakat.37 qsB
&
"#
%$nQ.☺Cr
.☺L
⌧ ?6⌧{ ¡K qsN + ' FU .n.r C#% ' 7⌧4- R661: 34:)=)[ + \ F C ' ' gh!i V /t+⌧+ }r~ & V@ T= qs:%"¢ ; O6J
0 1
G
(١٥٩:٣ / ) ال ان£=F☺: Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai rang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. Musyawarah sebagai salah satu prinsip negara dan pemerintahan Islam memiliki kedudukan penting dan strategis dalam kehidupan umat manusia.38 Dalam konteks budaya Indonesia, syura’ dalam bentuk institusi disebut dengan Majelis Syura’. Nama populer untuk majelis ini yang
37
Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 290
38
Ibid, h. 289
digunakan oleh lembaga negara Indonesia adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat atau badan legislatif.39 Dengan melihat pada petunjuk Nabi SAW sebagai kepala negara Islam di madinah-dalam menjalankan pemerintahan dan syura; pada contoh yang dilakukan oleh al khulafa ar-Rasyidin, pada generasi terdahulu yang menjalankan pemerintahan dan syura’ dapat dikatakan batasan-batasan fungsi majelis syura’: a. Memililih kepala negara dan mencalonkannya: Ahli syura’ dalam negara Islam melakukan pemilihan kepala negara dalam pemilihan awal, membai’atnya dengan bai’at khusus, kemudian memaparkan kepada umat untuk memperoleh bai’at umum. b. Membantu kepala negara dalam menangani urusan negara, menyelesaikan persoalan-persoalan ummat, seperti perang, pengesahan perjanjian, membuat perundang-undangan yang bersifat ijtihad-lah dan pelaksanaan hukum-hukum syariah. c. Mengontrol kepala negara dan para pejabat tinggi lainnya seperti gubernur dan mentri. d. Memberhentikan kepala negara atau pejabat tinggi yang dipilih oleh majelis syura’. Karena yang memilih kepala negara adalah majelis syura’, juga membai’atnya atas dasar akad bai’at antara kedua belah pihak;
39
Fazlur Rahman, Konsep Negara Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2006), Cet I, h. 123
kepala negara dan majelis syura’ yang mewakili umat ini, maka majelis syura’ berhak memberhentikan kepala negara. Dalam akad ini terdapat kewajiban bagi kepala negara dan juga ditetapkan hak-haknya. Apabila ia meninggalkan kewajiban maka ahli syura’ memberi nasehat. Jika nasehat ini dilaksanakan maka ia disambut baik, tetapi jika tidak, melainkan tetap melanggar kewajiban maka ahli syura’ berkewajiban untuk memecatnya dan mengumumkan pemberhentiannya itu dari jabatan kepala negara kepada umat.40 Apabila terjadi penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh seorang khalifah, para ulama dan cendikiawan Muslim berpendapat bahwa khalifah semacam itu harus diberhentikan dari jabatannya sebagai kepala negara atau pimpinan eksekutif. Al-Ghazali mengajukan 2 macam bentuk kekuasaan khalifah yang harus diberhentikan, yaitu: a) Khalifah Zhulm, yaitu khalifah yang menjalankan politik tirani yang bertentangan dengan keadilan dan kehendak rakyat. b) Khalifah
Ghair al-Syaukah, yaitu
khalifah
yang
tidak
mampu
menjalankan kebijakan politik yang adil, yang digariskan oleh syariat dan rakyat.
40
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem politik Islam, h. 83-86
Kedua macam penguasa ini akan merusak negara dan agama. Karena itu, ia harus diberhentikan. Jadi wajar apabila Majelis Syura’ (lembaga legislatif) sebagai penjelmaan wakil rakyat, berhak untuk mengangkat seorang khalifah yang dianggap cakap dan memenuhi kriteria. Jika khalifah itu melakukan penyalahgunaan
kekuasaan,
Majelis
syura’
berhak
pula
untuk
memberhentikannya.41 Apabila Majelis Syura’ menilai khalifah telah melakukan pelanggaran terhadap syariat, konstitusi, dan perundang-undangan lainnya. Orang yang harus menilai situasi tersebut—tentang sudah atau belum terjadinya kemurtadan pada pihak penguasa—adalah ulama yang dari kalangan ahlu-halli wal-‘aqdi (majelis syura’). Menurut al-Juwaini, merekalah yang berhak mencopot penguasa. Itulah kondisi atau syarat pertama yang memperbolehkan umat Islam menuntut pencopotan kekuasaan imam.42 Dalam hubungan ini, konferensi para ulama dan para cendikiawan muslim yang mewakili semua aliran, Sunni dan Syi’ah, yang diselenggarakan pada tanggal 21 sampai dengan 24 Januari 1951 dari Karachi, Pakistan, memberi rekomendasi sebagai berikut: Lembaga (dalam hal ini Majelis
41
Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, h. 178-179
42
Yahya Ismail, Hubungan Penguasa dan Rakyat dalam Prespektif Sunnah, h. 204
Syura’) yang diberi kuasa memilih kepala negara (khalifah), juga memiliki kekuasaan untuk memecatnya atas dasar suara mayoritas. 43
D. Mekanisme Impeachment Menurut Perspektif Politik Islam Mengenai mekanisme impeachment, dalam Islam tidak ditemukan penjelasannya secara eksplisit dan meyakinkan. Namun dalam kitab-kitab fiqh alsiyasah setidaknya ditemukan beberapa cara atau mekanisme pemberhentian presiden; Pertama, sekelompok ulama Ahli Sunnah, Khawarij, Mu’tazilah, Zaidiyah, dan para ulama murjiah berpendapat wajib mengangkat senjata untuk memberhentikannya. Cara inilah yang diistilahkan oleh para ulama dengan sall as-saif (menghunuskan pedang).44 Golongan Khawarij berpendapat, ’Imam yang telah berubah perilaku baiknya dan menyimpang dari kebenaran, maka ia wajib dipecat atau dibunuh’. Abu Hanifah mendukung pendapat ini. Ia mengatakan bahwa keimaman seorang zalim bukan saja batal, tetapi lebih dari itu, dibolehkan melakukan pemberontakan terhadapnya, bahkan seyogyanya hal itu dilakukan dengan syarat pemberontakan itu memiliki faktor-faktor untuk dapat berhasil dan berfaedah dengan seorang yang adil dan baik sebagai pengganti orang yang zalim dan fasik, dan bukan semata-mata memecah belah kekuatan dan menghilangkan
43
Yahya Ismail, Hubungan Penguasa dan Rakyat dalam Prespektif Sunnah h. 191
44
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, h. 180
nyawa. Abu Hanifah berpendapat bahwasanya memberontak terhadap pimpinan negara yang tidak sah adalah sesuatu yang dibenarkan dalam syari’at. Pendapat ini mendapat dukungan dari fuqaha lainnya seperti Sa’id bin Jubair, al-Sya’bi, Ibnu Abi Laila, dan Abdul Bukhturi. Juga para qurra berdiri di pihaknya. Abu ya’ala juga percaya bahwa kontrak imamah tidak dapat dibubarkan selama tidak ada alasan-alasan yang sah. Kepala Negara harus meletakkan jabatannya apabila merasa telah memiliki kekurangan yang permanent, tetapi selama mampu melaksanakan tugas-tugasnya sebagai kepala Negara (Presiden), ia tidak boleh meletakkan jabatannya. Al-Juwayni beranggapan bahwa, kalau kepala Negara tidak bermoral dan menyimpang dari akhlak yang baik, maka ia boleh turun; tetapi apakah orang lain harus atau dapat memberhentikannya diperlukan ijtihad dalam kasus seperti ini. Ironisnya ia juga menganggap bahwa kepala Negara boleh meletakan jabatannyakapan saja ia mau. 45 Ibnu Hazm mengemukakan bahwa sebagian besar Ahli Sunnah, Mu’tazilah, Khawarij, dan Zaidiyah memandang bahwa mengangkat senjata dalam amar ma’ruf dan nahi munkar adalah wajib jika mencegah kemungkaran itu tidak ada jalan lain selain dengan senjata. Pendapat itu mengacu pada sabda Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadits panjang yang berbicara mengenai sebab-sebab Bani Israil mendapat laknat Allah SWT; “Sekali-kali tidak, demi Allah, sungguh kamu mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
45
Mumtaz Ahmad, (ed), Masalah-masalah Teori Politi Islam, penerjemah Ena Hadi, (Bandung: Mizan, 1996), Cet III, h. 104
munkar. Kemudian sungguh-sungguh kamu mencegah perbuatan orang zalim, menggiringnya dengan gigih pada kebenaran, dan mengajaknya pada jalan kebenaran-tanpa memberi peluang pada jalan kesesatan-atau jika tidak demikian niscahya Allah akan mencampur aduk hati sebagian kalian dengan sebagian lainnya kemudian menimpakan laknat terhadap kalian seperti laknat terhadap mereka (Bani Israil)”.46 Secara umum Ahlusunnah melihat pada dua pertimbangan: Pertama, akibat negatif menggunakan kekuatan senjata. Kedua, adalah akibat negatif dari kelanjutan imam yang fasik pada kekuasaannya. Mereka lebih condong untuk memilih akibat buruk yang lebih kecil. Apabila pemberhentian menimbulkan fitnah yang lebih besar maka tidak dibenarkan mengangkat senjata terhadapnya. Para ulama Ahlusunnah yang berpendapat demikian diantaranya ialah AlAiji, ia mengemukakan bahwa umat harus memberhentikan imam bilamana terdapat alasan yang mengharuskan demikian, akan tetapi jika menimbulkan fitnah maka yang diambil adalah akibat buruk yang lebih kecil. Sedangkan AlKamal bin Abu Syarif mengemukakan bahwa pada dasarnya imam tidak dibenarkan
diberhentikan
akan
tetapi
berhak
diberhentikan
manakala
kelangsungan imamah-nya menimbulkan fitnah. 47 Sementara itu, Ibnu Taimiyah selaku pemikir besar dan berpandangan luas mendukung sikap ini dengan alasan
46
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem politik Islam, h. 181
47
Ibid, h. 45-46
bahwa mwnjatuhkan seorang kepala Negara akan menggangu ketentraman di dalam masyarakat dan melemahkan persatuan umat. Karena Ibnu Timiyah berpendapat, bahwa keberadaan kepala Negara, meskipun zalim, lebih baik bagi rakyat daripada kalau mereka harus hidup tanpa kepala Negara. Dia meminjam suatu ungkapan bahwa enam puluh tahun dibawah kepala Negara yang zalim lebih baik daipada satu malam tanpa kepala Negara. Bahkan ia memberi dukungan kepada absolutisme yang tiada henti-hentinya. Demi ketentraman dan menjauhkan anarki ditengah masyarakat telah menjadi alasan utama untuk tidak menjatuhkan kepala Negara yang melakukan penyimpangan. 48 Hal itu karena banyaknya hadits shahih yang mewajibkan ketaatan kepada Negara, sekalipun senantiasa melaksanakan kemungkaran, bertindak zalim, dan memakan hak-hak rakyat, selama tidak memrintah berbuat maksiat dan tidak jelas-jelas kafir.49 Imam Muslim telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda: D g ﻡ ت ﻡ% ﺵ ا ت اc ﻥ ﻡ رق اT ' ه7 e^ﻡ رأﻡ اﻡه 50
