KEMERDEKAAN HAKIM SEBAGAI PELAKU KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD TAHUN 1945 Oleh: A. Mukti Arto
I.
Pendahuluan Pada tahun 1999 – 2002 dilakukan amandemen terhadap UUD Tahun 1945
yang merupakan bagian dari reformasi total. Amandeman pertama ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999, amandemen kedua pada tanggal 18 Agusutus 2000, amandemen ketiga pada tanggal 9 November 2001, dan amandemen keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Amandemen ketiga memuat pula tentang perubahan kekuasaan kehakiman. Apa pengaruh amandemen UUD Tahun 1945 ini terhadap kemerdekaan hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. II. Mengapa Perlu Amandemen UUD Tahun 1945 Moh. Mahfud mengatakan bahwa amandemen UUD 1945 merupakan suatu kebutuhan dalam rangka memperbaiki kehidupan ketatanegaraan menuju negara yang demokratis sehingga terwujud asas check and balance,1 yang di dalamnya terkandung pula maksud untuk memandirikan Mahkamah Agung dan semua badan pengadilan yang berada di bawahnya, menjadi lembaga yang otonom, dan menutup kemungkinan dari intervensi Pemerintah. Untuk itu, berbagai UU dalam bidang peradilan yang ada pada saat ini, memang harus dirombak total.2 Menurut Abdul Mukthie Fadjar, ada 5 (lima) alasan perlunya amandemen UUD Tahun 1945, yaitu: (1) Secara historis, sejak semula memang UUD 1945 ini didesain sebagai UUD sementara sehingga pada saatnya nanti akan dibuat UUD yang lebih baik; (2) Secara filosofis, di dalam UUD 1945 terdapat pencampuradukan beberapa gagasan yang saling bertentangan, seperti antara faham kedaulatan rakyat dengan integralistik dan antara negara hukum dengan negara kekuasaan; (3) Secara yuridis, di dalam UUD 1945 memuat adanya klausula kemungkinan dan tatacara perubahan UUD itu sendiri; (4) Secara teoritis, dari sudut pandang teori konstitusi, keberadaan konstitusi suatu negara adalah untuk membatasi kekuasaan negara agar tidak bertindak sewenang-wenang, tetapi justru UUD 1945 ini kurang menonjolkan 1
Moh. Mahfud MD., Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara, Penerbit UII Press, Yogyakarta, 1999, hlm. 108. 2 Ibid., hlm. 18.
1
pembatasan kekuasaan tersebut, melainkan lebih menonjolkan pengintegrasian kekuasaan; dan (5) Secara politis praktis, bahwa secara sadar atau tidak sadar, sebenarnya dalam praktik bernegara selama ini sering terjadi penyimpangan dari teks aslinya.3 Menurut hemat Penulis, apa yang disampaikan oleh Moh. Mahfud dan Abdul Mukthie Fadjar tersebut sangatlah tepat karena hanya dengan cara inilah ada harapan dapat terwujud asas check and balance antar lembaga penyelenggara Negara, yakni melalui perombakan perUUan sebagai sarana social engineering. III. Amandemen Kekuasaan Kehakiman Pada tahun 2001 dilakukan amandemen ketiga UUD Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 9 November 2001. Sistem ketatanegaraan pasca amandemen UUD 1945 ini mengarah kepada tujuan membentuk atau mendesain demokrasi yang berorientasi pada keadilan, supremasi hukum, civil society, checks and balances yang menabukan dominasi kekuasaan seperti strong presidensiil, akuntabilitas kekuasaaan dan pluralisme atau kemajemukan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, demikian Dahlan Thaib memaparkan.4 Pasca amandemen UUD Tahun 1945,
kedudukan
kekuasaan
kehakiman
mengalami
perkembangan
menuju
terciptanya supremasi hukum, civil society, checks and balances yang menabukan dominasi kekuasaan seperti strong presidensiil, akuntabilitas kekuasaaan dan pluralisme atau kemajemukan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Abdul Mukthie Fadjar, perkembangan tersebut menunjukkan bahwa jaminan konstitusional atas prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan eksistensi badan-badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung semakin kuat semakin kuat karena telah mendapat jaminan konstitusional dalam UUD 1945 yang semula hanya dimuat dalam UU saja.5 Perkembangan penting dari amandemen ketiga UUD 1945 pada tahun 2001ini, bahwa lembaga-lembaga pelaku kekuasaan kehakiman mengalami perubahan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UUD 1945 hasil amandemen tersebut, yaitu: (1) Mahkamah Agung; (2) Badan-badan peradilan yang berada di bawahnya; dan (3) 3
Abdul Mu’thie Fadjar, Hukum Konstitusi & Mahkamah Konstitusi, Penerbit Konstitusi Press Jakarta Dan Citra Media Yogyakarta, 2006, hlm. 9-11. 4 Dahlan Thaib, Menuju Parlemen Bikameral (Studi Konstitusional Perubahan Ketiga UUD 1945), dalam Membangun Hukum Indonesia Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum, Total Media, Yogyakarta, Maret 2008, hlm.193. 5 Abdul Mu’thie Fadjar,. op., cit., hlm. 114.