( ﻡ-ه ) روا
Artinya: “Siapa saja yang melihat sesuatu (yang tidak disetujui) dari amirnya hendaknya bersabar. Karena tidak seorangpun yang meninggalkan jama’ah sejengkal saja kemudian mati, kecuali dia mati seperti jahiliyyah”. (H.R. Muslim)
48
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993), CetV, h. 89 49
50
Abdul Qadim Zallum, System Pemerintahan Islam, h. 129
Muslim An-Naisabury, Shahih Muslim Syarah An-Nawawy, (Beirut: Darul fikri, 1978), Cet III, Jiilid XII, h. 240
Kedua, untuk memberhentikan pemimpin adalah melalui apa yang diistilahkan pada zaman modern ini dengan civil disobedience (pembangkangan sipil). Cara ini dilakukan apabila umat merasa bahwa imam ini fasiq yang tidak takut dosa melakukan maksiat atau zalim, tidak layak menjadi imam. Umatmelalui wakil-wakil mereka menghadap kepadanyauntuk memberi teguran dan nasihat akan tetapi ia menolak dan menyombongkan diri. Maka dlam keadaan demikian tidak ada jalan lain selain memboikotnya dan juga orang-orang yang menjadi kroninya. Ketika itu ia merasa bahwa dirinya tercampakkan dari umat atau rakyatnya; kembali kepada kebenaran atau meletakkan jabatan. Pengertian ini diambil dari sabda Rasulullah SAW; ُ-ِْیَْن )رَوَاjُ اNَ(ََْ اRَِِْٰ َ ِ=َْ ِِ وَذgْ َ َِنْ َْ ی,َِِِْ َ ِِ َْﻥgْ َ َِنْ َْ ی,ِ-ِLَِ ُ-ْ8َhَُْ ًَا7ُُْْ ﻡ7ِْﻡَْ رَأٰى ﻡ 51
(ٌِْ ُﻡ
Artinya, “Barang siapa diantara kamu melihat suatu kemunkaran maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, dan jika ia tak mampu maka dengan lisannya, dan jika ia tak mampu juga maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman”. (H.R. Muslim) Sebab pengertian mengingkari dengan hati tidaklah bersifat pasif tanpa memberikan reaksi konkrit terhadap pelaku kemungkaran baik penguasa maupun bukan penguasa, melainkan bersifat aktif yang berarti menolak kemungkaran dengan hatinya lalu tidak menyukainya dan tidak menyukai pelakunya serta memboikotnya: tidak makan bersamanya, tidak berhubungan dengannya dan
51
HR. Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri dalam Kitab Riyadus Sholihin karangan Syekh alIslam Muhyiddin Abi Zakariya, (Surabaya: Mahkota,tt), h. 108
begitu seterusnya. Apabila setiap individu umat Islam melakukan demikian terhadap imam yang zalim dan fasiq maka tidak ada jalan lain baginya selain kejatuhan yang mengenaskan. Pengertian inilah yang terkandung dalam sebuah hadits Rasulullah SAW yang dituturkan oleh Ibnu Mas’ud bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya sesuatu kekurangan yang masuk pada Bani Israil adalah bahwa orang laki-laki bertemu orang laki-laki lalu berkata: “Mengapa itu kamu lakukan? Takutlah kepada Allah, tinggalkanlah apa yang kamu lakukan itu. Yang demikian tidak halal bagimu. “Kemudian berjumpa lagi esok harinya tetapi ia masih tetap melakukan apa yang diperingatkan kemarin. Yang demikian itu tidak menghalanginya menjadi teman makan dan minum serta bersahabat dengannya. Karean orang-orang Bani Israel melakukan demikian maka Allah mencampur aduk hati sebagian mereka dengan sebagian yang lainnya-yang baik dan burukkemudian berfirman; “Orang-orang kafir dilaknati….hingga pada firman-Nya ‘orang-orang fasiq’. Bahkan dalam hadits riwayat At-Thabrani terdapat sabda Rasulullah SAWl; “Pada akhir zaman terdapat umara yang zalim, para menteri yang fasiq, para jaksa yang penghianat, para fuqaha pembohong. Maka diantara kalian mengalami zaman itu, janganlah sekali-kali menjadi petugas pajak mereka, pejabat mereka, dan aparat kepolisian mereka”.
Ketiga, adalah bahwa masa jabatan imam lebih baik dibatasi hingga jangka waktu tertentu. Jika imam melakukan perbuatan fasiq maka umat menghindarkan diri dari keburukannya dengan tidak memilihnya pada periode lain. Ini tampaknya menjadi cara yang baik untuk menghindarkan diri dari pemimpin yang fasiq dan zalim tanpa harus menumpahkan darah selain juga dapat menjadi ajang untuk menampilkan keahlian dan pengalaman yang orangorang yang layak menjadi pemimpin umat.52 Dapat disimpulkan, bahwa Islam menolak ketidak pedulian dan sebagai gantinya, menegaskan kewajiban umat untuk tidak mentaati dan melawan pemimpin yang tidak memenuhi hukum Tuhan. Al-Quran juga mewajibkan ketaatan kepada mereka yang berkuasa. Namun ia juga mewajibkan kepada para pemimpin memenuhi syariah dan memperhatikan kepentingan masyarakat. Kegagalan dalam hal-hal ini akan membenarkan jabatan dari posisi kekuasaan legislatif atau majelis as-syura’ dalam menjalankan dalam kekuasaan menuntut pertanggungjawaban harus mencari bantuan dari pengadilan untuk menyelidiki masalah dengan cara yang tidak memihak dan adil.53
52
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, h. 184-185
53
Abdul Rashid Moten, Ilmu Politik Islam, h. 151-152
BAB III LEMBAGA KEPRESIDENAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI)
Salah
satu
unsur
penting
dalam
penyelenggaraan
negara
atau
pemerintahan adalah pertanggungjawaban dan pengawasan. Jabatan Presiden RI adalah suatu jabatan dalam tatanan negara berdasarkan paham kerakyatan. Karena itu harus ada pertanggungjawaban dan pengawasan. Dalam penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen disebutkan “Presiden yang diangkat oleh Majelis bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis”. Dalam praktek ketatanegaraan yang berlaku, pengertian bertunduk dan bertanggung jawab tersebut tidak sekedar diartikan pengawasan, tetapi termasuk juga pemberhentian Presiden dari jabatannya.54 Semenjak amandemen 1, 2, 3, 4 Undang-Undang Dasar 1945 telah beralih dari system pemerintahan campuran kepada system pemerintahan presidential. Dalam sistem ini kedudukan Presiden sebagai kepala pemerintahan dan sebagai kepala Negara diorganisasikan ke dalam satu tangan dengan sebutan lembaga kepresidenan. Kedudukan Presiden dan Wakil Presiden dalam suatu institusi tersebut mempunyai tugas dan wewenang yang diatur dalam konstitusi ataupun
54
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, (Yogyakarta, FH.UII Press, 1999), Cet I, h. 107
dalam peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya. 55 Dalam rangka memperkuat sistem presidensial, pengaturan terhadap kekuasaan Presiden adalah suatu keniscahyaan. Selama ini yang terjadi tidak adanya legal (aturan) yang mengaturnya. Sehingga, tidak jarang sang Presiden berlindung di balik hak prerogatifnya.56 Yang dimaksud dengan lembaga kepresidenan adalah institusi atau organisasi jabatan yang dalam sistem pemerintahan berdasarkan UUD 1945 berisi dari jabatan, yaitu Presiden dan Wakil Presiden.57 A. Pemerintahan Presidentil Sebelum memasuki penjelasan dalam sistem pemerintahan presidensil, telah kita ketahui bahwa Indonesia sebelum menganut sistem presidensil menganut sistem pemerintahan parlementer. Sistem parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan di mana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri atau Presiden, dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya. Berbeda dengan sistem presidensil, di mana sistem parlemen dapat memiliki seorang Presiden dan seorang perdana menteri, yang berwenang terhadap 55
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, (Yogyakarta: FH UII Press, 2004), h. 59 56
Indria Samego, MA, Kita Butuh Undang-Undang Lembaga Kepresidenan, Majalah figur, edisi XI, Tahun 2007 57
1945, h. 59
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD
jalannya pemerintahan. Dalam presidensil, Presiden berwenang terhadap jalannya pemerintahan, namun dalam sistem parlementer Presiden hanya menjadi simbol kepala negara saja. Pada mulanya, tujuan dibentuknya parlemen bikameral itu memang biasanya dihubungkan dengan bentuk negara federal yang memerlukan dua kamar untuk maksud
melindungi formula federasi itu sendiri. tetapi, dalam
perkembangannya bersamaan dengan terjadinya kecenderungan tuntutan kearah desentralisasi kekuasaan dalam bentuk negara kesatuan sistem bicameral juga dipraktekkan di banyak negara kesatuan. dalam sistem pemerintahan parlementer, ada dua alasan utama yang sering digunakan untuk menerapkan sistem bicameral ini, yaitu; (a) adanya kebutuhan untuk menjamin keseimbangan yang lebih stabil antara pihak eksekutif dan legislatif (the unbridled power of a singlechamber being restrained by the creation of a second chamber recruited on diferend basic), dan (b) keinginan untuk membuat sistem pemerintahan benar-benar berjalan lebih efisien dan setidaknya lebih lancer (smooth) melalui apa yang disebut ‘revising chamber’ untuk memelihara “a careful check on the sometimes hasty decisions of the first chamber”.58 Sistem parlementer dibedakan oleh cabang eksekutif pemerintah tergantung dari dukungan secara langsung atau tidak langsung cabang legislatif, atau parlemen, sering dikemukakan melalui sebuah veto keyakinan. Oleh karena
58
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), h. 22
itu, tidak ada pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang eksekutif dan cabang legislatif. Adapun sistem pemerintahan ini memiliki kelebihan dan kelemahan sebagai berikut: a. Kelebihan a) Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen. Dalam hal ini,
kekuasaan
parlemen
sangat
dominan
sebagai
perwujudan kedaulatan rakyat, sehingga asas demokrasi dapat terwujud. b) Kekuasaan parlemen yang besar dimaksudkan untuk membawa kesejahteraan rakyat. c) Parlemen bertugas membuat undang-undang yang harus dijalankan pihak eksekutif, disamping mengawasi jalannya pemerintahan, apakah sesuai dengan undang-undang atau tidak. d) Menteri-menteri harus dapat mempertanggungjawabkan semua tindakannya kepada parlemen (DPR) agar mendapat kepercayaan (mosi) dari parlemen. e) Program-program kebijaksanaan kabinet harus disesuaikan dengan tujuan poliitk sebagian besar anggota parlemen. f) Kedudukan kepala Negara hanya merupakan lambang atau simbol yang tidak dapat diganggu gugat.
b. Kelemahan a) Penyusunan
kabinet
memperhatikan
demikian
konstelasi
terlalu
sulit,
anggota-anggota
karena
parlemen,
sehingga setiap partai akan memperebutkan kedudukan kementerian yang dianggap mempunyai posisi penting dan menentukan, misalnya menteri luar negeri, keuangan, pertahanan, dan menteri dalam negeri. b) Jika
menteri-menteri
tidak
dapat
mempertanggungjawabkan tindakannya, maka diberikan mosi tidak percaya dari parlemen yang mengakibatkan krisis kabinet dan akhirnya kabinet jatuh (bubar). Akibat dari jatuh-bangunnya kabinet, maka kabinet tidak mungkin dapat melaksanakan programnya, karena parlemen sering menjatuhkan kabinet yang disebabkan kelompok oposisi terlalu kuat. Karena kabinet tidak dapat melaksanakan programnya, berarti tidak mungkin tercapai tujuan nasional, yaitu masyarakat adil dan sejahtera; timbulnya dampak negative, yaitu mulai disintegrasi. Ketika pertama kali didirikan pada tahun 1945, struktur parlemen negara kita di idealkan berkamar tunggal (unikameral) tetapi dengan variasi yang dikaitkan dengan teori kedaulatan rakyat yang dibayangkan dapat diorganisasikan secara total ke dalam suatu organ bernama MPR. Majelis inilah yang dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat dan pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat itu,
sehingga diidealkan sebagai lembaga yang tertinggi dalam bangunan organisasi negara. Pandangan demikian inilah yang tercermin dalam rumusan pasal 1 ayat (2) dan diuraikan lebih lanjut dalam penjelasan UUD 1945.59 Seperti yang dikemukakan di atas, dalam sistem pemerintahan parlementer, jabatan Presiden biasanya dikaitkan statusnya sebagai kepala Negara, sedangkan kedudukan kepala pemerintahan biasanya dipegang oleh jabatan lain yang lazimnya disebut sebagai Perdana Menteri. Berbeda dari sistem parlementer tersebut, maka dalam sistem presidensil, kedudukan sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan itu menyatu dalam jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Karena itu, sistem presidensil tidak mengenal pembedaan apalagi pemisahan antara kedudukan sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan. Yang ada hanya Presiden dan Wakil Presiden yang masing-masing ditentukan tugas dan kewenangannya dalam konstitusi ataupun dalam peraturan perundangundangan di bawahnya. Beberapa ciri yang penting dalam sistem pemerintahan presidensil adalah: 1. Masa jabatannya tertentu, misalnya 4 tahun, 5 tahun, 6 tahun, atau 7 tahun, sehingga Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diberhentikan di tengah masa jabatannya karena alasan politik. Di beberapa Negara, periode masa jabatan ini biasanya dibatasi dengan tegas, misalnya, hanya 1 kali masa jabatan atau hanya 2 kali masa jabatan berturut-turut.
59
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, h. 157
2. Presiden dan Wakil Presiden tidak bertanggung jawab kepada lembaga politik tertentu yang biasa dikenal sebagai parlemen, melainkan langsung bertanggung jawab kepada rakyat. Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan dari jabatannya karena alasan pelanggaran hukum yang biasanya dibatasi pada kasus-kasus tindak pidana tertentu yang jika dibiarkan tanpa pertanggungjawaban dapat menimbulkan masalah hukum yang serius seperti misalnya pengkhianatan pada Negara, pelanggaran yang nyata terhadap konstitusi, dan sebagainya. 3. Karena itu, lazimnya ditentukan bahwa, Presiden dan Wakil Presiden itu dipilih oleh rakyat secara langsung ataupun melalui mekanisme perantara tertentu yang tidak bersifat perwakilan permanen sebagaimana hakekat lembaga parlemen. Dalam system parlementer, seorang Perdana Menteri, meskipun juga dipilih melalui pemilihan umum, tetapi pemilihannya sebagai Perdana Menteri bukan karena rakyat secara langsung melainkan karena yang bersangkutan terpilih menjadi anggota parlemen yang menguasai jumlah kursi mayoritas tertentu. 4. Dalam hubungannya dengan lembaga parlemen, Presiden tidak tunduk kepada parlemen, tidak dapat membubarkan parlemen, dan sebaliknya parlemen juga tidak dapat menjatuhkan presiden dan membubarkan kabinet sebagaimana dalam praktek system parlementer. 5. Dalam sistem ini, tidak dikenal adanya pembedaan antara fungsi kepala Negara dan kepala pemerintahan. Sedangkan dalam sistem parlementer,
pembedaan dan bahkan pemisahan kedua jabatan kepala Negara dan kepala pemerintahan itu merupakan suatu kelaziman dan keniscahyaan. 6. Tanggung jawab pemerintahan berada di pundak Presiden dan oleh karena itu presidenlah pada prinsipnya yang berwenang membentuk pemerintahan, menyusun kabinet, mengangkat dan memberhentikan para Menteri serta pejabat-pejabat publik dan pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan berdasarkan ‘political appointment’. Karena itu, dalam sistem ini, biasa dikatakan ‘concentrasion of governing power and responsibility upon the president’. Di atas presiden tidak ada institusi lain yang lebih tinggi, kecuali konstitusi. Karena itu, dalam sistem ‘constitusional state’, secara politik Presiden dianggap bertanggungjawab kepada rakyat, sedangkan secara hukum ia bertanggungjawab kepada konstitusi.60
B. Presiden dan Wakil Presiden Lembaga Kepresidenan atau Presidential institution merupakan istilah yang kerap dipergunakan dalam berbagai arti; di Indonesia, perkataan Presiden dipergunakan dalam dua arti; yaitu lingkungan jabatan (ambt) dan pejabat (ambtsdrager). Sedangkan dalam bahasa asing (seperti Inggris) untuk lingkungan jabatan digunakan istilah presidency atau kalau sebagai ajektif dipergunakan istilah presidential, misalnya; presidential government, sedangkan sebagai
60
1945, h. 61
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD
pejabat digunakan istilah president. Dalam UUD 1945, penggunaan kata ”Presiden” menunjukkan pejabat. Hal ini tampak dari rumusan-rumusan yang menyebut Presiden. Misalnya,”Calon Presiden dan Wakil Presiden harus seorang warga Negara Indonesia sejak kelahiran……”. Tetapi karena Presiden adalah pemangku jabatan kepresidenan, dengan sendirinya dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lain yang mengatur mengenai Presiden sekaligus mengandung pula makna pengaturan lingkungan jabatan Kepresidenan. Jabatan adalah lingkungan kerja tetap yang berisi fungsi-fungsi tertentu yang secara keseluruhan akan mencerminkan tujuan dan tata kerja suatu organisasi. Jadi Jabatan (sebagai Presiden) dalam suatu negara merupakan lingkungan kerja tetap yang berisi fungsi - fungsi tertentu untuk mencapai tujuan Negara sebagaimana diamanatkan oleh rakyat. Sedangkan Pejabat adalah orangperorangan yang didudukkan dalam suatu jabatan dengan tugas dan wewenang (taak en bevoegdheid) untuk merealisasikan berbagai fungsi jabatan tertentu. Jadi Pejabat (Presiden) merealisasikan berbagai fungsi lingkungan jabatan Presiden dalam tindakan-tindakan yang konkrit dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara politik, hukum maupun sosial.61
61
Fristian Humalanggi, Tinjauan historis-Yuridis Lembaga kepresidenan Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Artikel ini diakses pada 21 Oktober 2008 dari www.Tempo interakif.com
Menurut UUD 1945, Presiden adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan yang menjadi penyelenggara Pemerintah Negara Tertinggi di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dan untuk membantu menjalankan kewajibannya, Presiden dibantu oleh Wakil Presiden. Istilah Presiden merupakan derivatif dari to preside yang berarti memimpin atau tampil di depan. Sedangkan kata Latin presidere berasal dari kata prae yang berarti didepan, dan kata sedere berarti duduk. Jabatan presiden yang dikenal sekarang ini, yaitu muncul di Amerika Serikat pada abad ke-18. 62 UUD 1945 juga memberikan kedudukan yang kuat kepada lembaga kepresidenan. Presiden adalah penyelenggara pemerintahan. Selain menjalankan kekuasaan eksekutif, Presiden juga menjalankan kekuasaan membentuk peraturan perundang-undangan, kekuasaan yang berkaitan dengan penegakan hukum (grasi, amnesti, dan abolisi) dan lain sebagainya.63 Di Indonesia, Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar, berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat, dan menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Presiden dan Wakil
62
Harjono dan Maruarar Siahaan, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta:Pusat Penelitian dan Pengkajian Sekretarian Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2005), Cet I, h. 23 63
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, h. 30
Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat di pilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.64 Jabatan Presiden merupakan jabatan tunggal, yaitu diisi oleh satu orang pemangku jabatan. Pemangku jabatan Presiden juga disebut Presiden. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia Presiden bukan merupakan pejabat yang tertinggi, karena dia berada di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sehingga jabatan majemuk yang melakukan kedaulatan rakyat dan merupakan Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes (badan perwakilan yang menyuarakan kemauan rakyat). Kepada badan negara tertinggi ini Presiden wajib memberikan pertanggungjawaban. Di Indonesia dikenal adanya tiga lembaga yang menjalankan tiga kekuasaan yang berbeda, yakni; kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif. Hal ini dipengaruhi oleh teori pemisahan kekuasaan yang diajukan pertama kali oleh Montesquie dalam karyanya yang berjudul ”Esprit des Lois” yang diterbitkan pada tahun 1748. Pemerintah menjalankan kekuasaan eksekutif, badan perwakilan menjalankan kekuasaan legislatif, dan badan yudisial menjalankan kekuasaan yudikatif. Sebagai Negara yang menganut sistem Presidensil, di Indonesia Presiden sebagai pemerintah Negara merangkap sebagai kepala Administrasi Negara Republik Indonesia. C. F. Strong mengemukakan kekuasaan eksekutif dalam Negara yang dijalankan oleh Presiden, antara lain:
64
Harjono dan Maruarar Siahaan, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, h. 23
1. Kekuasaan diplomatik, yaitu berkaitan dengan pelaksanaan hubungan luar negeri. 2. Kekuasaan administratif, yaitu berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang dan administrasi Negara. 3. Kekuasaan militer, yaitu berkaitan dengan organisasi angkatan bersenjata dan pelaksanaan perang. 4. Kekuasaan
Yudikatif,
yaitu
menyangkut
pemberian
pengampunan,
penangguhan hukuman, dan sebagainya terhadap narapidana atau pelaku kriminal. 5. Kekuasaan Legislatif, yaitu berkaitan dengan penyusunan rancangan undangundang dan mengatur proses pengesahannya menjadi undang–undang.65 Sedangkan di Indonesia jabatan Wakil Presiden dalam struktur ketatanegaraan hanya difungsikan sebagai “ban serep” belaka. Artinya, Wakil presiden tidak mempunyai posisi strategis dalam struktur ketatanegaraan dan hanya menjadi pengganti dari presiden belaka. Dalam kewajibannya, Presiden dibantu oleh seorang Wakil Presiden. Apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya. Ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya. Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden selambat-lambatnya dalam waktu enam
65
Fristian Humalanggi, Tinjauan historis-Yuridis Lembaga Kepresidenan Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, www.Tempo interakif.com
puluh hari, MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden.66 Akan tetapi meskipun merupakan satu kesatuan institusi kepresidenan, keduanya adalah dua jabatan konstitusional yang terpisah. Karena itu, meskipun di satu segi keduanya merupakan satu kesatuan, tetapi di segi yang lain, keduanya memang merupakan dua organ negara yang berbeda satu sama lain, yaitu dua organ yang tak terpisahkan tetapi dapat dan harus dibedakan satu dengan yang lain. Wakil Presiden, menurut pasal 4 ayat (2) jelas merupakan pembantu bagi Presiden dalam melakukan kewajiban kepresidenan. Sesuai dengan sebutannya, Wakil Presiden itu bertindak mewakili Presiden dalam hal Presiden berhalangan untuk menghadiri kegiatan tertentu atau melakukan sesuatu dalam lingkungan kewajiban konstitusional Presiden. Dalam berbagai kesempatan di mana Presiden tidak dapat memenuhi kewajiban konstitusionalnya karena sesuatu alasan yang dapat dibenarkan menurut hukum, maka Wakil Presiden dapat bertindak sebagai pengganti Presiden. Sementara itu dalam berbagi kesempatan yang lain, Wakil Presiden juga dapat bertindak sebagai pendamping bagi presiden dalam melakukan kewajibannya.