2
Mahkamah Konsitusi. Perubahan Pasal 24 UUD 1945 ini tidak lagi menempatkan Mahkamah Agung sebagai single top authority dalam kekuasaan kehakiman, karena kehadiran Mahkamah Konstitusi. Pada tahun 2001, setelah dilakukan amandemen ketiga UUD 1945 di mana dalam amandemen ketiga tersebut, Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa ’Negara Indonesia adalah Negara Hukum’(Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945, sedang dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa Negara berdasarkan kepada Pancasila. Dengan demikian maka secara konstitusional, Negara Indonesia adalah Negara Hukum Pancasila. IV. Amandemen UUD 1945 Dan Peradilan Agama Menurut Muhammad Tahir Azhari, salah satu ciri khas Negara Hukum Pancasila adalah ada hubungan yang erat antara Agama dan Negara dalam arti yang positif,6 yakni bahwa: Pertama, Segala tindakan dan kebijakan Negara dan warga Negara harus sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan agama; Kedua, Negara menjamin terselenggaranya kehidupan beragama dengan baik, termasuk di dalamnya menjamin pelaksanaan dan penegakan hukum Islam bagi mereka yang beragama Islam mengenai perkara-perkara yang tunduk pada hukum Islam berdasarkan asas personalitas keislaman dan prinsip-prinsip syariah demi terselenggaranya kehidupan beragama, bermasyarakat, dan bernegara sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa; dan Ketiga, Dalam Negara Hukum Pancasila harus ada peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh suatu kekuatan apapun di luar kekuasaan kehakiman, termasuk di dalamnya harus ada peradilan syariah Islam guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan hukum Islam sesuai prinsip-prinsip syariah. Perkembangan penting dari amandemen ketiga UUD Tahun 1945 berkaitan dengan Peradilan Agama adalah: (1)
Kekuasaan
kehakiman
merupakan
kekuasaan
yang
merdeka
untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat (1)); (2)
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, 6
Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta, September 1992, hlm. 72.
3
lingkungan Peradilan Agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat (2)); (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam UU (Pasal 24 ayat (3)). Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 ini menegaskan bahwa: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Penulis bependapat bahwa dengan dilakukannya amandemen atas UUD Tahun 1945 tersebut, maka kedudukan Peradilan Agama di Indonesia semakin kuat, antara lain, karena: Pertama, melalui Pasal 24 ayat (2) hasil amandemen ketiga ini, Peradilan Agama memiliki dasar konstitusional dalam UUD 1945; Kedua, dengan demikian maka kedudukan Peradilan Agama semakin kuat dan sejajar dengan Badan Peradilan yang lain serta institusi lainnya, baik legislatif maupun eksekutif, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 ini menjadi dasar konstitusional penyatuatapan Peradilan Agama di bawah Mahkamah Agung, bersama-sama lingkungan peradilan lainnya. Zein Badjeber7 mengatakan bahwa ketika amandemen UUD Tahun 1945, saya ngotot memasukkan empat badan peradilan, termasuk PA, ke dalam UUD Tahun 1945. Dengan demikian PA mendapat tempat dalam konstitusi. Ternyata hal itu tidak mendapat reaksi sehingga menjadi putusan MPR. Dalam UUD ini sengaja dibatasi dengan empat lingkungan peradilan supaya tidak ada lagi peradilan baru yang sewaktu-waktu dapat dimunculkan melalui UU. Kalaupun ada peradilan yang baru, maka masuk ke dalam empat lingkungan peradilan tersebut.8 V. Kemerdekaan Hakim Sebagai Pelaku Kekuasaan Kehakiman Pertimbangan penting pengubahan UU Kekuasaan Kahakiman melalui UU No. 4 Tahun 2004 ini adalah untuk merealisasikan amanat dari UU No. 35 Tahun 1999, yakni mengalihkan semua pengadilan dari masing-masing Departemennya menjadi satu atap di bawah Mahmakah Agung untuk menjamin kemerdekaannya dari campur tangan eksekutif dan menguatkan kedudukan pengadilan. 7 8
Ketua Badan Legislatif DPR-RI tahun 1999-2004. PPHIM, Jejak Langkah & Dinamika PPHIM, PPHIM Dan Ramah Publisher, Jakarta, 2007,
hlm. 51.