66
Harjono dan Maruarar Siahaan, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, h. 24
Wakil Presiden tidak bertanggung jawab kepada MPR (demikian pandangan yang berlaku) dan juga tidak bertanggung jawab kepada Presiden karena Wakil Presiden dipilih dan diangkat bukan oleh Presiden. Bahwa Wakil Presiden tidak bertanggung jawab kepada Presiden, sungguh wajar. Tetapi tidak demikian halnya terhadap MPR, karena: 1. Wakil Presiden dipilih dan diangkat oleh MPR. Wajar kalau bertanggung jawab kepada MPR. 2. Membebaskan Wakil Presiden dari suatu sistem pertanggungjawaban, menyalahi
prinsip
pemerintahan
negara
demokratis.
Dalam
negara
demokratis, setiap jabatan atau pejabat harus ada pertanggungjawaban dan tempat bertanggung jawab (geen macht zonder ver aant woordelijkheid). Apabila jabatan Wakil Presiden tergolong sebagai jabatan politik, sudah semestinya ada forum bagi pertanggungjawaban secara politik.
C. Syarat Presiden dan Wakil Presiden Syarat untuk dicalonkan dan dipilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden adalah sama, karena pada satu saat Wakil Presiden dapat menjadi Presiden. Pengaturan mengenai syarat-syarat ini ada yang bersifat umum (universal) dan ada pula yang bersifat khusus yang hanya berlaku di Negara-negara yang bersangkutan. Salah satu syarat yang sebenarnya berlaku umum adalah syarat sehat fisik dan mental. Karena itu, dalam wacana yang berkenaan dengan syarat Presiden, hampir tidak ada lagi yang mempersoalkannya, karena alasan yang
biasanya dianggap perlu untuk menyelamatkan Negara dari keharusan dipimpin oleh orang yang tidak sehat. Syarat lainnya antara lain adalah syarat usia, misalnya, sekurangkurangnya 40 tahun, tidak pernah dihukum karena tindak pidana, kecuali tindakan pidana politik; tidak pernah menjadi warga Negara asing karena kehendaknya sendiri. Namun, seorang yang mendapat kewarganegaraan karena naturalisasi, dapat saja dicalonkan menjadi Presiden.67 Menurut Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan syarat-syarat Presiden dan Wakil Presiden adalah: 1. Seorang Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri. 2. Tidak pernah mengkhianati Negara. 3. Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Mengacu pada pasal 6 ayat (2) UUD 1945, bahwa syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan UU maka syarat-syarat calon Presiden dan Wakil Presiden disebutkan dalam pasal 6 UU no 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden adalah sebagai berikut:
67
1945, h. 66
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD
a. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. Warga negera Indonesia sejak kelahirannyadan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain kehendaknya sendiri; c. Tidak pernah menghianati Negara; d. Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakantugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden; e. Bertempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; f. Telah
melaporkan
kekayaannya
kepada
instansi
yang
berwenang memeriksa kekayaan penyelenggara Negara; g. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/secara badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan Negara; h. Tidak
sedang
dinyatakan
pailit
berdasarkan
putusan
pengadilan; i.
Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyi hukum tetap;
j.
Tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
k. Terdaftar sebagai pemilih;
l.
Memiliki pokok wajib pajak (NPWP) dan telah melaksanakan kewajiban selama 5 (lima) tahun terakhir yang dibuktikan dengan surat pemberitahuan pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi;
m. Memiliki daftar riwayat hidup n. Belum pernah menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama; o. Setia kepada pancasila sebagai dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, dan cita-cita proklamasi selama 17 Agustus 1945; p. Tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana maker berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; q. Berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga piluh lima) tahun; r. Berpendidikan serendah-rendahnya SLTA atau yang sederajat; s. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, bukan orang yang terlibat lansungdalm G. 30. SPKI; t. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.
D. Kewenangan Presiden Adapun Wewenang, Kewajiban, dan Hak yang dimiliki oleh Presiden berdasarkan UUD 1945 yakni terdapat di dalam pasal 10, 11, 12 ,13 ,14 , 15, dan selanjutnya pasal 16 secara berturut-turut mengatur kewenangan-kewenangan Presiden dalam berbagai bidang sebagai berikut; 1. Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara [Pasal 10]; 2. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain [pasal 11, ayat (1))]; 3. Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan / atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat [Pasal 11, ayat (2)]; 4. Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undangundang [Pasal 11, ayat (3)]; 5. Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang [Pasal 12]; 6. Presiden mengangkat duta, dan konsul [Pasal 13, ayat (1)]; 7. Dalam hal mengangkat duta, presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat [Pasal 13, ayat (2)];
8. Presiden menerima penempatan duta Negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat [ Pasal 13, ayat (3)]; 9. Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan Mahkamah Agung [Pasal 14, ayat (1)]; 10. Presiden memberi amnesty dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat [ Pasal 14, ayat (2)]; 11. Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang [Pasal 15]; 12. Presiden membentuk suatu Dewan Pertimbangan yang bertugas memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang [Pasal 16].
BAB IV ANALISIS PROSES IMPEACHMENT PRESIDEN MENURUT UUD 1945 HASIL AMANDEMEN
A. Mekanisme Impeachment Presiden Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen Di negara manapun, kedudukan Pesiden sangatlah vital dalam menentukan perjalanan bangsa ke depan, termasuk kehidupan ketatanegaraannya. Dalam hal ini kekuasaan Presiden secara atributif diperoleh berdasarkan konstitusi. 68 Jabatan presiden merupakan lingkungan pekerjaan yang sifatnya strategis dan tidak boleh lowong sedikitpun. Sistem ketatanegaraan Indonesia berdasarkan UUD 1945 menganut asas kedaulatan rakyat (pasal 1 ayat 2) (volkssouvereiniteit) yang dilakukan sepenuhnya oleh MPR . MPR bersidang sedikit 5 tahun sekali dan bertugas untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, menetapkan UUD dan Garis-garis Besar daripada Haluan Negara. Sedangkan Presiden adalah mandataris MPR yang tunduk dan bertanggung jawab pada majelis. Di Indonesia, pengisian jabatan Presiden dilakukan dengan cara pemilihan oleh suatu lembaga yaitu MPR dengan suara terbanyak seandainya calon lebih dari satu orang sedangkan bila calon tunggal maka cukup dengan persetujuan aklamasi. Dengan demikian, sistem pengisian jabatan Presiden dilakukan melalui lembaga khusus
68
Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuaaan: kajian teoritis dan yuridis terhadap pidato nawaksara, (Jakarta PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. 53
yaitu MPR.69 Adapun kekuasaan Presiden secara derivatif diperoleh melalui pelimpahan kekuasaan dalam bentuk pemberian kuasa (mandaatsverlening) dan melalui pelimpahan kekuasaan dan tanggung jawab (delegatie).70 Proses permintaan pertanggungjawaban Presiden pada masa sebelum perubahan UUD 1945, sangat terkait pada pelbagai ketentuan yang telah disepakati pada tingkat MPR, selain bila oleh DPR Presiden dianggap melanggar haluan negara. Yang telah ditetapkan oleh MPR, maka majelis dapat diundang untuk sebuah persidangan istimewa yang meminta pertanggungjawaban Presiden. Dalam hal ini Presiden sesuai konstitusi negara, dengan bentuk pertanggungjawab politis yang diberi sanksi, yakni dengan kemungkinan MPR setiap waktu melepas Presiden dari jabatannya (kan hem op elk gewnst moment onslaan) atau kemungkinan Presiden dijatuhi hukuman pemecatan (op straffe vabn ontslag) dari jabatan sebelum habis masanya.bentuk pertanggungjawab seperti ini termasuk dalam kategori pertanggungjawab dalam arti luas karena ada sanksinya.71
69
R. Muhammad Mihradi, Jurnal keadilan, Lembaga Kajian Hukum dan Keadilan, November 2000), Vol.I, h. 6 70
Suwoto mulyosudarmo, peralihan kekuaaan: kajian teoritis dan yuridis terhadap pidato nawaksara, h. 62 71
Harjono dan Maruarar Siahaan, Mekanisme Impeachment dan Humum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta:Pusat Penelitian dan Pengkajian Sekretarian Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2005), Cet I, h. 30
UUD
1945
sebelum
perubahan,
tidak
mengatur
secara
tegas
pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya baik mengenai alasan maupun mekanismenya. Dalam pasal 8 UUD 1945, yang berbunyi “Jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakakan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya”. Dari ketentuan tersebut, kata “berhenti” secara implisit diberhentikan memberikan kemungkinan seorang Presiden diberhentikan ditengah jabatannya, yaitu bisa berarti
berhenti
karena
mengundurkan
diri
maupun
berhenti
karena
mengundurkan diri maupun berhenti karena diberhentikan. Dalam bagian penjelasan UUD 1945 yaitu pada angka VII alinea ketiga dijelaskan bahwa “Jika Dewan menganggap bahwa Presiden sungguh melanggar Haluan Negara yang
telah ditetapkan oleh UUD atau oleh Majelis
Permusyawaratn Rakyat, maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa meminta pertanggungan jawab Presiden”. Ketentuan penjelasan
ini
secara
implisit
memuat
alasan
dan
mekanisme
dapat
diberhentikannya seorang Presiden. Presiden dapat diberhentikan dengan alasan bahwa Presiden sungguh melanggar Haluan Negara. Sedangkan prosesnya adalah melalui persidangan istimewa MPR untuk meminta pertanggungan jawab Presiden setelah adanya kesimpulan dari Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden sungguh melanggar haluan Negara. Walaupun dalam penjelasan ini tidak secara eksplisit bahwa pertanggungn jawab yang ditolak oleh MPR berakibat pada diberhentikannya Presiden. Pengaturan yang tegas mengenai pemberhentian
Presiden diatur dalam ketetapan-ketetapan MPR yang menentukan bahwa MPR berwenang meminta pertanggungjawaban Presiden mengenai pelaksanaan garisgaris besar haluan negara dan menilai pertanggungjawaban tersebut serta mencabut kekuasaan dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya apabila Presiden sungguh-sungguh melanggar haluan Negara dan atau UndangUndang Dasar. Yang dimaksud dengan melanggar haluan negara tidak didefinisikan dalam perundang-undangan yang ada. Namun dari kajian terhadap berbagai ketetapan MPR yang ada dan praktek ketatanegaraan Indonesia, pelanggaran terhadap haluan negara adalah merupakan pelanggaran terhadap ketetapanketetapan MPR baik ketetapan MPR mengenai garis-garis besar haluan negara maupun ketetapan MPR yang lainnya serta pelanggaran terhadap UUD. Jika dikaitkan dengan ketentuan pasal 9 UUD 1945, mengenai sumpah jabatan Presiden maka pelanggaran terhadap UUD ini, dapat memperluas bentuk dan jenis pelanggaran yang dapat dilakukan oleh Presiden karena bisa mencakup tindakan Presiden yang tidak memegang teguh UUD serta tidak menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya. Adanya katakata “menjalankan undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya”, dapat berarti bahwa pelanggaran terhadap setiap ketentuan undang-undangan atau pelanggaran terhadap peraturan pemerintah, keputusan Presiden dan peraturanperaturan lainnya dapat diartikan sebagai pelanggaran terhadap pasal 9 UUD 1945.
Ketentuan yang lebih rinci mengenai mekanisme pemberhentian Presiden sebelum amandemen diatur dalam ketetapan MPR RI No. VI/MPR/1973 dan Tap MPR No. III/MPR/1978, yang menegaskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berkewajiban setiap saat mengawasi tindakan-tindakan Presiden dalam rangka pelaksanaan haluan negara. Apabila DPR menganggap bahwa Presiden sungguh-sungguh
melanggar
haluan
negara
maka
DPR
menyampaikan
memorandum untuk mengingatkan Presiden. Apabila dalam waktu tiga bulan Presiden tidak memperhatikan memorandum tersebut, maka DPR menyampaikan memorandum kedua. Dan apabila dalam waktu satu bulan memorandum kedua ini tidak diindahkan Presiden maka DPR dapat meminta MPR untuk mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden.72 Hasil perubahan UUD 1945 yang berkaitan langsung dengan kekuasaan Presiden dan
Wakil Presiden,
adalah pembatasan kekuasaan Presiden
sebagaimana diatur dalam pasal 7 (lama) yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Penegasaan di dalam pasal 7 dipandang terlalu fleksibel untuk ditafsirkan. Jadi tidak perlu dibatasi, asal masih dipilih oleh MPR, ia dapat terus menjabat Presiden dan atau Wakil Presiden. Kemudian, pasal 7 diubah, yang bunyinya menjadi “Presiden dan atau Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang
72
Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden “Alasan Tindak Pidana Pemberhetian Presiden Menurut UUD 1945, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), h. 89-91
sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Perubahan pasal ini dipandang sebagai langkah yang tepat untuk mengakhiri perdebatan tentang periodisasi jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Perubahan terhadap pasal-pasal ini dapat dikatakan sebagai pengurangan atas kekeuasaan Presiden yang selama ini dipandang sebagai hak prerogatif. Adanya perubahan dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat diharapkan rakyat dapat berpartisipasi secara langsung menentukan pilihannya sehingga tidak mengulang kekecewaan yang pernah terjadi pada pemilu 1999. Presiden dan Wakil Presiden akan memiliki otoritas dan legitimasi yang sangat kuat karena akan dipilih langsung oleh rakyat. Perubahan ketiga Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menetapkan bahwasanya Presiden dan / atau Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat (pasal 6A UUD NRI 1945). Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwasanya Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Presiden dan / atau Wakil Presiden tidak dapat dijatuhkan dalam masa jabatannya, tentu saja during good behaviour. Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak dapat pula mengajukan mosi tidak percaya (motie van wantrouwen) terhadap kebijakan
Presiden dan / atau Wakil Presiden, sekalipun dukungan DPR tetap dipandang efektif dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. 73 Pejabat negara yang dapat di-impeach di Indonesia menurut UUD setelah perubahan hanyalah Presiden dan / atau Wakil Presiden. Berbeda dengan aturan negara lain dimana mekanisme impeachment bisa dilakukan terhadap pejabatpejabat tinggi negara. Misalkan di Amerika Serikat, Presiden dan Wakil Presiden serta pejabat tinggi negara adalah obyek yang dapat dikenakan tuntutan impeachment sehingga dapat diberhentikan. Pengaturan bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden yang dapat dikenakan tuntutan impeachment terdapat pada pasal 7A UUD Tahun 1945 yang menyebutkan “Presiden dan / atau Wakil Presiden
dapat
diberhentikan
dalam
masa
jabatannya
oleh
Majelis
Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun perbuatan apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden.”
73
Laica Marzuki, Jurnal Ilmu Hukum Aktualita No.I, (Palu: Fakultas Hukum Universitas Tadulako, 2005), Vol. I April-Juli, h. 2
Pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden dimaksud merupakan kewenangan konstitusional MPR atas usul DPR. DPR adalah impeacher, mempersiapkan data bukti secara cermat. Tentu saja, DPR perlu mempersiapkan tim investigasi sebelum mengemukakan pendapatnya berkenaan hal-hal pelanggaran hukum dan atau perbuatan yang dilakukan oleh Presiden dan / atau Wakil Presiden.74 DPR dalam menjalankan fungsi pengawasannya memiliki tugas dan kewenangan untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Bilamana dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan tersebut DPR menemukan bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran-pelanggaran yang termasuk dalam alasan impeachment sebagaimana disebutkan dalam pasal 7A UUD 1945, maka DPR setelah sesuai dengan ketentuan prosedur internalnya (tata tertib DPR) mengajukan tutntutan impeachment tersebut kepada Mahkamah Konstitusi.75 Dalam pada itu, ketua Mahkamah Konstitusi dalam syaratnya, bertanggal 15 juni 2004, no. 94-95/MK.KA/VI/2004 kepada ketua MPR. Ketua DPR dan pimpinan DPD (khusus terakhir melalui sekretaris jendral MPR) memberikan saran guna perubahan peraturan tata tertib DPR dan MPR, antara lain dengan mengantisipasi penjabaran prosedur dan pemberhentian Presiden dan Wakil
74
75
Laica Marzuki, Jurnal Ilmu Hukum Aktualita No.I, h. 3
Harjono dan Maruarar Siahaan, Mekanisme Impeachment dan Humum Acara Mahkamah Konstitusi, h. 62
Presiden dalam peraturan tata tertib masing-masing, termasuk peraturan tata tertib DPD.76 Proses impeachment yang berada ditangan Mahkamah Konstitusi, sesuai dengan ketentuan pasal 7B ayat (4) maka MK wajib memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR tersebut. Kedudukan DPR dalam persidangan MK adalah sebagai pihak pemohon karena DPR-lah yang memiliki inisiatif dan berpendapat bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran yang disebutkan dalam pasal 7A UUD 1945. 77 Pasal 7B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa usulan pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden dapat diajukan DPR kepada MPR hanya terlebih dahulu mengajukan kepada MK untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela Presiden dan / atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden (pasal 7B ayat 4) UUD NRI 1945. Putusan yang diminta DPR kepada MK adalah putusan hukum (‘judicieele vonnis’), bukan putusan politik (‘politieke beslissing’). Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pendapat DPR, wajib disampaikan kepada DPR dan Presiden dan / atau Wakil Presiden (pasal 85 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003).78
76
Laica Marzuki, Jurnal Ilmu Hukum Aktualita No.I, h. 3
77
Harjono dan Maruarar Siahaan, Mekanisme Impeachment dan Humum Acara Mahkamah Konstitusi, h. 62 78
Laica Marzuki, Jurnal Ilmu Hukum Aktualita No.I, h. 3
Apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, dan / atau terbukti bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden, DPR menyelenggarakan Sidang Paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden kepada MPR (pasal 7B ayat (5) UUD NRI Tahun 1945).79 Berbeda halnya putusan Mahkamah Konstitusi maka putusan MPR yang memberhentikan Presiden dan / atau Wakil Presiden adalah putusan politik (politieke beslissing). Hanya MPR yang memiliki kewenangan konstitusional guna memberhentikan Presiden dan / atau Wakil Presiden dalam masa jabatan (pasal 7A dan pasal 7B ayat (6), (7) UUD NRI Tahun 1945). 80 MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima usul tersebut (pasal 7B ayat (6) UUD NRI Tahun1945).81 Proses pengambilan keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden ini dilakukan dengan mengambil suara terbanyak dalam rapat paripurna. Komposisi dan tata cara pengambilan suara terbanyak itu juga diatur secara rinci oleh UUD 1945 yaitu rapat paripurna MPR harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari seluruh anggota MPR. Dan persetujuan atas usul pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil 79
Ibid, h. 4
80
Ibid, h. 3
81
Laica Marzuki, Jurnal Ilmu Hukum Aktualita No.I, h. 5
Presiden harus disepakati sekurang-kurangnya 2/3 dari anggota MPR yang hadir dalam rapat paripurna.82 Walaupun telah jatuh putusan MK yang menyatakan bahwasanya pendapat DPR tentang pelanggaran hukum oleh Presiden telah terbukti, namun MPR dapat menjatuhkan putusan lain sepanjang pertimbangan politik (‘politieke overweging’) dalam rapat paripurna MPR menerima baik penjelasan yang dikemukakan Presiden dan / atau Wakil Presiden sehingga rapat memandang Presiden dan / atau wakil Presiden tidak perlu diberhentikan. Rapat paripurna terlebih dahulu memberi kesempatan kepada Presiden dan / atau Wakil Presiden menyampaikan penjelasan sebelum Rapat Paripurna menjatuhkan putusan (vide pasal 7B ayat (7) UUD NRI Tahun 1945). Penjelasan sebagaimana dimaksud pasal konstutusi tersebut pada hakikatnya merupakan upaya pembelaan diri bagi Presiden dan / atau Wakil Presiden. Tidak berarti putusan MPR menyampingkan putusan MK, tetapi hal pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya itu memang merupakan constitutioneele bevoegheden dari MPR. Dalam pada itu, putusan Rapat Paripurna MPR yang memberhentikan Presiden dan / atau Wakil Presiden adalah sebatas memberhentikan Presiden dan / atau Wakil Presiden dari jabatan publik kepala pemerintahan negara, dalam makna to removal from the office, tidak memasuki ranah penyidikan serta penuntutan pidana terhadap
82
Harjono dan Maruarar Siahaan, Mekanisme Impeachment dan Humum Acara Mahkamah Konstitusi, h. 62
Presiden dan / atau Wakil Presiden yang diberhentikan. Putusan politik (‘politike beslissing’), bukan bagian dari proses hukum penyidikan (‘opsporing) dan penuntutan.83