4
Perkembangan penting dengan diundangkannya UU ini maka kedudukan, peran dan fungsi yang diberikan kepada Peradilan Agama semakin luas dan mantap dengan perkembangan kemajuan yang sangat mendasar, yakni: 1. Perubahan fungsi pengadilan dari sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman9 menjadi pelaku kekuasaan kehakiman10. Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1989 menyatakan bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman. Pembentuk UU tidak menjelaskan apa perbedaan antara dua kata dimaksud. Barangkali istilah ’pelaku’ ini bersumber dari Pasal 24 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menetapkan bahwa ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung ...dst”. Konsisten dengan Pasal 2 ayat (2) UUD Tahun 1945 tersebut, maka Pasal 2 UU No. 4 Tahun 2004 menggunakan kata ’dilakukan’. Kata ’pelaksana’ adalah subyek yang mengerjakan sesuatu atas inisiatif, perintah atau ide pihak lain. Sedang ’pelaku’ adalah subyek yang memiliki ide, kewenangan dan kemampuan untuk melaksanakan idenya sendiri. 2. Terdapat penegasan larangan campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD Tahun 1945. Penegasan larangan campur tangan ini tidak ada dalam UU sebelumnya.11 3. Dialihkannya pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan pengadilan dari empat lingkungan peradilan dari Departemen masing-masing ke Mahkamah Agung.12 Dengan demikian campur tangan eksekutif terhadap pembinaan organisasi, administrasi dan finansial pengadilan tidak ada lagi dan kemandirian serta kemerdekaan hakim diharapkan lebih terjamin. 4. Dialihkannya tatacara sumpah hakim dari praktik ”diambil sumpah” oleh atasannya menjadi ”mengucapkan sumpah” di hadapan pimpinannya.13 Pembentuk UU tidak menjelaskan apa perbedaan antara dua kata tersebut. Istilah ’mengucapkan sumpah’ barangkali bersumber dari Pasal 9 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menetapkan bahwa ”Sebelum memangku jabtannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguhsungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan 9
Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 jo Pasal 2, 4 ayat (2), 10, dan 31 UU No. 4 Tahun 2004. 11 Pasal 4 ayat (3) dan (4) UU No. 4 Tahun 2004. 12 Pasal 13 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004. 13 Pasal 30 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004. 10
5
Rakyat ...”. di sini tidak digunakan kata ’diambil sumpah’. Mengucapkan sumpah berbeda dengan diambil sumpah. ’Mengucapkan sumpah’ merupakan suatu tindakan yang didorong oleh kesadaran rohani pengucap sumpah sehingga keluar dari kesadarannya sendiri. Sedang ’diambil sumpah’ lebih didorong oleh kehendak atasannya dan lebih bersifat seremonial saja, padahal hakim dalam melakukan tugasnya tidak tunduk kepada atasannya melainkan tunduk kepada keadilan, kebenaran dan kepada Tuhan. Hakim adalah merdeka dari kehendak atasannya. Diambil sumpah merupakan praktik birokrasi dalam lingkungan eksekutif yang menganut sistem komando, sedang mengucapkan sumpah menjadi praktik di lingkungan yudikatif yang menganut asas kemandirian hakim yang merdeka. Hakim ketika menjalankan fungsi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman bersifat mandiri dan tidak tunduk kepada atasannya, namun dalam kedudukannya sebagai pegawai di pengadilan maka ia berada di bawah komando atasannya. 5. Kedudukan Peradilan Agama sebagai sebuah lingkungan peradilan telah disejajarkan dengan Peradilan Umum sehingga tidak ada lagi istilah Peradilan Khusus bagi Peradilan Agama sebagaimana pernah diatur dalam UU No. 14 Tahun 1970 sebelumnya.14 Dan dengan demikian maka juga dimungkinkan dibentuknya pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama.15 6. Dilibatkannya Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan eksternal guna menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, dan pengangkatan hakim agung.16 Hal ini tidak pernah ada sebelumnya. 7. Diakuinya Mahkamah Syar’iyah di Nangro Aceh Darussalam sebagai peradilan negara dalam sistem peradilan nasional.17 8. UU ini disamping memantapkan kedudukan Peradilan Agama, namun tanpa mengubah fungsi khusus Peradilan Agama sebagai peradilan syariah Islam, Pertama, dari sudut kedudukan dan kelembagaan, maka Peradilan Agama telah sejajar dengan Badan Peradilan Umum, yakni sebagai Pengadilan Negara di bawah Mahkamah Agung; Kedua, dari sudut fungsi yang diembannya, maka Peradilan Agama tetap merupakan peradilan khusus (spesifik), yakni sebagai Peradilan Syariah Islam.