B. Alasan-Alasan
Impeachment
Presiden
Menurut
UUD
1945
Hasil
Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahum 1945 setelah perubahan, mengatur secara tegas mengenai alasan-alasan pemberhentian Presiden , dan mekanisme Presiden dalam masa jabatannya. Pasal 7A UUD 1945, berbunyi: “Presiden atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, baik apabila telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wakil Presiden.” 1. Pengkhianatan Terhadap Negara. Sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi bahwa pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara yang diatur dalam Undang-Undang, maka dapat di kemukakan bahwa sebagian besar tindak pidana terhadap keamanan negara
83
Laica Marzuki, Jurnal Ilmu Hukum Aktualita No.I, h. 5
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) dan sebagian lagi di luar KUHPidana, seperti tindak pidana terorisme. KUHPidana secara khusus tidak mempergunakan istilah tindak pidana “pengkhianatan terhadap Negara”, namun dalam ilmu pidana Indonesia, tindak pidana terhadap keamanan Negara atau yang disebut tindak pidana makar yang diatur dalam Titel I buku 2 KUHPidana yaitu dari pasal 104 s/d pasal 129 adalah merupakan tindak pengkianatan terhadap negara. Menurut Wirjono Prodjidikuro, Titel I buku 2 KUHPidana, memuat tindak-tindak pidana yang bersifat menggangu kedudukan negara sebagai suatu kesatuan yang berdiri di tengah-tengah masyarakat internasiaonal yang terdiri dari pelbagai negara yang berdaulat. Sifat pengkhianatanlah (verrad) yang merupakan nada bersama dari tindak-tindak pidana dari title I ini. Lebih lanjut Wirjono menyatakan, ada dua pengkhianatan yaitu: a. Pengkhianatan intern (hoog verraad), yang ditujukan untuk merubah struktur kenegaraan dan struktur pemerintahan yang ada termasuk juga tindak pidana terhadap kepala negara. Jadi mengenai keamanan intern negara. b. Pengkhianatan ekstern (landverraad) yang ditujukan untuk membahayakan keamanan luar negeri. Jadi mengenai keamanan ekstren dari negara,
misalnya hal memberi pertolongan kepada negara asing yang bermusuhan dengan negara lain. 84 Berdasarkan titel I Buku II KUHPidana pengkhianatan terhadap negara mencakup jenis-jenis tindak sebagai berikut: 1) Makar terhadap Kepala Negara (pasal 104); 2) Makar untuk memasukkan Indonesia dibawah kekuasaan asing (pasal 106); 3) Makar untuk menggulingkan pemerintah (pasal 107); 4) Pemberontakan / opstand (pasal 108); 5) Permufakatan jahat dan / atau penyertaan untuk melakukan kejahatan yang dimaksud dalam pasal 104, 106, 107, dan 108 KHUPidana; 6) Mengadakan hubungan dengan Negara asing yang bermusuhan dengan Indonesia (pasal 111), bentuk-bentukl dari tindak pidana ini adalah mengadakan hubungan dengan negara asing dengan maksud: a. Menggerakannya untuk melakukan perbuatan permusuhan atau perang terhadap negara. b. Memperkuat niat negara asing tersebut. c. Menjanjikan bantuan terhadap negara asing tersebut. d. Membantu persiapan negara asing tersebut untuk melakukan perbuatan permusuhan atau perang terhadap negara.
84
Wirjono Prodjodikuro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Jakarta-Bandung: PT Eresco, 1974), Cet II, h. 202
7) Mengadakan hubungan dengan negara asing dengan tujuan agar negara asing membantu penggulingan terhadap pemerintah di Indonesia (pasal 111 bis); 8) Menyiarkan surat-surat rahasia (pasal 112-116); 9) Kajahatan-kejahatan mengenai bangunan-bangunan pertahanan negara (pasal 117-120); 10) Merugikan negara dalam perundinagn diplomatic (pasal 121); 11) Kejahatan lainnya yang dilakukan oleh mata-mata musuh (pasal 126); 12) Menipu dalam hal menjual barang-barang keperluan tentara (pasal 127). 2. Korupsi dan Penyuapan Korupsi adalah suatu permasalahan besar yang merusak keberhasilan pembangunan nasional. Korupsi menjadikan ekonomi menjadi berbiaya tinggi, politik yang tidak sehat, dan moralitas yang terus-menerus merosot.85 Korupsi merupakan sebuah konsep yang sangat akrab di telinga semua orang Indonesia. Hampir setiap hari media massa mengungkapkan gejala-gejala penyelewengan dan penyalahgunaan dana, waktu, kekuasaan, dan fasilitas yang ada yang merupakan berbagai macam gejala korupsi. Kendatipun semua orang tidak menerima praktik-praktik korupsi, tetapi korupsi hampir melibatkan semua orang. Korupsi tidak hanya dilakukan oleh pejabat,
85
Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Dan Masyarakat Madan, ( Jakarta, UIN, 2006), h. 216
pengusaha, dan kaum pegawai, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang yang berhubungan
dengan
lembaga-lembaga
sosial
dan
bahkan
lembaga
keagamaan. Di mana pun ketika ada kesempatan, orang akan melakukan korupsi.86 Menurut Fockema Andrea, kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu pula berasal pula dari asal kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt, Prancis, yaitu corruption, dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie). Kita dapat memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”.87 Kata korupsi dalam bahasa Indonesia berarti penyuapan, perusakan moral, perbuatan yang tidak beres dalam jabatan, pemalsuan dan sebagainya. 88 Di Indonesia, korupsi bukan saja merupakan gejala kehidupan individu (pribadi), masyarakat (kelompok dan golongan), atau negara (sistem politik dan pemerintahan). Lebih dari itu, tindakan tercela itu sudah menjadi salah satu masalah utama dan mendesak. Di katakan seperti itu, karena korupsi
86
Munawar Fuad Noeh, Islam Dan Gerakan Moral Anti Korupsi (Jakarta, Zihru’l Hakim, 1997), Cet I, h. 13 87
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006), h. 4 88
Djoko Prakoso, Kejahatan-kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara,(Jakarta: PT Bina Aksara, 1987), h. 389
merupakan realita penyalahgunan kekuasaan di setiap sendi kehidupan masyarakat. Penelitian berskala internasional, regional, dan nasional telah membuktikan hal itu. Ditemukan, bahwa Indonesia adalah negara terkorup kedua di Asia dan pertama di ASEAN.89 Bangsa ini pun terperanjat ketika Dato Param Cumaraswamy, pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa menyimpulkan bahwa korupsi diperadilan Indonesia adalah salah satu yang terburuk di dunia yang mungkin hanya bisa disamai oleh Meksiko. Bahkan di mata orang bisnis, khususnya para investor Asia, korupsi di Indonesia, dalam hal ini adalah korupsi di Pengadilan, Indonesia memperoleh skor 9,92 dari skala 1 sampai 10 dengan catatan yang mendapat skor 1 adalah yang terbaik dan yang mendapat skor 10 adalah yang terburuk. Skor ini tepat berada di atas India yang memperoleh angka 9,26 dan Vietnam yang mendapatkan skor 8,75.90 Tragisnya, walau hampir semua orang Indonesia menilai korupsi adalah jahat dan buruk dan arena itu harus diberantas-, tetapi pejabat dan instansi yang berwenang memberantasnya, bekerja setengah hati dan asalasalan. Sehingga, hasil tindakan itu jauh dari memuaskan. Malah berbagai tokoh dan lembaga kekuasaan, terkesan kuat memberikan proteksi kepada para koruptor. Lebih parah lagi, dalam pergaulan sehari-hari, tidak ada
89
Arbi Sanit, ed., Korupsi Di Negeri Kaum Beragama Ikhtiar Membangun Fiqh Anti Korupsi (Jakarta: P3M, 2004), h. 45 90
Arya Maheka, Mengenali Dan Memberantas Korupsi, (Jakarta: KPK, t.th), h. 2
pembedaan antara koruptor dengan orang jujur. Koruptor dihormati karena kekayaan dan kekuasaan atau karena sumbangannya kepada warga masyarakat. Walaupun UUD 1945 memisahkan kedua bentuk pelanggaran hukum ini yaitu; korupsi dan penyuapan sebagaimana tercantum dalam pasal 7A UUD 1945, namun dalam pembahasan ini akan digabung dalam satu topic, karena ternyata korupsi dan penyuapan sudah diatur dalam satu undangundang tersendiri.91 Dalam ketentuan hukum pidana Indonesia, tindak pidana korupsi diatur dalam undang-undang tersendiri.92 Sehingga dengan demikian segala tindak pidana yang diatur dalam undang-undang tersebut dapat dikualifisir sebagai tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang ini mencakup tiga kelompok tindak pidana yaitu: Pertama, tindak pidana korupsi yang umum sebagaiman diatur dalam pasal 2 dan pasal 3 UU No 31 tahun 1999 yang terdiri dari sebagai berikut:
91
Yaitu Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UndangUndang No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi 92
Yaitu UU No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagaimana di ubah dengan UU No 20 tahun 2001
a. Perbuatan yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi93 yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara;94 b.
Perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara.95
Kedua, tindak pidana korupsi yang sebelumnya merupakan tindak pidana suap yang terkait dengan jabatan pegawai negeri, 96hakim, advokat sebagimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
93
Korporasi sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 butir 1 UU No 30 tahun 1999, adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. 94
UU No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, pasal 2.
95
UU No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, pasal 3
96
Dalam pasal 1butir 2 UU No 31 tahun 1999, yang dimaksud pegawai negeri adalah: - Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam UU kepegawaian; - Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; - Orang yang menerima gaji atau upah dari keunagan Negara atau daerah; - Orang yang menerima upah atau gaji dari korporasi yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah; - Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan odal atau fasilitas dari Negara atau masyarakat.
Ketiga, tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, antara lain perbuatan yang dilakukan dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan penyidikan, dan pemeriksan dalam perkara korupsi. Memberikan keterangan tidak benar sebagai tersangka, saksi, dan saksi ahli dalam perkara yang terkait dengan tindak pidana korupsi. 97 3. Tindak Pidana berat Lainnya serta Perbuatan Tercela. Undang-Undang Dasar 1945 maupum Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, tidak memberikan batasan yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan “tindak pidana berat lainnya dan perbuatan tercela”. Namun dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menjadi sangat tegas bahwa maksud “tindak pidana berat lainnya” adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Tidak ada batasan yang tegas atas istilah “perbuatan tercela”, baik dalam Undang-Undang Dasar 1945 maupun dalam Undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 10 ayat (3) huruf d Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi (UU No 24 tahun 2004) memberikan pengertian tentang perbuatan tercela yaitu “perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan / atau Wakil Presiden”. Perbuatan tercela itu termasuk pelanggaran hukum lainnya seperti pelanggaran sumpah jabatan, penyalahgunaan wewenang (abuse of
97
Achmad Roestandi, Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), h. 179.
power), pelanggaran undang-undang dasar serta pelanggaran terhadap norma moral dan norma agama. Pelanggaran terhadap norma hukum dapat sekaligus juga merupakan pelanggaran terhadap norma agama, misalnya berjudi atau berzina. Logika ini dapat dipahami karena hukum pada hakikatnya berakar pada moral (kesusilaan), dan kesusilaan pada dasarnya bersendikan agama. 98 4. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau wakil Presiden Undang-undang nomor 24 tahun 2003 pasal 10 ayat (3) huruf e menyebutkan bahwa yang dimaksud tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana di tentukan dalam pasal 6 UUD 1945. Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan syarat-syarat Presiden dan Wakil Presiden adalah: 1. Seorang Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri. 2. Tidak pernah mengkhianati Negara. 3. Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
98
Achmad Roestandi, Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab, h. 180-181.
Mengacu pada pasal 6 ayat (2) UUD 1945, bahwa syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan UU maka syarat-syarat calon Presiden dan Wakil Presiden disebutkan dalam pasal 6 UU no 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
C. Proses Pembuktian di Mahkamah Konstitusi (Mk) Sebelum Mahkamah Konstitusi menjalankan kewenangannya dalam pasal 10 ayat (2), terlebih dahulu dilakukannya pengawasan oleh DPR. UUD 1945 mengatur bahwa DPR memilki tiga fungsi yaitu fungsi legislasi, fungsi angaran dan fungsi pengawasan. Atas dasar pelaksanaan fungi pengawasan ini maka DPR dapat mengajukan usul pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden. Pasal 7B ayat (2) UUD 1945 menyebutkan; “Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat." Yang menjadi fokus perhatian dalam proses impeachment di MK adalah bahwa MK memutus benar atau salahnya pendapat DPR atas tuduhan impeachment yang di tujukan kepada Presiden dan/ atau Wakil Presiden. Ketika proses impeachment di MK, MK berarti tidak sedang mengadili Presiden dan / atau wakil Presiden atas tuduhan impeachment karena yang menjadi objek dalam proses impeachment di MK adalah pendapat DPR. MK
wajib memeriksa,
mengadili dan memberikan putusan atas pendapat tersebut. Pendapat DPR yang diputuskan dalam rapat paripurna adalah lebih bernuansa politis. Oleh sebab itu proses impeachment di MK adalah untuk melihat tuduhan impeachment kepada Presiden dan/ atau Wakil Presiden dalam perspektif hukum. Karena MK merupakan institusi peradilan sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman maka putusan yang dijatuhkan MK atas pendapat DPR adalah untuk memberi justifikasi secara hukum.99 UUD 1945 dan UU MK seolah membuat kalsifikasi pokok perkara tuduhan impeachment ke dalam 2 kelompok yaitu (a) Presiden dan / atau Wakil Presiden melakukan pelanggran hukum dan (b) Presiden dan / atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden. Yang termasuk dalam kelompok pertama adalah berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya atau perbuatan tercela. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok kedua yaitu syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden adalah sebagaimana ditentukan dalam pasal 6 ayat (1) UUD 1945 serta pasal 6 UU No.23 tahun 2003 sebagai penjabaran dari pasal 6 ayat (20 UUD 1945. Akan tetapi pengelompokan ini tidak membawa dampak hukum yang berbeda, karena bilamana Presiden dan / atau Wakil Presiden terbukti melakukan salah satu dari perbuatan melanggar hukum sebagaiman termasuk dalam kelompok pertama maupun kelompok kedua maka amar putusan
99
Harjono dan Maruarar Siahaan, Mekanisme Impeachment dan Humum Acara Mahkamah Konstitusi, h. 75
MK adalah membenarkan pendapat DPR. Namun apabila Presiden dan / atau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum dan / atau tidak tidak terbukti lagi memenuhi syarat sebgai Presiden dan / atau Wakil Presiden maka amar putusan MK adalah menyatakan permohonan di tolak. Secara ringkas proses impeachment di Mahkamah Konstitusi dapat digambarkan sebagai berikut: 1) Pendaftaran pemohon dalam hal ini DPR) di kepaniteraan Mahkamah Konstitusi harus memenuhi ketentuan tentang kedudukan hukum (legal standing) pemohon, kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili, dan pokok perkara disertai bukti-bukti. 2) Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). 3) Pemeriksaan pendahuluan oleh panel hakim. 4) Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). 5) Pemeriksaan di persidangan dan pembuktian. 6) Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). 7) Putusan dapat berupa Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan: a. Tidak dapat di terima b. Ditolak; atau c. Membenarkan pendapat DPR. d. Jika putusan Mahkamah Konstitusi membenarkan pendapat DPR, maka DPR melanjutkannya ke dalam MPR.
e. Dalam hal Presiden dan / atau Wakil Presiden mengundurkan diri pada saat proses persidangan di Mahkamah Konstitusi, proses persidangan di hentikan dan pernohonan dinyatakan gugur oleh Mahkamah Konstitusi.
D. Proses Impeachment di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Setelah perubahan ketiga UUD 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi mengikuti doktrin supremasi parlemen yang menduduki MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Doktrin yang dianut oleh UUD 1945 setelah mengalami perubahan adalah supremasi konstitusi dimana konstitusi menjadi suatu institusi tertinggi di Indonesia. MPR terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. MPR bersidang sedikitnya dalam lima tahun di ibukota negara. Segala putusan MPR ditetapkan dengan suara terbanyak sementara itu, wewenang MPR melantik Presiden dan / atau Wakil Presiden, dan memberhentikan Presiden dan / atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.100
100
Harjono dan Maruarar Siahaan, Mekanisme Impeachment dan Humum Acara Mahkamah Konstitusi, h. 24
Apabila MK menjatuhkan putusan membenarkan pendapat DPR maka DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden kepada MPR. MPR setelah menerima usul DPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutus usulan DPR dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari setelah MPR menerima usulan tersebut, tata cara impeachment dalam lembaga MPR diatur dalam bab XV (pasal 63) mengenai tata cara pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya peraturan tata tertib (keputusan MPR RI nomor 7/MPR/2004 tentang peraturan tata tertib MPR RI sebagaimana telah diubah dengan keputusan MPR RI nomor 13/MPR/2004 tentang perubahan Peraturan tata tertib MPR RI) Pimpinan MPR kemudian mengundang anggota MPR untuk mengikuti rapat paripurna yang mengagendakan memutus usulan pemberhentian Presiden dan / atau wakil Presiden yang diajukan oleh DPR. Pimpinan MPR juga mengundang Presiden dan / atau Wakil Presiden untuk menyampaikan penjelasan yang berkaitan dengan usulan pemberhentiannya dalam rapat paripurna majelis. Presiden dan / atau Wakil Presiden wajib hadir untuk memberikan penjelasan atas usul pemberhentiannya. Apabila Presiden dan / atau Wakil Presiden tidak hadir untuk meyampaikan penjelasan, maka majelis tetap mengambil putusan terhadap usul pemberhentaian Presiden dan / atau Wakil Presiden.
Pengambilan putusan terhadap usul pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden yang diajukan DPR setelah adanya putusan MK dilaksanakan melalui mekanisme pengambilan suara terbanyak. Persyaratan pengambilan suara terbanyak itu adalah diambil dalan rapat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya dari jumlah anggota majelis (kourum), dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir yang memenuhi kuorum. Secara ringkas proses impeachment di MPR dapat digambarkan sebagai berikut: a. MPR menggelar Sidang Paripurna untuk membahas Putusan Mahkamah Konstitusi yang membenarkan pendapat DPR, selambat-lambatnya 30 hari setelah menerima putusan . b. Presiden dan / atau Wakil Presiden wajib hadir untuk memberikan keterangan. c. Rapat Paripurna MPR dengan korum sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dapat mengambil keputusan, yang mungkin berupa: 1) Ditolak, yang berarti Presiden dan / atau Wakil Presiden tidak diberhentikan dari jabatannya, atau 2) Diterima, dengan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, yang berarti Presiden dan / atau Wakil Presiden diberhentikan dari jabatannya sebelum masa jabatannya berakhir. 101
101
Achmad Roestandi, Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab, h. 186-187
E. Analisis Impeachment berasal dari kata impeach yang dalam bahasa Inggris sinonim dengan kata accuse atau charge yang berarti menuduh atau mendakwa. Impeachment merupakan sarana yang memberikan kemungkinan dilakukannya pemberhentian seorang Presiden atau Pejabat Tinggi Negara (a public official) dari jabatannya itu berakhir.102 Impeachment adalah tindakan politik dengan hukuman berhenti dari jabatan dan kemungkinan larangan untuk memegang suatu jabatan, bukan hukuman pidana (criminal conviction) atau pengenaan ganti kerugian perdata.103 Menurut UUD 1945 bahwa Presiden dapat diberhentikan apabila Presiden telah melakukan pelanggaran hokum berupa; pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden yang diatur dalam pasal 7A UUD 1945. Alasan-alasan yang dapat memberhentikan Presiden dalam masa jabatanya dalam Islam yaitu menurut pendapat dari Abdul Qadim Zallum terdapat dua klasifikasi pemberhentian khalifah:
102
Achmad Roestandi., Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), Cet I, h. 168 103
Iwan Permadi, Jurnal Konstiusi, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2007), Volume 4 No.3, h. 131
1. Perubahan keadaan yang secara otomatis mengeluarkan khalifah dari jabatannya, yaitu terdiri dari; 1) Kalau khalifah murtad dari Islam104 2) Kalau khalifah gila total (parah) yang tidak bisa disembuhkan105 3) Kalau khalifah ditawan musuh yang kuat106 2. Perubahan keadaan khalifah yang tidak secara otomatis mengeluarkannya dari jabatan khalifah namun dia tidak boleh mempertahankan jabatannya yaitu terdiri dari: 1) Khalifah telah kehilangan ‘adalah-nya. 107 2) Khalifah berubah bentuk kelaminnya menjadi perempuan atau waria.108 3) Khalifah menjadi gila namun tidak parah, terkadang sembuh terkadang gila 4) Cacat anggota tubuhnya atau karena sakit keras yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya
104
Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, (Yogyakarta: FH UII Press, 2007), h. 275 105
Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 275
106
Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 275
107
Ibid, h. 137
108
Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 275
5) Adanya tekanan yang menyebabkan khalifah tidak mampu lagi menangani urusan kaum Muslimin menurut pikirannya sendiri, yang sesuai dengan hukum syara’. 109 Adapun mengenai mekanisme impeachment, di dalam UUD 1945 harus melalui tiga lembaga Negara yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Konstitusi (MK), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). DPR dalam menjalankan fungsi pengawasannya memiliki tugas dan kewenangan untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Bilamana dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan tersebut DPR menemukan bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran-pelanggaran
yang
termasuk
dalam alasan
impeachment sebagaimana disebutkan dalam pasal 7A UUD 1945, maka DPR setelah sesuai dengan ketentuan prosedur internalnya (tata tertib DPR) mengajukan tuntutan impeachment tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. Apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, dan / atau terbukti bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden, DPR menyelenggarakan Sidang Paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden kepada MPR (pasal 7B ayat (5) UUD NRI Tahun 1945). Proses pengambilan keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden ini dilakukan dengan
109
Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 275
mengambil suara terbanyak dalam rapat paripurna. Bahwa, apakah Presiden dapat di impeachment atau tetap memangku jabatannya sebagai presiden. Sedangkan menurut sistem ketatanegaraan Islam tidak ditemukan penjelasannya secara eksplisit dan meyakinkan. Namun dalam kitab-kitab fiqh alsiyasah setidaknya ditemukan beberapa cara atau mekanisme pemberhentian Presiden. Pertama, sekelompok ulama Ahli Sunnah, Khawarij, Mu’tazilah, Zaidiyah, dan para ulama murjiah berpendapat wajib mengangkat senjata untuk memberhentikannya. Cara inilah yang diistilahkan oleh para ulama dengan sall as-saif (menghunuskan pedang). Kedua, untuk memberhentikan pemimpin adalah melalui apa yang diistilahkan pada zaman modern ini dengan civil disobedience (pembangkangan sipil). Cara ini dilakukan apabila umat merasa bahwa imam ini fasiq yang tidak takut dosa melakukan maksiat atau zalim, tidak layak menjadi imam. Ketiga, dengan cara pengambilan suara terbanyak yang keputusannya ditetapkan oleh Majelis Syurâ. Di zaman modern, para pemikir kontemporer seperti Rasyid Ridho dan lain-lain, mengganti majelis syura dengan badan perwakilan (legislatif) rakyat yang dipilih melalui sistem pemungutan suara modern. As-Sayyid Al-Maududi secara aktual menegaskan bahwa legislatif adalah apa yang dalam terminologi fiqh lama dikenal dengan ahlul halli wal aqdi (majelis syura). Dengan demikian sesuai dengan pemikiran tersebut majelis syura’ (lembaga legislatif) sebagai penjelmaan wakil rakyat, berhak untuk
mengangkat seorang khalifah yang dianggap cakap dan memenuhi kriteria. Jika khalifah itu melakukan penyalahgunaan kekuasaan, Majelis syura’ berhak pula untuk memberhentikannya apabila Majelis Syura’ menilai khalifah telah melakukan pelanggaran terhadap syariat, konstitusi, dan perundang-undangan, maka presiden dapat diberhentikan melalui pengambilan suara terbanyak yang keputusan majelis syura tersebut ditetapkan dengan suara terbanyak. Sehingga jelas apa yang telah dipaparkan diatas, mengenai mekanisme impeachment Presiden menurut UUD 1945 dengan sistem ketatanegaraan Islam memiliki perbedaan yang nyata. Adapun terdapat satu persamaan bahwa, dalam pengambilan keputusan terhadap pemberhentian Presiden antara pemikiran Rasyid Ridho dengan UUD 1945 adalah melalui pengambilan suara terbanyak dalam sidang lembaga legislatif. Dalam hubungan ini, konferensi para ulama dan para cendikiawan muslim yang mewakili semua aliran, Sunni dan Syi’ah, yang diselenggarakan pada tanggal 21 sampai dengan 24 Januari 1951 dari Karachi, Pakistan, memberi rekomendasi sebagai berikut: Lembaga (dalam hal ini Majelis Syura’) yang diberi kuasa memilih kepala negara (khalifah), juga memiliki kekuasaan untuk memecatnya atas dasar suara mayoritas.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari serangkaian uraian di atas, penulis menarik suatu kesimpulan sebagai berikut, yaitu: Alasan pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden disebutkan secara limitatif dalam konstitusi, yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden yang telah diatur dalam pasal 7A UUD’45. Mekanisme Impeachment Presiden di Indonesia melalui proses di 3 lembaga negara secara langsung. Proses yang pertama di lembaga DPR. DPR melalui hak pengawasannya melakukan proses “investigasi” atas dugaan-dugaan bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden melakukan tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan yang tergolong dalam alasan-alasan Impeachment. Setelah proses di DPR selesai maka putusan tersebut dilanjutkan dan dibawa ke Mahkamah Konstitusi dan MK wajib untuk memberikan putusan atas pendapat DPR. Kemudian dilanjutkan lagi ke Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk mendapat kata/hasil akhir akan nasib Presiden dan / atau Wakil Presiden apakah Presiden diberhentikan atau tidak
Adapun
alasan
yang
menjadikan
Presiden
berhenti
menurut
ketatanegaraan Islam adalah. Menurut pendapat dari Abdul Qadim Zallum terdapat dua klasifikasi pemberhentian khalifah: 1) Perubahan keadaan yang secara otomatis mengeluarkan khalifah dari jabatannya, yaitu terdiri dari; •
Kalau khalifah murtad dari Islam
•
Kalau khalifah gila total (parah) yang tidak bisa disembuhkan/ hilang akal;
•
Kalau khalifah ditawan musuh yang kuat
2) Perubahan
keadaan
khalifah
yang
tidak
secara
otomatis
mengeluarkannya dari jabatan khalifah namun dia tidak boleh mempertahankan jabatannya yaitu terdiri dari: •
Khalifah telah kehilangan ‘adalah-nya
•
Khalifah berubah bentuk kelaminnya menjadi perempuan atau waria
•
Khalifah menjadi gila namun tidak parah, terkadang sembuh terkadang gila
•
Karena cacat anggota tubuhnya atau karena sakit keras yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya
•
Adanya tekanan yang menyebabkan khalifah tidak mampu lagi menangani urusan kaum Muslimin menurut pikirannya sendiri, yang sesuai dengan hukum syara’
Mengenai mekanisme impeachment, dalam Islam tidak ditemukan penjelasannya secara eksplisit dan meyakinkan. Namun dalam kitab-kitab fiqh alsiyasah setidaknya ditemukan beberapa cara atau mekanisme pemberhentian presiden; Sekelompok ulama Ahli Sunnah, Khawarij, Mu’tazilah, Zaidiyah, dan para
ulama
murjiah
berpendapat
wajib
mengangkat
senjata
untuk
memberhentikannya, dengan istilah sall as shaif yaitu, (menghunuskan pedang). Dengan civil disobedience (pembangkangan sipil). Cara ini dilakukan apabila umat merasa bahwa imam ini fasiq yang tidak takut dosa melakukan maksiat atau zalim, tidak layak menjadi imam. Menurut Rashid ridho yaitu Melaliu majelis syura’ karena majelis syura’ (lembaga legislatif) sebagai penjelmaan wakil rakyat, berhak untuk mengangkat seorang khalifah yang dianggap cakap dan memenuhi kriteria. Jika khalifah itu melakukan penyalahgunaan kekuasaan, Majelis syura’ berhak pula untuk memberhentikannya apabila Majelis Syura’ menilai khalifah telah melakukan pelanggaran terhadap syariat, konstitusi, dan perundang-undangan, maka presiden dapat diberhentikan melalui pengambilan suara terbanyak yang keputusan majelis syura tersebut ditetapkan dengan suara terbanyak.
Adapun pandangan menurut ketatanegaraan Islam terhadap alasan dan mekanisme impeachment Presiden menurut UUD 1945 dan ketatanegaraan Islam adalah, bahwa di dalam alasan-alasan yang telah disebutkan baik menurut UUD 1945 dan dalam ketatanegaraan Islam adalah adanya keterkaitan tentang alasan yang ada dalam ketatanegaraan Islam yaitu alasan tentang hilangnya sifat adalah atau hilangnya rasa keadilan Presiden atau pemimpin yang bisa diartikan atau dijelaskan di dalam UUD 1945 yaitu: 1) Pengkhianatan terhadap Negara dalam Islam berupa; Makar dan Bughot (pemberontakan), 2) Korupsi dan penyuapan dalam Islam berupa; Pencurian, penipuan 3) Perbuatan tercela dalam Islam berupa; melanggar bai’at atau sumpah jabatan, penyelewengan kekuasaan, berjudi, berzina Dan tinjauan mengenai mekanisme impeachment Presiden menurut UUD 1945 dan dalam ketatanegaraan Islam yaitu bahwa; Mahkamah madzalim sebagai lembaga peradilan yang fungsinya menegakkan hukum, mengadili Presiden terkait adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden apakah Presiden bersalah atau tidak. Dan dewan pimpinan mensyahkan secara hukum yang berlaku atas putusan yang dilakukan oleh mahkamah madzalim terkait pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden. Kemudian putusan tersebut dibawa ke Majelis Syura untuk dimusyawarahkan hingga menemukan hasil akhir akan nasib Presiden apakah
Presiden dapat diberhentikan atau tidak dengan cara pengambilan suara terbanyak. Hal ini dapat dikatakan sesuai menurut UUD 1945 atas apa yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi yaitu memutuskan secara hukum bahwa Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum dan perundang-undanagan. Dan putusan tersebut selanjutnya dibawa ke Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan MPR kemudian mengadakan Sidang Istimewa terkait pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden melalui pengambilan suara terbanyak. Dengan pengambilan suara terbayak tersebut maka MPR dapat memutuskan apakah Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya atau tidak.
B. Saran Sebagaimana yang telah penulis uraikan secara luas mengenai mekanisme impeachment Presiden, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menjalankan tugas yang dilakukan oleh lembaga-lembaga Negara , khususnya lembaga yang menangani mekanisme impeachment: Check and balances antara tiga lembaga negara menjadi salah satu faktor penting dalam tatanan pemerintahan yang demokratis. Mekanisme pengawasan yang dibangun oleh parlemen terhadap eksekutif haruslah juga mendasarkan pada prinsip yang serupa. Kisah arogansi parlemen di masa awal demokratisasi Indonesia merupakan sebuah pengalaman yang patut diingat dan dipelajari.
Untuk terciptanya check and balances, tiap lembaga negara harus menggunakan pendekatan legal konstitusional untuk melaksanakan mekanisme kontrol kekuasaan antara legislatif, yudikatif dan eksekutif. Agar pengawasan terhadap lembaga eksekutif oleh lembaga legislatif haruslah diberi koridor untuk menegakkan nilai keadilan dan tidak hanya sekedar pertarungan elit politik semata. Apabila proses ini terjadi maka sistem politik yang lebih sehat akan tercipta dan membawa kesejahteraan masyarakat. Dengan memegang kuat prinsip check and balances tersebut, maka lembaga negara akan dapat menjalankan tugasnya dengan lebih efektif dan lebih demokratis.