14
Pasal 2 dan 10 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004. Pasal 15 ayat (1) dan (2) UU No. 4 Tahun 2004. 16 Pasal 34UU No. 4 Tahun 2004. 17 Pasal 15 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004. 15
6
VI.
Memperkokoh
Kemerdekaan
Hakim
Sebagai
Pelaku
Kekuasaan
Kehakiman Pada tahun 2009 diundangkan UU No. 48 Tahun 2009 tanggal 29 Oktober 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. UU ini menggantikan UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekusaan Kehakiman. Dalam Pasal 62 UU No. 48 Tahun 2009 ini dinyatakan bahwa UU No. 4 Tahun 2004 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pertimbangan penting diundangkannya UU No. 48 Tahun 2009 ini bertalian dengan pengembangan kedudukan peradilan di Indonesia, termasuk Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh. Pertimbangan dimaksud, antara lain, adalah adanya: 1. Reformulasi sistematika UU Kekuasaan Kehakiman No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman terkait dengan pengaturan secara komprehensif ke dalam UU No. 48 Tahun 2009 ini, misalnya adanya bab tersendiri mengenai asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. 2. Pengaturan umum mengenai pengawasan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan peraturan perUUan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. 3. Pengaturan umum mengenai pengangkatan dan pemberhentian hakim dan hakim konstitusi. 4. Pengaturan mengenai pengadilan khusus yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. 5. Pengaturan mengenai hakim ad hoc yang bersifat sementara dan memiliki keahlian serta pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. 6. Pengaturan umum mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. 7. Pengaturan umum mengenai bantuan hukum bagi pencari keadilan yang tidak mampu dan pengaturan mengenai pos bantuan hukum pada setiap pengadilan. 8. Pengaturan umum mengenai jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi.18
18
Penjelasan umum UU. No. 48 Th. 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman alinea keenam.
7
2. Penegasan tentang kedudukan hakim dan hakim konstitusi sebagai pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam UU.19 Perkembangan penting yang diatur dalam UU No. 48 Tahun 2009 ini yang berkaitan dengan kedudukan Pengadilan dalam semua lingkungan peradilan adalah meliputi tiga aspek, yaitu: (1) aspek status pengadilan, (2) aspek peran yang diberikan dan dapat dimainkan, dan (3) aspek pengakuan dan penghargaan terhadap pengadilan sebagai lembaga kenegaraan baik secara yuridis dalam kehidupan ketatanegaraan. Dari aspek status pengadilan, maka penulis temukan ketentuan di dalam Pasal 19 UU No. 48 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam UU. Ketentuan dalam Pasal ini lebih tegas jika dibandingkan dengan ketentuan dalam Pasal 31 UU No. 4 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam UU. Penegasan hakim sebagai ”pejabat negara” telah menempatkan kedudukan hakim pada posisi yang sebenarnya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Penegasan hakim sebagai pejabat negara merupakan suatu bukti pengakuan terhadap kedudukan hakim dalam sistem ketatanegaraan. Dari aspek peran yang diberikan dan dapat dimainkan oleh Pengadilan dalam semua lingkungan peradilan, maka penulis temukan ketentuan dalam Pasal 25 UU No. 48 Tahun 2009 yang memberikan ketentuan bahwa: (1) Badan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, Peradilan Agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. (2) Peradilan umum sebagaimana pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perUUan. (3) Peradilan Agama sebagaimana pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perUUan. (4) Peradilan militer sebagaimana pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perUUan.
19
Pasal 19 UU. No. 48 Th 2009.
8
(5) Peradilan tata usaha negara sebagaimana pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan perUUan. Ketentuan dalam Pasal ini merupakan pelimpahan atau pembidangan secara umum kewenangan mengadili kepada pengadilan dari masing-masing lingkungan peradilan. Ketentuan secara rinci kewenangan pengadilan dari masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam UU organik masing-masing. Pelimpahan atau pembidangan kewenangan mengadili ini sesuai asas spesifikasi pengadilan dan spesialisasi perkara. Dari aspek pengakuan dan penghargaan terhadap pengadilan sebagai lembaga kenegaraan secara yuridis dalam kehidupan ketatanegaraan, maka kita temukan adanya beberapa pasal yang mengatur jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi. Pasal 48 UU No. 48 Tahun 2009 ini memberikan ketentuan bahwa: (1) Negara memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. (2) Jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan peraturan perUUan. Selanjutnya pada Pasal 49 terdapat ketentuan bahwa: (1) Hakim ad hoc dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab menyelenggarakan kekuasaaan kehakiman diberi tunjangan khusus. (2) Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perUUan. Penjelasan lebih lanjut dari ketentuan tersebut kita temukan pada Penjelasan Pasal 48 ayat (1) yang memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan ”jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya” adalah hakim dan hakim konstitusi diberi penjagaan keamanan dalam menghadiri dan memimpin persidangan. Hakim dan hakim konstitusi harus diberikan perlindungan keamanan oleh aparat terkait yakni aparat kepolisian agar hakim dan hakim konstitusi mampu memeriksa, mengadili dan memutus perkara secara baik dan benar tanpa adanya tekanan atau intervensi dari pihak manapun. Sedang jaminan kesejahteraan hakim meliputi: (1) 9
gaji pokok; (2) tunjangan jabatan; (3) tunjangan-tunjangan lain; (4) biaya dinas; (5) rumah jabatan milik negara; (6) jaminan kesehatan; (7) sarana transportasi milik negara yang berupa kendaraan bermotor roda empat beserta pengemudinya atau sarana lain yang memungkinkan seorang hakim menjalankan tugas-tugasnya; (8) pensiun dan (9) hak-hak lainnya sesuai peraturan perUUan.20 VII. Penutup Demikian sekilas perkembangan kemerdekaan hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia pasca amandemen UUD Tahun 1945. Kemerdekaan hakim dijamin sepenuhnya oleh UUD Tahun 1945. Oleh sebab itu setiap upaya untuk meredusir kemerdekaan hakim pasti akan sia-sia karena bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Sekarang kembali kepada keyakinan dan keberanian para hakim untuk memperankan dirinya sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang mandiri dan merdeka. Siapa takut?
Referensi Abdul Mu’thie Fadjar, Hukum Konstitusi & Mahkamah Konstitusi, Penerbit Konstitusi Press Jakarta Dan Citra Media Yogyakarta, 2006. Dahlan Thaib, Menuju Parlemen Bikameral (Studi Konstitusional Perubahan Ketiga UUD 1945), dalam Membangun Hukum Indonesia Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum, Total Media, Yogyakarta, Maret 2008, Moh. Mahfud MD., Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara, Penerbit UII Press, Yogyakarta, 1999. Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta, September 1992. PPHIM, Jejak Langkah & Dinamika PPHIM, PPHIM Dan Ramah Publisher, Jakarta, 2007.
20
Pasal 48 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 jo 24 UU No. 50 Tahun 2009 dan Penjelasannaya.
10